Dokumen tersebut membahas tentang kriteria daging sehat menurut SNI, langkah-langkah pemeriksaan post mortem dan ante mortem, serta mekanisme pelayuan daging. Kriteria daging sehat antara lain memiliki cap yang menyatakan "baik", warna merah cerah, permukaan lembab tidak kering, dan disimpan pada suhu <4°C. Pemeriksaan ante mortem dan post mortem meliputi pemeriksaan kepala, organ dalam, dan karkas unt
1. 1
Tujuan Pembelajaran
1. Bagaimana kriteria daging sehat menurut SNI ?
2. Bagaimana langkah-langkah pemeriksaan post mortem dan ante mortem ?
3. Bagaimanakah mekanisme pelayuan daging ?
KRITERIA DAGING MENURUT STANDAR NASIONAL INDONESIA
(SNI)
Daging adalah bagian hewan yang disembelih (sapi, kerbau, kambing, domba) yang
dapat dimakan dan berasal dari otot skelet atau yang terdapat pada diafragma, jantung, dengan
atau tidak mengandung lemak. Daging merupakan otot hewan yang tersusun dari serat-serat
yang sangat kecil yang masing-masing serat merupakan sel memanjang. Sel serat otot
mengandung dua macam protein yang todak larut, yaitu kolagen dan elastin yang terdapat
pada jaringan ikat (Anonimus, 2001).
Menurut Soeparno (1992) daging didefenisikan sebagai semua jaringan hewan dan
semua hasil produk hasil pengolahan jaringan-jaringan tersebut yang sesuai untuk dimakan
serta tidak menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang memakannya. Djafar, dkk. (2006)
menyatakan bahwa pangan merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia yang selalu
mendapat perhatian untuk kesejahteraan kehidupan manusia. Selain sebagai sumber gizi, juga
perlu diperhatikan keamanan pangan serta aman, bermutu dan bergizi baik disamping itu
produk pangan dapat berpengaruh kepada peningkatan derajat kesehatan
Sedangkan menurut BSNI tahun 2008, pengertian daging ditetapkan adalah bagian
dari otot skeletal dari ternak hewan yang aman, layak, dan lazim dikonsumsi oleh manusia.
Dapat berupa daging segar, daging segar dingin atau daging beku (BSNI, 2008).
Daging terdiri dari tiga komponen utama, yakni : jaringan otot, jaringan ikat dan
jaringan lemak. Jaringan otot menyusun 50-60% karkas, unit structural jaringan otot adalah
serabut otot dan serabut otot terdiri dari myofibril-miofibril. Myofibril terdiri dari serabut-serabut
halus yang dinamakan miofilamen. Miofilamen terdiri dari filament aktin yang tipis
dan filament myosin yang tebal. Kedua filament tersebut berperan dalam kontraksi dan
relaksasi otot (Afifah, 2009).
2. Jaringan ikat, menyusun 1-3% dari karkas sebagai komponen fisik dari jaringan otot,
contohnya : epimisium, perimisium, dan endomisium. Sebagai penghubung daging dengan
tulang (tendon), dan penghubung tulang dengan tulang (ligament) (Afifah, 2009).
Jaringan lemak terdiri dari lemak subkutan, lemak intermuskuler, dan lemak
intramuskuler. Lemak intermuskuler juga sering disebut lemak marbling yang merupakan
butiran lemak berwarna putih yang terlihat oleh mata dan tersebar did aging (Afifah, 2009)
Daging sebagian besar merupakan otot yang terdiri dari bermacam-macam protein,
myofibril, protein non nitrogen yang menyebabkan berbeda dengan jaringan lain.Komposisi
daging adalah protein 18%, non protein 1,5%, lemak 3%, glikogen 1%, mineral 1,5%, air
75,5% (Soeparno, 1992).
Warna daging dipengaruhi oleh adanya zat warna daging yaitu oksimyoglobin, globin,
metmyoglobin, myoglobin. Warna daging pada hewan yang satu dengan hewan yang lain
berbeda-beda. Perbedaan itu dipengaruhi oleh :
a. Kandungan myoglobin dalam tubuh spesies, bangsa, jenis kelamin, umur, dan tipe
2
otot.
b. Kandungan ion ferro yang direduksi menjadi ferri.
c. Adanya H2O2, O2, dan NO2.
Beberapa kriteria daging sehat antara lain :
a. Cap atau Stempel
Untuk daging sapi, kerbau, domba, kambing dan babi, daging memiliki cap dari Dinas
Peternakan atau Dinas yang memiliki fungsi Kesehatan Masyarakat Veteriner (Kesmavet)
yang menyatakan “BAIK ”. Berdasarkan peraturan, cap wajib diberikan pada daging
setelah pemeriksaan kesehatan di RPH.
Cap untuk daging sapi berbentuk lingkaran, di dalam lingkaran terdapat tulisan: bagian
atas terdapat nama RPH, bagian tengah terdapat tulisan „baik“, „baik bersyarat“, „baik
diawasi“, atau „afkir“, kemudian di bagian bawah terdapat Nomor Kontrol Veteriner. Hal
ini diatur dalam Surat Keputusan Menteri Pertanian nomor 413/Kpts/TN.310/7/1992
tentang Pemotongan Hewan Potong dan Penanganan Daging serta Hasil Ikutannya.
Cap untuk daging babi berbentuk segi enam, di dalam segi enam tersebut terdapat tulisan:
bagian atas terdapat nama RPH, bagian tengah terdapat tulisan „baik“, „baik bersyarat“,
3. „baik diawasi“, atau „afkir“, kemudian di bagian bawah terdapat Nomor Kontrol
Veteriner. Hal ini diatur dalam Surat Keputusan Menteri Pertanian nomor
295/Kpts/TN.310/7/1992 tentang Pemotongan Babi dan Penanganan Daging Babidan
Hasil Ikutannya (Lukman, 2008).
3
b. Warna Daging
Warna daging adalah salah satu kriteria penilaian mutu daging yang dapat dinilai
langsung. Warna daging ditentukan oleh kandungan dan keadaan pigmen daging yang
disebut mioglobin dan dipengaruhi oleh jenis hewan, umur hewan, pakan, aktivitas otot,
penanganan daging dan reaksi-reaksi kimiawi yang terjadi di dalam daging.
Warna daging sapi segar yang diingini adalah warna merah cerah. Warna daging babi
segar yang diingini adalah keabuan, dan warna daging ayam segar yang diingini adalah
putih keabuan.
Warna daging sapi yang baru dipotong yang belum terkena udara adalah warna merah-keunguan,
lalu jika telah terkena udara selama kurang lebih 15-30 menit akan berubah
menjadi warna merah cerah. Warna merah cerah tersebut akan berbah menjadi merah-coklat
atau coklat jika daging dibiarkan lama terkena udara atau jika daging dikemas
dalam kantong hampa udara (vacuum pack) (Lukman, 2008)).
c. Kondisi Permukaan Daging
Daging segar memiliki permukaan daging yang lembab, tidak basah, tidak kering dan
tidak ada lendir. Selain itu daging yang bermutu ditandai dengan permukaan daging yang
bersih, bebas dari kotoran-kotoran yang nampak oleh mata. Daging yang kotor akan
mudah rusak atau busuk (Lukman, 2008).
d. Bau
Bau daging dipengaruhi oleh jenis hewan, pakan, umur daging, jenis kelamin, lemak, lama
waktu, dan kondisi penyimpanan. Bau daging dari hewan yang tua relatif lebih kuat
dibandingkan hewan muda, demikian pula daging dari hewan jantan memiliki bau yang
lebih kuat daripada hewan betina (Lukman, 2008).
4. 4
e. Suhu Penyimpanan Daging
Setelah proses pemotongan, sangat dianjurkan agar daging disimpan pada suhu dingin
(<4>oC) untuk mempertahankan mutu daging serta untuk mencegah atau menghambat
pertumbuhan dan perkembang-biakan kuman. Daging yang disimpan pada suhu 0-2 oC
dapat bertahan selama 2-3 hari (daging dikemas). Untuk daging giling yang disimpan pada
suhu 0-4 oC akan bertahan sampai 12 jam (Lukman, 2008).
LANGKAH-LANGKAH PEMERIKSAAN POST MORTEM DAN ANTE MORTEM
Pemeriksaan Ante Mortem
Dalam menjaga agar penyakit hewan tidak menyebar dalam proses penyebelihan
hewan maka perlu dilakukan pemeriksaan ante mortem, yaitu pemeriksaan hewan sebelum
mati atau disembelih.
Pemeriksaan ini dilakukan sebelum hewan dipotong gunanya untuk membedakan
hewan yang berpenyakit menular dan sehat. Pemeriksaan ini dilakukan dekat sebelum hewan
dipotong. Jika sesudah hewan setelah diperiksa tetapi tidak segera dipotong hingga
melampaui 24 jam, maka hewan itu harus diperiksa lagi.
Pemeriksaan ini meliputi :
1. Keadaan umum hewan.
2. Lubang-lubang tubuh hewan.
3. Pernafasan hewan.
4. Temperatur tubuh hewan.
5. Selaput-selaput lendir mulut, dan hidung kulit.
6. Tanda-tanda adanya suntikan hormon.
Pemeriksaan ini dilakukan sewaktu hewan dalam keadaan berdiri dan berjalan,
berbelok ke kanan dan kiri. Keseluruhan pemeriksaan harus berjalan cepat agar aliran hewan
dari kandang ke ruang pemotongan tidak terhambat.
Keputusan-keputusan pemeriksaan antermortem menurut surat keputusan Menteri Pertanian
No.413/Kpts.TN.310/7/92 :
1. Hewan potong diijinkan dipotong tanpa syarat, apabila dalam pemeriksaan
antermortem ternyata hewan potong tersebut sehat.
5. 2. Hewan potong diijinkan untuk dipotong dengan syarat, apabila dalam pemeriksaan
antermortem ternyata bahwa hewan potong tersebut menderita atau menunjukan
gejala penyakit :
Corysa gangraenosa bovum, Epithelimia, Haemorhagi septicaemia,
Actinomycosis, Piroplasmosis, Etinobasilosis, Surra , Mastitis, Influesa
equorum, Septichemia, Arthritis, Cachexia, Hernia, Oedema. Fraktura, Brucelosis,
Abces, Tuberculosis.
5
3. Ditunda untuk dipotong, pada keadaan-keadaan :
a. Hewan yang lelah.
b. Pemeriksaan belum yakin, bahwa hewan yang bersangkutan adalah sehat oleh
karenanya harus selalu dibawah pengawasan dan pemeriksaan.
c. Hewan potong ditolak untuk disembelih dan kemudian dimusnakan menurut
ketentuan yang berlaku di RPH atau tempat potong yang lain. Apabila dalam
pemeriksaan antermortem ternyata bahwa hewan potong tersebut menderita
atau menunjukan gejala penyakit:
Malleus
Anemiacontagionis equorum
Rabies
Pleuropnemonia contagiosa bovum
Morbusmaculosus equorum
Rinderpest
Variola ovine
Tetanus
Radang paha gangraena emphysematoma
Busung gawat
Sacharomicosis akut dan kronis
Mycotoxicosis
Colibacillosis
Apthae epizotic
Botulismis
Listeriosid
6. 6
Menurut SK Menteri Pertanian Nomor: 431/Kpts/TN.310/7/1992 pemeriksaan
sederhana seperti yang telah disebutkan di atas dilakukan dengan urutan sebagai berikut:
a. Pemeriksaan kepala lidah yang dilakukan secara lengkap dengan cara melihat,
meraba, dan menyayat seperlunya alat-alat pengunyah (massetter) serta kelenjar-kelenjar
sub maxillaris, sub parotidea, retropharyngealis dan tonsil.
b. Pemeriksaan organ rongga dada yang dilakukan dengan cara melihat, meraba dan
menyayat seperlunya oesophagus, larynx, trachea, paru-paru serta kelenjar paru-paru
yang meliputi kelenjar bronchiastinum anterior, medialis dan posterior,
jantung dengan memperhatikan pericardium, epicardium, myocardium,
endocardium dan katup jantung dan yang terakhir diafragma.
c. Pemeriksaan organ rongga perut yang dilakukan dengan cara melihat, meraba dan
menyayat seperlunya hati dan limpa, ginjal meliputi capsul, corteks dan
medulanya dan pemeriksaan pada usus beserta kelenjar mesenterialis.
d. Pemeriksaan alat genetalia dan ambing yang dilakukan bila ada penyakit yang
dicurigai.
e. Pemeriksaan karkas yang dilakukan dengan melihat, meraba dan menyayat
seperlunya kelenjar prescapularis superficialis, inguinalis
profunda/supramammaria, axillaris, iliaca dan poplitea.
Pemeriksaan Postmortem
Pemeriksaan post-mortem yang dilakukan antara lain pemeriksaan karkas pada
limfoglandula, pemeriksaan kepala yaitu pada bibir, mulut, otot masseter, dan pemeriksaan
organ dalam seperti paru-paru, jantung, ginjal, hati, serta limpa. Pemeriksaan ini merupakan
pemeriksaan rutin yang dilakukan dengan intensitas normal setiap hari. Jika terdapat
abnormalitas pada karkas, organ visceral atau bagian-bagian karkas lainnya dapat
dikonsumsi, diproses lebih lanjut atau tidak
Pemeriksaan postmortem meliputi :
1. Kepala, posisi digantung dengan mulut menghadap ke atas. Ujung lidah yang
telah dikeluarkan diantara kedua rahang bawah, kanan dan kirinya di potong dan
dilepaskan dari rahang bawah. Untuk mengrtahui adanya sistiserkus maka bagian
maseter disayat, dan bagian maseter luar dipotong menjadi dua atau tiga bagian,
disayat hingga bagian lgl. Subparotidea. Dan jika terdapat sistiserka maka lidah
dibagi menjadi dua menurut panjangnya kanan dan kiri.
7. Perubahan-perubahan yang terjadi pada kepala adalah bisul-bisul, atau luka-luka
di lidah, mulut, dan hidung (dari penyakit mulut dan kuku); bisul actinomycosis di
lidah dan tulang rahang. Dalam maseter sapi Cysticercus enemis dan pada babi
dan pericardium Cysticercus cellulose (Kesmavet, 2011).
2. Pulmo, dapat diraba dengan kedua tangan, agar dapat merasa dan mengetahui apa
yang terdapat di dalamnya. Trakea dibuka di bagian bawah, tempat gelang-gelang
tulang muda tidak rapat. Perubahan- perubahan yang dapat dilihat antara lain TBC
di lgl bronchealis dan mediastinalis dan paru-paru; kotoran dan darah dalam
bronchus (dalam bronchus pada babi sering terdapat cacing strongyloid dan
haemorraghi, sedangkan pada kuda yakni malleus) (Kesmavet, 2011).
3. Jantung, jantung yang sehat tampak mengkilat. Perubahan dalam jantung yakni
7
terdapat sistiserkus di dalam valvula jantung (Kesmavet, 2011).
4. Hepar, sepanjang ductus billiverus dapat disayat untuk melihat adanya Fasciola
hepatica, yang dapat mengakibatkan kalsifikasi pada hati yang menyebabkan hati
menjadi rusak dan berwarna keputihan. TBC pada jaringan hati menyebabkan
bisul-bisul pada jaringan hati dan lgl hepaticae. Hati yang sehat warnanya merah
tua, mengkilat dan tepinya tajam (Kesmavet, 2011).
5. Perut dan Usus ,usus dibuka sesuai denan bagiannya lalu lgl.dipotong. Didalam
usus dan perut terdapat macam-macam cacing lgl.mesenterica sering berwarna
kehijau-hijauan terutama pada kerbau. Perubahan-perubahannya yaitu : haemoragi
dan radang, actynomicosis (Kesmavet, 2011).
6. Limpa, setelah diraba dan dibelah menurut panjangnya. Limpa yang sehat terasa
agak keras, tepinya tipis. Perubahan-perubahan bengkak karena berdarah , TBC.
Pada kuda bisul malleus berwarna kuning (Kesmavet, 2011).
7. Ginjal :Dilihat yang sehat mengkilap, kulit tipis mudah dikupas. Dibuka dari
yang sehat, terus hingga kelinnus. Perubahan-perubahan : radang, batu ginjal,
cacing, tbc, degenerasi, atropi dan hipertropi (Kesmavet, 2011).
8. Uterus Vagina :Dilihat, diraba dan dibuka yang tidak mengandung embrio,
selaput lendirnya berwarna kemerahan. Perubahan-perubahan: radang akut/kronis.
Yang akut berisi eksudat merah dan berbau. Biasanya terdapat sisa-sisa placenta.
Dinding uterus tebal, edema, lgl.juga bengkak dan merah. Sedangkan radang
kronis isinya seperti nanah, tetapi tidak berbau. Uterus juga dapat menjangkit
TBC (Kesmavet, 2011).
9. Mammae/ambing :Dilihat, diraba dengan kedua tangan dan dibelah,
8. lgl.dipotong.Mammae yang sehat memberi rasa lembek. Perubahan-perubahan :
radang akut/kronis, TBC (Kesmavet, 2011).
10. Pleura peritonium :Dilihat yang sehat kelihatannya halus dan mengkilap, sering
8
terdapat fibrin. Pada pleuritis yang akut terdapat ptechiese.
11. Otak :Untuk memeriksa otak, kapala harus dibuka dan isinya jangan sampai
rusak. Pada otak kambing biasanya terdapat cacing coenorus cerebralis.
MEKANISME PELAYUAN DAGING
Pelayuan adalah penanganan daging segar setelah penyembelihan dengan cara
menggantung atau menyimpan selama waktu tertentu pada temperatur di atas
titik beku daging (-1,50C). Daging yang kita beli di pasar atau swalayan adalah daging yang
telah mengalami proses pelayuan.Selama pelayuan, terjadi aktivitas enzim yang mampu
menguraikan tenunan ikat daging. Daging menjadi lebih dapat mengikat air, bersifat lebih
empuk, dan memiliki flavor yang lebih kuat (Astawan, 2004).
Tujuan dari pelayuan daging adalah:
1. Agar proses pembentukan asam laktat dari glikogen otot berlangsung
sempurna sehingga pertumbuhan bakteri akan terhambat,
2. Pengeluaran darah menjadi lebih sempurna,
3. Lapisan luar daging menjadi kering, sehingga kontaminasi mikroba
pembusuk dari luar dapat ditahan,
4. Untuk memperoleh daging yang memiliki tingkat keempukan optimum
serta cita rasa khas.
Pelayuan sangat dianjurkan agar proses rigor mortis berlangsung dengan sempurna.
Proses pelayuan biasanya dilakukan di Rumah Potong hewan (RPH) dengan cara
penggantungan atau penyimpanan selama waktu tertentu pada temperatur tertentu diatas titik
beku karkas atau daging (-1,5oC). Pelayuan yang lebih lama dari 24 jam atau sejak terjadinya
kekakuan daging atau rigor mortis dapat disebut pematangan. Pelayuan biasanya dilakukan
pada temperatur 32 - 38oF (0 - 3oC), setelah pendinginan selama kira-kira 24 jam pada
temperatur -4oC sampai 1oC atau disebut chilling (Astawan, 2004).
Daging dengan keempukan optimum dan citarasa khas dilakukan pada suhu lebih
tinggi dan waktu yang juga lebih lama :
3-4oC memerlukan waktu 7-8 hari
20 oC memerlukan waktu selama 40 jam
9. 9
43 oC memerlukan waktu selama 24 jam
Karkas sapi memerlukan pelayuan. Karkas domba atau kambing bisa tidak dilayukan,
karena dagingnya secara relaif sudah empuk bila ternak dipotong pada umur yang relatif
muda dan proses kekakuan berlangsung dalam waktu yang relatif cepat. Demikian pula
karkas unggas, tidak memerlukan pelayuan seperti karkas ternak ruminansia besar. Karkas
babi karena lapisan lemaknya tidak stabil yaitu mudah mengalami proses ransiditas oksidatif
maka pelayuan yang lama (misalnya lebih dari 24 jam) tidak akan memberikan hasil yang
menguntungkan.
Pelayuan terjadi akibat proses kontraksi dan relaksasi pada otot sesaat setelah ternak
dipotong yang menyebabkan perubahan biokimia dalam jaringan seperti diperlihatkan pada
skema berikut : Skema perubahan - perubahan jaringan otot daging ternak potong
Hewan mati
Sirkulasi darah terhenti
Suplai O2 berhenti
Respirasi terhenti Glikolisis
Permulaan rigor mortis
Rigor mortis Kerusakan protein
Pasca rigor mortis
Pembusukan Diskolorasi
Sumber : Afianti (1997)
Proses kontraksi menyebabkan otot menjadi keras dan kaku sedangkan proses
relaksasi menyebabkan jaringan otot menjadi lunak dan empuk. Fase- fase yang dialami
jaringan otot hewan setelah dipotong adalah fase pre rigor mortis, rigor mortis, dan pasca
rigor mortis. Pada fase pre rigor mortis daging masih lunak karena daya ikat air dari jaringan
10. otot masih tinggi, lama fase pre rigor mortis berkisar antara 5-8 jam, tergantung dari jenis
hewan (Astawan ,2004).
Setelah ternak mati dan daging mengalami rigor mortis, ikatan struktur miofibril
dilonggarkan oleh enzim proteolitik, rusaknya komponen protein dari miofibril dapat
meningkatkan keempukan daging.Denaturasi protein pada pelayuan terjadi karena pH yang
rendah, temperatur diatas 25oC atau dibawah 0oC, adanya desikasi. Pada pelayuan protein
miofibril dan sarkoplasma mengalami denaturasi sedangkan kolagen dan elastin tidak
terdenaturasi. Denaturasi protein akan menyebabkan daya ikat air daging turun sehingga
daging akan mengalami kehilangan cairan daging atau weep. Titik minimum daya ikat air
pada pH 5,4-5,5. Pelayuan dapat menurunkan daya putus WB (Warner Blatzler), sehingga
dapat meningkatkan keempukan daging, nilai daya putus WB merupakan indeks tingkat
kealotan miofibrilar dari daging (Rivani, 2008).
10
11. DAFTAR PUSTAKA
Anonimus. 2001.. Materi Penyuluhan Bagi Perusahaan Makanan Industri Rumah
11
Tangga. Dinas Kesehatan Pemerintah Kabupaten Sleman: Sleman
Afifah, D.N. 2009. Daging diunduh dari http://duniasapi.com/prosedur-standar-operasi-
pemotongan-sapi/ pada 9 November 2011 pukul 17.15
Astawan, M. 2004.. Mengapa Kita Perlu Makan DAGING?. Bogor :Departemen Teknologi
Pangan dan Gizi IPB. Diunduh dari http://health.groups.yahoo.com/
group/dokter_umum/message/6824 pada 9 November pukul 16.48
BSNI. 2008. Metode Pengujian Cemaran Mikroba Dalam daging, Telur dan Susu serta hasil
Olahan Lainnya diunduh dari http://websisni.bsn.go.id/index.ph
p?/sni_main/sni/detail_sni/7783 pada 9 November 2011 pukul 16.52
Djaafar, T.F., E.S. Rahayu, dan S. Rahayu. 2006. Cemaran Mikroba pada Susu dan Produk
Unggas. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor.
http://peternakan.litbang.deptan.go.id
Keputusan Menteri Pertanian No.413/Kpts.TN.310/7/1992
Keputusan Menteri Pertanian No. 431 / KPTS / TN. 310 / 7 / 1992
Kesehatan Masyarakat Veteriner. 2011. Blok 14 :Higiene Veteriner. Bagian Kesehatan
Masyarakat Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan UGM: Yogyakarta
Lukman, D.W. 2008. Daging Yang Baik dan Sehat diunduh dari http://higiene-pangan.
blogspot.com/2008/11/daging-yang-baik-dan-sehat.html pada 9 November
2011 pukul 22.30
Rivani, E. 2008. Pengaruh Proses Pelayuan Terhadap daging. (http://pronak-
06.blogspot.com/2008/06/pengaruh-proses-pelayuan-terhadap.html) diunduh pada 9
November 2011 pukul 22.30
Soeparno, 1992. Ilmu dan Teknologi Daging, Edisi I. Penerbit Gadjah Mada University
Press,Yogyakarta.