SlideShare a Scribd company logo
1 of 11
Militer dan Konspirasi Pilpres (1)
Mengapa Prabowo Segan
Berseteru Wiranto?
18
Prabowo Subianto dan Wiranto - inilahcom
Oleh: Derek Manangka
web - Jumat, 4 April 2014
INILAH.COM, Jakarta - Menjelang Pemilu Legislatif 9 April 2014, kecenderungan yang ada,
mengerucutnya persaingan antara Prabowo Subianto (Partai Gerindra) dan Joko Widodo
(PDIP).
Yang cukup menarik, kecenderungan itu terjadi secara tiba-tiba. Tidak lama setelah Ketua
Umum PDIP Megawati Soekarnoputri menetapkan Joko Widodo sebagai capres PDIP, pada 14
Maret 2014. Sebelum pencapresan Joko Widodo, hubungan Gerindra-PDIP, "fine-fine" saja.
Dalam analogi sederhana pertarungan ini, tak lebih dari sebuah subyektifitas Prabowo. Ia
merasa dikhianati oleh Joko Widodo ataupun Megawati Soekarnoputri. Sebab menurut versi
Prabowo, Joko Widodo atau Jokowi pernah menegaskan tidak akan mencalonkan diri sebagai
Presiden dalam Pilpres 2014. Sedangkan Megawati, kata Prabowo lagi, pada 2009 pernah
berjanji akan mendukung pencapresan dirinya dalam Pilpres 2014.
Tapi di luar analogi, mencuat pula spekulasi. Yaitu pertarungan Prabowo Subianto melawan
Jokowi sejatinya merupakan wujud persaingan antara kekuatan militer dengan kelompok sipil.
Dikotomi militer-sipil, sebuah isu politik yang sensitif, kembali diangkat ke permukaan.
Prabowo mewakili kekuatan militer dan Joko Widodo atau Jokowi mewakili kekuatan sipil. Lihat
saja sikap sejumlah jenderal pensiunan yang satu angkatan maupun yang lebih senior. Mereka
seperti membiarkan atau "menjerumuskan" Prabowo menyerang Jokowi.
Sayangnya, sekalipun fakta ini terjadi di depan mata, berbagai analisa dan liputan media, belum
ada yang tertarik menyorotinya. Para pengamat lebih tertarik mengomentari sikap
temperamental Prabowo dan puisi berisi sindiran yang dia tujukan ke Jokowi dan Megawati.
Tidak adanya analisa yang membedah isu persaingan militer dan sipil, bisa jadi kurang menarik,
karena penampilan Prabowo jauh lebih memikat. Boleh jadi juga karena ada unsur kesengajaan
dari para analis politik untuk menghindari isu tersebut - untuk melihat sejauh sensitifitas dikotomi
militer-sipil.
Keinginan militer bersaing dengan sipil, terbersit dari sikap Prabowo Subianto dalam
berkampanye. "Show of force", itulah yang paling menonjol. Unjuk kekuatan, begitulah yang
dipertontonkannya. Gaya militer yang tegas, cara memberi hormat ala militer - sekalipun yang
dihadapi publik sipil, demikian menonjol.
Tapi serangannya ke lawan politik, tidak dilakukan Prabowo kepada jenderal purnawirawan
Wiranto, yang juga termasuk salah satu pesaing dan lawan politiknya. Terhadap Wiranto, eks
petinggi militer yang pernah menjadi atasannya di 1998, Prabowo tak berani bereaksi spontan
apalagi bersikap temperamen.
Padahal kalau mau dicermati, pihak yang paling blak-blakan menyerang Prabowo Subianto,
justru Wiranto. Bukan Jokowi apalagi Megawati! Serangan Wiranto terhadap Prabowo secara
politik, tergolong yang paling keras. Bahkan bisa ditafsirkan sebagai sebuah pembunuhan
karakter.
Serangan yang dimaksud adalah pernyataan Wiranto yang mengungkapkan status Prabowo
Subianto. Menurut Wiranto, Prabowo dipecat dari dinas kemiliteran, akibat keterlibatannya dalam
penculikan.
Tidak disebutkan secara detil siapa yang diculik dan sedalam apa peran keterlibatan Prabowo.
Tetapi publik yang sudah mengikuti isu penculikan tersebut, sejak era Orde Baru (1990-an)
menangkap nuansa, Wiranto yang mantan Panglima TNI, merujuk pada para aktifis yang hilang
antara 1996-1998.
Salah satu sisi yang menarik dikritisi dalam serangan Wiranto tersebut, terletak pada cara
penyebaran informasinya. Pernyataan itu untuk pertama kalinya diungkap Wiranto dalam
wawancaranya dengan Arya Sinulingga dari kelompok media MNC, pada Maret 2013. Tapi
setahun kemudian, tepatnya semasa kampanye Pileg 2014, wawancara itu kembali disebarkan
oleh berbagai media.
Bahkan oleh media-media sosial, serangan Wiranto terhadap Prabowo itu ditautkan ke sesama
pemilik akun media sosial. Bisa dibayangkan, kalau pengguna internet mencapai 60 juta orang,
berapa juta manusia yang membaca serangan Wiranto kepada Prabowo tersebut.
Sejauh ini, Prabowo tidak pernah melakukan klarifikasi langsung dengan Wiranto. Prabowo yang
eks menantu Jenderal Soeharto, terkesan menghindari persinggungan atau perbenturan dengan
mantan ajudan Presiden Soeharto tersebut.
Yang menimbulkan pertanyaan, apakah Prabowo segan berseteru dengan Wiranto, karena
keduanya terikat pada komitmen sesama anggota keluarga militer atau oleh faktor lain?
Dalam Pileg dan Pilpres 2014, keduanya sudah mendeklarasikan sebagai calon presiden melalui
partai yang mereka dirikan masing-masing. Prabowo melalui Gerindra dan Wiranto melalui Partai
Hanura. Bahkan jauh sebelum persaingan di Pemilu 2014, keduanya sudah bersaing di 2004
dan 2009.
Pada 2004, keduanya ikut dalam konvensi capres Partai Golkar. Wiranto keluar sebagai
pemenangnya. Di 2009, kembali keduanya bersaing. Wiranto menjadi cawapres Partai Hanura
sementara Prabowo menjadi cawapres Megawati Soekarnoputri dari PDIP.
Jadi wajar kalau muncul pertanyaan, mengapa Prabowo tidak memusuhi Wiranto, tapi lebih
melihat Jokowi sebagai musuh terberat. Apakah Prabowo segan berseteru dengan Wiranto atau
di antara para jenderal pensiunan, memang ada konspirasi untuk mencegah munculnya
kekuatan (Presiden) sipil? [mdr/Bersambung]
Militer dan Konspirasi Pilpres (2)
Presiden Sipil ala SBY
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)
Oleh: Derek Manangka
web - Jumat, 4 April 2014
INILAH.COM, Jakarta - Berakhirnya kekuasaan Soeharto pada Mei 1998 oleh para
sejarawan dan analis politik dianggap sebagai berakhirnya hegemoni rezim militer di
Indonesia. Ditambah dengan tampilnya SBY sebagai Presiden melalui Pemilu 2004,
Indonesia tidak lagi dilihat sebagai sebuah negara yang dipimpin kekuatan militer.
Sebab selain sistem pemilihan yang digunakan dalam Pemilu 2004, dilakukan secara langsung
dan terbuka, sosok SBY sendiri lebih dilihat sebagai seorang tokoh sipil ketimbang militer.
Pendekatan SBY yang lebih persuasif ketimbang represif, telah mengubah citra Presiden ke-6 RI
tersebut sebagai seorang tokoh sipil yang dilahirkan dari perut militer. Baju militernya masih ada,
tetapi yang lebih menonjol karakter sipil. Kebetulan, SBY sendiri memang lebih banyak
menampilkan bahasa tubuh rezim sipil ketimbang militer.
SBY tidak temperamental dan yang paling membedakannya dengan para pemimpin militer di
negara-negara dunia ketiga, SBY tidak anti demokrasi. SBY tetap memberi ruang kebebasan,
terutama kepada media.
Sehingga banyak kalangan yang menghitung, sejak kejatuhan Jenderal Soeharto di 1998
sampai 2014 ini, Indonesia sudah dipimpin rezim sipil. Indonesia sudah dipimpin civil
societyselama kurang lebih 16 tahun. Kalau Jokowi terpilih sebagai Presiden dalam Pilpres
2014, usia rezim sipil di Indonesia bakal bertambah.
Tapi, begitukah realitanya?
Jawabannya bisa ya, bisa tidak. Tergantung dari sudut dan perspektif mana kita melihatnya.
Kalau dari segi kebebasan pers dan demokrasi, jawabannya iya. Tetapi kalau dilihat dari strategi
kepemimpinan, sejatinya Indonesia sejak era SBY, kembali dikuasai rezim militer.
Sehingga sejak kejatuhan Soeharto, pemerintahan sipil di Indonesia hanya berkuasa selama
1998-2004 atau enam tahun. Kepemimpinan sipil berusia seumur jagung itu hampir tak punya
arti sama sekali. Tak berdampak secara fundamental.
Dalam kurun waktu itu, kepemimpinan sipil Indonesia dibagi rata oleh tiga Presiden, BJ Habibie,
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Megawati Soekarnoputri. Jadi secara matematis, presiden
sipil yang memimpin Indonesia hanya berkuasa dua tahun.
Mengapa SBY tetap dikategorikan sebagai bagian dari pemerintahan militer? Lihat saja orang-
orang sekeliling Presiden SBY. Semuanya memiliki latar belakang militer. Sebut saja dua
jenderal purnawirawan yang paling dipercaya Presiden SBY yaitu Sudi Silalahi dan TB Silalahi.
Sudi Silalahi yang bekas Pangdam Brawijaya, menjadi semacam penjaga pintu bagi pos terakhir
di Istana Kepresidenan. Ia dipercaya menjadi Menteri Sekretaris Negara. Sudi Silalahi ibarat
organ tubuh manusia, posisinya seperti sebuah jantung,
Jabatan ini sempat dipercayakan kepada Hatta Rajasa, Menko Perekonomian yang kemudian
menjadi besannya. Tapi durasi paling lama tetap diberikan oleh SBY kepada Sudi Silalahi.
Bahkan ketika SBY masih menjabat Menko Polkam dalam pemerintahan Presiden Megawati
(2001-2004), Sudi Silalahi sudah dipercaya sebagai Sekretaris Menko Polkam. Sehingga de
facto, SBY telah menjalankan pola kerjanya dengan sistem militer sejak di era Presiden
Megawati.
Sementara TB Silalahi yang di era Orde Baru pernah dipercaya Jenderal Soeharto memimpin
Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN), oleh Presiden SBY diberi kepercayaan
melakukan lobi khusus untuk hal-hal yang bersifat strategis. TB Silalahi misalnya ditugaskan
Presiden SBY untuk merealisasikan keinginan Indonesia menjadi anggota pasukan perdamaian
PBB di Libanon Selatan.
Banyak analis menilai pekerjaan dan tugas TB Silalahi itu mirip sebuah "mission impossible".
Sebab penentangan paling kuat terhadap keinginan Indonesia, datang dari Israel. Otoritas Israel
menilai posisi Indonesia yang tidak mengakui eksistensi Israel sebagai sebuah negara, tidak
layak menjadi anggota pasukan perdamaian PBB di Libanon Selatan.
Posisi Indonesia yang tidak netral, menurut Israel, tidak mungkin diberi peran mencegah
terjadinya konflik antara Israel dengan Hisbullah, kelompok perlawanan Islam yang memusuhi
Israel di bagian selatan Libanon.
Namun, TB Silalahi mampu menyelesaikan misi yang dibebankan SBY kepadanya. Indonesia
hingga sekarang masih menampatkan kontingennya di pasukan perdamaian PBB di Libanon
Selatan.Dan last but not least important, berkat keberhasilan TB Silalahi, putera sulung SBY,
Kapten Infantri Agus Harimurti sempat mengenyam pengalaman di pasukan berbendera PBB.
Untuk bidang politik dan keamanan, SBY tetap mempercayakan seorang pensiunan jenderal
memimpin kementerian tersebut yakni Djoko Suyatno. Hanya saja kepintaran SBY di dalam
mengelola sekaligus menyembunyikan kesan beroperasinya pemerintahan militer, cukup tinggi.
Sulit terbaca oleh kacamata yang tidak secara teratur dan tetap mengikuti perkembangan politik.
Demikian pintarnya SBY mengelola Indonesia melalui cara-cara militer, membuat seorang politisi
Senayan berani menegaskan, seburuk apapun kepemimpinan SBY, tak akan mungkin terjadi
kudeta militer di Indonesia.
Di luar pemerintahan, SBY juga menjadikan Partai Demokrat sebagai partai yang "dekat" dengan
alam militer. Partai ini pernah dipimpin Hadi Utomo, seorang pensiunan Kolonel yang kebetulan
saudara ipar SBY. Sejumlah fungsionaris Partai Demokrat, terdiri atas pensiunan militer. DPD
Demokrat DKI misalnya, dipimpin Mayjen purnawirawan.
Bahkan dalam konvensi capres Partai Demokrat, dua dari sebelas peserta, berasal dari
kalangan militer. Keduanya adalah Pramono Edhie dan Endriartono Sutarto, masing-masing
pernah menjabat Kepala Staf Angkatan Darat.
Di luar pemerintahan, SBY juga mencoba memasukkan personalia militer di penyelenggaraan
Pemilu 2014. Menjelang penetapan calon tetap anggota legislatif, KPU sempat menyetujui
Lembaga Sandi Negara yang dimpimpin seorang Mayor Jenderal untuk ikut mengawasi
penghitungan suara hasil Pemilu.
Ide ini dicurigai datang dari kalangan lingkar satu kepresidenan atau bisa jadi langsung dari
Presiden SBY sendiri. Agendanya, tidak lain untuk memberi peran besar kepada korps militer.
Atau secara bertahap mengembalikan kekuatan militer di panggung pemerintahan nasional.
Kalaupun tidak persis sama dengan era Orde Baru, tetapi minimal, kekuatan militer bisa hadir
secara terbuka tanpa ada kecurigaan. Hanya saja, manuver itu terbaca oleh berbagai pihak,
yang berujung pada keputusan Lembaga Sandi Negara mengundurkan diri dari kerja samanya
dengan KPU.
Tentang kepintaran SBY yang mampu mengesankan, pemerintahannya tidak militeristik,
memang menuai spekulasi. Yaitu SBY terpaksa harus menonjolkan sosok sipil dari porto folio
pemerintahannya. Karena hal itu disadari oleh SBY sebagai sebuah tuntutan politik yang tidak
tertulis dari rakyat dan bangsa Indonesia.
Tapi ada pula yang berspekulasi, kepemimpinan SBY yang mengurangi warna militer dalam
tampilan pemerintahannya, memang wajib dan harus dilakukannya. Sebab itulah yang diinginkan
kekuatan luar, kekuatan asing yang tidak terlihat namun menjadi pendukung utamanya.
Pada tahun ini, SBY sesuai konstitusi harus melepas kekuasaannya. Sangat wajar apabila ada
keinginan kelompok militer melanjutkan kekuasaan militer yang sudah dipetakan oleh SBY.
Masuk akal apabila SBY tetap berkeinginan, tongkat estafet kepemimpinannya jatuh ke tangan
militer atau eks militer. Karena boleh jadi SBY dan kawan-kawan militernya, tidak merasa aman,
apabila Indonesia dipimpin oleh kekuatan sipil.
Rasa tidak aman itu, cukup beralasan. Sipil, selain tidak memiliki sistem pengkaderan yang baik
dan melembaga, seperti halnya di militer, kalangan ini sangat mudah terpancing untuk gontok-
gontokan. Dalam sipil tidak ada sistem komando. Sipil menganut sistem egaliter.
Jadi bagi SBY ataupun kelompok militer, mereka tidak peduli siapapun yang menjadi penerus
estafet pemerintahan SBY, yang penting militer. Apakah dia Prabowo Subianto, Wiranto,
Sutiyoso, Pramono Edhie atau Endriartono Sutarto.
Masih terlalu pagi menyebutnya sebuah konspirasi, tetapi benang merahnya cukup mudah
dilihat. [mdr/Bersambung]
Militer dan Konspirasi Pilpres (3)
Diaspora, Strategi TNI di Civil
Society
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) - (Foto: INILAHCOM/Agus Priatna)
Oleh: Derek Manangka
web - Sabtu, 5 April 2014
INILAH.COM, Jakarta - Maret 2013 ada dua kejadian politik di Istana Merdeka, Jakarta.
Peristiwa yang melibatkan sejumlah jenderal purnawirawan (senior) yaitu Presiden SBY
menerima sejumlah jenderal senior yang terbagi atas dua kelompok dan tidak saling
"akur".
Kelompok pertama Prabowo Subianto. Ia diterima sendirian oleh Presiden SBY pada 11 Maret
2013. Prabowo datang sebagai pendiri Partai Gerindra. Topik yang dibicarakan, tidak dijelaskan
secara apa adanya. Namun publik bisa menebak, isu sentralnya tidak jauh dari sekitar politik
nasional secara satu kesatuan dan Pemilu 2014.
Dua hari kemudian, 13 Maret 2013, Presiden SBY kembali menerima jenderal senior yang
jumlahnya lebih banyak - tujuh orang. Mereka diantar Luhut Panjaitan yang terdiri atas Subagyo
HS (bekas KSAD-Kepala Staf Angkatan Darat), Fahrul Rozi (mantan Wakil Panglima TNI), Agus
Wijaya (mantan Kepala Staf Teritorial), Johny Lumintang (mantan Wakil KSAD), Sumardi (bekas
Direktur Latihan Kodiklat) dan Suadi Marasabessy (eks Kepala Staf Umum TNI).
Peristiwa ini menjadi bahasan terbatas di kalangan para pemerhati politik dan pengamat militer.
Soalnya pertemuan terpisah ini seakan menyiratkan telah terjadi perpecahan yang cukup serius
di kalangan jenderal senior atau para sesepuh TNI. Dan perpecahan tersebut dapat
mempengaruhi stabilitas dan konstalasi politik nasional.
Rakyat sipil, boleh saja terpecah. Namun sehebat-hebatnya perpecahan di kalangan sipil, jika
tidak ada senjata, tak akan menuai risiko yang lebih besar. Tapi jangan sampai terjadi, hal
serupa melanda kalangan militer. Karena yang paling dikhawatirkan, perpecahan di kalangan
jenderal senior itu bisa diikuti oleh para prajurit bersenjata.
Kekhawatiran semakin menjadi, sebab ada rumor yang menyebutkan kedatangan Luhut
Panjaitan dan kawan-kawan ke Istana untuk meyakinkan Presiden SBY bahwa niat Prabowo
menjadi Presiden RI, tidak didukung oleh ketujuh jenderal tersebut.
Setahun kemudian, Maret 2014, peristiwa yang hampir serupa kembali terjadi. Kali ini jumlah
jenderal senior yang berkumpul lebih banyak. Hanya saja pertemuan tidak dilaksanakan di
Istana dan juga tidak dihadiri Presiden SBY.
Prabowo Subianto menggelar pertemuan dengan 80 jenderal senior sementara Luhut Panjaitan
bertemu dengan senior lainnya, sebanyak 20 orang. Tak pelak lagi, kabar pertemuan itu semakin
memicu kekhawatirkan tentang kemungkinan potensi meletusnya "Perang Bintang", perang
antara militer yang tanda pangkat mereka berbentuk bintang. Prabowo dan Luhut saling
mengklaim sesuai kepentingan politik masing-masing.
Prabowo menyebut para jenderal senior yang bertemu dengannya, mendeklarasikan dukungan
mereka teradap pencapresannya. Di pihak lain, Luhut Panjaitan yang bertindak selaku juru
bicara dari dua puluh jenderal, menegaskan dia dan kawan-kawan sudah sepakat mendukung
Jokowi sebagai calon presiden RI periode 2014 - 2019.
Makna politiknya, Luhut cs mau menjegal perjuangan Prabowo menjadi Presiden RI. Aneh,
membingungkan, itulah kalimat pertama yang menyeruak dari mulut sejumlah politisi, ketika
memberi penilaian manuver politik yang dilakukan Prabowo Subianto dan Luhut Panjaitan.
Aneh dan membingungkan, sebab manuver politik oleh kedua bekas anggota pasukan baret
merah itu, sangat kontras dengan jargon yang selalu menyebut tingginya kekompakan di
kalangan militer.
TNI atau militer merupakan korps yang paling kompak di republik ini. TNI tidak mengenal
dualisme. TNI patuh pada garis komando. Senioritas di TNI sangat dijunjung.
Aneh dan membingungkan, sebab di 1980-an, Prabowo dan Luhut merupakan dua prajurit
terpilih yang disekolahkan oleh Mabes TNI AD ke Jerman Barat, untuk mengikuti pendidikan
bagaimana meng-counter terorisme.
Di luar dunia militer, pada satu masa Prabowo dan Luhut dikenal sebagai dua jenderal senior
yang berduet di dunia bisnis. Pernah diberitakan, Prabowo dan Luhut mengakuisisi perusahaan
kertas milik taipan di era Orde Baru, Bob Hasan.
Dengan menjadi pebisnis, Prabowo dan Luhut sebetulnya sudah mengadopsi paradigma baru
yaitu menjalin hubungan baik dengan mitra bisnis manapun. Perang dengan menggunakan
senjata, sudah jauh dari gaya hidup mereka yang ada hanya perang bisnis.
Membingungkan sekaligus mengkhawatirkan, sebab polarisasi yang ditunjukkan Prabowo dan
Luhut, mulai dimuati oleh rumor dan isu SARA. Prabowo dikatakan, seorang jenderal yang
didukung kekuatan Islam dan Luhut oleh kelompok Kristen dan sekaligus mendapat bantuan
pihak asing, Amerika Serikat bahkan oleh lobi Israel.
Lantas apa pendidikan politik yang bisa dipetik dari perpecahan para jenderal senior ini?
Agaknya publik harus lebih alert dan cermat. Jangan sampai dipengaruhi oleh kabar perpecahan
tersebut. Publik jangan terburu-buru menarik kesimpulan, telah terjadi perpecahan yang serius di
kalangan para jenderal senior atau TNI secara keseluruhan.
Sikap yang paling aman adalah melihat atau mencurigai manuver kedua jenderal senior
tersebut. Yakni perpecahan ataupun permusuhan Prabowo dan Luhut, tidak lebih dari sebuah
strategi yang biasa digunakan para ahli politik di institusi militer.
Satu strategi untuk membaca bagaimana sebetulnya opini publik terhadap pencapresan tokoh
yang berlatar belakang militer. Kalau bicara soal strategi untuk mendapatkan peta situasi yang
ril, militer sangat terlatih untuk itu. Latihan tersebut mencakup bagaimana melakukan desepsi
kepada pihak yang hendak jadi sasaran.
Strategi ini harus dilakukan, sebab secara legal, militer apalagi eks militer sudah tidak punya
akses untuk berpolitik. Para jenderal senior tak bisa lagi terang-terangan membangun kekuatan
untuk meraih kekuasaan tertinggi di republik tercinta ini.
TNI tidak bisa berpolitik. Tapi kalau TNI juga menerima mentah-mentah begitu saja, tanpa
alternatif, eksistensi dan harga diri korps juga lama-lama akan tergerus. Maka alternatif yang
paling tepat adalah tetap berada di wilayah kekuasaan sipil, tanpa harus mengenakan baju
militer.
Soalnya masyarakat madani (civil society) yang sudah menggantikan militer, jika tidak didesepsi,
akan dengan cepat berreaksi, apabila militer ingin kembali berkuasa seperti di era Orde Baru.
Di 2004 merupakan tahun terakhir militer atau TNI memiliki fraksi di DPR-RI. Keputusan
menghapus fraksi militer di DPR-RI merupakan bagian dari tuntutan reformasi. Karena tuntutan
reformasi, kehendak mayoritas rakyat Indonesia, TNI pun kelihatannya terpaksa menerima
penghapusan itu.
Walaupun begitu, hal tersebut tidak berarti di DPR serta merta tak ada lagi wakil TNI atau militer.
Kenyataannya, jumlah mantan perwira TNI menjadi anggota DPR-RI sejak Pemilu 2004, justru
lebih banyak dan tersebar di berbagai fraksi. Para mantan anggota militer itu menjadi wakil
rakyat melalui fraksi-fraksi yangt berbeda.
Menyebar ke berbagai kekuatan politik, juga dilakukan oleh para jenderal senior. Seperti halnya,
Luhut menjadi anggota Dewan Pembina DPP Golkar, Sutiyoso sebagai Ketua Umum Partai
Keadilan dan Persatuan Indonesia, Pramono Edhie dan Endriartono Sutarto sebagai kader dan
capres Partai Demokrat kemudian Prabowo Subianto dan Glenny Kairupan yang berada di
Partai Gerindra.
Strategi menyebar atau diaspora ini, memang sulit terbaca. Terutama oleh kalangan sipil yang
melihat manuver politik militer atau eks militer, hanya dengan kaca mata biasa. Tetapi
sesungguhnya sejak reformasi, strategi diaspora ini, sudah dilakukan begitu rezim militer
berganti ke pemerintahan sipil.
Di pemerintah sipil BJ Habibie (1998-1999) terdapat jenderal senior seperti Yunus Yosfiah dan
Sintong Panjaitan. Di era Abdurrahmwan Wahid (1999-2001), terdapat jenderal senior seperti
SBY. Lalu di era Megawati Soekarnoputri (2001 -2004) terdapat jenderal senior seperti AM
Hendropriyono, Agum Gumelar, Theo Syafei (almarhum) dan TB Hasanuddin.
Oleh sebab itu kalau Luhut Panjaitan mendeklarasasikan dukungannya terhadap Jokowi, hal itu
harus dibaca sebagai usaha militer atau jenderal senior untuk tetap mempertahankan eksistensi
baju loreng dan sepatur lars.
Karena bila Jokowi benar-benar terpilih sebagai Presiden, setidaknya, di pemerintahan sipil itu,
tak ada penolakan terhadap militer, khususnya yang diwakili oleh jenderal senior seperti Luhut
Panjaitan. [mdr/Habis].

More Related Content

Viewers also liked

(Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november ...
(Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november ...(Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november ...
(Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november ...ekho109
 
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 14.4.2014-9.4.2014
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 14.4.2014-9.4.2014(Sindonews.com) Opini sosial budaya 14.4.2014-9.4.2014
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 14.4.2014-9.4.2014ekho109
 
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 27 oktober 2015-21 desember 2015
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 27 oktober 2015-21 desember 2015(Sindonews.com) Opini hukum-politik 27 oktober 2015-21 desember 2015
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 27 oktober 2015-21 desember 2015ekho109
 
[Sindonews.com] Opini ekonomi Koran SINDO 14 agustus 2014-15 September 2014
[Sindonews.com] Opini ekonomi Koran SINDO 14 agustus 2014-15 September 2014[Sindonews.com] Opini ekonomi Koran SINDO 14 agustus 2014-15 September 2014
[Sindonews.com] Opini ekonomi Koran SINDO 14 agustus 2014-15 September 2014ekho109
 
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014ekho109
 
(Sindonews.com) opini hukum-politik 21 desember 2015-10 februari 2015
(Sindonews.com) opini hukum-politik 21 desember 2015-10 februari 2015(Sindonews.com) opini hukum-politik 21 desember 2015-10 februari 2015
(Sindonews.com) opini hukum-politik 21 desember 2015-10 februari 2015ekho109
 
(Sindonews.com) Opini sosial-budaya 15 januari 2016-15 februari 2016
(Sindonews.com) Opini sosial-budaya 15 januari 2016-15 februari 2016(Sindonews.com) Opini sosial-budaya 15 januari 2016-15 februari 2016
(Sindonews.com) Opini sosial-budaya 15 januari 2016-15 februari 2016ekho109
 
(Sindonews.com) Opini sosial-budaya 10 desember 2015-15 januari 2016
(Sindonews.com) Opini sosial-budaya 10 desember 2015-15 januari 2016(Sindonews.com) Opini sosial-budaya 10 desember 2015-15 januari 2016
(Sindonews.com) Opini sosial-budaya 10 desember 2015-15 januari 2016ekho109
 
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 10 februari 2016-26 maret 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 10 februari 2016-26 maret 2016(Sindonews.com) Opini hukum-politik 10 februari 2016-26 maret 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 10 februari 2016-26 maret 2016ekho109
 
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 15 februari 2016 25 maret 2016
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 15 februari 2016 25 maret 2016(Sindonews.com) Opini sosial budaya 15 februari 2016 25 maret 2016
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 15 februari 2016 25 maret 2016ekho109
 

Viewers also liked (10)

(Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november ...
(Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november ...(Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november ...
(Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november ...
 
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 14.4.2014-9.4.2014
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 14.4.2014-9.4.2014(Sindonews.com) Opini sosial budaya 14.4.2014-9.4.2014
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 14.4.2014-9.4.2014
 
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 27 oktober 2015-21 desember 2015
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 27 oktober 2015-21 desember 2015(Sindonews.com) Opini hukum-politik 27 oktober 2015-21 desember 2015
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 27 oktober 2015-21 desember 2015
 
[Sindonews.com] Opini ekonomi Koran SINDO 14 agustus 2014-15 September 2014
[Sindonews.com] Opini ekonomi Koran SINDO 14 agustus 2014-15 September 2014[Sindonews.com] Opini ekonomi Koran SINDO 14 agustus 2014-15 September 2014
[Sindonews.com] Opini ekonomi Koran SINDO 14 agustus 2014-15 September 2014
 
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014
 
(Sindonews.com) opini hukum-politik 21 desember 2015-10 februari 2015
(Sindonews.com) opini hukum-politik 21 desember 2015-10 februari 2015(Sindonews.com) opini hukum-politik 21 desember 2015-10 februari 2015
(Sindonews.com) opini hukum-politik 21 desember 2015-10 februari 2015
 
(Sindonews.com) Opini sosial-budaya 15 januari 2016-15 februari 2016
(Sindonews.com) Opini sosial-budaya 15 januari 2016-15 februari 2016(Sindonews.com) Opini sosial-budaya 15 januari 2016-15 februari 2016
(Sindonews.com) Opini sosial-budaya 15 januari 2016-15 februari 2016
 
(Sindonews.com) Opini sosial-budaya 10 desember 2015-15 januari 2016
(Sindonews.com) Opini sosial-budaya 10 desember 2015-15 januari 2016(Sindonews.com) Opini sosial-budaya 10 desember 2015-15 januari 2016
(Sindonews.com) Opini sosial-budaya 10 desember 2015-15 januari 2016
 
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 10 februari 2016-26 maret 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 10 februari 2016-26 maret 2016(Sindonews.com) Opini hukum-politik 10 februari 2016-26 maret 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 10 februari 2016-26 maret 2016
 
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 15 februari 2016 25 maret 2016
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 15 februari 2016 25 maret 2016(Sindonews.com) Opini sosial budaya 15 februari 2016 25 maret 2016
(Sindonews.com) Opini sosial budaya 15 februari 2016 25 maret 2016
 

Similar to Militer dan konspirasi pilpres (oleh: Derek Manangka @inilah.com)

(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 oktober 2016-3 november 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 oktober 2016-3 november 2016(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 oktober 2016-3 november 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 oktober 2016-3 november 2016ekho109
 
TUgas Design Majalah Antik
TUgas Design Majalah AntikTUgas Design Majalah Antik
TUgas Design Majalah AntikSigit Sarwoko
 
Soeharto
SoehartoSoeharto
SoehartoLa Mone
 
Soeharto1
Soeharto1Soeharto1
Soeharto1La Mone
 
Ria edit
Ria editRia edit
Ria editLa Mone
 
Soeharto before
Soeharto beforeSoeharto before
Soeharto beforeLa Mone
 
Soeharto 5
Soeharto 5Soeharto 5
Soeharto 5La Mone
 
Chapter i
Chapter iChapter i
Chapter iLa Mone
 
PERKEMBANGAN POLITIK DI INDONESIA dan per
PERKEMBANGAN POLITIK DI INDONESIA dan perPERKEMBANGAN POLITIK DI INDONESIA dan per
PERKEMBANGAN POLITIK DI INDONESIA dan persyaukanisaputra
 

Similar to Militer dan konspirasi pilpres (oleh: Derek Manangka @inilah.com) (11)

(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 oktober 2016-3 november 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 oktober 2016-3 november 2016(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 oktober 2016-3 november 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 oktober 2016-3 november 2016
 
Document (8)
Document (8)Document (8)
Document (8)
 
TUgas Design Majalah Antik
TUgas Design Majalah AntikTUgas Design Majalah Antik
TUgas Design Majalah Antik
 
Soeharto
SoehartoSoeharto
Soeharto
 
Soeharto1
Soeharto1Soeharto1
Soeharto1
 
Ria edit
Ria editRia edit
Ria edit
 
Soeharto before
Soeharto beforeSoeharto before
Soeharto before
 
Soeharto 5
Soeharto 5Soeharto 5
Soeharto 5
 
Ppt politik
Ppt politikPpt politik
Ppt politik
 
Chapter i
Chapter iChapter i
Chapter i
 
PERKEMBANGAN POLITIK DI INDONESIA dan per
PERKEMBANGAN POLITIK DI INDONESIA dan perPERKEMBANGAN POLITIK DI INDONESIA dan per
PERKEMBANGAN POLITIK DI INDONESIA dan per
 

Militer dan konspirasi pilpres (oleh: Derek Manangka @inilah.com)

  • 1. Militer dan Konspirasi Pilpres (1) Mengapa Prabowo Segan Berseteru Wiranto? 18 Prabowo Subianto dan Wiranto - inilahcom Oleh: Derek Manangka web - Jumat, 4 April 2014 INILAH.COM, Jakarta - Menjelang Pemilu Legislatif 9 April 2014, kecenderungan yang ada, mengerucutnya persaingan antara Prabowo Subianto (Partai Gerindra) dan Joko Widodo (PDIP). Yang cukup menarik, kecenderungan itu terjadi secara tiba-tiba. Tidak lama setelah Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri menetapkan Joko Widodo sebagai capres PDIP, pada 14 Maret 2014. Sebelum pencapresan Joko Widodo, hubungan Gerindra-PDIP, "fine-fine" saja. Dalam analogi sederhana pertarungan ini, tak lebih dari sebuah subyektifitas Prabowo. Ia merasa dikhianati oleh Joko Widodo ataupun Megawati Soekarnoputri. Sebab menurut versi Prabowo, Joko Widodo atau Jokowi pernah menegaskan tidak akan mencalonkan diri sebagai Presiden dalam Pilpres 2014. Sedangkan Megawati, kata Prabowo lagi, pada 2009 pernah berjanji akan mendukung pencapresan dirinya dalam Pilpres 2014. Tapi di luar analogi, mencuat pula spekulasi. Yaitu pertarungan Prabowo Subianto melawan Jokowi sejatinya merupakan wujud persaingan antara kekuatan militer dengan kelompok sipil. Dikotomi militer-sipil, sebuah isu politik yang sensitif, kembali diangkat ke permukaan.
  • 2. Prabowo mewakili kekuatan militer dan Joko Widodo atau Jokowi mewakili kekuatan sipil. Lihat saja sikap sejumlah jenderal pensiunan yang satu angkatan maupun yang lebih senior. Mereka seperti membiarkan atau "menjerumuskan" Prabowo menyerang Jokowi. Sayangnya, sekalipun fakta ini terjadi di depan mata, berbagai analisa dan liputan media, belum ada yang tertarik menyorotinya. Para pengamat lebih tertarik mengomentari sikap temperamental Prabowo dan puisi berisi sindiran yang dia tujukan ke Jokowi dan Megawati. Tidak adanya analisa yang membedah isu persaingan militer dan sipil, bisa jadi kurang menarik, karena penampilan Prabowo jauh lebih memikat. Boleh jadi juga karena ada unsur kesengajaan dari para analis politik untuk menghindari isu tersebut - untuk melihat sejauh sensitifitas dikotomi militer-sipil. Keinginan militer bersaing dengan sipil, terbersit dari sikap Prabowo Subianto dalam berkampanye. "Show of force", itulah yang paling menonjol. Unjuk kekuatan, begitulah yang dipertontonkannya. Gaya militer yang tegas, cara memberi hormat ala militer - sekalipun yang dihadapi publik sipil, demikian menonjol. Tapi serangannya ke lawan politik, tidak dilakukan Prabowo kepada jenderal purnawirawan Wiranto, yang juga termasuk salah satu pesaing dan lawan politiknya. Terhadap Wiranto, eks petinggi militer yang pernah menjadi atasannya di 1998, Prabowo tak berani bereaksi spontan apalagi bersikap temperamen. Padahal kalau mau dicermati, pihak yang paling blak-blakan menyerang Prabowo Subianto, justru Wiranto. Bukan Jokowi apalagi Megawati! Serangan Wiranto terhadap Prabowo secara politik, tergolong yang paling keras. Bahkan bisa ditafsirkan sebagai sebuah pembunuhan karakter. Serangan yang dimaksud adalah pernyataan Wiranto yang mengungkapkan status Prabowo Subianto. Menurut Wiranto, Prabowo dipecat dari dinas kemiliteran, akibat keterlibatannya dalam penculikan. Tidak disebutkan secara detil siapa yang diculik dan sedalam apa peran keterlibatan Prabowo. Tetapi publik yang sudah mengikuti isu penculikan tersebut, sejak era Orde Baru (1990-an) menangkap nuansa, Wiranto yang mantan Panglima TNI, merujuk pada para aktifis yang hilang antara 1996-1998. Salah satu sisi yang menarik dikritisi dalam serangan Wiranto tersebut, terletak pada cara penyebaran informasinya. Pernyataan itu untuk pertama kalinya diungkap Wiranto dalam wawancaranya dengan Arya Sinulingga dari kelompok media MNC, pada Maret 2013. Tapi setahun kemudian, tepatnya semasa kampanye Pileg 2014, wawancara itu kembali disebarkan oleh berbagai media.
  • 3. Bahkan oleh media-media sosial, serangan Wiranto terhadap Prabowo itu ditautkan ke sesama pemilik akun media sosial. Bisa dibayangkan, kalau pengguna internet mencapai 60 juta orang, berapa juta manusia yang membaca serangan Wiranto kepada Prabowo tersebut. Sejauh ini, Prabowo tidak pernah melakukan klarifikasi langsung dengan Wiranto. Prabowo yang eks menantu Jenderal Soeharto, terkesan menghindari persinggungan atau perbenturan dengan mantan ajudan Presiden Soeharto tersebut. Yang menimbulkan pertanyaan, apakah Prabowo segan berseteru dengan Wiranto, karena keduanya terikat pada komitmen sesama anggota keluarga militer atau oleh faktor lain? Dalam Pileg dan Pilpres 2014, keduanya sudah mendeklarasikan sebagai calon presiden melalui partai yang mereka dirikan masing-masing. Prabowo melalui Gerindra dan Wiranto melalui Partai Hanura. Bahkan jauh sebelum persaingan di Pemilu 2014, keduanya sudah bersaing di 2004 dan 2009. Pada 2004, keduanya ikut dalam konvensi capres Partai Golkar. Wiranto keluar sebagai pemenangnya. Di 2009, kembali keduanya bersaing. Wiranto menjadi cawapres Partai Hanura sementara Prabowo menjadi cawapres Megawati Soekarnoputri dari PDIP. Jadi wajar kalau muncul pertanyaan, mengapa Prabowo tidak memusuhi Wiranto, tapi lebih melihat Jokowi sebagai musuh terberat. Apakah Prabowo segan berseteru dengan Wiranto atau di antara para jenderal pensiunan, memang ada konspirasi untuk mencegah munculnya kekuatan (Presiden) sipil? [mdr/Bersambung]
  • 4. Militer dan Konspirasi Pilpres (2) Presiden Sipil ala SBY Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) Oleh: Derek Manangka web - Jumat, 4 April 2014 INILAH.COM, Jakarta - Berakhirnya kekuasaan Soeharto pada Mei 1998 oleh para sejarawan dan analis politik dianggap sebagai berakhirnya hegemoni rezim militer di Indonesia. Ditambah dengan tampilnya SBY sebagai Presiden melalui Pemilu 2004, Indonesia tidak lagi dilihat sebagai sebuah negara yang dipimpin kekuatan militer. Sebab selain sistem pemilihan yang digunakan dalam Pemilu 2004, dilakukan secara langsung dan terbuka, sosok SBY sendiri lebih dilihat sebagai seorang tokoh sipil ketimbang militer. Pendekatan SBY yang lebih persuasif ketimbang represif, telah mengubah citra Presiden ke-6 RI tersebut sebagai seorang tokoh sipil yang dilahirkan dari perut militer. Baju militernya masih ada, tetapi yang lebih menonjol karakter sipil. Kebetulan, SBY sendiri memang lebih banyak menampilkan bahasa tubuh rezim sipil ketimbang militer. SBY tidak temperamental dan yang paling membedakannya dengan para pemimpin militer di negara-negara dunia ketiga, SBY tidak anti demokrasi. SBY tetap memberi ruang kebebasan, terutama kepada media. Sehingga banyak kalangan yang menghitung, sejak kejatuhan Jenderal Soeharto di 1998 sampai 2014 ini, Indonesia sudah dipimpin rezim sipil. Indonesia sudah dipimpin civil
  • 5. societyselama kurang lebih 16 tahun. Kalau Jokowi terpilih sebagai Presiden dalam Pilpres 2014, usia rezim sipil di Indonesia bakal bertambah. Tapi, begitukah realitanya? Jawabannya bisa ya, bisa tidak. Tergantung dari sudut dan perspektif mana kita melihatnya. Kalau dari segi kebebasan pers dan demokrasi, jawabannya iya. Tetapi kalau dilihat dari strategi kepemimpinan, sejatinya Indonesia sejak era SBY, kembali dikuasai rezim militer. Sehingga sejak kejatuhan Soeharto, pemerintahan sipil di Indonesia hanya berkuasa selama 1998-2004 atau enam tahun. Kepemimpinan sipil berusia seumur jagung itu hampir tak punya arti sama sekali. Tak berdampak secara fundamental. Dalam kurun waktu itu, kepemimpinan sipil Indonesia dibagi rata oleh tiga Presiden, BJ Habibie, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Megawati Soekarnoputri. Jadi secara matematis, presiden sipil yang memimpin Indonesia hanya berkuasa dua tahun. Mengapa SBY tetap dikategorikan sebagai bagian dari pemerintahan militer? Lihat saja orang- orang sekeliling Presiden SBY. Semuanya memiliki latar belakang militer. Sebut saja dua jenderal purnawirawan yang paling dipercaya Presiden SBY yaitu Sudi Silalahi dan TB Silalahi. Sudi Silalahi yang bekas Pangdam Brawijaya, menjadi semacam penjaga pintu bagi pos terakhir di Istana Kepresidenan. Ia dipercaya menjadi Menteri Sekretaris Negara. Sudi Silalahi ibarat organ tubuh manusia, posisinya seperti sebuah jantung, Jabatan ini sempat dipercayakan kepada Hatta Rajasa, Menko Perekonomian yang kemudian menjadi besannya. Tapi durasi paling lama tetap diberikan oleh SBY kepada Sudi Silalahi. Bahkan ketika SBY masih menjabat Menko Polkam dalam pemerintahan Presiden Megawati (2001-2004), Sudi Silalahi sudah dipercaya sebagai Sekretaris Menko Polkam. Sehingga de facto, SBY telah menjalankan pola kerjanya dengan sistem militer sejak di era Presiden Megawati. Sementara TB Silalahi yang di era Orde Baru pernah dipercaya Jenderal Soeharto memimpin Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN), oleh Presiden SBY diberi kepercayaan melakukan lobi khusus untuk hal-hal yang bersifat strategis. TB Silalahi misalnya ditugaskan Presiden SBY untuk merealisasikan keinginan Indonesia menjadi anggota pasukan perdamaian PBB di Libanon Selatan. Banyak analis menilai pekerjaan dan tugas TB Silalahi itu mirip sebuah "mission impossible". Sebab penentangan paling kuat terhadap keinginan Indonesia, datang dari Israel. Otoritas Israel menilai posisi Indonesia yang tidak mengakui eksistensi Israel sebagai sebuah negara, tidak layak menjadi anggota pasukan perdamaian PBB di Libanon Selatan.
  • 6. Posisi Indonesia yang tidak netral, menurut Israel, tidak mungkin diberi peran mencegah terjadinya konflik antara Israel dengan Hisbullah, kelompok perlawanan Islam yang memusuhi Israel di bagian selatan Libanon. Namun, TB Silalahi mampu menyelesaikan misi yang dibebankan SBY kepadanya. Indonesia hingga sekarang masih menampatkan kontingennya di pasukan perdamaian PBB di Libanon Selatan.Dan last but not least important, berkat keberhasilan TB Silalahi, putera sulung SBY, Kapten Infantri Agus Harimurti sempat mengenyam pengalaman di pasukan berbendera PBB. Untuk bidang politik dan keamanan, SBY tetap mempercayakan seorang pensiunan jenderal memimpin kementerian tersebut yakni Djoko Suyatno. Hanya saja kepintaran SBY di dalam mengelola sekaligus menyembunyikan kesan beroperasinya pemerintahan militer, cukup tinggi. Sulit terbaca oleh kacamata yang tidak secara teratur dan tetap mengikuti perkembangan politik. Demikian pintarnya SBY mengelola Indonesia melalui cara-cara militer, membuat seorang politisi Senayan berani menegaskan, seburuk apapun kepemimpinan SBY, tak akan mungkin terjadi kudeta militer di Indonesia. Di luar pemerintahan, SBY juga menjadikan Partai Demokrat sebagai partai yang "dekat" dengan alam militer. Partai ini pernah dipimpin Hadi Utomo, seorang pensiunan Kolonel yang kebetulan saudara ipar SBY. Sejumlah fungsionaris Partai Demokrat, terdiri atas pensiunan militer. DPD Demokrat DKI misalnya, dipimpin Mayjen purnawirawan. Bahkan dalam konvensi capres Partai Demokrat, dua dari sebelas peserta, berasal dari kalangan militer. Keduanya adalah Pramono Edhie dan Endriartono Sutarto, masing-masing pernah menjabat Kepala Staf Angkatan Darat. Di luar pemerintahan, SBY juga mencoba memasukkan personalia militer di penyelenggaraan Pemilu 2014. Menjelang penetapan calon tetap anggota legislatif, KPU sempat menyetujui Lembaga Sandi Negara yang dimpimpin seorang Mayor Jenderal untuk ikut mengawasi penghitungan suara hasil Pemilu. Ide ini dicurigai datang dari kalangan lingkar satu kepresidenan atau bisa jadi langsung dari Presiden SBY sendiri. Agendanya, tidak lain untuk memberi peran besar kepada korps militer. Atau secara bertahap mengembalikan kekuatan militer di panggung pemerintahan nasional. Kalaupun tidak persis sama dengan era Orde Baru, tetapi minimal, kekuatan militer bisa hadir secara terbuka tanpa ada kecurigaan. Hanya saja, manuver itu terbaca oleh berbagai pihak, yang berujung pada keputusan Lembaga Sandi Negara mengundurkan diri dari kerja samanya dengan KPU. Tentang kepintaran SBY yang mampu mengesankan, pemerintahannya tidak militeristik, memang menuai spekulasi. Yaitu SBY terpaksa harus menonjolkan sosok sipil dari porto folio
  • 7. pemerintahannya. Karena hal itu disadari oleh SBY sebagai sebuah tuntutan politik yang tidak tertulis dari rakyat dan bangsa Indonesia. Tapi ada pula yang berspekulasi, kepemimpinan SBY yang mengurangi warna militer dalam tampilan pemerintahannya, memang wajib dan harus dilakukannya. Sebab itulah yang diinginkan kekuatan luar, kekuatan asing yang tidak terlihat namun menjadi pendukung utamanya. Pada tahun ini, SBY sesuai konstitusi harus melepas kekuasaannya. Sangat wajar apabila ada keinginan kelompok militer melanjutkan kekuasaan militer yang sudah dipetakan oleh SBY. Masuk akal apabila SBY tetap berkeinginan, tongkat estafet kepemimpinannya jatuh ke tangan militer atau eks militer. Karena boleh jadi SBY dan kawan-kawan militernya, tidak merasa aman, apabila Indonesia dipimpin oleh kekuatan sipil. Rasa tidak aman itu, cukup beralasan. Sipil, selain tidak memiliki sistem pengkaderan yang baik dan melembaga, seperti halnya di militer, kalangan ini sangat mudah terpancing untuk gontok- gontokan. Dalam sipil tidak ada sistem komando. Sipil menganut sistem egaliter. Jadi bagi SBY ataupun kelompok militer, mereka tidak peduli siapapun yang menjadi penerus estafet pemerintahan SBY, yang penting militer. Apakah dia Prabowo Subianto, Wiranto, Sutiyoso, Pramono Edhie atau Endriartono Sutarto. Masih terlalu pagi menyebutnya sebuah konspirasi, tetapi benang merahnya cukup mudah dilihat. [mdr/Bersambung]
  • 8. Militer dan Konspirasi Pilpres (3) Diaspora, Strategi TNI di Civil Society Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) - (Foto: INILAHCOM/Agus Priatna) Oleh: Derek Manangka web - Sabtu, 5 April 2014 INILAH.COM, Jakarta - Maret 2013 ada dua kejadian politik di Istana Merdeka, Jakarta. Peristiwa yang melibatkan sejumlah jenderal purnawirawan (senior) yaitu Presiden SBY menerima sejumlah jenderal senior yang terbagi atas dua kelompok dan tidak saling "akur". Kelompok pertama Prabowo Subianto. Ia diterima sendirian oleh Presiden SBY pada 11 Maret 2013. Prabowo datang sebagai pendiri Partai Gerindra. Topik yang dibicarakan, tidak dijelaskan secara apa adanya. Namun publik bisa menebak, isu sentralnya tidak jauh dari sekitar politik nasional secara satu kesatuan dan Pemilu 2014. Dua hari kemudian, 13 Maret 2013, Presiden SBY kembali menerima jenderal senior yang jumlahnya lebih banyak - tujuh orang. Mereka diantar Luhut Panjaitan yang terdiri atas Subagyo HS (bekas KSAD-Kepala Staf Angkatan Darat), Fahrul Rozi (mantan Wakil Panglima TNI), Agus Wijaya (mantan Kepala Staf Teritorial), Johny Lumintang (mantan Wakil KSAD), Sumardi (bekas Direktur Latihan Kodiklat) dan Suadi Marasabessy (eks Kepala Staf Umum TNI). Peristiwa ini menjadi bahasan terbatas di kalangan para pemerhati politik dan pengamat militer. Soalnya pertemuan terpisah ini seakan menyiratkan telah terjadi perpecahan yang cukup serius
  • 9. di kalangan jenderal senior atau para sesepuh TNI. Dan perpecahan tersebut dapat mempengaruhi stabilitas dan konstalasi politik nasional. Rakyat sipil, boleh saja terpecah. Namun sehebat-hebatnya perpecahan di kalangan sipil, jika tidak ada senjata, tak akan menuai risiko yang lebih besar. Tapi jangan sampai terjadi, hal serupa melanda kalangan militer. Karena yang paling dikhawatirkan, perpecahan di kalangan jenderal senior itu bisa diikuti oleh para prajurit bersenjata. Kekhawatiran semakin menjadi, sebab ada rumor yang menyebutkan kedatangan Luhut Panjaitan dan kawan-kawan ke Istana untuk meyakinkan Presiden SBY bahwa niat Prabowo menjadi Presiden RI, tidak didukung oleh ketujuh jenderal tersebut. Setahun kemudian, Maret 2014, peristiwa yang hampir serupa kembali terjadi. Kali ini jumlah jenderal senior yang berkumpul lebih banyak. Hanya saja pertemuan tidak dilaksanakan di Istana dan juga tidak dihadiri Presiden SBY. Prabowo Subianto menggelar pertemuan dengan 80 jenderal senior sementara Luhut Panjaitan bertemu dengan senior lainnya, sebanyak 20 orang. Tak pelak lagi, kabar pertemuan itu semakin memicu kekhawatirkan tentang kemungkinan potensi meletusnya "Perang Bintang", perang antara militer yang tanda pangkat mereka berbentuk bintang. Prabowo dan Luhut saling mengklaim sesuai kepentingan politik masing-masing. Prabowo menyebut para jenderal senior yang bertemu dengannya, mendeklarasikan dukungan mereka teradap pencapresannya. Di pihak lain, Luhut Panjaitan yang bertindak selaku juru bicara dari dua puluh jenderal, menegaskan dia dan kawan-kawan sudah sepakat mendukung Jokowi sebagai calon presiden RI periode 2014 - 2019. Makna politiknya, Luhut cs mau menjegal perjuangan Prabowo menjadi Presiden RI. Aneh, membingungkan, itulah kalimat pertama yang menyeruak dari mulut sejumlah politisi, ketika memberi penilaian manuver politik yang dilakukan Prabowo Subianto dan Luhut Panjaitan. Aneh dan membingungkan, sebab manuver politik oleh kedua bekas anggota pasukan baret merah itu, sangat kontras dengan jargon yang selalu menyebut tingginya kekompakan di kalangan militer. TNI atau militer merupakan korps yang paling kompak di republik ini. TNI tidak mengenal dualisme. TNI patuh pada garis komando. Senioritas di TNI sangat dijunjung. Aneh dan membingungkan, sebab di 1980-an, Prabowo dan Luhut merupakan dua prajurit terpilih yang disekolahkan oleh Mabes TNI AD ke Jerman Barat, untuk mengikuti pendidikan bagaimana meng-counter terorisme.
  • 10. Di luar dunia militer, pada satu masa Prabowo dan Luhut dikenal sebagai dua jenderal senior yang berduet di dunia bisnis. Pernah diberitakan, Prabowo dan Luhut mengakuisisi perusahaan kertas milik taipan di era Orde Baru, Bob Hasan. Dengan menjadi pebisnis, Prabowo dan Luhut sebetulnya sudah mengadopsi paradigma baru yaitu menjalin hubungan baik dengan mitra bisnis manapun. Perang dengan menggunakan senjata, sudah jauh dari gaya hidup mereka yang ada hanya perang bisnis. Membingungkan sekaligus mengkhawatirkan, sebab polarisasi yang ditunjukkan Prabowo dan Luhut, mulai dimuati oleh rumor dan isu SARA. Prabowo dikatakan, seorang jenderal yang didukung kekuatan Islam dan Luhut oleh kelompok Kristen dan sekaligus mendapat bantuan pihak asing, Amerika Serikat bahkan oleh lobi Israel. Lantas apa pendidikan politik yang bisa dipetik dari perpecahan para jenderal senior ini? Agaknya publik harus lebih alert dan cermat. Jangan sampai dipengaruhi oleh kabar perpecahan tersebut. Publik jangan terburu-buru menarik kesimpulan, telah terjadi perpecahan yang serius di kalangan para jenderal senior atau TNI secara keseluruhan. Sikap yang paling aman adalah melihat atau mencurigai manuver kedua jenderal senior tersebut. Yakni perpecahan ataupun permusuhan Prabowo dan Luhut, tidak lebih dari sebuah strategi yang biasa digunakan para ahli politik di institusi militer. Satu strategi untuk membaca bagaimana sebetulnya opini publik terhadap pencapresan tokoh yang berlatar belakang militer. Kalau bicara soal strategi untuk mendapatkan peta situasi yang ril, militer sangat terlatih untuk itu. Latihan tersebut mencakup bagaimana melakukan desepsi kepada pihak yang hendak jadi sasaran. Strategi ini harus dilakukan, sebab secara legal, militer apalagi eks militer sudah tidak punya akses untuk berpolitik. Para jenderal senior tak bisa lagi terang-terangan membangun kekuatan untuk meraih kekuasaan tertinggi di republik tercinta ini. TNI tidak bisa berpolitik. Tapi kalau TNI juga menerima mentah-mentah begitu saja, tanpa alternatif, eksistensi dan harga diri korps juga lama-lama akan tergerus. Maka alternatif yang paling tepat adalah tetap berada di wilayah kekuasaan sipil, tanpa harus mengenakan baju militer. Soalnya masyarakat madani (civil society) yang sudah menggantikan militer, jika tidak didesepsi, akan dengan cepat berreaksi, apabila militer ingin kembali berkuasa seperti di era Orde Baru. Di 2004 merupakan tahun terakhir militer atau TNI memiliki fraksi di DPR-RI. Keputusan menghapus fraksi militer di DPR-RI merupakan bagian dari tuntutan reformasi. Karena tuntutan reformasi, kehendak mayoritas rakyat Indonesia, TNI pun kelihatannya terpaksa menerima penghapusan itu.
  • 11. Walaupun begitu, hal tersebut tidak berarti di DPR serta merta tak ada lagi wakil TNI atau militer. Kenyataannya, jumlah mantan perwira TNI menjadi anggota DPR-RI sejak Pemilu 2004, justru lebih banyak dan tersebar di berbagai fraksi. Para mantan anggota militer itu menjadi wakil rakyat melalui fraksi-fraksi yangt berbeda. Menyebar ke berbagai kekuatan politik, juga dilakukan oleh para jenderal senior. Seperti halnya, Luhut menjadi anggota Dewan Pembina DPP Golkar, Sutiyoso sebagai Ketua Umum Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia, Pramono Edhie dan Endriartono Sutarto sebagai kader dan capres Partai Demokrat kemudian Prabowo Subianto dan Glenny Kairupan yang berada di Partai Gerindra. Strategi menyebar atau diaspora ini, memang sulit terbaca. Terutama oleh kalangan sipil yang melihat manuver politik militer atau eks militer, hanya dengan kaca mata biasa. Tetapi sesungguhnya sejak reformasi, strategi diaspora ini, sudah dilakukan begitu rezim militer berganti ke pemerintahan sipil. Di pemerintah sipil BJ Habibie (1998-1999) terdapat jenderal senior seperti Yunus Yosfiah dan Sintong Panjaitan. Di era Abdurrahmwan Wahid (1999-2001), terdapat jenderal senior seperti SBY. Lalu di era Megawati Soekarnoputri (2001 -2004) terdapat jenderal senior seperti AM Hendropriyono, Agum Gumelar, Theo Syafei (almarhum) dan TB Hasanuddin. Oleh sebab itu kalau Luhut Panjaitan mendeklarasasikan dukungannya terhadap Jokowi, hal itu harus dibaca sebagai usaha militer atau jenderal senior untuk tetap mempertahankan eksistensi baju loreng dan sepatur lars. Karena bila Jokowi benar-benar terpilih sebagai Presiden, setidaknya, di pemerintahan sipil itu, tak ada penolakan terhadap militer, khususnya yang diwakili oleh jenderal senior seperti Luhut Panjaitan. [mdr/Habis].