SlideShare a Scribd company logo
MENINGKATKAN TATA KELOLA HUTAN DAN
LAHAN DI INDONESIA
Pendekatan Delphi untuk Mengidentifikasi
Intervensi yang Paling Berhasil
Tessa Toumbourou, Researcher, Peneliti, Program SETAPAK
(Environmental Governance), The Asia Foundation
Ucapan Terima Kasih
Terima kasih saya ucapkan kepada seluruh staff program Tata Kelola Lingkungan The Asia Foundation
(SETAPAK) serta Blair Palmer (Direktur) atas bantuan teknis dan editorial yang diberikan untuk laporan
ini. Juga untuk Prayekti Murhajanti, Rika Novayanti dan Hanny Purnama Sari atas bantuannya dalam
menerjemahkan serta mengedit laporan dan alat survey ini ke dalam versi Bahasa Indonesia. Paling
penting, saya sangat berhutang budi pada para panelis yang telah berpartisipasi dalam studi Delphi ini dan
kesediaan mereka untuk membagi waktunya yang sangat berharga, pengalaman serta perspektifnya.
Program SETAPAK merupakan sebuah program yang di danai oleh DFID melalui United Kingdom
Climate Change Unit.
ABSTRAK
Hasil pembahasan baru-baru ini telah mengidentifikasi bahwa Indonesia memerlukan perbaikan tata
kelola hutan dan lahan untuk mengatasi masalah deforestasi, dan degradasi hutan dan lahan gambut.
Pembahasan tersebut juga menyetujui bahwa dibutuhkan penelitian lebih lanjut pada bidang studi dan
praktek yang luas ini. Secara khusus, kebutuhan-kebutuhan telah diidentifikasi untuk bisa mendapatkan
hubungan yang lebih baik antara teori dan praktek, serta antara analisa akademis dan kerja lapangan.
Dalam upaya merespon kesenjangan tersebut, studi Delphi ini meneliti penyebab utama deforestasi,
degradasi dan perusakan hutan serta lahan gambut (selanjutnya disebut deforestasi dan degradasi lahan
gambut) dengan tujuan untuk mengidentifikasi bentuk-bentuk intervensi yang dapat digunakan untuk
memperbaiki tata kelola hutan dan lahan di Indonesia. Melalui proses Delphi, sekelompok panel ahli tata
kelola hutan dan lahan telah mengidentifikasi tiga penyebab deforestasi dan degradasi lahan gambut,
yaitu: (1) penguasaan dan klasifikasi lahan yang tidak jelas dan tidak ada kepastian hukum (disetujui oleh
88% responden); (2) kepentingan politik dan bisnis yang berpengaruh terhadap pembuatan kebijakan dan
peraturan (70% setuju) dan (3) perencanaan penggunaan lahan yang tidak efektif (53% setuju).
Mengatasi beberapa hal tersebut, para panel merekomendasikan tiga prioritas tata kelola intervensi
berikut ini: (1) meningkatkan kapasitas masyarakat lokal untuk mengelola dan memantau hutan dan
sumber daya alam (65% setuju); (2) mengukuhkan kawasan hutan untuk memperjelas batas kawasan dan
untuk memutuskan kawasan hutan yang harus masuk ke dalam wilayah hutan desa, hutan kemasyarakatan
dan hutan negara (58% setuju); (3) mengintegrasikan peta partisipatif ke dalam rencana tata ruang
wilayah untuk melindungi masyarakat lokal dan kebutuhan pembangunan masyarakat adat (53% setuju).
Tema penelitian yang mendapat konsensus paling tinggi adalah: kegiatan penelitian yang melibatkan
pemerintah, sektor swasta dan masyarakat (64% setuju).
Studi ini menemukan adanya dukungan yang kuat bagi pendekatan di level masyarakat untuk pengelolaan
hutan. Mengamankan kepemilikan hutan kemasyarakatan melalui kejelasan klaim lahan serta
mengintegrasikan kepemilikan lahan lokal ke dalam tata ruang adalah langkah kunci untuk memperoleh
pengelolaan hutan yang berkesinambungan. Rekomendasi akhir menganjurkan bahwa intervensi ampuh
yang sebaiknya dilakukan oleh para peneliti, pemerintah, lembaga donor dan masyarakat sipil untuk
memperbaiki proses tata kelola lahan dan hutan Indonesia, meliputi:
• perlu adanya dukungan lembaga-lembaga masyarakat
• Mempercepat pengukuhan hutan dengan menggunakan lembaga-lembaga masyarakat untuk
memperjelas klaim hutan kemasyarakatan;
• Mengintegrasikan peta partisipatif ke dalam rencana tata ruang;
• Mendorong kemampuan masyarakat lokal dalam mengawasi hutan;
• Melaksanakan kegiatan penelitian yang melibatkan semua pemangku kepentingan;
• Adanya pendanaan yang ditujukan untuk sektor hutan dan lahan;
• Adanya keterlibatan dalam analisis ekonomi politik.
PENDAHULUAN
Indonesia memiliki tingkat kerusakan tutup hutan tertinggi di dunia, diperkirakan 840.000 ha setiap
tahunnya hutan primer (Hansen 2013; Margono et al 2014). Kerusakan ini, serta rusaknya manfaat
potensi yang tersedia di hutan saat ini, merupakan konsekuensi dari sejumlah faktor yang secara domestik
dikaitkan dengan kondisi tata kelola hutan dan lahan yang buruk (Forest Watch Indonesia 2014).
Lemahnya tata kelola hutan dan lahan berkontribusi pada merebaknya konversi dan deforestasi hutan
yang ilegal dan tidak terencana, kerusakan terhadap lanskap yang sensitif seperti lahan gambut dan daerah
aliran sungai, konflik lahan, meningkatnya risiko bencana alam seperti banjir, hilangnya pendapatan
negara akibat korupsi dan penggelapan pajak, rusaknya keanekaragaman hayati, hilangnya penghidupan
yang bergantung pada hutan, berlanjutnya kemiskinan petani skala kecil, serta dampak negatif sosial dan
ekonomi lainnya (Environmental Investigation Agency 2012; World Bank 2009). Di samping itu,
kegiatan-kegiatan yang terkait dengan penggunaan lahan, perubahan penggunaan lahan dan hutan
(LULUCF) juga bertanggung jawab atas besarnya emisi gas rumah kaca Indonesia, yang merupakan
ketiga tertinggi di dunia (World Resources Institute 2012). Pada tahun 2009, Presiden Indonesia Susilo
Bambang Yudhoyono mengumumkan target ambisius untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar
26% pada tahun 2020, dan berbagai lembaga serta kebijakan telah dibuat untuk mencapai target-target
tersebut. Apabila target-target tersebut dapat dicapai, pengurangan yang signifikan harus muncul pada
sektor LULUCF, oleh karena itu dibutuhkan perbaikan tata kelola hutan dan lahan.
Sistem tata kelola hutan dan lahan di Indonesia saat ini1
memberikan berbagai tanggung jawab pada
pemerintah kabupaten, provinsi dan nasional. Hal ini mencakup aspek-aspek perencanaan tata ruang,
pengalokasian perizinan untuk konsesi lahan (seperti kegiatan penebangan dan pertambangan, serta
perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman), usaha perlindungan lingkungan serta anggaran bagi
pengelolaan lingkungan hidup. Namun kepatuhan terhadap peraturan dan prosedur yang berlaku, dalam
banyak kasus masih rendah dan penegakan hukum masih lemah. Alasan-alasan yang secara umum
teridentifikasi yang mengakibatkan lemahnya tata kelola meliputi: peraturan yang tumpang tindih atau
tidak jelas, kurangnya kemampuan teknis dan peta yang akurat, kepemilikan lahan tidak jelas, kurangnya
transparansi dan partisipasi publik. Pewarisan tanggung jawab kelola sebagai bagian dari desentralisasi
belum terjadi secara ideal (Tacconi 2007), karena sebagian peningkatan tanggung jawab diletakkan pada
lembaga lokal tanpa disertai peningkatan peralatan yang sesuai, pelatihan professional, dan penegakan
anggaran serta kemampuan (Andresson 2006). Tekanan-tekanan lain yang muncul dari meningkatnya
kekuasaan pembuatan kebijakan yang dilimpahkan ke pemerintah lokal secara tidak sengaja
meningkatkan perambahan lahan dan hutan yang memberikan kewenangan besar bagi pejabat daerah
untuk mengambil kayu dan konsesi lahan tanpa mempertimbangkan tingkat ekstraksi berkelanjutan
(Casson & Obidzinski 2002).
Tata kelola yang buruk menyebabkan munculnya kegiatan-kegiatan illegal. Pada sektor penggunaan lahan
hal ini mencakup korupsi, pencurian kayu, penempatan lahan hutan secara tidak sah, kegiatan perniagaan
hutan yang melanggar hukum seperti pencucian hasil kejahatan pembalakan liar (FAO 2004; Kishor &
Rosenbaum 2003). Akibatnya, sektor kehutanan Indonesia gagal memberikan manfaat pembangunan
karena hilangnya pendapatan, kesempatan kerja, pendapatan pemerintah seperti royalti dan pajak, serta
jasa lingkungan lokal dan global lainnya (World Bank 2009). Disamping hilangnya penerimaan
pendapatan, tata kelola hutan dan lahan yang buruk dapat berarti bahwa masyarakat yang terkena dampak
negatif perubahan penggunaan lahan tidak cukup mendapat kompensasi dan fungsi lingkungan yang tidak
digantikan atau direhabilitasi. Kegiatan pemanfaatan hutan yang tidak sah juga melemahkan perusahaan
kehutanan yang sah dengan menempatkan mereka pada persaingan yang tidak adil dari produk dibawah
	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  
1	
  Tata kelola hutan dan lahan mengacu pada proses, mekanisme, aturan dan lembaga untuk memutuskan bagaimana lahan dan
hutan dikelola. Mekanisme tata kelola dapat dilakukan secara top-down, menggunakan aturan-aturan formal seperti undang-
undang, kebijakan, atau program-program yang dibuat pemerintah yang mengatur penggunaan hutan dan lahan, atau dapat
dilakukan dengan pendekatan bottom-up, seperti badan pengambilan keputusan yang dikelola masyarakat atau skema
pengawasan informal yang menentukan bagaimana hutan, lahan dan sumber daya alam dimanfaatkan. Proses-proses ini
melibatkantidak hanya pemerintah pemerintah tetapi juga para pelaku lain, seperti masyarakat lokal, kelompok adat, organisasi
non-pemerintah, dan sektor swasta.	
  	
  
harga normal dan mengecilkan investasi jangka panjang yang bertanggung jawab secara social dan
lingkungan (World Bank 2009; Castren & Pillai 2011). Lebih jauh, korupsi dapat mengikis kelembagaan
tata kelola, dan memperlemah supremasi hukum secara umum dengan memberi ruang bagi bentuk
kejahatan lain melalui ‘efek menular korupsi’ (World bank 2009, Castren & Pillai 2011). Hal ini
berimplikasi terhadap seluruh sektor ekonomi di Indonesia. Tanpa tata kelola yang baik, dampak
merugikan dari industri ekstraktif dan berbasis lahan justru akan melebihi pertumbuhan ekonomi atau
manfaat sosial yang secara potensial ditawarkan.
Ada bukti kuat yang memperlihatkan bahwa tata kelola yang baik merupakan prasyarat bagi keberhasilan
dalam upaya mencapai lingkungan hidup yang baik, terutama dalam melestarikan atau mengelola hutan
secara berkesinambungan (Kanawski, McDermott & Cashore 2011; Pilot Environmental Index 2006).
Pengelolaan hutan yang berkesinambungan meliputi perlindungan hutan-hutan primer dan lahan gambut,
pengalokasian lahan yang layak (berhutan atau tidak) untuk berbagai macam kegiatan ekonomi, serta
memperkecil kerusakan lingkungan (seperti menggunakan lahan yang terdegradasi untuk perkebunan
dengan nilai hasil tinggi dan berkelanjutan). Disamping manfaat lingkungan, pengelolaan hutan dan lahan
yang berkesinambungan memberikan manfaat bagi pembangunan, meliputi penghidupan berkelanjutan
yang berhubungan erat dengan pengurangan kemiskinan. Pengelolaan lahan dan hutan yang
berkesinambungan sulit dicapai tanpa ada tata kelola yang baik (Brown et al 2002; Monditoka 2011).
Penting untuk dicatat bahwa berdasarkan definisi World Bank (2008), tata kelola hutan dan lahan yang
baik ditandai dengan pembuatan kebijakan yang didasari pada transparansi dan proses yang dapat
diprediksi; pejabat yang kompeten dan administrator publik lainnya yang dapat menjalankan peran serta
perilakunya secara akuntable; penegakan elemen hukum-hukum vital seperti hak-hak kepemilikan; dan
partisipasi masyarakat sipil. Partisipasi dan keterlibatan aktif para pemangku kepentingan dari berbagai
sektor – pemerintah, masyarakat sipil dan sektor swasta – merupakan hal mendasar dalam pembuatan
kebijakan yang berhubungan dengan pengelolaan hutan dan jasa lahan serta sumber-sumber daya alam
(Lemnos & Agrawal 2006; World Bank 2009). Memperbaiki tata kelola kehutanan dipandang dapat
membawa kemajuan bagi tata kelola yang lebih luas, oleh karena itu kehutanan dianggap sebagai pintu
masuk yang sangat berharga untuk reformasi tata kelola yang lebih luas (Brown et al. 2002).
Penting untuk diketahui bahwa asumsi tata kelola hutan dan lahan yang membaik sama artinya dengan
berkurangnya deforestasi masih perlu dipertanyakan (Tacconi 2011). Penukaran-penukaran antara
manfaat lokal, nasional dan global dari hutan akan berujung pada, misalnya, negara memilih untuk
merambah hutannya daripada melestarikannya. ‘Negara dengan tata kelola yang baik mungkin akan lebih
memilih untuk mendeforestasi wilayah-wilayah tertentu jika keputusan tersebut menghasilkan
keuntungan nasional yang jauh lebih besar jika dibandingkan dengan biaya yang harus dikeluarkan, hal-
hal lain menjadi setara’ (Tacconi 2011:234). Penting juga untuk diketahui bahwa tata kelola yang baik
bukan hanya satu-satunya cara untuk memperbaiki pengelolaan hutan. Pendekatan lain, termasuk
memperbaiki kapasitas teknis, kecukupan dan kualitas sumber daya, pembiayaan investasi, dan akses ke
pasar, semua memiliki dampak bagi pengelolaan hutan (Castren & Pillai 2011).
Studi World Bank telah menemukan bahwa ada kesenjangan antara teori dan praktek pada tata kelola
hutan. Studi tersebut memperlihatkan bahwa penelitian akademis belum menyatu dengan baik dengan
hasil temuan lapangan, sehingga pendekatan berdasarkan praktek yang ada tidak dilakukan. Literatur
akademis pada tata kelola yang baik dan penerapannya pada pengelolaan sumber daya hutan sebagian
besar meliputi konseptualisasi permasalahan, penelitian tentang insentif, dan ekonomi politik dari
pengelolaan sumber daya alam. Di sisi lain, kegiatan-kegiatan lapangan yang didukung oleh organisasi
internasional, bank pembangunan, dan NGO telah cenderung menitik beratkan pada verifikasi legalitas
penjualan kayu dan monitoringnya serta kontrol dari kejahatan hutan’ (World Bank 2009; 5). Studi terkini
bertujuan untuk merespon kesenjangan ini dengan mengidentifikasi prioritas kunci, target-target dan
reformasi (intervensi) yang berguna bagi mereka yang bekerja pada tata kelola hutan di Indonesia.
Tulisan ini selanjutnya akan mendeskripsikan metode survey Delphi yang digunakan untuk
mengidentifikasi sebagian besar konsensus terkait opini-opini para panel ahli dari akademisi, sektor non-
pemerintah, media dan sektor swasta mengenai intervensi yang mereka anggap besar kemungkinan
berkontribusi pada tata kelola hutan dan lahan yang baik di Indonesia. Sebagai upaya untuk mengetahui
hubungan antara tata kelola yang buruk dan deforestasi, serta peran mendasar tata kelola yang baik
sebagai pemberi kontribusi terhadap pengelolaan hutan yang berkelanjutan, studi ini bertujuan untuk
mengidentifikasi kegiatan-kegiatan dan industri-industri (disebut penyebab langsung) dan faktor-faktor
yang mendasari (penyebab tidak langsung) penyebab deforestasi dan degradasi hutan dan lahan di
Indonesia. Selanjutnya, tulisan ini mengidentifikasi intervensi pemerintah yang secara ampuh dapat
mencapai tata kelola hutan dan lahan yang baik, dan menentukan arah penelitian yang paling bermanfaat
serta pendekatan-pendekatan yang bisa digunakan. Dalam tulisan ini, intervensi tata kelola merujuk pada
upaya untuk memperbaiki sistem tata kelola hutan dan lahan yang ada saat ini di Indonesia dengan
memodifikasi prosedur tata kelola, mekanisme atau lembaga yang ada, atau dengan menciptakan
prosedur, mekanisme atau lembaga yang baru. Bentuk-bentuk intervensi tersebut dilaksanakan oleh
pemerintah, lembaga donor, peneliti, masyarakat sipil atau sektor swasta.
METODE
Metode Delphi yang digunakan pada studi ini merupakan teknik penelitian sosial dan kebijakan yang
telah banyak digunakan dalam membantu proses pembuatan kebijakan kelompok di berbagai macam
wilayah, dan juga digunakan untuk menghasilkan konsensus antara para ahli dalam mengatasi persoalan-
persoalan yang kompleks (Dalkey & Helmer 1963). Metode ini menggunakan pendekatan umpan balik
terkontrol, dan juga melibatkan survey berulang yang memungkinkan para panelis untuk
mempertimbangkan dan merevisi pandangan mereka secara anonim setelah melihat kembali laporan
umpan balik yang merangkum pandangan para panelis lainnya. Cara ini mengurangi bias konformitas
kelompok dan memungkinkan adanya wawasan yang lebih kaya pada permasalahan-permasalahan kunci
(Linstone & Turoff 1975). Ide-ide baru bisa saja muncul berdasarkan konsensus yang berhasil dicapai,
dibangun berdasarkan pengetahuan yang dikumpulkan dari keahlian para panelis. Studi ini secara
konsisten memperlihatkan bahwa pertanyaan-pertanyaan yang membutuhkan penilaian para ahli, rata-rata
tanggapan perorangan lebih rendah dibanding rata-rata yang dihasilkan oleh proses keputusan kelompok
(Okoli & Pawloski 2004). Metode Delphi ini bermanfaat karena memungkinkan adanya representasi
pandangan kelompok penelitian yang lebih besar dari kelompok yang lebih cocok untuk focus group
discussion atau wawancara, dan memastikan bahwa seluruh pandangan terlibat secara aktif.
Tujuan utama dari studi Delphi ini adalah untuk mengulangi proses survey dan umpan balik untuk
mencapai sebuah konsensus (seperti pada Nworie 2011) dimana pada studi saat ini digambarkan sebagai
konsensus mayoritas. Sementara itu jelas bahwa konsensus mayoritas dicapai ketika persentase peserta
yang ditentukan telah setuju pada permasalahan yang sedang diteliti, tidak ada batasan standard untuk
menentukan persentase ini. Batasan konsensus mayoritas bervariasi dalam literature Delphi, dari 51
persen ke 80 persen konsensus (Keeney, McKenna & Hasson 2011:46). Pada studi ini, tanggapan-
tanggapan yang bernilai Sembilan – dari 53% responden – atau lebih dianggap memiliki konsensus
terbanyak. Tanggapan yang diterima dengan peringkat rendah juga akan didiskusikan karena tanggapan
tersebut juga merupakan kontribusi yang bernilai.
Tahap pertama penelitian ini melibatkan rekrutmen panel ahli dalam bidang tata kelola hutan dan lahan di
Indonesia. ‘Ahli yang sesuai’ didefinisikan dalam literature sebagai seseorang yang ‘memiliki
pengetahuan dan pengalaman yang relevan, serta opininya dihormati oleh rekan kerja di bidang terkait’
(De Villiers 2005: 640). Kriteria partisipasi berikut ini digunakan untuk mendefinisikan seorang ahli
untuk keikutsertaannya pada studi ini: (1) berpengalaman setidaknya tiga tahun dalam penelitian
LULUCF; (2) memiliki reputasi yang diperoleh melalui publikasi atau presentasi terkait LULUCF; (3)
memiliki pengalaman kerja lapangan atau kerja advokasi yang berkaitan dengan LULUCF; atau (4)
memiliki pengetahuan yang mumpuni dalam permasalahan tata kelola hutan dan lahan di Indonesia serta
jenis-jenis intervensi tata kelola yang mungkin dapat mengatasi deforestasi dan permasalahan kerusakan
lahan. Para ahli diidentifikasi melalui pencarian literature untuk publikasi, rekomendasi dari lembaga, dan
melalui rekomendasi dari para ahli lainnya yang dikenal dengan istilah ‘daisy chaining’ (Okoli &
Pawloski 2004).
Sementara ukuran terbaik panel menurut panel bervariasi – dari empat ke ratusan – kebanyakan studi
Delphi menggunakan panel yang terdiri dari 15 hinggal 35 orang (Okoli & Pawlowski 2004:19).
Mengingat review literature yang dilakukan oleh De Villiers (2005) memperlihatkan bahwa panel yang
terdiri dari lebih dari 30 jarang mempengaruhi hasil akhir, oleh karena itu, 65 panelis diundang untuk
berpartisipasi dalam studi panel ini untuk mengantisipasi tingkat penerimaan antara 35 hingga 75 persen.
Para panelis dipilih dari organisasi penelitian, universitas, kelompok advokasi, dan sektor swasta untuk
mewakili beberapa sudut pandang. Para panelis diundang melalui surat elektronik dengan surat undangan
yang menjelaskan mengenai detail proyek, tujuannya, jumlah putaran yang akan dilakukan (atau
komitmen waktu), kesepakatan anonimitas serta manfaat pengembangan profesionalitas dari keterlibatan
studi Delphi tentang LULUCF, mencakup peluang untuk mendiskusikan opini mereka dengan sebuah
panel para rekan ahli.
Pada waktunya, 21 ahli yang aktif dalam penelitian, advokasi, pemberi saran kebijakan dan teknis serta
membuat laporan tentang tata kelola hutan dan lahan, dengan rata-rata 12.3 tahun pengalaman setuju
untuk berpartisipasi sebagai anggota panel. Selanjutnya, pada putaran analisis kedua melibatkan peserta
dengan total 17 orang, 15 diantaranya telah berpartisipasi pada putaran pertama serta tambahan dua ahli
yang setuju berpartisipasi dalam studi ini namun tidak terlibat pada putaran pertama. Mengingat
konsensus mayoritas muncul relatif cepat maka Delphi dimasukkan pada putaran kedua.
Setelah panelis direkrut, mereka dikirimkan survey open-ended kuesioner awal yang direkomendasikan
oleh Hsu dan Sanford (2007), dan dikelola oleh Surveymonkey. Para panelis diminta untuk menanggapi
tiga pertanyaan latar belakang dan tujuh pertanyaan terbuka. Secara khusus, panelis akan diminta untuk
mengidentifikasi:
• Kegiatan utama atau industri yang secara langsung menyebabkan deforestasi, degradasi hutan
dan perusakan lahan gambut di Indonesia;
• Faktor yang mendasari (atau tidak langsung) yang memungkinkan kegiatan-kegiatan atau
industri-industri memiliki dampak;
• Intervensi yang kemungkinan besar dilakukan untuk mencapai tata kelola hutan dan lahan
yang baik di Indonesia; dan
• Arah penelitian lanjutan yang dibutuhkan untuk memahami permasalahan tata kelola lahan
dan hutan
Pertanyaan survey kuesioner awal dirancang berdasarkan review literature. Penelitian dilakukan dengan
menggunakan informasi yang ada mengenai intervensi tata kelola untuk mengatasi kerusakan hutan dan
deforestasi. Pencarian database jurnal akademik melalui Discovery EBSCO, mengidentifikasi literature
terbatas terkait tata kelola hutan, menggunakan kata kunci ‘tata kelola hutan* dan ‘tata kelola LULUCF’.
Pengembangan kuesioner putaran pertama melibatkan pembagian rekomendasi dari literature kedalam
bagian-bagian berdasarkan tema ‘tata kelola hutan yang umum dengan memprioritaskan pertanyaan
tentang tata kelola intervensi.
Tanggapan kuesioner hasil putaran survey pertama diatur kedalam ‘unit tematik’ (Ryan & Bernard 2000:
780) sesuai dengan tema tata kelola hutan yang digunakan oleh kerangka indikator World Resources
Institute’s Governance of Forest Initiative (2009), yaitu: (1) kepemilikan lahan dan hutan, (2) rencana tata
guna lahan dan hutan, (3) pengelolaan hutan dan lahan, dan (4) penerimaan pendapatan dan insentif
ekonomi. Analisa data kualitatif meliputi pengkodean terbuka, di mana tanggapan serupa diatur ke dalam
unit tematik untuk mengidentifikasi tanggapan serupa dan mengurangi pengulangan. Berdasarkan
tanggapan yang telah dirangkum, kuesioner survey kemudian dikembangkan untuk dapat
mempresentasikan tema besar dari survey pertama dan para panelis diminta untuk memprioritaskan
peringkat pernyataan yang telah dirangkum dari survery pertama.
Survey putaran pertama berhasil mengidentifikasi 22 kegiatan atau industri utama yang menyebabkan
deforestasi dan degradasi lahan gambut, pada putaran kedua para panelis diminta memilih hingga lima
fokus untuk dapat mengatasi masalah secara ampuh. Hal serupa juga dilakukan oleh para panelis yang
mengidentifikasi 38 faktor pendorong tidak langsung (disebut faktor pemungkin) yang paling kuat
dikaitkan dengan kegiatan-kegiatan dan industri-industri yang menyebabkan deforestasi serta degradasi
lahan, pada putara kedua mereka diminta untuk memilih hingga tiga faktor pendorong per unit tematik,
berdasarkan seberapa kuat tema-tema tersebut dikaitkan dengan kegiatan atau industri yang menyebabkan
deforestasi dan degradasi lahan gambut. Ada rata-rata 9.5 faktor pendorong dalam masing-masing empat
unit tematik.
Dan juga, intervensi untuk memperbaiki tata kelola hutan dan lahan yang diidentifikasi pada survey
putaran pertama dirangkum ke dalam bentuk pernyataan di putaran kedua, dan diatur berdasarkan
relevansinya dengan empat unit tematik. Panelis diminta untuk memilih hingga lima intervensi per unit
tematik, berdasarkan bagaimana kemungkinan intervensi-intervensi tersebut dapat memperbaiki tata
kelola hutan dan lahan. Ada rata-rata 19.5 pernyataan berkaitan dengan intervensi khusus dalam masing-
masing empat unit tematik.
Mengenai kebutuhan domain penelitian, pada survey putaran pertama para panelis diminta untuk
mengidentifikasi topik penelitian dan pendekatan yang akan membantu memahami lebih baik tentang
persoalan tata kelola hutan dan lahan di Indonesia. Tanggapan-tanggapan ini, sekali lagi, diatur ke dalam
unit tematik yang digunakan bersama dengan penyebab-penyebab, faktor pendukung dan intervensi,
dengan pengecualian bahwa unit tematik ‘kepemilikan hutan dan lahan’ serta ‘rencana penggunaan hutan
dan lahan’ dikelompokkan menjadi satu karena sedikitnya jumlah pernyataan yang sesuai dengan kedua
unit tematik tersebut. Akhirnya, pada survey putaran kedua para panelis diminta untuk memilih hingga
tiga topik penelitian serta pendekatan untuk setiap tiga unit tematik. Ada rata-rata 9 pernyataan dibawah
masing-masing tiga unit tematik.
Mengikuti langkah-langkah tersebut, dibuatlan sebuah ringkasan laporan yang merangkum hasil temuan
dari putaran pertama dan kedua serta mengidentifikasi konsensus mayoritas yang dicapai untuk tiap
pernyataan. Laporan ini dibagikan kepada semua peserta untuk memberikan masukan kepada para panelis
serta untuk meminta komentar lebih lanjut.
HASIL DAN DISKUSI
Seperti yang telah dijelaskan di atas, para responden pertama-tama diminta untuk mengidentifikasi apa
yang menurut mereka merupakan kegiatan dan industri yang paling penting untuk dijadikan fokus dalam
mengatasi deforestasi dan degradasi lahat gambut. Kemudian, responden diminta untuk mengidentifikasi
faktor tidak langsung (disebut juga faktor pendorong) yang memungkinkan kegiatan dan industri menjadi
penyebab deforestasi dan degradasi lahan gambut. Awalnya pendekatan mengidentifikasi faktor-faktor
penyebab yang digunakan untuk menghasilkan sebuah konsensus penyebab permasalahan (faktor
pendorong), sehingga diagnosa dan penanganannya (intervensi pemerintah) dapat mengikuti
perkembangan teori yang logis.
Sejalan dengan perbedaan yang ditetapkan dalam literature, para panelis dalam studi ini diminta untuk
mempertimbangkan apa saja yang menurut mereka merupakan kegiatan dan industri terpenting untuk
difokuskan dalam mengatasi deforestasi dan degradasi lahan gambut. Survey putaran kedua menampilkan
rangkuman dari sembilan tema dimana kegiatan dan industri terbesar yang menjadi penyebab deforestasi
dan degradasi lahan gambut dikelompokkan.
Mendefinisikan deforestasi dan menentukan penyebabnya
Deforestasi dalam studi ini mengambil definisi yang digunakan oleh Margono (2014) sebagai
‘perambahan hutan alam oleh penggunaan lahan terkait non-hutan’ (2014:1). Degradasi hutan
menunjukkan adanya berkurangnya tutupan hutan dan hilangnya karbon pada hutan-hutan yang masih
tersisa, dimana kerusakan tidak dikaitkan dengan perubahan penggunaan lahan dan dimana, jika tidak
terhalang, hutan diharapkan untuk tumbuh kembali (Hosonuma 2012). Berdasarkan definisi yang telah
ditetapkan oleh Bai et al (2008), degradasi lahan gambut didefinisikan sebagai hilangnya produktifitas
dan fungsi ekosistem jangka panjang yang disebabkan oleh gangguan lahan gambut yang tidak dapat
memperbaharui diri tanpa adanya bantuan.
Mengidentifikasi faktor pendorong deforestasi dan degradasi lahan gambut sangat menantang. Kesulitan-
kesulitan yang dihadapi termasuk keterbatasan dalam memahami cara di mana penyebab-penyebab saling
berinteraksi, karena beberapa kegiatan yang menjadi penyebab kerusakan awal hutan diperparah oleh hal
lainnya, aktivitas lanjutan. Pada beberapa kasus, beberapa faktor pendorong terdekat bekerja dalam
kombinasi, seperti penebangan hutan untuk diambil kayunya, diikuti oleh penggunaan lahan yang telah
dirambah untuk tujuan agrikultur (Honosuma et al 2012). Menanggapi kondisi ini, literature mengenai
penyebab deforestasi dan degradasi hutan telah memunculkan perbedaan antara penyebab dekat (atau
langsung) dan pokok (atau tidak langsung). Penyebab langsung deforestasi dan degradasi hutan
disebabkan oleh kegiatan manusia yang secara langsung mempengaruhi rusaknya hutan. Faktor
pendorong langsung dapat berupa kegiatan terencana maupun tidak terencana yang dapat menyebabkan
wilayah hutan dialokasi ulang atau fungsinya dirubah untuk kepentingan non-kehutanan seperti tanaman
perkebunan dengan konsekuensi bahwa wilayah tersebut tidak dapat lagi dikategorikan sebaga kawasan
hutan atau hutan (Indrarto 2012). Faktor pendorong tidak langsung, atau faktor pendukung adalah kondisi
sosio-ekonomi dan kebijakan yang merupakan penyebab tidak langsung deforestasi (Romin et al 2013).
Dua perbedaan penting selanjutnya antara deforestasi terencana (perubahan sanksi pemerintah atau
masyarakat menjadi kawasan hutan yang dilakukan sesuai Undang-Undang) dan deforestasi tidak
terencana atau konversi hutan secara tidak sah dan kegiatan tata guna lahan, serta antara deforestasi dan
degradasi yang didorong oleh beberapa penyebab yang berasal dari dalam sektor hutan itu sendiri (disebut
juga ‘faktor intra-sektoral’) dan aktivitas-aktivitas yang didorong oleh beberapa penyebab yang berasal
dari sektor-sektor lainnya (‘faktor ekstra-sektoral’) (Contreras-Hermosilla 2000). Definisi ini
mempertimbangkan penyebab-penyebab di luar sektor hutan itu sendiri, seperti permintaan pasar untuk
produk-produk tanaman pertanian.
Faktor pendorong langsung deforestasi
Ketika para panelis diminta untuk memilih hingga lima kegiatan atau industri yang difokuskan untuk
mengatasi deforestasi dan degradasi lahan gambut, konsensus terbanyak muncul sekitar dua kegiatan dan
industri pendorong utama: perkebunan kelapa sawit skala besar yang dimiliki oleh perusahaan swasta
(82% suara), dan Hutan Tanaman Industri (HTI) (58% suara). Ada juga beberapa konsensus seputar
pertambangan batu bara (41% suara), dan pengaruh para aktor yang juga diuntungkan secara finansial
(35% suara).
Hasil temuan ini selaras dengan literature yang ada. Penelitian terbaru yang dilakukan oleh Greenpeace
(2013) mengindikasikan bahwa konversi ke kelapa sawit adalah satu-satunya faktor pendorong terbesar
deforestasi di Indonesia sejak 2009-2011, penyumbang sekitar seperempat rusaknya hutan Indonesia.
Berdasarkan Koh & Wilcove (2008), 56% perkebunan kelapa sawit di Indonesia telah menggeser hutan,
dan Romijin et al. (2013) mengidentifikasi propinsi-propinsi seperti Sumatera Utara, Riau dan Jambi
beserta perbatasan barat daya Kalimantan sebagai propinsi yang paling signifikan terkena dampaknya.
Banyak literature juga mengutip bahwa penebangan dalam jumlah yang sangat besar –baik legal maupun
illegal- sebagai penyebab utama dari degradasi hutan (Hapsari 2011; Hosonuma et al. 2012). Laporan
terbaru yang menganalisa kontribusi industri berbasis lahan pada rusaknya hutan di Indonesia
menemukan bahwa konsesi serat dan penebangan merupakan penyumbang terbesar rusaknya hutan
Indonesia (Abood et al. 2014). Sebuah studi yang dilakukan oleh Hapsari (2012) menetapkan bahwa
penebangan illegal memiliki dampak yang lebih besar pada hutan dibanding penebangan legal. Dalam
kaitannya dengan penambangan batu bara, banyak operasi penambangan yang didirikan di daerah
konservasi atau hutan lindung, karena kayanya bijih mineral yang ditemukan di wilayah tersebut (Indrarto
2012). Berdasarkan media terkini (The Age 7 September 2012), Indonesia sudah merupakan exporter batu
bara thermal terbesar di dunia yang digunakan untuk pembangkit listrik dan produk batu baranya kian
bertambah pada tingkat 20% setiap tahunnya sejak tahun 2000.
Pernyataan bahwa adanya para pelaku yang diuntungkan secara finansial berperan sebagai penyebab
deforestasi dan degradasi lahan gambut, disetujui oleh 35% suara. Literatur pada tata kelola hutan
menunjukkan bahwa adanya kepentingan terselubung mempengaruhi tata kelola hutan dan lahan dalam
beberapa cara, seperti mendapatkan keuntungan dari perluasan perkebunan kelapa sawit dan industri
untuk pulp dan kertas (Hunt 2010).
Faktor pendorong tidak langsung deforestasi – faktor pendukung dan tata kelola intervensi
Hasil respon para panelis mengidentifikasi bahwa faktor-faktor tidak langsung (disebut juga faktor
pendukung) yang dianggap paling kuat dikaitkan dengan kegiatan-kegiatan atau industri-industri yang
menyebabkan deforestasi dan degradasi lahan gambut seperti didiskusikan di bawah ini berkaitan dengan
empat unit tematik yang mereka analisa: kepemilikan lahan dan hutan, rencana tata guna hutan dan lahan,
pengelolaan hutan dan lahan, serta penerimaan pendapatan dan insentif ekonomi. Intervensi tata kelola
yang relevan diidentifikasikan oleh para panelis yang kemungkinan besar dapat digunakan untuk
memperbaiki permasalahan tata kelola lahan dan hutan ditampilkan sesuai dengan faktor pendukungnya
yang paling relevan.
Faktor pendukung yang berhubungan dengan perencanaan dan kepemilikan hutan dan lahan serta
intervensi tata kelola yang sesuai
Dua faktor pendukung yang berhubungan dengan kepemilikan tata guna hutan dan lahan yang paling kuat
dikaitkan dengan aktivitas dan industri penyebab deforestasi dan degradasi lahan gambut: klasifikasi
lahan dan kepemilikan lahan yang tidak jelas (88%), dan tumpang tindih perizinan untuk hutan dan lahan
(58%). Tiga faktor pendukung yang saling berkaitan dengan rencana penggunaan lahan juga memiliki
konsensus bulat: alokasi lahan yang diatur secara lemah akibat rencana penggunaan lahan yang tidak taat
(76%); perencanaan tata ruang yang buruk (53%); dan rencana penggunaan lahan yang tidak efektif
(53%). Sementara itu, hanya 35% responden memilih masalah 'kendali publik (baik organisasi
masyarakat sipil (CSO) dan media) masih lemah’.
Dari semua faktor pendukung yang diidentifikasi, kepemilikan lahan yang tidak jelas dan klasifikasi lahan
merupakan konsensus tertinggi oleh responden pada studi ini (88%). Klasifikasi hutan dan lahan yang
tidak jelas berdampak negatif pada masyarakat yang tinggal di sekitar wilayah kawasan hutan.2
Ada
keterkaitan antara jaminan kepemilikan dan pendekatan pengelolaan yang berkesinambungan. Hubungan
ini terangkum dalam pernyataan salah satu responden: ‘Ketika masyarakat lokal mengangap bahwa
mereka akan kehilangan akses ke sumber daya alam lokal…kontrol penggunaan lahan tradisional
seringkali diabaikan, dan perambahan para petani kecil serta perampasan tanah sering memperburuk apa
yang dilakukan perusahaan dan pemerintah’.3
Kesepakatan mayoritas ini tercermin dalam literature yang
mengidentifikasi bahwa kepemilikan lahan dan hak properti yang tidak dijamin dianggap sebagai bentuk
kontribusi terhadap deforestasi, karena ini merupakan akibat kurangnya peraturan dan hutan untuk
penggunaan predator. Sebaliknya, apabila hak properti terjamin, masyarakat lokal atau pemangku
kepentingan lainnya mungkin akan lebih dapat mengelola hutan secara berkesinambungan (Agrawal &
Ostrom 2001; Contreras-Hermosilla & Fay 2005). Memberikan kepemilikan hutan yang aman kepada
masyarakat hutan merupakan kondisi yang diperlukan untuk meningkatkan partisipasi mereka dalam
melindungi hutan (Safitri 2010). Oleh karena itu, intervensi yang teridentifikasi untuk merespon
permasalahan ini adalah perlunya revisi Undang-Undang kepemilikan lahan dan hak properti untuk
menyatukan adat dan masyarakat hutan lokal dan sistem pengelolaan lahan dalam hukum Indonesia (41%
setuju).
Bentuk intervensi lain yang disetujui oleh 58% responden adalah mengukuhkan hutan dengan
memperjelas batasan-batasan lahan, dan menetapkan hutan mana yang merupakan kawasan desa,
kawasan masyarakat, dan kawasan hutan pemerintah. Pengukuhan merupakan langkah awal untuk
mendefinisikan status wilayah hutan, untuk memperjelas semua hak yang diklaim dari setiap bagian
	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  
2
Istilah hukum Kawasan Hutan didefinisikan sebagai ‘wilayah tertentu yang ditunjuk dan/atau ditetapkan oleh Pemerintah untuk
dipertahankan sebagai hutan’.
3
Perlu dicatat bahwa keputusan Mahkamah Konstitusi No. 35 Tahun 2012, yang mengubah susunan kata dari UU Kehutanan
tahun 1999, sehingga hutan adat masyarakat adat/asli tidak dapat diklasifikasikan sebagai kawasan hutan.
wilayah hutan (Contreras-Hermosilla & Fay 2005). Pasal 15 tahun 1999 Undang-Undang Kehutanan
menyebutkan bahwa sebuah wilayah secara sah menjadi hutan negara jika sudah ada pengukuhannya.4
Sehubungan dengan permasalahan penggunaan hutan, 53% responden mengidentifikasi bahwa
perencanaan tata guna lahan yang tidak efektif sebagai faktor dasar yang mendorong terjadinya
deforestasi dan degradasi lahan gambut. Mengingat tata ruang merupakan isu utama dalam perencanaan
tata guna hutan dan lahan di Indonesia, kelemahan dapat diidentifiakasi dengan proses tata ruang yang
dianggap sebagai sumber bagi perencanaan tata guna lahan yang tidak efektif. Pernyataan serupa yang
juga disetujui oleh 53% responden, bahwa proses rencana tata ruang yang buruk adalah faktor pendukung
yang mendasar. Penataan ruang adalah instrumen rencana tata guna lahan pemerintah untuk
mendefinisikan dimana aktifitas berbasis lahan dapat berlangsung. Penataan ruang, setidaknya dalam
teori, menjadi dasar untuk merancang dan mengontrol konsesi berbasis lahan, termasuk perkebunan
kelapa sawit dan kayu. Sistem penataan ruang di Indonesia memiliki tiga tingkat tata ruang – nasional,
propinsi dan kabupaten – dan tata ruang yang dibentuk oleh semua tingkatan pemerintah membutuhkan
penyesuaian antara satu dengan yang lainnya, hal ini sehubungan dengan Undang-Undang no. 32 tahun
2004 tentang Desentralisasi.
Penataan ruang seringkali dikompromikan oleh faktor-faktor yang mencakup: perencanaan berbasis
sektor terpusat; peta yang tidak akurat dan tidak konsisten yang dibuat di bawah beragam kebijakan tata
ruang; kurangnya informasi mengenai karakteristik hutan dan lahan yang ada; buruknya koordinasi antara
Kementerian Kehutanan dengan Kementerian lainnya; buruknya koordinasi diantara kabupaten, propinsi
dan lembaga-lembaga pusat, atau adanya persaingan diantara lembaga-lembaga pemerintah yang mencari
kesempatan untuk memaksimalkan kontrol yurisdiksi terhadap sumber-sumber dan peluang-peluang
untuk mendapatkan sewa (McCarthy 2009); kepentingan politik dan bisnis; kebijakan pemerintah pusat
yang menjadi preseden dari perencanaan yang sudah ada; kurangnya kapasitas dan keseriusan pemerintah
daerah; kurangnya sumber-sumber finansial; lemahnya input dari pemangku kepentingan; atau sekedar
tidak tersedianya rencana tata ruang (Wollenberg 2009). Lemahnya proses rencana tata ruang berakibat
pada keputusan penggunaan lahan yang tidak tepat, contohnya dengan mengalokasikan perambahan hutan
tumbuh yang sudah tua untuk perkebunan kelapa sawit atau memanen kayu sementara lahan yang kritis
disisihkan untuk tujuan koservasi. Rencana tata ruang yang tidak akurat dan tidak dapat diakses dapat
menjadi indikasi bahwa sebetulnya lahan tersedia untuk perkebunan namun pada kenyataannya tidak
demikian.
Lemahnya kontrol publik dan pengaruh dalam tata kelola hutan dan lahan juga dianggap menjadi
persoalan: kontrol publik (baik organisasi masyarakat sipil dan media) masih lemah (35%). Lemahnya
organisasi masyarakat sipil termasuk kurangnya kapasitas dalam melobby dan bernegosiasi. Tantangan
yang cukup besar dihadapi oleh masayrakat Indonesia adalah terbatasnya sumber daya, lemahnya
akuntabilitas dan transparansi, permasalahan terkait korupsi internal dan ketidakmampuan untuk
berkomunikasi dengan sektor swasta (Ibrahim 2006). Sebuah studi UNDP tetang tata kelola hutan
menemukan bahwa masyarakat sipil adalah aktor yang terlemah pada level kabupaten, dan beberapa
kabupaten seluruhnya kekurangan LSM atau akademisi yang bekerja pada isu-isu tata kelola hutan
(UNDP REDD+2013). LSM lingkungan hidup (juga disebut pelaku advokasi isu-isu lingkungan)
memiliki dua kelemahan utama. Pertama, lembaga-lembaga ini memiliki aktivitas yang terbatas dalam
memantau tata kelola hutan dan lahan karena terbatasnya dana yang tersedia dan kompleksnya
permasalahan serta instrument yang harus digunakan untuk melakukan monitoring. Kedua, masih sedikit
lembaga yang memfokuskan kegiatannya pada advokasi pemberantasan korupsi di sektor kehutanan,
seperti fokus pada kerugian negara melalui pemberian ijin yang tidak wajar, atau penyuapan dalam proses
administrasi ijin (UNDP REDD+ 2013). Menanggapi kelemahan ini, bentuk intervensi yang mendapat
	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  
4
Pengukuhan melibatkan sejumlah tahapan, yang pertama adalah penunjukan kawasan hutan dan klaim sah terhadap wilayah
tersebut. Langkah ini memberikan landasan untuk memutuskan jenis pemanfaatan hutan yang muncul dan dimana. Penunjukkan
bukan jaminan sah bahwa wilayah-wilayah ini bebasa dari klaim masyarakat (Safitri 2010). Langkah selanjutnya adalah
medemarkasi penataan batas hutan, diikuti pemetaan kawasan hutan negara dan langkah akhir adalah penetapan secara resmi
wilayah hutan negara oleh Menteri Kehutanan.
konsensus terbanyak (65%) adalah dengan mengatasi lemahnya kapasitas masyarakat lokal dalam
mengelola dan memantau hutan serta sumber daya alam.
Liputan media Indonesia tentang persoalan lingkungan – termasuk persoalan yang berkaitan dengan isu
deforestasi – masih sangat sedikit. Pengembangan penilaian untuk proyek Bank Dunia (INFORM 2005)
menemukan bahwa liputan media tentang masalah kerusakan hutan masih sangat sedikit, dan kapasitas
para jurnalis untuk memahami masalah-masalah terkait hutan secara efektif masih kurang di Indonesia.
Sebuah studi kasus mengenai laporan masalah penggunaan hutan dan lahan (diceritakan dalam laporan
sebagai masalah REDD+) menemukan bahwa buruknya liputan media tentang masalah lingkungan secara
potensial disebabkan karena kurangnya kapasitas dan kemampuan dalam menganalisa dan
mengkomunikasikan berita-berita tersebut (UNDP REDD+ 2013). Akibatnya, meskipun ada beberapa
peningkatan jumlah berita mengenai masalah-masalah REDD+ di media, namun jumlah jurnalis dan
outlet media yang melaporkan masalah REDD+ masih sangat terbatas (UNDP REDD+ 2013).
Faktor pemungkin yang berhubungan dengan pengelolaan hutan dan lahan serta intervensi tata kelola
yang sesuai
Ada beberapa konsensus dari beberapa responden bahwa hukum yang bertentangan (41%), dan, terkait
atau berakibat pada, hukum yang tidak dijalankan (35%). Ada beberapa literatur yang mengidentifikasi
hubungan antara hukum yang bertentangan dan kerusakan hutan. Indonesia memiliki lebih dari 2000
Undang-Undang, peraturan dan norma-norma terkait dengan lahan, beberapa diantaranya berbenturan
atau tidak jelas bagaimana bisa dapat saling diimplementasikan. Undang-Undang yang diperkenalkan
untuk mendukung desentralisasi Indonesia menciptakan ambiguitas terhadap hak-hak dan cara untuk
mengontrol sumber daya alam hutan. Contohnya, Undang-Undang Kehutanan membutuhkan distrik
pedesaan untuk menjalankan praktek-praktek pengelolaan hutan yang berkelanjutan, sementara Undang-
Undang tentang Pemerintahan Daerah membutuhkan kabupaten untuk menggunakan sumber-sumber
untuk menghasilkan pendapatan sebanyak mungkin untuk membiayai program pembangunan, mendorong
keuntungan jangka pendek dan mengakselerasi eksploitasi sumber daya hutan (Contreras-Hermosilla &
Fay 2005). Peraturan Presiden nomor 41 tahun 2004 memperbolehkan operasi pertambangan di beberapa
hutan lindung, sehingga hal tersebut berkontribusi lebih jauh pada ketidakpastian di sektor perhutanan.
Undang-Undang otonomi daerah berlawanan dan tidak jelas, merendahkan koordinasi diantara
departemen Kehutanan di berbagai tingkatan serta menyebabkan ketidakjelasan secara hukum terhadap
yurisdiksi politik untuk mengontrol dan mengatur penggunaan sumber daya alam (Kishort & Damania
2007). Kabupaten dan Pemerintah propinsi telah memanfaatkan lemahnya kejelasan hukum ini untuk
kepentingan mereka dalam mengeluarkan peraturan-peraturan dan mengalokasikan konsesi lahan. Banyak
peraturan daerah yang dikeluarkan oleh pemerintahan kabupaten untuk mengatur produksi kayu dalam
wilayah yurisdiksi mereka secara langsung bertentangan dengan peraturan nasional yang dikeluarkan oleh
Kementerian Kehutanan, sehingga menimbulkan kewanangan praktek-praktek yang oleh pemerintahan
pusat dianggap tidak sah. Kebingungan hukum ini memungkinkan terjadinya korupsi dan penyalahgunaan
peraturan lingkungan. Diperkirakan $ 4 juta dihasilkan dari aktivitas-aktivitas illegal dari sektor hutan di
Indonesia, nilai ini diluar kontrol otoritas keuangan (Kishort & Damania 2007:3). Para responden
menekankan (41%) kebutuhan untuk memperjelas ketidakkonsistenan interpretasi dan pelaksanaan
hukum.
Para responden mengidentifikasi bahwa korupsi judicial berkontribusi melemahkan penegakan hukum
(41% setuju). Korupsi judicial menjadi bukti dalam banyak kasus di Indonesia, dimana upaya untuk
mengejar kasus-kasus pembakaran dan pembalakan liar yang dilakukan oleh individu-individu dan
perusahaan-perusahaan besar telah gagal hingga proses penuntutan (Smith et al 2007). Satuan tugas mafia
anti-yudisial telah mengidentifikasi berbagai modus operandi dalam proses penegakan hukum, yang
dimulai ketika pelanggaran hukum telah diidentifikasi (melalui suap dan hubungan personal dengan
dukungan otoritas penegak hukum) dan berlanjut hingga di setiap level proses pencarian keadilan (KPK
2010). Peradilan dianggap sebagai salah satu lembaga yang paling korup di Indonesia berdasarkan studi
yang dilakukan oleh Transparency Internasional tahun 2011. Hal serupa, sebuah studi yang dilakukan
oleh Global Corruption Barometer tahun 2012 menulis bahwa 52% survey di Indonesia menganggap
peradilan sebagai lembaga yang korup. Berdasarkan sebuah studi di U4 Expert Answer (Martini 2012),
peradilan dianggap sebagai lembaga yang paling dipengaruhi oleh pejabat pemerintahan dan elit-elit
lokal. Sebuah sistem hukum dan yudisial yang tidak efektif dapat menghambat upaya untuk membuat
pemerintah semakin transparan dan akuntabel kepda warga negaranya, dan mendorong perilaku yang
korup. Permasalahan yang serius diidentifikasi dalam sistem yudisial adalah penghilangan berita acara
pengadilan dan perlakuan istimewa terhadap anggota pemerintah dan parlemen dan/atau anggota
keluarganya. Korupsi dalam yudisial merusak peran penting peradilan dalam penegakan supremasi
hukum, memperkuat respon-respon yang lemah terhadap praktek-praktek korupsi.
Ada beberapa konsensus (41%) seputar intervensi untuk menegakkan hukum dan Perundang-undangan
secara tegas, secara tranparan dan secara konsiten. Sehubungan dengan peran utama mereka dalam
mengontrol kawasan hutan, kabupaten dan jasa hutan propinsi memainkan peranan peting dalam
memperkuat kebijakan hutan (Burgess et al 2012). Namun sejumlah persoalan membatasi kemampuan
lembaga hutan di daerah untuk memaksakan kebijakan hutan dan Undang-Undang dalam yurisdiksi
mereka, termasuk anggaran dan kapasitas yang tidak sesuai dengan tanggung jawab. Lembaga-lembaga
Kehutanan memiliki tugas yang cukup menantang dalam mengelola tujuan-tujuan yang berlawanan yaitu
melestarikan asset bernilai global dan menghasilkan sewa dari sumber-sumber daya. Pejabat kawasan
hutan bekerja dengan gaji yang sangat rendah, namun mereka bertanggung jawab untuk melindungi
sumber daya alam yang bernilai komersil tinggi. Sewa dari hasil pengurasan hasil hutan tetap tinggi dan
ada insentif yang kuat untuk menumbangkan regulasi dan membayar suap untuk mendapatkan pangsa
pasar yang lebih besar dari sumber daya alam (Kishor & Damania 2007). Para responden
mengidentifikasi intervensi penyediaan insentif untuk lembaga perhutanan dan pemerintah daerah agar
dapat menampilkan prestasi yang baik, termasuk mendorong pengelolaan hutan oleh masyarakat (41%
setuju). Insentif dapat membantu meyakinkan bahwa para staff cukup termotivasi melalui sistem yang
jelas dari pemberian penghargaan dan sanksi untuk mengimplementasikan tugas yang menjadi tanggung
jawab mereka.
Tantangan lain dalam menegakkan peraturan dan Undang-Undang adalah kurangnya kejelasan dalam
mengontrol kawasan hutan, yang mungkin dieksploitasi oleh kepala desa yang memperbolehkan
pembalakan berlangsung di luar konsesi yang resmi (Barr et al 2006), untuk memfasilitasi pembangunan
perkebunan kelapa sawit di dalam wilayah hutan nasional, dan untuk memberi sanksi proses dan
transportasi dari kayu gelondongan yang diambil secara tidak sah (Casson 2001; Burgess et al 2012).
Pemerintah daerah jarang, jikalau pernah, menegakkan kesepakatan masyarakat dengan perusahaan,
sehingga hasilnya masyarakat bergantung pada upaya mereka sendiri untuk menegakkan kesepakatan
mereka daripada bersandar pada negara untuk menegakkan hak-hak properti mereka (Palmer 2006).
Sehubungan dengan hal tersebut, para responden juga mengidentifkasi intervensi yang cocok (35%) untuk
membangun struktur yang dapat membantu memastikan akuntabilitas (contoh: pengadilan, lembaga-
lembaga korupsi, pengamat eksternal seperti media).
Faktor-faktor pemungkin yang berhubungan dengan penerimaan pendapatan dan insentif ekonomi dan
intervensi tata kelola yang sesuai
Kategori ketiga dari faktor pemungkin yang berkaitan dengan penerimaan pendapatan dan insentif
ekonomi. Ini adalah faktor-faktor yang paling kuat dikaitkan dengan kegiatan-kegiatan serta industri-
industri yang menyebabkan terjadinya deforestasi dan degradasi lahan gambut. Ada konsensus terbanyak
di sekitar faktor-faktor pemungkin yang berhubungan dengan kepentingan pribadi, kepentingan bisnis dan
politik yang sangat besar mempengaruhi pembuatan kebijakan dan regulasi (70%). Faktor-faktor
pemungkin yang mendapat konsensus lebih rendah adalah korupsi (35%); dan kebijakan langsung dan
tidak langsung yang mendukung dan bahkan mensubsidi aktivitas-aktivitas komersil yang mengarah pada
perambahan hutan (terutama pembalakan dan perluasan perkebunan kelapa sawit) (35%); juga kebijakan
yang memprioritaskan pertumbuhan ekonomi jangka pendek dan keberlanjutan penerimaan negara jangka
panjang serta keputusan penggunaan lahan yang berkesinambungan (35%).
Terdapat konsensus yang kuat terhadap pernyataan bahwa kepentingan bisnis dan politik memiliki
pengaruh yang kuat terhadap pembuatan kebijakan dan peraturan (70%). Hasil temuan ini erat kaitannya
dengan bagian literatur yang muncul dan memperdebatkan bahwa desentralisasi Indonesia belum
merubah kepentingan terselubung yang bercokol yang mempengaruhi tata kelola lahan dan hutan. Para
responden dalam studi ini mengidentifikasi bahwa ada sejumlah kepentingan terselubung yang bekerja
melalui berbagai macam cara baik langsung dan tidak langsung, untuk mempengaruhi perubahan hutan
dan tutupan lahan. ‘Ada banyak lagi ragam pelaku yang juga diuntungkan dengan adanya deforestasi
walaupun dari jauh, termasuk mereka yang mendapat keuntungan dari investasi untuk kegiatan-kegiatan
tersebut atau mendapat uang dari pendapatan, uang suap atau keuntungan lain akibat pemberian akses
perizinan atau karena tidak diberlakukannya hukum’, ungkap salah satu responden.
Reformasi desentralisasi memberikan kekuasaan bagi perangkat daerah untuk mengalokasikan perizinan
bagi kegiatan-kegiatan berbasis lahan untuk memperoleh pendapatan tambahan. ‘Dalam desentralisasi,
dorongan untuk memperoleh pendapatan daerah dari pembukaan lahan baru untuk perkebunan (atau
pertambangan dan lain-lain) sangat parah, karena petugas daerah kini bertanggung jawab atas pembatasan
pengambilan keuntungan dari deforestasi, drainase lahan gambut, dan pembukaan lahan, baik melalui
dukungan bagi program-program daerah yang resmi dan dari pendapatan yang diperoleh, maupun
kegiatan-kegiatan yang tidak resmi dan seringkali ilegal, melalui uang suap dan kepentingan bisnis
individu,’ ungkap salah satu responden. Pada tingkat kabupaten, pemerintah kabupaten mendapatkan
penerimaan tertinggi dari perkebunan kelapa sawit dalam kawasan hutan dan memiliki kepentingan untuk
memperluas perkebunan kelapa sawit di wilayah mereka (Irawan, Tacconi & Ring 2013). Pemerintah
daerah mempunyai kekuasaan lebih untuk mempengaruhi pembuatan kebijakan terkait perkebunan kelapa
sawit dibadingkan kebijakan terhadap tanaman hutan dan penebangan.
Para responden (non-konsensus 35%) mengindentifikasi bahwa kebijakan yang secara langsung maupun
tidak langsung mendukung dan bahkan mensubsidi kegiatan komersial yang berujung pada pembukaan
lahan (terutama penebangan dan perluasan perkebunan kelapa sawit) merupakan faktor pemungkin yang
penting yang paling sering dikaitkan dengan kegiatan dan industri yang menyebabkan deforestasi dan
degradasi lahan gambut. Pemerintah Indonesia telah mempercepat investasi lingkungan yang
menguntungkan perusahaan komersial asing, dan emdnroong pasar eksport untuk minyak kelapa sawit
mentah yang berfluktuasi dengan pasar internasional. Faktor-faktor ini telah mengakibatkan ledakan
produksi minyak kelapa sawit, yang meningkat hingga 17.4% setiap tahunnya antara tahun 2000 dan
2009 (US Department of Agriculture 2009). Pemerintah juga menyediakan program subsidi untuk
mendorong petani skala kecil yang saat ini memiliki 44% total wilayah perkebunan kelapa sawit di
Indonesia, kedua setelah perkebunan komersial swasta (US Department of Agriculture 2009).
Penelitian untuk meningkatkan tata kelola hutan dan lahan
Studi ini juga mencakup pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan penelitian, mengetahui bahwa
penelitian lanjutan sangat dibutuhkan untuk meningkatkan tata kelola hutan dan lahan. Penelitian sangat
penting baik untuk membangun kerangka pengetahuan yang ada mengenai penyebab dan pendorong
deforestasi dan degradasi lahan serta untuk berbagi pengetahuan tentang apa yang berhasil untuk
mencapai reformasi tata kelola lahan. Oleh karena itu, studi ini mengevaluasi topik-topik penelitian dan
pendekatan-pendekatan yang memampukan munculnya pemahaman yang lebih baik akan persoalan tata
kelola hutan dan lahan di Indonesia. Banyak panelis mengidentifikasi aksi-aksi penelitian secara potensial
menguntungkan bagi teknik penelitian. Aksi penelitian yang didefinisikan sebagai ‘sebuah proses disiplin
pemeriksaan yang dilaksanakan oleh dan untuk mereka yang melakukannya’ (Sagor 2000), Melakukan
aksi penelitian melibatkan pemerintah, sektor swasta dan masyarakat memperoleh 64% konsensus.
Terdapat persetujuan seputar keuntungan dari mengadakan ‘kerjasama antara lembaga ilmiah dengan
LSM lokal untuk menggunakan temuan penelitian’ (41%). Hubungan-hubungan ini bisa saling
menguntungkan, LSM lokal dapat memiliki akses atas informasi yang diperlukan oleh lembaga penelitian
untuk melakukan penelitian, dan LSM lokal mendapat keuntungkan dari advokasi dan penyusunan
program yang berbasis bukti.
Metodologi pendekatan penelitian lain yang dinilai penting adalah ‘ekonomi politik, khususnya untuk
mengungkapkan ekonomi politik yang sebenarnya dari alokasi penggunaan lahan’ (58% konsensus).
Metodologi ini dianggap berguna untuk mengetahui kepentingan dan pengaruh para pemangku
kepentingan dan bagaimana mereka menggunakan kekuasaan dalam pembuatan keputusan tentang
penggunaan hutan dan lahan dan distribusi sumber daya alam. Sehubungan dengan itu, terdapat
konsensus seputar kebutuhan untuk ‘mengamati lebih dalam pembiayaan politik dalam sektor kehutanan’
(58%). Studi ekonomi politik telah mendokumentasikan pengaruh para partai politik dalam kejahatan
bisnis dan hutan. Burgess et al (2011) mengidentifikasi hubungan antara deforestasi dan pemilihan umum
regional dan daerah yang digambarkan sebagai ‘siklus penebangan politik’. Hutan menjadi sumber
pembelian suara dan klientalisme yang digunakan untuk membayar kembali hutang dan hadiah-hadiah
yang diperoleh oleh partai politik dan kandidat-kandidat invidu untuk memperoleh kemenangan dalam
Pemilu, serta untuk membiayai partai-partai politik. Dengan memahami biaya-biaya yang harus
dibayarkan kembali oleh para kandidat politik dan hubungan finansial yang dibangun untuk mengatur
hutang yang muncul, akan membantu kita memahami pengaruh keputusan para pelaku terhadap
penggunaan lahan dan hutan. Mekanisme akuntabilitas keuangan tetap memeriksa peningkatan kontrol
terhadap hutan pemerintah daerah memiliki post desentralisasi, untuk memastikan bahwa keputusan yang
berkaitan dengan penggunaan hutan dan lahan adalah untuk kepentingan publik (Eckardt 2008).
Memahami pembiayaan kejahatan hutan juga membutuhkan penyelidikan alur keuangan dari sumbernya
kemana keuntungan tersebut bermuara. Pelaku kejahatan yang memiliki kekuasan besar mampu
mengambil jalan pintas terhadap prosedur-prosedur resmi dengan memberi bayaran untuk memonitor atau
memanfaatkan koneksi politik untuk menghindari penegakan hukum (EIA/Telapak 2007). Pendekatan
‘ikuti aliran uang’ telah disarankan untuk mencapai para pelaku ekonomi dan politik tingkat tinggi yang
sering kali menjadi tujuan keutungan secara tidak sah. Namun, menginvestigasi para pelaku ini ternyata
sulit dan kompleks, membutuhkan ketrampilan teknis untuk melacak transaksi-transaksi lintas yurisdiksi
international (Joy 2010).
Konsensus lebih lanjut ditentukan sehubungan dengan adanya manfaat dari mempelajari kebutuhan dan
bantuan yang diperlukan oleh daerah untuk menjalankan alat-alat dan kebijakan-kebijakan untuk
meningkatkan tata kelola hutan dan lahan (58%). Dengan memahami kebutuhan khusus dari pemerintah
daerah, masyarakat dan pemangku kepentingan hutan lainnya akan dapat membantu mencapai intervensi
tata kelola yang lebih responsif dan strategis yang kemungkinan besar akan berhasil dalam memberikan
kontribusi bagi tata kelola hutan dan lahan yang baik.
Terdapat tingkat persetujuan yang tinggi seputar pernyataan ‘penelitian tentang pengaturan institusional
yang lebih baik, dan pendekatan manajemen lanskap yang menembus ‘pagar-pagar sektoral’ (47%).
Pengaturan kelembagaan mencakup seluruh mekanisme dalam manajemen kehutanan, termasuk skema-
skema manajemen hutan komunitas seperti pengelolaan hutan komunitas dan desa, perkebunan swasta
dan pengelolaan hutan oleh negara melalui Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH). Sehubungan dengan itu,
beberapa responden menganggap ada manfaat dari studi ‘tata kelola hutan dan lahan (termasuk agro-
kehutanan) oleh masyarakat adat’ (35%). Tata kelola hutan dan lahan oleh masyarakat adat dapat
mencakup praktek-praktek yang telah diinstitusikan dalam hukum adat.
Terdapat konsensus (35%) sehubungan dengan pernyataan ‘menemukan titik awal (entry-point) dalam
rantai suplai untuk mendorong perbaikan tata kelola hutan dan lahan’. Memperbaiki praktek-praktek
penggunaan lahan, termasuk kehutanan, perkebunan dan pertambangan memerlukan pemahaman yang
baik tentang rantai persediaan. Mengidentifikasi titik awal kunci dalam rantai suplai dapat mencakup
tahap verifikasi pada titik asal (untuk kayu, disinilah poin dimana produk dipotong), ataupun proses
operasi industri, dalam hal kepatuhan dengan peraturan dan perundang-undangan.
Para responden menekankan pentingnya mendukung penelitian dengan advokasi dan berbagai kegiatan
lain yang berorientasi pada pencapaian reformasi kebijakan. Seorang responden mengungkapkan bahwa;
‘Penelitian yang dilakukan sendirian tidak mungkin dapat membuat banyak perubahan’. Menjembatani
komunikasi antara peneliti dan pembuat kebijakan, masyarakat sipil dan sektor swasta penting untuk
memastikan agar penelitian dapat memberi informasi bagi intervensi tata kelola. Hal ini melibatkan akses
pemungkin ke penelitian dan mengkomunikasikan rekomendasi-rekomendasi penelitian pada para pelaku
yang tepat.
Seorang responden lainnya menguraikan keterbatasan penelitian, menunjukkan bahwa sudah banyak yang
dipahami dalam tata kelola hutan dan lahan: ‘Kerangka umum sistem [tata kelola hutan dan lahan] telah
banyak diteliti. Namun, yang masih menjadi perdebatan adalah apakah ini merupakan masalah
pengetahuan atau apakah sebenarnya merupakan masalah politik dan ekonomi. Mengingat sebagian besar
tantangan merupakan masalah ekonomi, penelitian hanya akan membuat sedikit perubahan. Namun, LSM
dan berbagai penelitian lain yang mengungkapkan isu-isu tersebut dalam konteks-konteks tertentu dapat
mengungkapkan dan menyediakan analisis terkini yang dapat membantu menanggapi berbagai
keterbatasan dalam reformasi.’ Seorang responden menekankan perlunya penelitian yang
berkesinambungan dan eksplorasi lebih lanjut dalam penelitian: ‘Penelitian yang telah dilakukan cukup
bagus, kini tinggal memperdalam cakupan penelitian’. Memperdalam ruang lingkup penelitian telah
dilakukan dengan memperbarui dan memperluas hasil penelitian yang telah diidentifikasi memiliki
potensi yang sangat penting untuk memperbaiki aspek-aspek kunci dari tata kelola hutan dan lahan.
KESIMPULAN
Menanggapi jurang antara teori dan praktek di bidang tata kelola hutan dan lahan, panel ahli dibentuk
untuk menentukan tingkat konsensus apa yang bisa dicapai dalam faktor pedorong deforestasi, kerusakan
hutan dan degradasi hutan dan lahan di Indonesia, dan selanjutnya mengidentifikasi intervensi-intervensi
untuk memperbaiki tata kelola hutan dan lahan. Dengan menggunakan metode Delphi, para ahli ini
mencapai konsensus mayoritas mengenai dua industri besar untuk berkonsentrasi pada perkebunan skala
besar yang dimiliki oleh perusahaan swasta (82%), dan hutan tanaman industri (HTI) (58%). Para panel
ahli juga mengidentifkasi penyebab tidak langsung deforestasi dan degradasi hutan dan lahan (disebut
faktor pemungkin), khususnya yang berkaitan dengan tata kelola yang buruk di sekitar rencana tata guna
lahan. Hal ini mencakup: kurangnya kejelasan dalam hal kepemilikan lahan dan klasifikasi lahan (88%);
praktek-praktek yang buruk dalam perencanaan penggunaan lahan dan lemahnya kepatuhan pada
perencanaan tata ruang (76%); yang berakibat pada perizinan yang tumpang tindih dalam hal
penggunaan hutan dan lahan (58%). Kepentingan bisnis dan politik yang berpengaruh besar bagi
pembuatan kebijakan dan peraturan juga menjadi faktor yang mendapat konsensus kuat (70%).
Para ahli mengidentifikasi tiga intervensi yang paling mungkin dapat meningkatkan tata kelola hutan dan
lahan Indonesia, yaitu:
1. Mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan aparat masyarakat dan institusi dan membangun
strategi untuk memperbaiki kinerjanya (65%).
2. Mengukuhkan kawasan hutan untuk memperjelas batasan-batasan lahan dan untuk menentukan
hutan mana yang merupakan zona hutan desa, masyarakat dan pemerintah (58%).
3. Mengintegrasikan peta partisipatif dalam perencanaan tata ruang untuk melindungi kebutuhan
masyarakat setempat dan penduduk asli (53%).
Intevensi yang mendapat konsensus terbanyak menekankan pada keterlibatan masyarakat dalam
mekanisme tata kelola hutan. Para responden mendukung keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan
hutan, termasuk di badan pembuat peraturan untuk mengelola hutan. Mengintegrasikan peta masyarakat
dalam keputusan rencana tata ruang dilihat sebagai cara penting untuk memastikan bahwa kebutuhan
pembangunan masyarakat lokal dan masyarakat adat terlindungi. Intervensi pengukuhan hutan untuk
memberi kejalasan sekitar batasan lahan juga menawarkan manfaat dalam melindungi kepemilikan lahan
bagi masyarakat lokal dan masyarakat adat. Hasil-hasil temuan ini mengindikasikan bahwa pendekatan
masyarakat ke lembaga pengelolaan hutan mungkin memberikan manfaat bagi tata kelola hutan.
Terakhir, para ahli mencapai konsensus mengenai empat tema penelitian untuk mengetahui lebih lanjut
tentang tata kelola hutan dan lahan:
1. Melakukan penelitian yang melibatkan pemerintah, pihak swasta dan masyarakat (64%).
2. Ada kebutuhan untuk melakukan studi tentang kebutuhan dan bantuan yang diperlukan oleh
daerah-daerah untuk mengimplementasi alat dan kebijakan untuk memperbaiki tata kelola hutan
dan lahan (58%).
3. Ada kebutuhan untuk mengkaji lebih dalam tentang pendanaan politik dalam sektor kehutanan
(58%).
4. Penggunaan metodologi ekonomi politik untuk mengungkapkan ekonomi politik yang sebenarnya
dalam alokasi penggunaan lahan (58%).
Konsensus mayoritas seputar aksi penelitian menekankan pada nilai yang diletakkan pada pendekatan
penelitian kolaboratif. Penelitian yang menjawab kebutuhan daerah dinilai penting. Pengaruh kepentingan
bisnis dan politik memperoleh konsensus dengan tingkat yang paling tinggi sebagai faktor pemungkin
yang layak untuk diteliti lebih dalam. Para panelis mengidentifikasi sebuah kebutuhan untuk membongkar
hubungan-hubungan ini melalui studi politik ekonomi. Keterbatasan-keterbatasan penelitian telah
diidentifikasi oleh sejumlah responden dan banyak yang memberikan komentar bahwa penelitian yang
ada masih belum cukup digunakan sebagai alat yang berdiri sendiri namun dapat membantu memberikan
informasi dan memperkuat pendekatan-pendekatan tata kelola.
REKOMENDASI
Berdasarkan hasil-hasil temuan studi ini, rekomendasi untuk melaksanakan intervensi-intervensi untuk
merespon tata kelola hutan dan lahan akan didiskusikan berikut ini. Rekomendasi-rekomendasi tersebut
berdasarkan tiga intervensi dan empat tema penelitian yang telah mencapai konsensus yang paling
banyak. Tata kelola hutan berorientasikan LSM, organisasi lembaga donor dan lembaga-lembaga
penelitian dapat memberikan manfaat dengan mempertimbangkan prioritas-prioritas ini dalam
membangun program-program dan kebijakan-kebijakan untuk mendukung tata kelola yang hutan dan
lahan yang baik di Indonesia.
Dukungan lembaga-lembaga masyarakat. Pemerintah, lembaga donor, dan masyarakat sipil sebaiknya
melakukan peningkatan kapasitas bagi lembaga-lembaga masyarakat, dan mendukung keterlibatan
mereka dalam lembaga-lembaga yang dibentuk untuk memfasilitasi pengelolaan hutan dan lahan.
Lembaga-lembaga masyarakat ini sebaiknya terintegrasi ke dalam lembaga pengelolaan hutan dan lahan
di tingkat lokal seperti lembaga pembuatan keputusan di masyarakat atau daerah, dan pada tingkat yang
lebih tinggi seperti unit pengelolaan hutan (KPH) dan badan-badan Pemerintah lain yang bertanggung
jawab.
Mempercepat pengukuhan hutan dengan menggunakan lembaga-lembaga masyarakat lokal untuk
memperjelas klaim hutan masyarakat. Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 35/2012 yang mengatur
tentang hutan masyarakat adat seharusnya tidak disebut kawasan hutan, untuk menciptakan kesempatan
memperkenalkan hak masyarakat lokal dan masyarakat adat terhadap hutan. Pengukuhan hutan adalah
salah satu langkah awal yang sangat penting untuk mengetahui kepemilikan akan hutan. Peta masyarakat
meruapak bagian penting dari proses ini, untuk mengidentifikasi dan memperjelas klaim kepemilikan
lahan. Lembaga-lembaga masyarakat dapat mendukung pemetaan dan pendekatan lainnya untuk
mendokumentasikan klaim-klaim hutan. Pemerintah, peneliti, lembaga donor dan masyarakat sipil dapat
bermitra dengan lembaga masyarakat untuk mendokumentasikan klaim hutan masyarakat untuk
menginformasikan proses pengukuhan hutan. Pemerintah harus memastikan klaim hutan masyarakat
terlindungi dalam Undang-Undang yang mengakui kepemilikan hutan oleh masyarakat yang dalam studi
ini telah digambarkan akan membawa pada pengelolaan hutan yang berkesinambungan.
Mengintegrasikan peta partisipatif ke dalam rencana tata ruang. Peta partisipatif yang dibuat untuk
pengukuhan hutan dapat juga digunakan sebagai basis untuk keputusan rencana tata ruang, untuk
memastikan bahwa peta rencana tata ruang mempertimbangkan klaim tanah adat dan tanah masyarakat.
Aksi penelitian merupakan pendekatan yang berguna untuk digunakan dalam pemetaan partisipatif karena
memperbolehkan badan dan kepemilikian terhadap proses dan hasil akhir. Para donor, peneliti dan
masyarakat sipil harus memberikan pelatihan dan bantuan teknis untuk mendukung pemetaan partisipatif
klaim hutan masyarakat. Para peneliti harus menyediakan bantuan teknis bagi pemerintah untuk
mengintegrasikan peta partisipasi kedalam rencana tata ruang.
Dukungan kemampuan masyarakat lokal dalam memantau hutan. Sejumlah teknologi dapat
digunakan oleh masyarakat lokal dalam melaksanakan monitoring hutan. Bagi masyarakat yang memiliki
akses dan ketrampilan ICT, platform dan tools sudah tersedia untuk digunakan dalam monitoring tutupan
hutan, dan melaporkan pelanggaran pemanfaatan hutan, pembakaran hutan dan perubahan tutupan hutan.
Bagi masyarakat yang tidak memiliki akses internet, platform SMS, teknologi radi dan pohon telepon
adalah inovasi sederhana yang dapat mendukung monitoring dan melaporkan jika terdapat pelanggaran.
Alat kendaraan udara tak berawak menawarkan cara yang murah untuk memonitor wilayah hutan untuk
mengidentikasi kondisi tutupan hutan, melacak margasatwa dan memonitor perkebunan serta konsesi
pertambangan untuk memeriksa kepatuhan persyaratan dan kewajiban hukum. Pemerintah, para donor
dan masyarakat sipil harus menyediakan pelatihan dan bantuan teknis bagi masyarakat untuk
memungkinkan penggunaan inovasi monitoring yang sesuai dan juga penguatan kapasitas untuk
mendukung masyarakat dalam merepons ketidakadilan dan pelanggaran yang diidentifikasi melalui
monitoring. Masyarakat sipil harus membantu masyarakat lokal dalam menggunakan media sosial,
termasuk Facebook dan Twitter, untuk menghubungkan masyarakat lokal dengan masyarakat kota yang
memiliki kepedulian untuk membangun dukungan bagi perlindungan hutan dan hak-hak masyarakat, serta
mendesak pemberian sanksi hukum bagi pelanggaran skala besar.
Melakukan aksi penelitian yang melibatkan semua pemangku kepentingan. Menyelesaikan konflik
guna lahan yang berkepanjangan, dan memastikan alokasi pemanfaatan lahan mendukung pertumbuhan
karbon ekonomi yang rendah serta kesejahteraan masyarakat lokal, membutuhkan partisipati aktif dari
pemerintah, sektor swasta dan masyarakat. Para peneliti dan para donor harus mempertimbangkan aksi
penelitian dan metode-metode partisipatif yang sesuai yang memungkinkan kepemilikan dan bukan hanya
hasil, namun arah penelitian yang dilaksanakan berkaitan dengan tata guna hutan dan lahan. Aksi
penelitian merupakan alat yang berguna sebagai latihan pemetaan masyarakat, dan untuk proses
pembuatan keputusan pemanfaatan lahan yang memungkinkan partisipasi dari semua pemangku
kepentingan yang terkena dampak, termasuk masyarakat adat dan perempuan, kelompok yang sering
terpinggirkan dari proses pembuatan keputusan meskipun mereka saat ini kemungkinan besar terkena
dampak dari hasil tersebut. Metode penelitian ini juga merupakan teknik yang berguna untuk mendukung
kebutuhan analisa bagi daerah untuk mengidentifikasi alat dan kebijakan-kebijakan untuk meningkatkan
tata kelola hutan dan lahan.
Pembiayaan sektor lahan dan hutan. Para donor dan masyarakat sipil perlu mempertimbangkan
hubungan klien-patron yang mendasar yang menjadi penghalang efektifitas intervensi teknis. Sektor
swasta harus bekerja sama dengan pemerintah dan masyarakat sipil untuk memastikan bahwa investasi
juga memperhatikan hak-hak hutan masyarakat, konsisten dengan hukum dan standard lokal, nasional dan
internasional, dan bahwa alokasi lahan hanya akan dilakukan setelah masyarakat yang terkena dampak
dibebaskan, didahulukan dan diinformasikan. Masyarakat sipil harus terus memastikan akuntabilitas
pemimpin politik dan pejabat publik, termasuk melalui penggunaan media dan monitoring keputusan,
serta para donor harus mendukung peningkatan akuntabilitas dan partisipasi masyarakat sipil dalam tata
kelola. Peneliti, donor dan masyarakat sipil harus menggunakan pendekatan ‘ikuti aliran uang’ (seperti
yang telah dikembangkan oleh pendekatan penegakan hukum terpadu milik CIFOR)5
untuk
mengidentifikasi praktek-praktek ilegal dan yang tidak berkesinambungan oleh sektor-sektor keuangan
dan bank. Pendekatan ini membutuhkan ketrampilan teknis, jaringan yang luas dan dana untuk mengikuti
aliran uang dan untuk mengejar kasus-kasus penuntutan di yurisdiksi luar negeri. Masyarakat sipil harus
mendukung insiatif-inisiatif pencegahan, termasuk whistle blower dan pemantauan untuk menghentinkan
pemanfaatan hutan secara tidak sah sedini mungkin.
Terlibat dalam analisa ekonomi politik. Bantuan keuangan dan teknis semata tidaklah cukup untuk
mendorong tata kelola hutan dan lahan yang baik. Para peneliti, donor dan masyarakat sipil harus
menggunakan analisa ekonomi politik untuk memahami proses politik dan ekonomi yang mempengaruhi
pembuatan keputusan terkait tata guna hutan dan lahan. Para peneliti dapat membantu
mengidentifikasikan para pemangku kepentingan yang secara langsung dan tidak langsung terlibat atau
terkena dampak dari permasalahan tata kelola hutan dan lahan, dan membongkar dinamika kekuasaan
yang memungkinkan terjadinya praktek-praktek tata kelola yang buruk, serta turut campur tangan dalam
perubahan potensial yang mendukung reformasi tata kelola yang baik. Donor sebaiknya menggunakan
analisa ekonomi politik untuk menginformasikan rancangan program mereka untuk dapat memastikan
	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  	
  
5	
  Pendekatan Penegakan Hukum Terpadu milik CIFOR, 2009, lihat http://www.cifor.org/ilea/_ref/instruments/index.htm
intervensi tata kelola mempertimbangkan kendala dan peluang di sektor tata kelola hutan dan lahan di
Indonesia.
LITERATUR
Abood, S.A., Lee, J.S.H., Burivalova, Z., Garcia-Ulloa, J & Koh LP. (2014). ‘Relative contributions of
the logging, fiber, oil palm and mining industries to forest loss in Indonesia’, Conservation Letters.
The Age (2012), ‘China slowdown hits Indonesian coal exporters,’ 7 September 2012, [online] URL:
http://www.theage.com.au/business/china-­‐slowdown-­‐hits-­‐indonesian-­‐coal-­‐exporters-­‐20120907-­‐
25i18.html#ixzz27VbACZJj
Agrawal, A & Ostrom, E. (2001) ‘Collective Action, Property Rights, and Decentralization in Resource
Use in India and Nepal’, Politics and Society, 29(4): 485-514.
Andersson, K. (2006). Understanding decentralized forest governance: an application of the institutional
analysis and development framework. Sustainability: Science, Practice and Policy, 2(1): 25-35.
Austin, K, Sheppard, S & Stolle, F. (2012). ‘Indonesia’s moratorium on new forest concessions: key
findings and next steps’, Working paper, World Resources Institute.	
  
	
  
Austin, K., Alisjahbana, T.D., Boediono, R., Budianto, B.E., Purba, C., Indrarto, G.B., Pohman, E.,
Putraditama, & A., Stolle, F. (2014). ‘Indonesia’s Forest Moratorium: Impacts and Next Steps’,
Washington DC, World Resources Institute.
Bachelard, M. (2013). ‘Indonesian forest open for mining, logging’, Sydney Morning Herald, 18 April,
[online] URL: http://www.smh.com.au/world/indonesian-forest-open-for-mining-logging-20130417-
2i0gs.html
Bai, Z.G., D. L. Dent, L. Olsson, & M. E. Schaepman. (2008). Global Assessment of Land Degradation
and Improvement 1: Identification by Remote Sensing. Report 2008/01, FAO/ISRIC. Rome/Wageningen.
Barr, C., Resosudarmo, IAP., Dermawan, A, and Steiono, B. (2006). ‘Decentralisation’s Effects on Forest
Concessions and Timber Production, in Decentralisation of Forest Administration in Indonesia:
Implications for Forest Sustainability, Economic Development and Community Livelihoods, ed. Barr, C.,
Resosudarmo, IAP, Dermawan, A and McCarty, J, Centre for International Forestry Research, Bogor,
Indonesia, pp. 87 – 107.
Brockhaus, M, Obidzinski, K, Dermawan, A, Laumonier, Y, & Luttrell, C. (2012). ‘An overview of forest
and land allocation policies in Indonesia: Is the current framework sufficient to meet the needs of
REDD+?’ Forest Policy and Economics, vol. 18, pp. 30 – 37.
Brown, D, Shepherd, G, Schreckenberg, K, & Wells, A. (2002). ‘Forestry as an Entry Point for
Governance Reform’, Overseas Development Institute, Forestry Briefings issue 1, Department for
International Development, UK. [online] URL: http://www.odi.org.uk/publications/541-forestry-as-entry-
point-governance-reform
Burgess, R., et al. (2012). ‘The Political Economy of Deforestation in the Tropics’, The Quarterly Journal
of Economics, pp. 1707 – 1754.
Burnard, P & Morrison, P. (1994). Nursing Research in Action: Developing Basic Skills, Macmillan Press
Limited, London.
Carter, C, Finley, W, Fry, J, Jackson, D, & Willis, L. (2007). ‘Palm oil markets and future supply,’
European Journal of Lipid Science Technology, 109: 307–314.
Casson, A. (2001). ‘Decentralisation of Policies Affecting Forests and Estate Crops in Kotawaringin
Timur District, Central Kalimantan, Case Studies on Decentralisation and Forests in Indonesia 5’, Centre
for International Forestry Research, Bogor, Indonesia.
Casson, A., & K. Obidzinski. (2002). From New Order to Regional Autonomy: Shifting Dynamics of
‘Illegal’ Logging in Kalimantan, Indonesia. World Development, 30(12): 2133-2151.
Castren, T., & M. Pillai. (2011). Forest Governance 2.0: A primer on ICTs and governance, Washington
DC: Program on Forests (PROFOR).
Colchester et al. (2006). Justice in the forest: rural livelihoods and forest law enforcement. Forest
Perspectives, no. 3, CIFOR, Bogor, Indonesia.
Contreras-Hermosilla, A. (2000). The underlying causes of forest decline, CIFOR, occasional paper, no.
30, June 2000.
Contreras-Hermosilla, A., & Fay, C. (2005). ‘Strengthening Forest Management in Indonesia through
Land Tenure Reform: Issues and Framework for Action’, Forest Trends.
Dalkey, N. & O. Helmer. (1963). An experimental application of the Delphi method to the use of experts.
Management Science. 9(3):458–467.
De Villiers, M. R., & P. J. T. de Villiers. (2005). The Delphi technique in health sciences education
research, Medical Teacher, 27(7):639-643.
Downs, F. (2013). Rule of Law and Environmental Justice in the forests: the challenge of ‘strong law
enforcement’ in corrupt conditions’, Anti-Corruption Resource Centre, no. 6. June 2013.
Eckardt, S. (2008). ‘Political Accountability, Fiscal Conditions and Local Governance Performance –
Cross-sectional evidence from Indonesia’, Public Administration and Development 28, pp. 1-17.
Environmental Investigation Agency (EIA). 2012. Forest Governance, [online] URL: http://www.eia-
international.org/our-work/ecosystems-and-biodiversity/forest-loss/forest-governance
Environmental Investigation Agency (EIA) & Telapak. (2007). The Thousand-Headed Snake: Forest
Crimes, Corruption and Injustice in Indonesia [online] URL: http://eia-­‐
global.org/images/uploads/The_Thousand_Headed_Snake.pdf.	
  
Forest Watch Indonesia (2014). State of the Forest Indonesia: 2009 - 2013. Bogor. [online] URL:
http://fwi.or.id/publikasi/potret-keadaan-hutan-indonesia-periode-2009-2013/
Food and Agriculture Organisation (FAO). (2004). FAO Advisory Committee on Paper and Wood
Products – Forty-fifth Session, Canberra, Australia; K. Rosenbaum. 2003. Item 6a: Defining lllegal
logging: What is it and what is being done about it? Advisory Committee on Paper and Wood Products,
Forty-fourth session. Oaxaca, Mexico.
Greenpeace (2013). ‘Certifying Destruction: Why consumer companies need to go beyond the RSPO to
stop forest destruction’, pp. 1 – 8.
Hansen, M.C. et al. (2013). High resolution global maps of 21st
-century forest cover change. Science 342:
850-853.
Hapsari, M. (2011). ‘The Political Economy of Forest Governance’, Limits of Good Governance in
Developing Countries, pp. 103-137.
Hosonuma, N., M. Herold, V. De Sy, R. S. De Fries, M. Brockhaus, L. Verchot, A. Angelsen, & E.
Romijin. (2012). An assessment of deforestation and degradation drivers in developing countries.
Environmental Research Letters 7:1-12.
Hsu, C., & Sandford, B. (2007). The Delphi technique: making sense of consensus, Practical Assessment,
Research and Evaluation, 12(10)1-8.
Hunt, C. (2010). ‘The costs of reducing deforestation in Indonesia, Bulletin of Indonesia Economic
Studies’, vol 46, no. 2, pp 187-1923. 	
  
Indrarto, GB. (2012). The context of REDD+ in Indonesia: Drivers, agents and institutions. Working
paper 92. CIFOR, Bogor, Indonesia.
INFORM, Global Environment Facility Implementation Completion Report – MSP Indonesia, Indonesian
Forests and Media Project, 2005. [online] URL:
https://blogs.worldbank.org/eastasiapacific/files/eastasiapacific/ICR_AS_Feb17.pdf.	
  
Irawan, S., Tacconi, L., & Ring, I. (2013). ‘Stakeholders’ incentives for land-use change and REDD+: the
case of Indonesia’, Ecological Economics, vol. 87, pp. 75-83.
Joy, A. (2010). ‘Following the Money Trail: the Challenges in Illegal Logging Investigations’, UN Office
on Drugs and Crime in Indonesia, conference presentation at the 16th
International Anti-Corruption
Conference, Bangkok, November 2010. [online] URL:
https://www.unodc.org/documents/southeastasiaandpacific//indonesia/forest-­‐
crime/Following_the_money_in_illegal_logging.pdf
Kanowski, PJ, McDermott, C. L. & Cashore, B.W. (2011). Implementing REDD+: Lessons from analysis
of forest governance, Environmental Science and Policy, 14:111-117.
Keeney, S,. McKenna, H. & Hasson, F. (2011). The Delphi technique in Nursing and Health Research.
Wiley-Blackwell, UK.
Kishor, N.M. & Rosenbaum, K.L. (2003). Indicators to monitor progress of forest law enforcement,
International Forestry Review, 5(3):211-218. [online] URL:
http://siteresources.worldbank.org/EXTFORESTS/Resources/985784-
1217874560960/IndicatorsinIFR532003.pdf.
Kishort, N & Damania, R. (2007). ‘Crime and Justice in the Garden of Eden: Improving Governance and
Reducing Corruption in the Forestry Sector’, in The Many Faces of Corruption: Tracking Vulnerabilities
at the Sector Level, Campos, JE & Pradhan, S, (eds) Poverty Reduction and Economic Management,
World Bank, February 2007.
Koh, LP & Wilcove, DS. (2008). ‘Is oil palm agriculture really destroying tropical biodiversity?’
Conservation Letters, vol. 1, pp. 60–64.
KPK (Corruption Eradication Commission). (2010). Cited by Fitrian Ardiansyah, OGE ASIA June 25 –
July 25 2012.
Lemnos, MC & Agrawal, A. (2006). Environmental Governance. Annual Review of Environmental
Resources, 31:297-325.
Linstone, H.A. & Turoff, M. (1975). The Delphi Method: Techniques and Applications. Addison-Wesley,
London.
Margono, B.A., P. V. Potapov, S. Turubanova, F. Stolle, & M. C. Hansen. (2014). Primary forest cover
loss in Indonesia over 2000-2012. Nature Climate Change. 4(730-735):1-6.
Martini, M. (2012). ‘Causes of corruption in Indonesia’, U4 Expert Answer, Cases of Corruption,
Transparency International, no. 338.
McCarty, J. (2009), ‘Where is Justice? Resource entitlements, agrarian transformation and regional
autonomy in Sumatra,’ in Warren, C & McCarthy JF (eds), Community, Environment and local
governance in Indonesia: Locating the Commonweal, Routledge, Taylor & Francis Group, New York, pp.
167-196.
Monditoka, A.K. (2011). Decentralized Forest Governance – A Policy Perspective. Research Unit for
Livelihoods and Natural Resources, Working Paper no. 93, January 2011, [online] URL:
http://www.cess.ac.in/cesshome/wp/RULNR_Arunkumar_working_paper_93.pdf
Nworie, J. (2011). Using the Delphi technique in Educational Technology Research, TechTrends,
September/October. 55(5):24-30.
Okoli, C & Pawlowski, S.D. (2004). The Delphi method as a research tool: an example, design
considerations and applications, Information and Management, 42:15-19.
Palmer, C. (2006). ‘The outcomes and their determinants from community-company contracting over
forest use in post-decentralisation Indonesia’, Development Economics and Policy, vol. 52.
The Pilot Environmental Index. (2006). Center for International Earth Science Information Network
(CIESIN), Columbia University, and Yale Center for Environmental Law and Policy (YCELP), [online]
URL: http://beta.sedac.ciesin.columbia.edu/es/epi/downloads.html#data
Romin, E, J. H. Ainemababazi, A. Wijaya, M. Herold, A. Angelsen, L. Verchot, & D. Murdiyarso.
(2013). Exploring different forest definitions and their impact on developing REDD+ reference emission
levels: a case study for Indonesia. Environmental Science and Policy. 33:245-259.
Ryan, G.W. & Bernard, H.R. (2000). Data management and analysis methods, in Handbook of
Qualitative Research, 2nd
ed. D. Norman and L. Yvonna (eds), Thousand Oaks, CA, USA.
Sagor, R. (2000). What is Action Research, Guiding School Improvement with Action Research,
Association for Supervision and Curriculum Development, USA.
Safitri, MA. (	
  2010). ‘Reforming forest tenure law in Indonesia: which way forward?’, [online] URL:
https://openaccess.leidenuniv.nl/bitstream/handle/1887/16242/012.pdf?sequence=18
Sirait, M, Prasodjo, S, Podger, N, Flavelle, A & Fox, J. (1994). ‘Mapping Customary Land in East
Kalimantan, Indonesia: A tool for forest management’, Ambio, 23(7): 411-417.
Smith, et al. (2007). ‘Illegal logging, collusive corruption and fragmented governments in Kalimantan,
Indonesia’, cited in Tacconi, L (ed), Illegal logging: law enforcement, livelihoods and the timber trade,
Earthscan, London, p. 91-109.
Stevens, C. Winterbotton, R. Springer, J & Reytar, K. (2014). Securing Rights, Combating Climate
Change: How Strengthening Community Rights Mitigates Climate Change, World Resources Institute,
Washington, DC [online] URL:	
  http://www.wri.org/securingrights
Tacconi, L. (2006). ‘Developing environmental governance research: The example of forest cover change
studies’, Environmental Conservation, vol. 38, no. 2, pp. 1-13.
Tacconi, L. (2007). Decentralization, Forests and Livelihoods: Theory and Narrative. Global
Environmental Change: Part A – Human and Policy Dimensions. 17(3-4):338-348.
Tacconi, L. (2011). Developing environmental governance research: the forest cover change studies.
Environmental Conservation, 38(2):1-13.
Transparency International. (2011). Forest Governance Integrity Report, [online] URL:
http://www.ti.or.id/media/documents/2011/11/23/f/a/faaa1-report_indonesia_final_rev.pdf
UN REDD+ Programme. (2013). ‘Participatory Governance Assessment: The 2012 Indonesia Forest,
Land and REDD+ Governance Index’, UNDP Indonesia.
Wollenberg, E, Campbell, B, Dounias, E, Gunarso, P, Moeliono, M & Shiel, D. (2009). ‘Interactive
Land-Use Planning in Indonesian Rainforest Landscapes: Reconnecting Plans to Practice, in ‘Navigating
Trade-offs: Working for Conservation and Development Outcomes’, Ecology and Society, no. 14, vol. 1,
art. 35. pp. 1 -1 4.
Wollenberg, E., Moelinono, M., Limberg G., Iwan, R., Rhee, S & Sudana, M. (2006). ‘Between state and
society: local governance of forests in Malinau, Indonesia’, Forest Policy and Economics, vol. 8, pp. 421-
433.
World Bank. (2009). Roots for Good Forest Outcomes: An Analytical Framework for Governance
Reforms, [online] URL:
http://siteresources.worldbank.org/INTARD/2145781253636075552/22322823/ForestGovernanceReform
s.pdf
World Resources Institute. (2009). Governance of Forests Initiative. Indicator Framework Version 1, July
2009. [online] URL: http://www.wri.org/publication/governance-forests-initiative-indicator-framework-
version-1
World Resources Institute. (2012). Climate Analysis Indicators Tool. World Resources Institute. CAIT
version 9.0, Washington, DC, [online] URL: http://cait.wri.org
Yale Global Institute of Sustainable Forestry (2013). School of Forestry and Environmental Studies,
[online] URL: http://environment.yale.edu/gisf/programs/landscape-management/
The Asia Foundation is a nonprofit international d evelopment organization c ommitted t o
improving lives across a dynamic and developing Asia. Informed by six decades of experience
and deep l ocal e xpertise, our p rograms address critical issues a ffecting A sia in t he 2 1st
century—governance and law, economic d evelopment, women's empo werment, environment,
and r egional c ooperation. I n addition, our B ooks f or A sia and p rofessional e xchange
programs are among the ways we encourage Asia's continued development as a peaceful,
just, and thriving r egion of the world.
INDONESIA
PO BOX 6793 JKSRB
Jakarta 12067
Indonesia
asiafoundation.org

More Related Content

What's hot

Masterplan pendidikan
Masterplan pendidikanMasterplan pendidikan
Masterplan pendidikan
Nandang Sukmara
 
P.102 pedoman penyusunan dokumen lingkungan hidup bagi usaha danatau kegiatan...
P.102 pedoman penyusunan dokumen lingkungan hidup bagi usaha danatau kegiatan...P.102 pedoman penyusunan dokumen lingkungan hidup bagi usaha danatau kegiatan...
P.102 pedoman penyusunan dokumen lingkungan hidup bagi usaha danatau kegiatan...
Anjas Asmara, S.Si
 
Tahapan penyelenggaraan KLHS
Tahapan penyelenggaraan KLHSTahapan penyelenggaraan KLHS
Tahapan penyelenggaraan KLHS
Musnanda Satar
 
KEBIJAKAN NASIONAL DAYA DUKUNG DAN DAYA TAMPUNG LINGKUNGAN HIDUP
KEBIJAKAN NASIONAL DAYA DUKUNG DAN DAYA TAMPUNG LINGKUNGAN HIDUPKEBIJAKAN NASIONAL DAYA DUKUNG DAN DAYA TAMPUNG LINGKUNGAN HIDUP
KEBIJAKAN NASIONAL DAYA DUKUNG DAN DAYA TAMPUNG LINGKUNGAN HIDUP
LAKSMI WIJAYANTI
 
Permasalahan Penataan Ruang di Daerah
Permasalahan Penataan Ruang di DaerahPermasalahan Penataan Ruang di Daerah
Permasalahan Penataan Ruang di Daerah
henny ferniza
 
Review Perencanaan Desain Tapak Pengelolaan Pariwisata Pada Zona Pemanfaatan ...
Review Perencanaan Desain Tapak Pengelolaan Pariwisata Pada Zona Pemanfaatan ...Review Perencanaan Desain Tapak Pengelolaan Pariwisata Pada Zona Pemanfaatan ...
Review Perencanaan Desain Tapak Pengelolaan Pariwisata Pada Zona Pemanfaatan ...
bramantiyo marjuki
 
Jambi Sustainable Landscape Management Project (J-SLMP) BioCF-ISFL Provinsi J...
Jambi Sustainable Landscape Management Project (J-SLMP) BioCF-ISFL Provinsi J...Jambi Sustainable Landscape Management Project (J-SLMP) BioCF-ISFL Provinsi J...
Jambi Sustainable Landscape Management Project (J-SLMP) BioCF-ISFL Provinsi J...
CIFOR-ICRAF
 
Analisis dibutuhkan dalam pembuatan rdtr (permen atr no 16 tahun 2018)
Analisis dibutuhkan dalam pembuatan rdtr (permen atr no 16 tahun 2018)Analisis dibutuhkan dalam pembuatan rdtr (permen atr no 16 tahun 2018)
Analisis dibutuhkan dalam pembuatan rdtr (permen atr no 16 tahun 2018)
bintang purba
 
BAHAN PAPARAN TEKNOLOGI TPA MANGGAR 05042016.pptx
BAHAN PAPARAN TEKNOLOGI TPA MANGGAR  05042016.pptxBAHAN PAPARAN TEKNOLOGI TPA MANGGAR  05042016.pptx
BAHAN PAPARAN TEKNOLOGI TPA MANGGAR 05042016.pptx
NenkDelly1
 
Amdal
AmdalAmdal
11 bahan ajar rencana operasi pengamanan hutan 01
11 bahan ajar rencana operasi pengamanan hutan 0111 bahan ajar rencana operasi pengamanan hutan 01
11 bahan ajar rencana operasi pengamanan hutan 01
Sudirman Sultan
 
Struktur ruang
Struktur ruangStruktur ruang
Struktur ruang
Agus Dwi Wicaksono
 
Kode Etik Perencana. Pemahaman Konsep Dasar dan Penerapan
Kode Etik Perencana. Pemahaman Konsep Dasar dan PenerapanKode Etik Perencana. Pemahaman Konsep Dasar dan Penerapan
Kode Etik Perencana. Pemahaman Konsep Dasar dan Penerapan
oswarmungkasa1
 
karakteristik wilayah kabupaten sukabumi
karakteristik wilayah kabupaten  sukabumikarakteristik wilayah kabupaten  sukabumi
karakteristik wilayah kabupaten sukabumi
Yandi H Lukman
 
SE.5/MENLHK/PKTL/PLA.3/11/2016 - Penyusunan RPPLH Daerah
SE.5/MENLHK/PKTL/PLA.3/11/2016 - Penyusunan RPPLH DaerahSE.5/MENLHK/PKTL/PLA.3/11/2016 - Penyusunan RPPLH Daerah
SE.5/MENLHK/PKTL/PLA.3/11/2016 - Penyusunan RPPLH Daerah
LAKSMI WIJAYANTI
 
Penilaian efektivitas pengelolaan kawasan konservasi indonesia
Penilaian efektivitas pengelolaan kawasan konservasi indonesiaPenilaian efektivitas pengelolaan kawasan konservasi indonesia
Penilaian efektivitas pengelolaan kawasan konservasi indonesia
YayasanBadak
 
Leaflet RTRW Kota Blitar
Leaflet RTRW Kota BlitarLeaflet RTRW Kota Blitar
Leaflet RTRW Kota Blitar
Wikan Estika
 
Persyaratan Teknis Penyediaan TPA Sampah
Persyaratan Teknis Penyediaan TPA Sampah Persyaratan Teknis Penyediaan TPA Sampah
Persyaratan Teknis Penyediaan TPA Sampah
Joy Irman
 
Pedoman Penyusunan Studi Kelayakan Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum
Pedoman Penyusunan Studi Kelayakan Pengembangan Sistem Penyediaan Air MinumPedoman Penyusunan Studi Kelayakan Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum
Pedoman Penyusunan Studi Kelayakan Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum
infosanitasi
 
Dokumen KRB Prov. JAWA TENGAH_final draft.pdf
Dokumen KRB Prov. JAWA TENGAH_final draft.pdfDokumen KRB Prov. JAWA TENGAH_final draft.pdf
Dokumen KRB Prov. JAWA TENGAH_final draft.pdf
ssuserdf2edf
 

What's hot (20)

Masterplan pendidikan
Masterplan pendidikanMasterplan pendidikan
Masterplan pendidikan
 
P.102 pedoman penyusunan dokumen lingkungan hidup bagi usaha danatau kegiatan...
P.102 pedoman penyusunan dokumen lingkungan hidup bagi usaha danatau kegiatan...P.102 pedoman penyusunan dokumen lingkungan hidup bagi usaha danatau kegiatan...
P.102 pedoman penyusunan dokumen lingkungan hidup bagi usaha danatau kegiatan...
 
Tahapan penyelenggaraan KLHS
Tahapan penyelenggaraan KLHSTahapan penyelenggaraan KLHS
Tahapan penyelenggaraan KLHS
 
KEBIJAKAN NASIONAL DAYA DUKUNG DAN DAYA TAMPUNG LINGKUNGAN HIDUP
KEBIJAKAN NASIONAL DAYA DUKUNG DAN DAYA TAMPUNG LINGKUNGAN HIDUPKEBIJAKAN NASIONAL DAYA DUKUNG DAN DAYA TAMPUNG LINGKUNGAN HIDUP
KEBIJAKAN NASIONAL DAYA DUKUNG DAN DAYA TAMPUNG LINGKUNGAN HIDUP
 
Permasalahan Penataan Ruang di Daerah
Permasalahan Penataan Ruang di DaerahPermasalahan Penataan Ruang di Daerah
Permasalahan Penataan Ruang di Daerah
 
Review Perencanaan Desain Tapak Pengelolaan Pariwisata Pada Zona Pemanfaatan ...
Review Perencanaan Desain Tapak Pengelolaan Pariwisata Pada Zona Pemanfaatan ...Review Perencanaan Desain Tapak Pengelolaan Pariwisata Pada Zona Pemanfaatan ...
Review Perencanaan Desain Tapak Pengelolaan Pariwisata Pada Zona Pemanfaatan ...
 
Jambi Sustainable Landscape Management Project (J-SLMP) BioCF-ISFL Provinsi J...
Jambi Sustainable Landscape Management Project (J-SLMP) BioCF-ISFL Provinsi J...Jambi Sustainable Landscape Management Project (J-SLMP) BioCF-ISFL Provinsi J...
Jambi Sustainable Landscape Management Project (J-SLMP) BioCF-ISFL Provinsi J...
 
Analisis dibutuhkan dalam pembuatan rdtr (permen atr no 16 tahun 2018)
Analisis dibutuhkan dalam pembuatan rdtr (permen atr no 16 tahun 2018)Analisis dibutuhkan dalam pembuatan rdtr (permen atr no 16 tahun 2018)
Analisis dibutuhkan dalam pembuatan rdtr (permen atr no 16 tahun 2018)
 
BAHAN PAPARAN TEKNOLOGI TPA MANGGAR 05042016.pptx
BAHAN PAPARAN TEKNOLOGI TPA MANGGAR  05042016.pptxBAHAN PAPARAN TEKNOLOGI TPA MANGGAR  05042016.pptx
BAHAN PAPARAN TEKNOLOGI TPA MANGGAR 05042016.pptx
 
Amdal
AmdalAmdal
Amdal
 
11 bahan ajar rencana operasi pengamanan hutan 01
11 bahan ajar rencana operasi pengamanan hutan 0111 bahan ajar rencana operasi pengamanan hutan 01
11 bahan ajar rencana operasi pengamanan hutan 01
 
Struktur ruang
Struktur ruangStruktur ruang
Struktur ruang
 
Kode Etik Perencana. Pemahaman Konsep Dasar dan Penerapan
Kode Etik Perencana. Pemahaman Konsep Dasar dan PenerapanKode Etik Perencana. Pemahaman Konsep Dasar dan Penerapan
Kode Etik Perencana. Pemahaman Konsep Dasar dan Penerapan
 
karakteristik wilayah kabupaten sukabumi
karakteristik wilayah kabupaten  sukabumikarakteristik wilayah kabupaten  sukabumi
karakteristik wilayah kabupaten sukabumi
 
SE.5/MENLHK/PKTL/PLA.3/11/2016 - Penyusunan RPPLH Daerah
SE.5/MENLHK/PKTL/PLA.3/11/2016 - Penyusunan RPPLH DaerahSE.5/MENLHK/PKTL/PLA.3/11/2016 - Penyusunan RPPLH Daerah
SE.5/MENLHK/PKTL/PLA.3/11/2016 - Penyusunan RPPLH Daerah
 
Penilaian efektivitas pengelolaan kawasan konservasi indonesia
Penilaian efektivitas pengelolaan kawasan konservasi indonesiaPenilaian efektivitas pengelolaan kawasan konservasi indonesia
Penilaian efektivitas pengelolaan kawasan konservasi indonesia
 
Leaflet RTRW Kota Blitar
Leaflet RTRW Kota BlitarLeaflet RTRW Kota Blitar
Leaflet RTRW Kota Blitar
 
Persyaratan Teknis Penyediaan TPA Sampah
Persyaratan Teknis Penyediaan TPA Sampah Persyaratan Teknis Penyediaan TPA Sampah
Persyaratan Teknis Penyediaan TPA Sampah
 
Pedoman Penyusunan Studi Kelayakan Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum
Pedoman Penyusunan Studi Kelayakan Pengembangan Sistem Penyediaan Air MinumPedoman Penyusunan Studi Kelayakan Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum
Pedoman Penyusunan Studi Kelayakan Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum
 
Dokumen KRB Prov. JAWA TENGAH_final draft.pdf
Dokumen KRB Prov. JAWA TENGAH_final draft.pdfDokumen KRB Prov. JAWA TENGAH_final draft.pdf
Dokumen KRB Prov. JAWA TENGAH_final draft.pdf
 

Viewers also liked

Pemograman delphi untuk pemula
Pemograman delphi untuk pemula Pemograman delphi untuk pemula
Pemograman delphi untuk pemula
PT.goLom na
 
Tutorial delphi
Tutorial delphiTutorial delphi
Tutorial delphi
Ridwan Anwar
 
Policy brief-yayasan-spora-indonesian
Policy brief-yayasan-spora-indonesianPolicy brief-yayasan-spora-indonesian
Policy brief-yayasan-spora-indonesian
Aksi SETAPAK
 
Resource News
Resource NewsResource News
Setapak news-edition-1
Setapak news-edition-1Setapak news-edition-1
Setapak news-edition-1
Aksi SETAPAK
 
Menguras bumi-mendulang-tragedi
Menguras bumi-mendulang-tragediMenguras bumi-mendulang-tragedi
Menguras bumi-mendulang-tragedi
Aksi SETAPAK
 
Rakyat menggugat-koalisi-tambang
Rakyat menggugat-koalisi-tambangRakyat menggugat-koalisi-tambang
Rakyat menggugat-koalisi-tambang
Aksi SETAPAK
 
Borneo menggugat-sampul-dan-isi
Borneo menggugat-sampul-dan-isiBorneo menggugat-sampul-dan-isi
Borneo menggugat-sampul-dan-isi
Aksi SETAPAK
 
Policy brief-sampan-more-permits-than-land
Policy brief-sampan-more-permits-than-landPolicy brief-sampan-more-permits-than-land
Policy brief-sampan-more-permits-than-land
Aksi SETAPAK
 
Ruang hampa-pasca-proklamasi
Ruang hampa-pasca-proklamasiRuang hampa-pasca-proklamasi
Ruang hampa-pasca-proklamasi
Aksi SETAPAK
 
Korsup minerba-medan-sampul-dan-isi
Korsup minerba-medan-sampul-dan-isiKorsup minerba-medan-sampul-dan-isi
Korsup minerba-medan-sampul-dan-isi
Aksi SETAPAK
 
Wacana 33-the-fight-for-forest-control-and-the-struggle-of-indigenous-women
Wacana 33-the-fight-for-forest-control-and-the-struggle-of-indigenous-womenWacana 33-the-fight-for-forest-control-and-the-struggle-of-indigenous-women
Wacana 33-the-fight-for-forest-control-and-the-struggle-of-indigenous-women
Aksi SETAPAK
 
Tata kelola-hutan-dan-lahan-2015-indonesian
Tata kelola-hutan-dan-lahan-2015-indonesianTata kelola-hutan-dan-lahan-2015-indonesian
Tata kelola-hutan-dan-lahan-2015-indonesian
Aksi SETAPAK
 
Taf forest and-land-governance-in-indonesia
Taf forest and-land-governance-in-indonesiaTaf forest and-land-governance-in-indonesia
Taf forest and-land-governance-in-indonesia
Aksi SETAPAK
 
Uncovering regional-wealth-seknas-fitra-english
Uncovering regional-wealth-seknas-fitra-englishUncovering regional-wealth-seknas-fitra-english
Uncovering regional-wealth-seknas-fitra-english
Aksi SETAPAK
 
Transisi Pengelolaan Hutan Pasca UU 23/2014
Transisi Pengelolaan Hutan Pasca UU 23/2014Transisi Pengelolaan Hutan Pasca UU 23/2014
Transisi Pengelolaan Hutan Pasca UU 23/2014
CIFOR-ICRAF
 
Uncovering regional-wealth-seknas-fitra-indonesian
Uncovering regional-wealth-seknas-fitra-indonesianUncovering regional-wealth-seknas-fitra-indonesian
Uncovering regional-wealth-seknas-fitra-indonesian
Aksi SETAPAK
 
Cnc pengumuman tahap xi
Cnc pengumuman tahap xiCnc pengumuman tahap xi
Cnc pengumuman tahap xiAfandi_oi
 
Korsup hutbun-medan-sampul-dan-isi
Korsup hutbun-medan-sampul-dan-isiKorsup hutbun-medan-sampul-dan-isi
Korsup hutbun-medan-sampul-dan-isi
Aksi SETAPAK
 
Pengumuman Kementrian ESDM: Penetapan IUP CnC ke 18 dan Daftar IUP yang Dicab...
Pengumuman Kementrian ESDM: Penetapan IUP CnC ke 18 dan Daftar IUP yang Dicab...Pengumuman Kementrian ESDM: Penetapan IUP CnC ke 18 dan Daftar IUP yang Dicab...
Pengumuman Kementrian ESDM: Penetapan IUP CnC ke 18 dan Daftar IUP yang Dicab...
Publish What You Pay (PWYP) Indonesia
 

Viewers also liked (20)

Pemograman delphi untuk pemula
Pemograman delphi untuk pemula Pemograman delphi untuk pemula
Pemograman delphi untuk pemula
 
Tutorial delphi
Tutorial delphiTutorial delphi
Tutorial delphi
 
Policy brief-yayasan-spora-indonesian
Policy brief-yayasan-spora-indonesianPolicy brief-yayasan-spora-indonesian
Policy brief-yayasan-spora-indonesian
 
Resource News
Resource NewsResource News
Resource News
 
Setapak news-edition-1
Setapak news-edition-1Setapak news-edition-1
Setapak news-edition-1
 
Menguras bumi-mendulang-tragedi
Menguras bumi-mendulang-tragediMenguras bumi-mendulang-tragedi
Menguras bumi-mendulang-tragedi
 
Rakyat menggugat-koalisi-tambang
Rakyat menggugat-koalisi-tambangRakyat menggugat-koalisi-tambang
Rakyat menggugat-koalisi-tambang
 
Borneo menggugat-sampul-dan-isi
Borneo menggugat-sampul-dan-isiBorneo menggugat-sampul-dan-isi
Borneo menggugat-sampul-dan-isi
 
Policy brief-sampan-more-permits-than-land
Policy brief-sampan-more-permits-than-landPolicy brief-sampan-more-permits-than-land
Policy brief-sampan-more-permits-than-land
 
Ruang hampa-pasca-proklamasi
Ruang hampa-pasca-proklamasiRuang hampa-pasca-proklamasi
Ruang hampa-pasca-proklamasi
 
Korsup minerba-medan-sampul-dan-isi
Korsup minerba-medan-sampul-dan-isiKorsup minerba-medan-sampul-dan-isi
Korsup minerba-medan-sampul-dan-isi
 
Wacana 33-the-fight-for-forest-control-and-the-struggle-of-indigenous-women
Wacana 33-the-fight-for-forest-control-and-the-struggle-of-indigenous-womenWacana 33-the-fight-for-forest-control-and-the-struggle-of-indigenous-women
Wacana 33-the-fight-for-forest-control-and-the-struggle-of-indigenous-women
 
Tata kelola-hutan-dan-lahan-2015-indonesian
Tata kelola-hutan-dan-lahan-2015-indonesianTata kelola-hutan-dan-lahan-2015-indonesian
Tata kelola-hutan-dan-lahan-2015-indonesian
 
Taf forest and-land-governance-in-indonesia
Taf forest and-land-governance-in-indonesiaTaf forest and-land-governance-in-indonesia
Taf forest and-land-governance-in-indonesia
 
Uncovering regional-wealth-seknas-fitra-english
Uncovering regional-wealth-seknas-fitra-englishUncovering regional-wealth-seknas-fitra-english
Uncovering regional-wealth-seknas-fitra-english
 
Transisi Pengelolaan Hutan Pasca UU 23/2014
Transisi Pengelolaan Hutan Pasca UU 23/2014Transisi Pengelolaan Hutan Pasca UU 23/2014
Transisi Pengelolaan Hutan Pasca UU 23/2014
 
Uncovering regional-wealth-seknas-fitra-indonesian
Uncovering regional-wealth-seknas-fitra-indonesianUncovering regional-wealth-seknas-fitra-indonesian
Uncovering regional-wealth-seknas-fitra-indonesian
 
Cnc pengumuman tahap xi
Cnc pengumuman tahap xiCnc pengumuman tahap xi
Cnc pengumuman tahap xi
 
Korsup hutbun-medan-sampul-dan-isi
Korsup hutbun-medan-sampul-dan-isiKorsup hutbun-medan-sampul-dan-isi
Korsup hutbun-medan-sampul-dan-isi
 
Pengumuman Kementrian ESDM: Penetapan IUP CnC ke 18 dan Daftar IUP yang Dicab...
Pengumuman Kementrian ESDM: Penetapan IUP CnC ke 18 dan Daftar IUP yang Dicab...Pengumuman Kementrian ESDM: Penetapan IUP CnC ke 18 dan Daftar IUP yang Dicab...
Pengumuman Kementrian ESDM: Penetapan IUP CnC ke 18 dan Daftar IUP yang Dicab...
 

Similar to Studi delphi-meningkatkan-tata-kelola-hutan-dan-lahan

Booklet setapak-indonesia
Booklet setapak-indonesiaBooklet setapak-indonesia
Booklet setapak-indonesia
Aksi SETAPAK
 
SETAPAK - Program Tata Kelola Lingkungan
SETAPAK - Program Tata Kelola LingkunganSETAPAK - Program Tata Kelola Lingkungan
SETAPAK - Program Tata Kelola Lingkungan
Aksi SETAPAK
 
Makalah pembangunan sda
Makalah pembangunan sdaMakalah pembangunan sda
Makalah pembangunan sda
novia ardelia
 
Kunci sukses kemitraan dalam mendekatkan legitimasi tata kelola hutan e
Kunci sukses kemitraan dalam mendekatkan legitimasi tata kelola hutan eKunci sukses kemitraan dalam mendekatkan legitimasi tata kelola hutan e
Kunci sukses kemitraan dalam mendekatkan legitimasi tata kelola hutan e
Anto King
 
Pengelolaan sumberdaya lahan dan etika lingkungan paper etika e2
Pengelolaan sumberdaya lahan dan etika lingkungan paper etika e2Pengelolaan sumberdaya lahan dan etika lingkungan paper etika e2
Pengelolaan sumberdaya lahan dan etika lingkungan paper etika e2
Anto King
 
Collaborative land use planning and sustainable institutional arrangements in...
Collaborative land use planning and sustainable institutional arrangements in...Collaborative land use planning and sustainable institutional arrangements in...
Collaborative land use planning and sustainable institutional arrangements in...
CIFOR-ICRAF
 
42-59 (1).pdf
42-59 (1).pdf42-59 (1).pdf
42-59 (1).pdf
GTLink
 
Kebijakan Pengelolaan Sumber daya Alam
Kebijakan Pengelolaan Sumber daya AlamKebijakan Pengelolaan Sumber daya Alam
Kebijakan Pengelolaan Sumber daya Alam
AbdulHalimSolkan
 
Sinkronisasi tata ruang dan perencanaan regional2
Sinkronisasi tata ruang dan perencanaan regional2Sinkronisasi tata ruang dan perencanaan regional2
Sinkronisasi tata ruang dan perencanaan regional2Febie Yandra
 
PARTISIPASI MASYARAKAT SIPIL DALAM PENGELOLAAN WILAYAH SUNGAI
PARTISIPASI MASYARAKAT SIPIL DALAM PENGELOLAAN WILAYAH SUNGAIPARTISIPASI MASYARAKAT SIPIL DALAM PENGELOLAAN WILAYAH SUNGAI
PARTISIPASI MASYARAKAT SIPIL DALAM PENGELOLAAN WILAYAH SUNGAIWasmui
 
Kesimpulan dan rekomendasi Tenure Conference 2017
Kesimpulan dan rekomendasi Tenure Conference 2017Kesimpulan dan rekomendasi Tenure Conference 2017
Kesimpulan dan rekomendasi Tenure Conference 2017
Panji Kharisma Jaya
 
Gerakan masyarakat sipil didalam mendorong agenda lingkungan pada pemilu ol...
Gerakan masyarakat sipil  didalam mendorong agenda lingkungan pada pemilu  ol...Gerakan masyarakat sipil  didalam mendorong agenda lingkungan pada pemilu  ol...
Gerakan masyarakat sipil didalam mendorong agenda lingkungan pada pemilu ol...septianm
 
Siaran pers del ri 8des15
Siaran pers del ri 8des15Siaran pers del ri 8des15
Siaran pers del ri 8des15
Panji Kharisma Jaya
 
PERAN DAN KOORDINASI LEMBAGA LINTAS SEKTORAL DALAM KONSERVASI SUMBERDAYA AIR ...
PERAN DAN KOORDINASI LEMBAGA LINTAS SEKTORAL DALAM KONSERVASI SUMBERDAYA AIR ...PERAN DAN KOORDINASI LEMBAGA LINTAS SEKTORAL DALAM KONSERVASI SUMBERDAYA AIR ...
PERAN DAN KOORDINASI LEMBAGA LINTAS SEKTORAL DALAM KONSERVASI SUMBERDAYA AIR ...
Repository Ipb
 
Collaboration approach in environmental management
Collaboration approach in environmental managementCollaboration approach in environmental management
Collaboration approach in environmental managementucun24
 
Memahami Krisis Iklim dan Potensi Solusinya berdarkan En-ROADS Simulation
Memahami Krisis Iklim dan Potensi Solusinya berdarkan En-ROADS Simulation Memahami Krisis Iklim dan Potensi Solusinya berdarkan En-ROADS Simulation
Memahami Krisis Iklim dan Potensi Solusinya berdarkan En-ROADS Simulation
Farhan Helmy
 
KEL 1 ANPEL.pptx
KEL 1 ANPEL.pptxKEL 1 ANPEL.pptx
KEL 1 ANPEL.pptx
se3lvidarara
 
Governance and redd+
Governance and redd+ Governance and redd+
Governance and redd+
Agus Dwiyanto
 
Pembangunan partisipatoris dalam pengelolaan daerah aliran sungai
Pembangunan partisipatoris dalam pengelolaan daerah aliran sungaiPembangunan partisipatoris dalam pengelolaan daerah aliran sungai
Pembangunan partisipatoris dalam pengelolaan daerah aliran sungaiaditya
 

Similar to Studi delphi-meningkatkan-tata-kelola-hutan-dan-lahan (20)

Booklet setapak-indonesia
Booklet setapak-indonesiaBooklet setapak-indonesia
Booklet setapak-indonesia
 
SETAPAK - Program Tata Kelola Lingkungan
SETAPAK - Program Tata Kelola LingkunganSETAPAK - Program Tata Kelola Lingkungan
SETAPAK - Program Tata Kelola Lingkungan
 
Makalah pembangunan sda
Makalah pembangunan sdaMakalah pembangunan sda
Makalah pembangunan sda
 
Bacaan i ikhtisar bacaan
Bacaan i ikhtisar bacaanBacaan i ikhtisar bacaan
Bacaan i ikhtisar bacaan
 
Kunci sukses kemitraan dalam mendekatkan legitimasi tata kelola hutan e
Kunci sukses kemitraan dalam mendekatkan legitimasi tata kelola hutan eKunci sukses kemitraan dalam mendekatkan legitimasi tata kelola hutan e
Kunci sukses kemitraan dalam mendekatkan legitimasi tata kelola hutan e
 
Pengelolaan sumberdaya lahan dan etika lingkungan paper etika e2
Pengelolaan sumberdaya lahan dan etika lingkungan paper etika e2Pengelolaan sumberdaya lahan dan etika lingkungan paper etika e2
Pengelolaan sumberdaya lahan dan etika lingkungan paper etika e2
 
Collaborative land use planning and sustainable institutional arrangements in...
Collaborative land use planning and sustainable institutional arrangements in...Collaborative land use planning and sustainable institutional arrangements in...
Collaborative land use planning and sustainable institutional arrangements in...
 
42-59 (1).pdf
42-59 (1).pdf42-59 (1).pdf
42-59 (1).pdf
 
Kebijakan Pengelolaan Sumber daya Alam
Kebijakan Pengelolaan Sumber daya AlamKebijakan Pengelolaan Sumber daya Alam
Kebijakan Pengelolaan Sumber daya Alam
 
Sinkronisasi tata ruang dan perencanaan regional2
Sinkronisasi tata ruang dan perencanaan regional2Sinkronisasi tata ruang dan perencanaan regional2
Sinkronisasi tata ruang dan perencanaan regional2
 
PARTISIPASI MASYARAKAT SIPIL DALAM PENGELOLAAN WILAYAH SUNGAI
PARTISIPASI MASYARAKAT SIPIL DALAM PENGELOLAAN WILAYAH SUNGAIPARTISIPASI MASYARAKAT SIPIL DALAM PENGELOLAAN WILAYAH SUNGAI
PARTISIPASI MASYARAKAT SIPIL DALAM PENGELOLAAN WILAYAH SUNGAI
 
Kesimpulan dan rekomendasi Tenure Conference 2017
Kesimpulan dan rekomendasi Tenure Conference 2017Kesimpulan dan rekomendasi Tenure Conference 2017
Kesimpulan dan rekomendasi Tenure Conference 2017
 
Gerakan masyarakat sipil didalam mendorong agenda lingkungan pada pemilu ol...
Gerakan masyarakat sipil  didalam mendorong agenda lingkungan pada pemilu  ol...Gerakan masyarakat sipil  didalam mendorong agenda lingkungan pada pemilu  ol...
Gerakan masyarakat sipil didalam mendorong agenda lingkungan pada pemilu ol...
 
Siaran pers del ri 8des15
Siaran pers del ri 8des15Siaran pers del ri 8des15
Siaran pers del ri 8des15
 
PERAN DAN KOORDINASI LEMBAGA LINTAS SEKTORAL DALAM KONSERVASI SUMBERDAYA AIR ...
PERAN DAN KOORDINASI LEMBAGA LINTAS SEKTORAL DALAM KONSERVASI SUMBERDAYA AIR ...PERAN DAN KOORDINASI LEMBAGA LINTAS SEKTORAL DALAM KONSERVASI SUMBERDAYA AIR ...
PERAN DAN KOORDINASI LEMBAGA LINTAS SEKTORAL DALAM KONSERVASI SUMBERDAYA AIR ...
 
Collaboration approach in environmental management
Collaboration approach in environmental managementCollaboration approach in environmental management
Collaboration approach in environmental management
 
Memahami Krisis Iklim dan Potensi Solusinya berdarkan En-ROADS Simulation
Memahami Krisis Iklim dan Potensi Solusinya berdarkan En-ROADS Simulation Memahami Krisis Iklim dan Potensi Solusinya berdarkan En-ROADS Simulation
Memahami Krisis Iklim dan Potensi Solusinya berdarkan En-ROADS Simulation
 
KEL 1 ANPEL.pptx
KEL 1 ANPEL.pptxKEL 1 ANPEL.pptx
KEL 1 ANPEL.pptx
 
Governance and redd+
Governance and redd+ Governance and redd+
Governance and redd+
 
Pembangunan partisipatoris dalam pengelolaan daerah aliran sungai
Pembangunan partisipatoris dalam pengelolaan daerah aliran sungaiPembangunan partisipatoris dalam pengelolaan daerah aliran sungai
Pembangunan partisipatoris dalam pengelolaan daerah aliran sungai
 

More from Aksi SETAPAK

Wacana 33-masyarakat-adat-dan-perebutan-penguasaan-hutan-arsip-digital
Wacana 33-masyarakat-adat-dan-perebutan-penguasaan-hutan-arsip-digitalWacana 33-masyarakat-adat-dan-perebutan-penguasaan-hutan-arsip-digital
Wacana 33-masyarakat-adat-dan-perebutan-penguasaan-hutan-arsip-digital
Aksi SETAPAK
 
Suplemen wacana-33-masyarakat-hukum-adat-adalah-penyandang-hak-subjek-hukum-d...
Suplemen wacana-33-masyarakat-hukum-adat-adalah-penyandang-hak-subjek-hukum-d...Suplemen wacana-33-masyarakat-hukum-adat-adalah-penyandang-hak-subjek-hukum-d...
Suplemen wacana-33-masyarakat-hukum-adat-adalah-penyandang-hak-subjek-hukum-d...
Aksi SETAPAK
 
State of-the-forest-report-2009-2013
State of-the-forest-report-2009-2013State of-the-forest-report-2009-2013
State of-the-forest-report-2009-2013
Aksi SETAPAK
 
Portret keadaan-hutan-indonesia-2009-2013
Portret keadaan-hutan-indonesia-2009-2013Portret keadaan-hutan-indonesia-2009-2013
Portret keadaan-hutan-indonesia-2009-2013
Aksi SETAPAK
 
Policy brief-swandiri-institute-english
Policy brief-swandiri-institute-englishPolicy brief-swandiri-institute-english
Policy brief-swandiri-institute-english
Aksi SETAPAK
 
Policy brief-prakarsa-borneo-english
Policy brief-prakarsa-borneo-englishPolicy brief-prakarsa-borneo-english
Policy brief-prakarsa-borneo-english
Aksi SETAPAK
 
Policy brief-ppkmlb-indonesian
Policy brief-ppkmlb-indonesianPolicy brief-ppkmlb-indonesian
Policy brief-ppkmlb-indonesian
Aksi SETAPAK
 
Policy brief-ppkmlb-english
Policy brief-ppkmlb-englishPolicy brief-ppkmlb-english
Policy brief-ppkmlb-english
Aksi SETAPAK
 
Policy brief-pena-psap-konphalindo-indonesian
Policy brief-pena-psap-konphalindo-indonesianPolicy brief-pena-psap-konphalindo-indonesian
Policy brief-pena-psap-konphalindo-indonesian
Aksi SETAPAK
 
Policy brief-pena-psap-konphalindo-english
Policy brief-pena-psap-konphalindo-englishPolicy brief-pena-psap-konphalindo-english
Policy brief-pena-psap-konphalindo-english
Aksi SETAPAK
 
Policy brief-pemali-indonesian
Policy brief-pemali-indonesianPolicy brief-pemali-indonesian
Policy brief-pemali-indonesian
Aksi SETAPAK
 
Policy brief-pemali-english
Policy brief-pemali-englishPolicy brief-pemali-english
Policy brief-pemali-english
Aksi SETAPAK
 
Policy brief-csf-unmul-english
Policy brief-csf-unmul-englishPolicy brief-csf-unmul-english
Policy brief-csf-unmul-english
Aksi SETAPAK
 
Policy brief sampan-obral-izin-di-kal-bar-indonesian
Policy brief sampan-obral-izin-di-kal-bar-indonesianPolicy brief sampan-obral-izin-di-kal-bar-indonesian
Policy brief sampan-obral-izin-di-kal-bar-indonesian
Aksi SETAPAK
 
Permit review-icel-indonesian
Permit review-icel-indonesianPermit review-icel-indonesian
Permit review-icel-indonesian
Aksi SETAPAK
 
Permit review-english-icel-dec-2013
Permit review-english-icel-dec-2013Permit review-english-icel-dec-2013
Permit review-english-icel-dec-2013
Aksi SETAPAK
 
Palm oil-boom-raises-conservation-concerns-industry-urged-towards-sustainable...
Palm oil-boom-raises-conservation-concerns-industry-urged-towards-sustainable...Palm oil-boom-raises-conservation-concerns-industry-urged-towards-sustainable...
Palm oil-boom-raises-conservation-concerns-industry-urged-towards-sustainable...
Aksi SETAPAK
 
Measuring commitment-seknas-fitra-indonesia
Measuring commitment-seknas-fitra-indonesiaMeasuring commitment-seknas-fitra-indonesia
Measuring commitment-seknas-fitra-indonesia
Aksi SETAPAK
 
Measuring commitment-seknas-fitra-english
Measuring commitment-seknas-fitra-englishMeasuring commitment-seknas-fitra-english
Measuring commitment-seknas-fitra-english
Aksi SETAPAK
 

More from Aksi SETAPAK (19)

Wacana 33-masyarakat-adat-dan-perebutan-penguasaan-hutan-arsip-digital
Wacana 33-masyarakat-adat-dan-perebutan-penguasaan-hutan-arsip-digitalWacana 33-masyarakat-adat-dan-perebutan-penguasaan-hutan-arsip-digital
Wacana 33-masyarakat-adat-dan-perebutan-penguasaan-hutan-arsip-digital
 
Suplemen wacana-33-masyarakat-hukum-adat-adalah-penyandang-hak-subjek-hukum-d...
Suplemen wacana-33-masyarakat-hukum-adat-adalah-penyandang-hak-subjek-hukum-d...Suplemen wacana-33-masyarakat-hukum-adat-adalah-penyandang-hak-subjek-hukum-d...
Suplemen wacana-33-masyarakat-hukum-adat-adalah-penyandang-hak-subjek-hukum-d...
 
State of-the-forest-report-2009-2013
State of-the-forest-report-2009-2013State of-the-forest-report-2009-2013
State of-the-forest-report-2009-2013
 
Portret keadaan-hutan-indonesia-2009-2013
Portret keadaan-hutan-indonesia-2009-2013Portret keadaan-hutan-indonesia-2009-2013
Portret keadaan-hutan-indonesia-2009-2013
 
Policy brief-swandiri-institute-english
Policy brief-swandiri-institute-englishPolicy brief-swandiri-institute-english
Policy brief-swandiri-institute-english
 
Policy brief-prakarsa-borneo-english
Policy brief-prakarsa-borneo-englishPolicy brief-prakarsa-borneo-english
Policy brief-prakarsa-borneo-english
 
Policy brief-ppkmlb-indonesian
Policy brief-ppkmlb-indonesianPolicy brief-ppkmlb-indonesian
Policy brief-ppkmlb-indonesian
 
Policy brief-ppkmlb-english
Policy brief-ppkmlb-englishPolicy brief-ppkmlb-english
Policy brief-ppkmlb-english
 
Policy brief-pena-psap-konphalindo-indonesian
Policy brief-pena-psap-konphalindo-indonesianPolicy brief-pena-psap-konphalindo-indonesian
Policy brief-pena-psap-konphalindo-indonesian
 
Policy brief-pena-psap-konphalindo-english
Policy brief-pena-psap-konphalindo-englishPolicy brief-pena-psap-konphalindo-english
Policy brief-pena-psap-konphalindo-english
 
Policy brief-pemali-indonesian
Policy brief-pemali-indonesianPolicy brief-pemali-indonesian
Policy brief-pemali-indonesian
 
Policy brief-pemali-english
Policy brief-pemali-englishPolicy brief-pemali-english
Policy brief-pemali-english
 
Policy brief-csf-unmul-english
Policy brief-csf-unmul-englishPolicy brief-csf-unmul-english
Policy brief-csf-unmul-english
 
Policy brief sampan-obral-izin-di-kal-bar-indonesian
Policy brief sampan-obral-izin-di-kal-bar-indonesianPolicy brief sampan-obral-izin-di-kal-bar-indonesian
Policy brief sampan-obral-izin-di-kal-bar-indonesian
 
Permit review-icel-indonesian
Permit review-icel-indonesianPermit review-icel-indonesian
Permit review-icel-indonesian
 
Permit review-english-icel-dec-2013
Permit review-english-icel-dec-2013Permit review-english-icel-dec-2013
Permit review-english-icel-dec-2013
 
Palm oil-boom-raises-conservation-concerns-industry-urged-towards-sustainable...
Palm oil-boom-raises-conservation-concerns-industry-urged-towards-sustainable...Palm oil-boom-raises-conservation-concerns-industry-urged-towards-sustainable...
Palm oil-boom-raises-conservation-concerns-industry-urged-towards-sustainable...
 
Measuring commitment-seknas-fitra-indonesia
Measuring commitment-seknas-fitra-indonesiaMeasuring commitment-seknas-fitra-indonesia
Measuring commitment-seknas-fitra-indonesia
 
Measuring commitment-seknas-fitra-english
Measuring commitment-seknas-fitra-englishMeasuring commitment-seknas-fitra-english
Measuring commitment-seknas-fitra-english
 

Recently uploaded

Analisis Konten Pendekatan Fear Appeal dalam Kampanye #TogetherPossible WWF.pdf
Analisis Konten Pendekatan Fear Appeal dalam Kampanye #TogetherPossible WWF.pdfAnalisis Konten Pendekatan Fear Appeal dalam Kampanye #TogetherPossible WWF.pdf
Analisis Konten Pendekatan Fear Appeal dalam Kampanye #TogetherPossible WWF.pdf
BrigittaBelva
 
Sejarah Gunung Merapi dan Catatan Erupsi
Sejarah Gunung Merapi dan Catatan ErupsiSejarah Gunung Merapi dan Catatan Erupsi
Sejarah Gunung Merapi dan Catatan Erupsi
ssuserb357a32
 
induksi K3LH karyawan baru pt kpp site IC.pptx
induksi K3LH karyawan baru pt kpp site IC.pptxinduksi K3LH karyawan baru pt kpp site IC.pptx
induksi K3LH karyawan baru pt kpp site IC.pptx
AzisRois1
 
Plastik dan Sampah Pantauan Mei 2024.pdf
Plastik dan Sampah Pantauan Mei 2024.pdfPlastik dan Sampah Pantauan Mei 2024.pdf
Plastik dan Sampah Pantauan Mei 2024.pdf
Biotani & Bahari Indonesia
 
Modul Projek - Tanpa Rokok itu Keren - Fase D.pdf
Modul Projek  - Tanpa Rokok itu Keren - Fase D.pdfModul Projek  - Tanpa Rokok itu Keren - Fase D.pdf
Modul Projek - Tanpa Rokok itu Keren - Fase D.pdf
MUhammadIlham484521
 
BAB III. Undang-Undang PP Lingkungan Hidup.ppt
BAB III.  Undang-Undang PP Lingkungan Hidup.pptBAB III.  Undang-Undang PP Lingkungan Hidup.ppt
BAB III. Undang-Undang PP Lingkungan Hidup.ppt
YUZANAPRATIWI
 
KERUSAKAN LAHAN GAMBUT ANALISIS EMISI KARBON DARI DEGRADASI LAHAN GAMBUT DI A...
KERUSAKAN LAHAN GAMBUT ANALISIS EMISI KARBON DARI DEGRADASI LAHAN GAMBUT DI A...KERUSAKAN LAHAN GAMBUT ANALISIS EMISI KARBON DARI DEGRADASI LAHAN GAMBUT DI A...
KERUSAKAN LAHAN GAMBUT ANALISIS EMISI KARBON DARI DEGRADASI LAHAN GAMBUT DI A...
d1051231072
 
Contoh surat Pengunduran diri karang taruna daerah.docx
Contoh surat Pengunduran diri karang taruna daerah.docxContoh surat Pengunduran diri karang taruna daerah.docx
Contoh surat Pengunduran diri karang taruna daerah.docx
miftahzannah
 
001-PPE Suma-Tata Laksana Perizinan Lingkungan.pptx
001-PPE Suma-Tata Laksana Perizinan Lingkungan.pptx001-PPE Suma-Tata Laksana Perizinan Lingkungan.pptx
001-PPE Suma-Tata Laksana Perizinan Lingkungan.pptx
LukmanulHakim572233
 
PAPER KIMIA LINGKUNGAN MENINGKATNYA GAS RUMAH KACA IMPLIKASI DAN SOLUSI BAGI ...
PAPER KIMIA LINGKUNGAN MENINGKATNYA GAS RUMAH KACA IMPLIKASI DAN SOLUSI BAGI ...PAPER KIMIA LINGKUNGAN MENINGKATNYA GAS RUMAH KACA IMPLIKASI DAN SOLUSI BAGI ...
PAPER KIMIA LINGKUNGAN MENINGKATNYA GAS RUMAH KACA IMPLIKASI DAN SOLUSI BAGI ...
muhammadnoorhasby04
 
Studi Kasus : Oksidasi Pirit dan Pengaruhnya Terhadap Ekosistem
Studi Kasus : Oksidasi Pirit dan Pengaruhnya Terhadap EkosistemStudi Kasus : Oksidasi Pirit dan Pengaruhnya Terhadap Ekosistem
Studi Kasus : Oksidasi Pirit dan Pengaruhnya Terhadap Ekosistem
d1051231041
 

Recently uploaded (11)

Analisis Konten Pendekatan Fear Appeal dalam Kampanye #TogetherPossible WWF.pdf
Analisis Konten Pendekatan Fear Appeal dalam Kampanye #TogetherPossible WWF.pdfAnalisis Konten Pendekatan Fear Appeal dalam Kampanye #TogetherPossible WWF.pdf
Analisis Konten Pendekatan Fear Appeal dalam Kampanye #TogetherPossible WWF.pdf
 
Sejarah Gunung Merapi dan Catatan Erupsi
Sejarah Gunung Merapi dan Catatan ErupsiSejarah Gunung Merapi dan Catatan Erupsi
Sejarah Gunung Merapi dan Catatan Erupsi
 
induksi K3LH karyawan baru pt kpp site IC.pptx
induksi K3LH karyawan baru pt kpp site IC.pptxinduksi K3LH karyawan baru pt kpp site IC.pptx
induksi K3LH karyawan baru pt kpp site IC.pptx
 
Plastik dan Sampah Pantauan Mei 2024.pdf
Plastik dan Sampah Pantauan Mei 2024.pdfPlastik dan Sampah Pantauan Mei 2024.pdf
Plastik dan Sampah Pantauan Mei 2024.pdf
 
Modul Projek - Tanpa Rokok itu Keren - Fase D.pdf
Modul Projek  - Tanpa Rokok itu Keren - Fase D.pdfModul Projek  - Tanpa Rokok itu Keren - Fase D.pdf
Modul Projek - Tanpa Rokok itu Keren - Fase D.pdf
 
BAB III. Undang-Undang PP Lingkungan Hidup.ppt
BAB III.  Undang-Undang PP Lingkungan Hidup.pptBAB III.  Undang-Undang PP Lingkungan Hidup.ppt
BAB III. Undang-Undang PP Lingkungan Hidup.ppt
 
KERUSAKAN LAHAN GAMBUT ANALISIS EMISI KARBON DARI DEGRADASI LAHAN GAMBUT DI A...
KERUSAKAN LAHAN GAMBUT ANALISIS EMISI KARBON DARI DEGRADASI LAHAN GAMBUT DI A...KERUSAKAN LAHAN GAMBUT ANALISIS EMISI KARBON DARI DEGRADASI LAHAN GAMBUT DI A...
KERUSAKAN LAHAN GAMBUT ANALISIS EMISI KARBON DARI DEGRADASI LAHAN GAMBUT DI A...
 
Contoh surat Pengunduran diri karang taruna daerah.docx
Contoh surat Pengunduran diri karang taruna daerah.docxContoh surat Pengunduran diri karang taruna daerah.docx
Contoh surat Pengunduran diri karang taruna daerah.docx
 
001-PPE Suma-Tata Laksana Perizinan Lingkungan.pptx
001-PPE Suma-Tata Laksana Perizinan Lingkungan.pptx001-PPE Suma-Tata Laksana Perizinan Lingkungan.pptx
001-PPE Suma-Tata Laksana Perizinan Lingkungan.pptx
 
PAPER KIMIA LINGKUNGAN MENINGKATNYA GAS RUMAH KACA IMPLIKASI DAN SOLUSI BAGI ...
PAPER KIMIA LINGKUNGAN MENINGKATNYA GAS RUMAH KACA IMPLIKASI DAN SOLUSI BAGI ...PAPER KIMIA LINGKUNGAN MENINGKATNYA GAS RUMAH KACA IMPLIKASI DAN SOLUSI BAGI ...
PAPER KIMIA LINGKUNGAN MENINGKATNYA GAS RUMAH KACA IMPLIKASI DAN SOLUSI BAGI ...
 
Studi Kasus : Oksidasi Pirit dan Pengaruhnya Terhadap Ekosistem
Studi Kasus : Oksidasi Pirit dan Pengaruhnya Terhadap EkosistemStudi Kasus : Oksidasi Pirit dan Pengaruhnya Terhadap Ekosistem
Studi Kasus : Oksidasi Pirit dan Pengaruhnya Terhadap Ekosistem
 

Studi delphi-meningkatkan-tata-kelola-hutan-dan-lahan

  • 1. MENINGKATKAN TATA KELOLA HUTAN DAN LAHAN DI INDONESIA Pendekatan Delphi untuk Mengidentifikasi Intervensi yang Paling Berhasil Tessa Toumbourou, Researcher, Peneliti, Program SETAPAK (Environmental Governance), The Asia Foundation
  • 2. Ucapan Terima Kasih Terima kasih saya ucapkan kepada seluruh staff program Tata Kelola Lingkungan The Asia Foundation (SETAPAK) serta Blair Palmer (Direktur) atas bantuan teknis dan editorial yang diberikan untuk laporan ini. Juga untuk Prayekti Murhajanti, Rika Novayanti dan Hanny Purnama Sari atas bantuannya dalam menerjemahkan serta mengedit laporan dan alat survey ini ke dalam versi Bahasa Indonesia. Paling penting, saya sangat berhutang budi pada para panelis yang telah berpartisipasi dalam studi Delphi ini dan kesediaan mereka untuk membagi waktunya yang sangat berharga, pengalaman serta perspektifnya. Program SETAPAK merupakan sebuah program yang di danai oleh DFID melalui United Kingdom Climate Change Unit. ABSTRAK Hasil pembahasan baru-baru ini telah mengidentifikasi bahwa Indonesia memerlukan perbaikan tata kelola hutan dan lahan untuk mengatasi masalah deforestasi, dan degradasi hutan dan lahan gambut. Pembahasan tersebut juga menyetujui bahwa dibutuhkan penelitian lebih lanjut pada bidang studi dan praktek yang luas ini. Secara khusus, kebutuhan-kebutuhan telah diidentifikasi untuk bisa mendapatkan hubungan yang lebih baik antara teori dan praktek, serta antara analisa akademis dan kerja lapangan. Dalam upaya merespon kesenjangan tersebut, studi Delphi ini meneliti penyebab utama deforestasi, degradasi dan perusakan hutan serta lahan gambut (selanjutnya disebut deforestasi dan degradasi lahan gambut) dengan tujuan untuk mengidentifikasi bentuk-bentuk intervensi yang dapat digunakan untuk memperbaiki tata kelola hutan dan lahan di Indonesia. Melalui proses Delphi, sekelompok panel ahli tata kelola hutan dan lahan telah mengidentifikasi tiga penyebab deforestasi dan degradasi lahan gambut, yaitu: (1) penguasaan dan klasifikasi lahan yang tidak jelas dan tidak ada kepastian hukum (disetujui oleh 88% responden); (2) kepentingan politik dan bisnis yang berpengaruh terhadap pembuatan kebijakan dan peraturan (70% setuju) dan (3) perencanaan penggunaan lahan yang tidak efektif (53% setuju). Mengatasi beberapa hal tersebut, para panel merekomendasikan tiga prioritas tata kelola intervensi berikut ini: (1) meningkatkan kapasitas masyarakat lokal untuk mengelola dan memantau hutan dan sumber daya alam (65% setuju); (2) mengukuhkan kawasan hutan untuk memperjelas batas kawasan dan untuk memutuskan kawasan hutan yang harus masuk ke dalam wilayah hutan desa, hutan kemasyarakatan dan hutan negara (58% setuju); (3) mengintegrasikan peta partisipatif ke dalam rencana tata ruang wilayah untuk melindungi masyarakat lokal dan kebutuhan pembangunan masyarakat adat (53% setuju). Tema penelitian yang mendapat konsensus paling tinggi adalah: kegiatan penelitian yang melibatkan pemerintah, sektor swasta dan masyarakat (64% setuju). Studi ini menemukan adanya dukungan yang kuat bagi pendekatan di level masyarakat untuk pengelolaan hutan. Mengamankan kepemilikan hutan kemasyarakatan melalui kejelasan klaim lahan serta mengintegrasikan kepemilikan lahan lokal ke dalam tata ruang adalah langkah kunci untuk memperoleh pengelolaan hutan yang berkesinambungan. Rekomendasi akhir menganjurkan bahwa intervensi ampuh yang sebaiknya dilakukan oleh para peneliti, pemerintah, lembaga donor dan masyarakat sipil untuk memperbaiki proses tata kelola lahan dan hutan Indonesia, meliputi: • perlu adanya dukungan lembaga-lembaga masyarakat • Mempercepat pengukuhan hutan dengan menggunakan lembaga-lembaga masyarakat untuk memperjelas klaim hutan kemasyarakatan; • Mengintegrasikan peta partisipatif ke dalam rencana tata ruang; • Mendorong kemampuan masyarakat lokal dalam mengawasi hutan; • Melaksanakan kegiatan penelitian yang melibatkan semua pemangku kepentingan; • Adanya pendanaan yang ditujukan untuk sektor hutan dan lahan; • Adanya keterlibatan dalam analisis ekonomi politik.
  • 3. PENDAHULUAN Indonesia memiliki tingkat kerusakan tutup hutan tertinggi di dunia, diperkirakan 840.000 ha setiap tahunnya hutan primer (Hansen 2013; Margono et al 2014). Kerusakan ini, serta rusaknya manfaat potensi yang tersedia di hutan saat ini, merupakan konsekuensi dari sejumlah faktor yang secara domestik dikaitkan dengan kondisi tata kelola hutan dan lahan yang buruk (Forest Watch Indonesia 2014). Lemahnya tata kelola hutan dan lahan berkontribusi pada merebaknya konversi dan deforestasi hutan yang ilegal dan tidak terencana, kerusakan terhadap lanskap yang sensitif seperti lahan gambut dan daerah aliran sungai, konflik lahan, meningkatnya risiko bencana alam seperti banjir, hilangnya pendapatan negara akibat korupsi dan penggelapan pajak, rusaknya keanekaragaman hayati, hilangnya penghidupan yang bergantung pada hutan, berlanjutnya kemiskinan petani skala kecil, serta dampak negatif sosial dan ekonomi lainnya (Environmental Investigation Agency 2012; World Bank 2009). Di samping itu, kegiatan-kegiatan yang terkait dengan penggunaan lahan, perubahan penggunaan lahan dan hutan (LULUCF) juga bertanggung jawab atas besarnya emisi gas rumah kaca Indonesia, yang merupakan ketiga tertinggi di dunia (World Resources Institute 2012). Pada tahun 2009, Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono mengumumkan target ambisius untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 26% pada tahun 2020, dan berbagai lembaga serta kebijakan telah dibuat untuk mencapai target-target tersebut. Apabila target-target tersebut dapat dicapai, pengurangan yang signifikan harus muncul pada sektor LULUCF, oleh karena itu dibutuhkan perbaikan tata kelola hutan dan lahan. Sistem tata kelola hutan dan lahan di Indonesia saat ini1 memberikan berbagai tanggung jawab pada pemerintah kabupaten, provinsi dan nasional. Hal ini mencakup aspek-aspek perencanaan tata ruang, pengalokasian perizinan untuk konsesi lahan (seperti kegiatan penebangan dan pertambangan, serta perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman), usaha perlindungan lingkungan serta anggaran bagi pengelolaan lingkungan hidup. Namun kepatuhan terhadap peraturan dan prosedur yang berlaku, dalam banyak kasus masih rendah dan penegakan hukum masih lemah. Alasan-alasan yang secara umum teridentifikasi yang mengakibatkan lemahnya tata kelola meliputi: peraturan yang tumpang tindih atau tidak jelas, kurangnya kemampuan teknis dan peta yang akurat, kepemilikan lahan tidak jelas, kurangnya transparansi dan partisipasi publik. Pewarisan tanggung jawab kelola sebagai bagian dari desentralisasi belum terjadi secara ideal (Tacconi 2007), karena sebagian peningkatan tanggung jawab diletakkan pada lembaga lokal tanpa disertai peningkatan peralatan yang sesuai, pelatihan professional, dan penegakan anggaran serta kemampuan (Andresson 2006). Tekanan-tekanan lain yang muncul dari meningkatnya kekuasaan pembuatan kebijakan yang dilimpahkan ke pemerintah lokal secara tidak sengaja meningkatkan perambahan lahan dan hutan yang memberikan kewenangan besar bagi pejabat daerah untuk mengambil kayu dan konsesi lahan tanpa mempertimbangkan tingkat ekstraksi berkelanjutan (Casson & Obidzinski 2002). Tata kelola yang buruk menyebabkan munculnya kegiatan-kegiatan illegal. Pada sektor penggunaan lahan hal ini mencakup korupsi, pencurian kayu, penempatan lahan hutan secara tidak sah, kegiatan perniagaan hutan yang melanggar hukum seperti pencucian hasil kejahatan pembalakan liar (FAO 2004; Kishor & Rosenbaum 2003). Akibatnya, sektor kehutanan Indonesia gagal memberikan manfaat pembangunan karena hilangnya pendapatan, kesempatan kerja, pendapatan pemerintah seperti royalti dan pajak, serta jasa lingkungan lokal dan global lainnya (World Bank 2009). Disamping hilangnya penerimaan pendapatan, tata kelola hutan dan lahan yang buruk dapat berarti bahwa masyarakat yang terkena dampak negatif perubahan penggunaan lahan tidak cukup mendapat kompensasi dan fungsi lingkungan yang tidak digantikan atau direhabilitasi. Kegiatan pemanfaatan hutan yang tidak sah juga melemahkan perusahaan kehutanan yang sah dengan menempatkan mereka pada persaingan yang tidak adil dari produk dibawah                                                                                                                 1  Tata kelola hutan dan lahan mengacu pada proses, mekanisme, aturan dan lembaga untuk memutuskan bagaimana lahan dan hutan dikelola. Mekanisme tata kelola dapat dilakukan secara top-down, menggunakan aturan-aturan formal seperti undang- undang, kebijakan, atau program-program yang dibuat pemerintah yang mengatur penggunaan hutan dan lahan, atau dapat dilakukan dengan pendekatan bottom-up, seperti badan pengambilan keputusan yang dikelola masyarakat atau skema pengawasan informal yang menentukan bagaimana hutan, lahan dan sumber daya alam dimanfaatkan. Proses-proses ini melibatkantidak hanya pemerintah pemerintah tetapi juga para pelaku lain, seperti masyarakat lokal, kelompok adat, organisasi non-pemerintah, dan sektor swasta.    
  • 4. harga normal dan mengecilkan investasi jangka panjang yang bertanggung jawab secara social dan lingkungan (World Bank 2009; Castren & Pillai 2011). Lebih jauh, korupsi dapat mengikis kelembagaan tata kelola, dan memperlemah supremasi hukum secara umum dengan memberi ruang bagi bentuk kejahatan lain melalui ‘efek menular korupsi’ (World bank 2009, Castren & Pillai 2011). Hal ini berimplikasi terhadap seluruh sektor ekonomi di Indonesia. Tanpa tata kelola yang baik, dampak merugikan dari industri ekstraktif dan berbasis lahan justru akan melebihi pertumbuhan ekonomi atau manfaat sosial yang secara potensial ditawarkan. Ada bukti kuat yang memperlihatkan bahwa tata kelola yang baik merupakan prasyarat bagi keberhasilan dalam upaya mencapai lingkungan hidup yang baik, terutama dalam melestarikan atau mengelola hutan secara berkesinambungan (Kanawski, McDermott & Cashore 2011; Pilot Environmental Index 2006). Pengelolaan hutan yang berkesinambungan meliputi perlindungan hutan-hutan primer dan lahan gambut, pengalokasian lahan yang layak (berhutan atau tidak) untuk berbagai macam kegiatan ekonomi, serta memperkecil kerusakan lingkungan (seperti menggunakan lahan yang terdegradasi untuk perkebunan dengan nilai hasil tinggi dan berkelanjutan). Disamping manfaat lingkungan, pengelolaan hutan dan lahan yang berkesinambungan memberikan manfaat bagi pembangunan, meliputi penghidupan berkelanjutan yang berhubungan erat dengan pengurangan kemiskinan. Pengelolaan lahan dan hutan yang berkesinambungan sulit dicapai tanpa ada tata kelola yang baik (Brown et al 2002; Monditoka 2011). Penting untuk dicatat bahwa berdasarkan definisi World Bank (2008), tata kelola hutan dan lahan yang baik ditandai dengan pembuatan kebijakan yang didasari pada transparansi dan proses yang dapat diprediksi; pejabat yang kompeten dan administrator publik lainnya yang dapat menjalankan peran serta perilakunya secara akuntable; penegakan elemen hukum-hukum vital seperti hak-hak kepemilikan; dan partisipasi masyarakat sipil. Partisipasi dan keterlibatan aktif para pemangku kepentingan dari berbagai sektor – pemerintah, masyarakat sipil dan sektor swasta – merupakan hal mendasar dalam pembuatan kebijakan yang berhubungan dengan pengelolaan hutan dan jasa lahan serta sumber-sumber daya alam (Lemnos & Agrawal 2006; World Bank 2009). Memperbaiki tata kelola kehutanan dipandang dapat membawa kemajuan bagi tata kelola yang lebih luas, oleh karena itu kehutanan dianggap sebagai pintu masuk yang sangat berharga untuk reformasi tata kelola yang lebih luas (Brown et al. 2002). Penting untuk diketahui bahwa asumsi tata kelola hutan dan lahan yang membaik sama artinya dengan berkurangnya deforestasi masih perlu dipertanyakan (Tacconi 2011). Penukaran-penukaran antara manfaat lokal, nasional dan global dari hutan akan berujung pada, misalnya, negara memilih untuk merambah hutannya daripada melestarikannya. ‘Negara dengan tata kelola yang baik mungkin akan lebih memilih untuk mendeforestasi wilayah-wilayah tertentu jika keputusan tersebut menghasilkan keuntungan nasional yang jauh lebih besar jika dibandingkan dengan biaya yang harus dikeluarkan, hal- hal lain menjadi setara’ (Tacconi 2011:234). Penting juga untuk diketahui bahwa tata kelola yang baik bukan hanya satu-satunya cara untuk memperbaiki pengelolaan hutan. Pendekatan lain, termasuk memperbaiki kapasitas teknis, kecukupan dan kualitas sumber daya, pembiayaan investasi, dan akses ke pasar, semua memiliki dampak bagi pengelolaan hutan (Castren & Pillai 2011). Studi World Bank telah menemukan bahwa ada kesenjangan antara teori dan praktek pada tata kelola hutan. Studi tersebut memperlihatkan bahwa penelitian akademis belum menyatu dengan baik dengan hasil temuan lapangan, sehingga pendekatan berdasarkan praktek yang ada tidak dilakukan. Literatur akademis pada tata kelola yang baik dan penerapannya pada pengelolaan sumber daya hutan sebagian besar meliputi konseptualisasi permasalahan, penelitian tentang insentif, dan ekonomi politik dari pengelolaan sumber daya alam. Di sisi lain, kegiatan-kegiatan lapangan yang didukung oleh organisasi internasional, bank pembangunan, dan NGO telah cenderung menitik beratkan pada verifikasi legalitas penjualan kayu dan monitoringnya serta kontrol dari kejahatan hutan’ (World Bank 2009; 5). Studi terkini bertujuan untuk merespon kesenjangan ini dengan mengidentifikasi prioritas kunci, target-target dan reformasi (intervensi) yang berguna bagi mereka yang bekerja pada tata kelola hutan di Indonesia. Tulisan ini selanjutnya akan mendeskripsikan metode survey Delphi yang digunakan untuk mengidentifikasi sebagian besar konsensus terkait opini-opini para panel ahli dari akademisi, sektor non- pemerintah, media dan sektor swasta mengenai intervensi yang mereka anggap besar kemungkinan
  • 5. berkontribusi pada tata kelola hutan dan lahan yang baik di Indonesia. Sebagai upaya untuk mengetahui hubungan antara tata kelola yang buruk dan deforestasi, serta peran mendasar tata kelola yang baik sebagai pemberi kontribusi terhadap pengelolaan hutan yang berkelanjutan, studi ini bertujuan untuk mengidentifikasi kegiatan-kegiatan dan industri-industri (disebut penyebab langsung) dan faktor-faktor yang mendasari (penyebab tidak langsung) penyebab deforestasi dan degradasi hutan dan lahan di Indonesia. Selanjutnya, tulisan ini mengidentifikasi intervensi pemerintah yang secara ampuh dapat mencapai tata kelola hutan dan lahan yang baik, dan menentukan arah penelitian yang paling bermanfaat serta pendekatan-pendekatan yang bisa digunakan. Dalam tulisan ini, intervensi tata kelola merujuk pada upaya untuk memperbaiki sistem tata kelola hutan dan lahan yang ada saat ini di Indonesia dengan memodifikasi prosedur tata kelola, mekanisme atau lembaga yang ada, atau dengan menciptakan prosedur, mekanisme atau lembaga yang baru. Bentuk-bentuk intervensi tersebut dilaksanakan oleh pemerintah, lembaga donor, peneliti, masyarakat sipil atau sektor swasta. METODE Metode Delphi yang digunakan pada studi ini merupakan teknik penelitian sosial dan kebijakan yang telah banyak digunakan dalam membantu proses pembuatan kebijakan kelompok di berbagai macam wilayah, dan juga digunakan untuk menghasilkan konsensus antara para ahli dalam mengatasi persoalan- persoalan yang kompleks (Dalkey & Helmer 1963). Metode ini menggunakan pendekatan umpan balik terkontrol, dan juga melibatkan survey berulang yang memungkinkan para panelis untuk mempertimbangkan dan merevisi pandangan mereka secara anonim setelah melihat kembali laporan umpan balik yang merangkum pandangan para panelis lainnya. Cara ini mengurangi bias konformitas kelompok dan memungkinkan adanya wawasan yang lebih kaya pada permasalahan-permasalahan kunci (Linstone & Turoff 1975). Ide-ide baru bisa saja muncul berdasarkan konsensus yang berhasil dicapai, dibangun berdasarkan pengetahuan yang dikumpulkan dari keahlian para panelis. Studi ini secara konsisten memperlihatkan bahwa pertanyaan-pertanyaan yang membutuhkan penilaian para ahli, rata-rata tanggapan perorangan lebih rendah dibanding rata-rata yang dihasilkan oleh proses keputusan kelompok (Okoli & Pawloski 2004). Metode Delphi ini bermanfaat karena memungkinkan adanya representasi pandangan kelompok penelitian yang lebih besar dari kelompok yang lebih cocok untuk focus group discussion atau wawancara, dan memastikan bahwa seluruh pandangan terlibat secara aktif. Tujuan utama dari studi Delphi ini adalah untuk mengulangi proses survey dan umpan balik untuk mencapai sebuah konsensus (seperti pada Nworie 2011) dimana pada studi saat ini digambarkan sebagai konsensus mayoritas. Sementara itu jelas bahwa konsensus mayoritas dicapai ketika persentase peserta yang ditentukan telah setuju pada permasalahan yang sedang diteliti, tidak ada batasan standard untuk menentukan persentase ini. Batasan konsensus mayoritas bervariasi dalam literature Delphi, dari 51 persen ke 80 persen konsensus (Keeney, McKenna & Hasson 2011:46). Pada studi ini, tanggapan- tanggapan yang bernilai Sembilan – dari 53% responden – atau lebih dianggap memiliki konsensus terbanyak. Tanggapan yang diterima dengan peringkat rendah juga akan didiskusikan karena tanggapan tersebut juga merupakan kontribusi yang bernilai. Tahap pertama penelitian ini melibatkan rekrutmen panel ahli dalam bidang tata kelola hutan dan lahan di Indonesia. ‘Ahli yang sesuai’ didefinisikan dalam literature sebagai seseorang yang ‘memiliki pengetahuan dan pengalaman yang relevan, serta opininya dihormati oleh rekan kerja di bidang terkait’ (De Villiers 2005: 640). Kriteria partisipasi berikut ini digunakan untuk mendefinisikan seorang ahli untuk keikutsertaannya pada studi ini: (1) berpengalaman setidaknya tiga tahun dalam penelitian LULUCF; (2) memiliki reputasi yang diperoleh melalui publikasi atau presentasi terkait LULUCF; (3) memiliki pengalaman kerja lapangan atau kerja advokasi yang berkaitan dengan LULUCF; atau (4) memiliki pengetahuan yang mumpuni dalam permasalahan tata kelola hutan dan lahan di Indonesia serta jenis-jenis intervensi tata kelola yang mungkin dapat mengatasi deforestasi dan permasalahan kerusakan lahan. Para ahli diidentifikasi melalui pencarian literature untuk publikasi, rekomendasi dari lembaga, dan melalui rekomendasi dari para ahli lainnya yang dikenal dengan istilah ‘daisy chaining’ (Okoli & Pawloski 2004).
  • 6. Sementara ukuran terbaik panel menurut panel bervariasi – dari empat ke ratusan – kebanyakan studi Delphi menggunakan panel yang terdiri dari 15 hinggal 35 orang (Okoli & Pawlowski 2004:19). Mengingat review literature yang dilakukan oleh De Villiers (2005) memperlihatkan bahwa panel yang terdiri dari lebih dari 30 jarang mempengaruhi hasil akhir, oleh karena itu, 65 panelis diundang untuk berpartisipasi dalam studi panel ini untuk mengantisipasi tingkat penerimaan antara 35 hingga 75 persen. Para panelis dipilih dari organisasi penelitian, universitas, kelompok advokasi, dan sektor swasta untuk mewakili beberapa sudut pandang. Para panelis diundang melalui surat elektronik dengan surat undangan yang menjelaskan mengenai detail proyek, tujuannya, jumlah putaran yang akan dilakukan (atau komitmen waktu), kesepakatan anonimitas serta manfaat pengembangan profesionalitas dari keterlibatan studi Delphi tentang LULUCF, mencakup peluang untuk mendiskusikan opini mereka dengan sebuah panel para rekan ahli. Pada waktunya, 21 ahli yang aktif dalam penelitian, advokasi, pemberi saran kebijakan dan teknis serta membuat laporan tentang tata kelola hutan dan lahan, dengan rata-rata 12.3 tahun pengalaman setuju untuk berpartisipasi sebagai anggota panel. Selanjutnya, pada putaran analisis kedua melibatkan peserta dengan total 17 orang, 15 diantaranya telah berpartisipasi pada putaran pertama serta tambahan dua ahli yang setuju berpartisipasi dalam studi ini namun tidak terlibat pada putaran pertama. Mengingat konsensus mayoritas muncul relatif cepat maka Delphi dimasukkan pada putaran kedua. Setelah panelis direkrut, mereka dikirimkan survey open-ended kuesioner awal yang direkomendasikan oleh Hsu dan Sanford (2007), dan dikelola oleh Surveymonkey. Para panelis diminta untuk menanggapi tiga pertanyaan latar belakang dan tujuh pertanyaan terbuka. Secara khusus, panelis akan diminta untuk mengidentifikasi: • Kegiatan utama atau industri yang secara langsung menyebabkan deforestasi, degradasi hutan dan perusakan lahan gambut di Indonesia; • Faktor yang mendasari (atau tidak langsung) yang memungkinkan kegiatan-kegiatan atau industri-industri memiliki dampak; • Intervensi yang kemungkinan besar dilakukan untuk mencapai tata kelola hutan dan lahan yang baik di Indonesia; dan • Arah penelitian lanjutan yang dibutuhkan untuk memahami permasalahan tata kelola lahan dan hutan Pertanyaan survey kuesioner awal dirancang berdasarkan review literature. Penelitian dilakukan dengan menggunakan informasi yang ada mengenai intervensi tata kelola untuk mengatasi kerusakan hutan dan deforestasi. Pencarian database jurnal akademik melalui Discovery EBSCO, mengidentifikasi literature terbatas terkait tata kelola hutan, menggunakan kata kunci ‘tata kelola hutan* dan ‘tata kelola LULUCF’. Pengembangan kuesioner putaran pertama melibatkan pembagian rekomendasi dari literature kedalam bagian-bagian berdasarkan tema ‘tata kelola hutan yang umum dengan memprioritaskan pertanyaan tentang tata kelola intervensi. Tanggapan kuesioner hasil putaran survey pertama diatur kedalam ‘unit tematik’ (Ryan & Bernard 2000: 780) sesuai dengan tema tata kelola hutan yang digunakan oleh kerangka indikator World Resources Institute’s Governance of Forest Initiative (2009), yaitu: (1) kepemilikan lahan dan hutan, (2) rencana tata guna lahan dan hutan, (3) pengelolaan hutan dan lahan, dan (4) penerimaan pendapatan dan insentif ekonomi. Analisa data kualitatif meliputi pengkodean terbuka, di mana tanggapan serupa diatur ke dalam unit tematik untuk mengidentifikasi tanggapan serupa dan mengurangi pengulangan. Berdasarkan tanggapan yang telah dirangkum, kuesioner survey kemudian dikembangkan untuk dapat mempresentasikan tema besar dari survey pertama dan para panelis diminta untuk memprioritaskan peringkat pernyataan yang telah dirangkum dari survery pertama. Survey putaran pertama berhasil mengidentifikasi 22 kegiatan atau industri utama yang menyebabkan deforestasi dan degradasi lahan gambut, pada putaran kedua para panelis diminta memilih hingga lima fokus untuk dapat mengatasi masalah secara ampuh. Hal serupa juga dilakukan oleh para panelis yang mengidentifikasi 38 faktor pendorong tidak langsung (disebut faktor pemungkin) yang paling kuat
  • 7. dikaitkan dengan kegiatan-kegiatan dan industri-industri yang menyebabkan deforestasi serta degradasi lahan, pada putara kedua mereka diminta untuk memilih hingga tiga faktor pendorong per unit tematik, berdasarkan seberapa kuat tema-tema tersebut dikaitkan dengan kegiatan atau industri yang menyebabkan deforestasi dan degradasi lahan gambut. Ada rata-rata 9.5 faktor pendorong dalam masing-masing empat unit tematik. Dan juga, intervensi untuk memperbaiki tata kelola hutan dan lahan yang diidentifikasi pada survey putaran pertama dirangkum ke dalam bentuk pernyataan di putaran kedua, dan diatur berdasarkan relevansinya dengan empat unit tematik. Panelis diminta untuk memilih hingga lima intervensi per unit tematik, berdasarkan bagaimana kemungkinan intervensi-intervensi tersebut dapat memperbaiki tata kelola hutan dan lahan. Ada rata-rata 19.5 pernyataan berkaitan dengan intervensi khusus dalam masing- masing empat unit tematik. Mengenai kebutuhan domain penelitian, pada survey putaran pertama para panelis diminta untuk mengidentifikasi topik penelitian dan pendekatan yang akan membantu memahami lebih baik tentang persoalan tata kelola hutan dan lahan di Indonesia. Tanggapan-tanggapan ini, sekali lagi, diatur ke dalam unit tematik yang digunakan bersama dengan penyebab-penyebab, faktor pendukung dan intervensi, dengan pengecualian bahwa unit tematik ‘kepemilikan hutan dan lahan’ serta ‘rencana penggunaan hutan dan lahan’ dikelompokkan menjadi satu karena sedikitnya jumlah pernyataan yang sesuai dengan kedua unit tematik tersebut. Akhirnya, pada survey putaran kedua para panelis diminta untuk memilih hingga tiga topik penelitian serta pendekatan untuk setiap tiga unit tematik. Ada rata-rata 9 pernyataan dibawah masing-masing tiga unit tematik. Mengikuti langkah-langkah tersebut, dibuatlan sebuah ringkasan laporan yang merangkum hasil temuan dari putaran pertama dan kedua serta mengidentifikasi konsensus mayoritas yang dicapai untuk tiap pernyataan. Laporan ini dibagikan kepada semua peserta untuk memberikan masukan kepada para panelis serta untuk meminta komentar lebih lanjut. HASIL DAN DISKUSI Seperti yang telah dijelaskan di atas, para responden pertama-tama diminta untuk mengidentifikasi apa yang menurut mereka merupakan kegiatan dan industri yang paling penting untuk dijadikan fokus dalam mengatasi deforestasi dan degradasi lahat gambut. Kemudian, responden diminta untuk mengidentifikasi faktor tidak langsung (disebut juga faktor pendorong) yang memungkinkan kegiatan dan industri menjadi penyebab deforestasi dan degradasi lahan gambut. Awalnya pendekatan mengidentifikasi faktor-faktor penyebab yang digunakan untuk menghasilkan sebuah konsensus penyebab permasalahan (faktor pendorong), sehingga diagnosa dan penanganannya (intervensi pemerintah) dapat mengikuti perkembangan teori yang logis. Sejalan dengan perbedaan yang ditetapkan dalam literature, para panelis dalam studi ini diminta untuk mempertimbangkan apa saja yang menurut mereka merupakan kegiatan dan industri terpenting untuk difokuskan dalam mengatasi deforestasi dan degradasi lahan gambut. Survey putaran kedua menampilkan rangkuman dari sembilan tema dimana kegiatan dan industri terbesar yang menjadi penyebab deforestasi dan degradasi lahan gambut dikelompokkan. Mendefinisikan deforestasi dan menentukan penyebabnya Deforestasi dalam studi ini mengambil definisi yang digunakan oleh Margono (2014) sebagai ‘perambahan hutan alam oleh penggunaan lahan terkait non-hutan’ (2014:1). Degradasi hutan menunjukkan adanya berkurangnya tutupan hutan dan hilangnya karbon pada hutan-hutan yang masih tersisa, dimana kerusakan tidak dikaitkan dengan perubahan penggunaan lahan dan dimana, jika tidak terhalang, hutan diharapkan untuk tumbuh kembali (Hosonuma 2012). Berdasarkan definisi yang telah ditetapkan oleh Bai et al (2008), degradasi lahan gambut didefinisikan sebagai hilangnya produktifitas
  • 8. dan fungsi ekosistem jangka panjang yang disebabkan oleh gangguan lahan gambut yang tidak dapat memperbaharui diri tanpa adanya bantuan. Mengidentifikasi faktor pendorong deforestasi dan degradasi lahan gambut sangat menantang. Kesulitan- kesulitan yang dihadapi termasuk keterbatasan dalam memahami cara di mana penyebab-penyebab saling berinteraksi, karena beberapa kegiatan yang menjadi penyebab kerusakan awal hutan diperparah oleh hal lainnya, aktivitas lanjutan. Pada beberapa kasus, beberapa faktor pendorong terdekat bekerja dalam kombinasi, seperti penebangan hutan untuk diambil kayunya, diikuti oleh penggunaan lahan yang telah dirambah untuk tujuan agrikultur (Honosuma et al 2012). Menanggapi kondisi ini, literature mengenai penyebab deforestasi dan degradasi hutan telah memunculkan perbedaan antara penyebab dekat (atau langsung) dan pokok (atau tidak langsung). Penyebab langsung deforestasi dan degradasi hutan disebabkan oleh kegiatan manusia yang secara langsung mempengaruhi rusaknya hutan. Faktor pendorong langsung dapat berupa kegiatan terencana maupun tidak terencana yang dapat menyebabkan wilayah hutan dialokasi ulang atau fungsinya dirubah untuk kepentingan non-kehutanan seperti tanaman perkebunan dengan konsekuensi bahwa wilayah tersebut tidak dapat lagi dikategorikan sebaga kawasan hutan atau hutan (Indrarto 2012). Faktor pendorong tidak langsung, atau faktor pendukung adalah kondisi sosio-ekonomi dan kebijakan yang merupakan penyebab tidak langsung deforestasi (Romin et al 2013). Dua perbedaan penting selanjutnya antara deforestasi terencana (perubahan sanksi pemerintah atau masyarakat menjadi kawasan hutan yang dilakukan sesuai Undang-Undang) dan deforestasi tidak terencana atau konversi hutan secara tidak sah dan kegiatan tata guna lahan, serta antara deforestasi dan degradasi yang didorong oleh beberapa penyebab yang berasal dari dalam sektor hutan itu sendiri (disebut juga ‘faktor intra-sektoral’) dan aktivitas-aktivitas yang didorong oleh beberapa penyebab yang berasal dari sektor-sektor lainnya (‘faktor ekstra-sektoral’) (Contreras-Hermosilla 2000). Definisi ini mempertimbangkan penyebab-penyebab di luar sektor hutan itu sendiri, seperti permintaan pasar untuk produk-produk tanaman pertanian. Faktor pendorong langsung deforestasi Ketika para panelis diminta untuk memilih hingga lima kegiatan atau industri yang difokuskan untuk mengatasi deforestasi dan degradasi lahan gambut, konsensus terbanyak muncul sekitar dua kegiatan dan industri pendorong utama: perkebunan kelapa sawit skala besar yang dimiliki oleh perusahaan swasta (82% suara), dan Hutan Tanaman Industri (HTI) (58% suara). Ada juga beberapa konsensus seputar pertambangan batu bara (41% suara), dan pengaruh para aktor yang juga diuntungkan secara finansial (35% suara). Hasil temuan ini selaras dengan literature yang ada. Penelitian terbaru yang dilakukan oleh Greenpeace (2013) mengindikasikan bahwa konversi ke kelapa sawit adalah satu-satunya faktor pendorong terbesar deforestasi di Indonesia sejak 2009-2011, penyumbang sekitar seperempat rusaknya hutan Indonesia. Berdasarkan Koh & Wilcove (2008), 56% perkebunan kelapa sawit di Indonesia telah menggeser hutan, dan Romijin et al. (2013) mengidentifikasi propinsi-propinsi seperti Sumatera Utara, Riau dan Jambi beserta perbatasan barat daya Kalimantan sebagai propinsi yang paling signifikan terkena dampaknya. Banyak literature juga mengutip bahwa penebangan dalam jumlah yang sangat besar –baik legal maupun illegal- sebagai penyebab utama dari degradasi hutan (Hapsari 2011; Hosonuma et al. 2012). Laporan terbaru yang menganalisa kontribusi industri berbasis lahan pada rusaknya hutan di Indonesia menemukan bahwa konsesi serat dan penebangan merupakan penyumbang terbesar rusaknya hutan Indonesia (Abood et al. 2014). Sebuah studi yang dilakukan oleh Hapsari (2012) menetapkan bahwa penebangan illegal memiliki dampak yang lebih besar pada hutan dibanding penebangan legal. Dalam kaitannya dengan penambangan batu bara, banyak operasi penambangan yang didirikan di daerah konservasi atau hutan lindung, karena kayanya bijih mineral yang ditemukan di wilayah tersebut (Indrarto 2012). Berdasarkan media terkini (The Age 7 September 2012), Indonesia sudah merupakan exporter batu bara thermal terbesar di dunia yang digunakan untuk pembangkit listrik dan produk batu baranya kian bertambah pada tingkat 20% setiap tahunnya sejak tahun 2000. Pernyataan bahwa adanya para pelaku yang diuntungkan secara finansial berperan sebagai penyebab deforestasi dan degradasi lahan gambut, disetujui oleh 35% suara. Literatur pada tata kelola hutan
  • 9. menunjukkan bahwa adanya kepentingan terselubung mempengaruhi tata kelola hutan dan lahan dalam beberapa cara, seperti mendapatkan keuntungan dari perluasan perkebunan kelapa sawit dan industri untuk pulp dan kertas (Hunt 2010). Faktor pendorong tidak langsung deforestasi – faktor pendukung dan tata kelola intervensi Hasil respon para panelis mengidentifikasi bahwa faktor-faktor tidak langsung (disebut juga faktor pendukung) yang dianggap paling kuat dikaitkan dengan kegiatan-kegiatan atau industri-industri yang menyebabkan deforestasi dan degradasi lahan gambut seperti didiskusikan di bawah ini berkaitan dengan empat unit tematik yang mereka analisa: kepemilikan lahan dan hutan, rencana tata guna hutan dan lahan, pengelolaan hutan dan lahan, serta penerimaan pendapatan dan insentif ekonomi. Intervensi tata kelola yang relevan diidentifikasikan oleh para panelis yang kemungkinan besar dapat digunakan untuk memperbaiki permasalahan tata kelola lahan dan hutan ditampilkan sesuai dengan faktor pendukungnya yang paling relevan. Faktor pendukung yang berhubungan dengan perencanaan dan kepemilikan hutan dan lahan serta intervensi tata kelola yang sesuai Dua faktor pendukung yang berhubungan dengan kepemilikan tata guna hutan dan lahan yang paling kuat dikaitkan dengan aktivitas dan industri penyebab deforestasi dan degradasi lahan gambut: klasifikasi lahan dan kepemilikan lahan yang tidak jelas (88%), dan tumpang tindih perizinan untuk hutan dan lahan (58%). Tiga faktor pendukung yang saling berkaitan dengan rencana penggunaan lahan juga memiliki konsensus bulat: alokasi lahan yang diatur secara lemah akibat rencana penggunaan lahan yang tidak taat (76%); perencanaan tata ruang yang buruk (53%); dan rencana penggunaan lahan yang tidak efektif (53%). Sementara itu, hanya 35% responden memilih masalah 'kendali publik (baik organisasi masyarakat sipil (CSO) dan media) masih lemah’. Dari semua faktor pendukung yang diidentifikasi, kepemilikan lahan yang tidak jelas dan klasifikasi lahan merupakan konsensus tertinggi oleh responden pada studi ini (88%). Klasifikasi hutan dan lahan yang tidak jelas berdampak negatif pada masyarakat yang tinggal di sekitar wilayah kawasan hutan.2 Ada keterkaitan antara jaminan kepemilikan dan pendekatan pengelolaan yang berkesinambungan. Hubungan ini terangkum dalam pernyataan salah satu responden: ‘Ketika masyarakat lokal mengangap bahwa mereka akan kehilangan akses ke sumber daya alam lokal…kontrol penggunaan lahan tradisional seringkali diabaikan, dan perambahan para petani kecil serta perampasan tanah sering memperburuk apa yang dilakukan perusahaan dan pemerintah’.3 Kesepakatan mayoritas ini tercermin dalam literature yang mengidentifikasi bahwa kepemilikan lahan dan hak properti yang tidak dijamin dianggap sebagai bentuk kontribusi terhadap deforestasi, karena ini merupakan akibat kurangnya peraturan dan hutan untuk penggunaan predator. Sebaliknya, apabila hak properti terjamin, masyarakat lokal atau pemangku kepentingan lainnya mungkin akan lebih dapat mengelola hutan secara berkesinambungan (Agrawal & Ostrom 2001; Contreras-Hermosilla & Fay 2005). Memberikan kepemilikan hutan yang aman kepada masyarakat hutan merupakan kondisi yang diperlukan untuk meningkatkan partisipasi mereka dalam melindungi hutan (Safitri 2010). Oleh karena itu, intervensi yang teridentifikasi untuk merespon permasalahan ini adalah perlunya revisi Undang-Undang kepemilikan lahan dan hak properti untuk menyatukan adat dan masyarakat hutan lokal dan sistem pengelolaan lahan dalam hukum Indonesia (41% setuju). Bentuk intervensi lain yang disetujui oleh 58% responden adalah mengukuhkan hutan dengan memperjelas batasan-batasan lahan, dan menetapkan hutan mana yang merupakan kawasan desa, kawasan masyarakat, dan kawasan hutan pemerintah. Pengukuhan merupakan langkah awal untuk mendefinisikan status wilayah hutan, untuk memperjelas semua hak yang diklaim dari setiap bagian                                                                                                                 2 Istilah hukum Kawasan Hutan didefinisikan sebagai ‘wilayah tertentu yang ditunjuk dan/atau ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan sebagai hutan’. 3 Perlu dicatat bahwa keputusan Mahkamah Konstitusi No. 35 Tahun 2012, yang mengubah susunan kata dari UU Kehutanan tahun 1999, sehingga hutan adat masyarakat adat/asli tidak dapat diklasifikasikan sebagai kawasan hutan.
  • 10. wilayah hutan (Contreras-Hermosilla & Fay 2005). Pasal 15 tahun 1999 Undang-Undang Kehutanan menyebutkan bahwa sebuah wilayah secara sah menjadi hutan negara jika sudah ada pengukuhannya.4 Sehubungan dengan permasalahan penggunaan hutan, 53% responden mengidentifikasi bahwa perencanaan tata guna lahan yang tidak efektif sebagai faktor dasar yang mendorong terjadinya deforestasi dan degradasi lahan gambut. Mengingat tata ruang merupakan isu utama dalam perencanaan tata guna hutan dan lahan di Indonesia, kelemahan dapat diidentifiakasi dengan proses tata ruang yang dianggap sebagai sumber bagi perencanaan tata guna lahan yang tidak efektif. Pernyataan serupa yang juga disetujui oleh 53% responden, bahwa proses rencana tata ruang yang buruk adalah faktor pendukung yang mendasar. Penataan ruang adalah instrumen rencana tata guna lahan pemerintah untuk mendefinisikan dimana aktifitas berbasis lahan dapat berlangsung. Penataan ruang, setidaknya dalam teori, menjadi dasar untuk merancang dan mengontrol konsesi berbasis lahan, termasuk perkebunan kelapa sawit dan kayu. Sistem penataan ruang di Indonesia memiliki tiga tingkat tata ruang – nasional, propinsi dan kabupaten – dan tata ruang yang dibentuk oleh semua tingkatan pemerintah membutuhkan penyesuaian antara satu dengan yang lainnya, hal ini sehubungan dengan Undang-Undang no. 32 tahun 2004 tentang Desentralisasi. Penataan ruang seringkali dikompromikan oleh faktor-faktor yang mencakup: perencanaan berbasis sektor terpusat; peta yang tidak akurat dan tidak konsisten yang dibuat di bawah beragam kebijakan tata ruang; kurangnya informasi mengenai karakteristik hutan dan lahan yang ada; buruknya koordinasi antara Kementerian Kehutanan dengan Kementerian lainnya; buruknya koordinasi diantara kabupaten, propinsi dan lembaga-lembaga pusat, atau adanya persaingan diantara lembaga-lembaga pemerintah yang mencari kesempatan untuk memaksimalkan kontrol yurisdiksi terhadap sumber-sumber dan peluang-peluang untuk mendapatkan sewa (McCarthy 2009); kepentingan politik dan bisnis; kebijakan pemerintah pusat yang menjadi preseden dari perencanaan yang sudah ada; kurangnya kapasitas dan keseriusan pemerintah daerah; kurangnya sumber-sumber finansial; lemahnya input dari pemangku kepentingan; atau sekedar tidak tersedianya rencana tata ruang (Wollenberg 2009). Lemahnya proses rencana tata ruang berakibat pada keputusan penggunaan lahan yang tidak tepat, contohnya dengan mengalokasikan perambahan hutan tumbuh yang sudah tua untuk perkebunan kelapa sawit atau memanen kayu sementara lahan yang kritis disisihkan untuk tujuan koservasi. Rencana tata ruang yang tidak akurat dan tidak dapat diakses dapat menjadi indikasi bahwa sebetulnya lahan tersedia untuk perkebunan namun pada kenyataannya tidak demikian. Lemahnya kontrol publik dan pengaruh dalam tata kelola hutan dan lahan juga dianggap menjadi persoalan: kontrol publik (baik organisasi masyarakat sipil dan media) masih lemah (35%). Lemahnya organisasi masyarakat sipil termasuk kurangnya kapasitas dalam melobby dan bernegosiasi. Tantangan yang cukup besar dihadapi oleh masayrakat Indonesia adalah terbatasnya sumber daya, lemahnya akuntabilitas dan transparansi, permasalahan terkait korupsi internal dan ketidakmampuan untuk berkomunikasi dengan sektor swasta (Ibrahim 2006). Sebuah studi UNDP tetang tata kelola hutan menemukan bahwa masyarakat sipil adalah aktor yang terlemah pada level kabupaten, dan beberapa kabupaten seluruhnya kekurangan LSM atau akademisi yang bekerja pada isu-isu tata kelola hutan (UNDP REDD+2013). LSM lingkungan hidup (juga disebut pelaku advokasi isu-isu lingkungan) memiliki dua kelemahan utama. Pertama, lembaga-lembaga ini memiliki aktivitas yang terbatas dalam memantau tata kelola hutan dan lahan karena terbatasnya dana yang tersedia dan kompleksnya permasalahan serta instrument yang harus digunakan untuk melakukan monitoring. Kedua, masih sedikit lembaga yang memfokuskan kegiatannya pada advokasi pemberantasan korupsi di sektor kehutanan, seperti fokus pada kerugian negara melalui pemberian ijin yang tidak wajar, atau penyuapan dalam proses administrasi ijin (UNDP REDD+ 2013). Menanggapi kelemahan ini, bentuk intervensi yang mendapat                                                                                                                 4 Pengukuhan melibatkan sejumlah tahapan, yang pertama adalah penunjukan kawasan hutan dan klaim sah terhadap wilayah tersebut. Langkah ini memberikan landasan untuk memutuskan jenis pemanfaatan hutan yang muncul dan dimana. Penunjukkan bukan jaminan sah bahwa wilayah-wilayah ini bebasa dari klaim masyarakat (Safitri 2010). Langkah selanjutnya adalah medemarkasi penataan batas hutan, diikuti pemetaan kawasan hutan negara dan langkah akhir adalah penetapan secara resmi wilayah hutan negara oleh Menteri Kehutanan.
  • 11. konsensus terbanyak (65%) adalah dengan mengatasi lemahnya kapasitas masyarakat lokal dalam mengelola dan memantau hutan serta sumber daya alam. Liputan media Indonesia tentang persoalan lingkungan – termasuk persoalan yang berkaitan dengan isu deforestasi – masih sangat sedikit. Pengembangan penilaian untuk proyek Bank Dunia (INFORM 2005) menemukan bahwa liputan media tentang masalah kerusakan hutan masih sangat sedikit, dan kapasitas para jurnalis untuk memahami masalah-masalah terkait hutan secara efektif masih kurang di Indonesia. Sebuah studi kasus mengenai laporan masalah penggunaan hutan dan lahan (diceritakan dalam laporan sebagai masalah REDD+) menemukan bahwa buruknya liputan media tentang masalah lingkungan secara potensial disebabkan karena kurangnya kapasitas dan kemampuan dalam menganalisa dan mengkomunikasikan berita-berita tersebut (UNDP REDD+ 2013). Akibatnya, meskipun ada beberapa peningkatan jumlah berita mengenai masalah-masalah REDD+ di media, namun jumlah jurnalis dan outlet media yang melaporkan masalah REDD+ masih sangat terbatas (UNDP REDD+ 2013). Faktor pemungkin yang berhubungan dengan pengelolaan hutan dan lahan serta intervensi tata kelola yang sesuai Ada beberapa konsensus dari beberapa responden bahwa hukum yang bertentangan (41%), dan, terkait atau berakibat pada, hukum yang tidak dijalankan (35%). Ada beberapa literatur yang mengidentifikasi hubungan antara hukum yang bertentangan dan kerusakan hutan. Indonesia memiliki lebih dari 2000 Undang-Undang, peraturan dan norma-norma terkait dengan lahan, beberapa diantaranya berbenturan atau tidak jelas bagaimana bisa dapat saling diimplementasikan. Undang-Undang yang diperkenalkan untuk mendukung desentralisasi Indonesia menciptakan ambiguitas terhadap hak-hak dan cara untuk mengontrol sumber daya alam hutan. Contohnya, Undang-Undang Kehutanan membutuhkan distrik pedesaan untuk menjalankan praktek-praktek pengelolaan hutan yang berkelanjutan, sementara Undang- Undang tentang Pemerintahan Daerah membutuhkan kabupaten untuk menggunakan sumber-sumber untuk menghasilkan pendapatan sebanyak mungkin untuk membiayai program pembangunan, mendorong keuntungan jangka pendek dan mengakselerasi eksploitasi sumber daya hutan (Contreras-Hermosilla & Fay 2005). Peraturan Presiden nomor 41 tahun 2004 memperbolehkan operasi pertambangan di beberapa hutan lindung, sehingga hal tersebut berkontribusi lebih jauh pada ketidakpastian di sektor perhutanan. Undang-Undang otonomi daerah berlawanan dan tidak jelas, merendahkan koordinasi diantara departemen Kehutanan di berbagai tingkatan serta menyebabkan ketidakjelasan secara hukum terhadap yurisdiksi politik untuk mengontrol dan mengatur penggunaan sumber daya alam (Kishort & Damania 2007). Kabupaten dan Pemerintah propinsi telah memanfaatkan lemahnya kejelasan hukum ini untuk kepentingan mereka dalam mengeluarkan peraturan-peraturan dan mengalokasikan konsesi lahan. Banyak peraturan daerah yang dikeluarkan oleh pemerintahan kabupaten untuk mengatur produksi kayu dalam wilayah yurisdiksi mereka secara langsung bertentangan dengan peraturan nasional yang dikeluarkan oleh Kementerian Kehutanan, sehingga menimbulkan kewanangan praktek-praktek yang oleh pemerintahan pusat dianggap tidak sah. Kebingungan hukum ini memungkinkan terjadinya korupsi dan penyalahgunaan peraturan lingkungan. Diperkirakan $ 4 juta dihasilkan dari aktivitas-aktivitas illegal dari sektor hutan di Indonesia, nilai ini diluar kontrol otoritas keuangan (Kishort & Damania 2007:3). Para responden menekankan (41%) kebutuhan untuk memperjelas ketidakkonsistenan interpretasi dan pelaksanaan hukum. Para responden mengidentifikasi bahwa korupsi judicial berkontribusi melemahkan penegakan hukum (41% setuju). Korupsi judicial menjadi bukti dalam banyak kasus di Indonesia, dimana upaya untuk mengejar kasus-kasus pembakaran dan pembalakan liar yang dilakukan oleh individu-individu dan perusahaan-perusahaan besar telah gagal hingga proses penuntutan (Smith et al 2007). Satuan tugas mafia anti-yudisial telah mengidentifikasi berbagai modus operandi dalam proses penegakan hukum, yang dimulai ketika pelanggaran hukum telah diidentifikasi (melalui suap dan hubungan personal dengan dukungan otoritas penegak hukum) dan berlanjut hingga di setiap level proses pencarian keadilan (KPK 2010). Peradilan dianggap sebagai salah satu lembaga yang paling korup di Indonesia berdasarkan studi yang dilakukan oleh Transparency Internasional tahun 2011. Hal serupa, sebuah studi yang dilakukan oleh Global Corruption Barometer tahun 2012 menulis bahwa 52% survey di Indonesia menganggap peradilan sebagai lembaga yang korup. Berdasarkan sebuah studi di U4 Expert Answer (Martini 2012),
  • 12. peradilan dianggap sebagai lembaga yang paling dipengaruhi oleh pejabat pemerintahan dan elit-elit lokal. Sebuah sistem hukum dan yudisial yang tidak efektif dapat menghambat upaya untuk membuat pemerintah semakin transparan dan akuntabel kepda warga negaranya, dan mendorong perilaku yang korup. Permasalahan yang serius diidentifikasi dalam sistem yudisial adalah penghilangan berita acara pengadilan dan perlakuan istimewa terhadap anggota pemerintah dan parlemen dan/atau anggota keluarganya. Korupsi dalam yudisial merusak peran penting peradilan dalam penegakan supremasi hukum, memperkuat respon-respon yang lemah terhadap praktek-praktek korupsi. Ada beberapa konsensus (41%) seputar intervensi untuk menegakkan hukum dan Perundang-undangan secara tegas, secara tranparan dan secara konsiten. Sehubungan dengan peran utama mereka dalam mengontrol kawasan hutan, kabupaten dan jasa hutan propinsi memainkan peranan peting dalam memperkuat kebijakan hutan (Burgess et al 2012). Namun sejumlah persoalan membatasi kemampuan lembaga hutan di daerah untuk memaksakan kebijakan hutan dan Undang-Undang dalam yurisdiksi mereka, termasuk anggaran dan kapasitas yang tidak sesuai dengan tanggung jawab. Lembaga-lembaga Kehutanan memiliki tugas yang cukup menantang dalam mengelola tujuan-tujuan yang berlawanan yaitu melestarikan asset bernilai global dan menghasilkan sewa dari sumber-sumber daya. Pejabat kawasan hutan bekerja dengan gaji yang sangat rendah, namun mereka bertanggung jawab untuk melindungi sumber daya alam yang bernilai komersil tinggi. Sewa dari hasil pengurasan hasil hutan tetap tinggi dan ada insentif yang kuat untuk menumbangkan regulasi dan membayar suap untuk mendapatkan pangsa pasar yang lebih besar dari sumber daya alam (Kishor & Damania 2007). Para responden mengidentifikasi intervensi penyediaan insentif untuk lembaga perhutanan dan pemerintah daerah agar dapat menampilkan prestasi yang baik, termasuk mendorong pengelolaan hutan oleh masyarakat (41% setuju). Insentif dapat membantu meyakinkan bahwa para staff cukup termotivasi melalui sistem yang jelas dari pemberian penghargaan dan sanksi untuk mengimplementasikan tugas yang menjadi tanggung jawab mereka. Tantangan lain dalam menegakkan peraturan dan Undang-Undang adalah kurangnya kejelasan dalam mengontrol kawasan hutan, yang mungkin dieksploitasi oleh kepala desa yang memperbolehkan pembalakan berlangsung di luar konsesi yang resmi (Barr et al 2006), untuk memfasilitasi pembangunan perkebunan kelapa sawit di dalam wilayah hutan nasional, dan untuk memberi sanksi proses dan transportasi dari kayu gelondongan yang diambil secara tidak sah (Casson 2001; Burgess et al 2012). Pemerintah daerah jarang, jikalau pernah, menegakkan kesepakatan masyarakat dengan perusahaan, sehingga hasilnya masyarakat bergantung pada upaya mereka sendiri untuk menegakkan kesepakatan mereka daripada bersandar pada negara untuk menegakkan hak-hak properti mereka (Palmer 2006). Sehubungan dengan hal tersebut, para responden juga mengidentifkasi intervensi yang cocok (35%) untuk membangun struktur yang dapat membantu memastikan akuntabilitas (contoh: pengadilan, lembaga- lembaga korupsi, pengamat eksternal seperti media). Faktor-faktor pemungkin yang berhubungan dengan penerimaan pendapatan dan insentif ekonomi dan intervensi tata kelola yang sesuai Kategori ketiga dari faktor pemungkin yang berkaitan dengan penerimaan pendapatan dan insentif ekonomi. Ini adalah faktor-faktor yang paling kuat dikaitkan dengan kegiatan-kegiatan serta industri- industri yang menyebabkan terjadinya deforestasi dan degradasi lahan gambut. Ada konsensus terbanyak di sekitar faktor-faktor pemungkin yang berhubungan dengan kepentingan pribadi, kepentingan bisnis dan politik yang sangat besar mempengaruhi pembuatan kebijakan dan regulasi (70%). Faktor-faktor pemungkin yang mendapat konsensus lebih rendah adalah korupsi (35%); dan kebijakan langsung dan tidak langsung yang mendukung dan bahkan mensubsidi aktivitas-aktivitas komersil yang mengarah pada perambahan hutan (terutama pembalakan dan perluasan perkebunan kelapa sawit) (35%); juga kebijakan yang memprioritaskan pertumbuhan ekonomi jangka pendek dan keberlanjutan penerimaan negara jangka panjang serta keputusan penggunaan lahan yang berkesinambungan (35%). Terdapat konsensus yang kuat terhadap pernyataan bahwa kepentingan bisnis dan politik memiliki pengaruh yang kuat terhadap pembuatan kebijakan dan peraturan (70%). Hasil temuan ini erat kaitannya dengan bagian literatur yang muncul dan memperdebatkan bahwa desentralisasi Indonesia belum merubah kepentingan terselubung yang bercokol yang mempengaruhi tata kelola lahan dan hutan. Para
  • 13. responden dalam studi ini mengidentifikasi bahwa ada sejumlah kepentingan terselubung yang bekerja melalui berbagai macam cara baik langsung dan tidak langsung, untuk mempengaruhi perubahan hutan dan tutupan lahan. ‘Ada banyak lagi ragam pelaku yang juga diuntungkan dengan adanya deforestasi walaupun dari jauh, termasuk mereka yang mendapat keuntungan dari investasi untuk kegiatan-kegiatan tersebut atau mendapat uang dari pendapatan, uang suap atau keuntungan lain akibat pemberian akses perizinan atau karena tidak diberlakukannya hukum’, ungkap salah satu responden. Reformasi desentralisasi memberikan kekuasaan bagi perangkat daerah untuk mengalokasikan perizinan bagi kegiatan-kegiatan berbasis lahan untuk memperoleh pendapatan tambahan. ‘Dalam desentralisasi, dorongan untuk memperoleh pendapatan daerah dari pembukaan lahan baru untuk perkebunan (atau pertambangan dan lain-lain) sangat parah, karena petugas daerah kini bertanggung jawab atas pembatasan pengambilan keuntungan dari deforestasi, drainase lahan gambut, dan pembukaan lahan, baik melalui dukungan bagi program-program daerah yang resmi dan dari pendapatan yang diperoleh, maupun kegiatan-kegiatan yang tidak resmi dan seringkali ilegal, melalui uang suap dan kepentingan bisnis individu,’ ungkap salah satu responden. Pada tingkat kabupaten, pemerintah kabupaten mendapatkan penerimaan tertinggi dari perkebunan kelapa sawit dalam kawasan hutan dan memiliki kepentingan untuk memperluas perkebunan kelapa sawit di wilayah mereka (Irawan, Tacconi & Ring 2013). Pemerintah daerah mempunyai kekuasaan lebih untuk mempengaruhi pembuatan kebijakan terkait perkebunan kelapa sawit dibadingkan kebijakan terhadap tanaman hutan dan penebangan. Para responden (non-konsensus 35%) mengindentifikasi bahwa kebijakan yang secara langsung maupun tidak langsung mendukung dan bahkan mensubsidi kegiatan komersial yang berujung pada pembukaan lahan (terutama penebangan dan perluasan perkebunan kelapa sawit) merupakan faktor pemungkin yang penting yang paling sering dikaitkan dengan kegiatan dan industri yang menyebabkan deforestasi dan degradasi lahan gambut. Pemerintah Indonesia telah mempercepat investasi lingkungan yang menguntungkan perusahaan komersial asing, dan emdnroong pasar eksport untuk minyak kelapa sawit mentah yang berfluktuasi dengan pasar internasional. Faktor-faktor ini telah mengakibatkan ledakan produksi minyak kelapa sawit, yang meningkat hingga 17.4% setiap tahunnya antara tahun 2000 dan 2009 (US Department of Agriculture 2009). Pemerintah juga menyediakan program subsidi untuk mendorong petani skala kecil yang saat ini memiliki 44% total wilayah perkebunan kelapa sawit di Indonesia, kedua setelah perkebunan komersial swasta (US Department of Agriculture 2009). Penelitian untuk meningkatkan tata kelola hutan dan lahan Studi ini juga mencakup pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan penelitian, mengetahui bahwa penelitian lanjutan sangat dibutuhkan untuk meningkatkan tata kelola hutan dan lahan. Penelitian sangat penting baik untuk membangun kerangka pengetahuan yang ada mengenai penyebab dan pendorong deforestasi dan degradasi lahan serta untuk berbagi pengetahuan tentang apa yang berhasil untuk mencapai reformasi tata kelola lahan. Oleh karena itu, studi ini mengevaluasi topik-topik penelitian dan pendekatan-pendekatan yang memampukan munculnya pemahaman yang lebih baik akan persoalan tata kelola hutan dan lahan di Indonesia. Banyak panelis mengidentifikasi aksi-aksi penelitian secara potensial menguntungkan bagi teknik penelitian. Aksi penelitian yang didefinisikan sebagai ‘sebuah proses disiplin pemeriksaan yang dilaksanakan oleh dan untuk mereka yang melakukannya’ (Sagor 2000), Melakukan aksi penelitian melibatkan pemerintah, sektor swasta dan masyarakat memperoleh 64% konsensus. Terdapat persetujuan seputar keuntungan dari mengadakan ‘kerjasama antara lembaga ilmiah dengan LSM lokal untuk menggunakan temuan penelitian’ (41%). Hubungan-hubungan ini bisa saling menguntungkan, LSM lokal dapat memiliki akses atas informasi yang diperlukan oleh lembaga penelitian untuk melakukan penelitian, dan LSM lokal mendapat keuntungkan dari advokasi dan penyusunan program yang berbasis bukti. Metodologi pendekatan penelitian lain yang dinilai penting adalah ‘ekonomi politik, khususnya untuk mengungkapkan ekonomi politik yang sebenarnya dari alokasi penggunaan lahan’ (58% konsensus). Metodologi ini dianggap berguna untuk mengetahui kepentingan dan pengaruh para pemangku kepentingan dan bagaimana mereka menggunakan kekuasaan dalam pembuatan keputusan tentang penggunaan hutan dan lahan dan distribusi sumber daya alam. Sehubungan dengan itu, terdapat
  • 14. konsensus seputar kebutuhan untuk ‘mengamati lebih dalam pembiayaan politik dalam sektor kehutanan’ (58%). Studi ekonomi politik telah mendokumentasikan pengaruh para partai politik dalam kejahatan bisnis dan hutan. Burgess et al (2011) mengidentifikasi hubungan antara deforestasi dan pemilihan umum regional dan daerah yang digambarkan sebagai ‘siklus penebangan politik’. Hutan menjadi sumber pembelian suara dan klientalisme yang digunakan untuk membayar kembali hutang dan hadiah-hadiah yang diperoleh oleh partai politik dan kandidat-kandidat invidu untuk memperoleh kemenangan dalam Pemilu, serta untuk membiayai partai-partai politik. Dengan memahami biaya-biaya yang harus dibayarkan kembali oleh para kandidat politik dan hubungan finansial yang dibangun untuk mengatur hutang yang muncul, akan membantu kita memahami pengaruh keputusan para pelaku terhadap penggunaan lahan dan hutan. Mekanisme akuntabilitas keuangan tetap memeriksa peningkatan kontrol terhadap hutan pemerintah daerah memiliki post desentralisasi, untuk memastikan bahwa keputusan yang berkaitan dengan penggunaan hutan dan lahan adalah untuk kepentingan publik (Eckardt 2008). Memahami pembiayaan kejahatan hutan juga membutuhkan penyelidikan alur keuangan dari sumbernya kemana keuntungan tersebut bermuara. Pelaku kejahatan yang memiliki kekuasan besar mampu mengambil jalan pintas terhadap prosedur-prosedur resmi dengan memberi bayaran untuk memonitor atau memanfaatkan koneksi politik untuk menghindari penegakan hukum (EIA/Telapak 2007). Pendekatan ‘ikuti aliran uang’ telah disarankan untuk mencapai para pelaku ekonomi dan politik tingkat tinggi yang sering kali menjadi tujuan keutungan secara tidak sah. Namun, menginvestigasi para pelaku ini ternyata sulit dan kompleks, membutuhkan ketrampilan teknis untuk melacak transaksi-transaksi lintas yurisdiksi international (Joy 2010). Konsensus lebih lanjut ditentukan sehubungan dengan adanya manfaat dari mempelajari kebutuhan dan bantuan yang diperlukan oleh daerah untuk menjalankan alat-alat dan kebijakan-kebijakan untuk meningkatkan tata kelola hutan dan lahan (58%). Dengan memahami kebutuhan khusus dari pemerintah daerah, masyarakat dan pemangku kepentingan hutan lainnya akan dapat membantu mencapai intervensi tata kelola yang lebih responsif dan strategis yang kemungkinan besar akan berhasil dalam memberikan kontribusi bagi tata kelola hutan dan lahan yang baik. Terdapat tingkat persetujuan yang tinggi seputar pernyataan ‘penelitian tentang pengaturan institusional yang lebih baik, dan pendekatan manajemen lanskap yang menembus ‘pagar-pagar sektoral’ (47%). Pengaturan kelembagaan mencakup seluruh mekanisme dalam manajemen kehutanan, termasuk skema- skema manajemen hutan komunitas seperti pengelolaan hutan komunitas dan desa, perkebunan swasta dan pengelolaan hutan oleh negara melalui Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH). Sehubungan dengan itu, beberapa responden menganggap ada manfaat dari studi ‘tata kelola hutan dan lahan (termasuk agro- kehutanan) oleh masyarakat adat’ (35%). Tata kelola hutan dan lahan oleh masyarakat adat dapat mencakup praktek-praktek yang telah diinstitusikan dalam hukum adat. Terdapat konsensus (35%) sehubungan dengan pernyataan ‘menemukan titik awal (entry-point) dalam rantai suplai untuk mendorong perbaikan tata kelola hutan dan lahan’. Memperbaiki praktek-praktek penggunaan lahan, termasuk kehutanan, perkebunan dan pertambangan memerlukan pemahaman yang baik tentang rantai persediaan. Mengidentifikasi titik awal kunci dalam rantai suplai dapat mencakup tahap verifikasi pada titik asal (untuk kayu, disinilah poin dimana produk dipotong), ataupun proses operasi industri, dalam hal kepatuhan dengan peraturan dan perundang-undangan. Para responden menekankan pentingnya mendukung penelitian dengan advokasi dan berbagai kegiatan lain yang berorientasi pada pencapaian reformasi kebijakan. Seorang responden mengungkapkan bahwa; ‘Penelitian yang dilakukan sendirian tidak mungkin dapat membuat banyak perubahan’. Menjembatani komunikasi antara peneliti dan pembuat kebijakan, masyarakat sipil dan sektor swasta penting untuk memastikan agar penelitian dapat memberi informasi bagi intervensi tata kelola. Hal ini melibatkan akses pemungkin ke penelitian dan mengkomunikasikan rekomendasi-rekomendasi penelitian pada para pelaku yang tepat. Seorang responden lainnya menguraikan keterbatasan penelitian, menunjukkan bahwa sudah banyak yang dipahami dalam tata kelola hutan dan lahan: ‘Kerangka umum sistem [tata kelola hutan dan lahan] telah
  • 15. banyak diteliti. Namun, yang masih menjadi perdebatan adalah apakah ini merupakan masalah pengetahuan atau apakah sebenarnya merupakan masalah politik dan ekonomi. Mengingat sebagian besar tantangan merupakan masalah ekonomi, penelitian hanya akan membuat sedikit perubahan. Namun, LSM dan berbagai penelitian lain yang mengungkapkan isu-isu tersebut dalam konteks-konteks tertentu dapat mengungkapkan dan menyediakan analisis terkini yang dapat membantu menanggapi berbagai keterbatasan dalam reformasi.’ Seorang responden menekankan perlunya penelitian yang berkesinambungan dan eksplorasi lebih lanjut dalam penelitian: ‘Penelitian yang telah dilakukan cukup bagus, kini tinggal memperdalam cakupan penelitian’. Memperdalam ruang lingkup penelitian telah dilakukan dengan memperbarui dan memperluas hasil penelitian yang telah diidentifikasi memiliki potensi yang sangat penting untuk memperbaiki aspek-aspek kunci dari tata kelola hutan dan lahan. KESIMPULAN Menanggapi jurang antara teori dan praktek di bidang tata kelola hutan dan lahan, panel ahli dibentuk untuk menentukan tingkat konsensus apa yang bisa dicapai dalam faktor pedorong deforestasi, kerusakan hutan dan degradasi hutan dan lahan di Indonesia, dan selanjutnya mengidentifikasi intervensi-intervensi untuk memperbaiki tata kelola hutan dan lahan. Dengan menggunakan metode Delphi, para ahli ini mencapai konsensus mayoritas mengenai dua industri besar untuk berkonsentrasi pada perkebunan skala besar yang dimiliki oleh perusahaan swasta (82%), dan hutan tanaman industri (HTI) (58%). Para panel ahli juga mengidentifkasi penyebab tidak langsung deforestasi dan degradasi hutan dan lahan (disebut faktor pemungkin), khususnya yang berkaitan dengan tata kelola yang buruk di sekitar rencana tata guna lahan. Hal ini mencakup: kurangnya kejelasan dalam hal kepemilikan lahan dan klasifikasi lahan (88%); praktek-praktek yang buruk dalam perencanaan penggunaan lahan dan lemahnya kepatuhan pada perencanaan tata ruang (76%); yang berakibat pada perizinan yang tumpang tindih dalam hal penggunaan hutan dan lahan (58%). Kepentingan bisnis dan politik yang berpengaruh besar bagi pembuatan kebijakan dan peraturan juga menjadi faktor yang mendapat konsensus kuat (70%). Para ahli mengidentifikasi tiga intervensi yang paling mungkin dapat meningkatkan tata kelola hutan dan lahan Indonesia, yaitu: 1. Mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan aparat masyarakat dan institusi dan membangun strategi untuk memperbaiki kinerjanya (65%). 2. Mengukuhkan kawasan hutan untuk memperjelas batasan-batasan lahan dan untuk menentukan hutan mana yang merupakan zona hutan desa, masyarakat dan pemerintah (58%). 3. Mengintegrasikan peta partisipatif dalam perencanaan tata ruang untuk melindungi kebutuhan masyarakat setempat dan penduduk asli (53%). Intevensi yang mendapat konsensus terbanyak menekankan pada keterlibatan masyarakat dalam mekanisme tata kelola hutan. Para responden mendukung keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan, termasuk di badan pembuat peraturan untuk mengelola hutan. Mengintegrasikan peta masyarakat dalam keputusan rencana tata ruang dilihat sebagai cara penting untuk memastikan bahwa kebutuhan pembangunan masyarakat lokal dan masyarakat adat terlindungi. Intervensi pengukuhan hutan untuk memberi kejalasan sekitar batasan lahan juga menawarkan manfaat dalam melindungi kepemilikan lahan bagi masyarakat lokal dan masyarakat adat. Hasil-hasil temuan ini mengindikasikan bahwa pendekatan masyarakat ke lembaga pengelolaan hutan mungkin memberikan manfaat bagi tata kelola hutan. Terakhir, para ahli mencapai konsensus mengenai empat tema penelitian untuk mengetahui lebih lanjut tentang tata kelola hutan dan lahan: 1. Melakukan penelitian yang melibatkan pemerintah, pihak swasta dan masyarakat (64%). 2. Ada kebutuhan untuk melakukan studi tentang kebutuhan dan bantuan yang diperlukan oleh daerah-daerah untuk mengimplementasi alat dan kebijakan untuk memperbaiki tata kelola hutan dan lahan (58%). 3. Ada kebutuhan untuk mengkaji lebih dalam tentang pendanaan politik dalam sektor kehutanan (58%). 4. Penggunaan metodologi ekonomi politik untuk mengungkapkan ekonomi politik yang sebenarnya dalam alokasi penggunaan lahan (58%).
  • 16. Konsensus mayoritas seputar aksi penelitian menekankan pada nilai yang diletakkan pada pendekatan penelitian kolaboratif. Penelitian yang menjawab kebutuhan daerah dinilai penting. Pengaruh kepentingan bisnis dan politik memperoleh konsensus dengan tingkat yang paling tinggi sebagai faktor pemungkin yang layak untuk diteliti lebih dalam. Para panelis mengidentifikasi sebuah kebutuhan untuk membongkar hubungan-hubungan ini melalui studi politik ekonomi. Keterbatasan-keterbatasan penelitian telah diidentifikasi oleh sejumlah responden dan banyak yang memberikan komentar bahwa penelitian yang ada masih belum cukup digunakan sebagai alat yang berdiri sendiri namun dapat membantu memberikan informasi dan memperkuat pendekatan-pendekatan tata kelola. REKOMENDASI Berdasarkan hasil-hasil temuan studi ini, rekomendasi untuk melaksanakan intervensi-intervensi untuk merespon tata kelola hutan dan lahan akan didiskusikan berikut ini. Rekomendasi-rekomendasi tersebut berdasarkan tiga intervensi dan empat tema penelitian yang telah mencapai konsensus yang paling banyak. Tata kelola hutan berorientasikan LSM, organisasi lembaga donor dan lembaga-lembaga penelitian dapat memberikan manfaat dengan mempertimbangkan prioritas-prioritas ini dalam membangun program-program dan kebijakan-kebijakan untuk mendukung tata kelola yang hutan dan lahan yang baik di Indonesia. Dukungan lembaga-lembaga masyarakat. Pemerintah, lembaga donor, dan masyarakat sipil sebaiknya melakukan peningkatan kapasitas bagi lembaga-lembaga masyarakat, dan mendukung keterlibatan mereka dalam lembaga-lembaga yang dibentuk untuk memfasilitasi pengelolaan hutan dan lahan. Lembaga-lembaga masyarakat ini sebaiknya terintegrasi ke dalam lembaga pengelolaan hutan dan lahan di tingkat lokal seperti lembaga pembuatan keputusan di masyarakat atau daerah, dan pada tingkat yang lebih tinggi seperti unit pengelolaan hutan (KPH) dan badan-badan Pemerintah lain yang bertanggung jawab. Mempercepat pengukuhan hutan dengan menggunakan lembaga-lembaga masyarakat lokal untuk memperjelas klaim hutan masyarakat. Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 35/2012 yang mengatur tentang hutan masyarakat adat seharusnya tidak disebut kawasan hutan, untuk menciptakan kesempatan memperkenalkan hak masyarakat lokal dan masyarakat adat terhadap hutan. Pengukuhan hutan adalah salah satu langkah awal yang sangat penting untuk mengetahui kepemilikan akan hutan. Peta masyarakat meruapak bagian penting dari proses ini, untuk mengidentifikasi dan memperjelas klaim kepemilikan lahan. Lembaga-lembaga masyarakat dapat mendukung pemetaan dan pendekatan lainnya untuk mendokumentasikan klaim-klaim hutan. Pemerintah, peneliti, lembaga donor dan masyarakat sipil dapat bermitra dengan lembaga masyarakat untuk mendokumentasikan klaim hutan masyarakat untuk menginformasikan proses pengukuhan hutan. Pemerintah harus memastikan klaim hutan masyarakat terlindungi dalam Undang-Undang yang mengakui kepemilikan hutan oleh masyarakat yang dalam studi ini telah digambarkan akan membawa pada pengelolaan hutan yang berkesinambungan. Mengintegrasikan peta partisipatif ke dalam rencana tata ruang. Peta partisipatif yang dibuat untuk pengukuhan hutan dapat juga digunakan sebagai basis untuk keputusan rencana tata ruang, untuk memastikan bahwa peta rencana tata ruang mempertimbangkan klaim tanah adat dan tanah masyarakat. Aksi penelitian merupakan pendekatan yang berguna untuk digunakan dalam pemetaan partisipatif karena memperbolehkan badan dan kepemilikian terhadap proses dan hasil akhir. Para donor, peneliti dan masyarakat sipil harus memberikan pelatihan dan bantuan teknis untuk mendukung pemetaan partisipatif klaim hutan masyarakat. Para peneliti harus menyediakan bantuan teknis bagi pemerintah untuk mengintegrasikan peta partisipasi kedalam rencana tata ruang. Dukungan kemampuan masyarakat lokal dalam memantau hutan. Sejumlah teknologi dapat digunakan oleh masyarakat lokal dalam melaksanakan monitoring hutan. Bagi masyarakat yang memiliki akses dan ketrampilan ICT, platform dan tools sudah tersedia untuk digunakan dalam monitoring tutupan hutan, dan melaporkan pelanggaran pemanfaatan hutan, pembakaran hutan dan perubahan tutupan hutan.
  • 17. Bagi masyarakat yang tidak memiliki akses internet, platform SMS, teknologi radi dan pohon telepon adalah inovasi sederhana yang dapat mendukung monitoring dan melaporkan jika terdapat pelanggaran. Alat kendaraan udara tak berawak menawarkan cara yang murah untuk memonitor wilayah hutan untuk mengidentikasi kondisi tutupan hutan, melacak margasatwa dan memonitor perkebunan serta konsesi pertambangan untuk memeriksa kepatuhan persyaratan dan kewajiban hukum. Pemerintah, para donor dan masyarakat sipil harus menyediakan pelatihan dan bantuan teknis bagi masyarakat untuk memungkinkan penggunaan inovasi monitoring yang sesuai dan juga penguatan kapasitas untuk mendukung masyarakat dalam merepons ketidakadilan dan pelanggaran yang diidentifikasi melalui monitoring. Masyarakat sipil harus membantu masyarakat lokal dalam menggunakan media sosial, termasuk Facebook dan Twitter, untuk menghubungkan masyarakat lokal dengan masyarakat kota yang memiliki kepedulian untuk membangun dukungan bagi perlindungan hutan dan hak-hak masyarakat, serta mendesak pemberian sanksi hukum bagi pelanggaran skala besar. Melakukan aksi penelitian yang melibatkan semua pemangku kepentingan. Menyelesaikan konflik guna lahan yang berkepanjangan, dan memastikan alokasi pemanfaatan lahan mendukung pertumbuhan karbon ekonomi yang rendah serta kesejahteraan masyarakat lokal, membutuhkan partisipati aktif dari pemerintah, sektor swasta dan masyarakat. Para peneliti dan para donor harus mempertimbangkan aksi penelitian dan metode-metode partisipatif yang sesuai yang memungkinkan kepemilikan dan bukan hanya hasil, namun arah penelitian yang dilaksanakan berkaitan dengan tata guna hutan dan lahan. Aksi penelitian merupakan alat yang berguna sebagai latihan pemetaan masyarakat, dan untuk proses pembuatan keputusan pemanfaatan lahan yang memungkinkan partisipasi dari semua pemangku kepentingan yang terkena dampak, termasuk masyarakat adat dan perempuan, kelompok yang sering terpinggirkan dari proses pembuatan keputusan meskipun mereka saat ini kemungkinan besar terkena dampak dari hasil tersebut. Metode penelitian ini juga merupakan teknik yang berguna untuk mendukung kebutuhan analisa bagi daerah untuk mengidentifikasi alat dan kebijakan-kebijakan untuk meningkatkan tata kelola hutan dan lahan. Pembiayaan sektor lahan dan hutan. Para donor dan masyarakat sipil perlu mempertimbangkan hubungan klien-patron yang mendasar yang menjadi penghalang efektifitas intervensi teknis. Sektor swasta harus bekerja sama dengan pemerintah dan masyarakat sipil untuk memastikan bahwa investasi juga memperhatikan hak-hak hutan masyarakat, konsisten dengan hukum dan standard lokal, nasional dan internasional, dan bahwa alokasi lahan hanya akan dilakukan setelah masyarakat yang terkena dampak dibebaskan, didahulukan dan diinformasikan. Masyarakat sipil harus terus memastikan akuntabilitas pemimpin politik dan pejabat publik, termasuk melalui penggunaan media dan monitoring keputusan, serta para donor harus mendukung peningkatan akuntabilitas dan partisipasi masyarakat sipil dalam tata kelola. Peneliti, donor dan masyarakat sipil harus menggunakan pendekatan ‘ikuti aliran uang’ (seperti yang telah dikembangkan oleh pendekatan penegakan hukum terpadu milik CIFOR)5 untuk mengidentifikasi praktek-praktek ilegal dan yang tidak berkesinambungan oleh sektor-sektor keuangan dan bank. Pendekatan ini membutuhkan ketrampilan teknis, jaringan yang luas dan dana untuk mengikuti aliran uang dan untuk mengejar kasus-kasus penuntutan di yurisdiksi luar negeri. Masyarakat sipil harus mendukung insiatif-inisiatif pencegahan, termasuk whistle blower dan pemantauan untuk menghentinkan pemanfaatan hutan secara tidak sah sedini mungkin. Terlibat dalam analisa ekonomi politik. Bantuan keuangan dan teknis semata tidaklah cukup untuk mendorong tata kelola hutan dan lahan yang baik. Para peneliti, donor dan masyarakat sipil harus menggunakan analisa ekonomi politik untuk memahami proses politik dan ekonomi yang mempengaruhi pembuatan keputusan terkait tata guna hutan dan lahan. Para peneliti dapat membantu mengidentifikasikan para pemangku kepentingan yang secara langsung dan tidak langsung terlibat atau terkena dampak dari permasalahan tata kelola hutan dan lahan, dan membongkar dinamika kekuasaan yang memungkinkan terjadinya praktek-praktek tata kelola yang buruk, serta turut campur tangan dalam perubahan potensial yang mendukung reformasi tata kelola yang baik. Donor sebaiknya menggunakan analisa ekonomi politik untuk menginformasikan rancangan program mereka untuk dapat memastikan                                                                                                                 5  Pendekatan Penegakan Hukum Terpadu milik CIFOR, 2009, lihat http://www.cifor.org/ilea/_ref/instruments/index.htm
  • 18. intervensi tata kelola mempertimbangkan kendala dan peluang di sektor tata kelola hutan dan lahan di Indonesia. LITERATUR Abood, S.A., Lee, J.S.H., Burivalova, Z., Garcia-Ulloa, J & Koh LP. (2014). ‘Relative contributions of the logging, fiber, oil palm and mining industries to forest loss in Indonesia’, Conservation Letters. The Age (2012), ‘China slowdown hits Indonesian coal exporters,’ 7 September 2012, [online] URL: http://www.theage.com.au/business/china-­‐slowdown-­‐hits-­‐indonesian-­‐coal-­‐exporters-­‐20120907-­‐ 25i18.html#ixzz27VbACZJj Agrawal, A & Ostrom, E. (2001) ‘Collective Action, Property Rights, and Decentralization in Resource Use in India and Nepal’, Politics and Society, 29(4): 485-514. Andersson, K. (2006). Understanding decentralized forest governance: an application of the institutional analysis and development framework. Sustainability: Science, Practice and Policy, 2(1): 25-35. Austin, K, Sheppard, S & Stolle, F. (2012). ‘Indonesia’s moratorium on new forest concessions: key findings and next steps’, Working paper, World Resources Institute.     Austin, K., Alisjahbana, T.D., Boediono, R., Budianto, B.E., Purba, C., Indrarto, G.B., Pohman, E., Putraditama, & A., Stolle, F. (2014). ‘Indonesia’s Forest Moratorium: Impacts and Next Steps’, Washington DC, World Resources Institute. Bachelard, M. (2013). ‘Indonesian forest open for mining, logging’, Sydney Morning Herald, 18 April, [online] URL: http://www.smh.com.au/world/indonesian-forest-open-for-mining-logging-20130417- 2i0gs.html Bai, Z.G., D. L. Dent, L. Olsson, & M. E. Schaepman. (2008). Global Assessment of Land Degradation and Improvement 1: Identification by Remote Sensing. Report 2008/01, FAO/ISRIC. Rome/Wageningen. Barr, C., Resosudarmo, IAP., Dermawan, A, and Steiono, B. (2006). ‘Decentralisation’s Effects on Forest Concessions and Timber Production, in Decentralisation of Forest Administration in Indonesia: Implications for Forest Sustainability, Economic Development and Community Livelihoods, ed. Barr, C., Resosudarmo, IAP, Dermawan, A and McCarty, J, Centre for International Forestry Research, Bogor, Indonesia, pp. 87 – 107. Brockhaus, M, Obidzinski, K, Dermawan, A, Laumonier, Y, & Luttrell, C. (2012). ‘An overview of forest and land allocation policies in Indonesia: Is the current framework sufficient to meet the needs of REDD+?’ Forest Policy and Economics, vol. 18, pp. 30 – 37. Brown, D, Shepherd, G, Schreckenberg, K, & Wells, A. (2002). ‘Forestry as an Entry Point for Governance Reform’, Overseas Development Institute, Forestry Briefings issue 1, Department for International Development, UK. [online] URL: http://www.odi.org.uk/publications/541-forestry-as-entry- point-governance-reform
  • 19. Burgess, R., et al. (2012). ‘The Political Economy of Deforestation in the Tropics’, The Quarterly Journal of Economics, pp. 1707 – 1754. Burnard, P & Morrison, P. (1994). Nursing Research in Action: Developing Basic Skills, Macmillan Press Limited, London. Carter, C, Finley, W, Fry, J, Jackson, D, & Willis, L. (2007). ‘Palm oil markets and future supply,’ European Journal of Lipid Science Technology, 109: 307–314. Casson, A. (2001). ‘Decentralisation of Policies Affecting Forests and Estate Crops in Kotawaringin Timur District, Central Kalimantan, Case Studies on Decentralisation and Forests in Indonesia 5’, Centre for International Forestry Research, Bogor, Indonesia. Casson, A., & K. Obidzinski. (2002). From New Order to Regional Autonomy: Shifting Dynamics of ‘Illegal’ Logging in Kalimantan, Indonesia. World Development, 30(12): 2133-2151. Castren, T., & M. Pillai. (2011). Forest Governance 2.0: A primer on ICTs and governance, Washington DC: Program on Forests (PROFOR). Colchester et al. (2006). Justice in the forest: rural livelihoods and forest law enforcement. Forest Perspectives, no. 3, CIFOR, Bogor, Indonesia. Contreras-Hermosilla, A. (2000). The underlying causes of forest decline, CIFOR, occasional paper, no. 30, June 2000. Contreras-Hermosilla, A., & Fay, C. (2005). ‘Strengthening Forest Management in Indonesia through Land Tenure Reform: Issues and Framework for Action’, Forest Trends. Dalkey, N. & O. Helmer. (1963). An experimental application of the Delphi method to the use of experts. Management Science. 9(3):458–467. De Villiers, M. R., & P. J. T. de Villiers. (2005). The Delphi technique in health sciences education research, Medical Teacher, 27(7):639-643. Downs, F. (2013). Rule of Law and Environmental Justice in the forests: the challenge of ‘strong law enforcement’ in corrupt conditions’, Anti-Corruption Resource Centre, no. 6. June 2013. Eckardt, S. (2008). ‘Political Accountability, Fiscal Conditions and Local Governance Performance – Cross-sectional evidence from Indonesia’, Public Administration and Development 28, pp. 1-17. Environmental Investigation Agency (EIA). 2012. Forest Governance, [online] URL: http://www.eia- international.org/our-work/ecosystems-and-biodiversity/forest-loss/forest-governance Environmental Investigation Agency (EIA) & Telapak. (2007). The Thousand-Headed Snake: Forest Crimes, Corruption and Injustice in Indonesia [online] URL: http://eia-­‐ global.org/images/uploads/The_Thousand_Headed_Snake.pdf.   Forest Watch Indonesia (2014). State of the Forest Indonesia: 2009 - 2013. Bogor. [online] URL: http://fwi.or.id/publikasi/potret-keadaan-hutan-indonesia-periode-2009-2013/ Food and Agriculture Organisation (FAO). (2004). FAO Advisory Committee on Paper and Wood Products – Forty-fifth Session, Canberra, Australia; K. Rosenbaum. 2003. Item 6a: Defining lllegal logging: What is it and what is being done about it? Advisory Committee on Paper and Wood Products, Forty-fourth session. Oaxaca, Mexico.
  • 20. Greenpeace (2013). ‘Certifying Destruction: Why consumer companies need to go beyond the RSPO to stop forest destruction’, pp. 1 – 8. Hansen, M.C. et al. (2013). High resolution global maps of 21st -century forest cover change. Science 342: 850-853. Hapsari, M. (2011). ‘The Political Economy of Forest Governance’, Limits of Good Governance in Developing Countries, pp. 103-137. Hosonuma, N., M. Herold, V. De Sy, R. S. De Fries, M. Brockhaus, L. Verchot, A. Angelsen, & E. Romijin. (2012). An assessment of deforestation and degradation drivers in developing countries. Environmental Research Letters 7:1-12. Hsu, C., & Sandford, B. (2007). The Delphi technique: making sense of consensus, Practical Assessment, Research and Evaluation, 12(10)1-8. Hunt, C. (2010). ‘The costs of reducing deforestation in Indonesia, Bulletin of Indonesia Economic Studies’, vol 46, no. 2, pp 187-1923.   Indrarto, GB. (2012). The context of REDD+ in Indonesia: Drivers, agents and institutions. Working paper 92. CIFOR, Bogor, Indonesia. INFORM, Global Environment Facility Implementation Completion Report – MSP Indonesia, Indonesian Forests and Media Project, 2005. [online] URL: https://blogs.worldbank.org/eastasiapacific/files/eastasiapacific/ICR_AS_Feb17.pdf.   Irawan, S., Tacconi, L., & Ring, I. (2013). ‘Stakeholders’ incentives for land-use change and REDD+: the case of Indonesia’, Ecological Economics, vol. 87, pp. 75-83. Joy, A. (2010). ‘Following the Money Trail: the Challenges in Illegal Logging Investigations’, UN Office on Drugs and Crime in Indonesia, conference presentation at the 16th International Anti-Corruption Conference, Bangkok, November 2010. [online] URL: https://www.unodc.org/documents/southeastasiaandpacific//indonesia/forest-­‐ crime/Following_the_money_in_illegal_logging.pdf Kanowski, PJ, McDermott, C. L. & Cashore, B.W. (2011). Implementing REDD+: Lessons from analysis of forest governance, Environmental Science and Policy, 14:111-117. Keeney, S,. McKenna, H. & Hasson, F. (2011). The Delphi technique in Nursing and Health Research. Wiley-Blackwell, UK. Kishor, N.M. & Rosenbaum, K.L. (2003). Indicators to monitor progress of forest law enforcement, International Forestry Review, 5(3):211-218. [online] URL: http://siteresources.worldbank.org/EXTFORESTS/Resources/985784- 1217874560960/IndicatorsinIFR532003.pdf. Kishort, N & Damania, R. (2007). ‘Crime and Justice in the Garden of Eden: Improving Governance and Reducing Corruption in the Forestry Sector’, in The Many Faces of Corruption: Tracking Vulnerabilities at the Sector Level, Campos, JE & Pradhan, S, (eds) Poverty Reduction and Economic Management, World Bank, February 2007. Koh, LP & Wilcove, DS. (2008). ‘Is oil palm agriculture really destroying tropical biodiversity?’ Conservation Letters, vol. 1, pp. 60–64.
  • 21. KPK (Corruption Eradication Commission). (2010). Cited by Fitrian Ardiansyah, OGE ASIA June 25 – July 25 2012. Lemnos, MC & Agrawal, A. (2006). Environmental Governance. Annual Review of Environmental Resources, 31:297-325. Linstone, H.A. & Turoff, M. (1975). The Delphi Method: Techniques and Applications. Addison-Wesley, London. Margono, B.A., P. V. Potapov, S. Turubanova, F. Stolle, & M. C. Hansen. (2014). Primary forest cover loss in Indonesia over 2000-2012. Nature Climate Change. 4(730-735):1-6. Martini, M. (2012). ‘Causes of corruption in Indonesia’, U4 Expert Answer, Cases of Corruption, Transparency International, no. 338. McCarty, J. (2009), ‘Where is Justice? Resource entitlements, agrarian transformation and regional autonomy in Sumatra,’ in Warren, C & McCarthy JF (eds), Community, Environment and local governance in Indonesia: Locating the Commonweal, Routledge, Taylor & Francis Group, New York, pp. 167-196. Monditoka, A.K. (2011). Decentralized Forest Governance – A Policy Perspective. Research Unit for Livelihoods and Natural Resources, Working Paper no. 93, January 2011, [online] URL: http://www.cess.ac.in/cesshome/wp/RULNR_Arunkumar_working_paper_93.pdf Nworie, J. (2011). Using the Delphi technique in Educational Technology Research, TechTrends, September/October. 55(5):24-30. Okoli, C & Pawlowski, S.D. (2004). The Delphi method as a research tool: an example, design considerations and applications, Information and Management, 42:15-19. Palmer, C. (2006). ‘The outcomes and their determinants from community-company contracting over forest use in post-decentralisation Indonesia’, Development Economics and Policy, vol. 52. The Pilot Environmental Index. (2006). Center for International Earth Science Information Network (CIESIN), Columbia University, and Yale Center for Environmental Law and Policy (YCELP), [online] URL: http://beta.sedac.ciesin.columbia.edu/es/epi/downloads.html#data Romin, E, J. H. Ainemababazi, A. Wijaya, M. Herold, A. Angelsen, L. Verchot, & D. Murdiyarso. (2013). Exploring different forest definitions and their impact on developing REDD+ reference emission levels: a case study for Indonesia. Environmental Science and Policy. 33:245-259. Ryan, G.W. & Bernard, H.R. (2000). Data management and analysis methods, in Handbook of Qualitative Research, 2nd ed. D. Norman and L. Yvonna (eds), Thousand Oaks, CA, USA. Sagor, R. (2000). What is Action Research, Guiding School Improvement with Action Research, Association for Supervision and Curriculum Development, USA. Safitri, MA. (  2010). ‘Reforming forest tenure law in Indonesia: which way forward?’, [online] URL: https://openaccess.leidenuniv.nl/bitstream/handle/1887/16242/012.pdf?sequence=18 Sirait, M, Prasodjo, S, Podger, N, Flavelle, A & Fox, J. (1994). ‘Mapping Customary Land in East Kalimantan, Indonesia: A tool for forest management’, Ambio, 23(7): 411-417.
  • 22. Smith, et al. (2007). ‘Illegal logging, collusive corruption and fragmented governments in Kalimantan, Indonesia’, cited in Tacconi, L (ed), Illegal logging: law enforcement, livelihoods and the timber trade, Earthscan, London, p. 91-109. Stevens, C. Winterbotton, R. Springer, J & Reytar, K. (2014). Securing Rights, Combating Climate Change: How Strengthening Community Rights Mitigates Climate Change, World Resources Institute, Washington, DC [online] URL:  http://www.wri.org/securingrights Tacconi, L. (2006). ‘Developing environmental governance research: The example of forest cover change studies’, Environmental Conservation, vol. 38, no. 2, pp. 1-13. Tacconi, L. (2007). Decentralization, Forests and Livelihoods: Theory and Narrative. Global Environmental Change: Part A – Human and Policy Dimensions. 17(3-4):338-348. Tacconi, L. (2011). Developing environmental governance research: the forest cover change studies. Environmental Conservation, 38(2):1-13. Transparency International. (2011). Forest Governance Integrity Report, [online] URL: http://www.ti.or.id/media/documents/2011/11/23/f/a/faaa1-report_indonesia_final_rev.pdf UN REDD+ Programme. (2013). ‘Participatory Governance Assessment: The 2012 Indonesia Forest, Land and REDD+ Governance Index’, UNDP Indonesia. Wollenberg, E, Campbell, B, Dounias, E, Gunarso, P, Moeliono, M & Shiel, D. (2009). ‘Interactive Land-Use Planning in Indonesian Rainforest Landscapes: Reconnecting Plans to Practice, in ‘Navigating Trade-offs: Working for Conservation and Development Outcomes’, Ecology and Society, no. 14, vol. 1, art. 35. pp. 1 -1 4. Wollenberg, E., Moelinono, M., Limberg G., Iwan, R., Rhee, S & Sudana, M. (2006). ‘Between state and society: local governance of forests in Malinau, Indonesia’, Forest Policy and Economics, vol. 8, pp. 421- 433. World Bank. (2009). Roots for Good Forest Outcomes: An Analytical Framework for Governance Reforms, [online] URL: http://siteresources.worldbank.org/INTARD/2145781253636075552/22322823/ForestGovernanceReform s.pdf World Resources Institute. (2009). Governance of Forests Initiative. Indicator Framework Version 1, July 2009. [online] URL: http://www.wri.org/publication/governance-forests-initiative-indicator-framework- version-1 World Resources Institute. (2012). Climate Analysis Indicators Tool. World Resources Institute. CAIT version 9.0, Washington, DC, [online] URL: http://cait.wri.org Yale Global Institute of Sustainable Forestry (2013). School of Forestry and Environmental Studies, [online] URL: http://environment.yale.edu/gisf/programs/landscape-management/
  • 23. The Asia Foundation is a nonprofit international d evelopment organization c ommitted t o improving lives across a dynamic and developing Asia. Informed by six decades of experience and deep l ocal e xpertise, our p rograms address critical issues a ffecting A sia in t he 2 1st century—governance and law, economic d evelopment, women's empo werment, environment, and r egional c ooperation. I n addition, our B ooks f or A sia and p rofessional e xchange programs are among the ways we encourage Asia's continued development as a peaceful, just, and thriving r egion of the world. INDONESIA PO BOX 6793 JKSRB Jakarta 12067 Indonesia asiafoundation.org