REFLEKSI MANDIRI_Prakarsa Perubahan BAGJA Modul 1.3.pdf
Makna konteks Surah Al-lail Dalam Tafsir Al-Misbah
1. Makna konteks Surah Al-lail Dalam Tafsir Al-Misbah
Zahra Zakiya1
, Sri Wahyu Ningsih2
, Nopri Febriyanti3
, Ulil Abror4
1,2,3,4
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Prodi Pendidikan Bahasa Arab, Universitas
Jambi
Jl. Jambi - Muara Bulian No.KM. 15, Mendalo Darat, Kec. Jambi Luar Kota, Kabupaten
Muaro Jambi, Jambi
Email : zhrzky@gmail.com, swhyn976@gmail.com, febriyantinopri@gmail.com,
Abrorulil5@gmail.com
Abstrak
Surah Al-lail merupakan surah yang ke-9 dari segi urutan turunnya. turun sesudah
surah Sabbihisma dan sebelum surah al-Fajr; ayat-ayatnya berjumlah 21 ayat.
Rumusan masalah dari penelitian ini adalah berfokus pada makna konteks surah
Al-lail dalam Tafsir Al-Mishbah karya M. Quraish Shihab. Dengan tetap
mengedepankan esensi makna Al-qur’an dan tidak merubahnya sedikit pun.
Sehingga waktu malam yang dijelaskan bahwa merupakan gambaran keburukan
dan siang adalah waktu kebaikan. Jadi siang dan malam ada perbedaan-perbedaan
dalam menyebut perbuatan Allah. Oleh karena itu Orang yang Senantiasa
melakukan sifat mahmudah itu seperti hari yang cerah dan menenangkan.
Sedangkan Orang yang melakukan sifat mazmumah itu bagaikan malam yang
gelap dan menakutkan. Hasil penelitian yang disajikan penulis merupakan hasil
yang apa adanya, tanpa mengurangi atau menambah esensi makna Al-qur’an yang
telah dikaji oleh pengarang Tafsir Al-Mishbah karya M. Quraish Shihab. Dan juga
Surah ini mengandung uraian tentang kemuliaan orang-orang mukmin dan
keutamaan amal-amal mereka dan bahwa Allah menuntun mereka ke arah
kebajikan.
Kata kunci :1Tafsir Al-Misbah, surah Al-Lail
Ayumi Hasnah5,Muhammad Mubarak6,Eki Turnando7, Annuri Putri Dupa8, Sintia Meilinda9,
Nadia Ramayanti10,Dita Susmi Zulpayani11
2. PENDAHULUAN
Al-Qur’an yang secara harfiah
berarti “bacaan sempurna”
merupakan suatu nama pilihan Allah
yang sungguh tepat. Tidak ada
bacaan melebihi al-Qur’an dalam
perhatian yang diperolehnya, bukan
saja sejarahnya secara umum, tetap
ayat-ayatnya, mulai dari dari masa,
musim, dan saat turunnya, sampai
sebab-sebab beserta waktu-waktu
turunnya. H.A.R. Gibb seorang
orientalis pernah menulis bahwa:
“Tidak ada seorang pun dalam seribu
lima ratus tahun ini telah memainkan
“alat” bernada nyaring yang sangat
mampu, berani dan luasnya getaran
jiwa yang diakibatkan, seperti yang
dibaca Muhammad (al-Qur’an)”.
Keindahan bahasanya demikian
terpadu dalam al-Qur’an, ketelitian
maupun keseimbangannya dengan
kedalaman makna kekayaan dan
kebenarannya, serta kemudahan
pemahaman dan kehebatan kesan
yang ditimbulkannya.
Menjadi suatu keniscayaan bagi
umat Islam bahwa di setiap zaman
akan muncul sosok pembaharu yang
menawarkan solusi-solusi cerdas
dalam rangka memajukan umat
Islam. Kemunculannya merupakan
suatu keniscayaan atas perubahan
pola pikir manusia terhadap
problematika hidup yang dilaluinya.
Kemunculan sosok pembaharu
dalam dunia Islam, sebagian besar
terinspirasi oleh kedudukan al-Quran
sebagai panduan umat Islam yang
salih likulli zaman wal makan. Fakta
inilah yang kemudian melahirkan
para penafsir al-Quran yang
kemunculannya tidak lepas dari latar
belakang mengomentari dan
memberi solusi atas problematika
sosial yang dihadapinya. Pemahaman
dan penafsiran al-Quran yang
kemudian menghasilkan karyakarya
tafsir juga tidak bisa lepas dari latar
ideologis yang diyakini seorang
Mufasir. Terkait dengan proses
memahami dan menafsirkan al-
Quran, dalam bentangan sejarah
telah memunculkan banyak sarjana
Muslim yang konsep dalam bidang
tafsir, baik dari masa klasik ataupun
masa modern. Dari itulah kemudian
muncul gagasan, metode, corak
tafsir, yang kesemuanya didasari atas
kegelisahannya dengan problematika
tafsir dan sosial lingkungan yang
dihadapi oleh para Mufasir.
Salah satu yang menarik
dalam hal kajian tafsir kontemporer
di Nusantara adalah Tafsir Al-
3. Mishbah karya M. Quraish Shihab.
Tafsir yang merupakan karya
mounumental salah satu ulama
masyhur di Indonesia – bahkan dunia
– ini cukup menarik untuk dikaji.
Karena dalam tafsir Al-Mishbah,
selain mengulas secara apik hal-hal
yang bersifat tekstualis, tafsir ini juga
mengedepankan rasionalitas al-
Quran. Hal lain yang menjadi
menarik untuk dikaji dalam tafsir al-
Mishbah adalah sisi lokalitas dengan
beragam rujukannya. Tulisan ini
akan menelaah dan menganalisa
tafsir al-Mishbah karya Quraish
Shihab, yang berfokus kepada makna
konteks dalam surah Al-lail yang
merupakan surah ke-9 dari segi
urutan turunnya. turun sesudah surah
Sabbihisma dan sebelum surah al-
Fajr; ayat-ayatnya berjumlah 21 ayat.
Mayoritas ulama berpendapat
bahwa ayat-ayat surah ini turun
sebelum Nabi saw. berhijrah ke
Madinah. Sebagian ulama lainnya
mengemukakan riwayat yang
menyatakan bahwa ayat 5 sampai 7
turun menyangkut sahabat Nabi saw.
Abu ad-Dahda’ al-Anshari. Ia
membeli pohon kurma yang tadinya
buahnya yang berjatuhan dimakan
oleh beberapa anak seorang muslim
yang papa. Tetapi pemiliknya yang
munafik melarang bahkan merampas
buah-buah itu dari tangan mereka.
Sang muslim mengadu kepada Nabi
saw., dan Nabi menawarkan kepada
pemilik kebun untuk bersedekah dan
akan didoakan memperoleh gantinya
di surga. Sang pemilik tetap enggan
dan akhirnya dibeli oleh sahabat
Nabi, Abu ad-Dahda’ itu. Peristiwa
ini — menurut riwayat tersebut —
terjadi setelah Nabi saw. berhijrah ke
Madinah.
Hemat penulis, kalaupun
riwayat ini diterima, maka itu bukan
berarti bahwa peristiwa itu terjadi
menjelang turunnya surah ini, tetapi
artinya bahwa peristiwa itu
merupakan salah satu yang dicakup
maknanya oleh ayat-ayat di atas.
Memang, salah satu arti Sabab Nuzul
suatu ayat adalah tercakupnya satu
peristiwa atau lebih dalam
kandungan hukum atau uraian ayat
tersebut, baik peristiwa itu terjadi
sebelum turunnya ayat dimaksud
maupun sesudahnya, selama masih
dalam periode turunnya wahyu.
Namanya sebagaimana tercantum
dalam banyak Mushhaf dan kitab
tafsir adalah surah al-Lail. Ada juga
yang menulisnya surah Wa al-Lail
atau menamainya persis sebagaimana
bunyi awal ayatnya.
4. Surah ini mengandung uraian
tentang kemuliaan orang-orang
mukmin dan keutamaan amal-amal
mereka dan bahwa Allah menuntun
mereka ke arah kebajikan, demikian
juga sebaliknya terhadap para
pendurhaka. Menurut al-Biqa‘i
tujuan utama surah ini adalah
penjelasan tentang maksud surah
yang lalu asy-Syams Wa Dhuhaha
yaitu pengendalian sempurna
terhadap jiwa melalui pembuktian
kuasa-Nya dengan perbedaan
manusia dalam aktivitasnya, padahal
tujuan mereka sama yakni meraih
kelezatan syahwat perut dan seks
serta apa yang menjadi dampaknya
berupa kesenangan. Namanya al-Lail
(malam) merupakan bukti yang
sangat jelas dengan hal tersebut
yakni dengan memperhatikan
sumpah dan informasi yang hendak
dikuatkan oleh sumpah itu.
METODE PENELITIAN
Pada penelitian ini penulis
menggunakan metode penelitian
deskriptif kualitatif. Metode
penelitian deskriptif kualitatif
Menurut Sugiyono (2016:9) metode
desjriptif kualitatif adalah metode
penelitian yang berdasarkan pada
filsafat postpositivisme digunakan
untuk meneliti pada kondisi objek
yang alamiah (sebagai lawannya
adalah eksperimen) dimana peneliti
adalah sebagai instrument kunci
teknik pengumpulan data dilakukan
secara tringulasi (gabungan), analisis
data bersifatt induktif/kualitatif dan
hasil penelitian kualitatif lebih
menekankan makna daripada
generalisasi.
Pada penelitian ini penulis
memahami dan menelaah makna
konteks pada surah Al-lail dalam
Tafsir Al-Mishbah karya M. Quraish
Shihab. Dengan tetap
mengedepankan esensi makna Al-
qur’an dan tidak merubahnya sedikit
pun. Hasi penelitian yang disajikan
penulis merupakan hasil yang apa
adanya, tanpa mengurangi atau
menambah esensi makna Al-qur’an
yang telah dikaji oleh pengarang
Tafsir Al-Mishbah karya M. Quraish
Shihab.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dalam Tafsir Al-Mishbah
karya M. Quraish Shihab, penjelasan
surah al-lail berada di setelah surah
as-syams.
AYAT 1-4
5. َ
و
َ
الل
ْي
َ
ل
َ
ا
َ
ذ
َ
اَي
َ
ْغ
ش
ى
َ
.
َ
َ
َ
قلاَخمَو.َىلجاَتذَاارهالنو
َ
َىتشَلْمٌكْيعَسنَإ.َىثْنٌألْاَوركالذ
.
“Demi malam apabila menutupi dan
siang apabila terang benderang, dan
penciptaan laki-laki dan perempuan
sesungguhnya usaha kamu, sungguh
berbeda-beda”
Pada surah yang lalu –asy-
Syams Wa Dhuhaha- dijelaskan
keadan siapa yang menyucikan dan
mengembangkan jiwanya serta yang
memendap potensi positifnya dengan
melakukan kedurhakaan. Dari sini
dipahami bahwa manusia berbeda-
beda dalam usahanya menyusuri
jalan kebaikan atau keburukan.
Sebagian mereka dikuasai oleh siang
(terangnya) peunjuk dan sebagian
lainnya oleh malam (gelapnya)
kesesatan dan dengan demikian,
mereka berada dalam tujuan dan
sumber mereka. Nah setelah dalam
surah yang lalu Allah bersumpah
tentang kuasa-Nya – dalam hal
kebajkan dan keburukan. Hal ini
untuk membuktikan kesempurnaan
kuasa-Nya. Dia yang membatasi
anara seseorang dengan hatinya
sehingga Dia mengarahkannya untuk
mencapai maksud-Nya Demikian
lebih kurang Al-Biqa’i
menghubungkan surah ini dengan
surah sebelumnya.
Apapun hubungannya yang
jelas melalui ayat-ayat di atas Allah
bersumpah: Demi malam apabila
menutupi sedikit demi sedikit alam
sekeliling dengan kegelapannya dan
demi siang apabila terang benderang
karena memancarnya sinar matahari,
sehingga menampakkan dengan jelas
apa yang remang dan tersembunyi,
dan demi penciptaan laki-laki dan
perempuan jantan dan betina serta
setiap makhluk yang berkembang
biak, sesungguhnya usaha kamu
sebagaimana perbedaan malam dan
siang begitu pula lelaki dan
perempuan itu, sungguh berbeda-
beda. Ada yang bermanfaat ada juga
yang merusak, ada yang berdampak
kebahagiaan dan ada juga
kesengsaraan, Ada yang mengantar
ke surga dan ada juga ke neraka.
Kata ) )الليل al-lail pada
mulanya dari segi bahasa berarti
hitam, karena itu malam, rambut
(yang hitam) dinamai Lail. Malam
adalah “waktu terbenamnya matahari
sampai terbitnya fajar.” Ada juga
yang memahami malam dimulai
setelah terbenamnya matahari yang
ditandai dengan hilangnya mega
merah di ufuk timur, hingga terbitnya
fajar. Malam yang demikian panjang,
bertingkat-tingkat kepekatan
6. hitamnya, demikian juga siang
dengan kejelasannyl. Ini
mengisyaratkan juga tingkat-tingkat
amalan manusia — yang baik dan
yang buruk. Ada yang mencapai
puncak —kebaikan atau keburukan
— dan ada juga yang belum atau
tidak mencapainya. Dengan
demikian, pada malam dan siang pun
terjadi perbedaan-perbedaan,
sebagaimana yang hendak
ditekankan dengan bersumpah
menyebut perbuatan-perbuatan Allah
itu.
Rujuklah ke QS. asy-Syams
[91]: 3-4 untuk memahami lebih
banyak tentang kandungan makna
ayat pertama dan kedua di atas. Ayat
di atas menyebut ( )اليل al-lail/ malam
terlebih dahulu baru an-nahar/siang,
berbeda dengan surah asy-Syams,
karena surah ini turun sebelum surah
itu, bahkan surah ini merupakan
salah satu dari sepuluh surah yang
pertama turun. Pada masa itu
kegelapan kufur masih sangat pekat,
walau cahaya iman sudah mulai
menyingsing. Surah ini — dengan
mendahulukan penyebutan malam —
bermaksud mengisyaratkan hal itu.
Dapat juga dikatakan bahwa
kegelapan malam yang disebut
terlebih dahulu karena memang
malam mendahului siang. Planet-
planet tatasurya diliputi oleh
kegelapan sampai dengan terciptanya
matahari. Itu juga sebabnya sehingga
perhitungan penanggalan dimulai
dengan malam. Demikian lebih
kurang Ibn ‘Asyur.
Allah swt. melalui ayat-ayat
di atas menggugah hati dan pikiran
manusia untuk memperhatikan alam
raya serta dirinya sendiri. Mengapa
terjadi perbedaan-perbedaan itu?
Tentulah ada yang mengaturnya
sehingga malam dan siang silih
berganti dalam bentuk yang sangat
teratur, lagi tepat dan serasi. Lihat
juga kepada perbedaan jantan dan
betina seperti disinggung oleh ayat di
atas, yaitu: ( َخلق وما
َ
َواألنثى الذكر ) wa
ma khalaqa adz-dzakara wa al-
untsa. Sayyid Quthub menulis:
“Jantan dan betina dikenal pada
manusia dan semua binatang
mamalia. Kedua jenis ini pada
mulanya adalah nuthfah di dalam
rahim, dari satu pertemuan antara sel
kelamin dan indung telur. Mengapa
hasilnya berbeda? Ada laki-laki
(jantan) dan ada yang perempuan
(betina)? Siapa yang memerintahkan
ini menjadi jantan dan itu betina?
Menemukan faktor-faktor yang
menjadikannya ini atau itu J^elum
7. dapat menyelesaikan persoalan,
karena masih timbul pertanyaan,
yakni mengapa di sini faktor-faktor
itu yang terpenuhi dan di sana faktor-
faktor ini yang terpenuhi? Apakah itu
kebetulan? Mustahil ia kebetulan
karena kebetulan pun mempunyai
ketentuan-ketentuan yang
menjadikan hal-hal di atas menjadi
kebetulan. Jika demikian, pasti ada
Pencipta Yang Maha Kuasa Yang
mengatur dan men^tapkannya.”
Demikian lebih kurang Sayyid
Quthub.
Kata ()سعي sa’y pada
mulanya digunakan dalam arti
berjalan dengan cepat walau belum
sampai pada tingkat berlari. Makna
ini berkembang sehingga ia diartikan
juga dengan upaya sungguh-
sungguh. Makna inilah yang
dimaksud oleh ayat di atas.
Kata ( شتى ) syatta adalah
bentuk jamak dari kata (شتيت ) syatit
yang terambil dari kata ( الشت ) asy-
syatt yaitu keterpencaran yang sangat
jauh. Yang dimaksud di sini adalah
perbedaan yang menonjol dalam
berbagai hal, sifat dan kondisi.
AYAT 5-7
َ.َىْنسُحْلاَبقدصَو.َىقَاتىَوطْعَأْناَممأف
.ىْرسُيْلَُلهُرسيُنسف
“Maka adapun orang yang memberi
dan bertakwa serta membenarkan
(adanya) yang terbaik, maka kelak
Kami akan memudahkan baginya
kemudahan.”
Ayat-ayat yang lalu
menguraikan perbedaan usaha
manusia. Ayat di atas memberi
contoh sekaligus menjelaskan
dampak perbedaan itu. Memang
dampaknya harus berbeda, karena
tidak mungkin Allah Yang Maha
Adil itu mempersamakan dampak
dua perbuatan yang bertolak
belakang.
Dapat juga Anda berkata
seperti diuraikan oleh Sayyid
Quthub, bahwa dalam kehidupan
dunia ini, usaha manusia bermacam-
macam dan berbeda-beda dalam
substansi, motivasi dan arahnya,
berbeda juga dampak dan h asil-
hasilnya. M anusia dalam hidup ini
berbeda perangai dan kecenderungan
mereka, pandangan dan perharian
mereka sampai-sampai seakan-akan
setiap manusia memiliki dunia
tersendiri dan hidup di planet ter sen
diri, namun demikian ada hakikat
lain yang juga berkaitan dengan
manusia yang diuraikan oleh ayat-
ayat di atas, dan mencakup semua
perbedaan-perbedaan itu, yakni
8. bahwa semua perbedaan itu
dirangkum oleh dua kelompok yang
berbeda dengan dua sifat yang
bertolak belakang. Yang pertama
diuraikan oleh ayat-ayat 5 dan 6 dan
kelompok kedua yang diuraikan oleh
ayat 8-9.
Apapun hubungan ayat ini
dengan ayat yang lalu, yang jelas
ayatayat di atas bagaikan
menyatakan: Jika demikian
keragaman amal perbuatan manusia
maka adapun orang yang memberi
dengan ikhlas apa yang dalam
genggam an tangan dan
kemampuannya serta aneka
kewajiban yang dipikulnya, atau
mengeluarkan harta dalam bentuk
zakat dan semacamnya dan dia
bertakwa yakni berupaya
menghindari sanksi Ilahi dengan
melaksanakan perintah-Nya serta
menjauhi larangan-Nya serta
membenarkan adanya kesudahan
yang terbaik antara lain kemenangan,
ganjaran atau surga yang dijanjikan
Allah, maka kelak kami yakni Allah
bersama makhluk-makhluk yang Dia
tugaskan akan memudahkan baginya
kemudahan yakni Kami akan
menyiapkan untuknya aneka jalan
yang mengantarkannya kepada
kemudahan dan ketenangan dengan
mengarahkannya kepada jalan
kebaikan.
Kata ( نيسر ) nuyassir
terambil dari kata ( يسر ) yusr yang
berarti mudah. Sementara ulama
memahami kata tersebut di sini
dalam arti menyiapkan, karena
sesuatu yang disiapkan dengan baik
menghasilkan kemudahan. Ada juga
yang memahaminya sesuai dengan
makna asalnya yakni memudahkan
tetapi dengan makna kami mudahkan
kemudahan baginya. Ini memberi
makna kemudahan berganda, karena
sesuatu yang telah mudah, masih
dimudahkan lagi.
Kata ( الحسن ) al-husna adalah
bentuk mu’annats (feminin) dari kata
( أحسن) ahsan/yang terbaik. Kata ini
menyifati sesuatu yang tidak disebut
secara tersurat. Karena itu ulama
berbeda pendapat tentang maknanya.
Ada yang memahaminya dalam arti
kalimat yang terbaik yaitu kalimat
syahadat (La llaha Ilia A.llah
Muframmad(un) Rasulullah). Ada
juga yang memahaminya mastubah
(ganjaran) yang terbaik, atau
‘aqibah (kesudahan) yang terbaik,
dan tentu saja salah satu di antaranya
adalah surga.
Huruf ( س ) sin yang berada
di depan kata ( نيسره ) nayassiruhu
9. ada yang memahaminya dalam arti
kelak atau di masa datang yang
dekat. Ada lagi yang memahaminya
dalam arti pasti. Sementara ulama
lain menjelaskan bahwa maksudnya
adalah untuk melemahlembutkan dan
memperhalus uraian, yakni dia bukan
sesuatu yang bersifat pasti tetapi
boleh jadi mengandung makna selain
yang dimaksud. Ia bagaikan sesuatu
yang halus dan lemah sehingga
mudah diubah. Lawannya adalah
mempertebal dan mempertegas.
Yang dimaksud di sini adalah bahwa
kemudahan yang dijanjikan ini akan
terjadi saat ini juga tetapi dengan
adanya huruf sin itu, maka di sini
diisyaratkan bahwa kemudahan bisa
juga tidak terjadi sekarang, tetapi di
masa datang yang dekat.
Rasul saw. bersabda bahwa:
“Tidak ada satu jiwa pun kecuali
Allah telah menetapkan tempatnya di
surga atau neraka.” Para sahabat
bertanya: “Apakah tidak sebaiknya
kita berserah saja kepada apa yang
telah ditetapkan Allah itu?” Nabi
saw^ menjawab: “(Tidak), Bahkan
beramallah, karena semua
dipermudah menuju ke(arah) ia
diciptakan. Kalau dia termasuk
kelompok yang berbahagia, maka dia
akan dipermudah melakukan
amalanamalan kebahagiaan, dan
kalau dia termasuk kelompok yang
celaka, maka dia akan dipermudah
melakukan amalan-amalan
kecelakaan.” Rasul saw. kemudian
membaca ayat-ayat di atas (HR.
Bukhari, Muslim dan lain-lain
melalaui Ali Ibn Abi Thalib ra.)
Anda jangan salah paham,
sebagaimana sahabat-sahabat itu
pada mulanya salah paham. Ayat di
atas menunjukkan bahwa sebelum
Allah mempermudah menelusuri
jalan kebahagiaan atau kecelakaan,
seseorang terlebih dahulu
disyaratkan untuk melakukan
sesuatu. Kemudahan yang diberikan
Allah itu bersyarat dengan
pengamalan manusia yang dalam
konteks ayat di atas adalah memberi
dan bertakwa serta membenarkan
adanya yang terbaik. Kalau ini telah
dilakukan, maka Insya Allah
kemudahan yang dijanjikan akan
diperoleh.
AYAT 8-11
َ.َىْنسُحْلاَببذكَو.َىنْغْتسَاَولخَبْناَممأو
َ
َو.َىْرسُعْلَُلهُرسيُنسف
َ
م
ُيَا
َ
ْغ
َ
ن
يَع
َ
ْن
َ
ُه
َ
َ
م
َ
ُلا
َ
ُه
َ
َ
إ
َ
ذ
َا
َ
ت
َ
ر
َ
د
.َى
“Dan adapun orang-orang yang
bakhil dan merasa dirinya cukup
serta mendustakan yang terbaik,
10. maka kelak Kami akan memudahkan
baginya kesukaran dan tidak
berguna baginya hartanya apabila ia
telah bianasa.”
Setelah ayat-ayat yang
menjelaskan dampak baik yang
diraih siapa yang memberi dan
bertakwa, kini dijelaskan lawannya.
Ayat-ayat di atas menyatakan: Dan
adapun orang-orang yang bakhil
yakni kikir, enggan memberi
terutama yang wajib diberinya dan
merasa dirinya cukup tidak
membutuhkan sesuatu sehingga
mengabaikan orang lain atau
mengabaikan tuntunan Allah dan
Rasul-Nya serta mendustakan
kalimat, atau kesudahan yang
terbaik, maka kelak Kami akan
memudahkan baginya kesukaran
yakni Kami akan menyiapkan
baginya aneka jalan untuk menuju
kepada hal-hal yang
menganJiarkannya kepada kesulitan
dan kecelakaan yang abadi, dan tidak
berguna baginya hartanya apabila ia
telah binasa.
Kata ()ما ma pada ayat 11 di
atas dapat juga dipahami dalam arti
apakah yakni: A pakah berguna
baginya hartanya yang dia kikir
mengeluarkannya itu saat kebinasaan
menimpanya? sama sekali tidak!
Ayat-ayat di atas dah ayat-
ayat sebelumnya dapat juga dipahami
sebagai perintah untuk melakukan
aneka aktivitas yang bermanfaat dan
menghindari yang tidak bermanfaat,
serta beramal sesuai dengan tuntunan
Allah dan Rasul-Nya, kemudian
menyerahkan persoalan-persoalan
gaib, seperti balasan dan ganjaran
kepada Allah swt. Ini serupa dengan
perintah untuk mencari rezeki, yang
dituntut dari kita adalah berusaha
sekuat kemampuan, lalu
menyerahkan hasil usaha itu kepada
Allah swt. Jangan sekali-kali
(nengandalkan nasib dalam
memperoleh rezeki, karena perolehan
rezeki, serta kegagalan
memperolehnya sering kali berkaitan
dengan upaya Anda.
Kata ( ترد ) taradda terambil
dari kata ( )الردى ar-rada yakni
kebinasaan. Kata ini digunakan juga
dalam arti jatuh meluncur ke bawah.
Memang, siapa yang ditimpa murka
Allah, maka dia telah jatuh meluncur
ke bawah (baca QS. Thaha [20]: 81).
Sepanjang pengamatan
penulis, al-Qur’an tidak
menggunakan kata harta dalam
bentuk tunggal persona ketiga
11. (maluhu) kecuali enam kali, lima di
antaranya dalam konteks kecaman,
yaitu QS. al-Baqarah [2]: 264, Nub
[71]: 21, al-Humazah [104]: 3, al-
Lahab [111]: 2 dan ayat di atas; dan
hanya sekali dalam konteks pujian,
yakni terhadap siapa yang
menyerahkan secara tulus hartanya
itu kepada yang butuh yaitu ayat 18
surah ini.
AYAT 12-13
.َىوَْلُ ْ
األَوةرآلَخْلاَلنَلنإَو.َىُدهْلاَلْنيلَعنإ
“Sesungguhnya atas Kamilah
petunjuk dan sesungguhnya hanya
kepunyaan Kamilah akhirat dan
dunia”
Setelah ayat-ayat yang lalu
menegaskan keragaman kegiatan dan
dampak amal manusia, yang
mengantatnya kepada kebahagiaan
atau kesengsaraan, ayat di atas
menjelaskan bahwa sebenarnya
Allah tidak membiarkan mereka
tanpa bimbingan, dan dengan
demikian kesengsaraan yang dialami
oleh para pendurhaka adalah karena
kesalahan mereka sendiri, karena
sesungguhnya atas diri Kamilah saja
petunjuk yakni Allah mewajibkan
atas diri-Nya serta sesuai dengan
kehendak-Nya sendiri memberi
petunjuk dan penjelasan tentang
amal-amal yang berdampak baik dan
berdampak buruk. Itu telah
terlaksana melalui para rasul yang
diutus-Nya dan juga dengan
menganugerahkap masing-masing
manusia akal pikiran serta potensi
untuk beramal, karena itu siapa yang
mengabaikannya maka dia sendiri
yang memikul akibat
kesengsaraannya. Dan sesungguhnya
hanya kepunyaan Kami-lah akhirat
dan dunia serta segala yang
berkaitan dengan kehidupan pada
kedua alam itu, sehingga siapa
menginginkan salah satu atau
keduanya, maka kelirulah ia jika
mencari pada selain Kami.
Kata ()على ‘ala apabila
diletakkan antara noun dan kata yang
menunjuk suatu aktivitas, maka ia
berarti kewajiban. karena itu ayat di
atas dipahami dalam arti Allah
mewajibkan atas diri-Nya, walaupun
tentu saja kewajiban itu ditetapkan-
Nya atas dasar rahmat dan kasih
sayang-Nya kepada makhluk.
Di dahulukannya kata ( لألخرة
) li al-akhirah atas ( األولى ') al-ula
karena kaum musyrikin tidak
mempercayai adanya akhirat. Ayat di
atas menjelaskan dengan sangat
gamblang bahwa segala yang
12. berkaitan dengan kehidupan dunia
adalah miHk Allah. Demikian pula
dengan kehidupan akhirat. Dia yang
mengendalikan keduanya melalui
hukum-hukum yang ditetapkan-Nya
berlaku pada masing-masing alam
dunia dan akhirat itu. Dalam QS. al-
Isra’ [17]: 18-20 ditegaskan-Nya
bahwa:
َ
م
َْن
َ
ك
َ
ان
َ
ُي
َ
ر
ْي
َ
ُد
َ
َ
ْلا
َ
ع
َ
اَج
َ
ل
َ
ة
َ
ع
َ
ج
َ
ْل
َ
ن
َ
اَل
َ
ُه
َ
َ
ف
ْي
َ
ه
ا
َ
َ
م
َا
َ
ن
ش
آ
َُء
َ
َ
ل
َ
م
َْن
َ
َ
ُن
َ
ر
ْي
َ
ُد
َ
َ
ُث
َ
م
َ
َ
ج
َ
ع
َ
ْل
َ
ن
ا
َ
َ
َجُهل
َ
ه
َ
ن
َ
م
َ
َ
ي
َْص
َ
ل
َ
ه
َ
اَم
َ
ْذ
َُم
َْو
َ
َ
م
َ
اَم
َ
ْد
َُح
َْو
َ
ر
ا
َ
َو,
َ
م
َْن
َ
َ
أ
َ
ر
اد
َ
َْ
ال
َ
خ
َ
ر
َ
ة
َ
َ
و
َ
َ
س
َ
ع
َ
ىَل
َ
ه
َ
اَس
ْع
َ
ي
َ
ه
َا
َ
و
َ
ُه
َ
و
َ
َُم
َْؤ
َ
م
ٌَن
َ
َ
ف
َ
ُأ
َْو
َ
ل
َ
ئ
َ
ك
َ
ك
َ
ان
َ
َ
س
ْع
ُي
َُه
َْم
َ
َ
م
َ
ْش
َ
ُك
َْو
َ
ر
َ
ُكَ,ا
ًَ
ل
َ
ُنَ
َ
م
َ
د
َ
َ
ه
َُؤ
َ
ل
َ
ء
َ
َ
م
َْن
َ
ع
َ
ط
آ
َ
ء
َ
َ
ر
َ
ب
َ
ك
َ
َ
و
َ
م
اَك
َ
ان
َ
ع
ض
َ
ط
آ
َُء
َ
َ
ر
َ
ب
َ
ك
َ
َ
م
َْح
َ
ُظ
َْو
َ
ر
َا
“Barang siapa yang menghendaki
kehidupan sekarang, maka Kami
segerakan baginya di sini apa yang
Kami kehendaki. Kemudian kami
tenykan baginya neraka Jahannam;
ia akan memasukinya dalam keadaan
tercela dan terusir. Dan barang
siapa yang menfhendaki kehidupan
akhirat dan berusaha kea rah itu
dengan sungguh-sungguh sedang ia
adalah mukmin, maka mereka itu
adalah orang-orang yang usaha
mereka disyukuri. Kepada masing-
masing baik yang ini maupun yang
itu Kami berikan anugrah dari
kemurahan Tuhanmu ”
Yang dimaksud dengan
kehendak Allah dalam firman-Nya
pada ayat 18 QS. al-Isra’ ini (Kami
segerakan baginya di sini apa yang
Kami kehendaki) adalah hukum-
hukum alam dan sebab-sebab yang
telah ditetaf>kan-Nya untuk
perolehan sesuatu. Ini berarti siapa
pun yang berkehendak untuk meraih
kenikmatan duniawi, maka ia akan
memperolehnya sejalan dengan
persesuaian upayanya dengan
hukum-hukum dan sebab-sebab yang
menjadi kehendak Allah itu,
Demikian juga yang menghendaki
kebahagiaan hidup ukhrawi.
AYAT 14-16
َ
ف
َ
أ
َ
ْن
َ
ذ
َْر
َ
ُت
َ
ُك
َْم
َ
َ
ن
َ
ار
َ
اَت
َ
ل
َ
ظ
َ
َل.َى
َ
َي
َْص
َ
ل
َ
ه
َا
ىقْش ْ
َاأللإ
َ
َ.
.َىلوتَوبذىَكذال
“Maka Aku memperingatkan kamu
dengan api yang meyala-nyala.
Tidak ada yang masuk ke dalamnya
kecuali orang yang paling celaka,
yang mendustakan dan berpaling. ”
Setelah ayat yang lalu
menjelaskan kepemilikan Allah yang
mutlak terhadap dunia dan akhirat,
maka terhadap mereka yang selama
ini durhaka, Allah memperingatkan
bahwa jika demikian itu apa yang
telah Kami lakukan untuk memberi
13. petunjuk kepada kamu dan demikian
itu pula kuasa Kami di dunia dan di
akhirat, maka Aku secara langsung
memperingatkan kamu wahai para
pendurhaka yang menyimpang dari
tuntunan-Ku dengan api yang sangat
besar yakni neraka yang terus-
menerus menyala-nyala. Tidak ada
yang masuk ke dalamnya untuk
merasakan siksanya dan kekal di
sana kecuali orang yang paling atau
lebih celaka dari yang lain yaitu,
yang mendustakan kebenaran dan
berpaling dari tuntunan.
Kata ( األشقى ) al-asyqa/yang
paling atau yang lebih celaka adalah
bentuk superlatif dari kata ( شقي )
syaqiyy. Bentuk ini terkadang
dipahami sebagaimana makna
aslinya. Bila demikian maka
ancaman ini berarti yang
bersangkutan masuk dan kekal di
dalamnya, adapun yang tidak sampai
dalam batas paling celaka maka dia
bisa saja tidak kekal di dalamnya.
Ada juga yang memahami kata
tersebut dalam arti yang celaka.
Memang tidak jarang bahasa
menggunakan bentuk kata superlatif
tanpa memaksudkan makna tersebut.
Thabathaba’i menulis bahwa
yang dimaksud dengan al-asyqa
adalah yang lebih celaka, dalam hal
ini adalah orang kafir secara umum.
Yakni yang mendustakan kebenaran
dan berpaling dari tuntunan, kaiena
yang bersangkutan lebih celaka dari
sekadar yang celaka di dunia. Siapa
yang ditimpa kesulitan dalam harta
atau badannya atau anaknya, maka
dia dapat dinilai celaka dan merugi.
Tetapi yang ditimpa kecelakaan di
akhirat, maka dialah yang lebih
celaka, karena kecelakaannya
langgeng tidak berakhir, tidak seperti
kecelakaan-duniawi itu. Dengan
penafsiran ini tertolaklah pandangan
yang menyatakan bajawa yang
sekadar fasiq atau durhaka, yakni
yang tidak mencapai peringkat paling
celaka, maka dia tidak akan masuk
ke neraka. Demikian Thabathaba’i .
Sayyid Quthub tidak
mempersoalkan kata al-asyqa, karena
sejak semula ulama ini telah
menyatakan bahwa al-asyqa/yang
paling celaka adalah hamba Allah
yang masuk ke neraka itu, karena
tidak ada lagi kecelakaan yang
melebihi kecelakaan masuk ke
neraka.
AYAT 17-21
ىكزتَيُهاَلَم ْيتْؤُيَىذَال.َىقْت ْ
اَاألُهبنُجيسو
َ
َامَو.
َ
ُتٍَةْمعَنْنَُمهدْنَعٍدحأل
َْج
َ
ز
َ
َإ.َى
َ
ل
َاب
ء
َ
ت
َ
غ
آ
َ
ء
َ
َ
و
َْج
َ
ه
َ
َ
ر
َ
ب
َ
ه
َ
َْ
األ
َ
ْع
َ
ل
َ
َو.َى
َ
ل
َ
س
َْو
َ
ف
َ
َ
ي
َْر
َ
ض
.َى
14. “Dan akan dijauhkan darinya orang
yang paling takwa yang
memanfaatkan hartanya untuk
membersihkan, padahal tidak ada
seorang pu di sisinya (yang
memberikan) suatu nikmat kepada-
Nya yang (harus) dibalasnya, tetapi
karena mencari keridhaan Tuhannya
Yang Maha Tinggi. Dan kelak dia
benar-benar dia akan ridha.”
Setelah ayat yang lalu
menguraikan keadaan yang
mendusatakan kebenaran dan
berpaling dari tuntunan, bahwa dia
akan dibakar di neraka, ayat-ayat di
atas menguraikan siapa yang
terhindar dari penyiksaan. Allah
berfirman: Dan akan dijauhkan
darinya yakni dari api yang
berkobar-kobar itu orang yang
paling takwa yakni yang memelihara
dirinya dari kemusyrikan dan
kemaksiatan. Dia adalah yang
menafkahkan hartanya di jalan Allah
untuk membersihkan hartanya dan
mengembangkannya dengan harapan
pelipatgandaan ganjaran di akhirat
nanti. Dia menafkahkan harta itu dan
bersedekah buat orang lain padahal
tidak ada seorang pun di sisinya
yang memberikan suatu nikmat
duniawi kepada-Nya yang harus atau
wajar dibalasnya, tetapi dia
memberikan itu semata-mata karena
mencari keridhaan Tuhannya Yang
Maha Tinggi. Dan kelak dia benar-
benar dia akan ridha yakni
memperoleh kepuasan dengan
meraih lebih dari apa yang
diidamkannya.
Banyak ulama berpendapat
bahwa ayat ini turun menyangkut
Sayyidina Abu Bakar ra. yang ketika
itu membeli Bilal Ibn Rftbafr yang
kemudian menjadi Muadzin Rasul
saw. — membelinya dari Umayyah
Ibn Khalaf yang sering kali
menyiksanya. Ketika itu Sayyidina
Abu Bakar menebus Bilal ra. dengan
harga yang sangat mahal, maka ada
yang berkata bahwa tebusan itu
disebabkan karena memang Bilal
mempunyai jasa yang besar terhadap
Abu Bakar ra. Ini yang dibantah oleh
ayat 19-20.
Sementara ulama menjadikan
ayat ini khusus berbicara tentang
Sayyidina Abu Bakar ra., tetapi
pendapat yang lebih tepat adalah
menjadikannya bersifat umum,
mencakup semua yang menyandang
serta melakukan apa yang diuraikan
ayat-ayat di atas dan tentu saja salah
satu yang paling utama termasuk di
dalamnya adalah Sayyidina Abu
Bakar ra. yang menggunakan seluruh
15. hartanya untuk kepentingan
mendukung Rasulullah saw dan
dakwah Islamiah.
Wajah adalah bagian yang
termulia dari sesuatu dan yang
menunjuk identitasnya. Anda dapat
mengenal seseorang yang terbuka
wajahnya walau tertutup semua
badannya, dan tidak kalau
sebaliknya. Karena itu wajah
diartikan dengan d^at atau diri
sesuatu, dan itulah menurut banyak
ulama dewasa ini makna kalimat
wajhu Rabbika/wajah Tuhan-Mu.
Thabathaba’i memahami
kalimat itu dalam arti sifat-sifat-Nya
yang mulia yang merupakan
perantara antara diri-Nya dan
makhluk-Nya. Dengan sifat-sifat itu
Allah menurunkan buat mereka
aneka keberkatan dan kebajikan
seperti penciptaan, pengaturan dan
pengendalian seperti ilmu, Qudrah,
rahmat, magfirah, rezeki dan lain-
lain.
Awal surah ini menampilkan
aneka sumpah untuk menekankan
bahwa usaha manusia bermacam-
macam. Akhirnya pun berbicara
tentang hal tersebut sambil
menampilkan contoh dari salah satu
usaha manusia yang paling terpuji,
yakni menafkahkan hartanya guna
meraih keridhaan Allah swt.
Demikian bertemu awal uraian surah
ini dengan akhirnya. Maha Benar dan
Maha serasi firman-firman Allah.
Demikian, Wa Allah A ‘lam
KESIMPULAN
Tafsir Al-Mishbah karya M.
Quraish Shihab. merupakan karya
tafsir mounumental salah satu ulama
masyhur di Indonesia – bahkan dunia
dalam tafsir Al-Mishbah, selain
mengulas secara apik hal-hal yang
bersifat tekstualis, tafsir ini juga
mengedepankan rasionalitas al-
Quran. yang menjadi menarik. tafsir
al-Mishbah adalah sisi lokalitas
dengan beragam rujukannya. tafsir
al-Mishbah karya Quraish Shihab ini
berfokus kepada makna dalam surah
Al-lail yang merupakan surah ke-9
dari segi urutan turunnya. turun
sesudah surah Sabbihisma dan
sebelum surah al-Fajr; ayat-ayatnya
berjumlah 21 ayat.
Secara konteks, makna dari
surah Al-lail dalam tafsir Al-misbah
karya M. Quraish Shihab yakni
waktu malam yang dijelaskan bahwa
merupakan gambaran keburukan dan
siang adalah waktu kebaikan. Jadi
siang dan malam ada perbedaan-
perbedaan dalam menyebut
16. perbuatan Allah. Oleh karena itu
Orang yang Senantiasa melakukan
sifat mahmudah itu seperti hari yang
cerah dan menenangkan. Sedangkan
Orang yang melakukan sifat
mazmumah itu bagaikan malam yang
gelap dan menakutkan.
Kemudian Menurut M.
Quraish Shihab di dalam kitab Tafsir
Al-Mishbah, Sumpah adalah
ungkapan atau perkataan untuk
menyakinkan penyataann tersebut
dengan menyebut nama Allah sebaga
sarana mengingat betapa besar
kekuasaan Allah di langit Ataupun di
bumi.
DAFTAR PUSTAKA
Shihab, M.Q. 2002. Tafsir Al-
Misbah:Pesan, Kesan dan
Keserasian Al-Qur’an. Lentera
Hati. Jakarta.
Berutu, Ali geno. Tafsir Al-Misbah
https://osf.io/9vx5y/download
Bahri, S. 2016. Peran Al-Siyaq
(Konteks) dalam Menentukan
Makna. Ittihad Jurnal
Kopertais Wilayah XI
Kalimantan 14(26): 86-98.