Wakaf adalah kegiatan menyerahkan kepemilikan hak kepada orang yang menerima (mauquf) untuk dimanfaatkan pada hal-hal baik. Amalan ini memiliki banyak keutamaan dan sudah dipastikan pahalanya akan terus mengalir seiring harta benda yang ia berikan atau ia hibahkan itu digunakan dengan baik.
1. Memberi Rezeki, Membawa Pahala yang Hakiki
Setiap orang mungkin memiliki rezeki yang berbeda-beda. Ada yang Allah beri rezeki
berlimpah dan juga ada yang diberi secukupnya, itu semua adalah takdir bagi setiap makhluk
yang ada di muka bumi ini. Dan sudah menjadi kewajiban seseorang yang memiliki rezeki
lebih untuk berbagi pada yang membutuhkan. Namun di samping kewajiban itu, terkadang ada
juga yang memberi karena ia menginginkan kemakmuran bagi yang lainnya.
Berbicara tentang memberi rezeki agar dapat bermanfaat bagi orang lain tentu memiliki banyak
jalan untuk itu, salah satunya dengan wakaf. Wakaf sendiri merupakan amal jariyah untuk
mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Dalam praktiknya, wakaf tidak boleh berkurang
nilainya, tidak dijual dan tidak diwariskan, sebab wakaf adalah menyerahkan kepemilikan harta
menjadi milik Allah kembali atas nama umat banyak.
Wakaf berasal dari bahasa Arab “Waqafa” yang artinya menahan atau berhenti. Sama juga
artinya dengan “Habasa-Yahbisu-Tahbisan”. Sedangkan menurut istilah, banyak pendapat
tentang pengertian wakaf menurut ahli fiqih. Pandangan para ulama tentang wakaf ini memang
mengalami banyak perbedaan, sehingga banyak kesimpulan tentang definisi wakaf.
a. Imam Hanafi
Menurut Imam Hanafi, wakaf adalah menahan suatu benda yang menurut hukum tetap
di wakif, tidak melakukan suatu tindakan atas suatu benda, yang berstatus tetap sebagai
hak milik, dengan menyedekahkan manfaatnya kepada suatu pihak kebajikan (sosial),
baik sekarang maupun mendatang.
b. Imam Syafi’i dan Ahmad bin Hambal
Kedua ulama ini memiliki pendapat bahwa definisi wakaf adalah melepaskan harta
yang diwakafkan dari kepemilikan wakif, setelah sempurna prosedur perwakafan, tidak
melakukan suatu tindakan atas suatu benda, yang berstatus milik Allah SWT, dengan
menyedekahkan manfaatnya kepada suatu kebajikan (sosial).
c. Imam Maliki
2. Dalam mazhabnya, Imam Maliki mendefinisikan wakaf itu tidak melepaskan harta
yang diwakafkan dari kepemilikan wakif, namun wakaf tersebut mencegah wakif
melakukan tindakan yang dapat melepaskan kepemilikannya atas harta tersebut kepada
yang lain. Wakif berkewajiban menyedekahkan dan tidak boleh menarik kembali
wakafnya. Bisa dikatakan pula bahwa pemilik harta menahan benda itu dari penggunaan
secara pemilikan, tetapi membolehkan pemanfaatan hasilnya untuk tujuan kebaikan,
yaitu memberikan manfaat benda secara wajar, sedangkan benda itu tetap menjadi milik
wakif.
d. Mazhab Lain
Menurut mazhab lain, sama dengan ketiga mazhab lainnya namun berbeda dari segi
kepemilikan atas benda yang diwakafkan, yaitu menjadi milik mauquf ‘alaih (penerima
manfaat wakaf), meskipun penerima tidak berhak melakukan suatu tindakan atas benda
wakaf tersebut, baik menjual atau menghibahkannya. (Mengutip Wahbah Zuhaili, Drs H
Ahmad Djunaidi dkk.)
Pada dasarnya, konsep dasar wakaf sama halnya seperti zakat dan infaq, namun yang menjadi
perbedaan adalah wakaf merupakan bentuk sedekah harta benda yang nilainya harus
dikembangkan secara syariah dan hukumnya sunnah. Selain itu, harta yang diwakafkan juga
harus memiliki nilai guna bagi banyak orang bahkan hingga orang yang mewakafkan wafat.
Baca juga: LAZ Al Azhar Bersama Donatur Lakukan Peletakan Batu Pertama Masjid di Desa
Ciomas
Tindakan wakaf juga memiliki rukun menurut islam, jika tidak maka wakaf tidak akan sah.
Yang pertama adalah adanya wakif (pewakaf). Seorang wakif ini harus merdeka, berakal sehat,
dewasa, dan tidak dalam keadaan bangkrut. Kedua, adanya al-mauquf dan mauquf ‘alaih
(penerima manfaat wakaf). Ada dua macam pihak yang menerima manfaat wakaf (nadzir),
yaitu pihak tertentu (mu’ayyan) maksudnya penerima merupakan seseorang yang sudah
ditentukan dan tidak bisa diubah. Dan pihak tidak tertentu (ghairu mu’ayyan) maksudnya pihak
penerima tidak ditentukan secara terperinci, seperti fakir miskin, tempat ibadah, dan lain-lain.
Ketiga, adanya shighah atau ikrar wakaf dari orang yang mewakafkan.
Wakaf juga memiliki banyak keutamaan terutama pada wakif atau pewakaf, di antaranya:
1. Pahalanya akan mengalir pada orang yang berwakaf meskipun ia sudah meninggal
dunia. Sabda Rasulullah SAW yang artinya: “Apabila manusia meninggal dunia, maka
terputuslah semua amalnya kecuali tiga hal, yaitu: sedekah jariyah, ilmu yang
bermanfaat, dan anak shalih yang mendoakannya” (HR Muslim).
2. Harta benda yang diwakafkan tetap utuh terpelihara dan tidak akan berpindah tangan
karena prinsipnya yang tidak boleh ditasarrufkan- (dijual, dihibahkan, atau diwariskan).
3. Manfaat barang atau benda yang diwakafkan akan terus dirasakan oleh orang banyak,
bahkan lintas generasi.
4. Setiap saat wakaf menebarkan kebaikan dan meringankan beban orang-orang yang
membutuhkan bantuan seperti fakir miskin, anak yatim, janda, orang yang tidak punya
pekerjaan, para pejuang di jalan Allah, pengajar, penuntut ilmu, dan lain sebagainya.
3. 5. Wakaf akan terus memajukan dakwah, menghidupkan lembaga sosial keagamaan,
mengembangkan potensi umat, menyejahterakan umat, memberantas kebodohan,
memutus mata rantai kemiskinan, mengikis kesenjangan sosial.
6. Balasannya surga.
7. Pahalanya akan dilipatgandakan hingga 700 kali lipat.
Tidak ada hal yang paling berharga ketika jiwa sudah mati selain pahala yang akan
mengantarkan jiwa itu pada kedamaian. Dengan mewakafkan harta benda, maka kita tengah
menanam benih pahala dan ketika sudah berbuah kita bisa memetik hasilnya.
Siapakah manusia yang paling berbahagia? Manusia yang berhenti nafasnya, namun tidak
berhenti pahalanya.
Jika kita tidak mampu berwakaf, maka jadilah orang yang selalu bersyukur dengan bersedekah
dari hal yang terkecil dahulu, karena tak menutup kemungkinan sedekah yang kita lakukan bisa
bernilai pahala dan akan terus mengalir hingga kita tutup usia.