PPT KEGIATAN MENGOLAKASIAN DANA SUKU BUNGA KLP 4.pptx
(Sindonews.com) Opini ekonomi 12 Mei 2014-2 Juni 2014
1. Mitigasi Perlambatan Emerging Market
Sejak pertengahan 2013 hingga triwulan I 2014, sejumlah negara berkembang terus
menghadapi tekanan pembalikan arah ekonomi Amerika Serikat (AS) pascakrisis 2008
menyusul kebijakan Bank Sentral AS (The Fed) yang secara bertahap menghentikan
stimulus.
Hal ini memicu volatilitas arus modal khususnya bagi negara-negara berkembang yang
selama ini tumbuh akibat capital inflow melimpah beberapa tahun terakhir. Akibatnya terjadi
depresiasi nilai tukar mata uang di negara-negara berkembang diikuti dengan lonjakan inflasi
(di samping volatilitas harga komoditas akibat cuaca ekstrem). Volatilitas arus modal ini juga
memberi sentimen negatif bagi likuiditas negara-negara berkembang yang menyebabkan
banyak di antaranya menaikkan suku bunga acuan untuk menahan arus modal yang keluar
dan mengendalikan kenaikan inflasi.
Kondisi di atas merupakan tantangan pemulihan global saat ini khususnya bagi negara-negara
berkembang yang memiliki struktur ekonomi yang rentan dengan defisit transaksi berjalan
yang besar. Negara-negara seperti Brasil, India, Turki, dan negara-negara Afrika merupakan
kelompok negara berkembang yang mengalami hal ini. Realitas ini mendorong banyak
pandangan yang menilai pemulihan global masih dalam tren mencari bentuk yang ideal
mengingat ketidakseimbangan struktur ekonomi global yang selama ini terjadi telah
menghadirkan ambiguitas dalam proses pemulihannya.
Negara-negara berkembang seperti China, Brasil, dan India yang pada tahun 2010-2011
menopang pertumbuhan ekonomi global kini mengalami perlambatan yang berkelanjutan
sejak 2012. China pada periode Januari– Maret 2014 hanya mampu bertumbuh 7,4%
(pertumbuhan terendah sejak triwulan III 2012) atau lebih rendah dari pertumbuhan pada
periode yang sama tahun lalu sebesar 7,7%. Kebijakan ekonomi China dalam mencari
keseimbangan baru pascaperubahan orientasi pertumbuhan ke berbasis konsumsi domestik
menunjukkan tren perlambatan yang terus menurun sejak 2012. Tahun 2014, Dana Moneter
Internasional (IMF) memprediksi pertumbuhan China berada pada level 7,5% dan 7,3% pada
tahun 2015.
Melambatnya pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang seperti China, Brasil,
Tiongkok, India, dan negara-negara Afrika mendorong beberapa lembaga internasional
seperti Bank Dunia dan IMF merevisi proyeksi pertumbuhan negara-negara berkembang
termasuk untuk kawasan Asia. Meningkatnya arus modal keluar dari negara berkembang
yang mendorong ketatnya likuiditas, ancaman inflasi, dan depresiasi nilai tukar menjadi
argumentasi revisi ke bawah pertumbuhan negara-negara berkembang. Tentunya kondisi ini
juga dikhawatirkan oleh negara- negara berkembang lainnya khususnya yang memiliki
interdependensi ekonomi yang tinggi dengan negara-negara berkembang yang sedang
2. melambat.
Hal ini pula yang kini dihadapi Indonesia mengingat China merupakan mitra dagang terbesar
yang menguasai 20% pangsa pasar ekspor Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS) pada 5 Mei
2014 mengumumkan data pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) Indonesia periode
triwulan I 2014 sebesar 5,21% (yoy). Seluruh sektor mengalami pertumbuhan kecuali sektor
pertambangan dan penggalian yang turun sebesar 0,38%. Sektor pengangkutan dan
komunikasi adalah sektor dengan pertumbuhan tertinggi sebesar 10,23%.
Dari sisi pengeluaran, pertumbuhan triwulan I 2014 didukung konsumsi rumah tangga
sebesar 5,61%, pembentukan modal tetap bruto (PMTB) 5,13%, dan konsumsi pemerintah
3,58%. Adapun ekspor dan impor masing- masing mengalami kontraksi sebesar 0,78% dan
0,66%. Pertumbuhan triwulan I 2014 sebesar 5,21% disebabkan berkontraksinya ekspor riil
khususnya di sektor pertambangan seperti batu bara dan konsentrat mineral. Kontraksi ini
dipicu melemahnya permintaan global terutama menurunnya permintaan dari China. Ekspor
Indonesia ke China periode Maret 2014 turun 11,3% dibandingkan periode yang sama tahun
sebelumnya.
Selain itu volatilitas harga komoditas dunia juga memberi andil penekanan kinerja ekspor
nasional. Harga seperti komoditas tembaga turun 8,1%, batubara turun 5,2%, dan karet yang
paling dalam mencapai 15,6%. Walaupun lebih rendah dari target dan pertumbuhan triwulan
sebelumnya, pertumbuhan 5,21% di triwulan I 2014 masih berada pada kategori pertumbuhan
tinggi di dunia saat ini di tengah perlambatan yang dalam dialami negara-negara lain.
Pertumbuhan triwulan I 2014 sebenarnya dapat dipahami sebagai akumulasi tekanan yang
dihadapi baik yang bersumber dari sisi eksternal maupun internal.
Dari sisi eksternal, pertama, harga komoditas global yang terus menurun akibat cuaca
ekstrem dan perlambatan permintaan global. Kedua, tertekannya permintaan global
khususnya bersumber dari negara-negara yang selama ini dengan permintaan terbesar seperti
China, Amerika, Jepang, dan Eropa. Ketiga, permintaan pada lapis kedua di negara-negara
berkembang juga terkendala perlambatan ekonomi yang sedang dihadapi. Adapun dari sisi
internal, ancaman defisit transaksi berjalan beberapa waktu lalu mendorong pemerintah untuk
melakukan pengendalian importasi dan pelarangan ekspor mineral mentah.
Lazimnya, setiap kebijakan memiliki konsekuensi (trade-off). Sama halnya dengan kebijakan
pengendalian impor dan pembatasan ekspor mineral mentah. Bagi Indonesia saat ini,
fundamental ekonomi terus membaik walau masih dibayang-bayangi tekanan perlambatan
global terutama dari negara-negara mitra strategis seperti China dan Jepang. Struktur dan
fundamental ekonomi nasional terus menunjukkan perbaikan yang positif. Kinerja neraca
transaksi berjalan terus menunjukkan tren yang membaik. Defisit transaksi berjalan pada
triwulan I 2014 turun menjadi USD4,2 miliar (2,06% PDB) dibandingkan USD4,3 miliar
(2,12% PDB) pada triwulan IV 2013.
Kepercayaan pasar terhadap perekonomian nasional terus melanjutkan tren peningkatan. Hal
3. ini terlihat dari total aliran dana asing yang masuk triwulan I 2014 mencapai USD12,3 miliar
atau meningkat dari USD10,5 miliar pada triwulan IV 2013 sehingga pada periode triwulan I
2014 terjadi surplus transaksi modal dan finansial sebesar USD7,8 miliar. Perbaikan transaksi
berjalan dan surplus transaksi modal dan finansial mendorong surplus neraca pembayaran
Indonesia (NPI) triwulan I 2014 sebesar USD2,1 miliar. Surplus NPI ini pula yang
mendorong kenaikan cadangan devisa yang mencapai USD105,6 miliar pada akhir April
2014.
Di sektor riil, survei BPS menunjukkan Indeks Tendensi Bisnis (ITB) pada triwulan I 2014
sebesar 101,95 atau meningkat dari triwulan sebelumnya akibat peningkatan kapasitas
produksi. Meningkatnya kapasitas produksi juga dikonfirmasi oleh data pertumbuhan
produksi baik untuk industri manufaktur besar-sedang (tumbuh 3,76%) maupun industri
mikro-kecil (tumbuh 4,41%). Untuk terus mendorong kapasitas ekonomi nasional terutama
menghadapi tekanan perlambatan global, pemerintah terus mendorong sektor-sektor strategis
yang mampu memberi efek pengganda lebih besar bagi peningkatan kesejahteraan
masyarakat.
Untuk mengantisipasi perlambatan global, pemerintah sedang menyiapkan kebijakan
relaksasi seperti revisi Daftar Negatif Investasi (DNI) untuk menstimulasi investasi masuk ke
Indonesia. Sektor investasi baik untuk pembangunan infrastruktur maupun sektor riil
diharapkan dapat memperbesar kapasitas ekonomi nasional di masa mendatang. Selain itu,
program industrialisasi dan hilirisasi juga diharapkan tidak hanya mendorong daya saing
nasional, tetapi juga memperluas kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Begitu pula dengan program MP3EI yang sedang berjalan seiring dengan pengembangan
kawasan ekonomi khusus di sejumlah titik. Saya optimistis dan percaya, transformasi
ekonomi nasional yang sedang berjalan ini akan mempercepat pencapaian tujuan
pembangunan nasional, yakni peningkatan kesejahteraan masyarakat yang seluas-luasnya.
PROF FIRMANZAH PhD
Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi dan Pembangunan
4. Shadow Economy di Ukraina
Jarak antara Jakarta ke Kiev, ibu kota Ukraina, terbilang jauh, 9.500 km, dan jumlah orang
Indonesia yang menetap di Ukraina tidak sampai 60 orang. Namun suasana sosial politik
yang berkembang di Ukraina patut dicermati. Ukraina berada atau mungkin sudah di ambang
perang saudara.
Hal itu memprihatinkan karena apabila benar-benar terjadi konflik bersenjata, hal itu menjadi
perang saudara baru setelah perang saudara di wilayah Bosnia-Serbia dan tentu saja di
sejumlah daerah lain di Timur Tengah. Ukraina memiliki berbagai keunikan. Posisi geografis
mereka yang sangat strategis dan ketergantungan sejumlah negara besar kepada Ukraina
ternyata justru mempersulit upaya keluar dari risiko perang saudara yang berdarah itu.
Sejumlah fakta yang berkembang di Ukraina patut menjadi refleksi bersama tentang kondisi
dan tren persaingan politik dan ekonomi antarnegara.
Ukraina juga sebuah negara yang memperoleh jaminan keamanan dari gangguan negara-
negara lain berkat kesepakatan antara Rusia, Amerika, dan Eropa sebagai kompensasi atas
pelucutan senjata nuklir warisan Uni Soviet yang tersebar di wilayah tersebut. Walaupun
dalam konteks sejarah Ukraina pernah bersama dengan Rusia di bawah Uni Soviet, selepas
keruntuhan Uni Soviet Ukraina lebih nyaman bergaul dengan NATO dalam soal keamanan
militernya.
Mempertimbangkan faktor- faktor tersebut dan membandingkannya dengan negara-negara
eks Uni Soviet yang tidak memiliki keistimewaan serupa, seharusnya Ukraina bisa lebih
fokus memikirkan pertumbuhan ekonominya. Namun, dalam kenyataan tidak demikian.
Ukraina adalah negara yang dikaruniai tanah pertanian subur, lengkap dengan pelabuhan
yang strategis dan indah menghadap ke Laut Hitam. Dengan jumlah penduduk 44 juta jiwa
dan pendapatan per kapita USD7.300, Ukraina pernah mengalami masa pertumbuhan
ekonomi yang cukup menjanjikan ketika pecah dari Uni Soviet pada 1991.
Saat itu pemerintah menerapkan liberalisasi ekonomi dan melakukan sejumlah privatisasi
perusahaan. Tapi keterbukaan ekonomi itu tidak berlangsung lama, hanya beberapa tahun,
karena ada resistensi dari sejumlah politisi dan anggota legislatif. Ukraina juga adalah
wilayah di mana kepentingan ekonomi Rusia sangat terkait, terutama dalam produk energi
seperti gas. Di tahun 2004–2005, hampir 80% gas yang dijual ke Eropa Barat telah melalui
jaringan pipa gas di Ukraina. Fakta tersebut membuat daya tawar Ukraina tinggi terhadap
Rusia sehingga mereka bisa membeli gas dengan harga di bawah pasar.
Meski demikian, keistimewaan tersebut tidak dikelola dengan baik oleh Ukraina.
5. Pertumbuhan ekonomi di Ukraina tidak optimal karena kegiatan shadow economy mereka
(transaksi ”bawah tanah” yang tidak tercatat, ilegal, dan merugikan perekonomian formal)
terbilang besar. Jumlahnya mencapai 20%. Korupsi juga terjadi secara masif. Tahun 2013,
Transparansi Internasional (TI) menempatkan Ukraina di posisi ke-144 dari 175 negara dari
segi persepsi korupsi.
Fakta paling mencengangkan yang menjadi buah bibir di Ukraina adalah rumah supermewah
yang dimiliki Viktor Yanukovych, Presiden Ukraina yang tersingkir dalam kerusuhan 2014,
padahal pengangguran di Ukraina sangat tinggi (mencapai 25%) dan pertumbuhan ekonomi
menurun terus sejak 1999, kini bahkan minus dan menjadi negara dengan prospek
perekonomian buruk sejak krisis Eropa terjadi. Utang luar negeri Ukraina juga makin
bengkak, apalagi karena mata uang mereka terus melemah. Apa yang mendorong shadow
economy di Ukraina terus menggurita tidak lain karena lemahnya reformasi hukum, politik,
dan ekonomi.
Laporan-laporan dari lembaga dunia seperti IMF, World Bank, OECD atau PBB
menyebutkan sejumlah aktivitas kriminal seperti pencurian, mafia, perdagangan manusia,
perdagangan senjata hingga kejahatan kerah putih dalam sistem keuangan sangat marak
terjadi di Ukraina. Hal yang lebih parah, gas yang diekspor ke Eropa melalui pipa yang
tertanam di wilayah Ukraina ternyata dicuri. Kecurigaan ini timbul karena Rusia mendapat
keluhan dari pelanggan tetap mereka di Eropa yang mengatakan volume gas mereka terus
menurun.
Harga gas yang murah dari Rusia ternyata tidak dapat mengurangi shadow economy di negara
itu. Kegiatan ilegal telah menyebabkan pendapatan negara menjadi berkurang hampir
setengahnya. Padahal, mereka harus tetap membayar tagihan-tagihan baik untuk pengeluaran
rutin seperti membayar gaji pegawai negeri, guru, tentara, pejabat publik lain maupun untuk
membayar tagihan dari aktivitas perdagangan dengan negara lain. Hal ini juga menyebabkan
kesehatan masyarakat semakin buruk. Ukraina adalah negara yang mengalami penurunan
jumlah penduduk tercepat. Angka kematian bayi mereka adalah 9,1 per 1.000 kelahiran.
Pertumbuhan penduduk mereka minus. Pajak-pajak yang diberlakukan terhadap aktivitas
ekonomi yang legal tidak dapat menolong karena jumlahnya memang kecil. Konflik yang
terjadi di Ukraina sebetulnya dapat dilihat sebagai hal yang positif bagi Ukraina untuk
memperbaiki atau melanjutkan reformasi politik dan ekonomi, khususnya untuk mengatasi
masalah korupsi dan aktivitas ekonomi ilegal lain. IMF telah berjanji akan mengucurkan dana
sebesar USD17 miliar untuk membantu perekonomian Ukraina selama dua tahun. Bantuan ini
tidak lepas dari lobi yang dilakukan negara-negara Eropa dan Amerika Serikat agar ekonomi
Ukraina tidak tenggelam semakin dalam.
IMF sendiri pernah memberikan bantuan kepada Ukraina sebesar USD15 miliar di tahun
2010 dengan syarat bahwa negara itu harus mengurangi subsidi energinya. Tekanan itu
menjadi syarat pinjaman karena harga BUMN Gas Pemerintahan Ukraina, Naftogaz, hanya
menjual seperempat harga gas yang diimpornya. Ukraina tidak mau mengurangi subsidi
6. gasnya karena kebanyakan industri adalah energy-incentives economy. Walaupun syarat itu
tidak dipenuhi, hal yang membuat IMF akhirnya membatalkan atau membekukan bantuan
mereka pada 2011 adalah karena gagalnya pemerintah mencegah korupsi.
IMF melaporkan bahwa USD37 miliar telah hilang semasa pemerintahan Viktor
Yanukovych, artinya dua kali lipat dana yang diberikan IMF. Di sini Indonesia perlu melihat
krisis di Ukraina secara proporsional. Memang ada ketegangan politik yang kini berkembang
antara AS dan sekutunya di Uni Eropa dengan Rusia, tetapi jika dicermati lebih lanjut,
Ukraina sendiri menyimpan masalah pelik. Ironisnya, kecemasan yang dirasakan AS, Uni
Eropa, dan Rusia (karena mereka merasa punya taruhan ekonomi di Ukraina) justru
membelenggu Ukraina dalam krisis yang lebih dalam.
Artinya, betapapun strategisnya posisi suatu negara dan betapapun upaya berdiplomasi
dengan negara-negara besar dilakukan, jika pengelolaan ekonominya seadanya,
melanggengkan cara-cara kotor dan ilegal, dan pemimpinnya memilih jalan selamat sendiri-
sendiri yang tidak tabu membangun istana di atas kesengsaraan rakyatnya, maka negara
tersebut akan ambruk. Lebih buruk lagi, keambrukan tersebut akan menyinggung konflik
antarkelompok etnis dan keturunan serta membuat suasana makin membingungkan dan kacau
bagi orang-orang awam. Inilah katalis bagi perang saudara yang ingin dihindari siapa pun.
DINNA WISNU, PhD
Co-Founder & Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi, Universitas Paramadina
@dinnawisnu
7. Sukses Model Bisnis Alibaba
Di tengah era digital seperti saat ini, bisnis yang berbasis internet semakin menjamur dan
banyak dipilih oleh usahawan yang baru memulai bisnis. Namun, di tengah tren itu, para
pelaku usaha perlu menyadari bahwa tanpa model bisnis yang jelas, bisnis berbasis internet
seringkali tidak menghasilkan keuntungan yang baik.
Kita telah mengenal perusahaan-perusahaan raksasa seperti Yahoo, Google, dan Facebook.
Selain kejelasan value proposition dari masing-masing produk, perusahaan tersebut juga
sukses memperhitungkan aspek bisnis secara matang sehingga dapat menjaga kelangsungan
profitabilitasnya. Nama besar berikutnya yang tampaknya akan disejajarkan oleh raksasa-
raksasa teknologi tersebut adalah Alibaba, perusahaan e-commerce terbesar di dunia saat ini.
Saat kita lebih sering mendengar Amazon.com atau e-Bay, Alibaba merajai pasar e-
commerce di China. Melalui grup yang terafiliasi dalam Alibaba, telah terjadi transaksi
senilai USD248 miliar yang dilakukan oleh 231 juta akun pembeli aktif pada 2013. Pada tiga
kuartal terakhir pada 2013, Alibaba membukukan laba bersih senilai USD2,9 miliar.
Bandingkan dengan Amazon yang mencatatkan laba senilai USD274 juta maupun e-Bay
senilai USD2,8 miliar USD untuk sepanjang 2013.
Tiga Elemen Utama Bisnis Alibaba
Kesuksesan bisnis Alibaba ditopang tiga elemen utama. Alibaba memiliki dua toko online
terbesar di China yaitu Taobao dan TMall. Dua bisnis unit tersebut bekerja sebagai dua
sumber pendapatan terbesar bagi Alibaba. Kesuksesan Alibaba juga ditopang keberadaan
Alipay sebagai layanan pembayaran online terbesar ketiga di China. Layanan ini menjadi
penopang yang penting bagi dua bisnis utama di atas. Elemen pertama adalah situs yang
mempertemukan penjual dan pembeli, Taobao.
Taobao merupakan unit bisnis pertama yang dikembangkan Alibaba guna memfasilitasi
produsen lokal China untuk dapat memasarkan barangnya kepada konsumen di seluruh dunia.
Model kerja dari situs Taobao paling serupa dengan e-Bay. Taobao menjadi marketplace
yang berperan layaknya perantara bagi para penjual dan pembeli. Dengan dukungan sistem
yang baik, Taobao menjadi mesin pencari layaknya Google bagi para pembeli yang mencari
barang-barang kebutuhan. Hingga Maret 2014 Taobao menawarkan lebih dari 760 juta
produk dari tujuh juta penjual yang berbeda.
Elemen kedua adalah situs TMall yang merupakan unit bisnis yang lebih baru. TMall
merupakan singkatan atas Taobao Mall, situs dengan konsep mal elektronik yang menjual
8. produk-produk dari penjual yang lebih besar. Dengan desain yang demikian, TMall menjadi
tempat bagi produsen maupun toko ritel yang lebih besar untuk memasarkan produk dengan
merek dagang tertentu seperti Nike, Gap, dan yang paling baru adalah Apple Store.
Untuk menyokong dua bisnis utama Alibaba tersebut, Alipay menjadi solusi bagi para
pengguna dalam melakukan pembayaran yang aman secara online. Awalnya gagasan untuk
mendirikan Alipay adalah isu ketidakpercayaan pembeli pada para penjual di situs Taobao.
Alipay menyediakan layanan pembayaran yang melindungi para pembeli jika penjual tidak
mengirimkan barang yang telah dibeli. Dengan sistem pembayaran yang terintegrasi dan
aman, Alipay tumbuh menjadi penyedia layanan pembayaran berskala dunia hanya dalam
delapan bulan.
Sumber Pendapatan yang Jelas
Dalam membangun sebuah bisnis berbasis internet, pelaku bisnis seringkali lupa untuk
memberi perhatian pada sumber pendapatan atau revenue stream dalam rancang bangun
sebuah model bisnis. Kesuksesan bisnis Alibaba tidak terlepas dari penentuan sumber
pendapatan yang jelas pula. Masing-masing unit bisnis memiliki model yang berbeda
sehingga perlu dirancang sumber pendapatan yang sesuai. Untuk Taobao, Alibaba
menawarkan value proposition sebagai perantara yang bebas biaya. Karena itu, Alibaba tidak
menarik pungutan atau biaya bagi mereka yang ingin menawarkan produknya melalui
Taobao.
Dengan tawaran demikian, Taobao sukses merangkul para penjual berbondong-bondong
memenuhi situs dengan beragam produk. Value proposition bebas biaya semacam ini untuk
menarik minat para pengusaha kecil di China sesuai karakteristik mereka. Taobo memiliki
sumber pendapatan yang lain. Dengan situs yang dibanjiri jutaan produk dari jutaan penjual,
Taobao menawarkan jasa iklan maupun jasa lain agar penawaran penjual tertentu lebih
menarik dibanding penjual lain. TMall yang menyasar penjual dan produsen yang lebih besar
memiliki model yang berbeda.
TMall menarik biaya deposit, biaya tahunan, dan komisi untuk setiap transaksi dari masing-
masing merchant. Dengan model bisnis yang jelas dan didesain secara baik, Alibaba juga
menjadi penyumbang terbesar pada industri pengiriman paket kecil (parcel) di China.
Alibaba menyumbang lebih dari setengah dari industri pengiriman parcel di negara tersebut.
Segala kesuksesan dari bisnis Alibaba tersebut masih akan diikuti pertumbuhan berikutnya.
Dengan pengguna internet sebanyak 618 juta di negara tersebut, Alibaba masih memiliki
ruang untuk tumbuh.
Kesuksesan bisnis Alibaba telah mengubah hidup salah satu pemiliknya, Jack Ma. Dengan
kerja keras mulai 1999, Jack Ma yang dulunya guru Bahasa Inggris di Kota Hangzhou kini
menjadi biliuner pemilik sebuah perusahaan teknologi yang diakui dunia. Visi bisnis yang
dilengkapi model bisnis dan didesain secara utuh dan terukur dapat membawa pemilik bisnis
seperti Jack Ma memiliki bisnis yang menguntungkan dan berkelanjutan di tengah era digital
9. seperti saat ini. ●
ALBERTO HANANI
Founder dan Managing Partner BEDA & Company
10. Kemarahan Para Pemimpin Daerah
Saya senang ketika Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo marah-marah. Memang
keterlaluan. Di depan matanya sendiri, ia melihat petugas di jembatan Timbang Subah,
Batang, Jawa Tengah menerima suap dari seorang kernet truk. Hari gini, berseragam dinas
masih nekad terima suap?
Gubernur Ganjar pantas geram. Akibat suap tadi, truk-truk dengan kelebihan muatan bebas
lalu-lalang di jalan-jalan di wilayahnya. Akibatnya, jalan-jalan cepat rusak. Dan, kerusakan
jalan tersebut harus dibayar dengan harga yang sangat mahal: kemacetan dan kecelakaan.
Perbaikan jalan-jalan itu juga menghabiskan biaya tidak sedikit. Perbaikan jalan di pantai
utara (pantura), misalnya, biayanya mencapai Rp1 triliun per tahun. Dan jauh sebelum bulan
Ramadan, tahukah Anda sekarang saja sudah kembali rusak parah. (Saya jadi teringat cerita
tentang mafia Italia. Di sana, sang mafioso sengaja membuat truk-truknya kelebihan muatan
agar jalan-jalan menjadi cepat rusak. Lalu, mafioso itu mendirikan perusahaan konstruksi
yang proyek utamanya adalah memperbaiki jalan-jalan yang rusak tadi. Jadi, uangnya
berputar di situ-situ saja. Mudah-mudahan yang terjadi di sini tidak seperti itu.)
Saya juga senang ketika Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini, marah-marah karena Taman
Bungkul rusak parah. Ia pantas marah. Taman yang dibangun selama bertahun-tahun dan
mendapat penghargaan sebagai taman terbaik se-Asia oleh PBB itu diinjak-injak massa saat
pembagian es krim gratis. Rakyat pasti bertanya, siapa yang memberi ijin dan mengapa tak
ada pencegahan?
Kemarahan akibat aksi bagi-bagi es krim gratis oleh perusahaan yang sama juga dilakukan
oleh Wali Kota Bandung, Ridwan Kamil. Aksi itu membuat Balai Kota Bandung dipenuhi
massa, sehingga memicu terjadinya kemacetan di mana-mana. Usai acara, Balai Kota pun
dipenuhi sampah bekas bungkus es krim. DiJakarta, rasanya kita sudah sering mendengar
Wakil Gubernurnya, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), memarahi jajaran bawahannya.
Bahkan dengan cara yang berbeda, Gubernur Joko Widodo pun demikian. Dulu Jusuf Kalla
juga begitu, yang dimarahi adalah birokrat senior dan pejabat tinggi yang malas membuat
keputusan, cari jalan aman, dan membiarkan uang rakyat mengendap di bank. Di seluruh
Indonesia ada banyak masalah birokrasi yang sudah begitu akut. Ibarat mesin, sudah berkarat
pertanda lama tidak dipakai.
Shock Therapy
Saya kira ada banyak alasan mengapa para pemimpin daerah belakangan harus marah-marah.
Dalam kasus Ganjar Pranowo, Risma, Ahok dan Jokowi, mereka harus berhadapan dengan
mesin birokrasi yang macet dan korup. Maka, kita harus membaca kemarahan mereka dalam
11. rangka membuat mesin atau organisasi itu kembali bekerja dan masyarakat menghormati
aturan. Jadi, kemarahan mereka ibarat shock therapy. Dalam banyak kasus, baik di
lingkungan pemerintahan maupun perusahaan swasta dan BUMN, shock therapy memang
cukup ampuh untuk membongkar macetnya mesin organisasi. Contohnya di PT Garuda
Indonesia Tbk.
CEO Garuda Indonesia, Emirsyah Satar, jengkel setiap kali melihat kondisi pesawat yang
kotor, terutama bagian dalamnya. Dan, yang lebih menjengkelkan lagi, dulu, banyak
karyawan yang kurang peduli dengan masalah ini. Mungkin mereka menganggap itu urusan
bagian lain. Untuk menggugah kepedulian mereka, selepas tengah malam, saat pesawat
tengah istirahat, Emirsyah Satar dan jajaran manajemen Garuda lainnya turun langsung
membersihkan interiornya. Kru pesawat dan karyawan Garuda lainnya kaget dan mereka
akhirnya ikut membersihkan.
Menurut saya, aksi shock therapy yang dilakukan Emir ada hasilnya. Sejak saat itu saya
melihat bagian dalam pesawat-pesawat Garuda relatif menjadi lebih bersih dan terawat. Di
organisasi pemerintahan, kondisinya lain lagi sehingga perubahan jauh lebih sulit. Shock
therapy atau berbagai program lainnya harus diikuti dengan mekanisme pengawasan yang
ketat. Jika tidak, program itu bisa berhenti di tengah jalan atau tidak memberikan hasil yang
sesuai harapan. Contohnya, masalah uji kir yang berada di bawah kendali Dinas Perhubungan
DKI Jakarta.
Unit ini mendapat shock therapy ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menduga ada
kasus korupsi di sana. Sayangnya sampai sekarang tak jelas benar bagaimana tindak lanjut
KPK atau dugaan tersebut. Kita saat ini hanya bisa melihat ujungnya, sebagaimana tercermin
dari mudahnya kita melihat kendaraan-kendaraan umum tak laik jalan yang begitu bebas
beroperasi di jalan-jalan raya Ibu Kota. Kita juga masih kerap mendengar terjadinya
kecelakaan kendaraan umum karena rem blong. Bagaimana mungkin kendaraan yang remnya
blong bisa lolos uji kir?
Marah dan Perubahan
Marah-marah ala Risma dan Ridwan Kamil mungkin lain nuansanya dengan kemarahan
Ganjar Pranowo dan Jokowi-Ahok. Risma dan Ridwan melakukannya agar masyarakat dan
para stakeholders mempunyai rasa memiliki (sense of belonging) terhadap fasilitas publik.
Kasus di Taman Bungkul dan Balai Kota Bandung jelas menggambarkan kurangnya rasa
memiliki itu. Demi sepotong es krim, mereka tega merusak taman dan mengotori balai kota.
Saya juga agak terkejut ketika perusahaan multinasional yang membagi-bagikan es krim
mengaku tak menduga kalau animo masyarakat dua kota tersebut sedemikian tingginya.
Bagaimana bisa? Dan, saya juga tidak melihat antisipasi yang memadai dari perusahaan itu
ketika melihat membeludaknya animo publik. Bahkan ada pengamat pemasaran yang
berpendapat, kerusakan yang menimbulkan kemarahan walikota adalah sebuah proses
branding yang luar biasa. Lho, kok begitu? Kini, kita semua sudah melihat dampaknya. Saya
12. setuju dengan kemarahan Risma dan Ridwan. Hari Senin yang lalu saya membawa
mahasiswa saya bertemu Wagub DKI, Basuki Tjahaja Purnama. Saya mengerti Ahok kini
jauh lebih berpengalaman dalam memarahi anak buahnya. Ia lebih luwes, namun tetap
genuine.
Padahal dulu saya sempat menasihatinya agar ”jangan membelah batu”. Tetapi sekarang saya
justru mengingatkan, ”teruskan!” Masyarakat butuh contoh perubahan yang riil, dan birokrasi
harus cepat berubah, serta memperbaiki pelayanan dan integritasnya. Bahkan proses
manajemennya pun harus ditata kembali. Saya senang mereka semua masih mau marah-
marah. Jika kemarahan mereka memang menghasilkan efek lebih baik ketimbang diam, maka
saya sangat menganjurkan keduanya—dan pemimpin daerah lainnya— untuk lebih berani
memarahi siapapun yang memang pantas dimarahi. Seperti kata Malcolm X, “…. ketika
mereka marah, mereka membuat perubahan.” Jadi, biarlah pemimpin kita marah-marah dan
kita menuai hasilnya: perubahan.
RHENALD KASALI
Pendiri Rumah Perubahan @Rhenald_Kasali
13. Penguatan Teknologi dalam Ekonomi
Koran SINDO
Senin, 19 Mei 2014
CAPAIAN ekonomi nasional dalam satu dekade telah mendorong upaya pergeseran orientasi
ekonomi masa depan.
Menguatnya fundamental ekonomi dan semakin kokohnya struktur ekonomi nasional
merupakan stimulus untuk mendorong akselerasi produktivitas nasional. Setelah berhasil
memperkuat struktur ekonomi dan daya beli domestik selama 10 tahun terakhir, ekonomi
nasional dihadapkan pada tantangan lima tahun berikutnya. Yaitu menjadi negara yang lebih
berdaya saing, produktif dan bernilai tambah di setiap aktivitas perekonomian. Periode lima
tahun ke depan (2014-2019) merupakan momentum pembangunan ekonomi yang ketiga
pasca-Reformasi.
Momentum pertama yakni pada periode 1999-2004, di mana penataan kelembagaan dan
peraturan perundang-undangan dilakukan untuk mewujudkan tata kehidupan bernegara
secara demokratis, good-governance dan lebih partisipatif. Orientasi kebijakan pembangunga
pada periode ini diarahkan melalui rancang bangun kelembagaan ekonomi dan instrumen
regulasi yang mengaturnya.
Momentum selanjutnya adalah momentum kedua atau periode 2004-2014 yang dijalankan
oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan dua agenda nasional yaitu
menjalankan produk kelembagaan pasca-Reformasi dan penguatan ekonomi domestik. Pada
periode ini, sejumlah kemajuan signifikan berhasil diwujudkan khususnya dalam bidang
ekonomi. Pertumbuhan ekonomi dapat terjaga positif, stabil dan berkesinambungan di tengah
krisis ekonomi global yang banyak menggerus ekonomi negara-negara lain.
Bahkan pada periode ini, ekonomi nasional menjadi salah satu ekonomi di dunia yang
dipandang berhasil mengelola ekonominya sehingga mampu meminimalkan risiko global
akibat sejumlah krisis ekonomi dunia. Positifnya kinerja ekonomi nasional di periode ini
dipertegas dengan naiknya peringkat investasi Indonesia ke zona investment grade oleh S&P,
Fitch, Moodys, dan R&I; serta bergabungnya Indonesia dalam kelompok G-20. Bahkan
beberapa waktu lalu, Bank Dunia merilis data yang menunjukkan ekonomi Indonesia di
peringkat 10 dunia berdasarkan gross domestic product purchasing power power parity
(GDP-PPP) bersama-sama dengan Amerika Serikat, China, India, Jepang, Jerman, Rusia,
Brasil, Prancis, dan Inggris.
Momentum ketiga yakni periode lima tahun ke depan 2014-2019, momentum di mana
14. pembangunan dan peningkatan ekonomi nasional masuk ke fase berikutnya yaitu ekonomi
bernilai-tambah (value added economy). Dalam value added economy peran teknologi
sangatlah penting dan strategis. Sistem ekonomi perlu memberikan ruang lebih besar bagi
pengembangan dan pemanfaatan teknologi dalam sistem produksi nasional. Tingkat utilisasi
dan intensitas teknologi merupakan penggerak ekonomi-ekonomi modern saat ini.
Teknologi tidak hanya hadir sebagai pembaharu dalam globalisasi tetapi juga telah
mendorong kemajuan peradaban, efisiensi penggunaan faktor produksi, produktivitas, dan
tentunya berkorelasi positif dengan tingkat kesejahteraan. McKinsey pada Mei 2013 merilis
laporan bagaimana teknologi telah mengubah banyak hal dalam keseharian manusia di dunia
saat ini. Dalam laporannya, perkembangan teknologi telah mengubah hampir seluruh
aktivitas manusia di dunia. Tidak hanya itu, teknologi telah mendorong efek ekonomi yang
besar baik bagi individu, kelompok/perusahaan, komunitas, negara, bahkan dunia.
Difusi dampaknya pun tersebar hampir di seluruh sektor mulai kesehatan, produksi,
manufaktur, pendidikan, administrasi pemerintahan, dan sebagainya. Kemajuan teknologi
berhubungan linear dengan perkembangan ekonomi dan daya saing suatu bangsa. McKinsey
memberi ilustrasi bagaimana multiplier effect dari kemajuan teknologi cloud saat ini dapat
meningkatkan produktivitas perusahaan-perusahaan global saat ini. Atau bagaimana
advanced robotic yang mampu mereformulasi biaya tenaga kerja global di masa mendatang.
Negara yang memiliki utilisasi dan intensitas teknologi yang tinggi dapat menghasilkan
output ekonomi (dan tentunya daya saing) yang lebih baik dibanding negara yang
tidak/belum mengintegrasikan teknologi. Maka tidak heran negara-negara yang menempati
peringkat atas daya saing global yang dikeluarkan oleh World Economic Forum merupakan
negara-negara dengan intensitas penggunaan teknologi dan R&D yang tinggi seperti
Finlandia, Swiss, Jerman, Amerika Serikat (AS), Jepang, Hong Kong, Taiwan, dan lain
sebagainya.
Negara-negara ini dikelompokkan sebagai innovation-driven economies yang tidak lain
adalah ekonomi bernilai tambah tinggi. Bagi Indonesia, sepanjang periode 2009-2014,
pemerintah telah mendorong kebijakan industrialisasi dan hilirisasi yang diharapkan akan
menjadi mesin untuk mendorong produktivitas dan daya saing nasional. Industrialisasi dan
hilirisasi diarahkan untuk menghasilkan barang-barang bernilai tambah yang memiliki
keuunggulan daya saing di tingkat global. Namun industrialisasi dan hilirisasi bukanlah
kebijakan tunggal yang berdiri sendiri.
Berbasis pengalaman di negara-negara berbasis teknologi/inovasi, kebijakan industrialisasi
kerapkali diikuti oleh rangkaian kebijakan lainnya sebagai satu kesatuan. Untuk periode lima
tahun berikutnya (2014-2019), Indonesia setidaknya membutuhkan akselerasi pembangunan
industrialisasi dan hilirisasi melalui beberapa rangkaian kebijakan: diharapkan lebih
mengakselerasi dengan melakukan serangkaian kebijakan: Pertama, optimalisasi lembaga-
lembaga penelitian seperti LIPI, BATAN, Puspitek Serpong, universitas, lembaga penelitian
dan pengembangan di bawah kementerian dan lembaga untuk lebih terlibat lebih aktif dalam
15. sistem produksi nasional.
Hal ini dapat dilakukan melalui sejumlah program kerja sama pemanfaatan hasil riset dan
penelitian baik dengan administrasi pemerintahan, BUMN dan yang terpenting dunia usaha.
Sinergi lembaga penelitian dengan dunia usaha dapat dilakukan melalui memperbayak
konsep science-park di kawasan industri. Kedua, insentif fiskal dapat menjadi kebijakan
untuk memberikan ruang pengembangan dan pemanfaatan teknologi dalam sistem produksi
perusahaan di Indonesia.
Pemberian keringanan pajak bagi perusahaan yang memiliki porsi alokasi anggaran R&D
dapat menjadi salah satu kebijakan. Ketiga, Kementerian BUMN dapat dijadikan salah satu
motor bagi pengembangan dan pemanfaatan teknologi melalui penugasan sejumlah
persentase anggaran untuk R&D. Selain itu juga, pemanfaatan dana CSR juga dapat diberikan
muatan bagi pendanaan aktivitas kreatif dan inovatif yang memiliki kandungan teknologi
solutif bagi sejumlah tantangan sosial dan lingkungan hidup.
Keempat, kerja sama antara Kementerian Riset dan Teknologi dengan kementerian lainnya
seperti Kementerian Perindustrian, Kementerian UKM dan Koperasi, Kementerian Pariwisata
dan Ekonomi Kreatif, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Perdagangan, perlu terus
diintensifkan. Menjadikan Kementerian Riset dan Teknologi untuk meningkatkan
pemanfaatan dan pengembangan teknologi bagi sistem birokrasi, daya saing produk nasional
serta produktivitas ekonomi domestik.
Dan kelima, penggunaan dan pemanfaatan teknologi hasil putra-putri Indonesia perlu
menjadi gerakan nasional. Melalui hal ini diharapkan dapat lebih mendorong dan
menggairahkan pengembangan dan pemanfaatan teknologi nasional. Budaya-berteknologi
bagi masyarakat Indonesia perlu dikembangluaskan. Sehingga masyarakat tidak hanya
menjadi pihak yang hanya mengonsumsi teknologi saja, melainkan juga mampu
mengembangkan dan menggunakan teknologi bagi aktivitas-aktivitas yang produktif.
Melalui optimalisasi potensi pengembangan teknologi dan utilisasinya bagi aktivitas
produksi, akan semakin terbuka lebar kesempatan bagi Indonesia untuk dapat menjadi
ekonomi berbasis inovasi atau ekonomi bernilai tambah tinggi sejajar dengan negara-negara
maju lainnya.
Dengan kelima kebijakan di atas, periode pembangunan lima tahun berikutnya yakni 2014-
2019 akan menjadi tonggak baru pembangunan nasional untuk membawa ekonomi selangkah
lebih maju lagi, menuju ekonomi yang lebih kompetitif dan berdaya saing.
PROF FIRMANZAH PhD
Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi dan Pembangunan
16. Energi Kreatif Kebangkitan Bangsa
Bagi Bangsa Indonesia, Mei merupakan bulan yang penuh momen berharga. Tanggal 1 Mei
diperingati sebagai Hari Buruh, 2 Mei Hari Pendidikan Nasional, dan 20 Mei Hari
Kebangkitan Nasional.
Hanya saja, kalaupun seabad lebih usia kesadaran berbangsa telah diletakkan, Indonesia baru
berada di peringkat ke-121 dari sisi Indeks Pembangunan Manusia (IPM) secara global.
Tentu saja, hal tersebut harus menjadi agenda mendesak bagi presiden-wakil presiden terpilih
beserta seluruh jajarannya untuk menjadikan Indonesia sebagai negara di level tinggi dalam
membangun manusianya. Sayangnya, soal pembangunan manusia belum mendapatkan
perhatian utama dari para calon presiden-wakil presiden yang kini sedang bertarung meraih
dukungan politik.
Hal ini terbukti dengan rendahnya wacana tentang hal tersebut daripada soal isu mencari
mitra koalisi. Padahal human capital dan pendidikan adalah tonggak kebangkitan yang harus
dijaga dan dipastikan mendapat perhatian utama kebijakan pembangunan. Pendidikan adalah
wahana anak muda Indonesia untuk dibekali ilmu pengetahuan dan keterampilan agar siap
berwirausaha ataupun memasuki dunia kerja. Pendidikan merupakan energi penggerak utama
kebangkitan manusia Indonesia yang bermoral, rasional, percaya diri, kreatif, dan berkualitas.
Antitesis dari apa yang disebutkan wartawan senior Mochtar Lubis tentang manusia
Indonesia yang hipokrit, tidak bertanggung jawab, berjiwa feodal, percaya takhayul, dan
berkarakter lemah. Tentu saja, walaupun telah lama, apa yang disampaikan Mochtar Lubis itu
masih relevan sebagai kritik ke dalam agar bangsa ini menyadari kekurangan dan bergegas
bangkit meraih kemajuan.
Anak Muda Kreatif
Beberapa waktu lalu, saya mendapat kesempatan bertemu dengan Nurana Indah Paramitha
bersama mitra bisnisnya dari GIST Amerika Serikat. Nurana salah satu contoh anak muda
yang memiliki energi kreatif luar biasa, tak pernah kehabisan ide bisnis. Sangat
membanggakan, dalam berbagai kesempatan berkunjung ke daerah-daerah di Indonesia dan
negara lain, bertemu dengan banyak sekali anak muda yang hebat dan penuh inovasi.
Merekalah kekuatan utama Indonesia di masa depan dengan segenap energi kreatif yang
dimiliki.
Di era ekonomi kreatif, human capital menjadi kunci keunggulan suatu bangsa. Sebuah
kesempatan maha penting untuk menyebar “virus berinovasi tiada henti” kepada generasi
17. muda. Kepada mereka harapan itu ditanamkan. Sejarah memberikan bukti, perubahan di
negeri ini selalu dimulai kaum muda. Dapat diakui, anak muda Indonesia memiliki
keunggulan dari sisi inovasi.
Dalam Global Competitive Index tahun 2013, Indonesia menempati peringkat ke-38.
Menariknya, inovasi menempati posisi tinggi di mana investasi perusahaan untuk inovasi
berada di peringkat ke-23. Anak muda kreatif dicirikan dengan komunitasnya yang
mengglobal, secara online, jaringannya mendunia dan memiliki pasar yang mendunia. Anak
muda yang seperti inilah, yang mengglobal, menjadi kekuatan untuk percepatan transformasi
Indonesia. Bayangkan bila kualitas pendidikan sangat baik, akan ada jutaan anak muda
Indonesia yang kreatif sebagai aktor utama kemajuan bangsa.
Pemimpin Transformatif-Inovatif
Kini energi bangsa harus difokuskan pada upaya memilih pemimpin bangsa yang mendorong
peningkatan pembangunan manusia Indonesia. Waktu yang tepat, harapan harus tetap
dipelihara dan upaya bersama membangun bangsa harus dikomandoi oleh manusia Indonesia
terbaik. Dalam upaya mendorong percepatan kemajuan bangsa, perpaduan pemimpin
transformatif-inovatif dengan anak muda yang kreatif akan menjadi kekuatan dahsyat.
Pemimpin yang tidak hanya di level nasional, tetapi juga lokal. Mereka yang berhasil
mencairkan kebekuan dan kerumitan birokrasi. Melayani tiada henti dan sejumlah terobosan
yang cerdas untuk menyejahterakan rakyatnya. Indikatornya sangat sederhana: pembangunan
pendidikan, sosial-budaya, kesehatan, pelayanan perizinan, dan kepentingan publik lainnya
sangat mudah, murah, dan cepat. Selain itu, lapangan kerja tersedia, fasilitas publik dan
infrastruktur tercukupi dengan baik.
Mereka berhasil mentransformasikan birokrasinya menjadi pelayan dan rakyatnya semakin
sejahtera. Energi kreatif kebangkitan bangsa ada pada anak muda dan pemimpinnya. Presiden
baru diharapkan untuk fokus pada penguatan pendidikan, kewirausahaan, dan penyebaran
nilai kepedulian yang menjadi fondasi dasar, rantai penguat bagi upaya membangun
Indonesia yang berdaulat dalam jangka panjang. Memang telah cukup banyak anak muda
kreatif, tetapi harus terus ditingkatkan.
Kini tinggal menunggu pemimpin nasional dan lokal, simbol bangsa, dan teladan yang
memberikan inspirasi. Kita telah memiliki Tri Rismaharini di Surabaya, Ridwan Kamil di
Bandung, Bima Arya di Bogor, Nurdin Abdullah di Bantaeng, Ganjar Pranowo di Jawa
Tengah, Abdullah Azwar Anas di Banyuwangi, Mohammad Ramdhan Pomanto di Makassar,
dan Hendrar Prihadi (Hendi) di Semarang. Mereka telah dan tengah berkarya di daerah
masing-masing, juga berkontribusi pada sebagian persoalan bangsa.
Kita berharap akan semakin banyak pemimpin daerah yang inspiratif dan transformatif.
Optimisme dan kepercayaan diri harus tetap dijaga karena itu modal utama untuk
mengakselerasi capaian kesejahteraan. Kerja keras, cerdas, tuntas, dan ikhlas dalam
18. kegotongroyongan seluruh elemen bangsa sangat diperlukan untuk merealisasi cita-cita
Indonesia agar setara antara potensi dan realisasinya. ●
SANDIAGA S UNO
Presiden Direktur PT Saratoga Investama Sedaya Tbk, Ketua Yayasan Indonesia Forum
19.
20. Membangun Infrastruktur untuk Indonesia Lebih Baik
Selasa, 20 Mei 2014
KENDATI ekonomi dunia tengah mengalami konsolidasi menuju keseimbangan baru yang
ditandai dengan proyeksi pertumbuhan global yang mulai menguat, perekonomian Indonesia
dinilai masih memiliki prospek baik bagi investasi.
Kebangkitan perekonomian dunia diharapkan berimbas positif terhadap perekonomian
Indonesia. Apalagi menurut McKinsey Global Institute, perekonomian Indonesia akan
menjadi terbesar ketujuh pada tahun 2030. Bahkan menurut JimO’Neill, mantan chief
economist Goldman Sach yang menggagas konsep BRICs dan MINT, dalam Indonesia
Investment Summit 2013, Indonesia berpotensi menjadi ekonomi terbesar dunia keenam pada
2025. Dua proyeksi tersebut bukan sesuatu yang absurd, tapi niscaya bisa dicapai dengan
beberapa persyaratan dan kondisi tertentu.
Untuk mencapai hal tersebut sekaligus guna memitigasi potensi risiko dan ketidakpastian
ekonomi dunia yang masih terasa hingga kini, diharapkan pemerintah yang akan datang harus
tetap melakukan lima langkah utama. Pertama, terus mendorong penguatan daya beli
masyarakat (keep buying policy) melalui sejumlah program baik dari sisi pasok (ketersediaan
dan pasokan barang/jasa) maupun permintaan (insentif langsung/tidak langsung kepada
masyarakat). Kedua, percepatan pembangunan infrastruktur untuk mendorong konektivitas
dan daya saing logistik nasional.
Realisasi investasi pembangunan infrastruktur melalui alokasi APBN 2013 mencapai Rp203
triliun atau naik16,4% dari tahun 2012 sebesar Rp174,9 triliun. Dalam APBN 2014, alokasi
belanja infrastruktur ditargetkan sebesar Rp208 triliun.
Realisasi investasi pembangunan infrastruktur pada proyek Masterplan Percepatan dan
Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) per akhir2013 mencapai Rp828,7
triliun (sektor riil dan infrastruktur). Di akhir 2014, realisasi investasi program MP3EI
diperkirakan dapat mencapai Rp1.000 triliun. Ketiga, terus mendorong investasi sebagai
salah satu motor pertumbuhan.
Realisasi investasi Januari-Desember 2013 mencapai Rp398,6 triliun atau melebihi target
sebesar Rp390 triliun. Untuk 2014, pemerintah menargetkan investasi yang masuk baik PMA
maupun PMDN dapat mencapai kisaran Rp450 triliun. Untuk kuartal I-2014, realisasi
investasi sudah mencapai Rp106 triliun atau masih sesuai Prognosis 2014.
Keempat, penguatan sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Penguatan UMKM
21. sebagai basis penopang perekonomian nasional perlu terus didorong dalam meningkatkan
daya saing, kapasitas, cakupan, dan akses permodalan. Kelima, dengan pembangunan
infrastruktur, investasi sektor riil dan penguatan UMKM diharapkan dapat memperlebar
pasar tenaga kerja nasional sehingga ekonomi dapat terus tumbuh positif dan berkualitas.
Urgensi pembangunan infrastruktur
Dalam aspek peringkat daya saing, Indonesia masih tertinggal dibandingkanSingapura,
Malaysia, Brunei, dan Thailand. Peringkat daya saing Indonesia lebih baik dibandingkan
Filipina, Vietnam, Laos, Kamboja dan Myanmar.
Kekuatan Indonesia ada pada ukuran pasar. Sayangnya, Indonesia masih lemah dalam aspek
labor market efficiency, technological readiness dan infrastructures. Di bidang infrastruktur,
peringkat Indonesia ke-61 terhadap lebih dari 100 negara dalam The Global Competitiveness
Index 2013-2014, World Economic Forum. Lemahnya infrastruktur menyebabkan biaya
logistik Indonesia mencapai 17% dari total produksi.
Ini berarti biaya logistik di Indonesia lebih dari tiga kali lipat biaya logistik di Jepang, sekitar
tiga kali lipat dibandingkan Singapura, dan lebih dari dua kali lipat biaya logistik di Malaysia.
Hal ini menyebabkan aktivitas ekonomi di sini menjadi berbiaya tinggi dan tidak kompetitif.
Sebenarnya pemerintah sudah memiliki solusi pembangunan infrastruktur, yaitu melalui
program MP3EI yang diluncurkan sejak Mei 2011 lalu. Sebagian besar fokus program
MP3EI adalah infrastruktur yang mencakup lebih dari 44% proyek-proyek MP3EI. Sekitar
Rp1.774 triliun atau 44% dari total estimasi investasi MP3EI yang sebesar lebih dari Rp4.000
triliun adalah untuk proyek-proyek infrastruktur.
Proyek jalan raya dan energi meliputi sekitar 57% dari proyek-proyek infrastruktur MP3EI.
Sejauh ini porsi anggaran belanja infrastruktur Indonesia masih jauh dari ideal. Bahkan
anggaran infrastruktur dalam APBN masih lebih rendah daripada subsidi energi dan belanja
pegawai. Maklum, peliknya masalah infrastruktur tidak lepas dari rendahnya alokasi
anggaran pemerintah untuk pembangunan infrastruktur.
Rasio anggaran infrastruktur Indonesia terhadap produk domestik bruto (PDB) di bawah 3%,
bahkan trennya menurun dalam beberapa tahun ini. Kondisi ini masih jauh di bawah rasio
ideal yang mensyaratkan minimal 5% PDB. Hanya, lantaran keterbatasan anggaran
pemerintah dalam APBN, mutlak diperlukan dukungan investor swasta, termasuk
pembiayaan perbankan.
Sumber pembiayaan infrastruktur
Sekitar 88% pembiayaan proyek-proyek MP3EI diharapkan datang dari swasta, badan usaha
milik negara (BUMN) dan campuran (termasuk pembiayaan perbankan). Dari total nilai
indikasi investasi sebesar Rp4.000 triliun, pemerintah hanya sanggup untuk membiayai
22. sekitar 12 persennya karena keterbatasan dana.
Di sinilah peran investor, termasuk pembiayaan perbankan memegang peranan penting.
Dalam lima tahun terakhir (2009-2013), penyaluran kredit perbankan tumbuh rata-rata 20,3%
per tahun. Sepanjang periode tersebut, kredit ke sektor terkait infrastruktur juga tumbuh,
namun dengan tingkat pertumbuhan lebih rendah, yaitu hanya 16,8% per tahun.
Kendati demikian, pada beberapa sektor infrastruktur seperti listrik, gas, dan air bersih, justru
terjadi pertumbuhan sangat tinggi pada periode yang sama (terutama listrik akibat program
percepatan 10.000 MW). Dalam lima tahun terakhir juga non performing loan (NPL)
perbankan terus menunjukkan penurunan signifikan. Saat ini total NPL kredit perbankan
sudah lebih rendah dibandingkan NPL kredit pada sektor terkait infrastruktur. Bahkan ada
kecenderungan NPL pada berbagai sektor terkait infrastruktur sudah cukup rendah, kecuali
pada sektor konstruksi yang cukup tinggi, yaitu 3,6% di 2013.
BNI, sebagai salah satuBUMN dan bank terkemuka di Indonesia, memiliki peran strategis
dalam pembiayaan infrastruktur. Sebagai fasilitator pertumbuhan ekonomi, BNI berkontribusi
dengan fokus pada segmen business banking (BB) dan consumer and retail (CR).
Pada segmen consumer banking, BNI berkeinginan untuk menjadi lifetime banking partner
bagi para nasabahnya, tidak hanya hari ini saja namun untuk masa mendatang, melalui
penyediaan pembiayaan dan jasa perbankan kepada konsumen. Pada segmen business
banking, BNI menjadi fasilitator bagi pengembangan industri-industri di dalam negeri, salah
satunya melalui penyediaan fasilitas kredit produktif dalam bentuk kredit modal kerja (KMK)
dan kredit investasi (KI) serta jasa perbankan lain untuk kepentingan dunia usaha, termasuk
pembiayaan infrastruktur.
Saya memandang mutlak dibutuhkan dukungan infrastruktur dasar sebagai backbone
pertumbuhan ekonomi. Di sini BNI telah mengidentifikasi delapan sektor unggulan berskala
nasional, yaitu pertanian; makanan dan minuman; perdagangan; kelistrikan; rekayasa dan
konstruksi; minyak, gas dan pertambangan; komunikasi; serta kimia (termasuk kimia dasar).
Kedelapan sektor ini diperkirakan menjadi penggerak perekonomian Indonesia, yang
kesemuanya juga telah sejalan dengan MP3EI.
Selama ini pembangunan infrastruktur selalu mengandalkan dana APBN, sehingga sering
ditemui kendala pendanaan untuk merealisasikannya. Salah satu contohnya pembangunan
jalan tol yang sarat modal, padahal jalan tol merupakan salah satu solusi mengatasi problem
konektivitas dan logistik di Tanah Air. Namun, adanya Pembangunan Jalan Tol Bali Mandara
yang menghubungkan Nusa Dua- Ngurah Rai-Benoa membuktikan pembangunan
infrastruktur dapat dilaksanakan tanpa membebani APBN, yaitu melalui sinergi antar-
BUMN.
BNI pun berperan serta dalam proyek besar tersebut. Maka, saya boleh berbangga telah
menjadi bagian dari sinergi antar-BUMN tersebut. Ke depan, saya pun berharap keberhasilan
23. sinergi antar-BUMN ini dapat dijadikan percontohan untuk dapat diterapkan pada proyek-
proyek infrastruktur lain, khususnya yang masuk dalam MP3EI. Saya melihat BUMN
memiliki semua bidang usaha strategis, seperti di sektor rekayasa dan konstruksi, keuangan
perbankan, sekuritas, semen, kelistrikan, telekomunikasi, jalan tol, dan masih banyak sektor
lainnya.
Saya berkeyakinan jika sinergi dan kolaborasi dilakukan antar-BUMN dengan baik dan
adanya peran-serta dan dukungan pemerintah dalam aspek regulasi, permasalahan
infrastruktur akan terurai dengan sendirinya karena pembiayaan infrastruktur tidak menjadi
masalah lagi.
Dari ilustrasi di atas, dapat saya simpulkan beberapa hal. Pertama, sinergi antar-BUMN
merupakan keniscayaan karena memberikan keuntungan bersama (common benefits) bagi
BUMN yang terlibat. Kedua, ruang kerja sama antar-BUMN terbuka lebar lantaran bidang
usaha BUMN yang luas dan saling melengkapi secara sinergis.
Ketiga, sinergi antar-BUMN akan menciptakan pasar yang atraktif bagi sesama BUMN
dengan tingkat operasional yang efisien dan efektif. Ini juga akan mendorong pengelola
BUMN lebih kreatif dan inovatif membuka kerja sama saling menguntungkan.
Keempat, kontribusi BUMN akan menjadi lebih besar dan bernilai melalui beberapa
kebijakan misalnya dividend pay out ratio BUMN yang jelas sehingga BUMN dapat
merencanakan bisnisnya secara lebih baik. Terakhir, harmonisasi berbagai peraturan
perundang-undangan dan sinkronisasi kebijakan baik pusat maupun daerah serta antara
lembaga/kementerian, misalnya terkait rencana tata ruang wilayah (RT/RW), sistem bagi
hasil yang jelas antara pusat dan daerah yang dituangkan dalam bentuk undang-undang,
bukan peraturan yang lebih rendah.
Akhirnya, setelah semua masalah mendasar dibereskan, barulah perbankan bisa melakukan
fasilitasi secara lebih optimal. Pada dasarnya BNI akan senantiasa terus berkomitmen dalam
mendukung pembangunan infrastruktur demi kemajuan perekonomian bangsa agar dapat
tumbuh tinggi, berkualitas, dan berkelanjutan.
GATOT M SUWONDO
CEO & Direktur Utama BNI
24. Pesan Kedaulatan Pangan dalam Pilpres
Koran SINDO
Kamis, 22 Mei 2014
PESTA demokrasi untuk pemilihan anggota legislatif dan pemilihan presiden (pilpres) yang
sudah dan akan berlangsung pasti akan memberi pengaruh pada perjalanan kehidupan bangsa
ini ke depan.
Mereka yang terpilih untuk duduk di Senayan sebagai wakil rakyat akan berperan untuk
mengawasi jalannya pembangunan dan sekaligus membuat undang-undang. Sementara itu,
presiden yang terpilih akan menyusun kabinetnya yang akan berperan sebagai eksekutif
untuk mengelola republik ini.
Dinamika pertumbuhan ekonomi, peningkatan kualitas pendidikan, dan pengembangan mutu
kesehatan masyarakat akan amat bergantung pada kualitas anggota DPR yang terhormat dan
kinerja presiden beserta kabinetnya untuk mengelola negara ini dalam kurun waktu lima
tahun ke depan.
Salah satu yang terpenting dan tak bisa dilupakan adalah bagaimana pembangunan
kedaulatan pangan guna mengurangi pangan impor yang selama ini membanjiri pasar
Indonesia yang berdampak pada kesejahteraan petani lokal yang makin menurun.
Indonesia sudah terperangkap dalam sistem pangan impor berbiaya mahal. Revitalisasi
pertanian yang diproklamasikan pemerintahan SBY pada tahun 2005 ternyata tidak
membawa perubahan dalam cara kita mengelola pembangunan kedaulatan pangan.
Pemerintah masih dengan gampang membuka keran impor pangan strategis seperti beras,
daging sapi, gula, jagung, dan kedelai. Para elite politik dan ekonomi terjebak menjadi
pemburu rente sebagai jalan pintas untuk mencukupi kebutuhan pangan tanpa memikirkan
konsekuensi terhadap petani lokal. Sungguh ironis ketika Indonesia sudah merdeka 69 tahun
dan memiliki kekayaan sumber daya pangan lokal tetapi masih mengandalkan pangan impor
untuk memperkuat ketahanan pangan.
Harga Mati
Presiden Soekarno yang menempatkan pembangunan kedaulatan pangan sebagi prioritas
utama. Dalam pidatonya saat peletakan batu pertama pembangunan Gedung Fakultas
Pertanian, Universitas Indonesia di Bogor, enam puluh dua tahun lalu, Presiden pertama RI
25. ini mengatakan ”... apa yang saya hendak katakan itu, adalah amat penting, bahkan mengenai
soal mati-hidupnya bangsa kita di kemudian hari ... oleh karena, soal yang hendak saya
bicarakan itu mengenai soal persediaan makanan rakyat”.
Implikasi pidato ini adalah kebijakan pemerintah dalam pertanian mesti berpihak pada petani
sebagai fondasi untuk membangun kedaulatan pangan. Kedaulatan pangan terkait dengan
kemandirian petani dalam melakukan kegiatannya. Petani yang berjumlah sekitar 100 juta
jiwa atau 26,13 juta rumah tangga (BPS 2013) merupakan komunitas terbesar di negeri ini
acap dilupakan.
Namun di kalangan politikus saat berlangsung kampanye pileg, kaum tani menjadi primadona
guna mendulang suara. Konon, dalam setiap pidato “politik” ketua umum partai disebutkan
akan membela petani dan berjanji meningkatkan kesejahteraan petani secara signifikan.
Pemilihan tema kedaulatan pangan akan mewarnai kampanye Pilpres 2014. Hal ini patut
diapresiasi mengingat Indonesia kaya dengan pangan berbasis sumber daya lokal yang
memiliki nilai gizi tinggi.
Sebagai kebutuhan dasar, pangan senantiasa harus tersedia dalam bentuk beragam, bergizi
seimbang, dan aman untuk dikonsumsi. Namun, belakangan ini negeri agraris ini terjebak
dalam sistem pangan impor yang amat mahal. Patut disadari, ancaman krisis pangan menjadi
bayang-bayang menakutkan bagi sebagian bangsa, termasuk Indonesia.
Harga pangan yang makin mahal menjadi bola liar yang sulit dikendalikan, menggelinding
mendominasi konstelasi dan arsitektur geopolitik. Krisis pangan yang terus membayangi
warga dunia membuat setiap negara berupaya menyelamatkan kepentingan masing-masing
dan membatasi ekspor.
Fenomena ini perlu disikapi dengan mengoptimalkan pemantapan sumber daya lokal untuk
perwujudan ketahanan pangan yang mandiri dan berdaulat. Mengonsumsi produk pangan
lokal berarti melepas kebergantungan impor, sekaligus menjadi langkah awal menuju
kebangkitan nasionalisme pangan.
Memperkenalkan kembali budaya makan lokal yang saat ini sedang tren di sejumlah daerah
patut mendapat apresiasi dari para capres. Sekadar menyebut contoh masyarakat Sumatera
Utara mengampanyekan manggadong (mengonsumsi produk olahan ubi) sebagai salah satu
program yang mendukung penguatan ketahanan pangan yang mandiri dan berdaulat seperti
tertuang dalam UU No 18 Tahun 2012 tentang Pangan.
Saat sarapan, makan siang, maupun malam, ritual manggadong bisa dinikmati bersama
anggota keluarga. Kearifan lokal seperti ini patut diangkat kembali guna menumbuhkan
nasionalisme pangan di tengah masyarakat. Hilangnya budaya makan lokal tidak terpisahkan
dari pesatnya perkembangan korporasi pangan global memproduksi pangan olahan berbasis
gandum.
26. Keterlibatan korporasi transnasional dalam industri pangan telah menghabisi napas kearifan
lokal manggadong. Dengan penguasaan teknologi pangan, korporasi dapat memproduksi dan
mengatur sistem distribusi dan perdagangan pangan. Harga pun mereka kendalikan.
Struktur oligopoli bermain dalam ruang bisnis pangan yang menetaskan bentuk penjajahan
baru bernama food capitalism Persoalan pangan mulai dari hulu hingga hilir kini dimainkan
dalam irama pasar global.
Di tengah kian terbukanya pasar bebas, Indonesia menghadapi persoalan yang sangat serius
dalam memperkuat kedaulatan pangan. Urusan pertanian dan pangan yang seharusnya
mendapat kontrol negara secara penuh kini diserahkan kepada mekanisme dan kebuasan
pasar. Tak pelak lagi, ketahanan pangan nasional akan semakin rapuh karena dikuasai
korporasi kapitalistik yang makin liberal.
Padahal, sejarah mencatat bahwa energi yang mampu menggerakkan kedaulatan pangan
(food sovereignty) adalah kearifan lokal. Nenek moyang kita telah membuktikan itu. Bahan
pangan lokal mulai jagung, pisang, sagu, sorgum hingga berbagai jenis ubi tersebar di
seantero negeri.
Lewat kearifan lokal yang dimiliki, bahan pangan tersebut dikembangkan secara baik sebagai
makanan pokok sekaligus memperkuat ekonomi domestik. Namun, kedaulatan pangan yang
diwariskan para leluhur kini digadaikan kepada negara maju yang menganut paham ekonomi
neoliberal. Indonesia dibanjiri pangan impor, baik dalam bentuk segar maupun olahan.
Kampanye masif produk pangan olahan terigu yang dilakukan negara-negara penghasil
gandum selama 40 tahun lebih berhasil menggeser kearifan lokal ke produk pangan global.
Roti dan mi “balap” instan berbahan terigu menjadi makanan keseharian kita. Manggadong
dan berbagai pangan lokal lain tinggal kenangan.
Penjajahan Model Baru
Harapan masyarakat kepada presiden terpilih ialah untuk mewaspadai penjajahan model baru
yang diperkenalkan negara-negara maju. Mereka mengendalikan pangan lewat penguasaan
ilmu dan teknologi pangan untuk menjadi senjata ampuh guna menjajah bangsa lain.
Bagi negara yang amat bergantung pada pangan impor, akan mudah diintervensi oleh negara
kaya untuk memasarkan berbagai produk pangan olahannya. Dalil Henry Kissinger yang
amat terkenal “control oil and you control nations; control food and you control the people”
terus menggema hingga kini.
Implikasinya sebagian besar produk pangan dunia ada dalam genggaman Amerika Serikat.
Jargon AS memberi makan dunia menjadi sebuah kenyataan yang fenomenal. Dengan
penguasaan ilmu dan teknologi pangan, Negeri Paman Sam mengontrol rantai pasokan
27. makanan secara integratif dari hulu hingga hilir.
Bibit, pupuk, pestisida, pengolahan, distribusi, perdagangan dan harga berada di bawah
kendali mereka. Bahkan, mereka mampu mengintervensi kebijakan pemerintah dalam
pengembangan ketahanan pangan berbasis transgenik (GMOs), produk dari sebuah korporasi
yang sarat modal.
Kebijakan pemerintah yang sedang menggalakkan program rumah pangan lestari lewat
pemanfaatan lahan pekarangan dalam memperkukuh sumber penganekaragaman konsumsi
pangan merupakan upaya untuk memperkuat kedaulatan pangan. Untuk itu, pemerintah patut
mempromosikan keberlanjutan produksi pertanian keluarga, berskala kecil dan
terdiversifikasikan guna menggantikan peran pertanian industrial kapitalistik yang acap
merugikan petani lokal guna meraup untung besar.
Belajar dari peristiwa krisis pangan yang turut menjatuhkan Soeharto dari singgasana
kekuasaan, DPR dan presiden hasil Pemilu 2014 patut membangkitkan kembali roh
nasionalisme pangan di seluruh negeri. Nasionalisme yang satu ini kian penting dimaknai di
tengah perjalanan waktu dan isyarat zaman yang memosisikan pangan sebagai kekuatan
politik.
POSMAN SIBUEA
Guru Besar Tetap Unika Santo Thomas Sumatera Utara. Pendiri dan Direktur Center for
National Food Security Research (Tenfoser)
28.
29. Economics of Speed vs Birokrasi
Kamis, 22 Mei 2014
DI depan mata, setiap hari kita menyaksikan bekerjanya ilmu yang disebut economics of
speed atau ekonomi berbasis kecepatan. Dunia kita memang kian bergegas. Semua mau serba
cepat. Cepat berangkat, cepat sampai. Ini berimplikasi luas, baik bagi kehidupan, pelayanan
umum, kebahagiaan maupun kegiatan usaha.
Tak banyak orang tahu, kepiting-kepiting yang pagi hari ditangkap para nelayan di sepanjang
pantai di Indonesia, esok paginya sudah harus sampai di Kota Pudong, Shanghai, China.
Siang atau malam harinya, kepiting-kepiting itu sudah menjadi sup yang lezat di berbagai
rumah makan seperti Minghao Seafood, Han Tong, Fook Lam Moon atau Zhen De Hao
Seafood Restaurant.
Di China, kepiting adalah menu favorit pengganti sirip ikan hiu. Pemicunya? Kecaman dari
kalangan penyayang binatang yang menolak penangkapan ikan hiu secara besar-besaran
hanya untuk diambil siripnya saja. Maka, sebagai gantinya, restoran-restoran di sana mulai
memperkenalkan sup kepiting. Rasanya ternyata enak juga. Sejak itu ekspor kepiting kita ke
China naik terus. Belakangan ini permintaannya tumbuh sampai 94%. Sayang tak semua
permintaan itu bisa kita penuhi.
Penyebabnya, kepiting-kepiting yang kita ekspor kebanyakan hasil tangkapan, bukan hasil
budi daya. Jadi sangat tergantung musim. Kalau musim baik, hasil tangkapan meningkat,
ekspor pun naik, dan sebaliknya. Dalam kondisi begitu pun nilai ekspor kepiting kita bisa
mencapai triliunan rupiah per tahun. Misalnya, pada semester I 2013, nilainya mencapai
USD198 juta atau kira-kira Rp2,25 triliun. Dengan angka itu, kita layak disebut eksportir
kepiting terbesar di dunia.
Apa faktor pendukung yang membuat ekspor kepiting kita terus meningkat? Salah satunya
angkutan kargo udara. Berkat angkutan ini, kita bisa mengirim kepiting lebih cepat ke China.
Kepiting, sebagaimana barang-barang perishable lainnya yang cepat rusak, harus cepat
sampai ke negara tujuan. Kita pun punya banyak produk perishable lain. Ada udang, ikan
tuna, dan ikan napoleon. Anggrek kita juga potensial untuk diekspor dan hanya angkutan
udara yang bisa melayaninya. Begitulah economics of speed yang mungkin akan
mengalahkan economics of scale.
Birokrasi
30. Sayangnya, kendati besar manfaatnya, membangunnya tidak mudah. Musuh utamanya
sungguh serius: birokrasi alias benang kusut pemerintahan. Bagaimana bisa? Anda yang
kerap berurusan dengan birokrasi tentu memahami betul karakter dan kultur kerja dari para
pegawai negeri sipil (PNS) kita. Selain pasif, mereka amat reaktif, bukan antisipatif. Mereka
lebih suka dilayani ketimbang melayani.
Menunggu perintah, bukan proaktif. Suka menunda-nunda pekerjaan, bukannya
menyelesaikan lebih cepat. Cara mereka bekerja seakan sudah menjadi aksioma : kalau bisa
diperlambat, mengapa harus dipercepat? Gampang ditebak, di situ tersembunyi motif
transaksional.
Betul, saya setuju, tak semua PNS kita seperti itu. Ada juga di antara mereka yang benar
kerjanya. Namun, tak bisa disangkal, sebagian besar mereka masih berperilaku seperti tadi.
Maka, akibatnya PNS kita tidak menjadi aset, tapi liabilities. Mereka adalah bagian dari
masalah, bukan solusi.
Padahal jumlah PNS kita masih akan ditambah terus. Menurut data Kementerian
Pendayagunaan Aparatur Negara/Reformasi Birokrasi, jumlah PNS kita pada awal tahun
2013 mencapai 4,5 juta. Jadi, sebenarnya jumlah ini masih sedikit bila harus melayani seluruh
penduduk Indonesia yang jumlahnya 240-an juta. Jadi, satu PNS melayani lebih dari 50
orang. Anda bisa bayangkan ruwetnya kondisi kita. Sudah jumlah sedikit, kualitasnya pun
pas-pasan kalau tidak mau dibilang under qualified.
Ditambah lagi role model-nya jarang ada. Maka, tak aneh kalau banyak urusan yang kalau
sudah masuk ke dalam mesin birokrasi akhirnya malah macet. Atau, kalaupun jalan, lambat
sekali. Kalau mau cepat, tahu sendirilah caranya. Itu sebabnya saya menyebut lawan utama
economics of speed adalah birokrasi.
Reformasi
Kita tentu tak bisa membiarkan urusan ini jadi berlarut-larut. Harus ada yang berani
melakukan breakthrough. Atau, kita rela membiarkan negara kita kian jauh tertinggal dari
negara-negara lain. Investor tak mau datang. Wisatawan enggan berkunjung. Produk-produk
kita tidak kompetitif lagi di pasar ekspor.
Bahkan mungkin di pasar dalam negeri pun produk-produk kita kalah bersaing dengan
produk-produk impor. Cobalah Anda pergi ke pusat-pusat perbelanjaan. Di sana Anda akan
menemukan jeruk mandarin dijual dengan harga Rp17.000/kg, sementara jeruk medan
Rp19.000/kg. Akibatnya jeruk medan kita tak kunjung laku. Bagi saya, jelas kita akan
tertinggal jika tidak mengadopsi prinsip-prinsip dari economics of speed.
Ada banyak hal yang mesti dilakukan dan kuncinya ada pada peremajaan struktur,
pengguntingan terhadap simpul-simpul yang kusut, lalu menyambungnya kembali sebagai
31. rajutan baru yang lebih simpel. Karena kusut, kita jadi tak bergerak ke mana-mana. Untuk
maju bukan merancang kerja parsial, tetapi harus terintegrasi. Istilah manajemennya harus
aligned (vertikal-horizontal) dan harus ada engagement. Artinya harus dimanaj, disinergikan,
dipimpin, dan dimonitor. Bukan didiamkan.
Menyangkut masalah birokrasi, reformasi adalah sesuatu yang tidak bisa ditawar-tawar lagi.
Memang di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, upaya ini sudah
dilakukan. Misalnya dengan memberi tugas tambahan dari Menteri Negara Pendayagunaan
Aparatur Negara untuk melakukan reformasi birokrasi.
Meski begitu saya lihat masih banyak pekerjaan yang masih harus diselesaikan. Saya menilai
pekerjaan mereformasi birokrasi adalah pekerjaan raksasa yang tak mungkin ditangani satu
kementerian. Bukan apa-apa, organisasi birokrasi kita sudah lama macet.
Ibarat mesin, ia sudah berkarat. Maka, upaya mereformasi birokrasi membutuhkan upaya
yang lebih keras. Ibaratnya membutuhkan tuas yang lebih kuat untuk mengungkit batu besar
yang sudah terlalu lama tidak bergerak. Kalau tuasnya terlalu kecil, pekerjaannya bisa terlalu
lama atau kalau dipaksakan bukan tidak mungkin malah tuasnya yang patah.
Tak pelak lagi, pekerjaan mereformasi birokrasi ini harus dipimpin langsung oleh presiden
atau setidak-tidaknya wakil presiden. Inilah kelak pekerjaan besar yang sudah menunggu
presiden atau wakil presiden terpilih.
RHENALD KASALI
Pendiri Rumah Perubahan @Rhenald_Kasali
32. Desain Ulang Raskin
Program beras untuk rakyat miskin (raskin) jadi sorotan. KPK meminta pemerintah
mendesain ulang program Raskin.
Dari kajian KPK menemukan banyak penyelewengan dalam program Raskin. KPK
menemukan enam tidak tepat: tidak tepat sasaran, jumlah, mutu, waktu, harga, dan
administrasi. Bahkan, KPK mencium indikasi ada jaringan kartel penyaluran raskin. Raskin
yang seharusnya diterima rumah tangga sasaran justru dijual ke pengepul, akhirnya beras itu
dijual lagi ke rumah tangga sasaran.
Sebenarnya penyelewengan Raskin bukan hal baru. Sejak program dimulai 15 tahun lalu,
sejumlah kajian menemukan adanya penyimpangan. Studi 35 perguruan tinggi
menyimpulkan efektivitas program Raskin berada di level sedang (Indef, 2004). Saat itu
beras apek dan berkutu, tidak tepat jumlah, tidak tepat harga dan tidak tepat sasaran adalah
keluhan yang selalu muncul. Survei penyaluran Raskin oleh BPS, Januari–Maret 2013,
menemukan, raskin dinikmati 31,23 juta rumah tangga. Padahal, sasaran rumah tangga
penerima raskin hanya 15,5 juta.
Artinya separuh penerima itu tidak berhak. Dari lima lapisan masyarakat versi BPS, lapisan 1
atau termiskin yang berjumlah 12,5 juta rumah tangga seharusnya semua menerima raskin.
Kenyataannya hanya 9,41 juta rumah tangga (75%) yang menerima dengan jatah rata-rata
bulanan 13,79 kg beras atau 92% dari seharusnya (15 kg). Sebanyak 3 juta rumah tangga
penerima Raskin sisanya seharusnya di lapisan 2. Kenyataannya, di lapisan ini penerima
raskin berjumlah 8,4 juta rumah tangga atau 66,27% dari jumlah rumah tangga di lapisan 2
dengan jatah 13,31 kg.
Ironisnya, lapisan 3-5 yang seharusnya tidak kebagian justru mendapatkan raskin: 6,85 juta
rumah tangga atau 54,25% dari rumah tangga lapisan 3; 4,88 juta rumah tangga (38,6% dari
lapisan 4); dan 1,71 juta rumah tangga (13,63% dari lapisan 5). Melencengnya penyaluran
raskin dan pelbagai program antikemiskinan lain inilah yang membuat penurunan kemiskinan
lambat. Dari tiga strategi perlindungan sosial, raskin termasuk pendekatan yang dianjurkan
karena mencegah munculnya risiko (ex-ante) warga miskin.
Kenaikan harga kebutuhan pokok bakal memicu inflasi. Ini menggerogoti pendapatan riil
warga. Kelompok miskin yang porsi pengeluaran pangannya cukup besar, antara 60–75%,
pasti menderita. Di masa lalu, keluarga penerima raskin mendapat 20 kg per bulan. Ini bisa
memenuhi 40–60% total kebutuhan beras bulanan. Ini memungkinkan mereka
mempertahankan tingkat konsumsi energi dan protein. Mereka tak banyak menyunat biaya
33. pendidikan dan kesehatan buat pangan.
***
Keharusan mendesain ulang program Raskin merupakan keniscayaan. Desain ulang bisa
dimulai dari penghapusan operasi pasar (beras). Di zaman Presiden Soeharto, operasi pasar
menuai kritik. Maka sejak 1998 operasi pasar beras ditanggalkan, lalu diganti pendekatan
subsidi terarah lewat Raskin. Tapi sejak Presiden SBY beleid operasi pasar kembali dipakai
sebagai instrumen stabilisasi harga. SBY lupa, operasi pasar beras tidak adil karena bukan
hanya rakyat miskin, tapi kelompok kaya dan pedagang/pengecer juga bisa menikmatinya.
Kelompok terakhir ini bisa membeli dan menyimpan beras dalam jumlah besar.
Setelah ada raskin, seharusnya tak ada lagi operasi pasar beras. Saat keduanya berlaku terjadi
double standard: subsidi umum dan subsidi terarah. Opsi penghapusan operasi pasar harus
dibarengi penyediaan data rumah tangga sasaran penerima raskin yang akurat agar
distribusi/penyaluran tak mengundang moral hazard. Raskin memiliki kaitan kuat dengan
program pengembangan SDM (horizontal integration) dan program ketahanan pangan
(vertical integration).
Sebagai program yang bersifat transfer energi, keberhasilan Raskin akan membantu
keberhasilan program lain, seperti peningkatan kualitas nutrisi, kesehatan, pendidikan dan
produktivitas SDM. Jadi, Raskin bisa dipandang sebagai investasi SDM yang lebih tahan
berbagai risiko. Raskin juga bisa dipandang sebagai indirect income transfer. Beras itu dibeli
dari produksi petani kecil yang rentan fluktuasi harga saat panen. Pembelian hasil produksi
petani lewat harga yang ditetapkan pemerintah (baca: harga pembelian pemerintah atau HPP)
merupakan bentuk perlindungan pada petani kecil agar mendapat insentif.
Jadi, ada kaitan kuat antara program kesejahteraan petani melalui pembelian pemerintah
dengan pemberian subsidi beras murah lewat Raskin pada kelompok miskin dan rawan
pangan. Selama ini tujuan program Raskin bersifat parsial, yakni sebagai transfer energi
untuk peningkatan kualitas nutrisi, kesehatan, pendidikan, dan produktivitas SDM. Raskin
belum dipandang sebagai bagian dari strategi stabilisasi harga gabah/beras. Ini tampak dari
anggaran Raskin yang naik-turun, tergantung kepentingan politik penguasa. Ketika ada
syahwat politik penguasa, anggaran Raskin dibengkakkan.
Seharusnya anggaran Raskin tidak semata-mata untuk memenuhi kepentingan transfer energi
kepada warga miskin, tapi dikaitkan dengan pagu pengadaan gabah/beras dalam negeri untuk
cadangan beras pemerintah (CBP). Besar-kecilnya CBP harus dikaitkan dengan tujuan
menyerap surplus produksi (gabah/beras) petani agar harga stabil. Desain ulang ini tak hanya
menjamin Raskin tepat sasaran, pada saat yang sama instabilitas harga gabah/beras bisa
dicegah.
Terakhir, karena pangan bukan hanya beras, melanggengkan Raskin sama saja mengajari
warga daerah penghasil nonberas terus beradaptasi pada pangan (beras) yang diintroduksi
34. dari luar. Akibatnya, produk pangan lokal yang beraneka ragam dengan segenap derivatnya
musnah. Hilangnya pangan lokal berarti musnahnya keanekaragaman hayati sekaligus
kearifan lokal yang tak ternilai harganya. Sebagai bagian desain ulang Raskin, ke depan perlu
dipikirkan beras diganti ekuivalen dengan pangan selain beras.
Karena bukan lagi beras, Raskin diubah jadi pangkin (pangan untuk orang miskin). Secara
gradual, cara ini membuat budaya pangan lokal yang mati suri hidup kembali. Ekonomi
setempat menggeliat. Secara politik, stabilitas sosial akan lebih terjamin karena warga tak
lagi tergantung hanya pada beras. Sebagai konsekuensinya, pelaksanaan pangkin harus
didesentralisasikan ke daerah.
Desentralisasi akan membuat pemda lebih bertanggung jawab mendistribusikan dan
mengawasi pelaksanaan pangkin. Tanggung jawab itu diwujudkan dengan pendataan warga
penerima secara tepat, pengadaan stok (pangan lokal) yang cukup, kualitas pangan yang
prima, dan tepat harga serta jumlah.●
KHUDORI
Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat, Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik
Indonesia (AEPI), Penulis Buku ”Ironi Negeri Beras”
35. Warisan Utang 2014
Setidaknya kita boleh sedikit lega bahwa dua pasangan capres 2014, Prabowo-Hatta dan
Jokowi-JK memiliki keprihatinan mendalam terkait terus membengkaknya utang pemerintah
negeri ini.
Dalam visi-misi, kedua pasangan tersebut, secara tegas akan menekan rasio utang terhadap
PDB, dengan cara mengurangi pinjaman luar negeri baru, baik multilateral maupun bilateral.
(Koran SINDO , 22/5/2014). Sebenarnya, keprihatinan tersebut, sudah cukup lama
disuarakan secara internasional. Nancy Birdsall, president Center for Global Development,
misalnya dalam bukunya ”Delievering on Debt Relief: From IMF Gold to a New Aid
Architecture ” (2006) telah lama bersuara keras terkait kebijakan Dana Moneter Internasional
(IMF) dalam menangani ketimpangan global, termasuk dalam hal ”jebakan utang” negara-
negara berkembang.
Dalam Konsensus Washington, IMF dan Bank Dunia gencar mempromosikan pengurangan
peran pemerintah, mendorong liberalisasi pasar, penghapusan subsidi, dan penjualan badan
usaha milik negara, yang menurut banyak pihak telah turut menjerumuskan perekonomian
global ke dalam ketimpangan, yang berujung pada krisis yang sulit diatasi.
Bretton Woods
Dengan segala kontroversinya, Bank Dunia dan IMF masih merupakan lembaga keuangan
dunia terpenting. Keduanya, didirikan atas rekomendasi konferensi PBB di Bretton Woods,
AS, Juli 1944, sebagai bagian dari upaya penataan dan pembangunan kembali perekonomian
dunia, yang dilanda krisis usai Perang Dunia II. IMF diharapkan berfungsi menstabilkan
perekonomian dunia serta memberikan kredit jangka pendek, sedangkan Bank Dunia
berfungsi memberikan kredit murah berjangka panjang dan bertanggung jawab atas
penyesuaian struktural. Juli nanti, Bank Dunia dan IMF genap berusia 70 tahun.
Bagi banyak pihak, 70 tahun lembaga Bretton Woods ini, dianggap pas untuk mempercepat
proses reformasi sistem pengambilan keputusan. Tuntutan lain yang juga gencar
dikampanyekan sejak lebih dari satu dekade terakhir, adalah pengurangan atau penghapusan
utang luar negeri negara-negara berkembang. Sebuah postcard yang beredar luas di Eropa
dan AS, bertuliskan ”2014 is the 70th Birthday of the World Bank and IMF.... but....It’s No
Time for a Party! Its Time to Drop the Debt! ”.
Saat ini, misalnya, setiap tahun negara-negara miskin Afrika harus membayar USD20-25
miliar untuk cicilan utangnya kepada Bank Dunia, IMF dan negara-negara industri. Sebuah
36. jumlah yang jauh lebih besar dibandingkan utang baru dan bantuan pembangunan yang
diperoleh mereka.
Utang Membunuh
Kritik pun membahana. ”Utang membunuh”, teriak aktivis LSM di Utara dan Selatan
berkaitan dengan penghematan anggaran kesehatan dan pendidikan demi membayar utang.
Tahun 1999, IMF dan Bank Dunia akhirnya bersedia memberikan pemotongan utang kepada
41 negara miskin pengutang berat setelah melalui program penyesuaian selama tiga tahun.
Meskipun demikian, bagi kebanyakan negara tersebut, pemotongan sebagian utang belumlah
cukup untuk memulai kembali pembangunan ekonominya.
Sebenarnya, sejak akhir 90-an, kritik santer telah dilontarkan oleh ”orang dalam” dan politisi
konservatif, bahwa selama 50 tahun keberadaannya yang telah menghabiskan dana sebesar
USD470 miliar, Bank Dunia dan IMF belum memperlihatkan hasil nyata yang setimpal. Kini,
meskipun telah melakukan perubahan struktur organisasinya, kritik terhadap Bank Dunia dan
IMF belum juga mereda. Dominasi negara-negara industri, terutama AS (Bank Dunia), dan
IMF (Eropa dan AS) sangat terasa.
Kebutuhan beragam negara-negara anggotanya, terutama negara miskin, jarang terpenuhi.
Sering kali, ”solusi” yang diajukan adalah ”one size fits all”. Indonesia pernah menjadi
korban. Karena selalu menjadi ”good boy”, Indonesia harus membayar mahal akibat
mengikuti resep yang salah. Dampaknya, fatal seperti ditunjukkan data-data berikut. Sejak
krisis hingga akhir 2002, dalam bidang pendidikan, terjadi penurunan murid sekolah sebesar
25%, sementara tingkat kemiskinan meningkat tajam dari 11% menjadi 40-60%.
Atas anjuran IMF, pemerintah Indonesia memberikan suntikan dana segar triliunan rupiah
kepada bank-bank bermasalah, tanpa menyelesaikan masalah. (INFID, 2003) Saat ini, utang
luar negeri (pemerintah dan swasta) Indonesia berjumlah Rp3.107,4 triliun(!) atau 30,02%
PDB, naik drastis dibandingkan Rp1.654,19 triliun atau 26% PDB, sepuluh tahun lalu. Untuk
tahun ini, hingga akhir Februari, pemerintah telah membayarkan utang pokok dan bunganya
sebesar Rp39,574 triliun, sementara pada Januari tercatat pembayaran pokok dan bunga
sebesar Rp25,880 triliun.
Dengan demikian, total utang beserta bunga yang telah dibayarkan mencapai Rp65,454
triliun atau 17,74 persen dari target APBN 2014 sebesar Rp368,981 triliun. (Okezone,
15/4/2014). Bank Dunia menempatkan Indonesia di urutan ke enam sebagai negara
pengutang terbesar di dunia. Berturut-turut di urutan teratas ialah China, Brasil, India,
Meksiko, dan Turki. Bagi Indonesia, yang belum sepenuhnya beranjak keluar dari krisis,
dibutuhkan perbaikan jaringan keamanan sosial serta penghapusan (sebagian) utang luar
negeri.
Perekonomian kita dipastikan tidak mungkin menggeliat tumbuh dengan sehat, selama paling
tidak, sebagian utang luar negerinya, belum dihapus. Untuk membayar utang, sebagian besar
37. devisa kita kembali mengalir ke negara-negara industri. Namun perkembangan terakhir, bisa
menjadi angin segar bagi Indonesia. IMF dan Bank Dunia dikabarkan semakin mendukung
analisis ekonom Keynesian dan opini ekonom peraih Hadiah Nobel Ekonomi, Joseph Stiglitz,
bahwa ketimpangan membuat pertumbuhan rawan, menciptakan kondisi yang tidak menentu,
dan berdampak pada perlambatan pertumbuhan ekonomi.
Dalam riset terbarunya, IMF dan Bank Dunia disinyalir yakin bahwa ”pemerataan tidak akan
mengganggu pertumbuhan ekonomi,” demikian Max Lawson, kepala Kebijakan dan
Advokasi di Oxfam GB, organisasi kemanusiaan yang hadir pada pertemuan IMF-Bank
Dunia tahun ini. Dalam upaya mengurangi dampak ”utang membunuh”, Gerakan Jubilee-
2000 berhasil memobilisasi dukungan internasional yang cukup luas bagi penghapusan utang
luar negeri negara-negara termiskin.
Indonesia, memang belum dimasukkan ke dalam kategori ini. Padahal, dalam sebuah seminar
ekonomi regional di Bangkok oleh Asisten Direktur IMF untuk Asia-Pasifik Charles Adam
telah mengakui kesalahan yang dibuat IMF dalam menangani krisis di Indonesia. (Tempo.co,
13/11/2003). Karena itu, meskipun kita telah melunasi utang kepada IMF, adalah belum
terlambat dan sangat patut apabila bangsa ini menuntut ”ganti rugi” dalam bentuk hibah.
Anggap saja sebagai bentuk konversi penghapusan sebagian utang kita atas kesalahan IMF.
Pemenang pilpres kali ini, mungkin bisa mempertimbangkan usulan ini. Semoga!
IVAN A HADAR
Direktur Eksekutif Indonesian Institute for Democracy Education; Ketua Badan Pengurus
Indonesia for Global Justice (IGJ)
38. Pengelolaan dan Pengendalian Inflasi
Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF) pada awal 2014 telah menaikkan outlook
ekonomi global sebagai respons atas sinyal pemulihan yang ditunjukkan negara-negara maju,
khususnya Amerika Serikat (AS).
Kendati demikian, revisi ke atas outlook ekonomi dunia masih dihadapkan pada risiko
perlambatan sejumlah negara berkembang seperti China, India, Afrika Selatan dan Brasil.
Sinyal pemulihan ekonomi negara maju seperti AS dan Eropa telah menghadirkan
kekhawatiran baru bagi prospek ekonomi negara-negara berkembang. Lonjakan inflasi di
beberapa negara berkembang pada pengujung 2013 hingga awal 2014 memberi tekanan bagi
upaya pemulihan global.
Pelemahan mata uang di kawasan Asia, Afrika, dan Amerika Selatan telah menstimulasi
ancaman inflasi dan memaksa bank sentral di sejumlah negara tersebut menaikkan tingkat
suku bunga acuan. Ini yang dilakukan oleh negara-negara seperti Brasil, India, Afrika
Selatan, dan Turki. Ancaman lonjakan inflasi ini banyak dihadapi negara-negara dengan
defisit transaksi berjalan yang besar dan diperdalam oleh tekanan menguatnya mata uang
dolar AS. Seperti yang kita ketahui, AS kini tengah berupaya mengakhiri kebijakan
pelonggaran kuantitatif dan rezim suku bunga murah.
Akibat dari kebijakan ini, terjadi eksodus modal (capital outflow) yang cukup besar dari pasar
negara-negara berkembang. Kondisi ini juga diperburuk dengan perlambatan China yang
selama ini banyak menopang ekonomi negara-negara berkembang. Pada kondisi ini, sejumlah
negara berkembang dituntut melakukan restrukturisasi arus modal keluar dan melakukan
penataan kembali sumber pertumbuhan yang lebih berkelanjutan.
IMF dan sejumlah pengamat ekonomi global pada April 2014 menyebutkan ancaman risiko
inflasi akan kembali mengemuka ketika terjadi kenaikan beberapa harga komoditas pangan
dunia. IMF dan para analis menilai harga-harga pasokan barang di sektor pertanian
merupakan faktor strategis pada perekonomian di negara-negara berkembang, khususnya
negara dengan struktur sektor pertanian yang besar. Sementara itu profil kemiskinan di
negara-negara berkembang banyak ditemui pada masyarakat di sektor pertanian.
Hal ini tentu membawa kekhawatiran melonjaknya angka kemiskinan di negara-negara
berkembang ketika terjadi lonjakan inflasi akibat kenaikan harga. Bahkan IMF menilai
kenaikan harga komoditas, khususnya pangan tidak hanya memicu risiko inflasi, tetapi juga
akan berpotensi memunculkan ketegangan global (termasuk risiko perang). Bagi Indonesia,
pengelolaan dan pengendalian inflasi merupakan kebijakan prioritas yang telah ditempuh
39. sepanjang 2004-2014. Hal ini dilakukan mengingat mesin pertumbuhan ekonomi nasional
sebagian besar disumbangkan sektor konsumsi.
Artinya dengan mengelola dan mengendalikan laju inflasi, daya beli masyarakat/rumah
tangga juga terjaga. Dengan terjaganya daya beli masyarakat, konsumsi akan terus tumbuh
dan diharapkan terus menopang pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Indonesia
termasuk negara yang dipandang berhasil dalam mengelola dan mengendalikan laju inflasi.
Hal ini setidaknya dapat terlihat dari kebijakan pengendalian subsidi BBM yang
dikhawatirkan dapat memicu lonjakan inflasi.
Untuk menjaga kesinambungan fiskal, pemerintah telah melakukan penyesuaian harga BBM
bersubsidi pada tahun 2005, 2008 dan 2013. Penyesuaian harga BBM subsidi ini dipandang
banyak kalangan akan mendorong lonjakan inflasi dan membawa ekonomi nasional ke risiko
yang lebih dalam. Kendati demikian, pemerintah berhasil menepis anggapan tersebut dengan
memperkuat koordinasi otoritas fiskal-moneter, pusat-daerah, agar risiko lonjakan inflasi
dapat ditekan semaksimal mungkin.
Hasilnya memang ada lonjakan inflasi 3-4 bulan pascapenyesuaian harga, tetapi bersifat
temporer dan akan kembali ke titik keseimbangannya. Pengelolaan risiko inflasi dari waktu
ke waktu juga menunjukkan peningkatan kualitas pengelolaan di mana inflasi pada
penyesuaian harga BBM subsidi 2005 mencapai 17%, 2008 11%, dan 2013 8,3%. Tentunya
ini potret perbaikan yang berkesinambungan. Keberhasilan pengendalian inflasi di Indonesia
didorong oleh semakin kuatnya koordinasi otoritas fiskal-moneter dan koordinasi pusat-
daerah.
Pada kebijakan fiskal, pemerintah terus mendorong perbaikan neraca transaksi berjalan
dengan menekan pelebaran defisit, memastikan jaminan pasokan barang/jasa sekaligus
stabilisasi harga di tingkat konsumen, khususnya barang/jasa yang diatur pemerintah
(administered price). Pemerintah juga mengimbau kepada para pelaku usaha untuk
menghindari PHK yang dapat melemahkan daya beli masyarakat.
Dari sisi kebijakan moneter, Bank Indonesia telah menempuh sejumlah bauran kebijakan
moneter, di antaranya menaikkan suku bunga acuan, melakukan operasi moneter ke pasar,
dan stabilisasi nilai tukar rupiah. Untuk kebijakan makroprudensial, bank sentral terus
mendorong upaya memitigasi risiko sistemik di sektor keuangan serta pengendalian kredit
dan likuiditas agar sejalan dengan pengelolaan stabilitas makroekonomi. Sementara di bidang
sistem pembayaran, kebijakan diarahkan untuk pengembangan industri sistem pembayaran
domestik yang lebih efisien.
Pengelolaan dan pengendalian inflasi nasional juga dikontribusi semakin kuatnya koordinasi
pusat-daerah melalui Tim Pengendalian Inflasi yang telah dibentuk baik secara nasional
maupun di tiap daerah. Hingga saat ini telah terbentuk sebanyak 210 Tim Pengendalian
Inflasi Daerah (33 provinsi dan 177 kabupaten/kota). Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID)
ini bertugas mengawasi dan melakukan tindakan antisipatif untuk meredam kenaikan harga-
40. harga, khususnya komoditas pokok seperti pangan.
Koordinasi antara pusat dan daerah ini menjadi sangat strategis mengingat 80% angka inflasi
nasional bersumber dari daerah-daerah di luar Jakarta. Selain harga komoditas, TPID ini juga
diharapkan dapat memonitor perkembangan tarif angkutan yang memiliki dampak besar bagi
peningkatan harga komoditas. Dengan meningkatnya koordinasi antara pusat-daerah, risiko
lonjakan inflasi dapat dikendalikan di samping melakukan penguatan kapasitas ekonomi
daerah, pembangunan infrastruktur daerah, reformasi birokrasi dan sejumlah hal yang dapat
mereduksi ekonomi biaya tinggi.
Pada periode 2014-2019, Indonesia akan menghadapi sejumlah tantangan dengan muatan
ketidakpastian yang tinggi khususnya terkait dengan perubahan cuaca ekstrem dan
terganggunya pasokan barang/jasa akibat ketegangan global. Menjelang Pilpres 9 Juli 2014,
ekonomi nasional diperhadapkan pada risiko inflasi musiman memasuki masa tahun ajaran
baru, bulan puasa, dan Lebaran. Pengamanan jalur-jalur distribusi beserta infrastruktur yang
melekat di dalamnya perlu untuk segera dipersiapkan dalam beberapa waktu ke depan di
samping ketersediaan pasokan yang memadai.
Hal ini tentu tidak hanya bersifat short-term mengingat tahun depan Indonesia juga akan
menghadapi pasar bebas ASEAN. Dengan demikian, pekerjaan perdana bagi presiden terpilih
nantinya adalah mengelola dan mengendalikan risiko inflasi sebagai faktor yang berdampak
besar bagi pertumbuhan konsumsi sekaligus pertumbuhan nasional di tengah tekanan
lonjakan harga komoditas (eksternal) dan ketersediaan pasokan serta infrastruktur
distribusinya (internal).
PROF FIRMANZAH PhD
Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi dan Pembangunan
41. Membangun Budaya Bangga Punya
Rumah
Kebutuhan rumah merupakan salah satu dari tiga kebutuhan pokok manusia: sandang,
pangan, dan papan. Untuk memberikan pilihan dan harga yang terjangkau, beragam sandang
dan pangan diimpor untuk masyarakat.
Rumah pun demikian. Pemerintah terus mengeluarkan berbagai kebijakan dan program untuk
memenuhi kebutuhan rumah, terutama rumah kelompok masyarakat menengah bawah.
Rumah sederhana yang sehat, terintegrasi dengan infrastruktur transportasi publik dan
fasilitas sosial menjadi prasyarat penting kelas menengah bawah untuk hidup. Untuk
memenuhi kebutuhan tersebut tidaklah mudah karena harga rumah yang relatif susah digapai
kelas menengah bawah.
Diperlukan lembaga pembiayaan khusus yang mampu membantu kelas menengah bawah
untuk memiliki rumah. Di situlah peran strategis bank memberikan layanan kredit properti
yang fokus pada segmen menengah bawah. Rumah yang terintegrasi dengan infrastruktur
mapan berikut transportasi publik yang terjangkau memberi masyarakat akses untuk
beraktivitas.
Ruang terbuka hijau dan fasilitas umum seperti sekolah, rumah sakit yang berkualitas, dan
dekat rumah memberikan kenyamanan masyarakat. Dengan demikian, baiti jannati (rumahku
surgaku) dapat dicapai. Namun budaya memiliki rumah ini makin lama makin turun karena
berbagai hal. Salah satunya adalah middle income trap. Pilihan konsumsi kelas menengah
semakin banyak. Biaya pulsa, kendaraan, transportasi, lifestyle, dan masih banyak lagi
berlomba menguras kantong kelas menengah.
Budaya yang diwariskan dari pendahulu bahwa pasangan muda itu baru boleh bangga dan
gagah saat punya rumah sendiri lambat laun makin luntur. Berganti dengan budaya
konsumtif. Keinginan untuk memiliki rumah menjadi prioritas kesekian, dikalahkan oleh
banjirnya produk konsumtif yang menarik. Budaya memiliki rumah ini yang harus diangkat
lagi ke permukaan. Tidak hanya sebagai bentuk pemenuhan kebutuhan terhadap papan, tetapi
juga bentuk investasi.
Membeli produk eletronik, gadget, automotif, dan sejenisnya terus turun nilainya setiap saat.
Bahkan beberapa detik setelah kita beli pun kalau kita jual kembali harga turun. Berbeda
dengan membeli rumah yang harganya terus naik.Budaya “bangga punya rumah” akan
membawa bangsa Indonesia lolos dari middle income trap dan generasinya dapat
menyelamatkan hasil kerjanya dengan memiliki rumah, bukan hanya menjadi budak
42. konsumerisme.
Dengan menggalakkan bangga punya rumah, secara langsung akan terjadi multiplier ekonomi
yang besar. Pusat Studi Properti Indonesia (PSPI) pernah mengklaim ada sekitar 135 industri
terkait dengan pembangunan perumahan di Indonesia.
Panangian Simanungkalit, Direktur PSPI, menjelaskan ketika terjadi suatu pembangunan
perumahan dalam suatu kawasan di wilayah perkotaan misalnya, tak kurang dari 135 industri
terkait yang berada di sekitarnya ikut menikmati perputaran uang yang terjadi atas
pembangunan perumahan tersebut. Budaya “bangga punya rumah” ini harus terus digalakkan.
Upaya-upaya negara untuk memberikan kemudahan perusahaan properti membangun produk
yang menjawab kebutuhan kelas menengah harus terus didukung. Demikian juga dukungan
terhadap lembaga pembiayaan yang fokus di pembiayaan properti, khususnya segmen
menengah bawah. Lembaga pembiayaan khusus tersebut sangat strategis untuk
menyelamatkan Indonesia dari middle income trap.
Bisnis KPR kelas menengah bawah adalah prioritas utama PT Bank Tabungan Negara
(Persero) Tbk. Sejak ditunjuk pemerintah tahun 1974 untuk mendukung pembiayaan program
rumah nasional (rakyat), Bank BTN hingga saat ini masih terus menunjukkan perannya
sebagai kepanjangan tangan pemerintah dalam program rumah rakyat tersebut. Tak kurang
dari 3,6 juta rumah sudah dibiayai Bank BTN.
Jika rata-rata 4 orang yang menghuni rumah, lebih dari 15 juta masyarakat Indonesia paling
tidak sudah menikmati tinggal di rumah yang dibiayai Bank BTN. Setiap tahun, Bank BTN
memberikan kredit kepada 100.000 lebih pemilik rumah di mana sebagian besarnya adalah
rumah pertama. Keunikan layanan dan pengalaman tersebut menjadikan BTN menguasai
pasar kredit properti, khususnya segmen menengah bawah untuk rumah pertama.
Dapat dikatakan hingga hari ini, bank yang memberikan layanan pembiayaan rumah untuk
kelas menengah bawah didominasi BTN. Sebagai korporasi, BTN terus berupaya agar dapat
berperan lebih banyak untuk membantu masyarakat memiliki rumah. Langkah ini tak mudah
meskipun BTN adalah bank besar peringkat ke-10 dari 120 bank nasional.
Perlu Kerja Keras Bersama
Jumlah backlog perumahan secara nasional terus meningkat dari tahun ke tahun.
Kekurangannya sudah menembus 20 juta unit. Setiap tahun ada tambahan permintaan 1 juta–
1,5 juta unit. Sementara pasokan hanya 600.000–800.000 unit. Diperlukan kerja keras
bersama antara pemerintah pusat, daerah, perusahaan properti, dan lembaga pembiayaan
untuk mencukupi kebutuhan rumah kelas menengah bawah tersebut.
Pemerintah pusat perlu menyusun perangkat aturan untuk mendukung perusahaan properti,
pemerintah daerah menyusun rencana tata ruang dan wilayah yang strategis, perusahaan
43. properti membangun sesuai koridor aturan yang ditetapkan, lembaga pembiayaan mendukung
proses konstruksi hingga kredit kepemilikan rumahnya.
Semua harus sinergi. Bank BTN yang bisnis utamanya pada pembiayaan perumahan sudah
pasti perannya sangat strategis. Saat ini korporasi sedang menggodok program strategis yang
dapat meningkatkan jumlah nasabah KPR hingga 300–400% dari kapasitas tahunan yang
sudah berjalan. Semoga dalam waktu yang tidak terlalu lama program tersebut dapat berjalan.
Bank BTN akan menjadi housing bank.
Sederhananya Bank BTN menjadi “pabrik KPR” yang portofolionya dapat disekuritisasi atau
dijual ke lembaga keuangan lain sebagai portofolio kredit atau investasi. Untuk mendukung
program strategis tersebut, BTN akan memaksimalkan pendanaan tidak hanya dari dana
pihak ketiga yang sudah standar (tabungan, giro, deposito), tetapi juga melalui obligasi
jangka menengah panjang.
Tentunya jika BTN mendapat dukungan pemerintah untuk meningkatkan permodalan, lebih
banyak pendanaan alternatif jangka panjang dapat diterbitkan BTN. Keunikan pendanaan
BTN inilah yang menjadikan posisi loan to deposit ratio (LDR) seolah tinggi hingga di atas
100%. Jika memasukkan komponen obligasi, LDR BTN sekitar 85–88%. LDR ini hanya
salah satu contoh keunikan BTN dibandingkan bank pada umumnya.
Belum termasuk aspek operasional dan hal teknis lainnya. Program berikutnya adalah
mempererat kerja sama sekuritisasi dengan SMF yang sudah terjalin selama ini. BTN akan
mengembangkan sekuritisasi dan penjualan portofolio kredit BTN yang sehat ke bank lain.
Sinergi antarbank untuk samasama berbisnis sekaligus mengemban misi sosial menyediakan
kredit rumah yang terjangkau untuk segmen masyarakat menengah bawah.
Sederhananya sinergi antarbank adalah BTN menjadi originator dan servicer-nya. Semua
infrastruktur termasuk pengelolaan kredit dan collection-nya nanti Bank BTN yang
menyiapkan dan bank peserta tinggal menyiapkan funding-nya. Mereka akan mendapatkan
aset KPR dan BTN akan memperoleh fee based income untuk itu. Itulah rencana besar Bank
BTN membesarkan dirinya sendiri tanpa sentuhan pemerintah.
Bank BTN masih tetap menjadi harapan masyarakat kecil untuk memiliki rumah. Kalau pasar
KPR ini bisa terwujud dan SMF didorong kembali pada khitahnya, tidak mustahil Bank BTN
ke depan akan menjadi lebih besar. Kita lihat saja nanti.
MARYONO
Direktur Utama Bank BTN
44. Indonesia Oceanopolis
Beberapa pekan lalu mencuat kembali wacana mengenai tol laut yang membentang dari
Sumatera sampai Papua. Agak berbeda dengan jalan tol yang berada di darat atau jalan tol di
atas laut yang jelas fisiknya, jalur tol laut lebih imajiner. Jangan bayangkan jalan tol di atas
laut yang baru diresmikan di Pulau Bali.
Inti dari pembangunan tol laut sebetulnya bukan pada jalur lautnya itu sendiri, melainkan
pada pelabuhannya. Kelak, pelabuhan-pelabuhan yang terhubung oleh jalur tol laut tersebut
mesti ditingkatkan kapasitasnya agar bisa disinggahi oleh kapal-kapal yang berukuran besar.
Sekadar dipahami saja, dewasa ini ada 51 pelabuhan dunia yang mampu disinggahi VLCS
(very large container ship) dengan kapasitas angkut 10.000 kargo ukuran 20 feet (TEU).
Dewasa ini diperkirakan 90% non-bulk cargo di seluruh dunia diangkut kontainer dan kapal-
kapal kargo modern besar yang mampu mengangkut hingga 16.020 twenty-foot equivalent
units (TEUs) sekali jalan. Sekarang ini memang banyak pelabuhan besar kita yang
kapasitasnya masih terbatas. Misalnya Pelabuhan Belawan di Sumatera Utara yang dikenal
juga sebagai pelabuhan khusus crude palm oil (CPO), ternyata, baru bisa disinggahi kapal
berkapasitas 800 TEUs atau kontainer berukuran 20 kaki.
Kapasitas inilah yang mesti ditingkatkan. Pelabuhan Belawan dan pelabuhan-pelabuhan besar
lain mesti bisa disinggahi kapal-kapal yang berkapasitas 3.000 TEUs atau lebih. Setidak-
tidaknya seperti Pelabuhan Tanjung Priok yang bisa disinggahi kapal kontainer berkapasitas
4.000–6.000 TEUs. Untuk itulah pelabuhan-pelabuhan kita harus dibuat menjadi lebih dalam.
Dermaga dan fasilitas sandarnya juga mesti dibuat lebih panjang. Lalu, peralatan untuk
bongkar muat kontainer juga mesti dibenahi. Jumlahnya perlu ditambah dan penanganan
bongkar muatnya harus dibuat lebih cepat. Selagi kita membahas soal peningkatan kinerja
pelabuhan, saya ingin mengajak Anda untuk memperluas wacana diskusi.
Lima Lapisan
Indonesia sebagai negara kepulauan jelas memerlukan dukungan pelabuhan-pelabuhan laut
andal. Hingga saat ini daya saing pelabuhan-pelabuhan kita memang masih jauh dari harapan.
World Economic Forum menilai dari segi kualitas, pelabuhan kita berada di peringkat ke-103
dari 142 negara.
Sementara Global Competitiveness Report menilai daya saing pelabuhan kita berada di
peringkat ke-95 dari 134 negara yang disurvei. Lemahnya daya saing ini dipicu banyak
45. faktor. Misalnya kesulitan akses ke pelabuhan. Ini pada gilirannya memicu terjadinya
ekonomi biaya tinggi sehingga melemahkan daya saing produk-produk Indonesia di pasar
ekspor.
Selain itu, kondisi tersebut melemahkan daya saing Indonesia dalam menarik para investor
agar mau menanamkan modalnya di sini. Kondisi semacam itu tentu saja tidak boleh kita
biarkan sampai berlarut-larut. Harus segera dibenahi. Menurut saya, kita mestinya bisa
menjadikan pelabuhan sebagai driver bagi pengembangan ekonomi kawasan. Untuk itu
pelabuhan-pelabuhan kita perlu didesain sebagai kawasan bisnis terpadu sehingga
perusahaan-perusahaan yang berada di dalamnya bisa memperoleh manfaat optimal.
Di dalam kawasan, mereka bisa beroperasi dengan tingkat efisiensi yang tinggi. Dalam
bayangan saya, kawasan ini akan terdiri atas beberapa lapisan. Lapisan pertama adalah
pelabuhan itu sendiri yang sekaligus sebagai intinya (core).
Agar bisa menjadi driver, pelabuhan-pelabuhan kita perlu ditingkatkan kapasitasnya agar bisa
disinggahi kapal-kapal kontainer berukuran raksasa sekelas CMA CGM Marcopolo atau
Emma Maersk yang panjangnya hampir mencapai 400 meter atau empat kali panjang
lapangan sepak bola. Lalu, infrastrukturnya juga mesti dibenahi. Proses pelaporan dan
pengurusan dokumen, misalnya, harus dibuat lebih cepat dan berbasis teknologi informasi
(TI). Jadi, kelak tidak ada lagi dokumen yang harus diurus secara manual.
Lalu, dalam pemikiran saya, lapisan kedua akan menjadi kawasan pergudangan dan tempat
penimbunan peti kemas. Jadi, kontainer-kontainer yang baru dibongkar dari kapal, sebelum
diangkut ke lokasi tujuan, bisa disimpan di kawasan ini. Begitu pula kontainer-kontainer yang
akan dimuat bisa ditimbun dulu di sini.
Lapisan ketiga merupakan kawasan untuk pabrik-pabrik pengolahan atau manufaktur dari
produk-produk yang berorientasi ekspor. Misalnya, pabrik pengolahan mineral atau pabrik
CPO. Jadi, mineral-mineral dari lokasi pertambangan dikirim langsung ke pabrik pengolahan
di pelabuhan. Hasil pengolahannya bisa langsung dimuat ke kapal-kapal yang siap
membawanya ke pasar ekspor.
Banyak produk ekspor kita yang bersifat bulky. Jadi, kalau jarak dari pabrik ke pelabuhan
bisa dibuat sedekat mungkin, biaya transportasinya tentu akan jauh lebih murah. Ini tentu bisa
mendongkrak daya saing produkproduk ekspor kita. Lapisan keempat berisi bisnis-bisnis
yang menjadi pendukung aktivitas bisnis utama di seputar kawasan pelabuhan.
Jadi isinya bisa kantor-kantor perbankan, asuransi, perusahaan pelayaran, jasa forwarding,
jasa survei dan inspeksi, bahkan hotel, restoran, pusat perbelanjaan dan sarana hiburan
lainnya. Lapisan kelima adalah hunian dalam bentuk high rise building seperti apartemen.
Hunian ini terutama diperuntukkan bagi para karyawan yang bekerja di kawasan pelabuhan.
Koordinasi
46. Seluruh lapisan tersebut perlu ditopang oleh infrastruktur yang menjamin kelancaran
mobilitas manusia maupun barang yang masuk atau ke luar kawasan pelabuhan. Mungkin
kita bisa menyebut kawasan pelabuhan ini dengan istilah oceanopolis. Di Indonesia belum
ada kawasan pelabuhan yang didesain dengan konsep kawasan demikian.
Memang pada praktiknya banyak bisnis pendukung yang akhirnya memilih berlokasi di
seputar kawasan pelabuhan. Namun, itu kurang tertata. Dan, menurut saya, yang lebih
penting pelabuhan-pelabuhan kita belum didesain sebagai driver untuk pengembangan
ekonomi yang sesuai dengan potensi yang dimiliki suatu daerah.
Mungkin baru Pelabuhan Belawan yang didesain sebagai pelabuhan khusus CPO karena
banyak pabrik kelapa sawit yang berlokasi di Sumatera Utara. Pelabuhan-pelabuhan lain
belum. Mengembangkan pelabuhan dengan konsep demikian memerlukan dukungan yang
kuat dari para stakeholders. Perlu koordinasi yang kuat, mulai dari pemerintah di tingkat
pusat sampai daerah.
Betul, kita tahu koordinasi adalah “barang” termahal di negeri ini. Mungkin dengan konsep
ini kita bisa menguji bahwa koordinasi sebetulnya tidak mahal-mahal amat.