Teks tersebut membahas definisi dan kategorisasi harta menurut pandangan ulama fiqh. Harta didefinisikan sebagai segala sesuatu yang memiliki nilai dan dapat dimiliki serta dijaga keberadaannya. Ada 4 kategori harta yaitu: mutaqawwim dan ghair mutaqawwim (boleh dan tidak boleh dimanfaatkan), 'iqar dan manqul (tetap dan dapat dipindah), mitsli dan qimi (memiliki padanan harga dan tidak). Setiap
2. DEFINISI HARTA
Menurut Wahbah Zuhaili (1989, IV, hal. 40),
secara linguistik, al maal didefinisikan sebagai
segala sesuatu yang dapat mendatangkan
ketenangan, dan bisa dimiliki oleh manusia
dengan sebuah upaya (fi‟il), baik sesuatu itu
berupa dzat (materi) seperti; komputer, kamera
digital, hewan ternak, tumbuhan, dan lainnya.
Atau pun berupa manfaat, seperti; kendaraan,
pakaian, atau pun tempat tinggal.
3. Menurut Hanafiyah, al maal
adalah segala sesuatu yang
mungkin untuk dimiliki,
disimpan, dan
dimanfaatkan.
4. Menurut mayoritas ulama fiqh, al maal adalah
segala sesuatu yang memiliki nilai, dimana bagi
orang yang merusaknya, berkewajiban untuk
menanggung atau menggantinya. Lebih lanjut
Imam Syafii mengatakan, al maal dikhususkan
pada sesuatu yang bernilai dan bisa diperjual-
belikan dan memiliki konsekuensi bagi yang
merusaknya. Berdasarkan pengertian ini, al maal
haruslah sesuatu yang dapat merefleksikan sebuah
nilai finansial, dalam arti ia bisa diukur dengan
satuan moneter (Zuhaili, 1989, IV, hal. 42).
5. Mustafa Ahmad Zarqa (1984, hal. 289)
menegaskan, memang terdapat perbedaan
mendasar antara pandangan orang syariah dengan
qanun (hukum). Menurut beliau, sesuatu itu
dikatakan harta (al maal) jika memenuhi 2 syarat,
yaitu;
Sesuatu itu harus berwujud materi dan bisa
diraba,
Biasanya manusia akan berusaha untuk
meraihnya, dan menjaganya agar tidak diambil
atau dimiliki orang lain. Dengan demikian harta
itu haruslah memiliki nilai materi.
6. HAK DAN MANFAAT
Mazhab Hanafi meringkas definisi harta pada sesuatu
atau dzat yang bersifat materi. Dalam arti memiliki
bentuk fisik yang dapat dilihat atau diraba. Dengan
demikian, hak dan manfaat tidak termasuk dalam
kategori harta, akan tetapi merupakan kepemilikan
7. Berbeda dengan ulama fiqh selain Hanafiyah.
Menurut mereka, hak dan manfaat termasuk
harta. Dengan alasan, maksud dan tujuan
memiliki sesuatu adalah karena terdapat manfaat
yang dapat diterima, bukan karena dzatnya. Atas
dasar adanya manfaat tersebut, manusia berusaha
untuk menjaga dan menyimpan kemanfaatan yang
inheren dalam dzat sesuatu.
8. Yang dimaksud dengan manfaat adalah faidah/
fungsi yang terdapat dalam suatu dzat (benda),
seperti menempati rumah, mengendarai mobil,
atau memakai pakaian. Dalam arti, dengan
memiliki mobil, maka manfaat yang bisa
dirasakan adalah kita bisa mengendarai-nya ke
suatu tempat yang kita inginkan. Dengan memiliki
pakaian, maka kita bisa memakainya untuk
menutupi aurat, dan seterusnya, ini adalah
manfaat.
9. Jadi, sebenarnya maksud dari memiliki sesuatu
adalah karena terdapat manfaat yang dapat kita
rasakan, bukan karena dzatnya. Jika misalnya,
mobil yang kita miliki sudah tidak bisa kita
kendarai, tentunya mobil tersebut tidak akan kita
pakai lagi, walaupun secara fisik mungkin masih
terlihat bagus.
10. Sedangkan hak adalah sesuatu yang telah ditetapkan
oleh syara‟ terhadap seseorang untuk diberi
kekhususan atas suatu kekuasaan atau suatu beban
hukum tertentu. Artinya, dengan adanya hak, seseorang
memiliki kekuasaan atau kekebalan hukum atas
sesuatu yang diakui oleh syara‟. Pemilik hak tersebut
memiliki wewenang atau kuasa penuh atas barang yang
telah dibenarkan oleh syara‟ untuknya. Terkadang hak
itu berhubungan dengan harta, seperti hak kepemilikan,
hak untuk merawat dan memelihara kebun, dan
lainnya. Tapi, terkadang juga tidak berhubungan
dengan harta, seperti hak untuk merawat anak.
11. substansi seseorang memiliki benda (dzat) adalah
karena adanya unsur manfaat, jika manfaat itu
telah tiada, maka ia akan cenderung untuk
meninggalkannya.
12. Adanya perbedaan pandangan ini, akan mempunyai
implikasi hukum tertentu, khususnya dalam hal ghasab
(menggunakan barang orang lain tanpa izin), ijarah
(sewa-menyewa) atau pun hukum waris. Menurut
Hanafiyah, orang yang meng-ghasab barang orang lain
dalam kurun waktu tertentu, kemudian barang tersebut
dikembalikan kepada pemiliknya, maka orang yang
meng-ghasab tersebut, tidak berkewajiban untuk
mengganti nilai manfaat yang telah dipakai. Dengan
catatan, barang tersebut masih utuh dan bukan milik
anak yatim, barang waqf, atau barang yang secara
khusus dimaksudkan untuk dikomersilkan. Berbeda
dengan jumhur ulama, si peng-ghasab berkewajiban
untuk mengganti nilai manfaat selama ia menggunakan
barang ghasab tersebut.
13. PEMBAGIAN HARTA
Ulama ahli fiqh, membagi harta dalam 4 kategori,
dimana setiap kategori memiliki implikasi hukum
tertentu.
Dilihat dari boleh tidaknya kita memanfaatkan
harta, ulama membagi harta menjadi mutaqawwim
dan ghair mutaqawwim.
Dilihat dari menetap atau tidaknya harta dalam
suatu tempat, harta dibagi mejadi „iqar dan manqul.
14. Jika harta itu terdapat padanannya atau tidak di
pasaran, maka dapat dikategorikan menjadi harta
mitsli dan qimi,
Jika harta itu habis setelah dikonsumsi, atau tetap
dalam wujudnya semula, maka harta ini
dikategorikan dalam istihlaki dan isti‟mali. Untuk
lebih jelasnya, akan dibahas untuk masing-masing
kategori
15. MUTAQAWWIM DAN GHAIR MUTAQAWWIM
Menurut Wahbah Zuhaili (1989, IV, hal. 44), al maal al
mutaqowwim adalah harta yang dicapai/ diperoleh
manusia dengan sebuah upaya, dan diperbolehkan oleh
syara‟ untuk memanfaatkannya, seperti makanan,
pakaian, kebun apel, dan lainnya. al maal ghair al
mutaqawwim adalah harta yang belum diraih/ dicapai
dengan suatu usaha, maksudnya harta tersebut belum
sepenuhnya berada dalam genggaman kepemilikan
manusia, seperti mutiara di dasar lautan, minyak di
perut bumi, dan lainnya
16. Atau harta tersebut tidak diperbolehkan syara‟
untuk dimanfaatkan, kecuali dalam kondisi
darurat, seperti minuman keras. Bagi seorang
muslim, harta ghair mutaqawwim tidak boleh
dikonsumsi, kecuali dalam keadaan dlarurat.
Namun demikian, yang diperbolehkan adalah
kadar minimal yang bisa menyelamatkan hidup,
tidak boleh berlebihan.
17. IMPLIKASI HUKUM
Dengan adanya pembagian harta menjadi mutaqawwim
dan ghair mutaqawwim, terdapat implikasi hukum yang
harus diperhatikan:
Sah dan tidaknya harta tersebut menjadi obyek
transaksi. Al maal al mutaqawwim bisa dijadikan
sebagai obyek transaksi, dan transaksi yang dilakukan
sah adanya. Misalnya jual beli, sewa-menyewa, hibah,
syirkah, dan lainya. Untuk al maal ghair
mutaqawwim, tidak bisa dijadikan sebagai obyek
transaksi, jika ia dipaksakan menjadi obyek transaksi,
maka transaksinya rusak atau batal adanya. Al maal
al mutaqawwim sebagai obyek transaksi, merupakan
syarat sahnya sebuah transaksi.
18. Adanya kewajiban untuk menggantinya, ketika terjadi
kerusakan. Jika harta mutaqawwim dirusak, maka
harus diganti. Jika terdapat padanannya, maka harus
diganti dengan semisalnya, namun jika tidak, bisa
diganti sesuai dengan nilainya.
Jika harta ghair mutaqawwim dimiliki oleh seorang
muslim, maka tidak ada kewajiban untuk
menggantinya. Berbeda dengan non-muslim (yang
hidup dalam daerah kekuasaan Islam), jika hewan
babi-nya dibunuh, atau minuman kerasnya dibakar,
maka ada kewajiban untuk menggantinya, karena
keduanya merupakan al maal al mutaqawwim bagi
kehidupan mereka, ini merupakan pandangan ulama
fiqh Hanafiyah.
19. ‘IQAR DAN MANQUL
Menurut Hanafiyah (1989, IV, hal. 46), manqul
adalah harta yang memungkinkan untuk dipindah,
ditransfer dari satu tempat ke tempat lainnya, baik
bentuk fisiknya (dzat/ ain) berubah atau tidak,
dengan adanya perpindahan tersebut. Diantaranya
adalah uang, harta perdagangan, hewan, atau pun
komoditas lain yang dapat ditimbang atau diukur.
Sedangkan „iqar adalah sebaliknya, harta yang tidak
bisa dipindah dari satu tempat ke tempat lainnya,
seperti tanah dan bangunan. Namun demikian,
tanaman, bangunan atau apapun yang terdapat di
atas tanah, tidak bisa dikatakan sebagai „iqar kecuali
ia tetap mengikuti/ bersatu dengan tanahnya.
20. Berbeda dengan Hanafiyah, ulama madzhab
Malikiyah cenderung mempersempit makna harta
manqul, dan memperluas makna harta „iqar. Menurut
Malikiyah, manqul adalah harta yang mungkin untuk
dipindahkan atau ditransfer dari satu tempat ke
tempat lainnya, tanpa adanya perubahan atas bentuk
fisik semula, seperti kendaraan, buku, pakaian dan
lainnya. Sedangkan „iqar adalah harta yang secara
asal tidak mungkin dapat dipindah atau ditransfer,
seperti tanah, atau mungkin dapat ditransfer dan
dipindah, akan tetapi terdapat perubahan atas bentuk
fisiknya, seperti pohon, ketika dipindah akan berubah
menjadi lempengan kayu.
21. Dalam perkembangannya, harta manqul dapat berubah
menjadi harta „iqar, dan begitu juga sebaliknya. Pintu,
listrik, batu bata, semula merupakan harta manqul,
akan tetapi setelah melekat pada bangunan, maka akan
berubah menjadi harta „iqar. Begitu juga dengan batu
bara, minyak bumi, emas, ataupun barang tambang
lainnya, semula merupakan harta „iqar, akan tetapi
setelah terpisah dari tanah, maka akan berubah menjadi
harta manqul.
22. Dengan adanya pembagian harta menjadi „iqar dan
manqul, akan terdapat beberapa implikasi hukum
sebagai berikut:
Dalam harta „iqar terdapat hak syuf‟ah, sedangkan
harta manqul tidak terdapat di dalamnya, kecuali
harta manqul tersebut menempel pada harta „iqar.
Menurut Hanafiyah, harta yang diperbolehkan untuk
di-waqf-kan adalah harta „iqar. Harta manqul
diperbolehkan jika menempel atau ikut terhadap harta
„iqar, seperti me-waqf-kan tanah beserta bangunan,
perabotan, dan segala sesuatu yang terdapat di
atasnya. Atau harta manqul yang secara umum sudah
menjadi obyek waqf, seperti mushaf, kitab-kitab, atau
peralatan jenazah. Berbeda dengan jumhur ulama,
menurut mereka, kedua macam harta tersebut dapat
dijadikan sebagai obyek waqf.
23. Seorang wali tidak boleh menjual harta „iqar atas
orang yang berada dalam tanggungannya, kecuali
mendapatkan alasan yang dibenarkan syara‟, seperti
untuk membayar hutang, memenuhi kebutuhan
dlarurat, atau kemaslahatan lain yang bersifat urgen.
Alangkah baiknya, jika harta manqul yang lebih
diprioritaskan untuk dijual, karena harta „iqar
diyakini memiliki kemaslahatan yang lebih besar bagi
pemiliknya, jadi tidak mudah untuk menjualnya.
Menurut Abu Hanifah dan Abu Yusuf, harta „iqar
boleh ditransaksikan, walaupun belum
diserahterimakan. Berbeda dengan harta manqul, ia
tdak bisa ditransaksikan sebelum ada serah terima,
karena kemungkinan terjadinya kerusakan sangat
besar.
24. MITSLI DAN QIMI
Al maal al mitsli adalah harta yang terdapat padanannya di
pasaran, tanpa adanya perbedaan atas bentuk fisik atau
bagian-bagiannya, atau kesatuannya. Harta mitsli dapat
dikategorikan menjadi 4 bagian:
al makilaat (sesuatu yang dapat ditakar) seperti; gandum,
terigu, beras
al mauzunaat (sesuatu yang dapat ditimbang) seperti;
kapas, besi, tembaga,
al ‘adadiyaat (sesuatu yang dapat dihitung dan memilki
kemiripan bentuk fisik) seperti; pisang, telor, apel, begitu
juga dengan hasil-hasil industri, seperti; mobil yang satu
tipe, buku-buku baru, perabotan rumah, dan lainnya,
al dzira’iyaat (sesuatu yang dapat diukur dan memiliki
persamaan atas bagian-bagiannya) seperti; kain, kertas,
tapi jika terdapat perbedaan atas juz-nya (bagian), maka
dikategorikan sebagai harta qimi, seperti tanah.
25. Al maal al qimi adalah harta yang tidak terdapat
padanannya di pasaran, atau terdapat padanannya,
akan tetapi nilai tiap satuannya berbeda, seperti
domba, tanah, kayu, dan lainnya. Walaupun mungkin
sama jika dilihat dari fisiknya, akan tetapi setiap satu
domba memiliki nilai yang berbeda antara satu dan
lainya. Juga termasuk dalam harta qimi adalah
durian, semangka yang memiliki kualitas dan bentuk
fisik yang berbeda.
26. Dalam perjalanannya, harta mitsli bisa berubah
menjadi harta qimi atau sebaliknya;
Jika harta mitsli susah untuk didapatkan di pasaran
(terjadi kelangkaan/ scarcity), maka secara otomatis
berubah menjadi harta qimi,
Jika terjadi pecampuran antara dua harta mitsli dari
dua jenis yang berbeda, seperti hasil modifikasi mobil
Toyota dan Honda, maka mobil tersebut menjadi harta
qimi,
Jika harta qimi terdapat banyak padanannya di
pasaran, maka secara otomatis berubah menjadi harta
mitsli.
27. Dengan adanya pembagian harta mitsli dan qimi,
memiliki implikasi hukum sebagai berikut;
Harta mitsli bisa menjadi tsaman (harga) dalam jual
beli hanya dengan menyebutkan jenis dan sifatnya,
sedangkan harta qimi tidak bisa menjadi tsaman. Jika
harta qimi dikaitkan dengan hak-hak finansial, maka
harus disebutkan secara detail, karena hal itu akan
mempengaruhi nilai yang dicerminkannya, seperti
domba Australia, tentunya akan berbeda nilainya
dengan domba Indonesia, walaupun mungkin jenis
dan sifatnya sama
Jika harta mitsli dirusak oleh orang, maka wajib
diganti dengan padanannya yang mendekati nilai
ekonomisnya (finansial), atau sama. Tapi jika harta
qimi dirusak, maka harus diganti sesuai dengan nilai
ekonomis (finansial) harta qimi tersebut, karena
memang susah untuk mendapatkan padanannya di
pasaran.
28. Jika terjadi percampuran beberapa harta mitsli, maka
pemiliknya mempunyai kebebasan untuk mengambil
harta tersebut sesuai dengan keinginannya, walaupun
tanpa izin dari pihak yang lain. Berbeda dengan harta
qimi, walaupun mungkin jenisnya sama, tapi nilainya
bisa berbeda, dengan demikian pengambilan harus
atas izin orang-orang yang berserikat
Harta mitsli rentan terhadap riba fadl. Jika terjadi
pertukaran diantara harta mitsli, dan tidak terdapat
persamaan dalam kualitas, kuantitas, dan kadarnya,
maka akan terjebak dalam riba fadl. Berbeda dengan
harta qimi yang relatif resisten terhadap riba. Jika
dipertukarkan dan terdapat perbedaan, maka tidak
ada masalah. Diperbolehkan menjual satu domba
dengan dua domba.
29. ISTIHLAKI DAN ISTI’MALI
Al maal al istihlaki adalah harta yang tidak mungkin
bisa dimanfaatkan kecuali dengan merusak bentuk
fisik harta tersebut, seperti aneka warna makanan dan
minuman, kayu bakar, BBM, uang, dan lainnya. Jika
kita ingin memanfaatkan makanan dan minuman,
maka kita harus memakan dan meminumnya sampai
bentuk fisiknya tidak kita jumpai, artinya barang
tersebut tidak akan mendatangkan manfaat, kecuali
dengan merusaknya.
Adapun untuk uang, cara mengkonsumsikannya
adalah dengan membelanjakannya. Ketika uang
tersebut keluar dari saku dan genggaman sang
pemilik, maka uang tersebut dinyatakan hilang dan
hangus, karena sudah menjadi milik orang lain,
walaupun mungkin secara fisik, bentuk dan wujudnya
masih tetap sama. Intinya, harta istihlaki adalah
harta yang hanya bisa dikonsumsi untuk sekali saja.
30. Al maal al isti‟mali adalah harta yang mungkin
untuk bisa dimanfaatkan tanpa harus merusak
bentuk fisiknya, seperti perkebunan, rumah
kontrakan, kendaraan, pakaian, dan lainnya.
Berbeda dengan istihlaki, harta isti‟mali bisa
dipakai dan dikonsumsi untuk beberapa kali.
31. Implikasi Hukum:
Harta istihlaki bisa ditransaksikan dengan tujuan untuk
konsumsi, tidak bisa misalnya kita meminjamkan dan atau
menyewakan makanan. Sebaliknya, harta isti‟mali bisa
digunakan sebagai obyek ijarah (sewa). Namun demikian
kedua harta tersebut bisa dijadikan sebagai obyek jual beli
atau titipan16.
Di samping itu, Mustafa A. Zarqa‟ juga membagi harta
menjadi maal al ashl dan maal al tsamarah. Yang
dimaksud dengan maal al ashl adalah harta benda yang
dapat menghasilkan harta lain. Sedangkan maal al
tsamarah adalah harta benda yang tumbuh atau
dihasilkan dari maal al ashl tanpa menimbulkan
kerusakan atau kerugian atasnya. Misalnya sebidang
kebun menghasilkan buah-buahan. Maka, kebun
merupakan maal al ashl, sedang buah-buahan merupakan
maal al tsamarah (Zarqa, III, hal. 217-218).
32. Pembagian harta ini menimbulkan beberapa
konsekuensi hukum sebagai berikut:
Pada prinsipnya, harta wakaf tidak dapat dimiliki
atau ditasharrufkan menjadi milik perorangan,
namun hal serupa dapat dilakukan terhadap hasil
harta wakaf
Harta yang diperuntukkan bagi kepentingan dan
fasilitas umum, seperti jalan dan pasar, pada
prinsipnya tidak dapat dimiliki oleh perseorangan.
Sedangkan penghasilan dari harta umum ini dapat
dimiliki (Mas‟adi, 2002, hal. 27-28)
33. PENGERTIAN HARTA
• Menurut bahasa (lughat), harta adalah segala sesuatu yang
diinginkan sekali oleh manusia untuk memiliki, memanfaatkan dan
menyimpannya.
• Menurut syar'a, harta adalah segala sesuatu yang dapat dimiliki
(dikuasai) dan dapat digunakan (dimanfaatkan) menurut ghalibnya
(lazim).
34. PENGERTIAN HARTA DALAM BAHASA ARAB
• Di dalam kamus Lisanul-'Arab karya Ibnu Manzur diterangkan bahwa kata mâL
(harta) berasal dari kata kerja مول
،
ملت
،
لت
ّ
تمو
،
تمو . Jadi, harta mâL
didefinisikan sebagai "segala sesuatu yang dimiliki”
• Rasulullah dalam salah satu hadistnya menyatakan bahwa yang dimaksud
dengan idha’atul maal dalam hadis ini ialah menafkahkan di jalan yang haram,
maksiat, atau pada hal-hal yang tidak disukai Allah
• Jadi pengertian harta (maal) dalam bahasa Arab ialah apa saja yang dimiliki
manusia. Kata maal itu sendiri berakar dari kata dan frase: مول
،
ملت
،
لت
ّ
تمو
،
تمو
35. PENGERTIAN HARTA DALAM AL-QUR’AN
• Dalam Al-Qur’an harta disebutkan dalam 25 surat dan 46 ayat. Menurut
Muhammad Abdul Baqi, al-maal disebutkan 86 kali dalam Al-Qur’an.
• Lafal al-maal terdapat pada ayat-ayat yang disebutkan di dalam beberapa ayat
berikut ini.
”Dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan.” (al-Fajar:20)
”Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini,
yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda
pilihan, binatang-binatang ternak [unta, lembu, kambing dan biri-biri] dan sawah
ladang.” (Ali-Imran:14).
• Jadi, yang dimaksud dengan maal (harta) itu berbeda-beda sesuai dengan
tempat di mana kata-kata itu disebutkan dalam Al-Qur’an. Akan tetapi, makna
maal (harta) secara umum ialah segala sesuatu yang disukai manusia, seperti
hasil pertanian, perak atau emas, ternak, atau barang-barang lain yang
termasuk perhiasan dunia.
36. PENGERTIAN HARTA DALAM AS-SUNNAH
• Di dalam kitab-kitab hadis terdapat banyak hadis
yang mengandung kata maal (harta), diantaranya
hadis Rasulullah
• Di dalam hadis ini menunjukkan bahwa maal itu
adalah nikmat Allah jika digunakan untuk kebaikan.
Walaupun begitu, manusia tidak boleh menyembah
harta dan menjadikannya sebagai tujuan hidup
dunia dan lupa mengabdi kepada Allah.
• Hadis-hadis ini secara tegas melarang penahanan
atau penimbunan harta, me-nasionalisasi-kan
(seperti sistem komunis) atau mengganggu harta
seseorang oleh pemerintah tanpa alasan yang tegas.
37. PENGERTIAN HARTA MENURUT ULAMA ATAU
DALAM FIQH
• Segala sesuatu yang menyenangkan manusia dan mereka pelihara, baik
dalam bentuk materi maupun dalam bentuk manfaat.(Nasrun Haroen
et.All:2003)
• Apa-apa yang memiliki manfaat yang mubah untuk suatu keperluan dan
atau untuk kondisi darurat. (Ulama Hambali)
• Barang-barang yang mempunyai nilai untuk dijual dan nilai harta itu
akan terus ada kecuali kalau semua orang telah meninggalkannya (tidak
berguna bagi manusia). Kalau baru sebagian orang saja yang
meninggalkannya, barang itu masih dianggap harta karena barang itu
mungkin masih bermanfaat bagi orang lain dan masih mempunyai nilai
bagi mereka. (Imam Syafi’i)
• Tidak ada yang bias disebut mal (harta) kecuali apa-apa yang memiliki
nilai penjualan dan diberi sanksi bagi orang yang merusaknya. Harta itu
mengandung nilai.( as-Suyuti)
• Sesuatu yang layak dimiliki menurut syarat dapat dimanfaatkan,
disimpan/dikuasai dan bersifat konkret. (madzab Hanafi)
38. PENGERTIAN HARTA MENURUT ULAMA ATAU
DALAM FIQH
• Hasbi ash-Shiddiqy membuat kesimpulan, bahwa yang
termasuk harta ialah:
– Nama bagi selain manusia yang diciptakan Allah untuk
mencukupi kebutuhan hidup manusia, dapat dipelihara pada
suatu tempat dan dikelola (tasharruf) dengan jalan ikhtiar.
– Sesuatu yang dapat dimiliki setiap manusia.
– Sesuatu yang sah untuk diperjualbelikan.
– Sesuatu yang dapat dimiliki dan mempunyai nilai (harga).
– Sesuatu yang berwujud.
– Sesuatu yang dapat disimpan dalam waktu yang lama atau
sebentar dan dapat diambil manfaatnya ketika dibutuhkan.
39. Pandangan Islam terhadap Harta
HARTA ADALAH ALAT UNTUK
MENCAPAI TUJUAN
sirkulasi
(tadâwul)
belanja
(infâq)
tabungan
(iddikhâr)
40. Pnndangan Islam terhadap Harta
Islam telah menetapkan hukum-hukum bagi masing-masing
peruntukan harta itu yang menjamin harta tetap sebagai pelayan
manusia untuk dimanfaatkan dan memberikan manfaat kepada
orang lain; bukan sebaliknya, yaitu manusia menjadi hamba dan
pelayan harta yang menimbulkan bahaya bagi diri sendiri dan
orang lain.
41. KEDUDUKAN HARTA DALAM ISLAM...
• Kepemilikan
• Harta sebagai amanah dari Allah SWT
• Harta sebagai perhiasan hidup manusia
• Harta sebagai ujian keimanan
• Harta sebagai bekal ibadah
• Pemilikan harta dapat dilakukan antara lain
melalui usaha (a’mal) atau mata pencaharian
(ma’isyah) yang halal dan sesuai dengan aturan-
aturan-Nya
42. ASAS POKOK TENTANG HARTA DALAM
EKONOMI ISLAM
ASAS POKOK
HARTA
DALAM
ISLAM
Allah Maha
Pencipta
Iman
Kepada Hari
Akhir
Semua harta
adalah milik
Allah
43. PENGELOLAAN HARTA DALAM ISLAM
• Pembelanjaan Harta (Infaqul Mal)
• Pengembangan Harta (Tanmiyatul Mal)
Pengelolaan
Harta yang
Dihalalkan
• Riba
• Ihtikar (menimbun di saat orang membutahkan)
• Penipuan
• Berdagang barang-barang yang diharamkan
• Segala sesuatu yang bertentangan dengan akhlaq
Pengeloaan
Harta yang
Diharamkan
44. PENGELOLAAN HARTA YANG DIHALALKAN
• Pembelanjaan Harta (Infaqul Mal): pemberian
harta kekayaan yang telah dimiliki
• Pengembangan Harta (Tanmiyatul Mal):
kegiatan memperbanyak jumlah harta yang
telah dimiliki.
45. PENGELOLAAN HARTA YANG DIHARAMKAN
• Riba
• Ihtikar (menimbun disaat orang membutuhkan)
• Penipuan
• Berdagang barang-barang yang diharamkan
• Segala sesuatu yang bertentangan dengan akhlak
46. DISTRIBUSI DAN KEPEMILIKAN HARTA
Hukum-hukum distribusi harta dalam Islam
mencakup sebuah pemahaman yang unik,
yaitu kepemilikan umum.
47. KEPEMILIKAN DALAM NEGARA KHILAFAH
Kepemilikan
Kepemilikan
Umum
Kepemilikan
Negara
Kepemilikan
Individu
48. KEPEMILIKAN UMUM...
a. Harta yang dari sisi pembentukannya tidak mungkin
dimiliki secara individu, seperti sungai, danau, laut,
dsb.
b. Apa saja yang menjadi hajat hidup orang banyak
seperti jalan, masjid, dsb
c. Barang tambang yang depositnya banyak dan tidak
terputus; baik yang berbentuk padat, cair maupun gas;
baik tambang dipermukaan maupun di dalam perut
bumi. Semuanya merupakan kepemilikan umum.
49. KEPEMILIKAN NEGARA...
Beberapa harta yang dapat dikategorikan ke dalam jenis kepemilikan negara
menurut al-shari' dan khalifah/negara berhak mengelolanya dengan
pandangan ijtihadnya adalah:
• Harta ghanimah, anfal fay' dan khumus
• Harta yang berasal dari kharaj
• Harta yang berasal dari jizyah
• Harta yang berasal dari daribah (pajak)
• Harta yang berasal dari ushur
• Harta yang tidak ada ahli warisnya atau kelebihan harta dari sisa waris (amwal
al-fadla)
• Harta yang ditinggalkan oleh orang-orang murtad
• Harta yang diperoleh secara tidak sah para penguasa, pegawai negara, harta
yang didapat tidak sejalan dengan shara'
• Harta lain milik negara
50. KEPEMILIKAN INDIVIDU...
• Kepemilikan individu adalah harta yang pengelolaannya
diserahkan kepada individu, pada selain harta milik umum.
• Ada beberapa ketentuan hak milik pribadi untuk sumber daya
ekonomi dalam Islam:
– harta kekayaan harus dimanfaatkan untuk kegiatan produktif
(melarang penimbunan dan monopoli
– pembayaran zakat serta pendistribusian (produktif/konsumtif)
– penggunaan yang berfaidah (untuk meningkatkan kemakmuran dan
kesejahteraan material-spiritual)
– penggunaan yang tidak merugikan secara pribadi maupun secara
kemasyarakatan dalam aktivitas ekonomi maupun non ekonomi.
51. Perbedaan harta dalam akuntansi syariah & akuntansi konvensional
Pembagian Harta Menurut
Konsep Akuntansi Konvensional
Pembagian Harta Menurut Konsep Akuntansi Islam
Segi Tujuan dan Segi
Pemakaian
Segi Penilaian
Harta Tetap
( ushul tsabitah)
Harta
Bergerak
(ushul
mutadwilah)
Muamalah
Diambil
Manfaatnya
Bernilai
Tidak
Mengandung
Nilai
52. Perbedaan Aset antara Akuntansi Syariah dan
Konvensional
• akuntansi konvensional Assets (harta) dibedakan
atas dua hal yakni harta lancar (current assets)
dan harta tetap (fixed assets),
• akuntansi syariah harta terbagi atas harta berupa
uang (cash), harta berupa barang (stock) yang
kemudian dibagi kembali menjadi harta dagang
dan harta milik
53. PEMBAGIAN HARTA MENURUT KONSEP
AKUNTANSI ISLAM
TUJUAN & SEGI
PEMAKAIAN
• MUAMALAH
• DIAMBIL MANFAATNYA
PENILAIAN
• HARTA YANG MEMILIKI NILAI
• HARTA YANG TIDAK MEMILIKI NILAI
54. KLASIFIKASI HARTA
Menurut Abdullah al-Mushlih dan Shalah ash-
Shawi, harta terbagi menjadi berbagai macam
tergantung dengan orientasi pembagiannya. Di
antara bentuk klasifikasi tersebut adalah
– Harta tetap adalah harta yang tidak mungkin
dipindahkan seperti tanah dan yang melekat dengan
tanah, seperti bangunan permanen.
– Harta bergerak adalah yang dapat dengan cepat
dipindahkan dan dialihkan.
55. PEMBAGIAN HARTA DARI SEGI BENDA
• maal mutaqawwim dan maal gair mutaqawwim
• maal manqul dan ’uqar
• maal mamluk dan maal mubah
• maal khass dan maal ‘amm
• maal misli dan maal qimi
• maal istihlaki dan maal gair istihlaki
• usul dan simar
• maal qabil lil al-qismah dan maal gair qabil lil al-
qismah
56. PSAK SYARIAH MENGENAI HARTA
• Definisi dan Sifat Harta (poin 75-81,104)
• Pengakuan Asset (poin 116,117)
• Posisi Asset dalam Neraca
a. Pembagian asset lancar dengan tidak lancar dan jangka
pendek dengan jangka panjang terdapat dijelaskan pada
nomor 101 poin 44,45,46
b. Klasifikasi asset lancar diuraikan pada PSAK nomor 101
poin 47,48
57. AKUN-AKUN DALAM HARTA
a. Kas;
b. Penempatan pada Bank Indonesia;
c. Giro pada bank lain,
d. Penempatan pada bank lain;
e. Efek-efek;
f. Piutang:
(i) piutang murabahah;
(ii) piutang salam;
(iii) piutang istishna’;
(iv) piutang pendapatan ijarah;
g. Pembiayaan:
(i) pembiayaan mudharabah;
(ii) Pembiayaan musyarakah;
h. Persediaan (aset yang dibeli
untuk dijual kembali kepada
klien);
i. Aset yang diperoleh untuk
ijarah;
j. Aset istishna dalam
penyelesaian (setelah dikurangi
termin istishna);
k. Penyertaan;
l. Aset tetap dan akumulasi
penyusutan; dan
m. Aset lain.