4. Pengertian Asas Legalitas
Asas legalitas (principle of legality) merupakan asas pokok
dalam hukum pidana yang membatasi berlakunya hukum
pidana dari segi waktu.
Asas ini mengandung pengertian bahwa tidak ada perbuatan
yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan
terlebih dahulu dalam perundang-undangan.
Pengertian ini sesuai dengan adigum yang dikenal dalam Bahasa
Latin, yaitu nullum delictum nulla poena sine praevia lege (tidak
ada delik, tidak ada pidana, tanpa perundang-undangan yang
telah ada sebelumnya).
Ketentuan asas legalitas diatur dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang
berbunyi: “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas
kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah
ada, sebelum perbuatan dilakukan.”
5. Asas legalitas dapat menjadi sarana utama untukAsas legalitas dapat menjadi sarana utama untuk
mencegah kesewenang-wenangan penguasa dalammencegah kesewenang-wenangan penguasa dalam
pemidanaan karena tindakannya dibatasi oleh undang-pemidanaan karena tindakannya dibatasi oleh undang-
undang.undang.
Asas legalitas dapat menjadi sarana utama untukAsas legalitas dapat menjadi sarana utama untuk
mewujudkan jaminan kepastian hukum bagi rakyat/ wargamewujudkan jaminan kepastian hukum bagi rakyat/ warga
dalam menerima segala tindakan dari siapapun khususnyadalam menerima segala tindakan dari siapapun khususnya
penguasa.penguasa.
Asas legalitas dapat menjadi sarana utama untukAsas legalitas dapat menjadi sarana utama untuk
mencegah terjadinya kejahatan (mencegah terjadinya kejahatan (prevention of crimeprevention of crime))
karena jenis kejahatan yang dilarang ditetapkan secarakarena jenis kejahatan yang dilarang ditetapkan secara
tertulis dalam undang-undang, sehingga masyarakattertulis dalam undang-undang, sehingga masyarakat
mengetahui dan tidak melanggarnya.mengetahui dan tidak melanggarnya.
Dasar Pemikiran Pemberlakuan Asas Legalitas
6. Larangan Analogi (1)
Konsekuensi dari dianutnya asas
legalitas adalah larangan menggunakan
analogi dalam menentukan tindak
pidana, tetapi tafsir ekstensif tetap
diperbolehkan.
Tafsir ekstensif diperbolehkan karena
merupakan salah satu bentuk tafsir
hukum sebagaimana tafsir autentik,
tafsir historis dan lain sebagainya.
7. Larangan Analogi (2)
Tafsir Ekstensif:
“Pemberian makna terhadap suatu kata atau istilah dalam
undang-undang berdasarkan makna yang hidup atau nyata-
nyata dipahami oleh masyarakat pada saat undang-undang itu
diterapkan, bukan pada saat undang-undang itu dibuat”
Masih dalam koridor undang-undang
Analogi:
“Menerapkan hukum dengan cara memaksakan pengertian
suatu perbuatan ke dalam koridor hukum padahal hakekatnya
perbuatan tersebut belum/ tidak secara eksplisit diatur dalam
teks undang-undang yang ada. Pertimbangannya ialah karena
menurut hakim inti rasio dari perbuatan tersebut sangat
merugikan sehingga pelakunya perlu dihukum”.
8. Asas Legalitas dalam RUU KUHP Terbaru
Pasal 1 ayat (1): “Tiada seorang pun dapat dipidana
atau dikenakan tindakan, kecuali perbuatan yang
dilakukan telah ditetapkan sebagai tindak pidana dalam
peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat
perbuatan itu dilakukan”.
Asas Legalitas Formal
Pasal 2 ayat (1): “Ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya
hukum yang hidup dalam masyarakat yang
menentukan bahwa seseorang patut dipidana
walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam
peraturan perundang undangan”.
Asas Legalitas Material
10. Dalam Kitab Klasik tidak ada yang
membahas secara khusus asas legalitas.
Namun bukan berarti Syari’at Islam
tidak memiliki sikap terkait dengan
persoalan ini.
Beberapa ayat al-Qur’an dan kaidah-
kaidah fiqih berhubungan erat dengan
pemberlakuan asas legalitas ini.
11. Dasar Hukum 1 : QS. Al-Isra’: 15
“Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah),
maka sesungguhnya dia berbuat itu untuk
(keselamatan) dirinya sendiri; dan barangsiapa yang
sesat maka sesungguhnya dia tersesat bagi (kerugian)
dirinya sendiri. Dan seorang yang berdosa tidak dapat
memikul dosa orang lain, dan Kami tidak akan
menga’azab sebelum Kami mengutus seorang rasul.”
12. Dasar Hukum 2 : QS. Al-Qashash: 59
“Dan tidaklah Tuhanmu membinasakan kota-kota, sebelum
Dia mengutus di ibukota itu seorang rasul yang
membacakan ayat-ayat Kami kepada mereka; dan tidak
pernah (pula) Kami membinasakan kota-kota; kecuali
penduduknya dalam keadaan melakukan kezaliman.”
13. Dasar Hukum 3 : QS. Al-Nisa’: 165
“(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita
gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada
alasan bagi manusia membantah Allah sesudah
diutusnya rasul-rasul itu. Dan adalah Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
14. Dasar Hukum 4 : Kaidah Fiqih
“Tidak ada hukum bagi perbuatan-perbuatan orang yang
berakal sebelum datangnya nash.”
Dasar Hukum 5 : Kaidah Fiqih
“Hukum asal dari segala sesuatu dan segala perbuatan
adalah boleh.”
15. Dasar Hukum 6 : Kaidah Fiqih
“Tidaklah (seseorang) dibebani secara syara’ kecuali orang
yang mampu memahami pembebanan dan cakap untuk
melaksanakan apa yang dibebankan kepadanya, dan
tidaklah (seseorang) dibebani secara syara’ kecuali dengan
perbuatan yang mungkin (dilakukan), bisa ditunaikan
oleh semua orang, dan diketahui olehnya dengan
pengetahuan yang bisa membawanya untuk melaksakan
beban tersebut”
16. Dari penjelasan ayat al-Qur’an maupun Kaidah
Fiqih tersebut, dapat disimpulkan bahwa HPI
menganut asas legalitas. ‘Isham Husainy
menyebutnya dengan :
“Mabda’us syar’iyyah al-jinaiyyah”
Beberapa perkataan ulama’ :
“Sesungguhnya hukum tidak bisa ditetapkan kecuali
berdasarkan nash, atau qiyas atas apa yang
disebutkan dalam nash”
17. “Tidak ada hukum untuk orang-orang yang berakal sebelum
datangnya syara’”
“Tidak ada kejahatan kecuali setelah adanya penjelasan, dan
tidak ada hukuman kecuali setelah adanya peringatan”
“Tidak ada kejahatan, dan tidak ada hukuman, kecuali dengan
(adanya) nash (yang mengaturnya)”
“Tidak ada kejahatan, dan tidak ada hukuman, kecuali dengan
(adanya) undang-undang (yang mengaturnya)”
18. Jadi, dalam HPI pemidanaan harus berdasarkan pada
nash “Nash HPI tidaklah bisa berlaku, kecuali
terhadap peristiwa yang terjadi setelah keluarnya nash
tersebut dan diketahuinya nash tersebut oleh manusia.”
Pertanyaannya : Apa yang disebut nash ?????
al-nushush al-syar’iyyah
“Yang dimaksud dengan nash-nash syara’ adalah (ketentuan
hukum) yang terdapat dalam Al-Qur'an dan Sunnah.”
Arti nash tersebut tidak harus tertulis (lege), namun
termasuk nash yang belum tertulis. Nash yang tertulis
dinamakan al-Qonun (Kodifikasi HPI melalui UU)
19. Bagaimana Analogi dalam HPI ???
Terdapat dua pendapat Ulama’ terkait berlakunya
analogi dalam HPI :
1. Pendapat mayoritas ulama (jumhur) Bila syarat-
syarat qiyas terpenuhi, maka qiyas diperbolehkan.
Syarat tersebut terkait dengan: Kasus yang ditetapkan
oleh nash (ashl), kasus yang baru akan ditentukan
hukumnya (far'u), sebab hukum ('illat), dan hukum
yang telah ditentukan oleh nash (hukm ashl).
2. Pendapat ulama madzhab Hanafi Qiyas dalam HPI
tidak diperbolehkan dan tidak bisa dijadikan dasar
pemidanaan. Pendapat ini diterapkan dalam Hukum
Pidana Mesir dan Syiria.
20. Persamaan dan Perbedaan Asas Legalitas dalam KUHP,
RKUHP dan HPI
Persamaan Baik KUHP, RKUHP maupun HPI, sama-
sama bersprinsip bahwa pemidanaan terhadap
seseorang harus didasarkan pada aturan hukum tertulis.
Perbedaan :
KUHP : Tidak mengakui eksistensi hukum tidak tertulis
RKUHP : Mengakui eksistensi hukum yang hidup dalam
masyarakat (hukum tidak tertulis)
HPI : Mengakui eksistensi hukum tidak tertulis asalkan
bersumber dari nash, baik al-Qur’an maupun as-Sunnah
22. Pengertian Asas Retroaktif
Retroaktif berasal dari hasa Latin “retroactus”
yang artinya “to drive back”.
Asas retroaktif adalah ajaran yang menyatakan
bahwa pemberlakuan ketentuan perundang-
undangan pidana secara surut.
Kontroversi karena bertentangana dengan asas
legalitas.
KUHP maupun RKUHP tidak
memperkenankan berlakunya asas retroaktif.
23. Pandangan Kontra atas Asas Retroaktif
Tidak ada kepastian hukum
(certainty of law).
Membuka peluang bagi rezim
penguasa untuk menggunakan
hukum secara sewenang-wenang.
Melanggar HAM
tersangka/terdakwa.
24. Pandangan Pro atas Asas Retroaktif
Memberikan perlindungan HAM korban (korban
langsung/tidak langsung) terhadap kejahatan
yang belum diatur dalam undang-undang
Social defence
Mengutamakan keadilan masyarakat dari pada
kepastian hukum Kolektivisme
Pemidanaan dengan melanggar asas legalitas
memang tidak adil, namun tidak menghukum
orang yang bersalah karena kejahatan yang
dilakukannya jauh lebih tidak adil Nurenberg
Trial
25. Kompromi Pro-Kontra atas Asas Retroaktif (1)
Asas legalitas tetap menjadi asas pokok
dalam hukum pidana.
Pemberlakuan asas retroaktif terbatas
pada kasus-kasus tertentu yang sangat
membahayakan bagi kepentingan
masyarakat Emergency exit
Kompromi semacam ini berlaku dalam
praktik hukum pidana internasional
26. Kompromi Pro-Kontra atas Asas Retroaktif (2)
Meskipun Statuta Roma melarang berlakunya asas
retroaktif, namun dalam praktiknya asas retroaktif tetap
diberlakukan terhadap kejahatan luar biasa (extra
ordinary crime) melalui Pengadilan HAM Internasional
ad hoc, misalnya Nurenberg Trial (Mahkamah Militer
Nurenburg) 1946, Tokyo Trial (Mahkamah Militer Tokyo)
1948, International Criminal Tribunal for The Former
Yugoslavia (ICTY) 1993 dan International Criminal
Tribunal for The Former Rwanda (ICTR) 1994.
Dibentuknya Pengadilan HAM Internasional ad hoc pada
beberapa kasus menunjukkan bahwa pemberlakuan asas
retroaktif bersifat kasuistik, yaitu tergantung kepada sifat
dan dampak kejahatan yang ditimbulkan.
27. Pemberlakuan Asas Retroaktif di Indonesia
Pasal 3 ayat (1) UU No. 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan Hak Asasi Manusia pelanggaran
HAM berat yang terjadi sebelum
diundangkannya Undang-undang ini, diperiksa
dan diputus oleh Pengadilan HAM ad hoc.
Pelanggaran HAM berat Kejahatan genosida
dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Pengadilan HAM ad hoc dibentuk atas usul DPR
berdasarkan peristiwa tertentu dengan
Keputusan Presiden Pelibatan masyarakat
29. Pengertian Asas Retroaktif
Asas legalitas adalah asas pokok dalam HPI,
sehingga hukum tidak boleh berlaku surut.
Namun dalam HPI ada pengecualian
terhadap ketentuan tersebut dalam hal-hal
tertentu.
Dalam sejarah penegakan HPI pernah terjadi
penerapan asas retroaktif, yaitu kasus qadzaf
dan hirabah .
30. Kasus 1 : Qadhaf (1)
QS an-Nur ayat 4 : “Dan orang-orang yang menuduh
wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka
tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah
mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan
janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-
lamanya. dan mereka itulah orang-orang yang fasik.”
Ayat ini diturunkan berkenaan dengan hadits al-ifk.
Hadits al-ifk adalah peristiwa di mana sekelompok orang
menuduh istri Rasulullah, ‘Aisyah, telah berbuat serong
dengan Shafwan bin Mu'athal ketika ia tertinggal
rombongan Rasul. Peristiwa ini mengegerkan umat Islam,
sehingga umat Islam kebingungan, ditimpa kesedihan
yang mendalam, dan bahkan akan saling bunuh.
Provokatornya bernama Abdullah bin Ubay.
31. Kasus 1 : Qadhaf (2)
Hadits al-ifk terjadi, kemudian turunlah QS
an-Nur ayat 4, dan orang-orang yang
menuduh zina (qadhaf) dikenai hukuman
berdasar ayat tersebut.
Hadits al-Ifk
(Kasus
Qodhaf)
QS. An-nur ayat 4
32. Kasus 2 : Hirabah (1)
QS. Al-Ma’idah ayat 33-34 : “Sesungguhnya pembalasan
terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-
Nya, dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah
mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan
kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari
negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu
(sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan
di akhirat mereka mendapatkan siksaan yang
besar….Kecuali orang-orang yang taubat (di antara
mereka) sebelum kamu dapat menguasai (menangkap)
mereka; Maka Ketahuilah bahwasanya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang”
33. Kasus 2 : Hirabah (2)
Suatu ketika sekelompok orang dari ‘Ukl atau ‘Urainah
datang ke Madinah.
Mereka sakit karena tidak cocok dengan iklim di
Madinah.
Rasulullah memerintahkan agar mereka menuju tempat
unta-unta dan berobat dengan meminum susu unta
tersebut.
Ketika telah sembuh, mereka ternyata membunuh
penggembala unta dan menggiring untanya pergi
bersama mereka.
Rasulullah menyuruh agar memburu mereka dan
tertangkap.
Turun QS. Al-Ma’idah ayat 33-34 dan Rasulullah
menghukumi mereka dengan ayat tersebut.
34. Kasus 2 : Hirabah (3)
Perampokan unta terjadi, kemudian
turunlah QS. Al-Ma’idah ayat 33-34 yang
dijadikan dasar untuk menghukum
pelakunya.
Kasus
Hirabah
QS. Al-Ma’idah ayat
33-34
35. Kesimpulan
Dalam HPI, asas retroaktif (al-atsar al-
qath’i/ al-atsar al-raj’i) merupakan
pengecualian asas legalitas, dan dapat
diterapkan dalam kondisi tertentu :
1. Kejahatan-kejahatan yang membahayakan
keamanan dan ketertiban umum. Contoh :
kasus hirabah
2. Dalam keadaan yang sangat diperlukan,
yaitu untuk kepentingan masyarakat.
Contoh : kasus qadhaf