1. Hutan mangrove di Batu Ampar memiliki luas yang besar namun saat ini terancam rusak karena adanya perbedaan persepsi dan praktik pengelolaan antara berbagai pihak terkait.
2. Diperlukan pendekatan kolaboratif dalam pengelolaan hutan mangrove di Batu Ampar dengan melibatkan masyarakat sebagai aktor utama melalui community-based forest management (CBFM).
3. Penerapan CBFM diharapkan dapat mengatasi kesenjang
Kajian Penolakan Izin Operasi Produksi Pertambangan Batu Bara PT. Mantimin Co...Muhammad Hafizhurrahman
Terdapat 8 alasan terkait penolakan izin operasi produksi pertambangan batu bara yang dikeluarkan oleh Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) kepada PT. Mantimin Coal Mining (MCM) di area Pegunungan Meratus, Desa Batu Tangga dan Desa Nateh, Kecamatan Batang Alai Timur, Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST), Provinsi Kalimantan Selatan, yaitu (1) 56% dari lokasi rencana pertambangan merupakan Kawasan Bentang Alam Karst yang harus dilindungi; (2) lokasi rencana pertambangan merupakan Kawasan Hutan Lindung dan Kawasan Resapan Air yang harus dipertahankan fungsinya; (3) rencana pertambangan bertentangan dengan upaya perlindungan dan pencegahan kepunahan spesies flora dan fauna terancam dan langka di Pegunungan Meratus; (4) Keluarnya izin operasi produksi pertambangan batu bara oleh Kementerian ESDM kepada PT. MCM tanpa adanya Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL); (5) rencana pertambangan bertentangan dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD), Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), serta Tujuan, Kebijakan, dan Strategi penataan ruang Kabupaten HST; (6) rencana pertambangan bertentangan dengan kesepakatan internasional tentang Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals Agreement) yang berkaitan dengan Ekosistem Daratan; (7) rencana pertambangan bertentangan dengan semangat pemerintah dalam meningkatkan keberdayaan masyarakat secara partisipatif dalam penyelenggaraan penghutanan dengan mengakui pengelolaan serta perlindungan hutan oleh masyarakat di Desa Nateh; dan (8) rencana pertambangan bertentangan dengan semangat pemerintah dan masyarakat dalam mengembangkan Energi Terbarukan berupa Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), dan Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH) di Kabupaten HST.
Kajian Penolakan Izin Operasi Produksi Pertambangan Batu Bara PT. Mantimin Co...Muhammad Hafizhurrahman
Terdapat 8 alasan terkait penolakan izin operasi produksi pertambangan batu bara yang dikeluarkan oleh Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) kepada PT. Mantimin Coal Mining (MCM) di area Pegunungan Meratus, Desa Batu Tangga dan Desa Nateh, Kecamatan Batang Alai Timur, Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST), Provinsi Kalimantan Selatan, yaitu (1) 56% dari lokasi rencana pertambangan merupakan Kawasan Bentang Alam Karst yang harus dilindungi; (2) lokasi rencana pertambangan merupakan Kawasan Hutan Lindung dan Kawasan Resapan Air yang harus dipertahankan fungsinya; (3) rencana pertambangan bertentangan dengan upaya perlindungan dan pencegahan kepunahan spesies flora dan fauna terancam dan langka di Pegunungan Meratus; (4) Keluarnya izin operasi produksi pertambangan batu bara oleh Kementerian ESDM kepada PT. MCM tanpa adanya Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL); (5) rencana pertambangan bertentangan dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD), Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), serta Tujuan, Kebijakan, dan Strategi penataan ruang Kabupaten HST; (6) rencana pertambangan bertentangan dengan kesepakatan internasional tentang Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals Agreement) yang berkaitan dengan Ekosistem Daratan; (7) rencana pertambangan bertentangan dengan semangat pemerintah dalam meningkatkan keberdayaan masyarakat secara partisipatif dalam penyelenggaraan penghutanan dengan mengakui pengelolaan serta perlindungan hutan oleh masyarakat di Desa Nateh; dan (8) rencana pertambangan bertentangan dengan semangat pemerintah dan masyarakat dalam mengembangkan Energi Terbarukan berupa Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), dan Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH) di Kabupaten HST.
Model kerjasama Triple Tracks (Pro Job, Pro Poor, Pro Growth) sebagai upaya ...Farid Ma'ruf
Perum Perhutani dengan segala keterbatasannya membutuhkan pihak lain untuk mewujudkan tujuannya yakni memenuhi hajat hidup orang banyak dalam beberapa bidang, misal dalam bidang pemberdayaan dan pengembangan hutan di desa. Untuk merealisasikan tujuannya tersebut, organisasi ini membutuhkan bantuan dalam hal sumber daya manusia (SDM), modal dan manajemen yang profesional.
ANALISIS PARAMETER FISIKA-KIMIA UNTUK KEPENTINGAN REHABILITASI EKOSISTEM MANG...Asramid Yasin
Jurnal Green Growth dan Manajemen Lingkungan
http://journal.unj.ac.id/unj/index.php/jgg/article/view/9048
Abstrak: Di beberapa tempat telah dilakukan rehabilitasi terhadap kawasan mangrove yang telah rusak namun pada kenyataannya tidak semua kegiatan rehabilitasi mangrove berhasil dilakukan. Penelitian ini bertujuan mengetahui kondisi parameter lingkungan perairan pantai Bungkutoko Kecamatan Abeli sesuai untuk kegiatan rehabilitasi ekosistem mangrove dan menentukan strategi rehabilitasi yang tepat untuk diterapkan di perairan pantai Bungkutoko Kecamatan Abeli. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juni-Juli 2009 bertempat di pesisir pulau Bungkutoko Kecamatan Abeli Kabupaten Kendari Sulawesi Tenggara. Data yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisis secara deskriptif. Dari hasil pengukuran beberapa parameter fisika-kimia di pesisir pulau Bungkutoko Kecamatan Abeli Kota Kendari yang diperoleh sesuai untuk dilakukan kegiatan rehabilitasi ekosistem mangrove dengan memperhatikan waktu penanaman yang tepat yaitu ketika musim berbuah mangrove dan musim teduh dan menggunakan teknik penanaman secara langsung menggunakan propagul dan penanaman menggunakan anakan (bibit dalam polybag).
ANALISIS VEGETASI HUTAN MANGROVE KAWASAN MANDEH, PESISIR SELATANDevi Ningsih
Ekosistem Hutan Mangrove atau lebih dikenal juga dengan sebutan Hutan Bakau atau mangal merupakan salah satu ekosistem penting yang membangun dan menyokong keberadaan wilayah pesisir.
Model kerjasama Triple Tracks (Pro Job, Pro Poor, Pro Growth) sebagai upaya ...Farid Ma'ruf
Perum Perhutani dengan segala keterbatasannya membutuhkan pihak lain untuk mewujudkan tujuannya yakni memenuhi hajat hidup orang banyak dalam beberapa bidang, misal dalam bidang pemberdayaan dan pengembangan hutan di desa. Untuk merealisasikan tujuannya tersebut, organisasi ini membutuhkan bantuan dalam hal sumber daya manusia (SDM), modal dan manajemen yang profesional.
ANALISIS PARAMETER FISIKA-KIMIA UNTUK KEPENTINGAN REHABILITASI EKOSISTEM MANG...Asramid Yasin
Jurnal Green Growth dan Manajemen Lingkungan
http://journal.unj.ac.id/unj/index.php/jgg/article/view/9048
Abstrak: Di beberapa tempat telah dilakukan rehabilitasi terhadap kawasan mangrove yang telah rusak namun pada kenyataannya tidak semua kegiatan rehabilitasi mangrove berhasil dilakukan. Penelitian ini bertujuan mengetahui kondisi parameter lingkungan perairan pantai Bungkutoko Kecamatan Abeli sesuai untuk kegiatan rehabilitasi ekosistem mangrove dan menentukan strategi rehabilitasi yang tepat untuk diterapkan di perairan pantai Bungkutoko Kecamatan Abeli. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juni-Juli 2009 bertempat di pesisir pulau Bungkutoko Kecamatan Abeli Kabupaten Kendari Sulawesi Tenggara. Data yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisis secara deskriptif. Dari hasil pengukuran beberapa parameter fisika-kimia di pesisir pulau Bungkutoko Kecamatan Abeli Kota Kendari yang diperoleh sesuai untuk dilakukan kegiatan rehabilitasi ekosistem mangrove dengan memperhatikan waktu penanaman yang tepat yaitu ketika musim berbuah mangrove dan musim teduh dan menggunakan teknik penanaman secara langsung menggunakan propagul dan penanaman menggunakan anakan (bibit dalam polybag).
ANALISIS VEGETASI HUTAN MANGROVE KAWASAN MANDEH, PESISIR SELATANDevi Ningsih
Ekosistem Hutan Mangrove atau lebih dikenal juga dengan sebutan Hutan Bakau atau mangal merupakan salah satu ekosistem penting yang membangun dan menyokong keberadaan wilayah pesisir.
B.i.g. paint system delivers unprecedented results to protect your investmentNexie_verena
B.I.G. has a feature that is now standard to all their booths—a paint system that shows no signs of rusting, no undercut creeping
and no corrosion at the scribe cut in the steel after 3,500 hours of punishing laboratory tests
Hardening the Perimeter: The Role of the Guard Booth, Security Solutions and ...Nexie_verena
In the post-9/11 global security environment, the perimeter defense challenges facing facility directors and safety managers
have become increasingly complex. Given a persistently difficult global economic environment, emphasis on the longevity,
survivability, and flexibility of major perimeter security products like guard booths and guard stations, is a major motivating
factor for decision-makers in domestic and overseas markets.
Mangrove dan Adaptasi Perubahan Iklim di Kawasan Pesisir (Mangroves and Clima...CIFOR-ICRAF
Presented by Apri Susanto Astra, Coordinator of Nature-based Solution Program,Wetlands International Indonesia in sub-national workshop on Increasing Capacity of Local Community and Sub-National Government on Mangrove Restoration and Food Security on 12 July 2022
Monitoring Sebaran dan Tutupan Komponen Dasar Terumbu Karang Serta Identifikasi Batas Wilayah pada DPL (Daerah Perlindungan Laut) Desa Patikarya di Wilayah Kerja COREMAP II
Kabupaten Selayar
Similar to Policy brief-pena-psap-konphalindo-indonesian (20)
This paper examines the gender dimensions of control over customary forests and territories through state policy support, markets, and various forms of coercive power and legitimacy. The involved parties are not limited to state institutions and market actors, but also elites at the community level, and close relatives.
Membicarakan hutan dan sumberdaya hutan di wilayah Nusantara tidak dapat dipisahkan dari keberadaan beragam komunitas yang memiliki keterikatan sosial, budaya, spiritual, ekologi, ekonomi, dan politik yang kuat dengan tanah, wilayah, dan ekosistem hutan.
This briefing paper outlines six processes and mechanisms that are key components of good forest and land governance in Indonesia. Embedded in Indonesia’s forest and land governance systems, these processes and mechanisms include spatial planning, allocating licenses for land concessions (such as for logging and mining activities, and palm oil and timber plantations), environmental safeguards, budgets for environmental management, monitoring land use and enforcement of relevant laws and regulations.
MASYARAKAT HUKUM ADAT ADALAH PENYANDANG HAK, SUBJEK HUKUM, DAN PEMILIK WILAYAH ADATNYA
Memahami secara Kontekstual Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia atas Perkara Nomor 35/PUU-X/2012.
Indonesia has the largest tropical forest in the world, rich forest resources, and biodiversity. For all of this time, the rich and diverse tropical forests have been utilized directly and indirectly, to fulfill the human needs, society and Indonesia as a state. Utilization of Indonesia’s forest, especially to meet the market demand, has caused the loss of total forest cover (deforestation).
In this issue:
Introduction of partners
Freedom of information
Recent successes
Supporting communities
High Conservation Value Forests
Monitoring and reporting violations
Emerging regions
SETAPAK research
Pulau Jawa merupakan salah satu daerah terpadat di dunia dengan lebih dari 136 juta jiwa tinggal di daerah seluas 129.438,28 km2. Dengan luasan hanya sekitar 6 persen dari keseluruhan daratan di Indonesia, Jawa dihuni lebih dari 50 persen jumlah keseluruhan penduduk Indonesia.
Portret keadaan-hutan-indonesia-2009-2013Aksi SETAPAK
Indonesia memiliki hutan tropis yang terluas di dunia, kekayaan sumberdaya hutan, serta keanekaragaman hayati yang beragam. Selama ini kekayaan dan keanekaragaman hutan tropis tersebut telah dimanfaatkan secara langsung maupun tidak langsung.
Konflik Agraria Musi Banyuasin: Perlu Penanganan Serius!
Kebijakan investasi melalui penggunaan tanah skala luas menghasilkan ketimpangan penguasaan lahan dan juga menuai konflik agraria dan kemiskinan.
Spatial planning: in whose interests?
Land allocated for industrial forest and land-based industries is larger than the actual size of West Kalimantan.
Kabupaten Konservasi atau Kabupaten Kompensasi?
Dengan Surat Keputusan Bupati Kabupaten Kapuas Hulu No. 144 Tahun 2003, Kapuas Hulu menyatakan diri sebagai Kabupaten Konservasi.
Establishing Collaborative Management for Batu Ampar’s Mangrove Forest: Revitalising the Regional Mangroves Working Group (KKMD) is an entry point for establishing collaborative, community based mangroves management.
PAPER KIMIA LINGKUNGAN MENINGKATNYA GAS RUMAH KACA IMPLIKASI DAN SOLUSI BAGI ...muhammadnoorhasby04
Gas rumah kaca memainkan peran penting dalam mempengaruhi iklim Bumi melalui mekanisme efek rumah kaca. Fenomena ini alami dan esensial untuk menjaga suhu Bumi tetap hangat dan layak huni. Namun, peningkatan konsentrasi gas rumah kaca akibat aktivitas manusia, seperti pembakaran bahan bakar fosil, deforestasi, dan praktik pertanian intensif, telah memperkuat efek ini, menyebabkan pemanasan global dan perubahan iklim yang signifikan.Pemanasan global membawa dampak luas pada berbagai aspek lingkungan, termasuk suhu rata-rata global, pola cuaca, kenaikan permukaan laut, serta frekuensi dan intensitas fenomena cuaca ekstrem seperti badai dan kekeringan. Dampak ini juga meluas ke ekosistem alami, menyebabkan gangguan pada habitat, distribusi spesies, dan interaksi ekologi, yang berdampak pada keanekaragaman hayati.
Untuk mengatasi tantangan yang ditimbulkan oleh peningkatan gas rumah kaca dan perubahan iklim, upaya mitigasi dan adaptasi menjadi sangat penting. Langkah-langkah mitigasi meliputi transisi ke sumber energi terbarukan, peningkatan efisiensi energi, dan pengelolaan lahan yang berkelanjutan. Di sisi lain, langkah-langkah adaptasi mencakup pembangunan infrastruktur yang tahan terhadap cuaca ekstrem, pengelolaan sumber daya air yang lebih baik, dan perlindungan terhadap wilayah pesisir.Selain itu, mengurangi konsumsi daging, memanfaatkan metode kompos, dan pembangunan infrastruktur yang tahan terhadap perubahan iklim adalah beberapa tindakan konkret yang dapat diambil untuk mengurangi dampak gas rumah kaca.Dengan pemahaman yang lebih baik tentang mekanisme dan dampak dari efek rumah kaca, serta melalui kolaborasi global yang kuat dan langkah-langkah konkret yang efektif, kita dapat melindungi planet kita dan memastikan kesejahteraan bagi generasi mendatang.
Analisis Konten Pendekatan Fear Appeal dalam Kampanye #TogetherPossible WWF.pdfBrigittaBelva
Berada dalam kerangka Mata Kuliah Riset Periklanan, tim peneliti menganalisis penggunaan pendekatan "fear appeal" atau memicu rasa takut dalam kampanye #TogetherPossible yang dilakukan oleh World Wide Fund (WWF) untuk mengedukasi masyarakat tentang isu lingkungan.
Analisis dilakukan dengan metode kualitatif, meliputi analisis konten media sosial WWF, observasi, dan analisis naratif. Tidak hanya itu, penelitian ini juga memberikan strategi nyata untuk meningkatkan keterlibatan dan dampak kampanye serupa di masa depan.
Studi Kasus : Oksidasi Pirit dan Pengaruhnya Terhadap Ekosistemd1051231041
Pirit merupakan zat di dalam tanah yang terbawa karena adanya arus pasang surut. Zat ini dapat membahayakan ekosistem sekitar apabila mengalami reaksi oksidasi dan penyebab utama mengapa tanah menjadi masam, karena mengandung senyawa besi dan belerang. Studi kasus ini bertujuan untuk menganalisis pembentukan, dampak, peran, pengaruh, hingga upaya pengelolaan lingkungan yang dapat dilakukan guna mengatasi masalah ekosistem yang terjadi.
KERUSAKAN LAHAN GAMBUT ANALISIS EMISI KARBON DARI DEGRADASI LAHAN GAMBUT DI A...d1051231072
Lahan gambut adalah salah satu ekosistem penting di dunia yang berfungsi sebagai penyimpan karbon yang sangat efisien. Di Asia Tenggara, lahan gambut memainkan peran krusial dalam menjaga keseimbangan ekologi dan ekonomi. Namun, seiring dengan meningkatnya tekanan terhadap lahan untuk aktivitas pertanian, perkebunan, dan pembangunan infrastruktur, degradasi lahan gambut telah menjadi masalah lingkungan yang signifikan. Degradasi lahan gambut terjadi ketika lahan tersebut mengalami penurunan kualitas, baik secara fisik, kimia, maupun biologis, yang pada akhirnya mengakibatkan pelepasan karbon dalam jumlah besar ke atmosfer.
Lahan gambut di Asia Tenggara, khususnya di negara-negara seperti Indonesia dan Malaysia, menyimpan cadangan karbon yang sangat besar. Diperkirakan bahwa lahan gambut di wilayah ini menyimpan sekitar 68,5 miliar ton karbon, yang jika terlepas, akan memberikan kontribusi yang signifikan terhadap emisi gas rumah kaca global.
Hasil dari #INC4 #TraktatPlastik, #plastictreaty masih saja banyak reaksi ketidak puasan, tetapi seluruh negara anggota PBB bertekad melanjutkan putaran negosiasi
berikutnya: #INC5 di bulan November 2024 di Busan Korea Selatan
Cerita sukses desa-desa di Pasuruan kelola sampah dan hasilkan PAD ratusan juta adalah info inspiratif bagi khalayak yang berdiam di perdesaan
.
#PartisipasiASN dalam #bebersihsampah nyata biarpun tidak banyak informasinya
1. 1
Hutan mangrove yang terletak di Kecamatan Batu Ampar
adalah yang terluas di Provinsi Kalimantan Barat. Hutan
mangrove itu kini terancam rusak. Untuk mempertahankan
dan menyelamatkannya dibutuhkan kebijakan pemerintah
pusat dan daerah yang berperspektif perlindungan,
produksi, dan partisipasi.
Sampai saat ini, banyak aktor terlibat dalam pengelolaan
hutan mangrove di Batu Ampar. Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah membuat kebijakan sendiri mengenai
pengelolaan mangrove di lokasi ini. Peraturan perundang-
undangan tentang pengelolaan hutan mangrove ditafsirkan
secara beragam. Akibatnya muncul kesenjangan antara
peraturan dengan praktiknya. Sementara itu, terdapat
kompetisi pemanfaatan mangrove antara perusahaan dan
masyarakat setempat. Perusahaan memperoleh izin dari
Kementerian Kehutanan untuk mengeksploitasi hasil hutan
kayu (Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada
Hutan Alam, IUPHHK-HA), sedangkan masyarakat
banyak memanfaatkan mangrove untuk industri arang
tradisional. Semua ini memberikan kontribusi pada
menurunnya kualitas tutupan hutan mangrove di Batu
Ampar.
Studi ini mendukung pendekatan community-based forest
management (CBFM) dalam pengelolaan hutan mangrove
di Batu Ampar. Kementerian Kehutanan telah
mengeluarkan berbagai pilihan kebijakan CBFM ini. Salah
satu opsi yang tengah diupayakan Pemerintah Daerah
Kubu Raya adalah pemberian izin Hutan Tanaman Rakyat
(HTR). Namun, persoalannya batas fungsi kawasan hutan
lindung dan hutan produksi di Batu Ampar tidak jelas
sehingga tidak dapat diketahui dimana opsi HTR ini
mungkin dilakukan.
Perbedaan persepsi mengenai kawasan hutan lindung juga
terjadi antara perusahaan dengan masyarakat. Sebuah
perusahaan pemegang IUPHHK-HA, misalnya,
menyatakan areal di sekitar konsesinya sebagai hutan
lindung sehingga membatasi akses masyarakat pada areal
tersebut. Menariknya, masyarakat tidak pernah
mendapat informasi langsung dari instansi yang berwenang
mengenai status kawasan tersebut.
Persoalan lain di Batu Ampar adalah ketiadaan
pelaksanaan kebijakan pengelolaan mangrove secara
terpadu. Strategi Nasional Pengelolaan Ekosistem
Mangrove (SNPEM) tidak bekerja di Batu Ampar.
Demikian pula inisiatif Pemerintah Kabupaten membentuk
sebuah forum multipihak yang disebut Kelompok Kerja
Mangrove Daerah (KKMD) tidak berkembang.
Melihat persoalan nyata yang terjadi pada ekosistem
mangrove dan relasi antar-aktor di dalamnya, studi ini
merekomendasikan dijalankannya kebijakan pengelolaan
hutan mangrove secara kolaboratif. Untuk tujuan itu maka
revitalitasi KKMD dapat menjadi pintu masuk. Namun
demikian, kami memandang bahwa KKMD itu harus
mempromosikan pendekatan CBFM yang dijalankan
dengan prinsip-prinsip tata kelola hutan yang baik.
Artinya, transparansi, partisipasi, akuntabilitas, koordinasi
dan kapasitas menjadi dasar dari seluruh kerja sama para
pihak dalam forum tersebut.
Ringkasan Eksekutif
2. 2
Hutan mangrove di Indonesia merupakan hutan mangrove
terluas di Asia Tenggara atau meliputi 59,8% dari total luas
hutan mangrove di kawasan ini (Geisen dkk., 2006:2). Hasil
pemetaan dari Bakosutarnal pada tahun 2009 terhadap
kawasan hutan mangrove menunjukkan bahwa hutan
mangrove di Kalimantan Barat seluas 149.344 hektar
menempati urutan kelima sebagai kawasan terluas setelah
Papua, Kalimantan Timur, Riau, dan Sumatera Selatan
(www.indonesia.wetlands.org).
Kawasan mangrove terluas
di Kalimantan Barat
berada di Kabupaten Kubu
Raya yang luasnya
mencapai 66% dari luas
hutan mangrove di
provinsi tersebut.
Sementara itu, hutan
mangrove terluas di
Kabupaten Kubu Raya
berada di Kecamatan Batu
Ampar. Hasil pemetaan
Institut Pertanian Bogor
pada tahun 2008
menyebutkan bahwa luas
hutan mangrove Batu Ampar ± 65.585 hektar, yang terdiri
dari 33.402 hektar hutan lindung dan 32.183 hektar hutan
produksi (Subchi, dkk., 2012). Hutan mangrove Batu Ampar
terletak di muara Sungai Kapuas dan merupakan hutan
mangrove di tepi perairan sungai yang tumbuh ke arah darat.
Hutan tersebut didominasi oleh pohon Rhizophora apiculata,
Bruguiera gymnorhiza, dan diselingi oleh nyireh (Xylocarpus
granatum).
Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. SK.936/
Menhut-II/2013 (lihat gambar 2), peruntukan kawasan hutan
di Desa Batu Ampar terdiri dari Hutan Lindung (HL), Hutan
Produksi Terbatas (HPT), Hutan Produksi (HP), Hutan
Produksi yang dapat di konversi (HPT) dan Areal
Penggunaan Lain (APL). Khusus mengenai kawasan hutan
lindung, Kementerian
Kehutanan mengeluarkan
Keputusan No.
SK.127/Menhut-II/2013
tentang Penetapan
Kawasan Hutan Lindung
Padu Empat–Lebak
Kerawang yang terletak di
Kabupaten Kubu Raya,
Provinsi Kalimantan Barat
seluas 8.551 (delapan ribu
lima ratus lima puluh satu)
hektar.
Orang-orang tua di Desa
Batu Ampar bertutur
bahwa dahulu mereka
mencari ikan, kepiting dan udang di sepanjang Sungai Kapuas
yang mengalir di depan desa. Selain itu, masyarakat juga
memanfaatkan kayu mangrove untuk dibuat arang.
Pembukaan hutan mangrove oleh masyarakat banyak
dilakukan pada masa pendudukan Jepang. Pada masa itu
masyarakat menebang pohon untuk dijadikan arang. Dulu
hanya sedikit orang yang membuat arang. Kini, jumlah
pembuat arang semakin banyak karena ikan, kepiting, dan
udang semakin susah didapat. Masyarakat menduga bahwa
berkurangnya populasi ikan,
kepiting, dan udang disebabkan
rusaknya ekosistem mangrove di
wilayah itu.
Dalam perkembangannya,
sumber daya alam di Desa Batu
Ampar juga dimanfaatkan oleh
pihak luar. Sejumlah izin
pemanfaatan hutan beroperasi di
wilayah ini. Di wilayah yang
termasuk Hutan Produksi,
Kementerian Kehutanan
menerbitkan izin pemanfaatan
kayu (Izin Usaha Pemanfaatan
Hasil Hutan Kayu pada Hutan
Alam, IUPHHK-HA) kepada beberapa perusahaan. Salah satu
yang aktif beroperasi adalah PT. Bios. Perusahaan ini
mendapatkan izin seluas 10.100 hektar dan berlaku hingga
tahun 2021. PT. Bios memanfaatkan hutan mangrove sebagai
bahan baku industri pulp.
Masyarakat menuding kehadiran PT. Bios berkontribusi
signifikan pada kerusakan hutan mangrove di Batu Ampar.
Menurut mereka, perusahaan ini melakukan sistem tebang
habis pada hutan mangrove yang ada di arealnya. Sebaliknya,
masyarakat menerapkan sistem tebang pilih pohon mangrove.
Masyarakat hanya menebang pohon mangrove dengan
diameter kurang dari 20 centimeter.
Berdasarkan hasil pengamatan kami, pola tebangan PT. Bios
dalam skala luas menimbulkan usikan skala besar untuk hutan
mangrove. Pemulihan hutan
di bekas tebangan PT. Bios
telah mengubah struktur
penyusun hutan mangrove,
karena spesies dominan
(99%) adalah X. Granatum.
Pohon X. Granatum, dan
akarnya bukanlah habitat
yang baik untuk larva udang,
ikan, maupun kepiting.
Penebangan hutan mangrove
dalam skala besar telah
menyebabkan terjadinya
shifted spesies
pohon mangrove dari R.
Apiculata menjadi X.
Hutan Mangrove Batu Ampar: Status dan Kondisinya
3. 3
Garanatum. Perubahan ini telah menyebabkan hutan
mangrove Batu Ampar kehilangan salah satu jasa ekologisnya
yaitu sebagai habitat nurcery ground untuk larva udang, ikan,
dan kepiting. Sebaliknya tebangan hutan mangrove oleh
masyarakat dalam skala kecil, 0,25 hektar,
tidak mengubah komunitas spesies penyusun hutan mangrove.
Penebangan pohon mangrove dalam skala kecil tersebut telah
menjaga biodiversitas penyusun hutan mangrove Batu
Ampar.
PT. Bios tidak hanya menebang tetapi juga melakukan
penanaman mangrove. Namun, berdasakan pengamatan kami,
mangrove yang ditanam oleh PT Bios hanya sejenis, yakni
rizhopora. Di beberapa lokasi bekas tebangan PT. Bios pun,
mangrove yang tumbuh alami cenderung hanya jenis pohon
Nyirih. Hal ini mengubah struktur dan komposisi
keanekaragaman hayati mangrove dan menghasilkan
ecological gap yang sangat besar.
Peraturan Presiden No. 73 Tahun 2012 tentang Strategi
Nasional Pengelolaan Ekosistem Mangrove (SNPEM)
merupakan pedoman bagi pemerintah pusat, pemerintah
daerah, pelaku usaha, dan masyarakat dalam pengelolaan
mangrove di Indonesia. Salah satu aksi penting untuk
menjalankan SNPEM ini adalah pembentukan Kelompok
Kerja Mangrove Daerah (KKMD). Di Kabupaten Kubu Raya,
Kelompok Kerja ini telah dibentuk pada tahun 2012, namun
dalam kenyatannya belum melakukan kegiatan apapun.
Upaya pengelolaan hutan mangrove Batu Ampar secara
terpadu juga pernah digagas oleh Dinas Kehutanan
bekerjasama dengan LPP Mangrove. Serupa dengan KKMD
di atas, inisiatif ini belum direalisasikan di lapangan.
Sementara kebijakan pengelolaan hutan mangrove belum
efektif dilaksanakan, kebijakan untuk eksploitasi mangrove
terus berlangsung. Hal ini terlihat dari operasi penebangan
mangrove oleh pemegang IUPHHK-HA. Masyarakat yang
juga memanfaatkan
mangrove dan
bergantung pada
ekosistem mangrove
belum memperoleh
perlindungan hukum.
Persepsi para aktor
terhadap keberadaan
hutan mangrove
berbeda-beda. Salah satu
persoalan adalah persepsi
mengenai batas fungsi
kawasan hutan yang ada
di Batu Ampar.
Sebagaimana disebutkan
pada bagian sebelumnya, Menteri Kehutanan mengeluarkan
Keputusan No. SK.127/Menhut-II/2013 tentang Penetapan
Kawasan Hutan Lindung Padu Empat–Lebak Kerawang yang
terletak di Kabupaten Kubu Raya, Provinsi Kalimantan Barat.
Namun, baik masyarakat maupun Pemerintah Kabupaten
Kubu Raya tidak mengetahui dimana batas-batas hutan
lindung itu. Bagi kedua pihak ini, informasi mengenai batas
kawasan hutan lindung itu penting karena berimplikasi pada
terbatasnya akses masyarakat pada kawasan tersebut. Hal ini
bertentangan dengan rencana Dinas Kehutanan Kubu Raya
yang ingin mendorong adanya pemberian izin Hutan
Tanaman Rakyat (HTR) bagi masyarakat. Sesuai dengan
peraturan kehutanan yang ada, izin tersebut hanya dapat
diberikan di kawasan hutan produksi.
Di tengah kebingungan masyarakat dan Pemerintah Daerah,
PT. Bios memasang plang bertuliskan ‘Hutan Lindung’ pada
wilayah di dekat arealnya. Pihak perusahaan ini berdalih
bahwa mereka wajib
menyisakan 43% dari arealnya
untuk kepentingan konservasi.
Namun, perusahaan ini tidak
dapat menjelaskan apakah areal
yang mereka tandai dengan
plang ‘Hutan Lindung’ itu
adalah bagian dari areal konsesi
mereka atau tidak. Masyarakat
pun mempertanyakan apakah
areal tersebut adalah ‘Hutan
Lindung Pemerintah’ atau
‘Hutan Lindung Perusahaan’.
Pelibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan (dikenal pula
dengan community-based forest management, CBFM) telah
menjadi kebijakan Kementerian Kehutanan. Hal ini terlihat dari
sejumlah kebijakan pemberdayaan masyarakat seperti halnya
Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Kemasyarakatan, dan Hutan
Desa. Studi ini menilai bahwa pengelolaan hutan mangrove di
Batu Ampar memerlukan pendekatan kolaboratif dengan
menempatkan masyarakat sebagai aktor yang dilindungi hak-
hak, pranata, dan praktik pemanfaatan hutannya.
Pendekatan CBFM di kawasan hutan mangrove mensyaratkan
terpenuhinya aspek-aspek tata kelola di bawah ini:
1. Pengakuan pada pengelolaan hutan mangrove pada
tingkat lokal dengan dengan membentuk peraturan desa
mengenai tata cara pengelolaan mangrove oleh
masyarakat.
2. Kebijakan pemerintah untuk pelibatan masyarakat lokal
dalam pengelolaan hutan mangrove.
3. Pengelolaan sumber daya hutan yang melibatkan
berbagai pihak yang berkepentingan.
4. Pengelolaan hutan mangrove yang mengkaitkan secara
simultan tujuan-tujuan lingkungan, ekonomi, dan sosial-
budaya.
Kesenjangan Kebijakan, Persepsi, dan Praktik dalam Pengelolaan Mangrove
Urgensi Pendekatan CBFM
Kotak 1.Teknologi Pembuatan Arang di Batu Ampar
4. 4
Penggunaan pendekatan CBFM dapat memberikan
keuntungan ganda. Pertama, dengan mengakomodasi
aspirasi masyarakat maka pengelolaan mangrove akan
menarik bagi masyarakat sehingga akan mempermudah
proses pengelolaan. Kedua, memberikan peluang bagi
masyarakat untuk ikut bertanggung jawab atas keamanan
mangrove. Selain itu yang lebih penting lagi adalah
adanya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Untuk
menggapai kondisi tersebut, tentu saja pihak-pihak yang
terlibat perlu duduk bersama untuk mendiskusikan
masalah kontrol dan akses terhadap mangrove. Dalam
skenario ini, sesungguhnya, perusahaan akan turut
diuntungkan karena akan mendapatkan jaminan pasokan
bahan baku secara berkelanjutan. Kerugian perusahaan
hanya satu yakni berkurangnya keuntungan karena mereka
tidak dapat lagi melakukan penebangan membabi buta.
Upaya untuk memulai adanya CBFM sebenarnya telah ada
sejak LPP Mangrove masuk pada tahun 2003. Namun saat
itu upaya tersebut terhenti karena adanya pergantian
pengurus dan keterbatasan dana serta program
pendampingan yang berkelanjutan. Oleh karena itu,
potensi pengembangan model CBFM di desa ini dapat
dilanjutkan dengan dukungan dana dan komitmen para
pihak.
Praktik pengelolaan, penguasaan, pemilikan, dan
pemanfaatan hutan mangrove di Batu
Ampar khususnya dan umumnya di wilayah
Kabupaten Kubu Raya mengalami gerak dinamis
sejalan dengan intervensi ekonomi, sosial budaya dan
politik yang berlangsung.
Ada berbagai aktor yang terlibat dalam pengelolaan
hutan mangrove, yakni masyarakat, Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM), pemerintah lokal (desa,
kabupaten, provinsi), pemerintah pusat dan
perusahaan. Masing-masing aktor memiliki
keterlibatan yang tidak sama intensitasnya.
Komitmen pemerintah Indonesia dalam pengelolaan
mangrove semakin menguat. Hal ini dibuktikan
dengan terbitnya Peraturan Presiden No. 73 Tahun
2012 tentang Strategi Nasional Pengelolaan
Ekosistem Mangrove (SNPEM). Peraturan ini
merupakan pedoman dan landasan bagi pemerintah
pusat, pemerintah daerah, pelaku usaha dan
masyarakat dalam pengelolaan mangrove di
Indonesia. Namun masih banyak terjadi kesenjangan
antara peraturan perundangan-undangan dengan
realitas pengelolaan mangrove.
Studi ini menunjukkan ada banyak kepentingan yang
berdampak terhadap kelestarian mangrove di Batu
Ampar. Untuk itu diperlukan sistem pengelolaan
mangrove secara berkelanjutan yang melibatkan semua
pihak (kolaborasi pengelolaan mangrove). Secara khusus,
kami merekomendasikan:
Masyarakat setempat agar mempraktikkan
pengelolaan mangrove secara berkelanjutan. Untuk
itu, alternatif pemanfaatan sumber daya selain
industri arang tradisional perlu dikembangkan.
Pemerintah Kabupaten Kubu Raya perlu
merumuskan model pengelolaan hutan mangrove di
Batu Ampar secara kolaboratif dengan pendekatan
CBFM. Dalam implementasinya Pemerintah Daerah
perlu memperhatikan prinsip-prinsip tata kelola yang
baik yaitu transparansi, partisipasi, akuntabiltas,
koordinasi, dan penegakan hukum. Langkah pertama
untuk melaksanakan pengelolaan kolaboratif itu
adalah dengan menghidupkan kembali Kelompok
Kerja Mangrove Daerah (KKMD).
Untuk memberikan dasar hukum yang lebih kuat
bagi pengelolaan kolaboratif ini, kami
merekomendasikan pembentukan Peraturan Daerah
atau Peraturan Desa mengenai pengelolaan
mangrove di Batu Ampar.
Pemerintah Pusat perlu memfasilitasi terlaksananya
Strategi Nasional Pengelolaan Ekosistem Mangrove
(SNPEM) di Provinsi Kalimantan Barat, khususnya
di Kabupaten Kubu Raya. Dukungan Pemerintah
Pusat diperlukan bagi penjabaran strategi
implementasi SNPEM di Kubu Raya.
Pemerintah khususnya Kementerian Kehutanan
harus memastikan bahwa pemegang izin
pemanfaatan hutan melakukan konservasi
berdasarkan standar ekologis yang sama, dan
menjamin regenerasi hutan mangrove
memperhatikan keanekaragaman jenis.
LSM perlu melakukan pendampingan dan mendorong
terwujudnya CBFM dalam pengelolaan mangrove di
Batu Ampar
Policy brief ini dipublikasikan oleh
PSAP UGM, Perkumpulan Pena,
dan Konphalindo dengan dukungan
the Asia Foundation dan UK Aid
serta asistensi Epistema Institute.
Peneliti:
‐ PM Laksono - Esti Anantasari
‐ Tjut S. Djohan - Chatarina P. I
‐ Sumijati AS - Puspita Kusuma
‐ Suhardi - Jajang A. Sonjaya
‐ Irham - Almira Rianty
‐ A. Supriyanto - Ruddy Gustave
- H. Gusti Zulkifli Mulki, - Rinto
- Angga N. Utama
Kesimpulan
Rekomendasi
Cover : Akar mangrove di
Kabupaten Kubu Raya
Foto oleh Tim Peneliti