Ringkasan dokumen tersebut adalah:
1. Penelitian menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi penyakit kusta di Kabupaten Bireuen tahun 2013 dengan menggunakan pendekatan kasus kontrol dan melibatkan 86 responden.
2. Hasil analisis menunjukkan bahwa pendidikan rendah, perilaku hidup bersih dan sehat yang buruk, riwayat kontak dengan penderita kusta, dan kepadatan penduduk berpengaruh signifikan terhadap
Toko Jual Alat Bantu Penis Ikat Pinggang 081388333722 Cod Surabaya
JURNAL DETERMINAN PENYAKIT KUSTA_SRI WAHYUNI.pdf
1. 1
DETERMINAN PENYAKIT KUSTA DI KABUPATEN BIREUEN
TAHUN 2013
Sri Wahyuni 1
, Rahayu Lubis 2
, Hiswani 2
1
Alumni Program Pascasarjana IKM FKM – USU, Medan
2
Staf Pengajar IKM FKM – USU, Medan
ABSTRACT
Indonesia is still a country with the largest number of people affected by leprosy in the
world. Aceh Province ranks the eighth in the finding of new case in leprosy at the Case Detection
Rate (CDR) of 12.5 per 100,000 inhabitants. The prevalence of leprosy in Bireuen District in
2013 was 12 per 100,000 inhabitants. The objective of the research was to find out the
determinant of leprosy in Bireuen District, in 2013.
The research used case control design; the samples consisted of 86 respondents who were
divided into 43 cases and 43 controls. The data were analyzed by using univatriat analysis,
bivatriat analysis with chi square test, and multivatriat analysis with multiple logistic regression
tests, as well as by calculating population attributable risk (PAR).
Based on the result of bivatriat analysis, it was found that the variables which influenced
the incidence of leprosy were education (OR = 10.09; 95% CI = 3.68-27.62), history of old
contact (OR = 7.93; 95% CI = 1.65-38.06), PHBS (OR = 6.49; 95% Ci = 2.36-17.81), population
density (OR = 3.34; 95% CI = 1.34-8.31), and the area of home ventilation (OR = 2.77; 95% CI
= 1.11-6.89). Based on the result of multiple logistic regression tests, it was found that the
variables which influenced the incidence of leprosy were education (OR = 8.87; 95% CI = 10.75-
34.27), PHBS (OR = 7.57; 95% CI = 4.42-13.13), history of old contact (OR = 4.95; 95% CI =
4.95; 95% CI = 1.23-7.86), and population density (OR = 2.41; 95% CI = 1.24-2.15). Low level
of education, bad PHBS, history of old contact with leprosy sufferers, and population density
would probably the cause of being affected by leprosy at 77%.
It is recommended that the Health Service of Bireuen District increase their effort to find the case
actively and implement chase survey (a survey for finding leprosy sufferers by asking people to
participate). It is also recommended that puskesmas personnel play their role in providing
counseling about health in order to improve people education in preventing from leprosy.
Keywords: Determinant, Leprosy, Case Control
PENDAHULUAN
Penyakit kusta masih merupakan
masalah kesehatan pada 55 negara di dunia,
sekitar 16 negara terbanyak di dunia dimana
negara kita, Indonesia termasuk urutan ke tiga,
dibawah India dan Brazil. Badan Kesehatan
Dunia WHO (World Health Organization)
telah mengeluarkan strategi global untuk terus
berupaya menurunkan beban penyakit kusta
dalam: ”Enhanced global strategy for futher
reducing the disease burden due to leprosy
2011 – 2015”; dimana target yang ditentukan
adalah penurunan sebesar 35% kusta pada
akhir tahun 2015 berdasarkan data tahun
2010. Dengan demikian, tahun 2010
merupakan tonggak penentuan pencapaian
target tersebut (Depkes, 2008).
Pada tahun 2012 dilaporkan terdapat
16.123 kasus baru kusta, terdiri dari kasus tipe
Multi Basiler sebanyak 13.268 kasus dan tipe
Pausi Basiler sebanyak 2.855 kasus dengan
Newly Case Detection Rate (NCDR) sebesar
6,6 per 100.000 penduduk. NCDR tahun 2012
relatif lebih kecil dibandingkan 5 tahun
sebelumnya.
Direktorat Jenderal Pengendalian
Penyakit dan Penyehatan Lingkungan telah
menetapkan 33 provinsi di Indonesia ke dalam
2 kelompok beban kusta, yaitu provinsi
dengan beban kusta tinggi (high endemic) dan
beban kusta rendah (low endemic). Provinsi
2. 2
dengan high endemic jika NCDR > 10 per
100.000 penduduk, sedangkan low endemic
jika NCDR < 10 per 100.000 penduduk,
terdapat sebanyak 13 provinsi (39,4%) yang
termasuk dalam beban kusta tinggi yaitu
Maluku Utara, Papua Barat, Maluku, Papua,
Gorontalo, Sulawesi Utara, Sulawesi Barat,
Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Aceh,
Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa
Tenggara Timur. Sebanyak 20 provinsi
lainnya (60,6%) termasuk dalam beban kusta
rendah. Hampir seluruh provinsi di bagian
timur Indonesia merupakan daerah dengan
beban kusta tinggi (Depkes, 2012).
Penularan kusta secara jelas masih
belum diketahui, tetapi sebagian besar dari
penelitian menyimpulkan bahwa penularan
utama kusta yaitu melewati saluran
pernapasan dan kulit, namun perlu kontak
yang akrab dan lama dengan penderita kusta
hingga dapat terinfeksi penyakit kusta
(Depkes RI, 2007). Berdasarkan penelitian
tentang distribusi sumber penularan penderita
kusta yang dirawat di Instalasi Rawat Inap
Penyakit Kulit dan Kelamin RSU Dr.
Soetomo Surabaya periode 2003 hingga 2005
adalah dari 608 sampel, yang diantaranya 21,4
persen mempunyai riwayat kontak dengan
penderita kusta lainnya baik orang serumah,
tetangga maupun teman, sedangkan 78,6
persen penderita kusta yang tidak ada riwayat
kontak atau tidak diketahui. Hanya sebagian
orang yang dapat terinfeksi oleh bakteri kusta
setelah kontak dengan penderita lain karena
adanya imunitas dari tubuh masing-masing
orang. Banyaknya kasus kusta di daerah
endemik yang terjadi tanpa adanya kontak
langsung dengan penderita kusta
memungkinkan adanya sumber penularan di
luar manusia seperti lingkungan dan hewan
yang dapat menyebabkan kejadian kusta
(Dharmashanti dkk, 2006).
Berdasarkan Report of the
International Leprosy Association Technical
Forum di Paris pada 22-28 Februari 2002
dilaporkan adanya M.leprae pada debu, air
untuk mandi dan mencuci di rumah penderita.
Perlunya kondisi fisik rumah yang memenuhi
syarat kesehatan agar dapat mencegah
penyebaran M.leprae di lingkungan. Kondisi
fisik rumah mencakup jenis bahan bangunan
rumah dan lokasi rumah seperti jenis dinding,
lantai dan atap. Jenis bahan bangunan rumah
akan mempengaruhi peresapan air dan jumlah
debu dalam rumah. Menurut Ehler dan Steel
sanitasi sebagai pencegahan penyakit dengan
cara menghilangkan atau mengawasi faktor-
faktor lingkungan yang berkaitan dengan mata
rantai perpindahan penyakit. Sanitasi rumah
yang perlu ditingkatkan untuk mencegah
penyebaran bakteri kusta antara lain
pengadaan jamban rumah tangga yang sehat,
sarana air bersih yang memenuhi syarat,
sarana pembuangan limbah, ventilasi dan
pencahayaan yang baik serta kepadatan
hunian yang sesuai (Norlatifah,dkk, 2010).
Kondisi masyarakat berperilaku hidup
bersih dan sehat adalah faktor penting yang
berpengaruh terhadap status kesehatan
penduduk disuatu daerah, karena selain
kondisi lingkungan yang buruk, perilaku
merupakan faktor yang mempunyai kontribusi
besar terhadap derajat kesehatan masyarakat
di suatu daerah. Dari data Bidang
Pengembangan Sumber Daya Manusia
Kesehatan Dinas Kesehatan Kabupaten
Bireuen menunjukkan bahwa dari pendataan
PHBS yang dilakukan di 36 Desa pada tahun
2012 (kondisi Desember) menunjukkan bahwa
terjadi masalah yang signifikan terhadap
perilaku hidup bersih dan sehat pada
masyarakat. Disamping itu kondisi kesehatan
lingkungan di Kabupaten Bireuen masih
belum menggembirakan yang ditunjukkan dari
indikator rumah sehat baru mencapai 57%.
Penduduk yang memanfaatkan jamban
keluarga sebesar 65%, rumah yang
mempunyai saluran pembuangan air limbah
baru mencapai 44% serta keluarga yang
mempunyai akses terhadap air bersih baru
mencapai 47% serta tempat-tempat umum
yang memenuhi syarat kesehatan sebesar
53%. Kondisi ini berkaitan erat dengan
berbagai masalah penyakit seperti Kusta dan
penyakit menular lainnya (Profil Dinkes
Kabupaten Bireuen, 2012).
Prevalensi penderita kusta di
Kabupaten Bireuen setiap tahunnya
berfluktuasi, pada tahun 2008 terdapat
prevalensi sebesar 8 per 100.000 penduduk,
pada tahun 2009 meningkat menjadi 12 per
100.000 penduduk, pada tahun 2010
prevalensi penderita kusta sebesar 11 per
100.000 penduduk, kemudian meningkat pada
3. 3
tahun 2011 yaitu sebesar 17 per 100.000
penduduk dan pada tahun 2012 sebesar 12 per
100.000 penduduk. Berdasarkan data yang
diperoleh pada 18 wilayah kerja Puskesmas di
Kabupaten Bireuen, terdapat angka penemuan
kasus penyakit kusta pada bulan Januari -
Desember tahun 2013 sebanyak 46 kasus atau
prevalensi sebesar 12 per 100.000 penduduk.
Hal ini menunjukkan bahwa penyakit kusta
masih menjadi masalah kesehatan dan masih
sangat berpotensi terhadap penularan penyakit
di Kabupaten Bireuen. Berdasarkan latar
belakang tersebut maka rumusan masalah
dalam penelitian ini adalah faktor apa saja
yang menjadi determinan penyakit kusta di
Kabupaten Bireuen Tahun 2013.
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian yang digunakan
adalah penelitian observasional analitik
dengan pendekatan kasus kontrol. Studi
analitik ini adalah riset epidemiologi yang
bertujuan untuk memperoleh penjelasan
tentang determinan penyakit kusta. Sedangkan
pendekatan pada kasus kontrol (case control)
yaitu mengidentifikasi kasus terlebih dahulu,
disusul dengan mengidentifikasi kontrol.
Pengumpulan data dilakukan secara
retrospektif atau menelusur ke belakang yang
mengalami kusta, membandingkan antara
kejadian pada kelompok kasus (penderita
kusta) dan kelompok kontrol (tidak
mengalami kusta) berdasarkan status paparan
faktor risikonya.
Penelitian dilaksanakan di Kabupaten
Bireuen Provinsi Aceh dan waktu penelitian
dimulai dari Maret sampai Juli 2014
Populasi kasus adalah semua penderita
kusta di Kabupaten Bireuen tahun 2013.
Populasi kontrol adalah semua yang bukan
penderita kusta di Kabupaten Bireuen tahun
2013. Berdasarkan perhitungan, maka jumlah
sampel minimal kasus sebanyak 43 orang.
Pada penelitian ini, perbandingan kasus dan
kontrol adalah 1:1 dengan besar sampel kasus
sebanyak 43 orang dan kontrol sebanyak 43
orang, total keseluruhan sampel penelitian ini
adalah sebanyak 86 orang.
Kerangka konsep penelitian terdiri
dari variabel bebas yaitu faktor internal
(pendidikan, pengetahuan, vaksinasi BCG dan
riwayat kontak lama) dan faktor eksternal
(PHBS, kepadatan hunian, luas ventilasi
rumah dan penghasilan keluarga). Sedangkan
variabel terikat adalah Penyakit Kusta.
Data yang dikumpulkan meliputi data
primer dan data sekunder. Data primer
diperoleh melalui kuesioner dan data sekunder
diperoleh dari profil Dinas Kesehatan Provinsi
Aceh dan profil Dinas Kesehatan Kabupaten
Bireuen dan bahan bacaan yang relevan
dengan tujuan penelitian.
Metode Analisis Data
1. Analisa Univariat
Analisis univariat dilakukan untuk
memperoleh gambaran tentang distribusi
frekuensi masing-masing variabel bebas
meliputi faktor internal dan faktor eksternal
dan variabel terikat yaitu penyakit kusta.
Analisis univariat disajikan dalam bentuk
tabel distribusi frekuensi.
2. Analisa Bivariat
Analisis bivariat digunakan untuk
melihat pengaruh antara variabel bebas (faktor
internal dan eksternal) dengan variabel terikat
(penyakit kusta) dengan menggunakan uji chi-
square pada tingkat kepercayaan 95%, dan
untuk menentukan ukuran risiko
menggunakan Odds Ratio (OR).
3. Analisa Multivariat
Analisis multivariat adalah untuk
melihat pengaruh beberapa variabel bebas
secara bersama-sama terhadap penyakit kusta
sehingga diketahui variabel bebas yang paling
dominan pengaruhnya terhadap penyakit kusta
dengan menggunakan regresi logistik
berganda (logistic binary regression).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaruh Faktor Internal terhadap
Terjadinya Penyakit Kusta
a. Pengaruh Pendidikan terhadap Penyakit
Kusta
Hasil analisis bivariat antara variabel
pendidikan dengan penyakit kusta
menunjukkan pengaruh yang bermakna.
Berdasarkan hasil uji statistik chi-square
diperoleh OR sebesar 10,09 (95% CI= 3,68-
27,62), menunjukkan bahwa orang yang
menderita kusta 10,09 kali kemungkinan
berpendidikan rendah dibanding dengan yang
tidak menderita kusta.
4. 4
Hasil penelitian ini sejalan dengan
hasil penelitian Norlatifah,dkk (2010) bahwa
pendidikan mempunyai hubungan yang
bermakna terhadap penyakit kusta, peluang
orang dengan pendidikan rendah tertular kusta
4,19 kali lebih besar dibandingkan dengan
pendidikan tinggi (p = 0,002; OR= 4,191;
95% CI = 1,682 - 10,444).
b. Pengaruh Pengetahuan terhadap Penyakit
Kusta
Berdasarkan hasil uji chi-square
dalam penelitian ini menunjukkan bahwa
tidak ada pengaruh pengetahuan terhadap
penyakit kusta karena p value 0,176 > 0,05,
dan variabel pengetahuan tidak dapat
dianalisis secara multivariat (p value 0,176
>0,25). Dalam penelitian ini pengetahuan
tidak berpengaruh terhadap kejadian penyakit
kusta, hal ini dapat diasumsikan bahwa baik
pengetahuan tinggi maupun pengetahuan
rendah dapat meningkatkan risiko terjadinya
penyakit kusta. Seseorang yang memilki
tingkat pengetahuan yang tinggi namun tidak
berperilaku sehat akan berisiko terhadap
terjadinya penyakit kusta.
c. Pengaruh Vaksinasi BCG terhadap
Penyakit Kusta
Hasil uji statistik chi-square diperoleh
OR sebesar 0,20 (95% CI= 0,08-0,51),
menunjukkan bahwa tidak mendapatkan
vaksinasi BCG merupakan faktor protektif,
artinya orang yang menderita kusta 0,20 kali
kemungkinan tidak pernah mendapatkan
vaksinasi BCG dibandingkan dengan orang
yang tidak menderita kusta. Hal ini dapat
diasumsikan bahwa orang yang mendapatkan
vaksinasi BCG dapat berisiko terhadap
penyakit kusta apabila berpendidikan rendah,
menerapkan PHBS yang kurang baik,
memiliki riwayat kontak lama dengan
penderita kusta dan memiliki rumah yang
padat hunian.
Hasil penelitian ini sejalan dengan
penelitian Haryadi (2011) bahwa vaksinasi
BCG merupakan faktor protektif (OR=0,37;
95% CI=0,215-0,638). Orang yang menderita
kusta 0,37 kali kemungkinan tidak pernah
mendapatkan vaksinasi BCG dibandingkan
dengan orang yang tidak menderita kusta.
Pemakaian vaksin BCG (Bacillus
Calmette Guerine) untuk menimbulkan
kekebalan terhadap kusta telah dicoba, karena
diharapkan adanya reaksi silang antara M.
leprae dan M. Tuberculosis, sampai saat ini
telah dilakukan uji lapangan di berbagai
tempat yang berbeda di dunia dengan hasil
yang berbeda. Selain itu juga telah dilakukan
percobaan imunoterapi untuk penderita kusta
tipe multibasiler dengan campuran BCG
dengan M. leprae (Wilujeng, dkk, 1999).
Vaksinasi BCG telah dicoba oleh
berbagai peneliti, tetapi efikasinya masih
kontroversial. Vaksinasi BCG telah
diperlihatkan oleh sejumlah peneliti
mengurangi insidensi kasus baru di daerah
endemik berkisar antara 20 – 80%, vaksinasi
BCG efektif dalam jangka panjang, yaitu
sampai umur 12 – 13 tahun (Sehgal et al,
1987). Lebih lanjut tidak ada bukti yang
menunjukkan bahwa seseorang yang
divaksinasi BCG akan menderita kusta dari
bentuk yang lebih ringan dibandingkan
dengan yang tidak divaksinasi.
d. Pengaruh Riwayat Kontak Lama
terhadap Penyakit Kusta
Berdasarkan hasil uji statistik chi-
square diperoleh OR sebesar 7,93 (95% CI=
1,65-38,06), menunjukkan bahwa orang yang
menderita kusta 7,93 kali kemungkinan
memiliki riwayat kontak lama dengan
penderita kusta lainnya dibanding dengan
yang tidak menderita kusta.
Hasil penelitian ini sesuai dengan
penelitian Aprizal (2012) bahwa peluang
orang yang memiliki riwayat kontak dalam
waktu yang lama dengan penderita kusta
tertular penyakit kusta 7,8 kali dibandingkan
dengan orang yang tidak memiliki riwayat
kontak lama dengan penderita kusta (p =
0,001).
Penelitian yang dilakukan di
Kepulauan Florest, Nusa Tenggara Timur
bahwa kontak dengan penderita tipe MB
mempunyai risiko 2,8 kali ( 95 % CI : 1,8-4,4)
lebih tinggi dibandingkan kontak dengan
penderita tipe PB. Hasil serupa juga
ditunjukkan pada penelitian di Tumaluntung
bahwa bukan hanya kontak serumah dengan
penderita tipe MB yang mempunyai risiko
13,7 kali lebih tinggi ( 95 % CI : 8 - 24)
5. 5
terkena kusta namun kontak yang tinggal
disebelah rumah penderita tipe MB juga
mempunyai risiko 6,2 kali ( 95 % CI : 3,4 –
11,2) terkena kusta. (Bakker,dkk, 2005).
Pengaruh Faktor Eksternal terhadap
Penyakit Kusta
a. Pengaruh PHBS terhadap Penyakit
Kusta
Berdasarkan hasil uji statistik chi-
square diperoleh OR sebesar 6,49 (95% CI=
2,36-17,81), menunjukkan bahwa orang yang
menderita kusta 6,49 kali kemungkinan
kurang menerapkan PHBS dengan baik
dibanding dengan yang tidak menderita kusta.
Hasil penelitian ini berkaitan dengan
penelitian Rismawati mengenai hubungan
antara sanitasi rumah dan personal hygiene
dengan kejadian kusta di RSUD Tugurejo
Semarang tahun 2012 yang meliputi beberapa
perilaku dalam mencegah terjadinya penyakit
kusta yaitu kebiasaan membersihkan lantai
rumah (p = 0,018; OR = 3,610; 95% CI =
1,222 – 10,661), kebiasaan mandi ( p = 0,018;
OR = 3,636; 95% CI = 1,226 – 10,783),
kebiasaan cuci rambut ( p = 0,030; OR =
3,367; 95% CI = 1,099 – 10,318) dan
Penelitian Faturahman (2010) mengenai
PHBS antara lain kebiasaan berganti
pakaian/handuk ( p = 0,000; OR = 9,264;
95% CI = 3,015 – 28,462).
b. Pengaruh Kepadatan hunian terhadap
Penyakit Kusta
Berdasarkan hasil uji statistik chi-
square diperoleh OR sebesar 3,34 (95% CI=
1,65-5,66), menunjukkan bahwa orang yang
menderita kusta 3,34 kali kemungkinan
memiliki rumah yang padat hunian dibanding
dengan yang tidak menderita kusta.
Hasil penelitian ini sesuai dengan
penelitian Rismawati (2012) bahwa ada
hubungan antara kepadatan hunian dengan
penyakit kusta (p = 0,033; OR = 3,231; 95 %
CI= 1,081 – 9,656), responden dengan
kepadatan hunian yang tidak memenuhi syarat
memiliki resiko 3,23 kali lebih besar
dibandingkan responden dengan kepadatan
hunian yang memenuhi syarat
c. Pengaruh Luas Ventilasi Rumah
terhadap Penyakit Kusta
Beradasarkan hasil uji statistik chi-
square diperoleh OR sebesar 2,77 (95% CI=
1,11-6,89), menunjukkan bahwa orang yang
menderita kusta 2,77 kali kemungkinan
memiliki rumah dengan luas ventilasi yang
tidak memenuhi syarat dibanding dengan yang
tidak menderita kusta.
Hasil penelitian ini sejalan dengan
penelitian Faturrahman (2010) yaitu luas
ventilasi rumah memiliki hubungan yang
bermakna dengan penyakit kusta (p=0,001).
Menurut teori yang dikemukakan oleh Susanta
(2001) menyatakan bahwa keberadaan
ventilasi dalam keadaan terbuka pada siang
hari merupakan salah satu syarat yang
menentukan kualitas udara agar tidak pengap
dan lembab yang menyebabkan berpotensi
hidupnya mikroorganisme. Mikroorganisme di
udara merupakan unsur pencemaran sebagai
penyebab gejala berbagai penyakit antara lain
penyakit kulit.
d. Pengaruh Penghasilan Keluarga
terhadap Penyakit Kusta
Hasil uji statistik diperoleh OR
sebesar 0,27 (95% CI= 0,10-0,71),
menunjukkan bahwa penghasilan keluarga
yang rendah merupakan faktor protektif,
artinya orang yang menderita kusta 0,27 kali
kemungkinan berpenghasilan rendah
dibandingkan dengan orang yang tidak
menderita kusta. Hal ini dapat diasumsikan
bahwa orang yang berpenghasilan tinggi dapat
berisiko terhadap penyakit kusta apabila
berpendidikan rendah, menerapkan PHBS
yang kurang baik, memiliki riwayat kontak
lama dengan penderita kusta dan memiliki
rumah yang padat hunian.
6. 6
Tabel 1. Pengaruh Faktor Internal terhadap Penyakit Kusta
di Kabupaten Bireuen Tahun 2013
Variabel
Kasus Kontrol
OR 95% CI P
n % n %
Pendidikan
Rendah 35 81,4 13 30,2
10,09 3,68-27,62 < 0,001
Tinggi 8 18,6 30 69,8
Pengetahuan
Kurang Baik 37 86,0 32 74,4
2,12 0,70-6,37 0,176
Baik 6 14,0 11 25,6
Vaksinasi BCG
Tidak 16 37,2 32 74,4
0,20 0,08-0,51 0,001
Ya 27 62,8 11 25,6
Riwayat Kontak Lama
Ya 12 27,9 2 4,7
7,93 1,65-38,06 0,003
Tidak 31 72,1 41 95,3
Tabel 1. menunjukkan bahwa variabel
pendidikan dan riwayat kontak lama
mempunyai pengaruh yang signifikan
terhadap penyakit kusta (p<0,05) . Variabel
pengetahuan tidak memiliki pengaruh
terhadap penyakit kusta ( p>0,05) dan variabel
vaksinasi BCG merupakan faktor protektif
(OR < 1).
Tabel 2. Pengaruh Faktor Eksternal terhadap Penyakit Kusta
di Kabupaten Bireuen Tahun 2013
Variabel
Kasus Kontrol
OR 95% CI P
n % n %
PHBS
Kurang Baik 24 55,8 7 16,3
6,49 2,36-17,81 < 0,001
Baik 19 44,2 36 83,7
Kepadatan hunian
Padat 32 74,4 20 46,5
3,34 1,34-8,31 0,008
Tidak Padat 11 25,6 23 53,5
Luas Ventilasi Rumah
Tidak Memenuhi Syarat 32 74,4 22 51,2
2,77 1,11-6,89 0,026
Memenuhi Syarat 11 25,6 21 48,8
Penghasilan Keluarga
Rendah 22 51,2 34 79,1
0,27 0,10-0,71 0,007
Tinggi 21 48,8 9 20,9
Berdasarkan Tabel 2 menunjukkan
bahwa variabel PHBS, kepadatan hunian,
luas ventilasi rumah mempunyai pengaruh
yang signifikan terhadap penyakit kusta
(p<0,05). Variabel penghasilan keluarga
merupakan faktor protektif (OR<1).
Analisis Multivariat
Berdasarkan hasil uji bivariat, maka
terdapat delapan variabel yang dapat
diikutsertakan dalam analisis multivariat
menggunakan uji regresi logistik berganda
dengan metode Enter (p < 0,25), yaitu
variabel pendidikan, pengetahuan, vaksinasi
BCG, Riwayat kontak lama, PHBS, kepadatan
hunian, luas ventilasi rumah, dan penghasilan
7. 7
keluarga. Selanjutnya analisis multivariat
dilakukan dengan uji regresi logistik berganda
secara bertahap. Hasil analisis regresi logistik
berganda dapat dilihat pada tabel berikut ini :
Tabel 3. Hasil Analisis Uji Regresi Logistik Berganda
Variabel B P Exp (B)
95% CI
Lower Upper
Pendidikan
Riwayat Kontak Lama
PHBS
Kepadatan Hunian
Constant
6,789
3,737
5,955
2,798
-18,031
0,003
0,012
0,004
0,033
-
8,87
4,95
7,57
2,41
-
10,75
1,23
4,42
1,24
-
34,27
7,86
13,13
2,15
-
Berdasarkan tabel 3 dapat dilihat
bahwa analisis uji regresi logistik berganda
menghasilkan beberapa variabel yang
mempunyai pengaruh yang paling dominan
terhadap penyakit kusta di Kabupaten Bireuen
Tahun 2013 yaitu variabel pendidikan, riwayat
kontak lama, PHBS dan kepadatan hunian.
Jika dilihat nilai OR hasil uji regresi logistik
berganda diketahui variabel pendidikan
memiliki nilai OR tertinggi yaitu sebesar 8,87
(95% CI= 10,75 – 34,27), hal ini
menunjukkan bahwa variabel pendidikan
merupakan variabel yang paling kuat
pengaruhnya terhadap penyakit kusta di
Kabupaten Bireuen. Pendidikan yang
dimaksudkan adalah pendidikan kesehatan
agar dapat mencegah terjadinya penularan
penyakit kusta. Pendidikan kesehatan dapat
diperoleh baik melalui pendidikan formal
maupun non formal.
Population Attributable Risk (PAR)
Untuk menghitung besarnya proporsi
penderita kusta di populasi yang bisa dicegah
dengan menghilangkan faktor risiko, maka
dilakukan perhitungan Population
Attributable Risk (PAR). Perhitungan PAR
diambil dari variabel yang paling dominan
memiliki pengaruh terhadap terjadinya
penyakit kusta, yaitu pendidikan (p = 0,003,
OR : 8,87) dengan nilai p = 81% (0,81). Hasil
perhitungannya adalah sebagai berikut:
PAR =
0,30 ( 8,87– 1 )
PAR =
0,30 ( 8,87 – 1 ) + 1
= 0,70 = 70 %
Artinya, penyakit kusta bisa dicegah
sebesar 86% dengan menghilangkan faktor
risiko yaitu memiliki pendidikan rendah.
KESIMPULAN
Setelah dilakukan penelitian dan
analisa mengenai determinan penyakit kusta
di Kabupaten Bireuen Tahun 2013 maka dapat
disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1. Faktor internal yang berpengaruh terhadap
penyakit kusta adalah pendidikan dan
riwayat kontak lama
2. Faktor eksternal yang berpengaruh
terhadap penyakit kusta adalah PHBS dan
kepadatan hunian
3. 3. Variabel yang paling dominan berpengaruh
terhadap penyakit kusta di Kabupaten
Bireuen adalah pendidikan (p=0,003 ; OR=
8,87 ; 95% CI= 10,75 – 34,27) dengan nilai
Population Attributable Risk (PAR)
sebesar 70 %.
SARAN
Berdasarkan kesimpulan di atas,
maka saran yang dapat disampaikan adalah
sebagai berikut:
a. Kepada Dinas Kesehatan Kabupaten
Bireuen, supaya dapat meningkatkan upaya
penemuan kasus secara aktif dan
menerapkan chase survey (survei
penemuan penderita melalui partisipasi
masyarakat).
b. Kepada Puskesmas di Kabupaten Bireuen,
untuk lebih meningkatkan peran petugas
dalam memberikan penyuluhan kesehatan
agar meningkatnya pendidikan kesehatan
di masyarakat mengenai pencegahan
penyakit kusta.
8. 8
c. Kepada masyarakat, perlunya mendukung
program Dinas Kesehatan dalam hal
eliminasi kusta.
DAFTAR PUSTAKA
Aprizal, 2012. Analisis Spasial Dan Faktor-
Faktor Risiko kejadian Kusta di
Kabupaten Lamongan.
Bakker M., Hatta M., Kwenang A., Klaster
PR, Oskam L., (2005), Epidemiology
and Prevention of Leprosy: a Cohort
Study In Indonesia; Epidemiology of
Leprosy on Five Isolated Islands in The
Flores Sea, KIT Biomedical Research,
Melbergdreef 39, Nethderlands, pp. 780
-787.
Depkes RI, 2005, Buku Pedoman Nasional
Pemberantasan Penyakit Kusta,
Direktorat Jendral PPM dan PLP,
Jakarta.
___________., 2006, Buku Pedoman Nasional
Pemberantasan Penyakit Kusta,
Direktorat Jendral PPM dan PLP,
Jakarta.
___________., 2007, Buku Pedoman Nasional
Pemberantasan Penyakit Kusta,
Direktorat Jendral PPM dan PLP,
Jakarta.
___________., 2008, Buku Pedoman Nasional
Pemberantasan Penyakit Kusta,
Direktorat Jendral PPM dan PLP,
Jakarta.
___________., 2012, Profil Kesehatan
Indonesia. Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, Jakarta.
Dinkes Kabupaten Bireuen, 2012, Profil
Kesehatan Kabupaten Bireuen.
Dharmasanti, 2006, “Profil Penderita Kusta
yang dirawat di Instalasi Rawat Inap
Penyakit Kulit dan Kelamin RSU Dr.
Soetomo – Surabaya (Periode Januari
2003–Desember 2005)”, Berkala Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin, 18 (2):
108–121, Surabaya.
Faturrahman, 2010, Faktor Lingkungan Fisik
Rumah Yang Berhubungan Dengan
Kejadian Kusta Di Kabupaten Cilacap.
Norlatifah,Adi Heru Sutomo, Solikhah, 2010.
Hubungan Kondisi Fisik Rumah, Sarana
Air Bersih Dan Karakteristik
Masyarakat Dengan Kejadian Kusta di
Kabupaten Tapin, Kalimantan Selatan.
Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Ahmad dahlan, Yogyakarta.
Rismawati, 2012. Hubungan Antara Sanitasi
Rumah Dan Personal Hygiene dengan
Kejadian Kusta Multibasiler. Jurusan
Kesehatan Masyarakat Universitas
Negeri Semarang
Singhi MK., Ghiya BC., Dhruv G., Dilip K.,
(2004), “Disability rates in leprosy”,
Indian J Dermatol Venereol Leprol,
Volume 70 (5), pp. 314 – 316.
Susanta G, 2001, Agar Rumah Tidak Gelap
dan Tidak Pengap, Jakarta: Niaga
Swadaya
Sehgal VN, Govin, Srivastava. Review–
Leprosy In Children. International of
Dermatology, 1987.