SlideShare a Scribd company logo
1 of 150
1
DAFTAR ISI
SAAT ORANG SUKSES JADI PENCABUT NYAWA
Reza Indragiri Amriel 4
LURUSKAN ORIENTASI PENGABDIAN DPR
Aditya Anugrah Moha 7
ISLAM ADALAH BARAT
Sarlito Wirawan Sarwono 10
URGENSI PENGARUSUTAMAAN PEMUDA
Arip Musthopa 13
MENGKAJI PAHLAWAN PILIHAN
Agus Dermawan T 16
PESAN DARI CHINA
Tirta N Mursitama 19
PEMIMPIN YANG PEDULI DAN MENGAYOMI
Mohamad Sobary 22
LOGIKA SOSIALISME
Komaruddin Hidayat 25
TANTANGAN PENDIDIKAN
Elfindri 28
PAHLAWAN KESIANGAN
Sarlito Wirawan Sarwono 31
PUBLIKASI ILMUWAN RENDAH, MENGAPA?
Ali Khomsan 34
KAMPUS DAN TRAGEDI NARKOBA
Sudjito 37
SEMANGAT KEBANGSAAN ALA VIKING
Dedi Mulyadi 40
MENEGUHKAN IDEOLOGI MUHAMMADIYAH
Biyanto 44
LAKON DPR DADI RATU
Mohamad Sobary 47
MENANAMKAN SPIRIT ANAK MUDA NIRKEKERASAN
2
Muhammad Muchlas Rowi 50
KENAIKAN BBM DAN DERITA WONG CILIK
Tom Saptaatmaja 53
PENDIDIKAN KEMBALI KE KHITAH?
Z Arifin Junaidi 56
RELIGIUSITAS KAUM NELAYAN
Komaruddin Hidayat 59
BENTROK APARAT TNI-POLRI DAN REVOLUSI MENTAL
Laode Ida 62
AGAMA KTP
Dedi Mulyadi 65
BBM, PANGAN, DAN URBANISASI
Posman Sibuea 69
PAPUA BERDIKARI DAN POROS MARITIM
Amiruddin Al-Rahab 72
CITRA DIRI ITU MAHAL
Komaruddin Hidayat 75
SENI, BUDAYA, KAUM MUDA, DAN “BUDHI” (1)
Sys NS 78
SENI, BUDAYA, KAUM MUDA, DAN “BUDHI” (2)
Sys NS 81
MENYOAL E-VOTING
Ikhsan Darmawan 84
UMAT YANG JARANG MEMBACA
Mohamad Sobary 87
MENGASINGKAN MANUSIA INDONESIA SEUTUHNYA (1)
Dedi Mulyadi 90
INISIATIF MORA DAN JEJARING INTELEKTUAL
Gun Gun Heryanto 93
MORATORIUM KURIKULUM 2013, SEBUAH KERUGIAN NYATA
Sukemi 97
REVOLUSI MENTAL ATAU MORAL PANCASILA?
Handi Sapta Mukti 101
3
KONTROVERSI KHILAFAH
Komaruddin Hidayat 104
DARI RAWAMANGUN KE PINTU BESI
Sarlito Wirawan Sarwono 107
ORANG-ORANG BESAR DI PERPUSTAKAAN
Mohamad Sobary 110
MENGASINGKAN MANUSIA INDONESIA SEUTUHNYA (2)
Dedi Mulyadi 113
PERANGI MALNUTRISI
FX Wikan Indrarto 117
MELINDUNGI PEKERJA DOMESTIK
Reza Indragiri Amriel 120
PILAR RESEARCH UNIVERSITY
Ali Khomsan 123
MASYARAKAT TANPA SEKOLAH
Sarlito Wirawan Sarwono 126
KURIKULUM KEMBALI KE ASAL (1)
Dedi Mulyadi 129
WATAK & TINGKAH LAKU POLITIK
Mohamad Sobary 133
KEKERASAN REMAJA
FX Wikan Indrarto 136
PENELITIAN DAN PENELITI
Dinna Wisnu 138
MENYIMAK KEARIFAN LOKAL
Rhenald Kasali 141
TEOLOGI ANTIKORUPSI
Komaruddin Hidayat 144
BANJARNEGARA, KEARIFAN LOKAL, DAN KECERDASAN
EKOLOGIS
Tom Saptaatmaja 146
SITI
Sarlito Wirawan Sarwono 149
4
Saat Orang Sukses Jadi Pencabut Nyawa
Koran SINDO
8 November 2014
Dua tenaga kerja wanita (TKW) asal Indonesia, yakni Sumarti Ningsih dan Seneng Mujiasih
alias Jesse Lorena Ruri, kehilangan nyawa di Hong Kong. Menggegerkan, karena orang yang
menghabisi kedua TKW tersebut adalah seorang bankir profesional bernama Rurik Jutting.
Belasungkawa untuk Ningsih dan Mujiasih. Terlepas dari itu, pertanyaan pun muncul:
bagaimana seorang eksekutif profesional yang sukses bisa sekonyong-konyong menjelma
menjadi pembunuh berdarah dingin. Bahkan tidak hanya pekerja selevel Rurik. Sejumlah
usahawan papan atas pun tercatat melakukan pembunuhan, aksi yang sangat jauh dari
imajinasi publik akan kata “kemapanan”. Bob Ward, John Brooks, Haissam Safetli, Freddie
Young, John Dupont, Calvin Harris, dan Harold Landry, adalah beberapa di antaranya.
Kekagetan khalayak akan kelakuan jahat para pengusaha bonafide semestinya tak terjadi
apabila masyarakat ingat bahwa gambaran pebisnis sukses yang secara tiba-tiba berubah
tabiat sebenarnya sudah terwakili dengan baik oleh sosok Batman. Siang hari, siapa pun
mengenal Bruce Wayne sebagai pemilik imperium bisnis di kota Gotham. Intuisi dagangnya
mengagumkan.
Bruce Wayne seolah tak memiliki apa pun di dalam tempurung kepalanya, kecuali sebuah
kalkulator bisnis. Otak yang seakan hanya terdiri dari satu belahan itu mengakibatkan Bruce
Wayne memiliki mempunyai temperamen yang begitu dingin, termasuk terhadap lawan jenis.
Tapi begitu matahari beringsut ke peraduan, laksana pemilik kepribadian majemuk, Bruce
Wayne “menghilang” digantikan figur Batman.
Si manusia kelelawar bergentayangan di seantero kota dengan warna kostum serba hitam dan
membawa hati yang penuh sesak dengan amarah terhadap para bandit. Bruce, saat berperan
sebagai Batman, tidak peduli pada bisnisnya. Sebagai gantinya, ia menggila, meneror para
penjahat laksana binatang buruan.
Batman menikmati setiap detik ketakutan yang menjalari para kriminal, sehingga mereka
mati dengan sendirinya. Tabiat beda siang dan beda malam itu disebabkan oleh trauma Bruce
Wayne alias Batman yang tidak pernah tertangani secara tuntas.
Untuk menjadi raja diraja di dunia bisnis bukan perjuangan sepele. Untuk menduduki
singgasana di gedung pencakar langit, si profesional harus melakukan pengorbanan luar biasa
besar. Rumusan Imam Ghazali tentang ritme ideal hidup harian manusia, yakni sepertiga
5
waktu untuk bekerja, sepertiga untuk beristirahat, dan sepertiga untuk beribadah, jauh
panggang dari api.
Konkretnya, jam kerja berlipat ganda, sementara jam istirahat berkurang drastis. Stamina
terkuras, namun pasokan energi tak seimbang akibat pola makan yang kacau dan olah raga
yang dihapus dari agenda rutin. Kehidupan personal yang serba jujur terkesampingkan,
kegiatan membasuh dimensi religusitas ternihilkan, tergeser oleh alam berpikir yang
serbakompetitif atas nama profesionalisme. Lebih parah lagi, terjadi penyimpangan dalam
menilai diri.
Workaholic menjadi sebutan yang dirasa membanggakan. Insomnia atau gangguan tidur
parah, yang aslinya berkonotasi negatif, justru diidentikkan dengan komitmen dan dedikasi
penuh pada pekerjaan. Keharmonisan keluarga kalah penting dibandingkan kemajuan karier.
“Kerja, kerja, kerja”, menduduki posisi sebagai semboyan tunggal yang mewakili semangat
untuk maju. Jatah cuti dibuang, akhir pekan diisi dengan sosialisasi semu, memperparah
guncangan hormonal yang dialami si sosok profesional.
Dinamika hidup yang menjadi serbasibuk itu sesungguhnya membuat tubuh si usahawan
menjadi ringkih. Gangguan mental gampang mendera. Laurence Stybel, misalnya, menduga
kuat bahwa sangat banyak kalangan eksekutif yang mengidap dysthymia, yaitu depresi ringan
namun kronis yang telah berlangsung selama setidaknya dua tahun.
Sam Ozersky bahkan menyebut manik depresi atau gangguan afektif bipolar sebagai
ironisnya sumber energi utama pada sekian banyak profesional bisnis paling ambisius di
negara-negara maju. Selain guncangan psikis, pola hidup profesional juga mengganggu
kesehatan fisiknya. Seperti penyakit jantung, impotensi, ketergantungan pada narkoba, dan
lainnya.
Celakanya, untuk menjamin agar kerajaan bisnis tidak hancur, si usahawan harus
menyembunyikan segala kelemahan dan berbagai gangguan yang ia derita. Separah apa pun,
ia harus senantiasa mempertontonkan kondisi kesehatan prima, keceriaan yang tanpa batas,
serta produktivitas 24 jam per hari dan 7 hari per pekan.
Terkuaknya kondisi sebenarnya si pengusaha dianggap sangat memalukan, bahkan berisiko
pada kaburnya mitra bisnis. Jadi, tidak hanya si pengusaha menutup-nutupi segala
masalahnya, ia pun tidak akan berinisiatif mencari bantuan guna mengatasi gangguan-
gangguan yang ia derita. Padahal, semakin terlambat problem kesehatan tertangani, semakin
menurun peluang kesembuhannya.
Dan pada gilirannya, keputusan untuk mengabaikan pola hidup sehat itu berkonsekuensi kian
fatal terhadap bisnis yang sudah ia bangun atau pun pekerjaan yang ia tangani. Di Inggris
saja, sebagai gambaran, masing-masing karyawan tidak bekerja hingga rata-rata 23 hari per
tahun akibat stres, depresi, dan kecemasan yang mereka alami.
6
Ketiga problem psikologis tersebut mencakup 39 persen dari total hampir 1,3 juta kasus
kesakitan terkait kerja pada setiap tahun. Dikhawatirkan, kondisi tersebut tidak berbeda
bahkan mungkin lebih buruk dibandingkan dengan tahun 1999 silam ketika Organisasi Buruh
Internasional menyebut stres kerja sebagai epidemi global.
Pada titik kritis itu, senyatalah bahwa Batman hanya hidup di alam fantasi. Bisa dibilang
tidak mungkin seorang pebisnis sukses mampu terus-menerus memendam kepenatan lahir
batinnya dari pandangan orang lain, lalu mengompensasikannya dengan menjadi pahlawan
pembela kebenaran. Yang kerap terjadi adalah kebalikannya; gagal menyamarkan serbaneka
kelainan psikologis, si pebisnis bisa tiba-tiba meledak akibat tersulut peristiwa provokatif.
Meminjam pernyataan hakim yang menyidangkan Harold Landry, usahawan kaliber puncak
seperti memiliki suatu sifat bawaan yang manakala terpantik, akan kuat mendorong individu
tersebut untuk meletupkan aksi kekerasan nan berbahaya. Konkretnya, dari kondisi yang
semula seolah sehat lagi produktif, sosok profesional sukses itu akan berbalik secara drastis
dengan menampilkan tindakan destruktif, baik menyakiti diri sendiri maupun membahayakan
orang lain.
Kemungkinan buruk sedemikian rupa kian kentara pada masa krisis. Hantaman
perekonomian dan iklim usaha yang suram berakibat pada meruyaknya perasaan tidak
memiliki masa depan, dan ini gerbang depresi. Individu juga menghadapi keterbatasan
sumber daya, sehingga memperparah perasaan tak berdaya. Tak aneh jika lantas angka bunuh
diri di Amerika Serikat melonjak pada masa krisis perekonomian, khususnya yang dilakukan
oleh orang-orang berusia produktif 25 hingga 64 tahun.
Memang, tidak serta-merta kalangan profesional memupuk watak dasamuka. Betapa pun
begitu, satu pembelajaran: Kerapuhan, yang diselubungi jubah keperkasaan, pada gilirannya
akan menggerogoti si empunya badan dan mengerosi pikiran. Allahu a’lam.
REZA INDRAGIRI AMRIEL
Alumnus Psikologi Forensik The University of Melbourne, Anggota Asosiasi Psikologi Islam
7
Luruskan Orientasi Pengabdian DPR
Koran SINDO
8 November 2014
Bukan hanya memperburuk citra parlemen di mata publik, berlarut-larutnya kisruh Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) bisa merusak seluruh tatanan. Tidak ada yang
diuntungkan. Kerusakan itu bahkan akan dibebankan ke pundak rakyat dan negara. Sebelum
kerusakan itu terjadi, Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) di DPR
harus musyawarah dan bermufakat meluruskan kembali fokus pengabdian DPR.
Hingga pekan kedua November 2014, DPR RI terus dihujani kecaman oleh berbagai elemen
masyarakat karena konflik KMP versus KIH tak kunjung terselesaikan. Pimpinan DPR yang
sah secara legal dipegang oleh KMP ditolak oleh KIH dengan membuat “DPR tandingan”.
Publik melihat DPR seperti anak kecil yang tak mampu menyelesaikan persoalan akibat
ulahnya sendiri. Di ruang publik, kesan yang mengemuka bukan hanya citra parlemen yang
semakin bertambah buruk, melainkan juga DPR yang tidak produktif karena sibuk dengan
urusannya sendiri. DPR telah menjadi objek tontonan yang bukan hanya tidak lucu, tetapi
justru membuat marah banyak orang.
Alih-alih membahas program yang berkait langsung dengan kepentingan rakyat, anggota
DPR malah saling cakar. Publik sudah sampai pada kesimpulan final bahwa DPR periode
sekarang ini sudah terbelah; Kubu KMP di sini dan KIH di sana. Publik akhirnya harus
mengajukan pertanyaan klise ini; ke arah mana orientasi pengabdian DPR? Kepada rakyat
dan negara, atau kepada dirinya sendiri?
Jika situasi di DPR sekarang ini dihadap-hadapkan dengan langkah dan gerak pemerintah,
pemandangannya tampak sangat kontras. Roda pemerintahan baru berputar dengan kecepatan
tinggi. Rakyat di berbagai pelosok Tanah Air antusias menyimak dan menyikapi cara kerja
Kabinet Kerja pimpinan Presiden Joko Widodo-Wakil Presiden Jusuf Kalla (Jokowi-JK) serta
para menterinya.
Kesimpulannya, DPR seperti terisolasi dari dinamika rakyat dan pemerintah. Kini
pertanyaannya, sampai kapan DPR akan terus terisolasi dari dinamika itu? Tidak ada jawaban
lain kecuali DPR harus segera bersinergi dengan pemerintah dan rakyat. Komunitas bangsa
ini akan tampak sangat bodoh jika DPR tidak bisa segera keluar dari perangkap kisruh
sekarang ini.
DPR, seperti masyarakat kebanyakan, harus mampu move on. Apa yang sedang berkembang
di DPR saat ini adalah bibit instabilitas. Diyakini, baik KMP maupun KIH menyadari betul
risiko ini. Kalau berlarut-larut, kecenderungan berikutnya adalah munculnya kesan
8
ketidakpastian. Kalau ketidakpastian itu berkepanjangan, bangsa dan negara ini bukannya
bergerak maju, melainkan set back.
Kepercayaan rakyat terhadap semua institusi negara, termasuk pemerintah dan DPR, akan
merosot. Bukan tidak mungkin rakyat akan memberi respons dengan caranya sendiri.
Persepsi komunitas internasional terhadap Indonesia pun akan berubah jadi negatif.
Dalam konteks mewujudkan pembangunan berkelanjutan sangat berbahaya jika negara selalu
dalam kondisi tidak stabil atau berselimut ketidakpastian. Semua potensi kekuatan ekonomi
lokal akan dihantui keraguan. Komunitas internasional, terutama investor asing, pun akan
enggan menanam modal di negara ini.
Fokus Pengabdian
Upaya memulihkan dan menegakan kembali wibawa DPR harus dimulai dengan inisiatif dari
semua unsur kekuatan politik di DPR. Semua perlu bersepakat menyesuaikan persoalan oleh
DPR sendiri. Wacana atau saran penyelesaian konflik dengan melibatkan serta menghadirkan
pihak eksternal, seperti peran ketua umum partai politik (parpol) atau pimpinan lembaga
tinggi negara lainnya, sebaiknya tidak diikuti.
Kalau melibatkan unsur eksternal, para politisi di Senayan bisa menjadi bahan olok-olok
publik karena akan dinilai tak mampu mengatasi persoalannya sendiri. Inisiatif itu harus
diawali dengan iktikad baik dan keberanian kubu KMP dan KIH di DPR duduk satu meja dan
berdialog dengan agenda utama meluruskan orientasi pengabdian DPR kepada negara dan
rakyat.
Dengan proses pelurusan orientasi itu, DPR secara institusi harus melihat keluar, menyelami
aspirasi rakyat, serta menyimak apa saja program yang sedang dan akan dijalankan
pemerintah sebagai mitra. Dalam kondisi DPR yang terbelah masing-masing kubu memang
tetap bisa melihat keluar. Tetapi, tidak mungkin terbangun keseragaman dalam memahami
aspirasi rakyat atau menyikapi program-program yang akan maupun sedang dijalani
pemerintah. Padahal, demi disiplin anggaran misalnya, cara pandang DPR yang utuh menjadi
syarat mutlak. Pemerintah tidak mungkin harus dipaksa-paksa untuk hanya mendengar KMP
atau menunggu persetujuan KIH di DPR.
Tak perlu ditutup-tutupi lagi bahwa alokasi kursi pimpinan alat kelengkapan dewan (AKD)
menjadi akar masalah yang menyebabkan KMP dan KIH harus berhadap-hadapan di DPR.
Kini, setelah masalah ini menyebabkan DPR terbelah, baik KMP maupun KIH harus
berinisiatif serta berdialog mencari jalan keluar agar persoalannya tidak berkepanjangan.
Pijakan utamanya, KMP-KIH harus saling menghormati posisi masing-masing dan realistis
terhadap fakta tentang siapa yang menggenggam posisi mayoritas dan siapa di posisi
minoritas. Tak kalah pentingnya adalah menghormati dan mengakui hak masing-masing.
KMP dan KIH harus mau saling mendengar apa yang menjadi keinginan masing-masing
9
kubu.
Jika sampai pada persoalan yang pelik, KMP dan KIH secara moral harus berani menempuh
cara musyawarah. Kedua kubu juga perlu menahan diri untuk tidak saling menyerang di
ruang publik serta bersepakat tidak lagi menjadikan DPR tontonan yang menguras emosi
publik. Kalau hari-hari sebelumnya, hampir semua rincian masalah diobral ke ruang publik,
sudah waktunya untuk melokalisasi sejumlah masalah teknis di ruang rapat.
Tujuannya, ruang publik tidak melulu dibisingkan oleh silang pendapat atau saling serang
kubu KMP versus kubu KIH. Sangat elegan jika masing-masing tidak mengedepankan ego
kubu. Ketika DPR secara institusi melihat keluar akan tampak bahwa pemerintah sedang
bergerak sangat cepat untuk menangani sejumlah persoalan kenegaraan.
Salah satu persoalan terkini yang harus digarap bersama oleh pemerintah dan DPR adalah
upaya menyehatkan postur anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Opsi yang
dipilih pemerintah adalah mengoreksi kebijakan atau politik subsidi, utamanya subsidi bahan
bakar minyak (BBM). Sebelum memfinalkan rumusan kebijakan baru tentang subsidi BBM,
pemerintah tentu perlu berkonsultasi dengan DPR.
Kalau DPR-nya belum utuh, kepada siapa pemerintah harus berkonsultasi? Apalagi,
pemerintahan Jokowi-JK mengeskalasi menu proyek di sektor kemaritiman dan perikanan.
Karena proyek di sektor kemaritiman dan perikanan itu akan melibatkan kepentingan puluhan
juta warga negara, pandangan, saran dan rekomendasi DPR yang utuh pasti sangat
dibutuhkan pemerintah.
Begitu pula di bidang kesehatan. Kasus meninggalnya bayi dalam perawatan inkubator di
sebuah rumah sakit di Kota Makassar, Sulawesi Selatan, beberapa waktu lalu misalnya.
Seharusnya DPR melalui Komisi IX sudah wajib turun lakukan fungsi pengawasan. Tetapi,
karena alat kelengkapan DPR baru terbentuk akhirnya harus menunggu prosesnya. Padahal
rakyat sudah menjerit, bahkan merenggang nyawa.
DPR harus segera move on agar bisa berbaur dalam dinamika pembangunan bangsa. Demi
negeri yang sama kita miliki.
ADITYA ANUGRAH MOHA
Wakil Sekretaris Fraksi Partai Golkar DPR RI
10
Islam adalah Barat
Koran SINDO
9 November 2014
Pada zaman dulu kala orang-orang Mesir percaya ada makhluk kombinasi seperti Sphinx;
makhluk berkepala singa, bersayap garuda dan berekor ular yang doyan makan manusia.
Orang Yunani percaya ada Centaurus, yaitu manusia yang bertubuh kuda.
Orang Yunani dan Roma juga percaya pada para dewa; makhluk-makhluk abadi yang
menguasai alam semesta, tetapi bersifat seperti manusia, termasuk juga mempunyai nafsu
asmara dan angkara murka, seperti misalnya dewi kecantikan dan seks yang di Yunani
disebut Aphrodite dan dalam mitologi Romawi kuno disebut Venus. Atau dewa laut Yunani,
Poseidon, yang di Romawi disebut Neptunus.
Mereka juga kawin-mawin dengan hewan dan/atau dilahirkan dari hewan, seperti Ekhidna,
yaitu makhluk setengah wanita setengah ular yang merupakan istri Tifon, dan tentu saja putri
duyung (mermaid) yaitu wanita cantik bertubuh ikan, yang menikah dengan raja yang
tampan.
Tetapi pada 384-322 sebelum Masehi, hiduplah seorang filsuf yang pikiran-pikirannya sangat
berpengaruh sampai hari ini, yang bernama Aristoteles. Dia mengajarkan untuk pertama
kalinya ilmu logika, yang isinya antara lain adalah hukum ”All or None” (seluruhnya atau
bukan sama sekali), yaitu bahwa sesuatu itu adalah ”X” atau ”Bukan-X”. Tidak ada setengah
X, atau campuran X dan Y.
Atas dasar itu ia membagi makhluk hidup di dunia ini ke dalam tiga golongan, yaitu anima
vegerativa (tanaman yang hidup dan berkembang biak saja), anima sensitiva (hewan yang
hidup dan mempunyai indera), dan anima intelektiva (yaitu hewan yang hidup, berindera dan
punya fungsi mnemic atau memori).
Maka sejak itu di Barat berkembang ilmu pengetahuan yang dasarnya adalah logika
Aristoteles dan berkembang sampai ke kawasan Timur Tengah. Maka, sejak itu pulalah
makhluk-makhluk campuran yang bisa saling kawin-mawin tinggal menjadi mitos saja. Ilmu
dan agama-agama yang lahir di Barat kemudian berkembang dengan mengikuti logika
Aristoteles.
Islam adalah yang paling konsisten dengan logika Aristoteles itu, misalnya Islam
membedakan dengan sangat jelas tumbuhan, hewan, dan manusia dari malaikat, dan setan;
dan antara dunia dengan akhirat. Tuhan di mata Islam adalah tunggal, tidak dilahirkan dan
tidak berketurunan.
11
Tetapi di Timur (India, Tiongkok, Jepang, zaman dulu Amerika belum ditemukan), tidak ada
Aristoteles. Karena itu logika Timur berbeda sekali dengan logika Barat. Tuhan yang
menurut kepercayaan-kepercayaan timur disebut ‘dewa’ bisa banyak (Hindu, Konghucu).
Setiap orang yang sangat baik hati, bisa dipromosikan menjadi dewa. Dewa-dewanya orang
Hindu Bali dengan orang Hindu Nepal bisa berbeda sekali.
Berbeda dengan saya yang terkadang salat di berbagai masjid di seluruh dunia tanpa halangan
apa-apa (kecuali bahasa pengantar lokal yang saya tidak mengerti), seorang dokter kawan
saya yang kebetulan dari Bali, ketika kami mengikuti konferensi di Nepal, langsung keluar
dari kuil tempat pemujaan Hindu lokal, katanya, ”Enggak enak, dewa-dewanya enggak ada
yang saya kenal.”
Orang Buddha, bahkan punya konsep tentang Tuhan yang berbeda sama sekali dengan
konsep agama lain, di mana yang penting adalah perbuatan baik dari setiap orang, agar
nantinya bisa reinkarnasi ke kehidupan yang akan datang dan menjadi manusia yang makin
baik dan makin baik lagi, sehingga akhirnya moksa (bukan surga loh), seperti sang Buddha
sendiri.
Bagaimana dengan Indonesia? Sebelum mengenal Islam dan Kristen, kerajaan-kerajaan di
Nusantara, terutama Jawa dan Sumatera, sudah mengenal animisme, dinamisme dan agama
Buddha dan Hindu terlebih dulu. Di Bali bahkan sampai sekarang agama Hindu masih
merupakan agama mayoritas. Tidak mengherankan jika pengaruh logika Timur masih sangat
kental di Indonesia.
Di Jawa Tengah, misalnya, kalau ada orang meninggal, diadakan acara berdoa bersama atau
dalam istilah Islam Jawa ”tahlilan” (Jawa: ”slametan”) pada hari ketiga, ketujuh,
keempatpuluh, sampai ke 100 hari, bahkan 1.000 hari. Demikian pula ada kebiasaan
mengunjungi makam atau berpuasa pada hari-hari/peristiwa-peristiwa tertentu.
Hubungan manusia dengan roh gaib, bahkan dengan Tuhan digambarkan sebagai
manunggaling kawula lan gusti (bersatunya manusia dengan Tuhan) atau yang dalam Islam
disebut sufisme yang sangat ditentang oleh golongan yang ingin mengembalikan agama ke
jalan seperti yang dicontohkan oleh para nabi pada zamannya (Islam yang dipahami oleh
pengikut aliran Wahabi dan Salafi).
Orang Indonesia juga masih percaya pada babi ngepet (siang jadi manusia, malam jadi babi,
karena mengikuti ilmu hitam untuk mencari kekayaan), dan di cerita-cerita wayang (yang
aslinya dari India) ada Gatotkaca yang bisa terbang, Bima yang beristrikan seekor ular, dan
Semar si manusia sekaligus dewa.
Kebiasaan dan kepercayaan-kepercayaan ini dilakukan juga oleh penganut agama Kristen di
Jawa, tetapi tidak oleh Muslim di Sumatera Barat. Ini tidak berarti bahwa Muslim Sumatera
Barat lebih beriman dan bertakwa dari muslim di Jawa, tetapi memang agama-agama yang
sama, ketika berkembang di daerah kebudayaan yang berbeda akan melahirkan kebiasaan
12
yang berbeda pula. Inilah yang disebut akulturasi budaya, atau yang dalam istilah ilmu
perbandingan agama disebut sinkretisme.
Sekarang ada kecenderungan orang untuk kembali ke agama masing-masing sesuai asal-
usulnya. Maka semua yang tidak berasal dari agama versi orisinal (asli dari sono-nya)
dianggap salah, kafir, dan harus diberantas, kalau perlu dengan perang dan darah!
Banyak di antara mereka yang menyatakan bahwa musuh Islam adalah Barat, karena
kebudayaan Barat yang masuk Indonesia (Westernisasi) telah membawa budaya
imperialisme, kapitalisme, demokrasi, dan konsumtivisme, pokoknya destruktif. Padahal,
semua itu bukan agama yang bermain, melainkan politik. Dalam kaitannya dengan logika
Aristoteles, agama Islam itu sama saja dengan agama-agama samawi lain yang berasal dari
Barat.
SARLITO WIRAWAN SARWONO
Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
13
Urgensi Pengarusutamaan Pemuda
Koran SINDO
11 November 2014
Kita telah cukup familier dengan istilah ‘pengarusutamaan gender’, tetapi tidak dengan istilah
‘pengarusutamaan pemuda’. Oleh karena itu penting untuk memberikan batasan tentang
pengarusutamaan pemuda di awal tulisan ini.
‘Pengarusutamaan pemuda’ dimaknai sebagai strategi sistematis meningkatkan peran pemuda
dalam seluruh aspek kehidupan dengan memperhatikan serta melibatkan pemuda dalam
perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi kebijakan publik. Dengan demikian
diharapkan kebijakan publik yang lahir akan ramah terhadap pemuda (youth friendly) dan itu
berarti investasi penting bagi masa depan bangsa.
Kenapa pengarusutamaan pemuda penting dilakukan? Pertama karena populasi pemuda (16-
30 tahun) sangat besar, yakni sekitar 60 juta jiwa dari jumlah populasi nasional. Bahkan,
apabila definisi pemuda diperluas menjadi 16-40 tahun, populasi pemuda mencapai 40%
populasi nasional.
Kedua, periode menjadi pemuda sangat menentukan bagi hidup seseorang. Pada masa ini
seseorang memutuskan hal-hal yang menentukan jalan hidupnya seperti pilihan profesi/karier
dan pasangan hidup. Pemuda membutuhkan lingkungan yang kondusif dan kematangan diri
yang memadai untuk memutuskan hal-hal yang sangat mendasar bagi hidupnya di masa
depan tersebut.
Di luar dua alasan tersebut, menurut World Programme of Action For Youth, pemuda
memiliki tiga dimensi, yakni sebagai pewaris masa depan, agen perubahan sosial, dan korban
utama perubahan sosial. Tiga dimensi tersebut merupakan representasi dari dimensi filosofis,
historis, dan sosiologis dari pemuda yang akan semakin menegaskan pentingnya kepemudaan
menjadi variabel penting kebijakan publik.
Potret historis keindonesiaan kerap kali menempatkan pemuda dalam bingkai yang
membanggakan. Namun sayangnya pemuda dalam dimensi sosiologis kerap kali jadi korban
perubahan sosial.
Periode menjadi pemuda memang rentan terhadap berbagai masalah sosial. Makanya kerap
kali kita mendapatkan informasi tentang kekerasan pemuda seperti tawuran
antarpelajar/mahasiswa, tawuran pemuda antarkampung, dan konflik sosial lain yang
melibatkan pemuda sebagai korban sekaligus pelaku. Belum lagi korban narkoba dan
pengidap HIV/AIDS yang umumnya pemuda.
14
Persentase pemuda yang menganggur juga mencapai jumlah yang fantastis, yakni 33%.
Potret pendidikan pemuda juga kurang menggembirakan. Sebanyak 80% pemuda tidak lagi
berada di sekolah/perguruan tinggi. Angka partisipasi kasar (APK) pemuda di perguruan
tinggi hanya sekitar 20%, jauh di bawah Malaysia dan Singapura yang mencapai 60%,
apalagi Korea Selatan yang mencapai 90%.
Selain itu, kita hanya punya sekitar 6% pemuda yang lulus perguruan tinggi, jauh di bawah
yang lulus SLTA (30%) dan SLTP (30%). Sisanya yang berjumlah sepertiganya lagi tidak
lulus atau hanya lulus SD. Pelbagai alasan dan fakta di atas kiranya cukup menggambarkan
betapa kompleksnya permasalahan kepemudaan dan luasnya dimensi kepemudaan sehingga
sepatutnya mendapatkan perhatian lebih dari yang selama ini diberikan.
Oleh karena itu, pemuda dan kepemudaan harus menjadi salah satu “arus utama” dalam
preferensi kebijakan publik. Artinya (hampir) setiap kebijakan publik harus memperhatikan
karakteristik, kebutuhan, dan diarahkan untuk membangun “postur” pemuda Indonesia.
Hal ini penting disadari karena tanpa membangun postur atau profiling pemuda Indonesia
yang lebih baik tidak mungkin kita dapat melahirkan generasi bangsa yang lebih baik di masa
depan. Bayangkan apabila kita memiliki pemuda yang dapat tumbuh lebih sehat, berkualitas,
dan kompetitif, akhirnya kita akan memiliki generasi bangsa yang lebih sehat, berkualitas,
dan kompetitif dari generasi sebelumnya.
IPP dan Blueprint
Untuk menjadikan pemuda dan kepemudaan sebagai salah satu “arus utama” preferensi
kebijakan publik, tidak cukup hanya dengan UU No 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan.
Dibutuhkan minimal dua dokumen lagi, yakni Indeks Pembangunan Pemuda (IPP) dan
blueprint strategi pembangunan pemuda (blueprint).
Kedua dokumen tersebut harus menjadi dokumen resmi yang diterima menjadi rujukan
semua pihak yang berkepentingan baik di pemerintah maupun di luar pemerintah. IPP
merupakan instrumen untuk mengukur perkembangan pembangunan pemuda dilihat dari
seluruh dimensi kepemudaan dari waktu ke waktu.
Menurut World Programme of Action for Youth, IPP dapat dilihat dari 15 bagian, yaitu: (1)
pendidikan, (2) pekerjaan, (3) kelaparan dan kemiskinan, (4) kesehatan, (5) lingkungan, (6)
penyalahgunaan obat-obatan, (7) kenakalan pemuda, (8) aktivitas waktu luang, (9) masalah
gender, (10) partisipasi dalam kehidupan sosial dan pengambilan keputusan, (11) globalisasi,
(12) teknologi informasi dan komunikasi, (13) HIV/AIDS, (14) pencegahan konflik pemuda,
dan (15) hubungan antargenerasi. Lebih lanjut, fungsi dari adanya IPP adalah untuk (1)
mengukur perkembangan pemuda dari waktu ke waktu, (2) mengidentifikasi wilayah-wilayah
atau isu-isu yang membutuhkan perhatian lebih lanjut, (3) membandingkan kemajuan antar
provinsi/daerah, (4) dasar bagi perumusan kebijakan/tindakan advokasi terhadap pemuda, dan
(5) mendorong riset, kajian, dan pengumpulan data yang berkaitan dengan pemuda.
15
Dokumen IPP harus dirumuskan bersama oleh Kemenpora dan instansi pemerintah lain
seperti Bappenas, Kementerian Pendidikan, Kementerian Kesehatan. Juga melibatkan
pemangku kepentingan di dunia kepemudaan seperti KNPI dan elemen organisasi
kepemudaan lainnya, perguruan tinggi, dan sebagainya. Hal ini penting agar semua instansi
dan pihak terkait memiliki rasa memiliki dan tanggung jawab yang sama terhadap isi
dokumen tersebut dan pembangunan kepemudaan di Indonesia.
Setelah memiliki IPP, selanjutnya disusun blueprint Strategi Pembangunan Pemuda.
Blueprint ini disusun melalui proses yang sama dan diarahkan untuk meningkatkan capaian
IPP dari waktu ke waktu.
Jadi, kedua dokumen tersebut memiliki kaitan yang erat. Bagian krusial dari blueprint
tersebut adalah menerjemahkan upaya untuk menaikkan IPP dalam bentuk program-program
yang nyata. Juga pembagian tugas, fungsi, dan peran serta pola koordinasi dan sinergi dari
semua pihak terkait dalam melaksanakan program-program tersebut.
Kedua dokumen tersebut sejauh yang penulis ketahui belum dimiliki pemerintah RI. Padahal,
di negara-negara Persemakmuran (Commonwealth countries), dokumen IPP telah lama dibuat
dan dijadikan acuan perumusan kebijakan. Inilah menjadi tugas mendesak yang harus
dilakukan Menpora RI dari Kabinet Kerja Jokowi-JK apabila ingin membangun dunia
kepemudaan secara komprehensif, mendasar, dan sistematis.
Kiranya visi Presiden Jokowi yang menekankan pembangunan manusia melalui slogan
“revolusi mental” dapat menjadi payung besar yang membantu Menpora untuk mendesakkan
agenda tersebut di pemerintahan. Akhirnya, selamat bekerja Pak Menteri, salam pemuda.
ARIP MUSTHOPA, SIP, MSI
Ketua Umum PB HMI 2008-2010, Ketua DPP KNPI 2011-2014
16
Mengkaji Pahlawan Pilihan
Koran SINDO
12 November 2014
Dalam rangka peringatan Hari Pahlawan 10 November, Jumat 7 November 2014 Presiden
Joko Widodo menganugerahi gelar Pahlawan Nasional kepada empat tokoh anumerta.
Gelar yang disematkan di Istana Negara tersebut sejalan dengan Keputusan Presiden No.
115/TK/2014. Pahlawan Nasional itu adalah Letnan Jenderal Djamin Gintings (lahir 1921),
komandan pasukan Indonesia dalam pertempuran Medan Area melawan kolonialisme di
Sumatera; Sukarni Kartodiwirjo (lahir 1916), pejuang perang yang jadi ketua umum Pengurus
Besar Indonesia Muda dan pegawai Departemen Propaganda (Sendenbu) zaman Jepang;
Mayor Jenderal Mohamad Mangoendiprojo (lahir 1905), pamong praja yang bergabung
dalam tentara Pembela Tanah Air, dan tercatat sebagai kakek Indroyono Soesilo, menteri
koordinator kemaritiman Kabinet Kerja; serta KH Abdul Wahab Chasbullah (lahir 1888),
pendiri Persatuan Pemuda Nahdlatul Ulama yang kemudian menjadi gerakan Pemuda Ansor,
eyang buyut Romahurmuziy, politikus Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Pengangkatan nama-nama di atas sedikit mengagetkan publik, karena keempat tokoh itu
seberapa pun pantas dan besar jasanya sebelumnya nyaris tidak pernah digadangkan untuk
menerima gelar Pahlawan Nasional. Sebelumnya ada beberapa nama yang muncul dalam
perbincangan masyarakat. Sebut saja gubernur Jakarta legendaris Ali Sadikin, tokoh pluralis
dan Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid, Ketua Kongres Pemuda II yang melahirkan
Sumpah Pemuda Soegondo Djojopoespito. Selain itu ada Suratin, insinyur lulusan Jerman
yang berjuang lewat dunia olahraga, dengan mendirikan Persatuan Sepak Bola Seluruh
Indonesia (PSSI); serta Raden Saleh, pelukis pembuka modernisme kebudayaan Indonesia
abad ke-19, yang diperjuangkan masuk oleh mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Wardiman Djojonegoro.
Bahkan HM Soeharto, presiden ke-2 Republik Indonesia yang pernah dijuluki Bapak
Pembangunan, sempat diusulkan. Sebuah pengusulan yang tumbuh menjadi wacana dan
kontroversi hebat. Perbincangannya lantas dirasakan layak dijadikan refleksi tata kriteria
serta eksekusi pemberian gelar Pahlawan Nasional tahun ini.
Pahlawan Teladan
Kandidasi Soeharto sebagai Pahlawan Nasional memang melahirkan catatan khusus. Ini
lantaran ada pihak-pihak yang kuat mendesak, sekaligus dalam waktu bersamaan ada pihak
lain yang ramai-ramai menolak.
17
Prabowo Subianto, misalnya, dalam Rapat Pimpinan Nasional Forum Komunikasi Putra-Putri
Purnawirawan TNI Polri (FKPPI) yang berlangsung pada 3 Juni 2014 berjanji: apabila
terpilih jadi presiden, ia akan memberi gelar Pahlawan Nasional untuk HM Soeharto. Karena
diletupkan di tengah keriuhan pilpres, kontan wacana ini jadi tidak populer.
Joko Widodo juga pernah meluncurkan wacana ini pada Agustus 2013, atau 10 bulan
sebelumnya. Kala itu selaku gubernur DKI Jakarta, ia ingin mengubah Jalan Medan Merdeka
Timur jadi Jalan HM Soeharto, berbarengan dengan perubahan Jalan Medan Merdeka Utara
jadi Jalan Soekarno, Jalan Medan Merdeka Selatan jadi Jalan Mohamad Hatta, dan Jalan
Medan Merdeka Barat jadi Jalan Ali Sadikin.
Gubernur mengusulkan itu setelah berkonsultasi dengan Panitia 17. Semua tahu, penamaan
jalan protokol Ibu Kota merupakan monumenisasi dari predikat Pahlawan Nasional yang
sedang diajukan. Tujuannya, seperti halnya maksud Prabowo: rekonsiliasi antara Orde Baru
dan Orde Reformasi.
Sejak Joko Widodo mewacanakan, sampai Prabowo menawarkan gagasan itu lagi, banyak
orang ikut menimbang. Alasannya, terlalu banyak hal yang harus dineracakan baik-buruknya
selama Soeharto berkuasa selama 32 tahun.
Reputasi Soeharto memang memenuhi salah satu kriteria pokok ”Gelar Pahlawan Nasional”
Kementerian Sosial Indonesia, yang ditolakkan dari UU No 29 Tahun 2009. Subbab kriteria
”Pahlawan Nasional” itu berbunyi: ”Pahlawan Nasional adalah gelar yang diberikan kepada
Warga Negara Indonesia. Atau seseorang yang berjuang melawan penjajahan di wilayah
yang sekarang menjadi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Atau yang gugur atau
meninggal dunia demi membela bangsa dan negara. Atau yang semasa hidupnya melakukan
tindakan kepahlawanan atau menghasilkan prestasi dan karya yang luar biasa bagi
pembangunan dan kemajuan bangsa dan negara Republik Indonesia.”
Namun, pemenuhan kriteria itu syahdan diganggu oleh reputasinya yang kurang memenuhi
subbab kriteria ”Tindak Kepahlawanan”, yang berbunyi: ”Adalah perbuatan nyata yang
dapat dikenang dan diteladani sepanjang masa bagi warga masyarakat lainnya.” Tuduhan
bahwa Soeharto telah melakukan represi politik dan nepotisme disebut tidak sejalan dengan
kalimat: ”...dapat dikenang dan diteladani”.
Siapa yang Memilih
Namun, walaupun kriteria itu jelas, masyarakat umum tetap tidak memiliki kekuatan penuh
untuk menolak dan menerima gelar Pahlawan Nasional yang disematkan kepada seseorang.
Karena lolos dan tidaknya seorang tokoh sebagai Pahlawan Nasional pada sesi terakhir
ditentukan oleh Tim Peneliti Pengkaji Gelar Pusat (TP2GP), yang disyaratkan beranggotakan
(paling banyak) 13 orang. Terdiri dari praktisi, akademisi, pakar, sejarawan, dan instansi
terkait.
18
Masyarakat Indonesia seharusnya percaya seratus persen kepada TP2GP, yang keputusannya
merupakan refleksi dari hati nurani bangsa Indonesia. Namun, kepercayaan itu sering kikis
ketika masyarakat tidak pernah tahu ”bagian dalam” TP2GP.
Siapa saja mereka yang duduk di bangku TP2GP? Apakah mereka memang memiliki
kesanggupan penuh mewakili rasa dan pikiran masyarakat luas? Bagaimana kualitas
pengetahuan mereka terhadap sejarah? Sejauh mana mereka mampu melihat segala kejadian
bangsa dengan mata objektif? Bagaimana mentalitas mereka sehingga bisa terhindar dari
sikap keberpihakan?
Dan, siapakah yang menunjuk mereka untuk menjadi wakil dari bangsa Indonesia dalam
mengetuk palu keputusan? Seperti halnya sebagian masyarakat mempertanyakan, siapakah
yang menunjuk anggota TP2GP era Presiden Joko Widodo, yang baru berjalan tiga minggu?
Dari pergunjingan itu, lalu banyak yang mengusulkan: alangkah baik apabila nama-nama
calon penerima gelar Pahlawan Nasional diwacanakan dahulu jauh hari ke masyarakat
banyak, sehingga daulat rakyat ikut menilai untuk kemudian ikut memilih. Seperti halnya
masyarakat Indonesia sekarang memandang, menilai, dan memosisikan HM Soeharto.
Karena, biar bagaimanapun, junjungan atas kepahlawanan seseorang ternyata bersifat
situasional. Bergantung pada atmosfer politik dan suasana sosial.
AGUS DERMAWAN T
Pengamat Sosial dan Budaya, Konsultan Koleksi Benda-benda Seni Istana Presiden
19
Pesan dari China
Koran SINDO
12 November 2014
Saat ini sedang berlangsung perhelatan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Kerja Sama
Ekonomi Asia-Pasifik (APEC) pada 10-11 November 2014 di Beijing, China. Semua mata
dunia tertuju pada acara ini yang akan turut menentukan 45% perdagangan dunia dan
mempertaruhkan nama besar China pada dunia.
KTT ini layak mendapat perhatian karena dinamika hubungan internasional di regional dan
global belakangan ini terutama yang melibatkan peran strategis China. Pertama, langkah
China memprakarsai berdirinya Bank Investasi Infrastruktur Asia dan siap menggelontorkan
dana USD50 triliun. Langkah ini bertujuan untuk mengatasi keterbatasan infrastruktur di
negara-negara Asia.
Kedua, komitmen China untuk menghidupkan kembali ”Jalan Sutera Abad 21” dengan
menyediakan Silk Road Fund sebesar USD40 triliun. Dana ini tidak hanya untuk
mengembangkan infrastruktur dalam arti fisik, tetapi juga dalam membangun sumber daya
manusia. Hal lain yang digagas dalam komitmen ini adalah perlunya memperbaiki kerja sama
industri dan finansial dengan negara-negara Asia.
Ketiga, hal yang tidak kalah pentingnya adalah kesepakatan antara China dan Jepang untuk
mengembalikan hubungan baik secara politik dan keamanan setelah sempat mengalami tensi
yang memanas beberapa waktu belakangan ini. Kedua negara menyepakati empat poin untuk
meningkatkan ikatan bilateral mereka.
Keempat poin kesepakatan China dan Jepang tersebut meliputi kesepakatan untuk berpijak
pada empat dokumen kesepakatan penting yang pernah ditandatangani kedua negara sejak
tahun 1972, 1978, 1998, dan 2008. Mereka sepakat menghormati persoalan sejarah yang
dimiliki dan melihat ke depan untuk maju bersama-sama mengatasi hambatan-hambatan
praktis di lapangan.
China dan Jepang juga menyadari sepenuhnya bahwa terdapat perbedaan dalam menyikapi
sengketa kepulauan Diaoyu atau Senkaku secara lebih bijak. Mereka akan saling menahan
diri agar persoalan tidak semakin keruh dan membangun komunikasi serta mekanisme
penyelesaian sengketa.
Akhirnya, kedua negara sepakat untuk mengembalikan hubungan politik, diplomasi, dan
keamanan secara bertahap. Muaranya adalah membangun rasa saling percaya yang sempat
terkikis hingga titik kritis.
20
Kesepakatan empat poin antara China dan Jepang ini memberikan angin segar bagi stabilitas
kawasan Asia. Terlihat bahwa kedua negara tidak menginginkan hubungan keduanya
semakin memburuk yang dapat berakibat pada kerugian jangka panjang. Tidak hanya
kerugian bagi kedua negara, tetapi juga hubungan kerja sama di antara mereka dengan
negara-negara di Asia maupun dengan negara dari benua lain, khususnya Eropa dan
Amerika.
People to People
Ketiga hal yang dilakukan oleh China di atas membuktikan bahwa negeri ini telah bersiap
berperan lebih aktif dan substantif di kawasan Asia. Secara sistematis inisiatif mengatasi
persoalan infrastruktur melalui ”Jalan Sutera Abad 21” yang di dalamnya meliputi pula
pengembangan sumber daya manusia.
China telah menyiapkan pelatihan dan pendidikan bagi dua puluh ribu orang dari negara
tetangga selama lima tahun ke depan. Seperti disampaikan Presiden China Xi Jinping, bahwa
pembangunan infrastruktur juga meliputi upaya untuk memenuhi kekurangan sumber daya
manusia. Potensi pengembangan sumber daya manusia yang menentukan berbagai kebijakan
baik di bidang perdagangan maupun keuangan sangatlah penting.
Ia juga menegaskan arti pentingnya membangun ikatan hubungan antarindividu atau dikenal
dengan people to people interaction melalui pendidikan dan penelitian. Pemerintah China
baik di tingkat pusat maupun provinsi memiliki skema beasiswa bagi mahasiswa asing untuk
belajar berbagai disiplin ilmu di perguruan tinggi di China. Belum lagi upaya yang dilakukan
masing-masing universitas memberikan kesempatan belajar bagi para mahasiswa maupun
penelitian bagi para dosen/peneliti dari negara lain.
Dengan pendanaan penelitian yang sangat besar dan berbagai program yang diterapkan,
universitas-universitas di China mengundang berbagai peneliti yang bereputasi dan memiliki
karya yang baik di bidangnya untuk menjadi visiting scholar. Para peneliti tersebut
melakukan penelitian bersama, memberikan perkuliahan kepada para mahasiswa hingga
melakukan aktivitas pengenalan budaya setempat.
Sebagai contoh di bidang ilmu sosial, pemerintah China menyediakan dana hingga lebih dari
Rp40 miliar per tahun untuk proyek penelitian bagi para talenta peneliti hebat berbakat.
Dalam program penelitian tersebut, mereka diharapkan menghasilkan penelitian inovatif,
bersifat breakthrough dan memiliki relevansi yang tinggi bagi kemajuan China.
Untuk itu, mereka dapat melibatkan para peneliti dari negara lain untuk berkontribusi,
membuka kesempatan mahasiswa doktoral maupun peneliti post doctoral untuk bergabung.
Hasilnya, publikasi internasional baik berupa buku maupun artikel ilmiah dari penerbit
bereputasi dunia.
Bila dibandingkan dengan Indonesia yang maksimal menyediakan hibah penelitian 1 miliar
21
rupiah per tahun, pendanaan penelitian yang disediakan pemerintah bak bumi dan langit.
Skema penelitian seperti ini dalam jumlah maupun programnya pun masih sangat terbatas.
Dengan demikian, sebagai tuan rumah penyelenggaraan KTT APEC ini, China tidak hanya
ingin memperlihatkan kepada dunia internasional akan kemajuan ekonomi dan sosialnya.
KTT APEC ini sekaligus menjadi tonggak baru kepemimpinan China di Asia yang secara
pasti, cepat atau lambat, akan memimpin dunia.
Negeri Tirai Bambu ini paham betul bahwa kepemimpinan yang riil adalah dengan
memberikan contoh teladan yang baik dan memberikan manfaat bagi para negara yang
terlibat di dalamnya. Mengembalikan kejayaan Jalan Sutera dan memaknai kembali dalam
konteks abad ke-21 merupakan tonggak strategis dalam merangkul para negara tetangga.
Gagasan tersebut berhasil menyediakan kebutuhan public goods bagi para negara di Asia
yang selalu disebutnya sebagai negara tetangga. Bila ini berlanjut dengan baik dengan
stabilitas keamanan yang terjamin di Asia, tidak mustahil paling lambat 20 tahun lagi China
akan memimpin dunia.
Pemerintah Indonesia yang mengedepankan Poros Maritim Dunia sepertinya harus
menangkap pesan China ini. Kemudian secara lebih cerdas, Indonesia mendapatkan
keuntungan signifikan dalam gagasan besar tersebut dengan menjadi salah satu negara
tetangga yang baik.
TIRTA N MURSITAMA, PHD
Ketua Departemen Hubungan Internasional Universitas Bina Nusantara; Visiting Scholar
pada College of Economics and Management Fujian Normal University,China
22
Pemimpin yang Peduli dan Mengayomi
Koran SINDO
12 November 2014
Masih adakah pemimpin di tengah masyarakat kita sekarang ini yang menaruh peduli pada
sesamanya, yang siap menjadi ayah, atau teman, dan tampil memberikan perlindungan dan
pengayoman? Ini perkara sulit. Jumlahnya mungkin hanya satu dalam seribu.
Dapatkah dunia bisnis, yang orientasi nilai utamanya mengejar profit, dikawinkan dengan
idealisme? Mungkinkah kita meraih sukses di dunia bisnis, dengan menggunakan kombinasi
cara berpikir yang menempatkan uang di atas segalanya, dengan wawasan yang meluhurkan
nilai-nilai non-materi?
Dapatkah hasrat meraih kepuasan materi diganti dengan kepuasan batin? Pada umumnya,
para pebisnis menjawab tidak. Bisnis ya bisnis, idealisme ya idealisme. Bisnis dan idealisme
itu dua dunia yang terpisah dan berseberangan secara diametral.
Orang yang memandang uang di atas segalanya hanya akan merasa dirinya ”eksis” dan
mencapai kepuasan jika impiannya menghimpun sejumlah besar uang terpenuhi. Jenis orang
seperti ini berpendapat kepuasan dapat dicapai hanya melalui wujud materi. Dengan kata lain,
kepuasan batin akan muncul hanya jika ada kepuasan berbasis materi didukung prestasi
nyata, yang meningkatkan akumulasi kekayaan materi yang sudah ada di dalam
genggamannya.
Ringkasnya, mengawinkan bisnis dengan idealisme itu mustahil. Ibaratnya, bumi dan langit
mana bisa bersentuhan tanpa mengakibatkan kehancuran yang tak kita kehendaki? Ya. Tapi
ini bukan satu-satunya dalil yang bisa masuk di akal kita.
Mungkin ini formula pengusaha kecil, yang mengelola organisasi bisnis kecil, yang masih
bergerak pada tingkat ”survival” : belum punya nama, belum punya prestasi, dan dengan
begitu juga belum punya rekam jejak yang meyakinkan di dalam dunia bisnis.
Pengusaha besar, dan dalam bisnis berskala besar mungkin lain lagi ceritanya. Organisasi
bisnis yang telah memiliki budaya perusahaan yang mapan, yang mencatat caring, credible,
competent, competitive, serta customer delight sebagai prinsip-prinsip dasar yang tak lagi bisa
dilanggar, tampaknya tak begitu sulit bahkan telah berhasil secara memuaskan mengawinkan
bisnis dengan idealisme.
Lima prinsip dasar di atas sebetulnya yang murni prinsip bisnis hanya empat: credible,
competent, competitive, dan customer delight. Ini prinsip-prinsip bisnis murni. Caring itu
lebih menampilkan aspek sosial, dan sisi kemanusiaan dari sebuah dunia bisnis, daripada
23
mewakili kepentingan bisnis itu sendiri. Di dunia bisnis, watak care itu problematik. Bagi
sebagian kalangan, dia tak punya tempat di dalam dunia bisnis.
Tak kurang-kurangnya pengusaha besar, di dalam organisasi bisnis besar, yang menolak
prinsip itu, karena sekali lagi caring bukan sifat yang wajib ada, terutama bila kata itu berarti
”jiwa yang penuh peduli” pada sesama, atau kemurahan hati dan semangat berbagi, untuk
bederma. Dua pemimpin bisnis dalam satu organisasi bisnis yang sama, cara menyikapi
caring bisa berbeda.
Dengan begitu, sebagai prinsip dasar, caring bisa tak akan dijalankan sesudah tokoh yang
selama ini menganggap caring sebagai kebajikan dan kemuliaan dunia bisnis, tak lagi
memegang kendali perusahaan. Jarak generasi sering mewujud dalam jarak pemikiran,
sekaligus pertentangan cara pandang tentang apa yang dianggap sikap penting untuk
mengembangkan bisnis.
Kalangan muda, yang merupakan pemimpin ”biasa” akan berusaha keras menghapus watak
itu karena baginya, caring bukan sekadar tidak produktif, karena terlalu sosial, melainkan
merupakan pemborosan yang tak perlu. Tapi di mata seorang pebisnis besar; yang secara
intern dikultuskan sebagai ”the living legend” jiwa yang penuh peduli tadi berarti usaha
memperbesar dukungan, dan mengurangi potensi rongrongan. Dengan begitu, jelas bukan
pemborosan.
Karyawan yang terkena stroke, tak mampu lagi bekerja, tetapi tak dipensiunkan, dan masih
dianggap karyawan, sampai masa pensiunnya tiba. Ini watak care yang indah secara
kemanusiaan, dan sekali lagi, tak merupakan pemborosan. Watak care di sini
menggambarkan fungsi pemimpin, dan kepemimpinannya, yang penuh sikap peduli untuk
mengayomi mereka yang membutuhkan pengayoman.
Ini bisa berlaku untuk kepentingan intern, bisa juga untuk kalangan orang luar. Tapi watak
care bukan hanya itu. Berorientasi pada profit dan hanya profit yang berarti akumulasi
kekayaan dalam bentuk uang, bisa membuat pemimpin dunia bisnis dengan tipe serba care
seperti itu merasa bersalah secara sosial.
Di sini, bisnis dan idealisme kawin, secara sah, dan harmonis, karena direstui oleh logika
yang berkembang di dalam jiwa yang penuh peduli, murah hati, dan mengayomi. Dunia
bisnis murni tidak salah bila di dalamnya ada sisi ”departemen sosial” yang tulus memberi
pelayanan, sebagai ungkapan rasa syukur yang hanya secuil kecil dibanding berkah ”langit”
yang sudah begitu melimpah.
Tapi caring, bukan keterampilan teknis yang mudah diajarkan, untuk menjadi bagian dari
corporate culture dalam sebuah dunia usaha. Mungkin caring lebih merupakan watak
bawaan sejak kecil, dan terbentuk melalui pergulatan dialektis antara kemurahan hati pribadi,
kemuliaan ajaran agama, dan sikap etis yang dalam, subtle, dan yang mungkin, lalu menjadi
sejenis kearifan hidup pribadi.
24
Orang besar sering menyulitkan orang lain yang meneruskan jejaknya, karena sikap atau
wataknya, yang tak mudah ”di-copy-paste” untuk menjadi suatu cultural legacy yang
ibaratnya tinggal menelan tanpa mengunyah. Warisan kepemimpinannya bukan benda yang
siap pakai. Sikap hidup bukan sejenis keris pusaka, atau tombak, yang mudah diwariskan
seutuhnya, apa adanya.
Di dalam diri orang besar, dan pemimpin besar, yang kepemimpinannya dianggap legendaris
tadi, terdapat suatu kualitas moral tertentu, mungkin suatu jenis kesalehan, kemuliaan, atau
karisma yang luhur, yang lebih enak untuk menjadi ”kekidungan”, dan kebutuhan batin untuk
”memuja”, dan begitu beratnya untuk diamalkan.
Pemimpin yang peduli dan mengayomi boleh jadi memang dilahirkan. Pemimpin yang peduli
dan mengayomi, tak banyak jumlahnya. Tak banyak orang yang bisa berperan sebagai ayah,
sebagai teman, dan sebagai pengayom di dalam tata kehidupan kita yang gersang secara
rohaniah ini.
MOHAMAD SOBARY
Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi,Mediasi,
dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan.
Email: dandanggula@hotmail.com
25
Logika Sosialisme
Koran SINDO
14 November 2014
Empat tahun lalu saya ke Kunming, China, menikmati udaranya yang sejuk, alamnya yang
indah, dan kulinernya yang lezat. Tak kalah menarik adalah lapangan golfnya yang memikat
dan menantang.
Lantaran keasyikan bermain golf dan kurang istirahat, malam harinya saya merasa dada sesak
sehingga minta tolong petugas hotel untuk memanggil dokter. Sekitar jam 21.00 dokter
datang ditemani tiga orang lain, lengkap dengan peralatannya. Singkat cerita, layanan medis
selesai, saya merasa nyaman kembali.
Ketika saya tanya berapa mesti membayar, mereka menjawab, semua ini gratis. Kami semata
melaksanakan tugas melayani warga yang sakit, termasuk tamu yang berkunjung ke sini.
Layanan medis yang begitu bagus serta gratis itu tentu memberikan kesan tersendiri di hati
saya. Sebuah negara dengan penduduk sekitar 1,3 miliar jiwa, namun bisa melayani
kesehatan tamunya dengan baik.
Kenangan yang sudah cukup lama itu muncul kembali pekan lalu ketika saya bertemu
seorang teman yang berkarier sebagai eksportir kayu, sebagian besar dikirim ke Jepang. Dia
merasa iri terhadap kemudahan yang diberikan oleh Pemerintah China kepada para
pengusaha di sana. Produk China selalu lebih murah harganya dibanding produk Indonesia.
Mengapa? Dia bercerita, Pemerintah China selalu memberi bantuan berupa kemudahan dan
kecepatan izin kepada setiap pengusaha. Bahkan juga keringanan pajak.
Alasannya, tugas negara untuk menciptakan lapangan kerja dan memberikan kesejahteraan
bagi warganya. Jika ada pihak swasta yang berniat dan mampu menciptakan lapangan kerja,
berarti telah membantu meringankan tugas dan beban negara sehingga pemerintah wajib
berterima kasih dan membantu kelancaran usahanya. Jika pemerintah pusat menerima
laporan bahwa birokrasi layanannya mempersulit, langsung ditindak.
Ada cerita lain dari seorang teman yang memiliki usaha perhotelan di Shanghai. Pada 1998
ketika dilanda krisis keuangan, pada malam hari beberapa lampu penerangan hotel dimatikan
untuk menghemat biaya karena tamu sedang sepi.
Selang beberapa hari kemudian pemilik hotel ditegur, lampu hotelnya tak boleh dimatikan.
Meski dunia sedang mengalami krisis ekonomi, Shanghai di malam hari mesti gemerlap
terang benderang. Kemegahan kota tidak boleh terpengaruh. Ketika bertemu petugas kota
yang mengurusi perhotelan, pemiliknya menceritakan bahwa tamu sedang sepi, pemasukan
menurun, sehingga manajemen mesti melakukan penghematan biaya.
26
Mendengar penjelasan itu, pemerintah langsung memberikan bantuan berupa pengurangan
pajak. Kalau memang urgen, pemerintah memberikan pembebasan pajak sampai keadaan
kembali normal. Semua cerita di atas bukan hasil riset ataupun baca buku, tetapi mendengar
langsung dari seorang teman.
Pemerintah China sadar betul, tanpa partisipasi rakyat, tugas negara sangat berat. Terlebih
China yang menamakan dirinya sebagai negara sosialisme-komunisme, negara memiliki
peran dan tanggung jawab jauh lebih besar dalam melayani rakyatnya ketimbang negara yang
menganut ideologi kapitalisme yang menekankan kebebasan bagi warganya.
Meski demikian, sesungguhnya sekarang tengah berlangsung proses konvergensi antara
narasi besar kapitalisme dan sosialisme. Negara penganut ideologi kapitalisme semakin
bergerak mendekati sosialisme, sementara negara sosialisme-komunisme bergerak ke arah
kapitalisme.
Secara ideal-konseptual, ideologi Pancasila merupakan konvergensi antara pertarungan dua
narasi besar itu. Hanya, realisasinya masih kedodoran. Tentang pelayanan birokrasi
pemerintah terhadap inisiatif rakyat dalam melakukan usaha ekonomi, cerita dan praktik di
Indonesia sangat mengecewakan.
Lagi-lagi sambil bermain golf saya berulangkali mendengarkan cerita dan keluhan teman-
teman pengusaha, misalnya saja pertambangan, yang dipersulit memperoleh izin, kecuali
mesti menyertakan saham kosong atau suap dengan jumlah yang fantastis untuk ukuran saya
sebagai dosen yang berstatus pegawai negeri sipil. Alih-alih memberi kemudahan dan
dorongan seperti cerita di atas, melainkan malah memeras.
Gosip bahwa pejabat birokrasi kita doyan duit ini juga beredar di kalangan pengusaha asing.
Akibat itu, citra dan wibawa birokrasi rusak, produk dalam negeri harganya lebih mahal
ketimbang barang impor, khususnya dari China.
Isi dan semangat Pancasila dan UUD 45 sesungguhnya lebih dekat pada mazhab sosialisme
yang sangat menekankan nilai dan praktik gotong-royong, bukan pasar bebas yang
memberikan panggung kompetisi bebas bagi para aktor-aktor ekonomi kelas kakap sehingga
peran negara semakin lemah dalam melindungi pemain-pemain kecil.
Kita menyaksikan, baik kompetisi di lautan, daratan, maupun udara, negara sangat lemah
dalam melindungi dan memfasilitasi pengusaha kecil. Aktor-aktor besar sudah pasti yang
memenangkan pertarungan. Lalu, di mana peran pemerintah dan wakil rakyat yang lahir
karena pilihan rakyat untuk memperjuangkan dan melindungi nasib mereka?
Di sini terjadi inkonsistensi logika politik dan penyimpangan moral. Pesan dan gerakan
agama mestinya juga diarahkan ke wilayah ini demi kesejahteraan rakyat dan kemajuan
bangsa. Jangan hanya untuk kepentingan komunal.
27
PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
@komar_hidayat
28
Tantangan Pendidikan
Koran SINDO
14 November 2014
Komitmen bersama tujuan pembangunan manusia Millenium Development Goals (MDGs)
salah satunya adalah tercapainya wajib belajar sembilan tahun. Tanpa terkecuali, anak usia 7-
15 tahun berhak sekolah pada jenjang pendidikan dasar dan menengah.
Menjelang berakhirnya tahun 2015, pemerintahan baru Indonesia segera memperbarui
komitmen mereka. Terlihat dari prioritas pertama sektor pendidikan, akses pendidikan
diperpanjang menjadi 12 tahun. Sisi mana yang bekal menghalangi capaian komitmen baru
tentang pemerataan pendidikan? Isu yang menjadi diskusi utama tulisan ini.
Pendidikan Layanan Khusus
Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki keberagaman bahasa, budaya, dan karakter
wilayah. Capaian pemerataan pendidikan tidaklah semudah negara-negara Eropa pada abad
ke-18. Tantangan pertama adalah menjangkau anak-anak marginal, difabel, dan anak korban
bencana alam.
Kalkulasi penulis menghasilkan perpanjangan satu tahun rata-rata pendidikan penduduk
dewasa memerlukan waktu pembangunan selama lima tahun. Dengan kondisi saat ini,
Indonesia tertinggal sekitar 50 tahun dibandingkan dengan capaian negara paling tinggi
capaian pendidikan masyarakatnya. Katakan negara-negara Skandinavia, seperti Norwegia,
Swedia, dan Finlandia rata-rata pendidikan penduduknya mencapai 17 tahun.
Untuk lokasi yang mudah diakses pendidikannya, persoalan akses pendidikan tidaklah rumit.
Apalagi, banyaknya skim kebijakan pemerintah untuk mempermudah kelompok anak-anak
keluarga miskin yang haknya dijamin oleh negara. Program beasiswa misalnya telah
berdampak pada peningkatan akses pendidikan untuk kelompok miskin.
Persoalannya yang muncul adalah ketika lokasi sekolah jauh dari tempat tinggal anak usia
sekolah. Tersedianya sekolah dalam radius tertentu tidak selalu diikuti dengan tercapainya
pemerataan kesempatan pendidikan. Lokasi-lokasi daerah yang diperkirakan tersulit adalah
daerah tertinggal, daerah terpencil, daerah perbatasan, pulau-pulau kecil, daerah perkebunan
rakyat, kawasan penduduk dalam hutan dan pinggiran, perkampungan kumuh perkotaan.
Kelompok anak-anak ini rentan putus sekolah lebih cepat, dan kemungkinan melanjutkan
pendidikan ke jenjang menengah atau sekolah lanjutan atas semakin mengecil. Selain anak-
anak tinggal pada daerah yang tersulit, banyak juga di antara mereka yang belum beruntung
secara sosial-ekonomi, di antaranya akibat kemiskinan, persoalan anak yang ditinggal orang
tua menjadi TKI, anak-anak jalanan, anak-anak dalam penjara, dan korban narkoba.
29
Belum terhitung di antara anak-anak yang mendiami daerah yang rentan terhadap bencana
alam, berupa gempa bumi, gunung meletus, kekeringan panjang, serta bencana lainnya. Kisah
korban letusan Gunung Sinabung di Tanah Karo, Sumatera Utara membuat anak-anak di
pengungsian terputus sementara waktu proses belajarnya. Mereka menghadapi ketidakpastian
tentang pendidikannya. Kisah bagaimana anak-anak yang harus berjuang untuk
menyeberangi jembatan gantung di pesisir selatan Sumatera Barat, menyabung nyawa meniti
jembatan yang bergoyang-goyang demi menuju sekolah.
Pada karakter daerah seperti ini, kebijakan penyediaan guru dan sekolah dengan cara
konvensional tidak selalu mampu memecahkan persoalan capaian pemerataan pendidikan.
Buktinya, hingga kini capaian akses untuk jenjang pendidikan menengah untuk kelompok
anak usia 13-15 tahun baru berkisar 95%. Bukan tidak mungkin banyak di antara kabupaten
yang masuk kategori tertinggal capaian akses pendidikan untuk jenjang SMP masih di bawah
75%.
Rata-rata capaian pendidikan di Kabupaten Paniai dan Kabupaten Jayawijaya diperkirakan
tidak akan lebih dari 3,5 tahun, mirip dengan capaian pendidikan pada tahun agresi Belanda
kedua, 60 tahun yang lalu. Jika ingin menambah wajib belajar menjadi 12 tahun,
persoalannya juga akan sama dengan anak-anak yang “marginal” atau mereka tinggal di
daerah yang mengalami bencana alam.
Data Susenas 2012, misalnya, memperlihatkan angka putus sekolah tertinggi terjadi ketika
masa transisi dari jenjang pendidikan SMP ke jenjang pendidikan SMA. Bahkan, angka putus
sekolah tertinggi adalah pada kelompok anak-anak di mana orang tuanya paling miskin. Data
yang sama juga menunjukkan hanya 2% dari anak-anak keluarga termiskin yang sampai
jenjang perguruan tinggi.
Pendidikan khusus (PK) untuk anak difabel dan pendidikan layanan khusus untuk anak-anak
“marginal” dan kena bencana adalah salah satu jawaban untuk menjangkau anak-anak yang
sulit untuk dijangkau “reach unreachable”. Pengalaman dua tahun penyelenggaraan
pendidikan layanan khusus (PLK) untuk anak-anak suku Bajo di Wakatobi, Sulawesi
Tenggara dan anak pinggiran hutan di Kabupaten Pasaman, Sumatera Barat menghasilkan
dampak yang besar terhadap kembalinya mereka untuk sekolah lagi.
Penyediaan seragam sekolah dan sepatu, disertai dengan subsidi makanan di sekolah, telah
berdampak terhadap ketertarikan anak-anak kembali ke sekolah. Instrumen makanan
tambahan di sekolah dan keperluan sekolah sebenarnya tidak terlalu besar membebani
APBN. Dampak daya tariknya besar dalam mengembalikan anak ke sekolah.
Kartu Indonesia Pintar (KIP) jangan hanya untuk menjamin anak-anak dapat bersekolah,
namun sebaiknya juga mengakomodasi segala keperluan sekolah minimum oleh anak-anak
yang masuk kategori 40% termiskin.
Pemerataan Mutu
30
Tantangan kedua adalah mendongkrak mutu pendidikan dari berbagai sudut. Selain mutu
kognitif, psikomotorik, sikap mental, menjadikan anak bangsa yang berketuhanan membuat
anak-anak kita lahir secara sempurna dalam menatap masa depan mereka. Ejekan terhadap
anak-anak kita sangat pantas, ketika nilai Matematika, Sains Dasar, dan Kemampuan
Membaca mereka jauh dari yang diharapkan. Anehnya, pergantian kurikulum sekalipun tidak
banyak mengubah ukuran mutu yang digunakan.
Bukan tidak mungkin mutu yang cukup bergengsi bisa dicapai. Mengingat sering anak-anak
kita menang lomba Matematika atau Fisika, namun itu hanya dihitung dengan jari.
Sekolah-sekolah yang baik itu ke itu saja; berlokasi di perkotaan, memiliki guru yang selektif
dan bermutu, dan kebanyakan penyelenggaranya di bawah yayasan swasta keagamaan serta
sekolah negeri favorit. Sekolah-sekolah yang baik tidak lagi tersedia secara random,
mengingat anak-anak pintar dengan sendirinya akan lulus di sekolah favorit dengan sistem
rekrutmen yang dibangun.
Terlepas itu semua, maka perhatian tentunya terfokus kepada penyediaan guru yang bermutu.
Dampak sertifikasi guru penulis ditemukan tidak banyak dampak ungkitnya terhadap
peningkatan mutu. Berbagai prioritas kebijakan sangat diperlukan, di antaranya peningkatan
kualifikasi pendidikan guru, pengembangan metodologi pedagogi, dan memperbarui kembali
komitmen dan integritas para pendidik.
Mereka pada umumnya ibarat baterai yang sering soak. Perlu dicas ulang. Lembaga-lembaga
yang kompeten mesti bersiap melakukan penataan, menemukan roles model, training for
trainer yang berkelanjutan dan tidak tergesa-gesa. Pada akhirnya, proses penguatan institusi
pelatihan, mengembalikan roh LPTK, dan pemurnian iktikad guru, menjadi modal untuk
mengatasi tantangan pemerataan kualitas pendidikan.
ELFINDRI
Profesor Ekonomi SDM dan Koordinator Program S-3 Ilmu Ekonomi Universitas Andalas,
Padang
31
Pahlawan Kesiangan
Koran SINDO
16 November 2014
Tulisan ini kesiangan. Hari Pahlawan sudah lewat, kok baru nulis tentang pahlawan? Dalam
dunia pers istilahnya ”sudah lewat momentumnya”. Tetapi memang saya tidak bermaksud
mengejar momentum, apalagi ”kejar tayang”.
Saya justru ingin melihat apa saja yang dilakukan oleh anak-anak bangsa ini untuk
memperingati Hari Pahlawan di era Revolusi Mental ini. Adakah perubahan perilaku atau
masih sama saja dengan yang dulu-dulu? Tetapi persis seperti yang sudah saya duga, acara
Hari Pahlawan masih yang itu-itu juga: peragaan perang di Surabaya tanggal 10 November
1945.
Dengan Bung Tomo mengepalkan tangan ke atas, dan anak-anak sekolah berpakaian ala
seragam tentara rakyat yang sudah tertanam di benak mereka, yaitu seragam warna cokelat
khaki, dengan simbol merah-putih di dada, dan ikat kepala merah-putih terbuat dari ikat leher
Pramuka (walaupun zaman itu belum ada Pramuka). Tidak aneh, kalau keesokan harinya,
pascaperingatannya, orang sudah lupa lagi pada Hari Pahlawan, apalagi pada makna
kepahlawanan itu sendiri.
Pada tahun 2008, di sebuah Kongres Psikologi Internasional di Berlin, Jerman, saya
menghadiri sebuah paparan tentang heroisme (kepahlawanan) oleh psikolog sosial paling
kondang saat ini, Dr Philip Zimbardo. Dalam paparan yang dihadiri sekitar 1.000 psikolog
sedunia itu, Dr Zimbardo menayangkan sebuah rekaman CCTV singkat yang sangat
mencekam.
Dalam CCTV itu, tampak suasana di sebuah stasiun metro (kereta api bawah tanah) di
London, dengan sebuah kereta api sedang meluncur dari kegelapan dan sudah terlihat
lampunya akan segera masuk kawasan stasiun. Tiba-tiba seorang balita terjatuh dari kereta
dorong ibunya yang berdiri terlalu di pinggir peron (tempat tunggu penumpang). Balita itu
pun jatuh langsung masuk di tengah-tengah dua rel yang sekejap lagi akan dilewati kereta
api.
Seketika semua orang menjerit histeris, dan tentu saja ibu yang malang itu berteriak paling
histeris. Semua panik. Sebentar lagi si balita akan remuk digilas kereta api. Tetapi tiba-tiba
sesosok laki-laki meloncat turun dari peron ke rel dan segera bertiarap dengan memeluk
balita. Sekejap kemudian kereta api Metro menderu lewat di atas kepala mereka, dan ketika
kereta itu berhenti, balita dan laki-laki itu sama-sama selamat, tidak ada yang terluka sedikit
pun.
32
Pasca peristiwa itu laki-laki penolong itu diwawancara, dan ternyata dia sendiri punya dua
anak. Satu di antaranya masih balita. Ia mengatakan bahwa tidak berpikir panjang ketika
menolong balita. Spontan ia meloncat saja untuk melindungi balita, dan akhirnya memang
balita itu selamat.
Dr Zimbardo kemudian memberikan analisisnya tentang perilaku kepahlawanan. Seorang
pahlawan itu, kata Dr Zimbardo, hanya mau menolong orang lain, atau menyelamatkan orang
banyak, tanpa memikirkan keselamatan, apalagi keuntungan untuk dirinya sendiri. Arti
kepahlawanan (heroisme dari kata Yunani kuno ‘hero’) itu sendiri adalah keberanian atau
pengorbanan diri sendiri yang ditunjukkan seseorang dalam keadaan yang sangat berbahaya,
atau dari posisinya yang sangat lemah, namun tetap berani mengambil risiko demi kebaikan
yang lebih besar untuk keseluruhan kelompok yang lebih besar atau umat manusia. Awalnya
istilah ini hanya untuk dunia militer/perang, tetapi belakangan banyak digunakan dalam
kaitannya dengan nilai-nilai moral.
Dalam kaitannya dengan nilai-nilai moral inilah saya dan beberapa teman dari sebuah
kelompok WA (WhatsApp) pada hari Senin 10 November 2014 yang lalu, menyelenggarakan
sebuah diskusi kecil di Gedung Joang, Jakarta, dengan para pemuka agama (lintas agama)
untuk menggali nilai-nilai kepahlawanan baru untuk dikembangkan ke masa yang akan
datang.
Nilai kepahlawanan zaman sekarang adalah anti-korupsi. Semua orang tahu bahwa bukan
barang gampang untuk tidak korupsi di tengah lingkungan yang semua orang korupsi.
Diperlukan keberanian, kenekatan, dan yang jelas pengorbanan untuk bersikap anti-korupsi di
zaman sekarang.
Karena itu, tokoh-tokoh yang berani anti-korupsi seperti Ahok harus kita dorong, karena
mereka itulah pahlawan yang sebenarnya. Tokoh seperti inilah yang harus dijadikan ikon
pahlawan hari ini, yaitu tokoh yang jadi fans-nya generasi muda, bukan lagi Bung Tomo yang
(dengan segala hormat kepada beliau) sudah menjadi masa lalu.
Berdasarkan definisi Dr Zimbardo seperti di atas, siapa pun bisa tiba-tiba menjadi pahlawan
kalau ada situasi-situasi yang mendadak mendesak seperti yang dialami bapak penolong tadi.
Dengan definisi Dr Zimbardo, setiap orang bisa jadi pahlawan asalkan dia mau
mengorbankan dirinya sendiri untuk kepentingan yang lebih besar atau orang lain.
Namun, tampaknya bukan itu yang dipahami oleh para penggembira di perayaan 10
November 2014 yang baru lalu di Jakarta. Di ruangan lain dari Gedung Joang, ada beberapa
ibu yang katanya mau demo ke salah satu direktorat jenderal, karena katanya rumah salah
satu ibu itu digusur oleh instansi ditjen itu, padahal ibu itu janda pahlawan yang mendapat
bintang jasa dari pemerintah.
Di jalanan, ribuan buruh berdemo minta kenaikan UMR, karena mereka merasa sudah berjasa
bekerja untuk negeri ini sehingga layaklah kalau upahnya dinaikkan. Dan, lebih banyak lagi
33
anggota ormas yang berdemo karena merasa sudah menertibkan Ibu Kota dari kemaksiatan
sehingga merasa dirinya sudah jadi pahlawan dan menuntut agar Ahok turun dari jabatan
gubernur DKI.
Seperti itulah orang-orang Indonesia yang merayakan Hari Pahlawan. Mereka merasa dirinya
adalah pahlawan, padahal tidak ada pahlawan yang merasa dirinya sendiri pahlawan, kecuali
pahlawan kesiangan.
SARLITO WIRAWAN SARWONO
Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
34
Publikasi Ilmuwan Rendah, Mengapa?
Koran SINDO
17 November 2014
Publikasi ilmiah ilmuwan Indonesia masih rendah. Ini menunjukkan bahwa denyut nadi
kehidupan ipteks di kalangan kaum terpelajar belum optimal. Cita-cita meraih institusi
pendidikan tinggi atau lembaga penelitian yang mendunia masih jauh panggang dari api.
Jurnal ilmiah di Indonesia masih menghadapi banyak persoalan menyangkut kontinuitas
penerbitan dan statusnya yang sebagian besar belum terakreditasi. Kinerja jurnal ilmiah yang
buruk disebabkan oleh beberapa hal.
Pertama, naskah ilmiah yang masuk terlalu sedikit sehingga mengurangi derajat selektivitas.
Kedua, kurang optimalnya peran reviewer. Artikel yang dikirimkan kepada tim reviewer
untuk ditelaah, berbulan-bulan tidak dikembalikan sehingga memperlambat pemuatan.
Ketiga, rata-rata dana penelitian untuk dosen/peneliti terlalu kecil sehingga ipteks yang
dihasilkan tidak layak untuk publikasi ilmiah.
Jurnal ilmiah adalah wahana komunikasi ilmiah bagi ilmuwan-ilmuwan dalam bidang
keilmuan tertentu. Karena itu, pendekatan cara pengelolaannya tidak bisa menggunakan kiat
bisnis seperti media massa yang bersifat komersial. Jurnal ilmiah menuntut komitmen yang
tinggi dari pengelolanya, partisipasi aktif dari dosen dan peneliti sebagai penyumbang
naskah, tim reviewer untuk selalu tepat waktu, dan subsidi pengganti ongkos cetak dari
pelanggan dan institusi pengelola jurnal ilmiah.
Kemenristekdikti kini berkesempatan untuk memperbaiki kinerja riset dan publikasi ilmiah di
perguruan tinggi dan lembaga-lembaga penelitian. Bantuan dana untuk penerbitan jurnal
ilmiah nasional dan grants bagi dosen yang akan menerbitkan hasil karya risetnya di jurnal
ilmiah internasional harus diperbesar. Saat ini tidak ada alasan lagi bagi dosen untuk tidak
menulis. Pepatah publish or perish (menulis atau binasa) hendaknya menjadi pegangan setiap
ilmuwan untuk lebih produktif dalam memublikasikan karya-karyanya.
Hampir semua dosen atau ilmuwan di Tanah Air menyadari tentang lemahnya publikasi
internasional di kalangan mereka. Sebenarnya ini bukan karena mereka tidak mampu. Bukti-
bukti menunjukkan bahwa dosen yang pernah tugas belajar di luar negeri umumnya telah
mempublikasikan 1-2 karya ilmiahnya di jurnal ilmiah internasional bersama dosen
pembimbingnya. Apakah setelah berada di Tanah Air, mereka bisa bertambah produktif
menghasilkan karya-karya ipteks yang layak publikasi? Jawabannya sebagian besar tidak.
Iklim akademik di perguruan tinggi Tanah Air kurang menunjang dosen untuk bergairah
menghasilkan publikasi bertaraf internasional.
Harus diakui bahwa rendahnya penghargaan bagi ilmuwan menyebabkan kehidupan ipteks
35
tidak bergairah. Almarhum Prof Mochtar Buchori pernah menyindir bahwa honor peneliti
masih lebih rendah dibandingkan honor kuda sewaan di tempat rekreasi. Akhirnya,
melakukan kegiatan penelitian selain untuk menghasilkan temuan ilmiah yang baik, juga
merupakan strategi untuk mendapatkan penghasilan tambahan.
Bila sebaran dana riset masih sekadar untuk pemerataan penelitian agar lebih banyak dosen
meneliti, yang lahir hanyalah ipteks-ipteks dangkal. Riset yang baik memerlukan dana besar.
Ilmuwan (baca: peneliti) akan malas memublikasikan hasil risetnya di jurnal-jurnal ilmiah
internasional. Publication fee di jurnal internasional (sekitar Rp5 juta) dan ini harusnya bisa
dimintakan gantinya ke Kemenristekdikti.
Partisipasi ilmuwan dalam forum seminar internasional juga rendah karena ilmuwan
Indonesia tidak mampu membiayai kegiatan seminar di luar negeri. Untuk itu, hibah untuk
berseminar di luar negeri harus ditingkatkan.
Pengajuan promosi jabatan guru besar kini harus disertai oleh bukti-bukti publikasi ilmiah di
jurnal prestisius. Tanpa publikasi, karier dosen atau peneliti sulit untuk menggapai jenjang
profesor atau profesor riset. Di suatu PTN scopus citation index lebih dari tiga hanya dicapai
oleh beberapa orang guru besar, padahal jumlah guru besar di PTN tersebut hampir 150
orang.
Adalah sangat penting bahwa menulis di jurnal ilmiah hendaknya menjadi tradisi di kalangan
ilmuwan. Di Universitas Wageningen Belanda disertasi mahasiswa S- 3 dibuat dalam format
manuskrip berupa artikel-artikel ilmiah baik yang sudah dipublikasi di jurnal ilmiah maupun
yang sedang dalam tahap dikirimkan untuk dimuat.
Pola semacam ini sangat baik diterapkan di universitas-universitas di Indonesia. Dosen
pembimbing bersama mahasiswa S-3 menjadi terpacu untuk mempublikasikan hasil-hasil
risetnya. IPB telah mewajibkan mahasiswa pascasarjananya untuk menulis hasil
tesis/disertasinya di jurnal ilmiah sebelum mahasiswa menempuh ujian/sidang karya ilmiah.
Peringkat perguruan tinggi ternama di Indonesia seperti UI, ITB, UGM, ataupun IPB di
tingkat dunia masih bisa ditingkatkan meski kini telah menjadi bagian dari 500 universitas
top di dunia.
Salah satu indikator universitas bermutu adalah publikasi ilmiah para dosennya yang dimuat
di jurnal internasional. Potret buram publikasi ilmiah dosen Indonesia dapat menggagalkan
cita-cita untuk meraih predikat research university. Keinginan untuk menempatkan riset
sebagai pilar membangun perguruan tinggi yang bermutu terkendala oleh kegiatan penelitian
yang belum optimal.
Di tengah-tengah upaya pemerintah untuk menyejahterakan dosen melalui sertifikasi, para
dosen diharapkan lebih banyak berkarya di perguruan tinggi masing-masing. Jangan sampai
dosen lebih banyak ngasong (bekerja di luar) daripada berkomitmen mengajar, membimbing
mahasiswa, dan meneliti di kampusnya sendiri.
36
Dosen atau ilmuwan yang suka menulis di koran tidak perlu dikritik. Pernah muncul istilah
ilmuwan empat halaman karena untuk menulis di media massa hanya diperlukan pemikiran
sepanjang empat halaman kuarto. Sebenarnya tidak perlu membandingkan karya tulis
ilmuwan yang dimuat di koran dengan yang dimuat di jurnal ilmiah. Tidak semua dosen bisa
menulis di koran, tetapi semua dosen harus bisa menulis di jurnal ilmiah.
ALI KHOMSAN
Guru Besar Departemen Gizi Masyarakat, FEMA IPB
37
Kampus dan Tragedi Narkoba
Koran SINDO
17 November 2014
Berita itu sangat mengagetkan. Sulit dipercaya, tetapi nyata adanya. Seorang guru besar pada
universitas negeri tersohor di wilayah timur Indonesia terlibat pesta sabu.
Dalam perasaan gundah dan penasaran, saya mencoba konfirmasi ke seorang sejawat di
universitas tersebut. Berita itu dinyatakan benar. Hati saya semakin terguncang. Betapa tidak?
Sejak 2001 hingga hari ini saya selalu mondar-mandir ke universitas tersebut dalam rangka
kerja sama. Selama ini tidak ada ihwal aneh, mencurigakan, ataupun mengkhawatirkan.
Segalanya berjalan lancar, tertib, dan teratur.
Secara jujur saya akui bahkan banyak keunggulan yang dimiliki universitas ini dibanding
universitas lain. Jumlah dosen bergelar doktor dan memiliki jabatan guru besar (profesor)
sedemikian banyak. Kualitas akademik alumninya tergolong tinggi. Buktinya, antara lain,
hampir pada semua lembaga negara di negeri ini alumninya menduduki jabatan penting.
Benarkah tragedi ini isyarat bahwa benteng mentalitas akademik insan-insan kampus telah
jebol dilanda dekadensi moral narkoba?
***
Tak terbilang, telah berulangkali, dimintakan perhatian kepada semua pihak agar hati-hati
terhadap segala bentuk kejahatan narkoba. Kejahatan jenis ini bukan sekadar biasa,
melainkan kejahatan luar biasa. Memiliki daya bunuh terhadap semua orang, lintas generasi,
dan mampu memorak-porandakan kehidupan bangsa. Karena itu, perlu waspada, diikuti
langkah-langkah sistematis dan berkesinambungan dalam pencegahan maupun
penindakannya.
Pada dimensi hukum, ingin diingatkan bahwa perang terhadap narkoba tidak cukup
bersenjatakan aturan hukum formal, penegakan hukum secara mekanis-prosedural dan
teknologis. Sebagai kejahatan luar biasa, narkoba perlu diperangi dengan komitmen tinggi
berbasis visi kultural kebangsaan. Dimensi hukum ini dalam ranah filosofis sering
dipadankan dengan ”semangat kebangsaan”.
Tanpa mengurangi rasa hormat atas langkah dan prestasi yang dicapai penegak hukum, saya
melihat perang terhadap narkoba selama ini seakan terjebak pada kegiatan-kegiatan teknis
sehingga dapat dikatakan bahwa semangat kebangsaan tidak melekat dan menjiwai
perjuangan melawan narkoba. Mungkin karena peredaran narkoba dipandang sebagai
kegiatan teknis, terkait dengan perdagangan, tertuju untuk keuntungan finansial. Bila hal
demikian latar belakang dan orientasinya, masuk akal bahwa perang terhadap narkoba identik
dengan berjudi. Siapa pemenangnya, akan ditentukan oleh pemain yang pandai dan terampil
38
memutarkan koin, fulus, atau uang.
Penjahat narkoba secara empiris boleh jadi jauh lebih piawai ketimbang penegak hukum
dalam perjudian itu. Alhasil, penjahat narkoba mudah lolos dari jeratan hukum. Kejahatan
narkoba pun terus berjalan, bahkan meningkat, dan merambah semua strata sosial. Perang
terhadap narkoba hendaknya disadari sebagai perang semesta, gerakan nasional, dijiwai
semangat kebangsaan.
Antara penegak hukum dan masyarakat mesti gotong royong sesuai dengan posisi dan fungsi
masing-masing, mencegah dan berani menindak segala bentuk kejahatan narkoba. Di situ
akan tergambarkan bahwa karakter bangsa amat menentukan intensitas perang terhadap
narkoba.
Keberadaan hukum bukan sebagai prasyarat, melainkan sekadar alat atau senjata agar
kemenangan mudah dicapai. Katakanlah, hukum yang ada masih lemah, banyak
kekurangannya, hendaknya tidak dijadikan alasan untuk kalah perang terhadap narkoba sebab
dengan berbekal semangat kebangsaan dapat secara kreatif digunakan senjata lain di luar
hukum. Karakter normatif itulah senjata di luar hukum yang mampu menggantikannya.
***
Sebagai orang kampus, saya merasakan betul bahwa pendidikan dan pengajaran selama ini
kurang memberikan dorongan dan ruang gerak untuk tumbuh dan berkembangnya karakter
normatif. Sejak kita masuk era Reformasi, di situ karakter pragmatis, materialis, dan hedonis
amat mewarnai karakter bangsa, utamanya generasi muda.
Segala kesenangan hidup, ingin diraih melalui cara-cara instan, ingin cepat sampai pada
sasaran, tanpa hirau terhadap moral dan hukum. Menjadi bandar, pengedar, atau pengguna
narkoba, bila dirunut sampai ke basis moral dan hukum, tiada lain merupakan wujud karakter
pragmatis, materialis, dan hedonis tersebut. Memasuki era globalisasi, perdagangan bebas,
dan perang terhadap narkoba secara jujur kita rasakan semangat kebangsaan kian lemah.
Secara teoretis, apa yang kita lakukan sekarang adalah membangun suatu etos Indonesia
bersih, sehat, kokoh, dan mandiri, tetapi tanpa landasan, rancang bangun, dan visi yang jelas.
Mengutip kata-kata Satjipto Rahardjo (2003), ”ibarat mengarungi samudra luas, sambil
berlayar, kita perbaiki perahu kita”. Dapat dibayangkan, ketika tiba-tiba badai menerpa,
dapatkah kita bertahan di atas perahu pecah?
Kejahatan narkoba boleh dipandang sebagai badai besar dan ganas yang melanda kehidupan
kita sebagai bangsa. Untuk membangun kembali semangat kebangsaan, founding fathers
telah memberikan modal berharga yakni Pancasila. Sivitas akademika mestinya menjadi figur
teladan, manusia bertakwa, adil, dan beradab. Atas dasar Pancasila, secara moral dan hukum
semangat kebangsaan dapat dibangun melalui pendidikan di ranah keluarga, sekolah,
39
lingkungan, dan pendidikan tinggi. Dari kampus, perang terhadap narkoba digelorakan
sebagai semangat kebangsaan.
Tragedi guru besar dan narkoba tidak cukup diratapi. Pangkat dan derajat hakikatnya adalah
ujian. Keburukan dan kebaikan yang merupakan standar penilaian amal manusia bahkan
sesungguhnya ujian dan cobaan. Apalagi kekayaan dan kemiskinan, harta benda dan jiwa,
semuanya adalah sarana dan sekaligus bentuk konkret ujian.
Karena itu, tragedi guru besar dan narkoba harus benar-benar disikapi secara objektif dan
proporsional, dijadikan cambuk untuk mawas diri seraya melakukan otokritik. Kendatipun
kita sebagai bangsa merupakan umat yang satu (ummatan wahidah), namun secara empiris-
objektif, ternyata kebersatuan kita rapuh bila sudah terjangkit narkoba. Yuk, dengan semangat
kebangsaan, kita bersihkan kampus dari narkoba. Wallahu a’lam.
PROF DR SUDJITO SH MSI
Guru Besar Ilmu Hukum dan Kepala Pusat Studi Pancasila UGM
40
Semangat Kebangsaan Ala Viking
Koran SINDO
17 November 2014
“Padamu Persib aku berjanji//Padamu Persib aku berbakti//Padamu Persib aku
mengabdi//Bagimu Persib jiwa raga kami.” Yel-yel itu bergema dalam grand final bergengsi
Indonesia Super League (ISL) 2014 antara Persib melawan Persipura di Stadion Jakabaring,
Palembang.
Yang menarik adalah nilai-nilai kebangsaan yang dulu digelorakan oleh para pejuang
kemerdekaan, kini berubah menjadi sebuah spirit pembelaan terhadap tim kesayangan. Spirit
heroik kebangsaan itu berubah menjadi heroik kepahlawanan ala Bobotoh Persib yang
sebagian besar menyebut dirinya Viking.
Bagi seorang kesatria Viking, kemenangan Persib adalah pertaruhan harkat, martabat, dan
kehormatan diri. Demi sebuah kehormatan, apa pun dipertaruhkan. Lamun ceuk urang lembur
mah top pati jiwa raga, kadieukeun kahormatan kaula (Kalau kata orang kampung, ambil
jiwa ragaku, kembalikan kehormatanku).
Puluhan ribu orang pergi meninggalkan Tanah Pajajaran, sekarang Tanah Jawa Barat, ngaleut
ngeungkeuy ngabandaleut, ngemat-ngemat nyatang beusi, henteu nyatang pinang sabab
tangkal jambena geus euweuh dituaran dipake maen rebutan, ari melak henteu, ari nuar
beuki... (berbondong-bondong menggunakan bus meniti jembatan besi, bukan jembatan
pinang sebab pohon pinangnya sudah habis ditebangi untuk lomba panjat pinang... enggak
suka menanam, tapi gemar menebang). Itulah ciri kita kini, gerakan menanam pohon di
mana-mana, tapi pohon semakin jarang sebab selesai pencanangan, pohon yang baru saja
ditanam habis dimakan kambing, padahal biaya upacaranya lebih mahal dibanding biaya
menanam pohonnya.
Keberangkatan ke Jakabaring dilakukan dengan berbagai cara, ada yang cukup ongkos, ada
yang menjual beras, menjual telepon seluler (ponsel), yang penting bisa sampai ke tempat
tujuan.
Kujual baju celana, ini semua demi Persib ..., nu penting mah asal nepi ka tempat anu dituju,
rek lalajo Persib final geus lila hayang juara ... (yang penting sampai ke tempat yang dituju,
hendak menonton Persib di final sudah lama ingin jadi juara). Itulah tekad balad Viking
sejati.
Gemuruh sorak-sorai histeria dramatik di Jakabaring adalah ekspresi dari spirit patriotik
tanpa batas untuk melakukan pembelaan secara dramatik terhadap tim kesayangan yang telah
memberikan rasa suka dan rasa duka, membakar seluruh emosi dirinya sebagai garda
terdepan, pembela, penjaga martabat dan kehormatan Persib. Gelombang spirit bergemuruh
41
secara masif sehingga Viking menjadi kekuatan sosial yang cukup tangguh dalam
membangun rasa solidaritas, kebersamaan adalah kekuatan yang sulit dikalahkan; yang satu
tersakiti, yang lain menjerit penuh emosi.
***
Jiwa patriotik sebagai pembela kehormatan sejati melahirkan sifat nekat tanpa batas, entah
berapa banyak sang kesatria yang terjatuh dari atas kereta, terjatuh dari mobil atau motor,
entah berapa yang meninggal, saya tidak punya data tentang itu. Tetapi, berbagai peristiwa
tragis itu tidak menyurutkan kobaran semangat yang terus membara dalam dada para kesatria
Viking , hujan angin dor dar gelap taya tempat keur ngiuhan, sanajan awak rancucut nu
penting mah Persib meunang... (hujan angin, petir menyambar-nyambar, tiada tempat untuk
berteduh, sekalipun badan kuyup yang penting Persib menang).
Andai saja seluruh emosi kecintaan terhadap Persib yang luar biasa itu berubah menjadi
emosi kebangsaan, betapa hebat bangsa ini memiliki rakyat yang sangat ideologis, penuh jiwa
kesatria, rela berkorban, saling menolong dengan sesama, dan siap berperang membela
bangsanya manakala negara terancam. Kalau begini, tidak akan ada yang berani
merendahkan kepada bangsa kami.
Di pentas yang lain, kegaduhan di Gedung Parlemen yang merupakan dampak dari grand
final pertarungan politik nasional terus berkecamuk. Tetapi, gemuruhnya hanya ada dalam
potret media, pertikaian para kesatrianya tidak lagi memengaruhi emosi apalagi membangun
gegap gempita dan heroisme para pendukungnya. Realita tersebut menunjukkan bahwa saat
ini konsolidasi politik ideologis tidak lagi mendapat tempat dalam relung batin masyarakat.
Saat ini sangat sulit menggerakkan orang atas nama ideologi dan politik tanpa diimbangi
bekal dan logistik yang cukup. Rapat-rapat akbar tidak bisa dilaksanakan manakala distribusi
logistik tidak turun ke konstituen, sagalana kudu nyampak (semua harus tertata dan tersedia),
kaos yang tinggal pakai, bus yang tinggal ditumpangi, makanan yang tinggal dimakan,
ditambah bekal untuk anak dan istri yang ditinggalkan di rumah. Pokoknya, maju tak gentar
membela yang bayar... Maju terus pantang mundur, kitu oge mun aya ongkosna (itu pun
kalau ada ongkosnya).
Ideologi warna-warni menghiasi pentas politik kita, tidak ada lagi konsistensi dalam sebuah
dukungan politik. Hari ini berpakaian Partai A, besok berpakaian Partai B, lusa berpakaian
Partai C. Lumayan, dapat jatah kaos gratis lima tahun sekali. Seorang konstituen bisa
mengoleksi tujuh kaos, kalau urusan memilih, kumaha aing we... (terserah saya).
Mereka berprinsip kalau tidak oleh saya, mau sama siapa lagi. Kalau tidak sekarang, kapan
lagi. Mumpung ada yang memberi, terima saja karena kalau sudah jadi, pasti lupa lagi.
Sekalipun demikian, tidak semuanya begitu, masih ada pemilih yang ikhlas dan fanatik.
Persoalan inkonsistensi pilihan bukan hanya pada pemilih. Watak itu juga kini menjadi watak
para kesatria. Pundung saeutik, pindah partai atawa nyieun partai. Geus biasa eta mah ...
42
(tersinggung sedikit, pindah partai atau membuat partai baru).
***
Perubahan karakter pemilih mungkin karena kekecewaan mereka, karena terlalu lama mereka
menanti kepastian janji para kesatria untuk mewujudkan mimpi indah sebagai bangsa yang
makmur dan bermartabat. Janji manis para pemimpin seringkali kandas menjadi cinta yang
bertepuk sebelah tangan, manakala kursi kekuasaan sudah ada dalam genggaman.
Seluruh konstituen seringkali menuai kehampaan, proses komunikasi yang sering terputus
pascaijab kabul perkawinan politik. Pintu sang suami politik yang sering terkunci, jarak yang
semakin jauh, pertemuan yang semakin jarang dan hanya dibatasi oleh formalitas bernama
kunjungan kerja atau reses, telah melahirkan gairah ranjang politik yang hambar. Senyum
manis, bisikan cinta yang indah, tatapan penuh kasih, janji hidup bersama dalam suka dan
duka kini semua hilang, dengan satu pertanyaan: Mau dibawa ke mana hubungan kita ...
Konstituen mengalami kesepian melewati malam yang panjang, penuh kegalauan.
Kekecewaan itu melahirkan sikap pilihan politik tanpa cinta dan rasa. Aku akan menjadi
jablay politik, akan kuterima setiap bingkisan dan amplop dari siapa pun, yang penting hasrat
politikku terpuaskan dari pada aku harus menderita, sakit hati karena janji yang tak pasti.
Sakitnya tuh di sini di dalam hatiku... Sakitnya tuh di sini janjimu itu palsu.
Sikap saling tidak percaya tercermin juga dari kegundahan para politisi karena visi politik
berubah menjadi transaksi politik. Waktu sang kesatria datang masyarakat tak mau
mendengar apa yang diucapkan, tapi lebih mengajukan pilihan-pilihan yang harus dipenuhi,
masjid omeaneun, madrasah sumbangeun, majelis taklim banguneun, jalan aspaleun, duit
bawaeun. Pokona mah riweuh we lah... dengan sebuah garansi dapat suara pada waktunya.
Tetapi, ketika perhitungan dilakukan, seluruh bayangan itu sirna. Katanya janjinya seribu
suara, eeh ... dapatnya seratus. Masih mending dapat seratus, kadang ada yang hanya dapat 10
suara, bahkan ada yang tidak mendapat suara sama sekali termasuk tim sukses dan saksinya
pun tidak memilih saya. Asa ku tega-tega teuing, nyeri nyeri teuing moal bisa diubaran,
kajeun tutumpuran paeh ge teu panasaran... (teganya... teganya... teganya...).
Efek buruk dari semua itu, tidak sedikit kesatria yang memilih untuk tidak mencintai
konstituennya sepenuh hati, malah lebih memilih melakukan prostitusi politik, beli saja lima
tahun sekali, andai kata gagal pun tidak sakit hati. Aduh aduh, nu milih dianggap jablay...
(jarang dibelai, cukup lima tahun sekali).
***
Ini untuk para pemilih politik saatnya kita belajar dari Viking. Hidup penuh solidaritas,
pantang menyerah, dan rela berkorban. Mencintai Persib-nya sepenuh hati. Untuk para
kesatria politik, belajarlah dari Persib dan Persipura, bertanding penuh sportivitas, tak ada
43
kebencian, yang ada hanya tangis kegembiraan bagi sang pemenang, dan tangis kesedihan
bagi yang kalah. Selesai bertanding persaudaraan tetap terjaga.
Betapa bahagianya, kalau menjadi pemimpin pendukungnya seperti Viking, bisa jadi
berpolitik tanpa biaya. Setelah berkuasa, tinggal memenuhi seluruh janji dan sumpah setia
pada pemilihnya dengan tidak berpindah ke lain hati.
Jadi Bobotoh dan Viking-nya adalah guru politik solidaritas kita, tapi yang tidak boleh itu
Viking dan Bobotoh menjadi alat politik bagi kita karena akan mencederai sumpah kesatria
seorang Viking yang berbunyi: Demi Persib aku rela untuk mati... Wilujeng kanggo Pak
Umuh sareng sadaya bobotoh. Mugia Mang Ayi Beutik bagja di alam pangbalikan.
DEDI MULYADI
Bupati Purwakarta
44
Meneguhkan Ideologi Muhammadiyah
Koran SINDO
18 November 2014
Pada 18 November 2014, Muhammadiyah merayakan Hari Kelahiran (Milad) Ke-102. Yang
patut disyukuri, sejak didirikan hingga memasuki abad kedua ini Muhammadiyah tetap
konsisten berjuang di ranah kultural. Tidak sekalipun Muhammadiyah tergoda menjadi partai
politik. Itu berarti habitat Muhammadiyah yang sesungguhnya adalah berkiprah di bidang
sosial keagamaan.
Tatkala merayakan milad ada baiknya aktivis Muhammadiyah membaca ulang testimoni
Nurcholish Madjid (Cak Nur). Menurut Cak Nur, Muhammadiyah merupakan organisasi
Islam modern yang terbesar di dunia, lebih besar dari organisasi mana pun di dunia Islam.
Dilihat dari segi kelembagaannya, Muhammadiyah juga sangat mengesankan, lebih dari
organisasi Islam di mana pun dan kapan pun.
Muhammadiyah memiliki jaringan organisasi yang cukup teratur mulai pusat, provinsi,
kabupaten/kota, kecamatan, dan desa/kelurahan. Karena itulah, Cak Nur menegaskan bahwa
Muhammadiyah merupakan salah satu cerita sukses di kalangan organisasi Islam, tidak saja
secara nasional, tapi juga internasional.
Pernyataan Cak Nur ini sebagian dari pandangan yang bernada memuji kiprah
Muhammadiyah dalam panggung sejarah pergerakan organisasi Islam. Aktivis
Muhammadiyah seharusnya menjadikan pernyataan positif Cak Nur sebagai penyemangat.
Apalagi kini Muhammadiyah telah melampaui usia satu abad.
Selain menerima pujian, Muhammadiyah juga banyak dikritik. Di antara pernyataan bernada
kritik dikemukakan Azyumardi Azra. Menurut Azra, Muhammadiyah memang layak disebut
gerakan pembaru (tajdid), terutama di bidang amal usaha. Tetapi, dalam bidang pemikiran
keagamaan, Muhammadiyah lebih tepat disebut gerakan salafiah. Itu karena tekanan ideologi
gerakan Muhammadiyah adalah pemurnian (purifikasi) di bidang aqidah dan
ibadah. Cerminan dari usaha purifikasi Muhammadiyah tampak dalam kegiatan dakwah
untuk memberantas takhayul, bid’ah, dan churafat (TBC).
Pada level praksis, semua ahli sepakat mengatakan bahwa Muhammadiyah layak disebut
gerakan pembaru. Melalui teologi al-Maal-Maun (al-Maal-Maunisme) Muhammadiyah telah
membuktikan diri sebagai gerakan yang sangat menekankan pentingnya amal saleh.
Dengan menekuni wilayah praksis sosial keagamaan berarti Muhammadiyah telah
melaksanakan prinsip a faith with action. Dalam bahasa warga Muhammadiyah prinsip ini
dikenal dengan dakwah bil hal (mengajak dengan amalan dan tindakan konkret).
Muhammadiyah juga mempraktikkan ajaran sedikit berbicara banyak bekerja, berdisiplin,
45
bekerja keras, dan tanggung jawab secara organisasi.
Khusus mengenai ajaran tanggung jawab pada organisasi ini barangkali dapat disebut sebagai
yang orisinal dari Muhammadiyah. Saat Muhammadiyah didirikan Ahmad Dahlan, bentuk
pertanggungjawaban umumnya dilakukan secara individual. Melalui pertanggungjawaban
secara organisatoris itu Muhammadiyah akhirnya mendapat kepercayaan dari umat. Hasilnya,
Muhammadiyah mampu melahirkan banyak amal usaha, terutama di bidang pendidikan,
kesehatan, dan pelayanan sosial lain.
Tetapi, justru dengan amal usaha yang semakin banyak Muhammadiyah dihadapkan pada
berbagai persoalan. Misalnya, energi Muhammadiyah nyaris habis hanya untuk kegiatan rutin
mengurus amal usaha. Dengan meminjam istilah beberapa intelektual muda, Muhammadiyah
tampak seperti ”gajah gemuk” yang semakin lamban dalam memberikan respons terhadap
tantangan zaman. Akibat itu, kontribusi pemikiran Muhammadiyah di bidang sosial
keagamaan terasa sangat kurang. Pada konteks inilah Muhammadiyah perlu melakukan
revitalisasi ideologi agar mampu menampilkan diri sebagai gerakan amal sekaligus gerakan
ilmu.
Buya Syafii Maarif merupakan salah satu tokoh yang konsisten menyuarakan agar
Muhammadiyah mampu menyandingkan gerakan praksisme dan gerakan intelektualisme.
Dengan menampilkan diri sebagai gerakan intelektual, di samping gerakan praksis,
Muhammadiyah memasuki abad kedua secara cemerlang. Itu karena intelektualisme dapat
menjadi sumber energi yang luar biasa bagi Muhammadiyah, terutama dalam rangka
memberikan pencerahan pada kehidupan keberagamaan di Nusantara.
Diakui atau tidak wajah Islam Indonesia akhir-akhir ini telah diwarnai persaingan yang
sangat tajam antara kelompok Islam fundamentalis dan liberalis. Kelompok Islam
fundamentalis dengan dalih ingin mengembalikan amalan keagamaan sebagaimana
dicontohkan generasi awal Islam telah mengalami distorsi yang luar biasa. Misalnya,
simplifikasi identitas keislaman melalui simbol pakaian berjubah, memakai celak, berjenggot,
dan bercelana di atas tumit. Meski beberapa identitas keislaman ini memiliki rujukan dalam
ajaran Islam, menyederhanakan Islam dengan ihwal yang bersifat kategoris seperti itu jelas
melenceng dari substansi ajaran Islam.
Sebaliknya, kelompok Islam liberal yang mengusung tema reaktualisasi ajaran juga
menimbulkan banyak kontroversi. Misalnya, kelompok Islam liberal dikatakan telah
mengotak-atik ajaran yang dianggap mapan oleh umat Islam. Penerjemahan kalimat
thayyibah; ‘la ilaha illallah’ dengan ‘tiada tuhan selain Tuhan’, merupakan salah satu contoh
kreasi kelompok Islam liberal yang menimbulkan kontroversi berkepanjangan.
Menghadapi perdebatan dan persaingan dua mazhab pemikiran Islam yang senantiasa
memutlakkan kebenaran kelompoknya, Muhammadiyah dapat menampilkan diri sebagai
mediator. Dalam hal ini Muhammadiyah dapat menjalankan fungsi management of ideas di
antara berbagai mazhab pemikiran.
46
Yang perlu dilakukan Muhammadiyah pada berbagai mazhab pemikiran (school of thought)
adalah mengajak mereka untuk bergerak ke posisi tengah (al-wasath). Ajakan untuk bersikap
moderat ini akan efektif jika ditempuh melalui dialog yang tulus dan tidak saling mengklaim
kebenaran.
Jika dialog ini dilakukan secara berkelanjutan, pada saatnya kita akan menyaksikan wajah
Islam Indonesia yang moderat dan toleran terhadap berbagai keragaman. Karena itulah, posisi
tengah (median position) ini penting sebagai tempat berpijak berbagai mazhab pemikiran.
Jika Muhammadiyah berhasil menjadi mediator yang baik bagi berbagai mazhab pemikiran
keagamaan, ini akan menjadi kontribusi yang luar biasa bagi perkembangan Islam Indonesia.
Untuk kepentingan ini, jelas dibutuhkan seperangkat ilmu. Karena itulah, Muhammadiyah
harus meneguhkan ideologinya agar mampu menjadi gerakan praksis sekaligus gerakan
intelektual.
Akhirnya diucapkan selamat milad bagi warga Muhammadiyah. Semoga dengan usia lebih
dari satu abad, matahari Muhammadiyah bersinar semakin terang. Dengan demikian,
Muhammadiyah mampu menjadi gerakan pencerahan (al-harakah al-tanwiriyah) bagi umat,
bangsa, dan negara.
BIYANTO
Dosen UIN Sunan Ampel dan Ketua Majelis Dikdasmen PW Muhammadiyah Jawa Timur
47
Lakon DPR Dadi Ratu
Koran SINDO
18 November 2014
Ketika kekuasaan negara dibagi ke dalam trias politica, di dalamnya tidak lagi ada keraguan
bagi para pemimpin bangsa, bagi para penyelenggara negara, bagi politisi maupun para
intelektual dan ahli hukum, terutama hukum tata negara; bahwa trias politica itu bukan hanya
merupakan solusi filosofis terhadap tingkah laku politik penguasa otoriter, melainkan juga
merupakan petunjuk teknis mengenai batas-batas kewenangan antara legislatif, eksekutif, dan
yudikatif .
Dalam rumusan lebih teknis lagi, siapa ”duduk” di mana, ”memikirkan” apa, dan
”mengerjakan” kewajiban kenegaraan macam apa, ibaratnya seperti kitab suci bagi kaum
beriman. Di sana tidak ada lagi pertanyaan karena segala urusan sudah jelas dan tinggal
perkara pelaksanaannya di dalam hidup sehari-hari.
Dalam tingkat kesadaran filosofis seperti ini, tak perlu dikatakan bahwa dunia sebenarnya
telah mengubur kaum zalimin, raja-raja dan para penguasa otoriter yang selamanya enggan
berbagai kekuasaan dengan siapa pun, kecuali dengan diri sendiri. Mereka dikutuk nenek
moyang kita dengan kemarahan yang bijak: raja adil raja disembah, raja lalim raja
disanggah. Kita tahu kutukan itu berlaku secara turun-temurun hingga hari ini.
Naluri dan kesadaran kerakyatan kita tajam. Perlawanan kita terhadap orang-orang zalim juga
kuat. Tiap saat mereka kita amati. Tak peduli bahwa mereka berbaju rohaniwan atau berlagak
demokratis.
Kita sudah paham sepaham-pahamnya bahwa tak mungkin ada kaum otoriter yang bisa
berubah mendadak menjadi orang suci seperti para santo dan wali-wali. Tidak ada pesakitan
yang tiba-tiba menjadi orang saleh. Tidak ada dan tak mungkin ada keanehan seperti itu.
Hiruk-pikuk politik yang membikin nilai rupiah kita anjlok dan ”harga” bangsa kita di bidang
kerakyatan seperti kembali ke zaman jahiliah, yang diperlihatkan DPR kita sekarang,
membuktikan itu. Oleh karena itu, tugas politik kita menjaga, dengan saksama, agar mereka
tak bisa leluasa berbuat kerusakan lebih lanjut. Kita mengawal mereka terus-menerus. Tiap
saat gejala kejahatan itu terlihat, kita meneriakinya. Mungkin persis seperti kita menjaga padi
di sawah menjelang panen: tiap saat kita mengusir gerombolan ribuan burung yang merusak
padi kita.
Orang Jawa memiliki mitologi yang menganggap kuburan Dasamuka di Gunung Somawana
di Kendal, Jawa Tengah. Di dekat gunung itu ada gunung lain lagi yang disebut Gunung
Kendalisada. Di tempat ini Anoman bertapa sambil selalu siap siaga menjaga agar roh
48
Dasamuka tak bangkit lagi dan tak pernah lagi berbuat kerusakan di muka bumi. Itu tugas
”politik” paling utama yang dipanggul Anoman.
Kenyataannya, roh penjahat itu sering tiba-tiba bangkit lagi dan merasuki manusia untuk
berbuat kerusakan. Sering hal itu terjadi pada saat Anoman lengah. Seolah kebangkitannya
merupakan ejekan bahwa biarpun dunia tak boleh dirusak oleh penjahat, kesempatan selalu
muncul atau sengaja dimunculkan oleh penjahat itu.
Di luar mitologi Jawa, tetapi di dalam politik kita, sebenarnya para penjahat ibaratnya
otomatis sudah ”terkubur” begitu dunia menerima gagasan trias politica. Tapi sebenarnya
kita tak pernah tahu di mana kuburan para penjahat politik itu. Kita hanya diberi tahu sedikit
rahasia alam: roh-roh jahat itu setiap saat bangkit bukan di Gunung Somawana, melainkan di
Senayan. Mereka bersuara mengerikan seperti Dasamuka. Tapi bukan hanya itu. Suara Mak
Lampir pun terdengar. Begitu juga hawa panas dari Betari Durga. Representasi simbolik
Duryudana dan Sengkuni, yang kejahatannya menggetarkan gunung-gunung dan
menimbulkan gempa bumi dan aneka macam bencana terus-menerus selama masa
pemerintahan yang lalu, kelihatannya sekarang muncul lagi di Senayan.
Inilah ironi sejarah yang paling getir. Orang-orang yang disuruh menjaga tukang copet malah
mencopet. Tugas pokok memelihara keseimbangan jagat malah mengguncang-guncang jagat.
Papan catur nasional, tempat seluruh rakyat bermain untuk mengontrol agar pemerintah tidak
lagi bisa berbuat seenak sendiri, malah dikuasai secara mutlak, bukan untuk mewakili
kepentingan rakyat, melainkan untuk kepentingan mereka sendiri, orang per orang, partai per
partai, dan kepentingan persekongkolan Dasamuka, Mak Lampir, Duryudana, dan Sengkuni,
dibantu Durga.
Mereka rapat siang malam dibayar dengan uang negara dan mengesankan bahwa mereka
bekerja keras sampai kadang-kadang rapat ditunda, lalu dilanjutkan lagi, seolah mereka itu
pahlawan yang sedang berjuang. Kecuali orang tua, anak-istri, dan suami atau partai mereka
sendiri, siapa yang percaya bahwa mereka sedang berbuat baik bagi seluruh bangsa? Para
wakil rakyat itu tidak mewakili rakyat.
Jika diamati baik-baik, di sana ada orang-orang itu gigih membuat citra seolah dirinya paling
saleh di muka bumi. Ada pula yang suka ngeden-ngeden dan minta dipercaya bahwa dia
demokratis. Banyak pula yang mewakili simbol demokrat atau mantan aktivis lembaga
swadaya masyarakat, tetapi tak kurang-kurangnya mereka yang masih tetap 100% Orde Baru
yang terlatih menipu.
Semua unsur itu tampil menjadi suatu kekuatan menakutkan. Mereka bersorak-sorai untuk
merampas hak-hak politik rakyat. Mereka yang mewakili partai besar bebas berbuat mencla-
mencle, plintat-plintut dalam sikap maupun dalam omongan. Jarang yang bisa dipercaya. Di
layar televisi, tampak wajah-wajah yang tak jelas kiblatnya, tetapi mereka berbicara atas
nama rakyat. Mereka mengira rakyat masih sebodoh zaman Orde Baru.
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014
(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

More Related Content

Featured

Social Media Marketing Trends 2024 // The Global Indie Insights
Social Media Marketing Trends 2024 // The Global Indie InsightsSocial Media Marketing Trends 2024 // The Global Indie Insights
Social Media Marketing Trends 2024 // The Global Indie Insights
Kurio // The Social Media Age(ncy)
 

Featured (20)

PEPSICO Presentation to CAGNY Conference Feb 2024
PEPSICO Presentation to CAGNY Conference Feb 2024PEPSICO Presentation to CAGNY Conference Feb 2024
PEPSICO Presentation to CAGNY Conference Feb 2024
 
Content Methodology: A Best Practices Report (Webinar)
Content Methodology: A Best Practices Report (Webinar)Content Methodology: A Best Practices Report (Webinar)
Content Methodology: A Best Practices Report (Webinar)
 
How to Prepare For a Successful Job Search for 2024
How to Prepare For a Successful Job Search for 2024How to Prepare For a Successful Job Search for 2024
How to Prepare For a Successful Job Search for 2024
 
Social Media Marketing Trends 2024 // The Global Indie Insights
Social Media Marketing Trends 2024 // The Global Indie InsightsSocial Media Marketing Trends 2024 // The Global Indie Insights
Social Media Marketing Trends 2024 // The Global Indie Insights
 
Trends In Paid Search: Navigating The Digital Landscape In 2024
Trends In Paid Search: Navigating The Digital Landscape In 2024Trends In Paid Search: Navigating The Digital Landscape In 2024
Trends In Paid Search: Navigating The Digital Landscape In 2024
 
5 Public speaking tips from TED - Visualized summary
5 Public speaking tips from TED - Visualized summary5 Public speaking tips from TED - Visualized summary
5 Public speaking tips from TED - Visualized summary
 
ChatGPT and the Future of Work - Clark Boyd
ChatGPT and the Future of Work - Clark Boyd ChatGPT and the Future of Work - Clark Boyd
ChatGPT and the Future of Work - Clark Boyd
 
Getting into the tech field. what next
Getting into the tech field. what next Getting into the tech field. what next
Getting into the tech field. what next
 
Google's Just Not That Into You: Understanding Core Updates & Search Intent
Google's Just Not That Into You: Understanding Core Updates & Search IntentGoogle's Just Not That Into You: Understanding Core Updates & Search Intent
Google's Just Not That Into You: Understanding Core Updates & Search Intent
 
How to have difficult conversations
How to have difficult conversations How to have difficult conversations
How to have difficult conversations
 
Introduction to Data Science
Introduction to Data ScienceIntroduction to Data Science
Introduction to Data Science
 
Time Management & Productivity - Best Practices
Time Management & Productivity -  Best PracticesTime Management & Productivity -  Best Practices
Time Management & Productivity - Best Practices
 
The six step guide to practical project management
The six step guide to practical project managementThe six step guide to practical project management
The six step guide to practical project management
 
Beginners Guide to TikTok for Search - Rachel Pearson - We are Tilt __ Bright...
Beginners Guide to TikTok for Search - Rachel Pearson - We are Tilt __ Bright...Beginners Guide to TikTok for Search - Rachel Pearson - We are Tilt __ Bright...
Beginners Guide to TikTok for Search - Rachel Pearson - We are Tilt __ Bright...
 
Unlocking the Power of ChatGPT and AI in Testing - A Real-World Look, present...
Unlocking the Power of ChatGPT and AI in Testing - A Real-World Look, present...Unlocking the Power of ChatGPT and AI in Testing - A Real-World Look, present...
Unlocking the Power of ChatGPT and AI in Testing - A Real-World Look, present...
 
12 Ways to Increase Your Influence at Work
12 Ways to Increase Your Influence at Work12 Ways to Increase Your Influence at Work
12 Ways to Increase Your Influence at Work
 
ChatGPT webinar slides
ChatGPT webinar slidesChatGPT webinar slides
ChatGPT webinar slides
 
More than Just Lines on a Map: Best Practices for U.S Bike Routes
More than Just Lines on a Map: Best Practices for U.S Bike RoutesMore than Just Lines on a Map: Best Practices for U.S Bike Routes
More than Just Lines on a Map: Best Practices for U.S Bike Routes
 
Ride the Storm: Navigating Through Unstable Periods / Katerina Rudko (Belka G...
Ride the Storm: Navigating Through Unstable Periods / Katerina Rudko (Belka G...Ride the Storm: Navigating Through Unstable Periods / Katerina Rudko (Belka G...
Ride the Storm: Navigating Through Unstable Periods / Katerina Rudko (Belka G...
 
Barbie - Brand Strategy Presentation
Barbie - Brand Strategy PresentationBarbie - Brand Strategy Presentation
Barbie - Brand Strategy Presentation
 

(Sindonews.com) Opini sosial budaya Koran SINDO 8 November 2014-21 Desember 2014

  • 1. 1 DAFTAR ISI SAAT ORANG SUKSES JADI PENCABUT NYAWA Reza Indragiri Amriel 4 LURUSKAN ORIENTASI PENGABDIAN DPR Aditya Anugrah Moha 7 ISLAM ADALAH BARAT Sarlito Wirawan Sarwono 10 URGENSI PENGARUSUTAMAAN PEMUDA Arip Musthopa 13 MENGKAJI PAHLAWAN PILIHAN Agus Dermawan T 16 PESAN DARI CHINA Tirta N Mursitama 19 PEMIMPIN YANG PEDULI DAN MENGAYOMI Mohamad Sobary 22 LOGIKA SOSIALISME Komaruddin Hidayat 25 TANTANGAN PENDIDIKAN Elfindri 28 PAHLAWAN KESIANGAN Sarlito Wirawan Sarwono 31 PUBLIKASI ILMUWAN RENDAH, MENGAPA? Ali Khomsan 34 KAMPUS DAN TRAGEDI NARKOBA Sudjito 37 SEMANGAT KEBANGSAAN ALA VIKING Dedi Mulyadi 40 MENEGUHKAN IDEOLOGI MUHAMMADIYAH Biyanto 44 LAKON DPR DADI RATU Mohamad Sobary 47 MENANAMKAN SPIRIT ANAK MUDA NIRKEKERASAN
  • 2. 2 Muhammad Muchlas Rowi 50 KENAIKAN BBM DAN DERITA WONG CILIK Tom Saptaatmaja 53 PENDIDIKAN KEMBALI KE KHITAH? Z Arifin Junaidi 56 RELIGIUSITAS KAUM NELAYAN Komaruddin Hidayat 59 BENTROK APARAT TNI-POLRI DAN REVOLUSI MENTAL Laode Ida 62 AGAMA KTP Dedi Mulyadi 65 BBM, PANGAN, DAN URBANISASI Posman Sibuea 69 PAPUA BERDIKARI DAN POROS MARITIM Amiruddin Al-Rahab 72 CITRA DIRI ITU MAHAL Komaruddin Hidayat 75 SENI, BUDAYA, KAUM MUDA, DAN “BUDHI” (1) Sys NS 78 SENI, BUDAYA, KAUM MUDA, DAN “BUDHI” (2) Sys NS 81 MENYOAL E-VOTING Ikhsan Darmawan 84 UMAT YANG JARANG MEMBACA Mohamad Sobary 87 MENGASINGKAN MANUSIA INDONESIA SEUTUHNYA (1) Dedi Mulyadi 90 INISIATIF MORA DAN JEJARING INTELEKTUAL Gun Gun Heryanto 93 MORATORIUM KURIKULUM 2013, SEBUAH KERUGIAN NYATA Sukemi 97 REVOLUSI MENTAL ATAU MORAL PANCASILA? Handi Sapta Mukti 101
  • 3. 3 KONTROVERSI KHILAFAH Komaruddin Hidayat 104 DARI RAWAMANGUN KE PINTU BESI Sarlito Wirawan Sarwono 107 ORANG-ORANG BESAR DI PERPUSTAKAAN Mohamad Sobary 110 MENGASINGKAN MANUSIA INDONESIA SEUTUHNYA (2) Dedi Mulyadi 113 PERANGI MALNUTRISI FX Wikan Indrarto 117 MELINDUNGI PEKERJA DOMESTIK Reza Indragiri Amriel 120 PILAR RESEARCH UNIVERSITY Ali Khomsan 123 MASYARAKAT TANPA SEKOLAH Sarlito Wirawan Sarwono 126 KURIKULUM KEMBALI KE ASAL (1) Dedi Mulyadi 129 WATAK & TINGKAH LAKU POLITIK Mohamad Sobary 133 KEKERASAN REMAJA FX Wikan Indrarto 136 PENELITIAN DAN PENELITI Dinna Wisnu 138 MENYIMAK KEARIFAN LOKAL Rhenald Kasali 141 TEOLOGI ANTIKORUPSI Komaruddin Hidayat 144 BANJARNEGARA, KEARIFAN LOKAL, DAN KECERDASAN EKOLOGIS Tom Saptaatmaja 146 SITI Sarlito Wirawan Sarwono 149
  • 4. 4 Saat Orang Sukses Jadi Pencabut Nyawa Koran SINDO 8 November 2014 Dua tenaga kerja wanita (TKW) asal Indonesia, yakni Sumarti Ningsih dan Seneng Mujiasih alias Jesse Lorena Ruri, kehilangan nyawa di Hong Kong. Menggegerkan, karena orang yang menghabisi kedua TKW tersebut adalah seorang bankir profesional bernama Rurik Jutting. Belasungkawa untuk Ningsih dan Mujiasih. Terlepas dari itu, pertanyaan pun muncul: bagaimana seorang eksekutif profesional yang sukses bisa sekonyong-konyong menjelma menjadi pembunuh berdarah dingin. Bahkan tidak hanya pekerja selevel Rurik. Sejumlah usahawan papan atas pun tercatat melakukan pembunuhan, aksi yang sangat jauh dari imajinasi publik akan kata “kemapanan”. Bob Ward, John Brooks, Haissam Safetli, Freddie Young, John Dupont, Calvin Harris, dan Harold Landry, adalah beberapa di antaranya. Kekagetan khalayak akan kelakuan jahat para pengusaha bonafide semestinya tak terjadi apabila masyarakat ingat bahwa gambaran pebisnis sukses yang secara tiba-tiba berubah tabiat sebenarnya sudah terwakili dengan baik oleh sosok Batman. Siang hari, siapa pun mengenal Bruce Wayne sebagai pemilik imperium bisnis di kota Gotham. Intuisi dagangnya mengagumkan. Bruce Wayne seolah tak memiliki apa pun di dalam tempurung kepalanya, kecuali sebuah kalkulator bisnis. Otak yang seakan hanya terdiri dari satu belahan itu mengakibatkan Bruce Wayne memiliki mempunyai temperamen yang begitu dingin, termasuk terhadap lawan jenis. Tapi begitu matahari beringsut ke peraduan, laksana pemilik kepribadian majemuk, Bruce Wayne “menghilang” digantikan figur Batman. Si manusia kelelawar bergentayangan di seantero kota dengan warna kostum serba hitam dan membawa hati yang penuh sesak dengan amarah terhadap para bandit. Bruce, saat berperan sebagai Batman, tidak peduli pada bisnisnya. Sebagai gantinya, ia menggila, meneror para penjahat laksana binatang buruan. Batman menikmati setiap detik ketakutan yang menjalari para kriminal, sehingga mereka mati dengan sendirinya. Tabiat beda siang dan beda malam itu disebabkan oleh trauma Bruce Wayne alias Batman yang tidak pernah tertangani secara tuntas. Untuk menjadi raja diraja di dunia bisnis bukan perjuangan sepele. Untuk menduduki singgasana di gedung pencakar langit, si profesional harus melakukan pengorbanan luar biasa besar. Rumusan Imam Ghazali tentang ritme ideal hidup harian manusia, yakni sepertiga
  • 5. 5 waktu untuk bekerja, sepertiga untuk beristirahat, dan sepertiga untuk beribadah, jauh panggang dari api. Konkretnya, jam kerja berlipat ganda, sementara jam istirahat berkurang drastis. Stamina terkuras, namun pasokan energi tak seimbang akibat pola makan yang kacau dan olah raga yang dihapus dari agenda rutin. Kehidupan personal yang serba jujur terkesampingkan, kegiatan membasuh dimensi religusitas ternihilkan, tergeser oleh alam berpikir yang serbakompetitif atas nama profesionalisme. Lebih parah lagi, terjadi penyimpangan dalam menilai diri. Workaholic menjadi sebutan yang dirasa membanggakan. Insomnia atau gangguan tidur parah, yang aslinya berkonotasi negatif, justru diidentikkan dengan komitmen dan dedikasi penuh pada pekerjaan. Keharmonisan keluarga kalah penting dibandingkan kemajuan karier. “Kerja, kerja, kerja”, menduduki posisi sebagai semboyan tunggal yang mewakili semangat untuk maju. Jatah cuti dibuang, akhir pekan diisi dengan sosialisasi semu, memperparah guncangan hormonal yang dialami si sosok profesional. Dinamika hidup yang menjadi serbasibuk itu sesungguhnya membuat tubuh si usahawan menjadi ringkih. Gangguan mental gampang mendera. Laurence Stybel, misalnya, menduga kuat bahwa sangat banyak kalangan eksekutif yang mengidap dysthymia, yaitu depresi ringan namun kronis yang telah berlangsung selama setidaknya dua tahun. Sam Ozersky bahkan menyebut manik depresi atau gangguan afektif bipolar sebagai ironisnya sumber energi utama pada sekian banyak profesional bisnis paling ambisius di negara-negara maju. Selain guncangan psikis, pola hidup profesional juga mengganggu kesehatan fisiknya. Seperti penyakit jantung, impotensi, ketergantungan pada narkoba, dan lainnya. Celakanya, untuk menjamin agar kerajaan bisnis tidak hancur, si usahawan harus menyembunyikan segala kelemahan dan berbagai gangguan yang ia derita. Separah apa pun, ia harus senantiasa mempertontonkan kondisi kesehatan prima, keceriaan yang tanpa batas, serta produktivitas 24 jam per hari dan 7 hari per pekan. Terkuaknya kondisi sebenarnya si pengusaha dianggap sangat memalukan, bahkan berisiko pada kaburnya mitra bisnis. Jadi, tidak hanya si pengusaha menutup-nutupi segala masalahnya, ia pun tidak akan berinisiatif mencari bantuan guna mengatasi gangguan- gangguan yang ia derita. Padahal, semakin terlambat problem kesehatan tertangani, semakin menurun peluang kesembuhannya. Dan pada gilirannya, keputusan untuk mengabaikan pola hidup sehat itu berkonsekuensi kian fatal terhadap bisnis yang sudah ia bangun atau pun pekerjaan yang ia tangani. Di Inggris saja, sebagai gambaran, masing-masing karyawan tidak bekerja hingga rata-rata 23 hari per tahun akibat stres, depresi, dan kecemasan yang mereka alami.
  • 6. 6 Ketiga problem psikologis tersebut mencakup 39 persen dari total hampir 1,3 juta kasus kesakitan terkait kerja pada setiap tahun. Dikhawatirkan, kondisi tersebut tidak berbeda bahkan mungkin lebih buruk dibandingkan dengan tahun 1999 silam ketika Organisasi Buruh Internasional menyebut stres kerja sebagai epidemi global. Pada titik kritis itu, senyatalah bahwa Batman hanya hidup di alam fantasi. Bisa dibilang tidak mungkin seorang pebisnis sukses mampu terus-menerus memendam kepenatan lahir batinnya dari pandangan orang lain, lalu mengompensasikannya dengan menjadi pahlawan pembela kebenaran. Yang kerap terjadi adalah kebalikannya; gagal menyamarkan serbaneka kelainan psikologis, si pebisnis bisa tiba-tiba meledak akibat tersulut peristiwa provokatif. Meminjam pernyataan hakim yang menyidangkan Harold Landry, usahawan kaliber puncak seperti memiliki suatu sifat bawaan yang manakala terpantik, akan kuat mendorong individu tersebut untuk meletupkan aksi kekerasan nan berbahaya. Konkretnya, dari kondisi yang semula seolah sehat lagi produktif, sosok profesional sukses itu akan berbalik secara drastis dengan menampilkan tindakan destruktif, baik menyakiti diri sendiri maupun membahayakan orang lain. Kemungkinan buruk sedemikian rupa kian kentara pada masa krisis. Hantaman perekonomian dan iklim usaha yang suram berakibat pada meruyaknya perasaan tidak memiliki masa depan, dan ini gerbang depresi. Individu juga menghadapi keterbatasan sumber daya, sehingga memperparah perasaan tak berdaya. Tak aneh jika lantas angka bunuh diri di Amerika Serikat melonjak pada masa krisis perekonomian, khususnya yang dilakukan oleh orang-orang berusia produktif 25 hingga 64 tahun. Memang, tidak serta-merta kalangan profesional memupuk watak dasamuka. Betapa pun begitu, satu pembelajaran: Kerapuhan, yang diselubungi jubah keperkasaan, pada gilirannya akan menggerogoti si empunya badan dan mengerosi pikiran. Allahu a’lam. REZA INDRAGIRI AMRIEL Alumnus Psikologi Forensik The University of Melbourne, Anggota Asosiasi Psikologi Islam
  • 7. 7 Luruskan Orientasi Pengabdian DPR Koran SINDO 8 November 2014 Bukan hanya memperburuk citra parlemen di mata publik, berlarut-larutnya kisruh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bisa merusak seluruh tatanan. Tidak ada yang diuntungkan. Kerusakan itu bahkan akan dibebankan ke pundak rakyat dan negara. Sebelum kerusakan itu terjadi, Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) di DPR harus musyawarah dan bermufakat meluruskan kembali fokus pengabdian DPR. Hingga pekan kedua November 2014, DPR RI terus dihujani kecaman oleh berbagai elemen masyarakat karena konflik KMP versus KIH tak kunjung terselesaikan. Pimpinan DPR yang sah secara legal dipegang oleh KMP ditolak oleh KIH dengan membuat “DPR tandingan”. Publik melihat DPR seperti anak kecil yang tak mampu menyelesaikan persoalan akibat ulahnya sendiri. Di ruang publik, kesan yang mengemuka bukan hanya citra parlemen yang semakin bertambah buruk, melainkan juga DPR yang tidak produktif karena sibuk dengan urusannya sendiri. DPR telah menjadi objek tontonan yang bukan hanya tidak lucu, tetapi justru membuat marah banyak orang. Alih-alih membahas program yang berkait langsung dengan kepentingan rakyat, anggota DPR malah saling cakar. Publik sudah sampai pada kesimpulan final bahwa DPR periode sekarang ini sudah terbelah; Kubu KMP di sini dan KIH di sana. Publik akhirnya harus mengajukan pertanyaan klise ini; ke arah mana orientasi pengabdian DPR? Kepada rakyat dan negara, atau kepada dirinya sendiri? Jika situasi di DPR sekarang ini dihadap-hadapkan dengan langkah dan gerak pemerintah, pemandangannya tampak sangat kontras. Roda pemerintahan baru berputar dengan kecepatan tinggi. Rakyat di berbagai pelosok Tanah Air antusias menyimak dan menyikapi cara kerja Kabinet Kerja pimpinan Presiden Joko Widodo-Wakil Presiden Jusuf Kalla (Jokowi-JK) serta para menterinya. Kesimpulannya, DPR seperti terisolasi dari dinamika rakyat dan pemerintah. Kini pertanyaannya, sampai kapan DPR akan terus terisolasi dari dinamika itu? Tidak ada jawaban lain kecuali DPR harus segera bersinergi dengan pemerintah dan rakyat. Komunitas bangsa ini akan tampak sangat bodoh jika DPR tidak bisa segera keluar dari perangkap kisruh sekarang ini. DPR, seperti masyarakat kebanyakan, harus mampu move on. Apa yang sedang berkembang di DPR saat ini adalah bibit instabilitas. Diyakini, baik KMP maupun KIH menyadari betul risiko ini. Kalau berlarut-larut, kecenderungan berikutnya adalah munculnya kesan
  • 8. 8 ketidakpastian. Kalau ketidakpastian itu berkepanjangan, bangsa dan negara ini bukannya bergerak maju, melainkan set back. Kepercayaan rakyat terhadap semua institusi negara, termasuk pemerintah dan DPR, akan merosot. Bukan tidak mungkin rakyat akan memberi respons dengan caranya sendiri. Persepsi komunitas internasional terhadap Indonesia pun akan berubah jadi negatif. Dalam konteks mewujudkan pembangunan berkelanjutan sangat berbahaya jika negara selalu dalam kondisi tidak stabil atau berselimut ketidakpastian. Semua potensi kekuatan ekonomi lokal akan dihantui keraguan. Komunitas internasional, terutama investor asing, pun akan enggan menanam modal di negara ini. Fokus Pengabdian Upaya memulihkan dan menegakan kembali wibawa DPR harus dimulai dengan inisiatif dari semua unsur kekuatan politik di DPR. Semua perlu bersepakat menyesuaikan persoalan oleh DPR sendiri. Wacana atau saran penyelesaian konflik dengan melibatkan serta menghadirkan pihak eksternal, seperti peran ketua umum partai politik (parpol) atau pimpinan lembaga tinggi negara lainnya, sebaiknya tidak diikuti. Kalau melibatkan unsur eksternal, para politisi di Senayan bisa menjadi bahan olok-olok publik karena akan dinilai tak mampu mengatasi persoalannya sendiri. Inisiatif itu harus diawali dengan iktikad baik dan keberanian kubu KMP dan KIH di DPR duduk satu meja dan berdialog dengan agenda utama meluruskan orientasi pengabdian DPR kepada negara dan rakyat. Dengan proses pelurusan orientasi itu, DPR secara institusi harus melihat keluar, menyelami aspirasi rakyat, serta menyimak apa saja program yang sedang dan akan dijalankan pemerintah sebagai mitra. Dalam kondisi DPR yang terbelah masing-masing kubu memang tetap bisa melihat keluar. Tetapi, tidak mungkin terbangun keseragaman dalam memahami aspirasi rakyat atau menyikapi program-program yang akan maupun sedang dijalani pemerintah. Padahal, demi disiplin anggaran misalnya, cara pandang DPR yang utuh menjadi syarat mutlak. Pemerintah tidak mungkin harus dipaksa-paksa untuk hanya mendengar KMP atau menunggu persetujuan KIH di DPR. Tak perlu ditutup-tutupi lagi bahwa alokasi kursi pimpinan alat kelengkapan dewan (AKD) menjadi akar masalah yang menyebabkan KMP dan KIH harus berhadap-hadapan di DPR. Kini, setelah masalah ini menyebabkan DPR terbelah, baik KMP maupun KIH harus berinisiatif serta berdialog mencari jalan keluar agar persoalannya tidak berkepanjangan. Pijakan utamanya, KMP-KIH harus saling menghormati posisi masing-masing dan realistis terhadap fakta tentang siapa yang menggenggam posisi mayoritas dan siapa di posisi minoritas. Tak kalah pentingnya adalah menghormati dan mengakui hak masing-masing. KMP dan KIH harus mau saling mendengar apa yang menjadi keinginan masing-masing
  • 9. 9 kubu. Jika sampai pada persoalan yang pelik, KMP dan KIH secara moral harus berani menempuh cara musyawarah. Kedua kubu juga perlu menahan diri untuk tidak saling menyerang di ruang publik serta bersepakat tidak lagi menjadikan DPR tontonan yang menguras emosi publik. Kalau hari-hari sebelumnya, hampir semua rincian masalah diobral ke ruang publik, sudah waktunya untuk melokalisasi sejumlah masalah teknis di ruang rapat. Tujuannya, ruang publik tidak melulu dibisingkan oleh silang pendapat atau saling serang kubu KMP versus kubu KIH. Sangat elegan jika masing-masing tidak mengedepankan ego kubu. Ketika DPR secara institusi melihat keluar akan tampak bahwa pemerintah sedang bergerak sangat cepat untuk menangani sejumlah persoalan kenegaraan. Salah satu persoalan terkini yang harus digarap bersama oleh pemerintah dan DPR adalah upaya menyehatkan postur anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Opsi yang dipilih pemerintah adalah mengoreksi kebijakan atau politik subsidi, utamanya subsidi bahan bakar minyak (BBM). Sebelum memfinalkan rumusan kebijakan baru tentang subsidi BBM, pemerintah tentu perlu berkonsultasi dengan DPR. Kalau DPR-nya belum utuh, kepada siapa pemerintah harus berkonsultasi? Apalagi, pemerintahan Jokowi-JK mengeskalasi menu proyek di sektor kemaritiman dan perikanan. Karena proyek di sektor kemaritiman dan perikanan itu akan melibatkan kepentingan puluhan juta warga negara, pandangan, saran dan rekomendasi DPR yang utuh pasti sangat dibutuhkan pemerintah. Begitu pula di bidang kesehatan. Kasus meninggalnya bayi dalam perawatan inkubator di sebuah rumah sakit di Kota Makassar, Sulawesi Selatan, beberapa waktu lalu misalnya. Seharusnya DPR melalui Komisi IX sudah wajib turun lakukan fungsi pengawasan. Tetapi, karena alat kelengkapan DPR baru terbentuk akhirnya harus menunggu prosesnya. Padahal rakyat sudah menjerit, bahkan merenggang nyawa. DPR harus segera move on agar bisa berbaur dalam dinamika pembangunan bangsa. Demi negeri yang sama kita miliki. ADITYA ANUGRAH MOHA Wakil Sekretaris Fraksi Partai Golkar DPR RI
  • 10. 10 Islam adalah Barat Koran SINDO 9 November 2014 Pada zaman dulu kala orang-orang Mesir percaya ada makhluk kombinasi seperti Sphinx; makhluk berkepala singa, bersayap garuda dan berekor ular yang doyan makan manusia. Orang Yunani percaya ada Centaurus, yaitu manusia yang bertubuh kuda. Orang Yunani dan Roma juga percaya pada para dewa; makhluk-makhluk abadi yang menguasai alam semesta, tetapi bersifat seperti manusia, termasuk juga mempunyai nafsu asmara dan angkara murka, seperti misalnya dewi kecantikan dan seks yang di Yunani disebut Aphrodite dan dalam mitologi Romawi kuno disebut Venus. Atau dewa laut Yunani, Poseidon, yang di Romawi disebut Neptunus. Mereka juga kawin-mawin dengan hewan dan/atau dilahirkan dari hewan, seperti Ekhidna, yaitu makhluk setengah wanita setengah ular yang merupakan istri Tifon, dan tentu saja putri duyung (mermaid) yaitu wanita cantik bertubuh ikan, yang menikah dengan raja yang tampan. Tetapi pada 384-322 sebelum Masehi, hiduplah seorang filsuf yang pikiran-pikirannya sangat berpengaruh sampai hari ini, yang bernama Aristoteles. Dia mengajarkan untuk pertama kalinya ilmu logika, yang isinya antara lain adalah hukum ”All or None” (seluruhnya atau bukan sama sekali), yaitu bahwa sesuatu itu adalah ”X” atau ”Bukan-X”. Tidak ada setengah X, atau campuran X dan Y. Atas dasar itu ia membagi makhluk hidup di dunia ini ke dalam tiga golongan, yaitu anima vegerativa (tanaman yang hidup dan berkembang biak saja), anima sensitiva (hewan yang hidup dan mempunyai indera), dan anima intelektiva (yaitu hewan yang hidup, berindera dan punya fungsi mnemic atau memori). Maka sejak itu di Barat berkembang ilmu pengetahuan yang dasarnya adalah logika Aristoteles dan berkembang sampai ke kawasan Timur Tengah. Maka, sejak itu pulalah makhluk-makhluk campuran yang bisa saling kawin-mawin tinggal menjadi mitos saja. Ilmu dan agama-agama yang lahir di Barat kemudian berkembang dengan mengikuti logika Aristoteles. Islam adalah yang paling konsisten dengan logika Aristoteles itu, misalnya Islam membedakan dengan sangat jelas tumbuhan, hewan, dan manusia dari malaikat, dan setan; dan antara dunia dengan akhirat. Tuhan di mata Islam adalah tunggal, tidak dilahirkan dan tidak berketurunan.
  • 11. 11 Tetapi di Timur (India, Tiongkok, Jepang, zaman dulu Amerika belum ditemukan), tidak ada Aristoteles. Karena itu logika Timur berbeda sekali dengan logika Barat. Tuhan yang menurut kepercayaan-kepercayaan timur disebut ‘dewa’ bisa banyak (Hindu, Konghucu). Setiap orang yang sangat baik hati, bisa dipromosikan menjadi dewa. Dewa-dewanya orang Hindu Bali dengan orang Hindu Nepal bisa berbeda sekali. Berbeda dengan saya yang terkadang salat di berbagai masjid di seluruh dunia tanpa halangan apa-apa (kecuali bahasa pengantar lokal yang saya tidak mengerti), seorang dokter kawan saya yang kebetulan dari Bali, ketika kami mengikuti konferensi di Nepal, langsung keluar dari kuil tempat pemujaan Hindu lokal, katanya, ”Enggak enak, dewa-dewanya enggak ada yang saya kenal.” Orang Buddha, bahkan punya konsep tentang Tuhan yang berbeda sama sekali dengan konsep agama lain, di mana yang penting adalah perbuatan baik dari setiap orang, agar nantinya bisa reinkarnasi ke kehidupan yang akan datang dan menjadi manusia yang makin baik dan makin baik lagi, sehingga akhirnya moksa (bukan surga loh), seperti sang Buddha sendiri. Bagaimana dengan Indonesia? Sebelum mengenal Islam dan Kristen, kerajaan-kerajaan di Nusantara, terutama Jawa dan Sumatera, sudah mengenal animisme, dinamisme dan agama Buddha dan Hindu terlebih dulu. Di Bali bahkan sampai sekarang agama Hindu masih merupakan agama mayoritas. Tidak mengherankan jika pengaruh logika Timur masih sangat kental di Indonesia. Di Jawa Tengah, misalnya, kalau ada orang meninggal, diadakan acara berdoa bersama atau dalam istilah Islam Jawa ”tahlilan” (Jawa: ”slametan”) pada hari ketiga, ketujuh, keempatpuluh, sampai ke 100 hari, bahkan 1.000 hari. Demikian pula ada kebiasaan mengunjungi makam atau berpuasa pada hari-hari/peristiwa-peristiwa tertentu. Hubungan manusia dengan roh gaib, bahkan dengan Tuhan digambarkan sebagai manunggaling kawula lan gusti (bersatunya manusia dengan Tuhan) atau yang dalam Islam disebut sufisme yang sangat ditentang oleh golongan yang ingin mengembalikan agama ke jalan seperti yang dicontohkan oleh para nabi pada zamannya (Islam yang dipahami oleh pengikut aliran Wahabi dan Salafi). Orang Indonesia juga masih percaya pada babi ngepet (siang jadi manusia, malam jadi babi, karena mengikuti ilmu hitam untuk mencari kekayaan), dan di cerita-cerita wayang (yang aslinya dari India) ada Gatotkaca yang bisa terbang, Bima yang beristrikan seekor ular, dan Semar si manusia sekaligus dewa. Kebiasaan dan kepercayaan-kepercayaan ini dilakukan juga oleh penganut agama Kristen di Jawa, tetapi tidak oleh Muslim di Sumatera Barat. Ini tidak berarti bahwa Muslim Sumatera Barat lebih beriman dan bertakwa dari muslim di Jawa, tetapi memang agama-agama yang sama, ketika berkembang di daerah kebudayaan yang berbeda akan melahirkan kebiasaan
  • 12. 12 yang berbeda pula. Inilah yang disebut akulturasi budaya, atau yang dalam istilah ilmu perbandingan agama disebut sinkretisme. Sekarang ada kecenderungan orang untuk kembali ke agama masing-masing sesuai asal- usulnya. Maka semua yang tidak berasal dari agama versi orisinal (asli dari sono-nya) dianggap salah, kafir, dan harus diberantas, kalau perlu dengan perang dan darah! Banyak di antara mereka yang menyatakan bahwa musuh Islam adalah Barat, karena kebudayaan Barat yang masuk Indonesia (Westernisasi) telah membawa budaya imperialisme, kapitalisme, demokrasi, dan konsumtivisme, pokoknya destruktif. Padahal, semua itu bukan agama yang bermain, melainkan politik. Dalam kaitannya dengan logika Aristoteles, agama Islam itu sama saja dengan agama-agama samawi lain yang berasal dari Barat. SARLITO WIRAWAN SARWONO Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
  • 13. 13 Urgensi Pengarusutamaan Pemuda Koran SINDO 11 November 2014 Kita telah cukup familier dengan istilah ‘pengarusutamaan gender’, tetapi tidak dengan istilah ‘pengarusutamaan pemuda’. Oleh karena itu penting untuk memberikan batasan tentang pengarusutamaan pemuda di awal tulisan ini. ‘Pengarusutamaan pemuda’ dimaknai sebagai strategi sistematis meningkatkan peran pemuda dalam seluruh aspek kehidupan dengan memperhatikan serta melibatkan pemuda dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi kebijakan publik. Dengan demikian diharapkan kebijakan publik yang lahir akan ramah terhadap pemuda (youth friendly) dan itu berarti investasi penting bagi masa depan bangsa. Kenapa pengarusutamaan pemuda penting dilakukan? Pertama karena populasi pemuda (16- 30 tahun) sangat besar, yakni sekitar 60 juta jiwa dari jumlah populasi nasional. Bahkan, apabila definisi pemuda diperluas menjadi 16-40 tahun, populasi pemuda mencapai 40% populasi nasional. Kedua, periode menjadi pemuda sangat menentukan bagi hidup seseorang. Pada masa ini seseorang memutuskan hal-hal yang menentukan jalan hidupnya seperti pilihan profesi/karier dan pasangan hidup. Pemuda membutuhkan lingkungan yang kondusif dan kematangan diri yang memadai untuk memutuskan hal-hal yang sangat mendasar bagi hidupnya di masa depan tersebut. Di luar dua alasan tersebut, menurut World Programme of Action For Youth, pemuda memiliki tiga dimensi, yakni sebagai pewaris masa depan, agen perubahan sosial, dan korban utama perubahan sosial. Tiga dimensi tersebut merupakan representasi dari dimensi filosofis, historis, dan sosiologis dari pemuda yang akan semakin menegaskan pentingnya kepemudaan menjadi variabel penting kebijakan publik. Potret historis keindonesiaan kerap kali menempatkan pemuda dalam bingkai yang membanggakan. Namun sayangnya pemuda dalam dimensi sosiologis kerap kali jadi korban perubahan sosial. Periode menjadi pemuda memang rentan terhadap berbagai masalah sosial. Makanya kerap kali kita mendapatkan informasi tentang kekerasan pemuda seperti tawuran antarpelajar/mahasiswa, tawuran pemuda antarkampung, dan konflik sosial lain yang melibatkan pemuda sebagai korban sekaligus pelaku. Belum lagi korban narkoba dan pengidap HIV/AIDS yang umumnya pemuda.
  • 14. 14 Persentase pemuda yang menganggur juga mencapai jumlah yang fantastis, yakni 33%. Potret pendidikan pemuda juga kurang menggembirakan. Sebanyak 80% pemuda tidak lagi berada di sekolah/perguruan tinggi. Angka partisipasi kasar (APK) pemuda di perguruan tinggi hanya sekitar 20%, jauh di bawah Malaysia dan Singapura yang mencapai 60%, apalagi Korea Selatan yang mencapai 90%. Selain itu, kita hanya punya sekitar 6% pemuda yang lulus perguruan tinggi, jauh di bawah yang lulus SLTA (30%) dan SLTP (30%). Sisanya yang berjumlah sepertiganya lagi tidak lulus atau hanya lulus SD. Pelbagai alasan dan fakta di atas kiranya cukup menggambarkan betapa kompleksnya permasalahan kepemudaan dan luasnya dimensi kepemudaan sehingga sepatutnya mendapatkan perhatian lebih dari yang selama ini diberikan. Oleh karena itu, pemuda dan kepemudaan harus menjadi salah satu “arus utama” dalam preferensi kebijakan publik. Artinya (hampir) setiap kebijakan publik harus memperhatikan karakteristik, kebutuhan, dan diarahkan untuk membangun “postur” pemuda Indonesia. Hal ini penting disadari karena tanpa membangun postur atau profiling pemuda Indonesia yang lebih baik tidak mungkin kita dapat melahirkan generasi bangsa yang lebih baik di masa depan. Bayangkan apabila kita memiliki pemuda yang dapat tumbuh lebih sehat, berkualitas, dan kompetitif, akhirnya kita akan memiliki generasi bangsa yang lebih sehat, berkualitas, dan kompetitif dari generasi sebelumnya. IPP dan Blueprint Untuk menjadikan pemuda dan kepemudaan sebagai salah satu “arus utama” preferensi kebijakan publik, tidak cukup hanya dengan UU No 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan. Dibutuhkan minimal dua dokumen lagi, yakni Indeks Pembangunan Pemuda (IPP) dan blueprint strategi pembangunan pemuda (blueprint). Kedua dokumen tersebut harus menjadi dokumen resmi yang diterima menjadi rujukan semua pihak yang berkepentingan baik di pemerintah maupun di luar pemerintah. IPP merupakan instrumen untuk mengukur perkembangan pembangunan pemuda dilihat dari seluruh dimensi kepemudaan dari waktu ke waktu. Menurut World Programme of Action for Youth, IPP dapat dilihat dari 15 bagian, yaitu: (1) pendidikan, (2) pekerjaan, (3) kelaparan dan kemiskinan, (4) kesehatan, (5) lingkungan, (6) penyalahgunaan obat-obatan, (7) kenakalan pemuda, (8) aktivitas waktu luang, (9) masalah gender, (10) partisipasi dalam kehidupan sosial dan pengambilan keputusan, (11) globalisasi, (12) teknologi informasi dan komunikasi, (13) HIV/AIDS, (14) pencegahan konflik pemuda, dan (15) hubungan antargenerasi. Lebih lanjut, fungsi dari adanya IPP adalah untuk (1) mengukur perkembangan pemuda dari waktu ke waktu, (2) mengidentifikasi wilayah-wilayah atau isu-isu yang membutuhkan perhatian lebih lanjut, (3) membandingkan kemajuan antar provinsi/daerah, (4) dasar bagi perumusan kebijakan/tindakan advokasi terhadap pemuda, dan (5) mendorong riset, kajian, dan pengumpulan data yang berkaitan dengan pemuda.
  • 15. 15 Dokumen IPP harus dirumuskan bersama oleh Kemenpora dan instansi pemerintah lain seperti Bappenas, Kementerian Pendidikan, Kementerian Kesehatan. Juga melibatkan pemangku kepentingan di dunia kepemudaan seperti KNPI dan elemen organisasi kepemudaan lainnya, perguruan tinggi, dan sebagainya. Hal ini penting agar semua instansi dan pihak terkait memiliki rasa memiliki dan tanggung jawab yang sama terhadap isi dokumen tersebut dan pembangunan kepemudaan di Indonesia. Setelah memiliki IPP, selanjutnya disusun blueprint Strategi Pembangunan Pemuda. Blueprint ini disusun melalui proses yang sama dan diarahkan untuk meningkatkan capaian IPP dari waktu ke waktu. Jadi, kedua dokumen tersebut memiliki kaitan yang erat. Bagian krusial dari blueprint tersebut adalah menerjemahkan upaya untuk menaikkan IPP dalam bentuk program-program yang nyata. Juga pembagian tugas, fungsi, dan peran serta pola koordinasi dan sinergi dari semua pihak terkait dalam melaksanakan program-program tersebut. Kedua dokumen tersebut sejauh yang penulis ketahui belum dimiliki pemerintah RI. Padahal, di negara-negara Persemakmuran (Commonwealth countries), dokumen IPP telah lama dibuat dan dijadikan acuan perumusan kebijakan. Inilah menjadi tugas mendesak yang harus dilakukan Menpora RI dari Kabinet Kerja Jokowi-JK apabila ingin membangun dunia kepemudaan secara komprehensif, mendasar, dan sistematis. Kiranya visi Presiden Jokowi yang menekankan pembangunan manusia melalui slogan “revolusi mental” dapat menjadi payung besar yang membantu Menpora untuk mendesakkan agenda tersebut di pemerintahan. Akhirnya, selamat bekerja Pak Menteri, salam pemuda. ARIP MUSTHOPA, SIP, MSI Ketua Umum PB HMI 2008-2010, Ketua DPP KNPI 2011-2014
  • 16. 16 Mengkaji Pahlawan Pilihan Koran SINDO 12 November 2014 Dalam rangka peringatan Hari Pahlawan 10 November, Jumat 7 November 2014 Presiden Joko Widodo menganugerahi gelar Pahlawan Nasional kepada empat tokoh anumerta. Gelar yang disematkan di Istana Negara tersebut sejalan dengan Keputusan Presiden No. 115/TK/2014. Pahlawan Nasional itu adalah Letnan Jenderal Djamin Gintings (lahir 1921), komandan pasukan Indonesia dalam pertempuran Medan Area melawan kolonialisme di Sumatera; Sukarni Kartodiwirjo (lahir 1916), pejuang perang yang jadi ketua umum Pengurus Besar Indonesia Muda dan pegawai Departemen Propaganda (Sendenbu) zaman Jepang; Mayor Jenderal Mohamad Mangoendiprojo (lahir 1905), pamong praja yang bergabung dalam tentara Pembela Tanah Air, dan tercatat sebagai kakek Indroyono Soesilo, menteri koordinator kemaritiman Kabinet Kerja; serta KH Abdul Wahab Chasbullah (lahir 1888), pendiri Persatuan Pemuda Nahdlatul Ulama yang kemudian menjadi gerakan Pemuda Ansor, eyang buyut Romahurmuziy, politikus Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Pengangkatan nama-nama di atas sedikit mengagetkan publik, karena keempat tokoh itu seberapa pun pantas dan besar jasanya sebelumnya nyaris tidak pernah digadangkan untuk menerima gelar Pahlawan Nasional. Sebelumnya ada beberapa nama yang muncul dalam perbincangan masyarakat. Sebut saja gubernur Jakarta legendaris Ali Sadikin, tokoh pluralis dan Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid, Ketua Kongres Pemuda II yang melahirkan Sumpah Pemuda Soegondo Djojopoespito. Selain itu ada Suratin, insinyur lulusan Jerman yang berjuang lewat dunia olahraga, dengan mendirikan Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI); serta Raden Saleh, pelukis pembuka modernisme kebudayaan Indonesia abad ke-19, yang diperjuangkan masuk oleh mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Wardiman Djojonegoro. Bahkan HM Soeharto, presiden ke-2 Republik Indonesia yang pernah dijuluki Bapak Pembangunan, sempat diusulkan. Sebuah pengusulan yang tumbuh menjadi wacana dan kontroversi hebat. Perbincangannya lantas dirasakan layak dijadikan refleksi tata kriteria serta eksekusi pemberian gelar Pahlawan Nasional tahun ini. Pahlawan Teladan Kandidasi Soeharto sebagai Pahlawan Nasional memang melahirkan catatan khusus. Ini lantaran ada pihak-pihak yang kuat mendesak, sekaligus dalam waktu bersamaan ada pihak lain yang ramai-ramai menolak.
  • 17. 17 Prabowo Subianto, misalnya, dalam Rapat Pimpinan Nasional Forum Komunikasi Putra-Putri Purnawirawan TNI Polri (FKPPI) yang berlangsung pada 3 Juni 2014 berjanji: apabila terpilih jadi presiden, ia akan memberi gelar Pahlawan Nasional untuk HM Soeharto. Karena diletupkan di tengah keriuhan pilpres, kontan wacana ini jadi tidak populer. Joko Widodo juga pernah meluncurkan wacana ini pada Agustus 2013, atau 10 bulan sebelumnya. Kala itu selaku gubernur DKI Jakarta, ia ingin mengubah Jalan Medan Merdeka Timur jadi Jalan HM Soeharto, berbarengan dengan perubahan Jalan Medan Merdeka Utara jadi Jalan Soekarno, Jalan Medan Merdeka Selatan jadi Jalan Mohamad Hatta, dan Jalan Medan Merdeka Barat jadi Jalan Ali Sadikin. Gubernur mengusulkan itu setelah berkonsultasi dengan Panitia 17. Semua tahu, penamaan jalan protokol Ibu Kota merupakan monumenisasi dari predikat Pahlawan Nasional yang sedang diajukan. Tujuannya, seperti halnya maksud Prabowo: rekonsiliasi antara Orde Baru dan Orde Reformasi. Sejak Joko Widodo mewacanakan, sampai Prabowo menawarkan gagasan itu lagi, banyak orang ikut menimbang. Alasannya, terlalu banyak hal yang harus dineracakan baik-buruknya selama Soeharto berkuasa selama 32 tahun. Reputasi Soeharto memang memenuhi salah satu kriteria pokok ”Gelar Pahlawan Nasional” Kementerian Sosial Indonesia, yang ditolakkan dari UU No 29 Tahun 2009. Subbab kriteria ”Pahlawan Nasional” itu berbunyi: ”Pahlawan Nasional adalah gelar yang diberikan kepada Warga Negara Indonesia. Atau seseorang yang berjuang melawan penjajahan di wilayah yang sekarang menjadi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Atau yang gugur atau meninggal dunia demi membela bangsa dan negara. Atau yang semasa hidupnya melakukan tindakan kepahlawanan atau menghasilkan prestasi dan karya yang luar biasa bagi pembangunan dan kemajuan bangsa dan negara Republik Indonesia.” Namun, pemenuhan kriteria itu syahdan diganggu oleh reputasinya yang kurang memenuhi subbab kriteria ”Tindak Kepahlawanan”, yang berbunyi: ”Adalah perbuatan nyata yang dapat dikenang dan diteladani sepanjang masa bagi warga masyarakat lainnya.” Tuduhan bahwa Soeharto telah melakukan represi politik dan nepotisme disebut tidak sejalan dengan kalimat: ”...dapat dikenang dan diteladani”. Siapa yang Memilih Namun, walaupun kriteria itu jelas, masyarakat umum tetap tidak memiliki kekuatan penuh untuk menolak dan menerima gelar Pahlawan Nasional yang disematkan kepada seseorang. Karena lolos dan tidaknya seorang tokoh sebagai Pahlawan Nasional pada sesi terakhir ditentukan oleh Tim Peneliti Pengkaji Gelar Pusat (TP2GP), yang disyaratkan beranggotakan (paling banyak) 13 orang. Terdiri dari praktisi, akademisi, pakar, sejarawan, dan instansi terkait.
  • 18. 18 Masyarakat Indonesia seharusnya percaya seratus persen kepada TP2GP, yang keputusannya merupakan refleksi dari hati nurani bangsa Indonesia. Namun, kepercayaan itu sering kikis ketika masyarakat tidak pernah tahu ”bagian dalam” TP2GP. Siapa saja mereka yang duduk di bangku TP2GP? Apakah mereka memang memiliki kesanggupan penuh mewakili rasa dan pikiran masyarakat luas? Bagaimana kualitas pengetahuan mereka terhadap sejarah? Sejauh mana mereka mampu melihat segala kejadian bangsa dengan mata objektif? Bagaimana mentalitas mereka sehingga bisa terhindar dari sikap keberpihakan? Dan, siapakah yang menunjuk mereka untuk menjadi wakil dari bangsa Indonesia dalam mengetuk palu keputusan? Seperti halnya sebagian masyarakat mempertanyakan, siapakah yang menunjuk anggota TP2GP era Presiden Joko Widodo, yang baru berjalan tiga minggu? Dari pergunjingan itu, lalu banyak yang mengusulkan: alangkah baik apabila nama-nama calon penerima gelar Pahlawan Nasional diwacanakan dahulu jauh hari ke masyarakat banyak, sehingga daulat rakyat ikut menilai untuk kemudian ikut memilih. Seperti halnya masyarakat Indonesia sekarang memandang, menilai, dan memosisikan HM Soeharto. Karena, biar bagaimanapun, junjungan atas kepahlawanan seseorang ternyata bersifat situasional. Bergantung pada atmosfer politik dan suasana sosial. AGUS DERMAWAN T Pengamat Sosial dan Budaya, Konsultan Koleksi Benda-benda Seni Istana Presiden
  • 19. 19 Pesan dari China Koran SINDO 12 November 2014 Saat ini sedang berlangsung perhelatan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC) pada 10-11 November 2014 di Beijing, China. Semua mata dunia tertuju pada acara ini yang akan turut menentukan 45% perdagangan dunia dan mempertaruhkan nama besar China pada dunia. KTT ini layak mendapat perhatian karena dinamika hubungan internasional di regional dan global belakangan ini terutama yang melibatkan peran strategis China. Pertama, langkah China memprakarsai berdirinya Bank Investasi Infrastruktur Asia dan siap menggelontorkan dana USD50 triliun. Langkah ini bertujuan untuk mengatasi keterbatasan infrastruktur di negara-negara Asia. Kedua, komitmen China untuk menghidupkan kembali ”Jalan Sutera Abad 21” dengan menyediakan Silk Road Fund sebesar USD40 triliun. Dana ini tidak hanya untuk mengembangkan infrastruktur dalam arti fisik, tetapi juga dalam membangun sumber daya manusia. Hal lain yang digagas dalam komitmen ini adalah perlunya memperbaiki kerja sama industri dan finansial dengan negara-negara Asia. Ketiga, hal yang tidak kalah pentingnya adalah kesepakatan antara China dan Jepang untuk mengembalikan hubungan baik secara politik dan keamanan setelah sempat mengalami tensi yang memanas beberapa waktu belakangan ini. Kedua negara menyepakati empat poin untuk meningkatkan ikatan bilateral mereka. Keempat poin kesepakatan China dan Jepang tersebut meliputi kesepakatan untuk berpijak pada empat dokumen kesepakatan penting yang pernah ditandatangani kedua negara sejak tahun 1972, 1978, 1998, dan 2008. Mereka sepakat menghormati persoalan sejarah yang dimiliki dan melihat ke depan untuk maju bersama-sama mengatasi hambatan-hambatan praktis di lapangan. China dan Jepang juga menyadari sepenuhnya bahwa terdapat perbedaan dalam menyikapi sengketa kepulauan Diaoyu atau Senkaku secara lebih bijak. Mereka akan saling menahan diri agar persoalan tidak semakin keruh dan membangun komunikasi serta mekanisme penyelesaian sengketa. Akhirnya, kedua negara sepakat untuk mengembalikan hubungan politik, diplomasi, dan keamanan secara bertahap. Muaranya adalah membangun rasa saling percaya yang sempat terkikis hingga titik kritis.
  • 20. 20 Kesepakatan empat poin antara China dan Jepang ini memberikan angin segar bagi stabilitas kawasan Asia. Terlihat bahwa kedua negara tidak menginginkan hubungan keduanya semakin memburuk yang dapat berakibat pada kerugian jangka panjang. Tidak hanya kerugian bagi kedua negara, tetapi juga hubungan kerja sama di antara mereka dengan negara-negara di Asia maupun dengan negara dari benua lain, khususnya Eropa dan Amerika. People to People Ketiga hal yang dilakukan oleh China di atas membuktikan bahwa negeri ini telah bersiap berperan lebih aktif dan substantif di kawasan Asia. Secara sistematis inisiatif mengatasi persoalan infrastruktur melalui ”Jalan Sutera Abad 21” yang di dalamnya meliputi pula pengembangan sumber daya manusia. China telah menyiapkan pelatihan dan pendidikan bagi dua puluh ribu orang dari negara tetangga selama lima tahun ke depan. Seperti disampaikan Presiden China Xi Jinping, bahwa pembangunan infrastruktur juga meliputi upaya untuk memenuhi kekurangan sumber daya manusia. Potensi pengembangan sumber daya manusia yang menentukan berbagai kebijakan baik di bidang perdagangan maupun keuangan sangatlah penting. Ia juga menegaskan arti pentingnya membangun ikatan hubungan antarindividu atau dikenal dengan people to people interaction melalui pendidikan dan penelitian. Pemerintah China baik di tingkat pusat maupun provinsi memiliki skema beasiswa bagi mahasiswa asing untuk belajar berbagai disiplin ilmu di perguruan tinggi di China. Belum lagi upaya yang dilakukan masing-masing universitas memberikan kesempatan belajar bagi para mahasiswa maupun penelitian bagi para dosen/peneliti dari negara lain. Dengan pendanaan penelitian yang sangat besar dan berbagai program yang diterapkan, universitas-universitas di China mengundang berbagai peneliti yang bereputasi dan memiliki karya yang baik di bidangnya untuk menjadi visiting scholar. Para peneliti tersebut melakukan penelitian bersama, memberikan perkuliahan kepada para mahasiswa hingga melakukan aktivitas pengenalan budaya setempat. Sebagai contoh di bidang ilmu sosial, pemerintah China menyediakan dana hingga lebih dari Rp40 miliar per tahun untuk proyek penelitian bagi para talenta peneliti hebat berbakat. Dalam program penelitian tersebut, mereka diharapkan menghasilkan penelitian inovatif, bersifat breakthrough dan memiliki relevansi yang tinggi bagi kemajuan China. Untuk itu, mereka dapat melibatkan para peneliti dari negara lain untuk berkontribusi, membuka kesempatan mahasiswa doktoral maupun peneliti post doctoral untuk bergabung. Hasilnya, publikasi internasional baik berupa buku maupun artikel ilmiah dari penerbit bereputasi dunia. Bila dibandingkan dengan Indonesia yang maksimal menyediakan hibah penelitian 1 miliar
  • 21. 21 rupiah per tahun, pendanaan penelitian yang disediakan pemerintah bak bumi dan langit. Skema penelitian seperti ini dalam jumlah maupun programnya pun masih sangat terbatas. Dengan demikian, sebagai tuan rumah penyelenggaraan KTT APEC ini, China tidak hanya ingin memperlihatkan kepada dunia internasional akan kemajuan ekonomi dan sosialnya. KTT APEC ini sekaligus menjadi tonggak baru kepemimpinan China di Asia yang secara pasti, cepat atau lambat, akan memimpin dunia. Negeri Tirai Bambu ini paham betul bahwa kepemimpinan yang riil adalah dengan memberikan contoh teladan yang baik dan memberikan manfaat bagi para negara yang terlibat di dalamnya. Mengembalikan kejayaan Jalan Sutera dan memaknai kembali dalam konteks abad ke-21 merupakan tonggak strategis dalam merangkul para negara tetangga. Gagasan tersebut berhasil menyediakan kebutuhan public goods bagi para negara di Asia yang selalu disebutnya sebagai negara tetangga. Bila ini berlanjut dengan baik dengan stabilitas keamanan yang terjamin di Asia, tidak mustahil paling lambat 20 tahun lagi China akan memimpin dunia. Pemerintah Indonesia yang mengedepankan Poros Maritim Dunia sepertinya harus menangkap pesan China ini. Kemudian secara lebih cerdas, Indonesia mendapatkan keuntungan signifikan dalam gagasan besar tersebut dengan menjadi salah satu negara tetangga yang baik. TIRTA N MURSITAMA, PHD Ketua Departemen Hubungan Internasional Universitas Bina Nusantara; Visiting Scholar pada College of Economics and Management Fujian Normal University,China
  • 22. 22 Pemimpin yang Peduli dan Mengayomi Koran SINDO 12 November 2014 Masih adakah pemimpin di tengah masyarakat kita sekarang ini yang menaruh peduli pada sesamanya, yang siap menjadi ayah, atau teman, dan tampil memberikan perlindungan dan pengayoman? Ini perkara sulit. Jumlahnya mungkin hanya satu dalam seribu. Dapatkah dunia bisnis, yang orientasi nilai utamanya mengejar profit, dikawinkan dengan idealisme? Mungkinkah kita meraih sukses di dunia bisnis, dengan menggunakan kombinasi cara berpikir yang menempatkan uang di atas segalanya, dengan wawasan yang meluhurkan nilai-nilai non-materi? Dapatkah hasrat meraih kepuasan materi diganti dengan kepuasan batin? Pada umumnya, para pebisnis menjawab tidak. Bisnis ya bisnis, idealisme ya idealisme. Bisnis dan idealisme itu dua dunia yang terpisah dan berseberangan secara diametral. Orang yang memandang uang di atas segalanya hanya akan merasa dirinya ”eksis” dan mencapai kepuasan jika impiannya menghimpun sejumlah besar uang terpenuhi. Jenis orang seperti ini berpendapat kepuasan dapat dicapai hanya melalui wujud materi. Dengan kata lain, kepuasan batin akan muncul hanya jika ada kepuasan berbasis materi didukung prestasi nyata, yang meningkatkan akumulasi kekayaan materi yang sudah ada di dalam genggamannya. Ringkasnya, mengawinkan bisnis dengan idealisme itu mustahil. Ibaratnya, bumi dan langit mana bisa bersentuhan tanpa mengakibatkan kehancuran yang tak kita kehendaki? Ya. Tapi ini bukan satu-satunya dalil yang bisa masuk di akal kita. Mungkin ini formula pengusaha kecil, yang mengelola organisasi bisnis kecil, yang masih bergerak pada tingkat ”survival” : belum punya nama, belum punya prestasi, dan dengan begitu juga belum punya rekam jejak yang meyakinkan di dalam dunia bisnis. Pengusaha besar, dan dalam bisnis berskala besar mungkin lain lagi ceritanya. Organisasi bisnis yang telah memiliki budaya perusahaan yang mapan, yang mencatat caring, credible, competent, competitive, serta customer delight sebagai prinsip-prinsip dasar yang tak lagi bisa dilanggar, tampaknya tak begitu sulit bahkan telah berhasil secara memuaskan mengawinkan bisnis dengan idealisme. Lima prinsip dasar di atas sebetulnya yang murni prinsip bisnis hanya empat: credible, competent, competitive, dan customer delight. Ini prinsip-prinsip bisnis murni. Caring itu lebih menampilkan aspek sosial, dan sisi kemanusiaan dari sebuah dunia bisnis, daripada
  • 23. 23 mewakili kepentingan bisnis itu sendiri. Di dunia bisnis, watak care itu problematik. Bagi sebagian kalangan, dia tak punya tempat di dalam dunia bisnis. Tak kurang-kurangnya pengusaha besar, di dalam organisasi bisnis besar, yang menolak prinsip itu, karena sekali lagi caring bukan sifat yang wajib ada, terutama bila kata itu berarti ”jiwa yang penuh peduli” pada sesama, atau kemurahan hati dan semangat berbagi, untuk bederma. Dua pemimpin bisnis dalam satu organisasi bisnis yang sama, cara menyikapi caring bisa berbeda. Dengan begitu, sebagai prinsip dasar, caring bisa tak akan dijalankan sesudah tokoh yang selama ini menganggap caring sebagai kebajikan dan kemuliaan dunia bisnis, tak lagi memegang kendali perusahaan. Jarak generasi sering mewujud dalam jarak pemikiran, sekaligus pertentangan cara pandang tentang apa yang dianggap sikap penting untuk mengembangkan bisnis. Kalangan muda, yang merupakan pemimpin ”biasa” akan berusaha keras menghapus watak itu karena baginya, caring bukan sekadar tidak produktif, karena terlalu sosial, melainkan merupakan pemborosan yang tak perlu. Tapi di mata seorang pebisnis besar; yang secara intern dikultuskan sebagai ”the living legend” jiwa yang penuh peduli tadi berarti usaha memperbesar dukungan, dan mengurangi potensi rongrongan. Dengan begitu, jelas bukan pemborosan. Karyawan yang terkena stroke, tak mampu lagi bekerja, tetapi tak dipensiunkan, dan masih dianggap karyawan, sampai masa pensiunnya tiba. Ini watak care yang indah secara kemanusiaan, dan sekali lagi, tak merupakan pemborosan. Watak care di sini menggambarkan fungsi pemimpin, dan kepemimpinannya, yang penuh sikap peduli untuk mengayomi mereka yang membutuhkan pengayoman. Ini bisa berlaku untuk kepentingan intern, bisa juga untuk kalangan orang luar. Tapi watak care bukan hanya itu. Berorientasi pada profit dan hanya profit yang berarti akumulasi kekayaan dalam bentuk uang, bisa membuat pemimpin dunia bisnis dengan tipe serba care seperti itu merasa bersalah secara sosial. Di sini, bisnis dan idealisme kawin, secara sah, dan harmonis, karena direstui oleh logika yang berkembang di dalam jiwa yang penuh peduli, murah hati, dan mengayomi. Dunia bisnis murni tidak salah bila di dalamnya ada sisi ”departemen sosial” yang tulus memberi pelayanan, sebagai ungkapan rasa syukur yang hanya secuil kecil dibanding berkah ”langit” yang sudah begitu melimpah. Tapi caring, bukan keterampilan teknis yang mudah diajarkan, untuk menjadi bagian dari corporate culture dalam sebuah dunia usaha. Mungkin caring lebih merupakan watak bawaan sejak kecil, dan terbentuk melalui pergulatan dialektis antara kemurahan hati pribadi, kemuliaan ajaran agama, dan sikap etis yang dalam, subtle, dan yang mungkin, lalu menjadi sejenis kearifan hidup pribadi.
  • 24. 24 Orang besar sering menyulitkan orang lain yang meneruskan jejaknya, karena sikap atau wataknya, yang tak mudah ”di-copy-paste” untuk menjadi suatu cultural legacy yang ibaratnya tinggal menelan tanpa mengunyah. Warisan kepemimpinannya bukan benda yang siap pakai. Sikap hidup bukan sejenis keris pusaka, atau tombak, yang mudah diwariskan seutuhnya, apa adanya. Di dalam diri orang besar, dan pemimpin besar, yang kepemimpinannya dianggap legendaris tadi, terdapat suatu kualitas moral tertentu, mungkin suatu jenis kesalehan, kemuliaan, atau karisma yang luhur, yang lebih enak untuk menjadi ”kekidungan”, dan kebutuhan batin untuk ”memuja”, dan begitu beratnya untuk diamalkan. Pemimpin yang peduli dan mengayomi boleh jadi memang dilahirkan. Pemimpin yang peduli dan mengayomi, tak banyak jumlahnya. Tak banyak orang yang bisa berperan sebagai ayah, sebagai teman, dan sebagai pengayom di dalam tata kehidupan kita yang gersang secara rohaniah ini. MOHAMAD SOBARY Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi,Mediasi, dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan. Email: dandanggula@hotmail.com
  • 25. 25 Logika Sosialisme Koran SINDO 14 November 2014 Empat tahun lalu saya ke Kunming, China, menikmati udaranya yang sejuk, alamnya yang indah, dan kulinernya yang lezat. Tak kalah menarik adalah lapangan golfnya yang memikat dan menantang. Lantaran keasyikan bermain golf dan kurang istirahat, malam harinya saya merasa dada sesak sehingga minta tolong petugas hotel untuk memanggil dokter. Sekitar jam 21.00 dokter datang ditemani tiga orang lain, lengkap dengan peralatannya. Singkat cerita, layanan medis selesai, saya merasa nyaman kembali. Ketika saya tanya berapa mesti membayar, mereka menjawab, semua ini gratis. Kami semata melaksanakan tugas melayani warga yang sakit, termasuk tamu yang berkunjung ke sini. Layanan medis yang begitu bagus serta gratis itu tentu memberikan kesan tersendiri di hati saya. Sebuah negara dengan penduduk sekitar 1,3 miliar jiwa, namun bisa melayani kesehatan tamunya dengan baik. Kenangan yang sudah cukup lama itu muncul kembali pekan lalu ketika saya bertemu seorang teman yang berkarier sebagai eksportir kayu, sebagian besar dikirim ke Jepang. Dia merasa iri terhadap kemudahan yang diberikan oleh Pemerintah China kepada para pengusaha di sana. Produk China selalu lebih murah harganya dibanding produk Indonesia. Mengapa? Dia bercerita, Pemerintah China selalu memberi bantuan berupa kemudahan dan kecepatan izin kepada setiap pengusaha. Bahkan juga keringanan pajak. Alasannya, tugas negara untuk menciptakan lapangan kerja dan memberikan kesejahteraan bagi warganya. Jika ada pihak swasta yang berniat dan mampu menciptakan lapangan kerja, berarti telah membantu meringankan tugas dan beban negara sehingga pemerintah wajib berterima kasih dan membantu kelancaran usahanya. Jika pemerintah pusat menerima laporan bahwa birokrasi layanannya mempersulit, langsung ditindak. Ada cerita lain dari seorang teman yang memiliki usaha perhotelan di Shanghai. Pada 1998 ketika dilanda krisis keuangan, pada malam hari beberapa lampu penerangan hotel dimatikan untuk menghemat biaya karena tamu sedang sepi. Selang beberapa hari kemudian pemilik hotel ditegur, lampu hotelnya tak boleh dimatikan. Meski dunia sedang mengalami krisis ekonomi, Shanghai di malam hari mesti gemerlap terang benderang. Kemegahan kota tidak boleh terpengaruh. Ketika bertemu petugas kota yang mengurusi perhotelan, pemiliknya menceritakan bahwa tamu sedang sepi, pemasukan menurun, sehingga manajemen mesti melakukan penghematan biaya.
  • 26. 26 Mendengar penjelasan itu, pemerintah langsung memberikan bantuan berupa pengurangan pajak. Kalau memang urgen, pemerintah memberikan pembebasan pajak sampai keadaan kembali normal. Semua cerita di atas bukan hasil riset ataupun baca buku, tetapi mendengar langsung dari seorang teman. Pemerintah China sadar betul, tanpa partisipasi rakyat, tugas negara sangat berat. Terlebih China yang menamakan dirinya sebagai negara sosialisme-komunisme, negara memiliki peran dan tanggung jawab jauh lebih besar dalam melayani rakyatnya ketimbang negara yang menganut ideologi kapitalisme yang menekankan kebebasan bagi warganya. Meski demikian, sesungguhnya sekarang tengah berlangsung proses konvergensi antara narasi besar kapitalisme dan sosialisme. Negara penganut ideologi kapitalisme semakin bergerak mendekati sosialisme, sementara negara sosialisme-komunisme bergerak ke arah kapitalisme. Secara ideal-konseptual, ideologi Pancasila merupakan konvergensi antara pertarungan dua narasi besar itu. Hanya, realisasinya masih kedodoran. Tentang pelayanan birokrasi pemerintah terhadap inisiatif rakyat dalam melakukan usaha ekonomi, cerita dan praktik di Indonesia sangat mengecewakan. Lagi-lagi sambil bermain golf saya berulangkali mendengarkan cerita dan keluhan teman- teman pengusaha, misalnya saja pertambangan, yang dipersulit memperoleh izin, kecuali mesti menyertakan saham kosong atau suap dengan jumlah yang fantastis untuk ukuran saya sebagai dosen yang berstatus pegawai negeri sipil. Alih-alih memberi kemudahan dan dorongan seperti cerita di atas, melainkan malah memeras. Gosip bahwa pejabat birokrasi kita doyan duit ini juga beredar di kalangan pengusaha asing. Akibat itu, citra dan wibawa birokrasi rusak, produk dalam negeri harganya lebih mahal ketimbang barang impor, khususnya dari China. Isi dan semangat Pancasila dan UUD 45 sesungguhnya lebih dekat pada mazhab sosialisme yang sangat menekankan nilai dan praktik gotong-royong, bukan pasar bebas yang memberikan panggung kompetisi bebas bagi para aktor-aktor ekonomi kelas kakap sehingga peran negara semakin lemah dalam melindungi pemain-pemain kecil. Kita menyaksikan, baik kompetisi di lautan, daratan, maupun udara, negara sangat lemah dalam melindungi dan memfasilitasi pengusaha kecil. Aktor-aktor besar sudah pasti yang memenangkan pertarungan. Lalu, di mana peran pemerintah dan wakil rakyat yang lahir karena pilihan rakyat untuk memperjuangkan dan melindungi nasib mereka? Di sini terjadi inkonsistensi logika politik dan penyimpangan moral. Pesan dan gerakan agama mestinya juga diarahkan ke wilayah ini demi kesejahteraan rakyat dan kemajuan bangsa. Jangan hanya untuk kepentingan komunal.
  • 27. 27 PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah @komar_hidayat
  • 28. 28 Tantangan Pendidikan Koran SINDO 14 November 2014 Komitmen bersama tujuan pembangunan manusia Millenium Development Goals (MDGs) salah satunya adalah tercapainya wajib belajar sembilan tahun. Tanpa terkecuali, anak usia 7- 15 tahun berhak sekolah pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Menjelang berakhirnya tahun 2015, pemerintahan baru Indonesia segera memperbarui komitmen mereka. Terlihat dari prioritas pertama sektor pendidikan, akses pendidikan diperpanjang menjadi 12 tahun. Sisi mana yang bekal menghalangi capaian komitmen baru tentang pemerataan pendidikan? Isu yang menjadi diskusi utama tulisan ini. Pendidikan Layanan Khusus Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki keberagaman bahasa, budaya, dan karakter wilayah. Capaian pemerataan pendidikan tidaklah semudah negara-negara Eropa pada abad ke-18. Tantangan pertama adalah menjangkau anak-anak marginal, difabel, dan anak korban bencana alam. Kalkulasi penulis menghasilkan perpanjangan satu tahun rata-rata pendidikan penduduk dewasa memerlukan waktu pembangunan selama lima tahun. Dengan kondisi saat ini, Indonesia tertinggal sekitar 50 tahun dibandingkan dengan capaian negara paling tinggi capaian pendidikan masyarakatnya. Katakan negara-negara Skandinavia, seperti Norwegia, Swedia, dan Finlandia rata-rata pendidikan penduduknya mencapai 17 tahun. Untuk lokasi yang mudah diakses pendidikannya, persoalan akses pendidikan tidaklah rumit. Apalagi, banyaknya skim kebijakan pemerintah untuk mempermudah kelompok anak-anak keluarga miskin yang haknya dijamin oleh negara. Program beasiswa misalnya telah berdampak pada peningkatan akses pendidikan untuk kelompok miskin. Persoalannya yang muncul adalah ketika lokasi sekolah jauh dari tempat tinggal anak usia sekolah. Tersedianya sekolah dalam radius tertentu tidak selalu diikuti dengan tercapainya pemerataan kesempatan pendidikan. Lokasi-lokasi daerah yang diperkirakan tersulit adalah daerah tertinggal, daerah terpencil, daerah perbatasan, pulau-pulau kecil, daerah perkebunan rakyat, kawasan penduduk dalam hutan dan pinggiran, perkampungan kumuh perkotaan. Kelompok anak-anak ini rentan putus sekolah lebih cepat, dan kemungkinan melanjutkan pendidikan ke jenjang menengah atau sekolah lanjutan atas semakin mengecil. Selain anak- anak tinggal pada daerah yang tersulit, banyak juga di antara mereka yang belum beruntung secara sosial-ekonomi, di antaranya akibat kemiskinan, persoalan anak yang ditinggal orang tua menjadi TKI, anak-anak jalanan, anak-anak dalam penjara, dan korban narkoba.
  • 29. 29 Belum terhitung di antara anak-anak yang mendiami daerah yang rentan terhadap bencana alam, berupa gempa bumi, gunung meletus, kekeringan panjang, serta bencana lainnya. Kisah korban letusan Gunung Sinabung di Tanah Karo, Sumatera Utara membuat anak-anak di pengungsian terputus sementara waktu proses belajarnya. Mereka menghadapi ketidakpastian tentang pendidikannya. Kisah bagaimana anak-anak yang harus berjuang untuk menyeberangi jembatan gantung di pesisir selatan Sumatera Barat, menyabung nyawa meniti jembatan yang bergoyang-goyang demi menuju sekolah. Pada karakter daerah seperti ini, kebijakan penyediaan guru dan sekolah dengan cara konvensional tidak selalu mampu memecahkan persoalan capaian pemerataan pendidikan. Buktinya, hingga kini capaian akses untuk jenjang pendidikan menengah untuk kelompok anak usia 13-15 tahun baru berkisar 95%. Bukan tidak mungkin banyak di antara kabupaten yang masuk kategori tertinggal capaian akses pendidikan untuk jenjang SMP masih di bawah 75%. Rata-rata capaian pendidikan di Kabupaten Paniai dan Kabupaten Jayawijaya diperkirakan tidak akan lebih dari 3,5 tahun, mirip dengan capaian pendidikan pada tahun agresi Belanda kedua, 60 tahun yang lalu. Jika ingin menambah wajib belajar menjadi 12 tahun, persoalannya juga akan sama dengan anak-anak yang “marginal” atau mereka tinggal di daerah yang mengalami bencana alam. Data Susenas 2012, misalnya, memperlihatkan angka putus sekolah tertinggi terjadi ketika masa transisi dari jenjang pendidikan SMP ke jenjang pendidikan SMA. Bahkan, angka putus sekolah tertinggi adalah pada kelompok anak-anak di mana orang tuanya paling miskin. Data yang sama juga menunjukkan hanya 2% dari anak-anak keluarga termiskin yang sampai jenjang perguruan tinggi. Pendidikan khusus (PK) untuk anak difabel dan pendidikan layanan khusus untuk anak-anak “marginal” dan kena bencana adalah salah satu jawaban untuk menjangkau anak-anak yang sulit untuk dijangkau “reach unreachable”. Pengalaman dua tahun penyelenggaraan pendidikan layanan khusus (PLK) untuk anak-anak suku Bajo di Wakatobi, Sulawesi Tenggara dan anak pinggiran hutan di Kabupaten Pasaman, Sumatera Barat menghasilkan dampak yang besar terhadap kembalinya mereka untuk sekolah lagi. Penyediaan seragam sekolah dan sepatu, disertai dengan subsidi makanan di sekolah, telah berdampak terhadap ketertarikan anak-anak kembali ke sekolah. Instrumen makanan tambahan di sekolah dan keperluan sekolah sebenarnya tidak terlalu besar membebani APBN. Dampak daya tariknya besar dalam mengembalikan anak ke sekolah. Kartu Indonesia Pintar (KIP) jangan hanya untuk menjamin anak-anak dapat bersekolah, namun sebaiknya juga mengakomodasi segala keperluan sekolah minimum oleh anak-anak yang masuk kategori 40% termiskin. Pemerataan Mutu
  • 30. 30 Tantangan kedua adalah mendongkrak mutu pendidikan dari berbagai sudut. Selain mutu kognitif, psikomotorik, sikap mental, menjadikan anak bangsa yang berketuhanan membuat anak-anak kita lahir secara sempurna dalam menatap masa depan mereka. Ejekan terhadap anak-anak kita sangat pantas, ketika nilai Matematika, Sains Dasar, dan Kemampuan Membaca mereka jauh dari yang diharapkan. Anehnya, pergantian kurikulum sekalipun tidak banyak mengubah ukuran mutu yang digunakan. Bukan tidak mungkin mutu yang cukup bergengsi bisa dicapai. Mengingat sering anak-anak kita menang lomba Matematika atau Fisika, namun itu hanya dihitung dengan jari. Sekolah-sekolah yang baik itu ke itu saja; berlokasi di perkotaan, memiliki guru yang selektif dan bermutu, dan kebanyakan penyelenggaranya di bawah yayasan swasta keagamaan serta sekolah negeri favorit. Sekolah-sekolah yang baik tidak lagi tersedia secara random, mengingat anak-anak pintar dengan sendirinya akan lulus di sekolah favorit dengan sistem rekrutmen yang dibangun. Terlepas itu semua, maka perhatian tentunya terfokus kepada penyediaan guru yang bermutu. Dampak sertifikasi guru penulis ditemukan tidak banyak dampak ungkitnya terhadap peningkatan mutu. Berbagai prioritas kebijakan sangat diperlukan, di antaranya peningkatan kualifikasi pendidikan guru, pengembangan metodologi pedagogi, dan memperbarui kembali komitmen dan integritas para pendidik. Mereka pada umumnya ibarat baterai yang sering soak. Perlu dicas ulang. Lembaga-lembaga yang kompeten mesti bersiap melakukan penataan, menemukan roles model, training for trainer yang berkelanjutan dan tidak tergesa-gesa. Pada akhirnya, proses penguatan institusi pelatihan, mengembalikan roh LPTK, dan pemurnian iktikad guru, menjadi modal untuk mengatasi tantangan pemerataan kualitas pendidikan. ELFINDRI Profesor Ekonomi SDM dan Koordinator Program S-3 Ilmu Ekonomi Universitas Andalas, Padang
  • 31. 31 Pahlawan Kesiangan Koran SINDO 16 November 2014 Tulisan ini kesiangan. Hari Pahlawan sudah lewat, kok baru nulis tentang pahlawan? Dalam dunia pers istilahnya ”sudah lewat momentumnya”. Tetapi memang saya tidak bermaksud mengejar momentum, apalagi ”kejar tayang”. Saya justru ingin melihat apa saja yang dilakukan oleh anak-anak bangsa ini untuk memperingati Hari Pahlawan di era Revolusi Mental ini. Adakah perubahan perilaku atau masih sama saja dengan yang dulu-dulu? Tetapi persis seperti yang sudah saya duga, acara Hari Pahlawan masih yang itu-itu juga: peragaan perang di Surabaya tanggal 10 November 1945. Dengan Bung Tomo mengepalkan tangan ke atas, dan anak-anak sekolah berpakaian ala seragam tentara rakyat yang sudah tertanam di benak mereka, yaitu seragam warna cokelat khaki, dengan simbol merah-putih di dada, dan ikat kepala merah-putih terbuat dari ikat leher Pramuka (walaupun zaman itu belum ada Pramuka). Tidak aneh, kalau keesokan harinya, pascaperingatannya, orang sudah lupa lagi pada Hari Pahlawan, apalagi pada makna kepahlawanan itu sendiri. Pada tahun 2008, di sebuah Kongres Psikologi Internasional di Berlin, Jerman, saya menghadiri sebuah paparan tentang heroisme (kepahlawanan) oleh psikolog sosial paling kondang saat ini, Dr Philip Zimbardo. Dalam paparan yang dihadiri sekitar 1.000 psikolog sedunia itu, Dr Zimbardo menayangkan sebuah rekaman CCTV singkat yang sangat mencekam. Dalam CCTV itu, tampak suasana di sebuah stasiun metro (kereta api bawah tanah) di London, dengan sebuah kereta api sedang meluncur dari kegelapan dan sudah terlihat lampunya akan segera masuk kawasan stasiun. Tiba-tiba seorang balita terjatuh dari kereta dorong ibunya yang berdiri terlalu di pinggir peron (tempat tunggu penumpang). Balita itu pun jatuh langsung masuk di tengah-tengah dua rel yang sekejap lagi akan dilewati kereta api. Seketika semua orang menjerit histeris, dan tentu saja ibu yang malang itu berteriak paling histeris. Semua panik. Sebentar lagi si balita akan remuk digilas kereta api. Tetapi tiba-tiba sesosok laki-laki meloncat turun dari peron ke rel dan segera bertiarap dengan memeluk balita. Sekejap kemudian kereta api Metro menderu lewat di atas kepala mereka, dan ketika kereta itu berhenti, balita dan laki-laki itu sama-sama selamat, tidak ada yang terluka sedikit pun.
  • 32. 32 Pasca peristiwa itu laki-laki penolong itu diwawancara, dan ternyata dia sendiri punya dua anak. Satu di antaranya masih balita. Ia mengatakan bahwa tidak berpikir panjang ketika menolong balita. Spontan ia meloncat saja untuk melindungi balita, dan akhirnya memang balita itu selamat. Dr Zimbardo kemudian memberikan analisisnya tentang perilaku kepahlawanan. Seorang pahlawan itu, kata Dr Zimbardo, hanya mau menolong orang lain, atau menyelamatkan orang banyak, tanpa memikirkan keselamatan, apalagi keuntungan untuk dirinya sendiri. Arti kepahlawanan (heroisme dari kata Yunani kuno ‘hero’) itu sendiri adalah keberanian atau pengorbanan diri sendiri yang ditunjukkan seseorang dalam keadaan yang sangat berbahaya, atau dari posisinya yang sangat lemah, namun tetap berani mengambil risiko demi kebaikan yang lebih besar untuk keseluruhan kelompok yang lebih besar atau umat manusia. Awalnya istilah ini hanya untuk dunia militer/perang, tetapi belakangan banyak digunakan dalam kaitannya dengan nilai-nilai moral. Dalam kaitannya dengan nilai-nilai moral inilah saya dan beberapa teman dari sebuah kelompok WA (WhatsApp) pada hari Senin 10 November 2014 yang lalu, menyelenggarakan sebuah diskusi kecil di Gedung Joang, Jakarta, dengan para pemuka agama (lintas agama) untuk menggali nilai-nilai kepahlawanan baru untuk dikembangkan ke masa yang akan datang. Nilai kepahlawanan zaman sekarang adalah anti-korupsi. Semua orang tahu bahwa bukan barang gampang untuk tidak korupsi di tengah lingkungan yang semua orang korupsi. Diperlukan keberanian, kenekatan, dan yang jelas pengorbanan untuk bersikap anti-korupsi di zaman sekarang. Karena itu, tokoh-tokoh yang berani anti-korupsi seperti Ahok harus kita dorong, karena mereka itulah pahlawan yang sebenarnya. Tokoh seperti inilah yang harus dijadikan ikon pahlawan hari ini, yaitu tokoh yang jadi fans-nya generasi muda, bukan lagi Bung Tomo yang (dengan segala hormat kepada beliau) sudah menjadi masa lalu. Berdasarkan definisi Dr Zimbardo seperti di atas, siapa pun bisa tiba-tiba menjadi pahlawan kalau ada situasi-situasi yang mendadak mendesak seperti yang dialami bapak penolong tadi. Dengan definisi Dr Zimbardo, setiap orang bisa jadi pahlawan asalkan dia mau mengorbankan dirinya sendiri untuk kepentingan yang lebih besar atau orang lain. Namun, tampaknya bukan itu yang dipahami oleh para penggembira di perayaan 10 November 2014 yang baru lalu di Jakarta. Di ruangan lain dari Gedung Joang, ada beberapa ibu yang katanya mau demo ke salah satu direktorat jenderal, karena katanya rumah salah satu ibu itu digusur oleh instansi ditjen itu, padahal ibu itu janda pahlawan yang mendapat bintang jasa dari pemerintah. Di jalanan, ribuan buruh berdemo minta kenaikan UMR, karena mereka merasa sudah berjasa bekerja untuk negeri ini sehingga layaklah kalau upahnya dinaikkan. Dan, lebih banyak lagi
  • 33. 33 anggota ormas yang berdemo karena merasa sudah menertibkan Ibu Kota dari kemaksiatan sehingga merasa dirinya sudah jadi pahlawan dan menuntut agar Ahok turun dari jabatan gubernur DKI. Seperti itulah orang-orang Indonesia yang merayakan Hari Pahlawan. Mereka merasa dirinya adalah pahlawan, padahal tidak ada pahlawan yang merasa dirinya sendiri pahlawan, kecuali pahlawan kesiangan. SARLITO WIRAWAN SARWONO Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
  • 34. 34 Publikasi Ilmuwan Rendah, Mengapa? Koran SINDO 17 November 2014 Publikasi ilmiah ilmuwan Indonesia masih rendah. Ini menunjukkan bahwa denyut nadi kehidupan ipteks di kalangan kaum terpelajar belum optimal. Cita-cita meraih institusi pendidikan tinggi atau lembaga penelitian yang mendunia masih jauh panggang dari api. Jurnal ilmiah di Indonesia masih menghadapi banyak persoalan menyangkut kontinuitas penerbitan dan statusnya yang sebagian besar belum terakreditasi. Kinerja jurnal ilmiah yang buruk disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, naskah ilmiah yang masuk terlalu sedikit sehingga mengurangi derajat selektivitas. Kedua, kurang optimalnya peran reviewer. Artikel yang dikirimkan kepada tim reviewer untuk ditelaah, berbulan-bulan tidak dikembalikan sehingga memperlambat pemuatan. Ketiga, rata-rata dana penelitian untuk dosen/peneliti terlalu kecil sehingga ipteks yang dihasilkan tidak layak untuk publikasi ilmiah. Jurnal ilmiah adalah wahana komunikasi ilmiah bagi ilmuwan-ilmuwan dalam bidang keilmuan tertentu. Karena itu, pendekatan cara pengelolaannya tidak bisa menggunakan kiat bisnis seperti media massa yang bersifat komersial. Jurnal ilmiah menuntut komitmen yang tinggi dari pengelolanya, partisipasi aktif dari dosen dan peneliti sebagai penyumbang naskah, tim reviewer untuk selalu tepat waktu, dan subsidi pengganti ongkos cetak dari pelanggan dan institusi pengelola jurnal ilmiah. Kemenristekdikti kini berkesempatan untuk memperbaiki kinerja riset dan publikasi ilmiah di perguruan tinggi dan lembaga-lembaga penelitian. Bantuan dana untuk penerbitan jurnal ilmiah nasional dan grants bagi dosen yang akan menerbitkan hasil karya risetnya di jurnal ilmiah internasional harus diperbesar. Saat ini tidak ada alasan lagi bagi dosen untuk tidak menulis. Pepatah publish or perish (menulis atau binasa) hendaknya menjadi pegangan setiap ilmuwan untuk lebih produktif dalam memublikasikan karya-karyanya. Hampir semua dosen atau ilmuwan di Tanah Air menyadari tentang lemahnya publikasi internasional di kalangan mereka. Sebenarnya ini bukan karena mereka tidak mampu. Bukti- bukti menunjukkan bahwa dosen yang pernah tugas belajar di luar negeri umumnya telah mempublikasikan 1-2 karya ilmiahnya di jurnal ilmiah internasional bersama dosen pembimbingnya. Apakah setelah berada di Tanah Air, mereka bisa bertambah produktif menghasilkan karya-karya ipteks yang layak publikasi? Jawabannya sebagian besar tidak. Iklim akademik di perguruan tinggi Tanah Air kurang menunjang dosen untuk bergairah menghasilkan publikasi bertaraf internasional. Harus diakui bahwa rendahnya penghargaan bagi ilmuwan menyebabkan kehidupan ipteks
  • 35. 35 tidak bergairah. Almarhum Prof Mochtar Buchori pernah menyindir bahwa honor peneliti masih lebih rendah dibandingkan honor kuda sewaan di tempat rekreasi. Akhirnya, melakukan kegiatan penelitian selain untuk menghasilkan temuan ilmiah yang baik, juga merupakan strategi untuk mendapatkan penghasilan tambahan. Bila sebaran dana riset masih sekadar untuk pemerataan penelitian agar lebih banyak dosen meneliti, yang lahir hanyalah ipteks-ipteks dangkal. Riset yang baik memerlukan dana besar. Ilmuwan (baca: peneliti) akan malas memublikasikan hasil risetnya di jurnal-jurnal ilmiah internasional. Publication fee di jurnal internasional (sekitar Rp5 juta) dan ini harusnya bisa dimintakan gantinya ke Kemenristekdikti. Partisipasi ilmuwan dalam forum seminar internasional juga rendah karena ilmuwan Indonesia tidak mampu membiayai kegiatan seminar di luar negeri. Untuk itu, hibah untuk berseminar di luar negeri harus ditingkatkan. Pengajuan promosi jabatan guru besar kini harus disertai oleh bukti-bukti publikasi ilmiah di jurnal prestisius. Tanpa publikasi, karier dosen atau peneliti sulit untuk menggapai jenjang profesor atau profesor riset. Di suatu PTN scopus citation index lebih dari tiga hanya dicapai oleh beberapa orang guru besar, padahal jumlah guru besar di PTN tersebut hampir 150 orang. Adalah sangat penting bahwa menulis di jurnal ilmiah hendaknya menjadi tradisi di kalangan ilmuwan. Di Universitas Wageningen Belanda disertasi mahasiswa S- 3 dibuat dalam format manuskrip berupa artikel-artikel ilmiah baik yang sudah dipublikasi di jurnal ilmiah maupun yang sedang dalam tahap dikirimkan untuk dimuat. Pola semacam ini sangat baik diterapkan di universitas-universitas di Indonesia. Dosen pembimbing bersama mahasiswa S-3 menjadi terpacu untuk mempublikasikan hasil-hasil risetnya. IPB telah mewajibkan mahasiswa pascasarjananya untuk menulis hasil tesis/disertasinya di jurnal ilmiah sebelum mahasiswa menempuh ujian/sidang karya ilmiah. Peringkat perguruan tinggi ternama di Indonesia seperti UI, ITB, UGM, ataupun IPB di tingkat dunia masih bisa ditingkatkan meski kini telah menjadi bagian dari 500 universitas top di dunia. Salah satu indikator universitas bermutu adalah publikasi ilmiah para dosennya yang dimuat di jurnal internasional. Potret buram publikasi ilmiah dosen Indonesia dapat menggagalkan cita-cita untuk meraih predikat research university. Keinginan untuk menempatkan riset sebagai pilar membangun perguruan tinggi yang bermutu terkendala oleh kegiatan penelitian yang belum optimal. Di tengah-tengah upaya pemerintah untuk menyejahterakan dosen melalui sertifikasi, para dosen diharapkan lebih banyak berkarya di perguruan tinggi masing-masing. Jangan sampai dosen lebih banyak ngasong (bekerja di luar) daripada berkomitmen mengajar, membimbing mahasiswa, dan meneliti di kampusnya sendiri.
  • 36. 36 Dosen atau ilmuwan yang suka menulis di koran tidak perlu dikritik. Pernah muncul istilah ilmuwan empat halaman karena untuk menulis di media massa hanya diperlukan pemikiran sepanjang empat halaman kuarto. Sebenarnya tidak perlu membandingkan karya tulis ilmuwan yang dimuat di koran dengan yang dimuat di jurnal ilmiah. Tidak semua dosen bisa menulis di koran, tetapi semua dosen harus bisa menulis di jurnal ilmiah. ALI KHOMSAN Guru Besar Departemen Gizi Masyarakat, FEMA IPB
  • 37. 37 Kampus dan Tragedi Narkoba Koran SINDO 17 November 2014 Berita itu sangat mengagetkan. Sulit dipercaya, tetapi nyata adanya. Seorang guru besar pada universitas negeri tersohor di wilayah timur Indonesia terlibat pesta sabu. Dalam perasaan gundah dan penasaran, saya mencoba konfirmasi ke seorang sejawat di universitas tersebut. Berita itu dinyatakan benar. Hati saya semakin terguncang. Betapa tidak? Sejak 2001 hingga hari ini saya selalu mondar-mandir ke universitas tersebut dalam rangka kerja sama. Selama ini tidak ada ihwal aneh, mencurigakan, ataupun mengkhawatirkan. Segalanya berjalan lancar, tertib, dan teratur. Secara jujur saya akui bahkan banyak keunggulan yang dimiliki universitas ini dibanding universitas lain. Jumlah dosen bergelar doktor dan memiliki jabatan guru besar (profesor) sedemikian banyak. Kualitas akademik alumninya tergolong tinggi. Buktinya, antara lain, hampir pada semua lembaga negara di negeri ini alumninya menduduki jabatan penting. Benarkah tragedi ini isyarat bahwa benteng mentalitas akademik insan-insan kampus telah jebol dilanda dekadensi moral narkoba? *** Tak terbilang, telah berulangkali, dimintakan perhatian kepada semua pihak agar hati-hati terhadap segala bentuk kejahatan narkoba. Kejahatan jenis ini bukan sekadar biasa, melainkan kejahatan luar biasa. Memiliki daya bunuh terhadap semua orang, lintas generasi, dan mampu memorak-porandakan kehidupan bangsa. Karena itu, perlu waspada, diikuti langkah-langkah sistematis dan berkesinambungan dalam pencegahan maupun penindakannya. Pada dimensi hukum, ingin diingatkan bahwa perang terhadap narkoba tidak cukup bersenjatakan aturan hukum formal, penegakan hukum secara mekanis-prosedural dan teknologis. Sebagai kejahatan luar biasa, narkoba perlu diperangi dengan komitmen tinggi berbasis visi kultural kebangsaan. Dimensi hukum ini dalam ranah filosofis sering dipadankan dengan ”semangat kebangsaan”. Tanpa mengurangi rasa hormat atas langkah dan prestasi yang dicapai penegak hukum, saya melihat perang terhadap narkoba selama ini seakan terjebak pada kegiatan-kegiatan teknis sehingga dapat dikatakan bahwa semangat kebangsaan tidak melekat dan menjiwai perjuangan melawan narkoba. Mungkin karena peredaran narkoba dipandang sebagai kegiatan teknis, terkait dengan perdagangan, tertuju untuk keuntungan finansial. Bila hal demikian latar belakang dan orientasinya, masuk akal bahwa perang terhadap narkoba identik dengan berjudi. Siapa pemenangnya, akan ditentukan oleh pemain yang pandai dan terampil
  • 38. 38 memutarkan koin, fulus, atau uang. Penjahat narkoba secara empiris boleh jadi jauh lebih piawai ketimbang penegak hukum dalam perjudian itu. Alhasil, penjahat narkoba mudah lolos dari jeratan hukum. Kejahatan narkoba pun terus berjalan, bahkan meningkat, dan merambah semua strata sosial. Perang terhadap narkoba hendaknya disadari sebagai perang semesta, gerakan nasional, dijiwai semangat kebangsaan. Antara penegak hukum dan masyarakat mesti gotong royong sesuai dengan posisi dan fungsi masing-masing, mencegah dan berani menindak segala bentuk kejahatan narkoba. Di situ akan tergambarkan bahwa karakter bangsa amat menentukan intensitas perang terhadap narkoba. Keberadaan hukum bukan sebagai prasyarat, melainkan sekadar alat atau senjata agar kemenangan mudah dicapai. Katakanlah, hukum yang ada masih lemah, banyak kekurangannya, hendaknya tidak dijadikan alasan untuk kalah perang terhadap narkoba sebab dengan berbekal semangat kebangsaan dapat secara kreatif digunakan senjata lain di luar hukum. Karakter normatif itulah senjata di luar hukum yang mampu menggantikannya. *** Sebagai orang kampus, saya merasakan betul bahwa pendidikan dan pengajaran selama ini kurang memberikan dorongan dan ruang gerak untuk tumbuh dan berkembangnya karakter normatif. Sejak kita masuk era Reformasi, di situ karakter pragmatis, materialis, dan hedonis amat mewarnai karakter bangsa, utamanya generasi muda. Segala kesenangan hidup, ingin diraih melalui cara-cara instan, ingin cepat sampai pada sasaran, tanpa hirau terhadap moral dan hukum. Menjadi bandar, pengedar, atau pengguna narkoba, bila dirunut sampai ke basis moral dan hukum, tiada lain merupakan wujud karakter pragmatis, materialis, dan hedonis tersebut. Memasuki era globalisasi, perdagangan bebas, dan perang terhadap narkoba secara jujur kita rasakan semangat kebangsaan kian lemah. Secara teoretis, apa yang kita lakukan sekarang adalah membangun suatu etos Indonesia bersih, sehat, kokoh, dan mandiri, tetapi tanpa landasan, rancang bangun, dan visi yang jelas. Mengutip kata-kata Satjipto Rahardjo (2003), ”ibarat mengarungi samudra luas, sambil berlayar, kita perbaiki perahu kita”. Dapat dibayangkan, ketika tiba-tiba badai menerpa, dapatkah kita bertahan di atas perahu pecah? Kejahatan narkoba boleh dipandang sebagai badai besar dan ganas yang melanda kehidupan kita sebagai bangsa. Untuk membangun kembali semangat kebangsaan, founding fathers telah memberikan modal berharga yakni Pancasila. Sivitas akademika mestinya menjadi figur teladan, manusia bertakwa, adil, dan beradab. Atas dasar Pancasila, secara moral dan hukum semangat kebangsaan dapat dibangun melalui pendidikan di ranah keluarga, sekolah,
  • 39. 39 lingkungan, dan pendidikan tinggi. Dari kampus, perang terhadap narkoba digelorakan sebagai semangat kebangsaan. Tragedi guru besar dan narkoba tidak cukup diratapi. Pangkat dan derajat hakikatnya adalah ujian. Keburukan dan kebaikan yang merupakan standar penilaian amal manusia bahkan sesungguhnya ujian dan cobaan. Apalagi kekayaan dan kemiskinan, harta benda dan jiwa, semuanya adalah sarana dan sekaligus bentuk konkret ujian. Karena itu, tragedi guru besar dan narkoba harus benar-benar disikapi secara objektif dan proporsional, dijadikan cambuk untuk mawas diri seraya melakukan otokritik. Kendatipun kita sebagai bangsa merupakan umat yang satu (ummatan wahidah), namun secara empiris- objektif, ternyata kebersatuan kita rapuh bila sudah terjangkit narkoba. Yuk, dengan semangat kebangsaan, kita bersihkan kampus dari narkoba. Wallahu a’lam. PROF DR SUDJITO SH MSI Guru Besar Ilmu Hukum dan Kepala Pusat Studi Pancasila UGM
  • 40. 40 Semangat Kebangsaan Ala Viking Koran SINDO 17 November 2014 “Padamu Persib aku berjanji//Padamu Persib aku berbakti//Padamu Persib aku mengabdi//Bagimu Persib jiwa raga kami.” Yel-yel itu bergema dalam grand final bergengsi Indonesia Super League (ISL) 2014 antara Persib melawan Persipura di Stadion Jakabaring, Palembang. Yang menarik adalah nilai-nilai kebangsaan yang dulu digelorakan oleh para pejuang kemerdekaan, kini berubah menjadi sebuah spirit pembelaan terhadap tim kesayangan. Spirit heroik kebangsaan itu berubah menjadi heroik kepahlawanan ala Bobotoh Persib yang sebagian besar menyebut dirinya Viking. Bagi seorang kesatria Viking, kemenangan Persib adalah pertaruhan harkat, martabat, dan kehormatan diri. Demi sebuah kehormatan, apa pun dipertaruhkan. Lamun ceuk urang lembur mah top pati jiwa raga, kadieukeun kahormatan kaula (Kalau kata orang kampung, ambil jiwa ragaku, kembalikan kehormatanku). Puluhan ribu orang pergi meninggalkan Tanah Pajajaran, sekarang Tanah Jawa Barat, ngaleut ngeungkeuy ngabandaleut, ngemat-ngemat nyatang beusi, henteu nyatang pinang sabab tangkal jambena geus euweuh dituaran dipake maen rebutan, ari melak henteu, ari nuar beuki... (berbondong-bondong menggunakan bus meniti jembatan besi, bukan jembatan pinang sebab pohon pinangnya sudah habis ditebangi untuk lomba panjat pinang... enggak suka menanam, tapi gemar menebang). Itulah ciri kita kini, gerakan menanam pohon di mana-mana, tapi pohon semakin jarang sebab selesai pencanangan, pohon yang baru saja ditanam habis dimakan kambing, padahal biaya upacaranya lebih mahal dibanding biaya menanam pohonnya. Keberangkatan ke Jakabaring dilakukan dengan berbagai cara, ada yang cukup ongkos, ada yang menjual beras, menjual telepon seluler (ponsel), yang penting bisa sampai ke tempat tujuan. Kujual baju celana, ini semua demi Persib ..., nu penting mah asal nepi ka tempat anu dituju, rek lalajo Persib final geus lila hayang juara ... (yang penting sampai ke tempat yang dituju, hendak menonton Persib di final sudah lama ingin jadi juara). Itulah tekad balad Viking sejati. Gemuruh sorak-sorai histeria dramatik di Jakabaring adalah ekspresi dari spirit patriotik tanpa batas untuk melakukan pembelaan secara dramatik terhadap tim kesayangan yang telah memberikan rasa suka dan rasa duka, membakar seluruh emosi dirinya sebagai garda terdepan, pembela, penjaga martabat dan kehormatan Persib. Gelombang spirit bergemuruh
  • 41. 41 secara masif sehingga Viking menjadi kekuatan sosial yang cukup tangguh dalam membangun rasa solidaritas, kebersamaan adalah kekuatan yang sulit dikalahkan; yang satu tersakiti, yang lain menjerit penuh emosi. *** Jiwa patriotik sebagai pembela kehormatan sejati melahirkan sifat nekat tanpa batas, entah berapa banyak sang kesatria yang terjatuh dari atas kereta, terjatuh dari mobil atau motor, entah berapa yang meninggal, saya tidak punya data tentang itu. Tetapi, berbagai peristiwa tragis itu tidak menyurutkan kobaran semangat yang terus membara dalam dada para kesatria Viking , hujan angin dor dar gelap taya tempat keur ngiuhan, sanajan awak rancucut nu penting mah Persib meunang... (hujan angin, petir menyambar-nyambar, tiada tempat untuk berteduh, sekalipun badan kuyup yang penting Persib menang). Andai saja seluruh emosi kecintaan terhadap Persib yang luar biasa itu berubah menjadi emosi kebangsaan, betapa hebat bangsa ini memiliki rakyat yang sangat ideologis, penuh jiwa kesatria, rela berkorban, saling menolong dengan sesama, dan siap berperang membela bangsanya manakala negara terancam. Kalau begini, tidak akan ada yang berani merendahkan kepada bangsa kami. Di pentas yang lain, kegaduhan di Gedung Parlemen yang merupakan dampak dari grand final pertarungan politik nasional terus berkecamuk. Tetapi, gemuruhnya hanya ada dalam potret media, pertikaian para kesatrianya tidak lagi memengaruhi emosi apalagi membangun gegap gempita dan heroisme para pendukungnya. Realita tersebut menunjukkan bahwa saat ini konsolidasi politik ideologis tidak lagi mendapat tempat dalam relung batin masyarakat. Saat ini sangat sulit menggerakkan orang atas nama ideologi dan politik tanpa diimbangi bekal dan logistik yang cukup. Rapat-rapat akbar tidak bisa dilaksanakan manakala distribusi logistik tidak turun ke konstituen, sagalana kudu nyampak (semua harus tertata dan tersedia), kaos yang tinggal pakai, bus yang tinggal ditumpangi, makanan yang tinggal dimakan, ditambah bekal untuk anak dan istri yang ditinggalkan di rumah. Pokoknya, maju tak gentar membela yang bayar... Maju terus pantang mundur, kitu oge mun aya ongkosna (itu pun kalau ada ongkosnya). Ideologi warna-warni menghiasi pentas politik kita, tidak ada lagi konsistensi dalam sebuah dukungan politik. Hari ini berpakaian Partai A, besok berpakaian Partai B, lusa berpakaian Partai C. Lumayan, dapat jatah kaos gratis lima tahun sekali. Seorang konstituen bisa mengoleksi tujuh kaos, kalau urusan memilih, kumaha aing we... (terserah saya). Mereka berprinsip kalau tidak oleh saya, mau sama siapa lagi. Kalau tidak sekarang, kapan lagi. Mumpung ada yang memberi, terima saja karena kalau sudah jadi, pasti lupa lagi. Sekalipun demikian, tidak semuanya begitu, masih ada pemilih yang ikhlas dan fanatik. Persoalan inkonsistensi pilihan bukan hanya pada pemilih. Watak itu juga kini menjadi watak para kesatria. Pundung saeutik, pindah partai atawa nyieun partai. Geus biasa eta mah ...
  • 42. 42 (tersinggung sedikit, pindah partai atau membuat partai baru). *** Perubahan karakter pemilih mungkin karena kekecewaan mereka, karena terlalu lama mereka menanti kepastian janji para kesatria untuk mewujudkan mimpi indah sebagai bangsa yang makmur dan bermartabat. Janji manis para pemimpin seringkali kandas menjadi cinta yang bertepuk sebelah tangan, manakala kursi kekuasaan sudah ada dalam genggaman. Seluruh konstituen seringkali menuai kehampaan, proses komunikasi yang sering terputus pascaijab kabul perkawinan politik. Pintu sang suami politik yang sering terkunci, jarak yang semakin jauh, pertemuan yang semakin jarang dan hanya dibatasi oleh formalitas bernama kunjungan kerja atau reses, telah melahirkan gairah ranjang politik yang hambar. Senyum manis, bisikan cinta yang indah, tatapan penuh kasih, janji hidup bersama dalam suka dan duka kini semua hilang, dengan satu pertanyaan: Mau dibawa ke mana hubungan kita ... Konstituen mengalami kesepian melewati malam yang panjang, penuh kegalauan. Kekecewaan itu melahirkan sikap pilihan politik tanpa cinta dan rasa. Aku akan menjadi jablay politik, akan kuterima setiap bingkisan dan amplop dari siapa pun, yang penting hasrat politikku terpuaskan dari pada aku harus menderita, sakit hati karena janji yang tak pasti. Sakitnya tuh di sini di dalam hatiku... Sakitnya tuh di sini janjimu itu palsu. Sikap saling tidak percaya tercermin juga dari kegundahan para politisi karena visi politik berubah menjadi transaksi politik. Waktu sang kesatria datang masyarakat tak mau mendengar apa yang diucapkan, tapi lebih mengajukan pilihan-pilihan yang harus dipenuhi, masjid omeaneun, madrasah sumbangeun, majelis taklim banguneun, jalan aspaleun, duit bawaeun. Pokona mah riweuh we lah... dengan sebuah garansi dapat suara pada waktunya. Tetapi, ketika perhitungan dilakukan, seluruh bayangan itu sirna. Katanya janjinya seribu suara, eeh ... dapatnya seratus. Masih mending dapat seratus, kadang ada yang hanya dapat 10 suara, bahkan ada yang tidak mendapat suara sama sekali termasuk tim sukses dan saksinya pun tidak memilih saya. Asa ku tega-tega teuing, nyeri nyeri teuing moal bisa diubaran, kajeun tutumpuran paeh ge teu panasaran... (teganya... teganya... teganya...). Efek buruk dari semua itu, tidak sedikit kesatria yang memilih untuk tidak mencintai konstituennya sepenuh hati, malah lebih memilih melakukan prostitusi politik, beli saja lima tahun sekali, andai kata gagal pun tidak sakit hati. Aduh aduh, nu milih dianggap jablay... (jarang dibelai, cukup lima tahun sekali). *** Ini untuk para pemilih politik saatnya kita belajar dari Viking. Hidup penuh solidaritas, pantang menyerah, dan rela berkorban. Mencintai Persib-nya sepenuh hati. Untuk para kesatria politik, belajarlah dari Persib dan Persipura, bertanding penuh sportivitas, tak ada
  • 43. 43 kebencian, yang ada hanya tangis kegembiraan bagi sang pemenang, dan tangis kesedihan bagi yang kalah. Selesai bertanding persaudaraan tetap terjaga. Betapa bahagianya, kalau menjadi pemimpin pendukungnya seperti Viking, bisa jadi berpolitik tanpa biaya. Setelah berkuasa, tinggal memenuhi seluruh janji dan sumpah setia pada pemilihnya dengan tidak berpindah ke lain hati. Jadi Bobotoh dan Viking-nya adalah guru politik solidaritas kita, tapi yang tidak boleh itu Viking dan Bobotoh menjadi alat politik bagi kita karena akan mencederai sumpah kesatria seorang Viking yang berbunyi: Demi Persib aku rela untuk mati... Wilujeng kanggo Pak Umuh sareng sadaya bobotoh. Mugia Mang Ayi Beutik bagja di alam pangbalikan. DEDI MULYADI Bupati Purwakarta
  • 44. 44 Meneguhkan Ideologi Muhammadiyah Koran SINDO 18 November 2014 Pada 18 November 2014, Muhammadiyah merayakan Hari Kelahiran (Milad) Ke-102. Yang patut disyukuri, sejak didirikan hingga memasuki abad kedua ini Muhammadiyah tetap konsisten berjuang di ranah kultural. Tidak sekalipun Muhammadiyah tergoda menjadi partai politik. Itu berarti habitat Muhammadiyah yang sesungguhnya adalah berkiprah di bidang sosial keagamaan. Tatkala merayakan milad ada baiknya aktivis Muhammadiyah membaca ulang testimoni Nurcholish Madjid (Cak Nur). Menurut Cak Nur, Muhammadiyah merupakan organisasi Islam modern yang terbesar di dunia, lebih besar dari organisasi mana pun di dunia Islam. Dilihat dari segi kelembagaannya, Muhammadiyah juga sangat mengesankan, lebih dari organisasi Islam di mana pun dan kapan pun. Muhammadiyah memiliki jaringan organisasi yang cukup teratur mulai pusat, provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, dan desa/kelurahan. Karena itulah, Cak Nur menegaskan bahwa Muhammadiyah merupakan salah satu cerita sukses di kalangan organisasi Islam, tidak saja secara nasional, tapi juga internasional. Pernyataan Cak Nur ini sebagian dari pandangan yang bernada memuji kiprah Muhammadiyah dalam panggung sejarah pergerakan organisasi Islam. Aktivis Muhammadiyah seharusnya menjadikan pernyataan positif Cak Nur sebagai penyemangat. Apalagi kini Muhammadiyah telah melampaui usia satu abad. Selain menerima pujian, Muhammadiyah juga banyak dikritik. Di antara pernyataan bernada kritik dikemukakan Azyumardi Azra. Menurut Azra, Muhammadiyah memang layak disebut gerakan pembaru (tajdid), terutama di bidang amal usaha. Tetapi, dalam bidang pemikiran keagamaan, Muhammadiyah lebih tepat disebut gerakan salafiah. Itu karena tekanan ideologi gerakan Muhammadiyah adalah pemurnian (purifikasi) di bidang aqidah dan ibadah. Cerminan dari usaha purifikasi Muhammadiyah tampak dalam kegiatan dakwah untuk memberantas takhayul, bid’ah, dan churafat (TBC). Pada level praksis, semua ahli sepakat mengatakan bahwa Muhammadiyah layak disebut gerakan pembaru. Melalui teologi al-Maal-Maun (al-Maal-Maunisme) Muhammadiyah telah membuktikan diri sebagai gerakan yang sangat menekankan pentingnya amal saleh. Dengan menekuni wilayah praksis sosial keagamaan berarti Muhammadiyah telah melaksanakan prinsip a faith with action. Dalam bahasa warga Muhammadiyah prinsip ini dikenal dengan dakwah bil hal (mengajak dengan amalan dan tindakan konkret). Muhammadiyah juga mempraktikkan ajaran sedikit berbicara banyak bekerja, berdisiplin,
  • 45. 45 bekerja keras, dan tanggung jawab secara organisasi. Khusus mengenai ajaran tanggung jawab pada organisasi ini barangkali dapat disebut sebagai yang orisinal dari Muhammadiyah. Saat Muhammadiyah didirikan Ahmad Dahlan, bentuk pertanggungjawaban umumnya dilakukan secara individual. Melalui pertanggungjawaban secara organisatoris itu Muhammadiyah akhirnya mendapat kepercayaan dari umat. Hasilnya, Muhammadiyah mampu melahirkan banyak amal usaha, terutama di bidang pendidikan, kesehatan, dan pelayanan sosial lain. Tetapi, justru dengan amal usaha yang semakin banyak Muhammadiyah dihadapkan pada berbagai persoalan. Misalnya, energi Muhammadiyah nyaris habis hanya untuk kegiatan rutin mengurus amal usaha. Dengan meminjam istilah beberapa intelektual muda, Muhammadiyah tampak seperti ”gajah gemuk” yang semakin lamban dalam memberikan respons terhadap tantangan zaman. Akibat itu, kontribusi pemikiran Muhammadiyah di bidang sosial keagamaan terasa sangat kurang. Pada konteks inilah Muhammadiyah perlu melakukan revitalisasi ideologi agar mampu menampilkan diri sebagai gerakan amal sekaligus gerakan ilmu. Buya Syafii Maarif merupakan salah satu tokoh yang konsisten menyuarakan agar Muhammadiyah mampu menyandingkan gerakan praksisme dan gerakan intelektualisme. Dengan menampilkan diri sebagai gerakan intelektual, di samping gerakan praksis, Muhammadiyah memasuki abad kedua secara cemerlang. Itu karena intelektualisme dapat menjadi sumber energi yang luar biasa bagi Muhammadiyah, terutama dalam rangka memberikan pencerahan pada kehidupan keberagamaan di Nusantara. Diakui atau tidak wajah Islam Indonesia akhir-akhir ini telah diwarnai persaingan yang sangat tajam antara kelompok Islam fundamentalis dan liberalis. Kelompok Islam fundamentalis dengan dalih ingin mengembalikan amalan keagamaan sebagaimana dicontohkan generasi awal Islam telah mengalami distorsi yang luar biasa. Misalnya, simplifikasi identitas keislaman melalui simbol pakaian berjubah, memakai celak, berjenggot, dan bercelana di atas tumit. Meski beberapa identitas keislaman ini memiliki rujukan dalam ajaran Islam, menyederhanakan Islam dengan ihwal yang bersifat kategoris seperti itu jelas melenceng dari substansi ajaran Islam. Sebaliknya, kelompok Islam liberal yang mengusung tema reaktualisasi ajaran juga menimbulkan banyak kontroversi. Misalnya, kelompok Islam liberal dikatakan telah mengotak-atik ajaran yang dianggap mapan oleh umat Islam. Penerjemahan kalimat thayyibah; ‘la ilaha illallah’ dengan ‘tiada tuhan selain Tuhan’, merupakan salah satu contoh kreasi kelompok Islam liberal yang menimbulkan kontroversi berkepanjangan. Menghadapi perdebatan dan persaingan dua mazhab pemikiran Islam yang senantiasa memutlakkan kebenaran kelompoknya, Muhammadiyah dapat menampilkan diri sebagai mediator. Dalam hal ini Muhammadiyah dapat menjalankan fungsi management of ideas di antara berbagai mazhab pemikiran.
  • 46. 46 Yang perlu dilakukan Muhammadiyah pada berbagai mazhab pemikiran (school of thought) adalah mengajak mereka untuk bergerak ke posisi tengah (al-wasath). Ajakan untuk bersikap moderat ini akan efektif jika ditempuh melalui dialog yang tulus dan tidak saling mengklaim kebenaran. Jika dialog ini dilakukan secara berkelanjutan, pada saatnya kita akan menyaksikan wajah Islam Indonesia yang moderat dan toleran terhadap berbagai keragaman. Karena itulah, posisi tengah (median position) ini penting sebagai tempat berpijak berbagai mazhab pemikiran. Jika Muhammadiyah berhasil menjadi mediator yang baik bagi berbagai mazhab pemikiran keagamaan, ini akan menjadi kontribusi yang luar biasa bagi perkembangan Islam Indonesia. Untuk kepentingan ini, jelas dibutuhkan seperangkat ilmu. Karena itulah, Muhammadiyah harus meneguhkan ideologinya agar mampu menjadi gerakan praksis sekaligus gerakan intelektual. Akhirnya diucapkan selamat milad bagi warga Muhammadiyah. Semoga dengan usia lebih dari satu abad, matahari Muhammadiyah bersinar semakin terang. Dengan demikian, Muhammadiyah mampu menjadi gerakan pencerahan (al-harakah al-tanwiriyah) bagi umat, bangsa, dan negara. BIYANTO Dosen UIN Sunan Ampel dan Ketua Majelis Dikdasmen PW Muhammadiyah Jawa Timur
  • 47. 47 Lakon DPR Dadi Ratu Koran SINDO 18 November 2014 Ketika kekuasaan negara dibagi ke dalam trias politica, di dalamnya tidak lagi ada keraguan bagi para pemimpin bangsa, bagi para penyelenggara negara, bagi politisi maupun para intelektual dan ahli hukum, terutama hukum tata negara; bahwa trias politica itu bukan hanya merupakan solusi filosofis terhadap tingkah laku politik penguasa otoriter, melainkan juga merupakan petunjuk teknis mengenai batas-batas kewenangan antara legislatif, eksekutif, dan yudikatif . Dalam rumusan lebih teknis lagi, siapa ”duduk” di mana, ”memikirkan” apa, dan ”mengerjakan” kewajiban kenegaraan macam apa, ibaratnya seperti kitab suci bagi kaum beriman. Di sana tidak ada lagi pertanyaan karena segala urusan sudah jelas dan tinggal perkara pelaksanaannya di dalam hidup sehari-hari. Dalam tingkat kesadaran filosofis seperti ini, tak perlu dikatakan bahwa dunia sebenarnya telah mengubur kaum zalimin, raja-raja dan para penguasa otoriter yang selamanya enggan berbagai kekuasaan dengan siapa pun, kecuali dengan diri sendiri. Mereka dikutuk nenek moyang kita dengan kemarahan yang bijak: raja adil raja disembah, raja lalim raja disanggah. Kita tahu kutukan itu berlaku secara turun-temurun hingga hari ini. Naluri dan kesadaran kerakyatan kita tajam. Perlawanan kita terhadap orang-orang zalim juga kuat. Tiap saat mereka kita amati. Tak peduli bahwa mereka berbaju rohaniwan atau berlagak demokratis. Kita sudah paham sepaham-pahamnya bahwa tak mungkin ada kaum otoriter yang bisa berubah mendadak menjadi orang suci seperti para santo dan wali-wali. Tidak ada pesakitan yang tiba-tiba menjadi orang saleh. Tidak ada dan tak mungkin ada keanehan seperti itu. Hiruk-pikuk politik yang membikin nilai rupiah kita anjlok dan ”harga” bangsa kita di bidang kerakyatan seperti kembali ke zaman jahiliah, yang diperlihatkan DPR kita sekarang, membuktikan itu. Oleh karena itu, tugas politik kita menjaga, dengan saksama, agar mereka tak bisa leluasa berbuat kerusakan lebih lanjut. Kita mengawal mereka terus-menerus. Tiap saat gejala kejahatan itu terlihat, kita meneriakinya. Mungkin persis seperti kita menjaga padi di sawah menjelang panen: tiap saat kita mengusir gerombolan ribuan burung yang merusak padi kita. Orang Jawa memiliki mitologi yang menganggap kuburan Dasamuka di Gunung Somawana di Kendal, Jawa Tengah. Di dekat gunung itu ada gunung lain lagi yang disebut Gunung Kendalisada. Di tempat ini Anoman bertapa sambil selalu siap siaga menjaga agar roh
  • 48. 48 Dasamuka tak bangkit lagi dan tak pernah lagi berbuat kerusakan di muka bumi. Itu tugas ”politik” paling utama yang dipanggul Anoman. Kenyataannya, roh penjahat itu sering tiba-tiba bangkit lagi dan merasuki manusia untuk berbuat kerusakan. Sering hal itu terjadi pada saat Anoman lengah. Seolah kebangkitannya merupakan ejekan bahwa biarpun dunia tak boleh dirusak oleh penjahat, kesempatan selalu muncul atau sengaja dimunculkan oleh penjahat itu. Di luar mitologi Jawa, tetapi di dalam politik kita, sebenarnya para penjahat ibaratnya otomatis sudah ”terkubur” begitu dunia menerima gagasan trias politica. Tapi sebenarnya kita tak pernah tahu di mana kuburan para penjahat politik itu. Kita hanya diberi tahu sedikit rahasia alam: roh-roh jahat itu setiap saat bangkit bukan di Gunung Somawana, melainkan di Senayan. Mereka bersuara mengerikan seperti Dasamuka. Tapi bukan hanya itu. Suara Mak Lampir pun terdengar. Begitu juga hawa panas dari Betari Durga. Representasi simbolik Duryudana dan Sengkuni, yang kejahatannya menggetarkan gunung-gunung dan menimbulkan gempa bumi dan aneka macam bencana terus-menerus selama masa pemerintahan yang lalu, kelihatannya sekarang muncul lagi di Senayan. Inilah ironi sejarah yang paling getir. Orang-orang yang disuruh menjaga tukang copet malah mencopet. Tugas pokok memelihara keseimbangan jagat malah mengguncang-guncang jagat. Papan catur nasional, tempat seluruh rakyat bermain untuk mengontrol agar pemerintah tidak lagi bisa berbuat seenak sendiri, malah dikuasai secara mutlak, bukan untuk mewakili kepentingan rakyat, melainkan untuk kepentingan mereka sendiri, orang per orang, partai per partai, dan kepentingan persekongkolan Dasamuka, Mak Lampir, Duryudana, dan Sengkuni, dibantu Durga. Mereka rapat siang malam dibayar dengan uang negara dan mengesankan bahwa mereka bekerja keras sampai kadang-kadang rapat ditunda, lalu dilanjutkan lagi, seolah mereka itu pahlawan yang sedang berjuang. Kecuali orang tua, anak-istri, dan suami atau partai mereka sendiri, siapa yang percaya bahwa mereka sedang berbuat baik bagi seluruh bangsa? Para wakil rakyat itu tidak mewakili rakyat. Jika diamati baik-baik, di sana ada orang-orang itu gigih membuat citra seolah dirinya paling saleh di muka bumi. Ada pula yang suka ngeden-ngeden dan minta dipercaya bahwa dia demokratis. Banyak pula yang mewakili simbol demokrat atau mantan aktivis lembaga swadaya masyarakat, tetapi tak kurang-kurangnya mereka yang masih tetap 100% Orde Baru yang terlatih menipu. Semua unsur itu tampil menjadi suatu kekuatan menakutkan. Mereka bersorak-sorai untuk merampas hak-hak politik rakyat. Mereka yang mewakili partai besar bebas berbuat mencla- mencle, plintat-plintut dalam sikap maupun dalam omongan. Jarang yang bisa dipercaya. Di layar televisi, tampak wajah-wajah yang tak jelas kiblatnya, tetapi mereka berbicara atas nama rakyat. Mereka mengira rakyat masih sebodoh zaman Orde Baru.