SlideShare a Scribd company logo
1 of 72
Catatan Sembilan Tahun Asas Cabotage
Dalam diskursus kemaritiman, istilah asas cabotage (kegiatan angkutan laut dalam negeri
wajib menggunakan kapal berbendera Merah Putih dan diawaki oleh awak berkebangsaan
Indonesia) sesungguhnya sudah tidak asing lagi.
Negara maju seperti Amerika Serikat (AS), China, Jepang, Kanada, Brasil, Australia,
sejumlah negara di Eropa, bahkan Afrika, sudah menerapkan asas cabotage jauh sebelum
Indonesia. Dengan demikian, sebagai sebuah bangsa dan negara maritim (archipelago),
Indonesia bukanlah negara pertama yang menganut prinsip cabotage atas angkutan lautnya.
Namun, pelaksanaan asas cabotage di Indonesia memiliki catatan yang sangat menarik
karena diberlakukan di tengah derasnya arus liberalisasi perdagangan global. Meski
demikian, dalam sembilan tahun asas cabotage, negara dan masyarakat Indonesia sudah
menerima dampak positifnya, baik dari sisi ekonomi maupun pertahanan dan keamanan.
Asas Kedaulatan
Asas cabotage di Indonesia diterapkan berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 5 tahun 2005
tentang Pemberdayaan Industri Pelayaran Nasional. Inpres ini kemudian diperkuat dengan
UU Nomor 17/2008 tentang Pelayaran. Pasal 8 ayat 1 UU Nomor 17/2008 menegaskan,
kegiatan angkutan laut dalam negeri dilakukan oleh perusahaan angkutan laut nasional
menggunakan kapal berbendera Indonesia serta diawaki oleh awak kapal
berkewarganegaraan Indonesia. Di dalam penjelasannya, undang-undang itu menegaskan,
penggunaan kapal berbendera Indonesia oleh perusahaan angkutan laut nasional
dimaksudkan dalam rangka pelaksanaan asas cabotage guna melindungi kedaulatan negara
(sovereignty) dan mendukung perwujudan wawasan Nusantara sekaligus memberikan
kesempatan berusaha bagi perusahaan nasional.
Dalam konteks kehidupan bernegara, pelaksanaan asas cabotage bagi negara-negara yang
memiliki wilayah laut yang sangat luas merupakan implementasi dari kedaulatannya. Inilah
yang menjadi alasan mengapa banyak negara di dunia, termasuk Indonesia, menganut asas
cabotage. Sebab, negara sangat diuntungkan ketika sektor pelayaran dipegang oleh
bangsanya sendiri. Kapal-kapal yang melayani angkutan dalam negerinya juga dimiliki oleh
warga negaranya sendiri sehingga ketika negara dalam kondisi darurat kapal-kapal tersebut
siap dikerahkan untuk mempertahankan kedaulatan. Kondisi ini akan berbeda jika kapal-
kapal yang melayani kegiatan angkutan domestik dimiliki oleh perusahaan luar negeri karena
pada saat negara dalam kondisi darurat, mereka dengan mudah dapat kembali ke negara
masing-masing. Mereka akan mudah menyatakan situasi di negeri ini sudah tidak
menguntungkan lagi.
Dampak Ekonomi
Dalam konteks perekonomian, pelaksanaan asas cabotage memiliki dampak yang sangat
besar. Tidak hanya sektor kemaritiman, sektor ekonomi lain seperti perbankan, keuangan,
asuransi, tenaga kerja, logistik, perdagangan dan usaha bongkar muat turut merasakan
dampak positif kebijakan ini. Sulit membayangkan bagaimana kondisi sektor transportasi laut
di Indonesia tanpa asas cabotage. Indonesian National Shipowners Association (INSA)
mencatat, 10 tahun lalu populasi kapal asing di perairan Indonesia lebih dominan
dibandingkan kapal berbendera Merah Putih. Kapal-kapal berbendera selain Merah Putih
menguasai 44,5% volume muatan laut dalam negeri, bahkan mengendalikan 95% volume
muatan laut luar negeri (ekspor dan impor).
Kondisi itu menyebabkan Indonesia kehilangan potensi ekonomi dari ongkos angkut hingga
ratusan triliun rupiah setiap tahun. Kondisi itu cukup menjadi keprihatinan kita bersama
sebagai bangsa. Penguasaan asing atas kegiatan transportasi laut dalam negeri telah
menimbulkan kerugian yang berlipat ganda bagi masyarakat Indonesia. Sebagai gambaran,
tarif pengiriman barang pada angkutan laut domestik sebelum asas cabotage jauh lebih mahal
dibandingkan sekarang. Data INSA mengungkapkan, pada 2005, tarif pengiriman peti kemas
pada rute Jakarta-Belawan mencapai Rp7 juta- 8 juta per TEUs, sedangkan sekarang turun
menjadi Rp4 juta hingga Rp4,5 juta per TEUs. Kondisi yang sama juga terjadi pada rute-rute
lain seperti pengiriman peti kemas ke Jayapura, Sulawesi, dan sebagainya.
Penurunan ongkos angkutan laut itu bukan karena didorong oleh penurunan tarif di pelabuhan
maupun peningkatan produktivitas pelabuhan, tetapi karena meningkatnya volume
perdagangan sehingga memicu terjadinya evolusi penggunaan kapal ke yang lebih besar.
Selain itu, pelaku usaha pelayaran juga melakukan subsidi silang dari kegiatan lainnya seperti
ship management, keagenan hingga crew mining. Bisa dikatakan, dinamika ekonomi berbasis
kemaritiman mengalami perubahan, bahkan pelayaran telah tumbuh menjadi backbone
pertumbuhan perekonomian dari sektor maritim sehingga kapal berbendera Merah Putih kini
telah mengendalikan kegiatan angkutan laut domestik dan mulai merangsek ke angkutan
ekspor dan impor.
Di sisi lain, masyarakat sudah bisa menikmati akses konektivitas nasional, tarif angkutan
yang semakin kompetitif, infrastruktur transportasi laut yang terus berkembang, aktivitas
perdagangan yang meningkat hingga lapangan pekerjaan yang terus bertumbuh. Hanya saja,
kemajuan industri pelayaran saat ini belum diimbangi percepatan peningkatan infrastruktur
logistik seperti pelabuhan, akses jalan dari dan ke pelabuhan hingga konektivitas logistik di
darat. Akibatnya, meskipun tarif angkutan laut sudah sangat kompetitif, biaya logistik secara
keseluruhan masih tinggi.
Penguatan Kebijakan
Terlepas dari dialektika yang ada dan success story asas cabotage, pelaksanaan prinsip ini di
Indonesia sesungguhnya masih belum optimal. Sebab akselerasi pelayaran dapat
dimaksimalkan jika ada kemauan politik yang lebih besar untuk memberdayakan industri
pelayaran dan perkapalan. Sebagai gambaran, banyak kebijakan fiskal yang tidak lazim
diterapkan pada sektor pelayaran di dunia, tetapi hingga kini masih dibebankan kepada
pelayaran dan perkapalan nasional seperti pengenaan PPN atas kegiatan bongkar muat
barang/kontainer dan PPN atas pembelian BBM kapal.
Di sektor moneter, beban bunga pinjaman dari perbankan atau lembaga pembiayaan di
Indonesia masih relatif tinggi dibandingkan negara-negara lain, bahkan tidak sedikit
perusahaan pelayaran yang mendapatkan bunga pinjaman pembiayaan untuk pembelian kapal
hingga 13%. Karena itu, diperlukan kerangka kebijakan yang lebih kuat dan setara
sebagaimana negara-negara penganut asas cabotage di belahan dunia lain, baik mencakup
kebijakan fiskal dan perpajakan, moneter dan keuangan, maupun kebijakan teknis serta
infrastruktur penunjang lainnya.
Penulis optimistis, kebijakan yang kuat dan setara akan mendorong akselerasi pelayaran
sehingga konektivitas antarpulau di Indonesia semakin efektif dan mampu mendorong
investasi industri di luar Pulau Jawa. Ke depan, sektor ini harus memiliki daya saing yang
kuat di dalam negeri maupun luar negeri sebagai representasi atas kedaulatan negara.
CARMELITA HARTOTO
CEO Andhika Lines, Ketua Umum INSA, Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Logistik
C2B: Model Operasi Masa Depan
Saat pelaku bisnis masih melakukan model operasi yang berbasis B2C (business to
consumer), Alibaba mulai beralih dari model tersebut. Setelah berkecimpung dan sukses di
industri e-commerce, Alibaba, yang adalah perusahaan e-commerce terbesar di dunia saat ini,
mempromosikan sebuah model operasi baru, yaitu C2B (consumer to business).
B2C merupakan model operasi inside-out, informasi dan penentuan produk berasal dari
produsen kepada konsumen. C2B merupakan kebalikannya. Informasi dan penentuan produk
berasal dari konsumen kepada produsen, sebuah model operasi outside-in. Pergeseran dari
model operasi tersebut diakibatkan oleh meningkatnya penggunaan internet dan jejaring
sosial. Zeng Ming, Chief of Staff Alibaba, mengatakan bahwa peningkatan itu akan
meningkatkan kekuatan konsumen dalam menentukan produk seperti apa yang laku.
Konsumen akan menjadi kekuatan utama yang memengaruhi value chain sebuah produk,
bukan produsen.
Hal ini menciptakan penciptaan dan pengembangan produk yang diarahkan oleh konsumen,
bukan produsen. Saat gelombang baru ini mulai menggilas model operasi yang lama, model
bisnis akan mengacu pada customization. Customization menuntut produsen untuk dapat
menyesuaikan produknya dengan permintaan yang unik dari masing-masing konsumen.
Customization membuat produsen menciptakan kapabilitas baru di dalam organisasinya
untuk dapat memenuhi permintaan yang unik tersebut.
Customization memerlukan kemampuan organisasi untuk memberikan produk yang
memenuhi kebutuhan unik masing-masing konsumen, variasi yang banyak, diproduksi dalam
satuan produksi yang kecil, dan respons yang cepat. Dengan berkembangnya internet dan
jejaring sosial, Alibaba percaya bahwa masa depan e-commerce lebih dari sekadar
berpindahnya jalur distribusi ke media elektronik. E-commerce adalah C2B, di mana
konsumen memiliki kekuatan untuk menentukan produk seperti apa yang mereka mau.
Sukses dengan C2B
Selain Alibaba yang mulai giat mempromosikan dan menjalankan C2B, perusahaan-
perusahaan multinasional mulai memperhatikan suara konsumen dan mulai mengaplikasikan
C2B. Esteban Kolsky melakukan riset berdasarkan wawancara pimpinan perusahaan-
perusahaan multinasional seperti Coca Cola, HP, dan Kraft. Berdasarkan riset tersebut,
Kolsky menyatakan bahwa perusahaan-perusahaan tersebut mengadopsi C2B mengingat
kecepatan (velocity), volume, validitas, dan nilai (value) dari suara konsumen yang didapat
dari jejaring sosial.
Kolsky percaya bahwa perusahaan yang lebih dulu mengadopsi C2B benar-benar meraih
keunggulan kompetitif. C2B memungkinkan perusahaan untuk memenuhi keinginan
konsumen secara tepat, merespons kebutuhan secara cepat dan berinovasi lebih dahulu. Hal
tersebut menciptakan loyalitas konsumen yang lebih tinggi. Kolsky menyampaikan aplikasi
C2B yang komprehensif mencakup tiga hal utama. Pertama, kemampuan mengasimilasi
informasi dalam langkah yang sistematis mengenai konsumen dan pasar.
Kedua, C2B menuntut operasionalisasi dari set data yang sama dari seluruh anggota
perusahaan untuk secara tepat menentukan respons yang paling tepat bagi konsumen. Ketiga,
menjalin kerja sama dengan konsumen mengenai bagaimana seharusnya bisnis itu dijalankan.
Untuk dapat menjalankan aplikasi C2B yang komprehensif tersebut, disampaikan lima
langkah kunci untuk diambil agar perusahaan dapat melaksanakan model operasi C2B yang
efektif. Pertama, menciptakannya sebagai inisiatif strategis. Mengadopsi model operasi yang
baru memerlukan adopsi keseluruhan dari anggota dan bagian organisasi.
Oleh karena itu, arah dari pemimpin puncak menjadi penting mengenai perubahan ini. Kedua,
adopsi model operasi ini harus dijalankan pada seluruh lini dan fungsi di dalam organisasi.
Adopsi ini memerlukan keterlibatan seluruh lini dan fungsi, mengingat perubahan ini
merupakan perubahan mendasar model operasi untuk mendasarkan pengambilan keputusan
berdasarkan informasi konsumen dan pasar. Ketiga, menciptakan satu set data yang terukur
mengenai pasar dan konsumen. Informasi di internet dan jejaring sosial sangat beragam dan
tidak terkalibrasi.
Perusahaan perlu menentukan satu set data yang relevan dan terukur dalam memahami pasar
dan konsumen. Informasi yang terstandarisasi akan memudahkan pengumpulan data dan
membangun pemahaman yang sama di antara berbagai fungsi dan lini di dalam organisasi.
Keempat, menyusun laporan yang berbasis media sosial. Berdasarkan studi, Kolsky
mendapati bahwa 70% dari perusahaan- perusahaan yang menjadi objek studinya memiliki
laporan berbasis media sosial. Laporan berbasis media sosial mencakup pengukuran aktivitas
di media sosial, indikator kinerja kunci tertentu, dan metodologi tertentu yang relevan dengan
kebutuhan spesifik organisasi.
Kelima, bekerja sama dengan konsumen untuk co-create (menciptakan bersama) dan co-
market (memasarkan bersama). Dengan adanya data set yang kaya mengenai konsumen dan
pasar, perusahaan dapat mendorong konsumen yang puas untuk menciptakan bersama inovasi
produk dan membantu memasarkan produk-produk perusahaan. Menjadi bisnis yang berbasis
C2B memerlukan komitmen dan perubahan organisasi yang menyeluruh. Dengan gelombang
internet dan jejaring media yang kuat, model bisnis ini menjanjikan kesempatan yang besar.
ALBERTO HANANI
Founder dan Managing Partner BEDA & Company
Mewaspadai Siklus Baru
Setiap kehidupan memiliki siklusnya masing-masing. Kupu-kupu bermula dari telur, menetas
jadi ulat yang buruk dan bagi sebagian orang menjijikkan, membentuk kepompong, dan
akhirnya berubah menjadi kupu-kupu yang indah. Perubahan ini berlangsung secara alamiah.
Kita menyebutnya metamorfosa. Pada akhir siklus, kupu-kupu yang indah itu akhirnya mati
juga. Perusahaan atau bisnis pun memiliki siklusnya sendiri. Bermula dari ketika didirikan,
mulai tumbuh, tetapi masih lambat, kemudian tumbuh semakin cepat sampai akhirnya
mencapai masa kejayaannya. Setelah itu biasanya kinerja perusahaan mulai merosot. Bagi
sebagian kita, siklus semacam itu adalah hal biasa. Siapa yang bisa menentang kehendak
alam?
Setelah lama menikmati pertumbuhan ekonomi yang menakjubkan, China kini mulai terkena
embusan siklus baru, pertumbuhannya melambat. Kini Indonesia pun tengah memasuki tahap
ujian itu. Uang subsidi bahan bakar minyak (BBM) dan listrik sepertinya tak pernah cukup
untuk memenuhi kebutuhan, kini semua anggaran pemerintah tengah dipangkas. Padahal,
sebentar lagi rakyat Indonesia akan butuh banyak uang, ya liburan, ya Lebaran. Kita juga
butuh layanan publik yang lebih baik. Tetapi siklusnya tengah berbalik. Dalam banyak
referensi, siklus semacam itu kita kenal dengan sebutan kurva Sigmoid. Kurva ini merupakan
grafik fungsi aljabar yang berbentuk huruf S yang tertidur.
Grafik ini menggambarkan tahap awal pertumbuhan yang masih lambat, kemudian naik
semakin cepat, mulai linier dan akhirnya menurun. Betulkah kita harus menerima kenyataan
tersebut? Jelas tidak. Meski kurva Sigmoid tadi adalah fenomena alamiah, perusahaan tidak
selalu harus berdiam diri dan mengikuti siklus tersebut. Banyak hal yang bisa dilakukan oleh
perusahaan untuk mengangkat kembali pertumbuhannya yang mulai melandai, atau bahkan
menurun.
Armada nasional Garuda Indonesia justru bangkit dengan berbelanja di saat siklus ekonomi
dalam industri jasa penerbangan memburuk. Istilah Emirsyah Satar (CEO Garuda Indonesia)
acting ahead the curve (KORAN SINDO, 02 Agustus 2012). Memang, pada faktanya
banyak perusahaan yang mengalami kesulitan untuk menepis berlakunya siklus Sigmoid
tersebut. Padahal, gejala-gejalanya cukup jelas. Banyak perusahaan baru menyadarinya ketika
kondisinya sudah nyaris menyentuh titik nadir. Saya punya beberapa contoh.
Lingkungan yang Berubah
Bagi sebagian generasi yang sudah cukup umur tentu masih ingat ketika mereka merayu
kekasihnya melalui sepucuk surat. Setelah selesai ditulis, surat itu kemudian dimasukkan ke
dalam amplop, bubuhi prangko dan dimasukkan ke dalam kotak-kotak surat. Sisanya adalah
jantung yang berdebar-debar menanti surat balasan. Bisa seminggu kemudian, bahkan lebih.
Namun, sejak awal 2000-an saya sulit sekali menemukan anak-anak muda yang merayu
kekasihnya dengan sepucuk surat. Mereka menggantinya dengan SMS, kemudian dengan
BlackBerry Messenger, atau WhatsApp. Kalau ingin berbicara secara langsung, mereka pakai
aplikasi Skype atau Google+. Perubahan lingkungan bisnis, yang dipicu oleh teknologi baru,
seperti inilah yang membuat PT Pos Indonesia di masa lalu, dan banyak perusahaan lain,
nyaris bangkrut. Pendapatan semakin menurun, laba bersihnya menipis dan akhirnya mulai
merugi.
Tengok juga Merpati Nusantara yang model bisnisnya makin tak relevan. Makin menarik lagi
didalami, ketika maskapai internasional lain merugi (dan untung itu ada di pasar domestik),
petinggi Merpati justru menawarkan proposal baru untuk membuka trayek ke Timur Tengah
sebagai solusi.
Fenomena ala Pos Indonesia juga dialami oleh perusahaan-perusahaan lain. Sebagian Anda
tentu masih ingat ketika era maskapai penerbangan low cost carrier (LCC) mulai tumbuh
pada awal 2000-an. Banyak perusahaan terkena pukulan telak. PT Pelayaran Nasional
Indonesia (Pelni), PT Kereta Api Indonesia (KAI) dan bus-bus antarprovinsi nyaris bangkrut.
Siapa di antara kita yang masih mau menempuh perjalanan berhari-hari lamanya (kalau
memakai Pelni) atau semalaman (dengan kereta dan bus antarprovinsi), kalau dengan biaya
yang hanya sedikit lebih mahal bisa sampai ke tujuan dalam hitungan satu atau dua jam?
Maka, tak mengherankan kalau Pelni, KAI atau bus-bus antarprovinsi kemudian ditinggalkan
oleh pelanggannya. Untunglah Pos Indonesia (juga KAI) mampu bangkit. Perusahaan ini
melakukan transformasi bisnis dari postal company menjadi network company.
Dari hanya berbisnis pengiriman surat, dokumen, atau uang menjadi bisnis distribusi dan
logistik. Pos Indonesia bangkit dengan mengandalkan kekuatannya, yakni jaringannya yang
sudah begitu luas tersebar di seluruh Indonesia. Belum ada perusahaan distribusi dan logistik,
perusahaan asing sekalipun, yang mempunyai jaringan seluas Pos Indonesia. Kini, Pos
Indonesia sudah bangkit lagi. Mereka sudah menuai keuntungan. Begitu juga KAI. Setelah
melakukan transformasi, memangkas banyak inefisiensi, KAI berhasil kembali membukukan
keuntungan.
Beberapa perusahaan bus antarprovinsi ada yang mengubah segmen bisnisnya. Mereka
menaikkan kelasnya. Anda pernah mendengar Omah Mlaku? Ini bus antarprovinsi yang
disulap menjadi bus carter yang mewah. Jumlah penumpangnya dibatasi, di dalamnya
dilengkapi sofa dan meja rapat, serta fasilitas internet. Bus seperti cocok dipakai untuk
roadshow. Kini, hanya Pelni yang kelihatannya masih agak tertinggal. Maskapai pelayaran
nasional itu sampai sekarang masih belum bisa sepenuhnya keluar dari jerat krisis.
Reinvention
Selain transformasi, saya melihat reinvention menjadi kata kunci dari keberhasilan
perusahaan- perusahaan seperti Pos Indonesia dan KAI untuk ke luar dari perangkap siklus
Sigmoid. Melalui strategi reinvention, perusahaan-perusahaan itu mampu menciptakan
sesuatu yang baru, sehingga membangun kurva Sigmoid yang baru di atas kurva yang lama.
Sejatinya, banyak perusahaan yang sebetulnya memahami perubahan yang terjadi di
lingkungan bisnisnya. Kajian Donald Norman Sull (Why Good Companies Go Bad, 1999)
menyebutkan bahwa banyak perusahaan yang bermasalah bukan karena mereka tidak
memahami terjadi perubahan lingkungan bisnis, serta tidak melakukan antisipasi.
Mereka memahami dan bahkan menyiapkan strategi antisipasi. Namun, pada akhirnya
perusahaan-perusahaan itu harus terjerat dalam masalah karena tidak mampu mengeksekusi
strateginya dengan cepat dan tepat. Maka, membuat rencana dan menyiapkan strategi itu
harus, tetapi mengeksekusi strategi adalah sesuatu yang lain. Itu sebabnya Ram Charan
(2002) mewanti-wanti, 70% kegagalan bukan karena masalah strategi, tetapi karena buruknya
eksekusi. Jadi, kerja, kerja, kerja.
RHENALD KASALI
Pendiri Rumah Perubahan @Rhenald_Kasali
Agenda Perlindungan Konsumen
Koran SINDO
Kamis, 5 Juni 2014
MAKIN maju perekonomian suatu teknologi informasi mendorong konsumen di Indonesia
semakin teredukasi dan terinformasi. Itulah yang membuat tuntutan atau aspirasi mereka
semakin tinggi terhadap produk, baik produk barang maupun jasa.
Karena itu, kekuatan ekonomi Indonesia ada pada konsumen karena besarnya populasi
jumlah penduduk kita. Sebagai salah satu pilar ekonomi, posisi konsumen tidak kalah
strategisnya dengan pelaku usaha sebagai pemilik modal. Pertanyaannya, mengapa posisi
konsumen selalu dianggap lemah jika dibandingkan atau jika berhadapan dengan pelaku
usaha?
Amanat UU
Itulah poin penting dari pemikiran yang berkembang dalam forum diskusi beberapa waktu
lalu. Ketika penulis menjadi pembicara pada dua tempat diskusi yaitu di Universitas
Hasanudin (Unhas) bersama Prof Dr Ahmad Miru SH MH dengan tema ”Telaah Kritis
Perlindungan Konsumen” dan di Universitas Indonesia Timur (UIT) bersama Prof Dr
Bernadette Waluyo SH MH dengan tema ”Menyamakan Persepsi UU Perlindungan
Konsumen”.
Secara umum ditegaskan bahwa amanat UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen untuk meningkatkan harkat dan martabat konsumen. Itu dimaksudkan agar
kesadaran, pengetahuan, kepedulian, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk
melindungi dirinya serta menumbuhkan sikap pelaku usaha yang bertanggung jawab. Sebab
itulah, negara seyogianya berpihak pada perlindungan konsumen.
Dengan kata lain, keberpihakan kepada konsumen sebenarnya wujud nyata ekonomi
kerakyatan. Penerapan UUPK Nomor 8 Tahun 1999 dalam praktik akan banyak diuji melalui
berbagai instrumen hukum perdata, termasuk alternatif penyelesaian sengketa di luar
pengadilan.
Dalam konteks ada permasalahan (perselisihan) konsumen berhak mendapatkan advokasi
serta perlindungan hukum dan penyelesaian sengketa. Tidak hanya itu, konsumen juga
berhak mendapatkan edukasi dan ganti rugi jika ada ketidaksesuaian.
Semua ini diharapkan sebagai pembangkit kesadaran semua pihak akan perlunya
perlindungan terhadap hak-hak dan kewajiban pelaku usaha sebagai penyedia barang atau
jasa yang dikonsumsi konsumen. Sesungguhnya esensi perlindungan konsumen adalah
konsumen dan pelaku usaha (pengusaha/produsen) saling membutuhkan. Sebab itulah,
produksi dipandang tidak ada artinya kalau tidak ada yang mengonsumsinya.
Di sinilah perlu hubungan harmonis antara pelaku usaha dan konsumen. Dengan harmonisasi
antara hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha, tentu akan menjadi instrumen penting
bagi pemerintah untuk menetapkan berbagai kebijakan. Dalam perspektif kepedulian buat
konsumen, terdapat dua karakteristik strategi. Pertama strategi mencerdaskan konsumen.
Karena itu, seorang konsumen haruslah menjadi cerdas dan menyadari posisinya.
Dalam konteks ini konsumen harus kritis dan berani untuk menegakkan hak dan kewajiban
selaku konsumen. Dua strategi menancapkan karakteristik (mindset) nasionalisme konsumen.
Intinya perilaku konsumtif dan pragmatisme berkonsumsi harus dijauhkan dari konsumen.
Apalagi globalisasi dan liberalisasi ekonomi hanya akan menggerogoti dan mengikis
eksistensi produk dalam negeri.
Nasionalisme Konsumen
Bangsa Indonesia kini sedang memasuki fase sangat menentukan dalam penegakan hukum
dan pembangunan ekonomi terkait momentum pemilu presiden untuk periode 2014-2019.
Harus diakui, periode lima tahun pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono (SBY)- Boediono
tidaklah menggembirakan dalam memberikan kontribusi terhadap perlindungan konsumen.
Itu bisa dibuktikan ketika pemerintah membiarkan pemadaman listrik berhari-hari, kenaikan
tarif tol yang membebani konsumen, pelayanan rumah sakit yang diskriminatif terhadap
pasien yang tidak mampu, kondisi transportasi kita yang tidak memberikan kenyamanan dan
keamanan bagi konsumen, terakhir kita menyaksikan calon penumpang kereta api harus
berbondong-bondong dan begadang untuk membeli tiket mudik Lebaran.
Berbagai kasus yang tidak mencerminkan pemihakan kepada posisi konsumen bahkan terus
bermunculan sepanjang lima tahun terakhir ini. Sekali lagi, sangat mustahil kita berbicara
kualitas perlindungan terhadap konsumen jika pemerintahan yang berjalan tidak peduli pada
ihwal yang berkaitan dengan konsumen.
Keberadaan Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) menjadi contoh konkret
bahwa betapa pemerintah tidak memiliki komitmen yang serius untuk memfungsikan dan
memberdayakan lembaga ini secara optimal.
Bukan saja berbagai saran dan rekomendasi yang dikeluarkan tidak mendapat perhatian dan
respons dari pemerintah, melainkan juga keterbatasan sarana dan prasarana lembaga ini untuk
melayani dan mengoperasionalkan tugas, fungsi, dan wewenang yang diberikan undang-
undang. Padahal, eksistensi lembaga ini menurut amanat UU Perlindungan Konsumen adalah
merupakan advisory body bagi presiden.
Karena itu, dalam hal perlindungan konsumen seharusnya secara fungsional lembaga ini
benar-benar harus eksis di republik ini. Hal yang sama juga dialami Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen (BPSK) sampai hari ini lembaga BPSK keberadaannya masih terbatas di
setiap provinsi alias masih bisa dihitung jari di Indonesia.
Ironis sekali sebab sesuai amanat UU, BPSK ini harus sudah ada pada setiap daerah
kabupaten dan kota. Pasal 49 UUPK menegaskan: ”Pemerintah membentuk Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen di daerah tingkat II untuk penyelesaian sengketa
konsumen di luar pengadilan”.
Penguatan BPKN, BPSK, dan LPKSM selama ini sejujurnya dianggap belumlah memadai.
Atas dasar itulah, diperlukan political will dan komitmen pemerintah untuk mewujudkan
keseimbangan perlindungan kepentingan konsumen dan pelaku usaha sehingga ke depan
tercipta perekonomian yang sehat dan dinamis.
Dengan tetap menjamin kepastian atas mutu, kenyamanan, dan keamanan barang dan /atau
jasa yang diperolehnya di pasar. Tanpa memiliki kebijakan atau agenda perlindungan
konsumen, mustahil pemerintah mampu mengangkat harkat dan martabat konsumen. Karena
itu, sekali lagi, kita butuh pemimpin (presiden) yang punya visi yang jelas untuk
meningkatkan perlindungan konsumen di Indonesia.
DR ABUSTAN
Komisioner Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN)
Agenda Ekonomi Capres
Koran SINDO
Jum'at, 6 Juni 2014
GENDERANG kampanye presiden sudah dimulai. Pasangan nomor 1, Prabowo Subianto-
Hatta Rajasa dan nomor 2, Joko Widodo (Jokowi)- Jusuf Kalla akan semakin intensif
mengomunikasikan visi, misi, dan agenda ekonomi kepada masyarakat.
Jika diperhatikan, visi dua calon presiden (capres) tersebut memiliki artikulasi yang tidak
jauh berbeda dengan visi Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-
2025 yaitu”Indonesia yang Mandiri, Maju, Adil, dan Makmur”.
Dalam Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI)
2011-2025 disebutkan Indonesia akan menjadi negara maju (upper middle-income) pada
2025 dengan pendapatan per kapita sekitar USD14.250-15.500. Dengan demikian,
kepemimpinan baru 2014-2019 akan menjadi fase antara untuk menghantarkan Indonesia
menuju negara maju.
Ini tentu tidak mudah dan mencapai pertumbuhan tinggi bukan menjadi determinan tunggal
untuk menjadi negara maju. Hal terpenting yang perlu dilakukan oleh pemerintah mendatang
yaitu meningkatkan kualitas pertumbuhan.
Ini tentu saja menghendaki ada perbaikan dalam penciptaan kesempatan kerja, penurunan
angka kemiskinan dan ketimpangan pendapatan, namun juga perbaikan kualitas lingkungan
hidup. Guna mencapai tujuan tersebut, sangatlah penting untuk menuntaskan empat
permasalahan struktural yaitu: (i) turunnya produktivitas; (ii) rendahnya kemampuan dasar
industri manufaktur dan struktur industri yang timpang; (iii) stagnasi produktivitas sektor
pertanian dan ketahanan pangan; dan (iv) kapabilitas teknologi yang rendah.
Walaupun sudah terlihat ada upaya untuk melakukan reformasi struktural dari masing-masing
capres, agenda yang ada bukanlah terlepas dari program pemerintah periode sebelumnya.
Kegagalan dan keberhasilan agenda pembangunan masa lalu perlu menjadi pelajaran bagi
pemerintahan baru untuk membuat kebijakan ekonomi yang lebih baik. Becermin dari
pelajaran kebijakan ekonomi yang pernah ada, tulisan ini untuk menggugah masyarakat agar
tetap kritis dalam memaknai janji-janji pasangan calon presiden.
Kritik Agenda Capres Prabowo
Kritik umum saat membaca visi-misi capres Prabowo yaitu cukup banyak target kuantitatif
yang tertuang dalam sembilan lembar kertas kerja mereka di antaranya belanja untuk
membangun kawasan ekonomi khusus yang membutuhkan anggaran lebih dari Rp26 triliun,
membangun 2.000 tower rumah susun, mengalokasikan dana sebesar Rp1 miliar per
desa/kelurahan per tahun, alokasi dana perbaikan fasilitas sekolah sebesar Rp150 juta per
sekolah. Capres Prabowo juga berjanji untuk menghapus pinjaman luar negeri pada 2019 dan
mencapai defisit anggaran sebesar 1% dari produk domestik bruto (PDB) pada 2017.
Dengan demikian, guna membiayai agenda pembangunan, capres Prabowo perlu menggalang
pendapatan dalam negeri (baik pajak dan bukan pajak) dan mengembangkan pembiayaan
dalam negeri (obligasi dalam negeri). Pada waktu yang bersamaan laju pertumbuhan ekonomi
akan dipacu hingga 10% dan target porsi belanja negara mencapai minimal 19% dari PDB.
Dalam kerangka analisis ekonomi, target-target tersebut sulit dicapai untuk dua alasan utama.
Pertama, jika pemerintah dan dunia swasta berebut sumber pendanaan dalam negeri, akan
mendorong suku bunga dalam negeri meningkat. Kondisi ini akan menurunkan kegiatan
investasi sektor swasta (istilah ekonomi disebut crowding out). Akibat itu, pihak swasta akan
mengandalkan pada pembiayaan luar negeri yang lebih murah. Kondisi ini tengah terjadi dan
pemerintah perlu mengawasi perkembangan utang swasta untuk mengantisipasi dampak
terburuk yang dapat terjadi.
Kedua, target pertumbuhan ekonomi 10% merupakan hal yang sangat berat untuk dicapai dan
target tersebut merupakan target tertinggi sejak Indonesia merdeka. Kondisi pertumbuhan
sektor manufaktur yang melambat, dan perkembangan ekspor yang kurang menyenangkan,
membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia cenderung melambat sejak 2011. Pada sisi lain,
pertumbuhan ekonomi yang terlampau tinggi (overheating) dapat memicu inflasi yang tidak
saja merugikan masyarakat miskin, tapi juga bisa mendorong ketimpangan pendapatan yang
makin melebar.
Kritik Agenda Capres Jokowi
Janji Jokowi tidak kalah banyak dengan Prabowo misalkan pencanangan 1.000 Desa Daulat
Benih, program 1.000 Desa Organik, pembangunan monorel atau bawah tanah
(underground), membangun 50.000 rumah sehat, 6.000 puskesmas, renovasi 5.000 pasar
tradisional, dan lainnya.
Tentu saja program-program serupa juga sudah banyak berjalan baik yang dilakukan atas
inisiasi pemerintah pusat/daerah dan badan usaha milik negara. Misalkan program rehabilitasi
sekolah yang dijalankan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, rehabilitasi pasar
yang dilakukan Kementerian Koperasi dan UKM, ataupun program Pengembangan Usaha
Agribisnis Perdesaan (PUAP) dan Lembaga Usaha Ekonomi Perdesaan (LUEP) yang
dimotori oleh Kementerian Pertanian, dan Bantuan Operasional Kesehatan Puskesmas oleh
Kementerian Kesehatan.
Kendala utama dalam menjalankan program-program yang inklusif yaitu masing-masing
program umumnya saling berjalan sendiri-sendiri. Lemahnya keterpaduan dan keberlanjutan
program membuat banyak program berjalan tidak efektif. Misalkan upaya pengembangan
desa organik dalam kondisi perilaku industri yang masih mencemari lingkungan.
Keberadaan pasar tradisional dan modern yang saling bersaing berebut pembeli. Program-
program seperti ini juga tidak ubahnya dengan mega proyek yang syarat penyimpangan dan
korupsi. Demikian pula, kebijakan Jokowi untuk meningkatkan akses petani gurem terhadap
kepemilikan lahan pertanian dari rata-rata 0,3 hektare menjadi 2 hektare per KK juga bukan
hal mudah terutama di wilayah Jawa.
Di balik cerita sukses transmigran asal Jawa, juga banyak kegagalan yang terjadi. Terlebih
dua tantangan sektor pertanian saat ini yaitu kepemilikan lahan yang banyak terkonsentrasi
pada kelompok pemodal besar dan kecenderungan nilai tukar petani yang makin melemah,
mendesak dilakukannya kebijakan afirmatif bagi para petani gurem.
Tantangan Kepemimpinan
Penting untuk melihat dalam debat capres nanti bagaimana masing-masing kandidat dapat
mencari kesepakatan dari banyak target pembangunan yang dapat saling bertentangan.
Misalkan dalam ideologi negara pembangunan (developmental state), pememerintah perlu
meletakkan kemajuan ekonomi, sosial dan lingkungan berjalan secara berimbang (the
development triangle). Demikian pula, dalam banyak keterbatasan (anggaran dan personel),
skala prioritas menjadi sangat penting dilakukan.
Lebih jauh bagaimana gaya kepemimpinan (otoriter dan humanis) dan pengalaman dari
masing-masing pasangan capres untuk dapat mengatasi masalah juga penting untuk
dicermati. Dalam hal ideologi pembangunan ekonomi kedua pasangan relatif sama, namun
keberhasilan pembangunan akan lebih banyak ditentukan oleh agenda prioritas dan cara (the
art) untuk mencapai tujuan tersebut.
MAXENSIUS TRI SAMBODO
Peneliti di Puslit Ekonomi–LIPI, Visiting Fellow di Institute of Southeast Asian Studies
(ISEAS), Singapura
Masa Depan Kita di Laut
Koran SINDO
Jum'at, 6 Juni 2014
INDONESIA tengah memasuki masa transisi pemerintahan dengan tiga warisan yang tidak
pernah diharapkan: kemiskinan, pengangguran, dan nyaris kelaparan. Saya menyebut
kemiskinan sebab pada kenyataannya sekitar 100 juta rakyat Indonesia hidup dengan status
ekonomi rentan: miskin dan hampir miskin.
Lalu, tidak kurang dari 40 juta jiwa di antaranya tengah berjuang mendapatkan pekerjaan
tetap dan layak. Meski terkesan seperti lelucon menyebut Indonesia rentan kelaparan, fakta
belakangan terakhir menunjukkan bahwa tidak saja faktor kemiskinan yang menyebabkan
rakyat tidak mampu membeli pangan. Ikhtiar negara memenuhi kebutuhan pokok rakyat dari
produksi dalam negeri juga kian lemah.
Puncaknya, sekitar USD12 miliar lenyap untuk impor pangan, lebih dari USD40 miliar untuk
impor energi, dan utang luar negeri menumpuk tiap tahun. Nah , jika dengan penduduk
sekitar 250 juta jiwa saja kita terseok-seok memenuhi janji kemerdekaan: melindungi,
menyejahterakan, dan mencerdaskan tiap-tiap anak bangsa, bagaimana rakyat Indonesia
boleh optimistis merayakan 100 tahun kemerdekaannya dengan (proyeksi) penduduk
mencapai 450 juta jiwa kelak?
Bergeserke Laut?
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono baru-baru ini berpesan bahwa Indonesia akan
menghadapi persoalan serius pada 20, 30, 50 tahun mendatang jika gagal memanfaatkan
potensi laut. Karena itu, paradigma pembangunan jangka panjang Indonesia harus diubah
menjadi pembangunan berbasis darat-maritim (Kompas, 1/2).
Celakanya, meski dua periode pemerintahan SBY telah didukung porsi APBN maksimum
(sepanjang sejarah republik) dan dengan anggaran kelautan yang terus tumbuh, wajah
kemiskinan di kampung-kampung nelayan dan pulau-pulau kecil tidak juga berubah.
Ketimpangan pembangunan antara pulau besar dan kecil maupun pulau terdepan dan
pedalaman kian tampak. Kejahatan di laut berupa illegal fishing, illegal logging, illegal
mining, human trafficking, hingga perdagangan narkoba melalui jalur laut terus berlanjut.
Belakangan investasi asing dimudahkan (ikut) mengelola perairan pesisir dan pulau-pulau
kecil melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 saat perjanjian batas perairan dengan 10
negara tetangga belum sepenuhnya tuntas.
Perubahan paradigma yang disebutkan Presiden SBY terbukti lebih dilatari kesadaran
ekonomi (jangka pendek) yakni menipisnya sumber daya alam di darat dan tanpa
mempertimbangkan kepentingan lebih besar: laut sebagai ruang juang dan ruang hidup
bangsa.
Sebagai ruang juang, Indonesia berbatasan langsung dengan 10 negara di laut dan hanya dua
negara di darat. Jika tidak awas dan terus diperjuangkan, keterhubungan perairan Indonesia
dengan laut dunia (convoyer belt) dapat menjadi ancaman serius bagi masuknya pengaruh
asing seperti barang, jasa, modal, ideologi, penyakit, hingga kriminalitas yang mengancam
keamanan dan kedaulatan bangsa Indonesia.
Laut juga bukanlah lumbung ekonomi (ekstraktif) baru yang selalu siap menggantikan
kebangkrutan sumber daya alam di darat. Sejak Proklamasi Kemerdekaan 1945 dan Deklarasi
Djuanda 1957 pertama kali dikumandangkan, laut telah pula menjadi ruang hidup bangsa
dengan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat menjadi tujuan pengelolaannya.
Masa Depan
Masa depan adalah hari ini. Begitu pun wajah Indonesia 2045 merupakan hasil karya dan
cipta anak-anak bangsa hari ini. Karena itu, Pemilu 2014 harus menghasilkan perubahan. Di
hulu pemerintahan ke depan perlu memasukkan aspek kelautan, termasuk kekayaan budaya
dan pengetahuan bahari bangsa ke tiap jenjang pendidikan. Jika saat ini hanya 20% dari
seluruh sekolah kejuruan di Indonesia yang membidangi kelautan, ke depan perlu
ditingkatkan menjadi 50%. Dalam jangka panjang, strategi ini dapat menghasilkan generasi
Indonesia dengan mental dan adab kelautan yang kuat.
Sedangkan jangka pendek akan merombak struktur tenaga kerja kelautan dari sebelumnya
tidak terlatih (unskill labour) ke berdaya saing tinggi (skill labour). Kita harus merevitalisasi
(bukan menambah) armada perikanan rakyat agar lebih efektif dan efisien melakukan
penangkapan ikan di perairan kepulauan. Lalu, secara bertahap merestrukturisasi 1.000 kapal
yang ada di perairan kepulauan ke perairan zona ekonomi eksklusif Indonesia dan laut lepas.
Data termutakhir dari Kementerian Kelautan dan Perikanan menunjukkan bahwa sebanyak
99,5% dari total armada perikanan nasional Indonesia beroperasi di perairan kepulauan atau
berjarak kurang dari 12 mil dari garis pantai. Selain untuk mengoptimalkan produksi pangan
perikanan, baik di perairan kepulauan maupun ZEEI strategi ini sekaligus dapat
mempersempit masuknya kapal-kapal ilegal ke perairan Indonesia. Reformasi sektor
keuangan pun menjadi mutlak guna mendukung pembangunan hulu-hilir kelautan.
Di hilir pemerintah dapat memperkuat konektivitas antarpulau dengan armada dagang dan
transportasi handal guna mendukung hilirisasi industri nasional dan mendistribusikan layanan
kesejahteraan ke pulau-pulau kecil di timur Indonesia. Sebagai gambaran, sejak Orde Baru
hingga penghujung pemerintahan Presiden SBY, hampir 80 pelabuhan perikanan berada di
kawasan barat Indonesia.
Minimnya pelabuhan perikanan di timur Indonesia telah menyulitkan bangkitnya industri
pengolahan ikan nasional. Terakhir, di tengah cuaca ekstrem dan arus liberalisasi yang
semakin kuat, pemerintah perlu memfasilitasi secara rutin informasi cuaca, lokasi
penangkapan ikan, dan harga ikan kepada nelayan dan penambak.
Jika sebelumnya cabai keriting dan sederet komoditas pertanian dapat mudah diikuti
perkembangan harga hariannya melalui media cetak dan elektronik, ke depan layanan
informasi serupa harus tersedia untuk sedikitnya 18 komoditas ikan konsumsi rakyat
Indonesia.
Harapannya, aktivitas perikanan menjadi lebih aman, efisien, begitu pun nelayan tidak lagi
dirugikan dalam penetapan harga jual ikan. Meski belum sempurna, visi misi dua calon
presiden telah memberi peluang terhadap perubahan (mendasar) strategi pembangun nasional.
Maka itu, hanya dengan ikhtiar berbasis kelautan, presiden hasil Pemilu 2014 dapat
mengantarkan Indonesia ke masa depan lebih baik.
M RIZA DAMANIK
Ketua Dewan Pembina Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia; Penulis Buku ”Hak Asasi
Nelayan”
Menakar Ketajaman Visi Maritim Capres
Koran SINDO
Sabtu, 7 Juni 2014
DUA calon presiden (capres) yang akan berlaga dalam pemilihan presiden tahun ini relatif
lebih memiliki visi di bidang kemaritiman. Satu hal yang patut diapresiasi tentunya. Secara
tradisional dan berlaku global, yang dimaksud bidang kemaritiman adalah pelayaran dan
sangat erat terkait dengan aktivitas perdagangan.
Dalam bukunya The Influence of Sea Power Upon History 1660- 1783, Capt. A. T. Mahan,
seorang ahli strategi maritim terkenal, mengatakan bahwa setelah perdagangan berkembang
negara-negara yang memiliki armada pelayaran yang kuat meningkatkan kehadirannya di
lautan dengan membangun angkatan laut yang kuat untuk mengawal barang-barang yang
diangkut kapal-kapal mereka. Dalam kalimat Mahan: ”...the necessity of a navy, in the
restricted sense of the word, springs, therefore, from the existence of a peaceful shipping ...”.
Di samping pelayaran, bidang kemaritiman juga mencakup pelabuhan, galangan kapal, dan
pelaut.
Visi Prabowo Subianto dan Joko Widodo di bidang maritim adalah sama-sama ingin
membangun pelabuhan. Ini pilihan yang tepat mengingat pelabuhan merupakan fasilitas yang
teramat strategis; ia bukannya hanya sekumpulan beton di bibir pantai.
Ada kisah menarik terkait nilai strategis sebuah pelabuhan dari negeri jiran Malaysia ketika
Pelabuhan Tanjung Pelepas (PTP) dibangun di sana pada era 90-an. Perdana Menteri
Malaysia kala itu, Dr Mahathir Mohamad, mendirikan pelabuhan tersebut tepat di seberang
Singapura, tepatnya di Johor Baru.
Kebijakan ini sebetulnya tidak tepat karena PTP jauh dari kota besar atau kawasan industri
utama yang terletak di ujung selatan Malaysia. Ini berarti hanya akan ada sedikit barang yang
akan keluar-masuk dari pelabuhan itu. Namun, Dr M, panggilan akrab Mahathir Mohamad,
tetap membangunnya. Dioperasikan pertama kali pada 1999 dan secara resmi diluncurkannya
pada 2000, PTP kini merupakan salah satu pelabuhan penting di kawasan Asia dengan
throughput tahunan melebihi 5 juta TEU. Last but not least, ada banyak putra Indonesia yang
terlibat dalam pembangunan PTP.
Baru-baru ini keberadaan Pelabuhan Tanjung Pelepas mencuat dalam komunitas pelayaran
domestik karena ada rute baru yang dibuka oleh pelayaran global Maersk Line dari
Pelabuhan Makassar menuju PTP dengan menyinggahi terlebih dahulu Papua New Guinea
(Port Moresby), Port Noro, yang berada di Kota Lae, kota terbesar kedua di Papua New
Guinea, kemudian masuk ke Bitung dan berakhir di Tanjung Pelepas.
Kurang Tajam
Sayang, visi maritim dua pasang calon presiden yang ada kurang tajam. Alasannya, pertama,
pelabuhan-pelabuhan yang akan dibangun oleh para capres itu adalah pelabuhan yang sudah
direncanakan sebelumnya oleh para teknokrat; para capres paling nantinya hanya tinggal
mengeksekusinya saja.
Lebih jauh, pelabuhan-pelabuhan yang akan dibangun itu bisa jadi tidak cocok dengan
kebutuhan yang ada karena perencananya lebih mementingkan proyek dibanding kegunaan.
Pembangunan pelabuhan Kuala Tanjung di Sumatera Utara adalah contoh pelabuhan yang
dibangun dengan pendekatan seperti di atas.
Ketika dibangun pertama kali, Kuala Tanjung nyaris tanpa jalan masuk mau pun keluar.
Pengembangnya sepertinya ingin truk-truk yang menuju ke sana terbang. Dengan fasilitas
yang masih belum berkembang, Kuala Tanjung ditetapkan sebagai pelabuhan pengumpul
atau hub port internasional berdasarkan Peraturan Presiden No. 26 Tahun 2012 tentang Cetak
Biru Sistem Logistik Nasional yang diterbitkan 5 Maret 2012 (sic).
Kedua, visi maritim Prabowo Subianto dan Joko Widodo sangat berorientasi ke dalam
(inward looking). Padahal, pelabuhan di mana pun di seluruh dunia terhubung satu dengan
lainnya dan mereka saling bekerja sama demi kemajuan bersama atau mutual co-existence.
Artinya, bukanlah hal yang memalukan jika kita membangun pelabuhan tidak jauh lokasinya
dari pelabuhan yang jauh lebih mapan dari pelabuhan di Indonesia. Alangkah lebih baik jika
kedua pasang capres juga mencanangkan visi untuk membangun pelabuhan tidak jauh dari
Singapura, tepatnya di seputaran Batam, Kepulauan Riau.
Tidak ada yang membantah bahwa pelabuhan Negeri Singa itu merupakan magnet bagi
pelayaran dunia. Jika kita bisa membangun pelabuhan (peti kemas) di Batam yang
fasilitasnya setara dengan pelabuhan Singapura, kita akan bisa menampung limpahan peti
kemas dari sana.
Pembangunan Pelabuhan Tanjung Pelepas yang berlokasi tidak jauh dari pelabuhan
Singapura dibangun dengan filosofi tadi. Terakhir, visi maritim kedua pasang capres kurang
tajam karena tidak disertai dengan pernyataan bagaimana cara memasarkan pelabuhan-
pelabuhan yang akan mereka bangun kelak jika menjadi presiden.
Pelabuhan bukanlah fasilitas sosial melainkan ia merupakan sebuah entitas bisnis yang harus
mendatangkan uang bagi negara. Sudah banyak pelabuhan tapi pemasarannya diserahkan
sepenuhnya kepada direksi perusahaan yang mengelolanya. Nyaris tidak pernah terdengar
orang nomor satu di republik ini terlibat memasarkannya.
SISWANTO RUSDI
Direktur The National Maritime Institute (Namarin), Jakarta
RKP 2015 dalam Transisi Kepemimpinan
Di tengah kontestasi pemilu presiden, ada hal menarik dalam penyusunan Rencana Kerja
Pemerintah (RKP) 2015 dan RAPBN 2015.
Sesuai UU No 17 Tahun 2007 tentang Rencana Jangka Panjang Nasional 2005–2025 dalam
Pasal 5 ayat 1 disebutkan, “Dalam rangka menjaga kesinambungan pembangunan dan untuk
menghindari kekosongan rencana pembangunan nasional, presiden yang sedang memerintah
pada tahun terakhir pemerintahannya diwajibkan menyusun RKP untuk tahun pertama
periode pemerintahan presiden berikutnya.”
Presiden terpilih memiliki ruang gerak untuk menyempurnakan RKP dan APBN pada tahun
pertama melalui mekanisme perubahan APBN (APBN-P). Mekanisme peralihan RKP dan
APBN di tengah transisi kepemimpinan tidak terlalu menjadi perhatian kita semua pada RKP
dan APBN 2009 lantaran pada Pilpres 2009 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)
terpilih kembali sebagai presiden untuk periode kedua. Untuk periode 2014–2019, Indonesia
akan memilih presiden baru untuk melanjutkan agenda pembangunan nasional.
Dengan demikian, fase penyusunan RKP dan APBN 2015 untuk tahun pertama presiden baru
dan proses perubahan atau penyesuaiannya berdasarkan visi-misi serta program prioritas
presiden terpilih akan menjadi pembelajaran-konstitusi sistem perencanaan dan penganggaran
pembangunan nasional. RKP 2015 merupakan RKP tahun pertama dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) III 2015–2019 dalam kurun RPJPN
2005–2025.
Karena itu, tidak hanya proses penyusunan RKP 2015 yang menjadi semakin penting, tetapi
juga menjamin proses transisi dari pemerintah yang menyusun dan pemerintah yang
menjalankan menjadi semakin krusial. Hal ini tidak hanya menjamin kesuksesan
implementasi dari program dan kegiatan yang telah disusun dalam RKP 2015, melainkan
juga penting bagi fondasi pembangunan jangka menengah III nasional sampai tahun 2019.
Tentunya pencapaian target RPJMN III akan menjadi modal yang sangat baik bagi
pencapaian pembangunan nasional RPJMN IV 2020- 2025. Inilah yang menjadi esensi
keberlanjutan pembangunan nasional lintas generasi. Agar proses transisi RKP dan APBN
2015 berjalan baik, pemerintah saat ini tengah melakukan beberapa hal strategis. Pertama,
Presiden SBY di sejumlah kesempatan telah menyampaikan untuk mengundang presiden
terpilih pada pemungutan suara 9 Juli 2014 untuk berkomunikasi mengenai RKP dan APBN
2015.
Meskipun berdasarkan UU Nomor 17 Tahun 2007 penyusunan RKP dan APBN 2015 masih
menjadi tugas dan kewenangan pemerintahan dan DPR RI 2009–2014, pelaksanaannya akan
dilakukan oleh presiden periode 2014–2019. Oleh karenanya, komunikasi antara pemerintah
yang menyusun dan yang melaksanakan menjadi krusial untuk menjamin keberlanjutan
pembangunan nasional. Kedua, terbuka luas bagi presiden terpilih periode 2014– 2019
melakukan penyesuaian RKP dan APBN 2015 melalui mekanisme APBN-P 2015.
Karena itu penyusunan RKP dan ABPN 2015 bersifat anggaran pokok dan dasar (baseline
budget) dengan memperhitungkan kebutuhan pokok penyelenggaraan pemerintahan dan
pelayanan kepada masyarakat. Melalui hal ini, pemerintahan baru akan memiliki ruang fiskal
yang longgar untuk memasukkan program dan kegiatan prioritas pembangunan sesuai dengan
visi-misi politik yang telah dijanjikan semasa periode kampanye pilpres.
Meski begitu, dalam penyusunan RAPBN 2015, pemerintah tetap memperhatikan arah dan
strategi untuk merespons dinamika perekonomian, menjawab tantangan dan isu-isu strategis
untuk mendukung tercapainya RKP 2015. Ketiga, dari sisi penyusunan RKP 2015, tugas
pemerintahan saat ini adalah menjalankan secara konsisten yang menjadi amanat UU Nomor
25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.
Di dalamnya penyusunan RKP 2015 dilakukan mengikuti tahapan, mekanisme, dan proses
penyusunan sesuai dengan tata aturan yang berlaku sehingga rencana kerja menghasilkan
rancangan yang sistematis, terarah, terpadu, menyeluruh, dan tanggap terhadap perubahan.
Koordinasi dan sinkronisasi rancangan kerja kementerian/lembaga (renja K/L) dengan renja
pemerintahan daerah dilakukan agar program kerja menjadi efisien, efektif, fokus, dan
memiliki dampak langsung bagi tercapainya target pembangunan nasional.
Keempat, untuk memudahkan pemerintahan baru menjalankan RKP 2015, pemerintah saat
ini tengah berupaya untuk terus menjaga kesehatan fiskal melalui APBN-P 2014.
Perekonomian Indonesia 2015 akan sangat dipengaruhi bagaimana kita mengelola kesehatan
fiskal sepanjang tahun 2014. Dihadapkan pada situasi perlambatan pertumbuhan ekonomi
dunia dan kawasan, fluktuasi nilai tukar rupiah, pelemahan ekspor dunia, serta risiko
pembengkakan defisit anggaran, maka Inpres Nomor 4 Tahun 2014 tentang Program
Penghematan dan Pemotongan Anggaran dikeluarkan.
Target pemerintah saat ini dapat menghemat Rp100 triliun dari rancangan APBN awal.
Meskipun tidak mudah, kebijakan ini perlu diambil agar tidak hanya fiskal 2014 tetap kuat
tetapi juga memudahkan pemerintahan baru dalam mengelola perekonomian nasional.
Melalui keempat upaya ini kita semua berkeyakinan transisi kepemimpinan dan transisi
rencana kerja pemerintah serta penganggarannya akan berjalan secara baik.
Selain itu, kita semua optimistis siapa pun presiden baru yang akan terpilih pada pemungutan
suara 9 Juli 2014 akan membuka diri dalam berkomunikasi dengan pemerintah saat ini.
Dengan demikian keterpaduan dan kontinuitas program kerja baik pusat maupun daerah
antara pemerintahan perumus dan pelaksana, paling tidak, untuk tahun pertama dapat
berlangsung baik.
Saya berkeyakinan ketika kita semua mampu menjaga fase transisi rencana kerja dan
penganggaran secara baik, hal ini akan menjadi fondasi kuat bagi suksesnya RPJMN III
2014–2019 dan RPJP sampai pada tahun 2025.
Impor dan Sistem Pembayaran
Koran SINDO
Senin, 9 Juni 2014
DENGAN model DGSE terlihat sangat jelas keterkaitan antara sistem pembayaran dan
impor. Kenaikan harga impor bahan bakar dan pupuk membuat negara-negara Afrika
berpendapatan rendah mengalami kesulitan dalam sistem pembayaran.
Transmisi moneter juga membuat pembayaran melalui telepon juga mengalami gangguan,
misalnya yang terjadi di Kenya. Dengan model ini terbukti bahwa efek pendapatanlah yang
merupakan sumber utama dari gangguan sistem pembayaran melalui transmisi impor. Di
sinilah pentingnya kebijakan fiskal untuk menetralisasi dampak negatif dari efek pendapatan.
Negara yang mampu meningkatkan pengeluaran fiskalnya adalah negara-negara yang juga
mampu menghindari permasalahan dalam sistem pembayaran. Di Asia hal yang sama juga
terjadi khususnya ketika terjadi krisis pada 1998. Indonesia yang dianggap sebagai Macan
Asia ternyata memiliki struktur perekonomian yang paling keropos dibandingkan dengan
negara-negara Asia lain yang terkena hantaman krisis.
Ini terlihat dari biaya krisis ekonomi yang ditimbulkannya di mana sistem pembayaran
Indonesia porak-poranda tidak karuan. Perbankan di Indonesia harus masuk ”ICCU” karena
sebagian besar tidak mampu menjalankan aktivitas normalnya. Melemahnya rupiah
menyebabkan impor dan utang luar negeri meningkat drastis yang menyebabkan cadangan
devisa Indonesia terkuras habis-habisan.
Kondisi ini membuat sistem pembayaran mengalami permasalahan yang sangat serius.
Masalah ini dapat terjadi karena sistem pembayaran terlalu mengandalkan kepada bank-bank
milik pemerintah yang ternyata memiliki kredit macet yang sangat luar biasa. Kesalahan
dalam membaca kondisi perekonomian Indonesia telah menyebabkan penyakit yang begitu
besar di depan mata dalam perekonomian Indonesia tidak dapat terdeteksi.
Semasa periode Orde Baru permasalahan reformasi sistem pembayaran hampir tidak pernah
tersentuh karena kroni Orde Baru sangat serakah ingin menguasai sistem pembayaran
nasional sehingga likuiditas dalam pasar keuangan menjadi bersifat semu dan tidak terkontrol
dengan baik.
Risiko dalam sistem pembayaran yang berkaitan dengan impor hanya bisa diselesaikan jika
bank sentral dan bank komersial melakukan kerja sama yang sangat baik untuk mereformasi
sistem pembayaran nasional.
Langkah inilah yang dilupakan oleh pemerintah Orde Baru yang selalu menganggap
perekonomian Indonesia adalah Macan Asia yang tidak memiliki kelemahan. Orde Baru juga
menganggap bahwa krisis ekonomi tersebut merupakan perang ekonomi.
Jika logika bodoh itu diladeni, ada kekuatan negara asing yang tengah memusuhi Indonesia,
Thailand, Korea Selatan, dan Malaysia. Sementara Gerding (2014) mengatakan bahwa
perusak ekonomi negara-negara yang terkena krisis ekonomi adalah aktor-aktor di dalam
negeri sendiri. Negara Macan Asia dirampok oleh penguasanya sendiri.
Indonesia dimasukkan dalam kelompok negara Macan Asia karena menjadi good boy-nya
Bank Dunia di mana Indonesia secara bodoh mengikuti resep neoliberal. Bank Dunia dan
penguasa Indonesia menggunakan ”other people money”.
Gerding mengatakan: ”The corporate form provides ideal for lobbying for regulatory favors:
corporations solve collective action problems by centralizing decisionmaking and allow
managers to lobby with‘other people’s money’.”
Pada krisis yang terjadi pada 2008 di Amerika Serikat dan Uni Eropa, krisis pembayaran
melalui transmisi impor bukanlah semata-mata merupakan perang ekonomi, melainkan
karena kebodohan sistem ekonomi yang tidak mampu mengelola risiko yang ditimbulkan
oleh proses ekonomi yang terjadilah yang merupakan sumber krisis ekonomi itu sendiri yang
umumnya melalui transmisi impor dan akhirnya juga sistem pembayaran nasional. Landau,
Garber, dan Scoenmaker pada 1997 sudah mengingatkan ini.
Mereka mengatakan: ”Payment system reforms are, nevertheless, crucially important and
should be regarded as a key component of ongoing efforts to create sound and efficient
financial systems. By strengthening payment systems to reduce systemic risk, central banks
have increased their degrees of freedom. Indeed, they may soon be able to strengthen market
discipline by letting financial institutions fail, perhaps even those currently perceived as too
big to fail, without threatening the stability of the entire financial system.”
Tidaklah juga mengherankan jika perekonomian negara adidaya dunia seperti Amerika
Serikat juga akhirnya terjerembab ke dalam krisis perekonomian. Terbukti perekonomian
Amerika Serikat masih terperangkap oleh risiko too big too fail sehingga terpaksa mengambil
alih banyak institusi keuangan besar yang bukan hanya perbankan, tetapi juga asuransi dan
industri manufaktur seperti industri mobil.
Perekonomian Amerika Serikat memiliki musuh di dalam dirinya sendiri yaitu tidak mau
melakukan reformasi perekonomian khususnya reformasi sistem pembayaran.
Kesalahan yang sama juga dilakukan negara-negara Uni Eropa. Kembali kepada krisis Asia
pada akhir 1990-an, pemimpin di Indonesia, Thailand, Korea Selatan, dan Malaysia juga alpa
dalam mereformasi sistem perekonomian khususnya sistem pembayaran dalam konteks tidak
terkontrolnya risiko ekonomi melalui transmisi impor.
Sistem mereka melupakan kewajiban ada likuiditas intraday. Likuiditas intraday harus
dijamin dalam sistem pembayaran. Tanpa ada likuiditas intraday, sistem pembayaran rentan
terhadap risiko too big too fail. Keberadaan jaminan dan biaya penalti juga sangat penting.
Dua hal ini harus serempak dilakukan untuk menghilangkan risiko kredit dari otoritas
moneter.
Hanya dengan cara itu, transmisi risiko krisis ekonomi dunia melalui mekanisme impor dapat
dihilangkan dalam memengaruhi peningkatan risiko sistem pembayaran nasional!
ACHMAD DENI DARURI
President Director Center for Banking Crisis
Pasar Modal Menjelang MEA 2015
Era globalisasi, keterbukaan, dan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015 harus
diantisipasi. Harmonisasi ketentuan, persyaratan, maupun produk dan layanan mesti
diupayakan agar memenuhi standar pasar modal regional maupun internasional.
Dengan demikian, bila sampai waktunya Masyarakat Ekonomi ASEAN berlaku, PT Kliring
Penjaminan Efek Indonesia (KPEI) bersama semua pelaku pasar lainnya bisa berperan lebih
luas dan tidak terbatas semata di pasar domestik. Untuk menuju ke arah tersebut, ada
beberapa tahap. Langkah awal melakukan assessment untuk memenuhi prinsip dan
rekomendasi International Organization of Securities Commissions (IOSCO).
Ini terkait dengan principles for financial market infrastructures. Assessment-nya akan
dilakukan tahun ini untuk mengukur sejauh mana pemenuhan dan kesenjangan (gap) yang
ada. Kedua, setelah gap diketahui, kemudian dilakukan upaya penyelesaian melalui program
dan rencana aksi. Walau berharap apa yang kita miliki dan lakukan sudah memadai, ada
beberapa hal yang harus disempurnakan. Untuk memulai ke arah sana mesti ada prakondisi
dan model yang ditetapkan di awal. Bagaimana model operasionalnya?
Bagaimana peran Lembaga Kliring dan Penjaminan (LKP) di satu negara jika nanti terjadi
keterhubungan antarpasar? Itu semua harus didefinisikan agar dapat disiapkan. Apalagi ada
beberapa hal yang harus diwaspadai dan disiapkan pada pelaksanaan Masyarakat Ekonomi
ASEAN. Hal dimaksud antara lain dari sisi kapasitas yang harus memadai dari aspek
operasional, pemenuhan terhadap standar yang berlaku, dan memadai secara ketentuan.
Selanjutnya memadai secara kapasitas organisasi maupun sumber daya manusia.
Infrastruktur pasar modal juga mesti disiapkan untuk mengantisipasi segala kemungkinan.
Tentu berkoordinasi dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), self regulatory organizations
(SRO) lain, dan pelaku pasar. Ada beberapa tahapan penetapan arah pengembangan
infrastruktur ke depan. Bentuknya ada blue print dan acuan perencanaan, baru kemudian
penetapan agenda prioritas pengembangan infrastruktur pasar modal.
Secara nyata, selanjutnya ditetapkan agenda dan program pengembangan tersebut beserta
struktur timnya. Tahap berikutnya pelaksanaan kerja. Untuk setiap program yang telah
dijalankan akan terus disempurnakan secara berkelanjutan agar memenuhi kebutuhan dan
perkembangan dari waktu ke waktu. Sesuai dengan peran sebagai LKP di pasar modal, KPEI
berkomitmen memberikan kontribusi terhadap pengembangan pasar modal di Indonesia.
Mulai dari mengembangkan peraturan dan sistem teknologi pendukung, menyediakan sumber
daya berkualitas hingga membuat prosedur operasional yang memenuhi aspek manajemen
mutu.
Pada akhirnya juga melakukan rangkaian kegiatan edukasi dan sosialisasi kepada para
pelaku. Dengan demikian, langkah-langkah KPEI dapat dipahami pelaku pasar dan
dijalankan dengan baik. Aspek lainnya pengembangan. KPEI tidak boleh berhenti melakukan
pengembangan agar dapat mengantisipasi setiap kebutuhan bisnis. Ini tidak dapat dilakukan
sendiri, melainkan bersama seluruh elemen pelaku pasar modal seperti OJK, SRO lain,
anggota bursa, dan para pelaku pasar.
Sebetulnya kalau kita melihat, tiap negara memiliki kondisi dan karakteristik pasar yang
berbeda-beda. Prinsipnya KPEI harus selalu mengakomodasi kebutuhan kliring dan
penjaminan yang berbasis kondisi dan karakteristik yang spesifik dari lingkungan pasar
modal di Indonesia. Tentunya tidak terlepas dari upaya untuk memenuhi dan mengikuti
standar, prinsip, dan rekomendasi yang berlaku secara global. Kita juga melakukan kerja
sama dengan negara lain dalam beberapa aspek. KPEI aktif dan menjadi anggota lembaga-
lembaga internasional.
Misalnya di The Asia-Pacific Central Securities Depository Group (ACG) yang anggotanya
adalah seluruh lembaga kliring dan penjaminan serta lembaga penyelesaian dan penyimpanan
di Asia-Pasifik. Juga aktif di Pan Asia Securities Lending Association (PASLA), organisasi
penyelenggara layanan pinjam meminjam efek, serta Central Counter Party (CCP) di Asia
dan global. KPE juga aktif mengikatkan diri dalam kerja sama bilateral dengan lembaga
sejenis dari negara lain.
Ada MoU dengan Korea Securities Depository (KSD), Central Depository Company of
Pakistan Limited, Central Securities Depository of Iran (CSDI), Japan Securities Depository
Center ( JASDEC ), Japan Securities Clearing Corporation (JSCC), dan Japan Securities
Financing (JSF). Itu semua sebetulnya tidak terlepas dari misi pendirian serta amanat peran
dan fungsi KPEI yang dimuat dalam Undang- Undang (UU) Pasar Modal.
KPEI didirikan untuk menjadi satu lembaga yang terkait langsung dengan fungsi kliring dan
penjaminan penyelesaian transaksi bagi bursa di pasar modal di Indonesia. Misi KPEI adalah
untuk menciptakan pasar modal yang aman di satu sisi, tapi juga tetap menarik di sisi lain.
Capres, Bank Pertanian, dan Ketahanan
Pangan
Koran SINDO
Rabu, 11 Juni 2014
DALAM pernyataan di berbagai media massa akhir-akhir ini, dua kandidat calon presiden
(capres) yang tengah bertarung memperebutkan RI-1 membawa agenda pembangunan sektor
pertanian sebagai salah satu agenda utama pemerintahan mereka.
Salah satu pernyataan yang menarik dari kedua kandidat adalah pendirian bank pertanian
khusus untuk petani, nelayan, usaha mikro dan kecil di sektor pertanian dan perikanan. ”Bank
pertanian” merupakan terminologi yang menarik untuk dikutip media massa karena kalimat
tersebut merefleksikan kritik publik atas minimnya peran perbankan dalam memberikan
akses kredit kepada petani, nelayan, dan usaha mikro lainnya.
Bank Dunia (2010) menyebutkan bahwa selama ini permasalahan akses keuangan usaha
mikro, termasuk usaha tani dan perikanan, adalah salah satu hambatan utama usaha mikro
untuk bisa berkembang dengan baik. Data dari Bank Indonesia (BI) tahun 2012 menyebutkan
sektor pertanian hanya mendapatkan alokasi 7,73 % dari Kredit Usaha Rakyat (KUR).
Sebagian besar KUR dimanfaatkan untuk usaha perdagangan, yakni sebesar 47,2 %, dari total
KUR di tahun 2012.
Meskipun akses keuangan untuk petani merupakan permasalahan besar, apakah solusi
mendirikan bank pertanian merupakan kebijakan yang tepat dan efektif ? Sejak Orde baru,
Bank Rakyat Indonesia (BRI) telah menjadi pionir keuangan mikro bagi petani dan usaha
mikro lainnya di Indonesia. Bahkan, BRI merupakan contoh sukses keuangan mikro di dunia
yang banyak dikutip oleh akademisi (lihat misalnya dalam Rosengard & Prasetyantoko, 2011;
Robinson, 2001; atau Miyashita, 2000) jauh sebelum gerakan Grameen Bank di Bangladesh
mengemuka dan mendunia.
Program Bimbingan Masyarakat (Bimas) yang bertujuan khusus untuk memberikan kredit
pada sektor pertanian telah dilaksanakan BRI sejak tahun 1980-an. Sayangnya, program
tersebut justru membebani keuangan negara dan membuat BRI mengalami kerugian
keuangan dan akhirnya program tersebut ditutup.
Kemudian, pemerintah melanjutkan program kredit di sektor pertanian melalui program
Kredit Investasi Kecil (KIK), Kredit Modal Kerja Permanen (KMKP), Kredit Usaha Kecil
(KUK), dan sekarang dilanjutkan dengan Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKPE) dan
Kredit Usaha Rakyat (KUR). Di luar dari program kredit yang dilakukan oleh perbankan,
akses kredit untuk petani juga dapat diperoleh melalui lembaga keuangan yang berciri lebih
informal dan berbasis komunitas, seperti koperasi, lembaga keuangan mikro (LKM), atau
sistem arisan.
Riset dari Tambunan (2013) dan Bank Dunia (2009) menunjukkan sebagian besar usaha
mikro, termasuk di dalamnya usaha pertanian, lebih banyak mengandalkan sumber
pembiayaan informal daripada sumber pembiayaan dari perbankan. Penggunaan sumber-
sumber informal ini, salah satunya, karena perbankan menerapkan banyak persyaratan yang
menyulitkan usaha mikro, terutama perizinan usaha dan agunan. Sementara itu, selain
mensyaratkan agunan dan legalitas usaha, perbankan juga memerlukan profil risiko kreditur.
Selama ini, usaha pertanian dianggap usaha dengan tinggi risiko, terlebih saat ini perubahan
iklim memacu risiko gagal panen lebih besar. Jika perbankan hendak menurunkan standar
risiko pembiayaan untuk petani, perbankan dihadapkan pada perhitungan efisiensi usaha.
Terkait dengan akses pembiayaan usaha mikro, baru-baru ini Mahkamah Konstitusi (MK)
memutuskan pembatalan UU No. 17 Tahun 2012 mengenai Koperasi setelah gugatan
diajukan oleh berbagai kelompok koperasi dan gabungan masyarakat sipil yang bergerak
dalam pemberdayaan koperasi. Sebelumnya, pemerintah berharap dengan pemberlakuan UU
tersebut, koperasi dapat memperoleh akses keuangan yang lebih mudah ke perbankan.
Sayangnya, UU tersebut tidak didasarkan pada semangat dasar koperasi yang berbasis
keanggotaan yang demokratis, namun lebih berbasis pada kepentingan pengurus yang rawan
moral hazard. Gugatan para pegiat koperasi yang dimenangkan oleh MK ini juga menjadi
catatan penting bagi pemerintah mendatang untuk dapat mengatasi akses keuangan usaha
pertanian sekaligus membangun gerakan koperasi sesuai dengan semangat demokrasi
ekonomi.
Bukan Sekadar Retorika
Maraknya jasa keuangan informal, bahkan termasuk rentenir, yang membiayai usaha mikro,
di satu sisi merefleksikan resistensi lokal dalam merespons kebutuhan akses keuangan,
namun di sisi lain mencirikan jurang yang cukup tinggi antara sektor formal dan informal.
Tesis dualisme ekonomi di Indonesia yang dikemukakan oleh Boeke (1953) masih relevan
hingga saat ini, terutama jika melihat persoalan akses keuangan.
Sektor formal dan perusahaan besar mendapatkan kepercayaan yang sangat baik dari
perbankan. UMKM yang mendapat kredit dari perbankan pun lebih banyak dari usaha
menengah dan kecil, meskipun 99,9% atau sebesar 56,5 juta dari total unit usaha di Indonesia
dikategorikan sebagai usaha mikro. Dari jenis usaha mikro yang dibiayai perbankan, usaha
mikro berjenis pertanian yang paling minim. Kesenjangan sektoral merupakan persoalan
mendasar dari akses keuangan petani.
Kebutuhan keuangan petani tradisional yang utama, yang kurang dipahami bank, bukan
untuk melakukan ekspansi seperti sektor lainnya, namun untuk menstabilkan harga
komoditas. Oleh karena itu, penyediaan lingkungan pemberdaya (enabling environment)
yang bermanfaat untuk stabilisasi harga menjadi sangat penting. Inovasi kebijakan yang lebih
penting dilakukan, dibanding mendirikan bank pertanian yang bersifat repetitif, adalah,
pertama, menyediakan asuransi pertanian untuk petani dan, kedua, mentransformasi koperasi
simpan pinjam menjadi koperasi produksi.
Koperasi produksi, selain menaikkan posisi tawar petani terhadap rantai produksi global, juga
berperan dalam meningkatkan efisiensi usaha tani serta mempercepat penyerapan teknologi
dalam proses produksi. Ketika koperasi produksi mampu menyerap hasil tani anggota,
membukukan keuntungan yang baik, dan mengelola secara demokratis, bank akan tertarik
untuk membiayai usaha mereka.
Sementara itu, asuransi pertanian penting untuk membuat bank lebih tertarik membiayai
usaha tani, menstabilkan harga pertanian, serta mengatasi kemiskinan petani. Di Indonesia,
kenaikan harga pangan di tingkat pengecer mencapai 21,6% per tahun sejak 2010. Kenaikan
ini cukup tinggi, jika dibandingkan negara ASEAN lain, misalnya Thailand sebesar 10,1%,
Myanmar sebesar 4,4%, atau Filipina yang relatif tidak meningkat. (FAO, 2011).
Ketika harga pertanian naik, kecenderungan untuk kebocoran impor akan lebih tinggi, dan
petani semakin tidak berdaya untuk mengembangkan usaha tani mereka. Di banyak negara,
pemerintah mengembangkan asuransi pertanian berbasis indeks kerawanan iklim terutama
untuk menstabilisasi harga.
Di Jepang, pemerintah menyubsidi dana asuransi dan menyalurkannya lewat beberapa
institusi dana pertanian secara kolektif per kelompok tani. Sementara itu, di Meksiko dan
India, pemerintah menggandeng produsen jasa keuangan untuk membuat asuransi kolektif
pertanian berbasis kerawanan iklim per wilayah.
Akhirnya, tawaran capres-cawapres mengenai pembentukan bank pertanian ini seharusnya
bukan sekadar ide retorik yang ahistoris. Secara substantif, jasa keuangan yang lebih
diperlukan oleh petani adalah asuransi pertanian dalam mendorong kemampuan usaha tani,
yang pada gilirannya akan menaikkan profil usaha mereka untuk perbankan, dan secara
jangka panjang berkontribusi pada ketahanan pangan. Koperasi juga perlu didorong untuk
lebih berperan sebagai agen pembangunan.
HERJUNO NDARU KINASIH
Peneliti The Habibie Center
Politik Subsidi BBM Capres
Visi dan misi dua pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres)
dalam Pemilihan Umum Presiden (Pilpres) 2014 tidak secara tegas menyebutkan rencana
pencabutan subsidi bahan bakar minyak (BBM) dengan menaikkan harga BBM bersubsidi.
Tim sukses pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, Drajad Wibowo, mengungkapkan
bahwa pemerintahan Prabowo tidak akan menaikkan harga BBM bersubsidi. Sedangkan
Darmawan Prasojo, tim sukses Joko Widodo-Jusuf Kalla, mengatakan bahwa pemerintahan
Jokowi akan mengurangi subsidi BBM secara bertahap selama empat tahun ke depan.
Subsidi BBM merupakan permasalahan pelik dan dilematis yang tidak pernah diselesaikan
Presiden SBY dalam dua periode pemerintahannya sehingga siapa pun presiden terpilih harus
mengatasi itu. Permasalahan itu berkaitan dengan pembengkakan subsidi BBM yang
membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) setiap tahun. Selama periode
2011-213 total anggaran subsidi BBM dalam APBN sudah mencapai Rp635,6 triliun. Pada
APBN 2014 dari total belanja subsidi sebesar Rp333,7 triliun, 80% di antaranya dialokasikan
untuk subsidi BBM yang sudah mencapai Rp225,7 triliun.
Memang cara yang paling mudah bagi pemerintah untuk menekan subsidi BBM adalah
menaikkan harga BBM bersubsidi sesuai harga keekonomian. Masalahnya, setiap penaikan
harga BBM bersubsidi selalu menaikkan inflasi yang berpotensi menurunkan tingkat
kesejahteraan rakyat.
Dampak Penaikan Harga BBM
Selama ini penaikan harga BBM bersubsidi selalu memberikan dampak secara signifikan
terhadap penurunan tingkat kesejahteraan rakyat, bahkan tidak menutup kemungkinan
mempercepat akselerasi proses pemiskinan di negeri ini. Rakyat miskin memang tidak
terkena dampak kenaikan harga BBM secara langsung lantaran mereka bukanlah konsumen
BBM bersubsidi.
Namun, rakyat miskin sudah pasti akan terimbas dampak ikutan (multiplier effect) akibat
penaikan harga BBM bersubsidi. Penaikan harga BBM dari Rp4.500 menjadi Rp6.000 per
liter pada 1 April 2012 telah memicu kenaikan inflasi pada 2012 hingga 6,8% per tahun.
Kontribusi inflasi terbesar terjadi pada sektor transportasi sehingga memicu kenaikan harga-
harga kebutuhan pokok yang mencapai rata-rata sekitar 23,2% selama 2012.
Besaran inflasi tersebut telah menurunkan daya beli masyarakat yang memberikan kontribusi
terhadap peningkatan jumlah penduduk miskin di Indonesia sekitar 1,5% atau bertambah
sebanyak 4,5 juta orang. Memang pemerintah telah memberikan Bantuan Langsung
Sementara Masyarakat (BLSM) yang ditetapkan sebesar Rp150.000 per bulan kepada setiap
keluarga. Namun, jumlah BLSM tersebut dinilai tidak memadai untuk menutupi kenaikan
harga kebutuhan pokok akibat kenaikan harga BBM bersubsidi.
Menurut BPS, pendapatan seseorang di bawah Rp7.075 per hari dikategorikan sebagai
penduduk miskin. Kalau keluarga miskin mempunyai lima orang anggota keluarga, setiap
anggota keluarga hanya menerima bagian BLSM sebesar Rp30.000 per bulan atau Rp1.000
per hari. Dengan demikian, penghasilan penduduk miskin penerima BLSM meningkat dari
Rp7.075 menjadi Rp8.075 atau naik hanya 12,38%.
Kenaikan penghasilan penerima BLSM itu masih tidak mencukupi untuk menutup kenaikan
harga kebutuhan pokok yang mencapai 23,2%. Tidak diragukan lagi, setiap kenaikan harga
BBM bersubsidi akan menaikkan jumlah penduduk miskin meski pemerintah telah
membagikan BLSM.
Solusi Permasalahan BBM Bersubsidi
Untuk mengatasi permasalahan dilematis tersebut, capres mestinya menetapkan politik
subsidi BBM yang antisipatif, komprehensif, dan berkesinambungan, dituangkan dalam
tahapan rencana aksi sebagai solusi terhadap permasalahan BBM bersubsidi. Rencana aksi
tersebut meliputi penetapan mekanisme penaikan harga BBM bersubsidi, migrasi dari BBM
ke bahan bakar gas (BBG), dan pengembangan bahan bakar terbarukan (BBT).
Pertama, pemerintah harus menetapkan mekanisme penaikan harga BBM bersubsidi
berdasarkan indikator terukur. Salah satu skema yang bisa digunakan adalah penaikan harga
BBM bersubsidi secara berkala. Misalnya pemerintah menaikkan harga BBM Rp500 per liter
setiap tiga bulan sekali sehingga diperkirakan pada tahun kedua harga BBM sudah mencapai
harga keekonomian. Penaikan harga BBM secara berkala dengan jumlah kenaikan harga yang
tidak terlalu besar, di samping dapat menekan efek inflasi, juga dapat meredam gonjang-
ganjing akibat penolakan masyarakat terhadap penaikan harga BBM.
Selain itu, pada saatnya penaikan harga BBM secara berkala itu juga diharapkan dapat
diterima secara ekonomi, sosial, dan politik, sekaligus dapat mendorong upaya migrasi dari
BBM ke bahan bakar gas (BBG) serta pengembangan bahan bakar terbarukan (BBT).
Kedua, pemerintah harus memberikan prioritas pembangunan infrastruktur yang dibutuhkan
untuk melakukan migrasi dari BBM ke BBG yang kontens subsidi BBG lebih rendah
daripada subsidi BBM. Selain ketersediaan infrastruktur, pemerintah juga harus mempunyai
komitmen kuat dan political will dalam menerapkan rencana migrasi dari BBM ke BBG.
Keberhasilan pemerintahan SBY-JK dalam melakukan migrasi dari minyak tanah ke gas
barangkali bisa menjadi referensi bagi pemerintahan yang baru dalam menerapkan rencana
migrasi dari BBM ke BBG.
Ketiga, pemerintah harus secara serius dan terus-menerus dalam mengembangkan BBT yang
bahan bakunya tersedia secara berlimpah di negeri ini. Data menunjukkan bahwa
ketersediaan energi fosil penghasil BBM semakin menurun yang pada saatnya akan habis.
Dengan demikian, menjadi suatu keniscayaan bagi pemerintah baru untuk segera
mengembangkan BBT secara berkesinambungan.
Selain tiga solusi tersebut, pemerintah yang baru pun harus menghapus pemberian BLSM. Di
samping besaran BLSM tidak pernah mencukupi kenaikan harga-harga kebutuhan pokok
sebagai dampak penaikan harga BBM bersubsidi, pemberian BLSM selama ini juga lebih
banyak menimbulkan dampak negatif.
Tanpa ada politik subsidi BBM yang antisipatif, komprehensif dan berkesinambungan, serta
komitmen kuat dari pemerintah, jangan harap presiden terpilih akan mampu mengatasi
permasalahan pelik dan dilematis subsidi BBM yang selama 10 tahun telah membebani
pemerintahan SBY tanpa bisa diatasi. ●
FAHMY RADHI
Peneliti Pusat Studi Energi UGM
Memerangi Praktik Kartel
Koran SINDO
Senin, 16 Juni 2014
PEREKONOMIAN nasional sarat praktik kartel. Potensi kerugian masyarakat sebagai
konsumen akan terus berlanjut jika sistem hukum nasional tidak memberi sanksi maksimal
kepada para pihak yang bersekutu dalam kartel.
Maka, Presiden RI terpilih harus berani melancarkan gerakan sapu bersih atas praktik kartel
dalam perekonomian Indonesia. Kebetulan, dari para pendukung dan simpatisannya masing-
masing, dua pasang capres-cawapres, Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-
Jusuf Kalla, sudah menerima sapu lidi sebagai simbol. Sapu lidi merefleksikan harapan
publik kepada pemimpin untuk melakukan pembersihan.
Artinya, siapa pun pemenang Pilpres 2014, masyarakat mendesak presiden-wakil presiden
terpilih membersihkan semua praktik kotor dalam tata kelola kehidupan berbangsa dan
bernegara. Untuk menunjukkan dukungannya pada pasangan Prabowo-Hatta, Forum
Komunikasi Anak Betawi (Forkabi) menyebar sapu lidi yang dililit kertas merah putih di
rumah Polonia, Jakarta Timur. Adapun Komunitas Barisan Pejuang Kebersihan Jakarta
menyerahkan sapu lidi sebagai dukungan untuk pasangan Jokowi–JK.
Sebelumnya, cawapres Jusuf Kalla juga menerima sapu lidi dari ”Gerakan Nasional Relawan
Matahari Indonesia”. Jika mengikuti arus pendapat umum terkini, desakan sapu bersih dalam
konteks Indonesia adalah memberantas korupsi dan perang melawan kemiskinan. Dua isu ini
telah mendapatkan respons dari sejumlah institusi terkait. Namun, praktik kartel dalam
perekonomian nasional kurang mendapatkan perhatian dari masyarakat.
Padahal, praktik kartel untuk komoditas ekonomi tertentu bersentuhan langsung dengan
kepentingan setiap orang. Belum lama ini, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)
menyatakan 19 importir bawang putih bersalah melakukan kartel. KPPU menetapkan total
denda Rp13,3 miliar kepada mereka. Majelis KPPU memastikan 19 importir itu melanggar
Pasal 19 c dan Pasal 24 UU No 5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat.
Para importir itu didakwa sengaja membatasi peredaran bawang putih di pasar, sebagai
strategi mendongkrak harga. Hebatnya, majelis juga menyatakan Menteri Perdagangan dan
Dirjen Perdagangan Luar Negeri bersalah ikut bersekongkol. Setelah kasus bawang putih,
KPPU sedang mendeteksi praktik kartel perbankan dalam mematok bunga bank.
Penyelidikan KPPU sudah berjalan setahun lebih. Belakangan ini, perhatian KPPU diarahkan
pada perilaku sepuluh bank besar yang patut dijadikan acuan. Fokusnya pada besaran bunga.
Ada indikasi kartel karena bunga bank dan marjin bank sangat tinggi di atas BI rate. Tingkat
bunga kredit tetap tinggi walau BI rate pernah diturunkan. KPPU sudah mengendus masalah
ini sejak tahun 2011.
Persoalan ini juga menarik perhatian Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Maka, OJK pun
mengajak KPPU bekerja sama mendalami dugaan kartel ini. Tak hanya kartel suku bunga,
KPPU dan OJK pun mendeteksi praktik kartel dalam bisnis asuransi yang melibatkan
perbankan (bancassurance). Banyak perusahaan asuransi sulit memasarkan produknya
karena tidak berafiliasi dengan bank.
Bank dan asuransi bersekongkol untuk menutup ruang pemasaran bagi perusahaan asuransi
lainnya. Dalam praktiknya, nasabah yang mendapatkan kredit dari bank tertentu didorong,
tepatnya setengah “dipaksa” menggunakan produk asuransi dari perusahaan terafiliasi. Tak
jarang, penggunaan produk asuransi tertentu itu sudah difinalkan sebagai persyaratan.
Nasabah tidak diberi kebebasan memilih walaupun nasabahlah yang membayar premi.
Bagi KPPU, praktik persaingan tidak sehat atau kartel bancassurance ini lebih sebagai
pengulangan. Sebab, pada 2002 dan 2012, KPPU pernah memutus kasus serupa terhadap dua
bank BUMN. Berarti, putusan bersalah atau sanksi tidak menimbulkan efek jera.
Kalau kartel merusak dinamika persaingan sehat dan merugikan konsumen, apakah
kecenderungan seperti itu harus selalu disikapi dengan ganjaran minimalis berupa denda?
Kendati dampak negatifnya sangat serius, penanganan kasus kartel selama ini hanya
berpedoman pada Undang-Undang No 5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Destruktif
Padahal, praktik kartel itu destruktif, tidak hanya membunuh perusahaan sejenis lain serta
merugikan konsumen, tetapi juga menutup peluang bagi tumbuh dan berkembangnya potensi
ekonomi rakyat. Kalau kartel bawang putih terus “dipelihara” eksistensinya, yang menjadi
korban adalah petani bawang putih. Petani juga enggan menanam kedelai jika pasar
dikendalikan oleh kartel yang pastinya lebih memilih kedelai impor karena margin labanya
jauh lebih besar.
Karena itu, harus ada kemauan politik yang kuat dan sungguh-sungguh dari pemerintah untuk
menutup ruang bagi praktik kartel dalam perekonomian nasional. Gambaran tentang
ketidaknyamanan masyarakat sudah sangat jelas dari kasus kelangkaan dan lonjakan harga
kedelai beberapa waktu yang lalu.
Tingginya harga daging sapi sampai saat ini pun diduga kuat karena berawal dari praktik
kartel, yang kemudian melahirkan ekses dalam kasus suap impor daging sapi. Lebih dari itu,
negara cq pemerintah harus memberi ruang bagi pertumbuhan dan perkembangan bagi semua
sektor bisnis di dalam negeri guna meningkatkan daya saing negara. Semua potensi lokal,
baik skala kecil, menengah maupun besar, harus didorong untuk bertumbuh dan berkembang
untuk mewujudkan ketahanan ekonomi nasional.
Karena itu, praktik kartel yang jelas-jelas merusak harus diberangus. Tantangan di bidang
perekonomian tahun-tahun mendatang semakin berat karena berlakunya penyatuan ekonomi
ASEAN. Sektor bisnis dalam negeri harus tangguh agar mampu bersaing dengan negara lain
di lingkungan ASEAN. Indonesia hanya akan menjadi pasar jika dunia usaha dalam negeri
tidak dipersiapkan untuk berkompetisi.
Dalam beberapa tahun terakhir ini, peran dan praktik kartel dalam pengelolaan sejumlah
komoditas kebutuhan pokok dirasakan sangat kuat. Peran oknum birokrat dalam kasus-kasus
tertentu pun tak dapat ditutup-tutupi lagi. Coba saja simak kronologi kasus suap impor daging
sapi itu. Selain itu, fakta bahwa ada puluhan komoditas kebutuhan pokok yang harus diimpor
juga memberi peluang bagi hadirnya kartel.
Maka, dalam konteks mewujudkan kesejahteraan bersama dan pembangunan dunia usaha
nasional, tantangan bagi presiden-wakil presiden terpilih sesungguhnya sangat berat,
terutama jika mengacu pada janji-janji kedua kandidat presiden. Jika presiden ingin
mendapatkan apresiasi dari rakyat, dia harus fokus membenahi tata niaga semua komoditas
kebutuhan pokok.
Pembenahan itu harus berujung pada terbentuknya harga kebutuhan pokok yang moderat
alias terjangkau. Untuk itu, tindakan pertama yang harus dilakukan adalah mengeliminasi
peran kartel yang selama ini mengontrol dan mengendalikan permintaan penawaran sejumlah
komoditas kebutuhan pokok. Mungkin tidak mudah karena tantangannya adalah menghadapi
kepentingan dari sejumlah kelompok yang selama ini sudah menikmati untung dari praktik
kartel itu.
Namun, gerakan sapu bersih terhadap kartel bukan lagi sekadar pilihan, melainkan sebuah
keharusan. Bayangkan, kalau benar ada kartel bank yang memformulasikan tingkat bunga
kredit, betapa dahsyatnya daya rusak kartel itu terhadap masyarakat dan para pengusaha
sebagai nasabah. Boleh jadi, faktor suku bunga yang tinggi menjadi salah satu sebab
rendahnya daya saing sektor bisnis dalam negeri.
Sapu lidi yang diserahkan para pendukung kepada para kandidat capres-cawapres adalah
simbol sekaligus aspirasi. Siapa pun yang memenangi Pilpres 2014, dia didesak untuk
melancarkan gerakan bersih-bersih. Tak hanya memberantas korupsi, tetapi juga
membersihkan perekonomian negara dari praktik kartel.
BAMBANG SOESATYO
Anggota Komisi III DPR RI Fraksi Partai Golkar/Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia
Ketahanan Berbasis Impor
Koran SINDO
Selasa, 17 Juni 2014
DI tengah produksi gabah kering giling (GKG) yang terancam menurun tahun 2014,
pemerintah kembali merencanakan mengimpor beras.
Penurunan produksi terjadi karena gangguan hama wereng batang cokelat yang meluas di 22
provinsi. Serangan wereng mengakibatkan turunnya produktivitas tanaman padi dari 6,5 ton
menjadi 4,5 ton GKG per hektar. Penurunan produksi akan mendongkrak kenaikan harga
beras menjelang pilpres. Apalagi selama ini pemerintah lebih mengedepankan opsi impor
beras dibandingkan berusaha keras meningkatkan stok beras di dalam negeri dengan
memberdayakan petani lokal.
Alasan klasik seperti serangan wereng, musim kemarau dan banjir menjadi justifikasi untuk
membuka keran impor. Seakan serangan wereng tidak bisa diatasi dan banjir tak bisa
ditangani. Masalah ini terus dikloning dan cara cerdik pun tidak ditemukan untuk solusi.
Pasar pangan di Indonesia kian dibanjiri pangan impor. Pemerintah nyaris tidak punya
kekuatan untuk menghempangnya. Indonesia menjadi negara yang membangun ketahanan
pangan berbasis impor.
Kita menghuni negeri yang makmur, namun tidak mampu memproduksi pangan untuk
rakyatnya. Krisis pangan datang silih berganti. Mulai krisis beras, krisis kedelai, daging sapi,
gula, jagung, bawah putih hingga bawang merah. Sebagai negara agraris yang memiliki
kekayaan sumber daya pertanian dan pangan yang melimpah, Indonesia seharusnya bisa
menjadi lumbung pangan dunia.
Namun ironisnya, berdasarkan data terkini dari Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan
sektor pertanian tanaman pangan pada kuartal I/2014 hanya sebesar 0,94% atau melambat
dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2013 yang sebesar 2,18%. Implikasinya,
impor pangan makin tidak terbendung. Hampir 75 % dari kebutuhan pangan di dalam negeri
dipenuhi dari impor.
Ruang impor pangan akan semakin terbuka lebar guna mengawal stabilitas politik Pemilu
Presiden 2014. Agar gejolak harga pangan—memicu inflasi tinggi—terkendali, maka pangan
harus tersedia. Sayangnya pangan yang tersedia kerap harganya tidak terjangkau rakyat
miskin. Kian mahalnya harga pangan diduga akibat ulah para pemain kartel pangan yang
dikuasai segelintir pemodal besar.
Praktik kartel pangan dengan power (kekuasaan) uang yang dimiliki semakin terkuak setelah
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membongkar kasus dugaan korupsi impor daging sapi
dan ketidakefisienan penyaluran raskin. Temuan ini menunjukkan bahwa suap impor pangan
adalah jenis corruption by design. Fenomena ini menunjukkan pangan impor sudah
dikendalikan oleh mafia pangan yang melibatkan pejabat tertentu dan politisi untuk meraup
keuntungan.
Sepanjang 2013, Indonesia mengimpor bahan pangan utama dengan menghabiskan devisa
sekitar Rp125 triliun. Suatu jumlah yang sangat besar dan bisa digunakan untuk membangun
infrastruktur sektor pertanian. Masih tingginya pertumbuhan penduduk dan kian miskinnya
petani ditengarai penyebab kian derasnya pangan impor mengalir ke Indonesia.
Meski usia kemerdekaan republik ini sudah memasuki 69 tahun, alih-alih pemerintah dapat
menyejahterakan petani justru petani gurem kian meningkat jumlahnya. Petani kecil
termarginalisasi digilas roda pembangunan hedonis yang kapitalistik. Keterpurukan ini
membawa konsekuensi logis, yakni Indonesia semakin tak berdaulat atas pangan. Dalam satu
dekade terakhir, petani di negara yang dikenal sebagai bangsa agraris ini mengalami proses
pemiskinan.
Hasil sensus pertanian tahun 2013 menunjukkan keluarga petani berkurang sebanyak 5,04
juta keluarga. Pada 2003, BPS mencatat jumlah keluarga petani 31,17 juta keluarga, sepuluh
tahun kemudian menurun menjadi 26,13 juta keluarga. Jumlah keluarga petani yang berhenti
menggantungkan hidup dari usaha pertanian rata-rata 500.000 rumah tangga per tahun atau
laju penurunannya mencapai 1,75% per tahun.
Namun, jumlah perusahaan di bidang pertanian justru naik 36,77%. Dari 4.011 perusahaan
per tahun 2003 menjadi 5.486 perusahaan per tahun 2013. Di negara maju, susutnya jumlah
keluarga petani dan meningkatnya jumlah perusahaan pertanian merupakan pertanda
kemajuan sektor pertanian. Penurunan jumlah keluarga petani gurem karena ada penyerapan
tenaga kerja secara signifikan di sektor industri dan jasa. Sayangnya, yang terjadi di
Indonesia adalah guremisasi akibat tingginya alih fungsi lahan pertanian pangan.
Jalan di Tempat
Setuju atau tidak setuju, selama 10 tahun terakhir pembangunan pertanian jalan di tempat
atau bahkan ”mundur” ke belakang. Mayoritas warga Indonesia yang bekerja sebagai
”petani”, hidupnya mengalami proses pemiskinan. Fenomena ini harus dapat menyadarkan
pemerintahan hasil Pemilu 2014 bahwa pekerjaan rumah memperkuat ketahanan pangan yang
mandiri dan berdaulat belum selesai.
Rapuhnya decay kedaulatan pangan tak bisa dilepaskan dari kurangnya perhatian pada
pembangunan sektor pertanian. Alokasi anggaran yang masih terbatas di kementerian
pertanian hanya satu indikator ketidakberdayaan bangsa ini untuk keluar dari perangkap
pangan impor. Untuk melepaskan Indonesia dari jebakan pangan impor maka perlu didorong
penggunaan produk pangan lokal dengan segala konsekuensinya dan mengurangi
ketergantungan dan ketagihan produk pangan berbasis beras dan gandum.
Kita perlu belajar dari negara kaya yang teknologinya maju, seperti Jepang dan Korea
Selatan. Mereka tetap bangga menggunakan produk lokalnya seperti telepon seluler dan
mobil buatan sendiri tanpa terpengaruh produk bangsa lain yang lebih canggih. Harga diri
bangsa menjadi harga mati dalam melepaskan diri dari jebakan pangan.
Sebagai bangsa agraris, Indonesia harus keluar dari jebakan dan perangkap pangan negara
maju dengan segera melakukan pengurangan praktik liberalisasi pangan. Praktik ini telah
menyebabkan munculnya beragam kartel pangan baru yang pola kerjanya mirip mafia yang
menguasai distribusi dan perdagangan pangan. Untuk menghentikannya, pemerintah harus
melakukan pembatasan penguasaan distribusi pangan melalui korporasi.
Satu hal yang tak kalah penting adalah kecenderungan selama ini yang memilih langkah
gampang dengan mengimpor tanpa memikirkan konsekuensi jangka panjang harus diakhiri.
Kebergantungan pada impor ini hendaknya menyadarkan pemerintah untuk terus membangun
ketahanan pangan yang mandiri dan berdaulat seperti perintah Undang- Undang Nomor 18
Tahun 2012 tentang Pangan.
POSMAN SIBUEA
Guru Besar Tetap di Unika Santo Thomas Sumatera Utara. Pendiri dan Direktur Center for
National Food Security Research (Tenfoser)
Presiden Baru Jangan Abaikan Energi
Terbarukan
Kamis, 19 Juni 2014
DI tengah hiruk-pikuk berita Pemilihan Umum Presiden 2014, ada beberapa berita menarik
dari sektor energi Indonesia.
Yang pertama adalah per 1 Juli nanti akan ada enam golongan pelanggan listrik yang
mengalami kenaikan bertahap hingga November 2014 per dua bulan di kisaran 5-11%.
Dalam kerangka kenaikan ini pemerintah masih menyubsidi listrik sebesar Rp103,82 triliun.
Yang kedua adalah pengumuman besaran subsidi BBM dalam APBNP 2014 sebesar
Rp246,49 triliun dari sebelumnya Rp284,986 triliun yang meskipun turun tetap saja nilainya
lebih besar dari di APBN 2014 yang hanya Rp210,7 triliun.
Kenaikan tarif listrik ini walaupun tidak menyentuh kelas pelanggan paling rendah namun
memberikan sinyalemen bahwa masalah ini akan terus terjadi sepanjang tidak ada perubahan
berarti baik dari segi harga di konsumen atau biaya pembangkitan di PT Perusahaan Listrik
Negara (PLN). Subsidi ini akan terus terjadi karena biaya pembangkitan listrik tinggi
sementara harga jualnya rendah. Merujuk pada laporan tahunan PLN tahun 2012, rata-rata
harga penjualan listrik per KWH adalah Rp728,32 sementara biaya pembangkitannya
Rp1.217,28 (PLN, 2012).
Sementara itu, masalah subsidi bahan bakar minyak (BBM) masih terus menjadi hal
memusingkan pemerintah. Anggaran yang terbatas harus terus tergerus karena nilai subsidi
BBM terus naik dari tahun ke tahun lantaran program diversifikasi energi masih belum cukup
signifikan. Masalah energi adalah masalah menahun di Indonesia. Masalah ini harus
diperhatikan dengan serius agar tidak justru mengganggu pertumbuhan bangsa ini.
Terlebih harga bahan bakar fosil seperti minyak bumi, gas bumi, dan batu bara cenderung
menunjukkan tren yang meningkat. Tampaknya sudah menjadi keharusan bagi pemerintah
untuk menguatkan kembali semangatnya untuk melakukan diversifikasi energi menuju
pemanfaatan energi terbarukan. Perpres No 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional
yang memberikan perhatian terhadap energi terbarukan tidak dapat lagi diabaikan
implementasinya dan harus didorong agar terus maju.
Terlebih industri perkembangan energi terbarukan di negara-negara maju telah menunjukkan
posisinya sebagai sunrise industry. Keunggulan energi terbarukan tidak lagi hanya di
keramahannya terhadap lingkungan, tapi juga efisiensi biayanya. Potensi inilah yang
membuat beberapa perusahaan minyak ternama di dunia seperti Total, Chevron, Shell, British
Petroleum, dan bahkan Saudi Aramco menginvestasikan uangnya di industri energi
terbarukan.
Pencapaian Indonesia
Belakangan ini ada beberapa milestones dalam pemanfaatan sumber energi terbarukan di
Indonesia. Yang paling besar adalah pada bulan April 2013 energy sales contract (ESC) dan
joint operating contract (JOC) untuk Pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) sudah
ditandatangani. Tiga pembangkit tenaga panas bumi dengan kapasitas masing-masing 110
MW direncanakan akan beroperasi pada tahun 2016 dan 2017 dengan harga pembelian listrik
PLN dari PLTP Sarulla disepakati sebesar USD6,79 sen.
Harga ini jauh lebih murah dibandingkan biaya pembangkitan di Sumatera Utara dengan
BBM yang mencapai USD35-40 sen. Jakarta Post mencatat pengoperasian PLTP Sarulla per
tahunnya akan mengurangi subsidi listrik hingga Rp4 triliun. Yang kedua, Juni tahun lalu
Menteri ESDM Jero Wacik menandatangani Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 17
Tahun 2013 tentang Pembelian Tenaga Listrik oleh PT Perusahaan Listrik Negara (persero)
dari Pembangkit Listrik Tenaga Surya Fotovoltaik.
Dalam peraturan tersebut disebutkan bahwa PLN akan melakukan lelang kuota kapasitas
PLTS Fotovoltaik, dan kepada pemenang lelang seluruh hasil produksi listriknya akan dibeli
seharga USD25-30 sen per KWH. Dalam aturan itu disebutkan kontrak pembelian berlaku
selama 20 tahun dan bisa diperpanjang. Lelang ini sudah selesai dan sudah ada pemenangnya
yang akan segera membangun fasilitas PLTS.
Pencapaian di dalam negeri dan perkembangan di luar negeri seharusnya mengubah
paradigma energi kita bahwa berbicara energi terbarukan itu tidak hanya bicara mengenai
kelestarian lingkungan, tapi juga bicara mengenai potensi efisiensi ekonomi. Sumber energi
terbarukan tidak pelak lagi, merupakan jawaban yang feasible untuk tantangan masalah
energi Indonesia. Energi terbarukan sudah saatnya dipandang sebagai sebuah ranah industri
yang baru dan menjanjikan secara ekonomi.
Komitmen untuk Insentif
Energi terbarukan sudah menjadi tren global dan Indonesia tentu tidak boleh ketinggalan.
Fokus ke pemanfaatan sumber energi terbarukan akan menjadi jawaban bagi pencapaian
otonomi energi bangsa ini. Terlebih Indonesia adalah salah satu negara di dunia yang
memiliki hampir semua sumber energi terbarukan yang cukup seperti sinar matahari, angin,
geotermal, arus laut, serta bioetanol.
Namun sekalipun sangat menarik dari sisi ekonomi, untuk membuatnya tumbuh dengan cepat
tentu harus ada insentif yang diberikan pemerintah. Banyak pengalaman di negara-negara lain
yang bisa dicontoh Indonesia untuk memajukan industri energi terbarukan. Misalnya salah
satu insentif yang cukup menarik di Amerika Serikat adalah adanya Production Tax Credit
(PTC) yang besarnya antara USD11-23 untuk tiap MWH yang dihasilkan oleh perusahaan
pembangkit listrik energi terbarukan.
Besaran potongan pajak itu bervariasi bergantung pada jenis sektor energi terbarukan yang
diproduksi dan berlaku selama 10 tahun. Selain itu, ada beberapa insentif lain yang diberikan
oleh pemerintah AS seperti Investment Tax Credit serta Modified Accelerated Cost Recovery
System (MACRS) yang membuat sektor ini cukup menarik bagi investor (Sustainable Energy
in America Factbook, Bloomberg New Energy Finance, 2014).
Indonesia juga bisa belajar dari pengalaman sukses Jerman yang menerapkan German
Renewable Energy Act (Er-neuerbare- Energien-Gesetz/EEG) pada tahun 2000. Regulasi
tersebut mengatur sistem feed-in tariff yang kompetitif. Perkembangan itu mendorong rumah
tangga untuk membangun solar home system (SHS) yang menempatkan mereka pada posisi
sebagai produsen energi yang bisa mendapatkan keuntungan yang menarik.
Perusahaan energi swasta pun menganggap aturan tersebut sebagai potensi bisnis yang
menguntungkan. Hal ini membuat perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang energi
terbarukan tumbuh dengan pesat. Kathrin Suhlsen dan Matthijs Hisschemoller dalam
publikasinya di Jurnal Energy Policy dengan judul “Lobbying the Energiewende Assessing
the Effectiveness of Strategies to Promote the Renewable Energy Business in Germany”
(2014) mengatakan bahwa sistem feed-in tariff ala Jerman mencapai tingkat penerimaan yang
sedemikian besar sehingga sudah diadopsi oleh sekitar dua pertiga anggota Uni Eropa.
Aturan tersebut menjamin tiap KWH listrik yang dihasilkan dari sumber energi terbarukan
akan mendapatkan feed-in tariff dan operator jaringan listrik (seperti PLN di Indonesia) harus
memasukkannya kedalam grid dengan jaminan pembelian selama 20 tahun.
Jerman sendiri menargetkan pada 2020, 35% sumber energinya berasal dari energi terbarukan
serta 80% pada 2050. Konsep ini diperkuat pada 2011 yang menargetkan akan
menghilangkan PLTN paling lambat 2022. Suhlsen dan Hisschemoller juga menggambarkan
bahwa perusahaan-perusahaan di bidang energi melihat potensi yang besar di sektor energi
terbarukan dan mendorong pemerintah Jerman untuk memberikan perhatian besar serta
insentif pada sektor ini.
Pengalaman beberapa negara maju menunjukkan potensi besar energi terbarukan. Daripada
terus-menerus berkutat dengan angka subsidi listrik dan BBM yang terus melonjak dengan
harapan turun yang kecil, tak ada salahnya pemerintah mengalokasikan anggaran yang besar
untuk insentif serta subsidi di bidang energi terbarukan yang nantinya dengan sendirinya bisa
memangkas subsidi listrik dan BBM.
ROSARI SALEH
Guru Besar Departemen Fisika FMIPA Universitas Indonesia
Hilirisasi dan Kutukan SDA
Gagasan bahwa kekayaan sumber daya alam (SDA) bukan berkah, melainkan musibah sudah
berkembang sejak tahun 1980-an. Ekonom Inggris Richard Auty melihat betapa pertumbuhan
ekonomi negara yang kaya SDA justru lebih lambat ketimbang negara-negara yang miskin
SDA.
Ada banyak alasan yang menjelaskan fenomena tersebut. Misalnya, kekayaan SDA justru
kerap memicu terjadinya konflik internal di negara itu. Muncul faksi-faksi yang pada
akhirnya semua bertujuan menguasai kekayaan SDA tersebut. Selain konflik internal, ada
juga konflik dengan pihak eksternal. Contohnya, Irak yang mencoba menginvasi Kuwait
sehingga terjadilah Perang Teluk pada 1990.
Atau kalau Anda mau contoh aktual adalah ketegangan antara China dan Vietnam akibat
BUMN migas China, CNOOC, yang memasang anjungan minyak lepas di kawasan perairan
yang masih menjadi sengketa. Bagaimana konflik di Papua yang tak kunjung reda? Itu pun
tak lepas dari keberadaan tambang tembaga dan emas terbesar di dunia tentunya. Penelitian
yang lain juga menunjukkan negara-negara yang kaya SDA cenderung lebih korup dan
represif.
Perekonomian negara-negara tersebut tidak dikelola secara benar sehingga kekayaan SDA tak
berimbas pada membaiknya kesejahteraan masyarakat. Ingat saat kita menikmati oil boom di
tahun 1970-an, kita justru mengalami krisis korupsi Pertamina di era mendiang Ibnu Sutowo.
Jangan lupa pula, krisis yang menimpa politisi yang menaungi sektor pertambangan setelah
ditangkapnya mantan Kepala SKK Migas oleh KPK belum lama ini.
Namun benarkah mitos-mitos tersebut tak lagi terbantahkan? Sebetulnya tidak juga. Kalau
kita melihat negara-negara seperti Qatar atau Uni Emirat Arab, mereka berhasil
menggunakan kekayaan SDA-nya sebagai modal untuk melakukan transformasi
perekonomian. UEA kini menjadi salah satu negara jasa terbesar di dunia. Hanya saja, harap
maklum, mereka harus menjadi anak baik dari induk The Seven Sisters.
Posisi Tawar
Dalam konteks ini, saya melihat program hilirisasi yang dilakukan pemerintah harusnya bisa
menjadi salah satu cara untuk mengatasi kutukan SDA tadi. Program ini bukan hanya
bertujuan meningkatkan nilai tambah SDA, tapi juga untuk menciptakan banyak lapangan
kerja. Kini program hilirisasi sudah memasuki babak-babak yang menggembirakan.
Freeport dan Newmont, dua raksasa dalam bisnis mineral dunia, sudah menyatakan
kesediaannya untuk membangun pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter) di sini. Padahal,
semula keduanya ngotot menolak. Bahkan, mereka mengancam bakal terjadi PHK besar-
besaran jika program hilirisasi dipaksakan. Sejak jauh-jauh hari saya melihat ancaman
tersebut tak mungkin mereka laksanakan.
Mengapa? Melalui website keduanya, kita bisa membaca bahwa posisi Indonesia terlalu
penting bagi mereka. Sebanyak 27% cadangan tembaga dan 96% cadangan emas Freeport
ada di Indonesia. Untuk Newmont, 40% cadangan tembaganya juga ada di sini. Jadi, posisi
tawar kita dalam konteks negosiasi hilirisasi, kalau politik kita berintegritas tinggi, sebetulnya
sangat kuat. Saya pun percaya hilirisasi juga akan memberikan banyak nilai tambah bagi kita.
Misalnya, ada yang menyebut dalam rentang waktu 2017–2023, kita bakal memperoleh nilai
tambah USD268 miliar atau setara dengan Rp3.082 triliun. Ini berarti hampir dua kali lipat
dari nilai APBN 2014 yang Rp1.816triliun. Selain itu, program ini juga bakal memicu
kemunculan industri- industri turunannya (supply chain) dan usaha-usaha pendukung lain.
Misalnya makanan dan minuman, bahkan mungkin properti, dan sebagainya.
Tentu ada masalah lain, yaitu masalah sosial dan kurangnya pasokan listrik. Kalau mereka
dipaksa membangun smelter dan mereka menyedot listrik yang kita pakai di pulau yang padat
ini (Jawa), bisa Anda bayangkan apa jadinya Indonesia? Bukankah anak-anak sekolah, rumah
sakit, perdagangan dan pertokoan, serta pabrik-pabrik akan kena dampaknya?
Manfaat lain dalam bentuk substitusi impor. Ini tentu bakal menghemat devisa. Kita setiap
tahun terpaksa mengimpor alumina, di antaranya dari China, sebanyak 500.000 ton. Padahal,
bauksit sebagai bahan baku pembuatan alumina aslinya didatangkan dari negara kita. Jadi,
kita mengekspor bauksit dan setelah diolah menjadi alumina kita impor kembali. Fenomena
ini tentu amat menyakitkan.
Namun semua manfaat itu tak bakal kita peroleh secara gratis. Bahkan kita harus melewati
beberapa tahap yang menyakitkan. Misalnya, menurut Badan Pusat Statistik (BPS), peran
ekspor dari sektor pertambangan untuk kuartal I 2014 turun menjadi 4,5%. Padahal, tahun
sebelumnya masih 6,5%. Keberhasilan kita memetik manfaat akan sangat ditentukan dari
kemampuan kita bertahan dalam melewati tahap-tahap sulit, yang diperkirakan berlangsung
selama dua sampai empat tahun.
The Art of Deal
Donald Trump dalam bukunya The Art of Deal (2004) menekankan betul prinsip “lindungi
yang di bawah, maka yang di atas akan berjalan dengan sendirinya”. Maksudnya, dalam
setiap negosiasi, kita juga harus menghitung kemungkinan-kemungkinan terburuk. Jika kita
mampu melewati periode yang terburuk, hal-hal yang baik akan berjalan dengan sendirinya.
Contohnya, ketika memulai bisnis kasino di Atlantic City, banyak masalah yang harus Trump
hadapi. Izin yang berbelit-belit, besarnya biaya, dan banyaknya orang yang meninggalkan
kota tersebut. Kondisi itu tidak membuat Trump menyerah. Saat-saat sulit bagi mereka yang
(Sindonews.com) Opini ekonomi Koran Sindo 3 Juni 2014-30 Juni 2014
(Sindonews.com) Opini ekonomi Koran Sindo 3 Juni 2014-30 Juni 2014
(Sindonews.com) Opini ekonomi Koran Sindo 3 Juni 2014-30 Juni 2014
(Sindonews.com) Opini ekonomi Koran Sindo 3 Juni 2014-30 Juni 2014
(Sindonews.com) Opini ekonomi Koran Sindo 3 Juni 2014-30 Juni 2014
(Sindonews.com) Opini ekonomi Koran Sindo 3 Juni 2014-30 Juni 2014
(Sindonews.com) Opini ekonomi Koran Sindo 3 Juni 2014-30 Juni 2014
(Sindonews.com) Opini ekonomi Koran Sindo 3 Juni 2014-30 Juni 2014
(Sindonews.com) Opini ekonomi Koran Sindo 3 Juni 2014-30 Juni 2014
(Sindonews.com) Opini ekonomi Koran Sindo 3 Juni 2014-30 Juni 2014
(Sindonews.com) Opini ekonomi Koran Sindo 3 Juni 2014-30 Juni 2014
(Sindonews.com) Opini ekonomi Koran Sindo 3 Juni 2014-30 Juni 2014
(Sindonews.com) Opini ekonomi Koran Sindo 3 Juni 2014-30 Juni 2014
(Sindonews.com) Opini ekonomi Koran Sindo 3 Juni 2014-30 Juni 2014
(Sindonews.com) Opini ekonomi Koran Sindo 3 Juni 2014-30 Juni 2014
(Sindonews.com) Opini ekonomi Koran Sindo 3 Juni 2014-30 Juni 2014
(Sindonews.com) Opini ekonomi Koran Sindo 3 Juni 2014-30 Juni 2014
(Sindonews.com) Opini ekonomi Koran Sindo 3 Juni 2014-30 Juni 2014
(Sindonews.com) Opini ekonomi Koran Sindo 3 Juni 2014-30 Juni 2014
(Sindonews.com) Opini ekonomi Koran Sindo 3 Juni 2014-30 Juni 2014
(Sindonews.com) Opini ekonomi Koran Sindo 3 Juni 2014-30 Juni 2014
(Sindonews.com) Opini ekonomi Koran Sindo 3 Juni 2014-30 Juni 2014
(Sindonews.com) Opini ekonomi Koran Sindo 3 Juni 2014-30 Juni 2014
(Sindonews.com) Opini ekonomi Koran Sindo 3 Juni 2014-30 Juni 2014
(Sindonews.com) Opini ekonomi Koran Sindo 3 Juni 2014-30 Juni 2014
(Sindonews.com) Opini ekonomi Koran Sindo 3 Juni 2014-30 Juni 2014
(Sindonews.com) Opini ekonomi Koran Sindo 3 Juni 2014-30 Juni 2014

More Related Content

Similar to (Sindonews.com) Opini ekonomi Koran Sindo 3 Juni 2014-30 Juni 2014

Makalah Port-Shipping Operation and Management (By. Muhammad Andi Firdaus)
Makalah Port-Shipping Operation and Management (By. Muhammad Andi Firdaus)Makalah Port-Shipping Operation and Management (By. Muhammad Andi Firdaus)
Makalah Port-Shipping Operation and Management (By. Muhammad Andi Firdaus)Luhur Moekti Prayogo
 
6. analisis kualitas pelayanan dan perilaku pelanggan fx adi purwanto
6. analisis kualitas pelayanan dan perilaku pelanggan fx adi purwanto6. analisis kualitas pelayanan dan perilaku pelanggan fx adi purwanto
6. analisis kualitas pelayanan dan perilaku pelanggan fx adi purwantoDidik Purwiyanto Vay
 
BISNIS MARITIM.pptx
BISNIS MARITIM.pptxBISNIS MARITIM.pptx
BISNIS MARITIM.pptxHAFIZALTAIR
 
Transformasi Transportasi.pptx
Transformasi Transportasi.pptxTransformasi Transportasi.pptx
Transformasi Transportasi.pptxJhoPesireron
 
Menelisik Industri dan Jasa Maritim serta Isu Permasalahannya.pdf
Menelisik Industri dan Jasa Maritim serta Isu Permasalahannya.pdfMenelisik Industri dan Jasa Maritim serta Isu Permasalahannya.pdf
Menelisik Industri dan Jasa Maritim serta Isu Permasalahannya.pdfauliaPramesthi
 
Strategi pelindo dalam pembangunan pelabuhan di Indonesia
Strategi pelindo dalam pembangunan pelabuhan di IndonesiaStrategi pelindo dalam pembangunan pelabuhan di Indonesia
Strategi pelindo dalam pembangunan pelabuhan di IndonesiaLarasati Sunarto
 
Makalah Port-Shipping Operation and Management (Any Dian Murdiniyati)
Makalah Port-Shipping Operation and Management (Any Dian Murdiniyati)Makalah Port-Shipping Operation and Management (Any Dian Murdiniyati)
Makalah Port-Shipping Operation and Management (Any Dian Murdiniyati)Luhur Moekti Prayogo
 
Jokowi dan Segudang PR Infrastruktur Indonesia - 08-2014
Jokowi dan Segudang PR Infrastruktur Indonesia - 08-2014Jokowi dan Segudang PR Infrastruktur Indonesia - 08-2014
Jokowi dan Segudang PR Infrastruktur Indonesia - 08-2014H2O Management
 
Kota kinabalu dan agenda 21
Kota kinabalu dan agenda 21Kota kinabalu dan agenda 21
Kota kinabalu dan agenda 21haslinda muslie
 
Analisis pengaruh-tol-laut-pada-perekonomian-nasional
Analisis pengaruh-tol-laut-pada-perekonomian-nasionalAnalisis pengaruh-tol-laut-pada-perekonomian-nasional
Analisis pengaruh-tol-laut-pada-perekonomian-nasionalfebbry beda teron
 
Sejarah Perkembangan Layanan Pengiriman di Pulau Jawa.pdf
Sejarah Perkembangan Layanan Pengiriman di Pulau Jawa.pdfSejarah Perkembangan Layanan Pengiriman di Pulau Jawa.pdf
Sejarah Perkembangan Layanan Pengiriman di Pulau Jawa.pdfzanabi07
 
Visi dan misi jokowi dan segudang pr infrastruktur indonesia
Visi dan misi jokowi dan segudang pr infrastruktur indonesiaVisi dan misi jokowi dan segudang pr infrastruktur indonesia
Visi dan misi jokowi dan segudang pr infrastruktur indonesiaIbnu Saputra
 
Proposal pokja-unik-v1.5-rev-mas
Proposal pokja-unik-v1.5-rev-masProposal pokja-unik-v1.5-rev-mas
Proposal pokja-unik-v1.5-rev-masMastel Indonesia
 

Similar to (Sindonews.com) Opini ekonomi Koran Sindo 3 Juni 2014-30 Juni 2014 (20)

Makalah Port-Shipping Operation and Management (By. Muhammad Andi Firdaus)
Makalah Port-Shipping Operation and Management (By. Muhammad Andi Firdaus)Makalah Port-Shipping Operation and Management (By. Muhammad Andi Firdaus)
Makalah Port-Shipping Operation and Management (By. Muhammad Andi Firdaus)
 
6. analisis kualitas pelayanan dan perilaku pelanggan fx adi purwanto
6. analisis kualitas pelayanan dan perilaku pelanggan fx adi purwanto6. analisis kualitas pelayanan dan perilaku pelanggan fx adi purwanto
6. analisis kualitas pelayanan dan perilaku pelanggan fx adi purwanto
 
BISNIS MARITIM.pptx
BISNIS MARITIM.pptxBISNIS MARITIM.pptx
BISNIS MARITIM.pptx
 
bab 3 kelas 8.pptx
bab 3 kelas 8.pptxbab 3 kelas 8.pptx
bab 3 kelas 8.pptx
 
Perkuat Pasar Modal Butuh Dukungan Seluruh Pihak
Perkuat Pasar Modal Butuh Dukungan Seluruh PihakPerkuat Pasar Modal Butuh Dukungan Seluruh Pihak
Perkuat Pasar Modal Butuh Dukungan Seluruh Pihak
 
Transformasi Transportasi.pptx
Transformasi Transportasi.pptxTransformasi Transportasi.pptx
Transformasi Transportasi.pptx
 
Globalisasi ekonomi
Globalisasi ekonomiGlobalisasi ekonomi
Globalisasi ekonomi
 
Menelisik Industri dan Jasa Maritim serta Isu Permasalahannya.pdf
Menelisik Industri dan Jasa Maritim serta Isu Permasalahannya.pdfMenelisik Industri dan Jasa Maritim serta Isu Permasalahannya.pdf
Menelisik Industri dan Jasa Maritim serta Isu Permasalahannya.pdf
 
Perkuat Pasar Modal Butuh Dukungan Seluruh Pihak
Perkuat Pasar Modal Butuh Dukungan Seluruh PihakPerkuat Pasar Modal Butuh Dukungan Seluruh Pihak
Perkuat Pasar Modal Butuh Dukungan Seluruh Pihak
 
Strategi pelindo dalam pembangunan pelabuhan di Indonesia
Strategi pelindo dalam pembangunan pelabuhan di IndonesiaStrategi pelindo dalam pembangunan pelabuhan di Indonesia
Strategi pelindo dalam pembangunan pelabuhan di Indonesia
 
Perkuat pasar modal butuh dukungan seluruh pihak
Perkuat pasar modal butuh dukungan seluruh pihakPerkuat pasar modal butuh dukungan seluruh pihak
Perkuat pasar modal butuh dukungan seluruh pihak
 
Makalah Port-Shipping Operation and Management (Any Dian Murdiniyati)
Makalah Port-Shipping Operation and Management (Any Dian Murdiniyati)Makalah Port-Shipping Operation and Management (Any Dian Murdiniyati)
Makalah Port-Shipping Operation and Management (Any Dian Murdiniyati)
 
Jokowi dan Segudang PR Infrastruktur Indonesia - 08-2014
Jokowi dan Segudang PR Infrastruktur Indonesia - 08-2014Jokowi dan Segudang PR Infrastruktur Indonesia - 08-2014
Jokowi dan Segudang PR Infrastruktur Indonesia - 08-2014
 
Kota kinabalu dan agenda 21
Kota kinabalu dan agenda 21Kota kinabalu dan agenda 21
Kota kinabalu dan agenda 21
 
Analisis pengaruh-tol-laut-pada-perekonomian-nasional
Analisis pengaruh-tol-laut-pada-perekonomian-nasionalAnalisis pengaruh-tol-laut-pada-perekonomian-nasional
Analisis pengaruh-tol-laut-pada-perekonomian-nasional
 
Sejarah Perkembangan Layanan Pengiriman di Pulau Jawa.pdf
Sejarah Perkembangan Layanan Pengiriman di Pulau Jawa.pdfSejarah Perkembangan Layanan Pengiriman di Pulau Jawa.pdf
Sejarah Perkembangan Layanan Pengiriman di Pulau Jawa.pdf
 
Visi dan misi jokowi dan segudang pr infrastruktur indonesia
Visi dan misi jokowi dan segudang pr infrastruktur indonesiaVisi dan misi jokowi dan segudang pr infrastruktur indonesia
Visi dan misi jokowi dan segudang pr infrastruktur indonesia
 
Proposal pokja-unik-v1.5-rev-mas
Proposal pokja-unik-v1.5-rev-masProposal pokja-unik-v1.5-rev-mas
Proposal pokja-unik-v1.5-rev-mas
 
Transportasi Laut
Transportasi LautTransportasi Laut
Transportasi Laut
 
MELABUH.pdf
MELABUH.pdfMELABUH.pdf
MELABUH.pdf
 

Recently uploaded

Karakteristik dan Produk-produk bank syariah.ppt
Karakteristik dan Produk-produk bank syariah.pptKarakteristik dan Produk-produk bank syariah.ppt
Karakteristik dan Produk-produk bank syariah.pptmuhammadarsyad77
 
kasus audit PT KAI 121212121212121212121
kasus audit PT KAI 121212121212121212121kasus audit PT KAI 121212121212121212121
kasus audit PT KAI 121212121212121212121tubagus30
 
Sistem Informasi Akuntansi Perusahaan Sosro
Sistem Informasi Akuntansi Perusahaan SosroSistem Informasi Akuntansi Perusahaan Sosro
Sistem Informasi Akuntansi Perusahaan Sosromohhmamedd
 
bsc ekonomi balance scorecard bahan tayang paparan presentasi sudah oke
bsc ekonomi balance scorecard bahan tayang paparan presentasi sudah okebsc ekonomi balance scorecard bahan tayang paparan presentasi sudah oke
bsc ekonomi balance scorecard bahan tayang paparan presentasi sudah okegaluhmutiara
 
presentasi pertemuan 2 ekonomi pertanian
presentasi pertemuan 2 ekonomi pertanianpresentasi pertemuan 2 ekonomi pertanian
presentasi pertemuan 2 ekonomi pertanianHALIABUTRA1
 
Presentasi Pengertian instrumen pasar modal.ppt
Presentasi Pengertian instrumen pasar modal.pptPresentasi Pengertian instrumen pasar modal.ppt
Presentasi Pengertian instrumen pasar modal.pptzulfikar425966
 
Memahami Terkait Perilaku Konsumen untuk bisnis
Memahami Terkait Perilaku Konsumen untuk bisnisMemahami Terkait Perilaku Konsumen untuk bisnis
Memahami Terkait Perilaku Konsumen untuk bisnisGallynDityaManggala
 
WAWASAN NUSANTARA SEBAGAI GEOPOLITIK INDONESIA.pptx
WAWASAN NUSANTARA SEBAGAI GEOPOLITIK INDONESIA.pptxWAWASAN NUSANTARA SEBAGAI GEOPOLITIK INDONESIA.pptx
WAWASAN NUSANTARA SEBAGAI GEOPOLITIK INDONESIA.pptxMunawwarahDjalil
 
Review Kinerja sumberdaya manusia pada perusahaan
Review Kinerja sumberdaya manusia pada perusahaanReview Kinerja sumberdaya manusia pada perusahaan
Review Kinerja sumberdaya manusia pada perusahaanHakamNiazi
 
PSAK-10-Pengaruh-Perubahan-Valuta-Asing-IAS-21-23032015.pptx
PSAK-10-Pengaruh-Perubahan-Valuta-Asing-IAS-21-23032015.pptxPSAK-10-Pengaruh-Perubahan-Valuta-Asing-IAS-21-23032015.pptx
PSAK-10-Pengaruh-Perubahan-Valuta-Asing-IAS-21-23032015.pptxRito Doank
 
uang dan lembaga keuangan uang dan lembaga keuangan
uang dan lembaga keuangan uang dan lembaga keuanganuang dan lembaga keuangan uang dan lembaga keuangan
uang dan lembaga keuangan uang dan lembaga keuanganlangkahgontay88
 
sejarah dan perkembangan akuntansi syariah.ppt
sejarah dan perkembangan akuntansi syariah.pptsejarah dan perkembangan akuntansi syariah.ppt
sejarah dan perkembangan akuntansi syariah.pptpebipebriyantimdpl
 
BAB 18_PENDAPATAN57569-7854545gj-65.pptx
BAB 18_PENDAPATAN57569-7854545gj-65.pptxBAB 18_PENDAPATAN57569-7854545gj-65.pptx
BAB 18_PENDAPATAN57569-7854545gj-65.pptxFrida Adnantara
 
Saham dan hal-hal yang berhubungan langsung
Saham dan hal-hal yang berhubungan langsungSaham dan hal-hal yang berhubungan langsung
Saham dan hal-hal yang berhubungan langsunghaechanlee650
 
Abortion Pills For Sale in Jeddah (+966543202731))Get Cytotec in Riyadh City
Abortion Pills For Sale in Jeddah (+966543202731))Get Cytotec in Riyadh CityAbortion Pills For Sale in Jeddah (+966543202731))Get Cytotec in Riyadh City
Abortion Pills For Sale in Jeddah (+966543202731))Get Cytotec in Riyadh Cityjaanualu31
 
Slide-AKT-102-PPT-Chapter-10-indo-version.pdf
Slide-AKT-102-PPT-Chapter-10-indo-version.pdfSlide-AKT-102-PPT-Chapter-10-indo-version.pdf
Slide-AKT-102-PPT-Chapter-10-indo-version.pdfSriHandayani820917
 

Recently uploaded (18)

Karakteristik dan Produk-produk bank syariah.ppt
Karakteristik dan Produk-produk bank syariah.pptKarakteristik dan Produk-produk bank syariah.ppt
Karakteristik dan Produk-produk bank syariah.ppt
 
kasus audit PT KAI 121212121212121212121
kasus audit PT KAI 121212121212121212121kasus audit PT KAI 121212121212121212121
kasus audit PT KAI 121212121212121212121
 
Abortion pills in Dammam (+966572737505) get cytotec
Abortion pills in Dammam (+966572737505) get cytotecAbortion pills in Dammam (+966572737505) get cytotec
Abortion pills in Dammam (+966572737505) get cytotec
 
Sistem Informasi Akuntansi Perusahaan Sosro
Sistem Informasi Akuntansi Perusahaan SosroSistem Informasi Akuntansi Perusahaan Sosro
Sistem Informasi Akuntansi Perusahaan Sosro
 
bsc ekonomi balance scorecard bahan tayang paparan presentasi sudah oke
bsc ekonomi balance scorecard bahan tayang paparan presentasi sudah okebsc ekonomi balance scorecard bahan tayang paparan presentasi sudah oke
bsc ekonomi balance scorecard bahan tayang paparan presentasi sudah oke
 
presentasi pertemuan 2 ekonomi pertanian
presentasi pertemuan 2 ekonomi pertanianpresentasi pertemuan 2 ekonomi pertanian
presentasi pertemuan 2 ekonomi pertanian
 
Presentasi Pengertian instrumen pasar modal.ppt
Presentasi Pengertian instrumen pasar modal.pptPresentasi Pengertian instrumen pasar modal.ppt
Presentasi Pengertian instrumen pasar modal.ppt
 
Memahami Terkait Perilaku Konsumen untuk bisnis
Memahami Terkait Perilaku Konsumen untuk bisnisMemahami Terkait Perilaku Konsumen untuk bisnis
Memahami Terkait Perilaku Konsumen untuk bisnis
 
WAWASAN NUSANTARA SEBAGAI GEOPOLITIK INDONESIA.pptx
WAWASAN NUSANTARA SEBAGAI GEOPOLITIK INDONESIA.pptxWAWASAN NUSANTARA SEBAGAI GEOPOLITIK INDONESIA.pptx
WAWASAN NUSANTARA SEBAGAI GEOPOLITIK INDONESIA.pptx
 
Abortion pills in Jeddah |+966572737505 | Get Cytotec
Abortion pills in Jeddah |+966572737505 | Get CytotecAbortion pills in Jeddah |+966572737505 | Get Cytotec
Abortion pills in Jeddah |+966572737505 | Get Cytotec
 
Review Kinerja sumberdaya manusia pada perusahaan
Review Kinerja sumberdaya manusia pada perusahaanReview Kinerja sumberdaya manusia pada perusahaan
Review Kinerja sumberdaya manusia pada perusahaan
 
PSAK-10-Pengaruh-Perubahan-Valuta-Asing-IAS-21-23032015.pptx
PSAK-10-Pengaruh-Perubahan-Valuta-Asing-IAS-21-23032015.pptxPSAK-10-Pengaruh-Perubahan-Valuta-Asing-IAS-21-23032015.pptx
PSAK-10-Pengaruh-Perubahan-Valuta-Asing-IAS-21-23032015.pptx
 
uang dan lembaga keuangan uang dan lembaga keuangan
uang dan lembaga keuangan uang dan lembaga keuanganuang dan lembaga keuangan uang dan lembaga keuangan
uang dan lembaga keuangan uang dan lembaga keuangan
 
sejarah dan perkembangan akuntansi syariah.ppt
sejarah dan perkembangan akuntansi syariah.pptsejarah dan perkembangan akuntansi syariah.ppt
sejarah dan perkembangan akuntansi syariah.ppt
 
BAB 18_PENDAPATAN57569-7854545gj-65.pptx
BAB 18_PENDAPATAN57569-7854545gj-65.pptxBAB 18_PENDAPATAN57569-7854545gj-65.pptx
BAB 18_PENDAPATAN57569-7854545gj-65.pptx
 
Saham dan hal-hal yang berhubungan langsung
Saham dan hal-hal yang berhubungan langsungSaham dan hal-hal yang berhubungan langsung
Saham dan hal-hal yang berhubungan langsung
 
Abortion Pills For Sale in Jeddah (+966543202731))Get Cytotec in Riyadh City
Abortion Pills For Sale in Jeddah (+966543202731))Get Cytotec in Riyadh CityAbortion Pills For Sale in Jeddah (+966543202731))Get Cytotec in Riyadh City
Abortion Pills For Sale in Jeddah (+966543202731))Get Cytotec in Riyadh City
 
Slide-AKT-102-PPT-Chapter-10-indo-version.pdf
Slide-AKT-102-PPT-Chapter-10-indo-version.pdfSlide-AKT-102-PPT-Chapter-10-indo-version.pdf
Slide-AKT-102-PPT-Chapter-10-indo-version.pdf
 

(Sindonews.com) Opini ekonomi Koran Sindo 3 Juni 2014-30 Juni 2014

  • 1. Catatan Sembilan Tahun Asas Cabotage Dalam diskursus kemaritiman, istilah asas cabotage (kegiatan angkutan laut dalam negeri wajib menggunakan kapal berbendera Merah Putih dan diawaki oleh awak berkebangsaan Indonesia) sesungguhnya sudah tidak asing lagi. Negara maju seperti Amerika Serikat (AS), China, Jepang, Kanada, Brasil, Australia, sejumlah negara di Eropa, bahkan Afrika, sudah menerapkan asas cabotage jauh sebelum Indonesia. Dengan demikian, sebagai sebuah bangsa dan negara maritim (archipelago), Indonesia bukanlah negara pertama yang menganut prinsip cabotage atas angkutan lautnya. Namun, pelaksanaan asas cabotage di Indonesia memiliki catatan yang sangat menarik karena diberlakukan di tengah derasnya arus liberalisasi perdagangan global. Meski demikian, dalam sembilan tahun asas cabotage, negara dan masyarakat Indonesia sudah menerima dampak positifnya, baik dari sisi ekonomi maupun pertahanan dan keamanan. Asas Kedaulatan Asas cabotage di Indonesia diterapkan berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 5 tahun 2005 tentang Pemberdayaan Industri Pelayaran Nasional. Inpres ini kemudian diperkuat dengan UU Nomor 17/2008 tentang Pelayaran. Pasal 8 ayat 1 UU Nomor 17/2008 menegaskan, kegiatan angkutan laut dalam negeri dilakukan oleh perusahaan angkutan laut nasional menggunakan kapal berbendera Indonesia serta diawaki oleh awak kapal berkewarganegaraan Indonesia. Di dalam penjelasannya, undang-undang itu menegaskan, penggunaan kapal berbendera Indonesia oleh perusahaan angkutan laut nasional dimaksudkan dalam rangka pelaksanaan asas cabotage guna melindungi kedaulatan negara (sovereignty) dan mendukung perwujudan wawasan Nusantara sekaligus memberikan kesempatan berusaha bagi perusahaan nasional. Dalam konteks kehidupan bernegara, pelaksanaan asas cabotage bagi negara-negara yang memiliki wilayah laut yang sangat luas merupakan implementasi dari kedaulatannya. Inilah yang menjadi alasan mengapa banyak negara di dunia, termasuk Indonesia, menganut asas cabotage. Sebab, negara sangat diuntungkan ketika sektor pelayaran dipegang oleh bangsanya sendiri. Kapal-kapal yang melayani angkutan dalam negerinya juga dimiliki oleh warga negaranya sendiri sehingga ketika negara dalam kondisi darurat kapal-kapal tersebut siap dikerahkan untuk mempertahankan kedaulatan. Kondisi ini akan berbeda jika kapal- kapal yang melayani kegiatan angkutan domestik dimiliki oleh perusahaan luar negeri karena pada saat negara dalam kondisi darurat, mereka dengan mudah dapat kembali ke negara masing-masing. Mereka akan mudah menyatakan situasi di negeri ini sudah tidak menguntungkan lagi.
  • 2. Dampak Ekonomi Dalam konteks perekonomian, pelaksanaan asas cabotage memiliki dampak yang sangat besar. Tidak hanya sektor kemaritiman, sektor ekonomi lain seperti perbankan, keuangan, asuransi, tenaga kerja, logistik, perdagangan dan usaha bongkar muat turut merasakan dampak positif kebijakan ini. Sulit membayangkan bagaimana kondisi sektor transportasi laut di Indonesia tanpa asas cabotage. Indonesian National Shipowners Association (INSA) mencatat, 10 tahun lalu populasi kapal asing di perairan Indonesia lebih dominan dibandingkan kapal berbendera Merah Putih. Kapal-kapal berbendera selain Merah Putih menguasai 44,5% volume muatan laut dalam negeri, bahkan mengendalikan 95% volume muatan laut luar negeri (ekspor dan impor). Kondisi itu menyebabkan Indonesia kehilangan potensi ekonomi dari ongkos angkut hingga ratusan triliun rupiah setiap tahun. Kondisi itu cukup menjadi keprihatinan kita bersama sebagai bangsa. Penguasaan asing atas kegiatan transportasi laut dalam negeri telah menimbulkan kerugian yang berlipat ganda bagi masyarakat Indonesia. Sebagai gambaran, tarif pengiriman barang pada angkutan laut domestik sebelum asas cabotage jauh lebih mahal dibandingkan sekarang. Data INSA mengungkapkan, pada 2005, tarif pengiriman peti kemas pada rute Jakarta-Belawan mencapai Rp7 juta- 8 juta per TEUs, sedangkan sekarang turun menjadi Rp4 juta hingga Rp4,5 juta per TEUs. Kondisi yang sama juga terjadi pada rute-rute lain seperti pengiriman peti kemas ke Jayapura, Sulawesi, dan sebagainya. Penurunan ongkos angkutan laut itu bukan karena didorong oleh penurunan tarif di pelabuhan maupun peningkatan produktivitas pelabuhan, tetapi karena meningkatnya volume perdagangan sehingga memicu terjadinya evolusi penggunaan kapal ke yang lebih besar. Selain itu, pelaku usaha pelayaran juga melakukan subsidi silang dari kegiatan lainnya seperti ship management, keagenan hingga crew mining. Bisa dikatakan, dinamika ekonomi berbasis kemaritiman mengalami perubahan, bahkan pelayaran telah tumbuh menjadi backbone pertumbuhan perekonomian dari sektor maritim sehingga kapal berbendera Merah Putih kini telah mengendalikan kegiatan angkutan laut domestik dan mulai merangsek ke angkutan ekspor dan impor. Di sisi lain, masyarakat sudah bisa menikmati akses konektivitas nasional, tarif angkutan yang semakin kompetitif, infrastruktur transportasi laut yang terus berkembang, aktivitas perdagangan yang meningkat hingga lapangan pekerjaan yang terus bertumbuh. Hanya saja, kemajuan industri pelayaran saat ini belum diimbangi percepatan peningkatan infrastruktur logistik seperti pelabuhan, akses jalan dari dan ke pelabuhan hingga konektivitas logistik di darat. Akibatnya, meskipun tarif angkutan laut sudah sangat kompetitif, biaya logistik secara keseluruhan masih tinggi. Penguatan Kebijakan Terlepas dari dialektika yang ada dan success story asas cabotage, pelaksanaan prinsip ini di
  • 3. Indonesia sesungguhnya masih belum optimal. Sebab akselerasi pelayaran dapat dimaksimalkan jika ada kemauan politik yang lebih besar untuk memberdayakan industri pelayaran dan perkapalan. Sebagai gambaran, banyak kebijakan fiskal yang tidak lazim diterapkan pada sektor pelayaran di dunia, tetapi hingga kini masih dibebankan kepada pelayaran dan perkapalan nasional seperti pengenaan PPN atas kegiatan bongkar muat barang/kontainer dan PPN atas pembelian BBM kapal. Di sektor moneter, beban bunga pinjaman dari perbankan atau lembaga pembiayaan di Indonesia masih relatif tinggi dibandingkan negara-negara lain, bahkan tidak sedikit perusahaan pelayaran yang mendapatkan bunga pinjaman pembiayaan untuk pembelian kapal hingga 13%. Karena itu, diperlukan kerangka kebijakan yang lebih kuat dan setara sebagaimana negara-negara penganut asas cabotage di belahan dunia lain, baik mencakup kebijakan fiskal dan perpajakan, moneter dan keuangan, maupun kebijakan teknis serta infrastruktur penunjang lainnya. Penulis optimistis, kebijakan yang kuat dan setara akan mendorong akselerasi pelayaran sehingga konektivitas antarpulau di Indonesia semakin efektif dan mampu mendorong investasi industri di luar Pulau Jawa. Ke depan, sektor ini harus memiliki daya saing yang kuat di dalam negeri maupun luar negeri sebagai representasi atas kedaulatan negara. CARMELITA HARTOTO CEO Andhika Lines, Ketua Umum INSA, Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Logistik
  • 4. C2B: Model Operasi Masa Depan Saat pelaku bisnis masih melakukan model operasi yang berbasis B2C (business to consumer), Alibaba mulai beralih dari model tersebut. Setelah berkecimpung dan sukses di industri e-commerce, Alibaba, yang adalah perusahaan e-commerce terbesar di dunia saat ini, mempromosikan sebuah model operasi baru, yaitu C2B (consumer to business). B2C merupakan model operasi inside-out, informasi dan penentuan produk berasal dari produsen kepada konsumen. C2B merupakan kebalikannya. Informasi dan penentuan produk berasal dari konsumen kepada produsen, sebuah model operasi outside-in. Pergeseran dari model operasi tersebut diakibatkan oleh meningkatnya penggunaan internet dan jejaring sosial. Zeng Ming, Chief of Staff Alibaba, mengatakan bahwa peningkatan itu akan meningkatkan kekuatan konsumen dalam menentukan produk seperti apa yang laku. Konsumen akan menjadi kekuatan utama yang memengaruhi value chain sebuah produk, bukan produsen. Hal ini menciptakan penciptaan dan pengembangan produk yang diarahkan oleh konsumen, bukan produsen. Saat gelombang baru ini mulai menggilas model operasi yang lama, model bisnis akan mengacu pada customization. Customization menuntut produsen untuk dapat menyesuaikan produknya dengan permintaan yang unik dari masing-masing konsumen. Customization membuat produsen menciptakan kapabilitas baru di dalam organisasinya untuk dapat memenuhi permintaan yang unik tersebut. Customization memerlukan kemampuan organisasi untuk memberikan produk yang memenuhi kebutuhan unik masing-masing konsumen, variasi yang banyak, diproduksi dalam satuan produksi yang kecil, dan respons yang cepat. Dengan berkembangnya internet dan jejaring sosial, Alibaba percaya bahwa masa depan e-commerce lebih dari sekadar berpindahnya jalur distribusi ke media elektronik. E-commerce adalah C2B, di mana konsumen memiliki kekuatan untuk menentukan produk seperti apa yang mereka mau. Sukses dengan C2B Selain Alibaba yang mulai giat mempromosikan dan menjalankan C2B, perusahaan- perusahaan multinasional mulai memperhatikan suara konsumen dan mulai mengaplikasikan C2B. Esteban Kolsky melakukan riset berdasarkan wawancara pimpinan perusahaan- perusahaan multinasional seperti Coca Cola, HP, dan Kraft. Berdasarkan riset tersebut, Kolsky menyatakan bahwa perusahaan-perusahaan tersebut mengadopsi C2B mengingat kecepatan (velocity), volume, validitas, dan nilai (value) dari suara konsumen yang didapat dari jejaring sosial.
  • 5. Kolsky percaya bahwa perusahaan yang lebih dulu mengadopsi C2B benar-benar meraih keunggulan kompetitif. C2B memungkinkan perusahaan untuk memenuhi keinginan konsumen secara tepat, merespons kebutuhan secara cepat dan berinovasi lebih dahulu. Hal tersebut menciptakan loyalitas konsumen yang lebih tinggi. Kolsky menyampaikan aplikasi C2B yang komprehensif mencakup tiga hal utama. Pertama, kemampuan mengasimilasi informasi dalam langkah yang sistematis mengenai konsumen dan pasar. Kedua, C2B menuntut operasionalisasi dari set data yang sama dari seluruh anggota perusahaan untuk secara tepat menentukan respons yang paling tepat bagi konsumen. Ketiga, menjalin kerja sama dengan konsumen mengenai bagaimana seharusnya bisnis itu dijalankan. Untuk dapat menjalankan aplikasi C2B yang komprehensif tersebut, disampaikan lima langkah kunci untuk diambil agar perusahaan dapat melaksanakan model operasi C2B yang efektif. Pertama, menciptakannya sebagai inisiatif strategis. Mengadopsi model operasi yang baru memerlukan adopsi keseluruhan dari anggota dan bagian organisasi. Oleh karena itu, arah dari pemimpin puncak menjadi penting mengenai perubahan ini. Kedua, adopsi model operasi ini harus dijalankan pada seluruh lini dan fungsi di dalam organisasi. Adopsi ini memerlukan keterlibatan seluruh lini dan fungsi, mengingat perubahan ini merupakan perubahan mendasar model operasi untuk mendasarkan pengambilan keputusan berdasarkan informasi konsumen dan pasar. Ketiga, menciptakan satu set data yang terukur mengenai pasar dan konsumen. Informasi di internet dan jejaring sosial sangat beragam dan tidak terkalibrasi. Perusahaan perlu menentukan satu set data yang relevan dan terukur dalam memahami pasar dan konsumen. Informasi yang terstandarisasi akan memudahkan pengumpulan data dan membangun pemahaman yang sama di antara berbagai fungsi dan lini di dalam organisasi. Keempat, menyusun laporan yang berbasis media sosial. Berdasarkan studi, Kolsky mendapati bahwa 70% dari perusahaan- perusahaan yang menjadi objek studinya memiliki laporan berbasis media sosial. Laporan berbasis media sosial mencakup pengukuran aktivitas di media sosial, indikator kinerja kunci tertentu, dan metodologi tertentu yang relevan dengan kebutuhan spesifik organisasi. Kelima, bekerja sama dengan konsumen untuk co-create (menciptakan bersama) dan co- market (memasarkan bersama). Dengan adanya data set yang kaya mengenai konsumen dan pasar, perusahaan dapat mendorong konsumen yang puas untuk menciptakan bersama inovasi produk dan membantu memasarkan produk-produk perusahaan. Menjadi bisnis yang berbasis C2B memerlukan komitmen dan perubahan organisasi yang menyeluruh. Dengan gelombang internet dan jejaring media yang kuat, model bisnis ini menjanjikan kesempatan yang besar. ALBERTO HANANI Founder dan Managing Partner BEDA & Company
  • 6. Mewaspadai Siklus Baru Setiap kehidupan memiliki siklusnya masing-masing. Kupu-kupu bermula dari telur, menetas jadi ulat yang buruk dan bagi sebagian orang menjijikkan, membentuk kepompong, dan akhirnya berubah menjadi kupu-kupu yang indah. Perubahan ini berlangsung secara alamiah. Kita menyebutnya metamorfosa. Pada akhir siklus, kupu-kupu yang indah itu akhirnya mati juga. Perusahaan atau bisnis pun memiliki siklusnya sendiri. Bermula dari ketika didirikan, mulai tumbuh, tetapi masih lambat, kemudian tumbuh semakin cepat sampai akhirnya mencapai masa kejayaannya. Setelah itu biasanya kinerja perusahaan mulai merosot. Bagi sebagian kita, siklus semacam itu adalah hal biasa. Siapa yang bisa menentang kehendak alam? Setelah lama menikmati pertumbuhan ekonomi yang menakjubkan, China kini mulai terkena embusan siklus baru, pertumbuhannya melambat. Kini Indonesia pun tengah memasuki tahap ujian itu. Uang subsidi bahan bakar minyak (BBM) dan listrik sepertinya tak pernah cukup untuk memenuhi kebutuhan, kini semua anggaran pemerintah tengah dipangkas. Padahal, sebentar lagi rakyat Indonesia akan butuh banyak uang, ya liburan, ya Lebaran. Kita juga butuh layanan publik yang lebih baik. Tetapi siklusnya tengah berbalik. Dalam banyak referensi, siklus semacam itu kita kenal dengan sebutan kurva Sigmoid. Kurva ini merupakan grafik fungsi aljabar yang berbentuk huruf S yang tertidur. Grafik ini menggambarkan tahap awal pertumbuhan yang masih lambat, kemudian naik semakin cepat, mulai linier dan akhirnya menurun. Betulkah kita harus menerima kenyataan tersebut? Jelas tidak. Meski kurva Sigmoid tadi adalah fenomena alamiah, perusahaan tidak selalu harus berdiam diri dan mengikuti siklus tersebut. Banyak hal yang bisa dilakukan oleh perusahaan untuk mengangkat kembali pertumbuhannya yang mulai melandai, atau bahkan menurun. Armada nasional Garuda Indonesia justru bangkit dengan berbelanja di saat siklus ekonomi dalam industri jasa penerbangan memburuk. Istilah Emirsyah Satar (CEO Garuda Indonesia) acting ahead the curve (KORAN SINDO, 02 Agustus 2012). Memang, pada faktanya banyak perusahaan yang mengalami kesulitan untuk menepis berlakunya siklus Sigmoid tersebut. Padahal, gejala-gejalanya cukup jelas. Banyak perusahaan baru menyadarinya ketika kondisinya sudah nyaris menyentuh titik nadir. Saya punya beberapa contoh. Lingkungan yang Berubah Bagi sebagian generasi yang sudah cukup umur tentu masih ingat ketika mereka merayu kekasihnya melalui sepucuk surat. Setelah selesai ditulis, surat itu kemudian dimasukkan ke dalam amplop, bubuhi prangko dan dimasukkan ke dalam kotak-kotak surat. Sisanya adalah jantung yang berdebar-debar menanti surat balasan. Bisa seminggu kemudian, bahkan lebih.
  • 7. Namun, sejak awal 2000-an saya sulit sekali menemukan anak-anak muda yang merayu kekasihnya dengan sepucuk surat. Mereka menggantinya dengan SMS, kemudian dengan BlackBerry Messenger, atau WhatsApp. Kalau ingin berbicara secara langsung, mereka pakai aplikasi Skype atau Google+. Perubahan lingkungan bisnis, yang dipicu oleh teknologi baru, seperti inilah yang membuat PT Pos Indonesia di masa lalu, dan banyak perusahaan lain, nyaris bangkrut. Pendapatan semakin menurun, laba bersihnya menipis dan akhirnya mulai merugi. Tengok juga Merpati Nusantara yang model bisnisnya makin tak relevan. Makin menarik lagi didalami, ketika maskapai internasional lain merugi (dan untung itu ada di pasar domestik), petinggi Merpati justru menawarkan proposal baru untuk membuka trayek ke Timur Tengah sebagai solusi. Fenomena ala Pos Indonesia juga dialami oleh perusahaan-perusahaan lain. Sebagian Anda tentu masih ingat ketika era maskapai penerbangan low cost carrier (LCC) mulai tumbuh pada awal 2000-an. Banyak perusahaan terkena pukulan telak. PT Pelayaran Nasional Indonesia (Pelni), PT Kereta Api Indonesia (KAI) dan bus-bus antarprovinsi nyaris bangkrut. Siapa di antara kita yang masih mau menempuh perjalanan berhari-hari lamanya (kalau memakai Pelni) atau semalaman (dengan kereta dan bus antarprovinsi), kalau dengan biaya yang hanya sedikit lebih mahal bisa sampai ke tujuan dalam hitungan satu atau dua jam? Maka, tak mengherankan kalau Pelni, KAI atau bus-bus antarprovinsi kemudian ditinggalkan oleh pelanggannya. Untunglah Pos Indonesia (juga KAI) mampu bangkit. Perusahaan ini melakukan transformasi bisnis dari postal company menjadi network company. Dari hanya berbisnis pengiriman surat, dokumen, atau uang menjadi bisnis distribusi dan logistik. Pos Indonesia bangkit dengan mengandalkan kekuatannya, yakni jaringannya yang sudah begitu luas tersebar di seluruh Indonesia. Belum ada perusahaan distribusi dan logistik, perusahaan asing sekalipun, yang mempunyai jaringan seluas Pos Indonesia. Kini, Pos Indonesia sudah bangkit lagi. Mereka sudah menuai keuntungan. Begitu juga KAI. Setelah melakukan transformasi, memangkas banyak inefisiensi, KAI berhasil kembali membukukan keuntungan. Beberapa perusahaan bus antarprovinsi ada yang mengubah segmen bisnisnya. Mereka menaikkan kelasnya. Anda pernah mendengar Omah Mlaku? Ini bus antarprovinsi yang disulap menjadi bus carter yang mewah. Jumlah penumpangnya dibatasi, di dalamnya dilengkapi sofa dan meja rapat, serta fasilitas internet. Bus seperti cocok dipakai untuk roadshow. Kini, hanya Pelni yang kelihatannya masih agak tertinggal. Maskapai pelayaran nasional itu sampai sekarang masih belum bisa sepenuhnya keluar dari jerat krisis. Reinvention Selain transformasi, saya melihat reinvention menjadi kata kunci dari keberhasilan perusahaan- perusahaan seperti Pos Indonesia dan KAI untuk ke luar dari perangkap siklus
  • 8. Sigmoid. Melalui strategi reinvention, perusahaan-perusahaan itu mampu menciptakan sesuatu yang baru, sehingga membangun kurva Sigmoid yang baru di atas kurva yang lama. Sejatinya, banyak perusahaan yang sebetulnya memahami perubahan yang terjadi di lingkungan bisnisnya. Kajian Donald Norman Sull (Why Good Companies Go Bad, 1999) menyebutkan bahwa banyak perusahaan yang bermasalah bukan karena mereka tidak memahami terjadi perubahan lingkungan bisnis, serta tidak melakukan antisipasi. Mereka memahami dan bahkan menyiapkan strategi antisipasi. Namun, pada akhirnya perusahaan-perusahaan itu harus terjerat dalam masalah karena tidak mampu mengeksekusi strateginya dengan cepat dan tepat. Maka, membuat rencana dan menyiapkan strategi itu harus, tetapi mengeksekusi strategi adalah sesuatu yang lain. Itu sebabnya Ram Charan (2002) mewanti-wanti, 70% kegagalan bukan karena masalah strategi, tetapi karena buruknya eksekusi. Jadi, kerja, kerja, kerja. RHENALD KASALI Pendiri Rumah Perubahan @Rhenald_Kasali
  • 9. Agenda Perlindungan Konsumen Koran SINDO Kamis, 5 Juni 2014 MAKIN maju perekonomian suatu teknologi informasi mendorong konsumen di Indonesia semakin teredukasi dan terinformasi. Itulah yang membuat tuntutan atau aspirasi mereka semakin tinggi terhadap produk, baik produk barang maupun jasa. Karena itu, kekuatan ekonomi Indonesia ada pada konsumen karena besarnya populasi jumlah penduduk kita. Sebagai salah satu pilar ekonomi, posisi konsumen tidak kalah strategisnya dengan pelaku usaha sebagai pemilik modal. Pertanyaannya, mengapa posisi konsumen selalu dianggap lemah jika dibandingkan atau jika berhadapan dengan pelaku usaha? Amanat UU Itulah poin penting dari pemikiran yang berkembang dalam forum diskusi beberapa waktu lalu. Ketika penulis menjadi pembicara pada dua tempat diskusi yaitu di Universitas Hasanudin (Unhas) bersama Prof Dr Ahmad Miru SH MH dengan tema ”Telaah Kritis Perlindungan Konsumen” dan di Universitas Indonesia Timur (UIT) bersama Prof Dr Bernadette Waluyo SH MH dengan tema ”Menyamakan Persepsi UU Perlindungan Konsumen”. Secara umum ditegaskan bahwa amanat UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen untuk meningkatkan harkat dan martabat konsumen. Itu dimaksudkan agar kesadaran, pengetahuan, kepedulian, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi dirinya serta menumbuhkan sikap pelaku usaha yang bertanggung jawab. Sebab itulah, negara seyogianya berpihak pada perlindungan konsumen. Dengan kata lain, keberpihakan kepada konsumen sebenarnya wujud nyata ekonomi kerakyatan. Penerapan UUPK Nomor 8 Tahun 1999 dalam praktik akan banyak diuji melalui berbagai instrumen hukum perdata, termasuk alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Dalam konteks ada permasalahan (perselisihan) konsumen berhak mendapatkan advokasi serta perlindungan hukum dan penyelesaian sengketa. Tidak hanya itu, konsumen juga berhak mendapatkan edukasi dan ganti rugi jika ada ketidaksesuaian. Semua ini diharapkan sebagai pembangkit kesadaran semua pihak akan perlunya
  • 10. perlindungan terhadap hak-hak dan kewajiban pelaku usaha sebagai penyedia barang atau jasa yang dikonsumsi konsumen. Sesungguhnya esensi perlindungan konsumen adalah konsumen dan pelaku usaha (pengusaha/produsen) saling membutuhkan. Sebab itulah, produksi dipandang tidak ada artinya kalau tidak ada yang mengonsumsinya. Di sinilah perlu hubungan harmonis antara pelaku usaha dan konsumen. Dengan harmonisasi antara hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha, tentu akan menjadi instrumen penting bagi pemerintah untuk menetapkan berbagai kebijakan. Dalam perspektif kepedulian buat konsumen, terdapat dua karakteristik strategi. Pertama strategi mencerdaskan konsumen. Karena itu, seorang konsumen haruslah menjadi cerdas dan menyadari posisinya. Dalam konteks ini konsumen harus kritis dan berani untuk menegakkan hak dan kewajiban selaku konsumen. Dua strategi menancapkan karakteristik (mindset) nasionalisme konsumen. Intinya perilaku konsumtif dan pragmatisme berkonsumsi harus dijauhkan dari konsumen. Apalagi globalisasi dan liberalisasi ekonomi hanya akan menggerogoti dan mengikis eksistensi produk dalam negeri. Nasionalisme Konsumen Bangsa Indonesia kini sedang memasuki fase sangat menentukan dalam penegakan hukum dan pembangunan ekonomi terkait momentum pemilu presiden untuk periode 2014-2019. Harus diakui, periode lima tahun pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono (SBY)- Boediono tidaklah menggembirakan dalam memberikan kontribusi terhadap perlindungan konsumen. Itu bisa dibuktikan ketika pemerintah membiarkan pemadaman listrik berhari-hari, kenaikan tarif tol yang membebani konsumen, pelayanan rumah sakit yang diskriminatif terhadap pasien yang tidak mampu, kondisi transportasi kita yang tidak memberikan kenyamanan dan keamanan bagi konsumen, terakhir kita menyaksikan calon penumpang kereta api harus berbondong-bondong dan begadang untuk membeli tiket mudik Lebaran. Berbagai kasus yang tidak mencerminkan pemihakan kepada posisi konsumen bahkan terus bermunculan sepanjang lima tahun terakhir ini. Sekali lagi, sangat mustahil kita berbicara kualitas perlindungan terhadap konsumen jika pemerintahan yang berjalan tidak peduli pada ihwal yang berkaitan dengan konsumen. Keberadaan Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) menjadi contoh konkret bahwa betapa pemerintah tidak memiliki komitmen yang serius untuk memfungsikan dan memberdayakan lembaga ini secara optimal. Bukan saja berbagai saran dan rekomendasi yang dikeluarkan tidak mendapat perhatian dan respons dari pemerintah, melainkan juga keterbatasan sarana dan prasarana lembaga ini untuk melayani dan mengoperasionalkan tugas, fungsi, dan wewenang yang diberikan undang- undang. Padahal, eksistensi lembaga ini menurut amanat UU Perlindungan Konsumen adalah merupakan advisory body bagi presiden.
  • 11. Karena itu, dalam hal perlindungan konsumen seharusnya secara fungsional lembaga ini benar-benar harus eksis di republik ini. Hal yang sama juga dialami Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) sampai hari ini lembaga BPSK keberadaannya masih terbatas di setiap provinsi alias masih bisa dihitung jari di Indonesia. Ironis sekali sebab sesuai amanat UU, BPSK ini harus sudah ada pada setiap daerah kabupaten dan kota. Pasal 49 UUPK menegaskan: ”Pemerintah membentuk Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen di daerah tingkat II untuk penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan”. Penguatan BPKN, BPSK, dan LPKSM selama ini sejujurnya dianggap belumlah memadai. Atas dasar itulah, diperlukan political will dan komitmen pemerintah untuk mewujudkan keseimbangan perlindungan kepentingan konsumen dan pelaku usaha sehingga ke depan tercipta perekonomian yang sehat dan dinamis. Dengan tetap menjamin kepastian atas mutu, kenyamanan, dan keamanan barang dan /atau jasa yang diperolehnya di pasar. Tanpa memiliki kebijakan atau agenda perlindungan konsumen, mustahil pemerintah mampu mengangkat harkat dan martabat konsumen. Karena itu, sekali lagi, kita butuh pemimpin (presiden) yang punya visi yang jelas untuk meningkatkan perlindungan konsumen di Indonesia. DR ABUSTAN Komisioner Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN)
  • 12. Agenda Ekonomi Capres Koran SINDO Jum'at, 6 Juni 2014 GENDERANG kampanye presiden sudah dimulai. Pasangan nomor 1, Prabowo Subianto- Hatta Rajasa dan nomor 2, Joko Widodo (Jokowi)- Jusuf Kalla akan semakin intensif mengomunikasikan visi, misi, dan agenda ekonomi kepada masyarakat. Jika diperhatikan, visi dua calon presiden (capres) tersebut memiliki artikulasi yang tidak jauh berbeda dengan visi Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005- 2025 yaitu”Indonesia yang Mandiri, Maju, Adil, dan Makmur”. Dalam Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025 disebutkan Indonesia akan menjadi negara maju (upper middle-income) pada 2025 dengan pendapatan per kapita sekitar USD14.250-15.500. Dengan demikian, kepemimpinan baru 2014-2019 akan menjadi fase antara untuk menghantarkan Indonesia menuju negara maju. Ini tentu tidak mudah dan mencapai pertumbuhan tinggi bukan menjadi determinan tunggal untuk menjadi negara maju. Hal terpenting yang perlu dilakukan oleh pemerintah mendatang yaitu meningkatkan kualitas pertumbuhan. Ini tentu saja menghendaki ada perbaikan dalam penciptaan kesempatan kerja, penurunan angka kemiskinan dan ketimpangan pendapatan, namun juga perbaikan kualitas lingkungan hidup. Guna mencapai tujuan tersebut, sangatlah penting untuk menuntaskan empat permasalahan struktural yaitu: (i) turunnya produktivitas; (ii) rendahnya kemampuan dasar industri manufaktur dan struktur industri yang timpang; (iii) stagnasi produktivitas sektor pertanian dan ketahanan pangan; dan (iv) kapabilitas teknologi yang rendah. Walaupun sudah terlihat ada upaya untuk melakukan reformasi struktural dari masing-masing capres, agenda yang ada bukanlah terlepas dari program pemerintah periode sebelumnya. Kegagalan dan keberhasilan agenda pembangunan masa lalu perlu menjadi pelajaran bagi pemerintahan baru untuk membuat kebijakan ekonomi yang lebih baik. Becermin dari pelajaran kebijakan ekonomi yang pernah ada, tulisan ini untuk menggugah masyarakat agar tetap kritis dalam memaknai janji-janji pasangan calon presiden. Kritik Agenda Capres Prabowo
  • 13. Kritik umum saat membaca visi-misi capres Prabowo yaitu cukup banyak target kuantitatif yang tertuang dalam sembilan lembar kertas kerja mereka di antaranya belanja untuk membangun kawasan ekonomi khusus yang membutuhkan anggaran lebih dari Rp26 triliun, membangun 2.000 tower rumah susun, mengalokasikan dana sebesar Rp1 miliar per desa/kelurahan per tahun, alokasi dana perbaikan fasilitas sekolah sebesar Rp150 juta per sekolah. Capres Prabowo juga berjanji untuk menghapus pinjaman luar negeri pada 2019 dan mencapai defisit anggaran sebesar 1% dari produk domestik bruto (PDB) pada 2017. Dengan demikian, guna membiayai agenda pembangunan, capres Prabowo perlu menggalang pendapatan dalam negeri (baik pajak dan bukan pajak) dan mengembangkan pembiayaan dalam negeri (obligasi dalam negeri). Pada waktu yang bersamaan laju pertumbuhan ekonomi akan dipacu hingga 10% dan target porsi belanja negara mencapai minimal 19% dari PDB. Dalam kerangka analisis ekonomi, target-target tersebut sulit dicapai untuk dua alasan utama. Pertama, jika pemerintah dan dunia swasta berebut sumber pendanaan dalam negeri, akan mendorong suku bunga dalam negeri meningkat. Kondisi ini akan menurunkan kegiatan investasi sektor swasta (istilah ekonomi disebut crowding out). Akibat itu, pihak swasta akan mengandalkan pada pembiayaan luar negeri yang lebih murah. Kondisi ini tengah terjadi dan pemerintah perlu mengawasi perkembangan utang swasta untuk mengantisipasi dampak terburuk yang dapat terjadi. Kedua, target pertumbuhan ekonomi 10% merupakan hal yang sangat berat untuk dicapai dan target tersebut merupakan target tertinggi sejak Indonesia merdeka. Kondisi pertumbuhan sektor manufaktur yang melambat, dan perkembangan ekspor yang kurang menyenangkan, membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia cenderung melambat sejak 2011. Pada sisi lain, pertumbuhan ekonomi yang terlampau tinggi (overheating) dapat memicu inflasi yang tidak saja merugikan masyarakat miskin, tapi juga bisa mendorong ketimpangan pendapatan yang makin melebar. Kritik Agenda Capres Jokowi Janji Jokowi tidak kalah banyak dengan Prabowo misalkan pencanangan 1.000 Desa Daulat Benih, program 1.000 Desa Organik, pembangunan monorel atau bawah tanah (underground), membangun 50.000 rumah sehat, 6.000 puskesmas, renovasi 5.000 pasar tradisional, dan lainnya. Tentu saja program-program serupa juga sudah banyak berjalan baik yang dilakukan atas inisiasi pemerintah pusat/daerah dan badan usaha milik negara. Misalkan program rehabilitasi sekolah yang dijalankan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, rehabilitasi pasar yang dilakukan Kementerian Koperasi dan UKM, ataupun program Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP) dan Lembaga Usaha Ekonomi Perdesaan (LUEP) yang dimotori oleh Kementerian Pertanian, dan Bantuan Operasional Kesehatan Puskesmas oleh Kementerian Kesehatan. Kendala utama dalam menjalankan program-program yang inklusif yaitu masing-masing
  • 14. program umumnya saling berjalan sendiri-sendiri. Lemahnya keterpaduan dan keberlanjutan program membuat banyak program berjalan tidak efektif. Misalkan upaya pengembangan desa organik dalam kondisi perilaku industri yang masih mencemari lingkungan. Keberadaan pasar tradisional dan modern yang saling bersaing berebut pembeli. Program- program seperti ini juga tidak ubahnya dengan mega proyek yang syarat penyimpangan dan korupsi. Demikian pula, kebijakan Jokowi untuk meningkatkan akses petani gurem terhadap kepemilikan lahan pertanian dari rata-rata 0,3 hektare menjadi 2 hektare per KK juga bukan hal mudah terutama di wilayah Jawa. Di balik cerita sukses transmigran asal Jawa, juga banyak kegagalan yang terjadi. Terlebih dua tantangan sektor pertanian saat ini yaitu kepemilikan lahan yang banyak terkonsentrasi pada kelompok pemodal besar dan kecenderungan nilai tukar petani yang makin melemah, mendesak dilakukannya kebijakan afirmatif bagi para petani gurem. Tantangan Kepemimpinan Penting untuk melihat dalam debat capres nanti bagaimana masing-masing kandidat dapat mencari kesepakatan dari banyak target pembangunan yang dapat saling bertentangan. Misalkan dalam ideologi negara pembangunan (developmental state), pememerintah perlu meletakkan kemajuan ekonomi, sosial dan lingkungan berjalan secara berimbang (the development triangle). Demikian pula, dalam banyak keterbatasan (anggaran dan personel), skala prioritas menjadi sangat penting dilakukan. Lebih jauh bagaimana gaya kepemimpinan (otoriter dan humanis) dan pengalaman dari masing-masing pasangan capres untuk dapat mengatasi masalah juga penting untuk dicermati. Dalam hal ideologi pembangunan ekonomi kedua pasangan relatif sama, namun keberhasilan pembangunan akan lebih banyak ditentukan oleh agenda prioritas dan cara (the art) untuk mencapai tujuan tersebut. MAXENSIUS TRI SAMBODO Peneliti di Puslit Ekonomi–LIPI, Visiting Fellow di Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS), Singapura
  • 15. Masa Depan Kita di Laut Koran SINDO Jum'at, 6 Juni 2014 INDONESIA tengah memasuki masa transisi pemerintahan dengan tiga warisan yang tidak pernah diharapkan: kemiskinan, pengangguran, dan nyaris kelaparan. Saya menyebut kemiskinan sebab pada kenyataannya sekitar 100 juta rakyat Indonesia hidup dengan status ekonomi rentan: miskin dan hampir miskin. Lalu, tidak kurang dari 40 juta jiwa di antaranya tengah berjuang mendapatkan pekerjaan tetap dan layak. Meski terkesan seperti lelucon menyebut Indonesia rentan kelaparan, fakta belakangan terakhir menunjukkan bahwa tidak saja faktor kemiskinan yang menyebabkan rakyat tidak mampu membeli pangan. Ikhtiar negara memenuhi kebutuhan pokok rakyat dari produksi dalam negeri juga kian lemah. Puncaknya, sekitar USD12 miliar lenyap untuk impor pangan, lebih dari USD40 miliar untuk impor energi, dan utang luar negeri menumpuk tiap tahun. Nah , jika dengan penduduk sekitar 250 juta jiwa saja kita terseok-seok memenuhi janji kemerdekaan: melindungi, menyejahterakan, dan mencerdaskan tiap-tiap anak bangsa, bagaimana rakyat Indonesia boleh optimistis merayakan 100 tahun kemerdekaannya dengan (proyeksi) penduduk mencapai 450 juta jiwa kelak? Bergeserke Laut? Presiden Susilo Bambang Yudhoyono baru-baru ini berpesan bahwa Indonesia akan menghadapi persoalan serius pada 20, 30, 50 tahun mendatang jika gagal memanfaatkan potensi laut. Karena itu, paradigma pembangunan jangka panjang Indonesia harus diubah menjadi pembangunan berbasis darat-maritim (Kompas, 1/2). Celakanya, meski dua periode pemerintahan SBY telah didukung porsi APBN maksimum (sepanjang sejarah republik) dan dengan anggaran kelautan yang terus tumbuh, wajah kemiskinan di kampung-kampung nelayan dan pulau-pulau kecil tidak juga berubah. Ketimpangan pembangunan antara pulau besar dan kecil maupun pulau terdepan dan pedalaman kian tampak. Kejahatan di laut berupa illegal fishing, illegal logging, illegal mining, human trafficking, hingga perdagangan narkoba melalui jalur laut terus berlanjut. Belakangan investasi asing dimudahkan (ikut) mengelola perairan pesisir dan pulau-pulau kecil melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 saat perjanjian batas perairan dengan 10
  • 16. negara tetangga belum sepenuhnya tuntas. Perubahan paradigma yang disebutkan Presiden SBY terbukti lebih dilatari kesadaran ekonomi (jangka pendek) yakni menipisnya sumber daya alam di darat dan tanpa mempertimbangkan kepentingan lebih besar: laut sebagai ruang juang dan ruang hidup bangsa. Sebagai ruang juang, Indonesia berbatasan langsung dengan 10 negara di laut dan hanya dua negara di darat. Jika tidak awas dan terus diperjuangkan, keterhubungan perairan Indonesia dengan laut dunia (convoyer belt) dapat menjadi ancaman serius bagi masuknya pengaruh asing seperti barang, jasa, modal, ideologi, penyakit, hingga kriminalitas yang mengancam keamanan dan kedaulatan bangsa Indonesia. Laut juga bukanlah lumbung ekonomi (ekstraktif) baru yang selalu siap menggantikan kebangkrutan sumber daya alam di darat. Sejak Proklamasi Kemerdekaan 1945 dan Deklarasi Djuanda 1957 pertama kali dikumandangkan, laut telah pula menjadi ruang hidup bangsa dengan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat menjadi tujuan pengelolaannya. Masa Depan Masa depan adalah hari ini. Begitu pun wajah Indonesia 2045 merupakan hasil karya dan cipta anak-anak bangsa hari ini. Karena itu, Pemilu 2014 harus menghasilkan perubahan. Di hulu pemerintahan ke depan perlu memasukkan aspek kelautan, termasuk kekayaan budaya dan pengetahuan bahari bangsa ke tiap jenjang pendidikan. Jika saat ini hanya 20% dari seluruh sekolah kejuruan di Indonesia yang membidangi kelautan, ke depan perlu ditingkatkan menjadi 50%. Dalam jangka panjang, strategi ini dapat menghasilkan generasi Indonesia dengan mental dan adab kelautan yang kuat. Sedangkan jangka pendek akan merombak struktur tenaga kerja kelautan dari sebelumnya tidak terlatih (unskill labour) ke berdaya saing tinggi (skill labour). Kita harus merevitalisasi (bukan menambah) armada perikanan rakyat agar lebih efektif dan efisien melakukan penangkapan ikan di perairan kepulauan. Lalu, secara bertahap merestrukturisasi 1.000 kapal yang ada di perairan kepulauan ke perairan zona ekonomi eksklusif Indonesia dan laut lepas. Data termutakhir dari Kementerian Kelautan dan Perikanan menunjukkan bahwa sebanyak 99,5% dari total armada perikanan nasional Indonesia beroperasi di perairan kepulauan atau berjarak kurang dari 12 mil dari garis pantai. Selain untuk mengoptimalkan produksi pangan perikanan, baik di perairan kepulauan maupun ZEEI strategi ini sekaligus dapat mempersempit masuknya kapal-kapal ilegal ke perairan Indonesia. Reformasi sektor keuangan pun menjadi mutlak guna mendukung pembangunan hulu-hilir kelautan. Di hilir pemerintah dapat memperkuat konektivitas antarpulau dengan armada dagang dan transportasi handal guna mendukung hilirisasi industri nasional dan mendistribusikan layanan kesejahteraan ke pulau-pulau kecil di timur Indonesia. Sebagai gambaran, sejak Orde Baru
  • 17. hingga penghujung pemerintahan Presiden SBY, hampir 80 pelabuhan perikanan berada di kawasan barat Indonesia. Minimnya pelabuhan perikanan di timur Indonesia telah menyulitkan bangkitnya industri pengolahan ikan nasional. Terakhir, di tengah cuaca ekstrem dan arus liberalisasi yang semakin kuat, pemerintah perlu memfasilitasi secara rutin informasi cuaca, lokasi penangkapan ikan, dan harga ikan kepada nelayan dan penambak. Jika sebelumnya cabai keriting dan sederet komoditas pertanian dapat mudah diikuti perkembangan harga hariannya melalui media cetak dan elektronik, ke depan layanan informasi serupa harus tersedia untuk sedikitnya 18 komoditas ikan konsumsi rakyat Indonesia. Harapannya, aktivitas perikanan menjadi lebih aman, efisien, begitu pun nelayan tidak lagi dirugikan dalam penetapan harga jual ikan. Meski belum sempurna, visi misi dua calon presiden telah memberi peluang terhadap perubahan (mendasar) strategi pembangun nasional. Maka itu, hanya dengan ikhtiar berbasis kelautan, presiden hasil Pemilu 2014 dapat mengantarkan Indonesia ke masa depan lebih baik. M RIZA DAMANIK Ketua Dewan Pembina Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia; Penulis Buku ”Hak Asasi Nelayan”
  • 18. Menakar Ketajaman Visi Maritim Capres Koran SINDO Sabtu, 7 Juni 2014 DUA calon presiden (capres) yang akan berlaga dalam pemilihan presiden tahun ini relatif lebih memiliki visi di bidang kemaritiman. Satu hal yang patut diapresiasi tentunya. Secara tradisional dan berlaku global, yang dimaksud bidang kemaritiman adalah pelayaran dan sangat erat terkait dengan aktivitas perdagangan. Dalam bukunya The Influence of Sea Power Upon History 1660- 1783, Capt. A. T. Mahan, seorang ahli strategi maritim terkenal, mengatakan bahwa setelah perdagangan berkembang negara-negara yang memiliki armada pelayaran yang kuat meningkatkan kehadirannya di lautan dengan membangun angkatan laut yang kuat untuk mengawal barang-barang yang diangkut kapal-kapal mereka. Dalam kalimat Mahan: ”...the necessity of a navy, in the restricted sense of the word, springs, therefore, from the existence of a peaceful shipping ...”. Di samping pelayaran, bidang kemaritiman juga mencakup pelabuhan, galangan kapal, dan pelaut. Visi Prabowo Subianto dan Joko Widodo di bidang maritim adalah sama-sama ingin membangun pelabuhan. Ini pilihan yang tepat mengingat pelabuhan merupakan fasilitas yang teramat strategis; ia bukannya hanya sekumpulan beton di bibir pantai. Ada kisah menarik terkait nilai strategis sebuah pelabuhan dari negeri jiran Malaysia ketika Pelabuhan Tanjung Pelepas (PTP) dibangun di sana pada era 90-an. Perdana Menteri Malaysia kala itu, Dr Mahathir Mohamad, mendirikan pelabuhan tersebut tepat di seberang Singapura, tepatnya di Johor Baru. Kebijakan ini sebetulnya tidak tepat karena PTP jauh dari kota besar atau kawasan industri utama yang terletak di ujung selatan Malaysia. Ini berarti hanya akan ada sedikit barang yang akan keluar-masuk dari pelabuhan itu. Namun, Dr M, panggilan akrab Mahathir Mohamad, tetap membangunnya. Dioperasikan pertama kali pada 1999 dan secara resmi diluncurkannya pada 2000, PTP kini merupakan salah satu pelabuhan penting di kawasan Asia dengan throughput tahunan melebihi 5 juta TEU. Last but not least, ada banyak putra Indonesia yang terlibat dalam pembangunan PTP. Baru-baru ini keberadaan Pelabuhan Tanjung Pelepas mencuat dalam komunitas pelayaran domestik karena ada rute baru yang dibuka oleh pelayaran global Maersk Line dari Pelabuhan Makassar menuju PTP dengan menyinggahi terlebih dahulu Papua New Guinea
  • 19. (Port Moresby), Port Noro, yang berada di Kota Lae, kota terbesar kedua di Papua New Guinea, kemudian masuk ke Bitung dan berakhir di Tanjung Pelepas. Kurang Tajam Sayang, visi maritim dua pasang calon presiden yang ada kurang tajam. Alasannya, pertama, pelabuhan-pelabuhan yang akan dibangun oleh para capres itu adalah pelabuhan yang sudah direncanakan sebelumnya oleh para teknokrat; para capres paling nantinya hanya tinggal mengeksekusinya saja. Lebih jauh, pelabuhan-pelabuhan yang akan dibangun itu bisa jadi tidak cocok dengan kebutuhan yang ada karena perencananya lebih mementingkan proyek dibanding kegunaan. Pembangunan pelabuhan Kuala Tanjung di Sumatera Utara adalah contoh pelabuhan yang dibangun dengan pendekatan seperti di atas. Ketika dibangun pertama kali, Kuala Tanjung nyaris tanpa jalan masuk mau pun keluar. Pengembangnya sepertinya ingin truk-truk yang menuju ke sana terbang. Dengan fasilitas yang masih belum berkembang, Kuala Tanjung ditetapkan sebagai pelabuhan pengumpul atau hub port internasional berdasarkan Peraturan Presiden No. 26 Tahun 2012 tentang Cetak Biru Sistem Logistik Nasional yang diterbitkan 5 Maret 2012 (sic). Kedua, visi maritim Prabowo Subianto dan Joko Widodo sangat berorientasi ke dalam (inward looking). Padahal, pelabuhan di mana pun di seluruh dunia terhubung satu dengan lainnya dan mereka saling bekerja sama demi kemajuan bersama atau mutual co-existence. Artinya, bukanlah hal yang memalukan jika kita membangun pelabuhan tidak jauh lokasinya dari pelabuhan yang jauh lebih mapan dari pelabuhan di Indonesia. Alangkah lebih baik jika kedua pasang capres juga mencanangkan visi untuk membangun pelabuhan tidak jauh dari Singapura, tepatnya di seputaran Batam, Kepulauan Riau. Tidak ada yang membantah bahwa pelabuhan Negeri Singa itu merupakan magnet bagi pelayaran dunia. Jika kita bisa membangun pelabuhan (peti kemas) di Batam yang fasilitasnya setara dengan pelabuhan Singapura, kita akan bisa menampung limpahan peti kemas dari sana. Pembangunan Pelabuhan Tanjung Pelepas yang berlokasi tidak jauh dari pelabuhan Singapura dibangun dengan filosofi tadi. Terakhir, visi maritim kedua pasang capres kurang tajam karena tidak disertai dengan pernyataan bagaimana cara memasarkan pelabuhan- pelabuhan yang akan mereka bangun kelak jika menjadi presiden. Pelabuhan bukanlah fasilitas sosial melainkan ia merupakan sebuah entitas bisnis yang harus mendatangkan uang bagi negara. Sudah banyak pelabuhan tapi pemasarannya diserahkan sepenuhnya kepada direksi perusahaan yang mengelolanya. Nyaris tidak pernah terdengar
  • 20. orang nomor satu di republik ini terlibat memasarkannya. SISWANTO RUSDI Direktur The National Maritime Institute (Namarin), Jakarta
  • 21. RKP 2015 dalam Transisi Kepemimpinan Di tengah kontestasi pemilu presiden, ada hal menarik dalam penyusunan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2015 dan RAPBN 2015. Sesuai UU No 17 Tahun 2007 tentang Rencana Jangka Panjang Nasional 2005–2025 dalam Pasal 5 ayat 1 disebutkan, “Dalam rangka menjaga kesinambungan pembangunan dan untuk menghindari kekosongan rencana pembangunan nasional, presiden yang sedang memerintah pada tahun terakhir pemerintahannya diwajibkan menyusun RKP untuk tahun pertama periode pemerintahan presiden berikutnya.” Presiden terpilih memiliki ruang gerak untuk menyempurnakan RKP dan APBN pada tahun pertama melalui mekanisme perubahan APBN (APBN-P). Mekanisme peralihan RKP dan APBN di tengah transisi kepemimpinan tidak terlalu menjadi perhatian kita semua pada RKP dan APBN 2009 lantaran pada Pilpres 2009 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terpilih kembali sebagai presiden untuk periode kedua. Untuk periode 2014–2019, Indonesia akan memilih presiden baru untuk melanjutkan agenda pembangunan nasional. Dengan demikian, fase penyusunan RKP dan APBN 2015 untuk tahun pertama presiden baru dan proses perubahan atau penyesuaiannya berdasarkan visi-misi serta program prioritas presiden terpilih akan menjadi pembelajaran-konstitusi sistem perencanaan dan penganggaran pembangunan nasional. RKP 2015 merupakan RKP tahun pertama dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) III 2015–2019 dalam kurun RPJPN 2005–2025. Karena itu, tidak hanya proses penyusunan RKP 2015 yang menjadi semakin penting, tetapi juga menjamin proses transisi dari pemerintah yang menyusun dan pemerintah yang menjalankan menjadi semakin krusial. Hal ini tidak hanya menjamin kesuksesan implementasi dari program dan kegiatan yang telah disusun dalam RKP 2015, melainkan juga penting bagi fondasi pembangunan jangka menengah III nasional sampai tahun 2019. Tentunya pencapaian target RPJMN III akan menjadi modal yang sangat baik bagi pencapaian pembangunan nasional RPJMN IV 2020- 2025. Inilah yang menjadi esensi keberlanjutan pembangunan nasional lintas generasi. Agar proses transisi RKP dan APBN 2015 berjalan baik, pemerintah saat ini tengah melakukan beberapa hal strategis. Pertama, Presiden SBY di sejumlah kesempatan telah menyampaikan untuk mengundang presiden terpilih pada pemungutan suara 9 Juli 2014 untuk berkomunikasi mengenai RKP dan APBN 2015. Meskipun berdasarkan UU Nomor 17 Tahun 2007 penyusunan RKP dan APBN 2015 masih menjadi tugas dan kewenangan pemerintahan dan DPR RI 2009–2014, pelaksanaannya akan
  • 22. dilakukan oleh presiden periode 2014–2019. Oleh karenanya, komunikasi antara pemerintah yang menyusun dan yang melaksanakan menjadi krusial untuk menjamin keberlanjutan pembangunan nasional. Kedua, terbuka luas bagi presiden terpilih periode 2014– 2019 melakukan penyesuaian RKP dan APBN 2015 melalui mekanisme APBN-P 2015. Karena itu penyusunan RKP dan ABPN 2015 bersifat anggaran pokok dan dasar (baseline budget) dengan memperhitungkan kebutuhan pokok penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat. Melalui hal ini, pemerintahan baru akan memiliki ruang fiskal yang longgar untuk memasukkan program dan kegiatan prioritas pembangunan sesuai dengan visi-misi politik yang telah dijanjikan semasa periode kampanye pilpres. Meski begitu, dalam penyusunan RAPBN 2015, pemerintah tetap memperhatikan arah dan strategi untuk merespons dinamika perekonomian, menjawab tantangan dan isu-isu strategis untuk mendukung tercapainya RKP 2015. Ketiga, dari sisi penyusunan RKP 2015, tugas pemerintahan saat ini adalah menjalankan secara konsisten yang menjadi amanat UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Di dalamnya penyusunan RKP 2015 dilakukan mengikuti tahapan, mekanisme, dan proses penyusunan sesuai dengan tata aturan yang berlaku sehingga rencana kerja menghasilkan rancangan yang sistematis, terarah, terpadu, menyeluruh, dan tanggap terhadap perubahan. Koordinasi dan sinkronisasi rancangan kerja kementerian/lembaga (renja K/L) dengan renja pemerintahan daerah dilakukan agar program kerja menjadi efisien, efektif, fokus, dan memiliki dampak langsung bagi tercapainya target pembangunan nasional. Keempat, untuk memudahkan pemerintahan baru menjalankan RKP 2015, pemerintah saat ini tengah berupaya untuk terus menjaga kesehatan fiskal melalui APBN-P 2014. Perekonomian Indonesia 2015 akan sangat dipengaruhi bagaimana kita mengelola kesehatan fiskal sepanjang tahun 2014. Dihadapkan pada situasi perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia dan kawasan, fluktuasi nilai tukar rupiah, pelemahan ekspor dunia, serta risiko pembengkakan defisit anggaran, maka Inpres Nomor 4 Tahun 2014 tentang Program Penghematan dan Pemotongan Anggaran dikeluarkan. Target pemerintah saat ini dapat menghemat Rp100 triliun dari rancangan APBN awal. Meskipun tidak mudah, kebijakan ini perlu diambil agar tidak hanya fiskal 2014 tetap kuat tetapi juga memudahkan pemerintahan baru dalam mengelola perekonomian nasional. Melalui keempat upaya ini kita semua berkeyakinan transisi kepemimpinan dan transisi rencana kerja pemerintah serta penganggarannya akan berjalan secara baik. Selain itu, kita semua optimistis siapa pun presiden baru yang akan terpilih pada pemungutan suara 9 Juli 2014 akan membuka diri dalam berkomunikasi dengan pemerintah saat ini. Dengan demikian keterpaduan dan kontinuitas program kerja baik pusat maupun daerah antara pemerintahan perumus dan pelaksana, paling tidak, untuk tahun pertama dapat berlangsung baik.
  • 23. Saya berkeyakinan ketika kita semua mampu menjaga fase transisi rencana kerja dan penganggaran secara baik, hal ini akan menjadi fondasi kuat bagi suksesnya RPJMN III 2014–2019 dan RPJP sampai pada tahun 2025.
  • 24. Impor dan Sistem Pembayaran Koran SINDO Senin, 9 Juni 2014 DENGAN model DGSE terlihat sangat jelas keterkaitan antara sistem pembayaran dan impor. Kenaikan harga impor bahan bakar dan pupuk membuat negara-negara Afrika berpendapatan rendah mengalami kesulitan dalam sistem pembayaran. Transmisi moneter juga membuat pembayaran melalui telepon juga mengalami gangguan, misalnya yang terjadi di Kenya. Dengan model ini terbukti bahwa efek pendapatanlah yang merupakan sumber utama dari gangguan sistem pembayaran melalui transmisi impor. Di sinilah pentingnya kebijakan fiskal untuk menetralisasi dampak negatif dari efek pendapatan. Negara yang mampu meningkatkan pengeluaran fiskalnya adalah negara-negara yang juga mampu menghindari permasalahan dalam sistem pembayaran. Di Asia hal yang sama juga terjadi khususnya ketika terjadi krisis pada 1998. Indonesia yang dianggap sebagai Macan Asia ternyata memiliki struktur perekonomian yang paling keropos dibandingkan dengan negara-negara Asia lain yang terkena hantaman krisis. Ini terlihat dari biaya krisis ekonomi yang ditimbulkannya di mana sistem pembayaran Indonesia porak-poranda tidak karuan. Perbankan di Indonesia harus masuk ”ICCU” karena sebagian besar tidak mampu menjalankan aktivitas normalnya. Melemahnya rupiah menyebabkan impor dan utang luar negeri meningkat drastis yang menyebabkan cadangan devisa Indonesia terkuras habis-habisan. Kondisi ini membuat sistem pembayaran mengalami permasalahan yang sangat serius. Masalah ini dapat terjadi karena sistem pembayaran terlalu mengandalkan kepada bank-bank milik pemerintah yang ternyata memiliki kredit macet yang sangat luar biasa. Kesalahan dalam membaca kondisi perekonomian Indonesia telah menyebabkan penyakit yang begitu besar di depan mata dalam perekonomian Indonesia tidak dapat terdeteksi. Semasa periode Orde Baru permasalahan reformasi sistem pembayaran hampir tidak pernah tersentuh karena kroni Orde Baru sangat serakah ingin menguasai sistem pembayaran nasional sehingga likuiditas dalam pasar keuangan menjadi bersifat semu dan tidak terkontrol dengan baik. Risiko dalam sistem pembayaran yang berkaitan dengan impor hanya bisa diselesaikan jika
  • 25. bank sentral dan bank komersial melakukan kerja sama yang sangat baik untuk mereformasi sistem pembayaran nasional. Langkah inilah yang dilupakan oleh pemerintah Orde Baru yang selalu menganggap perekonomian Indonesia adalah Macan Asia yang tidak memiliki kelemahan. Orde Baru juga menganggap bahwa krisis ekonomi tersebut merupakan perang ekonomi. Jika logika bodoh itu diladeni, ada kekuatan negara asing yang tengah memusuhi Indonesia, Thailand, Korea Selatan, dan Malaysia. Sementara Gerding (2014) mengatakan bahwa perusak ekonomi negara-negara yang terkena krisis ekonomi adalah aktor-aktor di dalam negeri sendiri. Negara Macan Asia dirampok oleh penguasanya sendiri. Indonesia dimasukkan dalam kelompok negara Macan Asia karena menjadi good boy-nya Bank Dunia di mana Indonesia secara bodoh mengikuti resep neoliberal. Bank Dunia dan penguasa Indonesia menggunakan ”other people money”. Gerding mengatakan: ”The corporate form provides ideal for lobbying for regulatory favors: corporations solve collective action problems by centralizing decisionmaking and allow managers to lobby with‘other people’s money’.” Pada krisis yang terjadi pada 2008 di Amerika Serikat dan Uni Eropa, krisis pembayaran melalui transmisi impor bukanlah semata-mata merupakan perang ekonomi, melainkan karena kebodohan sistem ekonomi yang tidak mampu mengelola risiko yang ditimbulkan oleh proses ekonomi yang terjadilah yang merupakan sumber krisis ekonomi itu sendiri yang umumnya melalui transmisi impor dan akhirnya juga sistem pembayaran nasional. Landau, Garber, dan Scoenmaker pada 1997 sudah mengingatkan ini. Mereka mengatakan: ”Payment system reforms are, nevertheless, crucially important and should be regarded as a key component of ongoing efforts to create sound and efficient financial systems. By strengthening payment systems to reduce systemic risk, central banks have increased their degrees of freedom. Indeed, they may soon be able to strengthen market discipline by letting financial institutions fail, perhaps even those currently perceived as too big to fail, without threatening the stability of the entire financial system.” Tidaklah juga mengherankan jika perekonomian negara adidaya dunia seperti Amerika Serikat juga akhirnya terjerembab ke dalam krisis perekonomian. Terbukti perekonomian Amerika Serikat masih terperangkap oleh risiko too big too fail sehingga terpaksa mengambil alih banyak institusi keuangan besar yang bukan hanya perbankan, tetapi juga asuransi dan industri manufaktur seperti industri mobil. Perekonomian Amerika Serikat memiliki musuh di dalam dirinya sendiri yaitu tidak mau melakukan reformasi perekonomian khususnya reformasi sistem pembayaran. Kesalahan yang sama juga dilakukan negara-negara Uni Eropa. Kembali kepada krisis Asia
  • 26. pada akhir 1990-an, pemimpin di Indonesia, Thailand, Korea Selatan, dan Malaysia juga alpa dalam mereformasi sistem perekonomian khususnya sistem pembayaran dalam konteks tidak terkontrolnya risiko ekonomi melalui transmisi impor. Sistem mereka melupakan kewajiban ada likuiditas intraday. Likuiditas intraday harus dijamin dalam sistem pembayaran. Tanpa ada likuiditas intraday, sistem pembayaran rentan terhadap risiko too big too fail. Keberadaan jaminan dan biaya penalti juga sangat penting. Dua hal ini harus serempak dilakukan untuk menghilangkan risiko kredit dari otoritas moneter. Hanya dengan cara itu, transmisi risiko krisis ekonomi dunia melalui mekanisme impor dapat dihilangkan dalam memengaruhi peningkatan risiko sistem pembayaran nasional! ACHMAD DENI DARURI President Director Center for Banking Crisis
  • 27. Pasar Modal Menjelang MEA 2015 Era globalisasi, keterbukaan, dan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015 harus diantisipasi. Harmonisasi ketentuan, persyaratan, maupun produk dan layanan mesti diupayakan agar memenuhi standar pasar modal regional maupun internasional. Dengan demikian, bila sampai waktunya Masyarakat Ekonomi ASEAN berlaku, PT Kliring Penjaminan Efek Indonesia (KPEI) bersama semua pelaku pasar lainnya bisa berperan lebih luas dan tidak terbatas semata di pasar domestik. Untuk menuju ke arah tersebut, ada beberapa tahap. Langkah awal melakukan assessment untuk memenuhi prinsip dan rekomendasi International Organization of Securities Commissions (IOSCO). Ini terkait dengan principles for financial market infrastructures. Assessment-nya akan dilakukan tahun ini untuk mengukur sejauh mana pemenuhan dan kesenjangan (gap) yang ada. Kedua, setelah gap diketahui, kemudian dilakukan upaya penyelesaian melalui program dan rencana aksi. Walau berharap apa yang kita miliki dan lakukan sudah memadai, ada beberapa hal yang harus disempurnakan. Untuk memulai ke arah sana mesti ada prakondisi dan model yang ditetapkan di awal. Bagaimana model operasionalnya? Bagaimana peran Lembaga Kliring dan Penjaminan (LKP) di satu negara jika nanti terjadi keterhubungan antarpasar? Itu semua harus didefinisikan agar dapat disiapkan. Apalagi ada beberapa hal yang harus diwaspadai dan disiapkan pada pelaksanaan Masyarakat Ekonomi ASEAN. Hal dimaksud antara lain dari sisi kapasitas yang harus memadai dari aspek operasional, pemenuhan terhadap standar yang berlaku, dan memadai secara ketentuan. Selanjutnya memadai secara kapasitas organisasi maupun sumber daya manusia. Infrastruktur pasar modal juga mesti disiapkan untuk mengantisipasi segala kemungkinan. Tentu berkoordinasi dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), self regulatory organizations (SRO) lain, dan pelaku pasar. Ada beberapa tahapan penetapan arah pengembangan infrastruktur ke depan. Bentuknya ada blue print dan acuan perencanaan, baru kemudian penetapan agenda prioritas pengembangan infrastruktur pasar modal. Secara nyata, selanjutnya ditetapkan agenda dan program pengembangan tersebut beserta struktur timnya. Tahap berikutnya pelaksanaan kerja. Untuk setiap program yang telah dijalankan akan terus disempurnakan secara berkelanjutan agar memenuhi kebutuhan dan perkembangan dari waktu ke waktu. Sesuai dengan peran sebagai LKP di pasar modal, KPEI berkomitmen memberikan kontribusi terhadap pengembangan pasar modal di Indonesia. Mulai dari mengembangkan peraturan dan sistem teknologi pendukung, menyediakan sumber daya berkualitas hingga membuat prosedur operasional yang memenuhi aspek manajemen mutu.
  • 28. Pada akhirnya juga melakukan rangkaian kegiatan edukasi dan sosialisasi kepada para pelaku. Dengan demikian, langkah-langkah KPEI dapat dipahami pelaku pasar dan dijalankan dengan baik. Aspek lainnya pengembangan. KPEI tidak boleh berhenti melakukan pengembangan agar dapat mengantisipasi setiap kebutuhan bisnis. Ini tidak dapat dilakukan sendiri, melainkan bersama seluruh elemen pelaku pasar modal seperti OJK, SRO lain, anggota bursa, dan para pelaku pasar. Sebetulnya kalau kita melihat, tiap negara memiliki kondisi dan karakteristik pasar yang berbeda-beda. Prinsipnya KPEI harus selalu mengakomodasi kebutuhan kliring dan penjaminan yang berbasis kondisi dan karakteristik yang spesifik dari lingkungan pasar modal di Indonesia. Tentunya tidak terlepas dari upaya untuk memenuhi dan mengikuti standar, prinsip, dan rekomendasi yang berlaku secara global. Kita juga melakukan kerja sama dengan negara lain dalam beberapa aspek. KPEI aktif dan menjadi anggota lembaga- lembaga internasional. Misalnya di The Asia-Pacific Central Securities Depository Group (ACG) yang anggotanya adalah seluruh lembaga kliring dan penjaminan serta lembaga penyelesaian dan penyimpanan di Asia-Pasifik. Juga aktif di Pan Asia Securities Lending Association (PASLA), organisasi penyelenggara layanan pinjam meminjam efek, serta Central Counter Party (CCP) di Asia dan global. KPE juga aktif mengikatkan diri dalam kerja sama bilateral dengan lembaga sejenis dari negara lain. Ada MoU dengan Korea Securities Depository (KSD), Central Depository Company of Pakistan Limited, Central Securities Depository of Iran (CSDI), Japan Securities Depository Center ( JASDEC ), Japan Securities Clearing Corporation (JSCC), dan Japan Securities Financing (JSF). Itu semua sebetulnya tidak terlepas dari misi pendirian serta amanat peran dan fungsi KPEI yang dimuat dalam Undang- Undang (UU) Pasar Modal. KPEI didirikan untuk menjadi satu lembaga yang terkait langsung dengan fungsi kliring dan penjaminan penyelesaian transaksi bagi bursa di pasar modal di Indonesia. Misi KPEI adalah untuk menciptakan pasar modal yang aman di satu sisi, tapi juga tetap menarik di sisi lain.
  • 29. Capres, Bank Pertanian, dan Ketahanan Pangan Koran SINDO Rabu, 11 Juni 2014 DALAM pernyataan di berbagai media massa akhir-akhir ini, dua kandidat calon presiden (capres) yang tengah bertarung memperebutkan RI-1 membawa agenda pembangunan sektor pertanian sebagai salah satu agenda utama pemerintahan mereka. Salah satu pernyataan yang menarik dari kedua kandidat adalah pendirian bank pertanian khusus untuk petani, nelayan, usaha mikro dan kecil di sektor pertanian dan perikanan. ”Bank pertanian” merupakan terminologi yang menarik untuk dikutip media massa karena kalimat tersebut merefleksikan kritik publik atas minimnya peran perbankan dalam memberikan akses kredit kepada petani, nelayan, dan usaha mikro lainnya. Bank Dunia (2010) menyebutkan bahwa selama ini permasalahan akses keuangan usaha mikro, termasuk usaha tani dan perikanan, adalah salah satu hambatan utama usaha mikro untuk bisa berkembang dengan baik. Data dari Bank Indonesia (BI) tahun 2012 menyebutkan sektor pertanian hanya mendapatkan alokasi 7,73 % dari Kredit Usaha Rakyat (KUR). Sebagian besar KUR dimanfaatkan untuk usaha perdagangan, yakni sebesar 47,2 %, dari total KUR di tahun 2012. Meskipun akses keuangan untuk petani merupakan permasalahan besar, apakah solusi mendirikan bank pertanian merupakan kebijakan yang tepat dan efektif ? Sejak Orde baru, Bank Rakyat Indonesia (BRI) telah menjadi pionir keuangan mikro bagi petani dan usaha mikro lainnya di Indonesia. Bahkan, BRI merupakan contoh sukses keuangan mikro di dunia yang banyak dikutip oleh akademisi (lihat misalnya dalam Rosengard & Prasetyantoko, 2011; Robinson, 2001; atau Miyashita, 2000) jauh sebelum gerakan Grameen Bank di Bangladesh mengemuka dan mendunia. Program Bimbingan Masyarakat (Bimas) yang bertujuan khusus untuk memberikan kredit pada sektor pertanian telah dilaksanakan BRI sejak tahun 1980-an. Sayangnya, program tersebut justru membebani keuangan negara dan membuat BRI mengalami kerugian keuangan dan akhirnya program tersebut ditutup. Kemudian, pemerintah melanjutkan program kredit di sektor pertanian melalui program Kredit Investasi Kecil (KIK), Kredit Modal Kerja Permanen (KMKP), Kredit Usaha Kecil
  • 30. (KUK), dan sekarang dilanjutkan dengan Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKPE) dan Kredit Usaha Rakyat (KUR). Di luar dari program kredit yang dilakukan oleh perbankan, akses kredit untuk petani juga dapat diperoleh melalui lembaga keuangan yang berciri lebih informal dan berbasis komunitas, seperti koperasi, lembaga keuangan mikro (LKM), atau sistem arisan. Riset dari Tambunan (2013) dan Bank Dunia (2009) menunjukkan sebagian besar usaha mikro, termasuk di dalamnya usaha pertanian, lebih banyak mengandalkan sumber pembiayaan informal daripada sumber pembiayaan dari perbankan. Penggunaan sumber- sumber informal ini, salah satunya, karena perbankan menerapkan banyak persyaratan yang menyulitkan usaha mikro, terutama perizinan usaha dan agunan. Sementara itu, selain mensyaratkan agunan dan legalitas usaha, perbankan juga memerlukan profil risiko kreditur. Selama ini, usaha pertanian dianggap usaha dengan tinggi risiko, terlebih saat ini perubahan iklim memacu risiko gagal panen lebih besar. Jika perbankan hendak menurunkan standar risiko pembiayaan untuk petani, perbankan dihadapkan pada perhitungan efisiensi usaha. Terkait dengan akses pembiayaan usaha mikro, baru-baru ini Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan pembatalan UU No. 17 Tahun 2012 mengenai Koperasi setelah gugatan diajukan oleh berbagai kelompok koperasi dan gabungan masyarakat sipil yang bergerak dalam pemberdayaan koperasi. Sebelumnya, pemerintah berharap dengan pemberlakuan UU tersebut, koperasi dapat memperoleh akses keuangan yang lebih mudah ke perbankan. Sayangnya, UU tersebut tidak didasarkan pada semangat dasar koperasi yang berbasis keanggotaan yang demokratis, namun lebih berbasis pada kepentingan pengurus yang rawan moral hazard. Gugatan para pegiat koperasi yang dimenangkan oleh MK ini juga menjadi catatan penting bagi pemerintah mendatang untuk dapat mengatasi akses keuangan usaha pertanian sekaligus membangun gerakan koperasi sesuai dengan semangat demokrasi ekonomi. Bukan Sekadar Retorika Maraknya jasa keuangan informal, bahkan termasuk rentenir, yang membiayai usaha mikro, di satu sisi merefleksikan resistensi lokal dalam merespons kebutuhan akses keuangan, namun di sisi lain mencirikan jurang yang cukup tinggi antara sektor formal dan informal. Tesis dualisme ekonomi di Indonesia yang dikemukakan oleh Boeke (1953) masih relevan hingga saat ini, terutama jika melihat persoalan akses keuangan. Sektor formal dan perusahaan besar mendapatkan kepercayaan yang sangat baik dari perbankan. UMKM yang mendapat kredit dari perbankan pun lebih banyak dari usaha menengah dan kecil, meskipun 99,9% atau sebesar 56,5 juta dari total unit usaha di Indonesia dikategorikan sebagai usaha mikro. Dari jenis usaha mikro yang dibiayai perbankan, usaha mikro berjenis pertanian yang paling minim. Kesenjangan sektoral merupakan persoalan mendasar dari akses keuangan petani.
  • 31. Kebutuhan keuangan petani tradisional yang utama, yang kurang dipahami bank, bukan untuk melakukan ekspansi seperti sektor lainnya, namun untuk menstabilkan harga komoditas. Oleh karena itu, penyediaan lingkungan pemberdaya (enabling environment) yang bermanfaat untuk stabilisasi harga menjadi sangat penting. Inovasi kebijakan yang lebih penting dilakukan, dibanding mendirikan bank pertanian yang bersifat repetitif, adalah, pertama, menyediakan asuransi pertanian untuk petani dan, kedua, mentransformasi koperasi simpan pinjam menjadi koperasi produksi. Koperasi produksi, selain menaikkan posisi tawar petani terhadap rantai produksi global, juga berperan dalam meningkatkan efisiensi usaha tani serta mempercepat penyerapan teknologi dalam proses produksi. Ketika koperasi produksi mampu menyerap hasil tani anggota, membukukan keuntungan yang baik, dan mengelola secara demokratis, bank akan tertarik untuk membiayai usaha mereka. Sementara itu, asuransi pertanian penting untuk membuat bank lebih tertarik membiayai usaha tani, menstabilkan harga pertanian, serta mengatasi kemiskinan petani. Di Indonesia, kenaikan harga pangan di tingkat pengecer mencapai 21,6% per tahun sejak 2010. Kenaikan ini cukup tinggi, jika dibandingkan negara ASEAN lain, misalnya Thailand sebesar 10,1%, Myanmar sebesar 4,4%, atau Filipina yang relatif tidak meningkat. (FAO, 2011). Ketika harga pertanian naik, kecenderungan untuk kebocoran impor akan lebih tinggi, dan petani semakin tidak berdaya untuk mengembangkan usaha tani mereka. Di banyak negara, pemerintah mengembangkan asuransi pertanian berbasis indeks kerawanan iklim terutama untuk menstabilisasi harga. Di Jepang, pemerintah menyubsidi dana asuransi dan menyalurkannya lewat beberapa institusi dana pertanian secara kolektif per kelompok tani. Sementara itu, di Meksiko dan India, pemerintah menggandeng produsen jasa keuangan untuk membuat asuransi kolektif pertanian berbasis kerawanan iklim per wilayah. Akhirnya, tawaran capres-cawapres mengenai pembentukan bank pertanian ini seharusnya bukan sekadar ide retorik yang ahistoris. Secara substantif, jasa keuangan yang lebih diperlukan oleh petani adalah asuransi pertanian dalam mendorong kemampuan usaha tani, yang pada gilirannya akan menaikkan profil usaha mereka untuk perbankan, dan secara jangka panjang berkontribusi pada ketahanan pangan. Koperasi juga perlu didorong untuk lebih berperan sebagai agen pembangunan. HERJUNO NDARU KINASIH Peneliti The Habibie Center
  • 32. Politik Subsidi BBM Capres Visi dan misi dua pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) dalam Pemilihan Umum Presiden (Pilpres) 2014 tidak secara tegas menyebutkan rencana pencabutan subsidi bahan bakar minyak (BBM) dengan menaikkan harga BBM bersubsidi. Tim sukses pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, Drajad Wibowo, mengungkapkan bahwa pemerintahan Prabowo tidak akan menaikkan harga BBM bersubsidi. Sedangkan Darmawan Prasojo, tim sukses Joko Widodo-Jusuf Kalla, mengatakan bahwa pemerintahan Jokowi akan mengurangi subsidi BBM secara bertahap selama empat tahun ke depan. Subsidi BBM merupakan permasalahan pelik dan dilematis yang tidak pernah diselesaikan Presiden SBY dalam dua periode pemerintahannya sehingga siapa pun presiden terpilih harus mengatasi itu. Permasalahan itu berkaitan dengan pembengkakan subsidi BBM yang membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) setiap tahun. Selama periode 2011-213 total anggaran subsidi BBM dalam APBN sudah mencapai Rp635,6 triliun. Pada APBN 2014 dari total belanja subsidi sebesar Rp333,7 triliun, 80% di antaranya dialokasikan untuk subsidi BBM yang sudah mencapai Rp225,7 triliun. Memang cara yang paling mudah bagi pemerintah untuk menekan subsidi BBM adalah menaikkan harga BBM bersubsidi sesuai harga keekonomian. Masalahnya, setiap penaikan harga BBM bersubsidi selalu menaikkan inflasi yang berpotensi menurunkan tingkat kesejahteraan rakyat. Dampak Penaikan Harga BBM Selama ini penaikan harga BBM bersubsidi selalu memberikan dampak secara signifikan terhadap penurunan tingkat kesejahteraan rakyat, bahkan tidak menutup kemungkinan mempercepat akselerasi proses pemiskinan di negeri ini. Rakyat miskin memang tidak terkena dampak kenaikan harga BBM secara langsung lantaran mereka bukanlah konsumen BBM bersubsidi. Namun, rakyat miskin sudah pasti akan terimbas dampak ikutan (multiplier effect) akibat penaikan harga BBM bersubsidi. Penaikan harga BBM dari Rp4.500 menjadi Rp6.000 per liter pada 1 April 2012 telah memicu kenaikan inflasi pada 2012 hingga 6,8% per tahun. Kontribusi inflasi terbesar terjadi pada sektor transportasi sehingga memicu kenaikan harga- harga kebutuhan pokok yang mencapai rata-rata sekitar 23,2% selama 2012. Besaran inflasi tersebut telah menurunkan daya beli masyarakat yang memberikan kontribusi terhadap peningkatan jumlah penduduk miskin di Indonesia sekitar 1,5% atau bertambah sebanyak 4,5 juta orang. Memang pemerintah telah memberikan Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) yang ditetapkan sebesar Rp150.000 per bulan kepada setiap
  • 33. keluarga. Namun, jumlah BLSM tersebut dinilai tidak memadai untuk menutupi kenaikan harga kebutuhan pokok akibat kenaikan harga BBM bersubsidi. Menurut BPS, pendapatan seseorang di bawah Rp7.075 per hari dikategorikan sebagai penduduk miskin. Kalau keluarga miskin mempunyai lima orang anggota keluarga, setiap anggota keluarga hanya menerima bagian BLSM sebesar Rp30.000 per bulan atau Rp1.000 per hari. Dengan demikian, penghasilan penduduk miskin penerima BLSM meningkat dari Rp7.075 menjadi Rp8.075 atau naik hanya 12,38%. Kenaikan penghasilan penerima BLSM itu masih tidak mencukupi untuk menutup kenaikan harga kebutuhan pokok yang mencapai 23,2%. Tidak diragukan lagi, setiap kenaikan harga BBM bersubsidi akan menaikkan jumlah penduduk miskin meski pemerintah telah membagikan BLSM. Solusi Permasalahan BBM Bersubsidi Untuk mengatasi permasalahan dilematis tersebut, capres mestinya menetapkan politik subsidi BBM yang antisipatif, komprehensif, dan berkesinambungan, dituangkan dalam tahapan rencana aksi sebagai solusi terhadap permasalahan BBM bersubsidi. Rencana aksi tersebut meliputi penetapan mekanisme penaikan harga BBM bersubsidi, migrasi dari BBM ke bahan bakar gas (BBG), dan pengembangan bahan bakar terbarukan (BBT). Pertama, pemerintah harus menetapkan mekanisme penaikan harga BBM bersubsidi berdasarkan indikator terukur. Salah satu skema yang bisa digunakan adalah penaikan harga BBM bersubsidi secara berkala. Misalnya pemerintah menaikkan harga BBM Rp500 per liter setiap tiga bulan sekali sehingga diperkirakan pada tahun kedua harga BBM sudah mencapai harga keekonomian. Penaikan harga BBM secara berkala dengan jumlah kenaikan harga yang tidak terlalu besar, di samping dapat menekan efek inflasi, juga dapat meredam gonjang- ganjing akibat penolakan masyarakat terhadap penaikan harga BBM. Selain itu, pada saatnya penaikan harga BBM secara berkala itu juga diharapkan dapat diterima secara ekonomi, sosial, dan politik, sekaligus dapat mendorong upaya migrasi dari BBM ke bahan bakar gas (BBG) serta pengembangan bahan bakar terbarukan (BBT). Kedua, pemerintah harus memberikan prioritas pembangunan infrastruktur yang dibutuhkan untuk melakukan migrasi dari BBM ke BBG yang kontens subsidi BBG lebih rendah daripada subsidi BBM. Selain ketersediaan infrastruktur, pemerintah juga harus mempunyai komitmen kuat dan political will dalam menerapkan rencana migrasi dari BBM ke BBG. Keberhasilan pemerintahan SBY-JK dalam melakukan migrasi dari minyak tanah ke gas barangkali bisa menjadi referensi bagi pemerintahan yang baru dalam menerapkan rencana migrasi dari BBM ke BBG. Ketiga, pemerintah harus secara serius dan terus-menerus dalam mengembangkan BBT yang bahan bakunya tersedia secara berlimpah di negeri ini. Data menunjukkan bahwa
  • 34. ketersediaan energi fosil penghasil BBM semakin menurun yang pada saatnya akan habis. Dengan demikian, menjadi suatu keniscayaan bagi pemerintah baru untuk segera mengembangkan BBT secara berkesinambungan. Selain tiga solusi tersebut, pemerintah yang baru pun harus menghapus pemberian BLSM. Di samping besaran BLSM tidak pernah mencukupi kenaikan harga-harga kebutuhan pokok sebagai dampak penaikan harga BBM bersubsidi, pemberian BLSM selama ini juga lebih banyak menimbulkan dampak negatif. Tanpa ada politik subsidi BBM yang antisipatif, komprehensif dan berkesinambungan, serta komitmen kuat dari pemerintah, jangan harap presiden terpilih akan mampu mengatasi permasalahan pelik dan dilematis subsidi BBM yang selama 10 tahun telah membebani pemerintahan SBY tanpa bisa diatasi. ● FAHMY RADHI Peneliti Pusat Studi Energi UGM
  • 35. Memerangi Praktik Kartel Koran SINDO Senin, 16 Juni 2014 PEREKONOMIAN nasional sarat praktik kartel. Potensi kerugian masyarakat sebagai konsumen akan terus berlanjut jika sistem hukum nasional tidak memberi sanksi maksimal kepada para pihak yang bersekutu dalam kartel. Maka, Presiden RI terpilih harus berani melancarkan gerakan sapu bersih atas praktik kartel dalam perekonomian Indonesia. Kebetulan, dari para pendukung dan simpatisannya masing- masing, dua pasang capres-cawapres, Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo- Jusuf Kalla, sudah menerima sapu lidi sebagai simbol. Sapu lidi merefleksikan harapan publik kepada pemimpin untuk melakukan pembersihan. Artinya, siapa pun pemenang Pilpres 2014, masyarakat mendesak presiden-wakil presiden terpilih membersihkan semua praktik kotor dalam tata kelola kehidupan berbangsa dan bernegara. Untuk menunjukkan dukungannya pada pasangan Prabowo-Hatta, Forum Komunikasi Anak Betawi (Forkabi) menyebar sapu lidi yang dililit kertas merah putih di rumah Polonia, Jakarta Timur. Adapun Komunitas Barisan Pejuang Kebersihan Jakarta menyerahkan sapu lidi sebagai dukungan untuk pasangan Jokowi–JK. Sebelumnya, cawapres Jusuf Kalla juga menerima sapu lidi dari ”Gerakan Nasional Relawan Matahari Indonesia”. Jika mengikuti arus pendapat umum terkini, desakan sapu bersih dalam konteks Indonesia adalah memberantas korupsi dan perang melawan kemiskinan. Dua isu ini telah mendapatkan respons dari sejumlah institusi terkait. Namun, praktik kartel dalam perekonomian nasional kurang mendapatkan perhatian dari masyarakat. Padahal, praktik kartel untuk komoditas ekonomi tertentu bersentuhan langsung dengan kepentingan setiap orang. Belum lama ini, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menyatakan 19 importir bawang putih bersalah melakukan kartel. KPPU menetapkan total denda Rp13,3 miliar kepada mereka. Majelis KPPU memastikan 19 importir itu melanggar Pasal 19 c dan Pasal 24 UU No 5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Para importir itu didakwa sengaja membatasi peredaran bawang putih di pasar, sebagai strategi mendongkrak harga. Hebatnya, majelis juga menyatakan Menteri Perdagangan dan Dirjen Perdagangan Luar Negeri bersalah ikut bersekongkol. Setelah kasus bawang putih, KPPU sedang mendeteksi praktik kartel perbankan dalam mematok bunga bank.
  • 36. Penyelidikan KPPU sudah berjalan setahun lebih. Belakangan ini, perhatian KPPU diarahkan pada perilaku sepuluh bank besar yang patut dijadikan acuan. Fokusnya pada besaran bunga. Ada indikasi kartel karena bunga bank dan marjin bank sangat tinggi di atas BI rate. Tingkat bunga kredit tetap tinggi walau BI rate pernah diturunkan. KPPU sudah mengendus masalah ini sejak tahun 2011. Persoalan ini juga menarik perhatian Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Maka, OJK pun mengajak KPPU bekerja sama mendalami dugaan kartel ini. Tak hanya kartel suku bunga, KPPU dan OJK pun mendeteksi praktik kartel dalam bisnis asuransi yang melibatkan perbankan (bancassurance). Banyak perusahaan asuransi sulit memasarkan produknya karena tidak berafiliasi dengan bank. Bank dan asuransi bersekongkol untuk menutup ruang pemasaran bagi perusahaan asuransi lainnya. Dalam praktiknya, nasabah yang mendapatkan kredit dari bank tertentu didorong, tepatnya setengah “dipaksa” menggunakan produk asuransi dari perusahaan terafiliasi. Tak jarang, penggunaan produk asuransi tertentu itu sudah difinalkan sebagai persyaratan. Nasabah tidak diberi kebebasan memilih walaupun nasabahlah yang membayar premi. Bagi KPPU, praktik persaingan tidak sehat atau kartel bancassurance ini lebih sebagai pengulangan. Sebab, pada 2002 dan 2012, KPPU pernah memutus kasus serupa terhadap dua bank BUMN. Berarti, putusan bersalah atau sanksi tidak menimbulkan efek jera. Kalau kartel merusak dinamika persaingan sehat dan merugikan konsumen, apakah kecenderungan seperti itu harus selalu disikapi dengan ganjaran minimalis berupa denda? Kendati dampak negatifnya sangat serius, penanganan kasus kartel selama ini hanya berpedoman pada Undang-Undang No 5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Destruktif Padahal, praktik kartel itu destruktif, tidak hanya membunuh perusahaan sejenis lain serta merugikan konsumen, tetapi juga menutup peluang bagi tumbuh dan berkembangnya potensi ekonomi rakyat. Kalau kartel bawang putih terus “dipelihara” eksistensinya, yang menjadi korban adalah petani bawang putih. Petani juga enggan menanam kedelai jika pasar dikendalikan oleh kartel yang pastinya lebih memilih kedelai impor karena margin labanya jauh lebih besar. Karena itu, harus ada kemauan politik yang kuat dan sungguh-sungguh dari pemerintah untuk menutup ruang bagi praktik kartel dalam perekonomian nasional. Gambaran tentang ketidaknyamanan masyarakat sudah sangat jelas dari kasus kelangkaan dan lonjakan harga kedelai beberapa waktu yang lalu. Tingginya harga daging sapi sampai saat ini pun diduga kuat karena berawal dari praktik kartel, yang kemudian melahirkan ekses dalam kasus suap impor daging sapi. Lebih dari itu,
  • 37. negara cq pemerintah harus memberi ruang bagi pertumbuhan dan perkembangan bagi semua sektor bisnis di dalam negeri guna meningkatkan daya saing negara. Semua potensi lokal, baik skala kecil, menengah maupun besar, harus didorong untuk bertumbuh dan berkembang untuk mewujudkan ketahanan ekonomi nasional. Karena itu, praktik kartel yang jelas-jelas merusak harus diberangus. Tantangan di bidang perekonomian tahun-tahun mendatang semakin berat karena berlakunya penyatuan ekonomi ASEAN. Sektor bisnis dalam negeri harus tangguh agar mampu bersaing dengan negara lain di lingkungan ASEAN. Indonesia hanya akan menjadi pasar jika dunia usaha dalam negeri tidak dipersiapkan untuk berkompetisi. Dalam beberapa tahun terakhir ini, peran dan praktik kartel dalam pengelolaan sejumlah komoditas kebutuhan pokok dirasakan sangat kuat. Peran oknum birokrat dalam kasus-kasus tertentu pun tak dapat ditutup-tutupi lagi. Coba saja simak kronologi kasus suap impor daging sapi itu. Selain itu, fakta bahwa ada puluhan komoditas kebutuhan pokok yang harus diimpor juga memberi peluang bagi hadirnya kartel. Maka, dalam konteks mewujudkan kesejahteraan bersama dan pembangunan dunia usaha nasional, tantangan bagi presiden-wakil presiden terpilih sesungguhnya sangat berat, terutama jika mengacu pada janji-janji kedua kandidat presiden. Jika presiden ingin mendapatkan apresiasi dari rakyat, dia harus fokus membenahi tata niaga semua komoditas kebutuhan pokok. Pembenahan itu harus berujung pada terbentuknya harga kebutuhan pokok yang moderat alias terjangkau. Untuk itu, tindakan pertama yang harus dilakukan adalah mengeliminasi peran kartel yang selama ini mengontrol dan mengendalikan permintaan penawaran sejumlah komoditas kebutuhan pokok. Mungkin tidak mudah karena tantangannya adalah menghadapi kepentingan dari sejumlah kelompok yang selama ini sudah menikmati untung dari praktik kartel itu. Namun, gerakan sapu bersih terhadap kartel bukan lagi sekadar pilihan, melainkan sebuah keharusan. Bayangkan, kalau benar ada kartel bank yang memformulasikan tingkat bunga kredit, betapa dahsyatnya daya rusak kartel itu terhadap masyarakat dan para pengusaha sebagai nasabah. Boleh jadi, faktor suku bunga yang tinggi menjadi salah satu sebab rendahnya daya saing sektor bisnis dalam negeri. Sapu lidi yang diserahkan para pendukung kepada para kandidat capres-cawapres adalah simbol sekaligus aspirasi. Siapa pun yang memenangi Pilpres 2014, dia didesak untuk melancarkan gerakan bersih-bersih. Tak hanya memberantas korupsi, tetapi juga membersihkan perekonomian negara dari praktik kartel. BAMBANG SOESATYO Anggota Komisi III DPR RI Fraksi Partai Golkar/Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia
  • 38. Ketahanan Berbasis Impor Koran SINDO Selasa, 17 Juni 2014 DI tengah produksi gabah kering giling (GKG) yang terancam menurun tahun 2014, pemerintah kembali merencanakan mengimpor beras. Penurunan produksi terjadi karena gangguan hama wereng batang cokelat yang meluas di 22 provinsi. Serangan wereng mengakibatkan turunnya produktivitas tanaman padi dari 6,5 ton menjadi 4,5 ton GKG per hektar. Penurunan produksi akan mendongkrak kenaikan harga beras menjelang pilpres. Apalagi selama ini pemerintah lebih mengedepankan opsi impor beras dibandingkan berusaha keras meningkatkan stok beras di dalam negeri dengan memberdayakan petani lokal. Alasan klasik seperti serangan wereng, musim kemarau dan banjir menjadi justifikasi untuk membuka keran impor. Seakan serangan wereng tidak bisa diatasi dan banjir tak bisa ditangani. Masalah ini terus dikloning dan cara cerdik pun tidak ditemukan untuk solusi. Pasar pangan di Indonesia kian dibanjiri pangan impor. Pemerintah nyaris tidak punya kekuatan untuk menghempangnya. Indonesia menjadi negara yang membangun ketahanan pangan berbasis impor. Kita menghuni negeri yang makmur, namun tidak mampu memproduksi pangan untuk rakyatnya. Krisis pangan datang silih berganti. Mulai krisis beras, krisis kedelai, daging sapi, gula, jagung, bawah putih hingga bawang merah. Sebagai negara agraris yang memiliki kekayaan sumber daya pertanian dan pangan yang melimpah, Indonesia seharusnya bisa menjadi lumbung pangan dunia. Namun ironisnya, berdasarkan data terkini dari Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan sektor pertanian tanaman pangan pada kuartal I/2014 hanya sebesar 0,94% atau melambat dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2013 yang sebesar 2,18%. Implikasinya, impor pangan makin tidak terbendung. Hampir 75 % dari kebutuhan pangan di dalam negeri dipenuhi dari impor. Ruang impor pangan akan semakin terbuka lebar guna mengawal stabilitas politik Pemilu Presiden 2014. Agar gejolak harga pangan—memicu inflasi tinggi—terkendali, maka pangan harus tersedia. Sayangnya pangan yang tersedia kerap harganya tidak terjangkau rakyat miskin. Kian mahalnya harga pangan diduga akibat ulah para pemain kartel pangan yang dikuasai segelintir pemodal besar.
  • 39. Praktik kartel pangan dengan power (kekuasaan) uang yang dimiliki semakin terkuak setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membongkar kasus dugaan korupsi impor daging sapi dan ketidakefisienan penyaluran raskin. Temuan ini menunjukkan bahwa suap impor pangan adalah jenis corruption by design. Fenomena ini menunjukkan pangan impor sudah dikendalikan oleh mafia pangan yang melibatkan pejabat tertentu dan politisi untuk meraup keuntungan. Sepanjang 2013, Indonesia mengimpor bahan pangan utama dengan menghabiskan devisa sekitar Rp125 triliun. Suatu jumlah yang sangat besar dan bisa digunakan untuk membangun infrastruktur sektor pertanian. Masih tingginya pertumbuhan penduduk dan kian miskinnya petani ditengarai penyebab kian derasnya pangan impor mengalir ke Indonesia. Meski usia kemerdekaan republik ini sudah memasuki 69 tahun, alih-alih pemerintah dapat menyejahterakan petani justru petani gurem kian meningkat jumlahnya. Petani kecil termarginalisasi digilas roda pembangunan hedonis yang kapitalistik. Keterpurukan ini membawa konsekuensi logis, yakni Indonesia semakin tak berdaulat atas pangan. Dalam satu dekade terakhir, petani di negara yang dikenal sebagai bangsa agraris ini mengalami proses pemiskinan. Hasil sensus pertanian tahun 2013 menunjukkan keluarga petani berkurang sebanyak 5,04 juta keluarga. Pada 2003, BPS mencatat jumlah keluarga petani 31,17 juta keluarga, sepuluh tahun kemudian menurun menjadi 26,13 juta keluarga. Jumlah keluarga petani yang berhenti menggantungkan hidup dari usaha pertanian rata-rata 500.000 rumah tangga per tahun atau laju penurunannya mencapai 1,75% per tahun. Namun, jumlah perusahaan di bidang pertanian justru naik 36,77%. Dari 4.011 perusahaan per tahun 2003 menjadi 5.486 perusahaan per tahun 2013. Di negara maju, susutnya jumlah keluarga petani dan meningkatnya jumlah perusahaan pertanian merupakan pertanda kemajuan sektor pertanian. Penurunan jumlah keluarga petani gurem karena ada penyerapan tenaga kerja secara signifikan di sektor industri dan jasa. Sayangnya, yang terjadi di Indonesia adalah guremisasi akibat tingginya alih fungsi lahan pertanian pangan. Jalan di Tempat Setuju atau tidak setuju, selama 10 tahun terakhir pembangunan pertanian jalan di tempat atau bahkan ”mundur” ke belakang. Mayoritas warga Indonesia yang bekerja sebagai ”petani”, hidupnya mengalami proses pemiskinan. Fenomena ini harus dapat menyadarkan pemerintahan hasil Pemilu 2014 bahwa pekerjaan rumah memperkuat ketahanan pangan yang mandiri dan berdaulat belum selesai. Rapuhnya decay kedaulatan pangan tak bisa dilepaskan dari kurangnya perhatian pada pembangunan sektor pertanian. Alokasi anggaran yang masih terbatas di kementerian pertanian hanya satu indikator ketidakberdayaan bangsa ini untuk keluar dari perangkap pangan impor. Untuk melepaskan Indonesia dari jebakan pangan impor maka perlu didorong
  • 40. penggunaan produk pangan lokal dengan segala konsekuensinya dan mengurangi ketergantungan dan ketagihan produk pangan berbasis beras dan gandum. Kita perlu belajar dari negara kaya yang teknologinya maju, seperti Jepang dan Korea Selatan. Mereka tetap bangga menggunakan produk lokalnya seperti telepon seluler dan mobil buatan sendiri tanpa terpengaruh produk bangsa lain yang lebih canggih. Harga diri bangsa menjadi harga mati dalam melepaskan diri dari jebakan pangan. Sebagai bangsa agraris, Indonesia harus keluar dari jebakan dan perangkap pangan negara maju dengan segera melakukan pengurangan praktik liberalisasi pangan. Praktik ini telah menyebabkan munculnya beragam kartel pangan baru yang pola kerjanya mirip mafia yang menguasai distribusi dan perdagangan pangan. Untuk menghentikannya, pemerintah harus melakukan pembatasan penguasaan distribusi pangan melalui korporasi. Satu hal yang tak kalah penting adalah kecenderungan selama ini yang memilih langkah gampang dengan mengimpor tanpa memikirkan konsekuensi jangka panjang harus diakhiri. Kebergantungan pada impor ini hendaknya menyadarkan pemerintah untuk terus membangun ketahanan pangan yang mandiri dan berdaulat seperti perintah Undang- Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan. POSMAN SIBUEA Guru Besar Tetap di Unika Santo Thomas Sumatera Utara. Pendiri dan Direktur Center for National Food Security Research (Tenfoser)
  • 41. Presiden Baru Jangan Abaikan Energi Terbarukan Kamis, 19 Juni 2014 DI tengah hiruk-pikuk berita Pemilihan Umum Presiden 2014, ada beberapa berita menarik dari sektor energi Indonesia. Yang pertama adalah per 1 Juli nanti akan ada enam golongan pelanggan listrik yang mengalami kenaikan bertahap hingga November 2014 per dua bulan di kisaran 5-11%. Dalam kerangka kenaikan ini pemerintah masih menyubsidi listrik sebesar Rp103,82 triliun. Yang kedua adalah pengumuman besaran subsidi BBM dalam APBNP 2014 sebesar Rp246,49 triliun dari sebelumnya Rp284,986 triliun yang meskipun turun tetap saja nilainya lebih besar dari di APBN 2014 yang hanya Rp210,7 triliun. Kenaikan tarif listrik ini walaupun tidak menyentuh kelas pelanggan paling rendah namun memberikan sinyalemen bahwa masalah ini akan terus terjadi sepanjang tidak ada perubahan berarti baik dari segi harga di konsumen atau biaya pembangkitan di PT Perusahaan Listrik Negara (PLN). Subsidi ini akan terus terjadi karena biaya pembangkitan listrik tinggi sementara harga jualnya rendah. Merujuk pada laporan tahunan PLN tahun 2012, rata-rata harga penjualan listrik per KWH adalah Rp728,32 sementara biaya pembangkitannya Rp1.217,28 (PLN, 2012). Sementara itu, masalah subsidi bahan bakar minyak (BBM) masih terus menjadi hal memusingkan pemerintah. Anggaran yang terbatas harus terus tergerus karena nilai subsidi BBM terus naik dari tahun ke tahun lantaran program diversifikasi energi masih belum cukup signifikan. Masalah energi adalah masalah menahun di Indonesia. Masalah ini harus diperhatikan dengan serius agar tidak justru mengganggu pertumbuhan bangsa ini. Terlebih harga bahan bakar fosil seperti minyak bumi, gas bumi, dan batu bara cenderung menunjukkan tren yang meningkat. Tampaknya sudah menjadi keharusan bagi pemerintah untuk menguatkan kembali semangatnya untuk melakukan diversifikasi energi menuju pemanfaatan energi terbarukan. Perpres No 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional yang memberikan perhatian terhadap energi terbarukan tidak dapat lagi diabaikan implementasinya dan harus didorong agar terus maju. Terlebih industri perkembangan energi terbarukan di negara-negara maju telah menunjukkan posisinya sebagai sunrise industry. Keunggulan energi terbarukan tidak lagi hanya di keramahannya terhadap lingkungan, tapi juga efisiensi biayanya. Potensi inilah yang
  • 42. membuat beberapa perusahaan minyak ternama di dunia seperti Total, Chevron, Shell, British Petroleum, dan bahkan Saudi Aramco menginvestasikan uangnya di industri energi terbarukan. Pencapaian Indonesia Belakangan ini ada beberapa milestones dalam pemanfaatan sumber energi terbarukan di Indonesia. Yang paling besar adalah pada bulan April 2013 energy sales contract (ESC) dan joint operating contract (JOC) untuk Pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) sudah ditandatangani. Tiga pembangkit tenaga panas bumi dengan kapasitas masing-masing 110 MW direncanakan akan beroperasi pada tahun 2016 dan 2017 dengan harga pembelian listrik PLN dari PLTP Sarulla disepakati sebesar USD6,79 sen. Harga ini jauh lebih murah dibandingkan biaya pembangkitan di Sumatera Utara dengan BBM yang mencapai USD35-40 sen. Jakarta Post mencatat pengoperasian PLTP Sarulla per tahunnya akan mengurangi subsidi listrik hingga Rp4 triliun. Yang kedua, Juni tahun lalu Menteri ESDM Jero Wacik menandatangani Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 17 Tahun 2013 tentang Pembelian Tenaga Listrik oleh PT Perusahaan Listrik Negara (persero) dari Pembangkit Listrik Tenaga Surya Fotovoltaik. Dalam peraturan tersebut disebutkan bahwa PLN akan melakukan lelang kuota kapasitas PLTS Fotovoltaik, dan kepada pemenang lelang seluruh hasil produksi listriknya akan dibeli seharga USD25-30 sen per KWH. Dalam aturan itu disebutkan kontrak pembelian berlaku selama 20 tahun dan bisa diperpanjang. Lelang ini sudah selesai dan sudah ada pemenangnya yang akan segera membangun fasilitas PLTS. Pencapaian di dalam negeri dan perkembangan di luar negeri seharusnya mengubah paradigma energi kita bahwa berbicara energi terbarukan itu tidak hanya bicara mengenai kelestarian lingkungan, tapi juga bicara mengenai potensi efisiensi ekonomi. Sumber energi terbarukan tidak pelak lagi, merupakan jawaban yang feasible untuk tantangan masalah energi Indonesia. Energi terbarukan sudah saatnya dipandang sebagai sebuah ranah industri yang baru dan menjanjikan secara ekonomi. Komitmen untuk Insentif Energi terbarukan sudah menjadi tren global dan Indonesia tentu tidak boleh ketinggalan. Fokus ke pemanfaatan sumber energi terbarukan akan menjadi jawaban bagi pencapaian otonomi energi bangsa ini. Terlebih Indonesia adalah salah satu negara di dunia yang memiliki hampir semua sumber energi terbarukan yang cukup seperti sinar matahari, angin, geotermal, arus laut, serta bioetanol. Namun sekalipun sangat menarik dari sisi ekonomi, untuk membuatnya tumbuh dengan cepat tentu harus ada insentif yang diberikan pemerintah. Banyak pengalaman di negara-negara lain yang bisa dicontoh Indonesia untuk memajukan industri energi terbarukan. Misalnya salah
  • 43. satu insentif yang cukup menarik di Amerika Serikat adalah adanya Production Tax Credit (PTC) yang besarnya antara USD11-23 untuk tiap MWH yang dihasilkan oleh perusahaan pembangkit listrik energi terbarukan. Besaran potongan pajak itu bervariasi bergantung pada jenis sektor energi terbarukan yang diproduksi dan berlaku selama 10 tahun. Selain itu, ada beberapa insentif lain yang diberikan oleh pemerintah AS seperti Investment Tax Credit serta Modified Accelerated Cost Recovery System (MACRS) yang membuat sektor ini cukup menarik bagi investor (Sustainable Energy in America Factbook, Bloomberg New Energy Finance, 2014). Indonesia juga bisa belajar dari pengalaman sukses Jerman yang menerapkan German Renewable Energy Act (Er-neuerbare- Energien-Gesetz/EEG) pada tahun 2000. Regulasi tersebut mengatur sistem feed-in tariff yang kompetitif. Perkembangan itu mendorong rumah tangga untuk membangun solar home system (SHS) yang menempatkan mereka pada posisi sebagai produsen energi yang bisa mendapatkan keuntungan yang menarik. Perusahaan energi swasta pun menganggap aturan tersebut sebagai potensi bisnis yang menguntungkan. Hal ini membuat perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang energi terbarukan tumbuh dengan pesat. Kathrin Suhlsen dan Matthijs Hisschemoller dalam publikasinya di Jurnal Energy Policy dengan judul “Lobbying the Energiewende Assessing the Effectiveness of Strategies to Promote the Renewable Energy Business in Germany” (2014) mengatakan bahwa sistem feed-in tariff ala Jerman mencapai tingkat penerimaan yang sedemikian besar sehingga sudah diadopsi oleh sekitar dua pertiga anggota Uni Eropa. Aturan tersebut menjamin tiap KWH listrik yang dihasilkan dari sumber energi terbarukan akan mendapatkan feed-in tariff dan operator jaringan listrik (seperti PLN di Indonesia) harus memasukkannya kedalam grid dengan jaminan pembelian selama 20 tahun. Jerman sendiri menargetkan pada 2020, 35% sumber energinya berasal dari energi terbarukan serta 80% pada 2050. Konsep ini diperkuat pada 2011 yang menargetkan akan menghilangkan PLTN paling lambat 2022. Suhlsen dan Hisschemoller juga menggambarkan bahwa perusahaan-perusahaan di bidang energi melihat potensi yang besar di sektor energi terbarukan dan mendorong pemerintah Jerman untuk memberikan perhatian besar serta insentif pada sektor ini. Pengalaman beberapa negara maju menunjukkan potensi besar energi terbarukan. Daripada terus-menerus berkutat dengan angka subsidi listrik dan BBM yang terus melonjak dengan harapan turun yang kecil, tak ada salahnya pemerintah mengalokasikan anggaran yang besar untuk insentif serta subsidi di bidang energi terbarukan yang nantinya dengan sendirinya bisa memangkas subsidi listrik dan BBM. ROSARI SALEH Guru Besar Departemen Fisika FMIPA Universitas Indonesia
  • 44. Hilirisasi dan Kutukan SDA Gagasan bahwa kekayaan sumber daya alam (SDA) bukan berkah, melainkan musibah sudah berkembang sejak tahun 1980-an. Ekonom Inggris Richard Auty melihat betapa pertumbuhan ekonomi negara yang kaya SDA justru lebih lambat ketimbang negara-negara yang miskin SDA. Ada banyak alasan yang menjelaskan fenomena tersebut. Misalnya, kekayaan SDA justru kerap memicu terjadinya konflik internal di negara itu. Muncul faksi-faksi yang pada akhirnya semua bertujuan menguasai kekayaan SDA tersebut. Selain konflik internal, ada juga konflik dengan pihak eksternal. Contohnya, Irak yang mencoba menginvasi Kuwait sehingga terjadilah Perang Teluk pada 1990. Atau kalau Anda mau contoh aktual adalah ketegangan antara China dan Vietnam akibat BUMN migas China, CNOOC, yang memasang anjungan minyak lepas di kawasan perairan yang masih menjadi sengketa. Bagaimana konflik di Papua yang tak kunjung reda? Itu pun tak lepas dari keberadaan tambang tembaga dan emas terbesar di dunia tentunya. Penelitian yang lain juga menunjukkan negara-negara yang kaya SDA cenderung lebih korup dan represif. Perekonomian negara-negara tersebut tidak dikelola secara benar sehingga kekayaan SDA tak berimbas pada membaiknya kesejahteraan masyarakat. Ingat saat kita menikmati oil boom di tahun 1970-an, kita justru mengalami krisis korupsi Pertamina di era mendiang Ibnu Sutowo. Jangan lupa pula, krisis yang menimpa politisi yang menaungi sektor pertambangan setelah ditangkapnya mantan Kepala SKK Migas oleh KPK belum lama ini. Namun benarkah mitos-mitos tersebut tak lagi terbantahkan? Sebetulnya tidak juga. Kalau kita melihat negara-negara seperti Qatar atau Uni Emirat Arab, mereka berhasil menggunakan kekayaan SDA-nya sebagai modal untuk melakukan transformasi perekonomian. UEA kini menjadi salah satu negara jasa terbesar di dunia. Hanya saja, harap maklum, mereka harus menjadi anak baik dari induk The Seven Sisters. Posisi Tawar Dalam konteks ini, saya melihat program hilirisasi yang dilakukan pemerintah harusnya bisa menjadi salah satu cara untuk mengatasi kutukan SDA tadi. Program ini bukan hanya bertujuan meningkatkan nilai tambah SDA, tapi juga untuk menciptakan banyak lapangan kerja. Kini program hilirisasi sudah memasuki babak-babak yang menggembirakan. Freeport dan Newmont, dua raksasa dalam bisnis mineral dunia, sudah menyatakan kesediaannya untuk membangun pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter) di sini. Padahal,
  • 45. semula keduanya ngotot menolak. Bahkan, mereka mengancam bakal terjadi PHK besar- besaran jika program hilirisasi dipaksakan. Sejak jauh-jauh hari saya melihat ancaman tersebut tak mungkin mereka laksanakan. Mengapa? Melalui website keduanya, kita bisa membaca bahwa posisi Indonesia terlalu penting bagi mereka. Sebanyak 27% cadangan tembaga dan 96% cadangan emas Freeport ada di Indonesia. Untuk Newmont, 40% cadangan tembaganya juga ada di sini. Jadi, posisi tawar kita dalam konteks negosiasi hilirisasi, kalau politik kita berintegritas tinggi, sebetulnya sangat kuat. Saya pun percaya hilirisasi juga akan memberikan banyak nilai tambah bagi kita. Misalnya, ada yang menyebut dalam rentang waktu 2017–2023, kita bakal memperoleh nilai tambah USD268 miliar atau setara dengan Rp3.082 triliun. Ini berarti hampir dua kali lipat dari nilai APBN 2014 yang Rp1.816triliun. Selain itu, program ini juga bakal memicu kemunculan industri- industri turunannya (supply chain) dan usaha-usaha pendukung lain. Misalnya makanan dan minuman, bahkan mungkin properti, dan sebagainya. Tentu ada masalah lain, yaitu masalah sosial dan kurangnya pasokan listrik. Kalau mereka dipaksa membangun smelter dan mereka menyedot listrik yang kita pakai di pulau yang padat ini (Jawa), bisa Anda bayangkan apa jadinya Indonesia? Bukankah anak-anak sekolah, rumah sakit, perdagangan dan pertokoan, serta pabrik-pabrik akan kena dampaknya? Manfaat lain dalam bentuk substitusi impor. Ini tentu bakal menghemat devisa. Kita setiap tahun terpaksa mengimpor alumina, di antaranya dari China, sebanyak 500.000 ton. Padahal, bauksit sebagai bahan baku pembuatan alumina aslinya didatangkan dari negara kita. Jadi, kita mengekspor bauksit dan setelah diolah menjadi alumina kita impor kembali. Fenomena ini tentu amat menyakitkan. Namun semua manfaat itu tak bakal kita peroleh secara gratis. Bahkan kita harus melewati beberapa tahap yang menyakitkan. Misalnya, menurut Badan Pusat Statistik (BPS), peran ekspor dari sektor pertambangan untuk kuartal I 2014 turun menjadi 4,5%. Padahal, tahun sebelumnya masih 6,5%. Keberhasilan kita memetik manfaat akan sangat ditentukan dari kemampuan kita bertahan dalam melewati tahap-tahap sulit, yang diperkirakan berlangsung selama dua sampai empat tahun. The Art of Deal Donald Trump dalam bukunya The Art of Deal (2004) menekankan betul prinsip “lindungi yang di bawah, maka yang di atas akan berjalan dengan sendirinya”. Maksudnya, dalam setiap negosiasi, kita juga harus menghitung kemungkinan-kemungkinan terburuk. Jika kita mampu melewati periode yang terburuk, hal-hal yang baik akan berjalan dengan sendirinya. Contohnya, ketika memulai bisnis kasino di Atlantic City, banyak masalah yang harus Trump hadapi. Izin yang berbelit-belit, besarnya biaya, dan banyaknya orang yang meninggalkan kota tersebut. Kondisi itu tidak membuat Trump menyerah. Saat-saat sulit bagi mereka yang