POWER POINT MODUL 1 PEBI4223 (PENDIDIKAN LINGKUNGAN HIDUP)
(Sindonews.com) Opini sosial-budaya 15 januari 2016-15 februari 2016
1. 1
DAFTAR ISI
BOM, DOR... DOR... DAN DOR
Mohamad Sobary 4
SERANGAN BRUTAL TERORIS TERHADAP KEMANUSIAAN
Wawan Purwanto 7
DUCATI
Sarlito Wirawan Sarwono 10
JIHAD MELAWAN TERORISME
Biyanto 13
MATI SYAHID ATAU MATI TERKUTUK?
Media Zainul Bahri 16
PERJUANGAN TANPA TEROR
Mohamad Sobary 20
BUAYA VERSUS BUDAYA DAN HUMANIORA
Mudji Sutrisno 23
KONTRANARASI KELOMPOK EKSTREMIS
Ambang Priyonggo 27
PESANTREN
Komaruddin Hidayat 30
DILEMA KONSTITUSIONAL GAFATAR
Moh Mahfud MD 33
INDONESIA DI TENGAH SHAME DAN GUILT CULTURE
Vita Alwina Daravonsky Busyra 36
KOMITMEN PERLINDUNGAN ANAK
Asrorun Niam Sholeh 39
NEGERI PALING ISLAMI
Sarlito Wirawan Sarwono 42
PEMULANGAN GAFATAR LANGGAR HAM?
Faisal Ismail 45
TEROR BOM DAN ETIKA SOSIAL
Nanang Martono 48
BENANG KUSUT GAFATAR
2. 2
Sudjito 51
SELEBRASI BRUTALISME MASSAL
Asmadji AS Muchtar 54
CARA KITA BERKEBUDAYAAN
Mohamad Sobary 57
PROEKSISTENSI
Komaruddin Hidayat 60
MEMBUMIKAN (KEMBALI) SEMANGAT KEBHINNEKAAN
A Helmy Faishal Zaini 62
MENGAJAK KEMBALI PENGIKUT ALIRAN SESAT
Biyanto 65
KEBEBASAN YANG KEBABLASAN
Jazuli Juwaini 68
BAGAIMANA MENAKAR KEMUJARABAN KEBIRI?
Reza Indragiri Amriel 71
HILANGNYA ETIKA PUBLIK
Benny Susetyo 74
PENDIDIKAN BONSAI
Yuswohady 77
LGBT
Sarlito Wirawan Sarwono 80
MENGUNGSI DI NEGERI SENDIRI
Amzulian Rifai 83
INVOLUSI CIVIL NU
Syaiful Arif 86
INDONESIAX DAN DISRUPSI PENDIDIKAN KITA
Rhenald Kasali 89
INDAHNYA DUNIA MAHASISWA
Komaruddin Hidayat 92
GAFATAR, AJARAN MENYIMPANG, DAN TERORISME
Samsul Hadi 94
PENJAGA TAMAN KEARIFAN
Mohamad Sobary 97
3. 3
ARUS PERUBAHAN HMI
M Arief Rosyid Hasan 100
GURU SPIRITUAL
Sarlito Wirawan Sarwono 103
SEKS, KESADARAN PALSU, DAN KEMANUSIAAN
Benni Setiawan 106
IMLEK & PESAN KEMAJEMUKAN
Tom Saptaatmaja 108
TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERS NASIONAL
Sudjito 111
KERJA WARTAWAN GAWAT SEKALI
Eddy Koko 114
KORAN MEMBUNUH KORAN?
Sahala Tua Saragih 118
HANCURNYA KEADABAN ALAM
Benny Susetyo 122
MENJADI WARTAWAN
Komaruddin Hidayat 125
TEMBAKAU DALAM KEBUDAYAAN
Mohamad Sobary 128
PERLINDUNGAN ANAK DAN PENGASUHAN
Rita Pranawati 131
ISLAM MELAMPAUI POLITIK?
Ahmad Fuad Fanani 134
MENGELOLA ALIRAN KEAGAMAAN “SEMPALAN”
Ahmad Sahidah 138
PELACURAN DAN KETIDAKADILAN
Moh Mahfud MD 142
KATA DAN KITA
Bandung Mawardi 145
VALENTINE
Sarlito Wirawan Sarwono 148
MULTIDIMENSI PROSTITUSI
Abdul Mu’ti 151
4. 4
Bom, Dor...Dor… dan Dor
15-01-2016
Bagaimana kira-kira perasaan kita kalau sedang enak-enak tidur, tiba-tiba di samping kita ada
bom? Putu Wijaya menulis sebuah cerita pendek berjudul ”Bom”, yang diterbitkan oleh
penerbit Balai Pustaka 1992 sebagai buku bersama cerita-cerita pendek lainnya, dengan judul
Bom pula.
Kalau kita sedang tidur, artinya sedang tidak menyadari keadaan kita sendiri, mungkin
adanya bom tidak menjadi masalah. Seperti Oki, tokoh utama dalam cerita tersebut, bom
dikiranya sisa-sisa mimpinya. Bom dipeluk seperti memeluk guling. Tapi kita yang membaca
cerita itu merasa terteror. Bagaimana kalau ”bom” itu meledak?
Kita takut. Apalagi, Putu sengaja ”meneror” rasa aman kita dengan penjelasan detail
mengenai bagaimana sikap Oki sesudah bangun melihat ”bom” di tempat tidurnya. Sempat-
sempatnya Putu bercerita bahwa bom itu dibiarkan tetap di kamar tidurnya dan hanya
dilihatnya saja tanpa sempat berbuat sesuatu. Pintu kamarnya malah dikunci dan ketika
pembantu memanggil-manggilinya, disuruhnya pembantu itu segera pergi jauh-jauh.
Ringkas cerita, bom itu dibungkusnya dengan sarung untuk dibawa keluar. Benda berbahaya
itu harus ditaruh di suatu tempat yang aman, yang di sekitarnya tidak ada rumah. Tetapi di
mana mencari tempat aman, yang di sekitarnya tidak ada rumah? Di tengah lingkungan
hunian penduduk yang padat, sulit mencari tempat seperti itu. Bom dalam bungkusan sarung
kusut itu dipeluknya. Oki berjalan keluar rumah dengan bersandal jepit. Dia menyadari
mungkin bom itu tak punya waktu lebih lama lagi.
Akhirnya, dia membikin kegemparan. Sambil membawa bungkusan itu dia memanjat tiang
bendera. Warga di sekitar tempat itu makin gempar. Istrinya yang baru pulang dari pasar turut
hadir di tempat itu dan berteriak agar Oki tidak membunuh anak itu. Orang-orang kaget dan
bertanya-tanya. Istri Oki kemudian mengatakan bahwa yang ada di dalam bungkusan itu
anaknya.
Kemudian anak Oki yang baru pulang dari sekolah ikut berteriak, meminta sang ayah agar
tak membunuh adiknya. Persoalan pun menjadi jelas. Ada petugas yang kemudian campur
tangan untuk segera mengatasi keadaan. Istri Oki diminta memilih salah satu; siapa yang
harus diselamatkan, suami atau anaknya.
Dia memilih dua-duanya. Dan itu tidak bisa. Maka petugas pun menyimpulkan, sebaiknya
Oki ditembak: dor, dor, dor. Orang-orang berusaha menyelamatkan anak dalam bungkusan
sarung itu. Tangan-tangan menadah. Ratusan orang menanti. Tapi bukan anak yang jatuh dari
5. 5
atas, melainkan bom yang mencelakai mereka. Bom meledak.
Tangan-tangan yang menadah itu pun terputus seketika, dan terlempar mengenai wajah Oki
yang kemudian pelan-pelan mati. Bom meledak dan tembakan ‘dor’, ‘dor’, ‘dor’ mengakhiri
ketegangan itu untuk memasuki ketegangan baru yang lebih mengerikan.
***
Putu juga punya buku lain, naskah drama, yang juga diterbitkan oleh Balai Pustaka, tahun
2003. Judulnya DOR. Drama ini berkisah tentang seorang anak pejabat yang membunuh
seorang wanita, dan kejahatan itu ditindak demi kebenaran. Ayahnya sendiri berkata bahwa
kebenaran harus ditegakkan, tak peduli bahwa hal itu menyangkut nasib anaknya sendiri.
Hakim, jaksa dan para saksi pun meneriakkan hal yang sama: kebenaran harus ditegakkan.
Tetapi ketika si anak pada akhirnya dihukum tembak, di-‘dor’, sang ayah mengambil
tindakan balas dendam: sang hakim pun kemudian di-‘dor’. Kesimpulan yang diperoleh di
dalam drama ini, kebenaran itu tidak lain daripada ‘dor’.
Di dunia yang rusuh ini rupanya orang tak bisa hidup dengan damai. Orang pun tak bisa
bicara mengenai kebenaran sebagaimana mestinya. Artinya sebagaimana makna yang
dikandung oleh kata itu sendiri. Kebenaran bukan berarti yang salah dihukum. Bukan. Kalau
anak pejabat tinggi dihukum sesuai kaidah-kaidah dan pembuktian hukum, maka yang
menghukum harus pula dihukum.
Di dalam masyarakat yang penuh rasa takut, cemas dan tidak nyaman, orang dihukum tanpa
diadili, tanpa ‘ba’ tanpa ‘bu’, langsung saja ‘dor’. Basa-basi tak diperlukan. Tindakan, dan
tindakan, dipuja sebagai tanda keberanian. Mungkin juga simbol kejantanan. Mungkin malah
dianggap keluhuran yang layak dikagumi.
Keberanian, kejantanan dan keluhuran itu di dalam tatanan yang mengagungkan kebenaran
sama dan identik dengan ‘dor’ seperti dikisahkan dalam drama Putu di atas, dipayungi
ideologi yang memesona. Mati dalam perjuangan menegakkan kebenaran yang identik
dengan ‘dor’ tadi dianggap mati dalam kemuliaan, sebagaimana kematian seorang ksatria,
yang mati dalam keagungan, seperti matinya seorang pahlawan. Siapa ingin jadi pahlawan?
Ada fenomena lain lagi. Di dalam masyarakat yang sedang berkembang suatu perasaan iri,
dengki dan cemburu, rasa kedengkian, atau kemarahan, ditabur ke mana-mana, Iri, dengki,
dan cemburu? Kepada siapa perasaan tersebut dialamatkan? Tidak harus pada
seseorang. Tidak ada suatu alamat khusus yang menjadi target. Siapa yang membuat kita
merasa iri, atau dengki, atau cemburu, tindak balasan dilakukan.
Iri, dengki, cemburu, menjadi energi yang hebat untuk membuat suatu perhitungan. Kita tahu,
iri, dengki dan cemburu bisa berubah menjadi kemarahan. Dan kemarahan bisa meneror siapa
saja. Mungkin ada alamat khusus, orang khusus, kelompok khusus, yang diteror. Tapi agar
6. 6
tak terlampau kelihatan terus terang, harus dibuat suatu cara. Kemarahan seolah ditujukan
pada pihak lain. Dan kekacauan pun dibuat di tempat lain. Aparat keamanan harus dibuat
kalut. Kalau perlu ada juga yang harus di-’dor’ dengan cara-cara yang seolah tak sengaja
dalam suatu keadaan darurat ketika letusan ‘dor’ dijawab ‘dor’, dibalas ‘dor’ dan disambut
lagi dengan ‘dor’ sedang terjadi.
Tapi apa salahnya kalau aparat keamanan yang sedang lengah di-’dor’ dengan sengaja?
Kemarahan tak memiliki rasa kasihan untuk melakukan tindakan ‘dor’ yang fatal. Pejuang
kebenaran yang memahami dengan baik bahwa kebenaran sama dengan ‘dor’,bukan hanya
tak mau mengingatkan pihak lain agar waspada, sebaliknya dia memang mencari kelengahan
pihak lain agar bisa di ’dor’, ‘dor’, ‘dor’ dengan leluasa.
Makin banyak yang terkejut dan situasi menjadi gempar, makin baik. Orang lain boleh
gempar, dan menjadi panik, tapi pejuang kebenaran—dan sekali lagi kebenaran yang identik
dengan ‘dor’, harus tetap tenang. Begitu pula orang yang marah, karena hidupnya penuh iri,
dengki dan cemburu.
Orang yang marah seperti itu tidak boleh ikut panik di tengah kepanikan masa, seperti yang
terjadi di Sarinah, siang kemarin, hari Kamis siang bolong, tanggal 14 Januari tahun 2016. Ini
pun sebuah malapetaka Januari, tapi siapa si pembuat onar, dan siapa di baliknya, belum
begitu jelas.
Presiden Jokowi menyatakan bahwa kekacauan ini harus dihadapi. Dia tidak merasa takut.
‘Bom’ meledak. ‘Buuum’. Dan polisi ditantang. Tembak-menembak terjadi; ‘dor’, ‘dor’ dan
‘dor’, mengguncang Jakarta, mengguncang Indonesia. Tapi sekali lagi, Presiden Jokowi tidak
takut.
MOHAMAD SOBARY
Esais; Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi,
dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan.
Email: dandanggula@hotmail.com
7. 7
Serangan Brutal Teroris terhadap
Kemanusiaan
16-01-2016
Suara ledakan disertai kepulan asap putih dari bom bunuh diri yang meledak di Starbucks,
Jalan Thamrin, pada 14 Januari 2015, mengawali drama serangan teror di Jakarta. Tak
berselang lama, dua teroris lainnya kemudian melepaskan tembakan membabi buta ke
masyarakat sekitar. Polisi kemudian bertindak cepat untuk menyergap teroris hingga terjadi
kontak senjata dengan kelompok teroris.
Kelompok teroris pun dikabarkan sempat menyandera dua warga negara asing meski
akhirnya para penyandera dapat dilumpuhkan oleh timah panas polisi. Sementara satu dari
dua warga negara asing tersebut dikabarkan meninggal dunia.
Masih pada saat yang sama, tiba-tiba dua orang teroris lain yang menggunakan sepeda motor
meledakkan diri di pos polisi Sarinah yang tidak jauh dari tempat kejadian sebelumnya. Hal
itu mengakibatkan seorang polisi dari Polsek Menteng terluka dan dua teroris lainnya mati
seketika. Saat kontak tembak tengah terjadi, anggota Polsek Sarinah dan polisi yang ada di
sekitar Sarinah juga ikut membantu menyergap teroris. Dalam baku tembak tersebut, empat
orang polisi dari Polres Jakarta Pusat terkena tembakan pada kaki dan perut.
Rentetan ledakan bom dan serangan bersenjata tersebut memicu kepanikan massal. Orang-
orang berhamburan keluar gedung, mencoba menyelamatkan dirinya masing-masing atau
paling tidak menyaksikan apa yang tengah terjadi. Beberapa saksi mata pun menuturkan
bahwa setidaknya terdapat enam kali ledakan menyerupai bom yang terjadi dalam serangan
tersebut.
Situasi baru dapat dikendalikan setelah terjadi baku tembak selama kurang lebih 20 menit.
Aparat keamanan pun menyisir lokasi kejadian dan menemukan enam bom yaitu lima bom
kecil sebesar kepalan tangan berbentuk granat tangan rakitan dan satu lagi bom sebesar
kaleng biskuit.
Pemberitaan serangan teror viral di berbagai media mulai dari televisi, radio, hingga akun
sosial media. Teror yang sebenarnya terjadi di pusat Kota Jakarta seketika menjelma menjadi
teror nasional akibat penyebaran ketakutan dari banyaknya pemberitaan yang menyebar dan
diperparah dengan penambahan konten berita yang jauh dari fakta sebenarnya sehingga
mengakselerasi masifnya penyebaran ketakutan di masyarakat.
Kejadian ini tidak hanya memiliki dampak psikis seperti trauma dan cemas, namun juga
8. 8
dikhawatirkan memicu instabilitas ekonomi hingga politik. Sebab itu, Pemerintah Indonesia
telah mendeklarasikan terorisme tidak hanya sebagai ancaman terhadap keamanan dan
keselamatan warga negara, tetapi juga keamanan nasional.
***
Terorisme adalah paham untuk melakukan serangan terkoordinasi yang bertujuan
membangkitkan perasaan teror terhadap sekelompok masyarakat. Berbeda dengan perang,
aksi terorisme tidak tunduk pada tata cara peperangan seperti waktu pelaksanaan yang selalu
tiba-tiba dan target korban jiwa yang acak serta seringkali merupakan warga sipil.
Terorisme kian jelas menjadi momok bagi peradaban modern. Sifat tindakan, pelaku, tujuan
strategis, motivasi, hasil yang diharapkan serta dicapai, target-target, serta metode terorisme
kini semakin luas dan bervariasi. Dengan begitu, semakin jelas bahwa teror bukan merupakan
bentuk kejahatan kekerasan destruktif biasa, melainkan sudah merupakan kejahatan terhadap
perdamaian dan keamanan umat manusia (crimes against peace and security of mankind).
Hal yang sama juga terjadi pada teror Sarinah-Thamrin ini.
Teror dalam bentuk kekerasan destruktif berupa peledakan bom di pos polisi ini tentu diikuti
dengan integrated-plan penyebaran teror berlanjut, sebagai domino effect yang diagendakan
oleh kelompok teror untuk makin dalam menanam rasa panik dan ketakutan. Di situlah tujuan
teror dalam membentuk kepanikan sukses dilakukan.
Hal yang perlu kita waspadai sebagai rakyat Indonesia anti-galau dan anti-teror adalah
bagaimana kita harus mampu menghentikan kebiasaan diri bertindak seperti lalat. Yakni
kebiasaan mengerumuni sesuatu yang baru dan mengejutkan. Kebiasaan-kebiasaan ini akan
menghasilkan komentar, prasangka, overjudgment tanpa pengetahuan yang jelas, kepanikan,
dan ketakutan.
Maka, secara tidak langsung, kita turut membantu tercapainya tujuan itu dengan memviralkan
pemberitaan yang berlebihan seperti foto korban tanpa sensor, isu hoax di balik tragedi teror,
menuduh yang dibenci hingga kemudian kepanikan ini semakin menjamur dan memecah
belah keadaan. Pecah belahnya keadaan adalah surga bagi aksi teror.
Keadaan semacam ini mengonstruksi perspektif berpikir antarmanusia bahwa semua manusia
tidak beres, semua manusia jahat, kemudian antarmanusia pun kehilangan sisi kemanusiaan
sejati, sisi empatinya. Nilai-nilai itu pun akan keropos dalam diri kita karena terbungkus oleh
doktrin teror dan ketakutan. Titik kemenangan teror bukanlah bentuk konkret, melainkan
abstraksi pelemahan diri yang terbentuk di dalam benak rakyat.
***
Tragedi Sarinah-Thamrin secara kronologis merupakan bentuk pertahanan harga diri seorang
teroris dalam melawan. Seperti diketahui bahwa pelaku sebelum memasuki lokasi Gedung
9. 9
Sarinah telah dicegah oleh aparat keamanan karena dugaan membawa bahan peledak dan
diarahkan menuju pos polisi. Demi menjaga niat, misi, dan harga diri inilah pelaku kemudian
meledakkan granat. Ibarat konsep harakiri, pelaku teror lebih baik mati daripada gagal
mengemban misi teror besar yang direncanakan. Dengan ”gigitan kecil” ini, tentunya
kelompok teroris di belakang sana sedang berharap banyak atas impact yang ditebarkan.
Pencegahan dan penanggulangan teror perlu keterlibatan kita sebagai rakyat Indonesia.
Keluarga, sebagai kelompok terkecil dalam hubungan antarmanusia, memiliki kekuatan luar
biasa dalam menjaga rakyat Indonesia dari agenda terorisme. Baik dari penanaman rasa
percaya diri dan bekerja sama untuk tidak mudah galau, tidak mengikuti rasa takut yang
disebarkan dari adanya aksi teror hingga rasa saling peduli terhadap sesama, serta mengatasi
kegalauan dalam diri dan sesama dalam rangka mencegah rekrutmen anggota keluarga oleh
kelompok teroris, tidak melakukan aksi teror konkret destruktif dan teror dunia maya.
Pun jika atas nama Islam tragedi teror muncul, tetaplah yakin bahwa Islam sebagai agama,
juga sebagai sebuah konsep nilai. Nilai-nilai Islam sangat menjunjung tinggi rahmatan lil
‘alamin, compassion for the universe. Kasih sayang bagi jagat raya. Gagal paham nilai-nilai
ini harus kita antisipasi. Bisikan kegalauan dari kanan-kiri perlu kita waspadai.
WAWAN PURWANTO
Pakar Intelijen
10. 10
DUCATI
17-01-2016
Pada zaman saya sekolah di SMAN 1 Bogor saya punya sepeda motor dengan merek Ducati
tipe Luxor (made in Italy). Kendaraan ini lebih banyak unsur sepedanya (bisa di-gowes), di
samping unsur motornya yang hanya 50 cc itu. Jadi beda dengan motor-motor zaman
sekarang yang minimal 110 cc dan bisa lari kencang.
Pesaing Ducati Luxor di zaman itu adalah sepeda motor merek DKW tipe Hummel (juga
bikinan Italia. Jepang masih berbenah setelah kalah Perang Dunia II tahun 1945). DKW
Hummel sebenarnya lebih nyaman dikendarai, mesinnya 125 cc, tetapi mesinnya 2 tak, jadi
bensinnya campur oli sehingga suaranya lebih halus, namun tidak bisa lari terlalu kencang.
Tetapi dibandingkan dengan motor-motor sekarang seperti Yamaha X-Ride, Ducati Luxor
saya sebenarnya tergolong tidak bisa lari. Menang di suara doang, yang membuatnya lebih
macho daripada DKW.
Di zaman itu saya dan adik saya, namanya Sarwanto, yang masih kelas III SMP walaupun
usia kami hanya terpaut setahun (waktu itu saya kelas II SMA), paling demen trek-trekan
(istilah anak sekarang) naik Ducati kami masing-masing. Dia juga punya Ducati Luxor,
bedanya punya dia bercat merah, saya hitam.
Kami berdua malah pernah ke Jakarta (waktu itu satu-satunya jalan lewat jalan Bogor-Jakarta
lama melalui Cibinong, Cisalak dan seterusnya) untuk menonton film yang dibintangi bom
seks Brigitte Bardot (di zaman itu belum ada ISIS, tetapi film itu sudah diharamkan oleh
orang tua, jadi malah kami tambah ingin menonton) di Bioskop STAR (sekarang: Taman
Ismail Marzuki).
Sesudah menonton kami balik lagi ke Bogor seolah-olah baru pulang sekolah sore hari
(kebetulan saya sekolah siang). Kami berbuat sewajar mungkin supaya orang tua tidak curiga,
padahal alat vital kami serasa hilang karena kesemutan setelah digoyang getaran sadel sepeda
motor selama hampir dua jam sekali jalan.
***
Beberapa waktu lalu saya diajak coffee morning oleh Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Tito
Karnavian. Coffee morning yang diselenggarakan sekali seminggu dan selalu diliput oleh
sebuah stasiun televisi lokal Jakarta itu selalu mengajak masyarakat untuk berdiskusi tentang
berbagai topik yang sedang hangat di masyarakat.
Pada hari itu hadir bersama saya Tinton Suprapto, eks pembalap Indonesia yang sekarang
11. 11
mengelola Sirkuit Sentul, para pejabat polisi yang mengurus balap-balap liar di Jakarta,
perwakilan organisasi-organisasi sepeda motor, dan para pembalapnya itu sendiri yang
umumnya masih sangat belia.
Topik hari itu adalah bagaimana caranya menghentikan kebut-kebutan sepeda motor, yang
bukan hanya membahayakan orang lain, tetapi berkembang menjadi geng motor yang
mengganggu masyarakat, berupa pemalakan, penjambretan, pembegalan, perampokan,
bahkan bisa sampai membunuh orang tak berdosa. Maka muncullah dalam forum coffee
morning itu ide-ide untuk mengarahkan pebalap-pebalap liar menjadi pebalap resmi, atau
bahkan pebalap profesional.
Beberapa melontar gagasan untuk membangun sirkuit-sirkuit resmi untuk menyalurkan
bakat-bakat balapan adik-adik kita. Tetapi ide ini terhenti karena kendala pengadaan lahan.
Maka Pak Tinton pun dengan senang hati menawarkan Sirkuit Sentul untuk para pebalap
jalanan ini berlatih. Kalau perlu diantar-jemput dengan truk-truk untuk mengangkut motor-
motor mereka. Berapa truk pun yang diperlukan akan disiapkan oleh Pak Tinton yang baik
hati itu.
Sayangnya, para pebalap amatiran itu menolak. Alasannya macam-macam. Dari alasan jauh
(ada yang dari Tanjung Priok, tentu saja jauh kalau harus ke Sentul), waktunya tidak pas,
harus sekolah, dsb. Tetapi sebagai mantan remaja yang dulu juga sering ngebut, saya paham
apa yang ada di benak adik-adik pembalap amatir ini.
***
Kembali ke zaman SMA, saya dan Sarwanto dan sejumlah anak Bogor lain yang senang
kebut-kebutan di jalan punya dunia dan alam berpikir sendiri, yang tidak umum di antara
anggota masyarakat lain. Pemotor-pemotor amatir seperti saya sama sekali tidak berpikiran
untuk menjadi pebalap pro. Kami hanya ingin nampang kepada para pemuja (atau yang kami
pikir memuja kami), yaitu cewek-cewek. Saya tergolong penakut sebagai pengebut, tetapi
Sarwanto lebih pemberani dan sebagai ganjarannya dia pernah menabrak semak-semak
sehingga terluka dan memerlukan beberapa jahitan oleh dokter (bukan oleh penjahit).
Di luar ngebut, para pengebut berkawan dengan fans-nya. Kami bertetangga, satu sekolah,
menonton (bahasa Bogor: lalajo) bareng dan beberapa bercintaan (bobogohan), kalau malam
Minggu ada pesta ulang tahun (dulu belum ada disko) kami datang untuk berdansa (gengsot),
syukur-syukur kalau ada cewek yang mau diantar jemput, kalau enggak ya ngedayak aja
(datangnya cowok-cowok semua, nanti ajak cewek yang ada di tempat pesta saja).
Tentu saja pengebut sekarang bukan pengebut zaman saya dulu. Tetapi, persamaannya
kebanyakan pengebut bukan calon pebalap resmi, apalagi profesional. Bahkan setahu saya
sedikit sekali pebalap-pebalap profesional yang sudah masuk sirkuit internasional yang
mengawali kariernya sebagai geng motor. Walaupun begitu, perlu diperhatikan bahwa para
pengebut zaman saya hanya terbatas pada dunia gaul, sedangkan sekarang sudah jauh lebih
12. 12
luas dari pada itu. Bukan hanya perkawanan, tetapi sudah menjadi geng, bahkan sudah jadi
gengster (dengan persyaratan masuk ketat, termasuk di-bully secara fisik, dsb.), termasuk
ajang perjudian, pengebut hanya jadi jockey, sedangkan motor milik orang lain.
Dunia seperti inilah yang mesti dilenyapkan melalui program yang komprehensif, yang
memberikan peluang untuk anak-anak muda itu unjuk diri, sambil juga punya pekerjaan yang
jelas, sehingga tidak perlu ngegeng motor lagi.
SARLITO WIRAWAN SARWONO
Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
13. 13
Jihad Melawan Terorisme
18-01-2016
Terorisme telah menjadi fenomena sosial-keagamaan yang populer sejak 2000-an. Hal itu
seiring dengan kasus terorisme di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia.
Di antara kasus terorisme yang menyita perhatian dunia adalah hancurnya Gedung World
Trade Center (WTC) pada 11 September 2001. Teror yang mengerikan itu mengandung
pesan bahwa kaum teroris bisa menghancurkan apa pun fasilitas dan kepentingan Amerika
Serikat, termasuk Gedung WTC yang menjadi simbol kedigdayaan Negeri Paman Sam.
Berbagai kasus terorisme juga terus melanda negeri tercinta. Di antaranya bom Bali 1 (12
Oktober 2002), bom mobil yang menghancurkan Hotel JW Marriot (5 Agustus 2003), bom di
Kantor Kedutaan Besar Australia (9 September 2004), dan bom Bali 2 (1 Oktober 2005).
Yang mutakhir adalah bom di kawasan pusat pembelanjaan Sarinah, Jalan MH Thamrin,
Jakarta (14 Januari 2016). Rangkaian kasus terorisme telah menimbulkan ratusan korban
jiwa, cacat permanen, kerusakan sejumlah aset, dan perasaan traumatik warga.
Harus dipahami, terorisme merupakan bahaya laten yang bisa terjadi kapan pun. Karena itu,
kewaspadaan terhadap terorisme harus ditingkatkan meski sebagian tokohnya telah
dilumpuhkan, bahkan ditembak mati. Peringatan ini penting karena terorisme telah
bermetamorfosis menjadi sebuah ideologi. Ideologi inilah yang menjadi dasar menentukan
nilai, doktrin, dan keyakinan sesuai dengan tujuan terorisme.
Semua gerakan sosial keagamaan pasti memiliki ideologi yang diperjuangkan. Sebagai
ideologi, terorisme telah mendarah daging dalam hati sanubari pengikutnya. Kelompok
teroris juga telah merekrut banyak kader dari kalangan muda (pelajar dan mahasiswa). Itu
berarti yang perlu dilakukan terhadap gerakan terorisme adalah memerangi ideologinya.
Untuk memerangi ideologi gerakan pasti membutuhkan waktu yang lama. Seperti dikatakan
Blumer, ideologi berkaitan dengan banyak aspek. Di dalam ideologi terdapat seperangkat
kritik terhadap tatanan kehidupan yang ada yang ingin diubahnya. Ideologi juga berkaitan
dengan doktrin untuk membenarkan tujuan yang ingin dicapai dan keyakinan yang teguh
terhadap program yang akan dijalankan.
Dengan kata lain, ideologi dapat melahirkan nilai, keyakinan, kritik, alasan, dan pembelaan.
Dalam gerakan praksis sosial-keagamaan, ideologi dapat dijadikan arahan, justifikasi, senjata
untuk melawan, serta mempertahankan inspirasi dan harapan. Karena terorisme telah menjadi
ideologi, diperlukan usaha yang strategis dan sistematis untuk memeranginya.
14. 14
***
Usaha memerangi ideologi terorisme dapat dimulai dengan memahami faktor-faktor yang
menyebabkan terorisme itu tumbuh dan berkembang serta karakter gerakannya. Memahami
faktor-faktor yang menyebabkan terjadi terorisme jelas bukan pekerjaan mudah. Itu karena
terorisme telah menjadi fenomena sosial-keagamaan yang tidak hanya dialami oleh umat
Islam.
Dalam keyakinan dan agama non-Islam pun berpotensi muncul gerakan-gerakan radikalisme
sepanjang ada peluang yang dapat memicunya. Karena itu, diperlukan usaha yang sungguh-
sungguh untuk mengurai benang kusut terorisme sehingga pada saatnya negeri ini terbebas
dari ketakutan yang disebarkan penganut ideologi terorisme. Suasana ketakutan itulah yang
dicita-citakan oleh kelompok teroris.
Dalam sudut pandang Alquran, usaha yang sungguh-sungguh untuk melakukan segala
sesuatu itu disebut dengan jihad. Kata “jihad” sesungguhnya memiliki akar kata yang sama
dengan “ijtihad”, yakni “jahd”. Hanya, istilah “ijtihad” berasal dari Hadits,
sedangkan “jihad” dari Alquran.
Substansi kata “ijtihad” dan “jihad” adalah bersungguh-sungguh (total endeavor), yakni
mengerahkan seluruh tenaga, daya, dana, dan pikiran sehingga terwujud nilai-nilai yang
diridai Allah SWT. Karena itu, tidak mengherankan jika kata “ijtihad” dan “jihad”
seringkali digunakan secara silih berganti dalam berbagai kesempatan. Kata “jihad” secara
khusus digunakan oleh penganut terorisme sebagai doktrin perjuangan fisik mengangkat
senjata dengan mempertaruhkan nyawa.
Dalam banyak referensi dapat ditemukan bahwa kata “jihad” tidak harus dimaknai dengan
perjuangan fisik. Sebagai contoh dapat dikemukakan pendapat Buya AR Sutan Mansur
(1895-1985), ulama Sumatera Barat yang juga pernah menjadi ketua Pimpinan Pusat
Muhammadiyah periode 1952-1957. Dia memaknai jihad dengan arti ”bekerja sepenuh hati.”
Pemahaman Buya Sutan Mansur menarik karena tidak menggunakan kata ‘’berjuang”
atau “berperang”, melainkan “bekerja”. Pandangan ini sekaligus bisa digunakan alasan
untuk mematahkan penafsiran bahwa jihad selalu berkaitan dengan perjuangan fisik
(perang).
Kata “jihad” disebut dalam Alquran sebanyak 41 kali. Kata “jihad” menunjuk pada
pengertian cara untuk mencapai tujuan dan merupakan puncak segala aktivitas yang diridai
Allah. Jihad juga harus dilakukan dengan tidak boleh mengenal putus asa, tanpa pamrih, dan
hanya ditujukan karena Allah. Dengan pengertian tersebut, berjihad melawan terorisme harus
dilakukan sepenuh hati.
15. 15
Yang harus disadari, jihad melawan terorisme merupakan jalan yang berliku sehingga
membutuhkan waktu. Tetapi, ini harus dilakukan demi masa depan Islam yang moderat dan
ramah dengan berbagai perbedaan. Harapannya, pada saatnya nanti kita akan menyaksikan
ajaran Islam yang kompatibel dengan segala waktu dan tempat (shalihun likulli zaman wa
makan).
***
Teror bom yang terjadi di beberapa daerah membuktikan kebenaran tesis yang menyatakan
bahwa sebagai ideologi, terorisme sangat sulit dilumpuhkan. Terorisme juga tidak dapat
dikaitkan dengan satu agama tertentu (misalnya Islam). Pemeluk agama non-Islam juga
berpotensi menjadi pribadi atau kelompok yang radikal dan reaksioner. Beberapa sekte
agama Kristen juga telah bermunculan kelompok berhaluan radikal.
Dalam konteks itulah seluruh komponen bangsa harus bersepakat menjadikan terorisme
sebagai musuh bersama. Berkaitan dengan usaha untuk berjihad melawan terorisme, yang
perlu dilakukan adalah jangan sampai kita memberikan kesempatan (window of opportunity)
terhadap munculnya tindakan radikal dan anarkistis.
Keinginan ini akan tercapai jika kita mampu meminimalkan faktor-faktor yang menjadi
pemicunya. Termasuk dalam kategori faktor pemicu adalah ketidakadilan sosial, ekonomi,
hukum, dan politik.
BIYANTO
Dosen UIN Sunan Ampel dan Wakil Sekretaris PW Muhammadiyah Jatim
16. 16
Mati Syahid atau Mati Terkutuk?
19-01-2016
Kaum teroris atau beberapa kalangan menyebutnya sebagai “para pembunuh” meyakini
bahwa mereka adalah para syuhada jika mati dalam “perang suci” melawan musuh-musuh
mereka. Mati syahid adalah kondisi kematian yang sangat mulia, setidaknya dalam tradisi
agama-agama Semitik karena kaum syuhada akan ditempatkan dalam derajat surga yang
tinggi.
Dalam keyakinan kaum pembunuh, ketika mereka mati dalam aksi, akan disambut seekor
merpati cantik berwarna hijau; para pembunuh itu ditempatkan di tembolok sang merpati,
lalu terbang menuju surga yang tinggi. Tapi, benarkah mereka mati dalam keadaan syahid?
Atau malah sebaliknya: mati secara terkutuk di mata Tuhan?
Kata “syahid” dalam bahasa Arab yang berarti “saksi” menurut David Cook (2008)
sesungguhnya berasal dari bahasa Suriah Kuno “sahido” yang bermakna “saksi”. Menurut
Quraish Shihab (1998), kata “syahid” yang terdiri dari huruf syin, ha dan dal memiliki
makna dasar “kehadiran”, “pengetahuan, informasi dan kesaksian”.
Dalam Alquran, kata Shihab, “syahid” menunjuk kepada sifat Allah, sifat para nabi,
malaikat dan umat Nabi Muhammad yang gugur di jalan Allah, yang menyaksikan kebenaran
atas makhluk Allah. Yang gugur dalam perang di jalan Allah dinamai syahid karena para
malaikat menyaksikan (menghadiri) kematiannya atau karena ia gugur di bumi sedang bumi
juga dinamai “syahidah“ sehingga yang gugur dinamai “syahid“.
Menurut Shihab lebih lanjut, berdasarkan Surat Al-Baqarah ayat 143 dan 283 serta Surah Al-
Thalaq ayat 2, Nabi Muhammad adalah syahid dan umatnya adalah syuhada, namun
pengertian syahid dalam ketiga ayat itu adalah “teladan” dalam arti kaum muslim pengikut
Muhammad harus menjadi syuhada atau teladan-teladan kebajikan bagi umat lain dan Nabi
Muhammad adalah “teladan tertinggi” bagi umatnya.
Jika Allah memiliki nama Al-Syahid, apakah Allah juga memiliki nama sang pembunuh (Al-
Qatil)? Tentu saja tidak! Apakah Allah melalui kitab-kitab suci yang diturunkan mau
mengembangkan kehidupan dan kesejahteraan atau malah memiliki semangat untuk
kehancuran dan kebinasaan makhluk-makhluk-Nya? Ada banyak ayat dalam Quran yang
menghardik manusia untuk tidak merusak kehidupan dan membunuh jiwa-jiwa karena hidup
adalah mulia. Bahkan, ketika malaikat protes, “Apakah Engkau akan menciptakan spesies
makhluk yang gemar membunuh?”, Tuhan langsung merespons, “Hei! Aku lebih tahu dari
kamu! (spesies yang baru ini tidak begitu semuanya)!”
17. 17
***
Nabi Muhammad juga disebut syahid meskipun tidak mati syahid dalam perang. Selama
masa kenabiannya, Nabi Muhammad tidak pernah melakukan tindakan “kriminal kenabian”
seperti memancung kepala, memotong tangan, atau membunuh secara keji. Tidak semata
melarang pembunuhan terhadap kaum sipil, tokoh agama, musuh yang sudah menyerah atau
lari dalam keadaan tidak melawan, bahkan nabi melarang memetik buah yang masih mentah
dan bunga yang sedang mekar. Nabi sangat humanis, karena itu ia disebut al-syahid: sang
teladan. Lalu, para teroris-pembunuh itu mau meneladani siapa?
Soal peperangan Nabi, saya masih percaya dengan pandangan Husain Haykal dalam karya
klasiknya, Hayatu Muhammad (1932). Bagi Haykal, Nabi dan kaum muslim perdana
berperang bukan untuk menaklukkan atau menjajah, melainkan untuk mempertahankan
keyakinan (akidah) ketika mereka diancam, diintimidasi, disiksa, dan dibunuh oleh kaum
Arab.
Selain bersifat defensif (bukan ofensif apalagi agresif) dalam tiap peperangan, Nabi tidak
pernah memaksa musuh-musuhnya untuk memeluk Islam karena memang tidak ada paksaan
dalam agama (la ikraha fid-din). Karena itu, Haykal mengkritik Washington Irving, seorang
sejarawan Amerika kenamaan yang pernah menulis biografi Nabi.
Tulisan Irving itu di satu sisi bagus dan objektif, tetapi di sisi lain menurut Haykal tampak
bernada sinis, intoleran, dan penuh prasangka terhadap Islam. Atas nama Kristen, Irving
“menuduh” Islam. Irving mengutip sebuah ayat dalam Perjanjian Baru “siapa menggunakan
pedang akan binasa oleh pedang” ketika menulis bahwa salah satu watak Islam adalah
perang!
Menurut Haykal, jika menelaah sejarah Nabi secara benar, pernyataan Irving itu adalah keliru
dan salah alamat. Justru Eropa yang Kristen yang suka menjajah (negeri-negeri Timur) dan
melakukan kristenisasi dengan pedang dan peluru. Bagi Haykal, Islam tidak pernah
menggunakan pedang dan karena itu tak akan binasa oleh pedang.
Menjadi jelas, perang ala nabi berdasar titik pijak “mempertahankan akidah” ketika
keyakinan suci itu mau dilarang dan dibungkam. Jika diusir dan diperangi karena akidahnya
dan seorang muslim harus meninggal karena melawan, insya Allah itulah mati syahid.
Pertanyaannya: apakah pemerintah negeri-negeri Barat yang memerangi Al-Qaeda, Taliban
dan ISIS di negeri-negeri kaum muslim untuk mengintimidasi keyakinan (akidah) kaum
muslim atau semata mau mencari bala tentara organisasi-organisasi radikal Islam
tersebut? Jika katanya mau membalas atas masyarakat sipil muslim yang mati karena peluru
tentara Barat, maka alamatkanlah dendam itu kepada para tentara pasukan Barat. Begitu cara
perang ala Nabi, face to face. Bukan dengan membabi-buta membunuh masyarakat sipil yang
tak berdosa.
18. 18
Sekali lagi, cara perang ala Nabi adalah dengan mengharamkan membunuh masyarakat sipil
dan merusak tempat ibadah. Apalagi, satu kenyataan yang tak bisa dibantah adalah kaum
muslim di Eropa terus menalami perkembangan dan musala-musala serta masjid besar terus
bertambah. Eropa, terutama Jerman, Belanda, dan Inggris, memberi kebebasan penuh kaum
muslim untuk berkeyakinan dan beribadah (di tempat-tempat ibadah yang telah dibangun).
***
Kata “syahid” juga disematkan kepada orang-orang suci dalam tradisi Islam seperti kaum
sufi dan para wali. Mereka menjadi “teladan” dan “saksi” bagi semua perbuatan umat
manusia dan kaum muslim khususnya. Terkait dengan terminologi “syahid”, KH Mujib,
seorang kiai dan orator ulung dari Surabaya, membuat pengakuan yang mengejutkan
mengenai kewalian Kiai Asad Syamsul Arifin, seorang tokoh besar Nahdlatul Ulama.
Menurut Mujib dalam acara haul Kiai Asad, hampir 20 tahun ia menjadi murid Kiai Asad,
tetapi sosok sang kiai tetap misterius; laksana samudra tak bertepi, semakin didekati semakin
tak kelihatan. Akhirnya pada suatu musim haji, Kiai Mujib mendapat “informasi” dari
seorang ulama di Kota Madinah.
Ketika berjumpa di Jawa Timur sepulang haji, di depan Kiai Asad, Kiai Mujib membacakan
ayat “Fa kayfa idza jina min kulli ummatin bi syahidin wa jina bika ala haulai syahida (Maka
bagaimanakah [keadaan orang kafir] jika Kami mendatangkan seorang saksi dari tiap umat
dan Kami mendatangkan engkau [Muhammad] sebagai saksi atas mereka).”
Mendengar ayat ini, sontak Kiai Asad menangis sejadi-jadinya karena jati dirinya sebagai
waliyullah diketahui orang. Sebagai syahid, bagaimana akhlak para wali? Apakah suka
membuat teror, menyakiti manusia atau suka mengobarkan semangat kebencian, permusuhan
dan pembunuhan terhadap manusia? Aduhai, jangankan terhadap manusia, akan binatang saja
para wali-sufi itu memiliki akhlak yang mulia. Jikapun berdakwah pastilah dakwah mereka
dengan cara yang lembut dan santun.
Pemahaman syahid di atas sulit dipraktikkan, mungkin juga sulit dicerna, oleh kaum teroris
yang hidup di negara-negara yang penuh konflik. Menurut Komaruddin Hidayat
(28/11/2015), tidak sedikit kaum jihadis itu mulanya adalah preman jalanan musuh polisi.
Kini mereka berbalik menjadi pasukan perang suci di medan juang global.
Perang di jalan Tuhan, selain sebagai penebusan dosa masa lalu, juga jika mati masuk surga,
dibandingkan mengharap insentif jabatan dunia yang tidak mungkin diraih karena kondisi
negaranya yang kacau. Namun tetap saja, pertempuran itu bukan perang suci! Apalagi yang
dibunuh adalah sesama muslim.
Karena itu, tindakan teror, bunuh diri dan membunuh atas nama syahid (martir)—apalagi
dalam situasi normal dan aman seperti di tanah air—tidak memiliki (kesahihan) landasan
19. 19
teologis sedikit pun seperti telah dijelaskan di atas. Para tokoh agama—yang mendalam
pengetahuan keagamaannya selalu mengingatkan: alih-alih mati syahid, jangan-jangan kaum
teroris-pembunuh itu mati secara terkutuk!
MEDIA ZAINUL BAHRI
Dosen Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Alumni Alexander von
Humboldt Stiftung pada Universitas zu Köln, Jerman
20. 20
Perjuangan Tanpa Teror
20-01-2016
Ada perjuangan tanpa teror. Inilah yang kita sukai. Kalau tidak salah, inilah perjuangan sejati.
Kita mengharapkan hasil perjuangan bisa kita nikmati bersama. Hasil perjuangan membuat
kita bersukacita dan berbahagia.
Apa yang kita cari dalam hidup, di dunia yang serbafana ini bila bukan sukacita dan rasa
bahagia seperti ini? Kita bikin bumi tempat kita berpijak ini menjadi dunia yang kaya,
makmur, dan melimpah ruah dengan harta yang kita butuhkan. Dan, harta yang melimpah
ruah itu kita tata pembagiannya secara adil dan merata. Jangan keliru: harus adil dan merata.
Ini bukan adil secara distributif. Tidak mungkin tiap warga memperoleh bagian yang persis
sama. Tidak mungkin diciptakan suatu keadaan yang sama rasa sama rata. Tidak mungkin.
Ini ruwet. Dan, bisa menimbulkan persoalan lebih gawat. Bisa menimbulkan kemunafikan
ideologis yang parah. Maka, yang paling penting, tidak boleh ada manusia kelewat serakah
dan memiliki terlalu banyak harta. Tidak boleh ada warga, sahabat, dan saudara kita yang
tersia-sia. Tidak boleh.
Kita manusia biasa. Tak begitu aneh bila perjuangan kita itu kita harapkan untuk dicapai
hasilnya sekarang, di dunia fana ini, untuk kita nikmati, supaya hidup kita menjadi lebih
enak, lebih makmur, lebih adil, dan tertata. Tapi, kita tidak memimpikan terciptanya surga di
bumi ini. Orang per orang, tak peduli kaum miskin maupun para penimbun harta dunia,
mungkin ada sudah memperoleh surga di sini. Itu tak mustahil dan mungkin dilarang.
Kita juga harus memperhitungkan bahwa mungkin, sangat mungkin, perjuangan itu baru
berhasil sesudah kita tidak ada. Itu tak menjadi soal. Generasi anak-cucu akan menikmatinya.
Itu sudah baik. Dan, jika mungkin, kita menonton dari jauh, untuk turut berbahagia bersama
anak-cucu kita yang menikmati buah perjuangan kita. Bagi kita, ini kebahagiaan sejati.
Mirip dengan kesediaan kita menanam dan menanam pohon-pohon yang buahnya bukan kita
sendiri yang memetik, melainkan anak-cucu kita. Mereka memetik dan menikmati buah dari
pohon-pohon yang kita tanam dan kita berbahagia. Ini bukan ideologi, tapi sesuatu yang
nyata, sangat nyata.
***
Di negeri yang masih berantakan seperti ini, yang pemerintahnya kewalahan mengatur krisis
sumber daya alam yang sudah sangat parah, terutama di tanah Jawa, banyak lahan perjuangan
21. 21
yang harus dilaksanakan secara sukarela oleh setiap warga negara. Ini jenis tantangan
perjuangan yang tak usah disertai teror. Kita mau meneror siapa dan untuk apa?
Perjuangan sejati menuntut ketulusan sejati. Untuk tulus saja sudah berat dan sangat susah.
Apalagi harus ditambah dengan teror yang berbahaya. Sangat menakutkan. Jangan-jangan
teror itu tanda tak mampu.
Di negeri yang pemerintahnya kocar-kacir, kehendak politik Presiden diterjemahkan
seenaknya oleh para menteri, sesuai kepentingan politik masing-masing. Kita tahu Presiden
hampir sendirian, tanpa kawan. Perjuangan di bidang pendidikan misalnya masih begitu
banyak sisa yang tak tergarap pemerintah. Anak-anak gelandangan, yang tak jelas orang
tuanya, atau tak jelas kemampuan finansial mereka, memerlukan campur tangan warga
negara. Ada begitu banyak rumah singgah dan berbagai jenis pendidikan dasar yang
dilakukan warga negara tanpa biaya pemerintah.
Ini perjuangan yang membuat kita merasa seperti mendidih. Tidak mudah menangani
persoalan seperti ini. Tapi, warga negara, bukan pemerintah, menanganinya dengan segenap
keterbatasan. Ini perjuangan tanpa teror yang selalu diuji untuk tetap bertahan dengan dana
seadanya, kemampuan seadanya, tapi dengan kesabaran yang bukan seadanya.
Kesabaran di sini harus melimpah ruah. Kesabaran di sini begitu luar biasa seperti bisa
menimbulkan ”goro-goro” yang mengguncang dunia. Dalam tradisi sastra lisan di
masyarakat Jawa dikabarkan, bila jagat terkena panasnya ”goro-goro”, dewa-dewa turun dan
turut prihatin mencarikan jalan pemecahan persoalan yang sedang dihadapi para kawula.
Tapi, di dalam politik Indonesia, di dunia nyata, ”goro-goro” boleh terjadi sehari tujuh kali,
penguasa, menteri, atau pejabat lain bisa dengan tenang bersikap pura-pura budek. Apa tak
takut kalau menjadi budek betulan?
***
Banyak perjuangan yang tak usah disertai teror. Seperti dicontohkan di atas, jelas bagi kita
bahwa di dalam hidup sehari-hari, banyak persoalan yang harus diperjuangkan dengan
sungguh-sungguh, setulus hati, sebaik-baiknya, dengan segenap pengorbanan tenaga, pikiran,
harta, dan mungkin pertaruhan jiwa.
Tapi, meskipun sangat serius, dan sungguh-sungguh, bahkan disertai ketulusan tanpa batas
sehingga perjuangan kita itu ibaratnya tidak ada bandingannya, kalau bisa sebaiknya jangan
kita bicara tentang pertaruhan jiwa. Biarkan saja keadaan di lapangan yang menentukan.
Kalau kondisi di lapangan berkembang sedemikian rupa sehingga kita tak mampu lagi
berbuat lain selain mempertaruhkan jiwa kita, itu soal lain.
Mungkin di sini kita lalu bicara mengenai sikap ksatria. Mungkin disebut sikap ksatria sejati
yang rela bertaruh nyawa untuk sesuatu yang besar: untuk bangsa, untuk negara. Bila kita
22. 22
bicara perjuangan agama, kita bicara tentang kesediaan berkurban jiwa untuk menjadi
syuhada. Demi perjuangan agama, kita menempuh cara hidup kesahid-sahidan, bukan
sekadar sebagai kebajikan yang lahir dari panggilan etis di dalam diri kita, melainkan
panggilan etis sekaligus panggilan hukum.
Patut menjadi catatan kita di sini bahwa jiwa kita, yang hanya satu, dan kita sayang-sayang
itu, sebaiknya tidak untuk pertaruhan di dalam hidup duniawi yang biasa-biasa ini. Tapi, bila
perjuangan kita telah sampai pada batas di mana ungkapan ”bertaruh nyawa” menjadi
panggilan terakhir, mungkin kita bicara: apa boleh buat. Bila jalan lain sungguh tak ada, kita
maju, maju, dan tak takut apa pun. Kata Pak Jokowi, kita tak boleh takut.
Dan, kita harus menang. Kita siap menghadapi kesulitan, apa pun yang harus kita
pertaruhkan. Tapi, kita bukan menantang, bukan mencari musuh, bukan meneror orang lain.
Perjuangan menata kembali lingkungan tak usah disertai teror. Perjuangan menata pendidikan
anak-anak yang luput dari perhatian negara merupakan panggilan ”langit” yang harus
dilaksanakan di Bumi Pertiwi kita. Dan, perjuangan itu menuntut ketulusan yang nyata. Teror
tak diperlukan sama sekali karena siapa yang harus diteror? Kalau pemerintah, dalam hal ini
menteri pendidikan bisa merasa malu, alangkah baiknya.
Perjuangan sejati tak memerlukan teror. Kita sibuk menjaga ketulusan, dan kata “teror”
terhapus secara otomatis dari dalam kamus hidup kita. Kata teror tanpa perjuangan. Dua hal
ini sedang berada di dalam perjuangan kita. Konsep dasar kita, pihak lain merupakan sumber
daya yang bisa dilibatkan dalam perjuangan. Pihak lain merupakan pasangan potensial untuk
membikin perjuangan kita sukses. Dengan begitu, jelas bahwa mereka itu pendukung yang
baik bila kita mampu melibatkan mereka ke dalam kerja demi kerja yang kita laksanakan
dengan ikhlas, dan semampu kita.
Perjuangan itu semampu kita, seikhlas kita. Tak perlu dipaksakan. Apa yang dipaksa bisa
melewati batas keikhlasan tadi. Dan, bakal percuma. Apalagi kalau perjuangan disertai teror
demi teror yang membikin segenap warga negara gemetar, cemas, dan menjadi tidak
produktif. Itu kita. Itu perjuangan biasa. Sekadar mencintai Tanah Air. Sekadar mencintai
bangsa kita sendiri. Sekadar mengamalkan panggilan agama, semampunya, seikhlasnya,
sebatas yang kita bisa. Dan, sekali lagi, yang penting kita berjuang tanpa teror.
Tapi, ada pula teror tanpa perjuangan. Teror itu hanya untuk teror. Yang dianggap penting,
orang takut kepada mereka, cemas pada ulah mereka, dan mengakui mereka dewa pemetik
maut tanpa hak yang nyata. Mereka dewa tanpa hak. Jadi jelas, bukan dewa.
MOHAMAD SOBARY
Esais; Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi,
dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan. Email:
dandanggula@hotmail.com
23. 23
Buaya Versus Budaya dan Humaniora
21-01-2016
Humaniora berasal dari kata bahasa Latin humanus-humana-humanum, yang harfiah berarti
manusiawi. Dalam bahasa cakap sehari-hari merupakan watak manusia.
Maka kata “humaniora” lalu memuat makna usaha untuk menjadi lebih manusiawi karena
superlatif kata sifat lebih manusiawi termuat di dalamnya ketika ditaruh dalam konteks
pendidikan. Pendidik dan filsuf Indonesia Driyarkara menggunakannya dalam dua ranah.
Ranah pertama untuk menunjuk proses pendidikan sebagai proses memanusiakan manusia
dalam pendidikan anak muda. Sehingga cita-cita yang mau dituju dan dicapai untuk
pendidikan anak muda agar ia semakin manusiawi dengan proses memanusiakan manusia.
Ranah kedua, Driyarkara menunjuk wilayah sosialitas manusia yang ia cita-citakan sebagai
lawan dari kondisi sosial hubungan antar manusia yang karena dimotori oleh hasrat
menguasai dan nafsu ekonomis dan politisnya oleh Thomas Hobbes berciri saling mengerkah,
seperti serigala yang berebut makanan yaitu homo homini lupus. Maka Driyarkara menunjuk
sosialitas manusia lawan (antitesis) keadaan saling mengerkah, menggigit, membunuh
sebagai binatang (serigala) itu dalam relasi saling bersahabat manusia, yaitu homo homini
socius: manusia adalah kawan, atau rekan di dunia ini. Ke mana? Menuju kesejahteraan,
menuju kebahagiaan dalam hubungan sosial mereka.
***
Pendidikan anak muda diproses untuk mengutuhkan atau mengintegrasikan unsur-unsur fisik
manusia, raganya dengan sisi-sisi biologisnya dalam hominisasi. Sedangkan dimensi jiwa
atau olah batin diproses dalam humanisasi. Humanisasi adalah proses pendidikan yang terus-
menerus untuk mengolah pengalaman menghayati kehidupan, penyerapan dan pembatinan
(internalisasi yang berharga dan yang bernilai dalam hidup ini) agar manusia semakin
berharkat dan bermartabat dalam kemanusiaannya.
Humanisasi agar manusia semakin manusiawi atau humaniora ini, lalu menjadi usaha
sederhana langkah-langkah kecil bersahaja sebagai laku untuk gaul bersama atau srawung:
komunikasi interpersonal sebagai sesama kawan dengan perbedaan watak dan tetap
memperjuangkan hormat pada keunikan masing-masing orang agar lebih human, lebih
manusiawi.
Di mana proses gaul bersama atau srawung ini mewujud dan dirajut? Dalam ranah budaya
sebagai ranah yang benar, yang baik, yang indah dan yang suci dari kehidupan ini yang
secara canggih dirumuskan sistematis logis sebagai sistem nilai. Dan yang sehari-hari
24. 24
dihayati tanpa potensi merumus-rumuskan rasional merupakan arti hidup. Di sinilah untuk
orang-orang biasa setiap tindakan atau laku hidupnya yang diberi makna, itulah kebudayaan.
Kalau tindakan atau perilakunya masih didorong oleh hasrat kuasa, naluri hominisasi, maka
Driyarkara dengan cerdik menamainya tindakan kebuayaan. Ia meski orang tetapi tingkah
laku sebagai buaya. Kebuayaan ini musuh-musuh yang harus diproses agar menjadi
kebudayaan. Oleh karena itu dengan mengambil logika sejajar alias analogi antara kebuayaan
(dari “buaya”) versus kebudayaan (dari kata “budaya”).
Perumus dan pemikir dua cara hidup yang berlawanan ini dilanjutkan sebagai cara hidup mau
memiliki semuanya secara tanpa batas alias serakah yaitu having (pemilikan) dan yang kedua
adalah cara hidup menghayati makna esensi keberadaan atau being Inilah Erich Fromm yang
membagi dua cara manusia menghayati hidup. Dari mana Erich Fromm menimba dua cara
hidup ini?
Sigmund Freud-lah yang menjadi sumber pengembangannya lantaran psikologi bawah sadar
dan kesadaran hasil psikoanalis Freud menemukan empiris dari para pasien-pasiennya, bahwa
terdapat dua naluri kehidupan manusia yang menyumberinya yaitu naluri untuk hidup (eros)
dan naluri untuk menghancurkan hidup (thanatos). Oleh karena itu pula dua rajutan
kebudayaan sebagai konsekuensi dua naluri ini adalah life culture (budaya yang
memperjuangkan, merawat hidup) dan death culture: budaya yang antikehidupan alias
meniadakan, merusak hidup.
***
Ketika pendidikan digarap, dikembangkan dan dikonstruksikan tidak hanya untuk
menyediakan ruang-ruang yang lebih menciptakan life culture daripada death culture, maka
di sana pertanyaan kunci mendasar untuk pilihan arah pendidikan humaniora adalah siapakah
si subyek sekaligus obyek proses memanusiakannya agar semakin manusiawi?
Bila ranah pendidikan mengutamakannya sebagai obyek pendidikan dan pandangan
manusianya adalah ia harus didisiplinkan, ditanami yang baik, yang benar secara penuh keras
dan disiplin karena asumsi antropologisnya ia adalah buaya, maka model-model pendidikan
spartan yang keras, fisik dan komandolah yang akan diambil seperti riwayat asal pendidikan
klasik ala Sparta Yunani.
Namun bila manusia dipandang sebagai subyek, pelaku yang sudah mengolah sendiri dari
budayanya nilai-nilai, maka model pendidikan kebidanan Socrates-lah yang diterapkan. Inti
pendidikan kebidanan atau maiutike tekhne adalah asumsi antropologis bahwa tugas
pendidikan adalah seperti bidan yang menyiapkan, mengondisikan ruang bersalin optimal
bagi lahirnya bayi. Dalam menyiapkan lahirnya dan pencarian kebenaran hidup, guru
mengajak terus dengan pertanyaan-pertanyaan mendasar pada murid sampai ia sendiri
melahirkan kebenarannya.
25. 25
Ketika budaya diartikan tegas sebagai daya atau kekuatan budi dan budi dimaknai sebagai
hanya pikir serta dilupakan makna-makna mata budi sebagai mata batin pengolah apa-apa
yang dihayati dengan indra-indranya apalagi dilupakannya makna budi sebagai ranah nurani
tempat penderahan kebenaran hidup, maka akibatnya terjadi reduksionisme (pemikiran)
pemaknaan budi hanya pada rasionalitas lalu pengetahuan kognitif atau rasionalitas daya
pikir nalar belaka.
Herankah kita bila ketegangan proses pendidikan berada dalam dua pendulum pembuayaan
versus pembudayaan? Yang dalam puncak ekstremnya dua proses menjadi hasil akhir
pembudayaan untuk pendidikan humaniora semakin manusiawi dengan puncaknya yaitu
keadaban. Sedang pembuayaan yang terus dikejar akhirnya menjadi kebiadaban. Yang
pertama karena daya budi life culture membuahkan kemartabatan. Yang kedua dengan
sumber death culture membuahkan kematian.
***
Dari paparan di atas saya ingin mengerucutkan dalam urai pentingnya pendidikan
kebudayaan sebagai daya dari budi yang dengan kesadarannya mampu memilah nilai-nilai
pro-life (life culture) dan death culture (anti-kehidupan). Ketika manusia dengan kesadaran
budi (dan mata nurani) serta berdaya untuk diberi ranah pengembangannya agar semakin
manusiawi, maka pendidikan kesadaran diperlukan sebagai penyadaran untuk membereskan
sisi-sisi kebuayaan (buaya)nya atau dorongan-dorongan anti kehidupan alias thanatos-nya.
Inilah yang diajakkan pada penyediaan ruang-ruang hidup pondok, seminarium (ada interaksi
saling mencontoh antara guru dan murid karena tingga bersama dalam menghayati ruang
hidup bersama) yang oleh Ki Hajar Dewantara dengan Taman Siswanya dinamai pawiyatan.
Ki Hajar dengan jernih menunjuk ranah pendidikan adalah seperti ranah sawah dari paman-
paman tani (ada lagunya) untuk menabur benih padi sebagai keunikan subjek murid yang
beda perawatannya dengan jagung atau kayu jati (simbolik murid-murid dengan watak-
wataknya yang unik). Maka laku pendidikan menjadi saling mengasuh, saling mengasah dan
saling mencerdaskan demi kehidupan.
Guru dalam sosialitas dengan murid-murid sehari-hari, lalu hadir berperan sebagai: ing
ngarso sung tuladha (di depan dijadikan teladan); ing madya mangun karsa (di tengah
medayakan tumbuhnya kehendak); dan ing wuri (tut wuri) handayani (di belakang memberi
penguatan, mendorong menguatkan. Bukankah senafas dan sama ruh-nya dengan homo
homini socius-nya Driyarkara? Bukankah sesemangat yang serupa dengan proses
pembidanan maieutike tekhne?
Untuk menutup tulisan ini, ketika “humaniora” sebagai kata kerja budaya untuk memberi
makna dalam kebersamaan kita yang bineka dan ika di Indonesia, maka humaniora lalu
menjadi tindakan-tindakan (laku hidup) untuk memberi dimensi manusiawi dalam proses
pembuatan ranah-ranah pendidikan, pembuatan struktur, penciptaan rumah-rumah budaya
26. 26
agar tiap warga masyarakat semakin dihormati dalam harkatnya karena ia adalah manusia. Ia
tak boleh dijadikan obyek atau alat untuk mencapai tujuan.
Humaniora di ranah hukum adalah keadilan. Humaniora di ranah ekonomi adalah
pemerataan. Di ranah sosial kebudayaan adalah sejahtera. Manusia sebagai manusia yang
terus diperjuangkan karena ia berharkat dan bermartabat, lantaran ia gambar Allah sendiri,
citra agung-Nya untuk pria dan citra ayu-Nya untuk perempuan.
Dan betapa dahsyat pengalaman sejarah kita sebagai bangsa lantaran para pendiri bangsa
dengan kesadaran matangnya sadar budi dan nuraninya kalau perjuangan humaniora ini
mustahil tanpa kemerdekaan. Lebih dahsyat lagi karena para pendiri bangsa menyadari
kemerdekaan kita sebagai berkat dan rahmat Tuhan Allah sumber dan pencipta
kehidupan. Lihatlah itu ditulis mendalam dalam preambul (mukadimah UUD 1945).
Semoga ikhtiar pendidikan kita penuh dengan kesadaran historis dan humaniora ini. Dan juga
lupa-lupa memori kita harus setiap kali dibangunkan!
MUDJI SUTRISNO SJ
Guru Besar STF Driyarkara; Dosen Pasca Sarjana UI; Budayawan
27. 27
Kontranarasi Kelompok Ekstremis
21-01-2016
Setelah diblokir Kemenkominfo, blog milik Bahrun Naim, terduga pemimpin aksi teror di
Jalan MH Thamrin, muncul kembali di dunia maya dengan domain baru dan dapat diakses
publik.
Dalam update terbarunya tertanggal 18 Januari 2016, terdapat dua tulisan. Satu tulisan Naim
bertajuk ”Nasihat untuk Penonton” merupakan respons pertamanya atas serangan kepada
target yang ia sebut sebagai ”thagut Indonesia”, yaitu Polri. Tulisan berikutnya, masih di
tanggal yang sama, bertajuk ”4 Strategi Gerilya Kota”, merupakan seruannya kepada kaum
”muslimin muwahhidin”—satu nama lain yang sering diidentikkan dengan kelompok
berideologi wahabi—untuk melakukan 4 taktik menyerang ”anshar thagut” (pelindung
thagut): membunuh, menangkap, mengepung, dan mengintai.
Dua tulisan yang mengandung pesan ekstrem karena penuh warna dan ajakan melakukan
kekerasan tersebut menyeruakkan rentannya dunia maya yang dapat disalahgunakan oleh
kelompok ekstremis. Lebih jauh, dengan semakin banyaknya pesan berbau ajakan pada
ekstremisme dan radikalisme ini, muncul perhatian kita tentang perlunya kesadaran
masyarakat agar berhati-hati dalam mencerna narasi berbahaya mereka.
ISIS dan Dunia Maya
Jika ada sebuah inovasi yang pernah dilakukan kelompok radikal pasca-serangan 11
September 2001 di World Trade Center (WTC), New York, itu adalah pemanfaatan dunia
maya sebagai alat menyebarkan ideologi mereka, termasuk sarana perekrutan dan
radikalisasi. Sifat dunia maya yang bersifat murah, berjangkauan luas, tanpa batas dan
interaktif seakan menjadi nilai tambah bagi kelompok ekstrem untuk memperoleh anggota—
atau setidaknya— simpatisan baru.
Kelompok Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) misalnya memang sudah terbukti dapat
memanfaatkan sarana media baru ini dengan efektif. Data dari Brooking Institute yang dirilis
2015 lalu mengungkapkan fakta-faktanya. Dalam empat bulan (September-Desember 2014),
terdapat 46.000 akun media sosial Twitter yang terafiliasi ke ISIS. Dari total angka tersebut,
arus deras tweets muncul dari sekitar 500-2.000 akun. Data tersebut juga mengungkap bahwa
setiap akun terafiliasi ISIS tersebut setidaknya memiliki 1.000 pengikut (follower).
Tak hanya lewat media sosial, ISIS juga memanfaatkan beragam situs (website) untuk
menyebarkan ideologinya. Fox News pada 12 Januari 2016, mengutip mantan Direktur Badan
Intelijen Amerika Serikat (CIA) Michael Morell, melaporkan bahwa perkembangan situs-
28. 28
situs terafiliasi ISIS jauh melebihi situs-situs pada era Al-Qaeda pimpinan Osama bin Laden.
Walaupun tidak mengungkap angka pasti, Morell menyebut bahwa situs-situs ISIS tersebut
dapat menjangkau setidaknya 20 negara dalam periode satu tahun ini saja.
Cognitive Opening
Terorisme dapat muncul jika terdapat tiga hal ini: terdapat sosok yang teralienasi (alienated
individual), legitimasi ideologi (legitimized ideology), dan lingkungan yang
memungkinkannya menjadi radikal (enabling environment). Dalam konteks ini, media baru
dikatakan paling bertanggung jawab pada aspek penyebaran pesan-pesan yang dapat menjadi
legitimasi ideologi mereka.
Menelaah lebih jeli pesan-pesan kelompok ekstremis yang tersebar melalui dunia maya,
termasuk blog yang ditulis Naim, selalu ada sebuah narasi penggugah emosi yang menurut
istilah Eroll Southers (2013) sebagai cognitive opening atau pembuka nalar. Cognitive
opening ini merupakan sebuah episode peristiwa atau pengalaman yang melecut
keluhan/penderitaan (grievances) personal sehingga seseorang jadi lebih rentan tertular untuk
menerima ideologi ekstrem. Bentuk keluhan/penderitaan ini misalnya pertentangan identitas,
ketidakadilan, situasi tertindas dan termarginalkan atau lainnya.
Karena itu, tidaklah mengherankan bila Naim dalam pesan ajakan melakukan kekerasannya
berangkat tidak hanya dari menyitir (dengan interpretasi yang keliru tentunya) ayat suci
Alquran sebagai ”narasi teologis”, tetapi ia juga mencoba memaparkan ”narasi politik” yang
klasik bahwa umat Islam sedang dalam episode grievances seperti di Palestina, Irak, Suriah,
Somalia, Pattani, dan Moro (Filipina).
Ia juga tak segan berargumen dengan memainkan ”narasi historis” bahwa pemerintah
”sekuler” Republik Indonesia (termasuk aparat TNI/Polri) sebagai pihak musuh yang dari
dulu selalu berusaha menghalangi ”perjuangan sakral” kaum mereka membentuk daulah
Islamiah dan terus menangkapi dan ”membunuh” rekan-rekan mereka. Terakhir, Naim lalu
mengelaborasi sebuah ”narasi instrumental”, yaitu menawarkan betapa ”efektifnya” metode
kekerasan untuk mencapai tujuan mereka, lewat ”4 Strategi Gerilya Kota ”.
Literasi Digital
Perkembangan teknologi dunia maya di Indonesia saat ini tengah berkembang pesat. Dari
data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJI) pada 2015, jumlah pengguna
internet di Tanah Air mencapai angka 88,1 juta. Dari angka tersebut, menariknya, 49%-nya
berusia 18-25 tahun dan 33,8% lagi merupakan usia 26-35 tahun. Lebih lanjut dua aktivitas
yang paling banyak dilakukan pengguna internet di Indonesia adalah untuk bermedia sosial
(87,4%) dan berselancar (68,7%).
Kondisi demografi ini ditambah aspek latar belakang religius-historis menjadikan pengguna
internet Indonesia menjadi sasaran strategis kelompok radikal dalam menjaring simpatisan
29. 29
yang dapat berakhir sebagai teroris homegrown. Oleh karena itu, upaya-upaya countering
violent extremism (CVE ) juga perlu menyasar pada palung dunia maya. Apalagi upaya
pemblokiran sudah terbukti tidak efektif. Strategi kampanye dalam jaringan harus disusun
dengan matang dengan pelibatan beragam peran konstruksi pesan yang pas dan medium yang
tepat.
Dalam beberapa model best practices terkait dengan upaya CVE via internet, strategi
kontranarasi dapat dilakukan dengan menerapkan tiga hal berikut: pesan, penyampai pesan,
dan strategi media daring. Mengenai pesan, perlu sebuah kajian detail mengenali narasi-
narasi mereka sebelum membentuk kontranarasi untuk mematahkan segala klaim dan
pernyataan mereka.
Sementara dalam perspektif penyampai pesan diperlukan aktivasi peran aktor-aktor atau
meminjam istilah Gidden (2011) ”struktur agen” yang jelas. Melembaganya secara kultural
historis nilai-nilai Islam Nusantara sebagai praktik sosial dalam elemen-elemen masyarakat,
misalnya, menjadi sebuah struktur nilai dan ideologi kuat hingga dapat memandu para agen
berpengaruh/influencer (pemuda, santri, ulama) menjadi ”satu suara” menentang ideologi
ekstrem.
Terakhir, mengenai strategi media baru, tidak semua agen (tokoh agama dan institusi
masyarakat keagamaan, santri, dan masyarakat secara umum) memiliki waktu dan kapasitas
dalam hal new media outreach (termasuk media sosial). Program peningkatan strategi
komprehensif atas leadership and new (social) media capacity perlu digagas.
Lebih dari itu, pemberdayaan dan pembekalan para agen berpengaruh lewat riset dan
informasi serta pembangunan jaringan media sosial oleh para pegiat kampanye CVE akan
menjadi jaminan lahirnya kontranarasi efektif yang makin menyempitkan ruang pengaruh
kelompok ekstrem di dunia maya.
AMBANG PRIYONGGO, MA
Dosen Universitas Multimedia Nusantara; Anggota Tim Program Countering Violence
Extremism (CVE) Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT)
30. 30
Pesantren
22-01-2016
Sejak awal mula, pesantren merupakan pusat pendidikan keagamaan di daerah perdesaan
yang dipimpin seorang kiai.
Dari segi bahasa, kata “pesantren” dan “kiai” yang berasal dari bahasa Sansekerta sudah
menunjukkan produk akulturasi budaya Islam dan Hindu. Santri artinya pelajar, tempatnya
disebut pesantren. Lembaga pendidikan pesantren memiliki keunikan tersendiri yang masih
bertahan sampai hari ini. Di situ ada figur sentral yang disebut kiai, bagaikan sumber mata air
keilmuan yang menarik para santri berdatangan dan tinggal di asrama berdekatan dengan
rumah kiai.
Di zaman penjajahan, pesantren merupakan basis perlawanan terhadap penguasa, baik karena
alasan agama maupun membela Tanah Air. Penjajah Belanda waktu itu diidentikkan dengan
orang kafir (Kristen) dan pesantren di mata penjajah diposisikan sebagai basis perlawanan
umat Islam terhadap penguasa.
Oleh orang kota, komunitas pesantren sering kali dipersepsikan sebagai orang kampungan
karena memang lahir dan besar di kampung, bahkan belajarnya juga di kampung. Oleh orang
kota, mereka dianggap tidak terpelajar—padahal kata “santri” itu sendiri berarti pelajar—
hanya karena orang pesantren waktu itu umumnya buta huruf dan buta bahasa Eropa. Di
pesantren yang dipelajari hanyalah kitab-kitab klasik berhuruf Arab yang kertasnya sudah
menguning sehingga populer dengan sebutan kitab kuning, yaitu kitab keagamaan yang
dikarang oleh ulama klasik.
Mayoritas pesantren dimiliki kiai yang berafiliasi kepada Nahdlatul Ulama. Adapun
Muhammadiyah lebih fokus membangun lembaga pendidikan model sekolah yang
kebanyakan didirikan di perkotaan sehingga warga Muhammadiyah sering dipersepsikan
sebagai orang-orang modernis dan warga NU sebagai orang-orang tradisionalis. Lembaga
pendidikan Muhammadiyah dimiliki oleh perserikatan, sedangkan lembaga pesantren
umumnya dimiliki oleh pribadi kiainya.
Seiring dengan perkembangan zaman, dunia pesantren banyak mengalami perubahan.
Pembedaan dikotomis pemahaman keagamaan antara warga Muhammadiyah dan NU juga
mengarah pada konvergensi. Dunia pesantren mulai mengadopsi sistem sekolah, sementara
beberapa sekolah Muhammadiyah mengadopsi sistem pesantren meskipun jumlahnya lebih
banyak pesantren yang mulai memberlakukan sistem sekolah di pagi harinya.
Karena ciri pesantren ditandai dengan adanya sosok kiai, kualitas dan popularitas kiai sangat
31. 31
menentukan terhadap kualitas dan popularitas pesantrennya. Kurikulum pendidikan pesantren
berlangsung selama 24 jam di bawah pengawasan dan bimbingan kiai dan para pembantunya
yang disebut ustaz atau guru. Model pendidikan seperti itulah yang saya masuki setelah tamat
SR (sekolah rakyat), yaitu Pondok Pesantren Pabelan, Magelang, Jawa Tengah. Lokasi
pesantren itu hanya 10 menit bila ditempuh dengan berjalan kaki dari rumah saya.
Sebelum masuk pesantren, ayah saya menyuruh belajar pertukangan kayu di STK (Sekolah
Teknik Kanisius) Muntilan. Namun tidak sampai setahun saya keluar karena merasa kurang
tertarik, di samping mesti jalan kaki ke kota. Ketika almarhum Kiai Hamam Ja’far membuka
Pesantren Pabelan pada 1965, saya bersama 28 santriwan-santriwati berbaur di kelas yang
sama, merupakan santri angkatan pertama. Pusat belajar kami di serambi masjid, dilengkapi
meja dan bangku layaknya sebuah ruang kelas. Meski begitu kami belajar sangat serius.
Para guru atau ustaz masuk kelas dengan mengenakan dasi. Kami belajar sangat disiplin.
Malam hari pun kadang ada kelas. Setidaknya ada jam wajib belajar. Hidup di pesantren dari
bangun tidur sampai mau tidur diatur dengan jadwal.
Beberapa nilai pesantren yang merupakan living values serta selalu dijaga dan ditaati adalah,
pertama, persaudaraan. Bayangkan saja, setiap hari 24 jam berkumpul, belajar, dan hidup
bareng selama beberapa tahun, maka terbentuk suasana persaudaraan yang akrab. Di
pesantren pantang terjadi perkelahian. Risikonya dikeluarkan.
Kedua, kesederhanaan. Di pesantren tumbuh suasana hidup sederhana. Santri dikondisikan
untuk merasa malu kalau bermewah diri melebihi saudaranya yang lain dengan
membanggakan kekayaan orang tuanya.
Ketiga, cinta ilmu. Belajar di pesantren tidak ditanamkan untuk mengejar ijazah. Kalaupun
ada ujian, itu bagian dari belajar, bukan belajar untuk lulus ujian. Oleh karenanya di
pesantren mencontek itu aib besar.
Keempat, berwawasan luas. Kami diajari untuk menatap kehidupan lebih luas karena
panggung kehidupan yang telah menanti tidak sebatas ruang kelas. Dunia itu luas, isinya
sangat beragam. Jangan mudah kagetan (terkejut), jangan mudah gumunan (silau dan
kagum), jangan mudah membenci.
Kelima, mandiri. Di pesantren kami selalu diingatkan agar bisa dan berani hidup di atas kaki
sendiri. Jangan bermental lembek, selalu ingin mencari sandaran dan belas kasih orang.
Pekerjaan apa pun mulia di mata Allah asal halal dan tidak merepotkan orang lain.
Keenam, ikhlas. Jalanilah hidup dengan ikhlas, jangan ciut hati ketika dicela dan dikritik,
jangan pula lupa diri ketika dipuji. Setialah pada hati nurani karena hati nurani penghubung
terdekat kepada Allah.
32. 32
Demikianlah, angkatan pertama santri Pondok Pabelan hanya bertahan empat tahun yang
semuanya memang berasal dari Desa Pabelan. Satu-satu selepas itu keluar. Ada yang bekerja
sebagai kusir andong, ada yang bertani, berjualan martabak di kota, menjadi sopir truk,
kondektur bus, membantu administrasi pesantren, jadi ibu rumah tangga, dan lain-lain.
Saya sendiri lalu pindah meneruskan ke Madrasah Aliyah Al-Iman, Muntilan. Saya hanya
setahun di sekolah yang baru ini semata untuk mendapatkan ijazah setingkat SLTA. Tanpa
ijazah SLTA saya tak mungkin diterima sebagai mahasiswa. Terima kasih pesantren, kau
laksana ibu kandungku yang telah mendidik dan membesarkan diriku.
Saya sedih dan prihatin ketika ada beberapa teroris yang membawa-bawa nama pesantren,
padahal setahu saya para kiai itu sangat menekankan kedamaian, kerukunan, dan keramahan
sekalipun terhadap mereka yang bukan muslim. Justru karena sikap kiai yang seperti itu, dulu
Islam sangat mudah diterima masyarakat perdesaan di Pulau Jawa yang semula beragama
Hindu-Buddha atau penganut kepercayaan lokal.
PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
@komar_hidayat
33. 33
Dilema Konstitusional Gafatar
23-01-2016
Bayangkan ini. Mbok Supri diusir dari rumah dan kampungnya karena dituduh berbuat
mesum dengan suami orang. Padahal, dia tak punya rumah lain dan tak punya sanak saudara.
Alangkah buruk dan mengerikan jika ada orang atau sekelompok orang diserang dan diusir
dari rumahnya, padahal dia tidak punya tanah lain atau tempat lain yang bisa menampungnya.
Mau ke mana orang yang seperti itu? Mengeluh dan meminta tolong pun tidak ada yang
menghiraukan.
Itulah sebabnya kita sangat kaget ketika meluas berita bahwa pengikut Gerakan Fajar
Nusantara (Gafatar) di Kalimantan Barat diusir dari kediamannya, bahkan ada yang
rumahnya dibakar. Tetapi, sebelum itu kita kaget juga dan sangat kesal ketika tahu bahwa
Gafatar merupakan organisasi ”sesat” yang mengatasnamakan agama, sangat merusak,
bahkan membahayakan sehingga kita menjadi paham jika banyak orang yang marah atau
emosional terhadap para pengikut Gafatar.
Masalahnya memang sangat dilematis. Mengapa? Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) memberikan jaminan kepada setiap orang untuk memilih
tempat tinggal sesuai dengan kehendaknya sendiri. Hal itu diatur di dalam Pasal 28E Ayat (1)
UUD 1945 yang berbunyi, ”Setiap orang berhak memeluk agamanya, memilih pendidikan
dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di
wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali”.
Berita penyerangan, pembakaran rumah-rumah, dan pengusiran terhadap anggota Gafatar
oleh sekelompok warga masyarakat jelas melanggar hak asasi manusia sebagaimana telah
dipatri di dalam Pasal 28E UUD kita. Pematrian itu meniscayakan negara memberi
perlindungan kepada setiap orang yang mengalami pengusiran.
Kita tak dapat membayangkan betapa buruk dan mengerikan nasib orang yang diusir dari
tempat tinggalnya, sementara dia tak mempunyai tempat lain yang bisa ditinggali. Dalam
kasus (bekas) anggota-anggota Gafatar misalnya, ada yang sudah menjual semua lahan yang
dimilikinya di Jawa (daerah asalnya) dan uangnya sudah dibelikan lahan baru di daerah lain.
Sekarang mereka diusir secara beramai-ramai dari lahan sempit satu-satunya yang mereka
miliki dan tinggali. Mau ke mana mereka? Siapa pun akan merasa ngeri menghadapi
persoalan berat yang seperti itu karena mereka bukan hanya hidup tak nyaman, tetapi juga tak
aman. Kita mendirikan negara merdeka agar tidak ada lagi di negeri ini orang hidup tersiksa
karena tak punya tanah dan tak punya harapan.
34. 34
Tetapi, dari sisi lain kita mencatat juga bahwa Gafatar merupakan perkumpulan sesat yang
membahayakan dan mengancam. Mungkin dengan berpedoman pada konstitusi bahwa setiap
orang bebas memeluk agama kita tidak boleh merepresi pengikut Gafatar. Tetapi, gerakan
mereka yang sangat menentang kemanusiaan memang bisa dilawan oleh banyak orang sebab
langkah-langkah mereka bukan hanya merugikan mereka sendiri, tetapi juga merusak orang-
orang lain yang dirayunya dengan penuh kesesatan.
Bayangkan saja, banyak orang yang harus menghilangkan diri demi perjuangan yang
diajarkan oleh Gafatar. Banyak orang yang hilang dan pergi meninggalkan keluarganya, oleh
Gafatar diajak berjuang dengan memaksa pergi diam-diam dari suami atau istrinya. Gafatar
juga memaksa anak dipisahkan dari orang tuanya. Katanya demi perjuangan suci.
Pada sisi yang lain lagi harus diingat pula bahwa banyak orang yang ikut Gafatar karena
keadaan ekonomi kita yang buruk, timpang, dan tidak berkeadilan. Mereka tidak memahami
keadaan, tetapi tidak mampu menanggung beban. Mereka terperangkap untuk mencari jalan
baru atau membuat jalan sendiri untuk mengatasi persoalan-persoalan berat yang dihadapi
dalam hidup sebagai bangsa.
Kita sama sekali tidak setuju pada tindakan anarkistis masyarakat yang beramai-ramai
menyerang dan mengusir anggota Gafatar karena hal itu jelas-jelas bertentangan dengan rasa
kemanusiaan dan melanggar konstitusi. Tetapi, pada sisi lain kita paham atas munculnya
kemarahan masyarakat terhadap pengikut Gafatar karena ajaran keyakinannya yang
merusak.
Ada dilema. Karena, selain memberikan perlindungan terhadap setiap orang untuk memeluk
agama masing-masing, konstitusi juga melarang setiap orang merusak kehidupan masyarakat
karena hak asasi orang per orang tak bisa dilaksanakan secara terpisah dari hak masyarakat.
Itulah sebabnya bahasa yang dipergunakan dalam konteks kebebasan beragama dalam
konstitusi kita adalah ”toleransi beragama yang berkeadaban”.
Itu juga yang dikatakan oleh Bung Karno dalam pidato di depan Badan Penyelidik Usaha-
usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) tanggal 1 Juni 1945. Dalam konteks ini
kita menjadi paham, mengapa pada 1965 Presiden Soekarno mengeluarkan Penetapan
Presiden Nomor 1 Tahun 1965 yang kemudian dikukuhkan menjadi UU No. 1/PNPS/1965
yang berintikan larangan penistaan atau penodaan agama.
Kita memahami pembentukan penpres yang kemudian dikukuhkan menjadi UU tersebut
didasarkan pada pandangan agar tidak ada orang dengan seenaknya melahirkan ajaran yang
kemudian disebutnya sebagai agama, padahal ajaran yang disebut agama itu menyempal,
menodai, dan merusak ajaran pokok dari agama yang sudah ada.
UU tersebut penting justru untuk melindungi warga negara dari tindakan main hakim sendiri
oleh warga masyarakat lain yang merasa keyakinannya dirusak. Kita harus mendorong dan
mendukung pemerintah untuk menyelesaikan masalah Gafatar ini dengan berpijak pada
36. 36
Indonesia di Tengah Shame dan Guilt
Culture
23-01-2016
Pengunduran diri Dirjen Pajak Sigit Pramudito dan Dirjen Perhubungan Darat Djoko Sasono
belum lama ini menarik perhatian dan mendapat apresiasi banyak orang. Sebab, peristiwa ini
masih sangat langka di negara kita.
Padahal, memang inilah yang sesungguhnya diharapkan, ditunggu-tunggu, dan sekaligus
dihargai masyarakat Indonesia. Alasannya sangat sederhana, namun mendasar yaitu merasa
kinerja mereka gagal dan itu harus dipertanggungjawabkan kepada atasan masing-masing dan
masyarakat. Tidak terpenuhinya setoran pajak 2015 yang ditargetkan Rp1.294 triliun dan
salah prediksi kemacetan saat liburan panjang akhir tahun kemarin itulah pertimbangan dan
alasannya.
Dua pejabat tersebut tentu layak menjadi panutan bagi siapa saja penyelenggara negara yang
mengemban jabatan dan memikul tanggung jawab yang diberikan. Mereka mengaku bersalah
sebelum orang lain memutuskan bahwa mereka salah. Mereka mundur atas kesadaran sendiri
sebelum orang atau pihak lain melengserkan, bahkan mungkin secara paksa.
Pengunduran diri mereka itu saat ini memang mengejutkan banyak pihak. Namun, tentu ke
depan tidak lagi apabila semakin banyak pejabat pemerintah yang sadar dan betul-betul
menunjukkan moral dan etika yang baik serta amanah yang memang harus
dipertanggungjawabkan kepada publik dan negara.
Pengunduran diri pejabat yang tidak kapabel dan bersalah sekaligus meningkatkan apresiasi
masyarakat kepada pemerintah. Cita-cita Presiden Joko Widodo yang ingin menciptakan
pejabat pemerintah yang bersih dan berwibawa tentu akan lebih mudah dicapai.
Tanggung Jawab Moral
Dalam dunia birokrasi, baik di pemerintahan, korporasi, ataupun institusi lainnya, tanggung
jawab baik secara hukum maupun moral merupakan sesuatu yang mutlak, namun pada
kenyataannya memang mahal dan tidak gampang didapatkan. Mudah diucapkan, namun sulit
dilaksanakan. Ia tampil sebagai semboyan dan diagung-agungkan, tetapi sering terlupakan
atau dilupakan karena kepentingan satu atau berbagai pihak.
Dennis F Thompson (1980) menyebutnya ”the problems of many hands.” Pada birokrasi
pemerintahan situasinya lebih tidak mudah karena biasanya sulit menentukan atau melacak
37. 37
siapa yang harus dan pantas memikul tanggung jawab tersebut. Yang sering terjadi justru
muncul atau dimunculkan ”aktor” yang menjadi ”korban” yang harus memikul tanggung
jawab pihak lain.
Apakah pengunduran diri pejabat karena merasa gagal dalam menjalankan tugasnya sudah
menjadi tren di Indonesia? Jawabannya belum. Namun, sejarah mencatat bahwa memang ada
sejumlah pejabat yang menunjukkan tanggung jawabnya dengan cara mundur karena merasa
gagal, menilai diri tidak pantas lagi, serta untuk kepentingan publik dan negara. Mereka di
antaranya Wakil Gubernur DKI Jakarta Prijanto, Wakil Bupati Kabupaten Garut Dicky
Candra, dan Dirjen Pemasyarakatan Kemenkumham Handoyo Sudrajat.
Contoh terakhir adalah Setya Novanto yang mundur dari ketua DPR RI meski peristiwa ini
penuh politisasi dalam proses yang panjang. Sedikit memang. Padahal, masyarakat menilai
dan melihat begitu banyak pejabat publik di Indonesia yang sudah terang-terangan gagal atau
tidak pantas lagi menjabat justru dengan segala cara berusaha mempertahankan posisi,
kedudukan, dan kekuasaan mereka.
Di berbagai negara lain di dunia, pengunduran diri pemimpin dan pejabat karena merasa
gagal melaksanakan tugas sangat banyak terjadi. Misalnya, Perdana Menteri Korea Selatan
Chung Hong-Won mundur karena insiden tenggelamnya kapal feri Sewoul. Wali Kota
Bucharest di Rumania, Cristian Popescu Piedone, karena puluhan orang tewas akibat
kebakaran di sebuah klub malam. PM Jepang Yukio Hatoyama karena tidak mampu
memenuhi janji kampanye untuk menutup pangkalan militer Amerika Serikat di Okinawa.
Menteri Pendidikan Jerman Annette Schavan melakukan pelanggaran akademis, plagiarisme.
Sebetulnya tugas dan tanggung jawab, baik secara hukum maupun moral, bagi seorang
pejabat publik sudah ditegaskan dengan jelas dan terang benderang saat mulai memegang
jabatan. Hukum dan etika mengaturnya dengan baik. Janji-janji yang diucapkan dalam
sumpah jabatan bahkan telah menggariskan tugas-tugas dan memagari tindak tanduk seorang
pejabat.
Profesor Mao Shoulong dari Universitas Renmin di Beijing mengatakan, seorang pejabat
publik harus bisa memikul tanggung jawab melalui empat aspek. Pertama, tanggung jawab
moral seperti jatuhnya banyak korban atau menyebabkan penderitaan pada rakyatnya. Kedua,
tanggung jawab politik terhadap partai yang berkuasa (ruling party) dan pemerintah. Ketiga,
tanggung jawab demokrasi kepada rakyat dan konstituen yang memilihnya. Keempat,
tanggung jawab hukum, yang menetapkan terjadi atau tidak kelalaian dan pelanggaran hukum
dalam menjalankan tugas.
Setiap pejabat harus mengemban penuh tugas dan tanggung jawab mereka dengan
baik. Namun, dalam perjalanannya, sering terjadi konflik antara kewajiban hukum dan
moralitas. Keduanya tidak dapat bersanding, apalagi berdamai. Sehingga, dalam berbagai
situasi genting, Gutman dan Thompson dalam Sheppard (2009) mengatakan, pilihan untuk
mengundurkan diri dinilai satu-satunya jalan yang paling dapat diterima dari aspek moral dan
38. 38
institusional.
Revolusi Mental
Sebagai negara besar, tidak hanya di kawasan, Indonesia juga dilihat dengan jelas dan
telanjang serta dipanut banyak orang di dunia dalam banyak hal, termasuk perilaku pejabat,
birokrat, dan pemimpinnya. Nah, sekarang kita mulai melihat, pejabat Indonesia
mengundurkan diri. Apa sesungguhnya yang mendasari pejabat publik mengundurkan diri?
Banyak pemimpin kita yang tergolong penganut shame culture (budaya malu), namun tidak
diikuti oleh perasaan bersalah karena dibentengi oleh reputasi, hormat, gengsi, dan harga diri.
Kees Berten (2002) berpendapat bahwa bahaya terbesar yang dimiliki oleh masyarakat yang
level kebudayaannya berada pada level shame culture adalah ketika rasa malu mereka baru
muncul apabila kecacatan atau aib mereka diketahui oleh orang lain. Saat itulah mereka
merasa kehilangan muka dan harga diri jatuh.
Jika aib itu tidak diketahui orang, mereka merasa aman dan nyaman saja. Sanksi dari shame
culture datang dari luar, apa yang dipikirkan atau dikatakan oleh orang lain. Sedangkan
perbuatan jahatnya sendiri tidak dianggap penting.
Lawan dari shame culture adalah guilt culture atau budaya yang didasari rasa bersalah. Guilt
culture adalah budaya di mana sekalipun suatu kejahatan maupun kelalaian tidak diketahui
oleh orang lain, pelaku tetap merasa bersalah. Pelaku merasa tidak tenang dan sering
menyesal atas perbuatannya.
Di kalangan pejabat pemerintah, tindakan yang tidak mengandung unsur kejahatan seperti
prinsip, kewajiban, dan tanggung jawab sekalipun seorang pejabat publik tidak dapat
melaksanakan tugasnya dengan baik, juga dapat digolongkan sebagai guilt culture.
Dalam hal shame culture dan guilt culture, banyak antropolog dunia mempelajari perbedaan
budaya antara budaya Barat dan Timur. Mereka menemukan kenyataan bahwa budaya Barat
cenderung menganut guilt culture, sedangkan budaya Timur lebih dominan menganut shame
culture. Inilah yang menjadikan budaya undur diri pejabat publik di Indonesia karena
tanggung jawab moral masih mahal dan langka.
Untuk itu, ternyata memang kita sangat memerlukan guilt culture dan perubahan mental.
Revolusi mental!, canang Presiden Joko Widodo, yang harus kita dukung bersama.
VITA ALWINA DARAVONSKY BUSYRA
Dosen Ilmu Komunikasi The London School of Public Relations-Jakarta
39. 39
Komitmen Perlindungan Anak
23-01-2016
Selepas asar, suasana di Kantor Kepresidenan masih lengang. Baru beberapa pejabat negara
saja yang hadir, di antaranya Menteri Koordinator Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan
Puan Maharani, Mendikbud Anies Baswedan, dan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak Yohana Yembise. Selain saya sendiri, tentu saja.
Sore itu kami dipersilakan menunggu di ruang protokoler Istana. Beberapa jurnalis sibuk
mempersiapkan alat-alat rekam mereka di press room. Kepala Staf Kepresidenan Teten
Masduki menjelaskan, rapat terbatas akan dimulai setengah jam lagi. Seiring itu pula,
beberapa menteri hadir satu per satu.
Menko Polhukam Luhut Binsar Panjaitan tampak berjalan cepat diiringi sejumlah ajudan. Dia
mengeluarkan sapu tangan, menyeka butiran air di pelipisnya. Raut wajahnya dingin sambil
memperhatikan suasana di sekelilingnya. Kami pun bersalaman sekedar basa-basi ala budaya
ketimuran orang Indonesia.
Tak lama berselang, satu per satu para pembantu presiden berdatangan. Saat itu tepat pukul
16.00 WIB. Di antara yang hadir adalah Menko Perekonomian Darmin Nasution, Menteri
Agama Lukman Hakim Syaifudin, Menkominfo Rudiantara, Menteri Sosial Khofifah Indar
Parawansa, Menpora Imam Nachrowi, Mendes dan PDT Marwan Jafar, Menristek-Dikti M
Nasir, Mensesneg Pratikno, dan Seskab Pramono Anung. Ruangan sedikit ramai dengan
bincang-bincang para pejabat.
Tidak lama kemudian, Jokowi datang sambil menyalami kami satu per satu. Senyumnya yang
khas, melukiskan betapa antusiasnya mantan gubernur DKI Jakarta ini menerima kita semua.
Staf Kepresidenan mulai menutup pintu ruangan, menandakan rapat terbatas segera dimulai.
Tema yang akan dibahas adalah perlindungan anak, khususnya tentang maraknya tindakan
perundungan di sekolah.
Secara terminologi, perundungan adalah penggunaan kekerasan, ancaman, atau paksaan
untuk menyalahgunakan atau mengintimidasi orang lain. Perilaku ini dapat menjadi suatu
kebiasaan dan melibatkan ketidakseimbangan kekuasaan sosial atau fisik. Hal ini dapat
mencakup pelecehan secara lisan atau ancaman, kekerasan fisik atau paksaan, dan dapat
diarahkan berulang kali terhadap korban tertentu, mungkin atas dasar ras, agama, gender,
seksualitas, atau kemampuan.
Tindakan penindasan terdiri atas empat jenis, yaitu secara emosional, fisik, verbal, dan siber.
Budaya penindasan dapat berkembang di mana saja selagi terjadi interaksi antarmanusia,
40. 40
mulai di sekolah, tempat kerja, rumah tangga, hingga lingkungan.
Beberapa hari sebelumnya, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyerahkan
dokumen yang berisi data kenaikan kasus perundungan di sekolah kepada Presiden Jokowi.
Sebagai kepala negara, Jokowi pun menyatakan keprihatinannya atas fenomena ini.
Menurutnya, kekerasan di sekolah harus segera dihentikan dengan langkah-langkah konkret
dan radikal.
Kunci mengatasi kekerasan di sekolah adalah memberi edukasi pada masyarakat, keluarga,
dan anak-anak untuk bertanggung jawab dan berpartisipasi dalam mencegah kekerasan.
Dalam rapat terbatas yang langsung dipimpinnya, Rabu sore (20/1), Jokowi menyatakan
program pendidikan karakter dan budi pekerti harus digalakkan. Oleh sebab itu, Jokowi pun
memerintahkan Menteri Anies Baswedan untuk merealisasikannya di seluruh sekolah di
Indonesia.
Saya sempat terperangah dengan apa yang disampaikannya saat ratas itu. KPAI menangkap
ada semangat luar biasa yang terpancar dari sosok Jokowi. Seorang kepala negara yang
sangat mengerti arti penting perlindungan anak. Jokowi adalah seorang ayah, yang pasti
pernah merasakan rasa takut dan khawatir jika sesuatu yang buruk menimpa putra atau
putrinya. Oleh sebab itu, komitmen yang disampaikan dalam ratas itu, kemudian mewujud
pada rencananya menerbitkan Peraturan Presiden Antiperundungan di sekolah.
Ini tentu luar biasa. Mengapa? Di tengah keterbatasan KPAI untuk menyelenggarakan
perlindungan anak, Jokowi menunjukkan dukungan yang besar kepada kami. Oleh sebab itu,
melalui tulisan ini, saya mewakili lembaga menyampaikan terima kasih yang besar kepada
Presiden Jokowi yang dipilih melalui proses demokrasi yang panjang dan melelahkan.
Data primer yang masuk KPAI menunjukkan peningkatan kasus bullying di sekolah dalam
satu tahun terakhir. Banyak faktor yang menyebabkan hal itu, di antaranya pertama,
kurangnya pengawasan dari masyarakat, khususnya pihak sekolah dan orang tua terhadap
aktivitas anak selaku peserta didik. Kedua, maraknya warnet yang menyediakan game online
sehingga sangat mudah dimasuki anak-anak di bawah usia 18 tahun. Sudah bukan rahasia
lagi, jika anak-anak yang memainkan game online di warnet, mereka terbiasa mengeluarkan
kata-kata buruk dan umpatan.
Dari sini, kebiasaan itu kemudian dibawa ke sekolah dan jalin-menjalin dalam perilaku
mereka sehari-hari. Belum lagi, jika kita berbicara tentang pornografi dan cyber crime
lainnya. Anak-akan mudah mengimitasikan atas apa yang mereka saksikan dan dengar di
media maya. Inilah ancaman yang sesungguhnya yang harus mendapat perhatian kita semua.
Perlindungan anak memiliki lima pilar, yakni orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah,
dan negara. Jika salah satunya tidak berfungsi dengan selayaknya, penyelenggaraan
perlindungan anak akan sulit diwujudkan. Sudah berbusa-busa KPAI mendesak semua pihak
untuk mengawasi aktivitas anak di warnet yang menyediakan game online. Namun,
41. 41
sepanjang itu pula belum ada perhatian serius dari para stakeholder untuk mengatasinya.
Selama ini, KPAI juga menilai tidak seriusnya pelaku usaha menciptakan game online yang
ramah anak.
Tidak hanya itu, KPAI menyoroti belum adanya koordinasi yang efektif antarkementerian
dalam hal perlindungan anak. Belum adanya Trauma Center yang profesional dan sigap
untuk melindungi anak, menunjukkan belum seriusnya pemerintah mengatasi persoalan anak
kontemporer.
Saya menyampaikan dukungan atas rencana penerbitan Perpres Antiperundungan saat ratas.
Di samping perpres tentang pencegahan kekerasan di sekolah dan optimalisasi pengawasan
terhadap tayangan kekerasan, saya juga mengusulkan perluasan cakupan Inpres Gerakan
Nasional Anti Kejahatan Seksual terhadap Anak (GN AKSA), yang hanya mengatur
kejahatan seksual, menjadi Gerakan Nasional Perlindungan Anak (GNPA) sebagai gerakan
nasional di bawah koordinasi langsung Presiden.
Jika gerakan ini bisa terealisasi, seluruh rakyat Indonesia akan serentak bersama KPAI
mengungkapkan ”Terima kasih Jokowi”, yang telah menunjukkan iktikad dan komitmen kuat
untuk bersama-sama melindungi anak Indonesia dari segala macam bahaya yang kini
semakin kompleks.
ASRORUN NIAM SHOLEH
Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia
42. 42
Negeri Paling Islami
24-01-2016
Seperti apakah negeri yang islami itu? Awalnya saya membayangkan negeri yang islami
adalah negeri yang tidak jauh-jauh cirinya dari negeri yang surgawi, yaitu yang tanahnya
subur, di tengahnya terhampar sungai-sungai yang dialiri susu kental manis (SKM), dan
bidadari-bidadari cantik siap menanti para suami yang pulang kerja, sambil mengasuh putra-
putri yang lucu-lucu. Damai, sejahtera, adil, tidak ada kezaliman, dan tidak ada kemaksiatan.
Tetapi, adakah negeri seperti itu di bumi Allah ini? Selama saya berkarier puluhan tahun
sebagai psikolog internasional, saya sudah mengunjungi hampir seluruh dunia, dari Selandia
Baru sampai Alaska, dari Amerika sampai Afrika, tetapi tidak satu pun tempat yang saya
jumpai, yang matching dengan bayangan saya tentang negeri islami tersebut di atas.
Tetapi, dua peneliti dari George Washington, yaitu Prof Dr Scheherazade S Rehman dan Prof
Dr Hossein Askari (dari namanya ketahuan bahwa mereka muslim), telah melakukan
penelitian terhadap negara-negara (yang riil ada di dunia) yang paling islami. Mereka
memublikasikan hasil penelitiannya dalam laporan bertajuk ”An Economic Islamicity Index
(EI2)” yang dimuat dalam Global Economy Journal Volume 10, Issue 3, 2010, Article 1.
Buat dua profesor yang pintar-pintar itu, ternyata tidak sulit untuk merumuskan negara yang
islami. Caranya adalah mengumpulkan ayat dan hadis yang mendeskripsikan bagaimana
hendaknya suatu negara itu sehingga bisa disebut islami. Maka itu, Prof Rehman dan Prof
Askari menemukan lima ajaran dasar Islam yang dijadikannya sebagai indikator keislaman
sebuah negara, yaitu (1) Ajaran Islam mengenai hubungan seseorang dengan Tuhan dan
hubungan sesama manusia, (2) Sistem ekonomi dan prinsip keadilan dalam politik dan
pemerintahan, (3) Hak asasi manusia dan hak politik, (4) Ajaran Islam berkaitan dengan
hubungan internasional dan masyarakat kehidupan sosial, (5) Sistem perundang-undangan
untuk non-muslim. Tentu dalam penelitiannya dua profesor itu menceritakan bagaimana lima
ajaran dasar itu dipecah menjadi variabel-variabel konkret yang terukur, yang membuat
penelitian mereka sahih.
Tetapi, yang mencengangkan setelah penelitian itu dinyatakan sahih adalah hasilnya yang di
luar dugaan kebanyakan orang (apalagi di Indonesia). Orang Indonesia rata-rata
mengharapkan bahwa negara yang paling islami adalah negara-negara Islam seperti Arab
Saudi, atau bahkan sekarang ada yang memuja Irak dan Suriah (ISIS). Tetapi, nyatanya tidak
seperti itu.
Negara paling islami dalam penelitian itu (keadaan 2010) adalah Selandia Baru, diikuti oleh
juara dua Luxemburg (negara tetangganya Belanda). Dua-duanya negara non-Islam. Amerika
43. 43
Serikat yang sering dianggap biangnya budaya Barat ada di posisi ke-15 bersama Belanda,
dan Israel musuh bebuyutan banyak muslim Indonesia berada di urutan ke-17. Arab Saudi
nomor ke-91 dan Indonesia sendiri di urutan ke-104, Mesir tambah hancur lagi yaitu di
nomor ke-128, Irak dan Suriah (ISIS) masing-masing di urutan ke-148 dan 168. Sedangkan
56 negara anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI) berada pada urutan rata-rata ke-139
dari 208 negara yang disurvei.
Tetapi, ada satu yang menarik, Malaysia. Negara tetangga kita ini duduk dalam urutan ke-33,
yang tertinggi di antara negara-negara muslim. Karena itu, kita juga tidak pernah mendengar
ada bom-boman di Malaysia.
***
Beberapa tahun lalu saya pernah menjadi dosen tamu (pensyarah pelawat) di Universitas
Malaya, Kuala Lumpur, Malaysia. Saya bekerja full time selama satu semester di universitas
yang konon adalah UI-nya Malaysia. Jadi, saya lumayan tahu betul gaya hidup masyarakat di
sana.
Dalam urusan beragama, Malaysia sangat disiplin mengatur umatnya. Yang pertama, mereka
mengaku sebagai negara Islam, tetapi bukan sembarang Islam, melainkan Islam Sunni dari
mazhab Syafii. Saya pernah mengunjungi Universitas Agama Islam Antar Bangsa di Kuala
Lumpur, dan di sana secara eksplisit dinyatakan bahwa universitas itu tidak menerima
mahasiswa dari sekte Islam yang lain, kecuali Islam Sunni mazhab Syafii.
Anda mau salat Jumat? Anda harus ke masjid kampus, atau masjid-masjid di tempat lain
yang sudah diakui resmi oleh pemerintah. Hanya orang-orang dengan kualifikasi tertentu
boleh menjadi khatib, dan mereka diberi license resmi oleh pemerintah. Mau bikin acara
keagamaan apa pun (Islam) harus dipimpin ulama yang besertifikat. Jadi, samalah kira-kira
dengan agama Kristen atau Katolik yang ulamanya harus sekolah teologi atau seminari dulu.
Dengan demikian, tidak ada ustaz-ustaz gadungan, atau ustaz-ustaz dadakan yang tiba-tiba
naik mimbar Jumat dan pada akhir khotbahnya mengajak umat untuk mendoakan para
mujahidin ISIS di Irak, Suriah, dan Poso (ini pernah terjadi betulan di Jakarta). Tidak ada lagi
majelis-majelis taklim yang banyak mengajari ibu-ibu dengan kebencian-kebencian pada
agama lain atau sekte lain.
Karena itulah, Islam Indonesia makin jauh dari ideal menurut ukuran Prof Rehman dan Prof
Askari. Tidak aneh kalau tiba-tiba seorang dokter wanita secantik Dokter Rica tiba-tiba
membelot menjadi pengikut kelompok radikal dan berani meninggalkan suaminya begitu saja
dengan membawa anak balitanya. Rasanya di zaman Jamaah Islamiah tidak ada tuh,
rekrutmen untuk keluarga dan wanita.
Di zaman NII orang yang terhipnosis, paling banyak terkuras koceknya, tetapi tidak sampai
harus hijrah ke Irak dan Suriah. Tetapi, di zaman ISIS semuanya lengkap. Bukan hanya laki-
44. 44
laki, tetapi juga wanita dan keluarga, dan para ahli diangkut ke Irak dan Suriah. Last but not
least, mereka yang balik dari Irak dan Suriah, seperti sudah diduga, menjadikan Indonesia
(baca: Jakarta) sebagai ajang jihadnya.
Jadi, Indonesia yang ingin jadi negara paling islami justru menjadi sarang teroris karena
islami tidak sama dengan membiarkan semua sekte berkembang biak dan beranak-pinak
dengan bebas sebebas-bebasnya.
SARLITO WIRAWAN SARWONO
Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
45. 45
Pemulangan Gafatar Langgar HAM?
25-01-2016
Baru-baru ini permukiman (mantan) anggota Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) di Monton
Panjang, Dusun Pangsuma, Desa Antibar, Mempawah Timur, Kabupaten Mempawah,
Kalimantan Barat dibakar massa yang sangat marah kepada kelompok Gafatar.
Kemarahan massa dipicu oleh tudingan kepada Gafatar yang dikaitkan dengan hilangnya
banyak anggota keluarga di beberapa kota. Anggota keluarga yang hilang tersebut diyakini
telah direkrut atau bergabung dengan Gafatar karena ormas ini pandai mengumbar janji.
KORAN SINDO (13/1/2016) memberitakan Gafatar terlibat hilangnya puluhan orang.
Para keluarga yang anggotanya hilang dan masyarakat pada umumnya merasa resah, tidak
nyaman, dan sekaligus marah terhadap praktik Gafatar merekrut anggotanya. Klimaks
kemarahan ini berujung pada pembakaran permukiman Gafatar di Mempawah.
Pembentukan permukiman Gafatar di Mempawah tidak berproses secara alami dan tampak
dipaksakan. Ini dapat dibuktikan bahwa anggota Gafatar yang bermukim di Mempawah
antara lain berasal dari Jawa dan beberapa daerah lainnya. Mereka ada yang sudah menjual
rumah di daerah asal mereka dan kemudian tinggal di Mempawah bergabung dengan anggota
Gafatar lainnya di sebuah permukiman tersendiri. Sebelum (atau sesudah?) terjadi
pembakaran, mereka diberitakan telah keluar dari keanggotaan Gafatar.
Aksi massa yang membakar permukiman Gafatar itu patut disayangkan karena terkesan main
hakim sendiri. Fokus tulisan ini adalah apakah pemulangan mantan anggota Gafatar ke
daerah asal mereka masing-masing melanggar HAM? Untuk menjawab pertanyaan ini, saya
mengemukakan tiga kasus yang dapat diperbandingkan dengan kasus Gafatar.
Pertama, kasus komunitas Mormon di Amerika Serikat (AS). Karena dipersekusi secara tidak
manusiawi oleh kelompok Kristen mainstream, orang-orang Mormon beramai-ramai hijrah
ke Provo (Utah) mencari tempat baru yang nyaman dan aman di mana mereka dapat bekerja
dan mencari penghidupan secara layak dan bebas. Di Provo, mereka menikmati kebebasan
dan dapat bekerja secara layak, terhormat, dan bebas mencari sumber penghidupan. Maka
terbentuklah permukiman komunitas Mormon di sana dengan jumlah yang sangat dominan.
Dari perspektif HAM, kepindahan orang-orang Mormon ke Utah dapat dibenarkan karena
mereka dipersekusi.
Kedua, kasus komunitas Madura di Sampit dan Kuala Kapuas (Kalbar). Mereka dengan
motivasi sendiri yang kuat bertransmigrasi ke daerah itu karena ingin mencari lokasi baru dan
sumber penghidupan baru yang lebih baik ketimbang di daerah asal mereka
46. 46
(Madura). Ternyata komunitas Madura di permukiman baru itu sukses dalam berdagang,
berbisnis, berkebun, bertani, dan beternak. Maka terbentuklah permukiman komunitas
Madura di Sampit dan Kualapuas. Dari perspektif HAM, kepindahan orang-orang Madura ke
Sampit dan Kualakapuas dapat dibenarkan karena mereka ingin bertempat tinggal dan
mencari penghidupan baru di sana.
Ketiga, kasus komunitas Bali yang tinggal di daerah antara Palu-Poso. Mereka
ditransmigrasikan secara legal dan resmi oleh pemerintah dengan alasan penyebaran
penduduk dan memberikan penghidupan baru bagi mereka yang lebih baik dan sejahtera,
baik untuk mereka sendiri maupun untuk keturunan mereka di masa depan. Daerah mereka
bernuansakan Bali, ada ukiran-ukiran dan relief ala Bali dan ada pula pura-pura khas Bali
sebagai fasilitas ibadat mereka. Mereka sukses bercocok tanam, berkebun, beternak,
berbisnis, dan berdagang. Maka terbentuklah permukiman komunitas Bali di daerah antara
Palu-Poso. Dari perspektif HAM, kepindahan orang-orang Bali ke daerah antara Palu-Poso
itu dapat dibenarkan karena permukiman mereka terbentuk sesuai kebijakan pemerintah
dalam melaksanakan program transmigrasi.
Bagaimana dengan kepindahan anggota Gafatar ke Mempawah? Tidak ada persekusi oleh
pihak-pihak tertentu di daerah asal mereka di Jawa dan di daerah lainnya. Mereka berhasil
direkrut atau bergabung dengan Gafatar karena terobsesi dan terpikat dengan janji-janji
ormas ini, dan kemudian mereka pun hijrah secara beramai-ramai ke Mempawah membentuk
komunitas dan permukiman di sana.
Kasus Gafatar tidak sama dengan kasus Mormon di AS yang mengalami persekusi secara
tragis. Kasus Gafatar, pembentukan permukimannya, dan tujuan kepindahannya ke
Mempawah tidak sama dengan kasus komunitas Madura, pembentukan permukimannya, dan
tujuan kepindahannya ke Sampit dan Kualakapuas. Juga, kasus Gafatar, pembentukan
permukimannya, dan tujuan kepindahannya ke Mempawah berbeda dengan kasus komunitas
Bali, pembentukan permukimannya, dan tujuan kepindahannya ke daerah antara Palu-Poso.
***
Sebuah ormas–apa pun nama ormas itu–tidak pantas merekrut anggotanya kemudian
menempatkan para anggotanya (atau anggotanya mengelompok) di sebuah permukiman
khusus, permukiman tersendiri, dan permukiman eksklusif di bawah naungan panji-panji
ormas itu. Ekslusivitas kelompok di bawah naungan ormas tertentu di tengah-tengah
masyarakat pluralistik Indonesia adalah praktik yang tidak pada tempatnya.
Jika ada orang-orang yang mau direkrut atau mau bergabung dengan ormas itu, biarlah para
anggotanya tetap bertempat tinggal dan bermukim di daerah asal mereka masing-masing
seperti yang kita saksikan, misalnya, pada anggota Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, atau
ormas-ormas lain. Mereka tidak usah dan tidak perlu dikonstrasikan di sebuah permukiman
eksklusif di bawah panji-panji ormas tersebut.
47. 47
Ekslusivitas kelompok akan memicu kemarahan massa dan inilah–walaupun tidak kita
inginkan–yang menyulut massa membakar permukiman (mantan) Gafatar itu, apalagi ormas
ini di bawah bayang-bayang seorang ”Messiah” yang dulu pernah mengklaim sebagai nabi.
Pasca-pembakaran permukiman (mantan) anggota Gafatar, pemerintah memulangkan mereka
ke daerah asal mereka masing-masing seraya memberi wawasan kebangsaan agar mereka
hidup berbaur dengan masyarakat dalam kehidupan sosial bersama. Jika mereka
dipertahankan bermukim di permukiman eksklusif Mempawah, ekslusivitas kelompok
dikhawatirkan tidak akan hilang. Walaupun tidak kita kehendaki, ancaman massa terhadap
mantan anggota Gafatar masih membayang jika mereka tetap tinggal di Mempawah.
Menurut saya, kebijakan pemerintah memulangkan mantan anggota Gafatar ke daerah asal
masing-masing sudah tepat dan tidak melanggar HAM. Saya berbeda cara pandang dengan
KontraS yang mengatakan pemulangan mantan anggota Gafatar ke daerah asal melanggar
HAM.
FAISAL ISMAIL
Guru Besar Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta