SlideShare a Scribd company logo
EFEKTIVITAS MODEL PEMBELARAN VAN HIELE PADA MATERI
BANGUN RUANG DALAM UPAYA MENINGKATKAN BERPIKIR
VISUAL SISWA
Ai Herawati
NPM : 1241172105075
UNIVERSITAS NEGERI SINGAPERBANGSA
KARAWANG
PENDIDIKAN MATEMATIKA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PENGESAHAN
Proposal penelitian yang berjudul “Efektivitas Model Pembelaran Van Hiele Pada Materi
Bangun Ruang Dalam Upaya Meningkatkan Berpikir Visual Siswa ” yang disusun oleh :
Nama : Ai Herawati
NPM : 1241172105075
Kelas : 5C
Program Studi : Pendidikan Matematika
Karawang, 15 Januari 2015
Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan
Dosen pengampuh,
Dori Lukman Hakim S,Pd.,M,Pd
PERNYATAAN
Bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Ai Herawati
NPM : 1241172105075
Prodi : Pendidikan Matematika
Fakultas : KIP ( Keguruan dan Ilmu Pendidikan )
Judul : Efektivitas Model Pembelaran Van Hiele Pada Materi Bangun Ruang Dalam
Upaya Meningkatkan Berpikir Visual Siswa
Menyatakan bahwa proposal ini adalah hasil pekerjaan saya dan sepanjang pengetahuan saya
tidak berisi materi yang dipublikasikan atau ditulis oleh orang lain atau telah digunakan
sebagai persyaratan penyelesaian studi di Perguruan Tinggi lain kecuali pada bagian tertentu
yang saya ambil sebagai acuan.
Apabila ternyata terbukti pernyataan ini tidak benar, sepenuhnya menjadi tanggung jawab
saya.
Karawang, 15 Januari 2015
Penulis,
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas bimbingan-
Nya saya dapat menyelesaikan tugas proposal penelitian . Adapun proposal penelitian ini
mengenai “Efektivitas Model Pembelajaran Van Hiele pada Materi Bangun Ruang Untuk
Meningkatkan Kemampuan Berpikir Visual Siswa”.
Penyusunan proposal penelitian ini diajukan untuk memenuhi tugas Ujian Akhir
Semester (UAS) Metode Penelitian Pendidikan pada Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Singaperbangsa Karawang.
Penyusun sampaikan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penyusunan proposal penilitian ini. Penyusun menyadari bahwa proposal ini tidak akan
tersusun tanpa adanya dukungan dari semua pihak. Semoga semua yang telah diberikan
dapat bermanfaat.
Semoga dengan adanya proposal ini dapat menyadarkan pembaca akan pentingnya
Pendidikan Berkarakter untuk menciptakan individu-individu yang dapat
mengembangkan bangsa Indonesia menjadi lebih maju.
Menyadari akan ketidaksempurnaan proposal ini, baik isi maupun yang lainnya, saya
harap adanya kritik dan saran yang membangun, untuk menyempurnakan makalah ini.
Hingga dapat bermanfaat bagi kita semua. Amien.
Karawang, 15 Januari 2015
Penulis,
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN .................................................................................................i
PERNYATAAN ......................................................................................................................ii
KATA PENGANTAR ..............................................................................................................iii
DAFTAR ISI ............................................................................................................................iv
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .............................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah ........................................................................................................2
1.3 Batasan Masalah ...........................................................................................................2
1.4 Tujuan Penelitian .........................................................................................................2
1.5 Manfaat Hasil Penelitian...............................................................................................3
1.6 Definisi Operasional ....................................................................................................4
1.7 Hipotesis ......................................................................................................................4
BAB II. KAJIAN TEORI
2.1 Berpikir Visual..............................................................................................................5
2.2 Modek Pembelajaran Van Hiele ...................................................................................7
BAB III. METODE PENELITIAN
3.1 Metode dan Penelitian dan Desain Penelitian.............................................................13
3.2.Populasi dan Sampel...................................................................................................14
3.3 Instrumen Penelitian ...................................................................................................14
3.4 Instrumen TES ............................................................................................................14
3.5 Instrumen NON TES...................................................................................................15
3.6 Teknik Analisis Data (TES / NON TES)....................................................................16
3.6.1 Teknik Analisis Data TES .......................................................................................16
3.6.2 Teknik Analisis Data NON TES.............................................................................20
3.7 Jadwal Penelitian ........................................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................23
Lampiran 1 Jurnal Nasional....................................................................................................24
Lampiran 2 Jurnal Nasional....................................................................................................34
Lampiran 3 Jurnal Internasional .............................................................................................45
Lampiran 4 Instrumen Penelitian (TES).................................................................................54
Lampiran 5 Intrumen Penelitian Non tes................................................................................55
Lampiran 6 Kisi-kisi Indikator Kemampuan .........................................................................56
Lampiran 7 Kisi-kisi Indikator Mata Pelajaran ......................................................................57
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Matematika adalah salah satu disiplin ilmu yang sering sekali dianggap sulit oleh
sebagian siswa bahkan tak sedikit siswa menghindarinya. Hal ini disebabkan karena
sajian dalam matematika bersifat abstrak dan hanya ada dalam mental atau pikiran yang
mempelajarinya. Maskipun demikian jika sajian materi dikemas semenarik mungkin
dengan menterkaitakan materi tersebut dalam dunia nyata, siswa dapat meningkatkan
berpikir visual.
Bruner (aries : 2012) menyatakan bahwa anak dalam belajar konsep matematika
melalui tiga tahap, yaitu enactive, iconic, dan symbolic. Tahap enactive yaitu tahap
belajar dengan memanipulasi benda atau obyek konkret, tahap econic yaitu tahap belajar
dengan menggunakan gambar, dan tahap symbolic yaitu tahap belajar matematika melalui
manipulasi lambang atau simbol. Geometri merupakan cabang matematika yang
dipelajari di sekolah . Materi geometri di smp diantaranya meliputi titik, garis, sudut,
bangun datar dan bangun ruang. Menurut Burger & Shaugnessy (1993: 140 ) dalam Nia (
2013) menyatakan bahwa gometri merupakan lingkungan untuk mempelajari struktur
matematika.
Dalam mempelajari geometri, kemampuan visualisasi merupakan kemampuan yang
harus dimiliki oleh siswa sebagaimana yang direkomendasikan oleh NCTM (2000). Sifat
abstrak dari geometri menuntut kemampuan siswa untuk membayangkan bentuk dan
posisi objek geometri dari sudut pandang tertentu.
Berpikir visual adalah aktivitas dalam matematika membayangkan dan
membuktikan informasi visual dari objek nyata atau gambar. Berpikir visual adalah
proses berpikir dengan cara mengijinasikan keadaan konkret untuk dijadikan acuan,
menyelesaikan masalah, serta mendapat pemikiran – pemikiran yang baru (Herlingga :
2013). Visual thinking atau berpikir visual dalam pembelajaran geometri dapat
mendorong kemampuan pengorganisaian dalam proses memahami, mengkomunikasikan
informasi dan mengingat konsep-konsep geometri secara lebih bermakna.
Berdasarkan laporan Trend in International Mathematics and Science Study
terhadap siswa tingkat 8 pada tahun 2007 menunjukkan nilai skala rata-rata kemampuan
matematika siswa di Indonesia adalah 397. Nilai ini berada di bawah nilai skala rata-rata
kemampuan matematika dari 59 negara yang diikutkan dalam penelitian, yaitu 500.
Laporan tersebut juga menunjukkan bahwa kemampuan geometri siswa di Indonesia lebih
rendah jika dibandingkan dengan materi matematika lain seperti aljabar (algebra),
bilangan (number),maupun data and chance).
Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu guru matematika SMP mengenai
kemampuan siswa dalam memahami bangun ruang, masih banyak kekeliruan dalam
menyelesaikan soal-soal yang berkaitan dengan bangun ruang. Sebagai contoh kubus,
masih banyak siswa yang beranggapan bahwa kubus itu adalah sebuah persegi. hal ini di
buktikan saat menjawab soal “hitunglah luas permukaan kubus” banyak siswa yang
menjawab “S2
”. Hal ini karenakan rendahnya siswa dalam berpikir visual, di pertegas
oleh Bartoline dalam Nia (2013) mengungkapkan bahwa rendahnya kemampuan
visualisasi siswa akan menyebabkan siswa tidak dapat menyelesaikan masalah
matematika dengan baik. Rendahnya kemampuan siswa dalam matematika terutama
dalam geometri dapat di duga karena siswa kesulitan dalam mengkontruksi secara rinci
bangun geometri yang dilihatnya.
Sebagai seorang guru professional hendaknya guru mampu menguasai berbagai
macam model pembelajaran yang relevan untuk meningkatkan berpikir visual siswa
dalam geometri dengan kehidupan sehari-hari. Salah satu model pembelajaran yang
secara teoritis dapat meningkatkan pemahaman konsep geometri siswa adalah model
pembelajaran Van Hiele.
Model pembelajaran Van Hiele dikembangkan oleh dua pendidik berkebangsaan
Belanda, Pierre Marie van Hiele dan Dina van Hiele-Geldof. Martin, dkk menyatakan
bahwa secara internasional model pembelajaran Van Hiele yang dikembangkan oleh
Pierre Marie van Hiele dan Dina van Hiele-Geldof telah diakui memberikan pengaruh
yang kuat dalam pembelajaran geometri sekitar tahun 1950-an. Anne menjelaskan bahwa
ada beberapa negara yaitu Uni Soviet dan Amerika Serikat yang telah mengubah
kurikulum geometri berdasar pada model pembelajaran Van Hiele. Kemudian Crowley
dan Anne menyatakan bahwa Uni soviet pada tahun 1960-an telah melakukan perubahan
kurikulum akibat dari pengaruh model pembelajaran Van Hiele. Pada permulaan tahun
1970-an pengaruh model pembelajaran Van Hiele mulai dirasakan oleh negara Amerika
Serikat. Kemudian Sejak tahun 1980-an, penelitian yang memusatkan pembelajaran pada
model pembelajaran Van Hiele terus meningkat. Walaupun khusus pada pembelajaran
geometri, model ini memberikan gambaran kepada pendidik untuk memperhatikan setiap
jenjang berpikir anak untuk memproses informasi dalam belajar (dalam Abdussakir,
2010) yang di kutip dalam (Priskilayuni).
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, diduga model pembelajaran Van Hiele
berpengaruh terhadap pemahaman konsep geometri siswa pada mara pelajaran
Matematika, sehingga peneliti merasa perlu melaksanakan penelitianeksperimen yang
berjudul “Eefektivitas Moodel Pembelajaran Van Hiele pada Materi Bangun Ruang
Dalam Upaya Meningkatkan Kemampuan Berpikir Siswa”.
1.2 Rumusan Masalah
“Adakah peningkatan kemampuan berpikir visual siswa setelah melakukan model
pembelajaran Van Hiele?”
1.3 Bataan Masalah
Agar penelitian ini tidak menyimpang dan jauh dari sasaran, maka peneliti melakukan
penelitian pada tingkat SMP kelas VIII materi bangun ruang yang lebih difokuskan pada
kubus dan balok.
1.4 Tujuan Penelitian
Tujuan yang diharapkan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui adakah peningkatan
kemampuan berpikir visual siswa setelah melakukan model pembelajaran Van Hiele.
1.5 Manfaat hasil penelitian
1. Bagi siswa, diharapkan dapat memberikan pengaruh yang lebih baik terhadap
peningkatan kemampuan berfikir visual siswa setelah melakukan model pembelajaran
Van Hiele
2. Bagi guru, dapat dijadikan sebagai alternatif dalam proses pembelajaran matematika
di kelas sebagai upaya meningkatkan kemampuan berpikir visual siswa.
3. Bagi peneliti, dapat menambah pengetahuan peneliti tentang model pembelajaran
Van Hiele yang dapat meningkatan kemampuan berpikir siswa.
1.6 Definisi operasional
1. Berpikir visual atau Visual Thinking dapat didefinisikan sebagai sesuatu pemikiran
yang aktif dan proses analitis untuk memahami, menafsirkan dan memproduksi pesan
visual dari semua informasi kemudian merubahnya menjadi gambar, grafik atau
lainya.
2. Model pembelajaran Van Hiele, Van Hiele adalah seorang guru matematika bangsa
Belanda yang mengadakan penelitian dalam pengajaran geometri. Menurut Van
Hiele, ada tiga unsur utama dalam pengajaran geometri, yaitu waktu, materi
pengajaran, dan metode pengajaran yang diterapkan. Jika ketiga unsur ditata secara
terpadu, akan dapat meningkatkan kemampuan berpikir anak kepada tahapan berpikir
yang lebih tinggi. Van Hiele menyatakan bahwa terdapat 5 tahap belajar anak dalam
belajar geometri, yaitu : tahap pengenalan, tahap analisis, tahap pengurutan, tahap
deduksi dan tahap akurasi.
1.7 Hipotesis
“Adakah peningkatan kemampuan berpikir visual siswa setelah melakukan model
pembelajaran Van Hiele?”
H0 : Tidak terdapat peningkatan kemampuan berpikir visual siswa setelah melakukan
model pembelajaran Van Hiele.
H1 : Terdapat peningkatan kemampuan berpikir visual siswa setelah melakukan model
pembelajaran Van Hiele.
BAB II
KAJIAN TTEORI
2.1 Berpikir Visual
Berpikir (Solso, 1991) dalam Andri (2012) merupakan proses menghasilkan
representasi mental yang baru melalui transformasi informasi yang melibatkan interaksi
secara kompleks antara atribut-atribut mental seperti penilaian, abstraksi, imajinasi, dan
pemecahan masalah. Dalam bukunya, Giaquinto (2007 : 50) dalam Nia (2013)
menyatakan bahwa “Visual imagination seems to play an important role in extending
geometrical knowlage”. Sejalan dengan Giaquinto, Dwirahayu (2013) yang di kutip
dalam Nia (2013) menyatakan bahwa kemampuan visual merupakan adalah salah satu
kemampuan dasar dalam berpikir spasial (keruangan) yang mendukung pada pemahaman
konsep matematika, khususnya padda kajiann bidang geometri.
Visual Thinking atau Berpikir Visual adalah proses intelektual intuitif dan ide
imajinasi visual, baik dalam pencitraan mental atau melalui gambar (Brasseur, 1991 :
130) dalam Edy. Goldsmchmidt, 1994; Laseau, 1986) dalam Edy menyatakan
mengandalkan proses berpikir bahasa gambar visual, bentuk, pola, tekstur, symbol.
Namun Visual Thinking memerlukan lebih banyak dari pada visualisasi atau representasi.
John Steiner (1997) menyatakan “ Ini adalah mewakili sensasi pengetahuan dalam bentuk
struktur ide, itu adalah aliran ide sebagai gambar, diagram, penjelasan model, lukisan
yang diatur ide-ide besar dan penyelesaian sederhana.
Visual Thinking dapat didefinisikan sebagai sesuatu pemikiran yang aktif dan
proses analitis untuk memahami, menafsirkan dan memproduksi pesan visual, interaksi
antara melihat, membayangkan, dan menggambarkan sebagai tujuan dapat digunakan,
dan canggih seperti berpikir verbal. Zimmerman dan Cunningham (1991) yang dikutip
dalam Edy menyatakan : Visualisasi adalah proses pembentukan gambar (mental, atau
dengan kertas dan pensil atau dengan bantuan teknologi.
Menurut Nia (2012) visualisasi adalah aktivitas mempersepsi, mengkonstruksi atau
mempersentasikan konsep matematika untuk menanamkan pemahaman konsep
matematika yang kuat sehingga dapat membantu mendapatkan statrategi yang tepat dalam
pemecahan masalah matematis siswa. Sebagaimana yang di ungkapkan oleh Bartoline
dalam Nia (2013) rendahnya kemampuan visualisasi siswa akan menyebabkan siswa
tidak dapat menyelesaikan masalah matematika dengan baik.
Visualisasi adalah suatu tindakan dimana seseorang individu membentuk hubungan
yang kuat antara internal membangun sesuatu yang diakses diperoleh melalui indra.
Sambungan berkualitas tersebut dapat dibuat dalam salah satu dari dua arah (Edy).
Arcavi (2003) yang dikutip dalam Edy (2013) menyatakan visualisasi matematika
dengan kiasan sebagai “melihat yang gaib”. Ia menganggap matematika sebagai dunia
yang lebih “abstrak” berurusan dengan benda-benda dan entitas cukup berbeda dari
fenomena fisik, yang meningkatkan kebutuhan untuk bergantung pada visualisasi dalam
bentuk yang berbeda dan pada tingkat yang berbeda. Presmeg (1986) mendefinisikan
metode visual sebagai salah satu yang memilih gambar visual, dengan atau tanpa
diagram, seperti bagian penting dari metode solusi. Metode non visual di sisi lain tidak
bergantung pada citra visual.
Visualisasi dapat mempermudah dalam memahami masalah, memberikan
gambaran umum penyelesaian masalah dan menganalisis permasalahan serta memahami
bagaimana unsur-unsur dalam memahami masalah matematika. Sebagaimana yang
dikemukakan oleh Nurdin (2012) dalam Nia (2013) bahwa visualisasi memungkinkan
siswa mengidentifikasikan masalah dalam bentuk yang lebih sederhana, menemukan
hubungan (koneksi) pemecahan masalah, dan kemudian memformalkan pemahaman
masalah yang diberikan serta mengidentifikasi motode yang digunakan untuk masalah
yang serupa.
Visualisasi merupakan aspek yang sangat penting dalam matematika dan sangat
berguna dalam banyak tugas yang berkaitan dengan matematisasi tidak hanya geometri ,
atau yang berhubungan langsung dengan aspek keruangan tetapi juga dalam aspek lain
seperti analisis matematis (Gusman 2002; Nia 2013).
Visualisasi yang dilakukan oleh siswa melewati proses berikut ketika memecahkan
masalah matematika (MOE, 2001) yang dikutip dalam Edy : 1) Memahami hubungan
unsur-unsur spasial (keruangan) dalam masalah, 2) Keterkaitan satu sama lain ke
pemecahan masalah, 3)Mengkonstruksi/membangun sebuah representasi visual (dalam
pikiran, pada kertas, atau melalui penggunaan alat-alat teknologi), 4) Menggunakan
representasi visual untuk memecahkan masalah, 5) Encoding jawaban atas masalah.
Visualisasi mempunyai fungsi yang berbeda atau peran ketika siswa
menggunakannya untuk memecahkan masalah. Siew Yin (2009) mengidentifikasikan
tujuh peran dari visualisasi : (1) Untuk memahami masalah. Dengan mewakili masalah
visual, siswa dapat memahami bagaimana unsur-unsur dalam masalah berhubungan satu
sama lain, (2) Untuk menyederhanakan masalah. Visualisasi memungkinkan siswa untuk
mengidentifikasi versi sederhana dari masalah, memecahkan masalah dan kemudian
memformalkan pemahaman soal yang diberikan dan mengidentifikasi metode yang
bekerja untuk semua masalah tersebut, (3) Untuk melihat koneksi ke masalah terkait. Ini
melibatkan masalah yang berkaitan diberikan kepada pengalaman memecahkan masalah
sebelumnya, (4) Untuk memenuhi gaya belajar individu. Setiap siswa memiliki preferensi
sendiri ketika datang ke penggunaan representasi visual saat memecahkan masalah, (5)
Sebagai pengganti untuk perhitungan. Jawaban terhadap masalah dapat diperoleh
langsung dari representasi visual itu sendiri, tanpa perlu untuk perhitungan, (6) Sebagai
alat untuk memeriksa solusi. Representasi visual dapat digunakan untuk memeriksa
kewajaran dari jawaban yang diperoleh, (7) Untuk mengubah masalah ke dalam bentuk-
bentuk matematis. Bentuk matematis dapat diperoleh dari representasi visual untuk
memecahkan masalah.
2.2 Model Pembelajaran Van Hiele
Van Hiele adalah seorang guru matematika bangsa Belanda yang mengadakan
penelitian dalam pengajaran geometri. Menurut Van Hiele, ada tiga unsur utama dalam
pengajaran geometri, yaitu waktu, materi pengajaran, dan metode pengajaran yang
diterapkan.
Fitur yang paling menonjol dalam model pembelajaran ini adalah hirarki lima
tingkat dari cara dalam pemahaman ide-ide ruang. Tiap tingkatan menggambarkan proses
pemikiran yang diterapkan dalam konteks geometri tingkatan-tingkatan tersebut
menjelaskan tentang bagaimana berpikir dan jenis ide-ide geometri apa yang di
pikirkan.perbedaaan yang signifikan dari satu level ke level berikutnya adalah objek-
objek fikiran apa yang mampu dipikirkan secara geometris (Van de walle 2008:151) yang
di kutip dalam Wiwi (2010).
Fuys et al (1988) dan van de Walle (2010) yang di kutip dalam Sugiyarti
meringkaskan karakteristik utama level-level van Hiele yaitu (a) level-level itu berurutan,
(b) setiap level memiliki bahasanya sendiri, sejumlah simbol, dan jaringan hubungan, (c)
apa yang tampak implisit pada satu level menjadi eksplisit di level berikutnya, (d) materi
lebih atas yang diajarkan kepada siswa pada level lebih bawah haruslah dikurangi tingkat
kerumitannya, (e) peningkatan dari satu level ke level berikutnya lebih tergantung pada
pengalaman pengajaran yaitu materi dan pengajarannya daripada usia dan kematangan
biologis, (f) siswa harus melalui lima fase belajar ketika bergerak dari satu level ke level
berikutnya.
Menurut Keyes & Anne (Abdussakir, 2010) dalam Husnul (2013) setiap level pada
teori Van Hiele harus dilalui dengan berurutan. Ketika siswa berada pada level yang lebih
tinggi maka level dibawahnya pasti sudah dikuasai. Dalam Burger & Shaughnessy (1986:
31) dan Mason & Wilder (2004: 309) dalam Sugiyarti terdapat 5 level berpikir geometri
berdasarkan teori Van Hiele:
1. Level 0 (Visualisasi) Pada level ini siswa hanya memperhatikan bangun secara visual
saja tanpa mengetahui sifat-sifat bangun tersebut. Misalnya, dengan melihat saja
diketahui bahawa dua segitiga adalah sama, tanpa mengetahui alasannya. Tingkat ini
sering disebut tingkat pengenalan. Namun bentuk-bentuk geometri yang dikenal anak
semata-mata didasarkan pada karakteristik visual atau penampakan bentuknya secara
keseluruhan, bukan perbagian. Dalam mengidentifikasi bangun, mereka seringkali
menggunakan prototipe visual. Sebagai contoh, mereka mengatakan bahwa bangun
yang diketahui adalah balok, karena seperti kotak. Anak belum menyadari adanya
sifat-sifat dari bangun geometri.
2. Level 1 (Analisis)
Pada level ini kemampuan berpikir siswa berkembang dengan mendeskripsikan suatu
bangun menggunakan bahasa sendiri sesuai level sebelumnya. Konsep geometri mulai
tertanam dalam benak siswa dengan mulai memperhatikan bagian-bagian dan sifat-
sifat suatu bangun. Sebagai contoh, dua balok dapat dikatakan sama dengan
mengenali sifat-sifatnya. Melalui pengamatan, eksperimen, mengukur, menggambar,
dan memodel, siswa dapat mengenali dan membedakan karakteristik suatu bangun.
Anak-anak melihat bahwa suatu bangun mempunyai bagian-bagian tertentu yang
dapat dikenali. Namun demikian anak-anak belum sepenuhnya dapat menjelaskan
hubungan antara sifat yang satu dengan sifat yang lain, anak-anak sama sekali belum
bisa melihat hubungan antara beberapa bangun, dan definisi abstrak belum atau tidak
dapat dimengerti.
3. Level 2 (Abstraksi)
Pada level ini siswa menggunakan bahasa untuk mengetahui perbedaan dari setiap
bangun sesuai dengan level sebelumnya. Siswa secara logis menggolongkan sifat-sifat
berdasarkan konsep, membentuk definisi abstrak, dan dapat membedakan antara
keperluan dan kecukupan dari kumpulan sifat-sifat untuk menentukan konsep. Pada
tahap ini anak sudah mulai mampu untuk melakukan penarikan kesimpulan secara
deduktif, tetapi masih pada tahap awal artinya belum berkembang baik.
4. Level 3 (Deduksi Informal)
Pada tingkat ini berpikir deduksi siswa sudah mulai berkembang dan penalaran
deduksi sebagai cara untuk membangun struktur geometri dalam sistem aksiomatik
telah dipahami. Hal ini telah ditunjukkan siswa dengan membuktikan suatu
pernyataan tentang geometri dengan menggunakan alasan yang logis dan deduktif.
Struktur deduktif aksiomatik yang lengkap dengan pengertian pangkal,
postulat/aksioma, definisi, teorema, dan akibat yang secara implisit ada pada tingkat
deduksi informal, menjadi objek yang eksplisit dalam pemikiran anak pada tingkat
ini.
5. Level 4 (Deduksi Formal)
Pada tingkat ini siswa dapat bekerja dalam berbagai struktur deduksi aksiomatik.
Siswa dapat menemukan perbedaan antara dua struktur. Siswa memahami perbedaan
antara geometri Euclides dan geometri non-Euclides. Siswa memahami aksioma-
aksioma yang mendasari terbentuknya geometri non-Euclides.
Dalam mempelajari geometri kecerdasan spasial juga sangat mempengaruhi
kemampuan berpikir geometri siswa. Kecerdasan ini membantu siswa untuk memahami
hubungan antar objek dan lokasi mereka dalam dunia tiga dimensi. Spasial adalah
kemampuan untuk merasakan objek baik hubungannya dengan objek lain maupun
orientasi objek itu sendiri.
Kemampuan visual spasial tersebut akan berhubungan dengan level kemampuan
berpikir geometri menurut teori Van Hiele, terutama level 0 dan 1. Selanjutnnya untuk
meningkatkan level kemampuan berpikir geometeri Van Hiele mengajukan beberapa fase
untuk dilalui.
1. Informasi
Pada fase ini siswa telah mendapatkan informasi mengenai suatu bentuk geometri.
Informasi yang diperoleh siswa bisa berasal dari pembelajaran sebelumnya maupun
informasi dari kehidupan sehari-hari. Dengan adanya informasi tersebut siswa dapat
mengenali domain kerja. Ketika siswa mengetahui objek tersebut secara visual maka
ia dapat membedakan suatu objek dengan objek yang lain (diskriminasi visual).
Dalam pembelajaran gometri hal ini ditunjukkan dengan mengetahui yang contoh dan
bukan contoh (visual clousier). Untuk mengetahui informasi yang dimiliki siswa
maka seorang guru harus mengetahui kemampan awal mereka. Ketika ada siswa yang
tidak tau maka dengan adanya apersepsi maka siswa tersebut akan mengetahunya
terutama tau bentuk secara visual dan namanya.
2. Orientasi langsung
Pada fase ini siswa berorientasi secara langsung pada objek geometri yang akan
dipelajari. Siswa menyelesaikan tugas yang melibatkan hubungan berbeda dari sistem
yang dibentuk (contoh: melipat, mengukur, menemukan simetri (figure-ground
discrimination)). Agar siswa dapat berorientasi langsung maka guru harus
menyediakan sarana. Sarana yang dibutuhkan siswa adalah berupa media
pembelajaran. Dengan ketersediaan media maka siswa dapat menemukan sendiri sifat
pada suatu objek geometri. Pemilihan media harus melibatkan siswa dalam
menemukan sifat-sifat dari bentuk geometri. Terkadang guru memang menggunakan
media, tetapi hanya untuk guru sendiri bukan ditemukan siswa. Banyak sekali media
yang dapat digunakan baik modern berbasi komputer maupun tradisional. Anak
merupakan bagian dari dunia fisik, sehingga pengalaman langsung dengan benda-
benda sangat penting dalam belajar. Ini merupakan dasar dari tahapan berpikir
konkret-operasional yaitu pada masa usia sekolah (Copeland: 1979). Anak harus
dirangsang untuk membandingkan objek dalam memahami relasi yang ada diantara
karakteristikkarakteristik atau sifat-sifat benda tertentu dengan benda lainnya.
3. Penjelasan
Dengan penemuan tersebut maka siswa menjadi ingin tahu mengenai hubungan,
mencoba untuk menjelaskannya dengan kata-kata, dan mempelajari cara
menyampaikan yang tepat dengan materi sujek (contoh: menjelaskan ide-ide
mengenai sifat-sifat dari bangun). Siswa menyatakan pandangan yang muncul
mengenai struktur yang diobservasi. Siswa dapat mengetahui posisi berbagai objek
dalam ruang (hubungan keruangan). Di samping itu untuk guru membantu siswa
menggunakan bahasa yang tepat dan akurat untuk menjelaskan mengenai apa yang
baru diamati. Ketika siswa menemukan sendiri sifat pada objek geometri maka
mereka akan memahami konsep dan hubungan antar sifat yang ditemukan (mengenal
objek). Tetapi ketika guru yang menjelaskan maka siswa hanya menghafal saja.
4. Orientasi bebas
Siswa belajar, dengan menyelesaikan tugas-tugas yang lebih kompleks, untuk
menemukan cara mereka sendiri dalam mengubungkan hubungan yang ada. (contoh:
mengetahui sifatsifat dari semacam bentuk, menginvestigasi sifat-sifat tersebut
apakah bangun baru atau bangun yang sudah diketahui misalnya layang-layang).
Soal-soal yang biasa diselesaikan adalah berupa open-ended.
5. Integrasi
Siswa menyimpulkan seluruh hal yang dipelajari mengenai subjek, lalu
merefleksikannya dengan tindakan dan memperoleh sebuah pandangan baru terhadap
hubungan subjek. (contoh: sifat-sifat dari suatu bangun disimpulkan).
Langkah-langkah dalam menerapkan model pembelajaran Van Hiele (Abdussakir: 2010)
yang dikutip dalam Husnul (2013) adalah:
1) Aktivitas Level 0 (Visualisasi)
Pada tahap 0 ini, bangun-bangun geometri diperhatikan berdasarkan penampakan fisik
sebagai suatu keseluruhan. Aktivitas untuk tahap ini antara lain sebagai berikut.
a. Melibatkan penggunaan model fisik yang dapat digunakan siswa untuk
manipulasi, mewarna, melipat dan mengkonstruk bangun geometri.
b. Melibatkan kegiatan memilih, suatu gambar sederhana, dalam kumpulan potongan
bangun, atau alat peraga yang lain, dalam berbagai orientasi, melibatkan objek-
objek fisik lain di dalam kelas, rumah, atau tempat lain.
c. Membuat bangun dengan menjiplak gambar pada kertas bergaris, menggambar
bangun, dan mengkonstruk bangun. Dan mendeksripsi-kan bangun-bangun
geometri dan mengkonstruk secara verbal menggunakan bahasa baku atau tidak
baku, misalnya kubus “seperti pintu atau kotak.
d. Mengerjakan masalah geometri yang dapat dipecahkan dengan me-nyusun,
mengukur, dan menghitung.
2) Aktivitas Level 1 (Analisis)
Pada level 1 ini siswa diharapkan dapat mengungkapkan sifat-sifat bangun geometri.
Aktivitas untuk tahap ini antara lain sebagai berikut.
a. Menggunakan model-model pada tahap 0, terutama pada model-model yang dapat
digunakan untuk mengeksplorasi bebagai sifat bangun.
b. Membandingkan bangun-bangun berdasarkan karakteristik sifat-sifat-nya.
c. Mengidentifikasi dan menggambar bangun yang diberikan secara verbal atau
diberikan sifat-sifatnya secara tertulis.
d. Mengidentifikasi sifat-sifat yang dapat digunakan untuk mencirikan atau
mengkontraskan kelas-kelas bangun yang berbeda.
e. Menemukan sifat objek yang tidak dikenal.
f. Menyelesaikan masalah geometri yang dapat mengarahkan untuk mengetahui dan
menemukan sifat-sifat suatu gambar, relasi geometri, atau pendekatan berdasar
wawasan.
3) Aktivitas Level 2 (Deduksi Informal)
Pada level 2 ini siswa diharapkan mampu mempelajari keterkaitan antara sifat-sifat
dan bangun geometri yang dibentuk. Aktivitas siswa untuk tahap ini antara lain
sebagai berikut.
a. Mempelajari hubungan yang telah dibuat pada level 1, dan membuat implikasi.
b. Mengidentifikasi sifat yang perlu dan cukup untuk kondisi bangun.
c. Membuat dan menggunakan definisi dengan bahasanya sendiri.
d. Mengikuti argumen-argumen informal dan menyajikan argumen informal.
e. Mengikuti argumen deduktif, mungkin dengan menyisipkan langkah-langkah
yang kurang.
f. Melibatkan kerjasama dan diskusi yang mengarah pada pernyataan dan
konversnya.
g. Menyelesaikan masalah yang menekankan pada pentingnya sifat-sifat gambar dan
saling keterkaitannya.
Setiap level telah menggunakan fase Van Hiele. Tetapi hanya dibatasi pada level 2.
Fase tersebut dapat digunakan untuk mempelajari setiap bentuk geometri. Setiap bentuk
geometri pasti memiliki sifat, komponen, dan hubungna dengan bentuk geometri lainnya.
Dengan bantuan fase-fase tersebut, seorang guru diharapkan dapat membantu siswa
dalam meningkatkan kemampuan berpikir geometri.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Metode dan desain penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian
kuantitatif karena data penelitian berupa angka-angka dan analisis menggunakan statistic.
dengan demikian metode kuantitatif ini diartikan sebagai metode penelitian yang
berlandaskan pada filsafat positivisme, digunakan untuk meneliti pada populasi atau
sampel tertentu, pengumpulan data menggunakan instrument penelitian, analisis data
bersifat kuantitatif atau statistic, dengan tujuan untuk menguji hipotesis yang telah
ditetapkan (sugiyono 2014: 11)
Pada penelitian ini menggunakan true eksperiment design. adapun jenis yang
digunakan dalam penelitian ini adalah pretest-postest control group design , dalam
desain ini terdapat dua kelompok yang dipilih secara random kemudian diberi pretest
untuk mengetahui keadaan awal adakah perbedaan antara kelompok eksperimen dan
kelompok control setelah itu kelompok eksperimen diberi pembelajaran menggunakan
model yang peneliti jadikan penelitian yaitu model pembejaran Van Hiele sedangkan
kelompok control diberi pembelajaran menggunakan model yang biasa di lakukan guru
pada sekolah yang peneliti teliti, pada akhirnya diberi posttest untuk melihat keadaan
akhir dari kedua kelompok tersebut.
Gambar pola pretest-postest control group design (sugiyono :2014:114)
3.2 Populasi dan sample
 Populasi
Menurut Sugiyono (2014 : 119) populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas
: obyek/subyek yang mempunyai kualitas atau karakteristik tertentu yang ditetapakan
oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya. Populasi yang di
ambil adalah seluruh kelas VIII di SMPIT Al-Huda yang berjumlah 216 Siswa.
 Sampel
Sampel adalah bagian dari jumlah yang dimiliki oleh populasi tersebut
(Sugiyono:2014:120). Adapun sampel yang diambil oleh peniliti adalah adalah 2
kelas dari 4 kelas yang ada pada SMP IT AL_HUDA.
Jenis probability yang di ambil adalah cluster sampling. Menurut Margono (2004:
127) dalam salah satu artikel, teknik cluster sampling digunakan bilamana populasi tidak
terdiri dari individu-individu, melainkan terdiri dari kelompok kelompok individu atau
cluster. Menurut peneliti jenis ini sangat cocok untuk pengambilan sampel pada tingkat
sekolah.
3.3 Instrumen Penelitian
Untuk memperoleh data dalam penelitian digunakan dua macam instrument yaitu
tes dan non tes. Instrumen tes berisi soal-soal untuk mengukur kemampuan pemecahan
masalah matematik siswa, sedangkan instrument non tes terdiri atas skala pendapat siswa
(angket).
3.4 Instrumen Tes
Instrumen Tes yang peneliti pilih adalah bentuk esai (uraian). Tes bentuk esai
adalah sejenis tes kemajuan belajar yang memerlukan jawaban yang bersifat pembahasan
atau uraian kata-kata (Arikunto :2013:177). Tes subjektif yang pada umumnya berbentuk
esai (uraian). Alasan peneliti mengambil tes bentuk uraian adalah agar dapat mengetahui
sejauh mana siswa mendalami suatu masalah yang diteskan.
Penyusunan tes diawali dengan pembuatan kisi-kisi soal yang mencakup pokok
bahasan, kemampuan yang diukur, indikator , serta jumlah butir soal. Kemudian
dilanjutkan dengan menyusun soal beserta kunci jawaban dan aturan pemberian skor
untuk masing-masing butir soal.
Tes pemecahan masalah matematik siswa dalam penelitian ini terdiri dari bentuk
uraian pada pokok bahasan persamaan garis lurus. Soal-soal yang digunakan untuk
mengukur pemecahan masalah matematis siswa untuk tiap langkah terdiri dari
kemampuan memahami masalah, merencanakan pemecahan dan menyelesaikan masalah.
Penilaian untuk jawaban soal pemecahan masalah matematis siswa disesuaikan dengan
keadaan soal dan hal-hal yang ditanyakan, adapun pedoman penelitian didasarkan pada
pedoman penskoran rubric untuk kemampuan pemecahan masalah yang dikutip dari
sumarmo (1994).Sebelum diteskan, instrument yang dijadikan alat ukur tersebut diuji
cobakan untuk mengetahui validitas, reliabilitas, indeks kesukaran dan daya pembeda.
Rubrik skoring
level Kategori
0 Bukan jawaban yang sesuai.
1
Jawaban salah, tetapi beberapa alasan dicoba
mengemukakan
2 Jawaban benar, tetapi penalarannya tidak lengkap
3
Jawaban benar dan penalaran baik. Penjelasannya lebih
lengkap dari level 2, tetapi mengandalkan pada
pengetahuan konkret atau visual dari pengetahuan abstrak
4 Jawaban sempurna.
3.5 Instrumen Non Tes
Instrumen Non Tes yang peneliti pilih adalah bentuk Kuesioner (Angket). Kuesioner
(Angket) merupakan instrument untuk pengumpulan data, dimana partisipan atau
responden mengisi pertanyaan atau pernyataan yang diberikan oleh peneliti. Peneliti
dapat menggunakan kuisioner untuk memperoleh memperoleh data yang terkait dengan
pemikiran, perasaan, sikap, kepercayaan, nilai, persepsi, kepribadian dan perilaku dari
responden. Pada penelitian ini digunakan skala guttman untuk pengukuran angket. Skala
guttman adalah skala pengukuran yang hanya terdapat dua alternatif jawaban, yaitu “ya-
tidak”, “benar-salah”, “setuju-tidak setuju”. Jawaban dapat dibuat skor tertinggi satu dan
terendah nol. Missal untuk jawaban “setuju” diberi skor 1 dan “tidak setuju” diberi skor 0.
3.6 Teknik Analisis Data
3.6.1 Analisis Data Tes
Analisis data dimaksudkan untuk melakukan pengujian hipotesis dan menjawab rumusan
masalah yang diajukan dalam penelitian ini yaitu data kuantitatif. Pengolahan data
kuantitatif diperoleh dari hasil pretest dan posttest, yang selanjutnya dianalisis apakah
terdapat peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis melalui
pembelajaranVan Hiele. Analisis data kuantitatif menggunakan:
1. Uji normalitas
Uji normalitas untuk mengetahui apakah data berdistribusi normal atau tidak. Uji
normalitas dilakukan dengan menggunakan uji shapiro-wilk dengan taraf signifikan
95%. Jika data berdistribusi normal, maka analisis data dilanjutkan dengan uji
homogenitas varians untuk menentukan uji parametrik yang sesuai.
2. Uji Homogenitas
Uji homogenitas varians dilakukan jika data berdistribusi normal. Uji homogenitas
varians dilakukan untuk mengetahui apakah kedua kelompok data yang akan diuji
memiliki variansi yang homogen atau tidak. Untuk menguji homogenitas varians
dengan mengambil taraf signifikansi 95%.
3. Indeks gain
Untuk mengetahui kategori peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis
siswa di tiap kelas yaitu kelas yang menggunakan model pembelajaran Van Hiele
dengan siswa yang belajar menggunakan pembelajaran konvensional, dilakukan
perhitungan nilai indeks gain kedua kelas. Rumus yang digunakan adalah rumus gain
ternormalisasi (N-Gain) yang dikembangkan oleh Meltzer (Latifah, 2012:42) yakni:
Indeks gain =
Kategori gain yang dinormalisasi sebagai berikut:
Interpretasi Gain
Nilai Gain Normal (NG) Interpretasi
NG > 0,7 Gain tinggi
0,3 < NG 0,7 Gain sedang
NG 0,3 Gain rendah
4. Validitas
Menurut Suharsimi Arikunto (2013) sebuah tes dikatakan memiliki validitas jika
hasilnya sesuai dengan kriterium, dalam arti memiliki kesejajaran antara hasil tes
tersebut dengan kriterium.
Menurut Pearson, korelasi produk moment.
∑ (∑ )(∑ )
√( ∑ (∑ ) )( ∑ (∑ ) )
Keterangan : = Koefisien antara variabel x dan variabel y
x = Jumlah skor tiap item dari seluruh responden uji coba.
y = Jumlah skor total seluruh item dari keseluruhan
responden uji coba.
n = Jumlah responden uji coba.
Tolak Ukur yang Dibuat Guildford (Arikunto,2013)
Klasifikasi koefisien validitas
Besar r Hitung Interpretasi
0,800 ≤ r hitung ≤ 1,00 Validitas Sangat Tinggi
0,600 ≤ r hitung ≤ 0,800 Validitas Tinggi
0,400 ≤ r hitung ≤ 0,600 Validitas Cukup
0,200 ≤ r hitung ≤ 0,400 Validitas Rendah
0,00 ≤ r hitung ≤ 0,200 Validitas Sangat Rendah
r hitung < 0,00 Tidak Valid
5. Reliabilitas
Menurut Sperman dan Brown (dalam Arikunto : 2013), dalam menghitung besarnya
reliabilitas berhubungan dengan penambahan banyaknya butir. Menurut Husen Umar
menyatakan bahwa “reliabilitas adalah derajat ketepatan, ketelitian atau keakuratan
yang ditunjukkan oleh instrumen pengukuran“ (1991 : 52), suatu alat ukur dikatakan
reliabel bila alat tersebut dalam mengukur suatu gejala pada waktu yang berlebihan
menunjukkan hasil yang sama.
Rumus Combach Alpha (Arikunto: 2013: 122)
( ) (
∑
)
Keterangan:
: koefisien reliabilitas
: banyak butir soal
∑ : jumlah varians skor tiap-tiap item
: varians skor total
Klasifikasi koefisien Reliabilitas
Besar Interpretasi
Reliabilitas sangat rendah
Reliabilitas rendah
Reliabilitas sedang
Reliabiltas tinggi
Reliabilitas sangat tinggi
6. Daya pembeda
Menganalisis kesukaran tes soal artinya mengkaji soal-soal tes dari segi kesulitannya,
sehingga dapat diperoleh sol oal mana yang termasuk mudah, sedang dan sukar,
sedangkan menganalisis daya pembeda artinya mengkaji soal-soal tes dari segi
kesanggupan tes tersebut dalam kategori lemah atau rendah dan kategori kuat atau
tinggi persentasinya. (Wayan, 1983:134)
̅ ̅
Keterangan : DP = Daya pembeda
̅ = rata – rata skor kelompok atas tiap butir soal
̅ = rata – rata skor kelompok bawah tiap butir soal
SMI = skor maksimum tiap item
Klasifikasi daya pembeda
7. Indeks Kesukaran
Indeks Kesukaran menunjukkan apakah suatu butir soal tergolong sukar, sedang, atau
mudah. Butir soal tergolong sukrar, sedang, atau mudah. Butir soal yang baik adalah
butir soal yang tidak terlalu mudah atau tidak terlalu sukar.
̅
Keterangan : IK = Indeks Kesukaran
̅ = rata-rata skor
SMI = skor maksimum tiap item.
Klasifikasi IK menurut Eman Suherman dan sukjaya (1990:213)
Nilai Interprestasi
Ik = 0,00
0,00  IK  0,30
0,30  IK  0,70
Soal terlalu sukar
Soal sukar
Soal sedang
Soal mudah
Nilai Interpretasi
DP  0,00
0,00  DP  0,20
0,20  DP  0,40
0,40  DP  0,70
0,70  DP  1,00
Sangat Jelek
Jelek
Cukup
Baik
Sangat baik
0,70  IK  1,00
IK = 1,00
Soal terlalu mudah
3.6.2 Teknik Analisis Data Non Tes
1. Validitas
Rumus yang cocok untuk uji validitas dengan skala Guttman yaitu rumus koefisien
reprodusibilitas dan koefisien skalabilitas(effendi:2011) yang dikutip dalam
febiola(2014).
Rumus koefisien reprodusibilitas
( )
Keterangan :
= Jumlah kesalahan / Nilai eror
= Jumlah pernyataan dikali jumlah responden
Syarat penerimaan nilai koefisien reprodusibiltas yaitu apabila koefisien
reprodusibiltas memiliki nilai > 90.
Rumus koefisien skalabilitas
( )
Keterangan:
= Jumlah kesalahan / Nilai eror
= ({jumlah pernyataan dikali jumlah responden} – jumlah jawaban “ya”)
Syarat penerimaan nilai koefisien skalabilitas yaitu apabila koefisien
skalabilitas memiliki nilai > 60
2. Reliabilitas
Rumus yang cocok untuk pengujian reliabilitas skala guttman adalah rumus Kuder
Richardson 21 (KR 21), karena rumus ini cocok untuk pilihan jawaban yang sifat
dikotomi(febiola:2014).
Rumus KR 21
( )
{
( )
}
(Sugiyono:2014:180)
Keterangan:
= jumlah item dalam instrument
= mean skor total
= varians total
3.7 Jadwal Penelitian
No Kegiatan
Bulan / minggu ke-
November Desember Januari
I II III IV I II III IV V I II III IV
1
Penyusunan
Proposal
 
2
Pembuatan
Instrumen

4
Pelaksanaan
Uji Coba

5
Pelaksanaan
Pretest

6
Pelaksanaan
Pembelajara
n
   
7 Pelaksanaan 
Postest
8
Pengolahan
data

9
Penyusunan
Laporan
 
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi. 2001.Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan.Jakarta : PT Bumi Aksara.
Arikunto, Suharsimi. 2013. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Kania, Nia. 2013. Perbandingan Efektivitas Alat Peraga Kongkrit Dan Alat Peraga Maya
Terhadap Peningkatan Visual Thinking Siswa. Bandung: Repository Upi Edu.
Khoiriyah, Nor. 2013. Analisis Tingkat Berpikir Siswa Berdasarkan Teori Van Hiele Pada
Materi Dimensi Tiga Ditinjau Dari Gaya Kognitif Field Dependent Dan Field
Independent. Surakarta: Jurnal Pendidikan Matematika Solusi.
Khotimah, Husnul. 2013. Meningkatkan Hasil Belajar Geometri Dengan Teori Van
Hiele.Yogyakarta: Makalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional Matematika dan
Pendidikan Matematika dengan tema ” Penguatan Peran Matematika dan Pendidikan
Matematika untuk Indonesia yang Lebih Baik" pada tanggal 9 November 2013 di
Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY.
Priskilayuni. 2013. Pengaruh Model Pembelajaran Van Hiele Terhadappemahaman Konsep
Geometri Pada Mata Pelajaran Matematika Siswa Kelas V Sd Di Desa Panji
Anom.Singaraja: Universitas Pendidikan Ganesha.
Sugiyarti. 2013. Pengembangan Buku Siswa dengan Mengacu Lima Fase Belajar Model Van
Hiele pada Materi Bangun Ruang Sisi Datar Kelas VIII SMP
LaboratoriumUniversitas Negeri Malang. Semarang: Universitas Negeri Malang.
Surya, Edy. Peningkatan Representasi Visual Thinking Matematika Siswa Smp N 11 Medan
Dengan Melatih Ketrampilan Menggambar Dan Pendekatan Kontekstual. Medan
:Unimed Medan.
Susanti, Wiwi. 2011. Efektifitas model pembejajaran van hiele dengan alat peraga untuk
meningkatkan hasil belajar peserta didik pada materi pokok bangun ruang sisi datar
di kelas VIII MTs Darussalam kroya tahun pelajaran 2010/2011. Semarang : Institut
agama Islam negeri walisongo.
Sugiyono. 2014. Metode Penelitian Kombinasi (Mix Methods). Bandung: ALFABETA.
LAMPIRAN 1
MENINGKATKAN HASIL BELAJAR GEOMETRI DENGAN
TEORI VAN HIELE
Husnul Khotimah
Pendidikan Matematika, Universitas Negeri Yogyakarata
Abstrak
Matematika memiliki berbagai cabang ilmu, salah satunya adalah Geometri. Cabang ilmu ini
dipelajari semenjak Sekolah Dasar dan objeknya berupa benda konkret dalam kehidupan
sehari-hari sehingga siswa mudah mempelajarinya. Tetapi banyak bukti yang menyatakan
bahwa hasil belajar Geometri siswa masih rendah. Hal ini terjadi karena siswa masih merasa
kesulitan dalam mempelajari Geometri. Salah satu teori pembelajaran yang dapat diterapkan
untuk mengatasi kesulitan tersebut adalah teori Van Hiele. Dalam teori ini terdapat beberapa
langkah pembelajaran yang harus diterapkan guna meningkatkan kemampuan geometri
siswa.
Kata kunci: geometri, teori van hiele.
A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Salah satu bidang ilmu yang menggunakan kemampuan berpikir yang cukup tinggi adalah
matematika. Bidang ilmu ini dipelajari di setiap jenjang pendidikan. Hal tersebut sejalan
dengan pernyataan Suherman.et.al (2003: 55) bahwa matematika sekolah adalah
matematika yang diajarkan di sekolah, yaitu matematika yang diajarkan di pendidikan
dasar (SD dan SLTP) dan pendidikan menengah (SLTA dan SMK). Matematika sekolah
tetap memiliki ciri-ciri yang dimiliki matematika yaitu memiliki objek kejadian yang
abstrak serta berpola pikir deduktif konsisten.
Geometri merupakan salah satu cabang ilmu matematika. Menurut Galileo (Burshill-Hall,
2002: 21) geometri merupakan kunci untuk memahami alam. Alam di sini berarti seluruh
bentuk yang ada di dunia. Adapun menurut Kartono (2012:5) “berdasarkan sudut pandang
psikologi, geometri merupakan penyajian abstraksi dari pengalaman visual dan spasial,
misalnya bidang, pola, pengukuran dan pemetaan”. Geometri tidak hanya
mengembangkan kemampuan kognitif siswa tetapi juga membatu dalam pembentukan
memori yaitu objek konkret menjadi abstrak. Berdasarkan pendapat tersebut maka
geometri merupakan materi penting dalam pembelajaran matematika.
Tujuan pembelajaran geometri adalah agar siswa memperoleh rasa percaya diri mengenai
kemampuan matematikanya, menjadi pemecah masalah yang baik, dapat berkomunikasi
secara matematik, dan dapat bernalar secara matematik (Bobango, 1993: 148). Sedangkan
Budiarto (2000: 439) menyatakan bahwa tujuan pembelajaran geometri adalah untuk
mengembangkan kemampuan berpikir logis, mengembangkan intuisi keruangan,
menanamkan pengetahuan untuk menunjang materi yang lain, dan dapat membaca serta
menginterpretasikan argumenargumen matematik.
Pada dasarnya geometri mempunyai peluang yang lebih besar untuk dipahami siswa
dibandingkan dengan cabang matematika yang lain. Hal ini karena ide-ide geometri sudah
dikenal oleh siswa sejak sebelum mereka masuk sekolah, misalnya garis, bidang dan
ruang.
Meskipun geometri diajarkan, namun kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa materi
geometri kurang dikuasai oleh sebagian besar siswa. Masih banyak siswa yang
mengalami kesulitan dalam belajar geometri, salah satunya pada tingkatan SMA.
Berdasarkan persentase penguasaan materi soal matematika ujian nasional SMA/MA
pada kemampuan menghitung jarak dan sudut antara dua objek (titik, garis dan bidang) di
ruang di Kota Yogyakarata yaitu 57,52%. Dari angka tersebut terlihat bahwa kemampuan
tersebut masih cukup jauh dari 100%. Serta termasuk salah satu kemampuan yang
memiliki persentase rendah jika dibandingkan dengan kemampuan yang lain. Rendahnya
hasil ujian tersebut merupakan salah satu tanda bahwa siswa mengalami permasalahan
dalam menyelesaikan soal geometri.
Berdasarkan observasi yang telah dilakukan oleh Badi Rahmat Hidayat, terdapat beberapa
masalah yang dapat diindikasikan sebagai penyebab bahwa materi dimensi tiga
merupakan salah satu materi yang sulit untuk dapat dipahami oleh siswa, anata lain:
a. Keterampilan siswa dalam menggambar dan mempergunakan alat-alat untuk
menggambar bangun-bangun ruang tiga dimensi masih rendah.
b. Kemampuan pemahaman konsep matematika siswa masih kurang memuaskan.
c. Sebagian siswa hanya mengandalkan hafalan tanpa memahami konsep sehingga
melakukan kesalahan dalam menyelesaikan soal.
d. Materi prasyarat diantaranya adalah garis lurus, sudut, luas bangun datar,
trigonometri dan syarat-syarat berlakunya teorema Phytagoras belum dikuasai oleh
sebagian siswa.
Permasalahan tersebut terjadi karena siswa tidak memahami konsep dan prinsip. Dalam
kenyataannya seperti miskonsepsi mengenai jarak dua garis sejajar dan jarak dua bidang
yang sejajar, tidak bisa menghubungkan komponen dari geometri yang diketahui pada
soal menjadi satu kesatuan, dan kesalahan konsep dalam memahami pengertian dan letak
sudut surut serta perbandingan proyeksi pada gambar bangun ruang kubus(Hidayat B.R,
2013).
Terdapat suatu fase pembelajaran yang cocok untuk diterapkan dalam mempelajari
geometri. Fase tersebut ditemukan oleh Dina dan Pierre Van Hiele pada tahun 1986.
Sehingga fase tersebut sering disebut dengan model pembelajaran Van Hiele. Adapun
urutan fase yang dialami siswa yaitu informasi, petunjuk orientasi, pengeksplisitan, dan
orientasi bebas. Van Hiele juga membagi kemampuan berpikir geometri menjadi lima
level. Agar kelima level tersebut tercapai maka salah satu caranya adalah dengan
menerapkan keempat fase di atas.
Untuk siswa SMA, kemampuan berpikir geometri berada pada level 2 (abstraksi). Tetapi
pada kenyataannya masih ada siswa SMA yang berada pada level 0 (visualisasi)
(Hidayat B.R, 2013). Berdasarkan permasalahan dan kajian toeri tersebut maka
diterapkanlah model pembelajaran Van Hiele. Dengan penerapan model pembelajaran
ini diharapkan prestasi belajar siswa meningkat.
2. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada bagian latar belakang di atas, maka masalah penelitian ini
dinyatakan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:
a. Mengapa model pembelajaran Van Hiele dapat meningkatkan kemampuan berpikir
geometri siswa?
b. Bagiamana skenario model pembelajaran Van Hiele?
3. Tujuan dan Manfaat
Adapun tujuan dan manfaat dari penulisan ini adalah:
a. Mengetahui penyebab bahwa penerapan model pembelajaran Van Hiele dapat
meningkatkan kemampuan berpikir geometri siswa. Dengan mengetahui penyebabnya
maka seorang guru tidak salah dalam menerapkan model pembelajaran ini dan
mengetahui esensi dari setiap fase.
b. Mengetahui skenario model pembelajaran Van Hiele dengan tepat. Dengan adanya
scenario ymaka seorang guru tidak salah dalam melaksanakan urutan pembelajaran.
B. PEMBAHASAN
Teori Van Hiele merupakan salah satu teori yang dapat mengukur kemampuan geometri
siswa. Seperti nama teori ini, maka teori dikemukan oleh Dina dan Pierre Van Hiele pada
tahun 1986. Mereka melakukan penelitian mengenai berpikir geometri di sekolah. Menurut
teori ini terdapat lima level yang dilalui siswa dalam belajar geometri. Penggunaan level
disini bukan untuk mengakategorikan siswa tetapi untuk mengetahui sudah sampai dimana
kemampuan berpikir geometri siswa. Siswa secara bertahap melalui kelima level tersebut.
Berdsarakan penelitian biasanya berada pada level 0, siswa SMP berada pada level 0 dan 1,
sedangkan siswa SMA sudah berada pada level 2.
Menurut Keyes & Anne (Abdussakir, 2010) setiap level pada teori Van Hiele harus dilalui
dengan berurutan. Ketika siswa berada pada level yang lebih tinggi maka level dibawahnya
pasti sudah dikuasai. Dalam Burger & Shaughnessy (1986: 31) dan Mason & Wilder (2004:
309) terdapat 5 level berpikir geometri berdasarkan teori Van Hiele:
1. Level 0 (Visualisasi)
Pada level ini siswa hanya memperhatikan bangun secara visual saja tanpa
mengetahui sifat-sifat bangun tersebut. Misalnya, dengan melihat saja diketahui
bahawa dua segitiga adalah sama, tanpa mengetahui alasannya. Tingkat ini sering
disebut tingkat pengenalan. Namun bentuk-bentuk geometri yang dikenal anak
semata-mata didasarkan pada karakteristik visual atau penampakan bentuknya secara
keseluruhan, bukan perbagian. Dalam mengidentifikasi bangun, mereka seringkali
menggunakan prototipe visual. Sebagai contoh, mereka mengatakan bahwa bangun
yang diketahui adalah balok, karena seperti kotak. Anak belum menyadari adanya
sifat-sifat dari bangun geometri.
2. Level 1 (Analisis)
Pada level ini kemampuan berpikir siswa berkembang dengan mendeskripsikan suatu
bangun menggunakan bahasa sendiri sesuai level sebelumnya. Konsep geometri mulai
tertanam dalam benak siswa dengan mulai memperhatikan bagian-bagian dan sifat-
sifat suatu bangun. Sebagai contoh, dua balok dapat dikatakan sama dengan
mengenali sifat-sifatnya. Melalui pengamatan, eksperimen, mengukur, menggambar,
dan memodel, siswa dapat mengenali dan membedakan karakteristik suatu bangun.
Anak-anak melihat bahwa suatu bangun mempunyai bagian-bagian tertentu yang
dapat dikenali. Namun demikian anak-anak belum sepenuhnya dapat menjelaskan
hubungan antara sifat yang satu dengan sifat yang lain, anak-anak sama sekali belum
bisa melihat hubungan antara beberapa bangun, dan definisi abstrak belum atau tidak
dapat dimengerti.
3. Level 2 (Abstraksi)
Pada level ini siswa menggunakan bahasa untuk mengetahui perbedaan dari setiap
bangun sesuai dengan level sebelumnya. Siswa secara logis menggolongkan sifat-sifat
berdasarkan konsep, membentuk definisi abstrak, dan dapat membedakan antara
keperluan dan kecukupan dari kumpulan sifat-sifat untuk menentukan konsep. Pada
tahap ini anak sudah mulai mampu untuk melakukan penarikan kesimpulan secara
deduktif, tetapi masih pada tahap awal artinya belum berkembang baik.
4. Level 3 (Deduksi Informal)
Pada tingkat ini berpikir deduksi siswa sudah mulai berkembang dan penalaran
deduksi sebagai cara untuk membangun struktur geometri dalam sistem aksiomatik
telah dipahami. Hal ini telah ditunjukkan siswa dengan membuktikan suatu
pernyataan tentang geometri dengan menggunakan alasan yang logis dan deduktif.
Struktur deduktif aksiomatik yang lengkap dengan pengertian pangkal,
postulat/aksioma, definisi, teorema, dan akibat yang secara implisit ada pada tingkat
deduksi informal, menjadi objek yang eksplisit dalam pemikiran anak pada tingkat
ini.
5. Level 4 (Deduksi Formal)
Pada tingkat ini siswa dapat bekerja dalam berbagai struktur deduksi aksiomatik.
Siswa dapat menemukan perbedaan antara dua struktur. Siswa memahami perbedaan
antara geometri Euclides dan geometri non-Euclides. Siswa memahami aksioma-
aksioma yang mendasari terbentuknya geometri non-Euclides.
Dalam mempelajari geometri kecerdasan spasial juga sangat mempengaruhi
kemampuan berpikir geometri siswa. Kecerdasan ini membantu siswa untuk memahami
hubungan antar objek dan lokasi mereka dalam dunia tiga dimensi. Spasial adalah
kemampuan untuk merasakan objek baik hubungannya dengan objek lain maupun orientasi
objek itu sendiri. Adapun menurut Abdurrahman (2012: 117-118) ada lima jenis
kemampuan visual spasial yaitu :
1. Hubungan keruangan (spatial relation), menunjukan persepsi tentang posisi berbagai
objek dalam ruang.
2. Diskriminasi visual (visual discrimination), menunjukan pada kemampuan
membedakan suatu objek dari objek yang lain.
3. Diskriminasi bentuk latar belakang (figure-ground discrimination), menunjukan pada
kemampuan membedakan suatu objek dari latar belakang yang mengelilinginya.
4. Visual clouseir, menunjukan pada kemampuan mengingat dan mengidentifikasi suatu
objek, meskipun objek tersebut tidak diperhatikan secara keseluruhan.
5. Mengenal objek (object recognition), menunjukan pada kemampuan mengenal sifat
berbagai objek pada saat mereka memandang. geometri menurut teori Van Hiele,
terutama level 0 dan
Selanjutnnya untuk meningkatkan level kemampuan berpikir geometeri Van Hiele
mengajukan beberapa fase untuk dilalui.
1. Informasi
Pada fase ini siswa telah mendapatkan informasi mengenai suatu bentuk geometri.
Informasi yang diperoleh siswa bisa berasal dari pembelajaran sebelumnya maupun
informasi dari kehidupan sehari-hari. Dengan adanya informasi tersebut siswa dapat
mengenali domain kerja. Ketika siswa mengetahui objek tersebut secara visual maka ia
dapat membedakan suatu objek dengan objek yang lain (diskriminasi visual). Dalam
pembelajaran gometri hal ini ditunjukkan dengan mengetahui yang contoh dan bukan
contoh (visual clousier). Untuk mengetahui informasi yang dimiliki siswa maka seorang
guru harus mengetahui kemampan awal mereka. Ketika ada siswa yang tidak tau maka
dengan adanya apersepsi maka siswa tersebut akan mengetahunya terutama tau bentuk
secara visual dan namanya.
2. Orientasi langsungm
Pada fase ini siswa berorientasi secara langsung pada objek geometri yang akan
dipelajari. Siswa menyelesaikan tugas yang melibatkan hubungan berbeda dari sistem
yang dibentuk (contoh: melipat, mengukur, menemukan simetri (figure-ground
discrimination)). Agar siswa dapat berorientasi langsung maka guru harus menyediakan
sarana. Sarana yang dibutuhkan siswa adalah berupa media pembelajaran. Dengan
ketersediaan media maka siswa dapat menemukan sendiri sifat pada suatu objek geometri.
Pemilihan media harus melibatkan siswa dalam menemukan sifat-sifat dari bentuk
geometri. Terkadang guru memang menggunakan media, tetapi hanya untuk guru sendiri
bukan ditemukan siswa.Banyak sekali media yang dapat digunakan baik modern berbasi
komputer maupun tradisional. Anak merupakan bagian dari dunia fisik, sehingga
pengalaman langsung dengan benda-benda sangat penting dalam belajar. Ini merupakan
dasar dari tahapan berpikir konkret-operasional yaitu pada masa usia sekolah (Copeland:
1979). Anak harus dirangsang untuk membandingkan objek dalam memahami relasi yang
ada diantara karakteristikkarakteristik atau sifat-sifat benda tertentu dengan benda
lainnya.
3. Penjelasan
Dengan penemuan tersebut maka siswa menjadi ingin tahu mengenai hubungan, mencoba
untuk menjelaskannya dengan kata-kata, dan mempelajari cara menyampaikan yang tepat
dengan materi sujek (contoh: menjelaskan ide-ide mengenai sifat-sifat dari bangun).
Siswa menyatakan pandangan yang muncul mengenai struktur yang diobservasi. Siswa
dapat mengetahui posisi berbagai objek dalam ruang (hubungan keruangan). Di samping
itu untuk guru membantu siswa menggunakan bahasa yang tepat dan akurat untuk
menjelaskan mengenai apa yang baru diamati. Ketika siswa menemukan sendiri sifat pada
objek geometri maka mereka akan memahami konsep dan hubungan antar sifat yang
ditemukan (mengenal objek). Tetapi ketika guru yang menjelaskan maka siswa hanya
menghafal saja.
4. Orientasi bebas
Siswa belajar, dengan menyelesaikan tugas-tugas yang lebih kompleks, untuk
menemukan cara mereka sendiri dalam mengubungkan hubungan yang ada. (contoh:
mengetahui sifatsifat dari semacam bentuk, menginvestigasi sifat-sifat tersebut apakah
bangun baru atau bangun yang sudah diketahui misalnya layang-layang). Soal-soal yang
biasa diselesaikan adalah berupa open-ended.
5. Integrasi
Siswa menyimpulkan seluruh hal yang dipelajari mengenai subjek, lalu merefleksikannya
dengan tindakan dan memperoleh sebuah pandangan baru terhadap hubungan subjek.
(contoh: sifat-sifat dari suatu bangun disimpulkan). Dengan menerapkan fase di atas, maka
kemampuan berpikir geometri siswa akan meningkat. Peningkatan kemampuan geometri
dapat dilihat dari peningkatan nilian hasil belajar siswa. Fase tersebut telah dibuat secara
terstruktur dan melibatkan semua kemampuan spasial. Sehingga dapat melatih kemampuan
visual spasial. Setiap fase sangat penting dilakukan untuk diterapkan untuk meningkatkan
level kemampuan berpikir geometri. Berdasarkan penjelasan di atas, maka setiap level dapat
dibuat langkah pembelajarannya. Adapun langkah-langkah dalam menerapkan model
pembelajaran Van Hiele (Abdussakir: 2010) adalah:
2. Aktivitas Level 0 (Visualisasi)
Pada tahap 0 ini, bangun-bangun geometri diperhatikan berdasarkan penampakan fisik
sebagai suatu keseluruhan. Aktivitas untuk tahap ini antara lain sebagai berikut.
a. Melibatkan penggunaan model fisik yang dapat digunakan siswa untuk
manipulasi, mewarna, melipat dan mengkonstruk bangun geometri.
b. Melibatkan kegiatan memilih, suatu gambar sederhana, dalam kumpulan potongan
bangun, atau alat peraga yang lain, dalam berbagai orientasi, melibatkan objek-
objek fisik lain di dalam kelas, rumah, atau tempat lain.
c. Membuat bangun dengan menjiplak gambar pada kertas bergaris, menggambar
bangun, dan mengkonstruk bangun. Dan mendeksripsi-kan bangun-bangun
geometri dan mengkonstruk secara verbal menggunakan bahasa baku atau tidak
baku, misalnya kubus “seperti pintu atau kotak.”
d. Mengerjakan masalah geometri yang dapat dipecahkan dengan me-nyusun,
mengukur, dan menghitung.
3. Aktivitas Level 1 (Analisis)
Pada level 1 ini siswa diharapkan dapat mengungkapkan sifat-sifat bangun geometri.
Aktivitas untuk tahap ini antara lain sebagai berikut.
a. Menggunakan model-model pada tahap 0, terutama pada model-model yang dapat
digunakan untuk mengeksplorasi bebagai sifat bangun.
b. Membandingkan bangun-bangun berdasarkan karakteristik sifat-sifat-nya.
c. Mengidentifikasi dan menggambar bangun yang diberikan secara verbal atau
diberikan sifat-sifatnya secara tertulis.
d. Mengidentifikasi sifat-sifat yang dapat digunakan untuk mencirikan atau
mengkontraskan kelas-kelas bangun yang berbeda.
e. Menemukan sifat objek yang tidak dikenal.
f. Menyelesaikan masalah geometri yang dapat mengarahkan untuk mengetahui dan
menemukan sifat-sifat suatu gambar, relasi geometri, atau pendekatan berdasar
wawasan.
g. Membuat bangun dengan menjiplak gambar pada kertas bergaris, menggambar
bangun dan mengkonstruk bangun. Dan mendeksripsi-kan bangun-bangun
geometri dan mengkonstruk secara verbal menggunakan bahasa baku atau tidak
baku, misalnya kubus “seperti pintu atau kotak.”
h. Mengerjakan masalah geometri yang dapat dipecahkan dengan me-nyusun,
mengukur, dan menghitung.
4. Aktivitas Level 1 (Analisis)
Pada level 1 ini siswa diharapkan dapat mengungkapkan sifat-sifat bangun geometri.
Aktivitas untuk tahap ini antara lain sebagai berikut.
a. Menggunakan model-model pada tahap 0, terutama pada model-model yang dapat
digunakan untuk mengeksplorasi bebagai sifat bangun.
b. Membandingkan bangun-bangun berdasarkan karakteristik sifat-sifat-nya.
c. Mengidentifikasi dan menggambar bangun yang diberikan secara verbal atau
diberikan sifat-sifatnya secara tertulis.
d. Mengidentifikasi sifat-sifat yang dapat digunakan untuk mencirikan atau
mengkontraskan kelas-kelas bangun yang berbeda.
e. Menemukan sifat objek yang tidak dikenal.
f. Menyelesaikan masalah geometri yang dapat mengarahkan untuk mengetahui dan
menemukan sifat-sifat suatu gambar, relasi geometri, atau pendekatan berdasar
wawasan.
5. Aktivitas Level 2 (Deduksi Informal)
Pada level 2 ini siswa diharapkan mampu mempelajari keterkaitan antara sifat-sifat
dan bangun geometri yang dibentuk. Aktivitas siswa untuk tahap ini antara lain
sebagai berikut.
a. Mempelajari hubungan yang telah dibuat pada level 1, dan membuat
implikasi.
b. Mengidentifikasi sifat yang perlu dan cukup untuk kondisi bangun.
c. Membuat dan menggunakan definisi dengan bahasanya sendiri.
d. Mengikuti argumen-argumen informal dan menyajikan argumen informal.
e. Mengikuti argumen deduktif, mungkin dengan menyisipkan langkah-langkah
yang kurang.
f. Melibatkan kerjasama dan diskusi yang mengarah pada pernyataan dan
konversnya.
g. Menyelesaikan masalah yang menekankan pada pentingnya sifat-sifat gambar
dan saling keterkaitannya.
Setiap level telah menggunakan fase Van Hiele. Tetapi hanya dibatasi pada level 2. Fase
tersebut dapat digunakan untuk mempelajari setiap bentuk geometri. Setiap bentuk geometri
pasti memiliki sifat, komponen, dan hubungna dengan bentuk geometri lainnya. Dengan
bantuan fase-fase tersebut, seorang guru diharapkan dapat membantu siswa dalam
meningkatkan kemampuan berpikir geometri yang ditunjukkan dengan kemampuan hasil
belajar yaitu tercapainya nilai KKM (75).
C. KESIMPULAN
Kesimpulan dari penulisan ini adalah dengan menerapkan fase di atas, maka kemampuan
berpikir geometri siswa akan meningkat. Peningkatan kemampuan geometri dapat dilihat
dari peningkatan nilian hasil belajar siswa. Hal ini terjadi karena pada fase informasi
seorang guru memastikan kemampuan siswa dalam bentuk geometri. Selanjutnya pada
fase orientasi langsung, bentuk geometri yang abstrak dikonkretkan dengan media belajar.
Siswa memanipulasi media belajar tersebut sehingga tercipta suatu konsep dan guru
memastikan kebenarannya (penjelasan). Selanjutnya pengerjaan latihan soal untuk
membukitkan pemahaman konsep (orientasi bebas). Pada akhirnya siswa looking back
terhadap materi pembelajaran tersebut (integrasi). Fase tersebut telah dibuat secara
terstruktur dan melibatkan semua kemampuan spasial.
D. DAFTAR PUSTAKA
Abdussakir. (2010). Pembelajaran geometri sesuai teori Van Hiele. Jurnal Kependidikan dan
Keagamaan, Vol VII Nomor 2. Fakultas Tarbiyah UIN Maliki Malang.
Bobango, J.C. (1993). Geometry for all student: Phase-Based Instruction. Dalam Cuevas
(Eds).
Reaching All Students With Mathematics. Virginia: The National Council of Teachers of
Mathematics,Inc.
Budiarto, M.T. (2000). Pembelajaran geometri dan berpikir geometri. Dalam prosiding
Seminar Nasional Matematika “Peran Matematika Memasuki Milenium III”. Jurusan
Matematika FMIPA ITS Surabaya. Surabaya, 2 November.
Burger, W.F. & Shaughnessy, J.M. (1986). Characterizing The Van Hiele Levels Of
Ddevelepmont In Geometry. Journal for research in Mathematics Education Vol 17. No.1,
31 – 48.
Bursill-Hall, P. (2002). Why do we study geometry? Answer through the ages. Departement
of Pure Mathematics and Mathematical Statistics University Of Cambridge.
Ekawati,E. (2011). Peran, Fungsi, Tujuan dan Karakteristik Matematika Sekolah. PPPPTK
Matematika.
Hidayat, B.R., et al. (2013). Analisis Kesalahan Siswa Dalam Menyelesaikan Soal Pada
Materi Ruang Dimensi Tiga Ditinjau dari Gaya Kognitif Siswa. Jurnal Pendidikan
Matematika Solusi Vol 1 No.1 Maret 2013.
Kartono. (2012). Hands On Activity Pada Pembelajaran Geometri Sekolah Sebagai Asesmen
Kinerja Siswa. Jurusan Matematika FMIPA UNNES.
Kennedy , L.M., Tipps, S, & Johnson, A. (2008). Guiding children’s learning of
mathematics, Eleventhh Edition. Thomson Higher Education. USA.
Mason, J., & Wilder, S.J. (2004). Fundamental in mathematics education. RoutledgeFalmer.
USA.
Suherman, E, et al. (2003). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Jurusan
Pendidikan matematika Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Pendidikan Indonesia.
LAMPIRAN 2
PENINGKATAN REPRESENTASI VISUAL THINKING MATEMATIKA SISWA
SMP N 11 MEDAN DENGAN MELATIH KETRAMPILAN MENGGAMBAR
DAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL
Oleh : Edy Surya
Dosen Matematika Unimed Medan
E-mail : edy_surya71@yahoo.com
Abstrak
Siswa SMP terkadang kurang percaya diri dalam memahami dan memecahkan masalah
matematika. Masalah yang ditemukan antara lain siswa kurang menguasai konsep, kurang
dapat merepresentasikan apa yang dipikirkan sehingga hasil belajar tidak maksimal. Alasan
lain yang dikemukakan siswa bahwa mereka harus menguasai banyak materi pelajaran di
samping pelajaran matematika, mengerjakan banyak tugas-tugas serta kurang mengerti materi
pelajaran yang disampaikan guru. Begitu juga ditemukan bahwa guru matematika kurang
percaya diri dalam mengajar dan mengatasi berbagai pertanyaan serta kesulitan yang dialami
siswa. Sebagian besar guru kurang trampil menggambar apa yang dipikirkannya pada materi
geometri dan merepresentasikan soal cerita pada saat mengajar dan pemecahan masalah
matematika. Begitu juga pada penguasaan teori dan model pembelajaran. Rendahnya hasil
belajar siswa dapat disebabkan materi matematika tidak dikaitkan dengan kehidupan
lingkungan siswa, strategi dan metode pembelajaran guru yang kurang tepat dan kurang
sesuai dengan materi dan karakteristik siswa. Pada dasarnya siswa sangat membutuhkan
pembelajaran matematika yang jelas, menarik, kreatif, dan menyenangkan. Desain penelitian
merupakan penelitian eksprimen yang menerapkan pendekatan kontekstual dan pendekatan
konvensional. Sampel yang diteliti adalah siswa kelas VIII SMPN 11 Medan pada dua kelas
berjumlah 96 orang. Pengambilan sampel dengan purposive sample. Instrumen penelitian tes
dan non tes. Tes kemampuan representasi visual thinking diberikan sebelum dan sesudah
pembelajaran dan non tes berupa angket diberikan kepada siswa. Pembelajaran matematika
dengan pendekatan kontekstual dapat meningkatkan pemahaman siswa, meningkatkan
representasi visual thinking, trampil membuat pola dan menggambar, membuat kalimat
matematika, mengkomunikasikan dan menceritakan kembali masalah matematika. Guru
matematika harus dapat merencanakan, melaksanakan, memantau, mengevaluasi PBM
matematika. Pembelajaran yang aktif, kreatif, menyenangkan dan mengkaitkan dengan
sumber daya lingkungan diharapkan dapat memaksimalkan hasil belajar matematika dan
membentuk sumber daya siswa yang mandiri.
Kata kunci : representasi, visual thinking, ketrampilan menggambar, kontekstual
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu
perubahan, dalam pengetahuan, pemahaman, ketrampilan dan nilai sikap, dimana perubahan
ini tidak lepas dari peran guru sebagai pengajar. Dalam proses belajar ini pula keaktifan tiap
siswa dalam melakukan ketrampilan, eksplorasi, penemuan-penemuan baru supaya lebih
ditingkatkan. Agar proses belajar berjalan dengan baik hendaknya mengaitkan pembelajaran
dengan kehidupan siswa sehari-hari. Seting kelas berbentuk kooperatif, sehingga siswa dapat
saling memunculkan strategi-strategi pemecahan masalah yang sesuai dengan
kemampuannya yang mandiri, efektif dan dibawah bimbingan orang dewasa (guru) atau
teman sebaya yang lebih mampu.
Tokoh Sains dan Matematika Yohannes Surya (Choto,, 2011 ) mengatakan, harus ada
reformasi terhadap pola pembelajaran Matematika. Ia beranggapan perlu ada modifikasi
dalam metode pengajaran Matematika. Menurut dia, metode dalam pembelajaran Matematika
tidak akan bisa sempurna dan pasti mempunyai kekurangan. Ada metode yang cocok
digunakan di suatu tempat, tetapi tidak cocok di tempat lainnya. Sebab, tingkat pemahaman,
kemampuan, dan akses terhadap Matematika di beberapa tempat relatif berbeda.
Guru matematika dalam kegiatan belajar mengajar tidak harus terpaku dengan menggunakan
satu model. Guru sebaiknya juga menggunakan model yang bervariasi agar jalannya
pembelajaran tidak membosankan tetapi menarik perhatian anak didik. Seorang guru harus
kompeten dalam memilih suatu model pembelajaran untuk menyampaikan materi pelajaran.
Pembelajaran kontekstual dan kooperatif merupakan suatu model pengajaran dimana siswa
belajar dikaitkan dengan sumber daya lingkungan dan belajar dalam kelompok-kelompok
kecil yang mempunyai tingkat kemampuan bebeda-beda.
Temuan hasil identifikasi berdasarkan aspek pelaksanaan KBM Matematika SMP antara lain
sebagai berikut : a) Pembelajaran tidak mengacu pada RPP yang telah dibuat
sehingga tidak terarah hanya mengikuti alur buku teks, b) Pelaksanaan KBM matematika di
kelas tidak didukung oleh sarana prasarana. Papan tulis yang bisa dipakai untuk penggunaan
jangka dan alat peraga, c) Metode pembelajaran di kelas kurang bervariasi, guru cenderung
selalu menggunakan metode ceramah, d) Evaluasi tidak mengacu pada indikator yang telah
diajarkan, guru mengambil soal-soal dalam buku teks yang ada, e) Siswa kesulitan dalam
menggambar geometri dan menggunakan alat pembelajaran matematika seperti penggaris,
jangka, kalkulator dan busur (Depdiknas, 2007; Surya 2011)
2. Tujuan
Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang telah diuraikan tujuan penelitian ini
adalah untuk mengetahui rata-rata peningkatan kemampuan representasi visual thinking
siswa setelah pembelajaran matematika dengan ketrampilan menggambar dengan pendekatan
pembelajaran kontekstual.
TINJAUAN TEORI
1. Visual Thinking
Visual Thinking atau Berpikir Visual adalah proses intelektual intuitif dan ide imajinasi
visual, baik dalam pencitraan mental atau melalui gambar (Brasseur, 1991 : 130).
Goldsmchmidt, 1994; Laseau, 1986) menyatakan mengandalkan proses berpikir bahasa
gambar visual, bentuk, pola, tekstur, symbol. Namun Visual Thinking memerlukan lebih
banyak dari pada visualisasi atau representasi. John Steiner (1997) menyatakan “ Ini adalah
mewakili sensasi pengetahuan dalam bentuk struktur ide, aliran ide itu bisa sebagai gambar,
diagram, penjelasan model, lukisan yang diatur ide-ide besar dan penyelesaian sederhana.
Visual Thinking dapat didefinisikan sebagai sesuatu pemikiran yang aktif dan proses analitis
untuk memahami, menafsirkan dan memproduksi pesan visual, interaksi antara melihat,
membayangkan, dan menggambarkan sebagai tujuan dapat digunakan, dan canggih seperti
berpikir verbal. Zimmerman dan Cunningham (1991) menyatakan visualisasi adalah proses
pembentukan gambar (mental, atau dengan kertas dan pensil
atau dengan bantuan teknologi. Visualisasi adalah suatu tindakan dimana seseorang individu
membentuk hubungan yang kuat antara internal membangun sesuatu yang diakses diperoleh
melalui indra. Sambungan berkualitas tersebut dapat dibuat dalam salah satu dari dua arah.
Pada hakekatnya belajar matematika adalah berpikir dan berbuat atau mengerjakan
matematika. Disinilah makna dan strategi pembelajaran matematika adalah strategi
pembelajaran yang aktif, yang ditandai oleh dua faktor : a) Interaksi optimal antara seluruh
komponen dalam proses belajar mengajar di antarnya antara komponen utama yaitu guru dan
siswa, b) Berfungsinya secara optimal seluruh „‟sense‟‟ yang meliputi indera, emosi, karsa,
karya, dan nalar. Hal itu dapat berlangsung antara lain jika proses itu melibatkan aspek
visual, audio, maupun teks (Anderson, 1981, dalam Krismanto, 2003).
Tiga cara berpikir (Sword, 2005) yaitu : (1) auditory thinking, visual thinking, dan
kinaesthetic thinking, berhubungan bagaimana otak kita berproses berdasar indra
pendengaran, penglihatan, indra badan (gerak tubuh) dan perasaan seperti gambar di bawah.
BRAIN
Auditory Thinking Visual Thinking Kinaesthetic Thinking
sad- happy
Bodies and Feelings
SEEING
HEARING
Gambar 1. Tiga cara berpikir (Sword, 2005)
Siswa biasanya kesulitan menjembatani pengetahuan informal ke matematika sekolah. Dalam
mengatasi kesulitan (gap) tersebut dibutuhkan waktu (pembelajaran), pengalaman (latihan)
dan bantuan dalam pembelajaran oleh guru (scaffolding).
Penggunaan terstruktur materi konkrit penting untuk mengamankan link tersebut, tidak hanya
pada awal konsep-konsep dasar, tetapi juga selama tahap-tahap pengembangan konsep
tingkat tinggi matematika. Siswa perlu bimbingan dan bantuan khusus pada berbagai bentuk
representasi pemikiran visual (visual thinking) dari apa yang mereka maksud atau mereka
pikirkan sehingga dapat divisualisasikan dalam bentuk struktur ide, ide tersebut bisa sebagai
angka, simbol, gambar, diagram, penjelasan model, lukisan yang dapat membantu siswa
dalam proses belajar dan menyelesaikan permasalahan matematika mereka.
Kemampuan untuk memecahkan masalah adalah jantung matematika, visualisasi merupakan
inti pemecahan masalah matematika. Visualisasi adalah kemampuan untuk melihat dan
memahami situasi masalah. Memvisualisasikan suatu situasi atau objek melibatkan
“Memanipulasi mental berbagai altenatif untuk memecahkan masalah yang berkaitan dengan
suatu situasi atau objek tanpa manfaat manipulative kongkrit (MOE, 2001: 51). Visualisasi
dapat menjadi alat kognitif yang kuat dalam masalah pemecahan matematis hal ini ditandai
sebagai ketrampilan yang penting dalam pembelajaran dan penerapan matematika.
Visualisasi yang dilakukan oleh siswa melewati proses berikut ketika memecahkan masalah
matematika (MOE, 2001) : 1) Memahami hubungan unsur-unsur spasial (keruangan) dalam
masalah, 2) Keterkaitan satu sama lain ke pemecahan masalah,
3)Mengkonstruksi/membangun sebuah representasi visual (dalam pikiran, pada kertas, atau
melalui penggunaan alat-alat teknologi), 4) Menggunakan representasi visual untuk
memecahkan masalah, 5) Encoding jawaban atas masalah
Sebagai bagian dari proses pemecahan masalah para siswa akan membangun representasi
visual seringkali dalam bentuk diagram, digambar di atas kertas kerja siswa. Visualisasi
mempunyai fungsi yang berbeda atau peran ketika siswa menggunakannya untuk
memecahkan masalah. Siew Yin (2009) mengidentifikasikan tujuh peran dari visualisasi : (1)
Untuk memahami masalah.
Dengan mewakili masalah visual, siswa dapat memahami bagaimana unsur-unsur dalam
masalah berhubungan satu sama lain, (2) Untuk menyederhanakan masalah.
Visualisasi memungkinkan siswa untuk mengidentifikasi versi sederhana dari masalah,
memecahkan masalah dan kemudian memformalkan pemahaman soal yang diberikan dan
mengidentifikasi metode yang bekerja untuk semua masalah tersebut, (3) Untuk melihat
koneksi ke masalah terkait. Ini melibatkan masalah yang berkaitan diberikan kepada
pengalaman memecahkan masalah sebelumnya, (4) Untuk memenuhi gaya belajar individu.
Setiap siswa memiliki preferensi sendiri ketika datang ke penggunaan representasi visual saat
memecahkan masalah, (5) Sebagai pengganti untuk perhitungan. Jawaban terhadap masalah
dapat diperoleh langsung dari representasi visual itu sendiri, tanpa perlu untuk perhitungan,
(6) Sebagai alat untuk memeriksa solusi. Representasi visual dapat digunakan untuk
memeriksa kewajaran dari jawaban yang diperoleh, (7) Untuk mengubah masalah ke dalam
bentuk-bentuk matematis. Bentuk matematis dapat diperoleh dari representasi visual untuk
memecahkan masalah.
Untuk membantu siswa mengembangkan ketrampilan visualisasi, pertama guru harus
mendesain bahan kurikulum dan guru harus memperhatikan faktor-faktor yang
mempengaruhi pilihan siswa pada metode pemecahan masalah. Proses dan peran/ide yang
dipakai memvisualisasi pemecahan masalah matematika. Siew Yin (2007) juga
merekomendasikan bahwa guru perlu meningkatkan kesadaran siswa dari tiga jenis diagram
tidak dapat digunakan dengan menggambarkan kelemahan menggunakan diagram tersebut
pada pemecahan masalah. Jika visualisasi adalah jantung dari pemecahan masalah
matematika, maka sangat penting bahwa baik guru dan siswa melihat jelas peran visualisasi
dan menggunakannya untuk membantu mereka di dalam proses pemecahan masalah
matematika.
2. Latihan Berjenjang
Istilah latihan/drill, sering disamakan artinya dengan istilah ulangan. Sebenarnya berbeda,
ulangan adalah suatu tindakan untuk sekedar mengetahui sejauh mana siswa telah menyerap
pelajaran yang telah diberikan oleh guru. Sedangkan latihan dimaksudkan
agar pengetahuan dan kecakapan tertentu menjadi milik siswa dan dapat dikuasai
sepenuhnya. Adapun metode drill (latihan berjenjang) itu sendiri menurut beberapa pendapat
memiliki arti sebagai berikut:
1. Suatu teknik yang dapat diartikan sebagai suatu cara mengajar di mana siswa
melaksanakan kegiatan-kegiatan latihan, siswa memiliki ke-tangkasan atau keterampilan
yang lebih tinggi dari apa yang telah dipelajari (Roestiyah, 2001:125).
2. Suatu metode dalam pendidikan dan pengajaran dengan jalan melatih anakanak terhadap
bahan pelajaran yang sudah diberikan.
3. Suatu kegiatan dalam melakukan hal yang sama secara berulang-ulang dan sungguh-
sungguh dengan tujuan untuk memperkuat suatu asosiasi atau menyempumakan suatu
keterampilan supaya menjadi permanen.
Dari beberapa pendapat di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa metode drill (latihan
berjenjang) adalah suatu cara menyajikan bahan pelajaran dengan jalan melatih siswa agar
menguasai pelajaran dan terampil. Pada pelaksanaannya siswa terlebih dahulu telah dibekali
dengan pengetahuan secara teori. Kemudian dengan tetap dibimbing oleh guru, siswa disuruh
mempraktikkannya sehingga menjadi mahir dan terampil.
Tujuan Metode Drill (latihan berjenjang) Tujuan metode drill (latihan berjenjang) adalah
untuk memperoleh suatu ketangkasan, keterampilan tentang sesuatu yang dipelajari anak
dengan melakukannya secara praktis pengetahuan-pengetahuan yang dipelajari anak itu dan
siap dipergunakan bila sewaktu-waktu diperiukan (Pasaribu dan B. Simandjuntak, 2001:
112).
Metode drill (latihan berjenjang) ini biasanya dipergunakan untuk tujuan agar siswa:
1. Memiliki keterampilan motoris/gerak, seperti menghafal kata-kata, menulis, menggambar,
mempergunakan alat atau membuat suatu benda; melaksana-kan gerak dalam olah raga.
2. Mengembangkan kecakapan intetek, seperti mengalikan, membagi, menjumlahkan,
mengurangi, menarik akar dalam hitungan mencongak. Mengenal benda/bentuk dalam
pelajaran matematika, ilmu pasti, ilmu kimia, tanda baca dan sebagainya.
3. Memiliki kemampuan menghubungkan antara sesuatu keadaan dengan hal lain, seperti
sebab akibat banjir – hujan; antara tanda huruf dan bunyi ing, ny dan lain sebagainya;
penggunaan lambang/simbol di dalam peta dan lain-lain (Roestiyah, 2001: 125-126).
Dari keterangan-keterangan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa tujuan dari metode drill
(latihan berjenjang) adalah untuk melatih kecakapan-kecakapan motoris dan mental untuk
memperkuat asosiasi yang dibuat.
3. Ketrampilan Menggambar
Ketrampilan latihan menggambar dapat dilatihkan kepada siswa dengan secara berjanjang
mulai dari menggambar garis lurus, garis lengkung, persegi, segitiga, jajaran genjang,
lingkaran, yang merupakan gambar bangun datar. Sisw diajarkan dengan teliti hal-hal yang
benar yang dapat dilakukan dan menghindari kesalahan-kesalahan yang dapat mereka
lakukan.
Gambar 2. Gambar bangun Datar
Kemudian setelah siswa melatih ketrampilan menggambar dan mengenali bangun-bangun
datar berlanjut kepada bangun ruang, mulai mengenalkan bangun ruang berlanjut
menggambarkan kerangka bangun hingga menggambar bangun yang utuh dan memanfaatkan
sumber daya alam (lingkungan) dengan pembelajaran kontekstual, misalnya dari kasus
permasalahan volume air pada kolam renang disederhanakan bangun kolam renang tersebut
dengan menggambar sketsa kerangka kolam secara sederhana sehingga dapat dipahami
siswa. Pembelajaran matematika ini menuntut ketrampilan menggambar siswa dan
representasi visual thinking (RVT) siswa..
Gambar 3. Gambar kerangka dan bangun ruang
METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan pada bulan Desember 2011 hingga Pebruari 2012 di SMP N 11 Medan.
Desain penelitian merupakan penelitian eksprimen yang menerapkan pendekatan kontekstual
dan pendekatan konvensional. Sampel yang diteliti adalah siswa kelas VIII pada dua kelas
berjumlah 96 orang. Pengambilan sampel dengan purposive sample. Instrumen penelitian tes
dan non tes. Tes kemampuan representasi visual thinking diberikan sebelum dan sesudah
pembelajaran dan non tes berupa angket diberikan kepada siswa.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil yang diperoleh pada kelas konvensional diperoleh skor pada test awal RVT siswa
adalah rata-rata 15,84 dan simpangan baku 5,81, pada test akhir diperoleh rata-rata RVT
siswa 33,86 dan simpangan baku 11,94. Sedangkan pada kelas yang dilakukan pembelajaran
kontekstual diperoleh skor pada test awal rata-rata 15,94 dan simpangan baku 8,19 dan pada
test akhir rata-rata 35,94 dan simpangan baku 11,59.
Siswa yang berasal dari kelompok kemampuan awal matematika tinggi dan menengah serta
pendekatan pembelajaran kontekstual lebih trampil dan meningkat kemampuan representasi visual
thinkingnya setelah mendapatkan latihan menggambar dan pembelajaran kontekstual. Kemampuan
siswa dalam mempresentasikan apa yang dipikirkan dalam pikirannya menjadi lebih baik dari
sebelumnya.
SIMPULAN DAN SARAN
Pada pembelajaran matematika yang menerapkan latihan menggambar dan pembelajaran
kontekstual skor siswa lebih baik dibandingkan kelas yang melaksanakan pembelajaran
konvensional.
Pembelajaran oleh guru yang tidak mengacu pada RPP hendaknya pengawasan lebih
ditingkatkan oleh Kepala Sekolah dan PKS 1. Pemerataan sarana antar satuan pendidikan,
disediakan papan tulis black board, guru bersama siswa membuat alat peraga sendiri untuk
pembelajaran. Penambahan wawasan guru tentang berbagai metode pembelajaran sehingga.
Soal hendaknya dibuat mengacu pada indikator dan kriteria soal. Soal yang diberikan
hendaknya sesuai dengan kondisi siswa (cepat, sedang, lambat).
UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih diucapkan kepada Kepala Sekolah, PKS, Guru matematika dan siswa-siswa
kelas VIII SMP N 11 Medan yang telah membantu pelaksanaan penelitian ini sehingga dapat
terlaksana dengan baik. Terima kasih juga kepada semua pihak yang tidak dapatdisebutkan
satu persatu yang telah membantu kelancaran penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Choto, A. 2011. Reformasi Metode pembelajaran Matematika. Tersedia di http :
aanchoto.com/category/pendidikan/strategi-pembelajaran-matematika/
Maskiazizah. 2011. Metode Drill, Pembelajaran Matematika. Tersedia di http :
maskiazizah.wordpress.com/2011/03/metode-drill-pembelajaran-matematika/
Pasaribu, I.L. & B. Simandjuntak. 2001. Model-model Pembelajaran. Surabaya : Unesa
University Press.
Roestijah, N.K. 2001. Starategi Belajar Mengajar. Jakarta : Rineka Cipta.
Surya, E. 2011. Curriculum Implementation Learning Mathematics, Mathematical
Problem Solving and Visualization. Proseding :Disampaikan pada International
Seminar Educational Comparative in Curriculum for Active Learning Between
Indonesia and Malaysia, organized by Himpunan Pengembangan Kurukulum
Indonesia in Collaboration with Indonesia University of Education, Universiti
Kebangsaan Malaysia, Universiti Malaya pada 09-10 Juni 2011.
LAMPIRAN 3
© Kamla-Raj 2012 Anthropologist, 14(2): 123-129 (2012)
A Survey of South African Grade 10 Learners’ Geometric
Thinking Levels in Terms of the Van Hiele Theory
J. K. Alex* and K. J. Mammen
Walter Sisulu University, Mthatha, 5177; Eastern Cape Province, South Africa
KEYWORDS School Geometry. van Hiele Theory. Thinking Levels. Learners‟ Performance
ABSTRACT The main thesis of the van Hiele theory is that childrens‟ understanding of geometric concepts can
be classified into a sequence of five hierarchical thinking levels, with levels 1 and 5 being the lowest and the highest.However, an additional
lower level, level 0, was added in by other researchers. This paper reports on a part of a larger study which focused on the van Hiele levels
of geometric thinking amongst a group of Grade 10 learners. The sample consisted of 191 Grade 10 learners from five senior secondary
schools in one Education District in the Eastern Cape Province of South Africa. The respective mathematics teachers in each of these
schools assisted in the selection process. The schools were selected through purposive sampling. The necessary ethical requirements were
met. Participants completed a test on van Hiele levels of geometric thought by responding to questions on basic geometric concepts
including the classification and properties of triangles and quadrilaterals which constituted the basis for space and shape component of the
South African Grade 10 Mathematics curriculum. The data were analyzed by manual counts and by using Microsoft Excel. The study found
that the majority of learners were at level 0, which is a cause for concern. The paper recommends that educators who facilitate geometry
learning in grade 10 need to familiarize themselves with the van Hiele levels in order to achieve effectiveness in the teaching/ learning
interface of geometrical concepts.
*Address for correspondence:
J. K. Alex,
Directorate of Postgraduate Studies, Walter Sisulu University, Nelson Mandela Drive, P/Bag X1, Unitra, Mthatha, Eastern Cape Province,
South Africa.
Telephone: +27- 83 44 68 947 (Mobile),
047-5022189
Fax: +27 - 475322693.
E-mail: jogyalex@yahoo.com
INTRODUCTION
Internationally, concern with difficulties in learning geometry is not new and can be traced back to several
decades (for example, Usiskin 1982; Fuys et al. 1988; Gutierrez et al. 1991; Clements and Battista 1992).
Findings from these studies indicate that many learners in both middle and high schools encounter difficulties
and show poor performance in geometry. In South Africa too similar results have been reported (for example,
De Villiers and Njisane 1987; King 2003; Atebe 2008). This research project to a large extent was inspired by
Fuys et al.‟s (1988) interpretation of the van Hiele theory, Atebe‟s (2008) study on van Hiele model of thinking
and conception in plane geometry and the researchers‟ experiences and concerns regarding the poor geometry
performance of learners in many South African high schools. It sought to find the level of geometric thinking of
the learners by using the van Hiele theory together with the results of subsequent research as a framework in
determining the van Hiele levels of grade 10 learners in some selected senior secondary schools.
Geometry consists of a complex network of interconnected concepts which demand representation systems and
reasoning skills in order to conceptualize and analyze not only physical but also imagined spatial environments.
The National Council of Teachers in Mathematics (NCTM) entitled „Standards 2000‟ document suggests that
instructional programmes in mathematics should pay attention to geometry and spatial sense so that, amongst
other things, learners use visualization and spatial reasoning to solve problems both within and outside of
mathematics (NCTM 2000). Geometric reasoning consists of the invention and use of formal conceptual
systems to investigate shape and space (Battista 2007). Geometry focuses on the development and application of
special concepts through which children learn to represent and make sense of the world (Thompson 2003).
The Conference Board of the Mathematical Sciences (CBMS) observes that learning of geometry is usually
confronted by conceptual difficulties (CBMS 2001). Teaching and learning of 124 J. K. ALEX AND K. J. MAMMEN
geometry still remain as one of the most disappointing experiences in many schools across nations (Atebe and
Schafer 2009). Clements and Battista (1992) cite studies by Psyhkalo (1968) and Wirszup (1976) which
concluded that the difficulties in geometry impelled a lot of research by educators in the Soviet Union from
1930-1950. The aim of those studies was to find the source of this problem. These initial efforts by the Soviets
brought only little progress (Pusey 2003). A variety of models to describe children‟s spatial sense and thinking
have been proposed and researched and these include Piaget and Inhelder‟s Topological Primacy Thesis, van
Hiele‟s Levels of Geometric Thinking and Cognitive Science model (Clements and Battista 1992). However, the
theoretical frameworks on geometrical thinking proposed by Piaget and that of the van Hieles tended to have
attracted more attention than many others in terms of impacting on geometry classroom instructional practices.
Thereafter, a lot of research was done to question and validate the van Hiele theory (Burger and Shaughnessy
1986; Fuys et al. 1988; Gutierrez et al. 1991; Wu and Ma 2006). Although the theory was primarily aimed at
improving teachers‟ as well as learners‟ understanding of geometrical concepts, it also appealed as an ideal
model for use as a theoretical framework as well as a frame of reference to link geometry to educational
principles (King 2003). One of the major studies with the van Hiele model was by Usiskin (1982) at the
University of Chicago. Usiskin developed a test to measure the learners‟ van Hiele levels of reasoning. Pusey
(2003) claims that this test has been widely used by others. Two major studies done in South Africa were on
students‟ understanding of primary school geometry (King 2003) and on van Hiele model of thinking and
conception in plane geometry in senior secondary schools (Atebe 2008).
The van Hiele Theory
The van Hiele theory was developed in 1959 by two Dutch mathematics educators Pierre Van Hiele and his wife
Dina Van Hiele-Geldof based on their experiences in classroom teaching of geometry in The Netherlands.
According to Clements (2004: 60), “… theories are useful if they are used – and contested, attacked, and
modified. By this criterion, van Hiele theory is a useful theory”. Empirical research has confirmed that the van
Hiele levels are useful in unfolding learners‟ geometrical concept development, from elementary school to
college (Clements and Battista 1992; Halat 2006). In South Africa, among other researchers, King (2003), and
Atebe (2008) observed that the van Hiele theory can be used to explain the geometric thinking of school
learners. The main thesis of the van Hiele theory is that children‟s understanding of geometric concepts can be
characterized as being at a certain level within a range of hierarchical levels (Mayberry 1983).
The van Hiele Levels and Their Characteristics
According to the van Hiele theory, there are 5 levels of thinking that schoolchildren pass through in their
acquisition of geometric understanding (Pegg and Davey 1998; Malloy 2002):
Level 1: Recognition (or Visualization):
Learners at this level recognize a geometric shape by its appearance alone. Learners can identify, name and
compare geometric shapes such as triangles, squares and rectangles in their visible form (Fuys et al. 1988).
Properties of a figure play no explicit role in the identification process (Pegg and Davey 1998).
Level 2: Analysis (or Descriptive Level):
Learners at this level identify a figure by its properties, which are seen as independent of one another (Pegg and
Davey 1998). Learners analyze the attributes of shapes, some relationships among the attributes and discover
properties and rules through observation (Malloy 2002). Learners can recognize and name properties of
geometric figures, but they do not yet understand the difference between these properties and between different
figures (van Hiele 1986).
Level 3: Informal Deduction (or Order):
Learners at this level discover and formulate generalizations about previously learned properties and rules and
develop informal arguments to justify those generalizations (Malloy 2002). They no longer perceive figures as
consisting of a collection of discrete, unrelated properties. Rather, they now recognize that one property of a
shape proceeds from another. They also understand relationship between different figures (Pegg and Davey
1998). Class inclusions are understood at this level (van Hiele 1999).
Level 4: Deduction:
Learners at this level prove theorems deductively and understand the structure of the geometric system (Malloy
2002). They understand necessary and sufficient conditions and can develop proofs rather than relying on rote
GEOMETRY LEARNING AND TEACHING IN SCHOOLS 125 learning. They can construct their own definitions of
shapes (Pegg and Davey 1998).
Level 5: Rigor:
Learners at this level can establish theorems in different systems of postulates and can compare and analyze
deductive systems (Fuys et al. 1988; Malloy 2002). As a consequence of some learners not achieving even the
basic level (level 1), researchers have suggested the introduction of another level, called level 0. Clements and
Battista (1990) named this level 0 as „pre-recognition‟. They defined it by stating that “… children initially
perceive geometric shapes, but attend to only a subset of a shape‟s visual characteristic. They are unable to
identify many common shapes” (Clements and Battista 1990: 354). In this study, the possibilities of the
existence of level 0 were also considered in assigning the van Hiele levels. Van de Walle (2004) suggests that in
addition to the key concepts of the theory, there are four related characteristics of the levels: (i) the levels are
sequential, that is, for a learner to operate successfully at a particular level, that learner must have acquired the
strategies and knowledge of the preceding levels; (ii) the levels are not agedependent, that is, progress from one
van Hiele level to the next higher one is dependent more on an instructional experience than on biological
maturation; (iii) geometric experience is the greatest single factor influencing advancement through the levels:
the nature and quality of the experience in the teaching and learning program has a major impact on the
advancement through the levels; (iv) when instruction is at a level higher than that of the learner, there will be
an inadequate or even lack of effective communication between the educator and learner, which disadvantages
the learner.
Nevertheless, Pegg and Davey (1998) observe that even though the descriptions are content specific, van Hiele‟s
levels are actually stages of cognitive development although as cited earlier, there are claims that the
progression from one level to the next is not always the result of natural development or maturation, although
these factors also may play a role. According to Malloy (2002), in ideal circumstances, learners from pre-
kindergarten through high school are meant to think and reason about geometry in a similar progression as
follows: from pre-kindergarten to grade 2 level on the visualization level; grades 2-5 on the analysis level,
grades 5-8 on the informal deduction level and grades 8-12 on the deduction level. But Malloy herself observes
that usually, this is not the case. The quality and nature of the experience in the teaching and learning program
ought to influence the advancement from a lower to a higher level.
This study sought answer to the following question: What are the van Hiele levels of geometrical thinking
amongst the grade 10 learners?
METHODOLOGY
This was a quantitative design which made use of a multiple-choice test. The research was conducted at
different sites. The sample consisted of 191 Grade 10 learners drawn up from five senior secondary schools in
one District. These schools were selected through purposive sampling. Geographical accessibility, proximity
and functionality were some of the factors that influenced the choice of these schools. These were semi-urban
schools and drew learners from lower to middle income socio-economic communities. The schools were labeled
by using alphabets A-E in order to ensure the ethical conformity to safeguard their anonymity.
Learners in one grade 10 class from each school were selected with the assistance of the respective grade 10
mathematics educators in the schools. Since the number of learners per class (class size) varied from school to
school, the number of learners selected per school is heterogeneous. Schools A to E had 33, 44, 27, 37 and 50
learners respectively in the sample. Formal approvals from the Department of Education and all school
Principals were obtained in order to conduct this research. A research information sheet and an „informed
consent‟ form were given to all members of the sample or the parents in the case of learners below 18 years. The
learners or parents of those below 18 years signed the „informed consent‟ form. Anonymity of the schools and
the learners was assured.
The research instrument (van Hiele geometry test) was a test question paper together with a multiple choice
answer sheet based on the van Hiele levels of geometric thinking. The content was drawn from topics such as
basic geometric concepts and classification and properties of triangles and quadrilaterals. These topics form the
basis for space and shape in Grade 10 and upwards. Provision was made to assess the level of thinking across
different concepts. The words items and questions are used interchangeably in this paper. McMillan and
Schumacher (2006) explain that the advantage of using standardized tests is that
van hiele
van hiele
van hiele
van hiele
van hiele
van hiele
van hiele

More Related Content

What's hot

Struktur bangun datar kelompok 1
Struktur bangun datar kelompok 1Struktur bangun datar kelompok 1
Struktur bangun datar kelompok 1siti sangidah
 
Hakikat pembelajaran ipa di sd
Hakikat pembelajaran ipa di sdHakikat pembelajaran ipa di sd
Hakikat pembelajaran ipa di sdsafran hasibuan
 
Ppt pembelajaran terpadu tipe nested
Ppt pembelajaran terpadu tipe nestedPpt pembelajaran terpadu tipe nested
Ppt pembelajaran terpadu tipe nestedCha-cha Taulanys
 
Ppt pembelajaran terpadu model networked
Ppt pembelajaran terpadu model networkedPpt pembelajaran terpadu model networked
Ppt pembelajaran terpadu model networkedCha-cha Taulanys
 
PPT Media Pembelajaran
PPT Media Pembelajaran PPT Media Pembelajaran
PPT Media Pembelajaran Naily Mulyono
 
Lkpd 3.31.1 (turunan fungsi a ljabar)
Lkpd 3.31.1 (turunan fungsi a ljabar)Lkpd 3.31.1 (turunan fungsi a ljabar)
Lkpd 3.31.1 (turunan fungsi a ljabar)Eko Agus Triswanto
 
Graf ( Matematika Diskrit)
Graf ( Matematika Diskrit)Graf ( Matematika Diskrit)
Graf ( Matematika Diskrit)zachrison htg
 
Makalah geseran (translasi)
Makalah geseran (translasi)Makalah geseran (translasi)
Makalah geseran (translasi)Nia Matus
 
Instrumen Penilaian Hasil Belajar Nontes dalam Pembelajaran Matematika di SD
Instrumen Penilaian Hasil Belajar Nontes dalam Pembelajaran Matematika di SDInstrumen Penilaian Hasil Belajar Nontes dalam Pembelajaran Matematika di SD
Instrumen Penilaian Hasil Belajar Nontes dalam Pembelajaran Matematika di SDNASuprawoto Sunardjo
 
PEMBELAJARAN MATEMATIKA BERBASIS MASALAH (Gina Nur Hidayani 0903655))
PEMBELAJARAN MATEMATIKA BERBASIS MASALAH (Gina Nur Hidayani 0903655))PEMBELAJARAN MATEMATIKA BERBASIS MASALAH (Gina Nur Hidayani 0903655))
PEMBELAJARAN MATEMATIKA BERBASIS MASALAH (Gina Nur Hidayani 0903655))Interest_Matematika_2011
 
Aljabar kelas 7
Aljabar kelas 7Aljabar kelas 7
Aljabar kelas 7Eka Putra
 
PPT PEMBELAJARAN TERPADU.pptx
PPT PEMBELAJARAN TERPADU.pptxPPT PEMBELAJARAN TERPADU.pptx
PPT PEMBELAJARAN TERPADU.pptxArrasyid9
 
1 penjumlahan-pengurangan-manik-manik
1 penjumlahan-pengurangan-manik-manik1 penjumlahan-pengurangan-manik-manik
1 penjumlahan-pengurangan-manik-maniktejowati
 
3 modul-himpunan
3 modul-himpunan3 modul-himpunan
3 modul-himpunanardita89
 

What's hot (20)

Bangun datar ppt
Bangun datar pptBangun datar ppt
Bangun datar ppt
 
Struktur bangun datar kelompok 1
Struktur bangun datar kelompok 1Struktur bangun datar kelompok 1
Struktur bangun datar kelompok 1
 
Hakikat pembelajaran ipa di sd
Hakikat pembelajaran ipa di sdHakikat pembelajaran ipa di sd
Hakikat pembelajaran ipa di sd
 
Ppt pembelajaran terpadu tipe nested
Ppt pembelajaran terpadu tipe nestedPpt pembelajaran terpadu tipe nested
Ppt pembelajaran terpadu tipe nested
 
Ppt pembelajaran terpadu model networked
Ppt pembelajaran terpadu model networkedPpt pembelajaran terpadu model networked
Ppt pembelajaran terpadu model networked
 
GLB dan GLBB
GLB dan GLBBGLB dan GLBB
GLB dan GLBB
 
PPT Media Pembelajaran
PPT Media Pembelajaran PPT Media Pembelajaran
PPT Media Pembelajaran
 
Lkpd 3.31.1 (turunan fungsi a ljabar)
Lkpd 3.31.1 (turunan fungsi a ljabar)Lkpd 3.31.1 (turunan fungsi a ljabar)
Lkpd 3.31.1 (turunan fungsi a ljabar)
 
Graf ( Matematika Diskrit)
Graf ( Matematika Diskrit)Graf ( Matematika Diskrit)
Graf ( Matematika Diskrit)
 
Sistem numerasi
Sistem numerasi Sistem numerasi
Sistem numerasi
 
Makalah geseran (translasi)
Makalah geseran (translasi)Makalah geseran (translasi)
Makalah geseran (translasi)
 
Instrumen Penilaian Hasil Belajar Nontes dalam Pembelajaran Matematika di SD
Instrumen Penilaian Hasil Belajar Nontes dalam Pembelajaran Matematika di SDInstrumen Penilaian Hasil Belajar Nontes dalam Pembelajaran Matematika di SD
Instrumen Penilaian Hasil Belajar Nontes dalam Pembelajaran Matematika di SD
 
Grup
GrupGrup
Grup
 
Rpp Prisma dan Limas
Rpp Prisma dan LimasRpp Prisma dan Limas
Rpp Prisma dan Limas
 
Penalaran Matematika
Penalaran MatematikaPenalaran Matematika
Penalaran Matematika
 
PEMBELAJARAN MATEMATIKA BERBASIS MASALAH (Gina Nur Hidayani 0903655))
PEMBELAJARAN MATEMATIKA BERBASIS MASALAH (Gina Nur Hidayani 0903655))PEMBELAJARAN MATEMATIKA BERBASIS MASALAH (Gina Nur Hidayani 0903655))
PEMBELAJARAN MATEMATIKA BERBASIS MASALAH (Gina Nur Hidayani 0903655))
 
Aljabar kelas 7
Aljabar kelas 7Aljabar kelas 7
Aljabar kelas 7
 
PPT PEMBELAJARAN TERPADU.pptx
PPT PEMBELAJARAN TERPADU.pptxPPT PEMBELAJARAN TERPADU.pptx
PPT PEMBELAJARAN TERPADU.pptx
 
1 penjumlahan-pengurangan-manik-manik
1 penjumlahan-pengurangan-manik-manik1 penjumlahan-pengurangan-manik-manik
1 penjumlahan-pengurangan-manik-manik
 
3 modul-himpunan
3 modul-himpunan3 modul-himpunan
3 modul-himpunan
 

Viewers also liked

Teori Belajar Van Hiele
Teori Belajar Van HieleTeori Belajar Van Hiele
Teori Belajar Van HieleZulfah Alfina
 
Meningkatkan pemahaman konsep menghitung volume kubus dan balok
Meningkatkan pemahaman konsep menghitung volume kubus dan balokMeningkatkan pemahaman konsep menghitung volume kubus dan balok
Meningkatkan pemahaman konsep menghitung volume kubus dan balokRizky N Maulidah
 
Pierre van hiele final presentation
Pierre van hiele final presentationPierre van hiele final presentation
Pierre van hiele final presentationÔbéèÿ Røhan
 
Wawancara bahasa indonesia x 4
Wawancara bahasa indonesia x 4Wawancara bahasa indonesia x 4
Wawancara bahasa indonesia x 4Nurul Syifa
 
Ppt van hiele
Ppt van hielePpt van hiele
Ppt van hieleDiah Dwi
 
Pergeseran Ekosistem dan Isu isu lingkungan
Pergeseran Ekosistem dan Isu isu lingkunganPergeseran Ekosistem dan Isu isu lingkungan
Pergeseran Ekosistem dan Isu isu lingkunganNatalia Ayu
 
Materi GPO Matematika SMP Modul H
Materi GPO Matematika SMP Modul HMateri GPO Matematika SMP Modul H
Materi GPO Matematika SMP Modul HBudhi Emha
 
Portofolioninik
PortofolioninikPortofolioninik
PortofolioninikIcal Azmy
 
Modul Matematika SMP KK G
Modul Matematika SMP KK GModul Matematika SMP KK G
Modul Matematika SMP KK GEdris Zahroini
 
lingkungan dan permasalahannya
lingkungan dan permasalahannyalingkungan dan permasalahannya
lingkungan dan permasalahannyaAprilia Hapsari
 
Permasalahan Lingkungan Hidup Lokal, Nasional dan Global
Permasalahan Lingkungan Hidup Lokal, Nasional dan Global Permasalahan Lingkungan Hidup Lokal, Nasional dan Global
Permasalahan Lingkungan Hidup Lokal, Nasional dan Global Nico Prakasa
 
Isu Lingkungan Global ( MAKALAH)
Isu Lingkungan Global ( MAKALAH)Isu Lingkungan Global ( MAKALAH)
Isu Lingkungan Global ( MAKALAH)Awang Ramadhani
 
Pencemaran lingkungan kelas 10
Pencemaran lingkungan kelas 10Pencemaran lingkungan kelas 10
Pencemaran lingkungan kelas 10Yudistira Ydstr
 
Luas dan volume kubus dan balok
Luas dan volume kubus dan balokLuas dan volume kubus dan balok
Luas dan volume kubus dan balokMoch Hasanudin
 
Makalah teori belajar bruner
Makalah teori belajar brunerMakalah teori belajar bruner
Makalah teori belajar brunerAisyah Turidho
 

Viewers also liked (20)

Teori Belajar Van Hiele
Teori Belajar Van HieleTeori Belajar Van Hiele
Teori Belajar Van Hiele
 
Meningkatkan pemahaman konsep menghitung volume kubus dan balok
Meningkatkan pemahaman konsep menghitung volume kubus dan balokMeningkatkan pemahaman konsep menghitung volume kubus dan balok
Meningkatkan pemahaman konsep menghitung volume kubus dan balok
 
Van Hiele
Van HieleVan Hiele
Van Hiele
 
Pierre van hiele final presentation
Pierre van hiele final presentationPierre van hiele final presentation
Pierre van hiele final presentation
 
Wawancara bahasa indonesia x 4
Wawancara bahasa indonesia x 4Wawancara bahasa indonesia x 4
Wawancara bahasa indonesia x 4
 
Seminar Usul penelitian
Seminar Usul penelitianSeminar Usul penelitian
Seminar Usul penelitian
 
Ppt van hiele
Ppt van hielePpt van hiele
Ppt van hiele
 
Pergeseran Ekosistem dan Isu isu lingkungan
Pergeseran Ekosistem dan Isu isu lingkunganPergeseran Ekosistem dan Isu isu lingkungan
Pergeseran Ekosistem dan Isu isu lingkungan
 
Materi GPO Matematika SMP Modul H
Materi GPO Matematika SMP Modul HMateri GPO Matematika SMP Modul H
Materi GPO Matematika SMP Modul H
 
Portofolioninik
PortofolioninikPortofolioninik
Portofolioninik
 
Model van hiele
Model van hieleModel van hiele
Model van hiele
 
Modul Matematika SMP KK G
Modul Matematika SMP KK GModul Matematika SMP KK G
Modul Matematika SMP KK G
 
lingkungan dan permasalahannya
lingkungan dan permasalahannyalingkungan dan permasalahannya
lingkungan dan permasalahannya
 
Makalah Teori belajar
Makalah Teori belajarMakalah Teori belajar
Makalah Teori belajar
 
Permasalahan Lingkungan Hidup Lokal, Nasional dan Global
Permasalahan Lingkungan Hidup Lokal, Nasional dan Global Permasalahan Lingkungan Hidup Lokal, Nasional dan Global
Permasalahan Lingkungan Hidup Lokal, Nasional dan Global
 
Isu Lingkungan Global ( MAKALAH)
Isu Lingkungan Global ( MAKALAH)Isu Lingkungan Global ( MAKALAH)
Isu Lingkungan Global ( MAKALAH)
 
Pencemaran lingkungan kelas 10
Pencemaran lingkungan kelas 10Pencemaran lingkungan kelas 10
Pencemaran lingkungan kelas 10
 
Luas dan volume kubus dan balok
Luas dan volume kubus dan balokLuas dan volume kubus dan balok
Luas dan volume kubus dan balok
 
Teori Belajar
Teori BelajarTeori Belajar
Teori Belajar
 
Makalah teori belajar bruner
Makalah teori belajar brunerMakalah teori belajar bruner
Makalah teori belajar bruner
 

Similar to van hiele

Pembelajaran Matematika dengan Inkuiri Terbimbing
Pembelajaran Matematika dengan Inkuiri TerbimbingPembelajaran Matematika dengan Inkuiri Terbimbing
Pembelajaran Matematika dengan Inkuiri Terbimbingsrilinda_w
 
Penggunaan Media Gambar Seri untuk Meningkatkan Prestasi Belajar Siswa dalam ...
Penggunaan Media Gambar Seri untuk Meningkatkan Prestasi Belajar Siswa dalam ...Penggunaan Media Gambar Seri untuk Meningkatkan Prestasi Belajar Siswa dalam ...
Penggunaan Media Gambar Seri untuk Meningkatkan Prestasi Belajar Siswa dalam ...Tjoetnyak Izzatie
 
Paper penemuan terbimbing
Paper penemuan terbimbingPaper penemuan terbimbing
Paper penemuan terbimbingDiah Dwi
 
PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN DISKURSUS MULTI REPRESENTASI BERBANTUAN VIDEO KON...
PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN DISKURSUS MULTI REPRESENTASI BERBANTUAN VIDEO KON...PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN DISKURSUS MULTI REPRESENTASI BERBANTUAN VIDEO KON...
PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN DISKURSUS MULTI REPRESENTASI BERBANTUAN VIDEO KON...girisatria
 
Paper penerapan konteks-listing-dan-counting-dengan-media-kancing-dan-boneka (1)
Paper penerapan konteks-listing-dan-counting-dengan-media-kancing-dan-boneka (1)Paper penerapan konteks-listing-dan-counting-dengan-media-kancing-dan-boneka (1)
Paper penerapan konteks-listing-dan-counting-dengan-media-kancing-dan-boneka (1)Vina Dwi Purnamasari
 
Paper penerapan konteks-listing-dan-counting-dengan-media-kancing-dan-boneka (1)
Paper penerapan konteks-listing-dan-counting-dengan-media-kancing-dan-boneka (1)Paper penerapan konteks-listing-dan-counting-dengan-media-kancing-dan-boneka (1)
Paper penerapan konteks-listing-dan-counting-dengan-media-kancing-dan-boneka (1)Lusi Kurnia
 
Ambar tri wahyuni ambar tri wahyuni artikel
Ambar tri wahyuni ambar tri wahyuni artikelAmbar tri wahyuni ambar tri wahyuni artikel
Ambar tri wahyuni ambar tri wahyuni artikelherdis91
 
14_SMP Negeri Bulo_Ishak.docx
14_SMP Negeri Bulo_Ishak.docx14_SMP Negeri Bulo_Ishak.docx
14_SMP Negeri Bulo_Ishak.docxIshakIshak37
 
TUGAS RISET PRNEMBANGAN IRNA NAZIRA.docx
TUGAS RISET  PRNEMBANGAN IRNA NAZIRA.docxTUGAS RISET  PRNEMBANGAN IRNA NAZIRA.docx
TUGAS RISET PRNEMBANGAN IRNA NAZIRA.docxIrnanzy
 
Resume landasan pendidikan dan pembelajaran matematika
Resume landasan pendidikan dan pembelajaran matematikaResume landasan pendidikan dan pembelajaran matematika
Resume landasan pendidikan dan pembelajaran matematikaMas Becak
 
LAPORAN PENELITIAN TINDAKAN KELAS -1.docx
LAPORAN PENELITIAN TINDAKAN KELAS -1.docxLAPORAN PENELITIAN TINDAKAN KELAS -1.docx
LAPORAN PENELITIAN TINDAKAN KELAS -1.docxLailyAlfiMaulida2
 
Contoh Penelitian Tindakan Kelas Matematika SD
Contoh Penelitian Tindakan Kelas Matematika SDContoh Penelitian Tindakan Kelas Matematika SD
Contoh Penelitian Tindakan Kelas Matematika SDDchuex AJie
 

Similar to van hiele (20)

3262
32623262
3262
 
Abdul latif
Abdul latif Abdul latif
Abdul latif
 
Abdul latif .
Abdul latif .Abdul latif .
Abdul latif .
 
Article
Article Article
Article
 
Pembelajaran Matematika dengan Inkuiri Terbimbing
Pembelajaran Matematika dengan Inkuiri TerbimbingPembelajaran Matematika dengan Inkuiri Terbimbing
Pembelajaran Matematika dengan Inkuiri Terbimbing
 
Penggunaan Media Gambar Seri untuk Meningkatkan Prestasi Belajar Siswa dalam ...
Penggunaan Media Gambar Seri untuk Meningkatkan Prestasi Belajar Siswa dalam ...Penggunaan Media Gambar Seri untuk Meningkatkan Prestasi Belajar Siswa dalam ...
Penggunaan Media Gambar Seri untuk Meningkatkan Prestasi Belajar Siswa dalam ...
 
Paper penemuan terbimbing
Paper penemuan terbimbingPaper penemuan terbimbing
Paper penemuan terbimbing
 
PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN DISKURSUS MULTI REPRESENTASI BERBANTUAN VIDEO KON...
PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN DISKURSUS MULTI REPRESENTASI BERBANTUAN VIDEO KON...PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN DISKURSUS MULTI REPRESENTASI BERBANTUAN VIDEO KON...
PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN DISKURSUS MULTI REPRESENTASI BERBANTUAN VIDEO KON...
 
Paper penerapan konteks-listing-dan-counting-dengan-media-kancing-dan-boneka (1)
Paper penerapan konteks-listing-dan-counting-dengan-media-kancing-dan-boneka (1)Paper penerapan konteks-listing-dan-counting-dengan-media-kancing-dan-boneka (1)
Paper penerapan konteks-listing-dan-counting-dengan-media-kancing-dan-boneka (1)
 
Paper penerapan konteks-listing-dan-counting-dengan-media-kancing-dan-boneka (1)
Paper penerapan konteks-listing-dan-counting-dengan-media-kancing-dan-boneka (1)Paper penerapan konteks-listing-dan-counting-dengan-media-kancing-dan-boneka (1)
Paper penerapan konteks-listing-dan-counting-dengan-media-kancing-dan-boneka (1)
 
Ambar tri wahyuni ambar tri wahyuni artikel
Ambar tri wahyuni ambar tri wahyuni artikelAmbar tri wahyuni ambar tri wahyuni artikel
Ambar tri wahyuni ambar tri wahyuni artikel
 
14_SMP Negeri Bulo_Ishak.docx
14_SMP Negeri Bulo_Ishak.docx14_SMP Negeri Bulo_Ishak.docx
14_SMP Negeri Bulo_Ishak.docx
 
TUGAS RISET PRNEMBANGAN IRNA NAZIRA.docx
TUGAS RISET  PRNEMBANGAN IRNA NAZIRA.docxTUGAS RISET  PRNEMBANGAN IRNA NAZIRA.docx
TUGAS RISET PRNEMBANGAN IRNA NAZIRA.docx
 
Bab i
Bab iBab i
Bab i
 
Resume landasan pendidikan dan pembelajaran matematika
Resume landasan pendidikan dan pembelajaran matematikaResume landasan pendidikan dan pembelajaran matematika
Resume landasan pendidikan dan pembelajaran matematika
 
Review Artikel Metopen
Review Artikel MetopenReview Artikel Metopen
Review Artikel Metopen
 
Jurnal EDUMA Desember 2014
Jurnal EDUMA Desember 2014Jurnal EDUMA Desember 2014
Jurnal EDUMA Desember 2014
 
LAPORAN PENELITIAN TINDAKAN KELAS -1.docx
LAPORAN PENELITIAN TINDAKAN KELAS -1.docxLAPORAN PENELITIAN TINDAKAN KELAS -1.docx
LAPORAN PENELITIAN TINDAKAN KELAS -1.docx
 
Contoh Penelitian Tindakan Kelas Matematika SD
Contoh Penelitian Tindakan Kelas Matematika SDContoh Penelitian Tindakan Kelas Matematika SD
Contoh Penelitian Tindakan Kelas Matematika SD
 
Tugas kti
Tugas ktiTugas kti
Tugas kti
 

Recently uploaded

Sapawarga - Manual Guide PPDB Tahun 2024.pdf
Sapawarga - Manual Guide PPDB Tahun 2024.pdfSapawarga - Manual Guide PPDB Tahun 2024.pdf
Sapawarga - Manual Guide PPDB Tahun 2024.pdfTarkaTarka
 
Bab 3 Sejarah Kerajaan Hindu-Buddha.pptx
Bab 3 Sejarah Kerajaan Hindu-Buddha.pptxBab 3 Sejarah Kerajaan Hindu-Buddha.pptx
Bab 3 Sejarah Kerajaan Hindu-Buddha.pptxnawasenamerta
 
Sejarah dan Perkembangan Agama Hindu.pptx
Sejarah dan Perkembangan Agama Hindu.pptxSejarah dan Perkembangan Agama Hindu.pptx
Sejarah dan Perkembangan Agama Hindu.pptxGallantryW
 
LK 1 - 5T Keputusan Berdampak (1). SDN 001 BU.pdf
LK 1 - 5T Keputusan Berdampak (1). SDN 001 BU.pdfLK 1 - 5T Keputusan Berdampak (1). SDN 001 BU.pdf
LK 1 - 5T Keputusan Berdampak (1). SDN 001 BU.pdfindrawatiahmad62
 
BUKTI DUKUNG RHK SEKOLAH DASAR NEGERI.pptx
BUKTI DUKUNG RHK SEKOLAH DASAR NEGERI.pptxBUKTI DUKUNG RHK SEKOLAH DASAR NEGERI.pptx
BUKTI DUKUNG RHK SEKOLAH DASAR NEGERI.pptxDWIHANDOYOPUTRO2
 
Bukti dukung E kinerja kepala sekolah.pdf
Bukti dukung E kinerja  kepala sekolah.pdfBukti dukung E kinerja  kepala sekolah.pdf
Bukti dukung E kinerja kepala sekolah.pdfZulkhaidirZulkhaidir
 
Prensentasi Visi Misi Sekolah dalam rangka observasi pengawas
Prensentasi Visi Misi Sekolah dalam rangka observasi pengawasPrensentasi Visi Misi Sekolah dalam rangka observasi pengawas
Prensentasi Visi Misi Sekolah dalam rangka observasi pengawassuprihatin1885
 
Presentasi visi misi revisi sekolah dasar.pptx
Presentasi visi misi revisi sekolah dasar.pptxPresentasi visi misi revisi sekolah dasar.pptx
Presentasi visi misi revisi sekolah dasar.pptxDWIHANDOYOPUTRO2
 
Koneksi Antar Materi Modul 1.4.ppt x
Koneksi Antar Materi Modul 1.4.ppt           xKoneksi Antar Materi Modul 1.4.ppt           x
Koneksi Antar Materi Modul 1.4.ppt xjohan199969
 
1. Standar Operasional Prosedur PPDB Pada paud
1. Standar Operasional Prosedur PPDB Pada paud1. Standar Operasional Prosedur PPDB Pada paud
1. Standar Operasional Prosedur PPDB Pada paudMamanDiana
 
ALUR TUJUAN PEMBELAJARAN (ATP) B. Inggris kelas 7.pdf
ALUR TUJUAN PEMBELAJARAN (ATP) B. Inggris kelas 7.pdfALUR TUJUAN PEMBELAJARAN (ATP) B. Inggris kelas 7.pdf
ALUR TUJUAN PEMBELAJARAN (ATP) B. Inggris kelas 7.pdfMIN1Sumedang
 
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 1 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 1 KURIKULUM MERDEKA.pdfMODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 1 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 1 KURIKULUM MERDEKA.pdfAndiCoc
 
CONTOH LAPORAN PARTISIPAN OBSERVASI.docx
CONTOH LAPORAN PARTISIPAN OBSERVASI.docxCONTOH LAPORAN PARTISIPAN OBSERVASI.docx
CONTOH LAPORAN PARTISIPAN OBSERVASI.docxAhmadBarkah2
 
MODUL AJAR BAHASA INDONESIA KELAS 1 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR BAHASA INDONESIA KELAS 1 KURIKULUM MERDEKA.pdfMODUL AJAR BAHASA INDONESIA KELAS 1 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR BAHASA INDONESIA KELAS 1 KURIKULUM MERDEKA.pdfAndiCoc
 
PPT Aksi Nyata Diseminasi Modul 1.4.pptx
PPT Aksi Nyata Diseminasi Modul 1.4.pptxPPT Aksi Nyata Diseminasi Modul 1.4.pptx
PPT Aksi Nyata Diseminasi Modul 1.4.pptxKurnia Fajar
 
MODUL AJAR BAHASA INGGRIS KELAS 2 KURIKULUM MERDEKA
MODUL AJAR BAHASA INGGRIS KELAS 2 KURIKULUM MERDEKAMODUL AJAR BAHASA INGGRIS KELAS 2 KURIKULUM MERDEKA
MODUL AJAR BAHASA INGGRIS KELAS 2 KURIKULUM MERDEKAAndiCoc
 
Nor Azizah_2021 B_Analisis Kritis Jurnal.pdf
Nor Azizah_2021 B_Analisis Kritis Jurnal.pdfNor Azizah_2021 B_Analisis Kritis Jurnal.pdf
Nor Azizah_2021 B_Analisis Kritis Jurnal.pdfnorazizahnaa21
 
RENCANA + Link2 MATERI Training _PEMBEKALAN Kompetensi_PENGELOLAAN PENGADAAN...
RENCANA + Link2 MATERI  Training _PEMBEKALAN Kompetensi_PENGELOLAAN PENGADAAN...RENCANA + Link2 MATERI  Training _PEMBEKALAN Kompetensi_PENGELOLAAN PENGADAAN...
RENCANA + Link2 MATERI Training _PEMBEKALAN Kompetensi_PENGELOLAAN PENGADAAN...Kanaidi ken
 
Susi Susanti_2021 B_Analisis Kritis Jurnal.pdf
Susi Susanti_2021 B_Analisis Kritis Jurnal.pdfSusi Susanti_2021 B_Analisis Kritis Jurnal.pdf
Susi Susanti_2021 B_Analisis Kritis Jurnal.pdfSusiSusanti94678
 
KERAJINAN DARI BAHAN LIMBAH BERBENTUK BANGUN RUANG
KERAJINAN DARI BAHAN LIMBAH BERBENTUK BANGUN RUANGKERAJINAN DARI BAHAN LIMBAH BERBENTUK BANGUN RUANG
KERAJINAN DARI BAHAN LIMBAH BERBENTUK BANGUN RUANGEviRohimah3
 

Recently uploaded (20)

Sapawarga - Manual Guide PPDB Tahun 2024.pdf
Sapawarga - Manual Guide PPDB Tahun 2024.pdfSapawarga - Manual Guide PPDB Tahun 2024.pdf
Sapawarga - Manual Guide PPDB Tahun 2024.pdf
 
Bab 3 Sejarah Kerajaan Hindu-Buddha.pptx
Bab 3 Sejarah Kerajaan Hindu-Buddha.pptxBab 3 Sejarah Kerajaan Hindu-Buddha.pptx
Bab 3 Sejarah Kerajaan Hindu-Buddha.pptx
 
Sejarah dan Perkembangan Agama Hindu.pptx
Sejarah dan Perkembangan Agama Hindu.pptxSejarah dan Perkembangan Agama Hindu.pptx
Sejarah dan Perkembangan Agama Hindu.pptx
 
LK 1 - 5T Keputusan Berdampak (1). SDN 001 BU.pdf
LK 1 - 5T Keputusan Berdampak (1). SDN 001 BU.pdfLK 1 - 5T Keputusan Berdampak (1). SDN 001 BU.pdf
LK 1 - 5T Keputusan Berdampak (1). SDN 001 BU.pdf
 
BUKTI DUKUNG RHK SEKOLAH DASAR NEGERI.pptx
BUKTI DUKUNG RHK SEKOLAH DASAR NEGERI.pptxBUKTI DUKUNG RHK SEKOLAH DASAR NEGERI.pptx
BUKTI DUKUNG RHK SEKOLAH DASAR NEGERI.pptx
 
Bukti dukung E kinerja kepala sekolah.pdf
Bukti dukung E kinerja  kepala sekolah.pdfBukti dukung E kinerja  kepala sekolah.pdf
Bukti dukung E kinerja kepala sekolah.pdf
 
Prensentasi Visi Misi Sekolah dalam rangka observasi pengawas
Prensentasi Visi Misi Sekolah dalam rangka observasi pengawasPrensentasi Visi Misi Sekolah dalam rangka observasi pengawas
Prensentasi Visi Misi Sekolah dalam rangka observasi pengawas
 
Presentasi visi misi revisi sekolah dasar.pptx
Presentasi visi misi revisi sekolah dasar.pptxPresentasi visi misi revisi sekolah dasar.pptx
Presentasi visi misi revisi sekolah dasar.pptx
 
Koneksi Antar Materi Modul 1.4.ppt x
Koneksi Antar Materi Modul 1.4.ppt           xKoneksi Antar Materi Modul 1.4.ppt           x
Koneksi Antar Materi Modul 1.4.ppt x
 
1. Standar Operasional Prosedur PPDB Pada paud
1. Standar Operasional Prosedur PPDB Pada paud1. Standar Operasional Prosedur PPDB Pada paud
1. Standar Operasional Prosedur PPDB Pada paud
 
ALUR TUJUAN PEMBELAJARAN (ATP) B. Inggris kelas 7.pdf
ALUR TUJUAN PEMBELAJARAN (ATP) B. Inggris kelas 7.pdfALUR TUJUAN PEMBELAJARAN (ATP) B. Inggris kelas 7.pdf
ALUR TUJUAN PEMBELAJARAN (ATP) B. Inggris kelas 7.pdf
 
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 1 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 1 KURIKULUM MERDEKA.pdfMODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 1 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR MATEMATIKA KELAS 1 KURIKULUM MERDEKA.pdf
 
CONTOH LAPORAN PARTISIPAN OBSERVASI.docx
CONTOH LAPORAN PARTISIPAN OBSERVASI.docxCONTOH LAPORAN PARTISIPAN OBSERVASI.docx
CONTOH LAPORAN PARTISIPAN OBSERVASI.docx
 
MODUL AJAR BAHASA INDONESIA KELAS 1 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR BAHASA INDONESIA KELAS 1 KURIKULUM MERDEKA.pdfMODUL AJAR BAHASA INDONESIA KELAS 1 KURIKULUM MERDEKA.pdf
MODUL AJAR BAHASA INDONESIA KELAS 1 KURIKULUM MERDEKA.pdf
 
PPT Aksi Nyata Diseminasi Modul 1.4.pptx
PPT Aksi Nyata Diseminasi Modul 1.4.pptxPPT Aksi Nyata Diseminasi Modul 1.4.pptx
PPT Aksi Nyata Diseminasi Modul 1.4.pptx
 
MODUL AJAR BAHASA INGGRIS KELAS 2 KURIKULUM MERDEKA
MODUL AJAR BAHASA INGGRIS KELAS 2 KURIKULUM MERDEKAMODUL AJAR BAHASA INGGRIS KELAS 2 KURIKULUM MERDEKA
MODUL AJAR BAHASA INGGRIS KELAS 2 KURIKULUM MERDEKA
 
Nor Azizah_2021 B_Analisis Kritis Jurnal.pdf
Nor Azizah_2021 B_Analisis Kritis Jurnal.pdfNor Azizah_2021 B_Analisis Kritis Jurnal.pdf
Nor Azizah_2021 B_Analisis Kritis Jurnal.pdf
 
RENCANA + Link2 MATERI Training _PEMBEKALAN Kompetensi_PENGELOLAAN PENGADAAN...
RENCANA + Link2 MATERI  Training _PEMBEKALAN Kompetensi_PENGELOLAAN PENGADAAN...RENCANA + Link2 MATERI  Training _PEMBEKALAN Kompetensi_PENGELOLAAN PENGADAAN...
RENCANA + Link2 MATERI Training _PEMBEKALAN Kompetensi_PENGELOLAAN PENGADAAN...
 
Susi Susanti_2021 B_Analisis Kritis Jurnal.pdf
Susi Susanti_2021 B_Analisis Kritis Jurnal.pdfSusi Susanti_2021 B_Analisis Kritis Jurnal.pdf
Susi Susanti_2021 B_Analisis Kritis Jurnal.pdf
 
KERAJINAN DARI BAHAN LIMBAH BERBENTUK BANGUN RUANG
KERAJINAN DARI BAHAN LIMBAH BERBENTUK BANGUN RUANGKERAJINAN DARI BAHAN LIMBAH BERBENTUK BANGUN RUANG
KERAJINAN DARI BAHAN LIMBAH BERBENTUK BANGUN RUANG
 

van hiele

  • 1. EFEKTIVITAS MODEL PEMBELARAN VAN HIELE PADA MATERI BANGUN RUANG DALAM UPAYA MENINGKATKAN BERPIKIR VISUAL SISWA Ai Herawati NPM : 1241172105075 UNIVERSITAS NEGERI SINGAPERBANGSA KARAWANG PENDIDIKAN MATEMATIKA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
  • 2. PENGESAHAN Proposal penelitian yang berjudul “Efektivitas Model Pembelaran Van Hiele Pada Materi Bangun Ruang Dalam Upaya Meningkatkan Berpikir Visual Siswa ” yang disusun oleh : Nama : Ai Herawati NPM : 1241172105075 Kelas : 5C Program Studi : Pendidikan Matematika Karawang, 15 Januari 2015 Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Dosen pengampuh, Dori Lukman Hakim S,Pd.,M,Pd
  • 3. PERNYATAAN Bertanda tangan di bawah ini: Nama : Ai Herawati NPM : 1241172105075 Prodi : Pendidikan Matematika Fakultas : KIP ( Keguruan dan Ilmu Pendidikan ) Judul : Efektivitas Model Pembelaran Van Hiele Pada Materi Bangun Ruang Dalam Upaya Meningkatkan Berpikir Visual Siswa Menyatakan bahwa proposal ini adalah hasil pekerjaan saya dan sepanjang pengetahuan saya tidak berisi materi yang dipublikasikan atau ditulis oleh orang lain atau telah digunakan sebagai persyaratan penyelesaian studi di Perguruan Tinggi lain kecuali pada bagian tertentu yang saya ambil sebagai acuan. Apabila ternyata terbukti pernyataan ini tidak benar, sepenuhnya menjadi tanggung jawab saya. Karawang, 15 Januari 2015 Penulis,
  • 4. KATA PENGANTAR Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas bimbingan- Nya saya dapat menyelesaikan tugas proposal penelitian . Adapun proposal penelitian ini mengenai “Efektivitas Model Pembelajaran Van Hiele pada Materi Bangun Ruang Untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Visual Siswa”. Penyusunan proposal penelitian ini diajukan untuk memenuhi tugas Ujian Akhir Semester (UAS) Metode Penelitian Pendidikan pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Singaperbangsa Karawang. Penyusun sampaikan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan proposal penilitian ini. Penyusun menyadari bahwa proposal ini tidak akan tersusun tanpa adanya dukungan dari semua pihak. Semoga semua yang telah diberikan dapat bermanfaat. Semoga dengan adanya proposal ini dapat menyadarkan pembaca akan pentingnya Pendidikan Berkarakter untuk menciptakan individu-individu yang dapat mengembangkan bangsa Indonesia menjadi lebih maju. Menyadari akan ketidaksempurnaan proposal ini, baik isi maupun yang lainnya, saya harap adanya kritik dan saran yang membangun, untuk menyempurnakan makalah ini. Hingga dapat bermanfaat bagi kita semua. Amien. Karawang, 15 Januari 2015 Penulis,
  • 5. DAFTAR ISI HALAMAN PENGESAHAN .................................................................................................i PERNYATAAN ......................................................................................................................ii KATA PENGANTAR ..............................................................................................................iii DAFTAR ISI ............................................................................................................................iv BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .............................................................................................................1 1.2 Rumusan Masalah ........................................................................................................2 1.3 Batasan Masalah ...........................................................................................................2 1.4 Tujuan Penelitian .........................................................................................................2 1.5 Manfaat Hasil Penelitian...............................................................................................3 1.6 Definisi Operasional ....................................................................................................4 1.7 Hipotesis ......................................................................................................................4 BAB II. KAJIAN TEORI 2.1 Berpikir Visual..............................................................................................................5 2.2 Modek Pembelajaran Van Hiele ...................................................................................7 BAB III. METODE PENELITIAN 3.1 Metode dan Penelitian dan Desain Penelitian.............................................................13 3.2.Populasi dan Sampel...................................................................................................14 3.3 Instrumen Penelitian ...................................................................................................14 3.4 Instrumen TES ............................................................................................................14 3.5 Instrumen NON TES...................................................................................................15 3.6 Teknik Analisis Data (TES / NON TES)....................................................................16
  • 6. 3.6.1 Teknik Analisis Data TES .......................................................................................16 3.6.2 Teknik Analisis Data NON TES.............................................................................20 3.7 Jadwal Penelitian ........................................................................................................22 DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................23 Lampiran 1 Jurnal Nasional....................................................................................................24 Lampiran 2 Jurnal Nasional....................................................................................................34 Lampiran 3 Jurnal Internasional .............................................................................................45 Lampiran 4 Instrumen Penelitian (TES).................................................................................54 Lampiran 5 Intrumen Penelitian Non tes................................................................................55 Lampiran 6 Kisi-kisi Indikator Kemampuan .........................................................................56 Lampiran 7 Kisi-kisi Indikator Mata Pelajaran ......................................................................57
  • 7. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Matematika adalah salah satu disiplin ilmu yang sering sekali dianggap sulit oleh sebagian siswa bahkan tak sedikit siswa menghindarinya. Hal ini disebabkan karena sajian dalam matematika bersifat abstrak dan hanya ada dalam mental atau pikiran yang mempelajarinya. Maskipun demikian jika sajian materi dikemas semenarik mungkin dengan menterkaitakan materi tersebut dalam dunia nyata, siswa dapat meningkatkan berpikir visual. Bruner (aries : 2012) menyatakan bahwa anak dalam belajar konsep matematika melalui tiga tahap, yaitu enactive, iconic, dan symbolic. Tahap enactive yaitu tahap belajar dengan memanipulasi benda atau obyek konkret, tahap econic yaitu tahap belajar dengan menggunakan gambar, dan tahap symbolic yaitu tahap belajar matematika melalui manipulasi lambang atau simbol. Geometri merupakan cabang matematika yang dipelajari di sekolah . Materi geometri di smp diantaranya meliputi titik, garis, sudut, bangun datar dan bangun ruang. Menurut Burger & Shaugnessy (1993: 140 ) dalam Nia ( 2013) menyatakan bahwa gometri merupakan lingkungan untuk mempelajari struktur matematika. Dalam mempelajari geometri, kemampuan visualisasi merupakan kemampuan yang harus dimiliki oleh siswa sebagaimana yang direkomendasikan oleh NCTM (2000). Sifat abstrak dari geometri menuntut kemampuan siswa untuk membayangkan bentuk dan posisi objek geometri dari sudut pandang tertentu. Berpikir visual adalah aktivitas dalam matematika membayangkan dan membuktikan informasi visual dari objek nyata atau gambar. Berpikir visual adalah proses berpikir dengan cara mengijinasikan keadaan konkret untuk dijadikan acuan, menyelesaikan masalah, serta mendapat pemikiran – pemikiran yang baru (Herlingga : 2013). Visual thinking atau berpikir visual dalam pembelajaran geometri dapat mendorong kemampuan pengorganisaian dalam proses memahami, mengkomunikasikan informasi dan mengingat konsep-konsep geometri secara lebih bermakna. Berdasarkan laporan Trend in International Mathematics and Science Study terhadap siswa tingkat 8 pada tahun 2007 menunjukkan nilai skala rata-rata kemampuan matematika siswa di Indonesia adalah 397. Nilai ini berada di bawah nilai skala rata-rata kemampuan matematika dari 59 negara yang diikutkan dalam penelitian, yaitu 500.
  • 8. Laporan tersebut juga menunjukkan bahwa kemampuan geometri siswa di Indonesia lebih rendah jika dibandingkan dengan materi matematika lain seperti aljabar (algebra), bilangan (number),maupun data and chance). Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu guru matematika SMP mengenai kemampuan siswa dalam memahami bangun ruang, masih banyak kekeliruan dalam menyelesaikan soal-soal yang berkaitan dengan bangun ruang. Sebagai contoh kubus, masih banyak siswa yang beranggapan bahwa kubus itu adalah sebuah persegi. hal ini di buktikan saat menjawab soal “hitunglah luas permukaan kubus” banyak siswa yang menjawab “S2 ”. Hal ini karenakan rendahnya siswa dalam berpikir visual, di pertegas oleh Bartoline dalam Nia (2013) mengungkapkan bahwa rendahnya kemampuan visualisasi siswa akan menyebabkan siswa tidak dapat menyelesaikan masalah matematika dengan baik. Rendahnya kemampuan siswa dalam matematika terutama dalam geometri dapat di duga karena siswa kesulitan dalam mengkontruksi secara rinci bangun geometri yang dilihatnya. Sebagai seorang guru professional hendaknya guru mampu menguasai berbagai macam model pembelajaran yang relevan untuk meningkatkan berpikir visual siswa dalam geometri dengan kehidupan sehari-hari. Salah satu model pembelajaran yang secara teoritis dapat meningkatkan pemahaman konsep geometri siswa adalah model pembelajaran Van Hiele. Model pembelajaran Van Hiele dikembangkan oleh dua pendidik berkebangsaan Belanda, Pierre Marie van Hiele dan Dina van Hiele-Geldof. Martin, dkk menyatakan bahwa secara internasional model pembelajaran Van Hiele yang dikembangkan oleh Pierre Marie van Hiele dan Dina van Hiele-Geldof telah diakui memberikan pengaruh yang kuat dalam pembelajaran geometri sekitar tahun 1950-an. Anne menjelaskan bahwa ada beberapa negara yaitu Uni Soviet dan Amerika Serikat yang telah mengubah kurikulum geometri berdasar pada model pembelajaran Van Hiele. Kemudian Crowley dan Anne menyatakan bahwa Uni soviet pada tahun 1960-an telah melakukan perubahan kurikulum akibat dari pengaruh model pembelajaran Van Hiele. Pada permulaan tahun 1970-an pengaruh model pembelajaran Van Hiele mulai dirasakan oleh negara Amerika Serikat. Kemudian Sejak tahun 1980-an, penelitian yang memusatkan pembelajaran pada model pembelajaran Van Hiele terus meningkat. Walaupun khusus pada pembelajaran geometri, model ini memberikan gambaran kepada pendidik untuk memperhatikan setiap jenjang berpikir anak untuk memproses informasi dalam belajar (dalam Abdussakir, 2010) yang di kutip dalam (Priskilayuni).
  • 9. Berdasarkan latar belakang masalah di atas, diduga model pembelajaran Van Hiele berpengaruh terhadap pemahaman konsep geometri siswa pada mara pelajaran Matematika, sehingga peneliti merasa perlu melaksanakan penelitianeksperimen yang berjudul “Eefektivitas Moodel Pembelajaran Van Hiele pada Materi Bangun Ruang Dalam Upaya Meningkatkan Kemampuan Berpikir Siswa”. 1.2 Rumusan Masalah “Adakah peningkatan kemampuan berpikir visual siswa setelah melakukan model pembelajaran Van Hiele?” 1.3 Bataan Masalah Agar penelitian ini tidak menyimpang dan jauh dari sasaran, maka peneliti melakukan penelitian pada tingkat SMP kelas VIII materi bangun ruang yang lebih difokuskan pada kubus dan balok. 1.4 Tujuan Penelitian Tujuan yang diharapkan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui adakah peningkatan kemampuan berpikir visual siswa setelah melakukan model pembelajaran Van Hiele. 1.5 Manfaat hasil penelitian 1. Bagi siswa, diharapkan dapat memberikan pengaruh yang lebih baik terhadap peningkatan kemampuan berfikir visual siswa setelah melakukan model pembelajaran Van Hiele 2. Bagi guru, dapat dijadikan sebagai alternatif dalam proses pembelajaran matematika di kelas sebagai upaya meningkatkan kemampuan berpikir visual siswa. 3. Bagi peneliti, dapat menambah pengetahuan peneliti tentang model pembelajaran Van Hiele yang dapat meningkatan kemampuan berpikir siswa. 1.6 Definisi operasional 1. Berpikir visual atau Visual Thinking dapat didefinisikan sebagai sesuatu pemikiran yang aktif dan proses analitis untuk memahami, menafsirkan dan memproduksi pesan visual dari semua informasi kemudian merubahnya menjadi gambar, grafik atau lainya.
  • 10. 2. Model pembelajaran Van Hiele, Van Hiele adalah seorang guru matematika bangsa Belanda yang mengadakan penelitian dalam pengajaran geometri. Menurut Van Hiele, ada tiga unsur utama dalam pengajaran geometri, yaitu waktu, materi pengajaran, dan metode pengajaran yang diterapkan. Jika ketiga unsur ditata secara terpadu, akan dapat meningkatkan kemampuan berpikir anak kepada tahapan berpikir yang lebih tinggi. Van Hiele menyatakan bahwa terdapat 5 tahap belajar anak dalam belajar geometri, yaitu : tahap pengenalan, tahap analisis, tahap pengurutan, tahap deduksi dan tahap akurasi. 1.7 Hipotesis “Adakah peningkatan kemampuan berpikir visual siswa setelah melakukan model pembelajaran Van Hiele?” H0 : Tidak terdapat peningkatan kemampuan berpikir visual siswa setelah melakukan model pembelajaran Van Hiele. H1 : Terdapat peningkatan kemampuan berpikir visual siswa setelah melakukan model pembelajaran Van Hiele.
  • 11. BAB II KAJIAN TTEORI 2.1 Berpikir Visual Berpikir (Solso, 1991) dalam Andri (2012) merupakan proses menghasilkan representasi mental yang baru melalui transformasi informasi yang melibatkan interaksi secara kompleks antara atribut-atribut mental seperti penilaian, abstraksi, imajinasi, dan pemecahan masalah. Dalam bukunya, Giaquinto (2007 : 50) dalam Nia (2013) menyatakan bahwa “Visual imagination seems to play an important role in extending geometrical knowlage”. Sejalan dengan Giaquinto, Dwirahayu (2013) yang di kutip dalam Nia (2013) menyatakan bahwa kemampuan visual merupakan adalah salah satu kemampuan dasar dalam berpikir spasial (keruangan) yang mendukung pada pemahaman konsep matematika, khususnya padda kajiann bidang geometri. Visual Thinking atau Berpikir Visual adalah proses intelektual intuitif dan ide imajinasi visual, baik dalam pencitraan mental atau melalui gambar (Brasseur, 1991 : 130) dalam Edy. Goldsmchmidt, 1994; Laseau, 1986) dalam Edy menyatakan mengandalkan proses berpikir bahasa gambar visual, bentuk, pola, tekstur, symbol. Namun Visual Thinking memerlukan lebih banyak dari pada visualisasi atau representasi. John Steiner (1997) menyatakan “ Ini adalah mewakili sensasi pengetahuan dalam bentuk struktur ide, itu adalah aliran ide sebagai gambar, diagram, penjelasan model, lukisan yang diatur ide-ide besar dan penyelesaian sederhana. Visual Thinking dapat didefinisikan sebagai sesuatu pemikiran yang aktif dan proses analitis untuk memahami, menafsirkan dan memproduksi pesan visual, interaksi antara melihat, membayangkan, dan menggambarkan sebagai tujuan dapat digunakan, dan canggih seperti berpikir verbal. Zimmerman dan Cunningham (1991) yang dikutip dalam Edy menyatakan : Visualisasi adalah proses pembentukan gambar (mental, atau dengan kertas dan pensil atau dengan bantuan teknologi. Menurut Nia (2012) visualisasi adalah aktivitas mempersepsi, mengkonstruksi atau mempersentasikan konsep matematika untuk menanamkan pemahaman konsep matematika yang kuat sehingga dapat membantu mendapatkan statrategi yang tepat dalam pemecahan masalah matematis siswa. Sebagaimana yang di ungkapkan oleh Bartoline dalam Nia (2013) rendahnya kemampuan visualisasi siswa akan menyebabkan siswa tidak dapat menyelesaikan masalah matematika dengan baik.
  • 12. Visualisasi adalah suatu tindakan dimana seseorang individu membentuk hubungan yang kuat antara internal membangun sesuatu yang diakses diperoleh melalui indra. Sambungan berkualitas tersebut dapat dibuat dalam salah satu dari dua arah (Edy). Arcavi (2003) yang dikutip dalam Edy (2013) menyatakan visualisasi matematika dengan kiasan sebagai “melihat yang gaib”. Ia menganggap matematika sebagai dunia yang lebih “abstrak” berurusan dengan benda-benda dan entitas cukup berbeda dari fenomena fisik, yang meningkatkan kebutuhan untuk bergantung pada visualisasi dalam bentuk yang berbeda dan pada tingkat yang berbeda. Presmeg (1986) mendefinisikan metode visual sebagai salah satu yang memilih gambar visual, dengan atau tanpa diagram, seperti bagian penting dari metode solusi. Metode non visual di sisi lain tidak bergantung pada citra visual. Visualisasi dapat mempermudah dalam memahami masalah, memberikan gambaran umum penyelesaian masalah dan menganalisis permasalahan serta memahami bagaimana unsur-unsur dalam memahami masalah matematika. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Nurdin (2012) dalam Nia (2013) bahwa visualisasi memungkinkan siswa mengidentifikasikan masalah dalam bentuk yang lebih sederhana, menemukan hubungan (koneksi) pemecahan masalah, dan kemudian memformalkan pemahaman masalah yang diberikan serta mengidentifikasi motode yang digunakan untuk masalah yang serupa. Visualisasi merupakan aspek yang sangat penting dalam matematika dan sangat berguna dalam banyak tugas yang berkaitan dengan matematisasi tidak hanya geometri , atau yang berhubungan langsung dengan aspek keruangan tetapi juga dalam aspek lain seperti analisis matematis (Gusman 2002; Nia 2013). Visualisasi yang dilakukan oleh siswa melewati proses berikut ketika memecahkan masalah matematika (MOE, 2001) yang dikutip dalam Edy : 1) Memahami hubungan unsur-unsur spasial (keruangan) dalam masalah, 2) Keterkaitan satu sama lain ke pemecahan masalah, 3)Mengkonstruksi/membangun sebuah representasi visual (dalam pikiran, pada kertas, atau melalui penggunaan alat-alat teknologi), 4) Menggunakan representasi visual untuk memecahkan masalah, 5) Encoding jawaban atas masalah. Visualisasi mempunyai fungsi yang berbeda atau peran ketika siswa menggunakannya untuk memecahkan masalah. Siew Yin (2009) mengidentifikasikan tujuh peran dari visualisasi : (1) Untuk memahami masalah. Dengan mewakili masalah visual, siswa dapat memahami bagaimana unsur-unsur dalam masalah berhubungan satu sama lain, (2) Untuk menyederhanakan masalah. Visualisasi memungkinkan siswa untuk
  • 13. mengidentifikasi versi sederhana dari masalah, memecahkan masalah dan kemudian memformalkan pemahaman soal yang diberikan dan mengidentifikasi metode yang bekerja untuk semua masalah tersebut, (3) Untuk melihat koneksi ke masalah terkait. Ini melibatkan masalah yang berkaitan diberikan kepada pengalaman memecahkan masalah sebelumnya, (4) Untuk memenuhi gaya belajar individu. Setiap siswa memiliki preferensi sendiri ketika datang ke penggunaan representasi visual saat memecahkan masalah, (5) Sebagai pengganti untuk perhitungan. Jawaban terhadap masalah dapat diperoleh langsung dari representasi visual itu sendiri, tanpa perlu untuk perhitungan, (6) Sebagai alat untuk memeriksa solusi. Representasi visual dapat digunakan untuk memeriksa kewajaran dari jawaban yang diperoleh, (7) Untuk mengubah masalah ke dalam bentuk- bentuk matematis. Bentuk matematis dapat diperoleh dari representasi visual untuk memecahkan masalah. 2.2 Model Pembelajaran Van Hiele Van Hiele adalah seorang guru matematika bangsa Belanda yang mengadakan penelitian dalam pengajaran geometri. Menurut Van Hiele, ada tiga unsur utama dalam pengajaran geometri, yaitu waktu, materi pengajaran, dan metode pengajaran yang diterapkan. Fitur yang paling menonjol dalam model pembelajaran ini adalah hirarki lima tingkat dari cara dalam pemahaman ide-ide ruang. Tiap tingkatan menggambarkan proses pemikiran yang diterapkan dalam konteks geometri tingkatan-tingkatan tersebut menjelaskan tentang bagaimana berpikir dan jenis ide-ide geometri apa yang di pikirkan.perbedaaan yang signifikan dari satu level ke level berikutnya adalah objek- objek fikiran apa yang mampu dipikirkan secara geometris (Van de walle 2008:151) yang di kutip dalam Wiwi (2010). Fuys et al (1988) dan van de Walle (2010) yang di kutip dalam Sugiyarti meringkaskan karakteristik utama level-level van Hiele yaitu (a) level-level itu berurutan, (b) setiap level memiliki bahasanya sendiri, sejumlah simbol, dan jaringan hubungan, (c) apa yang tampak implisit pada satu level menjadi eksplisit di level berikutnya, (d) materi lebih atas yang diajarkan kepada siswa pada level lebih bawah haruslah dikurangi tingkat kerumitannya, (e) peningkatan dari satu level ke level berikutnya lebih tergantung pada pengalaman pengajaran yaitu materi dan pengajarannya daripada usia dan kematangan biologis, (f) siswa harus melalui lima fase belajar ketika bergerak dari satu level ke level berikutnya.
  • 14. Menurut Keyes & Anne (Abdussakir, 2010) dalam Husnul (2013) setiap level pada teori Van Hiele harus dilalui dengan berurutan. Ketika siswa berada pada level yang lebih tinggi maka level dibawahnya pasti sudah dikuasai. Dalam Burger & Shaughnessy (1986: 31) dan Mason & Wilder (2004: 309) dalam Sugiyarti terdapat 5 level berpikir geometri berdasarkan teori Van Hiele: 1. Level 0 (Visualisasi) Pada level ini siswa hanya memperhatikan bangun secara visual saja tanpa mengetahui sifat-sifat bangun tersebut. Misalnya, dengan melihat saja diketahui bahawa dua segitiga adalah sama, tanpa mengetahui alasannya. Tingkat ini sering disebut tingkat pengenalan. Namun bentuk-bentuk geometri yang dikenal anak semata-mata didasarkan pada karakteristik visual atau penampakan bentuknya secara keseluruhan, bukan perbagian. Dalam mengidentifikasi bangun, mereka seringkali menggunakan prototipe visual. Sebagai contoh, mereka mengatakan bahwa bangun yang diketahui adalah balok, karena seperti kotak. Anak belum menyadari adanya sifat-sifat dari bangun geometri. 2. Level 1 (Analisis) Pada level ini kemampuan berpikir siswa berkembang dengan mendeskripsikan suatu bangun menggunakan bahasa sendiri sesuai level sebelumnya. Konsep geometri mulai tertanam dalam benak siswa dengan mulai memperhatikan bagian-bagian dan sifat- sifat suatu bangun. Sebagai contoh, dua balok dapat dikatakan sama dengan mengenali sifat-sifatnya. Melalui pengamatan, eksperimen, mengukur, menggambar, dan memodel, siswa dapat mengenali dan membedakan karakteristik suatu bangun. Anak-anak melihat bahwa suatu bangun mempunyai bagian-bagian tertentu yang dapat dikenali. Namun demikian anak-anak belum sepenuhnya dapat menjelaskan hubungan antara sifat yang satu dengan sifat yang lain, anak-anak sama sekali belum bisa melihat hubungan antara beberapa bangun, dan definisi abstrak belum atau tidak dapat dimengerti. 3. Level 2 (Abstraksi) Pada level ini siswa menggunakan bahasa untuk mengetahui perbedaan dari setiap bangun sesuai dengan level sebelumnya. Siswa secara logis menggolongkan sifat-sifat berdasarkan konsep, membentuk definisi abstrak, dan dapat membedakan antara keperluan dan kecukupan dari kumpulan sifat-sifat untuk menentukan konsep. Pada tahap ini anak sudah mulai mampu untuk melakukan penarikan kesimpulan secara deduktif, tetapi masih pada tahap awal artinya belum berkembang baik.
  • 15. 4. Level 3 (Deduksi Informal) Pada tingkat ini berpikir deduksi siswa sudah mulai berkembang dan penalaran deduksi sebagai cara untuk membangun struktur geometri dalam sistem aksiomatik telah dipahami. Hal ini telah ditunjukkan siswa dengan membuktikan suatu pernyataan tentang geometri dengan menggunakan alasan yang logis dan deduktif. Struktur deduktif aksiomatik yang lengkap dengan pengertian pangkal, postulat/aksioma, definisi, teorema, dan akibat yang secara implisit ada pada tingkat deduksi informal, menjadi objek yang eksplisit dalam pemikiran anak pada tingkat ini. 5. Level 4 (Deduksi Formal) Pada tingkat ini siswa dapat bekerja dalam berbagai struktur deduksi aksiomatik. Siswa dapat menemukan perbedaan antara dua struktur. Siswa memahami perbedaan antara geometri Euclides dan geometri non-Euclides. Siswa memahami aksioma- aksioma yang mendasari terbentuknya geometri non-Euclides. Dalam mempelajari geometri kecerdasan spasial juga sangat mempengaruhi kemampuan berpikir geometri siswa. Kecerdasan ini membantu siswa untuk memahami hubungan antar objek dan lokasi mereka dalam dunia tiga dimensi. Spasial adalah kemampuan untuk merasakan objek baik hubungannya dengan objek lain maupun orientasi objek itu sendiri. Kemampuan visual spasial tersebut akan berhubungan dengan level kemampuan berpikir geometri menurut teori Van Hiele, terutama level 0 dan 1. Selanjutnnya untuk meningkatkan level kemampuan berpikir geometeri Van Hiele mengajukan beberapa fase untuk dilalui. 1. Informasi Pada fase ini siswa telah mendapatkan informasi mengenai suatu bentuk geometri. Informasi yang diperoleh siswa bisa berasal dari pembelajaran sebelumnya maupun informasi dari kehidupan sehari-hari. Dengan adanya informasi tersebut siswa dapat mengenali domain kerja. Ketika siswa mengetahui objek tersebut secara visual maka ia dapat membedakan suatu objek dengan objek yang lain (diskriminasi visual). Dalam pembelajaran gometri hal ini ditunjukkan dengan mengetahui yang contoh dan bukan contoh (visual clousier). Untuk mengetahui informasi yang dimiliki siswa maka seorang guru harus mengetahui kemampan awal mereka. Ketika ada siswa yang tidak tau maka dengan adanya apersepsi maka siswa tersebut akan mengetahunya terutama tau bentuk secara visual dan namanya.
  • 16. 2. Orientasi langsung Pada fase ini siswa berorientasi secara langsung pada objek geometri yang akan dipelajari. Siswa menyelesaikan tugas yang melibatkan hubungan berbeda dari sistem yang dibentuk (contoh: melipat, mengukur, menemukan simetri (figure-ground discrimination)). Agar siswa dapat berorientasi langsung maka guru harus menyediakan sarana. Sarana yang dibutuhkan siswa adalah berupa media pembelajaran. Dengan ketersediaan media maka siswa dapat menemukan sendiri sifat pada suatu objek geometri. Pemilihan media harus melibatkan siswa dalam menemukan sifat-sifat dari bentuk geometri. Terkadang guru memang menggunakan media, tetapi hanya untuk guru sendiri bukan ditemukan siswa. Banyak sekali media yang dapat digunakan baik modern berbasi komputer maupun tradisional. Anak merupakan bagian dari dunia fisik, sehingga pengalaman langsung dengan benda- benda sangat penting dalam belajar. Ini merupakan dasar dari tahapan berpikir konkret-operasional yaitu pada masa usia sekolah (Copeland: 1979). Anak harus dirangsang untuk membandingkan objek dalam memahami relasi yang ada diantara karakteristikkarakteristik atau sifat-sifat benda tertentu dengan benda lainnya. 3. Penjelasan Dengan penemuan tersebut maka siswa menjadi ingin tahu mengenai hubungan, mencoba untuk menjelaskannya dengan kata-kata, dan mempelajari cara menyampaikan yang tepat dengan materi sujek (contoh: menjelaskan ide-ide mengenai sifat-sifat dari bangun). Siswa menyatakan pandangan yang muncul mengenai struktur yang diobservasi. Siswa dapat mengetahui posisi berbagai objek dalam ruang (hubungan keruangan). Di samping itu untuk guru membantu siswa menggunakan bahasa yang tepat dan akurat untuk menjelaskan mengenai apa yang baru diamati. Ketika siswa menemukan sendiri sifat pada objek geometri maka mereka akan memahami konsep dan hubungan antar sifat yang ditemukan (mengenal objek). Tetapi ketika guru yang menjelaskan maka siswa hanya menghafal saja. 4. Orientasi bebas Siswa belajar, dengan menyelesaikan tugas-tugas yang lebih kompleks, untuk menemukan cara mereka sendiri dalam mengubungkan hubungan yang ada. (contoh: mengetahui sifatsifat dari semacam bentuk, menginvestigasi sifat-sifat tersebut apakah bangun baru atau bangun yang sudah diketahui misalnya layang-layang). Soal-soal yang biasa diselesaikan adalah berupa open-ended.
  • 17. 5. Integrasi Siswa menyimpulkan seluruh hal yang dipelajari mengenai subjek, lalu merefleksikannya dengan tindakan dan memperoleh sebuah pandangan baru terhadap hubungan subjek. (contoh: sifat-sifat dari suatu bangun disimpulkan). Langkah-langkah dalam menerapkan model pembelajaran Van Hiele (Abdussakir: 2010) yang dikutip dalam Husnul (2013) adalah: 1) Aktivitas Level 0 (Visualisasi) Pada tahap 0 ini, bangun-bangun geometri diperhatikan berdasarkan penampakan fisik sebagai suatu keseluruhan. Aktivitas untuk tahap ini antara lain sebagai berikut. a. Melibatkan penggunaan model fisik yang dapat digunakan siswa untuk manipulasi, mewarna, melipat dan mengkonstruk bangun geometri. b. Melibatkan kegiatan memilih, suatu gambar sederhana, dalam kumpulan potongan bangun, atau alat peraga yang lain, dalam berbagai orientasi, melibatkan objek- objek fisik lain di dalam kelas, rumah, atau tempat lain. c. Membuat bangun dengan menjiplak gambar pada kertas bergaris, menggambar bangun, dan mengkonstruk bangun. Dan mendeksripsi-kan bangun-bangun geometri dan mengkonstruk secara verbal menggunakan bahasa baku atau tidak baku, misalnya kubus “seperti pintu atau kotak. d. Mengerjakan masalah geometri yang dapat dipecahkan dengan me-nyusun, mengukur, dan menghitung. 2) Aktivitas Level 1 (Analisis) Pada level 1 ini siswa diharapkan dapat mengungkapkan sifat-sifat bangun geometri. Aktivitas untuk tahap ini antara lain sebagai berikut. a. Menggunakan model-model pada tahap 0, terutama pada model-model yang dapat digunakan untuk mengeksplorasi bebagai sifat bangun. b. Membandingkan bangun-bangun berdasarkan karakteristik sifat-sifat-nya. c. Mengidentifikasi dan menggambar bangun yang diberikan secara verbal atau diberikan sifat-sifatnya secara tertulis. d. Mengidentifikasi sifat-sifat yang dapat digunakan untuk mencirikan atau mengkontraskan kelas-kelas bangun yang berbeda. e. Menemukan sifat objek yang tidak dikenal.
  • 18. f. Menyelesaikan masalah geometri yang dapat mengarahkan untuk mengetahui dan menemukan sifat-sifat suatu gambar, relasi geometri, atau pendekatan berdasar wawasan. 3) Aktivitas Level 2 (Deduksi Informal) Pada level 2 ini siswa diharapkan mampu mempelajari keterkaitan antara sifat-sifat dan bangun geometri yang dibentuk. Aktivitas siswa untuk tahap ini antara lain sebagai berikut. a. Mempelajari hubungan yang telah dibuat pada level 1, dan membuat implikasi. b. Mengidentifikasi sifat yang perlu dan cukup untuk kondisi bangun. c. Membuat dan menggunakan definisi dengan bahasanya sendiri. d. Mengikuti argumen-argumen informal dan menyajikan argumen informal. e. Mengikuti argumen deduktif, mungkin dengan menyisipkan langkah-langkah yang kurang. f. Melibatkan kerjasama dan diskusi yang mengarah pada pernyataan dan konversnya. g. Menyelesaikan masalah yang menekankan pada pentingnya sifat-sifat gambar dan saling keterkaitannya. Setiap level telah menggunakan fase Van Hiele. Tetapi hanya dibatasi pada level 2. Fase tersebut dapat digunakan untuk mempelajari setiap bentuk geometri. Setiap bentuk geometri pasti memiliki sifat, komponen, dan hubungna dengan bentuk geometri lainnya. Dengan bantuan fase-fase tersebut, seorang guru diharapkan dapat membantu siswa dalam meningkatkan kemampuan berpikir geometri.
  • 19. BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Metode dan desain penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif karena data penelitian berupa angka-angka dan analisis menggunakan statistic. dengan demikian metode kuantitatif ini diartikan sebagai metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat positivisme, digunakan untuk meneliti pada populasi atau sampel tertentu, pengumpulan data menggunakan instrument penelitian, analisis data bersifat kuantitatif atau statistic, dengan tujuan untuk menguji hipotesis yang telah ditetapkan (sugiyono 2014: 11) Pada penelitian ini menggunakan true eksperiment design. adapun jenis yang digunakan dalam penelitian ini adalah pretest-postest control group design , dalam desain ini terdapat dua kelompok yang dipilih secara random kemudian diberi pretest untuk mengetahui keadaan awal adakah perbedaan antara kelompok eksperimen dan kelompok control setelah itu kelompok eksperimen diberi pembelajaran menggunakan model yang peneliti jadikan penelitian yaitu model pembejaran Van Hiele sedangkan kelompok control diberi pembelajaran menggunakan model yang biasa di lakukan guru pada sekolah yang peneliti teliti, pada akhirnya diberi posttest untuk melihat keadaan akhir dari kedua kelompok tersebut. Gambar pola pretest-postest control group design (sugiyono :2014:114) 3.2 Populasi dan sample  Populasi Menurut Sugiyono (2014 : 119) populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas : obyek/subyek yang mempunyai kualitas atau karakteristik tertentu yang ditetapakan
  • 20. oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya. Populasi yang di ambil adalah seluruh kelas VIII di SMPIT Al-Huda yang berjumlah 216 Siswa.  Sampel Sampel adalah bagian dari jumlah yang dimiliki oleh populasi tersebut (Sugiyono:2014:120). Adapun sampel yang diambil oleh peniliti adalah adalah 2 kelas dari 4 kelas yang ada pada SMP IT AL_HUDA. Jenis probability yang di ambil adalah cluster sampling. Menurut Margono (2004: 127) dalam salah satu artikel, teknik cluster sampling digunakan bilamana populasi tidak terdiri dari individu-individu, melainkan terdiri dari kelompok kelompok individu atau cluster. Menurut peneliti jenis ini sangat cocok untuk pengambilan sampel pada tingkat sekolah. 3.3 Instrumen Penelitian Untuk memperoleh data dalam penelitian digunakan dua macam instrument yaitu tes dan non tes. Instrumen tes berisi soal-soal untuk mengukur kemampuan pemecahan masalah matematik siswa, sedangkan instrument non tes terdiri atas skala pendapat siswa (angket). 3.4 Instrumen Tes Instrumen Tes yang peneliti pilih adalah bentuk esai (uraian). Tes bentuk esai adalah sejenis tes kemajuan belajar yang memerlukan jawaban yang bersifat pembahasan atau uraian kata-kata (Arikunto :2013:177). Tes subjektif yang pada umumnya berbentuk esai (uraian). Alasan peneliti mengambil tes bentuk uraian adalah agar dapat mengetahui sejauh mana siswa mendalami suatu masalah yang diteskan. Penyusunan tes diawali dengan pembuatan kisi-kisi soal yang mencakup pokok bahasan, kemampuan yang diukur, indikator , serta jumlah butir soal. Kemudian dilanjutkan dengan menyusun soal beserta kunci jawaban dan aturan pemberian skor untuk masing-masing butir soal. Tes pemecahan masalah matematik siswa dalam penelitian ini terdiri dari bentuk uraian pada pokok bahasan persamaan garis lurus. Soal-soal yang digunakan untuk mengukur pemecahan masalah matematis siswa untuk tiap langkah terdiri dari
  • 21. kemampuan memahami masalah, merencanakan pemecahan dan menyelesaikan masalah. Penilaian untuk jawaban soal pemecahan masalah matematis siswa disesuaikan dengan keadaan soal dan hal-hal yang ditanyakan, adapun pedoman penelitian didasarkan pada pedoman penskoran rubric untuk kemampuan pemecahan masalah yang dikutip dari sumarmo (1994).Sebelum diteskan, instrument yang dijadikan alat ukur tersebut diuji cobakan untuk mengetahui validitas, reliabilitas, indeks kesukaran dan daya pembeda. Rubrik skoring level Kategori 0 Bukan jawaban yang sesuai. 1 Jawaban salah, tetapi beberapa alasan dicoba mengemukakan 2 Jawaban benar, tetapi penalarannya tidak lengkap 3 Jawaban benar dan penalaran baik. Penjelasannya lebih lengkap dari level 2, tetapi mengandalkan pada pengetahuan konkret atau visual dari pengetahuan abstrak 4 Jawaban sempurna. 3.5 Instrumen Non Tes Instrumen Non Tes yang peneliti pilih adalah bentuk Kuesioner (Angket). Kuesioner (Angket) merupakan instrument untuk pengumpulan data, dimana partisipan atau responden mengisi pertanyaan atau pernyataan yang diberikan oleh peneliti. Peneliti dapat menggunakan kuisioner untuk memperoleh memperoleh data yang terkait dengan pemikiran, perasaan, sikap, kepercayaan, nilai, persepsi, kepribadian dan perilaku dari responden. Pada penelitian ini digunakan skala guttman untuk pengukuran angket. Skala guttman adalah skala pengukuran yang hanya terdapat dua alternatif jawaban, yaitu “ya- tidak”, “benar-salah”, “setuju-tidak setuju”. Jawaban dapat dibuat skor tertinggi satu dan terendah nol. Missal untuk jawaban “setuju” diberi skor 1 dan “tidak setuju” diberi skor 0. 3.6 Teknik Analisis Data 3.6.1 Analisis Data Tes Analisis data dimaksudkan untuk melakukan pengujian hipotesis dan menjawab rumusan masalah yang diajukan dalam penelitian ini yaitu data kuantitatif. Pengolahan data
  • 22. kuantitatif diperoleh dari hasil pretest dan posttest, yang selanjutnya dianalisis apakah terdapat peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis melalui pembelajaranVan Hiele. Analisis data kuantitatif menggunakan: 1. Uji normalitas Uji normalitas untuk mengetahui apakah data berdistribusi normal atau tidak. Uji normalitas dilakukan dengan menggunakan uji shapiro-wilk dengan taraf signifikan 95%. Jika data berdistribusi normal, maka analisis data dilanjutkan dengan uji homogenitas varians untuk menentukan uji parametrik yang sesuai. 2. Uji Homogenitas Uji homogenitas varians dilakukan jika data berdistribusi normal. Uji homogenitas varians dilakukan untuk mengetahui apakah kedua kelompok data yang akan diuji memiliki variansi yang homogen atau tidak. Untuk menguji homogenitas varians dengan mengambil taraf signifikansi 95%. 3. Indeks gain Untuk mengetahui kategori peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa di tiap kelas yaitu kelas yang menggunakan model pembelajaran Van Hiele dengan siswa yang belajar menggunakan pembelajaran konvensional, dilakukan perhitungan nilai indeks gain kedua kelas. Rumus yang digunakan adalah rumus gain ternormalisasi (N-Gain) yang dikembangkan oleh Meltzer (Latifah, 2012:42) yakni: Indeks gain = Kategori gain yang dinormalisasi sebagai berikut: Interpretasi Gain Nilai Gain Normal (NG) Interpretasi NG > 0,7 Gain tinggi 0,3 < NG 0,7 Gain sedang NG 0,3 Gain rendah 4. Validitas Menurut Suharsimi Arikunto (2013) sebuah tes dikatakan memiliki validitas jika hasilnya sesuai dengan kriterium, dalam arti memiliki kesejajaran antara hasil tes tersebut dengan kriterium.
  • 23. Menurut Pearson, korelasi produk moment. ∑ (∑ )(∑ ) √( ∑ (∑ ) )( ∑ (∑ ) ) Keterangan : = Koefisien antara variabel x dan variabel y x = Jumlah skor tiap item dari seluruh responden uji coba. y = Jumlah skor total seluruh item dari keseluruhan responden uji coba. n = Jumlah responden uji coba. Tolak Ukur yang Dibuat Guildford (Arikunto,2013) Klasifikasi koefisien validitas Besar r Hitung Interpretasi 0,800 ≤ r hitung ≤ 1,00 Validitas Sangat Tinggi 0,600 ≤ r hitung ≤ 0,800 Validitas Tinggi 0,400 ≤ r hitung ≤ 0,600 Validitas Cukup 0,200 ≤ r hitung ≤ 0,400 Validitas Rendah 0,00 ≤ r hitung ≤ 0,200 Validitas Sangat Rendah r hitung < 0,00 Tidak Valid 5. Reliabilitas Menurut Sperman dan Brown (dalam Arikunto : 2013), dalam menghitung besarnya reliabilitas berhubungan dengan penambahan banyaknya butir. Menurut Husen Umar menyatakan bahwa “reliabilitas adalah derajat ketepatan, ketelitian atau keakuratan yang ditunjukkan oleh instrumen pengukuran“ (1991 : 52), suatu alat ukur dikatakan
  • 24. reliabel bila alat tersebut dalam mengukur suatu gejala pada waktu yang berlebihan menunjukkan hasil yang sama. Rumus Combach Alpha (Arikunto: 2013: 122) ( ) ( ∑ ) Keterangan: : koefisien reliabilitas : banyak butir soal ∑ : jumlah varians skor tiap-tiap item : varians skor total Klasifikasi koefisien Reliabilitas Besar Interpretasi Reliabilitas sangat rendah Reliabilitas rendah Reliabilitas sedang Reliabiltas tinggi Reliabilitas sangat tinggi 6. Daya pembeda Menganalisis kesukaran tes soal artinya mengkaji soal-soal tes dari segi kesulitannya, sehingga dapat diperoleh sol oal mana yang termasuk mudah, sedang dan sukar, sedangkan menganalisis daya pembeda artinya mengkaji soal-soal tes dari segi kesanggupan tes tersebut dalam kategori lemah atau rendah dan kategori kuat atau tinggi persentasinya. (Wayan, 1983:134) ̅ ̅ Keterangan : DP = Daya pembeda ̅ = rata – rata skor kelompok atas tiap butir soal
  • 25. ̅ = rata – rata skor kelompok bawah tiap butir soal SMI = skor maksimum tiap item Klasifikasi daya pembeda 7. Indeks Kesukaran Indeks Kesukaran menunjukkan apakah suatu butir soal tergolong sukar, sedang, atau mudah. Butir soal tergolong sukrar, sedang, atau mudah. Butir soal yang baik adalah butir soal yang tidak terlalu mudah atau tidak terlalu sukar. ̅ Keterangan : IK = Indeks Kesukaran ̅ = rata-rata skor SMI = skor maksimum tiap item. Klasifikasi IK menurut Eman Suherman dan sukjaya (1990:213) Nilai Interprestasi Ik = 0,00 0,00  IK  0,30 0,30  IK  0,70 Soal terlalu sukar Soal sukar Soal sedang Soal mudah Nilai Interpretasi DP  0,00 0,00  DP  0,20 0,20  DP  0,40 0,40  DP  0,70 0,70  DP  1,00 Sangat Jelek Jelek Cukup Baik Sangat baik
  • 26. 0,70  IK  1,00 IK = 1,00 Soal terlalu mudah 3.6.2 Teknik Analisis Data Non Tes 1. Validitas Rumus yang cocok untuk uji validitas dengan skala Guttman yaitu rumus koefisien reprodusibilitas dan koefisien skalabilitas(effendi:2011) yang dikutip dalam febiola(2014). Rumus koefisien reprodusibilitas ( ) Keterangan : = Jumlah kesalahan / Nilai eror = Jumlah pernyataan dikali jumlah responden Syarat penerimaan nilai koefisien reprodusibiltas yaitu apabila koefisien reprodusibiltas memiliki nilai > 90. Rumus koefisien skalabilitas ( ) Keterangan: = Jumlah kesalahan / Nilai eror = ({jumlah pernyataan dikali jumlah responden} – jumlah jawaban “ya”) Syarat penerimaan nilai koefisien skalabilitas yaitu apabila koefisien skalabilitas memiliki nilai > 60 2. Reliabilitas
  • 27. Rumus yang cocok untuk pengujian reliabilitas skala guttman adalah rumus Kuder Richardson 21 (KR 21), karena rumus ini cocok untuk pilihan jawaban yang sifat dikotomi(febiola:2014). Rumus KR 21 ( ) { ( ) } (Sugiyono:2014:180) Keterangan: = jumlah item dalam instrument = mean skor total = varians total 3.7 Jadwal Penelitian No Kegiatan Bulan / minggu ke- November Desember Januari I II III IV I II III IV V I II III IV 1 Penyusunan Proposal   2 Pembuatan Instrumen  4 Pelaksanaan Uji Coba  5 Pelaksanaan Pretest  6 Pelaksanaan Pembelajara n     7 Pelaksanaan 
  • 29. DAFTAR PUSTAKA Arikunto, Suharsimi. 2001.Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan.Jakarta : PT Bumi Aksara. Arikunto, Suharsimi. 2013. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: PT Bumi Aksara. Kania, Nia. 2013. Perbandingan Efektivitas Alat Peraga Kongkrit Dan Alat Peraga Maya Terhadap Peningkatan Visual Thinking Siswa. Bandung: Repository Upi Edu. Khoiriyah, Nor. 2013. Analisis Tingkat Berpikir Siswa Berdasarkan Teori Van Hiele Pada Materi Dimensi Tiga Ditinjau Dari Gaya Kognitif Field Dependent Dan Field Independent. Surakarta: Jurnal Pendidikan Matematika Solusi. Khotimah, Husnul. 2013. Meningkatkan Hasil Belajar Geometri Dengan Teori Van Hiele.Yogyakarta: Makalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika dengan tema ” Penguatan Peran Matematika dan Pendidikan Matematika untuk Indonesia yang Lebih Baik" pada tanggal 9 November 2013 di Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY. Priskilayuni. 2013. Pengaruh Model Pembelajaran Van Hiele Terhadappemahaman Konsep Geometri Pada Mata Pelajaran Matematika Siswa Kelas V Sd Di Desa Panji Anom.Singaraja: Universitas Pendidikan Ganesha. Sugiyarti. 2013. Pengembangan Buku Siswa dengan Mengacu Lima Fase Belajar Model Van Hiele pada Materi Bangun Ruang Sisi Datar Kelas VIII SMP LaboratoriumUniversitas Negeri Malang. Semarang: Universitas Negeri Malang. Surya, Edy. Peningkatan Representasi Visual Thinking Matematika Siswa Smp N 11 Medan Dengan Melatih Ketrampilan Menggambar Dan Pendekatan Kontekstual. Medan :Unimed Medan. Susanti, Wiwi. 2011. Efektifitas model pembejajaran van hiele dengan alat peraga untuk meningkatkan hasil belajar peserta didik pada materi pokok bangun ruang sisi datar di kelas VIII MTs Darussalam kroya tahun pelajaran 2010/2011. Semarang : Institut agama Islam negeri walisongo. Sugiyono. 2014. Metode Penelitian Kombinasi (Mix Methods). Bandung: ALFABETA.
  • 30. LAMPIRAN 1 MENINGKATKAN HASIL BELAJAR GEOMETRI DENGAN TEORI VAN HIELE Husnul Khotimah Pendidikan Matematika, Universitas Negeri Yogyakarata Abstrak Matematika memiliki berbagai cabang ilmu, salah satunya adalah Geometri. Cabang ilmu ini dipelajari semenjak Sekolah Dasar dan objeknya berupa benda konkret dalam kehidupan sehari-hari sehingga siswa mudah mempelajarinya. Tetapi banyak bukti yang menyatakan bahwa hasil belajar Geometri siswa masih rendah. Hal ini terjadi karena siswa masih merasa kesulitan dalam mempelajari Geometri. Salah satu teori pembelajaran yang dapat diterapkan untuk mengatasi kesulitan tersebut adalah teori Van Hiele. Dalam teori ini terdapat beberapa langkah pembelajaran yang harus diterapkan guna meningkatkan kemampuan geometri siswa. Kata kunci: geometri, teori van hiele. A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Salah satu bidang ilmu yang menggunakan kemampuan berpikir yang cukup tinggi adalah matematika. Bidang ilmu ini dipelajari di setiap jenjang pendidikan. Hal tersebut sejalan dengan pernyataan Suherman.et.al (2003: 55) bahwa matematika sekolah adalah matematika yang diajarkan di sekolah, yaitu matematika yang diajarkan di pendidikan dasar (SD dan SLTP) dan pendidikan menengah (SLTA dan SMK). Matematika sekolah tetap memiliki ciri-ciri yang dimiliki matematika yaitu memiliki objek kejadian yang abstrak serta berpola pikir deduktif konsisten. Geometri merupakan salah satu cabang ilmu matematika. Menurut Galileo (Burshill-Hall, 2002: 21) geometri merupakan kunci untuk memahami alam. Alam di sini berarti seluruh bentuk yang ada di dunia. Adapun menurut Kartono (2012:5) “berdasarkan sudut pandang psikologi, geometri merupakan penyajian abstraksi dari pengalaman visual dan spasial, misalnya bidang, pola, pengukuran dan pemetaan”. Geometri tidak hanya mengembangkan kemampuan kognitif siswa tetapi juga membatu dalam pembentukan memori yaitu objek konkret menjadi abstrak. Berdasarkan pendapat tersebut maka geometri merupakan materi penting dalam pembelajaran matematika. Tujuan pembelajaran geometri adalah agar siswa memperoleh rasa percaya diri mengenai kemampuan matematikanya, menjadi pemecah masalah yang baik, dapat berkomunikasi secara matematik, dan dapat bernalar secara matematik (Bobango, 1993: 148). Sedangkan
  • 31. Budiarto (2000: 439) menyatakan bahwa tujuan pembelajaran geometri adalah untuk mengembangkan kemampuan berpikir logis, mengembangkan intuisi keruangan, menanamkan pengetahuan untuk menunjang materi yang lain, dan dapat membaca serta menginterpretasikan argumenargumen matematik. Pada dasarnya geometri mempunyai peluang yang lebih besar untuk dipahami siswa dibandingkan dengan cabang matematika yang lain. Hal ini karena ide-ide geometri sudah dikenal oleh siswa sejak sebelum mereka masuk sekolah, misalnya garis, bidang dan ruang. Meskipun geometri diajarkan, namun kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa materi geometri kurang dikuasai oleh sebagian besar siswa. Masih banyak siswa yang mengalami kesulitan dalam belajar geometri, salah satunya pada tingkatan SMA. Berdasarkan persentase penguasaan materi soal matematika ujian nasional SMA/MA pada kemampuan menghitung jarak dan sudut antara dua objek (titik, garis dan bidang) di ruang di Kota Yogyakarata yaitu 57,52%. Dari angka tersebut terlihat bahwa kemampuan tersebut masih cukup jauh dari 100%. Serta termasuk salah satu kemampuan yang memiliki persentase rendah jika dibandingkan dengan kemampuan yang lain. Rendahnya hasil ujian tersebut merupakan salah satu tanda bahwa siswa mengalami permasalahan dalam menyelesaikan soal geometri. Berdasarkan observasi yang telah dilakukan oleh Badi Rahmat Hidayat, terdapat beberapa masalah yang dapat diindikasikan sebagai penyebab bahwa materi dimensi tiga merupakan salah satu materi yang sulit untuk dapat dipahami oleh siswa, anata lain: a. Keterampilan siswa dalam menggambar dan mempergunakan alat-alat untuk menggambar bangun-bangun ruang tiga dimensi masih rendah. b. Kemampuan pemahaman konsep matematika siswa masih kurang memuaskan. c. Sebagian siswa hanya mengandalkan hafalan tanpa memahami konsep sehingga melakukan kesalahan dalam menyelesaikan soal. d. Materi prasyarat diantaranya adalah garis lurus, sudut, luas bangun datar, trigonometri dan syarat-syarat berlakunya teorema Phytagoras belum dikuasai oleh sebagian siswa. Permasalahan tersebut terjadi karena siswa tidak memahami konsep dan prinsip. Dalam kenyataannya seperti miskonsepsi mengenai jarak dua garis sejajar dan jarak dua bidang yang sejajar, tidak bisa menghubungkan komponen dari geometri yang diketahui pada soal menjadi satu kesatuan, dan kesalahan konsep dalam memahami pengertian dan letak sudut surut serta perbandingan proyeksi pada gambar bangun ruang kubus(Hidayat B.R, 2013). Terdapat suatu fase pembelajaran yang cocok untuk diterapkan dalam mempelajari geometri. Fase tersebut ditemukan oleh Dina dan Pierre Van Hiele pada tahun 1986. Sehingga fase tersebut sering disebut dengan model pembelajaran Van Hiele. Adapun urutan fase yang dialami siswa yaitu informasi, petunjuk orientasi, pengeksplisitan, dan orientasi bebas. Van Hiele juga membagi kemampuan berpikir geometri menjadi lima level. Agar kelima level tersebut tercapai maka salah satu caranya adalah dengan menerapkan keempat fase di atas. Untuk siswa SMA, kemampuan berpikir geometri berada pada level 2 (abstraksi). Tetapi pada kenyataannya masih ada siswa SMA yang berada pada level 0 (visualisasi)
  • 32. (Hidayat B.R, 2013). Berdasarkan permasalahan dan kajian toeri tersebut maka diterapkanlah model pembelajaran Van Hiele. Dengan penerapan model pembelajaran ini diharapkan prestasi belajar siswa meningkat. 2. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian pada bagian latar belakang di atas, maka masalah penelitian ini dinyatakan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut: a. Mengapa model pembelajaran Van Hiele dapat meningkatkan kemampuan berpikir geometri siswa? b. Bagiamana skenario model pembelajaran Van Hiele? 3. Tujuan dan Manfaat Adapun tujuan dan manfaat dari penulisan ini adalah: a. Mengetahui penyebab bahwa penerapan model pembelajaran Van Hiele dapat meningkatkan kemampuan berpikir geometri siswa. Dengan mengetahui penyebabnya maka seorang guru tidak salah dalam menerapkan model pembelajaran ini dan mengetahui esensi dari setiap fase. b. Mengetahui skenario model pembelajaran Van Hiele dengan tepat. Dengan adanya scenario ymaka seorang guru tidak salah dalam melaksanakan urutan pembelajaran. B. PEMBAHASAN Teori Van Hiele merupakan salah satu teori yang dapat mengukur kemampuan geometri siswa. Seperti nama teori ini, maka teori dikemukan oleh Dina dan Pierre Van Hiele pada tahun 1986. Mereka melakukan penelitian mengenai berpikir geometri di sekolah. Menurut teori ini terdapat lima level yang dilalui siswa dalam belajar geometri. Penggunaan level disini bukan untuk mengakategorikan siswa tetapi untuk mengetahui sudah sampai dimana kemampuan berpikir geometri siswa. Siswa secara bertahap melalui kelima level tersebut. Berdsarakan penelitian biasanya berada pada level 0, siswa SMP berada pada level 0 dan 1, sedangkan siswa SMA sudah berada pada level 2. Menurut Keyes & Anne (Abdussakir, 2010) setiap level pada teori Van Hiele harus dilalui dengan berurutan. Ketika siswa berada pada level yang lebih tinggi maka level dibawahnya pasti sudah dikuasai. Dalam Burger & Shaughnessy (1986: 31) dan Mason & Wilder (2004: 309) terdapat 5 level berpikir geometri berdasarkan teori Van Hiele: 1. Level 0 (Visualisasi) Pada level ini siswa hanya memperhatikan bangun secara visual saja tanpa mengetahui sifat-sifat bangun tersebut. Misalnya, dengan melihat saja diketahui bahawa dua segitiga adalah sama, tanpa mengetahui alasannya. Tingkat ini sering disebut tingkat pengenalan. Namun bentuk-bentuk geometri yang dikenal anak semata-mata didasarkan pada karakteristik visual atau penampakan bentuknya secara keseluruhan, bukan perbagian. Dalam mengidentifikasi bangun, mereka seringkali menggunakan prototipe visual. Sebagai contoh, mereka mengatakan bahwa bangun yang diketahui adalah balok, karena seperti kotak. Anak belum menyadari adanya sifat-sifat dari bangun geometri. 2. Level 1 (Analisis) Pada level ini kemampuan berpikir siswa berkembang dengan mendeskripsikan suatu bangun menggunakan bahasa sendiri sesuai level sebelumnya. Konsep geometri mulai tertanam dalam benak siswa dengan mulai memperhatikan bagian-bagian dan sifat- sifat suatu bangun. Sebagai contoh, dua balok dapat dikatakan sama dengan mengenali sifat-sifatnya. Melalui pengamatan, eksperimen, mengukur, menggambar, dan memodel, siswa dapat mengenali dan membedakan karakteristik suatu bangun.
  • 33. Anak-anak melihat bahwa suatu bangun mempunyai bagian-bagian tertentu yang dapat dikenali. Namun demikian anak-anak belum sepenuhnya dapat menjelaskan hubungan antara sifat yang satu dengan sifat yang lain, anak-anak sama sekali belum bisa melihat hubungan antara beberapa bangun, dan definisi abstrak belum atau tidak dapat dimengerti. 3. Level 2 (Abstraksi) Pada level ini siswa menggunakan bahasa untuk mengetahui perbedaan dari setiap bangun sesuai dengan level sebelumnya. Siswa secara logis menggolongkan sifat-sifat berdasarkan konsep, membentuk definisi abstrak, dan dapat membedakan antara keperluan dan kecukupan dari kumpulan sifat-sifat untuk menentukan konsep. Pada tahap ini anak sudah mulai mampu untuk melakukan penarikan kesimpulan secara deduktif, tetapi masih pada tahap awal artinya belum berkembang baik. 4. Level 3 (Deduksi Informal) Pada tingkat ini berpikir deduksi siswa sudah mulai berkembang dan penalaran deduksi sebagai cara untuk membangun struktur geometri dalam sistem aksiomatik telah dipahami. Hal ini telah ditunjukkan siswa dengan membuktikan suatu pernyataan tentang geometri dengan menggunakan alasan yang logis dan deduktif. Struktur deduktif aksiomatik yang lengkap dengan pengertian pangkal, postulat/aksioma, definisi, teorema, dan akibat yang secara implisit ada pada tingkat deduksi informal, menjadi objek yang eksplisit dalam pemikiran anak pada tingkat ini. 5. Level 4 (Deduksi Formal) Pada tingkat ini siswa dapat bekerja dalam berbagai struktur deduksi aksiomatik. Siswa dapat menemukan perbedaan antara dua struktur. Siswa memahami perbedaan antara geometri Euclides dan geometri non-Euclides. Siswa memahami aksioma- aksioma yang mendasari terbentuknya geometri non-Euclides. Dalam mempelajari geometri kecerdasan spasial juga sangat mempengaruhi kemampuan berpikir geometri siswa. Kecerdasan ini membantu siswa untuk memahami hubungan antar objek dan lokasi mereka dalam dunia tiga dimensi. Spasial adalah kemampuan untuk merasakan objek baik hubungannya dengan objek lain maupun orientasi objek itu sendiri. Adapun menurut Abdurrahman (2012: 117-118) ada lima jenis kemampuan visual spasial yaitu : 1. Hubungan keruangan (spatial relation), menunjukan persepsi tentang posisi berbagai objek dalam ruang. 2. Diskriminasi visual (visual discrimination), menunjukan pada kemampuan membedakan suatu objek dari objek yang lain. 3. Diskriminasi bentuk latar belakang (figure-ground discrimination), menunjukan pada kemampuan membedakan suatu objek dari latar belakang yang mengelilinginya. 4. Visual clouseir, menunjukan pada kemampuan mengingat dan mengidentifikasi suatu objek, meskipun objek tersebut tidak diperhatikan secara keseluruhan. 5. Mengenal objek (object recognition), menunjukan pada kemampuan mengenal sifat berbagai objek pada saat mereka memandang. geometri menurut teori Van Hiele, terutama level 0 dan Selanjutnnya untuk meningkatkan level kemampuan berpikir geometeri Van Hiele mengajukan beberapa fase untuk dilalui. 1. Informasi Pada fase ini siswa telah mendapatkan informasi mengenai suatu bentuk geometri. Informasi yang diperoleh siswa bisa berasal dari pembelajaran sebelumnya maupun informasi dari kehidupan sehari-hari. Dengan adanya informasi tersebut siswa dapat mengenali domain kerja. Ketika siswa mengetahui objek tersebut secara visual maka ia
  • 34. dapat membedakan suatu objek dengan objek yang lain (diskriminasi visual). Dalam pembelajaran gometri hal ini ditunjukkan dengan mengetahui yang contoh dan bukan contoh (visual clousier). Untuk mengetahui informasi yang dimiliki siswa maka seorang guru harus mengetahui kemampan awal mereka. Ketika ada siswa yang tidak tau maka dengan adanya apersepsi maka siswa tersebut akan mengetahunya terutama tau bentuk secara visual dan namanya. 2. Orientasi langsungm Pada fase ini siswa berorientasi secara langsung pada objek geometri yang akan dipelajari. Siswa menyelesaikan tugas yang melibatkan hubungan berbeda dari sistem yang dibentuk (contoh: melipat, mengukur, menemukan simetri (figure-ground discrimination)). Agar siswa dapat berorientasi langsung maka guru harus menyediakan sarana. Sarana yang dibutuhkan siswa adalah berupa media pembelajaran. Dengan ketersediaan media maka siswa dapat menemukan sendiri sifat pada suatu objek geometri. Pemilihan media harus melibatkan siswa dalam menemukan sifat-sifat dari bentuk geometri. Terkadang guru memang menggunakan media, tetapi hanya untuk guru sendiri bukan ditemukan siswa.Banyak sekali media yang dapat digunakan baik modern berbasi komputer maupun tradisional. Anak merupakan bagian dari dunia fisik, sehingga pengalaman langsung dengan benda-benda sangat penting dalam belajar. Ini merupakan dasar dari tahapan berpikir konkret-operasional yaitu pada masa usia sekolah (Copeland: 1979). Anak harus dirangsang untuk membandingkan objek dalam memahami relasi yang ada diantara karakteristikkarakteristik atau sifat-sifat benda tertentu dengan benda lainnya. 3. Penjelasan Dengan penemuan tersebut maka siswa menjadi ingin tahu mengenai hubungan, mencoba untuk menjelaskannya dengan kata-kata, dan mempelajari cara menyampaikan yang tepat dengan materi sujek (contoh: menjelaskan ide-ide mengenai sifat-sifat dari bangun). Siswa menyatakan pandangan yang muncul mengenai struktur yang diobservasi. Siswa dapat mengetahui posisi berbagai objek dalam ruang (hubungan keruangan). Di samping itu untuk guru membantu siswa menggunakan bahasa yang tepat dan akurat untuk menjelaskan mengenai apa yang baru diamati. Ketika siswa menemukan sendiri sifat pada objek geometri maka mereka akan memahami konsep dan hubungan antar sifat yang ditemukan (mengenal objek). Tetapi ketika guru yang menjelaskan maka siswa hanya menghafal saja. 4. Orientasi bebas Siswa belajar, dengan menyelesaikan tugas-tugas yang lebih kompleks, untuk menemukan cara mereka sendiri dalam mengubungkan hubungan yang ada. (contoh: mengetahui sifatsifat dari semacam bentuk, menginvestigasi sifat-sifat tersebut apakah bangun baru atau bangun yang sudah diketahui misalnya layang-layang). Soal-soal yang biasa diselesaikan adalah berupa open-ended. 5. Integrasi Siswa menyimpulkan seluruh hal yang dipelajari mengenai subjek, lalu merefleksikannya dengan tindakan dan memperoleh sebuah pandangan baru terhadap hubungan subjek. (contoh: sifat-sifat dari suatu bangun disimpulkan). Dengan menerapkan fase di atas, maka kemampuan berpikir geometri siswa akan meningkat. Peningkatan kemampuan geometri dapat dilihat dari peningkatan nilian hasil belajar siswa. Fase tersebut telah dibuat secara terstruktur dan melibatkan semua kemampuan spasial. Sehingga dapat melatih kemampuan visual spasial. Setiap fase sangat penting dilakukan untuk diterapkan untuk meningkatkan level kemampuan berpikir geometri. Berdasarkan penjelasan di atas, maka setiap level dapat dibuat langkah pembelajarannya. Adapun langkah-langkah dalam menerapkan model pembelajaran Van Hiele (Abdussakir: 2010) adalah:
  • 35. 2. Aktivitas Level 0 (Visualisasi) Pada tahap 0 ini, bangun-bangun geometri diperhatikan berdasarkan penampakan fisik sebagai suatu keseluruhan. Aktivitas untuk tahap ini antara lain sebagai berikut. a. Melibatkan penggunaan model fisik yang dapat digunakan siswa untuk manipulasi, mewarna, melipat dan mengkonstruk bangun geometri. b. Melibatkan kegiatan memilih, suatu gambar sederhana, dalam kumpulan potongan bangun, atau alat peraga yang lain, dalam berbagai orientasi, melibatkan objek- objek fisik lain di dalam kelas, rumah, atau tempat lain. c. Membuat bangun dengan menjiplak gambar pada kertas bergaris, menggambar bangun, dan mengkonstruk bangun. Dan mendeksripsi-kan bangun-bangun geometri dan mengkonstruk secara verbal menggunakan bahasa baku atau tidak baku, misalnya kubus “seperti pintu atau kotak.” d. Mengerjakan masalah geometri yang dapat dipecahkan dengan me-nyusun, mengukur, dan menghitung. 3. Aktivitas Level 1 (Analisis) Pada level 1 ini siswa diharapkan dapat mengungkapkan sifat-sifat bangun geometri. Aktivitas untuk tahap ini antara lain sebagai berikut. a. Menggunakan model-model pada tahap 0, terutama pada model-model yang dapat digunakan untuk mengeksplorasi bebagai sifat bangun. b. Membandingkan bangun-bangun berdasarkan karakteristik sifat-sifat-nya. c. Mengidentifikasi dan menggambar bangun yang diberikan secara verbal atau diberikan sifat-sifatnya secara tertulis. d. Mengidentifikasi sifat-sifat yang dapat digunakan untuk mencirikan atau mengkontraskan kelas-kelas bangun yang berbeda. e. Menemukan sifat objek yang tidak dikenal. f. Menyelesaikan masalah geometri yang dapat mengarahkan untuk mengetahui dan menemukan sifat-sifat suatu gambar, relasi geometri, atau pendekatan berdasar wawasan. g. Membuat bangun dengan menjiplak gambar pada kertas bergaris, menggambar bangun dan mengkonstruk bangun. Dan mendeksripsi-kan bangun-bangun geometri dan mengkonstruk secara verbal menggunakan bahasa baku atau tidak baku, misalnya kubus “seperti pintu atau kotak.” h. Mengerjakan masalah geometri yang dapat dipecahkan dengan me-nyusun, mengukur, dan menghitung. 4. Aktivitas Level 1 (Analisis) Pada level 1 ini siswa diharapkan dapat mengungkapkan sifat-sifat bangun geometri. Aktivitas untuk tahap ini antara lain sebagai berikut. a. Menggunakan model-model pada tahap 0, terutama pada model-model yang dapat digunakan untuk mengeksplorasi bebagai sifat bangun. b. Membandingkan bangun-bangun berdasarkan karakteristik sifat-sifat-nya. c. Mengidentifikasi dan menggambar bangun yang diberikan secara verbal atau diberikan sifat-sifatnya secara tertulis. d. Mengidentifikasi sifat-sifat yang dapat digunakan untuk mencirikan atau mengkontraskan kelas-kelas bangun yang berbeda. e. Menemukan sifat objek yang tidak dikenal. f. Menyelesaikan masalah geometri yang dapat mengarahkan untuk mengetahui dan menemukan sifat-sifat suatu gambar, relasi geometri, atau pendekatan berdasar wawasan. 5. Aktivitas Level 2 (Deduksi Informal)
  • 36. Pada level 2 ini siswa diharapkan mampu mempelajari keterkaitan antara sifat-sifat dan bangun geometri yang dibentuk. Aktivitas siswa untuk tahap ini antara lain sebagai berikut. a. Mempelajari hubungan yang telah dibuat pada level 1, dan membuat implikasi. b. Mengidentifikasi sifat yang perlu dan cukup untuk kondisi bangun. c. Membuat dan menggunakan definisi dengan bahasanya sendiri. d. Mengikuti argumen-argumen informal dan menyajikan argumen informal. e. Mengikuti argumen deduktif, mungkin dengan menyisipkan langkah-langkah yang kurang. f. Melibatkan kerjasama dan diskusi yang mengarah pada pernyataan dan konversnya. g. Menyelesaikan masalah yang menekankan pada pentingnya sifat-sifat gambar dan saling keterkaitannya. Setiap level telah menggunakan fase Van Hiele. Tetapi hanya dibatasi pada level 2. Fase tersebut dapat digunakan untuk mempelajari setiap bentuk geometri. Setiap bentuk geometri pasti memiliki sifat, komponen, dan hubungna dengan bentuk geometri lainnya. Dengan bantuan fase-fase tersebut, seorang guru diharapkan dapat membantu siswa dalam meningkatkan kemampuan berpikir geometri yang ditunjukkan dengan kemampuan hasil belajar yaitu tercapainya nilai KKM (75). C. KESIMPULAN Kesimpulan dari penulisan ini adalah dengan menerapkan fase di atas, maka kemampuan berpikir geometri siswa akan meningkat. Peningkatan kemampuan geometri dapat dilihat dari peningkatan nilian hasil belajar siswa. Hal ini terjadi karena pada fase informasi seorang guru memastikan kemampuan siswa dalam bentuk geometri. Selanjutnya pada fase orientasi langsung, bentuk geometri yang abstrak dikonkretkan dengan media belajar. Siswa memanipulasi media belajar tersebut sehingga tercipta suatu konsep dan guru memastikan kebenarannya (penjelasan). Selanjutnya pengerjaan latihan soal untuk membukitkan pemahaman konsep (orientasi bebas). Pada akhirnya siswa looking back terhadap materi pembelajaran tersebut (integrasi). Fase tersebut telah dibuat secara terstruktur dan melibatkan semua kemampuan spasial. D. DAFTAR PUSTAKA Abdussakir. (2010). Pembelajaran geometri sesuai teori Van Hiele. Jurnal Kependidikan dan Keagamaan, Vol VII Nomor 2. Fakultas Tarbiyah UIN Maliki Malang. Bobango, J.C. (1993). Geometry for all student: Phase-Based Instruction. Dalam Cuevas (Eds). Reaching All Students With Mathematics. Virginia: The National Council of Teachers of Mathematics,Inc. Budiarto, M.T. (2000). Pembelajaran geometri dan berpikir geometri. Dalam prosiding Seminar Nasional Matematika “Peran Matematika Memasuki Milenium III”. Jurusan Matematika FMIPA ITS Surabaya. Surabaya, 2 November.
  • 37. Burger, W.F. & Shaughnessy, J.M. (1986). Characterizing The Van Hiele Levels Of Ddevelepmont In Geometry. Journal for research in Mathematics Education Vol 17. No.1, 31 – 48. Bursill-Hall, P. (2002). Why do we study geometry? Answer through the ages. Departement of Pure Mathematics and Mathematical Statistics University Of Cambridge. Ekawati,E. (2011). Peran, Fungsi, Tujuan dan Karakteristik Matematika Sekolah. PPPPTK Matematika. Hidayat, B.R., et al. (2013). Analisis Kesalahan Siswa Dalam Menyelesaikan Soal Pada Materi Ruang Dimensi Tiga Ditinjau dari Gaya Kognitif Siswa. Jurnal Pendidikan Matematika Solusi Vol 1 No.1 Maret 2013. Kartono. (2012). Hands On Activity Pada Pembelajaran Geometri Sekolah Sebagai Asesmen Kinerja Siswa. Jurusan Matematika FMIPA UNNES. Kennedy , L.M., Tipps, S, & Johnson, A. (2008). Guiding children’s learning of mathematics, Eleventhh Edition. Thomson Higher Education. USA. Mason, J., & Wilder, S.J. (2004). Fundamental in mathematics education. RoutledgeFalmer. USA. Suherman, E, et al. (2003). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Jurusan Pendidikan matematika Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Pendidikan Indonesia.
  • 38. LAMPIRAN 2 PENINGKATAN REPRESENTASI VISUAL THINKING MATEMATIKA SISWA SMP N 11 MEDAN DENGAN MELATIH KETRAMPILAN MENGGAMBAR DAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL Oleh : Edy Surya Dosen Matematika Unimed Medan E-mail : edy_surya71@yahoo.com Abstrak Siswa SMP terkadang kurang percaya diri dalam memahami dan memecahkan masalah matematika. Masalah yang ditemukan antara lain siswa kurang menguasai konsep, kurang dapat merepresentasikan apa yang dipikirkan sehingga hasil belajar tidak maksimal. Alasan lain yang dikemukakan siswa bahwa mereka harus menguasai banyak materi pelajaran di samping pelajaran matematika, mengerjakan banyak tugas-tugas serta kurang mengerti materi pelajaran yang disampaikan guru. Begitu juga ditemukan bahwa guru matematika kurang percaya diri dalam mengajar dan mengatasi berbagai pertanyaan serta kesulitan yang dialami siswa. Sebagian besar guru kurang trampil menggambar apa yang dipikirkannya pada materi geometri dan merepresentasikan soal cerita pada saat mengajar dan pemecahan masalah matematika. Begitu juga pada penguasaan teori dan model pembelajaran. Rendahnya hasil belajar siswa dapat disebabkan materi matematika tidak dikaitkan dengan kehidupan lingkungan siswa, strategi dan metode pembelajaran guru yang kurang tepat dan kurang sesuai dengan materi dan karakteristik siswa. Pada dasarnya siswa sangat membutuhkan pembelajaran matematika yang jelas, menarik, kreatif, dan menyenangkan. Desain penelitian merupakan penelitian eksprimen yang menerapkan pendekatan kontekstual dan pendekatan konvensional. Sampel yang diteliti adalah siswa kelas VIII SMPN 11 Medan pada dua kelas berjumlah 96 orang. Pengambilan sampel dengan purposive sample. Instrumen penelitian tes dan non tes. Tes kemampuan representasi visual thinking diberikan sebelum dan sesudah pembelajaran dan non tes berupa angket diberikan kepada siswa. Pembelajaran matematika dengan pendekatan kontekstual dapat meningkatkan pemahaman siswa, meningkatkan representasi visual thinking, trampil membuat pola dan menggambar, membuat kalimat matematika, mengkomunikasikan dan menceritakan kembali masalah matematika. Guru matematika harus dapat merencanakan, melaksanakan, memantau, mengevaluasi PBM matematika. Pembelajaran yang aktif, kreatif, menyenangkan dan mengkaitkan dengan sumber daya lingkungan diharapkan dapat memaksimalkan hasil belajar matematika dan membentuk sumber daya siswa yang mandiri. Kata kunci : representasi, visual thinking, ketrampilan menggambar, kontekstual
  • 39. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan, dalam pengetahuan, pemahaman, ketrampilan dan nilai sikap, dimana perubahan ini tidak lepas dari peran guru sebagai pengajar. Dalam proses belajar ini pula keaktifan tiap siswa dalam melakukan ketrampilan, eksplorasi, penemuan-penemuan baru supaya lebih ditingkatkan. Agar proses belajar berjalan dengan baik hendaknya mengaitkan pembelajaran dengan kehidupan siswa sehari-hari. Seting kelas berbentuk kooperatif, sehingga siswa dapat saling memunculkan strategi-strategi pemecahan masalah yang sesuai dengan kemampuannya yang mandiri, efektif dan dibawah bimbingan orang dewasa (guru) atau teman sebaya yang lebih mampu. Tokoh Sains dan Matematika Yohannes Surya (Choto,, 2011 ) mengatakan, harus ada reformasi terhadap pola pembelajaran Matematika. Ia beranggapan perlu ada modifikasi dalam metode pengajaran Matematika. Menurut dia, metode dalam pembelajaran Matematika tidak akan bisa sempurna dan pasti mempunyai kekurangan. Ada metode yang cocok digunakan di suatu tempat, tetapi tidak cocok di tempat lainnya. Sebab, tingkat pemahaman, kemampuan, dan akses terhadap Matematika di beberapa tempat relatif berbeda. Guru matematika dalam kegiatan belajar mengajar tidak harus terpaku dengan menggunakan satu model. Guru sebaiknya juga menggunakan model yang bervariasi agar jalannya pembelajaran tidak membosankan tetapi menarik perhatian anak didik. Seorang guru harus kompeten dalam memilih suatu model pembelajaran untuk menyampaikan materi pelajaran. Pembelajaran kontekstual dan kooperatif merupakan suatu model pengajaran dimana siswa belajar dikaitkan dengan sumber daya lingkungan dan belajar dalam kelompok-kelompok kecil yang mempunyai tingkat kemampuan bebeda-beda. Temuan hasil identifikasi berdasarkan aspek pelaksanaan KBM Matematika SMP antara lain sebagai berikut : a) Pembelajaran tidak mengacu pada RPP yang telah dibuat
  • 40. sehingga tidak terarah hanya mengikuti alur buku teks, b) Pelaksanaan KBM matematika di kelas tidak didukung oleh sarana prasarana. Papan tulis yang bisa dipakai untuk penggunaan jangka dan alat peraga, c) Metode pembelajaran di kelas kurang bervariasi, guru cenderung selalu menggunakan metode ceramah, d) Evaluasi tidak mengacu pada indikator yang telah diajarkan, guru mengambil soal-soal dalam buku teks yang ada, e) Siswa kesulitan dalam menggambar geometri dan menggunakan alat pembelajaran matematika seperti penggaris, jangka, kalkulator dan busur (Depdiknas, 2007; Surya 2011) 2. Tujuan Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang telah diuraikan tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui rata-rata peningkatan kemampuan representasi visual thinking siswa setelah pembelajaran matematika dengan ketrampilan menggambar dengan pendekatan pembelajaran kontekstual. TINJAUAN TEORI 1. Visual Thinking Visual Thinking atau Berpikir Visual adalah proses intelektual intuitif dan ide imajinasi visual, baik dalam pencitraan mental atau melalui gambar (Brasseur, 1991 : 130). Goldsmchmidt, 1994; Laseau, 1986) menyatakan mengandalkan proses berpikir bahasa gambar visual, bentuk, pola, tekstur, symbol. Namun Visual Thinking memerlukan lebih banyak dari pada visualisasi atau representasi. John Steiner (1997) menyatakan “ Ini adalah mewakili sensasi pengetahuan dalam bentuk struktur ide, aliran ide itu bisa sebagai gambar, diagram, penjelasan model, lukisan yang diatur ide-ide besar dan penyelesaian sederhana. Visual Thinking dapat didefinisikan sebagai sesuatu pemikiran yang aktif dan proses analitis untuk memahami, menafsirkan dan memproduksi pesan visual, interaksi antara melihat, membayangkan, dan menggambarkan sebagai tujuan dapat digunakan, dan canggih seperti berpikir verbal. Zimmerman dan Cunningham (1991) menyatakan visualisasi adalah proses pembentukan gambar (mental, atau dengan kertas dan pensil
  • 41. atau dengan bantuan teknologi. Visualisasi adalah suatu tindakan dimana seseorang individu membentuk hubungan yang kuat antara internal membangun sesuatu yang diakses diperoleh melalui indra. Sambungan berkualitas tersebut dapat dibuat dalam salah satu dari dua arah. Pada hakekatnya belajar matematika adalah berpikir dan berbuat atau mengerjakan matematika. Disinilah makna dan strategi pembelajaran matematika adalah strategi pembelajaran yang aktif, yang ditandai oleh dua faktor : a) Interaksi optimal antara seluruh komponen dalam proses belajar mengajar di antarnya antara komponen utama yaitu guru dan siswa, b) Berfungsinya secara optimal seluruh „‟sense‟‟ yang meliputi indera, emosi, karsa, karya, dan nalar. Hal itu dapat berlangsung antara lain jika proses itu melibatkan aspek visual, audio, maupun teks (Anderson, 1981, dalam Krismanto, 2003). Tiga cara berpikir (Sword, 2005) yaitu : (1) auditory thinking, visual thinking, dan kinaesthetic thinking, berhubungan bagaimana otak kita berproses berdasar indra pendengaran, penglihatan, indra badan (gerak tubuh) dan perasaan seperti gambar di bawah. BRAIN Auditory Thinking Visual Thinking Kinaesthetic Thinking sad- happy Bodies and Feelings SEEING HEARING Gambar 1. Tiga cara berpikir (Sword, 2005) Siswa biasanya kesulitan menjembatani pengetahuan informal ke matematika sekolah. Dalam mengatasi kesulitan (gap) tersebut dibutuhkan waktu (pembelajaran), pengalaman (latihan) dan bantuan dalam pembelajaran oleh guru (scaffolding).
  • 42. Penggunaan terstruktur materi konkrit penting untuk mengamankan link tersebut, tidak hanya pada awal konsep-konsep dasar, tetapi juga selama tahap-tahap pengembangan konsep tingkat tinggi matematika. Siswa perlu bimbingan dan bantuan khusus pada berbagai bentuk representasi pemikiran visual (visual thinking) dari apa yang mereka maksud atau mereka pikirkan sehingga dapat divisualisasikan dalam bentuk struktur ide, ide tersebut bisa sebagai angka, simbol, gambar, diagram, penjelasan model, lukisan yang dapat membantu siswa dalam proses belajar dan menyelesaikan permasalahan matematika mereka. Kemampuan untuk memecahkan masalah adalah jantung matematika, visualisasi merupakan inti pemecahan masalah matematika. Visualisasi adalah kemampuan untuk melihat dan memahami situasi masalah. Memvisualisasikan suatu situasi atau objek melibatkan “Memanipulasi mental berbagai altenatif untuk memecahkan masalah yang berkaitan dengan suatu situasi atau objek tanpa manfaat manipulative kongkrit (MOE, 2001: 51). Visualisasi dapat menjadi alat kognitif yang kuat dalam masalah pemecahan matematis hal ini ditandai sebagai ketrampilan yang penting dalam pembelajaran dan penerapan matematika. Visualisasi yang dilakukan oleh siswa melewati proses berikut ketika memecahkan masalah matematika (MOE, 2001) : 1) Memahami hubungan unsur-unsur spasial (keruangan) dalam masalah, 2) Keterkaitan satu sama lain ke pemecahan masalah, 3)Mengkonstruksi/membangun sebuah representasi visual (dalam pikiran, pada kertas, atau melalui penggunaan alat-alat teknologi), 4) Menggunakan representasi visual untuk memecahkan masalah, 5) Encoding jawaban atas masalah Sebagai bagian dari proses pemecahan masalah para siswa akan membangun representasi visual seringkali dalam bentuk diagram, digambar di atas kertas kerja siswa. Visualisasi mempunyai fungsi yang berbeda atau peran ketika siswa menggunakannya untuk memecahkan masalah. Siew Yin (2009) mengidentifikasikan tujuh peran dari visualisasi : (1) Untuk memahami masalah.
  • 43. Dengan mewakili masalah visual, siswa dapat memahami bagaimana unsur-unsur dalam masalah berhubungan satu sama lain, (2) Untuk menyederhanakan masalah. Visualisasi memungkinkan siswa untuk mengidentifikasi versi sederhana dari masalah, memecahkan masalah dan kemudian memformalkan pemahaman soal yang diberikan dan mengidentifikasi metode yang bekerja untuk semua masalah tersebut, (3) Untuk melihat koneksi ke masalah terkait. Ini melibatkan masalah yang berkaitan diberikan kepada pengalaman memecahkan masalah sebelumnya, (4) Untuk memenuhi gaya belajar individu. Setiap siswa memiliki preferensi sendiri ketika datang ke penggunaan representasi visual saat memecahkan masalah, (5) Sebagai pengganti untuk perhitungan. Jawaban terhadap masalah dapat diperoleh langsung dari representasi visual itu sendiri, tanpa perlu untuk perhitungan, (6) Sebagai alat untuk memeriksa solusi. Representasi visual dapat digunakan untuk memeriksa kewajaran dari jawaban yang diperoleh, (7) Untuk mengubah masalah ke dalam bentuk-bentuk matematis. Bentuk matematis dapat diperoleh dari representasi visual untuk memecahkan masalah. Untuk membantu siswa mengembangkan ketrampilan visualisasi, pertama guru harus mendesain bahan kurikulum dan guru harus memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi pilihan siswa pada metode pemecahan masalah. Proses dan peran/ide yang dipakai memvisualisasi pemecahan masalah matematika. Siew Yin (2007) juga merekomendasikan bahwa guru perlu meningkatkan kesadaran siswa dari tiga jenis diagram tidak dapat digunakan dengan menggambarkan kelemahan menggunakan diagram tersebut pada pemecahan masalah. Jika visualisasi adalah jantung dari pemecahan masalah matematika, maka sangat penting bahwa baik guru dan siswa melihat jelas peran visualisasi dan menggunakannya untuk membantu mereka di dalam proses pemecahan masalah matematika. 2. Latihan Berjenjang Istilah latihan/drill, sering disamakan artinya dengan istilah ulangan. Sebenarnya berbeda, ulangan adalah suatu tindakan untuk sekedar mengetahui sejauh mana siswa telah menyerap pelajaran yang telah diberikan oleh guru. Sedangkan latihan dimaksudkan
  • 44. agar pengetahuan dan kecakapan tertentu menjadi milik siswa dan dapat dikuasai sepenuhnya. Adapun metode drill (latihan berjenjang) itu sendiri menurut beberapa pendapat memiliki arti sebagai berikut: 1. Suatu teknik yang dapat diartikan sebagai suatu cara mengajar di mana siswa melaksanakan kegiatan-kegiatan latihan, siswa memiliki ke-tangkasan atau keterampilan yang lebih tinggi dari apa yang telah dipelajari (Roestiyah, 2001:125). 2. Suatu metode dalam pendidikan dan pengajaran dengan jalan melatih anakanak terhadap bahan pelajaran yang sudah diberikan. 3. Suatu kegiatan dalam melakukan hal yang sama secara berulang-ulang dan sungguh- sungguh dengan tujuan untuk memperkuat suatu asosiasi atau menyempumakan suatu keterampilan supaya menjadi permanen. Dari beberapa pendapat di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa metode drill (latihan berjenjang) adalah suatu cara menyajikan bahan pelajaran dengan jalan melatih siswa agar menguasai pelajaran dan terampil. Pada pelaksanaannya siswa terlebih dahulu telah dibekali dengan pengetahuan secara teori. Kemudian dengan tetap dibimbing oleh guru, siswa disuruh mempraktikkannya sehingga menjadi mahir dan terampil. Tujuan Metode Drill (latihan berjenjang) Tujuan metode drill (latihan berjenjang) adalah untuk memperoleh suatu ketangkasan, keterampilan tentang sesuatu yang dipelajari anak dengan melakukannya secara praktis pengetahuan-pengetahuan yang dipelajari anak itu dan siap dipergunakan bila sewaktu-waktu diperiukan (Pasaribu dan B. Simandjuntak, 2001: 112). Metode drill (latihan berjenjang) ini biasanya dipergunakan untuk tujuan agar siswa: 1. Memiliki keterampilan motoris/gerak, seperti menghafal kata-kata, menulis, menggambar, mempergunakan alat atau membuat suatu benda; melaksana-kan gerak dalam olah raga. 2. Mengembangkan kecakapan intetek, seperti mengalikan, membagi, menjumlahkan, mengurangi, menarik akar dalam hitungan mencongak. Mengenal benda/bentuk dalam pelajaran matematika, ilmu pasti, ilmu kimia, tanda baca dan sebagainya. 3. Memiliki kemampuan menghubungkan antara sesuatu keadaan dengan hal lain, seperti sebab akibat banjir – hujan; antara tanda huruf dan bunyi ing, ny dan lain sebagainya; penggunaan lambang/simbol di dalam peta dan lain-lain (Roestiyah, 2001: 125-126). Dari keterangan-keterangan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa tujuan dari metode drill (latihan berjenjang) adalah untuk melatih kecakapan-kecakapan motoris dan mental untuk memperkuat asosiasi yang dibuat. 3. Ketrampilan Menggambar Ketrampilan latihan menggambar dapat dilatihkan kepada siswa dengan secara berjanjang mulai dari menggambar garis lurus, garis lengkung, persegi, segitiga, jajaran genjang,
  • 45. lingkaran, yang merupakan gambar bangun datar. Sisw diajarkan dengan teliti hal-hal yang benar yang dapat dilakukan dan menghindari kesalahan-kesalahan yang dapat mereka lakukan. Gambar 2. Gambar bangun Datar Kemudian setelah siswa melatih ketrampilan menggambar dan mengenali bangun-bangun datar berlanjut kepada bangun ruang, mulai mengenalkan bangun ruang berlanjut menggambarkan kerangka bangun hingga menggambar bangun yang utuh dan memanfaatkan sumber daya alam (lingkungan) dengan pembelajaran kontekstual, misalnya dari kasus permasalahan volume air pada kolam renang disederhanakan bangun kolam renang tersebut dengan menggambar sketsa kerangka kolam secara sederhana sehingga dapat dipahami siswa. Pembelajaran matematika ini menuntut ketrampilan menggambar siswa dan representasi visual thinking (RVT) siswa..
  • 46. Gambar 3. Gambar kerangka dan bangun ruang METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan pada bulan Desember 2011 hingga Pebruari 2012 di SMP N 11 Medan. Desain penelitian merupakan penelitian eksprimen yang menerapkan pendekatan kontekstual dan pendekatan konvensional. Sampel yang diteliti adalah siswa kelas VIII pada dua kelas berjumlah 96 orang. Pengambilan sampel dengan purposive sample. Instrumen penelitian tes dan non tes. Tes kemampuan representasi visual thinking diberikan sebelum dan sesudah pembelajaran dan non tes berupa angket diberikan kepada siswa. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil yang diperoleh pada kelas konvensional diperoleh skor pada test awal RVT siswa adalah rata-rata 15,84 dan simpangan baku 5,81, pada test akhir diperoleh rata-rata RVT siswa 33,86 dan simpangan baku 11,94. Sedangkan pada kelas yang dilakukan pembelajaran kontekstual diperoleh skor pada test awal rata-rata 15,94 dan simpangan baku 8,19 dan pada test akhir rata-rata 35,94 dan simpangan baku 11,59. Siswa yang berasal dari kelompok kemampuan awal matematika tinggi dan menengah serta pendekatan pembelajaran kontekstual lebih trampil dan meningkat kemampuan representasi visual thinkingnya setelah mendapatkan latihan menggambar dan pembelajaran kontekstual. Kemampuan siswa dalam mempresentasikan apa yang dipikirkan dalam pikirannya menjadi lebih baik dari sebelumnya. SIMPULAN DAN SARAN Pada pembelajaran matematika yang menerapkan latihan menggambar dan pembelajaran kontekstual skor siswa lebih baik dibandingkan kelas yang melaksanakan pembelajaran konvensional. Pembelajaran oleh guru yang tidak mengacu pada RPP hendaknya pengawasan lebih ditingkatkan oleh Kepala Sekolah dan PKS 1. Pemerataan sarana antar satuan pendidikan, disediakan papan tulis black board, guru bersama siswa membuat alat peraga sendiri untuk pembelajaran. Penambahan wawasan guru tentang berbagai metode pembelajaran sehingga. Soal hendaknya dibuat mengacu pada indikator dan kriteria soal. Soal yang diberikan hendaknya sesuai dengan kondisi siswa (cepat, sedang, lambat). UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih diucapkan kepada Kepala Sekolah, PKS, Guru matematika dan siswa-siswa kelas VIII SMP N 11 Medan yang telah membantu pelaksanaan penelitian ini sehingga dapat terlaksana dengan baik. Terima kasih juga kepada semua pihak yang tidak dapatdisebutkan satu persatu yang telah membantu kelancaran penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Choto, A. 2011. Reformasi Metode pembelajaran Matematika. Tersedia di http : aanchoto.com/category/pendidikan/strategi-pembelajaran-matematika/
  • 47. Maskiazizah. 2011. Metode Drill, Pembelajaran Matematika. Tersedia di http : maskiazizah.wordpress.com/2011/03/metode-drill-pembelajaran-matematika/ Pasaribu, I.L. & B. Simandjuntak. 2001. Model-model Pembelajaran. Surabaya : Unesa University Press. Roestijah, N.K. 2001. Starategi Belajar Mengajar. Jakarta : Rineka Cipta. Surya, E. 2011. Curriculum Implementation Learning Mathematics, Mathematical Problem Solving and Visualization. Proseding :Disampaikan pada International Seminar Educational Comparative in Curriculum for Active Learning Between Indonesia and Malaysia, organized by Himpunan Pengembangan Kurukulum Indonesia in Collaboration with Indonesia University of Education, Universiti Kebangsaan Malaysia, Universiti Malaya pada 09-10 Juni 2011.
  • 48. LAMPIRAN 3 © Kamla-Raj 2012 Anthropologist, 14(2): 123-129 (2012) A Survey of South African Grade 10 Learners’ Geometric Thinking Levels in Terms of the Van Hiele Theory J. K. Alex* and K. J. Mammen Walter Sisulu University, Mthatha, 5177; Eastern Cape Province, South Africa KEYWORDS School Geometry. van Hiele Theory. Thinking Levels. Learners‟ Performance ABSTRACT The main thesis of the van Hiele theory is that childrens‟ understanding of geometric concepts can be classified into a sequence of five hierarchical thinking levels, with levels 1 and 5 being the lowest and the highest.However, an additional lower level, level 0, was added in by other researchers. This paper reports on a part of a larger study which focused on the van Hiele levels of geometric thinking amongst a group of Grade 10 learners. The sample consisted of 191 Grade 10 learners from five senior secondary schools in one Education District in the Eastern Cape Province of South Africa. The respective mathematics teachers in each of these schools assisted in the selection process. The schools were selected through purposive sampling. The necessary ethical requirements were met. Participants completed a test on van Hiele levels of geometric thought by responding to questions on basic geometric concepts including the classification and properties of triangles and quadrilaterals which constituted the basis for space and shape component of the South African Grade 10 Mathematics curriculum. The data were analyzed by manual counts and by using Microsoft Excel. The study found that the majority of learners were at level 0, which is a cause for concern. The paper recommends that educators who facilitate geometry learning in grade 10 need to familiarize themselves with the van Hiele levels in order to achieve effectiveness in the teaching/ learning interface of geometrical concepts. *Address for correspondence: J. K. Alex, Directorate of Postgraduate Studies, Walter Sisulu University, Nelson Mandela Drive, P/Bag X1, Unitra, Mthatha, Eastern Cape Province, South Africa. Telephone: +27- 83 44 68 947 (Mobile), 047-5022189 Fax: +27 - 475322693. E-mail: jogyalex@yahoo.com INTRODUCTION Internationally, concern with difficulties in learning geometry is not new and can be traced back to several decades (for example, Usiskin 1982; Fuys et al. 1988; Gutierrez et al. 1991; Clements and Battista 1992). Findings from these studies indicate that many learners in both middle and high schools encounter difficulties and show poor performance in geometry. In South Africa too similar results have been reported (for example, De Villiers and Njisane 1987; King 2003; Atebe 2008). This research project to a large extent was inspired by Fuys et al.‟s (1988) interpretation of the van Hiele theory, Atebe‟s (2008) study on van Hiele model of thinking and conception in plane geometry and the researchers‟ experiences and concerns regarding the poor geometry performance of learners in many South African high schools. It sought to find the level of geometric thinking of the learners by using the van Hiele theory together with the results of subsequent research as a framework in determining the van Hiele levels of grade 10 learners in some selected senior secondary schools. Geometry consists of a complex network of interconnected concepts which demand representation systems and reasoning skills in order to conceptualize and analyze not only physical but also imagined spatial environments. The National Council of Teachers in Mathematics (NCTM) entitled „Standards 2000‟ document suggests that instructional programmes in mathematics should pay attention to geometry and spatial sense so that, amongst other things, learners use visualization and spatial reasoning to solve problems both within and outside of mathematics (NCTM 2000). Geometric reasoning consists of the invention and use of formal conceptual systems to investigate shape and space (Battista 2007). Geometry focuses on the development and application of special concepts through which children learn to represent and make sense of the world (Thompson 2003).
  • 49. The Conference Board of the Mathematical Sciences (CBMS) observes that learning of geometry is usually confronted by conceptual difficulties (CBMS 2001). Teaching and learning of 124 J. K. ALEX AND K. J. MAMMEN geometry still remain as one of the most disappointing experiences in many schools across nations (Atebe and Schafer 2009). Clements and Battista (1992) cite studies by Psyhkalo (1968) and Wirszup (1976) which concluded that the difficulties in geometry impelled a lot of research by educators in the Soviet Union from 1930-1950. The aim of those studies was to find the source of this problem. These initial efforts by the Soviets brought only little progress (Pusey 2003). A variety of models to describe children‟s spatial sense and thinking have been proposed and researched and these include Piaget and Inhelder‟s Topological Primacy Thesis, van Hiele‟s Levels of Geometric Thinking and Cognitive Science model (Clements and Battista 1992). However, the theoretical frameworks on geometrical thinking proposed by Piaget and that of the van Hieles tended to have attracted more attention than many others in terms of impacting on geometry classroom instructional practices. Thereafter, a lot of research was done to question and validate the van Hiele theory (Burger and Shaughnessy 1986; Fuys et al. 1988; Gutierrez et al. 1991; Wu and Ma 2006). Although the theory was primarily aimed at improving teachers‟ as well as learners‟ understanding of geometrical concepts, it also appealed as an ideal model for use as a theoretical framework as well as a frame of reference to link geometry to educational principles (King 2003). One of the major studies with the van Hiele model was by Usiskin (1982) at the University of Chicago. Usiskin developed a test to measure the learners‟ van Hiele levels of reasoning. Pusey (2003) claims that this test has been widely used by others. Two major studies done in South Africa were on students‟ understanding of primary school geometry (King 2003) and on van Hiele model of thinking and conception in plane geometry in senior secondary schools (Atebe 2008). The van Hiele Theory The van Hiele theory was developed in 1959 by two Dutch mathematics educators Pierre Van Hiele and his wife Dina Van Hiele-Geldof based on their experiences in classroom teaching of geometry in The Netherlands. According to Clements (2004: 60), “… theories are useful if they are used – and contested, attacked, and modified. By this criterion, van Hiele theory is a useful theory”. Empirical research has confirmed that the van Hiele levels are useful in unfolding learners‟ geometrical concept development, from elementary school to college (Clements and Battista 1992; Halat 2006). In South Africa, among other researchers, King (2003), and Atebe (2008) observed that the van Hiele theory can be used to explain the geometric thinking of school learners. The main thesis of the van Hiele theory is that children‟s understanding of geometric concepts can be characterized as being at a certain level within a range of hierarchical levels (Mayberry 1983). The van Hiele Levels and Their Characteristics According to the van Hiele theory, there are 5 levels of thinking that schoolchildren pass through in their acquisition of geometric understanding (Pegg and Davey 1998; Malloy 2002): Level 1: Recognition (or Visualization): Learners at this level recognize a geometric shape by its appearance alone. Learners can identify, name and compare geometric shapes such as triangles, squares and rectangles in their visible form (Fuys et al. 1988). Properties of a figure play no explicit role in the identification process (Pegg and Davey 1998). Level 2: Analysis (or Descriptive Level): Learners at this level identify a figure by its properties, which are seen as independent of one another (Pegg and Davey 1998). Learners analyze the attributes of shapes, some relationships among the attributes and discover properties and rules through observation (Malloy 2002). Learners can recognize and name properties of geometric figures, but they do not yet understand the difference between these properties and between different figures (van Hiele 1986). Level 3: Informal Deduction (or Order): Learners at this level discover and formulate generalizations about previously learned properties and rules and develop informal arguments to justify those generalizations (Malloy 2002). They no longer perceive figures as consisting of a collection of discrete, unrelated properties. Rather, they now recognize that one property of a shape proceeds from another. They also understand relationship between different figures (Pegg and Davey 1998). Class inclusions are understood at this level (van Hiele 1999). Level 4: Deduction:
  • 50. Learners at this level prove theorems deductively and understand the structure of the geometric system (Malloy 2002). They understand necessary and sufficient conditions and can develop proofs rather than relying on rote GEOMETRY LEARNING AND TEACHING IN SCHOOLS 125 learning. They can construct their own definitions of shapes (Pegg and Davey 1998). Level 5: Rigor: Learners at this level can establish theorems in different systems of postulates and can compare and analyze deductive systems (Fuys et al. 1988; Malloy 2002). As a consequence of some learners not achieving even the basic level (level 1), researchers have suggested the introduction of another level, called level 0. Clements and Battista (1990) named this level 0 as „pre-recognition‟. They defined it by stating that “… children initially perceive geometric shapes, but attend to only a subset of a shape‟s visual characteristic. They are unable to identify many common shapes” (Clements and Battista 1990: 354). In this study, the possibilities of the existence of level 0 were also considered in assigning the van Hiele levels. Van de Walle (2004) suggests that in addition to the key concepts of the theory, there are four related characteristics of the levels: (i) the levels are sequential, that is, for a learner to operate successfully at a particular level, that learner must have acquired the strategies and knowledge of the preceding levels; (ii) the levels are not agedependent, that is, progress from one van Hiele level to the next higher one is dependent more on an instructional experience than on biological maturation; (iii) geometric experience is the greatest single factor influencing advancement through the levels: the nature and quality of the experience in the teaching and learning program has a major impact on the advancement through the levels; (iv) when instruction is at a level higher than that of the learner, there will be an inadequate or even lack of effective communication between the educator and learner, which disadvantages the learner. Nevertheless, Pegg and Davey (1998) observe that even though the descriptions are content specific, van Hiele‟s levels are actually stages of cognitive development although as cited earlier, there are claims that the progression from one level to the next is not always the result of natural development or maturation, although these factors also may play a role. According to Malloy (2002), in ideal circumstances, learners from pre- kindergarten through high school are meant to think and reason about geometry in a similar progression as follows: from pre-kindergarten to grade 2 level on the visualization level; grades 2-5 on the analysis level, grades 5-8 on the informal deduction level and grades 8-12 on the deduction level. But Malloy herself observes that usually, this is not the case. The quality and nature of the experience in the teaching and learning program ought to influence the advancement from a lower to a higher level. This study sought answer to the following question: What are the van Hiele levels of geometrical thinking amongst the grade 10 learners? METHODOLOGY This was a quantitative design which made use of a multiple-choice test. The research was conducted at different sites. The sample consisted of 191 Grade 10 learners drawn up from five senior secondary schools in one District. These schools were selected through purposive sampling. Geographical accessibility, proximity and functionality were some of the factors that influenced the choice of these schools. These were semi-urban schools and drew learners from lower to middle income socio-economic communities. The schools were labeled by using alphabets A-E in order to ensure the ethical conformity to safeguard their anonymity. Learners in one grade 10 class from each school were selected with the assistance of the respective grade 10 mathematics educators in the schools. Since the number of learners per class (class size) varied from school to school, the number of learners selected per school is heterogeneous. Schools A to E had 33, 44, 27, 37 and 50 learners respectively in the sample. Formal approvals from the Department of Education and all school Principals were obtained in order to conduct this research. A research information sheet and an „informed consent‟ form were given to all members of the sample or the parents in the case of learners below 18 years. The learners or parents of those below 18 years signed the „informed consent‟ form. Anonymity of the schools and the learners was assured. The research instrument (van Hiele geometry test) was a test question paper together with a multiple choice answer sheet based on the van Hiele levels of geometric thinking. The content was drawn from topics such as basic geometric concepts and classification and properties of triangles and quadrilaterals. These topics form the basis for space and shape in Grade 10 and upwards. Provision was made to assess the level of thinking across different concepts. The words items and questions are used interchangeably in this paper. McMillan and Schumacher (2006) explain that the advantage of using standardized tests is that