SlideShare a Scribd company logo
TUGAS 2
Dosen : Dra. Yusreni Sabrie, M.M
Di Susun Oleh : Hendro Gunawan
NIM : 200401072103
Kelas : IT-5
PROGRAM STUDI INFORMATIKA UNIVERSITAS SIBER ASIA JAKARTA 2021
Sebagai suatu negara Indonesia membutuhkan adanya landasan dan arah pelaksanaan kehidupan bernegara.
Dalam hal ini kebutuhan sebagai pandangan hidup dan arah dirumuskan dalam bentuk Pancasila dari sila ke
satu sampai dengan ke lima.
Dalam kehidupan beragama, Pancasila merumuskan satu dasar sila yang bisa diterima oleh semua orang,
yaitu berdasarkan pada sila pertama, “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sila kedua “Kemanusiaan Yang adil dan
beradap”. Memiliki arti bahwa negara dan pemerintah harus berlaku adil terhadap masyarakatnya, dan
mempunyai adap dalam memperlakukan siapapun, tidak memandang suku, agama, ras, jabatan, dan status sosial.
Sila ketiga “Persatuan Indonesia” berarti nasionalisme, cinta bangsa dan tanah air. “Prinsip Bhinneka
Tunggal Ika” yang artinya walaupun berbagai macam suku bangsa tetap satu jua. Sila keempat “Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan” mengandung makna bahwa
seorang pemerintah harus lebih mementingkan kepentingan Negara dan masyarakat dan juga mengutamakan
budaya musyawarah dalam pengambilan keputusan bersama.
Kemudian yang terakhir sila kelima “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” dimana yang
bermakna bahwa seluruh rakyat Indonesia mendapat jaminan keadilan sosial dari Negara dan pemerintah.
Tujuannya agar rakyat merasa aman dan tentram.
Sejalan dengan perkembangan zaman, makna Pancasila secara terus menerus mengalami perkembangan
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila merupakan suatu nilai
yang bersifat universal dan pada hakikatnya nilai-nilai dasar tersebut melekat dalam kehidupan bermasyarakat.
Dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini menunjukkan bahwa Pancasila sementara ini mengalami
ujian dan tantangan, baik dari dalam maupun dari luar.
Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi nasional Indonesia sejak Indonesia berdiri sampai saat ini
menjadi arah kehidupan berbangsa dan bernegara yang mempersatukan seluruh masyarakat dalam bentuk NKRI
guna mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Pancasila
perlu dilestarikan sebagai falsafah bangsa.
Makalah ini diharapkan dapat menjadi sumber referensi dalam menjelaskan Pancasila sebagai sebuah
paradigma yang diimplementasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara masyarakat Indonesia yang
dapat menguasai ruang dan waktu dari generasi ke generasi, dengan harapan dapat membantu mahasiswa dalam
pembelajaran serta mampu memberi kontribusi yang lebih baik bagi mahasiswa dan dosen.
Kritik dan saran dari berbagai pihak sangat kami harapkan, sebab kami meyakini bahwa tiada gading yang
tak retak, jika di sana sini terdapat kesalahan kami mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Kata Pengantar
I
Kata Pengantar....................................................................................................................................................I
Daftar Isi.............................................................................................................................................................II
Bab I Pendahuluan
Pancasila Sebagai Satu-Satunya Sumber Hukum Di Indonesia
1. Pendahuluan......................................................................................................................................................1
Bab II Tinjauan Pustaka
2. Pentingnya Hukum Dalam Kehidupan Berbangsa Dan Bernegara..................................................................1
Bab III Pembahasan
3. Unifikasi dan Pluralisme Dalam Sistem Hukum Nasional Indonesia..............................................................4
4. Pancasila Sebagai Sumber Nilai dan Cita-Cita Hukum Dan Perundang-Undangan........................................6
5. Aktualisasi Nilai-Nilai Pancasila Dalam Penegakan Hukum Di Indonesia.....................................................10
6. Pancasila Sebagai Paradigma Reformasi Hukum...........................................................................................11
7. Pancasila Sebagai Sumber Nilai Perubahan Hukum......................................................................................12
8. Dasar Yuridis Reformasi Hukum...................................................................................................................12
Bab IV Penutup
9. Kesimpulan.....................................................................................................................................................13
10. Saran.............................................................................................................................................................13
Daftar Pustaka..................................................................................................................................................14
Daftar Isi
II
Pancasila Sebagai Satu-Satunya Sumber Hukum Di Indonesia
1. Pendahuluan
Pancasila merupakan dasar Negara Republik Indonesia dan menjadi pedoman hukum berbangsa dan
bernegara. Pancasila menjadi bagian terpenting dalam proses penyatuan sistem nilai dan norma hukum yang
berkembang di Indonesia. Penempatan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara adalah
sesuai dengan Pembukaan UUD 1945. Oleh sebab itu, Pancasila sebagai pedoman dan sumber dari berbagai
sumber hukum dalam praktik berbangsa dan bernegara, diwajibkan berpijak kepada Pancasila sebagai landasan
idiologi dan filosofis dalam kehidupan masyarakat. Pancasila dalam praktiknya dapat menjadi kontrol sosial
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila sebagai kontrol sosial, dikarenakan Pancasila digunakan
sebagai dasar mengatur pemerintah dan disisi lain Pancasila digunakan sebagai dasar untuk mengatur
penyelenggaraan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
2. Pentingnya Hukum dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, secara sosiologis manusia sebagai makhluk sosial tentunya
intens berinteraksi dengan kelompok dan masyarakat yang pada hakikatnya mempunyai ragam kepentingan dan
keinginan yang berbeda-beda. Perbedaan kepentingan, tidak semata terjadi dalam kelompok dan masyarakat
secara umum, tetapi secara pribadi individu tentunya berhadapan dengan sesama individu lainnya yang
mempunyai hak kemerdekaan pribadi, kehendak dan perasaan. Secara realitas, adanya relasi antar manusia,
saling mengenal dan saling membutuhkan. Akan tetapi, dalam proses bermasyarakat tersebut. Sering kali
dijumpai adanya konflik antar kelompok dengan kelompok dan masyarakat dengan masyarakat lainnya. Konflik
yang terjadi tentunya berdampak dari perbedaan kepentingan dan perilaku yang diskriminasi serta adanya
ketidakadilan hukum. Maka, untuk mengatasi ketidakteraturan dalam masyarakat diperlukan hukum sebagai
sosial kontrol (social control) yang mengatur dan menertibkan kehidupan bermasyarakat yang sesuai dengan
aturan hukum yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Hukum sebagai sosial kontrol dapat diartikan sebagai
suatu proses, baik yang direncanakan maupun tidak, yang bersifat mendidik, mengajak atau bahkan memaksa
warga masyarakat agar mematuhi sistem kaidah dan nilai yang berlaku. Menurut Zainuddin Ali, perwujudan
dari kontrol sosial berupa pemidanaan, konpensasi, terapi, maupun konsiliasi. Patokan dari pemidanaan adalah
suatu larangan, yang apabila dilanggar akan mengakibatkan penderitaan (sangsi negatif) bagi pelanggarnya.
Apabila seluruh warga kelompok (yang kemungkinan dikuasakan kepada pihak lain). Maka, fungsi hukum
dalam kelompok dan masyarakat adalah bertujuan untuk menerapkan mekanisme kontrol sosial yang akan
menertibkan masyarakat dari perilaku menyimpang yang tidak dikehendaki. Sehingga hukum mempunyai suatu
fungsi untuk mempertahankan eksistensi kelompok atau masyarakat.
Hukum tentunya mempunyai peranan yang penting dalam kehidupan bermasyarakat. Pentingnya peranan
hukum tersebut, Zainuddin Ali mengatakan bahwa hukum mempunyai fungsi rangkap. Pertama, merupakan
tindakan yang melembaga dan kokoh diantara anggota-anggota kelompok masyarakat sehingga hukum mudah
digunakan sebagai kewajiban. Kedua, merupakan tindakan yang berwujud reaksi kelompok masyarakat itu
terhadap tingkah laku yang menyimpang dan mengendalikan tingkah laku yang menyimpang tersebut. Lebih
Bab I Pendahuluan
Bab II Tinjauan Pustaka
1
lanjut Zainuddin menjelaskan bahwa, hukum dalam pengertian adalah pola tingkah laku yang bermanfaat oleh
kelompok untuk mencapai tujuan-tujuan kelompok dan yang menyimpang dari cara-cara yang telah melembaga
yang ditujukan untuk mencapai tujuan-tujuan kelompok masyarakat. Maka hukum dalam fungsinya merupakan
instrumen pengendalian sosial.
Sejak awal sejarah pembentukan umat manusia dalam konteks interaksi masyarakat, persoalan kaidah atau
norma merupakan jelmaan yang dibutuhkan dalam upaya mencapai harmonisasi kehidupan. Secara empirik
sosiologis kaidah atau norma adalah tuntunan atau kunci dalam mencapai stabilisasi interaksi sehingga
pelanggaran akan kaidah atau norma akan dijatuhi hukuman atau sanksi. Untuk mencapai tujuan mulianya
hukum memerankan dirinya sebagai kendali sosial atau kontrol sosial yang sekaligus merupakan tujuan
pembentukan hukum di dalam masyarakat. Tanpa hukum menjalankan fungsi ini, maka aspek ketertiban,
ketenteraman maupun stabilitas dinamis sosial tidak akan tercipta dan dipatuhi.
Implementasi pengaturan merupakan perwujudan dari keinginan akidah hukum agar fungsi pengendalian
sosial, kontrol sosial dapat menjelmakan dalam masyarakat. Ketika implementasi aturan dijalankan, pada saat
itu pula aturan berbaur dengan masyarakat. Pada itu pula, aturan mengalami dinamika intervensi, pembenturan,
pergesekan dan akhirnya perubahan sebagai buah dari gesek-gesekan sosial dan interaksinya di dalam
masyarakat. Maka kondisi ini akan kembali pada setting social (pengaturan sosial) awal dari rangkaian terhadap
bekerjanya hukum dalam masyarakat. Artinya, siklus alamiah yang dihadapi dan terus-menerus berlangsung
dalam tatanan kehidupan. Siklus tersebut dapat dipahami sebagai berikut :
a) Hukum akan mengalami dinamisasi bila berhadapan dengan perubahan.
b) Perubahan sosial secara evolusi maupun revolusi akan membawa konsekuensi hukum pada pemulihan hukum.
c) Hukum mengalami perubahan pada dirinya seperti kehendak pengaturan yang disertai intervensi positif
maupun negatif berupa penyakit hukum.
d) Fungsi hukum sebagai pengendali sosial atau kontrol sosial merupakan tujuan mulia.
e) Implementasi hukum, merupakan masalah yang kompleks karena bersinggungan dengan berbagai faktor
dalam masyarakat.
Sejak hukum diterapkan, saat itu pula muncul multitafsir dalam masyarakat untuk memahami proses
bagaimana implementasi pengaturan yang pada hakikatnya merupakan perwujudan dari keinginan akidah
hukum agar fungsi pengendalian sosial, kontrol sosial dapat menjelmakan dalam masyarakat. Ketika
implementasi aturan dijalankan, saat itu pula aturan berbaur atau menyatu dengan masyarakat. Maka, di
Indonesia sebagai negara kesatuan yang mana Pancasila merupakan sumber dari segala hukum. Pancasila
menjadi landasan diri dari prinsip berbangsa dan bernegara. Sebagai negara yang memiliki keberagaman suku
bangsa dan bahasa serta kebudayaan. Maka Pancasila sebagai dasar pemersatu bangsa dalam bingkai dengan
semangat Bhinneka Tunggal Ika (berbeda-beda tetap satu).
Pancasila dipahami sebagai sumber hukum dan menjadi sumber dari berbagai Sumber Hukum atau Sumber
Tertib Hukum bagi kehidupan bangsa Indonesia, maka hal itu sepatutnya dipahami bahwa Pancasila adalah
sumber hukum tidak tertulis dan sumber hukum tertulis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia.
Di sisi lain, ada rumusan yang menegaskan, bahwa Pancasila menguasai seluruh hukum yang berlaku bagi
bangsa Indonesia, baik yang tertulis maupun tidak tertulis. Lebih lanjut, A.Hamid S.Attamimi, menguraikan
pentingnya memahami Pancasila sebagai sumber hukum, dengan mempelajari berbagai yang berkaitan dengan
sumber hukum dapat berpijak pada ragam sumber. Bagi para ilmuwan sejarah, sumber hukum itu adalah
Undang-undang serta sistem-sistem hukum tertulis yang pernah ada dalam kehidupan sejarah, termasuk
dokumen-dokumen, surat-surat dan keterangan-keterangan lainnya. Sedangkan bagi ahli Sosiologi dan
Antropologi, budaya sumber hukum dicarinya pada masyarakat secara keseluruhan, terutama lembaga-lembaga
sosial yang ada di dalam masyarakat.
Menurut Attamimi, seorang ahli hukum membagi sumber hukum yang materiil dan yang formil. Pertama,
ialah yang menentukan isi suatu kaidah atau norma hukum, antara lain berupa tindakan-tindakan atau perilaku
manusia. Kedua, yang menyebabkan hukum dapat berlaku dan mempunyai kekuatan mengikat. Bagi Attamimi,
2
dalam ahli hukum ada beberapa yang menganggap sumber hukum yang formil ini yang terpenting, karena
hukum dapat terus berlaku meskipun isinya berganti-ganti dan dirasakan adanya tidak adil.
Memahami apa yang digambarkan Attamimi, Pancasila sebagai sumber hukum dari segala sumber hukum
seyogyanya dapat menjadi pijakan untuk mengakomodasi sistem hukum yang berkembang di masyarakat atau
dalam pandangan hukum adalah kaidah atau norma hukum. Hal ini dipahami secara realitas sosial bahwa di
Indonesia terdapat praktik hukum yang menjadi bagian dari nilai luhur bermasyarakat seperti hukum adat dan
hukum agama. Dimana, praktik dan pemberlakuan hukum dalam masyarakat dapat dilihat ketika individu atau
kelompok yang dianggap menyimpang atau salah, baik secara adat maupun agama dan bagaimana terlihat dalam
suatu acara perkawinan. Maka, Pancasila diharapkan menjadi dasar bagi pemerintah dalam menerapkan hukum
formal dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Karena Pancasila merupakan pandangan hidup yang berakar dalam kepribadian bangsa, maka Pancasila
diterima sebagai dasar negara yang mengatur hidup ketatanegaraan. Hal tersebut, digambarkan dalam sejarah,
bahwa meskipun dituangkan dalam rumusan yang berbeda. Namun, dalam alenia buah dalam Undang-Undang
Dasar 1945, dalam Mukaddimah Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia (1950), Pancasila itu
tetap tercantum di dalamnya. Pancasila tetap tercantum didalamnya peringatan Hari Lahirnya Pancasila 1 Juni
1967. Maka fakta ini memperkuat keyakinan Presiden Soeharto bahwa, Pancasila yang selalu dituangkan dalam
Mukaddimah UUD dan kemudian memberikan bukti bahwa Pancasila memang selalu dikehendaki sebagai
dasar kerohanian Negara, Dikehendaki sebagai Falsafah Negara.
Pancasila menjadi tujuan hidup bangsa dan Pancasila menjadi pandangan hidup maka, Pancasila harus
dilaksanakan dalam segi kehidupan dan tata pergaulan bangsa Indonesia. Dimana, bangsa yang mempunyai
pandangan hidup yang jelas adalah bangsa yang memahami kemana arah tujuannya, hanya bangsa yang setia
dan terus menerus berusaha melaksanakan pandangan hidup menjadi bangsa yang kuat. Dengan dasar falsafah
negara Indonesia maka dapat menentukan pendirian terhadap segala macam baik dalam negeri maupun dari luar
negeri. Pancasila dapat dipahami sebagai tuntutan hidup dan tujuan hidup bangsa. Pancasila sebagai tertib sosial
dan sumber dari segenap perikehidupan, baik sebagai individu maupun ikatan dalam kelompok, ikatan partai
politik, ikatan organisasi dan Pancasila sebagai sumber tertib nasional dan tertib hukum serta pedoman yang
dilaksanakan oleh pemerintah dan semua aparatnya dan oleh setiap pejabat dalam melaksanakan kekuasaannya
serta tugasnya.
Berpijak pada uraian Krissanto, terkait dengan Pidato Presiden Soeharto yang menegaskan bahwa
Pancasila sebagai sumber tertib sosial dan sumber dari segala sumber dari segenap perikehidupan baik sebagai
individu maupun ikatan dalam kelompok, partai politik, dan organisasi. Dan Pancasila sekaligus menjadi
sumber tertib nasional dan tertib hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Maka, secara yuridis
ketatanegaraan, Pancasila merupakan dasar negara Republik Indonesia sebagaimana terdapat pada Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, yang kelahirannya ditempa dalam proses
kebangsaan Indonesia. Melalui Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 sebagai payung
hukum, Pancasila perlu diaktualisasikan agar dalam praktik berdemokrasinya tidak kehilangan arah dan dapat
meredam konflik yang tidak produktif.
Peneguhan Pancasila sebagai dasar negara sebagaimana terdapat pada pembukaan, juga dimuat dalam
Ketetapan MPR Nomor XVIII/MPR/1998, tentang Pencabutan Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1978 tentang
Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetya Pancakarsa) dan ketetapan tentang Penegasan
Pancasila sebagai Dasar Negara. Meskipun status ketetapan MPR tersebut saat ini telah masuk dalam kategori
ketetapan MPR yang tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut, baik karena bersifat einmalig (final),
telah dicabut maupun telah selesai dilaksanakan.
Selain itu, ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Perundang-
undangan bahwa Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum negara. Penempatan Pancasila
sebagai sumber dari segala sumber hukum negara, yaitu sesuai dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia tahun 1945, bahwa Pancasila ditempatkan sebagai dasar dan idiologi negara serta
sekaligus dasar filosofis bangsa dan negara sehingga setiap materi muatan peraturan perundang-undangan tidak
boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.
3
3. Unifikasi dan Pluralisme Dalam Sistem Hukum Nasional Indonesia
Perkembangan hukum nasional di Indonesia berlangsung seiring dengan perkembangan kekuasaan negara-
negara bangsa. Hal tersebut telah menjadi suatu realitas dalam suatu bangsa dan negara. Dimana, yang tersebut
sebagai hukum nasional itu pada hakikatnya adalah hukum yang pengesahan pembentukan dan pelaksanaannya
bersumber dari kekuasaan dan kewibawaan negara. Tatkala kehidupan berkembang ke dalam skala-skala yang
lebih luas, dari lingkar-lingkar kehidupan komunitas lokal (old societies) ke lingkar-lingkar besar yang bersifat
translokal pada tataran kehidupan berbangsa yang diorganisasi sebagai suatu komunitas politik yang disebut
negara bangsa yang modern (new nation state), kebutuhan akan suatu sistem hukum yang satu dan pasti amatlah
niscaya. Maka gerakan kearah unifikasi dan kondifikasi hukum terlihat marka di sini, seolah menjadi bagian
inhern dari proses nasionalisasi dan negaranisasi serta modernisasi yang amat mengesankan telah terjadinya
pengingkaran eksistensi apapun yang berbau lokal dan tradisional.
Memahami apa yang diuraikan oleh M. Misbahul Mujib, bahwa proses terkait dengan unifikasi dan
pluralisme hukum memang merupakan perdebatan yang panjang. Perdebatan yang panjang tersebut
dikarenakan masing-masing kelompok masyarakat mempunyai dasar yang cukup kuat untuk mempertahankan
eksistensinya. Unifikasi hukum menjadi suatu keniscayaan, bahwa hukum memerlukan kepastian, sementara
plurarisme hukum meniscayakan hukum yang bisa berkembang menyesuaikan kondisi masyarakat dimana
mereka menjalani kehidupan secara bersama.
Kemudian, Misbahul Mujib menegaskan, bahwa di Indonesia berpijak pada faktor sejarah unifikasi hukum
sendiri sebenarnya terbilang baru, yang mana dalam perkembangan terkini lebih mengarah pada unifikasi
sejalan dengan terbentuknya negara. Sementara pluralisme hukum telah ada jauh sebelum terbentuknya negara,
sehingga ketika hadirnya budaya unifikasi, pluralisme hukum terancam keberadaannya. Keberadaan hukum-
hukum lain yang sudah lama berada di Indonesia seperti hukum Islam dan hukum-hukum adat masyarakat
Indonesia yang berbeda-bedapun terancam. Seiring dengan adanya budaya unifikasi dalam hukum negara
Indonesia maka ada banyak golongan yang memperjuangkan produk hukum menjadi hukum unifikasi dan
berlaku untuk seluruh masyarakat di Indonesia. Diantara produk unifikasi hukum adalah hukum perkawinan.
Unifikasi dan pluralisme dalam sistem hukum nasional Indonesia bila dipahami dari apa yang diuraikan
oleh Misbahul Mujib, di Indonesia sering adanya tradisi unifikasi hukum dalam hukum negara. Dimana, pijakan
hukum negara adalah Pancasila. Maka dalam kaitan unifikasi dan pluralisme dalam sistem hukum nasional,
dapat dipelajari dengan empiris. Bahwa , sebagai negara yang plural dan kebudayaan yang beragam tentunya
menjadi suatu keniscayaan bahwa di Indonesia tentunya memiliki ragam sistem nilai dan sistem hukum.
Sebagaimana yang dipaparkan Misbahul Mujib, produk unifikasi hukum, seperti hukum perkawinan. Dengan
mayoritas masyarakat Indonesia yang beragama Islam, tentu sistem nilai maupun sistem sosial yang berlaku
dalam masyarakat erat kaitannya dengan nilai-nilai Islam. Namun, dalam Pancasila akomodasi hukum agama
maupun hukum adat dalam sistem hukum nasional menjadi bagian penting dalam mengapresiasi nilai
pluralisme agama maupun nilai kebangsaan di Indonesia.
Pluralisme bila diindentifikasikan tentunya sangat luas, sebagai bentuk penerimaan dan penghargaan
keberagaman dan upaya bekerja bersama. Kemudian, pluralisme dalam perkembangannya tidak semata
dipahami sebatas toleransi, namun merupakan upaya aktif untuk memahami perbedaan di masyarakat. Dari
beberapa pendekatan dan definisi tersebut, dipahami bahwa pluralisme merupakan upaya untuk menemukan
persamaan dan penekanan yang kuat terhadap perbedaan menunjukkan penghargaan yang besar terhadap
perbedaan dalam kehidupan berbangsa.
Pluralisme yang dipahami dari maksud di atas tentunya tidak terpaku pada upaya menyatukan semua orang
atau kelompok dalam suatu paham yang sama. Namun, pluralisme menerima dan mempertahankan perbedaan,
yang kemudian disyaratkan bukan untuk menghilangkan identitas seseorang atau kelompok demi mengejar
persatuan atau persamaan. Sehingga, pluralisme menjadi suatu bentuk penerimaan hak-hak orang lain, hal mana,
Bab III Pembahasan
4
hak seseorang untuk menyongsong masa depan yang ingin dijalani dan hak mereka untuk berbeda. Premis
berikutnya ialah, pengakuan terhadap perbedaan, keberagaman tradisi dan agama atau budaya sehingga akan
menjadi tantangan berat bagi kohesi sosial atau suatu tatanan pemerintahan, tetapi menjadi peluang demi
berkembangnya budaya sipil dan politik yang hidup dan beragam. Oleh karena itu, pluralisme dimaknai secara
beragam, misal, jika fokusnya terhadap keberagaman agama, maka pijakannya pada tata kelola masyarakat yang
majemuk.
Kemajemukan dalam hal ini tentunya dapat berarti kemajemukan beragama, sosial dan budaya. Tapi yang
selalu menjadi topik pembahasan terkait dengan pluralisme yakni kemajemukan beragama. Pada prinsipnya,
konsep pluralisme ini timbul setelah adanya konsep toleransi. Apabila setiap anggota masyarakat
mengaplikasikan konsep toleransi terhadap individu atau kelompok lainnya maka lahirlah pluralisme.
Pluralisme sering diartikan sebagai paham yang mentoleransi adanya ragam pemikiran, agama, kebudayaan,
dan peradaban. Sehingga kemudian wacana tentang pluralisme menjadi penting dan krusial, dikarenakan terkait
dengan hal penting dan sensitif, yakni masalah teologis.
Pluralisme bukan merupakan suatu yang khas masyarakat modern. Di dalam masyarakat tradisional pun
tidak jarang golongan berbagai suku, etnis dan agam hidup dalam wilayah yang sama. Namun ada dua unsur
khas bagi pluralisme tradisional antara lain : pertama, pluralisme itu ditangani atas dasar ketidaksamaan.
Masyarakat seluruhnya tersusun secara hierarkis, semua unsur di dalamnya termasuk mereka yang berbudaya
atau beragama yang berbeda, mempunyai tempat dan kedudukan sosial tertentu di dalamnya. Kedua, wawasan
kemanusiaan pra-modern itu membagi manusia ke dalam “orang kami” dan “orang asing”. Yang tidak termasuk
komunitas adat atau agama yang sama dengan mereka dipandang sebagai orang asing, meski begitu mereka
tetap diterima dengan baik, tamu asing tetap dihormati, tempat mereka terjamin, tetapi mereka sebagai orang
asing. Dalam pluralisme modern, kedua unsur itu berubah, sebagai implikasi dari cita-cita Revolusi Prancis, hal
mana minoritas-minoritas dan pada umumnya kelompok-kelompok yang beraneka warna menuntut kesamaan
hak dan kewajiban sebagai warga negara dan hak-hak asasi manusia dituntut berlaku bagi semua dengan cara
yang sama.
Tuntutan persamaan hak tersebut, kemudian menjadi pluralisme tidak semata pluralisme kelompok sosial,
melainkan pluralisme pemahaman akan politik, agama dan moral menjadi tantangan lain bagi persatuan bangsa.
Untuk memahami masalah pluralisme modern, masyarakat perlu mengembangkan kemampuan-kemampuan
psikis dan etis tertentu. Kemampuan yang dimaksud adalah dalam kehidupan sehari-hari dan dapat bekerja sama
dengan orang lain yang berbeda adat, suku, dan agama, dengan sepenuh hati dan ikhlas. Di samping itu,
kemampuan toleransi untuk saling menghormati keyakinan-keyakinan keagamaan dan politik yang berbeda,
sehingga hadir rasa solider dengan saudara sebangsa sebagai manusia termasuk perbedaan suku dan kelas sosial
lainnya di dalam masyarakat.
Dalam mengelola pluralisme sosial dan pluralisme politik, demokrasi menawarkan beberapa model
diantaranya melalui partisipasi dan kompetisi. Partisipasi menyangkut keterlibatan warga negara dalam proses
pengambilan keputusan tentang hidup bersama dan setelah itu diikuti dengan kontestasi ide-ide yang akan
dipilih melalui mekanisme pemilihan. Representasi diperlukan untuk menghadirkan aspirasi warga dalam ruang
publik. Di Indonesia, representasi atau perwakilan sering kali hanya merujuk pada fungsi artikulasi dan agregasi
kepentingan yang dijalankan lembaga-lembaga perwakilan formal. Namun sesungguhnya sebagaimana yang
ditunjukkan Hanna Pitikin, melalui beberapa representasi, yakni formalistik, simbolik, deskriptif dan subtansif.
Representasi simbolik, melalui perwakilan budaya. Kepercayaan dan identifikasi merupakan isu utamanya
sehingga seseorang wakil diterima sebagai wakil dari kelompok yang diwakilinya, misalnya bendera atau raja
yang merepresentasikan bangsa. Representasi deskriptis, adalah tingkat kemiripan (resemlance) antara yang
mewakili dengan yang diwakili, kemiripannya meliputi kesamaan basis kewilayahan, komunitas kelompok dan
gender. Representasi subtansif, adalah agenda memperjuangkan kepentingan tertentu yang mempresentasikan
dalam ruang publik. Tingkat keterwakilan dapat dilihat dari sejauh mana wakil dapat memperjuangkan
kepentingan rakyat.
Pluralisme sosial, politik, budaya, etnis, bahasa dan adat istiadat dan aliran pemahaman keagamaan di
5
Indonesia, menjadikan negeri ini kaya akan berbagai lambang, simbol dan ikonografi dari kelompok budaya,
etnis maupun aliran keagamaan yang beragam. Hal mana masing-masing kelompok begitu produktif
memproduksi dan memproduksi identitas kelompoknya, mulai cara berpakaian, berbahasa, memilih lambang,
simbol dan warna pakaian maupun bendera organisasi. Hal ini kemudian terlihat mengalami perubahan ketika
bergulirnya era reformasi yang memungkinkan setiap kelompok masyarakat dengan bebas mengekspresikan
pilihan lambang dan simbol yang menjadi ciri dari identitas mereka. Dikataka pola pengelolaan pluralisme
identitas budaya berubah ketika era reformasi, hal ini dapat dipahami bahwa bergulirnya reformasi diawali
dengan meluasnya ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Maka negara mengalami delegitimasi
politik yang terjadi begitu cepat. Pada era reformasi inilah negara mengalami keterpurukan dan berada dalam
keadaan lemah (stateless).
Pengakuan dan penerimaan akan kemajemukan merupakan konsekuensi dan komitmen sosial maupun
konstitusional sebagai suatu masyarakat (suku, bangsa, bahkan dunia), yang berbudaya. Karena kemajemukan
merupakan konsekuensi dari hakikat manusia sebagai makhluk sosial, yang dari satu sisi memiliki kesamaan
esensial tetapi dari lain sisi ada perbedaan eksistensial, maka pada hakikatnya adanya kekhasan atau identitas
suatu kelompok masyarakat (entah lokal, nasional, dan internasional) akan hilang jika tidak ada atau ditiadakan
atau ditolaknya kemajemukan. Jadi kemajemukan merupakan unsur penentu bagi adanya kekhasan dari suatu
masyarakat. Oleh sebab itu dalam sejarah pembentukan dan kehidupan setiap kelompok masyarakat senantiasa
ada kesadaran dan pengakuan akan adanya kemajemukan, serta adanya komitmen untuk menerima dan tetap
mempertahankan kemajemukan secara konsekuen dan konsisten. Misalnya, sejarah perjuangan kehidupan
masyarakat Indonesia, secara lokal maupun internasional, telah diciri khaskan dengan kesadaran serta komitmen
akan penerimaan kemajemukan secara konsekuen dan konsisten. Sumpah pemuda serta berbagai macam
perjuangan untuk mendirikan dan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dari masa
kemasa merupakan fakta sejarah nasional bangsa Indonesia akan adanya suatu komitmen untuk menerima dan
mempertahankan kemajemukan masyarakat Indonesia. Begitu pula Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945
mencerminkan kesadaran, komitmen, pandangan hidup serta sikap hidup yang sama. Pancasila dan Undang-
Undang 1945 merupakan bukti konstitusional nasional tentang pluralisme di Indonesia.
Di Indonesia terdapat beberapa sistem hukum yang berlaku dalam kehidupan masyarakat yang plural,
seperti hukum perdata (civil law), hukum umum (common law), hukum Islam dan hukum adat. Realitas ini
menunjukkan adanya pluralisme hukum dalam penerapan sistem hukum nasional. Praktik berhukum secara
plural memang telah berlaku sejak era kemerdekaan. Hukum adat diberlakukan di Indonesia karena hukum adat
merupakan hukum asli yang lahir dan berkembang dari kebudayaan dan hidup di tengah-tengah masyarakat
Indonesia. Van Vollenhoven dalam bukunya Het Adatrecht Nederlandsch, hukum adat merupakan keseluruhan
aturan-aturan tingkah laku yang berlaku bagi orang-orang bumi putera dan orang-orang timur asing yang
mempunyai pemaksa dan sanksi , lagi pula tidak terkondifikasi. Sementara itu hukum Islam diterapkan di
Indonesia sejak masuknya agama Islam di Nusantara. Dengan mayoritas penduduk Indonesia menganut agama
Islam, maka hukum Islam atau syariat Islam mendominasi berhukum penduduk Indonesia terutama dalam hal
hukum perkawinan, hukum waris, dan hukum kekeluargaan.
Van Vallenhoven menguraikan hukum adat yang berkembang di Indonesia, merupakan keseluruhan
aturan-aturan tingkah laku yang berlaku bagi orang-orang bumi putera dan orang-orang timur asing yang
mempunyai pemaksa dan sanksi, lagi pula tidak terkondifikasi. Dengan berbasis pada kehidupan masyarakat
yang pluralis sesungguhnya menjadi suatu nilai lebih bagi negara Indonesia. Sebab dengan keberagaman agama
dan budaya menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara yang mampu mempadukan serta mengapresiasikan
perbedaan keyakinan dan kebangsaan ke dalam satu hukum nasional yang berpijak pada sumber dari segala
sumber, yakni Pancasila. Sehingga, dalam kehidupan masyarakat masih terdapat praktik hukum adat dan agama,
tetapi semua selaras dengan nilai Pancasila dan hukum negara.
4. Pancasila Sebagai Sumber Nilai dan Cita-Cita Hukum dan Perundang-undangan
Pancasila dijadikan sebagai sumber nilai dan cita-cita hukum dan perundang-undangan sesungguhnya
6
berpijak pada aturan yang menegaskan bahwa Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum
sebagaimana yang telah diatur dalam pasal 2 UUD No.10 tahun 2004 tentang pembentukan perundang-
undangan yang menyatakan Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum negara. Dalam kaitan
dengan hukum yang berlaku bagi bangsa dan negara Indonesia, Pancasila telah diletakkan kedudukannya oleh
para pendiri bangsa sebagaimana terlihat dalam UUD 1945, dalam penjelasan umum. Ditegaskan bahwa,
Pancasila adalah Cita Hukum (Rechtsidee) yang menguasai hukum dasar negara, baik hukum dasar yang tertulis
(KUHP), maupun hukum dasar yang tidak tertulis (hukum adat).6
Menurut Attamimi, guna memahami konsep tentang hukum yang merupakan kenyataan dalam kehidupan
yang berkaitan dengan nilai-nilai yang diinginkan dengan tujuan yang mengabdi pada yang ingin digapai. Maka,
kedudukan Pancasila sebagai Norma Hukum Tertinggi, dalam hal ini sebagai pokok-pokok pikiran Pembukaan
Hukum Dasar yang menciptakan pasal-pasal hukum tersebut, menentukan isi dan bentuk lapisan-lapisan hukum
yang lebih rendah. Karena di dalam tata susunan norma hukum yang rendah dan norma hukum yang lebih tinggi,
maka penentuan Pancasila sebagai norma hukum menggariskan pokok-pokok pikiran pembukaan hukum dasar.
Yang merupakan jaminan tentang adanya keserasian dan tiadanya pertentangan antara Pancasila sebagai norma
hukum yang rendah. Bagi Attamimi, ketidakserasian dan pertentangan antara suatu norma hukum dengan norma
hukum yang lebih tinggi menyebabkan terjadinya ketidakkonstitusionalan (unconstitutionality) dan
ketidaklegalan (Illegality), norma tersebut dan karena itu tidak berlaku.
Lebih lanjut lagi Attamimi, UUD 1945 dalam tata hukum yang berlaku bagi bangsa Indonesia, Pancasila
berada dalam kedudukan sebagai cita hukum (Richtsidee), Pancasila berada berada dalam tata hukum Indonesia
namun posisinya di luar sistem norma hukum. Dalam kedudukan yang demikian . Pancasila berfungsi secara
konstitusi dan secara regulatif terhadap norma-norma yang ada dalam sistem norma hukum. Pokok-pokok
pikiran yang terkandung dalam pembukaan UUD 1945, Pancasila merupakan norma dasar (Grundnorm), oleh
Nawiasky sebagaimana yang dikutip Attamimi menjelaskan bahwa dalam suatu negara sebaiknya disebut
norma fundamental negara, yang menciptakan semua norma-norma yang lebih rendah dalam sistem norma
hukum tersebut, serta menentukan berlaku atau tidaknya norma-norma dimaksud.
Dalam menentukan hukum tidak tertulis dan pembentukan hukum tertulis, cita hukum berperan dengan
cara yang berlainan. Bagi Attamimi : Pertama, cita hukum secara langsung mempengaruhi kesusilaan
perorangan dan pada giliran kesusilaan masyarakat dalam menghadirkan cara dan kesusilaan umum dalam
membentuk kebiasaan, perilaku, adat istiadat dan hukum. Kedua, cita hukum mempengaruhi perorangan dan
masyarakat secara tidak langsung melalui endapan-endapan nilai yang berjenjang, terjadi di bawah bimbingan
cita moral dan cita hukum tertulis, tahapan-tahapan yang membentuk endapan-endapan nilai tersebut tidak
terjadi. Cita hukum tidak langsung mengawasi pembentukan hukum termasuk cita moral.
Landasan filosofis terkait dengan Pancasila dijadikan sebagai sumber nilai dan cita-cita hukum dan
perundang-undangan, pada hakikatnya adalah suatu amanat konstitusi yang berlaku surut bagi negara Indonesia.
Baik di dalam pelaksanaan sistem pemerintahan maupun dalam proses penegakan hukum. Sebab Pancasila
menjadi sumber dari segala sumber hukum. Walaupun dalam pelaksanaannya, cita hukum yang digambarkan
Attamimi tidak langsung mengawasi pembentukan hukum, akan tetapi amanat secara konstitusi berpijak pada
nilai Pancasila. Maka, produk hukum dan perundang-undangan selaras dan tidak boleh bertentangan dengan
Pancasila. Oleh karena itu, Pancasila dengan kesadaran kolektif masyarakat yang pluralis dalam menjalani
kehidupan berbangsa dan bernegara.
Diterimanya Pancasila sebagai dasar negara dan idiologi nasional membawa konsekuensi logis bahwa
nilai-nilai Pancasila dijadikan landasan pokok, landasan fundamental bagi penyelenggaraan negara Indonesia.
Bila dipelajari dalam perjalanan sejarah Indonesia, terhitung mulai dari zaman pra kemerdekaan dan zaman
kemerdekaan, perjuangan mengisi kemerdekaan dengan pembangunan, dan sampai berjuang untuk perubahan
yang positif disetiap aspek kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara antara lain : reformasi dibidang
politik, ekonomi, sosial, budaya dan pertahanan. Pancasila tidak luput dari pasang surut penghayatan dan
pengamalannya oleh setiap warga negara Indonesia.
Pancasila menjadi sumber dari segala sumber hukum sesungguhnya memuat nilai-nilai luhur yang hingga
saat ini tetap menjadi penguatan dan pemersatu bangsa Indonesia. Yang pada hakikatnya berisi lima
7
nilai dasar yang fundamental dan filosifis sehingga menjadi sumber cita hukum dan perundang-undangan di
Indonesia. Nilai-nilai dasar Pancasila tersebut diantaranya :
a. Nilai ketuhanan
b. Nilai Kemanusiaan
c. Nilai Keadilan
d. Nilai Persatuan
e. Nilai Kerakyatan
a.Nilai Ketuhanan; Nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, nilai keyakinan dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa, mengandung arti akan adanya pengakuan dan keyakinan bangsa Indonesia terhadap adanya Tuhan
sebagai pencipta alam semesta. Dengan nilai ini menyatakan bangsa Indonesia merupakan bangsa yang religius
bukan bangsa yang ateis (tidak bertuhan). Nilai ketuhanan memiliki arti adanya pengakuan akan kebebasan bagi
masyarakat Indonesia untuk memeluk agama, menghormati kemerdekaan beragama, tidak ada paksaan serta
tidak berlaku diskriminatif antar umat beragama. Pada sila kesatu ini, Presiden Soekarno mengatakan bahwa
Indonesia harus percaya kepada Tuhannya sendiri. Di negara Indonesia akan menjadi sebuah negara yang setiap
rakyatnya dapat menyembah Tuhan sesuai dengan keyakinannya masing-masing. Rakyat hendaknya
menyembah Tuhannya dengan cara yang sopan, yaitu secara egoisme dalam beragama. Prinsip beragama yang
berpijak pada nilai dan norma agama yang terkadang dalam kitab suci dan menjadi sandaran dalam beragama.
b.Nilai Kemanusiaan; Nilai kemanusiaan yang adil dan beradap. Di mana, nilai keberadaban dijunjung tinggi
oleh bangsa di dunia. Sifat-sifat kemanusiaan (humanisme) yang tidak berperikemanusiaan atau tidak beradap
sepantasnya dihapuskan di muka bumi, seperti penjajahan harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan
perikemanusiaan dan perikeadilan. Nilai kemanusiaan dalam pemaknaan sosiologis, dapat mengandung arti
kesadaran sikap dan perilaku sesuai dengan nilai-nilai moral dalam hidup bersama atas dasar tuntutan hati nurani
dengan praktik yang humanis. Kemanusiaan yang adil dan beradap sejatinya tumbuh subur di Indonesia, apabila
setiap pemimpin nasional dan elit-elit politik memiliki hati nurani yang bersih, ikhlas berbuat, mengabdi kepada
tanah air, bangsa dan rakyat, jujur bertutur dan bijak dalam bertindak. Bertutur yang jujur, bila janji dalam
kampanye wajib ditunaikan dan bijak dalam bertindak, tidak menyakiti rakyat dengan kebijakan politik tidak
berpihak dan sarat KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme).
c.Nilai Persatuan; Nilai persatuan Indonesia mengandung makna usaha kearah bersatu dalam keteguhan
masyarakat untuk membina rasa nasionalisme dalam Negara Kesatuan republik Indonesia. Persatuan Indonesia
sekaligus mengakui dan menghargai sepenuhnya terhadap keanekaragaman yang dimiliki bangsa Indonesia.
Sesungguhnya sila ini telah tertanam dalam kehidupan masyarakat Indonesia dalam bentuk gotong royong
(mufakat melalui musyawarah). Ini adalah tradisi adat kuno bangsa Indonesia. Pada masa lampau, seluruh tanah
di sebuah desa adalah milik masyarakat, bukan milik penguasa. Gotong royong dipraktikkan ketika bekerja di
sawah maupun ketika membangun rumah, sebagai bagian dari pelayanan kepada masyarakat. Gotong royong
sebagai ciri pemersatu bangsa, tentu menjadi basis tradisi bangsa Indonesia. Misalnya di zaman kemerdekaan,
masyarakat Aceh dengan sukarela menyumbangkan harta mereka dengan membeli pesawat pertama untuk
pemerintah. Dan saat ini, di Kota Ternate, ada satu praktik tradisi gotong royong dalam masyarakat yang nyata
dan rutin dilakukan. Tradisi tersebut ialah bari fola (membangun rumah), tradisi membangun rumah bagi
masyarakat yang tidak mampu di Kota Ternate. Bari fola buah dari semangat bersama dari masyarakat
keturunan Tidore yang bermukim di pulau Ternate.
d.Nilai Kerakyatan; Nilai kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan mengandung makna suatu pemerintah dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat dengan cara
musyawarah mufakat melalui lembaga-lembaga perwakilan. Semua bangsa dan negara di dunia menjunjung
tinggi nilai-nilai musyawarah untuk mencapai mufakat. Pertemuan dalam kegiatan internasional bertujuan
untuk musyawarah mufakat, di mana nilai ini bernilai universal. Di Indonesia, musyawarah mufakat
terimplementasi dan disalurkan melalui bentuk perwakilan rakyat yang duduk di DPR , baik pusat maupun
daerah. Dalam kehidupan sehari-hari di keluarga bermusyawarah untuk mencapai mufakat berpegang pada
peribahasa, bulat air di pembuluh bulat kata di mufakat. Artinya, ketika ada permasalahan, hendaknya dilakukan
mufakat, inilah yang kemudian menginspirasi para pendiri bangsa untuk meinisiasi lahirnya sila keempat ini,
8
dengan berbasis pada akar budaya, adat istiadat, dan norma kehidupan.
e.Nilai Keadilan; Nilai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia mengandung makna sebagai dasar
sekaligus tujuan, yaitu tercapainya masyarakat Indonesia Yang Adil dan makmur secara lahiriah maupun
batiniah. Di samping itu, nilai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia mencakup, agama ataupun
mengajarkan tentang keadilan. Dalam kehidupan bermusyawarah berbangsa dan bernegara seyogyanya
keadilan dikedepankan. Negara dan bangsa apa pun, sepatutnya berpegang teguh kepada prinsip keadilan.
Termasuk dalam proses pembuatan undang-undang maupun mempraktikan hukum. Penerapan hukum
berkeadilan menjadi keharusan bagi para penegak hukum. Hukum harus adil, tidak tumpul ke atas dan tajam ke
bawah. Sebagaimana yang menjadi aspirasi masyarakat dalam memandang kasus penegakan hukum di
Indonesia.
Memahami nilai yang terkandung dalam Pancasila sebagaimana yang telah diletakkan kedudukannya oleh
para pendiri bangsa kemudian tergambarkan dalam UUD 1945, sesungguhnya melewati ragam fase dengan
perdebatan dan pertimbangan yang saling menguatkan diantara para pendiri bangsa. Presiden pertama Indonesia,
Ir. Soekarno adalah salah seorang founding fathers yang memiliki kemampuan bawaan untuk menjangkau hati
rakyat. Pada saat menyederhanakan Pancasila menjadi Tri Sila. Menurut Bung Karno, dua sila pertama,
nasionalisme dan internasionalisme, nasionalisme dengan kemanusiaannya dan demokrasi lain dari demokrasi
barat, tetapi, bersama dengan kesejahteraan (sosio-demokrasi). Kepercayaan kepada Tuhan dengan sikap saling
menghormati satu sama lain adalah sila yang lain. Dengan demikian, semula lima telah menjadi tiga. Lebih
lanjut, bung Karno bila saudara-saudara menyukai tiga sila ini dan meminta satu sila saja. Kalau saya padatkan
lima menjadi tiga dan tiga menjadi satu, lalu saya mempunyai istilah sejati Indonesia yakni, gotong royong
atau saling bekerja sama. Bagi Bung Karno, negara Indonesia yang harus kita bangun haruslah negara gotong
royong. Gotong royong adalah suatu konsep yang dinamis, lebih dinamis dari asas kekeluargaan. Asas
kekeluargaan menurut Bung Karno adalah konsep statis, namun gotong royong menggambarkan usaha kerja
keras, tindakan melayani, suatu tugas. Gotong royong berarti membanting tulang bersama, bersimbah peluh
bersama, sutu perjuangan bersama untuk menolong satu sama lain. Tindakan pelayanan oleh semua orang untuk
kepentingan bersama.
Berdasarkan terbentuknya suatu aliran hukum di atas maka Pancasila layak sebagai aliran hukum. Secara
rangkaian proses terbentuknya, Pancasila dikemukakan oleh Soekarno pada 1 Juni 1945 kemudian
disempurnakan oleh Panitia Sembilan yang menghasilkan mukadimah/Genlement Agreement/Piagam Jakarta
22 Juni 1945. Kemudian disempurnakan kembali dengan mencoret tujuh kata dalam rumusan sila pertama lalu
ditetapkan secara final pada 18 Agustus 1945. Rangkaian proses ini sudah menunjukkan Pancasila layak sebagai
suatu aliran pemikiran. Begitu pula secara prinsip relevansi atau kesesuaian dengan kebutuhan dan
perkembangan masyarakat, Pancasila sudah memenuhinya. Dengan demikian, apabila Pancasila dijadikan
sebagai suatu aliran hukum maka aliran hukum yang lahir dan berkembang menurut realitas kehidupan,
kebutuhan dan perkembangan bangsa Indonesia. Tujuan penting menjadikan Pancasila sebagai suatu aliran
hukum tentu bukan untuk melawan aliran-aliran hukum yang masih relevan untuk diterapkan sebagai hukum
positif tetapi terutama agar negara Indonesia memiliki suatu sistem hukum nasional yang jelas , utuh dan
imparsial.
Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum memang telah memiliki rumah hukum atau legimitasi
yuridis, akan tetapi belum memiliki kedudukan dalam hierarki peraturan perundang-undangan. Terkait dengan
Pancasila dalam sistem hierarki perundang-undangan, sekarang ini kerap terpelihara suatu pandangan yang
tidak produktif bahwa Pancasila tidak etis dimasukkan dalam hierarki peraturan perundang-undangan karena
Pancasila merupakan dasar negara sudah menjadi sumber tertib hukum. Menurut Fais Yonas Bo’a. mengutip
Stufenbeautheory Kelsen dan Nawiasky yang mengharuskan puncak hierarkis norma dasar adalah norma dasar
atau Grundnorm/Staatsfundamentalnorm maka Pancasila sebagai norma dasar seharusnya berada dalam puncak
tata urutan norma tersebut. Kemudian, Fais Yonas Bo’a menguraikan tata urutan peraturan perundang-undangan
dari atas ke bawah menjadi sebagai berikut:
a) Pancasila,
9
b) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
c) Ketetapan majelis permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia,
d) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang - Undang,
e) Peraturan Pemerintah,
f) Peraturan Presiden,
g) Peraturan daerah provinsi, dan
h) Peraturan daerah Kabupaten/Kota.
Dari uraian Fais Yonas Bo’a di atas, dapat dipahami bahwa kedudukan Pancasila sebagai puncak hirarki
peraturan perundang-undangan bukan bermaksud mengurangi keberadaan Pancasila sebagai pandangan hidup
dan dasar negara melainkan sebagai upaya untuk menghindari penyimpangan-penyimpangan peraturan
perundang-undangan. Pancasila sebagai sumber tertib hukum atau sumber segala sumber hukum dalam tatanan
hukum Indonesia telah menjadi sesuatu yang bermakna semata formalitas.
5. Aktualisasi Nilai-Nilai Pancasila Dalam Penegakan Hukum Di Indonesia
Aktualisasi nilai-nilai Pancasila dalam penegakan hukum di Negara Kesatuan Republik Indonesia
merupakan salah satu bagian penting dari amanah dan cita-cita luhur Proklamasi dan Undang-Undang Dasar
1945. Proklamasi menjadi penggambaran akan kemerdekaan dan perubahan yang fundamental bagi bangsa
Indonesia. Kemerdekaan yang diraih menjadi buah dari perjuangan segenap masyarakat yang berbeda bangsa,
etnis, agama, dan kebudayaan. Dan UUD 1945 menjadi pijakan dalam proses pengaktualisasian nilai-nilai
Pancasila dengan mengakomodasi semua sistem hukum yang berlaku dalam masyarakat. Proses
mengakomodasi semua sistem nilai tersebut tergambar dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Namun, di sisi
lain Pancasila sebagai Dasar Negara sesungguhnya perlu dipandang sebagai sumber dari segala sumber hukum,
hingga dalam proses penegakan hukum di masyarakat. Semua sumber hukum dalam masyarakat dalam
praktiknya tidak bertentangan dengan Pancasila.
Upaya untuk mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila, guna menjadi dasar pijakan penegakan hukum
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Maka menurut Din Syamsuddin, Pancasila tidak semata merupakan
gentelmen agreement diantara berbagai kelompok bangsa yang majemuk. Pancasila menjadi pemersatu (unified
force) yang relevan untuk Indonesia yang majemuk. Pancasila terkadang disebut sebagai political statement
karena mengandung falsafah dalam dirinya. Lebih lanjut, Din Syamsudin menegaskan bahwa Bhinneka
Tunggal Ika merupakan hal yang genuine dan berjasa dalam memperkuat kemajemukan Indonesia yang
sesungguhnya sangat rentan terhadap perpecahan. Realitas kemajemukan yang dialami oleh Indonesia ditambah
tendensi kemajemukan tersebut membuah Indonesia menghadapi tantangan ganda. Bagi Din Syamsuddin,
kenyataannya kemajemukan itu sendiri telah mempunyai konflik dan saat ini Indonesia menghadapi tendensi
melalui globalisasi. Dampak dari globalisasi salah satunya ialah pecahnya suatu negara menjadi federasi. Di
Indonesia, tantangannya lebih berat, karena Indonesia belum cukup kuat untuk menjadi kebangsaan
(nationhood). Tantangan di era reformasi yang menyajikan kebebasan, sesuatu yang berharga yang tidak ada di
masa lampau. Maka ini dapat menggoyahkan sendi-sendi persatuan bangsa.
Tantangan Indonesia untuk menjadi bangsa yang kuat, sebagaimana yang diuraikan oleh Din Syamsuddin
bahwa perkembangan zaman yang beriringan dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi saat ini
tentunya dapat menggerus sendi-sendi persatuan dan kesatuan bangsa. Oleh sebab itu, Pancasila sebagai sumber
segala sumber hukum perlu diasosiasikan dalam perkembangan zaman yang terus berubah ini. Dimana ada
polarisasi dalam politik yang kecenderungan pada dinamika politik identitas. Maka, Pancasila hadir
mengapresiasi apa pun perkembangan dinamika politik, namun tetapi berkolerasi dengan sistem nilai yang
tertuang dalam Pancasila itu sendiri. Maka, proses mengaktualisasi nilai-nilai Pancasila menyatu dalam semua
aspek kehidupan masyarakat yang di dalamnya mencakup kehidupan politik maupun proses penegakan hukum.
Nilai-nilai Pancasila penting peranannya dalam penegakan hukum agar benar-benar menjadi sarana
pembangunan dan pembaharuan masyarakat yang kita harapkan. Hukum dapat berperan sebagai objek
pembangunan dalam rangka mewujudkan hukum yang ideal sesuai dengan nilai-nilai yang hidup di masyarakat.
Tetapi juga hukum dapat menjadi subjek pembangunan manakala hukum itu telah berfungsi di masyarakat
10
sebagai penggerak dan pengaman pembangunan dan hasil-hasilnya. Di sinilah pentingnya peranan Pancasila
untuk menghasilkan hukum yang benar-benar mengakar di dalam perilaku masyarakat. Landasan penegakan
hukum yang dapat menjawab tuntutan masyarakat haruslah hukum yang responsif, jika tidak maka hukum akan
kehilangan rohnya. Moral dan keadilan adalah merupakan rohnya hukum. Reformasi hukum seyogyanya
melihat kembali pada tatanan moralitas yang hidup, tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Suara-suara
rakyat dari bahwa haruslah sudah tiba waktunya untuk disahuti, dengan merumuskan berbagai kebijakan yang
dituangkan dalam produk pembangunan hukum.
Reformasi hukum di Indonesia dalam sesungguhnya menjadi salah satu cita-cita reformasi yang bergulir
pada 1998, reformasi dalam bidang hukum tentu berpijak pada proses penegakan hukum di era demi era
pemerintah yang memerintah di Indonesia yang dinilai secara kolektif belum mengalami perubahan ke arah
perbaikan dan berkeadilan. Maka, pembangunan hukum yang berbasis pada nilai-nilai luhur Pancasila yang
kemudian dijadikan sebagai sumber nilai dan cita-cita hukum dan perundang-undangan. Pancasila yang menjadi
sumber dari segala sumber hukum seharusnya menjadi landasan hukum di Indonesia. Baik di dalam pelaksanaan
sistem pemerintahan maupun dalam proses penegakan hukum. Dikarenakan, amanat secara konstitusi berpijak
pada nilai Pancasila. Maka, produk hukum dan perundang-undangan selaras dan tidak boleh bertentangan
dengan Pancasila. Oleh karena itu, Pancasila dengan kesadaran kolektif masyarakat Indonesia yang pluralis ini
perlu diperlakukan sama di mata hukum. Apabila dalam proses penegakan hukum terlihat pincang atau tidak
berbasis kepada nilai-nilai Pancasila yang di dalamnya ada nilai keadilan, maka akan terjadi ketidakpatuhan
hukum dalam masyarakat.
Bagi Farida Sekti Pahlevi, menegaskan bahwa dalam proses Penegakan Hukum (law enforcement) dalam
arti luas mencakup kegiatan untuk melaksanakan dan menerapkan hukum serta melakukan tindakan hukum
terhadap setiap pelanggaran atau penyimpangan hukum yang dilakukan oleh subjek hukum, baik melalui
prosedur peradilan maupun melalui prosedur arbitrase dan mekanisme penyelesaian sengketa lainnya
(alternative desputes or conflicts resolution). Bahkan, dalam pengertian yang lebih luas lagi, kegiatan
penegakan hukum mencakup pula segala aktifitas yang dimaksudkan agar hukum sebagai perangkat kaidah
normatif yang mengatur dan mengikat para subjek hukum dalam aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara
benar-benar ditaati dan sungguh-sungguh dijalankan sebagaimana mestinya. Dalam arti sempit, penegakan
hukum itu menyangkut kegiatan penindakan terhadap setiap pelanggaran atau penyimpangan terhadap
peraturan perundang-undangan, khususnya yang lebih sempit lagi melalui proses peradilan pidana yang
melibatkan peran aparat kepolisian, kejaksaan, advokat atau pengacara, dan badan-badan peradilan.
Pada praktiknya hukum mempunyai tugas yang suci, yaitu memberi kepada setiap orang yang ia berhak
menerimanya. Peraturan hukum dibuat untuk setiap orang atau untuk menyelesaikan suatu kasus tertentu.
Secara teoritis dapat dikemukakan beberapa asas untuk menentukan apakah sesuatu itu adil atau tidak adil,
sebagaimana menurut Riduan Syahrani, yang dikutip Farida Sekti Pahlevi, yakni:
a) Asas persamaan, di mana diadakan pembagian secara mutlak. Setiap warga masyarakat mendapatkan
bagian secara merata tanpa memperhatikan kelebihan/kekurangan individu.
b) Asas kebutuhan, di mana setiap warga masyarakat mendapatkan bagian sesuai dengan keperluannya yang
nyata.
c) Asas kualifikasi, di mana keadilan didasarkan pada kenyataan bahwa yang bersangkutan akan dapat
mengerjakan tugas yang diberikan kepadanya.
d) Asas prestasi objektif, bahwa bagian seseorang warga masyarakat didasarkan pada syarat-syarat subyektif
misalnya intensi, ketekunan, kerajinan, dan lain-lain.
6. Pancasila Sebagai Paradigma Reformasi Hukum
Dalam era reformasi akhir-akhir ini seruan dan tuntutan rakyat terhadap perubahan hukum sudah
merupakan suatu keharusan karena reformasi yang melakukan penataan kembali tidak mungkin dilakukan
tanpa melakukan perubahan-perubahan terhadap peraturan perundang-undangan. Agenda yang lebih konkret
yang diperjuangkan oleh para reformis yang paling mendesak adalah reformasi bidang hukum. Hal ini
berdasarkan suatu kenyataan bahwa setelah peristiwa 21 Mei 1998 saat runtuhnya kekuasaan Orde Baru, salah
11
satu subsistem yang mengalami kerusakan parah selama Orde Baru adalah bidang hukum. Produk hukum baik
materi maupun penegakannya dirasakan semakin menjauh dari nilai-nilai kemanusiaan, kerakyatan serta
keadilan. Subsistem hukum nampaknya tidak mampu menjadi pelindung bagi kepentingan masyarakat dan yang
berlaku hanya bersifat imperatif bagi penyelenggara pemerintah.
Oleh karena kerusakan atas subsistem hukum yang sangat menentukan dalam berbagai bidang misalnya
politik, ekonomi, dan bidang lainnya maka bangsa Indonesia ingin melakukan suatu reformasi, menata kembali
subsistem yang mengalami kerusakan tersebut. Namun demikian hendaklah dipahami bahwa dalam melakukan
reformasi tidak mungkin dilakukan secara spekulatif saja melainkan harus memiliki dasar, landasan serta
sumber nilai yang jelas, dan dalam masalah ini nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila yang merupakan
dasar cita-cita reformasi.
7. Pancasila Sebagai Sumber Nilai Perubahan Hukum
Dalam negara terdapat sutu dasar fundamental atau pokok kaidah yang merupakan sumber hukum positif
yang dalam ilmu hukum tata negara disebut “Staatsfundamentalnorm”. Dalam negara Indonesia
“Staatsfundamentalnorm” tersebut intinya tidak lain adalah Pancasila. Maka Pancasila merupakan cita-cita
hukum, kerangka pikir, sumber nilai serta sumber arah penyusunan dan perubahan hukum positif di Indonesia.
Dalam pengertian inilah maka Pancasila berfungsi sebagai paradigma hukum terutama dalam kaitannya dengan
berbagai macam upaya perubahan hukum, Pancasila harus merupakan paradigma dalam suatu pembaharuan
hukum. Materi-materi dalam suatu produk hukum atau perubahan hukum dapat senantiasa berubah dan diubah
sesuai dengan perkembangan zaman, perkembangan iptek serta perkembangan aspirasi masyarakat namun
sumber nilai (yaitu nilai-nilai Pancasila) harus senantiasa tetap. Hal ini mengingat kenyataan bahwa hukum itu
tidak berada pada situasi vacum.
Oleh karena itu agar hukum berfungsi sebagai pelayanan kebutuhan masyarakat maka hukum harus
senantiasa diperbaharui agar aktual atau sesuai dengan keadaan serta kebutuhan masyarakat yang dilayaninya
dan dalam pembaharuan hukum yang terus-menerus tersebut Pancasila harus tetap sebagai kerangka berpikir,
sumber norma, dan sumber nilai-nilai lainnya.
Sebagai paradigma dalam pembaharuan tatanan hukum Pancasila itu dapat dipandang sebagai “Cita-cita
hukum” yang berkedudukan sebagai Staatsfundamentalnorm dalam negara Indonesia. Sebagai cita-cita hukum
Pancasila dapat memenuhi fungsi konstitutif maupun fungsi regulatif. Dengan fungsi regulatifnya Pancasila
menentukan dasar suatu tata hukum yang memberi arti dan makna bagi hukum itu sendiri sehingga tanpa dasar
yang diberikan oleh Pancasila maka hukum akan kehilangan arti dan maknanya sebagai hukum itu sendiri.
Demikian juga dengan fungsi regulatifnya Pancasila menentukan apakah suatu hukum positif itu sebagai produk
yang adil ataukah tidak adil. Sebagai Staatsfundamentalnorm Pancasila merupakan pangkal tolak derivasi
(sumber penjabaran) dari tertib hukum di Indonesia termasuk UUD 1945. Dalam pengertian inilah menurut
istilah ilmu hukum disebut sebagai sumber dari segala peraturan perundang-undangan di Indonesia (Mahfud,
1999:59).
Sumber hukum meliputi dua macam pengertian, (1) sumber formal hukum, yaitu sumber hukum ditinjau
dari bentuk dan tata cara penyusunan hukum, yang mengikat terhadap komunitasnya, misalnya Undang-undang,
Permen, Perda; dan (2) sumber material hukum, yaitu suatu sumber hukum yang menentukan materi atau isi
suatu norma hukum Darmodiharjo, (1996:206). Pancasila yang di dalamnya terkandung nilai-nilai religius, nilai
hukum kodrat, nilai hukum moral pada hakikatnya merupakan suatu sumber material hukum positif di Indonesia.
Dengan demikian Pancasila menentukan isi dan bentuk peraturan perundang-undangan di Indonesia yang
tersusun secara hierarkis.
8. Dasar Yuridis Reformasi Hukum
Dalam wacana reformasi hukum dewasa ini bermunculan berbagai pendapat yang pada taraf tertentu
nampak hanya luapan emosional yang dan meninggalkan aspek konsepsional. Reformasi total sering
disalahartikan sebagai dapat melakukan perubahan dalam bidang apapun dan dengan jalan apapun. Jikalau
halnya demikian maka kita kembali menjadi bangsa tidak beradap, bangsa yang tidak berbudaya masyarakat
12
yang tanpa hukum yang menurut Hobbes disebut keadaan “homo hominis lupus”manusia akan menjadi serigala
manusia lainnya dan hukum yang berlaku adalah hukum rimba. Oleh karena itu reformasi hukum harus
konsepsional dan konstitusional, sehingga reformasi hukum memiliki landasan dan tujuan yang jelas.
Dalam upaya reformasi hukum dewasa ini telah banyak dilontarkan berbagai macam pendapat tentang
aspek apa saja yang dapat dilakukan dalam perubahan hukum di Indonesia, bahkan telah banyak usulan untuk
perlunya amandemen atau kalau perlu perubahan secara menyeluruh terhadap pasal-pasal UUD 1945.
Hal ini berdasarkan pada suatu kenyataan bahwa UUD 1945 beberapa pasalnya dalam praktik
penyelenggaraan negara bersifat berwayuh arti (multi interpretable), dan memberikan porsi kekuasaan yang
sangat besar kepada Presiden (executif heavy). Akibatnya memberikan kontribusi atas terjadinya krisis politik
serta mandulnya fungsi hukum dalam negara republik Indonesia. Diakuinya berdasarkan banyaknya aspirasi
yang berkembang cenderung ke arah adanya amandemen terhadap pasal-pasal UUD bukannya perubahan secara
menyeluruh (Mahfud, 1999:56). Namun hendaklah dipahami secara objektif bahwa bilamana terjadi suatu
amandemen atau bahkan perubahan terhadap seluruh pasal UUD 1945 maka hal itu tidak akan menyangkut
perubahan terhadap pembukaan UUD 1945, karena pembukaan UUD 1945 yang berkedudukan sebagai Pokok
Kaidah Negara yang Fundamental, merupakan sumber hukum positif, memuat Pancasila sebagai dasar Filsafat
Negara serta terlekat pada kelangsungan hidup Negara Proklamasi 17 Agustus 1945. Oleh karena itu perubahan
terhadap Pembukaan UUD 1945 adalah suatu revolusi dan sama halnya dengan menghilangkan eksistensi
bangsa dan negara Indonesia, atau dengan perkataan lain sama halnya dengan pembubaran negara Indonesia.
9. Kesimpulan
Pada hakikatnya tegaknya hukum dan keadilan ini adalah wujud kesejahteraan manusia (masyarakat) lahir
batin, sosial dan moral. Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum, mengakui bahwa kewajiban untuk
menjamin dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia bukanlah tanggung jawab
kelembagaan hukum semata-mata, melainkan tanggung jawab semua warga negara sebagaimana ditetapkan
oleh falsafah Pancasila dan UUD 1945. Wujud tanggung jawab menegakkan keadilan ialah kualitas kesadaran
hukum masyarakat yang tampak dalam tertib sosial atau disiplin nasional.
Memahami uraian Farida Sekti Pahlevi yang secara eksplisit menegaskan bahwa, Indonesia sebagai negara
hukum yang mengakui bahwa kewajiban untuk menjamin dan mewujudkan rasa keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia sebagaimana yang tertuang dalam sila kelima Pancasila perlu dijalankan secara adil dan
konsisten. Disisi lain, proses penegakan hukum dan mewujudkan rasa berkeadilan dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara tidak semata menjadi tanggung jawab pemerintah atau kelembagaan hukum semata-mata,
melainkan tanggung jawab semua warga negara Indonesia sebagaimana yang telah ditetapkan oleh falsafah
Pancasila dan UUD 1945.
10. Saran
Sebagai warga negara yang baik seyogyanya kita harus patuh dan taat terhadap hukum yang berlaku di
dalam lingkungan masyarakat, dan negara. Sebagaimana yang telah di cantumkan dalam Pancasila dan Undang-
Undang Dasar 1945. Hal ini supaya tercipta tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara menuju arah yang labih
baik. Selain itu, dalam membuat suatu undang-undang yang mengatur kehidupan masyarakat dan negara
haruslah berdasarkan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Bab IV Penutup
13
DAFTAR PUSTAKA
1. Zulmasyhur dkk. Cetakan II/2021. Pendidikan Pancasila Buku Ajar Untuk Perguruan Tinggi. Jakarta:
Leader.
2. UUD 1945 dan Amandemen. Jakarta: Bintang Indonesia.
3. Kaelan. 2010. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Paradigma.
TERIMAKASIH
14

More Related Content

Similar to Tugas2_Pancasila_HendroGunawan.pdf

Pancasila Sebagai Sistem Moral dan Etika Bermasyarakat (Civic Virtue)
Pancasila Sebagai Sistem Moral dan Etika Bermasyarakat (Civic Virtue)Pancasila Sebagai Sistem Moral dan Etika Bermasyarakat (Civic Virtue)
Pancasila Sebagai Sistem Moral dan Etika Bermasyarakat (Civic Virtue)
feggyernes
 
2017 d moh_najmi
2017 d moh_najmi2017 d moh_najmi
2017 d moh_najmi
moh najmi albegama
 
Pancasila vs liberalisme
Pancasila vs liberalismePancasila vs liberalisme
Pancasila vs liberalisme
davaimadulb
 
4 pancasila-sebagai-ideologi-negara
4 pancasila-sebagai-ideologi-negara4 pancasila-sebagai-ideologi-negara
4 pancasila-sebagai-ideologi-negaraCahiakh Imawan
 
Makalah pendidikan pancasila
Makalah pendidikan pancasilaMakalah pendidikan pancasila
Makalah pendidikan pancasila
eko puji hermanto
 
Pancasila sebagai sistem_politik_dan_hukum
Pancasila sebagai sistem_politik_dan_hukumPancasila sebagai sistem_politik_dan_hukum
Pancasila sebagai sistem_politik_dan_hukum
Rizki Ramadhan
 
Pendidikan pancasila
Pendidikan pancasilaPendidikan pancasila
Pendidikan pancasila
Subhan Muslih
 
Tugas ideologi
Tugas ideologiTugas ideologi
Tugas ideologi
Tiga Maha Publisher
 
Pelaksanaan pancasila dan uud 1945 secara murni dan konsekuensi
Pelaksanaan pancasila dan uud 1945 secara murni dan konsekuensiPelaksanaan pancasila dan uud 1945 secara murni dan konsekuensi
Pelaksanaan pancasila dan uud 1945 secara murni dan konsekuensijuniska efendi
 
PPT-UEU-Pendidikan-Pancasila-Pertemuan-8.pptx
PPT-UEU-Pendidikan-Pancasila-Pertemuan-8.pptxPPT-UEU-Pendidikan-Pancasila-Pertemuan-8.pptx
PPT-UEU-Pendidikan-Pancasila-Pertemuan-8.pptx
anasthasiarosselini
 
Ppt roniiiiiiyyyy
Ppt roniiiiiiyyyyPpt roniiiiiiyyyy
Ppt roniiiiiiyyyy
roni syaifullah
 
LK 1.1 PKN_.pdf
LK 1.1 PKN_.pdfLK 1.1 PKN_.pdf
LK 1.1 PKN_.pdf
supriadymr
 
BAB I PPKN KELAS 9 PERTEMUAN KE 2
BAB I PPKN KELAS 9 PERTEMUAN KE 2BAB I PPKN KELAS 9 PERTEMUAN KE 2
BAB I PPKN KELAS 9 PERTEMUAN KE 2
Hakman Hamdani
 
Keberagaman dan kesederajatan
Keberagaman dan kesederajatanKeberagaman dan kesederajatan
Keberagaman dan kesederajatan
Immawan Awaluddin
 
Keberagaman dan kesederajatan
Keberagaman dan kesederajatanKeberagaman dan kesederajatan
Keberagaman dan kesederajatan
Immawan Awaluddin
 
2017 c pascaliandra d.b
2017 c pascaliandra d.b2017 c pascaliandra d.b
2017 c pascaliandra d.b
Pasca list
 

Similar to Tugas2_Pancasila_HendroGunawan.pdf (20)

Pancasila Sebagai Sistem Moral dan Etika Bermasyarakat (Civic Virtue)
Pancasila Sebagai Sistem Moral dan Etika Bermasyarakat (Civic Virtue)Pancasila Sebagai Sistem Moral dan Etika Bermasyarakat (Civic Virtue)
Pancasila Sebagai Sistem Moral dan Etika Bermasyarakat (Civic Virtue)
 
2017 d moh_najmi
2017 d moh_najmi2017 d moh_najmi
2017 d moh_najmi
 
Makalah pancasila
Makalah pancasilaMakalah pancasila
Makalah pancasila
 
Pancasila vs liberalisme
Pancasila vs liberalismePancasila vs liberalisme
Pancasila vs liberalisme
 
4 pancasila-sebagai-ideologi-negara
4 pancasila-sebagai-ideologi-negara4 pancasila-sebagai-ideologi-negara
4 pancasila-sebagai-ideologi-negara
 
Makalah pendidikan pancasila
Makalah pendidikan pancasilaMakalah pendidikan pancasila
Makalah pendidikan pancasila
 
Pancasila sebagai sistem_politik_dan_hukum
Pancasila sebagai sistem_politik_dan_hukumPancasila sebagai sistem_politik_dan_hukum
Pancasila sebagai sistem_politik_dan_hukum
 
Pendidikan pancasila
Pendidikan pancasilaPendidikan pancasila
Pendidikan pancasila
 
Tugas ideologi
Tugas ideologiTugas ideologi
Tugas ideologi
 
Pelaksanaan pancasila dan uud 1945 secara murni dan konsekuensi
Pelaksanaan pancasila dan uud 1945 secara murni dan konsekuensiPelaksanaan pancasila dan uud 1945 secara murni dan konsekuensi
Pelaksanaan pancasila dan uud 1945 secara murni dan konsekuensi
 
PPT-UEU-Pendidikan-Pancasila-Pertemuan-8.pptx
PPT-UEU-Pendidikan-Pancasila-Pertemuan-8.pptxPPT-UEU-Pendidikan-Pancasila-Pertemuan-8.pptx
PPT-UEU-Pendidikan-Pancasila-Pertemuan-8.pptx
 
tugas 3 Pancasila
tugas 3 Pancasilatugas 3 Pancasila
tugas 3 Pancasila
 
Ppt roniiiiiiyyyy
Ppt roniiiiiiyyyyPpt roniiiiiiyyyy
Ppt roniiiiiiyyyy
 
LK 1.1 PKN_.pdf
LK 1.1 PKN_.pdfLK 1.1 PKN_.pdf
LK 1.1 PKN_.pdf
 
BAB I PPKN KELAS 9 PERTEMUAN KE 2
BAB I PPKN KELAS 9 PERTEMUAN KE 2BAB I PPKN KELAS 9 PERTEMUAN KE 2
BAB I PPKN KELAS 9 PERTEMUAN KE 2
 
Pih bab1 klmpk1_smt1_akt1
Pih bab1 klmpk1_smt1_akt1Pih bab1 klmpk1_smt1_akt1
Pih bab1 klmpk1_smt1_akt1
 
Keberagaman dan kesederajatan
Keberagaman dan kesederajatanKeberagaman dan kesederajatan
Keberagaman dan kesederajatan
 
Keberagaman dan kesederajatan
Keberagaman dan kesederajatanKeberagaman dan kesederajatan
Keberagaman dan kesederajatan
 
Print 1
Print 1Print 1
Print 1
 
2017 c pascaliandra d.b
2017 c pascaliandra d.b2017 c pascaliandra d.b
2017 c pascaliandra d.b
 

More from HendroGunawan8

Pengolahan Citra Diskusi Pertemuan Ke-7.pdf
Pengolahan Citra Diskusi Pertemuan Ke-7.pdfPengolahan Citra Diskusi Pertemuan Ke-7.pdf
Pengolahan Citra Diskusi Pertemuan Ke-7.pdf
HendroGunawan8
 
Diskusi Modul Sistem Pakar Sesi Ke-7.pdf
Diskusi Modul Sistem Pakar Sesi Ke-7.pdfDiskusi Modul Sistem Pakar Sesi Ke-7.pdf
Diskusi Modul Sistem Pakar Sesi Ke-7.pdf
HendroGunawan8
 
Estetika Humanisme Diskusi Modul Part Ke-7.pdf
Estetika Humanisme Diskusi Modul Part Ke-7.pdfEstetika Humanisme Diskusi Modul Part Ke-7.pdf
Estetika Humanisme Diskusi Modul Part Ke-7.pdf
HendroGunawan8
 
Estetika Humanisme Diskusi Video Sesi Ke-7.pdf
Estetika Humanisme Diskusi Video Sesi Ke-7.pdfEstetika Humanisme Diskusi Video Sesi Ke-7.pdf
Estetika Humanisme Diskusi Video Sesi Ke-7.pdf
HendroGunawan8
 
Jaringan VOIP Ringkasan Modul Pertemuan Ke-6.pdf
Jaringan VOIP Ringkasan Modul Pertemuan Ke-6.pdfJaringan VOIP Ringkasan Modul Pertemuan Ke-6.pdf
Jaringan VOIP Ringkasan Modul Pertemuan Ke-6.pdf
HendroGunawan8
 
Pengolahan Citra Diskusi Pertemuan Ke-6.pdf
Pengolahan Citra Diskusi Pertemuan Ke-6.pdfPengolahan Citra Diskusi Pertemuan Ke-6.pdf
Pengolahan Citra Diskusi Pertemuan Ke-6.pdf
HendroGunawan8
 
Diskusi Modul Sistem Pakar Sesi Ke-6 - Salin.pdf
Diskusi Modul Sistem Pakar Sesi Ke-6 - Salin.pdfDiskusi Modul Sistem Pakar Sesi Ke-6 - Salin.pdf
Diskusi Modul Sistem Pakar Sesi Ke-6 - Salin.pdf
HendroGunawan8
 
Metode Mamdani sering juga dikenal dengan nama Metode Max-Min. Diskusi PPT Si...
Metode Mamdani sering juga dikenal dengan nama Metode Max-Min. Diskusi PPT Si...Metode Mamdani sering juga dikenal dengan nama Metode Max-Min. Diskusi PPT Si...
Metode Mamdani sering juga dikenal dengan nama Metode Max-Min. Diskusi PPT Si...
HendroGunawan8
 
Estetika Humanisme Diskusi Modul Ke-6.pdf
Estetika Humanisme Diskusi Modul Ke-6.pdfEstetika Humanisme Diskusi Modul Ke-6.pdf
Estetika Humanisme Diskusi Modul Ke-6.pdf
HendroGunawan8
 
Estetika Humanisme Diskusi Modul Part Ke-6.pdf
Estetika Humanisme Diskusi Modul Part Ke-6.pdfEstetika Humanisme Diskusi Modul Part Ke-6.pdf
Estetika Humanisme Diskusi Modul Part Ke-6.pdf
HendroGunawan8
 
Pengolahan Citra Diskusi Pertemuan Ke-5.pdf
Pengolahan Citra Diskusi Pertemuan Ke-5.pdfPengolahan Citra Diskusi Pertemuan Ke-5.pdf
Pengolahan Citra Diskusi Pertemuan Ke-5.pdf
HendroGunawan8
 
Diskusi Modul Sistem Pakar Sesi Ke-5.pdf
Diskusi Modul Sistem Pakar Sesi Ke-5.pdfDiskusi Modul Sistem Pakar Sesi Ke-5.pdf
Diskusi Modul Sistem Pakar Sesi Ke-5.pdf
HendroGunawan8
 
Diskusi Modul Sistem Pakar Sesi Ke-5.pdf
Diskusi Modul Sistem Pakar Sesi Ke-5.pdfDiskusi Modul Sistem Pakar Sesi Ke-5.pdf
Diskusi Modul Sistem Pakar Sesi Ke-5.pdf
HendroGunawan8
 
Estetstika Humanisme_Hendro Gunawan_200401072103_IT-05.docx
Estetstika Humanisme_Hendro Gunawan_200401072103_IT-05.docxEstetstika Humanisme_Hendro Gunawan_200401072103_IT-05.docx
Estetstika Humanisme_Hendro Gunawan_200401072103_IT-05.docx
HendroGunawan8
 
Jaringan VOIP Ringkasan Video Pertemuan Ke-4.pdf
Jaringan VOIP Ringkasan Video Pertemuan Ke-4.pdfJaringan VOIP Ringkasan Video Pertemuan Ke-4.pdf
Jaringan VOIP Ringkasan Video Pertemuan Ke-4.pdf
HendroGunawan8
 
Estetika Humanisme Diskusi Modul Part Ke-4 (DipulihkanOtomatis).pdf
Estetika Humanisme Diskusi Modul Part Ke-4 (DipulihkanOtomatis).pdfEstetika Humanisme Diskusi Modul Part Ke-4 (DipulihkanOtomatis).pdf
Estetika Humanisme Diskusi Modul Part Ke-4 (DipulihkanOtomatis).pdf
HendroGunawan8
 
Estetika Humanisme Diskusi Video Sesi Ke-4.pdf
Estetika Humanisme Diskusi Video Sesi Ke-4.pdfEstetika Humanisme Diskusi Video Sesi Ke-4.pdf
Estetika Humanisme Diskusi Video Sesi Ke-4.pdf
HendroGunawan8
 
Pengolahan Citra Diskusi Pertemuan Ke-4.pdf
Pengolahan Citra Diskusi Pertemuan Ke-4.pdfPengolahan Citra Diskusi Pertemuan Ke-4.pdf
Pengolahan Citra Diskusi Pertemuan Ke-4.pdf
HendroGunawan8
 
Diskusi Modul Sistem Pakar Sesi Ke-4.pdf
Diskusi Modul Sistem Pakar Sesi Ke-4.pdfDiskusi Modul Sistem Pakar Sesi Ke-4.pdf
Diskusi Modul Sistem Pakar Sesi Ke-4.pdf
HendroGunawan8
 
Diskusi PPT Sistem Pakar Sesi Ke-4 Simple Naïve Bayesian Classifier .pdf
Diskusi PPT Sistem Pakar Sesi Ke-4 Simple Naïve Bayesian Classifier .pdfDiskusi PPT Sistem Pakar Sesi Ke-4 Simple Naïve Bayesian Classifier .pdf
Diskusi PPT Sistem Pakar Sesi Ke-4 Simple Naïve Bayesian Classifier .pdf
HendroGunawan8
 

More from HendroGunawan8 (20)

Pengolahan Citra Diskusi Pertemuan Ke-7.pdf
Pengolahan Citra Diskusi Pertemuan Ke-7.pdfPengolahan Citra Diskusi Pertemuan Ke-7.pdf
Pengolahan Citra Diskusi Pertemuan Ke-7.pdf
 
Diskusi Modul Sistem Pakar Sesi Ke-7.pdf
Diskusi Modul Sistem Pakar Sesi Ke-7.pdfDiskusi Modul Sistem Pakar Sesi Ke-7.pdf
Diskusi Modul Sistem Pakar Sesi Ke-7.pdf
 
Estetika Humanisme Diskusi Modul Part Ke-7.pdf
Estetika Humanisme Diskusi Modul Part Ke-7.pdfEstetika Humanisme Diskusi Modul Part Ke-7.pdf
Estetika Humanisme Diskusi Modul Part Ke-7.pdf
 
Estetika Humanisme Diskusi Video Sesi Ke-7.pdf
Estetika Humanisme Diskusi Video Sesi Ke-7.pdfEstetika Humanisme Diskusi Video Sesi Ke-7.pdf
Estetika Humanisme Diskusi Video Sesi Ke-7.pdf
 
Jaringan VOIP Ringkasan Modul Pertemuan Ke-6.pdf
Jaringan VOIP Ringkasan Modul Pertemuan Ke-6.pdfJaringan VOIP Ringkasan Modul Pertemuan Ke-6.pdf
Jaringan VOIP Ringkasan Modul Pertemuan Ke-6.pdf
 
Pengolahan Citra Diskusi Pertemuan Ke-6.pdf
Pengolahan Citra Diskusi Pertemuan Ke-6.pdfPengolahan Citra Diskusi Pertemuan Ke-6.pdf
Pengolahan Citra Diskusi Pertemuan Ke-6.pdf
 
Diskusi Modul Sistem Pakar Sesi Ke-6 - Salin.pdf
Diskusi Modul Sistem Pakar Sesi Ke-6 - Salin.pdfDiskusi Modul Sistem Pakar Sesi Ke-6 - Salin.pdf
Diskusi Modul Sistem Pakar Sesi Ke-6 - Salin.pdf
 
Metode Mamdani sering juga dikenal dengan nama Metode Max-Min. Diskusi PPT Si...
Metode Mamdani sering juga dikenal dengan nama Metode Max-Min. Diskusi PPT Si...Metode Mamdani sering juga dikenal dengan nama Metode Max-Min. Diskusi PPT Si...
Metode Mamdani sering juga dikenal dengan nama Metode Max-Min. Diskusi PPT Si...
 
Estetika Humanisme Diskusi Modul Ke-6.pdf
Estetika Humanisme Diskusi Modul Ke-6.pdfEstetika Humanisme Diskusi Modul Ke-6.pdf
Estetika Humanisme Diskusi Modul Ke-6.pdf
 
Estetika Humanisme Diskusi Modul Part Ke-6.pdf
Estetika Humanisme Diskusi Modul Part Ke-6.pdfEstetika Humanisme Diskusi Modul Part Ke-6.pdf
Estetika Humanisme Diskusi Modul Part Ke-6.pdf
 
Pengolahan Citra Diskusi Pertemuan Ke-5.pdf
Pengolahan Citra Diskusi Pertemuan Ke-5.pdfPengolahan Citra Diskusi Pertemuan Ke-5.pdf
Pengolahan Citra Diskusi Pertemuan Ke-5.pdf
 
Diskusi Modul Sistem Pakar Sesi Ke-5.pdf
Diskusi Modul Sistem Pakar Sesi Ke-5.pdfDiskusi Modul Sistem Pakar Sesi Ke-5.pdf
Diskusi Modul Sistem Pakar Sesi Ke-5.pdf
 
Diskusi Modul Sistem Pakar Sesi Ke-5.pdf
Diskusi Modul Sistem Pakar Sesi Ke-5.pdfDiskusi Modul Sistem Pakar Sesi Ke-5.pdf
Diskusi Modul Sistem Pakar Sesi Ke-5.pdf
 
Estetstika Humanisme_Hendro Gunawan_200401072103_IT-05.docx
Estetstika Humanisme_Hendro Gunawan_200401072103_IT-05.docxEstetstika Humanisme_Hendro Gunawan_200401072103_IT-05.docx
Estetstika Humanisme_Hendro Gunawan_200401072103_IT-05.docx
 
Jaringan VOIP Ringkasan Video Pertemuan Ke-4.pdf
Jaringan VOIP Ringkasan Video Pertemuan Ke-4.pdfJaringan VOIP Ringkasan Video Pertemuan Ke-4.pdf
Jaringan VOIP Ringkasan Video Pertemuan Ke-4.pdf
 
Estetika Humanisme Diskusi Modul Part Ke-4 (DipulihkanOtomatis).pdf
Estetika Humanisme Diskusi Modul Part Ke-4 (DipulihkanOtomatis).pdfEstetika Humanisme Diskusi Modul Part Ke-4 (DipulihkanOtomatis).pdf
Estetika Humanisme Diskusi Modul Part Ke-4 (DipulihkanOtomatis).pdf
 
Estetika Humanisme Diskusi Video Sesi Ke-4.pdf
Estetika Humanisme Diskusi Video Sesi Ke-4.pdfEstetika Humanisme Diskusi Video Sesi Ke-4.pdf
Estetika Humanisme Diskusi Video Sesi Ke-4.pdf
 
Pengolahan Citra Diskusi Pertemuan Ke-4.pdf
Pengolahan Citra Diskusi Pertemuan Ke-4.pdfPengolahan Citra Diskusi Pertemuan Ke-4.pdf
Pengolahan Citra Diskusi Pertemuan Ke-4.pdf
 
Diskusi Modul Sistem Pakar Sesi Ke-4.pdf
Diskusi Modul Sistem Pakar Sesi Ke-4.pdfDiskusi Modul Sistem Pakar Sesi Ke-4.pdf
Diskusi Modul Sistem Pakar Sesi Ke-4.pdf
 
Diskusi PPT Sistem Pakar Sesi Ke-4 Simple Naïve Bayesian Classifier .pdf
Diskusi PPT Sistem Pakar Sesi Ke-4 Simple Naïve Bayesian Classifier .pdfDiskusi PPT Sistem Pakar Sesi Ke-4 Simple Naïve Bayesian Classifier .pdf
Diskusi PPT Sistem Pakar Sesi Ke-4 Simple Naïve Bayesian Classifier .pdf
 

Recently uploaded

Sapawarga - Manual Guide PPDB Tahun 2024.pdf
Sapawarga - Manual Guide PPDB Tahun 2024.pdfSapawarga - Manual Guide PPDB Tahun 2024.pdf
Sapawarga - Manual Guide PPDB Tahun 2024.pdf
TarkaTarka
 
LAPORAN TUGAS TAMBAHAN PEMBINA PRAMUKA..
LAPORAN TUGAS TAMBAHAN PEMBINA PRAMUKA..LAPORAN TUGAS TAMBAHAN PEMBINA PRAMUKA..
LAPORAN TUGAS TAMBAHAN PEMBINA PRAMUKA..
widyakusuma99
 
Juknis Pengisian Blanko Ijazah 2024 29 04 2024 Top.pptx
Juknis Pengisian Blanko Ijazah 2024 29 04 2024 Top.pptxJuknis Pengisian Blanko Ijazah 2024 29 04 2024 Top.pptx
Juknis Pengisian Blanko Ijazah 2024 29 04 2024 Top.pptx
mattaja008
 
Bab 3 Sejarah Kerajaan Hindu-Buddha.pptx
Bab 3 Sejarah Kerajaan Hindu-Buddha.pptxBab 3 Sejarah Kerajaan Hindu-Buddha.pptx
Bab 3 Sejarah Kerajaan Hindu-Buddha.pptx
nawasenamerta
 
MATERI SOSIALISASI PPDB JABAR- 4PAN052024.pdf
MATERI SOSIALISASI PPDB JABAR- 4PAN052024.pdfMATERI SOSIALISASI PPDB JABAR- 4PAN052024.pdf
MATERI SOSIALISASI PPDB JABAR- 4PAN052024.pdf
ssuser289c2f1
 
Modul Projek - Modul P5 Kearifan Lokal _Menampilkan Tarian Daerah Nusantara_...
Modul Projek  - Modul P5 Kearifan Lokal _Menampilkan Tarian Daerah Nusantara_...Modul Projek  - Modul P5 Kearifan Lokal _Menampilkan Tarian Daerah Nusantara_...
Modul Projek - Modul P5 Kearifan Lokal _Menampilkan Tarian Daerah Nusantara_...
MirnasariMutmainna1
 
Dokumen Rangkuman Kehadiran Guru ini dipergunakan sebagai bukti dukung yang w...
Dokumen Rangkuman Kehadiran Guru ini dipergunakan sebagai bukti dukung yang w...Dokumen Rangkuman Kehadiran Guru ini dipergunakan sebagai bukti dukung yang w...
Dokumen Rangkuman Kehadiran Guru ini dipergunakan sebagai bukti dukung yang w...
haryonospdsd011
 
SEMINAR PPG DAN PPL ppg prajabatan 2024.pptx
SEMINAR PPG DAN PPL ppg prajabatan 2024.pptxSEMINAR PPG DAN PPL ppg prajabatan 2024.pptx
SEMINAR PPG DAN PPL ppg prajabatan 2024.pptx
bobobodo693
 
PPT Observasi Praktik Kinerja PMM SD pdf
PPT Observasi Praktik Kinerja PMM SD pdfPPT Observasi Praktik Kinerja PMM SD pdf
PPT Observasi Praktik Kinerja PMM SD pdf
safitriana935
 
Permainan Wiwi Wowo aksi nyata berkebhinekaan
Permainan Wiwi Wowo aksi nyata berkebhinekaanPermainan Wiwi Wowo aksi nyata berkebhinekaan
Permainan Wiwi Wowo aksi nyata berkebhinekaan
DEVI390643
 
LAPORAN EKSTRAKURIKULER SEKOLAH DASAR NEGERI
LAPORAN EKSTRAKURIKULER SEKOLAH DASAR NEGERILAPORAN EKSTRAKURIKULER SEKOLAH DASAR NEGERI
LAPORAN EKSTRAKURIKULER SEKOLAH DASAR NEGERI
PURWANTOSDNWATES2
 
Laporan Kegiatan Pramuka Tugas Tambahan PMM.pdf
Laporan Kegiatan Pramuka Tugas Tambahan PMM.pdfLaporan Kegiatan Pramuka Tugas Tambahan PMM.pdf
Laporan Kegiatan Pramuka Tugas Tambahan PMM.pdf
UmyHasna1
 
RUBRIK OBSERVASI KINERJA KEPALA SEKOLAH.docx
RUBRIK OBSERVASI KINERJA KEPALA SEKOLAH.docxRUBRIK OBSERVASI KINERJA KEPALA SEKOLAH.docx
RUBRIK OBSERVASI KINERJA KEPALA SEKOLAH.docx
kinayaptr30
 
ppt landasan pendidikan Alat alat pendidikan PAI 9_
ppt landasan pendidikan Alat alat pendidikan PAI 9_ppt landasan pendidikan Alat alat pendidikan PAI 9_
ppt landasan pendidikan Alat alat pendidikan PAI 9_
setiatinambunan
 
813 Modul Ajar KurMer Usaha, Energi, dan Pesawat Sederhana (2).docx
813 Modul Ajar KurMer Usaha, Energi, dan Pesawat Sederhana (2).docx813 Modul Ajar KurMer Usaha, Energi, dan Pesawat Sederhana (2).docx
813 Modul Ajar KurMer Usaha, Energi, dan Pesawat Sederhana (2).docx
RinawatiRinawati10
 
Sebuah buku foto yang berjudul Lensa Kampung Ondel-Ondel
Sebuah buku foto yang berjudul Lensa Kampung Ondel-OndelSebuah buku foto yang berjudul Lensa Kampung Ondel-Ondel
Sebuah buku foto yang berjudul Lensa Kampung Ondel-Ondel
ferrydmn1999
 
KOMITMEN MENULIS DI BLOG KBMN PB PGRI.ppt
KOMITMEN MENULIS DI BLOG KBMN PB PGRI.pptKOMITMEN MENULIS DI BLOG KBMN PB PGRI.ppt
KOMITMEN MENULIS DI BLOG KBMN PB PGRI.ppt
Dedi Dwitagama
 
SOSIALISASI PPDB TAHUN AJARAN 2024-2025.pptx
SOSIALISASI PPDB TAHUN AJARAN 2024-2025.pptxSOSIALISASI PPDB TAHUN AJARAN 2024-2025.pptx
SOSIALISASI PPDB TAHUN AJARAN 2024-2025.pptx
astridamalia20
 
RUBRIK OBSERVASI KINERJA KEPALA SEKOLAH.docx
RUBRIK OBSERVASI KINERJA KEPALA SEKOLAH.docxRUBRIK OBSERVASI KINERJA KEPALA SEKOLAH.docx
RUBRIK OBSERVASI KINERJA KEPALA SEKOLAH.docx
lastri261
 
Form B1 Rubrik Observasi Presentasi Visi Misi -1.docx
Form B1 Rubrik Observasi Presentasi Visi Misi -1.docxForm B1 Rubrik Observasi Presentasi Visi Misi -1.docx
Form B1 Rubrik Observasi Presentasi Visi Misi -1.docx
EkoPutuKromo
 

Recently uploaded (20)

Sapawarga - Manual Guide PPDB Tahun 2024.pdf
Sapawarga - Manual Guide PPDB Tahun 2024.pdfSapawarga - Manual Guide PPDB Tahun 2024.pdf
Sapawarga - Manual Guide PPDB Tahun 2024.pdf
 
LAPORAN TUGAS TAMBAHAN PEMBINA PRAMUKA..
LAPORAN TUGAS TAMBAHAN PEMBINA PRAMUKA..LAPORAN TUGAS TAMBAHAN PEMBINA PRAMUKA..
LAPORAN TUGAS TAMBAHAN PEMBINA PRAMUKA..
 
Juknis Pengisian Blanko Ijazah 2024 29 04 2024 Top.pptx
Juknis Pengisian Blanko Ijazah 2024 29 04 2024 Top.pptxJuknis Pengisian Blanko Ijazah 2024 29 04 2024 Top.pptx
Juknis Pengisian Blanko Ijazah 2024 29 04 2024 Top.pptx
 
Bab 3 Sejarah Kerajaan Hindu-Buddha.pptx
Bab 3 Sejarah Kerajaan Hindu-Buddha.pptxBab 3 Sejarah Kerajaan Hindu-Buddha.pptx
Bab 3 Sejarah Kerajaan Hindu-Buddha.pptx
 
MATERI SOSIALISASI PPDB JABAR- 4PAN052024.pdf
MATERI SOSIALISASI PPDB JABAR- 4PAN052024.pdfMATERI SOSIALISASI PPDB JABAR- 4PAN052024.pdf
MATERI SOSIALISASI PPDB JABAR- 4PAN052024.pdf
 
Modul Projek - Modul P5 Kearifan Lokal _Menampilkan Tarian Daerah Nusantara_...
Modul Projek  - Modul P5 Kearifan Lokal _Menampilkan Tarian Daerah Nusantara_...Modul Projek  - Modul P5 Kearifan Lokal _Menampilkan Tarian Daerah Nusantara_...
Modul Projek - Modul P5 Kearifan Lokal _Menampilkan Tarian Daerah Nusantara_...
 
Dokumen Rangkuman Kehadiran Guru ini dipergunakan sebagai bukti dukung yang w...
Dokumen Rangkuman Kehadiran Guru ini dipergunakan sebagai bukti dukung yang w...Dokumen Rangkuman Kehadiran Guru ini dipergunakan sebagai bukti dukung yang w...
Dokumen Rangkuman Kehadiran Guru ini dipergunakan sebagai bukti dukung yang w...
 
SEMINAR PPG DAN PPL ppg prajabatan 2024.pptx
SEMINAR PPG DAN PPL ppg prajabatan 2024.pptxSEMINAR PPG DAN PPL ppg prajabatan 2024.pptx
SEMINAR PPG DAN PPL ppg prajabatan 2024.pptx
 
PPT Observasi Praktik Kinerja PMM SD pdf
PPT Observasi Praktik Kinerja PMM SD pdfPPT Observasi Praktik Kinerja PMM SD pdf
PPT Observasi Praktik Kinerja PMM SD pdf
 
Permainan Wiwi Wowo aksi nyata berkebhinekaan
Permainan Wiwi Wowo aksi nyata berkebhinekaanPermainan Wiwi Wowo aksi nyata berkebhinekaan
Permainan Wiwi Wowo aksi nyata berkebhinekaan
 
LAPORAN EKSTRAKURIKULER SEKOLAH DASAR NEGERI
LAPORAN EKSTRAKURIKULER SEKOLAH DASAR NEGERILAPORAN EKSTRAKURIKULER SEKOLAH DASAR NEGERI
LAPORAN EKSTRAKURIKULER SEKOLAH DASAR NEGERI
 
Laporan Kegiatan Pramuka Tugas Tambahan PMM.pdf
Laporan Kegiatan Pramuka Tugas Tambahan PMM.pdfLaporan Kegiatan Pramuka Tugas Tambahan PMM.pdf
Laporan Kegiatan Pramuka Tugas Tambahan PMM.pdf
 
RUBRIK OBSERVASI KINERJA KEPALA SEKOLAH.docx
RUBRIK OBSERVASI KINERJA KEPALA SEKOLAH.docxRUBRIK OBSERVASI KINERJA KEPALA SEKOLAH.docx
RUBRIK OBSERVASI KINERJA KEPALA SEKOLAH.docx
 
ppt landasan pendidikan Alat alat pendidikan PAI 9_
ppt landasan pendidikan Alat alat pendidikan PAI 9_ppt landasan pendidikan Alat alat pendidikan PAI 9_
ppt landasan pendidikan Alat alat pendidikan PAI 9_
 
813 Modul Ajar KurMer Usaha, Energi, dan Pesawat Sederhana (2).docx
813 Modul Ajar KurMer Usaha, Energi, dan Pesawat Sederhana (2).docx813 Modul Ajar KurMer Usaha, Energi, dan Pesawat Sederhana (2).docx
813 Modul Ajar KurMer Usaha, Energi, dan Pesawat Sederhana (2).docx
 
Sebuah buku foto yang berjudul Lensa Kampung Ondel-Ondel
Sebuah buku foto yang berjudul Lensa Kampung Ondel-OndelSebuah buku foto yang berjudul Lensa Kampung Ondel-Ondel
Sebuah buku foto yang berjudul Lensa Kampung Ondel-Ondel
 
KOMITMEN MENULIS DI BLOG KBMN PB PGRI.ppt
KOMITMEN MENULIS DI BLOG KBMN PB PGRI.pptKOMITMEN MENULIS DI BLOG KBMN PB PGRI.ppt
KOMITMEN MENULIS DI BLOG KBMN PB PGRI.ppt
 
SOSIALISASI PPDB TAHUN AJARAN 2024-2025.pptx
SOSIALISASI PPDB TAHUN AJARAN 2024-2025.pptxSOSIALISASI PPDB TAHUN AJARAN 2024-2025.pptx
SOSIALISASI PPDB TAHUN AJARAN 2024-2025.pptx
 
RUBRIK OBSERVASI KINERJA KEPALA SEKOLAH.docx
RUBRIK OBSERVASI KINERJA KEPALA SEKOLAH.docxRUBRIK OBSERVASI KINERJA KEPALA SEKOLAH.docx
RUBRIK OBSERVASI KINERJA KEPALA SEKOLAH.docx
 
Form B1 Rubrik Observasi Presentasi Visi Misi -1.docx
Form B1 Rubrik Observasi Presentasi Visi Misi -1.docxForm B1 Rubrik Observasi Presentasi Visi Misi -1.docx
Form B1 Rubrik Observasi Presentasi Visi Misi -1.docx
 

Tugas2_Pancasila_HendroGunawan.pdf

  • 1. TUGAS 2 Dosen : Dra. Yusreni Sabrie, M.M Di Susun Oleh : Hendro Gunawan NIM : 200401072103 Kelas : IT-5 PROGRAM STUDI INFORMATIKA UNIVERSITAS SIBER ASIA JAKARTA 2021
  • 2. Sebagai suatu negara Indonesia membutuhkan adanya landasan dan arah pelaksanaan kehidupan bernegara. Dalam hal ini kebutuhan sebagai pandangan hidup dan arah dirumuskan dalam bentuk Pancasila dari sila ke satu sampai dengan ke lima. Dalam kehidupan beragama, Pancasila merumuskan satu dasar sila yang bisa diterima oleh semua orang, yaitu berdasarkan pada sila pertama, “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sila kedua “Kemanusiaan Yang adil dan beradap”. Memiliki arti bahwa negara dan pemerintah harus berlaku adil terhadap masyarakatnya, dan mempunyai adap dalam memperlakukan siapapun, tidak memandang suku, agama, ras, jabatan, dan status sosial. Sila ketiga “Persatuan Indonesia” berarti nasionalisme, cinta bangsa dan tanah air. “Prinsip Bhinneka Tunggal Ika” yang artinya walaupun berbagai macam suku bangsa tetap satu jua. Sila keempat “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan” mengandung makna bahwa seorang pemerintah harus lebih mementingkan kepentingan Negara dan masyarakat dan juga mengutamakan budaya musyawarah dalam pengambilan keputusan bersama. Kemudian yang terakhir sila kelima “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” dimana yang bermakna bahwa seluruh rakyat Indonesia mendapat jaminan keadilan sosial dari Negara dan pemerintah. Tujuannya agar rakyat merasa aman dan tentram. Sejalan dengan perkembangan zaman, makna Pancasila secara terus menerus mengalami perkembangan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila merupakan suatu nilai yang bersifat universal dan pada hakikatnya nilai-nilai dasar tersebut melekat dalam kehidupan bermasyarakat. Dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini menunjukkan bahwa Pancasila sementara ini mengalami ujian dan tantangan, baik dari dalam maupun dari luar. Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi nasional Indonesia sejak Indonesia berdiri sampai saat ini menjadi arah kehidupan berbangsa dan bernegara yang mempersatukan seluruh masyarakat dalam bentuk NKRI guna mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Pancasila perlu dilestarikan sebagai falsafah bangsa. Makalah ini diharapkan dapat menjadi sumber referensi dalam menjelaskan Pancasila sebagai sebuah paradigma yang diimplementasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara masyarakat Indonesia yang dapat menguasai ruang dan waktu dari generasi ke generasi, dengan harapan dapat membantu mahasiswa dalam pembelajaran serta mampu memberi kontribusi yang lebih baik bagi mahasiswa dan dosen. Kritik dan saran dari berbagai pihak sangat kami harapkan, sebab kami meyakini bahwa tiada gading yang tak retak, jika di sana sini terdapat kesalahan kami mohon maaf yang sebesar-besarnya. Kata Pengantar I
  • 3. Kata Pengantar....................................................................................................................................................I Daftar Isi.............................................................................................................................................................II Bab I Pendahuluan Pancasila Sebagai Satu-Satunya Sumber Hukum Di Indonesia 1. Pendahuluan......................................................................................................................................................1 Bab II Tinjauan Pustaka 2. Pentingnya Hukum Dalam Kehidupan Berbangsa Dan Bernegara..................................................................1 Bab III Pembahasan 3. Unifikasi dan Pluralisme Dalam Sistem Hukum Nasional Indonesia..............................................................4 4. Pancasila Sebagai Sumber Nilai dan Cita-Cita Hukum Dan Perundang-Undangan........................................6 5. Aktualisasi Nilai-Nilai Pancasila Dalam Penegakan Hukum Di Indonesia.....................................................10 6. Pancasila Sebagai Paradigma Reformasi Hukum...........................................................................................11 7. Pancasila Sebagai Sumber Nilai Perubahan Hukum......................................................................................12 8. Dasar Yuridis Reformasi Hukum...................................................................................................................12 Bab IV Penutup 9. Kesimpulan.....................................................................................................................................................13 10. Saran.............................................................................................................................................................13 Daftar Pustaka..................................................................................................................................................14 Daftar Isi II
  • 4. Pancasila Sebagai Satu-Satunya Sumber Hukum Di Indonesia 1. Pendahuluan Pancasila merupakan dasar Negara Republik Indonesia dan menjadi pedoman hukum berbangsa dan bernegara. Pancasila menjadi bagian terpenting dalam proses penyatuan sistem nilai dan norma hukum yang berkembang di Indonesia. Penempatan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara adalah sesuai dengan Pembukaan UUD 1945. Oleh sebab itu, Pancasila sebagai pedoman dan sumber dari berbagai sumber hukum dalam praktik berbangsa dan bernegara, diwajibkan berpijak kepada Pancasila sebagai landasan idiologi dan filosofis dalam kehidupan masyarakat. Pancasila dalam praktiknya dapat menjadi kontrol sosial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila sebagai kontrol sosial, dikarenakan Pancasila digunakan sebagai dasar mengatur pemerintah dan disisi lain Pancasila digunakan sebagai dasar untuk mengatur penyelenggaraan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). 2. Pentingnya Hukum dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, secara sosiologis manusia sebagai makhluk sosial tentunya intens berinteraksi dengan kelompok dan masyarakat yang pada hakikatnya mempunyai ragam kepentingan dan keinginan yang berbeda-beda. Perbedaan kepentingan, tidak semata terjadi dalam kelompok dan masyarakat secara umum, tetapi secara pribadi individu tentunya berhadapan dengan sesama individu lainnya yang mempunyai hak kemerdekaan pribadi, kehendak dan perasaan. Secara realitas, adanya relasi antar manusia, saling mengenal dan saling membutuhkan. Akan tetapi, dalam proses bermasyarakat tersebut. Sering kali dijumpai adanya konflik antar kelompok dengan kelompok dan masyarakat dengan masyarakat lainnya. Konflik yang terjadi tentunya berdampak dari perbedaan kepentingan dan perilaku yang diskriminasi serta adanya ketidakadilan hukum. Maka, untuk mengatasi ketidakteraturan dalam masyarakat diperlukan hukum sebagai sosial kontrol (social control) yang mengatur dan menertibkan kehidupan bermasyarakat yang sesuai dengan aturan hukum yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Hukum sebagai sosial kontrol dapat diartikan sebagai suatu proses, baik yang direncanakan maupun tidak, yang bersifat mendidik, mengajak atau bahkan memaksa warga masyarakat agar mematuhi sistem kaidah dan nilai yang berlaku. Menurut Zainuddin Ali, perwujudan dari kontrol sosial berupa pemidanaan, konpensasi, terapi, maupun konsiliasi. Patokan dari pemidanaan adalah suatu larangan, yang apabila dilanggar akan mengakibatkan penderitaan (sangsi negatif) bagi pelanggarnya. Apabila seluruh warga kelompok (yang kemungkinan dikuasakan kepada pihak lain). Maka, fungsi hukum dalam kelompok dan masyarakat adalah bertujuan untuk menerapkan mekanisme kontrol sosial yang akan menertibkan masyarakat dari perilaku menyimpang yang tidak dikehendaki. Sehingga hukum mempunyai suatu fungsi untuk mempertahankan eksistensi kelompok atau masyarakat. Hukum tentunya mempunyai peranan yang penting dalam kehidupan bermasyarakat. Pentingnya peranan hukum tersebut, Zainuddin Ali mengatakan bahwa hukum mempunyai fungsi rangkap. Pertama, merupakan tindakan yang melembaga dan kokoh diantara anggota-anggota kelompok masyarakat sehingga hukum mudah digunakan sebagai kewajiban. Kedua, merupakan tindakan yang berwujud reaksi kelompok masyarakat itu terhadap tingkah laku yang menyimpang dan mengendalikan tingkah laku yang menyimpang tersebut. Lebih Bab I Pendahuluan Bab II Tinjauan Pustaka 1
  • 5. lanjut Zainuddin menjelaskan bahwa, hukum dalam pengertian adalah pola tingkah laku yang bermanfaat oleh kelompok untuk mencapai tujuan-tujuan kelompok dan yang menyimpang dari cara-cara yang telah melembaga yang ditujukan untuk mencapai tujuan-tujuan kelompok masyarakat. Maka hukum dalam fungsinya merupakan instrumen pengendalian sosial. Sejak awal sejarah pembentukan umat manusia dalam konteks interaksi masyarakat, persoalan kaidah atau norma merupakan jelmaan yang dibutuhkan dalam upaya mencapai harmonisasi kehidupan. Secara empirik sosiologis kaidah atau norma adalah tuntunan atau kunci dalam mencapai stabilisasi interaksi sehingga pelanggaran akan kaidah atau norma akan dijatuhi hukuman atau sanksi. Untuk mencapai tujuan mulianya hukum memerankan dirinya sebagai kendali sosial atau kontrol sosial yang sekaligus merupakan tujuan pembentukan hukum di dalam masyarakat. Tanpa hukum menjalankan fungsi ini, maka aspek ketertiban, ketenteraman maupun stabilitas dinamis sosial tidak akan tercipta dan dipatuhi. Implementasi pengaturan merupakan perwujudan dari keinginan akidah hukum agar fungsi pengendalian sosial, kontrol sosial dapat menjelmakan dalam masyarakat. Ketika implementasi aturan dijalankan, pada saat itu pula aturan berbaur dengan masyarakat. Pada itu pula, aturan mengalami dinamika intervensi, pembenturan, pergesekan dan akhirnya perubahan sebagai buah dari gesek-gesekan sosial dan interaksinya di dalam masyarakat. Maka kondisi ini akan kembali pada setting social (pengaturan sosial) awal dari rangkaian terhadap bekerjanya hukum dalam masyarakat. Artinya, siklus alamiah yang dihadapi dan terus-menerus berlangsung dalam tatanan kehidupan. Siklus tersebut dapat dipahami sebagai berikut : a) Hukum akan mengalami dinamisasi bila berhadapan dengan perubahan. b) Perubahan sosial secara evolusi maupun revolusi akan membawa konsekuensi hukum pada pemulihan hukum. c) Hukum mengalami perubahan pada dirinya seperti kehendak pengaturan yang disertai intervensi positif maupun negatif berupa penyakit hukum. d) Fungsi hukum sebagai pengendali sosial atau kontrol sosial merupakan tujuan mulia. e) Implementasi hukum, merupakan masalah yang kompleks karena bersinggungan dengan berbagai faktor dalam masyarakat. Sejak hukum diterapkan, saat itu pula muncul multitafsir dalam masyarakat untuk memahami proses bagaimana implementasi pengaturan yang pada hakikatnya merupakan perwujudan dari keinginan akidah hukum agar fungsi pengendalian sosial, kontrol sosial dapat menjelmakan dalam masyarakat. Ketika implementasi aturan dijalankan, saat itu pula aturan berbaur atau menyatu dengan masyarakat. Maka, di Indonesia sebagai negara kesatuan yang mana Pancasila merupakan sumber dari segala hukum. Pancasila menjadi landasan diri dari prinsip berbangsa dan bernegara. Sebagai negara yang memiliki keberagaman suku bangsa dan bahasa serta kebudayaan. Maka Pancasila sebagai dasar pemersatu bangsa dalam bingkai dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika (berbeda-beda tetap satu). Pancasila dipahami sebagai sumber hukum dan menjadi sumber dari berbagai Sumber Hukum atau Sumber Tertib Hukum bagi kehidupan bangsa Indonesia, maka hal itu sepatutnya dipahami bahwa Pancasila adalah sumber hukum tidak tertulis dan sumber hukum tertulis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Di sisi lain, ada rumusan yang menegaskan, bahwa Pancasila menguasai seluruh hukum yang berlaku bagi bangsa Indonesia, baik yang tertulis maupun tidak tertulis. Lebih lanjut, A.Hamid S.Attamimi, menguraikan pentingnya memahami Pancasila sebagai sumber hukum, dengan mempelajari berbagai yang berkaitan dengan sumber hukum dapat berpijak pada ragam sumber. Bagi para ilmuwan sejarah, sumber hukum itu adalah Undang-undang serta sistem-sistem hukum tertulis yang pernah ada dalam kehidupan sejarah, termasuk dokumen-dokumen, surat-surat dan keterangan-keterangan lainnya. Sedangkan bagi ahli Sosiologi dan Antropologi, budaya sumber hukum dicarinya pada masyarakat secara keseluruhan, terutama lembaga-lembaga sosial yang ada di dalam masyarakat. Menurut Attamimi, seorang ahli hukum membagi sumber hukum yang materiil dan yang formil. Pertama, ialah yang menentukan isi suatu kaidah atau norma hukum, antara lain berupa tindakan-tindakan atau perilaku manusia. Kedua, yang menyebabkan hukum dapat berlaku dan mempunyai kekuatan mengikat. Bagi Attamimi, 2
  • 6. dalam ahli hukum ada beberapa yang menganggap sumber hukum yang formil ini yang terpenting, karena hukum dapat terus berlaku meskipun isinya berganti-ganti dan dirasakan adanya tidak adil. Memahami apa yang digambarkan Attamimi, Pancasila sebagai sumber hukum dari segala sumber hukum seyogyanya dapat menjadi pijakan untuk mengakomodasi sistem hukum yang berkembang di masyarakat atau dalam pandangan hukum adalah kaidah atau norma hukum. Hal ini dipahami secara realitas sosial bahwa di Indonesia terdapat praktik hukum yang menjadi bagian dari nilai luhur bermasyarakat seperti hukum adat dan hukum agama. Dimana, praktik dan pemberlakuan hukum dalam masyarakat dapat dilihat ketika individu atau kelompok yang dianggap menyimpang atau salah, baik secara adat maupun agama dan bagaimana terlihat dalam suatu acara perkawinan. Maka, Pancasila diharapkan menjadi dasar bagi pemerintah dalam menerapkan hukum formal dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena Pancasila merupakan pandangan hidup yang berakar dalam kepribadian bangsa, maka Pancasila diterima sebagai dasar negara yang mengatur hidup ketatanegaraan. Hal tersebut, digambarkan dalam sejarah, bahwa meskipun dituangkan dalam rumusan yang berbeda. Namun, dalam alenia buah dalam Undang-Undang Dasar 1945, dalam Mukaddimah Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia (1950), Pancasila itu tetap tercantum di dalamnya. Pancasila tetap tercantum didalamnya peringatan Hari Lahirnya Pancasila 1 Juni 1967. Maka fakta ini memperkuat keyakinan Presiden Soeharto bahwa, Pancasila yang selalu dituangkan dalam Mukaddimah UUD dan kemudian memberikan bukti bahwa Pancasila memang selalu dikehendaki sebagai dasar kerohanian Negara, Dikehendaki sebagai Falsafah Negara. Pancasila menjadi tujuan hidup bangsa dan Pancasila menjadi pandangan hidup maka, Pancasila harus dilaksanakan dalam segi kehidupan dan tata pergaulan bangsa Indonesia. Dimana, bangsa yang mempunyai pandangan hidup yang jelas adalah bangsa yang memahami kemana arah tujuannya, hanya bangsa yang setia dan terus menerus berusaha melaksanakan pandangan hidup menjadi bangsa yang kuat. Dengan dasar falsafah negara Indonesia maka dapat menentukan pendirian terhadap segala macam baik dalam negeri maupun dari luar negeri. Pancasila dapat dipahami sebagai tuntutan hidup dan tujuan hidup bangsa. Pancasila sebagai tertib sosial dan sumber dari segenap perikehidupan, baik sebagai individu maupun ikatan dalam kelompok, ikatan partai politik, ikatan organisasi dan Pancasila sebagai sumber tertib nasional dan tertib hukum serta pedoman yang dilaksanakan oleh pemerintah dan semua aparatnya dan oleh setiap pejabat dalam melaksanakan kekuasaannya serta tugasnya. Berpijak pada uraian Krissanto, terkait dengan Pidato Presiden Soeharto yang menegaskan bahwa Pancasila sebagai sumber tertib sosial dan sumber dari segala sumber dari segenap perikehidupan baik sebagai individu maupun ikatan dalam kelompok, partai politik, dan organisasi. Dan Pancasila sekaligus menjadi sumber tertib nasional dan tertib hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Maka, secara yuridis ketatanegaraan, Pancasila merupakan dasar negara Republik Indonesia sebagaimana terdapat pada Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, yang kelahirannya ditempa dalam proses kebangsaan Indonesia. Melalui Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 sebagai payung hukum, Pancasila perlu diaktualisasikan agar dalam praktik berdemokrasinya tidak kehilangan arah dan dapat meredam konflik yang tidak produktif. Peneguhan Pancasila sebagai dasar negara sebagaimana terdapat pada pembukaan, juga dimuat dalam Ketetapan MPR Nomor XVIII/MPR/1998, tentang Pencabutan Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetya Pancakarsa) dan ketetapan tentang Penegasan Pancasila sebagai Dasar Negara. Meskipun status ketetapan MPR tersebut saat ini telah masuk dalam kategori ketetapan MPR yang tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut, baik karena bersifat einmalig (final), telah dicabut maupun telah selesai dilaksanakan. Selain itu, ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Perundang- undangan bahwa Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum negara. Penempatan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara, yaitu sesuai dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, bahwa Pancasila ditempatkan sebagai dasar dan idiologi negara serta sekaligus dasar filosofis bangsa dan negara sehingga setiap materi muatan peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. 3
  • 7. 3. Unifikasi dan Pluralisme Dalam Sistem Hukum Nasional Indonesia Perkembangan hukum nasional di Indonesia berlangsung seiring dengan perkembangan kekuasaan negara- negara bangsa. Hal tersebut telah menjadi suatu realitas dalam suatu bangsa dan negara. Dimana, yang tersebut sebagai hukum nasional itu pada hakikatnya adalah hukum yang pengesahan pembentukan dan pelaksanaannya bersumber dari kekuasaan dan kewibawaan negara. Tatkala kehidupan berkembang ke dalam skala-skala yang lebih luas, dari lingkar-lingkar kehidupan komunitas lokal (old societies) ke lingkar-lingkar besar yang bersifat translokal pada tataran kehidupan berbangsa yang diorganisasi sebagai suatu komunitas politik yang disebut negara bangsa yang modern (new nation state), kebutuhan akan suatu sistem hukum yang satu dan pasti amatlah niscaya. Maka gerakan kearah unifikasi dan kondifikasi hukum terlihat marka di sini, seolah menjadi bagian inhern dari proses nasionalisasi dan negaranisasi serta modernisasi yang amat mengesankan telah terjadinya pengingkaran eksistensi apapun yang berbau lokal dan tradisional. Memahami apa yang diuraikan oleh M. Misbahul Mujib, bahwa proses terkait dengan unifikasi dan pluralisme hukum memang merupakan perdebatan yang panjang. Perdebatan yang panjang tersebut dikarenakan masing-masing kelompok masyarakat mempunyai dasar yang cukup kuat untuk mempertahankan eksistensinya. Unifikasi hukum menjadi suatu keniscayaan, bahwa hukum memerlukan kepastian, sementara plurarisme hukum meniscayakan hukum yang bisa berkembang menyesuaikan kondisi masyarakat dimana mereka menjalani kehidupan secara bersama. Kemudian, Misbahul Mujib menegaskan, bahwa di Indonesia berpijak pada faktor sejarah unifikasi hukum sendiri sebenarnya terbilang baru, yang mana dalam perkembangan terkini lebih mengarah pada unifikasi sejalan dengan terbentuknya negara. Sementara pluralisme hukum telah ada jauh sebelum terbentuknya negara, sehingga ketika hadirnya budaya unifikasi, pluralisme hukum terancam keberadaannya. Keberadaan hukum- hukum lain yang sudah lama berada di Indonesia seperti hukum Islam dan hukum-hukum adat masyarakat Indonesia yang berbeda-bedapun terancam. Seiring dengan adanya budaya unifikasi dalam hukum negara Indonesia maka ada banyak golongan yang memperjuangkan produk hukum menjadi hukum unifikasi dan berlaku untuk seluruh masyarakat di Indonesia. Diantara produk unifikasi hukum adalah hukum perkawinan. Unifikasi dan pluralisme dalam sistem hukum nasional Indonesia bila dipahami dari apa yang diuraikan oleh Misbahul Mujib, di Indonesia sering adanya tradisi unifikasi hukum dalam hukum negara. Dimana, pijakan hukum negara adalah Pancasila. Maka dalam kaitan unifikasi dan pluralisme dalam sistem hukum nasional, dapat dipelajari dengan empiris. Bahwa , sebagai negara yang plural dan kebudayaan yang beragam tentunya menjadi suatu keniscayaan bahwa di Indonesia tentunya memiliki ragam sistem nilai dan sistem hukum. Sebagaimana yang dipaparkan Misbahul Mujib, produk unifikasi hukum, seperti hukum perkawinan. Dengan mayoritas masyarakat Indonesia yang beragama Islam, tentu sistem nilai maupun sistem sosial yang berlaku dalam masyarakat erat kaitannya dengan nilai-nilai Islam. Namun, dalam Pancasila akomodasi hukum agama maupun hukum adat dalam sistem hukum nasional menjadi bagian penting dalam mengapresiasi nilai pluralisme agama maupun nilai kebangsaan di Indonesia. Pluralisme bila diindentifikasikan tentunya sangat luas, sebagai bentuk penerimaan dan penghargaan keberagaman dan upaya bekerja bersama. Kemudian, pluralisme dalam perkembangannya tidak semata dipahami sebatas toleransi, namun merupakan upaya aktif untuk memahami perbedaan di masyarakat. Dari beberapa pendekatan dan definisi tersebut, dipahami bahwa pluralisme merupakan upaya untuk menemukan persamaan dan penekanan yang kuat terhadap perbedaan menunjukkan penghargaan yang besar terhadap perbedaan dalam kehidupan berbangsa. Pluralisme yang dipahami dari maksud di atas tentunya tidak terpaku pada upaya menyatukan semua orang atau kelompok dalam suatu paham yang sama. Namun, pluralisme menerima dan mempertahankan perbedaan, yang kemudian disyaratkan bukan untuk menghilangkan identitas seseorang atau kelompok demi mengejar persatuan atau persamaan. Sehingga, pluralisme menjadi suatu bentuk penerimaan hak-hak orang lain, hal mana, Bab III Pembahasan 4
  • 8. hak seseorang untuk menyongsong masa depan yang ingin dijalani dan hak mereka untuk berbeda. Premis berikutnya ialah, pengakuan terhadap perbedaan, keberagaman tradisi dan agama atau budaya sehingga akan menjadi tantangan berat bagi kohesi sosial atau suatu tatanan pemerintahan, tetapi menjadi peluang demi berkembangnya budaya sipil dan politik yang hidup dan beragam. Oleh karena itu, pluralisme dimaknai secara beragam, misal, jika fokusnya terhadap keberagaman agama, maka pijakannya pada tata kelola masyarakat yang majemuk. Kemajemukan dalam hal ini tentunya dapat berarti kemajemukan beragama, sosial dan budaya. Tapi yang selalu menjadi topik pembahasan terkait dengan pluralisme yakni kemajemukan beragama. Pada prinsipnya, konsep pluralisme ini timbul setelah adanya konsep toleransi. Apabila setiap anggota masyarakat mengaplikasikan konsep toleransi terhadap individu atau kelompok lainnya maka lahirlah pluralisme. Pluralisme sering diartikan sebagai paham yang mentoleransi adanya ragam pemikiran, agama, kebudayaan, dan peradaban. Sehingga kemudian wacana tentang pluralisme menjadi penting dan krusial, dikarenakan terkait dengan hal penting dan sensitif, yakni masalah teologis. Pluralisme bukan merupakan suatu yang khas masyarakat modern. Di dalam masyarakat tradisional pun tidak jarang golongan berbagai suku, etnis dan agam hidup dalam wilayah yang sama. Namun ada dua unsur khas bagi pluralisme tradisional antara lain : pertama, pluralisme itu ditangani atas dasar ketidaksamaan. Masyarakat seluruhnya tersusun secara hierarkis, semua unsur di dalamnya termasuk mereka yang berbudaya atau beragama yang berbeda, mempunyai tempat dan kedudukan sosial tertentu di dalamnya. Kedua, wawasan kemanusiaan pra-modern itu membagi manusia ke dalam “orang kami” dan “orang asing”. Yang tidak termasuk komunitas adat atau agama yang sama dengan mereka dipandang sebagai orang asing, meski begitu mereka tetap diterima dengan baik, tamu asing tetap dihormati, tempat mereka terjamin, tetapi mereka sebagai orang asing. Dalam pluralisme modern, kedua unsur itu berubah, sebagai implikasi dari cita-cita Revolusi Prancis, hal mana minoritas-minoritas dan pada umumnya kelompok-kelompok yang beraneka warna menuntut kesamaan hak dan kewajiban sebagai warga negara dan hak-hak asasi manusia dituntut berlaku bagi semua dengan cara yang sama. Tuntutan persamaan hak tersebut, kemudian menjadi pluralisme tidak semata pluralisme kelompok sosial, melainkan pluralisme pemahaman akan politik, agama dan moral menjadi tantangan lain bagi persatuan bangsa. Untuk memahami masalah pluralisme modern, masyarakat perlu mengembangkan kemampuan-kemampuan psikis dan etis tertentu. Kemampuan yang dimaksud adalah dalam kehidupan sehari-hari dan dapat bekerja sama dengan orang lain yang berbeda adat, suku, dan agama, dengan sepenuh hati dan ikhlas. Di samping itu, kemampuan toleransi untuk saling menghormati keyakinan-keyakinan keagamaan dan politik yang berbeda, sehingga hadir rasa solider dengan saudara sebangsa sebagai manusia termasuk perbedaan suku dan kelas sosial lainnya di dalam masyarakat. Dalam mengelola pluralisme sosial dan pluralisme politik, demokrasi menawarkan beberapa model diantaranya melalui partisipasi dan kompetisi. Partisipasi menyangkut keterlibatan warga negara dalam proses pengambilan keputusan tentang hidup bersama dan setelah itu diikuti dengan kontestasi ide-ide yang akan dipilih melalui mekanisme pemilihan. Representasi diperlukan untuk menghadirkan aspirasi warga dalam ruang publik. Di Indonesia, representasi atau perwakilan sering kali hanya merujuk pada fungsi artikulasi dan agregasi kepentingan yang dijalankan lembaga-lembaga perwakilan formal. Namun sesungguhnya sebagaimana yang ditunjukkan Hanna Pitikin, melalui beberapa representasi, yakni formalistik, simbolik, deskriptif dan subtansif. Representasi simbolik, melalui perwakilan budaya. Kepercayaan dan identifikasi merupakan isu utamanya sehingga seseorang wakil diterima sebagai wakil dari kelompok yang diwakilinya, misalnya bendera atau raja yang merepresentasikan bangsa. Representasi deskriptis, adalah tingkat kemiripan (resemlance) antara yang mewakili dengan yang diwakili, kemiripannya meliputi kesamaan basis kewilayahan, komunitas kelompok dan gender. Representasi subtansif, adalah agenda memperjuangkan kepentingan tertentu yang mempresentasikan dalam ruang publik. Tingkat keterwakilan dapat dilihat dari sejauh mana wakil dapat memperjuangkan kepentingan rakyat. Pluralisme sosial, politik, budaya, etnis, bahasa dan adat istiadat dan aliran pemahaman keagamaan di 5
  • 9. Indonesia, menjadikan negeri ini kaya akan berbagai lambang, simbol dan ikonografi dari kelompok budaya, etnis maupun aliran keagamaan yang beragam. Hal mana masing-masing kelompok begitu produktif memproduksi dan memproduksi identitas kelompoknya, mulai cara berpakaian, berbahasa, memilih lambang, simbol dan warna pakaian maupun bendera organisasi. Hal ini kemudian terlihat mengalami perubahan ketika bergulirnya era reformasi yang memungkinkan setiap kelompok masyarakat dengan bebas mengekspresikan pilihan lambang dan simbol yang menjadi ciri dari identitas mereka. Dikataka pola pengelolaan pluralisme identitas budaya berubah ketika era reformasi, hal ini dapat dipahami bahwa bergulirnya reformasi diawali dengan meluasnya ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Maka negara mengalami delegitimasi politik yang terjadi begitu cepat. Pada era reformasi inilah negara mengalami keterpurukan dan berada dalam keadaan lemah (stateless). Pengakuan dan penerimaan akan kemajemukan merupakan konsekuensi dan komitmen sosial maupun konstitusional sebagai suatu masyarakat (suku, bangsa, bahkan dunia), yang berbudaya. Karena kemajemukan merupakan konsekuensi dari hakikat manusia sebagai makhluk sosial, yang dari satu sisi memiliki kesamaan esensial tetapi dari lain sisi ada perbedaan eksistensial, maka pada hakikatnya adanya kekhasan atau identitas suatu kelompok masyarakat (entah lokal, nasional, dan internasional) akan hilang jika tidak ada atau ditiadakan atau ditolaknya kemajemukan. Jadi kemajemukan merupakan unsur penentu bagi adanya kekhasan dari suatu masyarakat. Oleh sebab itu dalam sejarah pembentukan dan kehidupan setiap kelompok masyarakat senantiasa ada kesadaran dan pengakuan akan adanya kemajemukan, serta adanya komitmen untuk menerima dan tetap mempertahankan kemajemukan secara konsekuen dan konsisten. Misalnya, sejarah perjuangan kehidupan masyarakat Indonesia, secara lokal maupun internasional, telah diciri khaskan dengan kesadaran serta komitmen akan penerimaan kemajemukan secara konsekuen dan konsisten. Sumpah pemuda serta berbagai macam perjuangan untuk mendirikan dan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dari masa kemasa merupakan fakta sejarah nasional bangsa Indonesia akan adanya suatu komitmen untuk menerima dan mempertahankan kemajemukan masyarakat Indonesia. Begitu pula Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 mencerminkan kesadaran, komitmen, pandangan hidup serta sikap hidup yang sama. Pancasila dan Undang- Undang 1945 merupakan bukti konstitusional nasional tentang pluralisme di Indonesia. Di Indonesia terdapat beberapa sistem hukum yang berlaku dalam kehidupan masyarakat yang plural, seperti hukum perdata (civil law), hukum umum (common law), hukum Islam dan hukum adat. Realitas ini menunjukkan adanya pluralisme hukum dalam penerapan sistem hukum nasional. Praktik berhukum secara plural memang telah berlaku sejak era kemerdekaan. Hukum adat diberlakukan di Indonesia karena hukum adat merupakan hukum asli yang lahir dan berkembang dari kebudayaan dan hidup di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Van Vollenhoven dalam bukunya Het Adatrecht Nederlandsch, hukum adat merupakan keseluruhan aturan-aturan tingkah laku yang berlaku bagi orang-orang bumi putera dan orang-orang timur asing yang mempunyai pemaksa dan sanksi , lagi pula tidak terkondifikasi. Sementara itu hukum Islam diterapkan di Indonesia sejak masuknya agama Islam di Nusantara. Dengan mayoritas penduduk Indonesia menganut agama Islam, maka hukum Islam atau syariat Islam mendominasi berhukum penduduk Indonesia terutama dalam hal hukum perkawinan, hukum waris, dan hukum kekeluargaan. Van Vallenhoven menguraikan hukum adat yang berkembang di Indonesia, merupakan keseluruhan aturan-aturan tingkah laku yang berlaku bagi orang-orang bumi putera dan orang-orang timur asing yang mempunyai pemaksa dan sanksi, lagi pula tidak terkondifikasi. Dengan berbasis pada kehidupan masyarakat yang pluralis sesungguhnya menjadi suatu nilai lebih bagi negara Indonesia. Sebab dengan keberagaman agama dan budaya menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara yang mampu mempadukan serta mengapresiasikan perbedaan keyakinan dan kebangsaan ke dalam satu hukum nasional yang berpijak pada sumber dari segala sumber, yakni Pancasila. Sehingga, dalam kehidupan masyarakat masih terdapat praktik hukum adat dan agama, tetapi semua selaras dengan nilai Pancasila dan hukum negara. 4. Pancasila Sebagai Sumber Nilai dan Cita-Cita Hukum dan Perundang-undangan Pancasila dijadikan sebagai sumber nilai dan cita-cita hukum dan perundang-undangan sesungguhnya 6
  • 10. berpijak pada aturan yang menegaskan bahwa Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum sebagaimana yang telah diatur dalam pasal 2 UUD No.10 tahun 2004 tentang pembentukan perundang- undangan yang menyatakan Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum negara. Dalam kaitan dengan hukum yang berlaku bagi bangsa dan negara Indonesia, Pancasila telah diletakkan kedudukannya oleh para pendiri bangsa sebagaimana terlihat dalam UUD 1945, dalam penjelasan umum. Ditegaskan bahwa, Pancasila adalah Cita Hukum (Rechtsidee) yang menguasai hukum dasar negara, baik hukum dasar yang tertulis (KUHP), maupun hukum dasar yang tidak tertulis (hukum adat).6 Menurut Attamimi, guna memahami konsep tentang hukum yang merupakan kenyataan dalam kehidupan yang berkaitan dengan nilai-nilai yang diinginkan dengan tujuan yang mengabdi pada yang ingin digapai. Maka, kedudukan Pancasila sebagai Norma Hukum Tertinggi, dalam hal ini sebagai pokok-pokok pikiran Pembukaan Hukum Dasar yang menciptakan pasal-pasal hukum tersebut, menentukan isi dan bentuk lapisan-lapisan hukum yang lebih rendah. Karena di dalam tata susunan norma hukum yang rendah dan norma hukum yang lebih tinggi, maka penentuan Pancasila sebagai norma hukum menggariskan pokok-pokok pikiran pembukaan hukum dasar. Yang merupakan jaminan tentang adanya keserasian dan tiadanya pertentangan antara Pancasila sebagai norma hukum yang rendah. Bagi Attamimi, ketidakserasian dan pertentangan antara suatu norma hukum dengan norma hukum yang lebih tinggi menyebabkan terjadinya ketidakkonstitusionalan (unconstitutionality) dan ketidaklegalan (Illegality), norma tersebut dan karena itu tidak berlaku. Lebih lanjut lagi Attamimi, UUD 1945 dalam tata hukum yang berlaku bagi bangsa Indonesia, Pancasila berada dalam kedudukan sebagai cita hukum (Richtsidee), Pancasila berada berada dalam tata hukum Indonesia namun posisinya di luar sistem norma hukum. Dalam kedudukan yang demikian . Pancasila berfungsi secara konstitusi dan secara regulatif terhadap norma-norma yang ada dalam sistem norma hukum. Pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam pembukaan UUD 1945, Pancasila merupakan norma dasar (Grundnorm), oleh Nawiasky sebagaimana yang dikutip Attamimi menjelaskan bahwa dalam suatu negara sebaiknya disebut norma fundamental negara, yang menciptakan semua norma-norma yang lebih rendah dalam sistem norma hukum tersebut, serta menentukan berlaku atau tidaknya norma-norma dimaksud. Dalam menentukan hukum tidak tertulis dan pembentukan hukum tertulis, cita hukum berperan dengan cara yang berlainan. Bagi Attamimi : Pertama, cita hukum secara langsung mempengaruhi kesusilaan perorangan dan pada giliran kesusilaan masyarakat dalam menghadirkan cara dan kesusilaan umum dalam membentuk kebiasaan, perilaku, adat istiadat dan hukum. Kedua, cita hukum mempengaruhi perorangan dan masyarakat secara tidak langsung melalui endapan-endapan nilai yang berjenjang, terjadi di bawah bimbingan cita moral dan cita hukum tertulis, tahapan-tahapan yang membentuk endapan-endapan nilai tersebut tidak terjadi. Cita hukum tidak langsung mengawasi pembentukan hukum termasuk cita moral. Landasan filosofis terkait dengan Pancasila dijadikan sebagai sumber nilai dan cita-cita hukum dan perundang-undangan, pada hakikatnya adalah suatu amanat konstitusi yang berlaku surut bagi negara Indonesia. Baik di dalam pelaksanaan sistem pemerintahan maupun dalam proses penegakan hukum. Sebab Pancasila menjadi sumber dari segala sumber hukum. Walaupun dalam pelaksanaannya, cita hukum yang digambarkan Attamimi tidak langsung mengawasi pembentukan hukum, akan tetapi amanat secara konstitusi berpijak pada nilai Pancasila. Maka, produk hukum dan perundang-undangan selaras dan tidak boleh bertentangan dengan Pancasila. Oleh karena itu, Pancasila dengan kesadaran kolektif masyarakat yang pluralis dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara. Diterimanya Pancasila sebagai dasar negara dan idiologi nasional membawa konsekuensi logis bahwa nilai-nilai Pancasila dijadikan landasan pokok, landasan fundamental bagi penyelenggaraan negara Indonesia. Bila dipelajari dalam perjalanan sejarah Indonesia, terhitung mulai dari zaman pra kemerdekaan dan zaman kemerdekaan, perjuangan mengisi kemerdekaan dengan pembangunan, dan sampai berjuang untuk perubahan yang positif disetiap aspek kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara antara lain : reformasi dibidang politik, ekonomi, sosial, budaya dan pertahanan. Pancasila tidak luput dari pasang surut penghayatan dan pengamalannya oleh setiap warga negara Indonesia. Pancasila menjadi sumber dari segala sumber hukum sesungguhnya memuat nilai-nilai luhur yang hingga saat ini tetap menjadi penguatan dan pemersatu bangsa Indonesia. Yang pada hakikatnya berisi lima 7
  • 11. nilai dasar yang fundamental dan filosifis sehingga menjadi sumber cita hukum dan perundang-undangan di Indonesia. Nilai-nilai dasar Pancasila tersebut diantaranya : a. Nilai ketuhanan b. Nilai Kemanusiaan c. Nilai Keadilan d. Nilai Persatuan e. Nilai Kerakyatan a.Nilai Ketuhanan; Nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, nilai keyakinan dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, mengandung arti akan adanya pengakuan dan keyakinan bangsa Indonesia terhadap adanya Tuhan sebagai pencipta alam semesta. Dengan nilai ini menyatakan bangsa Indonesia merupakan bangsa yang religius bukan bangsa yang ateis (tidak bertuhan). Nilai ketuhanan memiliki arti adanya pengakuan akan kebebasan bagi masyarakat Indonesia untuk memeluk agama, menghormati kemerdekaan beragama, tidak ada paksaan serta tidak berlaku diskriminatif antar umat beragama. Pada sila kesatu ini, Presiden Soekarno mengatakan bahwa Indonesia harus percaya kepada Tuhannya sendiri. Di negara Indonesia akan menjadi sebuah negara yang setiap rakyatnya dapat menyembah Tuhan sesuai dengan keyakinannya masing-masing. Rakyat hendaknya menyembah Tuhannya dengan cara yang sopan, yaitu secara egoisme dalam beragama. Prinsip beragama yang berpijak pada nilai dan norma agama yang terkadang dalam kitab suci dan menjadi sandaran dalam beragama. b.Nilai Kemanusiaan; Nilai kemanusiaan yang adil dan beradap. Di mana, nilai keberadaban dijunjung tinggi oleh bangsa di dunia. Sifat-sifat kemanusiaan (humanisme) yang tidak berperikemanusiaan atau tidak beradap sepantasnya dihapuskan di muka bumi, seperti penjajahan harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Nilai kemanusiaan dalam pemaknaan sosiologis, dapat mengandung arti kesadaran sikap dan perilaku sesuai dengan nilai-nilai moral dalam hidup bersama atas dasar tuntutan hati nurani dengan praktik yang humanis. Kemanusiaan yang adil dan beradap sejatinya tumbuh subur di Indonesia, apabila setiap pemimpin nasional dan elit-elit politik memiliki hati nurani yang bersih, ikhlas berbuat, mengabdi kepada tanah air, bangsa dan rakyat, jujur bertutur dan bijak dalam bertindak. Bertutur yang jujur, bila janji dalam kampanye wajib ditunaikan dan bijak dalam bertindak, tidak menyakiti rakyat dengan kebijakan politik tidak berpihak dan sarat KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme). c.Nilai Persatuan; Nilai persatuan Indonesia mengandung makna usaha kearah bersatu dalam keteguhan masyarakat untuk membina rasa nasionalisme dalam Negara Kesatuan republik Indonesia. Persatuan Indonesia sekaligus mengakui dan menghargai sepenuhnya terhadap keanekaragaman yang dimiliki bangsa Indonesia. Sesungguhnya sila ini telah tertanam dalam kehidupan masyarakat Indonesia dalam bentuk gotong royong (mufakat melalui musyawarah). Ini adalah tradisi adat kuno bangsa Indonesia. Pada masa lampau, seluruh tanah di sebuah desa adalah milik masyarakat, bukan milik penguasa. Gotong royong dipraktikkan ketika bekerja di sawah maupun ketika membangun rumah, sebagai bagian dari pelayanan kepada masyarakat. Gotong royong sebagai ciri pemersatu bangsa, tentu menjadi basis tradisi bangsa Indonesia. Misalnya di zaman kemerdekaan, masyarakat Aceh dengan sukarela menyumbangkan harta mereka dengan membeli pesawat pertama untuk pemerintah. Dan saat ini, di Kota Ternate, ada satu praktik tradisi gotong royong dalam masyarakat yang nyata dan rutin dilakukan. Tradisi tersebut ialah bari fola (membangun rumah), tradisi membangun rumah bagi masyarakat yang tidak mampu di Kota Ternate. Bari fola buah dari semangat bersama dari masyarakat keturunan Tidore yang bermukim di pulau Ternate. d.Nilai Kerakyatan; Nilai kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan mengandung makna suatu pemerintah dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat dengan cara musyawarah mufakat melalui lembaga-lembaga perwakilan. Semua bangsa dan negara di dunia menjunjung tinggi nilai-nilai musyawarah untuk mencapai mufakat. Pertemuan dalam kegiatan internasional bertujuan untuk musyawarah mufakat, di mana nilai ini bernilai universal. Di Indonesia, musyawarah mufakat terimplementasi dan disalurkan melalui bentuk perwakilan rakyat yang duduk di DPR , baik pusat maupun daerah. Dalam kehidupan sehari-hari di keluarga bermusyawarah untuk mencapai mufakat berpegang pada peribahasa, bulat air di pembuluh bulat kata di mufakat. Artinya, ketika ada permasalahan, hendaknya dilakukan mufakat, inilah yang kemudian menginspirasi para pendiri bangsa untuk meinisiasi lahirnya sila keempat ini, 8
  • 12. dengan berbasis pada akar budaya, adat istiadat, dan norma kehidupan. e.Nilai Keadilan; Nilai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia mengandung makna sebagai dasar sekaligus tujuan, yaitu tercapainya masyarakat Indonesia Yang Adil dan makmur secara lahiriah maupun batiniah. Di samping itu, nilai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia mencakup, agama ataupun mengajarkan tentang keadilan. Dalam kehidupan bermusyawarah berbangsa dan bernegara seyogyanya keadilan dikedepankan. Negara dan bangsa apa pun, sepatutnya berpegang teguh kepada prinsip keadilan. Termasuk dalam proses pembuatan undang-undang maupun mempraktikan hukum. Penerapan hukum berkeadilan menjadi keharusan bagi para penegak hukum. Hukum harus adil, tidak tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Sebagaimana yang menjadi aspirasi masyarakat dalam memandang kasus penegakan hukum di Indonesia. Memahami nilai yang terkandung dalam Pancasila sebagaimana yang telah diletakkan kedudukannya oleh para pendiri bangsa kemudian tergambarkan dalam UUD 1945, sesungguhnya melewati ragam fase dengan perdebatan dan pertimbangan yang saling menguatkan diantara para pendiri bangsa. Presiden pertama Indonesia, Ir. Soekarno adalah salah seorang founding fathers yang memiliki kemampuan bawaan untuk menjangkau hati rakyat. Pada saat menyederhanakan Pancasila menjadi Tri Sila. Menurut Bung Karno, dua sila pertama, nasionalisme dan internasionalisme, nasionalisme dengan kemanusiaannya dan demokrasi lain dari demokrasi barat, tetapi, bersama dengan kesejahteraan (sosio-demokrasi). Kepercayaan kepada Tuhan dengan sikap saling menghormati satu sama lain adalah sila yang lain. Dengan demikian, semula lima telah menjadi tiga. Lebih lanjut, bung Karno bila saudara-saudara menyukai tiga sila ini dan meminta satu sila saja. Kalau saya padatkan lima menjadi tiga dan tiga menjadi satu, lalu saya mempunyai istilah sejati Indonesia yakni, gotong royong atau saling bekerja sama. Bagi Bung Karno, negara Indonesia yang harus kita bangun haruslah negara gotong royong. Gotong royong adalah suatu konsep yang dinamis, lebih dinamis dari asas kekeluargaan. Asas kekeluargaan menurut Bung Karno adalah konsep statis, namun gotong royong menggambarkan usaha kerja keras, tindakan melayani, suatu tugas. Gotong royong berarti membanting tulang bersama, bersimbah peluh bersama, sutu perjuangan bersama untuk menolong satu sama lain. Tindakan pelayanan oleh semua orang untuk kepentingan bersama. Berdasarkan terbentuknya suatu aliran hukum di atas maka Pancasila layak sebagai aliran hukum. Secara rangkaian proses terbentuknya, Pancasila dikemukakan oleh Soekarno pada 1 Juni 1945 kemudian disempurnakan oleh Panitia Sembilan yang menghasilkan mukadimah/Genlement Agreement/Piagam Jakarta 22 Juni 1945. Kemudian disempurnakan kembali dengan mencoret tujuh kata dalam rumusan sila pertama lalu ditetapkan secara final pada 18 Agustus 1945. Rangkaian proses ini sudah menunjukkan Pancasila layak sebagai suatu aliran pemikiran. Begitu pula secara prinsip relevansi atau kesesuaian dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat, Pancasila sudah memenuhinya. Dengan demikian, apabila Pancasila dijadikan sebagai suatu aliran hukum maka aliran hukum yang lahir dan berkembang menurut realitas kehidupan, kebutuhan dan perkembangan bangsa Indonesia. Tujuan penting menjadikan Pancasila sebagai suatu aliran hukum tentu bukan untuk melawan aliran-aliran hukum yang masih relevan untuk diterapkan sebagai hukum positif tetapi terutama agar negara Indonesia memiliki suatu sistem hukum nasional yang jelas , utuh dan imparsial. Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum memang telah memiliki rumah hukum atau legimitasi yuridis, akan tetapi belum memiliki kedudukan dalam hierarki peraturan perundang-undangan. Terkait dengan Pancasila dalam sistem hierarki perundang-undangan, sekarang ini kerap terpelihara suatu pandangan yang tidak produktif bahwa Pancasila tidak etis dimasukkan dalam hierarki peraturan perundang-undangan karena Pancasila merupakan dasar negara sudah menjadi sumber tertib hukum. Menurut Fais Yonas Bo’a. mengutip Stufenbeautheory Kelsen dan Nawiasky yang mengharuskan puncak hierarkis norma dasar adalah norma dasar atau Grundnorm/Staatsfundamentalnorm maka Pancasila sebagai norma dasar seharusnya berada dalam puncak tata urutan norma tersebut. Kemudian, Fais Yonas Bo’a menguraikan tata urutan peraturan perundang-undangan dari atas ke bawah menjadi sebagai berikut: a) Pancasila, 9
  • 13. b) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, c) Ketetapan majelis permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, d) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang - Undang, e) Peraturan Pemerintah, f) Peraturan Presiden, g) Peraturan daerah provinsi, dan h) Peraturan daerah Kabupaten/Kota. Dari uraian Fais Yonas Bo’a di atas, dapat dipahami bahwa kedudukan Pancasila sebagai puncak hirarki peraturan perundang-undangan bukan bermaksud mengurangi keberadaan Pancasila sebagai pandangan hidup dan dasar negara melainkan sebagai upaya untuk menghindari penyimpangan-penyimpangan peraturan perundang-undangan. Pancasila sebagai sumber tertib hukum atau sumber segala sumber hukum dalam tatanan hukum Indonesia telah menjadi sesuatu yang bermakna semata formalitas. 5. Aktualisasi Nilai-Nilai Pancasila Dalam Penegakan Hukum Di Indonesia Aktualisasi nilai-nilai Pancasila dalam penegakan hukum di Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan salah satu bagian penting dari amanah dan cita-cita luhur Proklamasi dan Undang-Undang Dasar 1945. Proklamasi menjadi penggambaran akan kemerdekaan dan perubahan yang fundamental bagi bangsa Indonesia. Kemerdekaan yang diraih menjadi buah dari perjuangan segenap masyarakat yang berbeda bangsa, etnis, agama, dan kebudayaan. Dan UUD 1945 menjadi pijakan dalam proses pengaktualisasian nilai-nilai Pancasila dengan mengakomodasi semua sistem hukum yang berlaku dalam masyarakat. Proses mengakomodasi semua sistem nilai tersebut tergambar dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Namun, di sisi lain Pancasila sebagai Dasar Negara sesungguhnya perlu dipandang sebagai sumber dari segala sumber hukum, hingga dalam proses penegakan hukum di masyarakat. Semua sumber hukum dalam masyarakat dalam praktiknya tidak bertentangan dengan Pancasila. Upaya untuk mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila, guna menjadi dasar pijakan penegakan hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Maka menurut Din Syamsuddin, Pancasila tidak semata merupakan gentelmen agreement diantara berbagai kelompok bangsa yang majemuk. Pancasila menjadi pemersatu (unified force) yang relevan untuk Indonesia yang majemuk. Pancasila terkadang disebut sebagai political statement karena mengandung falsafah dalam dirinya. Lebih lanjut, Din Syamsudin menegaskan bahwa Bhinneka Tunggal Ika merupakan hal yang genuine dan berjasa dalam memperkuat kemajemukan Indonesia yang sesungguhnya sangat rentan terhadap perpecahan. Realitas kemajemukan yang dialami oleh Indonesia ditambah tendensi kemajemukan tersebut membuah Indonesia menghadapi tantangan ganda. Bagi Din Syamsuddin, kenyataannya kemajemukan itu sendiri telah mempunyai konflik dan saat ini Indonesia menghadapi tendensi melalui globalisasi. Dampak dari globalisasi salah satunya ialah pecahnya suatu negara menjadi federasi. Di Indonesia, tantangannya lebih berat, karena Indonesia belum cukup kuat untuk menjadi kebangsaan (nationhood). Tantangan di era reformasi yang menyajikan kebebasan, sesuatu yang berharga yang tidak ada di masa lampau. Maka ini dapat menggoyahkan sendi-sendi persatuan bangsa. Tantangan Indonesia untuk menjadi bangsa yang kuat, sebagaimana yang diuraikan oleh Din Syamsuddin bahwa perkembangan zaman yang beriringan dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi saat ini tentunya dapat menggerus sendi-sendi persatuan dan kesatuan bangsa. Oleh sebab itu, Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum perlu diasosiasikan dalam perkembangan zaman yang terus berubah ini. Dimana ada polarisasi dalam politik yang kecenderungan pada dinamika politik identitas. Maka, Pancasila hadir mengapresiasi apa pun perkembangan dinamika politik, namun tetapi berkolerasi dengan sistem nilai yang tertuang dalam Pancasila itu sendiri. Maka, proses mengaktualisasi nilai-nilai Pancasila menyatu dalam semua aspek kehidupan masyarakat yang di dalamnya mencakup kehidupan politik maupun proses penegakan hukum. Nilai-nilai Pancasila penting peranannya dalam penegakan hukum agar benar-benar menjadi sarana pembangunan dan pembaharuan masyarakat yang kita harapkan. Hukum dapat berperan sebagai objek pembangunan dalam rangka mewujudkan hukum yang ideal sesuai dengan nilai-nilai yang hidup di masyarakat. Tetapi juga hukum dapat menjadi subjek pembangunan manakala hukum itu telah berfungsi di masyarakat 10
  • 14. sebagai penggerak dan pengaman pembangunan dan hasil-hasilnya. Di sinilah pentingnya peranan Pancasila untuk menghasilkan hukum yang benar-benar mengakar di dalam perilaku masyarakat. Landasan penegakan hukum yang dapat menjawab tuntutan masyarakat haruslah hukum yang responsif, jika tidak maka hukum akan kehilangan rohnya. Moral dan keadilan adalah merupakan rohnya hukum. Reformasi hukum seyogyanya melihat kembali pada tatanan moralitas yang hidup, tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Suara-suara rakyat dari bahwa haruslah sudah tiba waktunya untuk disahuti, dengan merumuskan berbagai kebijakan yang dituangkan dalam produk pembangunan hukum. Reformasi hukum di Indonesia dalam sesungguhnya menjadi salah satu cita-cita reformasi yang bergulir pada 1998, reformasi dalam bidang hukum tentu berpijak pada proses penegakan hukum di era demi era pemerintah yang memerintah di Indonesia yang dinilai secara kolektif belum mengalami perubahan ke arah perbaikan dan berkeadilan. Maka, pembangunan hukum yang berbasis pada nilai-nilai luhur Pancasila yang kemudian dijadikan sebagai sumber nilai dan cita-cita hukum dan perundang-undangan. Pancasila yang menjadi sumber dari segala sumber hukum seharusnya menjadi landasan hukum di Indonesia. Baik di dalam pelaksanaan sistem pemerintahan maupun dalam proses penegakan hukum. Dikarenakan, amanat secara konstitusi berpijak pada nilai Pancasila. Maka, produk hukum dan perundang-undangan selaras dan tidak boleh bertentangan dengan Pancasila. Oleh karena itu, Pancasila dengan kesadaran kolektif masyarakat Indonesia yang pluralis ini perlu diperlakukan sama di mata hukum. Apabila dalam proses penegakan hukum terlihat pincang atau tidak berbasis kepada nilai-nilai Pancasila yang di dalamnya ada nilai keadilan, maka akan terjadi ketidakpatuhan hukum dalam masyarakat. Bagi Farida Sekti Pahlevi, menegaskan bahwa dalam proses Penegakan Hukum (law enforcement) dalam arti luas mencakup kegiatan untuk melaksanakan dan menerapkan hukum serta melakukan tindakan hukum terhadap setiap pelanggaran atau penyimpangan hukum yang dilakukan oleh subjek hukum, baik melalui prosedur peradilan maupun melalui prosedur arbitrase dan mekanisme penyelesaian sengketa lainnya (alternative desputes or conflicts resolution). Bahkan, dalam pengertian yang lebih luas lagi, kegiatan penegakan hukum mencakup pula segala aktifitas yang dimaksudkan agar hukum sebagai perangkat kaidah normatif yang mengatur dan mengikat para subjek hukum dalam aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara benar-benar ditaati dan sungguh-sungguh dijalankan sebagaimana mestinya. Dalam arti sempit, penegakan hukum itu menyangkut kegiatan penindakan terhadap setiap pelanggaran atau penyimpangan terhadap peraturan perundang-undangan, khususnya yang lebih sempit lagi melalui proses peradilan pidana yang melibatkan peran aparat kepolisian, kejaksaan, advokat atau pengacara, dan badan-badan peradilan. Pada praktiknya hukum mempunyai tugas yang suci, yaitu memberi kepada setiap orang yang ia berhak menerimanya. Peraturan hukum dibuat untuk setiap orang atau untuk menyelesaikan suatu kasus tertentu. Secara teoritis dapat dikemukakan beberapa asas untuk menentukan apakah sesuatu itu adil atau tidak adil, sebagaimana menurut Riduan Syahrani, yang dikutip Farida Sekti Pahlevi, yakni: a) Asas persamaan, di mana diadakan pembagian secara mutlak. Setiap warga masyarakat mendapatkan bagian secara merata tanpa memperhatikan kelebihan/kekurangan individu. b) Asas kebutuhan, di mana setiap warga masyarakat mendapatkan bagian sesuai dengan keperluannya yang nyata. c) Asas kualifikasi, di mana keadilan didasarkan pada kenyataan bahwa yang bersangkutan akan dapat mengerjakan tugas yang diberikan kepadanya. d) Asas prestasi objektif, bahwa bagian seseorang warga masyarakat didasarkan pada syarat-syarat subyektif misalnya intensi, ketekunan, kerajinan, dan lain-lain. 6. Pancasila Sebagai Paradigma Reformasi Hukum Dalam era reformasi akhir-akhir ini seruan dan tuntutan rakyat terhadap perubahan hukum sudah merupakan suatu keharusan karena reformasi yang melakukan penataan kembali tidak mungkin dilakukan tanpa melakukan perubahan-perubahan terhadap peraturan perundang-undangan. Agenda yang lebih konkret yang diperjuangkan oleh para reformis yang paling mendesak adalah reformasi bidang hukum. Hal ini berdasarkan suatu kenyataan bahwa setelah peristiwa 21 Mei 1998 saat runtuhnya kekuasaan Orde Baru, salah 11
  • 15. satu subsistem yang mengalami kerusakan parah selama Orde Baru adalah bidang hukum. Produk hukum baik materi maupun penegakannya dirasakan semakin menjauh dari nilai-nilai kemanusiaan, kerakyatan serta keadilan. Subsistem hukum nampaknya tidak mampu menjadi pelindung bagi kepentingan masyarakat dan yang berlaku hanya bersifat imperatif bagi penyelenggara pemerintah. Oleh karena kerusakan atas subsistem hukum yang sangat menentukan dalam berbagai bidang misalnya politik, ekonomi, dan bidang lainnya maka bangsa Indonesia ingin melakukan suatu reformasi, menata kembali subsistem yang mengalami kerusakan tersebut. Namun demikian hendaklah dipahami bahwa dalam melakukan reformasi tidak mungkin dilakukan secara spekulatif saja melainkan harus memiliki dasar, landasan serta sumber nilai yang jelas, dan dalam masalah ini nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila yang merupakan dasar cita-cita reformasi. 7. Pancasila Sebagai Sumber Nilai Perubahan Hukum Dalam negara terdapat sutu dasar fundamental atau pokok kaidah yang merupakan sumber hukum positif yang dalam ilmu hukum tata negara disebut “Staatsfundamentalnorm”. Dalam negara Indonesia “Staatsfundamentalnorm” tersebut intinya tidak lain adalah Pancasila. Maka Pancasila merupakan cita-cita hukum, kerangka pikir, sumber nilai serta sumber arah penyusunan dan perubahan hukum positif di Indonesia. Dalam pengertian inilah maka Pancasila berfungsi sebagai paradigma hukum terutama dalam kaitannya dengan berbagai macam upaya perubahan hukum, Pancasila harus merupakan paradigma dalam suatu pembaharuan hukum. Materi-materi dalam suatu produk hukum atau perubahan hukum dapat senantiasa berubah dan diubah sesuai dengan perkembangan zaman, perkembangan iptek serta perkembangan aspirasi masyarakat namun sumber nilai (yaitu nilai-nilai Pancasila) harus senantiasa tetap. Hal ini mengingat kenyataan bahwa hukum itu tidak berada pada situasi vacum. Oleh karena itu agar hukum berfungsi sebagai pelayanan kebutuhan masyarakat maka hukum harus senantiasa diperbaharui agar aktual atau sesuai dengan keadaan serta kebutuhan masyarakat yang dilayaninya dan dalam pembaharuan hukum yang terus-menerus tersebut Pancasila harus tetap sebagai kerangka berpikir, sumber norma, dan sumber nilai-nilai lainnya. Sebagai paradigma dalam pembaharuan tatanan hukum Pancasila itu dapat dipandang sebagai “Cita-cita hukum” yang berkedudukan sebagai Staatsfundamentalnorm dalam negara Indonesia. Sebagai cita-cita hukum Pancasila dapat memenuhi fungsi konstitutif maupun fungsi regulatif. Dengan fungsi regulatifnya Pancasila menentukan dasar suatu tata hukum yang memberi arti dan makna bagi hukum itu sendiri sehingga tanpa dasar yang diberikan oleh Pancasila maka hukum akan kehilangan arti dan maknanya sebagai hukum itu sendiri. Demikian juga dengan fungsi regulatifnya Pancasila menentukan apakah suatu hukum positif itu sebagai produk yang adil ataukah tidak adil. Sebagai Staatsfundamentalnorm Pancasila merupakan pangkal tolak derivasi (sumber penjabaran) dari tertib hukum di Indonesia termasuk UUD 1945. Dalam pengertian inilah menurut istilah ilmu hukum disebut sebagai sumber dari segala peraturan perundang-undangan di Indonesia (Mahfud, 1999:59). Sumber hukum meliputi dua macam pengertian, (1) sumber formal hukum, yaitu sumber hukum ditinjau dari bentuk dan tata cara penyusunan hukum, yang mengikat terhadap komunitasnya, misalnya Undang-undang, Permen, Perda; dan (2) sumber material hukum, yaitu suatu sumber hukum yang menentukan materi atau isi suatu norma hukum Darmodiharjo, (1996:206). Pancasila yang di dalamnya terkandung nilai-nilai religius, nilai hukum kodrat, nilai hukum moral pada hakikatnya merupakan suatu sumber material hukum positif di Indonesia. Dengan demikian Pancasila menentukan isi dan bentuk peraturan perundang-undangan di Indonesia yang tersusun secara hierarkis. 8. Dasar Yuridis Reformasi Hukum Dalam wacana reformasi hukum dewasa ini bermunculan berbagai pendapat yang pada taraf tertentu nampak hanya luapan emosional yang dan meninggalkan aspek konsepsional. Reformasi total sering disalahartikan sebagai dapat melakukan perubahan dalam bidang apapun dan dengan jalan apapun. Jikalau halnya demikian maka kita kembali menjadi bangsa tidak beradap, bangsa yang tidak berbudaya masyarakat 12
  • 16. yang tanpa hukum yang menurut Hobbes disebut keadaan “homo hominis lupus”manusia akan menjadi serigala manusia lainnya dan hukum yang berlaku adalah hukum rimba. Oleh karena itu reformasi hukum harus konsepsional dan konstitusional, sehingga reformasi hukum memiliki landasan dan tujuan yang jelas. Dalam upaya reformasi hukum dewasa ini telah banyak dilontarkan berbagai macam pendapat tentang aspek apa saja yang dapat dilakukan dalam perubahan hukum di Indonesia, bahkan telah banyak usulan untuk perlunya amandemen atau kalau perlu perubahan secara menyeluruh terhadap pasal-pasal UUD 1945. Hal ini berdasarkan pada suatu kenyataan bahwa UUD 1945 beberapa pasalnya dalam praktik penyelenggaraan negara bersifat berwayuh arti (multi interpretable), dan memberikan porsi kekuasaan yang sangat besar kepada Presiden (executif heavy). Akibatnya memberikan kontribusi atas terjadinya krisis politik serta mandulnya fungsi hukum dalam negara republik Indonesia. Diakuinya berdasarkan banyaknya aspirasi yang berkembang cenderung ke arah adanya amandemen terhadap pasal-pasal UUD bukannya perubahan secara menyeluruh (Mahfud, 1999:56). Namun hendaklah dipahami secara objektif bahwa bilamana terjadi suatu amandemen atau bahkan perubahan terhadap seluruh pasal UUD 1945 maka hal itu tidak akan menyangkut perubahan terhadap pembukaan UUD 1945, karena pembukaan UUD 1945 yang berkedudukan sebagai Pokok Kaidah Negara yang Fundamental, merupakan sumber hukum positif, memuat Pancasila sebagai dasar Filsafat Negara serta terlekat pada kelangsungan hidup Negara Proklamasi 17 Agustus 1945. Oleh karena itu perubahan terhadap Pembukaan UUD 1945 adalah suatu revolusi dan sama halnya dengan menghilangkan eksistensi bangsa dan negara Indonesia, atau dengan perkataan lain sama halnya dengan pembubaran negara Indonesia. 9. Kesimpulan Pada hakikatnya tegaknya hukum dan keadilan ini adalah wujud kesejahteraan manusia (masyarakat) lahir batin, sosial dan moral. Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum, mengakui bahwa kewajiban untuk menjamin dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia bukanlah tanggung jawab kelembagaan hukum semata-mata, melainkan tanggung jawab semua warga negara sebagaimana ditetapkan oleh falsafah Pancasila dan UUD 1945. Wujud tanggung jawab menegakkan keadilan ialah kualitas kesadaran hukum masyarakat yang tampak dalam tertib sosial atau disiplin nasional. Memahami uraian Farida Sekti Pahlevi yang secara eksplisit menegaskan bahwa, Indonesia sebagai negara hukum yang mengakui bahwa kewajiban untuk menjamin dan mewujudkan rasa keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagaimana yang tertuang dalam sila kelima Pancasila perlu dijalankan secara adil dan konsisten. Disisi lain, proses penegakan hukum dan mewujudkan rasa berkeadilan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tidak semata menjadi tanggung jawab pemerintah atau kelembagaan hukum semata-mata, melainkan tanggung jawab semua warga negara Indonesia sebagaimana yang telah ditetapkan oleh falsafah Pancasila dan UUD 1945. 10. Saran Sebagai warga negara yang baik seyogyanya kita harus patuh dan taat terhadap hukum yang berlaku di dalam lingkungan masyarakat, dan negara. Sebagaimana yang telah di cantumkan dalam Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945. Hal ini supaya tercipta tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara menuju arah yang labih baik. Selain itu, dalam membuat suatu undang-undang yang mengatur kehidupan masyarakat dan negara haruslah berdasarkan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Bab IV Penutup 13
  • 17. DAFTAR PUSTAKA 1. Zulmasyhur dkk. Cetakan II/2021. Pendidikan Pancasila Buku Ajar Untuk Perguruan Tinggi. Jakarta: Leader. 2. UUD 1945 dan Amandemen. Jakarta: Bintang Indonesia. 3. Kaelan. 2010. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Paradigma. TERIMAKASIH 14