Artikel Opini yang Berjudul : "Yudisium" merupakan tulisan yang telah diterbitkan oleh Harian Singgalang Sumatera Barat pada tanggal 12 Desember 2019 bertepatan dengan Wisuda Sarjana & Magister IAIN Bukittinggi
Modul Ajar Biologi Kelas 11 Fase F Kurikulum Merdeka [abdiera.com]
Yudisium Bukan Jaminan Sukses
1. YUDISIUM
Dr. SUPRIADI, M.Pd
(Dosen IAIN Bukittinggi)
Untuk anak-anakku, wisudawan/wati IAIN Bukittinggi, tanggal 12 Desember 2019:
“Seseorang tidak akan sampai pada kesempurnaan (Maturasi) diri,
bila dalam dirinya masih ada anggapan aku adalah ini”
(Rabi‟ah Al-„Adawiyah)
Yudisium merupakan kata serapan yang berarti penentuan nilai (lulus) ujian sarjana
lengkap di perguruan tinggi (KBBI, 2019). Istilah ini sering didengar di kalangan perguruan
tinggi, terutama di saat wisuda sarjana. Pada saat itu, IPK dan yudisium dibacakan sebagai
tolak ukur peringkat yang diraih mahasiswa selama menjalankan pendidikan di lembaga
tersebut.
Yudisium tidak muncul begitu saja dan tanpa arti, ia adalah sebuah kebanggan atas
jerih payah dan keseriusan belajar yang telah dilakukan selama menjalankan perkuliahan.
Yudisium adalah prestise tersendiri bagi wisudawan, bagaimana tidak, karena yudisium, IPK
dan masa studi adalah hal yang berbanding lurus, tidak akan ditemukan wisudawan yang
menghabiskan waktu lama dalam kuliah dan dengan nilai rendah akan memiliki yudisium
baik.
Namun yang perlu diingat oleh wisudawan adalah bahwa yudisium sangat penting, tapi
yudisium saja tidaklah cukup. Kenyataan membuktikan bahwa yudisium bukanlah jaminan
seorang sarjana, ketika kembali ke masyarakat dan dunia kerja, akan mendapat tempat di hati
masyarakat dan dunia kerja tersebut. Banyak sarjana dengan yudisium terbaik, tidak diterima
oleh masyarakat dan dunia kerja. Ada apa?
Bagi dunia kerja, khususnya pada era Revolusi Industri 4.0 yang berlangsung saat ini,
agaknya ukuran penerimaan tenaga kerja baru, bukan saja kemampuan profesional di bidang
kesarjanaannya, akan tetapi sejumlah kecakapan hidup (life skill) yang mesti juga menjadi
atribut yang harus dikuasai seorang sarjana.
Kebijakan Surat Keterangan Pendamping Ijazah (SKPI) bagi lulusan perguruan tinggi,
dalam konsep Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI), adalah bentuk nyata dari
pengakuan publik bahwa seorang sarjana harus dilengkapi dengan sejumlah kecakapan dan
pengalaman riil yang tertuang dalam surat keterangan. Hal ini membuktikan bahwa seorang
sarjana di samping diberikan ijazah, juga diberikan sejumlah surat keterangan yang
menerangkan tentang kecakapan lain yang dikuasai sang sarjana.
Nah...dapat dibayangkan, bagaimana sekiranya seorang sarjana yang telah mendapat
ijazah, namun minim SKPI. dunia kerja pasti akan memandang sebelah mata, dan pada
gilirannya sewaktu melamar pekerjaan, saat seleksi admnistrasi saja sudah akan tersisih, bila
pengalaman yang dibuktikan dengan surat keterangan tersebut minim atau bahkan tidak
dimiliki sama sekali.
Saat dikaitkan antara pertanyaan di awal tentang masih banyak sarjana yang tidak
diterima oleh masyarakat dan dunia kerja dengan sarjana yang minim Surat Keterangan
Pendamping Ijazah (SKPI), agaknya inilah yang penulis maksud tadi dengan yudisium
2. terbaik saja tidak cukup menjamin seorang sarjana sukses mendapatkan pekerjaan yang
layak.
Kualitas VS Proses Perkuliahan
Tidak sama dengan SLTA, dunia mahasiswa adalah dunia kemandirian, mandiri dalam
hal belajar, disiplin, pengelolaan waktu dan tanggung jawab pada diri sendiri serta mandiri
dalam kehidupan, seperti mengelola keuangan, memenej kehidupan, bahkan hingga memasak
sendiri. Bagi yang pandai, ini akan menjadikan sebab kesuksesan dalam kuliah, tapi bagi
yang tidak pandai, ini menjadi biang kegagalan kuliah.
Berbagai aktivitas mesti digeluti sewaktu jadi mahasiswa, mulai dari mengikuti kuliah
tatap muka, praktikum, magang dan sebagainya. Di samping juga menggembleng diri dengan
kegiatan ekstrakurikuler, belajar menjadi pemimpin, mengelola konflik, memanajemen orang
lain, hingga belajar mengelola keuangan. Hal ini harus dilakukan agar memiliki sejumlah
keahlian manajerial untuk digunakan kelak di dunia kerja.
Pengalaman-pengalaman praktis inilah kemudian yang menjelma ke dalam Surat
Keterangan Pendamping Ijazah (SKPI) tadi, sehingga mahasiswa dengan banyak kegiatan,
adalah mahasiswa yang memiliki sederetan prestasi yang akan dijelaskan oleh SKPI tersebut,
dan dunia kerja akan melihat itu sebagai potensi yang menguntungkan bagi mereka.
Jangan menjadi mahasiswa 4K, karena mahasiswa 4K adalah mahasiswa yang dalam
kesehariannya, hanya berkutat pada: Kuliah, Kafe, Kos dan Kampung semata. tanpa mau
menambah dan mencari keterampilan lain di luar itu. kegiatan ekstrakurikuler dianggapnya
mengganggu kenikmatan tidur siang, seminar dan diskusi dianggapnya penyebab sakit
kepala, berorganisasi dianggapnya menghabiskan umur dan uang, berdebat dianggapnya
menghabiskan energi, dan sebagainya... dan sebagainya.
Mahasiswa tipe ini, cendrung pragmatis, tidak mau pusing dan dipusingkan oleh urusan
orang banyak, mereka merasa sudah berada di zona nyaman, padahal sebuah kekeliruan,
karena sebenarnya, saat yang tepat untuk memproses diri adalah saat-saat jadi mahasiswa,
dengan mengikuti berbagai kegiatan ekstrakurikuler sebanyak mungkin, namun tidak
melupakan tugas wajib dalam perkuliahan.
Hari Jumat selalu dinanti, kesal bila masih ada kuliah sampai sore, berpantang tidak
pulang kampung dan kalau dapat Seninnya tidak ada kuliah, sehingga bisa berlama-lama di
kampung. Kafe adalah tempat menghabiskan waktu paling tepat, sekaligus tempat
menghabiskan uang belanja paling cepat, apalagi keberadaan di kafe kampus sudah diberangi
dengan mentraktir si doi dan teman-teman.
Jangan jadi Sarjana ½ Matang
Pantun lama: “Berburu ke Padang Datar, dapat rusa belang kaki, Berguru kepalang ajar,
bagaikan bunga kembang tak jadi”, sangat tepat menggambarkan kondisi ini. Sarjana ½
matang yang penulis maksud di sini adalah sarjana yang tidak menjadikan prodi yang
dipilihnya adalah bagian profesionalitasnya.
Banyak contoh yang dapat dilihat untuk menyatakan kondisi ini, seperti; ada sarjana
keguruan, tapi masih kaku dan kikuk dalam kelas, ada sarjana komputer tapi tidak pandai
mengotak-atik komputer, ada sarjana bahasa Inggris atau Arab tapi tak mampu bercakap
Inggris/Arab, ada sarjana komunikasi tapi tak mampu berkomunikasi, dan yang lebh
mengkhawatirkan ada sarjana PAI tapi tak menguasai Al-Quran dan Hadits, dan lain
sebagainya.
Keterampilan utama yang menjadi keunggulan suatu program studi yang dipilih, harus
menjadi target utama dalam penguasaan dan itu merupakan modal profesional yang tidak
dapat diabaikan oleh sarjana. Sarjana ½ matang tidak boleh terjadi, karena sesungguhnya itu
adalah yudisium yang sebenarnya dan pada gilirannya akan menjadi presedent buruk bagi
perguruan tinggi.