1. MAKALAH
PELAYANAN INFORMASI OBAT
Hormon Replacement Therapy for Osteoporosis prevention
Disusun Oleh :
Suzan Astyamalia
10613266 / D
23
PROGRAM STUDI FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
YOGYAKARTA
2013
2. 2
TERAPI HORMON UNTUK PENCEGAHAN OSTEOPOROSIS
A. PENDAHULUAN
1. Epidemiologi
Osteoporosis adalah penyakit tulang yang ditandai dengan
berkurangnya massa tulang dan kerusakan jaringan tulang
microarchitectural, yang mengakibatkan peningkatan kerapuhan tulang
dan kerentanan terhadap fraktur. Akibat kehilangan kalsium tulang
menjadi berpori, tipis, rapuh dan mudah patah. Sehingga kerangka tubuh
lebih pendek dan bungkuk. Ini adalah masalah kesehatan masyarakat
yang utama, yang mempengaruhi sebagian besar penduduk >50 tahun.
Ini mengarah ke beban besar melalui peningkatan morbiditas dan
mortalitas yang terkait dengan patah tulang1
.
Istilah 'osteoporosis' ini pertama kali diperkenalkan di Perancis
dan Jerman pada abad ke-19. Yang berarti 'tulang keropos' dan awalnya
tersirat diagnosis histologis, namun kemudian disempurnakan yang
berarti tulang yang normal, tetapi dengan kuantitas yang kurang. Definisi
osteoporosis berdasarkan kepadatan mineral tulang (BMD) tidak mungkin
mencakup semua faktor risiko patah tulang1
.
Gejala klinis
a) Nyeri. Gejala awal tersering adalah nyeri pinggang tanpa
tanda-tanda sebelumnya, biasanya nyeri ini timbul sesudah
mengangkat barang berat. Sifat nyeri tersebut tajam atau
seperti terbakar, yang bertambah hebat bila bergerak
membungkuk, mengangkat beban lebih berat, melompat, atau
tanpa trauma sedikitpun. Keadaan ini menunjukkan adanya
fraktur kompresi pada korpus vertebra. Vertebra yang paling
sering terkena adalah T12 dan L1. Apabila tulang sembuh,
nyeri akan hilang, apabila masih ada nyeri, penyebabnya
spasme otot pada vertebra.
3. 3
b) Deformitas. Osteoporosis tidak menyebabkan deformitas pada
ekstremitas, kecuali bila ada fraktur. Deformitas kolumna
vertebralis akan terjadi sesudah episode fraktur kompresi yang
berulang- ulang. Terkadang deformitas muncul tanpa ada
nyeri pinggang yang nyata. Deformitas meliputi:
Penurunan tinggi badan, adanya fraktur kompresi ini
menyebabkan tinggi badan lansia dapat berkurang
beberapa sentimeter apabila proses tersebut mengenai
beberapa korpus vertebra;
Dorsal kifosis, kelainan ini muncul sebagai gejala khas
adanya proses osteoporosis spinal yang berlangsung
lama. Bila proses bertambah berat dan lama, kosta
bawah dapat bersentuhan dengan Krista iliaka.
c) Fraktur. Fraktur patologis pada ekstermitas dapat
menyebabkan deformitas. Tempat yang paling sering terkena
fraktur akibat esteoporosis adalah kolum femoris dan radius
distalis yang terjadi karena jatuh. Hal ini dapat dimengerti
karena pada lansia terjadi penurunan reflex keseimbangan2
.
Factor predisposisi Osteoporosis
1) Factor ras dan herediter
Osteoporosis lebih sering terjadi pada lansia wanita. Kelainan ini
juga lebih banyak ditemukan pada wanita berkulit putih dan wanita
Asia dibandingkan dengan wanita berkulit hitam. Hal ini dikaitkan
dengan puncak massa tulang yang dicapai pada usia 20-40 tahun
pada wanita. Puncak massa tulang ini lebih rendah dari pria. Wanita
berkulit putih dan Asia juga memiliki massa tulang yang lebih rendah
daripada wanita berkulit hitam.
2) Kurang aktivitas fisik atau imobilisasi
Telah diketahui bahwa imobilisasi tulang memberi efek yang
cukup besar terhadap homeostatis kalsium. Jika seseorang
memerlukan imobilisasi pada salah satu anggota tubuhnya, sering
terjadi osteoporosis pada tulang bersangkutan. Kajian yang dituliskan
oleh Donaldson dkk. (1970) serta Rambauan, Dietlein, Yogel dan
4. 4
Smith (1972) menyatakan bahwa seseorang yang sehat yang
menetap di tempat tidur selama 4-6 minggu akan kehilangan massa
tulang sebanyak 1% setiap minggu, sedangkan astronot yang berasa
dalam keadaan hampa udara dan tanpa beban akan kehilangan
sekitar 4% massa tulangnya perbulan. Berdasarkan hal ini, dapat
disimpulkan bahwa orang yang aktif secara fisik akan memiliki massa
tulang yang lebih tinggi daripada mereka yang tidak banyak
melakukan aktivitas fisik.
3) Factor nutrisi
Untuk mendapatkan dan mempertahankan massa tulang yang
adekuat, diperlukan makanan yang cukup mengandung kalsium.
Tubuh mengatur kadar ion kalsium dalam cairan ekstraselular
sedemikian rupa agar tetap berada dalam kadar yang optimal. Apabila
terjadi fluktuasi walaupun hanya sementara, system hormone yang
mengatur keseimbangan kalsium akan berupaya mengembalikannya
kekadar normal. Dengan bertambahnya usia, absorpsi kalsium pada
saluran makan bagian atas menjadi kurang efisien. Apabila kalsium
dalam diet kurang cukup, tubuh akan menggunakan kalsium dari
tempat cadangannya di system tulang. Jadi, jelas bahwa lansia
membutuhkan lebih banyak kalsium dalam dietnya.
4) Factor endokrin
Hormone yang menentukan massa tulang adalah hormone yang
mengatur kadar kalsium dalam plasma, misalnya hormone paratiroid,
kalsitonin, dan vitamin D; sedangkan yang lain mempengaruhi secara
tidak langsung, misalnya hormon estrogen, androgen, insulin, dan
tiroksin. Pada wanita, hormone estrogen merupakan penentu yang
penting untuk kepadatan tulang. Estrogen menyimpan kalsium dalam
tulang melalui cara: memberi kesempatan pada usus untuk menyerap
kalsium lebih banyak daripada makanan dan mencegah hilangnya
kalsium sehingga air seni tidak terlalu banyak membuang kalsium.
Penurunan estrogen akan meningkatkan aktivitas osteoklas
sehingga kalsium tulang menurun. Beberapa factor kebiasaan dan
lingkungan dapat mengakibatkan bertambahnya kehilangan massa
tulang. Merokok dan konsumsi alcohol yang tinggi dapat
5. 5
meningkatkan osteoporosis dua kali lipat. Obesitas merupakan factor
protektif pada wanita pascamenopause karena merupakan suatu
beban bagi vertebra dan peningkatan konversi androgen adrenal
dalam jaringan lemak menjadi estrogen2
.
2. Pengobatan
Estrogen menghambat hilangnya massa tulang terkait usia tulang
yang terjadi pada sebagian besar wanita setelah menopause. Observasi
internasional studi telah menunjukkan bahwa penggunaan terapi estrogen
mengurangi risiko patah tulang belakang oleh sekitar 50 % dan risiko
patah tulang pinggul sebesar 25- 30 %. Terapi estrogen bisa berupa pil
oral, serum atau dermal hormone estrogen (Estradiol, estron, dan estriol)
per oral rata- rata 5 mg/hari. Selain itu penggunaan bifosfonat dan
raloxifene, modulator reseptor estrogen selektif, telah terbukti
meningkatkan kepadatan tulang dan mengurangi tingkat patah tulang.
Dalam berkerut-aktivitas fisik dan asupan kalsium dan vitamin D juga
dapat membantu mengurangi risiko patah tulang karena osteoporosis3
.
Namun pada makalah ini akan dibahas lebih spesifik mengenai terapi
hormone estrogen dalam pencegahan osteoporosis.
B. TERAPI HORMON ESTROGEN
1. Estrogen dan Mekanisme
Hormone wanita terutama estrogen dapat mencegah osteoporosis
dengan cara menyimpan kalsium dalam tulang dengan menstimulus usus
menyerap lebih banyak kalsium dari makanan dan mencegah hilangnya
kalsium melalui air seni. Estradiol, estron, dan estriol merupakan estrogen
alamiah, yang adakalanya disingkat sebagai E2,E1 dan E3 sesuai jumlah
gugus OH dalam molekulnya. Estradiol memiliki daya estrogen terkuat
dan 2-5 kali lebih aktif daripada kedua hormone lainnya4
.
Estrogen terutama dihasilkan oleh ovaria sebanyak 2-25 mcg
sehari pada minggu pertama sampai 25-100 mcg di pertengahan siklus
6. 6
haid. Dalam jumlah lebih sedikit juga dibentuk oleh folikel dan corpus
luteum, testes dan anak ginjal (pria dan wanita). Plasenta membentuknya
dalam jumlah berlimpah, sampai 30 mg sehari pada bulan ke-9
kehamilan. Sesudah menopause produksi menurun sampai 5-10 mcg
sehari4
.
Secara oral dan dermal estrogen diabsorpsi dengan baik dan
cepat, juga secara vaginal. Tetapi FPE dalam hati sedemikian tinggi
hingga BA-nya rendah dan oral kurang aktif. Seperti hormone kelamin
lainnya hormone ini terikat pada protein- transport SHBG (Sex Hormone
Binding Globuline). Dalam hati hormone ini dirombak dengan pesat
menjadi metabolit yang kurang aktif, antara lain estron, estriol dan
glukuronida. Sebagian mengalami siklus enterohepatis. Ester Estradiol
dan estrogen non steroida lebih lambat inaktivasinya dalam hati dan
jaringan lainnya, maka kegiatannya lebih kuat daripada estradiol.
Ekskresinya berlangsung melalui kemih sebagai konjugat
glukuronidanya4
.
Pada osteoporosis menopausal, estrogen berdaya memulihkan
keseimbangan antara pembentukan dan perombakan sel- sel tulang yang
terganggu pada osteoporosis. Efeknya Nampak cepat, sesudah 6 bulan
ternyata massa tulang naik sedikit dan kehilangan tulang dihentikan.
Namun estrogen tidak boleh digunakan pada wanita hamil, pasien myoma
atau kanker serta pasien jantung dan pembuluh. Penggunaanya
hendaknya berhati- hati pada pasien diabetes, migraine dan hipertirosis4
.
2. Penggolongan Estrogen
Dalam terapi estrogen dibagi dua kelompok:
a. Steroida : estradiol, estron, dan estriol, derivate sintesisnya
etilestradiol, mestranol dan epimestrol (Stimovul)
b. Non-steroida : dietilstilbestrol, dienestrol dan fosfestrol
(Honvan)4
.
7. 7
3. Faktor Resiko
Sejumlah faktor risiko osteoporosis telah diidentifikasi dapat
meliputi:
- Faktor genetic (trauma fraktur)
- Factor lingkungan (merokok, inaktif fisik, diet rendah kalsium,
kurang terkena sinar matahari
- Status menstrual; menopause dini (<45 tahun) dan riwayat
amenorrhea
- Terapi obat; glukokortikoid (7,5 mg/ hari atau lebih prednisone
selama lebih dari 6 bulan, obat antiepilepsi (ex. Phenytoin),
antikoagulan (heparin, warfarin)
- Penyakit endokrin
- Penyakit hematologi
- Rheumatik5
.
Pengeroposan tulang dapat diperlambat atau bahkan dibalik jika
faktor risiko seperti kurang beraktivitas, diet rendah kalsium, dan
hyperparathyroidism-primer diidentifikasi dan terbalik. Sebuah report dari
National Osteoporosis Foundation menyimpulkan bahwa faktor-faktor
berikut yang berguna dalam mengidentifikasi perempuan pada risiko
patah tulang: berat badan rendah (<58 kg), Merokok, trauma patah
tulang, dan riwayat trauma rendah patah tulang. Faktor-faktor risiko
tersebut adalah yang umum dan mudah untuk memastikan 5
.
4. Efek Samping
Menurut penelitian sebelumnya, telah dilakukan uji pencegahan
osteoporosis dengan melakukan latihan hidup sehat dan teratur
berolahraga, terapi supplement kalsium, dan terapi pemberian hormone
estrogen-progesteron pada wanita postmenopause, yang memiliki massa
tulang rendah, dan terbukti dapat mengurangi penurunan massa tulang
dengan pemberian suplemen kalsium dan terapi hormone estrogen-
progesteron. Terapi hormone estrogen-progesteron lebih efektif daripada
pemberian supplement lain dalam penambahan massa tulang, tetapi
dapat menyebabkan efek samping yang berlebih6
.
8. 8
Adanya efek samping pada terapi hormone estrogen-progesteron
meliputi : gangguan tidur/ tidak bisa tidur (terapi 3 bulan), dyspareunia,
pendarahan vagina, dilasi dan curettage, serta gangguan pada payudara
(terapi lebih dari 6 bulan)6
.
Insiden kanker endometrial (0,1% per tahun pada wanita
postmenopause) meningkat dengan adanya administrasi estrogen. Tapi
resiko ini dapat dihilangkan dengan pemberian progestin. Pada wanita
yang memiliki riwayat keluarga kanker payudara dapat berakibat kanker
payudara. Sedangkan penggunaan jangka panjang estrogen ternyata
disisi lain dapat mengurangi iskemik pada jantung. Selain itu terapi
estrogen dapat berefek infark myocardial, fraktur dan kematian7
.
Informasi tentang efek terapi estrogen-replacement pada tingkat
patah tulang belakang pasca-menopause wanita terbatas. Dalam sebuah
studi satu tahun terapi estrogen transdermal pada 75 wanita
postmenopause dengan osteoporosis, risiko relativitas-tive patah tulang
belakang adalah 0,39 pada kelompok pengobatan dibandingkan dengan
kelompok plasebo. Ada juga peningkatan mineral massa tulang dari
lumbar tulang belakang dari 5,1 persen dan de-lipatan dalam pergantian
tulang, sebagaimana dinilai oleh penanda biokimia dan histomorfometri
tulang. Dalam sebuah studi utama pencegahan dari 100 wanita yang
menjalani ooforektomi bilateral dan yang diobati dengan mestranol atau
plasebo selama 6 sampai 12 tahun, tidak ada keropos tulang dari jari-jari
dan tulang metacarpal5
.
Bukti tambahan bahwa terapi estrogen mencegah patah tulang
berasal dari studi kohort prospektif. Misalnya, dalam Studi Osteoporotic
Fraktur, risiko relatif fraktur nonspinal adalah 0,66 pada wanita
pascamenopause yang mengambil estrogen dibandingkan dengan
mereka yang tidak mengambil estrogen. Efek menguntungkan dari terapi
pengganti estrogen lebih ditandai pada wanita yang memulai terapi dalam
waktu lima tahun setelah menopause, dan itu tidak terpengaruh oleh usia
atau terapi progestin5
.
9. 9
Terapi pengganti estrogen adalah pengobatan pilihan pertama,
karena dari pengalaman jangka panjang dan manfaat lainnya selain
mengobati osteoporosis. Perawatan yang diberikan setidaknya selama
lima tahun, dan lebih lagi, bisa-menyebabkan manfaat tidak dapat
bertahan setelah pengobatan dihentikan. Kepatuhan ditingkatkan dengan
diskusi rinci tentang risiko dan manfaat dari terapi estrogen, dengan
menggunakan preparat yang tidak menyebabkan perdarahan uterus
(kombinasi estrogen dan progestin terus menerus), dan respon
monitoring terhadap pengobatan5
.
C. KESIMPULAN
Osteoporosis merupakan penyakit tulang yang ditandai dengan
berkurangnya massa tulang dan kekurangan kalsium tulang. Upaya
pencegahan osteoporosis dapat dilakukan dengan olahraga teratur, terapi
hormone estrogen yang biasanya juga dipadukan dengan hormone
progestin untuk mencegah efek samping, pemberian suplemen kalsium,
vitamin D, bifosfonat dan raloxifene. Terapi hormone estrogen (. Estradiol,
estron, dan estriol) baik secara oral atau dermal merupakan pencegahan
dan pengobatan paling efektif karena estrogen dapat menyimpan kalsium
dalam tulang dengan menstimulus usus menyerap lebih banyak kalsium
dari makanan dan mencegah hilangnya kalsium melalui air seni serta
berefek cepat. Walaupun begitu memiliki efek yang berbahaya sampai
kematian tergantung faktor resiko yang dimiliki.
10. 10
DAFTAR PUSTAKA
1) Arden, Nigel, 2006, Osteoporosis, Malta, Remedica
2) Pudjiastuti, Sri S.,Budi Utomo 2003, Fisioterapi pada Lansia, Penerbit
Buku kedokteran:EGC, Jakarta
3) Joann G. Manson, P.H., and Kathryn A. Martin, 2001,
Postmenopausal Hormone-Replacement Therapy, The New England
Jounal of Medicine; 345 (1): 34- 40
4) Tjay, Tan Hoan., Kirana Rahardja, 2007, Obat-obat Penting : Khasiat,
Penggunaan dan Efek-efek Sampingnya Edisi kelima, PT Elex Media
Komputindo, Jakarta
5) Richard Gastell, 1998, Treatment of Postmenopausal Osteoporosis:
Drug Therapy, The New England Journal of Medicine;338(11): 736-
746
6) Richard L. Prince, Margaret Smith, F.R.A.C.O.G.,Ian M. Dick, Roger
I.P., Peter Garcia W., N. Kathryn H., 1991, Prevention of
Postmenopausal Osteoporosis, The New England Jounal of Medicine;
325(17): 1189-1195
7) Lawrance Riggs B., L. Joseph Melton, 1992, The Prevention and
Treatment of Osteoporosis: Drug Therapy, The New England Jounal
of Medicine; 327(9): 620-627