Putusan MK menyatakan bahwa Pilpres 2014 yang hanya diikuti dua pasangan calon cukup dilaksanakan dalam satu putaran, bukan dua putaran. Hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres yang hanya berlaku apabila terdapat lebih dari dua pasangan calon. Dengan demikian, persyaratan 20% suara minimal di setengah provinsi tidak berlaku untuk Pilpres kali ini.
Unlocking the Power of ChatGPT and AI in Testing - A Real-World Look, present...
(Sindonews.com) Opini hukum & politik Koran SINDO 7 Juli 2014-23 Agustus 2014
1. 1
DAFTAR ISI
HADAPI GUGATAN NEWMONT!
Hikmahanto Juwana 4
PILPRES SATU PUTARAN
Janedjri M Gaffar 7
MASA (TIDAK) TENANG
Gun Gun Heryanto 10
HITAM-PUTIH PILPRES 2014
Jannus TH Siahaan 13
PEMILU DAN PEKERJAAN RUMAH
Dienna Wisnu 16
TANTANGAN POLITIK PASCAPILPRES
R Siti Zuhro 19
MEMAKNAI KEMENANGAN
Gun Gun Heryanto 23
AGENDA HUKUM PRESIDEN BARU
Saldi Isra 26
GAZA DAN BERAHI ISRAEL AKAN PERANG
Tom Saptaatmaja 30
ISRAEL TAK INGIN PERDAMAIAN
M Hamdan Basyar 33
MENGUJI VALIDITAS QUICK COUNT
Abdur Rofi 36
KPU DAN MK MENENTUKAN
Margarito Kamis 38
GAZA & PERDAMAIAN
Dinna Wisnu 41
MEMASTIKAN ARAH BENAR PEMBERANTASAN KORUPSI
Hikmahanto Juwana 44
AMICUS CURIAE, MANUVER PENYELAMATAN BOEDIONO
Bambang Soesatyo 47
2. 2
MENAKAR KUALITAS PILPRES 2014
M Afifuddin 50
PILPRES: MAYORITARIANISME VERSUS PERSEBARAN – CATATAN UNTUK
MAHKAMAH KONSTITUSI
Hajriyanto Y Thohari 53
IMPUNITAS ISRAEL
Ivan Hadar 56
BENDUNG INTERVENSI ASING
Ahmad Yani 59
MENATAP INDONESIA BARU
Dinna Wisnu 62
UPAYA PERDAMAIAN DI GAZA
N/A 65
OPOSISI ANAK SAH SISTEM DEMOKRASI
W Riawan Tjandra 68
PERS MENGEROYOK, PRABOWO HARUS KALAH
Moh Mahfud MD 71
SAYA MEMANG TEMAN LUHUT
Moh Mahfud MD 73
PBB TELAH KEHILANGAN RAISON D’ETRE-NYA
Hajriyanto Y Thohari 75
MEWASPADAI ‘VIRUS’ ISIS
Biyanto 78
GAZA MENANGIS, GAZA TRAGIS
Faisal Ismail 81
MENGAWAL DEMOKRASI
Janedjri M Gaffar 84
RUANG KOSONG PEMEKARAN
Irfan Ridwan Maksum 87
INDONESIA: MITRA PRIORITAS KANADA
John Baird 90
ISIS MASALAH BAGI INDONESIA?
Romli Atmasasmita 93
MENATAP ISIS DENGAN TENANG
3. 3
Rumadi 96
MENUNGGU VONIS PILPRES
Moh Mahfud MD 100
MENEBAK KEPUTUSAN POLITIK MK
Idil Akbar 102
POLRI: PATUHI ETIKA
Reza Indragiri Amriel 105
ISIS & ANTISIPASI FENOMENA JIHAD GLOBAL
Ahmad Fuad Fanani 108
REKONSILIASI PELANGGARAN HAM
Moh Mahfud MD 112
HARGAI KEMERDEKAAN RAKYAT
Marwan Mas 114
TIADA LAWAN ABADI DALAM POLITIK
Biyanto 117
PENENTUAN PRESIDEN DI TANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI
W Riawan Tjandra 120
MAKNA KEMERDEKAAN DALAM TRANSISI KEPEMIMPINAN
Firmanzah 123
SINERGI PEMERINTAH BARU-KPK
Bambang Soesatyo 126
BILA SANG WASIT YANG MENCETAK GOL
Heru Widodo 129
SENGKARUT SENGKETA PILPRES
Idil Akbar 132
PEMILU 2014: LAIN PILPRES LAIN PILEG
Hajriyanto Y Thohari 135
INDONESIA SEBAGAI IDENTITAS POLITIK KEBANGSAAN
Imam Syafi’i 138
JOKOWI MENANG, PRABOWO MENANG
Moh Mahfud MD 141
KONSTITUSIONALISME PILPRES
Margarito Kamis 144
4. 4
Hadapi Gugatan Newmont!
Koran SINDO
Senin, 7 Juli 2014
MELALUI siaran persnya, PT Newmont Nusa Tenggara (Newmont) menyampaikan mereka
telah mengajukan permohonan untuk arbitrase (request for arbitration) terhadap Pemerintah
Indonesia.
Permohonan arbitrase ini dikaitkan dengan keharusan perusahaan tambang untuk melakukan
pengolahan dan pemurnian hasil penambangan yang ditetapkan pemerintah melalui Peraturan
Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 beserta aturan pelaksanaannya. Berbagai ketentuan ini
merupakan amanat dari Pasal 103 dan Pasal 170 Undang-Undang Mineral dan Batubara (UU
Minerba).
Dalam masa transisi pemerintah menetapkan pengenaan bea keluar hingga tahun 2017. Oleh
karenanya bila ada bahan tambang yang hendak diekspor tetapi belum diolah dan dimurnikan
sepenuhnya di Indonesia akan dikenai bea keluar. Besaran bea keluar dikaitkan dengan
tingkat pengolahan dan pemurnian yang dilakukan di Indonesia.
Arbitrase
Arbitrase yang digunakan Newmont bukanlah jenis arbitrase ketika Pemerintah Indonesia
menggugat Newmont pada tahun 2008. Ketika itu arbitrase yang digunakan adalah arbitrase
yang diatur dalam kontrak karya. Arbitrase jenis ini dikenal sebagai arbitrase komersial
(commercial arbitration). Kali ini Newmont mengajukan Pemerintah Indonesia ke
International Center for Settlement of Investment Dispute (ICSID).
ICSID meski disebut sebagai arbitrase, tetapi berbeda dengan arbitrase komersial. ICSID
dalam konteks peradilan di Indonesia mirip dengan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Dalam konteks demikian individu atau badan hukum yang bertindak sebagai penggugat,
sedangkan pemerintah sebagai tergugat. Dalam konteks ICSID pemerintah hanya bisa
digugat oleh penanam modal yang berkewarganegaraan asing untuk masalah yang terbatas
pada penanaman modal (investment).
Gugatan diajukan karena penanam modal merasa dirugikan oleh kebijakan yang diambil
pemerintah. Adapun pihak yang menggugat pemerintah dalam kasus ini adalah pemegang
saham Newmont, yaitu Nusa Tenggara Partnership BV, yang merupakan badan hukum
Belanda, di samping Newmont sendiri. Inti dari gugatan, Newmont tidak dapat beroperasi
karena bea keluar yang diterapkan pemerintah. Padahal pemerintah terikat untuk tidak
mengeluarkan apa pun pajak ataupun bea selain yang diatur dalam kontrak karya.
5. 5
Janggal
Gugatan Newmont ke ICSID sangat janggal. Ada lima alasan mengapa demikian. Pertama ,
pengenaan bea keluar oleh pemerintah tidak hanya dikenakan secara khusus terhadap
Newmont. Bea keluar dikenakan ke semua perusahaan tambang, baik lokal maupun
multinasional. Memang terkait bea keluar ini sejumlah pihak melakukan gugatan terhadap
pemerintah.
Pelaku usaha yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Mineral Indonesia (Apemindo)
mengajukan permohonan uji materi (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Pemerintah Jepang dikabarkan berencana mengajukan Pemerintah Indonesia ke Dispute
Settlement Body yang dikenal dalam World Trade Organization. Besar dugaan gugatan
dilancarkan karena perusahaan pemurnian bahan tambang di Negeri Sakura tersebut
terganggu pasokannya karena bea keluar.
Ini berarti keinginan Indonesia untuk melakukan hilirisasi di dunia pertambangan sudah tepat.
Hilirisasi pasti tidak dikehendaki banyak pihak. Hilirisasi yang akan membuat Indonesia
mengubah diri dari negara yang berbasis penambangan menjadi negara yang berbasis
pengolahan mineral.
Kejanggalan kedua, permohonan arbitrase oleh Newmont ke ICSID sangat tidak etis ketika
pemerintah sedang mencari jalan keluar atas permasalahan bea keluar yang dihadapi banyak
perusahaan tambang. Bagi pemerintah pengolahan dan pemurnian di dalam negeri merupakan
kebijakan final dan harga mati. Ini karena UU Minerba telah menggariskan demikian. Hanya
saja pemerintah tentu bisa meninjau besaran dari bea keluar.
Bila peninjauan dilakukan, ini bukan karena tekanan dari Newmont atau perusahaan tambang
multinasional, melainkan pemerintah harus memperhatikan banyaknya tenaga kerja yang
harus dirumahkan atau harus mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK).
Ketiga, gugatan yang dilancarkan Newmont terhadap Pemerintah Indonesia ke ICSID
anehnya dikaitkan dengan kontrak karya. Padahal bila substansi kontrak karya yang hendak
dipermasalahkan arbitrase, yang seharusnya menyelesaikan adalah arbitrase komersial yang
dibentuk berdasarkan kontrak karya, bukan melalui forum ICSID. Argumentasi Newmont
bahwa Pemerintah Indonesia harus tunduk pada kontrak karya dan tidak boleh menerbitkan
peraturan terkait bea keluar sama saja dengan mengatakan kedaulatan hukum pemerintah
Indonesia dibelenggu oleh kontrak.
Di dunia ini tentu tidak ada suatu pemerintahan pun yang mau dibelenggu kedaulatan
hukumnya oleh sebuah kontrak. Pemerintah sebagai pembuat regulasi tidak boleh dibelenggu
ataupun dibatasi perannya.
Keempat, Newmont memanfaatkan anak perusahaannya, Nusa Tenggara Partnership BV,
yang didirikan di Belanda untuk mengajukan Pemerintah Indonesia ke ICSID. Padahal
6. 6
Newmont Mining Corporation adalah sebuah perusahaan Amerika Serikat. Menjadi
pertanyaan mengapa tidak Newmont Mining Corporation yang mengajukan gugatan?
Gugatan didasarkan pada Perjanjian Peningkatan dan Perlindungan Penanaman Modal (P4M)
atau Bilateral Investment Treaty antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Belanda.
Tidak seharusnya Newmont Mining Corporation membawa-bawa Pemerintah Belanda dalam
sengketa ini. Publik di Indonesia tentu akan sensitif bila pemerintah atau perusahaan Belanda
mengajukan Pemerintah Indonesia ke hadapan ICSID. Rasa nasionalisme pun akan muncul.
Terakhir kejanggalan dari gugatan ini, Newmont mengajukan permohonan arbitrase ICSID di
waktu Indonesia sedang menjalani proses pemilihan presiden. Apakah ini merupakan
gertakan kepada siapa pun yang akan menjadi presiden Indonesia ke depan? Yang pasti, siapa
pun presiden pengganti SBY, mereka akan menjadikan gugatan Newmont sebagai komoditas
politik. Presiden pengganti SBY akan bertindak lebih keras dan tegas terhadap perusahaan
tambang multinasional yang menunjukkan arogansinya. Mengajukan Pemerintah Indonesia
ke ICSID merupakan tindakan arogan dari Newmont.
Hadapi
Bagi pemerintah, tidak ada kata lain selain menghadapi gugatan Newmont ke ICSID.
Pemerintah harus segera menunjuk pengacara andal yang terbiasa dengan kasus-kasus di
ICSID. Setelah itu pemerintah akan menunjuk arbiternya. Di tahap awal pemerintah akan
mematahkan gugatan Newmont dengan menyatakan ICSID tidak berwenang untuk
menyelesaikan sengketa yang diajukan Newmont.
Bila berhasil, gugatan Newmont akan kandas. Bila tidak barulah memasuki substansi perkara.
Satu hal yang pasti, dalam gugatannya, Newmont meminta putusan sela agar ICSID dapat
memutus untuk memperbolehkan Newmont melakukan ekspor tanpa dikenai bea keluar. Ini
tindakan tidak etis Newmont yang memanfaatkan lembaga peradilan internasional seperti
ICSID untuk kepentingan komersialnya.
Padahal pengenaan bea keluar bagi Indonesia merupakan tindakan untuk menjalankan amanat
UU Minerba yang merupakan pengejawantahan Pasal 33 UUD 1945. Dalam pengajuan ke
ICSID ini, bila pemerintah menyerah berarti pemerintah telah mengkhianati amanat UU
Minerba. Untuk sebuah harga diri dan kedaulatan, pemerintah tidak boleh lemah karena
rakyat pasti ada di belakang.
Bila pemerintah menyerah, perusahaan tambang multinasional dan lokal lainnya memaksa
pemerintah untuk memperlakukan mereka sama dengan Newmont. Pemerintah tidak boleh
menyerah dan lemah. Satu hal lagi, ada baiknya pemerintah mempertimbangkan untuk keluar
dari ICSID mengingat belakangan ini ICSID digunakan untuk ”menekan” pemerintah agar
tunduk pada kehendak perusahaan multinasional.
HIKMAHANTO JUWANA
Guru Besar Hukum Internasional FHUI
7. 7
Pilpres Satu Putaran
Polemik apakah Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2014 yang hanya
diikuti dua pasangan calon perlu dilakukan hingga dua putaran atau cukup satu putaran telah
terjawab.
Melalui Putusan Nomor 50/PUU-XII/2014, MK menyatakan ketentuan Pasal 159 ayat (1) UU
Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pilpres bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai tidak berlaku untuk pasangan calon
presiden dan wakil presiden yang hanya terdiri dari dua pasangan calon.
Menurut MK, ketentuan Pasal 159 ayat (1) UU 42 Tahun 2008 harus dimaknai apabila
terdapat lebih dari dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden. Dengan kata lain,
ketentuan keterpilihan dengan sedikitnya 20% suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih
dari setengah jumlah provinsi di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 6A
ayat (3) hanya berlaku dalam hal pilpres diikuti oleh lebih dari dua pasangan calon.
Walaupun sangat kecil, kemungkinan pilpres menghasilkan pasangan calon yang
memperoleh suara lebih dari 50% tapi tidak memenuhi syarat sedikitnya 20% suara di setiap
provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi tetap ada. Kemungkinan itu
tentu harus diantisipasi sebelum terjadi.
Putusan MK telah memberikan kepastian bagi semua pihak, utamanya kedua pasangan calon
Presiden dan Wakil Presiden, sehingga segala kemungkinan dapat dipersiapkan sejak awal,
termasuk menyiapkan mental dan mengondisikan para pendukung jika nantinya tidak terpilih
pada 9 Juli nanti.
Legitimasi dan Syarat Keterpilihan
Ketentuan syarat keterpilihan dimaksudkan agar presiden dan wakil presiden terpilih nanti
memiliki legitimasi yang kuat. Presiden dan wakil presiden harus merupakan pilihan
mayoritas pemilih yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Karena itu, syaratnya adalah
mayoritas mutlak, lebih dari 50%, bukan mayoritas sederhana.
Selain itu juga ditambahkan syarat sedikitnya 20% suara di setiap provinsi yang tersebar di
lebih dari setengah jumlah provinsi. Tentu saja, untuk memperoleh presiden dan wakil
presiden terpilih yang memiliki legitimasi kuat sebenarnya tidak perlu ditentukan harus
memenuhi syarat di atas. MK dalam pertimbangan hukum putusan menyatakan bahwa aspek
legitimasi tetap terpenuhi walaupun tidak memenuhi syarat sedikitnya 20% suara di setiap
provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi.
Legitimasi itu berasal dari kekuatan partai politik atau gabungan partai politik yang menjadi
8. 8
pengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden. Dengan hanya dua pasangan calon,
tentu masing-masing akan diajukan atau didukung oleh sejumlah partai politik yang memiliki
basis dukungan di seluruh wilayah Indonesia.
Menafsir Konstitusi
Pada perkara ini, fungsi MK menafsir konstitusi terlihat sangat jelas. Hal ini karena UU yang
sedang diuji tidak memiliki perbedaan dengan ketentuan UUD 1945. Dalam Putusan ini, MK
berangkat dari dalil bahwa fungsi UU adalah melaksanakan ketentuan UUD 1945. Hal ini
juga berarti bahwa jika tidak terdapat kejelasan atau terdapat persoalan dalam UUD, harus
diselesaikan oleh UU.
Dalam perkara ini, UU Pilpres ternyata juga tidak menyelesaikan persoalan ataupun memberi
kejelasan ketentuan dalam UUD 1945. Karena itu, wewenang pengujian UU merupakan
mekanisme konstitusional yang disediakan secara hukum untuk menafsirkan ketentuan UUD
1945. Putusan ini sesungguhnya lebih merupakan penafsiran terhadap ketentuan Pasal 6A
UUD 1945.
Untuk menafsirkan konstitusi, ada berbagai metode yang dapat digunakan. Dalam putusan
ini, MK setidaknya menggunakan tiga metode penafsiran. Pertama, adalah metode penafsiran
sejarah dengan memeriksa proses perumusan ketentuan Pasal 6A UUD 1945. Kedua, metode
penafsiran gramatikal dan sistematis antarayat di dalam Pasal 6A UUD 1945. Ketiga, metode
penafsiran kontekstual dalam penerapan ketentuan in-concreto.
Melalui pendekatan sejarah diketahui bahwa saat pembahasan Pasal 6A UUD 1945,
walaupun yang diidealkan pilpres diikuti dua pasangan calon, tetapi yang dijadikan sebagai
asumsi pembentukan aturan adalah pilpres akan diikuti oleh banyak pasangan calon. Melalui
pendekatan gramatikal dan sistematis, dipertimbangkan hubungan antara ketentuan Pasal 6A
ayat (3) dan ayat (4).
Ayat 4 yang menyatakan, ”Dalam hal tidak ada pasangan calon yang menjadi calon presiden
dan wakil presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama
dan kedua...” menjadi kunci pemahaman bahwa ketentuan sebelumnya, yaitu pada ayat (3),
hanya berlaku pada saat terdapat lebih dari dua pasangan calon.
Melalui pendekatan kontekstual, putusan ini dapat diposisikan sebagai salah satu bentuk
penafsiran in-concreto, yaitu dihadapkan pada suatu peristiwa yang akan segera terjadi. UUD
tidak semata-mata hanya yang tertulis dalam teks, tetapi juga termasuk semangat yang ada di
balik teks yaitu konteks kelahiran serta konteks penerapannya dalam penyelenggaraan negara
untuk mencapai tujuan bernegara. Melalui penafsiran dalam putusan MK inilah UUD 1945
menjadi konstitusi yang hidup dan dapat menjawab setiap persoalan kenegaraan yang timbul.
Pilpres Satu Putaran
9. 9
Putusan ini bersifat erga omnes, berlaku umum dan mengikat semua. Artinya, pilpres yang
hanya diikuti dua pasangan calon presiden dan wakil presiden cukup dilakukan dalam satu
putaran dengan ketentuan keterpilihan berdasarkan perolehan suara lebih dari 50% tidak
hanya berlaku pada Pilpres 2014, tetapi berlaku untuk seluruh pilpres di masa yang akan
datang. Hal ini tentu memerlukan pengaturan lebih lanjut agar lebih memberikan kepastian.
Keberadaan dua pasangan calon pada Pilpres 2014 ini patut disyukuri karena sebenarnya
inilah yang ideal. Secara teoretis dua pasangan calon berkesesuaian dengan sistem
pemerintahan presidensial, serta menjadikan pasangan calon terpilih akan memiliki legitimasi
yang kuat. Keberadaan dua pasangan calon ini juga selaras dengan upaya penyederhanaan
partai politik, termasuk yang dituju oleh ketentuan bahwa pasangan calon presiden dan wakil
presiden diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik.
Salah satu dampak keberadaan dua pasangan calon untuk pertama kalinya adalah ketegangan
politik yang tinggi karena posisi yang saling berhadapan. Walaupun ketegangan politik
adalah hal yang wajar, namun kerawanan berubah menjadi konflik harus selalu diwaspadai.
Ini tugas semua pihak.
Kedua pasangan calon harus sejak awal mengondisikan para pendukungnya untuk siap
menerima kekalahan ataupun kemenangan. Penyelenggara Pemilu dan semua lembaga terkait
dengan penyelenggaraan Pemilu pun harus benar-benar melaksanakan dan mengawal Pemilu
sesuai dengan prinsip luber dan jurdil serta sesuai dengan aturan yang berlaku. Persoalan
hukum harus segera diselesaikan dan pelanggaran harus ditindak. Dengan demikian pada 9
Juli 2014 nanti pilpres sebagai elemen kunci demokrasi dapat dilaksanakan secara adil,
terhormat, dan bermartabat.
JANEDJRI M GAFFAR
Alumnus Program Doktor Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro, Semarang
10. 10
Masa (Tidak) Tenang
Masa kampanye calon presiden dan calon wakil presiden sudah berakhir. Sebulan masa
kampanye, sejak Rabu (4/6) hingga Sabtu (5/7), memanaskan suhu politik nasional.
Beragam cara telah dilakukan banyak kalangan yang menginginkan calonnya berjaya pada 9
Juli mendatang. Nyaris tak ada ruang tersisa dari jamahan persuasi, agitasi, hingga
propaganda tim pemenangan dan relawan dua kandidat. Kini saatnya menurunkan titik didih
politik kita dan bersiap menentukan secara dewasa dan bertanggung jawab atas pilihan kita di
bilik suara.
Keadaban Politik
Masa tenang semestinya dimaknai dalam dua konteks. Pertama, menjadi prakondisi bagi
pihak-pihak yang bertarung, terutama para kandidat untuk cooling down. Jalan panjang upaya
mereka dengan segenap kemampuan fisik-material maupun mental tentu harus dimaknai
sebagai ikhtiar maksimal dari laku politik mereka sebagai ”para petarung sejati”.
Bagaimanapun mengonsolidasikan kekuatan di seantero negeri dan memasarkan diri di
tengah tekanan, hujatan, cacian, cemoohan, bahkan kerapkali fitnah hanya akan bisa dilalui
oleh mereka yang memiliki kekuatan luar biasa. Dalam konteks inilah seluruh bangsa ini
harus mengapresiasi apa yang telah dilakukan dua pasang kandidat yang telah
mengoptimalkan daya dan upaya mereka.
Tentu, hasil akhir masih akan ditentukan oleh pilihan rakyat sebagai hakikat demokrasi.
Rakyatlah yang memberi modal kedaulatan dan legitimasi kekuasaan bagi siapa pun
pemimpin nasional kita lima tahun ke depan. Prakondisi ini penting bagi kandidat mengingat
pertarungan selalu menyisakan hanya satu pemenang. Karena itu, butuh kedewasaan,
kejernihan pikiran, dan kemampuan mengendalikan diri dan pendukung saat salah satu
kandidat belum didaulat sebagai pemenang usai pencoblosan.
Kedua, konteks untuk para pendukung, pengagum, fans club, relawan, tim sukses, atau apa
pun namanya agar memahami dan menyadari bahwa sejatinya demokrasi telah mengamanahi
kita untuk menghormati keberbedaan.
Tak dimungkiri, sejak proses tahapan pemilu bergulir mulai dari pemilu legislatif hingga
pilpres, masyarakat terpolarisasi. Fragmentasi kekuatan begitu kentara dan kerap
menghadirkan fenomena hubungan antagonistis di antara para pendukung dari kubu berbeda.
Tak disangkal bahwa salah satu konsekuensi demokrasi adalah kompetisi.
Tetapi, kompetisi yang sehat harus menghadirkan daya tahan para pelakunya untuk tidak
terjebak pada anarkisme dan pragmatisme saat menggapai kemenangan dengan menihilkan
11. 11
aturan, etika, dan keadaban publik. Pilpres kali ini memang lebih gegap gempita dan
cenderung panas mengingat semakin komplitnya saluran komunikasi politik yang digunakan.
Selain saluran konvensional yang biasa dipakai yakni jejaring hubungan antarpersonal,
organisasi, struktur sosial tradisional, media massa juga saluran persuasi modern yang
berbasis media sosial. Beragam media sosial terutama Twitter dan Facebook menjadi medan
pertempuran yang luar biasa di antara para pendukung.
Generasi web 2.0 yang interaktif, multimedia, dan memosisikan para pengguna internet
bukan semata konsumen informasi, melainkan juga produsen berita, perang informasi pun tak
terelakan lagi. Secara kasatmata kita melihat beragam pertukaran informasi di media sosial
bahkan di media arus utama yang tak lagi sehat, bahkan cenderung mengalami paradoks
dengan hakikat demokrasi itu sendiri. Kampanye hitam berseliweran dan dipertukarkan tanpa
merasa bersalah. Inilah sisi kelam pertarungan merengkuh dukungan sekaligus
mendelegitimasi pihak lawan.
Jeda Pertarungan
Pemilu memang belum usai meski sudah memasuki putaran akhir. Masa tenang bisa kita
digunakan sebagai jeda pertarungan jelang pencoblosan. Serangkaian proses memenangkan
kandidat tentu saja masih akan dilakukan oleh kubu masing-masing.
Jeda masa tenang ini harus menjadi moratorium konflik, hujatan, agitasi, sekaligus tembok
pembatas yang jelas untuk menghentikan beragam bentuk kampanye mulai dari positif,
negatif, hingga kampanye hitam. Paling tidak ada tiga pihak yang harus diingatkan agar masa
tenang tidak berubah menjadi masa tidak tenang! Pertama, posisi media massa terutama
media arus utama, lebih-lebih televisi yang kerap menghadirkan terpaan luar biasa di
masyarakat.
Memang tak terelakan bahwa posisi media di mana pun memiliki kekuatan yang signifikan
dalam melakukan produksi dan reproduksi citra politik. Asumsi seperti ini relevan dengan
pendapat Tuchman yang mengatakan seluruh isi media sebagai realitas yang telah
dikonstruksikan (constructed reality).
Media pada dasarnya menyusun realitas hingga membentuk sebuah ”cerita” (Tuchman,
1980). Jhon Sinclair dkk dalam bukunya, New Patterns in Global Television: Peripheral
Vision (1996), pernah mengingatkan bahwa televisi merupakan medium cangkokan yang
megah. Karena wataknya sebagai media cangkokan, televisi termasuk juga media arus utama
lain harus hati-hati membawakan diri jangan sampai tampilan vulgar media menjadi
instrumental conditioning sejumlah prilaku tak patut yang ditiru masyarakat.
Dalam teori reinformant imitasi dari Miller dan Dollard, seseorang bisa belajar menyamai
tindakan orang lain terlebih saat ada instrumen yang mengondisikan prilaku imitasi mereka
seperti media massa misalnya. Berita provokatif dan insuniatif yang terus dikembangkan
12. 12
media massa bisa memancing kebencian antarpendukung kandidat dan memicu konflik
menjadi aktual. Selama masa tenang seharusnya media yang menjadi pendukung kandidat
mau dan mampu menahan diri untuk menghormati masa tenang.
Kedua, para elite yang berada di lingkaran utama kandidat maupun di atmosfernya.
Terutama, mereka yang kerap menjadi bahan berita media. Selama masa tenang seyogianya
mereka mengembangkan respek dan saling menghormati dengan tidak menyengajakan diri
terlibat dalam agresivitas verbal dan tindakan.
Kelompok elite ini biasanya menjadi role model sekaligus stimulan positif maupun negatif
bagi khalayak akar rumput. Jangan karena syahwat politik atau kepanikan dalam membaca
peta dukungan, terus-menerus mengembangkan komunikasi kebencian.
Ketiga, masyarakat yang menjadi pendukung, relawan, ataupun simpatisan. Masa tenang
harus menjadi momentum refleksi atas beragam tindakan dukungan yang selama ini telah
diekspresikan. Rasionalitas tetap harus dikedepankan di tengah situasi penuh tekanan.
Tak salah jika berasumsi banyak cara menuju Istana, tetapi tentu cara-cara tersebut harus
tunduk pada aturan main dan menghormati keadaban publik. Pendukung harus melek politik
hingga ekspresi dukungannya tidak membahayakan dirinya dan demokrasi itu sendiri.
DR GUN GUN HERYANTO
Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute dan Dosen Komunikasi Politik UIN
Jakarta
13. 13
Hitam-Putih Pilpres 2014
Saat ini kita akan memasuki minggu tenang. Sesuai nomenklaturnya, kita berharap semua
lapisan masyarakat, pemilik hak pilih dan terutama calon pengguna hak pilih pada Pilpres
2014 benar-benar berada dalam keadaan tenang.
Mereka berhak mendapatkan itu karena dijamin undang-undang (UU). Jika muncul
ketidaktenangan, negara bisa mengambil tindakan hukum agar semua orang memperoleh
ketenangan sebagaimana dijanjikan konstitusi. Namun, mencermati perkembangan selama
kampanye pilpres kali ini, kita pantas was-was. Benarkah kita akan memperoleh ketenangan
sebagaimana dijaminkan UU dimaksud? Keraguan pantas menyeruak, seiring hanya muncul
dua pasangan calon presiden dan calon wakil presiden.
Masyarakat kita berada dalam hitam-putih politik. Tak ada jalan kembali, point of no return,
karena kita hanya disodorkan dua nama capres dan cawapres. Kalau tidak Prabowo Subianto
dengan pasangannya Hatta Rajasa, pilihan lain hanya Joko Widodo dengan Jusuf Kalla.
Semua pihak yang berkepentingan, semua kubu, semua kutub, bahkan telah mengambil
tempatnya. Berhadap-hadapan, berkonfrontasi, head to head, satu lawan satu. Saya lawan
kamu, kita lawan mereka, dan Prabowo versus Jokowi.
Kalau bukan pro-Jokowi berarti pro-Prabowo. Situasi ini jika tidak dikelola secara baik,
sungguh berbahaya! Kita tengah berada dalam situasi yang secara diametral menempatkan
anak-anak negeri menentukan sendiri rival sesuai haluan politiknya. Di mana letak
masalahnya? Pada pelaku politik atau infrastruktur politiknya?
Paling kurang, seandainya para pimpinan partai politik mau berpikir jauh ke depan,
melampaui kepentingan pribadi, kelompok, dan sesaat, tentu akan ada nama-nama alternatif
sehingga situasinya tak perlu berhadap-hadapan.
Serbapermisif
Tapi, itulah politik. Sebuah jalan yang kalau tidak dibalut etik dan konsensus bersama
menuju kebaikan, akan menyebabkan kehidupan serbapermisif. Yang penting tujuan tercapai,
abaikan semua norma, etik, agama, dan konstitusi. Thomas Hobbes (1588-1679), jauh
berabad-abad sesudah Aristoteles, terang-terangan membuka ”aib” manusia.
Kita, makhluk manusia, sejatinya tidaklah mulia-mulia amat sebagaimana diangankan
Aristoteles dan kawan-kawannya, para filosof Yunani. Melalui Leviathan, salah satu karya
pentingnya, Hobbes mengajukan gagasan berani tentang hakikat manusia (human nature). Ia
yakin, segala tindakan manusia dilakukan semata untuk kepentingan diri sendiri, utamanya
untuk mencapai kepuasan (satisfaction) dan menghindari kemalangan (harm).
14. 14
Untuk menguatkan pendapatnya, Hobbes menguraikan aksioma tahap prapolitis
perkembangan sosial manusia yang dalam bahasanya disebut sebagai keadaan alamiah (state
of nature). Situasi inilah yang kini tengah menyergap para politisi Indonesia. Mereka
diempaskan ke belantara politik sehingga, demikian asumsi Hobbes, merasa harus
mengamankan diri masing-masing dari ancaman sesamanya; suatu kondisi semua lawan
semua.
Hobbes menyarankan perlunya kontrak sosial antara masing-masing warga-bangsa. Dalam
kaitan ini, di mana kita akan meletakkan Machiavelli (1469-1527). Peletak dasar pemikiran
Hobbes yang harus berhadapan dengan Aristoteles atau berdiri menengahi keduanya? Bagi
Machiavelli, alih-alih gamang memaknai politik antara yang empirik dan yang transendental,
ia justru menatap politik sebagai gerak, dinamika, kekuatan rasionalitas, serta keputusan
untuk bermain dalam yang empirik ke yang transendental.
Politik dengan demikian adalah kehendak untuk menerjang celah antara yang empirik dengan
yang transendental, politik adalah determinasi akal budi terhadap yang mungkin (virtu) dan
yang tak mungkin (fortuna). Sayangnya, di tengah dua kubu yang bertarung tersebut belum
tumbuh penengah dan wasit yang benar-benar berdiri di atas dan untuk semua golongan.
Berderet-deret cendekiawan menjadi pelindung di kedua kubu. Coba simak peringatan
seorang the founding father kita, Bung Hatta.
”...Kaum cendekiawan Indonesia mempunya tanggung jawab moral terhadap perkembangan
masyarakatnya. Apakah dia duduk di dalam pimpinan negara dan masyarakat atau tidak, ia
tidak akan terlepas dari tanggung jawab itu. Sekali pun berdiri di luar pimpinan, sebagai
rakyat-demokrat, ia harus menegur dan menentang perbuatan yang salah dengan
menunjukkan perbaikan menurut keyakinannya.” (Kompas, 14 Oktober 1986).
Salah satu indikator sudah terbangunnya kultur demokrasi di negeri ini adalah kala
pascapengumuman pilpres yang kalah segera memberikan selamat kepada pemenang dan
lantas mengimbau para pendukungnya untuk menyatu bersama kelompok pemenang.
Sementara pemenang dengan jiwa besar mau memuji yang kalah, mengapresiasi, serta
mengajak tetap bersama-sama membangun Tanah Air tercinta.
Penting disadari, pascapilpres situasi kaku bahkan tegang karena perbedaan pendapat yang
terjadi jelang Pilpres 2014 ini (merujuk pada realitas di media sosial) akan mencair karena
masyarakat Indonesia, utamanya kelompok menengah yang terus bertumbuh, sudah rasional
dan mandiri dalam berpendapat sehingga tidak terpengaruh sikap partisan dan provokasi para
elite politik yang berada di kedua kubu kontestan pilpres. Bertambah kayanya pengalaman
berdemokrasi bangsa ini semoga akan menumbuhkembangkan kedewasaan dalam berpolitik.
Jangan Mencubit
Kekuasaan dalam semua bentuknya bersifat menggoda dan menipu. Kekuasaan adalah suatu
15. 15
labirin–benak Anda menjadi terobsesi memecahkan beragam masalahnya yang tak terbatas.
Lalu Anda menyadari, sesungguhnya Anda telah tersesat. Dengan kata lain, kekuasaan
menjadi paling menggelikan jika Anda menganggapnya dan menyikapinya terlalu serius.
(Robert Greene, The 48 Laws of Power).
Situasi inilah yang belakangan menyergap para politisi kita. Mengaduk-aduk emosi para
pendukungnya, seakan berada di medan pertempuran hidup-mati. Kekhawatiran semakin
membayang, terlebih karena dalam beberapa hari terakhir, aksi saling serang kian intensif dan
masif antardua kubu pendukung. Situasi itu semakin keruh karena beberapa media massa ikut
menuangkan bahan bakar ke tumpukan jerami emosi yang mulai tersulut.
Sudah bukan rahasia lagi, ketegangan memuncak, sedikit banyak, karena kian sistemiknya
pemberitaan yang menyudutkan pasangan tertentu. Satu media mendukung, satunya lagi
menyudutkan. Mereka butuh diperlakukan dengan adil. Yakinlah, jika media berlaku adil,
para pendukung, relawan, dan tim sukses semua pasangan tak akan sudi membiarkan amuk
muncul.
Tak ada yang suka rela diperlakukan tidak adil. Adakah mereka yang memperoleh
kesenangan karena perlakuan adil akan membalasnya dengan anarki? Dengan logika
sederhana, orang tua kita bilang; kalau dirimu dicubit sakit, jangan mencubit orang.
Pascapilpres pemenang perlu mengapresiasi yang kalah dan yang kalah harus berbesar hati
menerima kekalahannya. Sebagai saudara, mereka harus tetap berangkulan dalam pelukan
Ibu Pertiwi! Peringatan Bung Hatta terhadap para cendekiawan dan sentilan Greene terkait
ambisi politik sebagian kita kiranya dapat menyadarkan betapa penting menyediakan suasana
tenang dalam makna yang sebenarnya. Jangan karena mereka, lantas kita tidak tenang.
Jangan karena ambisi mereka, ketenangan negeri ini terganggu.
Dalam dunia politik, kita hanya mengenal hitam dan putih. Tetapi, hidup bukan semata
politik. Politik hanyalah jalan di antara banyak jalan lain menuju hidup yang bermartabat
berdasar Pancasila. ●
JANNUS T H SIAHAAN
Pengamat Sosial Politik
16. 16
Pemilu dan Pekerjaan Rumah
Hari ini kita akan atau sudah melaksanakan hak konstitusi kita sebagai warga negara
Indonesia dengan pergi ke bilik suara dan memilih presiden yang terbaik. Kabar yang
menggembirakan datang dari lembaga-lembaga survei.
Mereka memastikan bahwa melalui hasil survei hampir 90% masyarakat Indonesia
menyatakan akan menggunakan hak pilihnya dan datang ke tempat pemungutan suara (TPS).
Apabila survei itu terbukti, presiden yang terpilih akan memiliki kekuatan legitimasi yang
besar dan kuat. Legitimasi dari sebanyak-banyaknya warga negara Indonesia adalah landasan
penting bagi presiden RI ketujuh untuk mengambil langkah kebijakan baru dan merupakan
modal kepercayaan yang utama ketika berhadapan dengan para pemimpin negara lain.
Seusai dengan penghitungan cepat hasil pemilu, wacana politik akan beralih ke program
prioritas presiden baru selama 100 hari masa kerjanya. Ini tugas yang penting dan biasanya
tidak mudah. Selain karena keputusan kebijakan harus diambil dalam waktu cepat, janji-janji
perubahan yang disuarakan selama masa kampanye akan diuji, termasuk oleh para lawan
politik. Padahal, apa yang terjadi selama 100 hari masa kerja belum tentu bisa sepenuhnya
diprediksi.
Misalnya saja, waktu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memulai jabatannya
sebagai presiden pada 2004, ia mengalami masalah gempa dan tsunami di bagian barat
kepulauan Indonesia. Ratusan ribu jiwa meninggal, juga kehilangan tempat tinggal dan
pekerjaan. Di situ Presiden SBY bertugas melakukan gerak cepat tanggap bencana,
rehabilitasi dan rekonstruksi daerah-daerah bencana agar dapat kembali pulih.
Selain itu, sebagai presiden yang pertama kali dipilih secara langsung, Presiden SBY juga
memiliki tanggung jawab untuk melakukan konsolidasi pemerintahan di era Reformasi. Pada
masa-masa awal tersebut, Presiden SBY memilih untuk sangat berhati-hati dalam mengambil
keputusan mengenai kebijakan.
Ia juga memilih untuk lebih berjarak dengan pemerintahan sebelumnya (pemerintahan
Presiden Megawati Soekarnoputri), termasuk antara lain dengan menunda penerapan sistem
jaminan sosial nasional, menerapkan model defisit anggaran untuk menggenjot pembangunan
dan menambah utang luar negeri.
Untuk konsolidasi pemerintahan, ia menerjemahkannya sebagai membangun koalisi raksasa
bernama Kabinet Indonesia Bersatu yang di dalamnya nyaris semua partai politik diberi peran
dalam pemerintahan. Jika kita bandingkan dengan Perdana Menteri Tony Abbott dari
Australia yang terpilih pada Maret 2013, sikap SBY relatif mencari aman. Ketika Tony
17. 17
Abbott berkuasa, ia langsung menerapkan kebijakan kontroversial, yakni melakukan
penindakan keras terhadap para pencari suaka yang bergerak dari kepulauan Indonesia.
Tanpa peduli pada reaksi Indonesia, Australia bahkan menjanjikan kompensasi kepada para
aparat keamanan dan berwenang di Indonesiayang mau bekerja sama dengan Australia.
Tindakan itu diambil sebagai wujud kecepatan Abbott dalam memenuhi janji kampanyenya.
Janji itulah yang berhasil membuatnya meraih suara mayoritas dari pesaingnya, yakni Partai
Buruh.
Contoh lain adalah Presiden Barack Obama dari Amerika Serikat (AS). Ia terbilang cepat
bertindak juga, tetapi tidak segegabah Abbott. Ketika berkuasa, Obama langsung berupaya
melaksanakan janji penyelenggaraan asuransi kesehatan bagi seluruh masyarakat AS yang
belum punya asuransi kesehatan. Melalui jejaring sosial dan pidato-pidatonya ia berharap
untuk terus menggempur pertahanan oposisi untuk mendukung program tersebut.
Apa daya, ternyata sampai masuk ke periode kedua kepemimpinannya pun desakan Obama
tersebut masih saja mentah di parlemen. Bayangkan, seluruh keuangan pemerintah Federal
bahkan sempat terhenti selama 16 hari pada Oktober 2013 hanya karena penolakan kubu
Partai Republikan. Tentu sangat kita tunggu, apakah presiden pasca-SBY akan langsung
berusaha keras melaksanakan janji kampanyenya atau mengutamakan penggalangan
dukungan politik dari partai oposisi atau melanjutkan model kebijakan pemerintahan
sebelumnya.
Terlepas dari gaya kepemimpinan, sejumlah pekerjaan rumah bagi Indonesia terbilang
mendesak untuk diselesaikan sebelum tahun berganti ke 2015. Pertama mengenai posisi
Indonesia dalam pasar bebas regional maupun global. Kedua capres sama-sama menjanjikan
kebijakan proteksionis dalam wacana debat. Sayangnya kebijakan macam itu sesungguhnya
sama-sama tidak praktis dalam jangka dekat.
Pasalnya, Indonesia juga punya kepentingan untuk membuka pasar negara-negara lain,
termasuk di Eropa dan AS yang belakangan juga mengarah pada kebijakan proteksi. Kalau
Indonesia justru menegakkan hambatan perdagangan, serangan balasan dari negara-negara
lain belum tentu bisa kita atasi dalam waktu cepat. Yang bisa dan perlu digerakkan dengan
cepat adalah sektor produksi ekspor dari Indonesia, baik dari segi insentif, fasilitas ekspor
(termasuk di pelabuhan dan perihal perizinan serta urusan logistik) maupun standardisasi
mutu ekspor (mulai dari soal kemasan sampai keamanan mutunya). Karena sejatinya sudah
ada sejumlah produsen lokal yang berani mengekspor, hanya saja mereka melakukannya
dengan tidak terorganisasi dengan baik, bahkan dengan biaya tinggi.
Yang kedua, era pasar bebas juga menuntut perlindungan tenaga kerja yang lebih optimal dan
efektif. Jelas bahwa urusan perlindungan tenaga kerja ini bukanlah soal berapa standar upah
bagi buruh semata, tetapi lebih pada jaminan asuransi dan standar mutu.
Tidak hanya yang berpendidikan rendah yang perlu dilindungi, tetapi yang berpendidikan
18. 18
tinggi pun patut diayomi. Seperti pernah dikatakan Wakil Menteri Perdagangan Mahendra
Siregar: modal terbesar ekonomi Indonesia adalah manusianya. Artinya, jangan sampai
melupakan tindakan cepat untuk membekali tenaga kerja Indonesia untuk siap tanding di
arena pasar bebas.
Yang ketiga, perihal keamanan dan ketahanan nasional. Hal-hal yang meresahkan masyarakat
akibat pembiaran terhadap aksi kekerasan, intimidasi, diskriminasi kelompok (termasuk yang
berbasis SARA) serta pelanggaran hukum (termasuk betapa ternyata lapas di negeri ini masih
bisa diakali oleh para orang berduit untuk berbisnis dari balik jeruji besi) harus segera
ditindak tegas. Rakyat sudah jenuh dengan sikap tidak berdaya pemerintah terhadap pihak
yang disebut ”oknum”.
Karena penegakan hukum adalah basis untuk menambah kredibilitas pemerintah, siapa pun
yang terpilih dalam pilpres kali ini selayaknya punya motivasi untuk memperbaiki kondisi ini
dalam program 100 hari.
19. 19
Tantangan Politik Pasca-Pilpres
Kampanye pilpres usai sudah. Kini nasib dua pasangan capres-cawapres berada di tangan
rakyat sebagai pemilik kedaulatan.
Andaikan PDIP dan Gerindra masih berpegang teguh pada kesepakatan Batu Tulis yang
dibuatnya tahun 2009, agaknya bisa dipastikan bahwa pemerintahan Indonesia 2014-2019
menjadi milik mereka. Dengan absennya SBY, sejauh ini elektabilitas Prabowo Subianto
(Gerindra) dan Joko Widodo (PDIP) tak tertandingi. Namun, sejarah tak selurus jalan kereta.
Kini keduanya justru saling berhadapan untuk memperebutkan kursi kepresidenan tanpa
pesaing lain.
Dalam politik, hal itu bukan sebuah keanehan, sebab yang abadi memang bukan kawan dan
lawan melainkan kepentingan. Meskipun demikian, Pilpres 2014 dapat dikatakan unik.
Dengan 12 partai politik, setidaknya bisa ada tiga pasang capres-cawapres yang bertarung
dalam pilpres. Bahwa kenyataannya berbeda sepertinya juga di luar antisipasi para perumus
Konstitusi dan penyusun UU Pilpres.
Persoalan hukum pun muncul berkenaan dengan Pasal 159 ayat 1 Undang- Undang Nomor
42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, dan memaksa KPU harus
mendengarkan keputusan Mahkamah Konstitusi. Pasalnya, haruskah pilpres yang hanya
diikuti oleh dua pasang kandidat tetap digelar dua putaran bila pemenang suara terbanyak
tidak memenuhi sedikitnya 20 (dua puluh) persen suara di setiap provinsi yang tersebar di
lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia sesuai dengan bunyi UU?
Sebagai runner up pileg Partai Golkar bukan tidak berjuang keras untuk mencapreskan ketua
umumnya sebagai capres. Namun, capres yang ditawarkannya tak laku. Sebab,
elektabilitasnya dipandang tidak kompetitif. Partai-partai lain cenderung memilih merapat ke
PDIP atau Gerindra. Demikian juga dengan partai-partai Islam yang secara teoretis (UU
pilpres) bisa mengajukan calonnya sendiri.
Kenyataan tersebut seolah menunjukkan bahwa perilaku partai berada di bawah genggaman
”bayang-bayang” lembaga-lembaga survei. Lepas dari itu, tak bisa dipungkiri bahwa kedua
pasangan capres-cawapres yang bertarung dalam Pilpres 2014 (Prabowo-Hatta vs Jokowi-
JK) merupakan putra-putra terbaik bangsa. Keduanya juga memiliki tim sukses dan tim pakar
yang sama hebatnya.
Hasil lembaga-lembaga survei menunjukkan bahwa kekuatan politik keduanya juga
berimbang. Lepas dari siapa yang terpilih, bagi rakyat pertanyaan pentingnya adalah
mampukah presiden/wakil presiden terpilihnya membangun pemerintahan yang efektif dan
menyejahterakan rakyat sebagaimana janji mereka dalam kampanye?
20. 20
Koalisi Partai
Sebagaimana diketahui, hanya ada dua pasangan capres-cawapres dalam pilpres 2014.
Capres/cawapres Prabowo-Hatta didukung oleh tujuh partai politik, yakni partai Gerindra (73
kursi), Golkar (91 kursi), Demokrat (61 kursi), PAN (49 kursi), PKS (40 kursi), PPP (39
kursi) dan PBB (0 kursi); sedangkan pasangan Jokowi- JK didukung oleh lima partai politik,
yakni PDIP (109 kursi), PKB (47 kursi), Nasdem (35 kursi), Hanura (16 kursi), dan PKPI (0
kursi).
Dengan dukungan 353 (63,04%) kursi di parlemen, koalisi (kerja sama) pasangan Prabowo-
Hatta merupakan koalisi besar karena jumlah kursi yang dimiliki pasangan Jokowi-JK hanya
207 kursi (36,96%). Lebih kecilnya koalisi Jokowi-JK bukan berarti pasangan tersebut tak
mampu menggaet partai-partai lain.
Seperti halnya Gerindra, nyaris semua partai juga telah berusaha membangun koalisi dengan
PDIP. Masalahnya hanya sebagian kecil yang akhirnya menemukan titik temu untuk
berkoalisi dengan PDIP. Sebagian besarnya lagi ke Gerindra. Namun, sejarah pilpres
Indonesia menunjukkan bahwa faktor penentu kemenangan bukan besar-kecilnya jumlah
anggota koalisi. Yang lebih menentukan adalah faktor ketokohan capres-cawapres, solidnya
kerja sama antarpartai dan efektif tidaknya kerja mesin partai koalisi dalam memenangkan
pilpres.
Efektivitas Koalisi
Tanpa menafikan faktor-faktor lainnya, salah satu tantangan terbesar presiden/wakil presiden
terpilih (pemerintah baru) adalah terletak pada kemampuannya dalam membangun koalisi
pemerintahannya. Idealnya pembentukan koalisi antarpartai didasarkan atas kesamaan atau
setidaknya kemiripan ideologi, platform, dan visi-misi parpol. Bila tidak, setidaknya perlu
ada nilai dasar (basic/core values) yang akan dicapai oleh koalisi pemerintahan.
Hal tersebut penting untuk dapat membangun pemerintahan yang efektif dan melayani demi
terwujudnya kesejahteraan rakyat. Sesuai dengan amanat UUD 1945, tujuan utama
berpemerintahan adalah untuk memperjuangkan pelayanan dan kesejahteraan rakyat.
Oleh karena itu, pelayanan publik dan kesejahteraan rakyat merupakan nilai dasar yang
seharusnya melandasi koalisi. Namun melihat proses terbentuknya dua koalisi yang ada,
agaknya hal tersebut sulit diwujudkan. Seperti yang sudah-sudah proses pembentukan
koalisinya umumnya baru terjadi menjelang pendaftaran pilpres. Demikian juga dengan
penentuan masing-masing pasangannya.
Oleh karena itu, sulit untuk dinafikan bila muncul anggapan bahwa pembentukan koalisi
dalam pilpres lebih merupakan cara untuk mendapatkan, berbagi, dan/atau mempertahankan
kekuasaan, sebab yang lebih mengemuka adalah faktor kepentingan partai dan elitenya
21. 21
ketimbang ideologi, platform, dan misi partai. Indikasi ini, misalnya, terlihat sangat jelas dari
pilihan koalisi PKB dan PPP yang saling berseberangan, pada keduanya sama-sama berbasis
utama NU.
Fenomena tersebut bukannya tanpa risiko. Sejumlah elite dan kader partai yang merasa tak
sejalan dengan pilihan koalisi partainya banyak yang mengambil pilihan yang berseberangan
dengan partainya. Contohnya antara lain terjadi di Golkar, PKB, Demokrat, dan PAN.
Seperti yang dialami pemerintahan SBY, koalisi yang dibangun secara dadakan jelas rentan
dengan perpecahan atau setidaknya dengan ketidakstabilan bangunan koalisinya. Hal tersebut
telah dialami pemerintahan SBY. Dalam beberapa kasus, seperti kasus Century, PKS dan
Golkar yang sama-sama berada dalam pemerintahan kerap mengambil kebijakan yang
bertentangan dengan pemerintah.
Sejauh ini, Sekretariat Gabungan (Setgab) Partai Koalisi yang dibangun untuk menstabilkan
anggota koalisi hanya menjadi aksesori karena tak berfungsi. Persoalan tersebut bukannya
tanpa solusi. Lepas dari besar kecilnya anggota koalisinya, yang diperlukan adalah kontrak
politik yang mengikat anggota koalisi.
Kontrak politik tersebut tidak hanya berisi kewajiban dan hak parpol dalam koalisi, lebih dari
itu hendaknya juga memuat tujuan yang akan dicapai koalisi dalam pemerintahan dan sanksi
tegas bagi parpol yang tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah. Yang tersebut terakhir
sangat penting karena itulah salah satu kelemahan pemerintahan koalisi SBY selama ini.
Pemerintahan SBY dianggap tidak tegas terhadap anggota partai koalisi yang berseberangan
dengannya. Dalam hal koalisi pilpres, idealnya arah koalisi dalam membentuk konser
demokrasi yang terkonsolidasi mestinya jelas, terformat, terukur dan solid agar penguatan
sistem presidensial yang mengedepankan mekanisme checks and balances dapat diwujudkan.
Untuk itu, meskipun bentuknya koalisi ”pelangi”, koalisi tersebut harus kukuh dan tidak
hanya menonjolkan pragmatisme dan kepentingan jangka pendek, seperti sekadar ”bagi-bagi
kursi” di kabinet saja, tetapi juga harus diarahkan untuk merekonstruksi sistem politik
demokratik yang kuat, stabil dan produktif dan efektif.
Bertentangan dengan hal tersebut, di tataran praksis, drama koalisi politik yang berlangsung
belakangan ini tak ubahnya seperti dagelan ketoprak atau lenong yang alur ceritanya berakhir
dengan antiklimaks dan happy ending untuk sekelompok elite/partai. Lobi-lobi yang
dilakukan untuk membangun koalisi sampai menjelang pendaftaran pilpres seolah
menyiratkan besarnya representasi politik yang diamanatkan rakyat dan konstituennya.
Ketika koalisinya terbentuk, argumentasi para elite parpol umumnya bersembunyi di balik
ungkapan klise bahwa tak ada yang tak mungkin dalam politik. Seperti yang dialami SBY,
koalisi besar yang dibangun poros Gerindra rentan menimbulkan masalah. pengalaman
Setgab dalam koalisi pemerintahan SBY menunjukkan sulitnya membangun soliditas internal
22. 22
koalisinya dan lemahnya kepemimpinan dari leading partainya.
Kondisi tersebut telah membuat kinerja pemerintah kurang efektif karena anggota partai
koalisi di pemerintahan yang acap sangat kritis dan berseberangan kebijakan pemerintah tak
mendapat sanksi yang keras dan tegas. Atas dasar itu, bila terpilih, ke depan pemerintahan
Prabowo-Hatta perlu menunjukkan sikap tegasnya dalam membangun koalisi dengan format
baru yaitu model koalisi yang efektif yang paralel antara di pemerintahan dan parlemen.
Ini diperlukan agar program-program yang menjadi kebijakan pemerintah mendapatkan
dukungan penuh di parlemen. Artinya, partai-partai pendukung dalam koalisi harus solid dan
tidak mencla-mencle. Sekali mendukung koalisi, mereka harus konsisten. Permasalahan
koalisi besar tak hanya menyangkut soliditas dan konsistensi saja tapi juga isu kepemimpinan
(leadership) seorang presiden dalam mengelola koalisi.
Sementara itu, koalisi yang relatif tidak besar yang dibangun PDIP juga harus bisa
membangun pemerintahan yang efektif dan tak dibebani politik transaksional. Masalahnya,
pada dasarnya tak ada koalisi yang tidak didasarkan atas kepentingan untuk menduduki
kekuasaan. It goes without saying, orientasi kepentingan dan kekuasaan telah melekat di
dalamnya.
Salah satu problem lainnya adalah bagaimana pemerintahan nanti bisa menghadapi
kedigdayaan DPR? Dengan suara 207 (36,96%) dari total 560 kursi di parlemen, koalisi ini
harus mampu membangun kekuatan politik untuk mengegolkan program-programnya bila
mendapat tentangan dari mayoritas anggota.
Dengan kekuatan suara yang lemah di DPR, koalisi Jokowi-JK (bila terpilih) harus selalu
menjaga hubungan baiknya dengan kekuatan politik ekstra parlementer, seperti LSM, media,
dan ormas, untuk mengimbangi koalisi besar di parlemen. Zig-zag politik yang dilakukan
para elite parpol dalam membangun koalisi dengan mengedepankan kepentingan sempit jelas
tidak memberikan pendidikan politik yang baik pada masyarakat.
Hal tersebut akan mencederai kepentingan politik para pemilihnya. Pasalnya, harapan rakyat
untuk memperbaiki nasibnya akan semakin jauh dari kenyataan. Bagi rakyat akhirnya yang
membuat mereka masih bisa bernapas lega adalah kemungkinan terselenggaranya Pilpres
2014 yang aman, transparan, jujur, dan adil.
Dalam kemiskinan hanya rasa aman yang membuat mereka masih bisa tersenyum.
Pertanyaannya adalah apakah Pilpres 2014 berhasil memunculkan ”dwitunggal” pemimpin
nasional yang memiliki mata hati untuk tidak terus menciderai rakyat.
R. SITI ZUHRO
Profesor Riset LIPI
23. 23
Memaknai Kemenangan
Rakyat Indonesia sudah menunaikan haknya untuk memilih presiden yang akan memimpin
bangsa besar ini lima tahun ke depan. Antusiasme masyarakat mengikuti pilpres kali ini,
sudah terasa sejak masa kampanye terbuka bergulir.
Beragam bentuk dukungan digulirkan segenap elemen masyarakat melalui deklarasi
komunitas, organisasi, ekspresi simbolik di media massa maupun media sosial. Pemilu
presiden kali ini memang menjadi pemilu paling kompetitif karena sejak awal menghadirkan
hanya dua pasang kandidat. Wajar jika secara faktual masyarakat terpolarisasi ke dalam dua
arus utama dukungan.
Quick Count
Setelah waktu pencoblosan, hal yang banyak mendapatkan sorotan adalah hitung cepat (quick
count) beberapa lembaga survei yang difasilitasi oleh televisi dan radio. Bukan hal baru, jika
media memublikasikan hitung cepat karena sejak Pemilu 2004 dan 2009 fenomena ini sudah
menjadi bagian yang lumrah dilakukan sejumlah lembaga survei. Tetapi kali ini beda!
Lembaga survei terbelah dalam publikasi hitung cepatnya, ada yang memenangkan kubu
Prabowo-Hatta, banyak juga yang mengunggulkan pasangan Jokowi-JK.
Hingga pukul 20.00 WIB (9/7), ada empat lembaga survei yang memenangkan pasangan
nomor 1 Prabowo-Hatta. Jaringan Survei Indonesia (JSI) menempatkan Prabowo-Hatta
dengan perolehan 50,36% dan Jokowi-JK 49,64%. Pusat Kajian Kebijakan dan Pembangunan
Strategis (Puskaptis) mengunggulkan Prabowo-Hatta dengan angka 52,05% dan Jokowi- JK
47,95%. Di hitung cepat LSN, Prabowo-Hatta 50,54% dan Jokowi-JK 49,46%. Indonesia
Research Center (IRC) menutup hasil hitung cepat dengan perolehan pasangan Prabowo-
Hatta mencapai 51,11% dan pasangan Jokowi-JK mencapai 48,89%.
Di sisi lain, pasangan nomor 2 Jokowi-JK menang di quick count CSIS-Cyrus 52,1%,
sedangkan Prabowo-Hatta 47,9%. Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC) dengan
52,76% untuk Jokowi-JK dan Prabowo-Hatta 47,24%. Lingkaran Survei Indonesia (LSI)
Jokowi-JK 53,35%, Prabowo Hatta 46,65%. Litbang Kompas, Jokowi-JK mendapat 52,26%
suara, sementara pasangan Prabowo-Hatta memperoleh 47,74%. Indikator Politik Indonesia
melansir Jokowi-JK mendapat 52,74% suara, sedangkan Prabowo Hatta 47,26%.
Perbedaan ini menjadi perdebatan panas para netizen di media sosial, di diskusi-diskusi grup
akademisi, dan obrolan banyak masyarakat awam. Di kalangan kelompok terdidik, diskusi
bergulir dalam hal kredibilitas lembaga survei, kepentingan ekonomi dan politik di balik
sejumlah lembaga hitung cepat, dan penyajiannya di media massa yang mulai menuai
keresahan pasca pencoblosan.
24. 24
Lantas, bagaimana seharusnya kita menyikapi perbedaan hasil hitung cepat sejumlah
lembaga? Quick count atau hitung cepat adalah penghitungan hasil pemilu berdasarkan hasil
yang diperoleh dari beberapa TPS sebagai sampel. Dengan mempergunakan
perhitungan/metodologi tertentu, hasil yang diperoleh pada sampel-sampel tersebut akan
memberikan gambaran perolehan suara secara keseluruhan secara akurat dan cepat.
Secara teknis, quick count hanya menghitung sampel data dari TPS. Misalnya dari 12.000
TPS, data yang diambil hanya dari 1.200 TPS. Penyenggara quick count biasanya lengkap
dengan tim yang disebarkan ke semua sampel TPS. Penyelenggara hitung cepat hanya
melaporkan data total, tidak bisa data detail per TPS. Hitung cepat ini tentu saja merupakan
pendekatan ilmiah yang lazim digunakan dalam praktik demokrasi elektoral modern.
Biasanya dipakai untuk dua hal.
Pertama, memprediksi kemenangan lebih cepat dari hitungan nyata (real count). Kedua, bisa
menjadi alat kontrol dalam pengawalan rekapitulasi suara berjenjang yang akan dilakukan
oleh KPU. Keberadaan hitung cepat diakui UU No 42 Tahun 2008 Pasal 186 ayat 2 sebagai
wujud partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pilpres.
Kedewasaan Politik
Ada beberapa catatan kritis terkait dengan hitung cepat sejumlah lembaga survei dalam
kaitannya dengan proses literasi politik di masyarakat. Pertama, seluruh lembaga survei
memang perlu menjaga integritas dan profesionalitas dalam melakukan hitung cepat.
Sebagaimana kita ketahui, eksistensi lembaga survei sedari awal memang memperoleh
tempat dalam pilihan demokrasi yang kita anut.
Supremasi warga negara sebagai istilah lain dari kedaulatan rakyat mengharuskan
pengelolaan negara senantiasa mendengar kehendak umum yang oleh Rousseau dalam
traktatnya diistilahkan sebagai the general will. Perkembangannya, the general will ini kerap
disepadankan dengan llopinion publique atau opini publik. Survei, hitung cepat, maupun exit
poll bukan semata membutuhkan kemampuan teknis, melainkan juga nilai luhur marwah
akademik.
Kedua, hitung cepat ini harus dipahami bukan sebagai justifikasi kemenangan resmi.
Rekapitulasi suara sah nasional yang akan diumumkan KPU pada 22 Juli-lah yang menjadi
real count. Basis real count itu menghitung data dari semua TPS, maksudnya data 100% dari
semua TPS, bukan diambil dari sampel. Basis data real count tentu saja berjenjang dari TPS,
ke kelurahan, kecamatan, hingga nasional. Dalam konteks itulah, semua masyarakat harus
memahami bahwa di tengah situasi yang serba sensitif dan rawan gesekan di antara para
pendukung dari dua kubu berbeda sebaiknya hati-hati melakukan klaim kemenangan.
Bisa saja masing-masing kandidat mengumumkan dan menjadikan data hasil hitung cepat
beberapa lembaga survei, tetapi harus dengan tegas dan jelas dinyatakan bahwa kemenangan
25. 25
yang dimaksud adalah versi lembaga survei yang merilis hitung cepat dan masih harus
menunggu serta menghormati pengumuman resmi KPU.
Ketiga, media juga harus turut berhati-hati saat memublikasikan informasi hitung cepat ini.
Harus tetap mengacu pada kaidah-kaidah jurnalistik, jangan memancing di air keruh.
Misalnya tidak menjadikan hitung cepat sebagai upaya glorifikasi, propaganda, pengaburan
fakta, dramatisasi fakta palsu, atau provokasi di tengah masyarakat. Saatnya para kandidat
dan masyarakat lebih bijak dalam memahami dan memaknai fenomena ini.
Jangan sampai karena kesimpangsiuran informasi hitung cepat dan arogansi masing-masing
pasangan dalam mengklaim kemenangan prematur, menciptakan situasi tidak kondusif dan
merangsang konflik horizontal di masyarakat. Kemenangan dan kekalahan pada akhirnya
akan datang dan semua harus siap menerimanya. ●
DR GUN GUN HERYANTO
Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute dan Dosen Komunikasi Politik UIN
Jakarta
26. 26
Agenda Hukum Presiden Baru
Siapa pun yang terpilih dalam Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2014,
yang pasti Indonesia akan memiliki presiden dan wakil presiden baru.
Kepastian memiliki presiden (dan wakil presiden) baru disebabkan petahana (incumbent),
yaitu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Wakil Presiden Boediono tidak lagi
menjadi calon dalam Pemilu 2014. Khusus bagi Yudhoyono, ketentuan Pasal 7 UUD 1945
tidak memungkinkan baginya menjadi presiden untuk periode ketiga. Karena tidak diikuti
petahana, kontestasi politik memperebutkan posisi RI-1 dan RI-2 berlangsung ketat.
Dalam batas-batas tertentu, perkembangan dari hari-hari terasa begitu menegangkan. Segala
macam upaya dan manuver telah dilakukan untuk meraih dukungan pemilih. Bahkan bila
hendak berkata dengan jujur, suasana kali ini jauh lebih kontroversial dibandingkan Pilpres
2009. Namun demikian, apa pun, hari ini, 9 Juli, pemilih akan menunjukkan daulatnya untuk
menentukan siapa di antara Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf Kalla
yang nilai layak memimpin Indonesia lima tahun ke depan.
Di tengah penantian hasil akhir pilihan rakyat, banyak kalangan berharap agar segala
perbedaan dan karut-karut menuju pemungutan suara tidak menjadi pemicu yang dapat
memecah-belah kita dan negeri ini. Karena itu, supaya tidak terlalu lama terjebak dalam
perbedaan, waktunya mengemukakan berbagai agenda yang harus dikerjakan presiden baru
ke depan. Paling tidak, begitu pilihan rakyat dapat dilacak arahnya, peraih dukungan
mayoritas pemilih mulai menyusun agenda lima tahun ke depan.
Tulisan ini hanya fokus pada tawaran agenda hukum yang mestinya dilakukan presiden baru.
Bagaimanapun, salah satu masalah mendasar yang harus dipecahkan dan ditata dengan baik
adalah agenda di bidang hukum. Jamak dipahami, membahas isu hukum tidak bisa dilepaskan
dari tiga persoalan mendasar, yaitu substansi hukum (legal substance), struktur hukum (legal
structure), dan budaya hukum (legal culture).
Dalam konteks agenda hukum, ketiganya tidak mungkin dipisahkan satu dengan yang
lainnya. Namun, dalam kesempatan ini yang coba sedikit disentuh adalah soal substansi
hukum dan struktur hukum.
Politik Legislasi
Pada tingkat pembentukan substansi hukum, banyak kalangan berpendapat, di antara
penyebab laten sulitnya melakukan penegakan hukum karena begitu banyak aturan hukum
27. 27
yang tidak jelas, memiliki makna ganda (multiinterpretasi), dan tidak sinkron antara yang
satu dan yang lainnya.
Karena itu, dalam berbagai aspek termasuk dalam upaya memberantas korupsi, misalnya,
aturan hukum yang demikian acap dinilai sebagai salah satu faktor yang memberi kontribusi
besar atas kegagalan menghentikan gurita korupsi di negeri ini. Ketiga penyakit akut pada
substansi hukum tersebut hanya mungkin diselesaikan sekiranya presiden baru memiliki
political will untuk membangun dan membenahi politik legislasi.
Dalam produk hukum yang berupa undang-undang (UU), misalnya, bermula dari fase
persiapan harus melakukan identifikasi setiap draf rancangan undang-undang (RUU) yang
kemungkinan akan saling tumpang-tindih dengan peraturan yang ada. Paling tidak, kantor
atau instansi di bawah presiden harus mampu melakukan konsolidasi semua draf RUU yang
berasal dari usulan inisiatif pemerintah.
Selama ini, ketidaksinkronan materi UU sudah dimulai sejak draf RUU disiapkan pemerintah
(dan juga yang disiapkan DPR). Di sisi pemerintah, salah satu penyebabnya, presiden gagal
menghentikan egosektoral di antara kementerian/lembaga yang berada di ranah eksekutif
utamanya yang terdapat persentuhan kewenangan. Padahal, sesama instansi yang berada di
bawah presiden, sejak semula sudah dapat dicegah adanya norma atau pasal-pasal dalam UU
yang saling bertentangan dengan UU yang lain.
Paling tidak, misalnya, kecenderungan ini dengan mudah dapat dilacak dari UU yang berada
di wilayah pengelolaan sumber daya alam. Padahal, diyakini, dengan UU yang tidak sinkron,
pengelolaan sumber daya alam tidak hanya masif dengan praktik koruptif, tetapi juga
semakin hancurnya sumber daya alam. Dalam batas penalaran yang wajar, bila dalam UU
terjadi pengaturan yang tidak sinkron maka dapat dipastikan aturan pelaksana akan semakin
banyak yang saling bertentangan.
Akibatnya, dalam praktik, masing-masing kementerian/lembaga berjalan dengan logika
masing-masing dan seperti tidak ada hubungan satu sama lain. Padahal bila dilihat dari sudut
penyelenggaraan negara, kementerian menjalankan mandat presiden sesuai dengan
pembidangan masing-masing. Meski telah sejak lama diketahui sebagai penyakit akut,
sampai sejauh ini, presiden seperti kehilangan nyali mengatasinya.
Persoalan lain yang tidak kalah seriusnya di wilayah legislasi yang memerlukan perhatian
serius presiden baru adalah pola pembahasan RUU di DPR. Merujuk Pasal 20 ayat (2) UUD
1945, setiap RUU dibahas oleh DPR dan presiden untuk mendapat persetujuan bersama.
Dalam praktik yang terjadi selama ini, pembahasan RUU di DPR bukanlah antara DPR dan
presiden atau menteri yang ditunjuk, melainkan antara fraksi-fraksi di DPR dengan
pemerintah.
Padahal dengan ketentuan itu, pembahasan bersama antara DPR dan pemerintah dilakukan
dalam pola bipartit atau kalau menyangkut Pasal 22D UUD 1945, pola pembahasan adalah
28. 28
tripartit (DPR-Presiden-DPD). Karena itu, jika konsisten dengan Pasal 20 ayat (2) UUD
1945, sebelum dibahas bersama, secara internal, DPR harus menyelesaikan terlebih dulu
daftar inventarisasi masalah (DIM) antarfraksi.
Hasil pembahasan tersebut kemudian menghasilkan DIM DPR dan selama belum selesai
urusan internal DPR pembahasan dengan pemerintah belum dapat dilakukan. Dengan logika
ini, saat membahas bersama dengan pemerintah, yang dibahas adalah DIM DPR dan DIM
pemerintah.
Selama ini, karena tidak tunduk dengan Pasal 20 ayat (2) UUD 1945, pemerintah harus
berhadap dengan semua fraksi yang ada. Akibatnya, pembahasan menjadi jauh dari efisien,
panjang dan bertele-tele. Karenaitu, menjadi sangat wajar produktivitas legislasi dari waktu
ke waktu cenderung menurun.
Pemberantasan Korupsi
Kalau dibaca visi-misi pasangan calon, keduanya memiliki pandangan yang sama soal
pemberantasan korupsi. Paling tidak pandangan begitu dapat dibaca dari komitmen mereka
untuk mendukung dan memperkuat peran KPK. Salah satu yang akan mereka lakukan adalah
menambah tenaga penyidik KPK dan menjaga independensi lembaga ini dari pengaruh
kekuatan politik.
Tidak hanya itu, kedua calon juga sepandangan untuk melakukan sinergi antara KPK,
kejaksaan, dan kepolisian dalam pemberantasan korupsi. Melihat praktik korupsi yang
semakin menggurita di negeri ini, semua agenda yang berujung pada penguatan
pemberantasan korupsi harus didukung dan diberi apresiasi secara khusus.
Selama ini, salah satu persoalan yang kian mempersulit upaya pemberantasan korupsi adalah
kuatnya tekanan politik kepada aparat penegak hukum. Kalau mau berkata jujur, tekanan
tersebut tidak hanya terjadi ke KPK tetapi juga dialami kepolisian dan kejaksaan. Karena itu,
salah satu tugas sangat penting presiden baru adalah memastikan bahwa penegak hukum jauh
dari tekanan politik.
Selain itu, presiden baru harus mampu membangun sistem yang dapat memastikan
berkurangnya praktik korupsi. Sebagaimana diketahui, pencegahan merupakan langkah
penting dalam memberantas korupsi. Jamak dipahami, langkah itu haruslah bertumpu pada
desain yang dipersiapkan pemerintah. Selama desainnya tidak baik, apa pun bentuk dan
langkah penindakan yang dilakukan KPK, kepolisian, dan kejaksaan hampir dapat dipastikan
tidak akan mampu menghambat laju praktik korupsi.
Semoga kedua agenda di atas menjadi prioritas utama di antara himpunan agenda hukum
yang harus dilakukan presiden baru hasil Pilpres 2014. Semoga saja, presiden dan wakil
presiden baru tidak datang dengan janji gombal.
29. 29
Kita berharap, hari pelantikan, 20 Oktober mendatang, tidak menjadi hari pertama untuk
meninggalkan semua pohon janji yang telah dikemukakan kepada rakyat. Akhirnya, selamat
memilih!
SALDI ISRA
Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas
Hukum Universitas Andalas, Padang
30. 30
Gaza dan Berahi Israel Akan Perang
“Perdamaian tak bisa terwujud dari ketidakadilan “ --Paus Fransiskus
Perdamaian adalah sesuatu yang rapuh, khususnya di Palestina. Bila tercipta perdamaian
beberapa saat saja, naluri agresi manusia yang doyan mengobral senjata segera
mengoyaknya. Inilah yang terjadi di Jalur Gaza. Sejak Selasa (8/7) Israel kembali menginvasi
Jalur Gaza.
Kemungkinan besar, motif serangan Israel ke Gaza kali ini lebih dipicu oleh kemarahan
publik Israel atas tewasnya tiga remaja Israel baru-baru ini, yang menurut publik Israel
dilakukan oleh Hamas. Pemerintah Israel mendapat tekanan dari publik yang geram atas
tewasnya tiga remaja itu. Padahal, belum tentu Hamas menjadi pelakunya.
Terus Jadi Sasaran
Gaza yang dikuasai Hamas memang sering jadi bulan-bulanan Israel. Publik dunia tentu tidak
melupakan serangan Israel di Jalur Gaza, 27 Desember 2008-18 Januari 2009 yang
menewaskan 1.400 jiwa dan mencederai 5.000 warga Palestina. Banyak juga pentolan Hamas
yang dibunuh Israel. Kita tentu tak pernah lupa bagaimana tiga rudal Israel menewaskan
pendiri sekaligus pemimpin spiritual Hamas, Sheikh Ahmed Yassin saat ia hendak
meninggalkan masjid seusai menunaikan salat Subuh, (22/3/2004).
Belum genap sebulan setelah kematian Yassin, giliran Abdel Aziz Rantissi, pengganti Yassin,
juga tewas ditembak rudal tentara Israel (17/4/2004). Israel kembali menewaskan tokoh
Hamas, Adnan al-Ghoul, dalam serangan rudal di Jalur Gaza (21/10/2004). Melihat
dahsyatnya dampak dari serangan ke Gaza pada awal 2009, Pemerintah Israel pernah hendak
diajukan ke Mahkamah Kriminal Internasional di Den Haag dengan tuduhan telah melakukan
kejahatan terhadap kemanusiaan.
Menariknya, tuduhan tersebut justru dilontarkan oleh jaksa bereputasi internasional asal
Afrika Selatan, Richard Goldstone, yang berdarah Yahudi. Goldstone bersama timnya telah
membuat laporan setebal 575 halaman yang berjudul “Misi PBB untuk Pencari Fakta dalam
Perang di Jalur Gaza”, yang dipublikasikan pertengahan September lalu. Goldstone
menyimpulkan, sesuai hukum internasional, Israel telah melakukan kejahatan perang di Jalur
Gaza.
Goldstone pun merekomendasikan Israel diadili di Mahkamah Internasional. Laporan
Goldstone menggegerkan dunia, termasuk Israel. Amerika Serikat keberatan atas laporan
Goldstone dan menyebutnya tidak objektif karena memberatkan Israel, sekutu abadinya.
Semula, laporan Golstone hendak dibahas dalam sidang Dewan HAM PBB pada 2 Oktober
31. 31
2009. Namun anehnya, atas permintaan Presiden Palestina Mahmoud Abbas, sidang ditunda
hingga Maret 2010.
Langkah Abbas ini dikecam Hamas sehingga makin menjauhkan Hamas dan Fatah dari
agenda rekonsiliasi di internal Palestina. Abbas memang tunduk kepada tekanan AS yang
sudah sejak jauh hari berpesan agar Otoritas Palestina jangan bersikap terlalu keras pada
Pemerintah Israel, termasuk dalam menyikapi laporan Goldstone. Sebab bila Israel dikerasi,
hanya akan membuat Israel menarik diri dari proses perdamaian.
Boleh jadi pertimbangan Abbas seperti itu juga bertumpu pada fakta bahwa akses
penghidupan dan kehidupan rakyat Palestina hampir semuanya dikuasai Israel. Sidang HAM
PBB yang membahas laporan Goldstone pada Maret 2010 tapi Israel tidak diajukan ke
Mahkamah Internasional karena veto Amerika Serikat.
Para analis masalah Timur Tengah memang sudah yakin bahwa Israel tidak akan pernah bisa
diseret ke Mahkamah Internasional karena masih adanya hak veto AS. Kecuali itu, Israel
selama ini “doyan” melanggar berbagai resolusi dan regulasi PBB. Misalnya, Israel tidak
pernah mematuhi Resolusi No.242/1967 yang mewajibkan negeri Yahudi tersebut untuk
mengembalikan wilayah-wilayah Palestina, Suriah, dan Libanon yang didudukinya secara
tidak sah dalam perang Arab-Israel tahun 1967.
Kegemaran Israel membangun tembok juga pernah dilaporkan ke Mahkamah Internasional.
Namun, Pemerintah Israel justru menganggap Mahkamah Internasional mencampuri urusan
dalam negeri Israel. Pembangunan tembok pun terus berjalan. Melihat sikap keras kepala
Israel, tampaknya prospek perdamaian di bumi Palestina kian tak cerah. Apalagi masyarakat
Internasional yang diwakili PBB sering kali bersikap tidak adil kepada bangsa Palestina.
Ketidakadilan terbesar terjadi ketika Dewan Keamanan PBB mengesahkan negara Israel
dengan Resolusi No.181/1947 yang berdiri di atas wilayah Palestina. Padahal kita tahu,
berdirinya Israel ditumbali dengan terusirnya jutaan warga Palestina dari kampung halaman
mereka.
Sebagian harus hidup dalam penderitaan di banyak kamp pengungsian, seperti di Lebanon
atau Yordania. Populasi warga Kristen Palestina, yang sudah ada sejak jaman Yesus,
misalnya, juga kian menyusut. Mereka lebih suka pindah ke mancanegara.
Provokasi Israel
Sayangnya Pemerintah Israel masih terus memprovokasi dengan mendirikan pemukiman
baru bagi warga Yahudi, khususnya di Yerusalem Timur. Proses “Yahudisasi Yerusalem”
yang terus dilakukan Israel jelas provokatif dan kerap dikecam. Pada kunjungan tiga harinya
ke Palestina pada bulan Mei lalu, Paus Fransiskus sempat mendatangi Masjid Al Aqsa di
Jerusalem Senin (26/5) dan meminta agar Israel menghentikan kebijakan provokatifnya atas
Palestina.
32. 32
Paus juga sudah menempuh jalan lembut dengan mengajak Presiden Israel Shimon Peres dan
Presiden Palestina Mahmoud Abbas berdoa bersama bagi terciptanya perdamaian di Vatikan
pada Minggu (8/6). Paus sadar, doa bersama itu bukan untuk mencari solusi. Tapi, doa
mungkin lebih baik daripada bersikap diam, seperti diamnya banyak negara atas agresi
terbaru ke Gaza kali ini. Memang perdamaian di bumi Palestina sulit terwujud jika masih ada
ketidakadilan, sebagaimana ditulis di awal tulisan ini.
Kini, semua sangat bergantung pada kemauan politik Pemerintah Israel dan sekutunya,
khususnya Amerika Serikat, apakah berani menaikkan status otoritas Palestina sebagai negara
merdeka yang berdaulat penuh. Ini kunci bagi perdamaian itu.
Selama Palestina belum menjadi negara merdeka yang berdaulat penuh, perdamaian memang
sulit diwujudkan di Palestina, apalagi Israel terus dilanda berahi untuk berperang. ●
TOM SAPTAATMAJA
Teolog
33. 33
Israel Tak Ingin Perdamaian
Beberapa hari terakhir ini dunia kembali disuguhi keganasan militer zionis Israel. Mereka
membombardir wilayah Jalur Gaza, Palestina. Alasannya adalah untuk menghancurkan
kekuatan Hamas.
Akibat kekejian Israel tersebut, puluhan orang menjadi korban meninggal dunia, termasuk
anak-anak yang tidak berdosa. Serangan udara Israel itu sedikitnya telah menewaskan 85
orang sejak operasi dimulai, termasuk setidaknya 11 perempuan dan 18 anak-anak. Militer
Israel mengatakan, dalam semalam lebih dari 300 tempat di Gaza menjadi target, sehingga
jumlah serangan lebih dari 48 jam bisa mencapai 750 sasaran. Ini adalah operasi militer Israel
terbesar di Gaza sejak November 2012.
Kelompok Hamas tidak tinggal diam. Pada hari Selasa mereka menembakkan 117 roket ke
arah Israel, tetapi 29 roket berhasil dicegat oleh sistem anti-rudal Israel. Rabu Hamas kembali
melawan dengan meluncurkan 90 roket, tetapi Israel mencegat 24 roket. Pada hari Kamis 15
roket menghantam Israel, sementara tujuh lainnya dicegat. Sejauh ini tidak ada kematian di
pihak Israel.
* * *
Kondisi ini tentunya sangat ironis. Sebulan lalu, 8 Juni 2014, di Vatikan diadakan doa
bersama untuk perdamaian Palestina dan Israel. Inisiatif datang dari Paus Fransiskus ketika
berkunjung ke Yerusalem, 25 Mei 2014. Di kota yang dihormati tiga agama samawi (Yahudi,
Kristen, Islam) itu, Paus Fransiskus menawarkan undangan pribadinya bagi pemimpin
Palestina Mahmoud Abbas dan Presiden Israel Shimon Peres untuk bergabung dengannya di
rumahnya di Vatikan guna “berdoa bersama sepenuh hati” bagi perdamaian.
Paus menuturkan membangun perdamaian itu tidak mudah, tetapi hidup tanpa perdamaian
akan menjadi siksaan terus-menerus. Undangan itu diterima oleh kedua belah pihak. Maka,
pada Minggu, 8 Juni 2014, Presiden Israel Shimon Peres dan pemimpin Palestina Mahmoud
Abbas ikut doa bersama Paus Fransiskus di Vatikan.
Acara semacam ini belum pernah terjadi sebelumnya, demi perdamaian di Timur Tengah.
Ketiga pemimpin itu bersama kepala gereja Orthodox Konstantinople, Bartholomew,
menyampaikan doa bersama kardinal, rabi dan imam dari ketiga agama (Kristen, Yahudi dan
Islam). Pertemuan selama dua jam di sebuah taman di Vatikan itu mencakup doa-doa dari
Kitab Perjanjian Lama dan Baru, serta Al Quran yang dibaca dalam bahasa Ibrani, Arab,
Inggris dan Italia.
Semestinya suasana kebatinan yang telah dibangun oleh Paus Fransiskus di Vatikan tersebut
dapat menjalar dalam proses perdamaian Palestina dan Israel yang mengalami deadlock. Doa
34. 34
bersama mestinya dapat menggugah hati untuk berusaha melakukan hal-hal yang lebih baik
bagi kehidupan umat manusia. Perdamaian dapat diinisiasi melalui kebutuhan akan hidup
bersama dengan menghargai adanya perbedaan.
Memang, dibutuhkan suatu keberanian dari seorang pemimpin untuk menyatakan kesediaan
berunding, demi terlaksananya perdamaian. Tidak mudah, tetapi dapat dimulai kalau mereka
mau dan bersedia. Tetapi, tampaknya Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu tidak
terpengaruh usaha dari Paus Fransiskus. Tidak begitu jelas mengapa Netanyahu lebih senang
berperang dari pada damai.
Sikap Netanyahu yang tidak senang damai terlihat juga ketika terjadi kesepakatan damai
antara faksi Fatah dan faksi Hamas. Dia dan para pemimpin Israel lainnya marah pada
Mahmoud Abbas sebagai pemimpin Fatah. Sebagaimana diketahui pada 23 April 2014, dua
kelompok pergerakan Palestina, Fatah dan Hamas, menandatangani kesepakatan untuk
bersatu. Kesepakatan ini juga sekaligus menandai berakhirnya perseteruan yang telah
berlangsung selama beberapa tahun antara dua organisasi perjuangan pembebasan Palestina
itu.
Dari sisi Palestina, kesepakatan Hamas dan Fatah patut disyukuri. Dengan demikian, ada
harapan untuk membangun kebersamaan. Mereka sepakat untuk membentuk satu
pemerintahan yang anggota kabinetnya terdiri dari para teknokrat. Setelah itu mereka dapat
melakukan pemilihan umum anggota parlemen dan presiden agar ada legitimasi baru bagi
pemerintahan Palestina. Pemilihan umum terakhir diadakan pada tahun 2006 yang
dimenangkan oleh kelompok Hamas.
Tetapi dalam perkembangannya, pemerintahan Palestina justru terbelah. Kelompok Fatah
menguasai wilayah Tepi Barat, sedangkan Hamas memerintah di Jalur Gaza. Oleh karena itu,
kesepakatan 23 April 2014 tentu baik bagi perjuangan rakyat Palestina. Menanggapi
kesepakatan Hamas dan Fatah, Netanyahu berang. Dia mengancam Presiden Palestina Abbas
untuk memilih “berdamai dengan Israel” atau “bersatu dengan Hamas”.
Netanyahu memaksa Abbas untuk memilih salah satu. Tetapi Abbas menghendaki kedua
dapat dicapai. Dia butuh adanya persatuan Fatah dan Hamas untuk memperkuat posisi
Palestina. Abbas juga ingin ada perdamaian dengan Israel agar ada kehidupan yang baik
antartetangga.
Sementara itu, Menteri Luar Negeri Israel Avigdor Lieberman mengatakan, penandatanganan
kesepakatan antara Hamas dan Fatah untuk membentuk pemerintahan persatuan berarti telah
mengakhiri proses perjanjian damai dengan Israel.
Sikap petinggi Israel tersebut tidak aneh. Mereka memang menghendaki Palestina terus
terbelah untuk mempermudah mengalahkannya. Israel mendekati kelompok Fatah, tetapi
memusuhi dan bahkan berusaha menghancurkan kelompok Hamas.
35. 35
* * *
Pengeboman wilayah Gaza oleh tentara Israel kali ini dalam rangka menghancurkan kekuatan
kelompok Hamas. Israel tidak begitu peduli siapa yang menjadi korban di Gaza. Perempuan
dan anak-anak yang mestinya dilindungi dalam peperangan, juga menjadi korban keganasan
tentara Israel. Melihat eskalasi yang terus berkembang, Amerika Serikat pada 9 Juli 2014
mendesak Israel dan Palestina untuk menurunkan ketegangan di Gaza dan menyatakan
keprihatinan atas keselamatan warga sipil di kedua belah pihak.
Juru bicara Departemen Luar Negeri Jen Psaki, mengatakan bahwa Menteri Luar Negeri AS
John Kerry telah berbicara pada hari sebelumnya dengan Perdana Menteri Israel Benjamin
Netanyahu dan berencana untuk berbicara dengan Presiden Palestina Mahmoud Abbas. Psaki
mengatakan: “We are concerned about the safety and security of civilians on both sides.” (Al
Ahram, 9 Juli 2014).
Sekjen PBB, Ban Ki-moon, ikut prihatin dan mendesak segera ada penghentian serangan
Israel terhadap warga sipil di Gaza. Sedangkan Presiden Palestina Mahmoud Abbas
menanggapi serangan Israel itu dengan sebutan“genosida”.
Di Ramallah, Tepi Barat, Abbas mengatakan: “It’s genocide; the killing of entire families is
genocide by Israel against our Palestinian people..... What’s happening now is a war against
the Palestinian people as a whole and not against the (militant) factions...... We know that
Israel is not defending it self, it is defending settlements, its main project.” (Al Ahram, 9 Juli
2014).
Menanggapi imbauan penghentian serangan Israel terhadap Gaza, Netanyahu justru
menjawab tidak akan ada gencatan senjata. Di depan Komisi Pertahanan dan Luar Negeri
Knesset (parlemen) Israel dia mengatakan, “I am not talking to anybody about a ceasefire
right now........It’s not even on the agenda.” (Haaretz, 10 Juli 2014).
Tampaknya, Netanyahu tidak mau berdamai dengan Palestina, khususnya kelompok Hamas.
Kalau hal itu terus berlangsung, maka sulit terjadi adanya kehidupan yang aman dan tenteram
antara Palestina dan Israel. Oleh karena itu, diperlukan usaha keras dari berbagai pihak,
termasuk DK PBB, untuk mencegah adanya korban sipil dari pihak yang bertikai. ●
M HAMDAN BASYAR
Peneliti Utama pada Puslit Politik-LIPI
36. 36
Menguji Vadilitas Quick Count
Publik dibuat bingung dengan keberadaan perbedaan hasil quick count (QC) Pemilihan
Presiden 2014 oleh berbagai lembaga survei. Mana dari hasil survei tersebut yang benar dan
akurat? Sejauh ini kita tidak tahu. Ini karena publik tidak memiliki dokumen bagaimana
survei QC didesain dan bagaimana data dikumpulkan, dikirim, dan diolah.
Kalau pertanyaannya, mana yang diyakini benar? Kalau soal keyakinan biasanya menyangkut
kredibilitas lembaga survei dalam melakukan survei-survei sebelumnya. Sayangnya,
kredibilitas tersebut saat ini sedang dipertaruhkan. Sebagian di antara para peneliti diragukan
kenetralannya karena ditengarai sebagai pendukung atau tim sukses salah satu calon
pasangan capres. Kontroversi ini bertambah setelah Burhanuddin Mutadi mengeluarkan
pertanyaan janggal: ”Kalau hasil hitungan resmi KPU nanti terjadi perbedaan dengan
lembaga survei yang ada di sini, saya percaya KPU yang salah dan hasil hitung cepat kami
tidak salah” (10/7).
Pertanyaan itu bertentangan dengan logika ilmiah dan hukum. Secara ilmiah siapa pun tahu
bahwa survei memiliki kelemahan dan tidak mungkin 100% akurat. Maka itu, tidak ada
survei yang menggunakan derajat kepercayaan 100% dan margin of error 0%. Boleh jadi
irasionalitas pernyataan ini disebabkan pada pilpres kali ini lembaga survei sedang diuji
kredibilitasnya– yang akan berdampak penting bagi masa depannya. Secara hukum
pertanyaan ini juga menyalahi aturan hukum bahwa hasil pilres yang diakui bukan dari QC,
melainkan dari hasil rekapitulasi perhitungan nyata KPU.
Ujilah dengan Cara Ilmiah
Menurut hemat saya, sebaiknya kita dorong lembaga survei untuk diuji kualitas survei QC
dengan cara ilmiah. Sejauh ini beberapa lembaga survei sudah mulai saling menantang untuk
diaudit dan buka-bukaan dapur survei mereka. Sayangnya, tantangan ini tidak ditanggapi
secara serius. Perdebatan di media masa sejauh ini baru menggunakan klaim bahwa
kebenaran seolah-olah dari mayoritas lembaga survei: jika mayoritas hasil survei sama, itulah
yang seharusnya diikuti. Padahal kebenaran tidak dinilai berdasarkan siapa yang lebih
banyak, tapi sejauh mana survei tersebut dilakukan dengan metode, proses, dan hasil yang
benar.
Menguji kualitas survei QC dapat dilakukan dengan beberapa cara: uji metodologi, uji proses,
dan uji hasil. Untuk uji hasil, tentu kita harus menunggu pengumuman real count KPU.
Apakah hasil QC mendekati sama atau masih dalam margin of error dengan hasil
perhitungan KPU. Untuk jenis uji ini, kita harus menunggu setidaknya sampai 22 Juli 2014,
sampai KPU mengumumkan hasilnya. Sampai tanggal tersebut, mungkin kontroversi hasil
QC akan terus terjadi. Lalu, bagaimana mengurangi kontroversi tersebut dengan cepat? Ada
37. 37
dua cara yang dapat dilakukan terkait ini yakni melalui uji metodologi dan proses.
Secara metodologis, kualitas QC dapat dilihat dari apakah ada sampling error atau tidak.
Dalam survei yang bertujuan untuk membuat generalisasi terhadap seluruh populasi, apakah
sampel yang dipilih memenuhi kaidah pengambilan sampel secara acak. Jika ada survei yang
tidak memenuhi asas itu, kemungkinan besar hasilnya salah–karena tidak bisa dibuat
generalisasi. Di sini sangat relevan untuk buka-bukaan dokumen metodologi survei QC ini.
Termasuk di dalamnya membuka TPS mana saja yang diambil dan kemudian di-cross-check
di lapangan.
Jika dari sisi metodologis ini ada kejanggalan dan ternyata TPS sampel ternyata bohong,
sudah dipastikan bahwa secara ilmiah kualitas QC sangat diragukan.
Uji lain yang dapat dipakai adalah proses. Dalam kasus QC ini lebih sederhana, setidaknya
uji proses ini dapat dilihat melalui apakah data hasil rekapitulasi pilres di TPS sampel sama
atau tidak dengan data yang dikirim ke pusat data. Jika data TPS sampel ternyata berbeda
dengan data yang dikirim ke pusat data berbeda, dapat dipastikan bahwa kualitas hasil QC
sangat rendah.
Jika cara ini membutuhkan waktu, cara lain yang lebih sederhana dapat dilakukan uji petik
TPS sampel misalnya 5% dari total sampel TPS. Jika data dari TPS uji petik berbeda dengan
data yang dikirim ke pusat data, bisa dipastikan bahwa kualitas QC sangat rendah.
Saya pikir, saatnya lembaga survei secara aktif mengurangi kontroversi ini. Kita dorong
masing-masing lembaga survei untuk buka-bukaan mengenai metodologi dan proses survei.
KPU, yang memberikan izin penyelenggaraan survei QC ke lembaga, berhak meminta
pertanggungjawaban lembaga untuk membuka dapur survei mereka.
ABDUR ROFI
Dosen Fakultas Geografi UGM
38. 38
KPU dan MK Menentukan
Memahami pemilihan presiden (pilpres) semata dari perspektif hukum tata negara sebagai
cara, tentu beradab; mekanisme yang dipilih bangsa ini dalam mengisi jabatan presiden juga
tepat. Tetapi itu masih belum cukup.
Siapa yang akan dipatuhi sebagai satu-satunya figur di dalam tata negara yang membuat
berbagai keputusan dalam memerintah dan mengatur bangsa ini juga penting dan harus
dipertimbangkan. Itu sebabnya dalam tata negara modern, pilpres juga dipertimbangkan
sebagai tata cara sebuah bangsa menyediakan jawaban-jawaban spesifik terhadap masalah-
masalah bangsa. Agar diperoleh jawaban kredibel, maka tata cara penyelenggaraannya harus
sederhana, juga adil, terbuka, suasana menuju bilik suara asyik, dan suara pemilih terjamin
kerahasiaannya.
Ketaatan pada Aturan
Boleh saja orang bicara mengenai pembagian atau pemisahan kekuasaan, plus checks and
balances dalam konteks relasi antarfungsi ketiga organ– eksekutif, legislatif dan yudikatif–
tetapi harus diakui kedigdayaan organ presiden melebihi fungsi dua organ lain. Karena sifat
dan jangkauan fungsi yang disandangnya itu kekuasaan ”presiden” merangsang banyak
orang, khususnya politisi dan pengusaha. Mereka selalu terbakar rindu menggapainya. Tetapi,
tentu bukan karena soal itu semata, yang mengakibatkan pemilu presiden mesti diberi sifat
normatif. Pelembagaannya ke dalam serangkaian aturan, yang kelak melahirkan tatanan dan
atau sistem politik yang adil adalah perkara yang tidak bisa ditawar.
Aturan-aturan yang menjadi hal terpenting dalam sistem pemilu itu, yang tidak lain
merupakan respons atas pengalaman demi pengalaman sebelumnya, karena dihasilkan oleh
politisi, acap terlalu rumit untuk hal tertentu, tetapi longgar untuk hal lainnya. Selalu,
sebagaimana biasa, hukum pada umumnya, hukum pemilu mengandung banyak kelemahan.
Karena yang dihadapi bukanlah para filsuf– mereka yang arif dan bijak–melainkan politisi,
yang kerap sangat konyol, kelemahan hukum pemilu itu, bukannya ditutupi dengan tindak
tanduk etis dan bijak, melainkan memanfaatkannya untuk keuntungan diri, kelompok atau
golongan masing-masing. Itulah soalnya.
Meminta electoral organ, misalnya Komisi Pemilihan Umum (KPU), saja yang menaati
hukum pemilu, jelas tidak keliru, tetapi tidak cukup masuk akal. Kehebatan, bukan hanya
hukum pemilu, melainkan sistem pemilu, plus implementasinya terletak pada kepatuhan
semua pihak pada hukum pemilu itu secara sukarela. Para capres, termasuk partai politik
yang mencalonkan mereka, yang menundukkan diri secara sukarela, tentu tanpa syarat pada
hukum pemilu, adalah cara terhebat menghidupkan sistem pemilu dan menaikkan derajat
demokratik bangsa itu.
39. 39
Hanya KPU
Komisi Pemilihan Umum (KPU) adalah satu-satunya organ konstitusi, yang diberi
kewenangan menyelenggarakan pemilihan umum, baik pemilihan umum anggota legislatif
maupun presiden. Kewenangan ini bersifat monopolistik, karena konstitusi tidak
membaginya dengan organ lain, apa pun dan mana pun di Indonesia. Karena sifatnya yang
monopolistik itulah, jangkauan kewenangan organ ini pun demikian luasnya. Mengawalinya
dengan merencanakan penyelenggaraan pemilu dan mengakhirinya dengan pernyataan
hukum tentang perolehan suara, dan siapa yang terpilih menjadi presiden, itulah medan
kewenangan KPU.
Kapan mencoblos surat suara, siapa yang mencetak surat suara, kapan perhitungan di tingkat
TPS, kelurahan, kecamatan, KPU kota, kabupaten, provinsi dan nasional, semuanya menjadi
kewenangan KPU. Hebatnya kewenangan itu, sekali lagi, karena telah disifatkan oleh pasal
22E UUD 1945, tidak dibagi kepada organ lain, apapun organ itu, dengan atau untuk alasan
apapun, dan dalam keadaan apapun. Apa konsekuensinya? Semua tindakan hukum yang
dilakukan oleh organ lain di luar KPU tentang, misalnya menyatakan bahwa capresnya
memperoleh suara terbesar, tidak bernilai hukum sebagai tindakan hukum yang sah.
Pada titik itu, pernyataan Megawati, Jokowi dan Jusuf Kalla tak lama setelah pencoblosan
surat suara, yang seolah-olah memperoleh suara terbanyak, dan menjadi pasangan terpilih
pada pemilu kali ini menarik. Dari segi waktu, jangankan di tingkat kecamatan, di tingkat
desa sekali pun, KPU belum selesai melakukan rekapitulasi perolehan suara semua pasangan
calon. Bagaimana nalar hukum kemenangan itu? Dari mana keadaan hukum– kemenangan–
itu berasal dan diperoleh? Jelas pernyataan ini tidak memiliki nilai hukum, tidak juga
menimbulkan akibat hukum, misalnya, menimbulkan hak bagi pasangan ini menyandang
status sebagai pasangan capres terpilih.
Haruskah disayangkan tindakan hukum itu? Sudahlah, bila pun tindakan hukum terasa
mengurangi cita rasa demokratis dalam konstitusionalisme pemilu kali ini, terimalah tindakan
hukum itu sekadar sebagai kembang-kembang pesta yang sangat damai kemarin. Bila ada
sedikit kekeliruan dalam pemilu ini, Amerika Serikat, yang demokrasinya kadang dipuji
setinggi langit itu, juga memiliki banyak cerita serupa. Bahkan tatanannya menjadi
penghalang kesetaraan untuk jangka waktu yang lama. Apa yang terjadi di Florida kala
George W Bus berhadapan dengan Al Gore adalah salah satu contohnya. Tetapi luka itu
diselesaikan di Mahkamah Agung, (Grier Steven, 2001).
Mengagumkan, republik ini memiliki Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam Pasal 24C ayat (1)
UUD 1945 diketahui MK adalah satu-satunya organ konstitusi yang berwenang
menyelesaikan sengketa pemilu presiden. Sama halnya dengan KPU, kewenangan MK pun
tidak didelegasikan ke organ lain, apa pun itu, dalam keadaan apa pun, dan untuk alasan apa
pun. Hebatnya pula, tidak ada organ lain, apa pun organ itu, yang dapat menangguhkan
penggunaan kewenangan MK.
40. 40
Nantikanlah tanggal 22 Juli, tanggal pleno rekapitulasi perolehan suara secara nasional resmi
KPU. Pada tanggal ini, akan jelas secara hukum siapa di antara dua pasangan capres yang
memperoleh suara terbanyak. Akankah ada sengketa? Semoga tidak. Namun bila pun ada,
MK-lah yang memutuskannya, bukan lembaga survei. Cara menyelesaikan sengketa pemilu
ini adalah penanda terbaik atas derajat keberadaban republik tercinta ini.
MARGARITO KAMIS
Doktor Hukum Tata Negara, Dosen FH Universitas Khairun Ternate
41. 41
Gaza & Perdamaian
Setahun yang lalu, saya mendapat kesempatan baik untuk mengunjungi Palestina dan Israel,
dalam konteks melihat secara langsung proses perdamaian dan kehidupan sehari-hari
masyarakat Palestina dan Israel.
Pada saat kunjungan berlangsung, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) sedang
mengusulkan upaya perdamaian Israel-Palestina yang berangkat dari upaya untuk berdirinya
dua negara yang hidup berdampingan secara damai dengan keamanan yang terjamin. Two-
state solution. Pilihan ini dianggap sebagai titik win-win, artinya tak ada satu pihak yang akan
merasa dirugikan atau kalah; semua bisa menang. AS secara tidak langsung mengakui
Palestina sebagai negara berdaulat.
Pada saat itu, Palestina masih memiliki dua pemerintahan yang otonom. Pemerintahan Hamas
menguasai wilayah Gaza dan pemerintahan Fatah di wilayah Tepi Barat. Dibandingkan
dengan Tepi Barat, Gaza adalah wilayah yang penuh dengan tekanan dan konflik. Gaza
adalah wilayah di timur Laut Mediterania yang membatasi Mesir dan Israel. Wilayah sejak
Perjanjian Oslo 1993 dan Perjanjian Kairo 1994 ini secara bertahap dikelola oleh Otoritas
Palestina. Kawasan ini didiami oleh sekitar 1,6 juta penduduk Palestina. Wilayah yang cukup
subur dan sejuk dengan aliran air dari Wadi Gaza ini tidak imun terhadap bencana kekeringan
yang kerap dialami wilayah dekat gurun khususnya di musim panas.
Sebenarnya wilayah ini bisa berkembang dengan baik, andai saja konflik politik dalam tubuh
Palestina ataupun dengan Israel bisa ditekan. Dualisme kepemimpinan Palestina di masa lalu
menguntungkan bagi Israel karena mereka dapat melakukan diplomasi ganda. Bersikap
moderat kepada pemerintahan di Tepi Barat dan keras terhadap pemerintahan di wilayah
Gaza. Implikasi sosialnya sangat nyata. Masyarakat sipil di Gaza jauh lebih menderita
daripada di Tepi Barat, walaupun pilihan politik mereka sangat bervariasi dan tidak hanya
terbatas pada Hamas dan Fatah.
Masih ada kelompok-kelompok masyarakat lain yang memiliki ideologi berbeda. Ada kurang
lebih 11 partai politik dengan warna ideologi yang berbeda di Palestina dari kelompok sayap
kiri seperti Popular Front for the Liberation of Palestine hingga moderat seperti Third Way
yang memperoleh dua kursi saat pemilu legislatif tahun 2006. Perbedaan warna politik itu
tidak menjadi halangan bagi Israel untuk memaksakan kebijakan kepada masyarakat
Palestina.
Mengutip pendekatan Amartya Sen yang mengkritik cara biner (dikotomis) dalam melihat
politik identitas dan kekerasan (2007), kita dapat melihat bahwa Israel melakukan hal yang
dikritik Amartya Sen itu, yakni memasukkan mereka yang menganut ideologi antikorporatis
sebagai Hamas dan yang korporatis sebagai Fatah. Dikotomi tersebut yang selalu menjadi
pembenaran untuk menghancurkan segala sesuatu yang dianggap sebagai Hamas. Pandangan
42. 42
ini sebangun dengan wacana yang berkembang di negara-negara muslim bahwa perjuangan
pembebasan Palestina sebagai perjuangan masyarakat muslim sehingga menyisakan sedikit
ruang wacana bagi masyarakat nonmuslim untuk menyatakan dukungannya.
Politik identitas itu kembali dikuatkan Israel dan negara-negara Barat ketika Hamas dan
Fatah melakukan rekonsiliasi untuk membangun pemerintahan bersama. Israel menyatakan
rekonsiliasi itu sebagai tanda Fatah mengakui dan menyetujui Hamas, termasuk cara pandang
dan praktik politik yang dilakukan Hamas. Padahal bagi Fatah, rekonsiliasi itu adalah
penyatuan kembali masyarakat Palestina yang terpecah, baik karena alasan pandangan
ideologis maupun geografis.
Serangan Israel ke Gaza selama satu minggu terakhir adalah upaya untuk menguatkan
kembali wacana Palestina yang terbelah. Bela diri adalah alasan formal yang diungkapkan
Israel atas rangkaian serangan rudal yang dilakukannya atas Gaza. Alasan utama bahwa
serangan Israel hanya ditujukan kepada kelompok bersenjata Hamas adalah dalih yang juga
patut dipertanyakan, karena kekuatan Hamas secara politik dan ekonomi telah berkurang.
Sebelum pecah perang Suriah dan pergantian kekuasaan di Mesir, Hamas dianggap sebagai
kepanjangan tangan dari Iran. Walaupun mayoritas anggota Hamas adalah Muslim Sunni,
Iran dan Suriah yang menganut Muslim Syiah memberikan bantuan politik, latihan militer,
dan keuangan bagi mereka.
Iran dianggap sebagai ancaman nyata oleh Israel karena mereka menyatakan tidak mengakui
Israel sebagai negara. Hal tersebut menajam khususnya pada saat Mahmoud Ahmadinejad
berkuasa sebagai presiden Iran. Kini, menghancurkan Hamas tidak lagi sekadar bagian dari
upaya mengurangi ancaman Iran. Penghancuran Hamas lebih terlihat sebagai upaya memecah
belah Palestina. Pasalnya, peta politik Timur Tengah sudah berubah setelah Hamas
menggabungkan dirinya menentang rezim Bashar Al-Assad yang telah membantu perjuangan
Hamas selama ini.
Perlawanan yang diramalkan hanya berjalan sesaat ternyata berlarut-larut hingga bertahun-
tahun. Kepercayaan diri yang kuat dari Hamas untuk melawan Suriah tidak lepas dari
dukungan penuh Mesir kepada Hamas ketika Mursi sebagai anggota Moslem Brotherhood
menjabat sebagai presiden di Mesir. Hamas berpikir Mesir dapat menjadi tempat alternatif
untuk menggantikan peran Suriah sebagai domisili politik dalam memperjuangkan Palestina.
Harapan itu pun kemudian pupus ketika Mursi digulingkan dan digantikan oleh Jenderal Sisi.
Sisi memiliki kebijakan terhadap Hamas yang bertolak belakang dari kebijakan Mursi.
Pada akhirnya, Hamas pun lemah secara ekonomi dan politik. Di tingkat regional, pergantian
kepemimpinan di Iran juga telah mengembuskan reformasi yang lebih suka mengedepankan
diplomasi daripada senjata. Iran juga telah berpartisipasi dalam negosiasi dan pelucutan
senjata nuklir agar dapat diterima dalam pergaulan internasional dan dapat terlibat dalam
menyelesaikan konflik yang terjadi di Timur Tengah. Dengan kata lain, menggunakan Hamas
sebagai biang keladi bangkitnya kemarahan Israel dan sebagai legitimasi atas penyerangan
43. 43
yang dilakukan Israel ke Palestina adalah alasan yang tidak masuk di akal.
Situasi telah berubah. Apa yang kita saksikan dalam pernyataan politik dan diplomasi Israel
di media massa adalah penguatan kembali politik identitas untuk memisahkan “Palestina
Jahat” dari “Palestina Baik”. Palestina Jahat ada di wilayah Gaza, Palestina Baik ada di Tepi
Barat. Perbedaan ini yang harus kita lawan khususnya bagi kita masyarakat Indonesia. Kita
harus tetap mengakui Palestina adalah satu dan bahwa kekerasan yang terjadi di Palestina
adalah praktik politik Israel yang tidak memberikan ruang bagi Palestina untuk hidup
“normal” sebagai suatu bangsa dan pemerintah.
Sebagai negara pencinta kemerdekaan dan perdamaian, Indonesia perlu menegaskan pada
Israel dan pihak-pihak lain yang berusaha terlibat mencari solusi di Gaza bahwa cara-cara
dikotomis dalam memaknai identitas politik adalah jalan buntu bagi upaya diplomasi yang
sesungguhnya. Selain itu, semakin Israel bersikeras menyuarakan rasa tidak aman terhadap
tetangganya, semakin tinggi pula perasaan tidak aman yang dirasakan warga negaranya,
meskipun itu semua lebih merupakan ilusi daripada ancaman yang nyata. ●
DINNA WISNU, PhD
Co-Founder & Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi, Universitas Paramadina
@dinnawisnu
44. 44
Memastikan Arah Benar Pemberantasan
Korupsi
Pemberantasan terhadap korupsi dalam beberapa tahun terakhir gencar dilakukan. Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan Agung dan Kepolisian RI melakukan penyidikan
terhadap perkara-perkara korupsi. Pengadilan pun telah memvonis para pelaku tindak pidana
korupsi. Di tengah-tengah keseriusan aparat penegak hukum memberantas korupsi ada
beberapa catatan yang perlu dilakukan agar pemberantasan terhadap korupsi berada pada
jalan yang benar.
Perilaku Koruptif
Dalam sejumlah perkara korupsi ataupun temuan yang berpotensi menjadi perkara korupsi,
penegak hukum kerap mendasarkan pada kerugian negara. Adanya kerugian negara seolah
serta-merta dianggap sebagai adanya tindak pidana korupsi. Padahal, kerugian negara tidak
selalu berkorelasi dengan tindak pidana korupsi. Kerugian negara bisa karena masalah
perdata dan administratif. Kasus Hotasi Nababan, mantan Direktur Utama Merpati Airlines,
merupakan contoh kasus perdata yang tidak seharusnya diputus berdasarkan Undang-Undang
Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) semata karena kerugian negara.
Pengadilan Negeri telah secara tepat memutuskan untuk membebaskan Hotasi, namun
Mahkamah Agung berpandangan lain. Hotasi pun dihukum 4 tahun. Padahal, baru-baru ini di
Amerika Serikat (AS) terbit putusan yang menghukum mitra Merpati Airlines karena adanya
unsur penipuan dalam sewa-menyewa pesawat. Bahkan pengadilan AS meminta agar uang
Merpati dikembalikan.
Dalam ranah administratif, contohnya adalah kasus bailout Bank Century. Kebijakan untuk
melakukan bailout yang di kemudian hari mungkin dianggap salah dan memunculkan
kerugian negara tidak seharusnya mendakwa pengambil kebijakannya dengan UU Tipikor.
Apalagi dalam persidangan pidana yang memeriksa terdakwa Budi Mulya keputusan atau
kebijakan untuk melakukan bailout di- ”permasalah”-kan. Suatu persidangan pidana
bertujuan untuk membuktikan kejahatan yang dilakukan oleh terdakwa. Karenanya, dalam
kasus bailout Bank Century yang seharusnya dipermasalahkan adalah ada tidaknya perilaku
koruptif. Perilaku koruptif yang dimaksud adalah perilaku sebagaimana yang dimaksud
dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor.
Inti dari Pasal 2 ialah, siapa saja dianggap melakukan tindak pidana korupsi apabila ia secara
melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Pasal 3
menentukan bahwa siapa saja akan dianggap melakukan tindak pidana korupsi apabila ia
45. 45
dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan
atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Proses
pengambilan keputusan atau kebijakan, yang di kemudian hari dianggap benar ataupun salah,
seharusnya hanya dapat dijerat dengan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor bila terdapat perilaku
koruptif. Perilaku koruptif ini perilaku ”melakukan perbuatan memperkaya” atau
”menyalahgunakan kewenangan untuk menguntungkan” diri sendiri, orang lain, atau
korporasi.
Sinkron
Hal lain yang perlu mendapat perhatian dalam melakukan proses hukum terhadap pelaku
tindak pidana korupsi adalah sinkronnya antara siapa yang didakwa dan siapa yang harus
dihukum. Terdakwa yang dalam persidanganlah yang seharusnya mendapat tuntutan
hukuman. Dalam perkara Budi Mulya, di dalam tuntutan yang dibuat oleh jaksa penuntut
umum (JPU) terjadi ketidaksinkronan antara Budi Mulya yang didakwa dan siapa yang
dihukum. JPU, meski menuntut hukuman bagi Budi Mulya, tetapi juga menghukum berbagai
pihak, termasuk di dalamnya Bank Mutiara (dulu bernama Bank Century).
Padahal, Bank Mutiara tidak disebut dalam dakwaan, namun JPU menuntut hakim
menjatuhkan hukuman berupa pembayaran uang pengganti sebesar satu setengah triliun
rupiah lebih. Dalam konstruksi JPU, Bank Century dianggap sebagai pihak yang menikmati
uang fasilitas pendanaan jangka pendek (FPJP) dan bailout yang diputuskan oleh Komite
Stabilitas Sistem Keuangan (KKSK). Padahal, untuk uang yang dikeluarkan dalam rangka
bailout dikeluarkan oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan uang tersebut telah
berubah menjadi saham yang dimiliki oleh LPS.
Dukung
Tentu pemberantasan terhadap korupsi patut didukung tanpa kecuali. Namun pemberantasan
korupsi tidak selayaknya sama dengan pemberantasan terhadap Partai Komunis Indonesia
(PKI) di era pemerintahan Soeharto. Pemberantasan terhadap PKI dalam perkembangannya
telah digunakan sebagai sarana politik untuk mematikan lawan-lawan politik penguasa.
Bahkan untuk melumpuhkan mereka yang cemerlang, namun berpotensi berhadap-hadapan
dengan pemerintah, mereka dengan mudah dilabeli PKI atau tidak bersih lingkungan atas
anasir PKI.
Lembaga yang melakukan pemberantasan terhadap PKI bisa keluar dari tugas dan fungsi
utamanya karena mendapat dukungan penuh dari rakyat, di samping PKI merupakan musuh
bersama. Dalam konteks demikianlah, kita tidak ingin melihat aparat penegak hukum yang
bertugas untuk menyidik dan menuntut tindak pidana korupsi melakukan proses hukum
secara serampangan. Mereka harus cermat dalam melakukan penyidikan dan penuntutan. Bila
aparat penegak hukum yang melakukan penyidikan dan penuntutan tidak cermat, maka kita
berharap pada benteng terakhir, yaitu pengadilan.
46. 46
Para hakim mempunyai kewajiban, berdasarkan hukum dan keyakinannya, untuk secara
cermat menilai apakah antara dakwaan dan tuntutan JPU sudah tepat. Bila dinilai tidak tepat,
hakim harus berani mengambil keputusan untuk tidak mengabulkan tuntutan JPU di tengah-
tengah euforia masyarakat memberantas korupsi. Hakimlah yang dapat memastikan arah
benar pemberantasan korupsi. Hakim-hakim yang demikianlah yang seharusnya mendapat
hati dan penghargaan dari masyarakat.
HIKMAHANTO JUWANA
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Indonesia