SlideShare a Scribd company logo
1 of 144
1 
DAFTAR ISI 
INDONESIA, BANGSA MARITIM YANG TERSESAT 
Bagus Jatmiko 4 
DEMOKRASI DAN KEPATUHAN 
Janedjri M Gaffar 8 
TATA KELOLA KOMUNIKASI PEMERINTAHAN BARU 
Gun Gun Heryanto 11 
PEPESAN KOSONG KOALISI TANPA SYARAT 
Moch Nurhasim 14 
OPOSISI JUGA SEKSI 
Iding Rosyidin 17 
PEMILIHAN WAKIL GUBERNUR DKI: UJIAN “PANAS” KOALISI 
MERAH PUTIH 
Eko Ardiyanto 20 
PEJABAT PUBLIK & SISTEM POLITIK 
Dinna Wisnu 22 
MENGAPA HENDROPRIYONO? 
Bawono Kumoro 25 
MELACAK AKAR KONFLIK ARAB-YAHUDI 
Faisal Ismail 28 
KEADILAN SUBSTANTIF 
Moh Mahfud MD 31 
DEMOKRASI INDONESIA 
Firman Noor 34 
ANALISIS DAMPAK REGULASI 
Romli Atmasasmita 37 
PENUMPANG GELAP JOKOWI-JK 
Bambang Soesatyo 40 
PARASIT DI TUBUH POLRI 
Marwan Mas 43 
GAWAT DARURAT HUKUM KONSERVATIF 
Moh Mahfud MD 46 
ABORSI PADA KASUS PEMERKOSAAN
2 
Sofyan Hasdam 48 
KOALISI ABADI 
Sarlito Wirawan Sarwono 50 
ANAS DAN OPINI YANG BERUBAH 
Ma’mun Murod Al-Barbasy 53 
PENGUNDURAN DIRI JOKOWI 
Zainal Arifin Mochtar 57 
MUNIR, 10 TAHUN MENOLAK LUPA 
Tom Saptaatmaja 60 
KORUPSI DI SEKTOR MIGAS 
Marwan Batubara 63 
DUA PRESIDEN 
Andi Syafrani 66 
PERUBAHAN SISTEM DAN POLEMIKNYA 
M Alfan Alfian 70 
PILKADA YANG KONSTITUSIONAL, DEMOKRATIS, DAN EFISIEN 
Ahmad Yani 73 
PENGUNDURAN DIRI AHOK 
Muhammad Tri Andika 76 
MK BUKAN LEGISLATIF 
Moh Mahfud MD 78 
PARADOKS PILKADA LANGSUNG ATAU TAK LANGSUNG 
Moch Nurhasim 80 
KEPASTIAN ARAH PENYELESAIAN SENGKETA PILKADA 
Samsul Wahidin 83 
PRESIDENSIAL PASCA-PEMILU 2014 
Janedjri M Gaffar 86 
MORALITAS VS EFISIENSI 
Romli Atmasasmita 89 
RUSAK AKIBAT PILKADA LANGSUNG 
Bambang Soesatyo 92 
QUO VADIS PILKADA? 
Ma’mun Murod Al-Barbasy 96
3 
KITA DAN REFERENDUM SKOTLANDIA 
Dinna Wisnu 99 
FEDERASI ADVOKAT INDONESIA 
Amzulian Rifai 102 
WAJAH GANDA JOKOWI-JK 
Romanus Ndau Lendong 105 
KADO PAHIT DI AKHIR JABATAN 
Marwan Mas 108 
KELIRUMOLOGI DALAM HUKUM 
Moh Mahfud MD 111 
ADVOKAT DALAM CENGKERAMAN POLITIK 
Andi Syafrani 113 
HADIRKAN FAKTA YANG BENAR (I) 
Anas Urbaningrum 116 
HADIRKAN FAKTA YANG BENAR (II) 
Anas Urbaningrum 119 
HADIRKAN FAKTA YANG BENAR (III) 
Anas Urbaningrum 122 
PLEIDOI ANAS, MERINDU KEADILAN 
Ma’mun Murod Al-Barbasy 125 
PELANTIKAN ANGGOTA DPR YANG TERSANGKUT KORUPSI 
Jamal Wiwoho 128 
DEMOKRASI BUKAN UNTUK MENYESATKAN 
Arissetyanto Nugroho 131 
MEMPERSOALKAN KONSISTENSI JOKOWI 
Bambang Soesatyo 134 
KELIRUMOLOGI KEADILAN SUBSTANTIF 
Moh Mahfud MD 137 
BECERMIN PADA NEGARA HUKUM YANG RETAK 
W Riawan Tjandra 139 
PEMBEBASAN BERSYARAT: KELIRU ASAL, MELESET TUJUAN 
Reza Indragiri Amriel 142
4 
Indonesia, Bangsa Maritim yang Tersesat 
Koran SINDO 
23 Agustus 2014 
Indonesia adalah negara kepulauan, itu adalah sebuah fakta yang tak terbantahkan, dengan 
lebar wilayah yang menyamai Amerika Serikat. 
Sebutan Indonesia sebagai negara maritim sudah merupakan julukan yang melekat selama 
ini, melihat kondisi geografis Indonesia dengan menimbang fakta bahwa tiga perempat 
wilayah teritorial Indonesia merupakan wilayah perairan. Namun, ada hal yang belum 
disepakati bersama dan mungkin masih menjadi bahan perdebatan, adalah kenyataan apakah 
Indonesia, dilihat dari sudut pandang pemerintah dan juga rakyatnya sendiri, sudah bertindak 
sesuai dengan takdir geografisnya sebagai sebuah negara maritim kepulauan ataukah masih 
jauh dari hal tersebut? 
Beberapa pihak akan menyatakan bahwa arah pembangunan Indonesia sudah cukup sesuai 
dengan kondisi geografis kepulauan yang dimiliki, apabila dilihat dari beberapa kebijakan 
pemerintah serta berbagai event internasional yang telah diadakan di bidang kemaritiman. 
Namun, anggapan ini akan segera mendapatkan bantahan dari pihak lainnya yang 
menyatakan bahwa hal tersebut belum cukup sebagai indikasi bahwa Indonesia telah kembali 
menjelma sebagai sebuah negara maritim besar. 
Justru sebenarnya Indonesia masih jauh dari layak untuk mendapatkan sebutan negara 
maritim, terutama bila dilihat dari sudut kebijakan pemerintah secara keseluruhan dan 
bagaimana rakyat Indonesia memandang negerinya sendiri yang sama sekali tidak 
mencerminkan garis kebijakan dan wawasan sebuah bangsa maritim. 
Hal ini karena tidak konsistennya kebijakan pemerintah yang ada saat ini dengan fakta 
geografi Indonesia yang merupakan negara kepulauan terbesar di dunia sehingga Indonesia 
dapat disebut sebagai sebuah negeri yang menyangkal takdirnya sendiri. Untuk memahami 
alasan di balik semua ini, kita harus melihat kilas balik sejarah Indonesia untuk dapat melihat 
alasan penyebab hal ini terjadi. 
Jauh sebelum era kolonialisme yang berlangsung lebih dari tiga abad, masyarakat Indonesia 
adalah orang-orang yang berorientasi maritim yang dapat terindikasi dari warna budayanya 
serta juga sistem pemerintahannya yang bercorak maritim. Namun, setelah masa kolonial, 
yang diawali oleh Spanyol, kemudian Portugal serta Belanda, sebagai kolonialis paling lama 
di bumi Indonesia, terjadi pergeseran karakteristik bangsa Indonesia secara sistematis karena 
pengaruh para kolonialis yang didominasi oleh dasar pemikiran kontinental yang kemudian 
mengikis pemahaman asli bangsa Indonesia yang sejatinya berjati diri sebagai bangsa
5 
maritim. Sebagai konsekuensi dari perubahan pola pikir tersebut, prioritas kebijakan 
pembangunan nasional pun bergeser jauh tanpa mempertimbangkan lagi sektor maritim 
sebagai faktor penting di tataran strategis perkembangan bangsa. 
Tindakan ini sangat disesalkan karena merupakan indikasi yang sangat jelas bahwa negara 
dengan sengaja mengabaikan aset dan mungkin juga kekuatan terbesarnya. Arah 
perkembangan ekonomi nasional yang lebih menekankan pada sektor agraria (agrikultur) 
daripada sektor maritim (akuakultur) sudah terjadi selama lebih dari tiga dekade di bawah 
rezim Orde Baru dan masih berlanjut hingga sekarang. 
Akibatnya, Indonesia lebih dilihat sebagai negara yang berorientasi pada pertanian daripada 
berorientasi pada maritim. Sudut pandang demikian juga membuat fokus pengembangan 
wilayah yang lebih ke arah daratan, yang juga berefek samping pada pengabaian 
pembangunan di wilayah pesisir, belum lagi pembangunan pulau-pulau kecil di daerah 
perbatasan. 
*** 
Pengabaian pentingnya sektor maritim juga dapat mengakibatkan terciptanya daerah-daerah 
vakum yang disebabkan ketiadaan peran pemerintah di daerah tersebut. Daerah vakum ini 
kemudian akan diisi entitas-entitas lain selain dari pemerintahan yang sah. Di banyak daerah 
yang ditelantarkan pemerintah, kekosongan tersebut akan diisi kekuatan-kekuatan lain yang 
dapat mengambil bentuk seperti organisasi kriminal, pemberontak, bahkan memungkinkan 
munculnya klaim wilayah dari negara lain terhadap daerah vakum tersebut. 
Bukti akan fakta pahit ini adalah kasus Pulau Sipadan-Ligitan yang masih segar dalam 
ingatan bangsa Indonesia, ketika itu klaim pemerintah Malaysia dimenangkan Mahkamah 
Internasional (International Court of Justice-ICJ) pada tahun 2002 atas dasar penilaian 
“effective occupation” atau pendudukan efektif yang berarti bahwa justru pihak Malaysia 
yang memberikan perhatian berupa pasokan kebutuhan bagi para penduduk di pulau-pulau 
tersebut melebihi pemiliknya yang sah, Indonesia, yang pada faktanya justru menelantarkan 
mereka. 
Melihat arah perkembangan pertahanan nasional, merupakan suatu hal yang patut dicatat 
bahwa konsep pertahanan suatu bangsa akan sangat dipengaruhi oleh pola pikir pemimpin 
bangsa tersebut. Contoh dari bagaimana seorang pemimpin dapat memengaruhi sudut 
pandang suatu bangsa dapat dilihat dari fakta sejarah. Winston Churchill, mantan perdana 
menteri Inggris pada masa Perang Dunia ke-II, merupakan“ First Lord of Admiralty” atau 
semacam menteri angkatan laut Inggris Raya, sebelum menempati posisi sebagai perdana 
menteri. 
Dia paham benar bahwa Inggris Raya harus selalu menggantungkan diri pada keberadaan 
lautannya untuk dapat menahan semua ancaman yang datang. Franklin Delano Roosevelt, 
mantan presiden ke-32 Amerika Serikat, sebelum menjabat sebagai presiden AS, pernah
6 
menjabat sebagai “Assistant Secretary of the Nacy” atau deputi menteri angkatan laut dalam 
kariernya di pemerintahan AS. Dia sangat mengerti bagaimana strategi kemaritiman dapat 
memengaruhi kejayaan atau kemunduran suatu negara. 
Kedua pemimpin dunia ini merupakan beberapa contoh pemimpin yang paham akan peran 
vital sektor maritim dalam menjamin keamanan negaranya masing-masing, dan bahwa 
pembangunan sektor maritim sangat fundamental guna mendukung kekuatan sebuah bangsa. 
Bagi sebuah negara maritim, merupakan hal yang sangat kritis untuk memiliki pemimpin-pemimpinnya 
yang berwawasan, serta mempunyai perspektif maritim. 
Hal ini diperlukan agar mereka mampu mengarahkan negaranya pada kejayaan yang 
bertumpu pada kekuatan di bidang maritim. Dikarenakan kesadaran akan pentingnya 
kekuatan maritim, Sekutu mampu membalikkan keadaan terhadap musuh-musuhnya pada 
Perang Dunia ke-II. Di lain pihak, kekalahan Nazi Jerman disebabkan oleh salah satu 
faktornya adalah pengabaian kekuatan AL Jerman (Kriegsmarine) oleh Hitler sang Fuhrer 
yang kemudian berakibat fatal. 
Fokus pada sektor maritim sebagai tulang punggung pertahanan negara merupakan suatu 
keniscayaan yang harus benar-benar dimengerti oleh pemimpin sebuah negara maritim, 
terutama bagi sebuah negara kepulauan terbesar di dunia. Poros pertahanan sebuah negara 
maritim sudah semestinya bertumpu kepada aspek kemaritiman. Hal ini bertolak belakang 
dengan apa yang digariskan Indonesia saat ini, yang justru mengabaikan sektor pertahanan 
maritimnya. 
Harus dicatat bahwa kekuatan maritim suatu bangsa terletak tidak hanya pada angkatan 
lautnya atau hanya sebatas pada kesatuan penegak hukum maritimnya, juga seperti yang 
ditekankan oleh Geofrey Till, penulis buku Sea Power bahwa kekuatan maritim itu juga 
melingkupi semua pihak dalam lingkup kemaritiman, termasuk pihak-pihak di sektor 
nonpemerintahan yang juga akan melingkupi sektor swasta. 
Para pelaku maritim nonpemerintah ini terdiri atas agensi-agensi yang mempunyai 
kepentingan terhadap aktivitas kemaritiman, seperti galangan kapal, industri perkapalan, 
perusahaan pelayaran, agensi keamanan maritim, serta asosiasi-asosiasi kemaritiman lainnya 
yang sebagian besar dari mereka berasal dari sektor swasta. 
Peran serta para pelaku maritim ini sangat krusial dalam upaya untuk mengembalikan 
kejayaan maritim bangsa Indonesia yang sebenarnya merupakan takdirnya bangsa ini yang 
sebenarnya. Tugas mulia ini akan menjadi mustahil untuk dilakukan apabila hanya ditangani 
oleh pemerintah tanpa adanya peran serta dari para pelaku maritim tersebut di atas. 
Kita sebagai bangsa Indonesia mempunyai tanggung jawab yang besar terhadap diri kita 
sendiri, dan juga kepada rekan sebangsa lainnya, untuk mengembalikan haluan negara kita 
yang salah arah selama ini, yang terhentakkan keluar dari jalurnya oleh perjalanan sejarah.●
7 
MAYOR BAGUS JATMIKO 
Perwira TNI AL, Kandidat Master dalam Bidang Analis Pertahanan di Naval Postgraduate 
School, Monterey, California
8 
Demokrasi dan Kepatuhan 
Koran SINDO 
25 Agustus 2014 
Kamis, 21 Agustus 2014 lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutus perkara 
perselisihan hasil pemilu presiden dan wakil presiden (pilpres) dengan amar putusan 
menyatakan menolak permohonan pemohon. 
Proses persidangan perkara perselisihan hasil pilpres yang menentukan presiden dan wakil 
presiden Indonesia untuk masa jabatan lima tahun ke depan ini mendapat perhatian besar, 
baik dari masyarakat dalam negeri maupun luar negeri. Pembacaan putusan perkara Nomor 
1/PHPU.PRES-XII/2014 ini pun menyudahi proses politik pilpres dengan berbagai konstelasi 
yang melingkupinya. 
Penyelesaian perkara perselisihan hasil pemilu, baik terkait dengan perselisihan hasil pemilu 
anggota lembaga perwakilan (pileg) maupun pilpres, tidak hanya keberhasilan bagi MK, 
namun juga bagi segenap bangsa Indonesia karena telah berhasil menjalani pemilu secara 
damai dalam menentukan pemerintahan yang akan datang. Keberhasilan bangsa Indonesia 
menjalani dua pemilu pada 2014 ini juga merupakan bentuk nyata keberhasilan menjalankan 
prinsip negara hukum yang demokratis dan negara demokrasi berdasarkan hukum. 
Final dan Mengikat 
Pasal 24C UUD 1945 antara lain menyatakan bahwa MK berwenang mengadili pada tingkat 
pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk memutus perselisihan tentang hasil 
pemilu. Sifat final dalam putusan MK mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and 
binding). Artinya, putusan MK langsung memperoleh kekuatan hukum sejak diucapkan dan 
tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh. Putusan MK wajib dipatuhi dan 
dilaksanakan. Ini adalah perintah konstitusi sebagai wujud kesepakatan bersama segenap 
warga negara. 
Desain putusan MK bersifat final dan mengikat tentu tidak dapat dilepaskan dari hakikat 
keberadaan MK dalam konteks negara hukum yang demokratis dan negara demokrasi 
berdasarkan hukum. MK adalah pengadilan konstitusi yang memeriksa, mengadili, dan 
memutus obyek sengketa atau perkara dengan ukuran konstitusionalitas. Pada posisi ini MK 
menjadi penafsir akhir konstitusi yang harus menghindari ambiguitas atau pertentangan tafsir 
demi berjalannya kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang konstitusional. Karena itu, 
diperlukan satu otoritas akhir di tangan hakim konstitusi yang ketika menjatuhkan putusan 
akan menghilangkan semua perbedaan.
9 
Dalam konteks demokrasi, otoritas akhir penentu perselisihan hasil pemilu diperlukan agar 
kontestasi pemilu yang tak berkesudahan tidak terjadi. Agar otoritas akhir pemutus 
perselisihan hasil pemilu memiliki legitimasi yang diakui semua pihak, ia harus bersifat 
independen dan imparsial terhadap aktor-aktor yang terlibat dalam pemilu, baik peserta 
maupun penyelenggara. Hakim akan memeriksa, mengadili, dan memutus perkara secara 
mendalam berdasarkan keadilan hukum. Hal ini sekaligus merupakan wujud nyata kepatuhan 
proses politik terhadap putusan hukum. 
Konstruksi ini dapat dijumpai di semua negara-negara demokrasi modern, terlepas dari 
perbedaan pengadilan mana yang diberi kewenangan memutus perselisihan hasil pemilu. 
Legalitas putusan final dan mengikat harus disertai legitimasi sehingga melahirkan 
kepatuhan. Legitimasi itu bersumber dari proses persidangan, personal hakim, dan 
argumentasi putusan. Proses persidangan harus berjalan secara adil dan transparan, 
memberikan kesempatan yang sama kepada semua pihak serta dapat diikuti oleh masyarakat. 
Transparansi sangat penting karena putusan yang akan dijatuhkan dapat dinilai dengan rasio 
publik. Legitimasi juga ditentukan oleh personal hakim yang memeriksa, mengadili dan 
memutus perkara. 
UUD 1945 mensyaratkan hakim konstitusi adalah seorang negarawan yang menguasai 
konstitusi. Negarawan memiliki makna yang luas, namun setidaknya dapat diartikan sebagai 
seseorang yang sudah terlepas dari kepentingan individu dan kelompok politik. Kepentingan 
bangsa dan negaralah yang menjadi orientasi satu-satunya. Sumber legitimasi ketiga adalah 
argumentasi putusan. Bagian utama putusan yang menjadi kekuatan legitimasi adalah 
argumentasi yang menjadi pertimbangan hukum putusan. 
Pertimbangan hukum putusan yang komprehensif, mempertimbangkan semua alat bukti dan 
fakta yang terungkap di persidangan, serta memiliki kejelasan nalar hukum akan menjadi 
sumber utama legitimasi putusan itu sendiri. Pasal 24C UUD 1945 adalah sumber legalitas 
konstitusional putusan MK yang bersifat final dan mengikat. MK sadar sepenuhnya akan arti 
strategis putusan yang dijatuhkan. Karena itu, putusan harus memiliki legitimasi kuat dengan 
cara menggelar persidangan yang adil dan transparan, menjaga independensi dan 
imparsialitas hakim, serta menyusun pertimbangan hukum putusan secara komprehensif dan 
mendalam. 
Kepatuhan 
Legalitas dan legitimasi adalah dasar bagi kepatuhan. Suatu putusan yang legal dan memiliki 
legitimasi kuat dengan sendirinya akan mendatangkan kepatuhan. Kepatuhan adalah 
kesediaan untuk menerima dan menjalankan putusan, tidak selalu terkait dengan persetujuan, 
apalagi kepuasan. Terhadap perkara yang melibatkan dua atau lebih pihak yang saling 
berhadapan hampir tidak mungkin ada putusan yang disetujui oleh semua pihak, apalagi 
memuaskan. Kita patut bangga bahwa putusan MK dalam perkara PHPU Presiden 2014 
dipatuhi oleh semua pihak, dalam arti diterima dan dihormati, baik oleh pemohon, termohon, 
maupun pihak terkait.
Kebanggaan ini tidak semata-mata milik MK, melainkan milik bangsa Indonesia yang telah 
menunjukkan kedewasaan dalam berdemokrasi sesuai prinsip negara hukum yang demokratis 
dan negara demokrasi berdasarkan hukum. Kepatuhan tersebut tentu tidak mensyaratkan 
adanya persetujuan atau kepuasan. Artinya, bisa saja ada pihak yang masih tidak setuju atau 
tidak puas dengan putusan yang telah dijatuhkan, namun dalam hal ini yang terpenting adalah 
putusan itu diterima, dihormati, dipatuhi dan dilaksanakan sebagai hukum. 
Dalam konteks perselisihan hasil pilpres, putusan MK adalah putusan akhir yang bersifat 
final dan mengikat. Kalaupun masih terdapat proses hukum atau proses politik lain yang 
dilakukan harus ditempatkan bukan sebagai forum untuk mempersoalkan hasil pilpres, 
melainkan lebih untuk memperbaiki penyelenggaraan pilpres di masa yang akan datang. 
Hanya dengan kepatuhan demikian demokrasi dapat berlanjut ke tahapan yang lebih 
substantif, yaitu proses pengambilan keputusan dan penyelenggaraan pemerintahan yang 
senantiasa melibatkan partisipasi masyarakat. Semua pihak harus berpartisipasi, baik sebagai 
pemegang pemerintahan maupun sebagai penyeimbang. Keduanya harus ada dan dijalankan. 
● 
10 
JANEDJRI M GAFFAR 
Doktor Ilmu Hukum, Alumnus PDIH Universitas Diponegoro, Semarang
11 
Tata Kelola Komunikasi Pemerintahan Baru 
Koran SINDO 
Senin, 25 Agustus 2014 
PERHELATAN pemilihan umum yang reguler dilakukan setiap lima tahunan telah usai 
dengan beragam cerita yang mengiringinya. Kita patut bersyukur, meskipun tensi politik 
sangat panas sebagai ekses polarisasi dukungan terhadap dua arus utama pasangan 
capres/cawapres, pada akhirnya bangsa kita dewasa menyikapinya. 
Pemilu secara umum berjalan damai dan tiap pihak menghormati hukum, peraturan, etika, 
dan keadaban publik sebagai saluran berkompetisi. Ke depan jalan panjang terbentang, terjal 
dan butuh daya tahan luar biasa saat menghadapi tantangan nyata dari dalam maupun luar 
negeri. 
Tantangan Global 
Presiden terpilih lima tahun ke depan akan dihadapkan pada kompleksitas persolan di segala 
lini. Karena itu, butuh kemauan dan kemampuan untuk mengelola sumber daya alam, sumber 
daya manusia, sumber daya politik berupa dukungan, dan public trust sebagai modal sosial. 
Salah satu tantangan faktual di era baru ini adalah pengelolaan komunikasi pemerintahan 
dalam optimalisasi peran di dalam negeri, kawasan maupun dunia internasional. Ada 
sejumlah tantangan nyata di depan mata yang mengharuskan pemerintah memiliki visi 
komunikasi yang jelas, terarah, dan adaptif dengan konteks perubahan yang terjadi. 
Tantangan geopolitik terutama kompetisi di kawasan ASEAN dan dunia. Geopolitik 
mengkaji makna strategis dan politis suatu wilayah geografi mencakup lokasi, luas, serta 
sumber daya alam wilayah tersebut. Geopolitik mempunyai empat unsur pembangun, yaitu 
keadaan geografis, politik dan strategi, hubungan timbal balik antara geografi dan politik, 
serta unsur kebijakan. 
Kondisi geografi suatu negara tentu sangat memengaruhi berbagai aspek dalam 
penyelenggaraan negara bersangkutan seperti pengambilan keputusan, kebijakan politik luar 
negeri, hubungan perdagangan. Jika kita identifikasi ada sejumlah tantangan nyata di depan 
mata. 
Pertama, tahun 2015 Indonesia dihadapkan pada tantangan mulai berlakunya Masyarakat 
Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community). Pemberlakuan action dari Masyarakat 
Ekonomi ASEAN ini bertujuan memenuhi target MDGs (Milennium Development Goals). 
Kesepakatan ASEAN Free Trade Area (AFTA) mengharuskan kita mampu bersaing secara
12 
sehat di berbagai bidang. 
Dengan konsep area ASEAN sebagai pasar tunggal, pembebasan bea tarif masuk antarnegara 
dan kerja sama saling menguntungkan mengharuskan Pemerintah Indonesia mengoptimalkan 
strategi komunikasi di kawasan. Indonesia harus meyakinkan pihak lain sebagai engine of 
growth bagi ekonomi kawasan dan dunia. Strategi komunikasi digunakan untuk promosi 
ekspor, membangun global brand, standardisasi internasional, penetrasi pasar baru di luar 
negeri, serta mengelola citra dan reputasi produk lokal kita kompetitif dalam persaingan 
global. 
Kedua, di skala global, Indonesia juga menjadi anggota The Group of Twenty (G-20) atau 
lazim dikenal dengan sebutan G-20. Dalam konteks kerja sama ini pun Indonesia belum 
tampil optimal. Indonesia terjebak utang yang besar dan cadangan devisa yang lemah. 
Kita kerapkali tak punya tawaran yang spesifik, bahkan kerap dipandang sinis bahwa 
keberadaan Indonesia hanya menjadi kanal kepentingan Amerika untuk merayu India dan 
China. Tentu stigma negatif ini harus diubah dengan mengoptimalkan peran di G-20 untuk 
kemajuan Indonesia. 
Ketiga, tantangan zona perang informasi global yang bersifat asimetris (zone of asymetric 
warfare) yang tak lagi berbasis gerakan militer sebagaimana kita pahami dalam konsep 
perang konvensional, melainkan melalui penetrasi informasi. Misalnya di pengujung 2013, 
SBY dan sejumlah pejabat Indonesia lainnya gusar sekaligus marah saat mengetahui 
penyadapan yang dilakukan Australia. 
Ironis memang karena Australia dan Indonesia merupakan negara bertetangga yang pasti 
memiliki banyak persinggungan kepentingan. Laporan yang dipublikasikan harian Australia 
Sydney Morning Herald (SMH), Kamis (31/10/2013), menyebutkan negara-negara di Asia 
Timur dan Tenggara termasuk Indonesia menjadi objek penyadapan berskala global. 
Tentunya dunia terperangah! Harian ternama Inggris The Guardian juga melaporkan Badan 
Keamanan Nasional AS (NSA) telah memantau komunikasi 35 pemimpin negara pada tahun 
2006, termasuk Kanselir Jerman Angela Merkel dan Presiden Brasil Dilma Rousseff. 
Bocornya dokumen intelijen dari whistleblower bernama Edward Snowden yang dulu bekerja 
di NSA ini membuka mata banyak pihak bahwa perang informasi itu kini bersifat asimetris. 
Belum lagi tantangan perang cyber. Fenomena seperti ini dibahas panjang lebar oleh Richard 
A Clarke dan Robert K Knake dalam bukunya Cyber War (2010) sebagai serangan 
kontemporer yang harus diwaspadai bagi keamanan nasional. 
Metode seperti ini misalnya yang dipilih Wikileaks yang membocorkan dokumen-dokumen 
rahasia untuk memerangi korupsi dan rezim ketertutupan informasi. Beberapa informasi yang 
dibocorkan Wikileaks juga pernah menohok kehormatan SBY dan pemerintahan Indonesia.
13 
Prioritas Pemerintah 
Tata kelola komunikasi nasional juga harus menjadi prioritas pemerintahan baru. Komunikasi 
sangat vital sehingga perlu ditempatkan pada posisi yang strategis. Pemerintah baru harus 
mampu mengelola harapan publik yang begitu tinggi dan menjaga modal sosial berbentuk 
public trust. 
Sejumlah tindakan komunikasi bisa dilakukan misalnya dengan mengoptimalkan akses 
informasi dari pemerintah untuk masyarakat, sosialisasi program jangka pendek, menengah 
dan panjang secara sistematis, kanal aduan, sinergi komunikasi antarlembaga pemerintah, 
komunikasi strategis terkait isu kontekstual yang muncul dari kondisi yang membutuhkan 
respons cepat pemerintah. 
Pemerintah harus memiliki blue print yang jelas mengenai pengelolaan opini publik, public 
relations politik, marketing komunikasi, komunikasi sosial, komunikasi internasional, 
komunikasi antarbudaya dll. Oleh karena begitu penting dan strategisnya komunikasi bagi 
pemerintahan baru diperlukan kebijakan dan tata kelola komunikasi yang optimal. 
Presiden SBY telah mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 1 Tahun 2014 yang 
ditandatanganinya pada 20 Januari 2014 mengenai pembentukan Dewan Teknologi Informasi 
dan Komunikasi Nasional (Detiknas). Detiknas adalah lembaga koordinasi eksekutif yang 
dibentuk dan diketuai Presiden Republik Indonesia melalui Surat Keputusan Presiden 
Republik Indonesia No 20 Tahun 2006. Detiknas memiliki visi untuk mempercepat 
pertumbuhan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) di Indonesia secara efisien dengan 
membuat kebijakan TIK secara nasional melalui sinkronisasi program-program TIK di 
seluruh kementerian/lembaga. 
Sayangnya, peran dewan ini antara ada dan tiada! Ke depan, menurut saya, harus ada tata 
kelola yang lebih fokus pada sinkronisasi komunikasi nasional dan internasional. Mampu 
merumuskan kebijakan umum, arahan strategis, koordinasi sistemik guna menyelesaikan 
persoalan komunikasi pemerintahan baru. 
DR GUN GUN HERYANTO 
Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta dan Pengurus Pusat Ikatan Sarjana Komunikasi 
Indonesia (ISKI)
14 
Pepesan Kosong Koalisi Tanpa Syarat 
Koran SINDO 
26 Agustus 2014 
Hasil keputusan Mahkamah Konstitusi (MK), 21 Agustus 2014 telah mengukuhkan Joko 
Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) sebagai presiden terpilih dan tinggal menunggu pelantikan 
pada 20 Oktober 2014 mendatang. Keputusan MK yang menolak seluruh gugatan pasangan 
capres Prabowo Subianto-Hatta Rajasa menyebabkan dinamika politik koalisi yang kian 
menarik. 
Masalahnya, apakah model koalisi yang digagas oleh Jokowi sebagai koalisi yang tanpa 
syarat dapat diwujudkan. Beberapa kali Jokowi mengingatkan agar partai pendukungnya 
berkoalisi tanpa syarat dan menteri yang terpilih melepaskan jabatan partai politik (parpol). 
Artinya, tidak ada syarat apa pun termasuk soal jabatan menteri ketika kemudian dalam 
pilpres menang (KORAN SINDO, 12/8). 
Gagasan Jokowi sebagai presiden terpilih di atas bukan tanpa tantangan. Secara ideal bisa 
saja dilakukan, tetapi politik adalah politik, penuh dinamika, onak, dan duri. Dengan 
dukungan yang kecil dari partai pengusung di parlemen, amat mustahil konsep koalisi tanpa 
syarat dapat diterapkan. PDIP sebagai partai utama pendukung Jokowi hanya memperoleh 
109 kursi (19,46%). Jika ditambah dengan kursi Nasdem 6,25%, PKB 8,39%, dan kursi 
Hanura 2,85% dari 560 kursi DPR, tampak jelas modal dan dukungan presiden terpilih sangat 
minim. Total jumlah kursi pendukung Jokowi hanya 207 kursi atau 36,96%. 
Selain dukungan yang minim, publik pun tahu presiden tidak bekerja sendiri dalam 
memutuskan kebijakan. Memang benar Jokowi-JK sebagai pemenang pemilu yang langsung 
dipilih oleh rakyat. Akan tetapi, Indonesia menganut sistem presidensial yang meniscayakan 
adanya hubungan kerja sama antara presiden dan DPR dalam membuat kebijakan. 
Argumentasi presiden memiliki legitimasi karena dipilih langsung oleh rakyat, sama halnya 
dengan mengasumsikan presiden dalam menjalankan roda pemerintahan dapat bekerja 
sendiri. 
Dalam sistem presidensial, ada perbedaan mendasar antara relasi DPR-presiden dan presiden- 
DPR dalam membangun mekanisme checks and balances. Format hubungan DPR-presiden 
berbeda dengan hubungan presiden-DPR untuk sebuah proses kebijakan atau lahirnya sebuah 
undang-undang. DPR posisinya lebih tinggi, karena sebuah undang-undang tanpa persetujuan 
presiden secara otomatis akan berlaku setelah 30 hari. Sebaliknya, kebijakan presiden tanpa 
dukungan DPR dengan mudah akan dihentikan di tengah jalan.
15 
*** 
Dengan kondisi seperti itu, pernyataan Jokowi, presiden terpilih yang menyatakan bahwa 
koalisi yang akan dibentuk adalah koalisi tanpa syarat, ibarat menegakkan benang basah. 
Artinya, secara politik koalisi tanpa syarat dan struktur kabinet tanpa menteri dari partai 
hampir mustahil dilakukan. Ibaratnya, tak ada dukungan yang gratis, dan tak ada dukungan 
politik yang tidak menginginkan jabatan kekuasaan di pemerintahan. 
Membayangkan kabinet Jokowi-JK tanpa orang-orang partai ibarat membangun 
pemerintahan yang selalu berada dalam ancaman. Pengalaman di era Gus Dur, Mega, dan 
SBY dapat menjadi contoh, dengan kabinet yang didukung oleh partai politik yang 
jumlahnya cukup signifikan saja, seperti Presiden Gus Dur yang diusung poros tengah saja 
dimakzulkan. Begitu pula dengan beberapa kasus kebijakan SBY yang ditentang keras oleh 
DPR, padahal SBY membangun pemerintahannya dengan koalisi yang besar, hampir 70% 
partai koalisinya menguasai kursi parlemen. 
Dalam konteks seperti itu, PDIP sebagai partai pengusungnya lebih realistis. PDIP menyadari 
dengan kekuasaan koalisi 36% di parlemen, masih perlu mencari kawan baru untuk 
bergabung. Pilihannya hanya satu, menarik partai yang sudah berkoalisi dengan Prabowo- 
Hatta atau Partai Demokrat yang ingin menjadi partai penyeimbang. Dengan modal partai 
pendukung yang kecil pula, Jokowi mengalami dilema dalam melakukan negosiasi dengan 
partai-partai yang akan diajak berkoalisi. Sebut sebagai contoh, penolakan PKB atas gagasan 
Jokowi agar menteri tidak merangkap jabatan partai dan PKB menagih janji jatah menteri, 
termasuk menteri agama, adalah sinyal awal bahwa koalisi tanpa syarat bukan tanpa masalah. 
Sama halnya dengan itu, keinginan untuk menarik kawan baru apakah PPP, Partai Demokrat, 
atau Golkar, menurut hemat penulis bergantung pada tawaran yang akan diberikan. Istilahnya 
tak ada jatah menteri, tak ada dukungan, tidak mungkin ada politik yang gratis, partai 
dibentuk untuk berkuasa, pasti mereka memiliki kepentingan untuk memperoleh jabatan. 
Dengan kekuatan yang hanya 36,96% pula, rasanya hampir mustahil menegakkan kepala 
dengan mengatakan bahwa koalisi tidak boleh macam-macam, partai yang mendukung tidak 
boleh meminta balas budi, dan semua kuasa hanya ada pada presiden terpilih. 
Situasi itulah yang kini sedang dihadapi oleh PDIP dan Jokowi. Itulah realitas politik yang 
sedang bergolak di dalam. Pencitraan bahwa calon-calon menteri sedang digodok dengan 
mekanisme keikutsertaan publik dalam mengusulkan nama-nama adalah sebuah proses yang 
bisa menjadi antiklimaks. Proses penyusunan struktur kabinet yang dikemukakan ke publik 
sebagai kabinet yang profesional, ramping, dan minim orang partai, dapat saja mengangkat 
nama presiden terpilih. Tetapi sebaliknya apabila bertentangan dengan susunan nama-nama 
kabinetnya, justru akan memunculkan kekecewaan politik dan awal ketidakpercayaan 
terhadap presiden terpilih. 
Komunikasi yang mulai gencar dilakukan oleh PDIP dan sejumlah pihak pendukung presiden 
terpilih memperlihatkan pula bahwa mereka merasa “tidak aman”. Kekuatan oposisi yang
16 
berasal dari barisan Merah Putih Prabowo yang terdiri atas PAN, PPP, Golkar, PKS, dan 
Gerinda, jika benar akan permanen dan tak ada yang membelot adalah sebuah buldoser 
oposisi dengan penguasaan 52,14%. Sebuah kekuatan oposisi yang bukan saja akan 
mengancam, melainkan justru dapat menimbulkan “huru-hara” politik di parlemen. Oleh 
karena itu, wacana koalisi tanpa syarat, tidak ada bagi-bagi jabatan dapat disebut sebuah 
pepesan kosong, sesuatu yang mustahil terjadi. 
Apa maknanya? Kontestasi koalisi pascakeputusan MK adalah sebuah proses koalisi yang 
sedang dibangun oleh presiden terpilih untuk mengamankan dukungan politiknya di 
parlemen. Dalam suasana politik Indonesia saat ini, adakah koalisi yang ikhlas, koalisi tanpa 
imbal jasa? ● 
MOCH NURHASIM 
Peneliti pada Pusat Penelitian Politik-LIPI
17 
Oposisi juga Seksi 
Koran SINDO 
27 Agustus 2014 
Kini pasangan Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK) telah resmi sebagai presiden dan 
wakil presiden Republik Indonesia periode 2014-2019 setelah Mahkamah Konstitusi (MK) 
menolak seluruh gugatan yang dilayangkan pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. 
Upaya-upaya hukum yang ditempuh penggugat, dengan demikian, telah berakhir karena 
keputusan MK bersifat final dan mengikat. Terkait masalah ini, banyak pertanyaan yang 
muncul tentang bagaimana masa depan Koalisi Merah Putih yang beranggotakan partai-partai 
politik pendukung pasangan nomor urut dua tersebut. Apakah mereka akan tetap berkoalisi 
setidaknya sampai lima tahun ke depan sehingga memilih berada di luar kekuasaan ataukah 
akan bubar di tengah jalan karena sebagian anggotanya tergiur masuk ke dalam kekuasaan? 
Kekuasaan yang Menggoda 
Bukan tidak mungkin sebagian anggota Koalisi Merah Putih akan berpindah haluan untuk 
mendukung pemerintahan Jokowi-JK. Seperti diwacanakan belakangan ini bahwa Demokrat 
dan PAN tengah didekati PDIP agar bergabung ke dalam gerbongnya. Meski Demokrat 
sudah mengeluarkan pernyataan resmi untuk bersikap netral, sejumlah elite partai ini banyak 
yang melakukan pendekatan dengan partai pemenang pemilu. Sementara para elite partai-partai 
anggota Koalisi Merah Putih lain mulai melakukan manuver. 
Golkar misalnya bahkan telah cukup lama diramaikan dengan wacana penyelenggaraan 
musyawarah nasional (munas) pada Oktober 2014, dipercepat dari yang seharusnya pada 
2015 sebagaimana kesepakatan Munas VIII di Riau. Calon kuat ketua umum partai beringin 
yang muncul, Agung Laksono, tegas-tegas menyatakan akan mendukung pemerintahan 
Jokowi-JK. Jika ini terjadi, Golkar jelas akan keluar dari Koalisi Merah Putih. Hal yang sama 
juga tengah menimpa PPP. Adanya keinginan elite-elite partai politik pendukung koalisi 
untuk berubah haluan kian menahbiskan bahwa kekuasaan memiliki daya penggoda yang luar 
biasa. 
Ironisnya, di republik ini partai-partai politik dalam banyak hal kerap menggantungkan 
hidupnya pada ketiak kekuasaan. Karena itu, ketika dihadapkan pada pilihan untuk berada di 
luar, mereka seolah-olah merasa tidak akan mampu berbuat banyak. Ini diperparah dengan 
kecenderungan pragmatisme partai-partai politik tersebut di mana kursi atau kekuasaan 
merupakan segala-galanya dalam berpolitik. Politik semata-mata dimaknai seperti yang
18 
dikatakan Harold D. Lasswell sebagai siapa memperoleh apa, kapan, dan bagaimana (who 
gets what, when and how). Akibat itu, mereka lebih memilih untuk berada di dalam 
kekuasaan yang dianggapnya sebagai zona nyaman ketimbang mengambil risiko untuk 
berada di luar kekuasaan. 
Oposisi, Mengapa Tidak? 
Padahal sesungguhnya politik yang sehat memerlukan keseimbangan kekuasaan. Kekuasaan 
tanpa penyeimbang akan mudah terjatuh pada otoritarianisme dan bentuk-bentuk 
kesewenangan lain. Tesis Lord Acton yang sangat terkenal, kekuasaan cenderung korup dan 
kekuasaan absolut cenderung korup secara mutlak (power tends to corrupt and absolute 
power corrupts absolutely), tampaknya sulit dibantah. Berbagai praktik kekuasaan tanpa 
kekuatan penyeimbang dengan mudah ditemukan di negara-negara otoriter, termasuk di 
negeri ini pada masa Orba. 
Kekuatan penyeimbang tidak dapat disangkal lagi merupakan prasyarat mutlak (conditio sine 
qua non) bagi tegaknya demokrasi di negeri ini. Karena itu, partai-partai politik anggota 
Koalisi Merah Putih, kalaupun tidak semuanya, seyogianya ada yang tetap memainkan peran 
penyeimbang atau oposisi untuk lima tahun ke depan. Mereka tidak perlu ragu-ragu untuk 
menyatakan dirinya sebagai partai oposisi bagi pemerintahan Jokowi-JK. Hemat penulis, 
peran sebagai oposisi bisa menjadi sesuatu yang menguntungkan bagi partai-partai politik. 
Jika peran oposisi yang dimainkannya berjalan secara benar, besar kemungkinan oposisi akan 
menjadi investasi politik pada masa-masa yang akan datang. 
Artinya, mereka akan dapat memanen dividen investasi politik itu pada waktunya nanti. 
Demikianlah kita misalnya menyaksikan silih bergantinya partai yang berkuasa di AS. Yang 
menjadi oposisi bisa menarik hati publik sehingga kemudian mampu berkuasa pada periode 
berikutnya. Karena itu, publik sangat berharap anggota Koalisi Merah Putih seperti Gerindra, 
PKS, dan PBB, syukur-syukur juga anggota-anggota Koalisi Merah Putih lainnya, konsisten 
memainkan peran oposisi paling tidak selama lima tahun ke depan. 
Peran oposisi yang baik, menurut hemat penulis, harus diorientasikan pada ihwal berikut. 
Pertama, oposisi seyogianya didasarkan pada niat untuk melakukan politik keseimbangan 
terhadap kekuasaan. Mereka sadar sepenuhnya bahwa dalam kultur demokrasi kekuasaan 
tidak boleh dibiarkan berjalan sendiri, tapi harus ada yang mengimbanginya. Jangan sampai 
oposisi dipengaruhi oleh motif balas dendam atas kekalahan yang diderita partai-partai 
oposisi saat pemilu. Kalau motif ini yang mengemuka, bisa dipastikan peran oposisi yang 
dimainkannya tidak akan berjalan dengan baik. 
Kedua, peran oposisi harus dilakukan secara cerdas, jangan asal-asalan. Dengan kata lain, 
partai-partai oposisi harus bisa menempatkan dirinya kapan untuk bersikap kritis atas 
kebijakan pemerintah dan kapan saatnya memberikan dukungan. Asal kritis saja atau lebih 
parah asal berbeda dengan pemerintah, alih-alih akan mendatangkan simpati justru akan 
menimbulkan antipati publik. Ini malah membahayakan bagi partai-partai itu.
Ketiga, oposisi seyogianya dimaknai sebagai bentuk merawat tradisi politik yang baik di 
republik ini. Sebagaimana diketahui, budaya politik Indonesia hampir tidak mengenal tradisi 
oposisi apalagi selama kendali kekuasaan dipegang rezim Orba. Jangankan oposisi, potensi-potensi 
19 
perbedaan sikap dan pandangan dengan pemerintah saja ketika itu segera disapu 
bersih oleh penguasa bahkan dengan menggunakan kekerasan. Baru setelah memasuki 
reformasi oposisi mulai muncul meski belum menjadi tradisi politik yang melembaga. Pada 
dua periode pemerintahan kemarin misalnya PDIP telah memainkan peran oposisi dengan 
cukup baik dan kini dapat menunai hasilnya. Maka itu, sangat tepat kalau Gerindra, PKS, dan 
partai anggota Koalisi Merah Putih lain juga ikut merawat tradisi politik yang baik ini dengan 
menempuh jalur oposisi. 
Pada masa-masa yang akan datang bukan tidak mungkin kita dapat menyaksikan silih 
berganti kekuasaan di Indonesia antara penguasa dan oposisi. Dengan demikian, oposisi tidak 
lagi menjadi sesuatu yang dianggap tabu di negeri ini. Sebaliknya, ia justru isu seksi yang 
mesti dimanfaatkan partai-partai politik yang mengalami kekalahan dalam pemilu. Sekali 
lagi, tidak perlu ragu untuk menempuh jalur oposisi. 
IDING ROSYIDIN 
Dosen Komunikasi Politik FISIP UIN Jakarta dan Deputi Direktur the Political Literacy 
Institute
20 
Pemilihan Wakil Gubernur DKI: Ujian 
”Panas” Koalisi Merah Putih 
Koran SINDO 
27 Agustus 2014 
Senin (25/8) lalu 106 anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta 
dilantik dan diambil sumpahnya. Aroma pertarungan politik sudah langsung merebak di 
Kantor DPRD yang bersebelahan dengan Balai Kota tempat gubernur dan wakil gubernur 
berkantor. 
Dengan keterpilihan Joko Widodo sebagai presiden RI 2014-2019, secara otomatis sesuai 
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 26 Ayat 3, 
Wakil Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) akan naik menjadi gubernur DKI Jakarta. 
Lalu, siapa wakil gubernurnya yang akan mendampingi Ahok? Di sinilah ”ujian panas” 
pertama Koalisi Merah Putih pendukung calon presiden Prabowo Subianto-Hatta Rajasa 
ditentukan. Merujuk komposisi anggota DPRD DKI 2014-2019 kekuatan Koalisi Merah 
Putih berjumlah 57 kursi (Gerindra 15, PKS 11, PPP 10, Demokrat 10, Golkar 9, dan PAN 
2), sedangkan koalisi pendukung Jokowi-JK berjumlah 49 kursi (PDIP 28 kursi, Hanura 10, 
PKB 6, dan NasDem 5). 
Seperti diketahui, pasangan Jokowi-Ahok di Pilkada DKI diusulkan PDIP dan Gerindra, 
hanya dua partai inilah yang berhak mengajukan calon wakil gubernur ke DPRD, ini sesuai 
Undang-Undang Pemerintahan Daerah Pasal 26 ayat 4 yang isinya: ”Kepala daerah 
mengajukan dua calon wakil kepala daerah berdasarkan usul partai politik atau gabungan 
partai politik pengusungnya dulu untuk dipilih dalam rapat paripurna DPRD”. Aroma 
persaingan ”merebut” kursi DKI-2 sudah terlihat dari sikap Partai Gerindra dan PDI 
Perjuangan yang ”ngotot” mengajukan calon masing-masing. 
Dari Gerindra ada nama M Sanusi (ketua Fraksi Gerindra DPRD DKI 2009-2014) dan M 
Taufik (ketua DPD Gerindra DKI), sementara PDIP mengantongi tiga calon yakni Boy 
Sadikin (ketua DPD PDIP DKI Jakarta), Djarot Saiful (mantan Wali Kota Blitar), dan 
Bambang DH (mantan Wali Kota Surabaya). Partai Gerindra tentu akan bertarung habis-habisan 
untuk merebut kursi wakil gubernur DKI karena partai pendukung Prabowo Subianto 
ini tak ingin kehilangan muka dua kali setelah kalah di pilpres lalu. 
Tawaran-tawaran politik di panggung pimpinan DPRD DKI akan menjadi ”hadiah” jika 
anggota Koalisi Merah Putih solid. Bukan tidak mungkin, jika kursi wakil gubernur DKI diisi
kader Gerindra, ketua DPRD akan diisi anggota dari PPP atau Demokrat, sedangkan posisi 
wakil ketua DPRD dan ketua komisi akan dibagi rata pendukung Koalisi Merah Putih. 
Namun, kalkulasi politik Koalisi Merah Putih ini sebaiknya juga harus mempertimbangkan 
masukan Ahok sebagai gubernur DKI pengganti Jokowi, yang menginginkan pendampingnya 
orang yang jujur, pekerja keras, dan bisa mengimbangi sikap dinamis dirinya. 
21 
Syarat menjadi kepala daerah juga pernah disampaikan Ahok. Selain pertimbangan dari 
Ahok, Partai Gerindra sebagai motor Koalisi Merah Putih di DPRD DKI Jakarta juga harus 
memperhitungkan masa depan politik untuk pilkada selanjutnya. Jangan sampai, karena 
hanya ingin memaksakan kehendak merebut kursi DKI-2, prestasi Ahok dan wakil 
gubernurnya nanti justru menjadi bumerang. 
Fraksi Demokrat Jadi Penentu 
Hampir mirip dengan situasi di DPR pusat, Fraksi Demokrat di DPRD DKI Jakarta akan 
menjadi penentu peta koalisi. Hitungan politik Koalisi Merah Putih di DPRD DKI bisa bubar 
jalan jika Fraksi Demokrat yang memiliki 10 kursi memilih bergabung ke koalisi pendukung 
Jokowi-JK dan mendukung calon wakil gubernur yang akan diajukan PDI Perjuangan. Fraksi 
Demokrat tentu punya kalkulasi politik tersendiri, jika mereka memilih bergabung dengan 
PDIP daripada Gerindra, bisa jadi partai besutan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono 
memiliki target di Pilkada atau Pemilu Legislatif 2019 mendatang agar bisa kembali menjadi 
fraksi mayoritas seperti pada 2004-2009. Jika Fraksi Demokrat benar bergabung dengan 
PDIP, dukungan ini tentu tak ”gratis”, pasti ada tawar-menawar politik bagi kader Demokrat 
di DPRD DKI. 
Menurut prediksi penulis, selaku gubernur DKI Jakarta yang baru nanti, Ahok pasti 
menginginkan pendampingnya berasal dari koalisi yang dimotori PDI Perjuangan agar 
dukungan di legislatif semakin kuat karena Ahok yang berasal dari Gerindra dan wagub yang 
berasal dari PDIP akan memiliki kepentingan yang sama yakni kepemimpinan yang sukses 
hingga 2017. 
Jika pasangan ideal ini terwujud, masalah penyerapan Anggaran Pendapatan dan Belanja 
Daerah (APBD) tentu tidak akan menjadi masalah seperti tahun sebelumnya. Lalu, 
bagaimana akhir ”drama” pemilihan wakil gubernur DKI Jakarta ini? Jawabannya akan mulai 
terlihat pada proses pemilihan pimpinan DPRD DKI 2014-2019 hingga penetapan wakil 
gubernur. Apakah Koalisi Merah Putih akan lolos pada ”ujian panas” pertamanya ini? Kita 
lihat saja nanti. 
EKO ARDIYANTO 
Mahasiswa Program Pascasarjana Komunikasi Politik Universitas Persada Indonesia Y.A.I 
Jakarta
22 
Pejabat Publik & Sistem Politik 
Koran SINDO 
27 Agustus 2014 
Tiga hari lalu Jenderal Prayuth Chan-ocha menjadi orang nomor dua terkuat di Thailand 
setelah Raja King Bhumibol Adulyadej. Dia adalah perdana menteri ke-29 dan akan 
memimpin Thailand menuju pemilihan umum di bulan Oktober 2015. Dia saat ini masih 
menjabat sebagai kepala staf Angkatan Darat Thailand, tetapi akan memasuki masa pensiun 
pada bulan September tahun ini. 
Meski begitu masyarakat Thailand masih ragu apakah sang jenderal akan legawa meletakkan 
jabatannya mengingat sejarah sepak terjang militer sebagai kekuatan politik yang mampu 
memotong seluruh jalur prosedur demokrasi yang dibangun di Thailand. Kalaupun Jenderal 
Prayuth memiliki niat baik untuk meletakkan jabatan militernya, sang pengganti haruslah 
seseorang yang ia kenal baik dan loyal. Hal ini mengandung makna bahwa kepangkatan tidak 
menjamin loyalitas bila tidak disertai hubungan antarpribadi yang dekat. 
Selain itu, konsultasi dengan pihak kerajaan juga tidak dapat diabaikan karena Raja Thailand 
masih menjadi figur kuat dalam menentukan arah politik (termasuk upaya menuju demokrasi) 
di Thailand walaupun secara fisik beliau semakin hari lemah karena usia. Ujian terdekat 
Jenderal Prayuth adalah penyusunan kabinet. Apakah ia akan mengakomodasi kelompok 
Kaus Merah dan Kuning? Siapakah yang mendapatkan posisi penting dalam kabinet? 
Beberapa analis politik mengatakan politik tidak beda dengan sistem ekonomi pasar. Para 
aktor saling bertransaksi untuk mendapatkan legitimasi dari aktor lain. Istilah umumnya, 
tidak ada makan siang gratis. Di Amerika misalnya dikenal dengan istilah pork-barrel, yaitu 
tukar-menukar dukungan dengan mengucurkan proyek pembangunan di sebuah wilayah. 
Namun perumpamaan ini juga tidak sepenuhnya benar. Pertama karena dalam ekonomi pun 
tidak ada yang namanya persaingan bebas. Pertukaran dalam ekonomi pasar juga memiliki 
biaya yang membuat hukum permintaan-penawaran tidak selalu berjalan sempurna. Para 
ekonom menyebutnya anomali, tetapi ahli sosiologi dan politik menyebutnya sebagai aspek 
sosial ekonomi. 
Maksudnya bahwa ekonomi hidup dalam sebuah ruang yang sesak dengan berbagai macam 
sistem, aturan, nilai, moral, etika, sistem rasional, dan sebagainya. Pada saat permintaan 
BBM tinggi dan persediaan rendah, harga minyak di SPBU semestinya mengikuti hukum 
tersebut. Namun dalam kenyataannya tidak terjadi karena sistem politik menahan harga 
tersebut walaupun akibatnya pembangunan di sektor lain seperti infrastruktur, pendidikan
23 
atau kesehatan menjadi tersendat-sendat pelaksanaannya. Demokrasi Thailand adalah salah 
satu contoh terdekat yang dapat kita diskusikan. 
Demokrasi di sana selalu dibayang-bayangi dengan ketakutan akan selalu terjadinya kudeta 
militer apabila masyarakat sipil tidak dapat menyelesaikan persoalan mereka secara sipil. 
Penjelasan yang umum yang melatarbelakangi kekhawatiran itu antara lain karena sistem 
demokrasi Thailand masih mencampuradukkan antara kekuasaan monarki dan kekuasaan 
politik modern. Secara formal kekuasaan Raja Thailand telah berkurang dibandingkan 80 
tahun lalu. Ketika itu raja menyetujui desakan kaum reformis untuk memberikan hak 
konstitusi kepada warga di mana raja melepaskan kekuasaan eksekutif, yudikatif dan 
legislatif. 
Meski demikian, raja Thailand saat ini masih merupakan pimpinan tertinggi dari angkatan 
bersenjata dan memiliki kekuasaan untuk memberikan pengampunan. Kebebasan 
berpendapat dijamin selama tidak menyinggung simbol-simbol kerajaan. Siapapun yang 
melanggar akan masuk ke penjara. Pertanyaannya kemudian apakah demokrasi dengan 
percampuran antara kekuasaan raja dan sistem politik yang modern adalah sebuah bentuk 
demokrasi yang ideal untuk masyarakat Thailand? Jawabannya sangat relatif. 
Bagi kaum rational choice, demokrasi di Thailand bukan demokrasi yang ideal karena sistem 
politiknya tidak menyediakan atau mendukung tumbuhnya tindakan-tindakan rasional untuk 
mencapai tujuannya. Sistem politik harus menciptakan lingkungan di mana para aktor dan 
tindakannya didorong berpolitik dengan menggunakan etika, moral, dan pertimbangan-pertimbangan 
yang dapat diterima akal manusia khususnya etika dan moral. Apabila sistem 
politik tidak mendukung hal tersebut, yang terjadi adalah tindakan para aktor politik yang 
tidak bermoral dan tidak beretika. 
Pandangan demikian banyak berbenturan dengan kenyataan yang ada di lapangan. Contoh 
adalah China dengan sistem satu partainya. Apakah kita dapat menyatakan bahwa China 
lebih baik dari Thailand atau sebaliknya Thailand lebih baik dari China? Kaum realis-pragmatis 
berpandangan baik atau tidaknya demokrasi harus dikembalikan kepada rakyat itu 
sendiri. Apabila sistem itu tidak cocok, rakyat pasti akan menolak dan melakukan perubahan. 
Namun, apabila cocok, masyarakatnya akan baik-baik saja. 
Negara-negara sosialis sebelum Tembok Berlin runtuh menolak sistem demokrasi Barat. 
Mereka menganggap demokrasi itu adalah demokrasi borjuis. Hanya Kuba dan China yang 
secara resmi menyatakan menganut ideologi sosialis yang masih bertahan. Negara-negara 
Timur Tengah yang masih memiliki kekuasaan monarki juga menolak demokrasi tersebut 
karena terlalu sekuler dan tidak sesuai dengan ajaran agama mayoritas. Apabila kita 
menyerahkan definisi yang ideal dan tidak dari sejauh mana masyarakat bereaksi, apakah kita 
tidak terjebak dalam relativisme atau pendapat yang menyatakan tidak ada satu kebenaran 
yang sah karena kebenaran itu bersifat terbatas baik oleh waktu maupun ruang? 
Saya tidak berniat menjawab pertanyaan itu karena selain ruang yang terbatas, pertanyaan
tersebut lebih baik dijawab oleh pejabat publik yang akan menggantikan atau memperpanjang 
kekuasaan mereka seusai hiruk pikuk pemilihan legislatif dan presiden bulan lalu. 
Pertanyaan-pertanyaan seperti ini semestinya menjadi pertanyaan yang harus hidup dalam 
benak seluruh pejabat politik di Indonesia, terutama mereka yang duduk di kursi presiden, 
parlemen, kabinet, badan-badan negara dan lembaga publik lain. Para pejabat harus hati-hati 
dalam memutuskan dan bertindak karena apa yang mereka lakukan akan memiliki dampak 
yang besar kepada masyarakat. 
Para pejabat publik tidak boleh berhenti mencari jawaban ideal tentang mengapa mereka 
ingin maju dan duduk di kursi kekuasaan. Apakah karena berjuang untuk mengurangi 
kemiskinan? Berjuang memperbesar biaya pendidikan atau kesehatan? Melakukan perubahan 
untuk kehidupan toleransi atau hanya iseng demi memperbaiki status sosial ekonomi? 
Apabila para anggota parlemen tidak lagi peduli untuk mencari tahu apa yang membuat 
mereka terdorong masuk di parlemen, sejak saat itulah mereka tidak lagi berarti. ● 
24 
DINNA WISNU, PhD 
Co-Founder & Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi, Universitas Paramadina 
@dinnawisnu
25 
Mengapa Hendropriyono? 
Koran SINDO 
28 Agustus 2014 
Usai sudah pesta demokrasi lima tahunan pemilihan presiden (pilpres). Komisi Pemilihan 
Umum (KPU) telah menetapkan pasangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla sebagai pemenang 
pilpres tahun 2014 dengan perolehan 70.997.833 suara (53,15%). 
Sementara pasangan Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa memperoleh 62.576.444 suara 
(46,85%). Kemenangan pasangan nomor urut satu itu kian kukuh pascapenolakan Mahkamah 
Konstitusi terhadap gugatan perselisihan hasil pemilihan umum yang diajukan oleh pasangan 
Prabowo-Hatta pada Kamis (21/8) lalu. Berbagai pekerjaan rumah terkait kehidupan bangsa 
dan negara–baik di bidang ekonomi, politik, maupun hukum–telah menanti untuk segera 
dituntaskan setelah pasangan nomor urut dua tersebut secara resmi dilantik sebagai presiden 
dan wakil presiden pada 20 Oktober mendatang. 
Seiring dengan hal itu, presiden terpilih Joko Widodo telah membentuk tim transisi dengan 
komposisi keanggotaan Rini Mariani Soemarno, Anies Baswedan, Andi Widjajanto, Hasto 
Kristianto, dan Akbar Faizal. Beberapa tugas utama tim transisi adalah mempersiapkan hal-hal 
strategis terkait Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2015, 
mempersiapkan arsitektur kabinet, dan mempersiapkan kelancaran rencana program Joko 
Widodo- Jusuf Kalla. Pembentukan tim transisi menuai apresiasi karena dinilai sebagai 
ikhtiar politik Joko Widodo selaku presiden terpilih, untuk menghemat waktu agar 
pemerintahan mendatang dapat langsung bekerja setelah pelantikan. 
Meskipun demikian, tidak sedikit pula kritik tajam publik ditujukan kepada Joko Widodo 
terkait pembentukan tim transisi, terutama soal keberadaan tokoh kontroversial AM 
Hendropriyono di jajaran penasihat. Tidak kurang istri almarhum Munir, Suciwati, 
mengkritik keras keputusan Joko Widodo tersebut. Mantan wali kota Solo itu berdalih 
memilih AM Hendropriyono sebagai penasihat semata-mata untuk kepentingan urusan 
intelijen bagi kantor transisi. 
Sudah menjadi rahasia umum bila nama AM Hendropriyono termasuk tokoh penuh 
kontroversi dan memiliki resistensi tinggi di mata publik, terutama para aktivis dan pegiat 
hak asasi manusia (HAM). Guru besar bidang ilmu intelijen ini diduga terkait peristiwa 
pelanggaran HAM di Talangsari tahun 1989 saat menjabat danrem 043 Garuda Hitam 
Lampung. Selain itu, dia juga diduga terlibat dalam usaha pembunuhan mantan aktivis Munir 
saat menjabat sebagai kepala Badan Intelijen Negara (BIN) tahun 2004. Karena itu, wajar 
bila keberadaan nama AM Hendropriyono sebagai penasihat tim transisi mengundang 
keprihatinan publik.
Bukan tidak mungkin jabatan sebagai penasihat tim transisi merupakan awal pembuka jalan 
untuk menduduki posisi strategis di kabinet Joko Widodo mendatang, seperti menteri 
koordinator politik, hukum, dan keamanan (menko polhukam). Apalagi, AM Hendropriyono 
memiliki kedekatan dengan Megawati Soekarnoputri yang notabene ketua umum Partai 
Demokrasi Indonesia Perjuangan sekaligus mentor politik Joko Widodo. Harus diakui, dalam 
konteks Indonesia, penegakan HAM masih menjadi sebuah pekerjaan rumah besar yang 
belum dituntaskan. 
Di tengah hiruk-pikuk politik pemilihan presiden (pilpres) tahun 2014, pekerjaan rumah itu 
pun terasa kian berat untuk dituntaskan karena sejumlah tokoh terduga pelanggar HAM 
masih belum menjauh dari pusat-pusat kekuasaan negara. Atau justru kian mendekat dengan 
lingkaran terdalam kekuasaan? Sulit dipungkiri kemunculan kembali para elite dengan rekam 
jejak kelam di masa lalu di langgam politik nasional saat ini merupakan gambaran konkret 
tentang tidak adanya perasaan bersalah dan penyesalan diri atas berbagai dosa politik di masa 
lalu, termasuk masalah pelanggaran HAM. 
Keterlibatan mereka dalam kontestasi politik saat ini dapat dilihat sebagai bentuk 
ketidakrelaan tinggal di pinggiran sejarah. Ada sebuah kepercayaan besar dalam diri mereka 
dengan berkiprah di dunia politik peluang untuk masuk ke dalam lingkaran kekuasaan akan 
kembali terbuka. Boleh jadi pula mereka meyakini jabatan di pemerintahan kelak akan dapat 
melindungi mereka dari berbagai tuntutan kasus pelanggaran HAM di masa lalu. 
26 
Terkait hal itu ada baiknya apabila kita melihat pengalaman Sudan. Lima tahun lalu 
International Criminal Court mengesahkan perintah penangkapan internasional (arrest 
warrant) terhadap Presiden Sudan Omar Hassan Ahmad al-Bashir sebagai pelaku tidak 
langsung dari kejahatan perang dan kejahatan kemanusiaan di Darfur. Statuta International 
Criminal Court tidak mengakui adanya kekebalan hukum sekalipun pihak bersangkutan 
tengah menjabat sebagai kepala negara. Ditegaskan dengan jelas, seorang pejabat negara 
tetap dapat dituntut secara pidana oleh pengadilan internasional. 
Pengalaman Sudan memberikan pelajaran kepada kita semua bahwa merupakan kesalahan 
besar jika mengira sebuah jabatan politik pemerintahan dapat melindungi seseorang dari 
tuntutan hukum pelanggaran HAM. Sebagai bangsa, kita kelak tentu tidak ingin mendapatkan 
aib karena seorang pejabat tinggi negara diseret ke pengadilan internasional atas tuduhan 
pelanggaran HAM. Mungkin benar perkataan seorang tokoh bernama Mirek dalam novel The 
Book of Laugher and Forgetting karya Milan Kundera bahwa perjuangan manusia melawan 
kekuasaan merupakan perjuangan melawan lupa. 
Ketika deretan kejahatan kemanusiaan dan kekerasan oleh negara terhapus dari memori 
kolektif publik, tidak aneh bila tokoh-tokoh dengan catatan kelam di masa lalu dapat berganti 
peran menjadi seorang pahlawan. Harus diingat bila keterbukaan dan kebebasan politik kita 
nikmati di era reformasi seperti saat ini bukanlah cek kosong. Segala keterbukaan dan 
kebebasan politik itu dapat hadir karena ditebus dengan tetesan peluh dan darah dari para
27 
pejuang gerakan-gerakan reformasi. 
Kehadiran era reformasi merupakan kesempatan emas bagi negara untuk membayar lunas 
utang kepada mereka yang pernah menjadi korban rezim masa lalu. Semoga Joko Widodo 
belum lupa dan masih mengingat hal ini dengan baik sebagaimana janji-janji saat kampanye 
pilpres lalu. Menempatkan tokoh- tokoh dengan rekam jejak kelam di lingkaran kekuasaan 
cuma akan mempersingkat masa “bulan madu” Joko Widodo dengan publik. ● 
BAWONO KUMORO 
Peneliti Politik The Habibie Center
28 
Melacak Akar Konflik Arab-Yahudi 
Koran SINDO 
29 Agustus 2014 
Dari segi akidah dan syariah, bangsa Arab dan Yahudi mempunyai banyak ikatan pertalian, 
kedekatan, dan persamaan. Jika dirunut sampai ke nenek moyang, bangsa Arab dan Yahudi 
masih keturunan Nabi Ibrahim. 
Agama Islam dan agama Yahudi sama-sama melarang umatnya makan babi. Kedua agama 
sama-sama mengajarkan kepada komunitasnya untuk berkhitan. Kedua komunitas (dan 
Kristen) sama-sama menjadikan Yerusalem sebagai kota suci. Akan tetapi, karena muatan 
sentimen politik antara umat Arab dan umat Yahudi jauh lebih dominan, konflik berdarah 
pun terjadi secara turun-temurun sampai sekarang ini. 
Akar masalah konflik Arab-Yahudi bermula sejak zaman Nabi Muhammad di Madinah pada 
abad ke-7 M. Awalnya, komunitas Yahudi menandatangani Piagam Madinah dan 
menyatakan setia kepada Nabi Muhammad sebagai kepala negara. Tapi ketika Perang Ahzab 
(Khandaq) terjadi pada 627 M, komunitas Yahudi (Bani Quraizhah) berkhianat, mereka 
membantu kaum Quraisy menyerang umat Islam. Akibat pengkhianatan ini, kaum Yahudi 
banyak yang dijatuhi hukum mati. Khalifah Umar bin Khattab (634-644 M) mengusir 
komunitas Yahudi dari Madinah karena mereka merupakan musuh dalam selimut. Kaum 
Yahudi menyebar di daerah Khaibar dan sekitarnya. Keberadaan Yahudi di wilayah itu tetap 
menjadi ancaman bagi umat Islam. Karena itu, pasukan muslim menyerang dan menaklukkan 
mereka. 
Jika dihitung sejak zaman Nabi (abad ke-7 M), konflik Arab-Yahudi sudah berlangsung lebih 
dari 14 abad dan belum berakhir sampai sekarang. Jika dihitung sejak berdirinya negara Israel 
tahun 1948, konflik Arab (Palestina)-Israel sudah berlangsung selama 66 tahun. Belum juga 
ada penyelesaian politik. Tidak tercapainya penyelesaian secara adil dan permanen telah 
menyebabkan terjadinya serangkaian konflik berdarah yang mengerikan. Di tahun 1967, 
perang enam hari Arab-Israel pecah dan berakhir dengan kekalahan pihak Arab (yang 
melibatkan tentara gabungan Mesir, Suriah, Lebanon, dan Palestina). Karena tentara Israel 
memiliki persenjataan yang lebih canggih dan modern, negara zionis itu menang. Resolusi 
DK PBB agar Israel mundur ke wilayah perbatasan sebelum perang tidak diindahkan Israel. 
Sampai sekarang Israel menganeksasi Dataran Tinggi Golan milik Suriah. 
Israel menyerang Lebanon pada September 1982 dan tentaranya mengepung Sabra dan 
Shatila yang menjadi konsentrasi pengungsian Palestina. Dalam situasi terkepung, pasukan 
Kristen Maronit Falangis dengan mudah memasuki Sabra dan Shatila dan membantai rakyat 
sipil. Diperkirakan 3.500 orang terbantai (kebanyakan pengungsi Palestina). Tindakan milisi 
Kristen Falangis merupakan “balasan” terhadap milisi muslim menyusul terbunuhnya Bashir
29 
Gamayel (dari Partai Kristen Kataeb) dalam suatu ledakan bom di Beirut. Saat itu Gamayel 
dinyatakan menang dalam pemilu dan sebagai presiden terpilih. PM Ariel Sharon dan rezim 
zionis Israel harus bertanggung jawab atas terjadinya “massacre“ ini karena tentaranya 
memuluskan jalan bagi milisi Falangis ke Sabra dan Shatila untuk melakukan pembantaian. 
Agresi tentara Israel ke Gaza yang pertama terjadi pada 27 Desember 2008. Pasukan Israel 
secara gencar menyerang Gaza secara eksesif, masif, dan membabi buta. Tiga pekan lamanya 
tentara Israel melakukan serangan ke Gaza dan berakhir pada 18 Januari 2009. Pasukan Israel 
menjatuhkan berton-ton bom ke Gaza. Militer Israel melancarkan serangan dari udara, darat, 
dan laut dengan persenjataan yang modern dan canggih. Sementara Hamas hanya 
mengandalkan roket. Akibat gempuran ini, banyak korban tragis berjatuhan di pihak 
Palestina: lebih dari 1.300 orang tewas dan lebih dari 3000 orang luka-luka. Mayoritas 
mereka adalah anak-anak, wanita, dan rakyat sipil yang tidak berdosa. 
Banyak gedung, masjid, sekolah yang dikelola oleh PBB, dan rumah penduduk Palestina 
ludes. Fasilitas- fasilitas umum seperti jaringan listrik, telepon, dan saluran air bersih hancur. 
Di pihak Israel, 13 tentaranya tewas dan beberapa orang terluka terkena roket Hamas. Gaza 
sangat mengalami kekurangan makanan, air, dan aliran listrik. Rumah sakit sangat kewalahan 
merawat ratusan korban (anak-anak, perempuan, dan rakyat sipil) yang terluka. 
Dewan Keamanan (DK) PBB mengeluarkan Resolusi No 1860 yang isinya menyerukan 
kepada Israel untuk menghentikan serangannya ke Gaza. Namun, rezim zionis Israel tak 
bergeming sedikit pun dan terus menggempur Gaza. Dalam sidang DK PBB, Amerika Serikat 
(AS) abstain. Sikap politik AS—baik di bawah pemerintahan Partai Republik maupun Partai 
Demokrat—tetap pro-Israel. Gencatan senjata tercapai setelah Gaza porak poranda digempur 
tentara Israel. 
Agresi militer Israel ke Gaza yang kedua terjadi pada 8 Juli 2014. Pola, taktik, dan strategi 
serangan tentara Israel ke Gaza serupa dengan serangan pada tahun 2008-2009. Berawal 
dengan membombardir Gaza dari udara, pasukan Israel lantas menyerbu dari darat secara 
besar-besaran. Pihak Hamas, yang hanya mengandalkan roket, tidak berdaya menghadapi 
serangan tentara Israel yang menggunakan tank, senjata berat, dan rudal yang modern dan 
canggih. Israel di bawah rezim Benjamin Netanyahu mempersenjatai diri dengan Iron Dome 
yang dapat menangkis serangan roket Hamas sebelum mencapai sasaran. Dengan cara ini, 
pihak Israel dapat meminimalisasi korban penduduk sipil. 
Agresi brutal Israel ke Gaza telah menewaskan lebih dari 2.000 orang Palestina dan melukai 
lebih dari 8.000 orang Palestina (termasuk anak-anak, perempuan, dan penduduk sipil). 
Gedung, masjid, rumah penduduk, universitas, sekolah (termasuk sekolah PBB) dan fasilitas 
umum seperti jaringan telepon, aliran listrik, dan saluran air minum hancur remuk. Penduduk 
Gaza sangat kekurangan makanan, air bersih, obat-obatan, dan bantuan kemanusiaan 
lainnya. 
Di pihak Israel, sejumlah kecil tentaranya tewas dan beberapa penduduk sipil terluka terkena
serangan roket dari Gaza. Atas inisiatif Sekjen PBB Ban Ki-moon dan Menlu AS John Kerry, 
gencatan senjata antara Hamas-Israel tercapai, tetapi hanya dalam hitungan jam dan tidak 
efektif. Kini Mesir terus memediasi agar terjadi gencatan senjata antara kedua belah pihak, 
tetapi belum maksimal. 
Perang terus berlanjut: Hamas meroket Israel, Israel mengebom Gaza. Dua petinggi militer 
Hamas beserta istri dan anaknya tewas terkena bom Israel. Masih sulit ditemukan solusi 
politik yang dapat mendamaikan Palestina (Hamas) dan Israel yang telah begitu lama terlibat 
konflik. Masing-masing pihak hendaknya bersikap realistis, yaitu dapat menerima tawaran 
“two state solution”. Palestina hendaknya menerima dan mengakui eksistensi negara Israel, 
begitu juga Israel hendaknya menerima dan mengakui keberadaan Negara Palestina. 
Kedua negara hidup berdampingan secara damai. Inilah seruan yang terdengar di kalangan 
masyarakat internasional dan inilah opsi yang dapat dipandang sebagai “win-win solution.” ● 
30 
FAISAL ISMAIL 
Guru Besar Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
31 
Keadilan Substantif 
Koran SINDO 
30 Agustus 2014 
Belakangan ini, terutama saat ramai sengketa Pemilu Presiden 2014 di Mahkamah Konstitusi 
(MK), istilah keadilan substantif sebagai prinsip dan konsep hukum mencuat sebagai bahan 
polemik dan debat-debat terbuka. Istilah ini muncul setiap hari, baik di forum-forum 
persidangan MK maupun dalam ulasan (komentar-komentar) di media massa. 
“Hakim harus berani membuat terobosan untuk menggali rasa keadilan. Hakim tidak boleh 
terbelenggu oleh formalitas prosedural atau pasal-pasal undang-undang,” demikian seruan 
yang ditujukan kepada hakim. Menariknya, kedua kubu yang bersengketa sama-sama 
meminta putusan yang sesuai dengan keadilan substantif. Untuk itu, hakim dituntut berbicara 
dengan hati nuraninya guna menggali rasa keadilan di tengah-tengah masyarakat, bukan 
hanya berbicara dengan rasionalitas pada bunyi pasal-pasal undang-undang. 
Hakim harus berani berijtihad di luar ketentuan UU agar keadilan bisa ditemukan untuk 
bahan putusan. Keadilan substantif, dengan demikian, adalah keadilan yang diciptakan oleh 
hakim dalam putusan-putusannya berdasar hasil galiannya atas rasa keadilan di dalam 
masyarakat, tanpa dibelenggu bunyi pasal undang-undang yang berlaku. Bentuk perbuatan 
yang sama bisa divonis secara berbeda, tergantung pada hasil penggalian hakim atas rasa 
keadilan. Namanya pengadil, bukan penghukum. Itulah makna judge makes law, hakim 
membuat hukum. 
Keadilan substantif (substantive justice) kerap dilawankan dengan keadilan prosedural 
(procedural justice), yakni putusan hakim atau proses penegakan hukum yang sepenuhnya 
didasarkan pada bunyi undang-undang. Menurut konsep keadilan prosedural, sesuatu 
dianggap adil apabila pelaksanaan dan putusan hakim selalu mengikuti bunyi pasal-pasal di 
dalam undang-undang. Jika hakim memutus di luar ketentuan undang-undang bisa dianggap 
tidak adil karena melanggar kepastian-kepastian yang sudah ditentukan oleh UU. Yang 
dikatakan adil di dalam keadilan prosedural itu adalah apabila putusan hakim diletakkan pada 
aturan-aturan resmi yang ada sebelumnya. Ini diperlukan agar ada kepastian bagi orang-orang 
yang akan melakukan sesuatu sehingga bisa memprediksi apa akibat yang akan timbul dari 
perbuatannya itu. 
Sebenarnya, kalau ditilik dari latar belakangnya, baik keadilan substantif maupun keadilan 
prosedural sama-sama berangkat dari esensi kebaikan hukum yang sama. Dulu, pada saat 
kekuasaan ada di satu tangan, monarki atau raja, kalau ada warga masyarakat merasa 
dirugikan haknya maka mereka mengajukan perkara itu kepada raja. Raja kemudian 
menunjuk hakim untuk mengadili perkara itu tanpa ada aturan tertulis. Pokoknya hakim yang
32 
ditunjuk disuruh mencari sendiri putusan yang baik dan adil, tanpa hukum tertulis yang bisa 
dijadikan pedoman. 
Setiap perkara yang muncul kemudian diserahkan kepada hakim-hakim oleh raja agar diadili 
menurut kreasinya masing-masing, sesuai dengan rasa keadilan yang ditemukan dalam 
penggaliannya. Putusan-putusan itu kemudian menjadi hukum yang mengikat sebagai 
putusan hukum negara. Tetapi ketika kemudian muncul negara-negara demokrasi modern, 
terutama di kawasan Eropa Kontinental, muncul pula ide tentang perlunya hukum tertulis. 
Hakim tak bisa lagi dibiarkan membuat putusan sendiri-sendiri, melainkan harus memutus 
sesuai dengan hukum tertulis. 
Untuk itu di dalam negara harus ada lembaga legislatif (yang membuat hukum tertulis atau 
undang-undang) sedangkan hakim dimasukkan dalam lembaga yudikatif (yang menegakkan 
undang-undang di pengadilan jika ada sengketa). Hakim tak boleh membuat hukum, tapi 
harus menjadi corong pembuat UU. Pembatasan kepada hakim agar tidak membuat hukum 
(putusan) sendiri di luar undang-undang dimaksudkan agar ada kepastian sehingga 
masyarakat bisa mengukur dan memprediksi sendiri akibat-akibat hukum dari setiap 
perbuatannya. Dalam mengadili sengketa, hakim harus berpedoman pada undang-undang 
karena menurut paham (legisme) ini keadilan terletak justru terletak pada kepastian 
hukumnya. 
Selanjutnya sejarah berputar lagi. Keadilan dalam bentuk putusan-putusan hakim di luar 
undang-undang ternyata dibutuhkan karena di dalam kasus yang sama sering kali terdapat 
latar belakang situasi yang berbeda. Keadilan dipandang selalu dinamis, tak bisa dikunci 
dengan undang-undang yang statis. Meski bentuk dan akibat suatu perbuatan sama, vonis 
hakim harus berbeda jika latar belakang dan situasi yang melingkupinya berbeda. Bukan 
kepastian, tetapi keadilanlah yang diperlukan dalam hukum. Kepastian hanya bisa diikuti 
sepanjang bisa memastikan bahwa keadilan ditegakkan. 
Sejak ada MK konsep keadilan substantif tidak lagi hanya dijadikan polemik literatur dalam 
wacana akademik tetapi sudah dituangkan di dalam vonis-vonis. Banyak vonis MK yang 
sengaja keluar dari ketentuan resmi UU guna menciptakan keadilan yang ternyata disambut 
baik dalam dunia penegakan hukum di Indonesia. 
Gagasan keadilan substantif bertemu secara esensial dengan gagasan hukum progresif yang 
digencarkan oleh Prof Satjipto Rahardjo melalui Universitas Diponegoro. Satjipto 
mengatakan bahwa keadilan itu tidak hanya ada dalam pasal-pasal UU, tetapi harus lebih 
banyak dicari di dalam denyut-denyut kehidupan masyarakat. Tetapi bagi MK, keadilan 
substantif tak boleh secara hitam-putih diartikan sebagai keharusan membuat vonis yang 
selalu keluar dari UU. Keadilan substantif harus dicari sendiri dengan menggali rasa keadilan 
dalam masyarakat, tetapi sekaligus bisa menerapkan ketentuan UU selama ketentuan di 
dalam UU dirasa sudah adil. Dengan demikian, memahami vonis MK harus dilihat dari latar 
belakang kasus dan pertimbangannya untuk setiap kasus. ●
33 
MOH MAHFUD MD 
Guru Besar Hukum Konstitusi
34 
Demokrasi Indonesia 
Koran SINDO 
1 September 2014 
Sekitar empat belas tahun yang lalu saat George Walker Bush dinyatakan sebagai pemenang 
presiden mengalahkan Al Gore, penulis sempat tercenung apakah mungkin bangsa Indonesia 
dapat mengikuti jejak kedewasaan berpolitik masyarakat AS, khususnya yang menghormati 
hasil pemilihan dengan elegan dan damai. 
Saat itu Bush junior menang dengan situasi yang agak unik. Dia memang memenangkan 
electoral college (EC), kerap ditafsirkan sebagai dewan pemilih, lebih banyak, namun jumlah 
total suara pemilih (popular vote) dimenangkan oleh Gore. Sepintas Gore, dengan 
keunggulan popular vote sekitar setengah juta suara, lebih layak memimpin. Namun, 
memang dalam sistem pemilihan presiden AS presiden terpilih ditentukan oleh seberapa 
besar jumlah EC dan bukan oleh jumlah suara yang diperolehnya. 
Akhirnya masyarakat dan elite AS taat pada aturan main itu dan mengakui Bush sebagai 
presiden baru. Tidak terkecuali Gore, yang dengan legawa dapat menerima kekalahan yang 
menyakitkan itu. Pemilihan presiden pun tidak menjadi sumber konflik berkepanjangan. 
Kesadaran Konstitusional 
Dengan ditetapkan keputusan MK beberapa waktu lalu, perjalanan pilpres di Tanah Air telah 
sampai pada tahap akhir. Dengan situasi yang berbeda, namun dalam substansi yang sama, 
terbangun situasi kondusif yang terjadi hingga hari ini menunjukkan sebuah kualitas 
kematangan berpolitik bangsa Indonesia yang tidak kalah dengan negara sekaliber AS. 
Seluruh pihak menerima hasil keputusan MK dengan baik. 
Pascapemungutan suara akhir Juli yang menimbulkan kehebohan, hingga akhirnya MK 
mengambil keputusannya sebulan setelahnya, kehidupan masyarakat secara umum 
berlangsung normal. Tidak ada upaya-upaya yang sistematis untuk memperkeruh suasana. 
Sebaliknya, semua pihak tampak berupaya untuk berkontribusi secara positif dan bersikap 
secara proporsional dan profesional. Baik pihak teradu maupun yang mengadu siap untuk 
menjaga berjalannya sidang ini dengan baik. Kalaupun ada kericuhan saat persidangan, 
terbukti hanya sebuah riak-riak kecil. 
Sementara pihak MK telah bersikap profesional. Aspek-aspek yang bernuansakan dugaan, 
namun tidak dapat dibuktikan secara meyakinkan benar-benar disingkirkan. Afiliasi dan latar 
belakang politik para hakim juga tampak sama sekali tidak berpengaruh dalam proses 
pengambilan keputusan mereka. Kekhawatiran bahwa beberapa hakim akan bersikap bias
35 
karena kedekatan dengan partai-partai pendukung kelompok pengadu tertentu terbukti tidak 
terjadi. 
Dengan demikian, penjuru konstitusi dan aturan main telah dikedepankan secara 
komprehensif para aktor pengambil keputusan pada masa-masa krusial itu. Tidak itu saja, 
secara umum proses pilpres itu memperlihatkan bahwa kebebasan memilih dan 
penghormatan terhadap perbedaan telah dipraktikkan dengan elegan. Tidak ada korban 
nyawa satu pun di tengah salah satu perhelatan yang konon paling menegangkan ini. 
Demokrasi di Tengah Mayoritas Muslim 
Sebagai negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di seantero jagat, kasus pilpres dan 
pileg damai yang melibatkan lebih dari 133 juta manusia harusnya mampu membuka mata 
masyarakat dunia atas kemampuan negara dengan mayoritas penduduk muslim ini dalam 
menjalankan ritual terpenting dalam kehidupan demokrasi. Apa yang telah terjadi 
mematahkan mitos atau asumsi bahwa demokrasi tidak dapat berjalan di sebuah negara 
dengan mayoritas warganya umat Islam. 
Kenyataannya, demokrasi telah dianggap sebagai sistem yang terbaik untuk dijalankan di 
negara ini. Mayoritas rakyat tampak tidak memberikan ruang atas bangkitnya otoritarianisme. 
Hasil survei beberapa kalangan, termasuk dari Pusat Penelitian Politik-LIPI, menunjukkan 
bahwa mayoritas masyarakat kita menganggap demokrasi sebagai sistem yang baik. Bahkan 
ada di antaranya yang dengan yakinnya mengatakan sebagai sistem yang terbaik. 
Yang terjadi saat ini adalah bukan benar-benar hal yang baru. Pileg 1955 yang berlangsung 
damai diakui oleh banyak kalangan telah menunjukkan kekhidmatan masyarakat Indonesia 
dalam berdemokrasi. Secara substansi hasil yang juga patut disyukuri dari pagelaran pilpres 
adalah semakin terbangun kompromi. 
Terlihat bahwa dalam membangun koalisi tidak terpatok pada sentimen primordialisme 
ataupun sekat nasionalis versus agama (Islam) semata, namun lebih karena persoalan yang 
jauh lebih prinsipiil. Tidak mengherankan jika kemudian di masing-masing kubu unsur-unsur 
nasionalis dapat bergandengan tangan dengan unsur-unsur agama. Tidak saja pada level 
partai, namun pula di level ormas dan relawan. 
Beberapa Catatan 
Meski menunjukkan gelagat peningkatan kualitas demokrasi yang membaik, tidak berarti 
demokrasi kita telah sempurna. Jelas harus diakui di sana-sini masih banyak kelemahan dan 
bahkan kemunduran. Di antara masalah klasik itu adalah persoalan penyakit kronis menahun 
DPT yang tidak kunjung dapat diselesaikan. Padahal DPT adalah salah satu elemen kunci 
baik dan buruk penyelenggaraan pemilu. Uniknya, tahun inilah terjadi situasi di mana jumlah 
suara seorang kandidat pileg dapat jauh melebihi DPT.
Kinerja penyelenggara pemilu juga masih belum memuaskan. Teguran DKPP atas KPU dan 
pemecatan di level KPUD adalah bukti belum seutuhnya performa baik itu terjaga. Belum 
lagi keberatan dari banyak partai yang tersingkir pada Pemilu 2014 (Anam, 2013). Sementara 
Bawaslu dalam batas tertentu tampak belum benar-benar berdaya meski beberapa 
kewenangan dan perbaikan tunjangan sudah jauh membaik saat ini. 
36 
Begitu pula dengan sikap tidak dewasa dan keberpihakan yang berlebihan dari berbagai 
institusi yang seharusnya menjadi penopang demokrasi. Mulai dari media massa hingga 
lembaga survei dan polling tidak terbebas dari virus yang menggerogoti upaya pendidikan 
politik masyarakat yang imbang, santun, dan bernalar. Sedihnya, sikap seperti itu juga 
menjalar ke beberapa tokoh yang selama ini konon dipandang sebagai demokrat atau aktivis 
yang memperjuangkan nilai-nilai perbedaan, baik dalam situs pribadi maupun komentar 
lepasnya di beberapa media. 
Berbagai catatan buruk itu juga tidak terlepas dari kondisi partai yang secara umum masih 
dikelola jauh dari modern. Begitu pula sistem pemilu yang justru makin mendorong 
individualisme dan pragmatisme. Mudah-mudahan di kemudian hari ihwal seperti itu tidak 
terulang kembali sehingga kualitas demokrasi kita dapat semakin menjulang tinggi. 
FIRMAN NOOR 
Peneliti LIPI dan Pengajar di Departemen Ilmu Politik FISIP UI
37 
Analisis Dampak Regulasi 
Koran SINDO 
2 September 2014 
Analisis Dampak Regulasi (ADR) atau Regulatory Impact Analysis (RIA) telah dipraktikkan 
pada empat era pemerintahan Amerika Serikat dan di beberapa negara Eropa, termasuk 
negara-negara baru di wilayah Eropa Timur. 
Analisis ini menggunakan pendekatan analisis ekonomi mikro dalam proses penetapan 
kebijakan publik yang berpijak pada apa yang seharusnya dilakukan (what ought to do) dan 
tidak semata-mata pada apa yang terjadi (what is) atau apa yang telah terjadi (ex ante). 
Evaluasi melalui ADR/RIA merupakan sarana hukum yang bertujuan menemukan solusi atas 
perkiraan dampak yang akan terjadi dengan diberlakukannya suatu undang-undang yang 
terkait kepentingan publik secara luas. 
Evaluasi tersebut tidak menggunakan pendekatan abstraksi-logis dan metafisik sebagaimana 
lama dianut para ahli hukum, melainkan menggunakan pendekatan ”cost and benefit ratio”. 
Pendekatan kedua ini telah berhasil setidaknya di negara-negara yang telah disebutkan di 
atas: mempertemukan penilaian benar (right) dan salah (wrong) dan penilaian ”risiko (cost ) 
dan untung (benefit)” sehingga jika disandingkan akan tampak sinkronisasi antara tujuan 
hukum (Aristoteles) dan prinsip-prinsip ekonomi (Cooter dan Ullen). Sinkronisasi tersebut 
ada pada tiga pasang variabel yaitu prinsip ekonomi keseimbangan dengan tujuan hukum 
kepastian hukum; efisiensi dengan keadilan; serta maksimalisasi dengan kemanfaatan. 
*** 
Keenam variabel tersebut merupakan interelasi yang solid dan bersifat interdepensi satu sama 
lain. Jika hubungan tersebut dipahami benar oleh ahli hukum dan ahli ekonomi, dapat 
membentuk suatu ekosistem peradilan pidana (EKOSPP) yang sangat produktif dan 
mendukung keberhasilan sistem peradilan pidana Indonesia. Karena bekerjanya hukum dalam 
kenyataan selalu dipertimbangkan dampak regulasi secara objektif, terukur, dan pasti. 
Contohnya dalam pemberantasan korupsi, biaya perkara sekitar Rp50 juta-100 juta tidaklah 
rasional jika kejaksaan atau KPK tetap melanjutkan proses penyidikan dan pemeriksaan 
sidang pengadilan jika perkara korupsi telah merugikan keuangan negara jauh di bawah batas 
biaya perkara tersebut. Sebaliknya, tentu masyarakat bertanya-tanya bagaimana dengan efek 
jera terhadap pelakunya? Pandangan kita tentang efek jera dari suatu tindakan hukum pidana 
seharusnya diartikan dalam konteks pemulihan status hukum pelaku dari orang hukuman 
menjadi manusia berguna bagi bangsa dan negara.
38 
Konsep ini dalam referensi hukum modern dikenal sebagai ”keadilan restoratif”, lawan dari 
”keadilan retributif” dan dampak terhadap kepentingan keuangan negara. Bukankah dengan 
penanganan perkara korupsi dengan nilai kerugian keuangan negara jauh di bawah biaya 
perkara tersebut hanya akan menghasilkan dua kerugian negara, yaitu pertama disebabkan 
biaya perkara akan bertambah besar dan waktu yang cukup lama, 400 hari sampai putusan 
PK, dan biaya makan seorang narapidana dalam waktu minimum empat tahun sebesar 
Rp15.000 per hari. 
Sebab kedua, negara kehilangan waktu dan fokus pada nilai kerugian keuangan negara yang 
sangat signifikan setidaknya di atas biaya perkara tersebut di atas. Penanganan perkara yang 
kontra-produktif ini mengakibatkan penambahan kerugian keuangan negara dua atau tiga kali 
lipat dari kerugian keuangan negara yang seharusnya dikembalikan (diselamatkan) kepada 
negara. 
Penelitian M Jusuf (2013) menemukan nilai kerugian keuangan negara yang berhasil 
diselamatkan dalam kurun waktu lima tahun (2007-2012) tidak mencapai 50% dari total 
kerugian keuangan negara dari korupsi sebesar Rp180.309.318.403,96 (19,5%), dan 
USD37.261.549,65 (20,28%). Bahkan dalam laporan ICW, nilai kerugian keuangan negara 
dari pengelolaan sumber daya alam, yaitu Rp169,7 triliun dari illegal logging, dan Rp300 
triliun dari illegal fishing, sampai saat ini belum secara maksimal diselamatkan/dikembalikan 
kepada negara. 
*** 
Merujuk pada pendekatan ”cost and benefit ratio” dibandingkan dengan pendekatan ”benar 
dan salah” serta kenyataan inefisiensi pengembalian kerugian keuangan negara terbukti 
bahwa politik hukum pidana nasional selama kurun waktu dua masa pemerintahan SBY, 
khususnya dalam pemberantasan korupsi, telah gagal. Sebaliknya, klaim keberhasilan hanya 
tampak dari sejumlah pejabat tinggi telah diseret KPK dan dijebloskan ke dalam penjara, 
namun secara riil ternyata tidak tampak efek jera yang signifikan– dengan semakin 
banyaknya korupsi dan koruptor–dan tidak jelas letak keuntungan (benefit) bagi kepentingan 
tujuan mencapai kesejahteraan rakyat sebagaimana diamanatkan di dalam Bab XIV UUD 
1945. 
Kesejahteraan rakyat tidak berbanding lurus dan secara linear diklaim sebagai keberhasilan 
sebanyak-banyaknya menjebloskan pelaku korupsi ke dalam penjara. Bahkan yang terjadi, 
koruptor telah menjadi kelas masyarakat eksklusif di dalam penjara yang memiliki pengaruh 
dan kekuatan uang untuk ”mengatur” kehidupan mereka di dalam penjara. 
Solusi yang bijak adalah pemimpin nasional, eksekutif dan legislatif, serta masyarakat sipil 
dan para ahli hukum dan ekonomi harus menyatukan visi dan misi serta program-program 
nyata secara rasional (bukan emosional) melalui penegakan hukum dalam pemberantasan 
korupsi.
39 
ROMLI ATMASASMITA 
Guru Besar (Emeritus) Universitas Padjadjaran Bandung
40 
Penumpang Gelap Jokowi-JK 
Koran SINDO 
4 September 2014 
Mahkamah Konstitusi sudah memutuskan pemenang Pemilihan Presiden 2014 yaitu Joko 
Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK). 
Namun, hingga kini format kabinet kerja yang profesional yang selalu didengungkan masih 
belum jelas. Banyak kalangan terus penasaran. Mampukah keduanya menangkal penetrasi 
kelompok kepentingan? Kegagalan keduanya akan dengan mudah dilihat publik jika ada 
penumpang gelap dalam formasi kabinet mereka. Menunggu kehadiran pemerintah baru, 
sejumlah pemerhati masih menggarisbawahi pernyataan bernuansa komitmen Jokowi dalam 
debat kandidat calon presiden putaran terakhir. 
Dia saat itu menegaskan, ”Dalam (sektor) tambang, minyak, dan gas memang banyak 
kelompok kepentingan. Semua sudah tahu pembagiannya. Tapi, apakah kita punya keinginan 
untuk hentikan itu? Jika kelompok kepentingan itu masih ada, kita akan begini terus. Kami 
(Jokowi-JK) tidak ingin terbebani dengan masa lalu.” Kelompok kepentingan, atau dalam 
istilah lain disebut juga mafia, akan selalu ada, bahkan tak jarang berdampingan dengan 
sebuah rezim pemerintahan. 
Kelompok-kelompok itu tak pernah jauh dari pusat kekuasaan karena mereka punya andil 
dalam proses keterpilihan seorang pemimpin. Target utama mereka bukan sekadar balik 
modal, melainkan meraih untung sebesar-besarnya. Mereka mengincar proyek-proyek 
pemerintah yang profitable atau meminta konsesi. Figur-figur dari kelompok kepentingan itu 
tak akan pernah menampakkan wujud atau batang hidung mereka di sidang kabinet atau 
ruang kerja menteri. 
Dibuat kesan bahwa mereka tak pernah ada karena kelompok-kelompok itu hanya perlu 
bermanuver di belakang layar. Lantas, siapa ujung tombak kelompok kepentingan itu di 
pemerintahan atau di sidang kabinet? Bisa presidennya sendiri atau menteri. Maka itu, ketika 
Jokowi memberi isyarat untuk tidak akan menanggapi dan tidak memberi akses bagi 
kelompok-kelompok kepentingan memengaruhi kebijakan pemerintahannya, ia diacungi 
jempol. Tetapi, pada saat bersamaan, muncul juga pertanyaan. 
Mampukah presiden-wakil presiden terpilih menangkal penetrasi kelompok-kelompok 
kepentingan yang sudah lama bergentayangan di republik ini? Benarkah Jokowi atau bahkan 
Prabowo bebas dari sponsor kelompok ini? Wallahualam. Komisi Pemberantasan Korupsi 
(KPK) pernah menegaskan bahwa dari aspek skala, korupsi terbesar terjadi di sektor energi. 
Modusnya bukan hanya rekayasa perjanjian bagi hasil dengan kontraktor asing atau cost
41 
recovery. Modus lainnya adalah monopoli dan rekayasa harga dalam perdagangan bahan 
bakar minyak (BBM). Modus ini mengambil untung dari program subsidi BBM yang 
membuat APBN berantakan dan tak berdaya. Penangguk untung terbesar dari modus ini 
kelompok kepentingan yang disebut publik sebagai mafia migas. Modus korupsi ini bisa 
berkesinambungan karena mafia migas itu punya orang kuat di kabinet. 
Kelompok kepentingan lainnya bersekutu dalam kartel. Mereka memonopoli impor sejumlah 
komoditas kebutuhan pokok rakyat. Ada kartel kedelai, kartel bawang putih, hingga kartel 
daging sapi. Tentu saja kartel-kartel ini punya jagoan di kabinet sehingga mereka bisa 
mendapatkan hak monopoli impor itu. Ulah kartel-kartel ini sempat sangat keterlaluan dan 
merugikan masyarakat karena merekayasa kelangkaan untuk mendongkrak harga kedelai, 
bawang putih, hingga daging sapi. 
Ambisi Jokowi untuk mengakhiri sepak terjang kelompok kepentingan itu memang sangat 
ideal dan menjadi harapan seluruh rakyat. Tetapi, apakah Jokowi-JK cukup kuat untuk 
mengatakan ”tidak” pada kelompok-kelompok kepentingan? Inilah yang masih ditunggu 
khalayak. Tetapi, di ruang publik para pemerhati mulai mengembuskan bisik-bisik. Ada yang 
sudah melihat bahwa kelompok kepentingan bahkan sudah menempel ketat tim pemenangan 
Jokowi-JK. Tak hanya itu, ada juga yang melihat figur penganut neoliberalisme di sekitar 
Jokowi-JK. 
Memang mengkhawatirkan kelompok kepentingan di sekitar Jokowi-JK pada tahap persiapan 
transisi sekarang ini mungkin agak berlebihan. Tetapi, Jokowi-JK perlu mewaspadai ini agar 
kabinet dan pemerintahan mereka nanti tidak disusupi penumpang gelap. 
Suara Publik 
Salah satu orang kepercayaan Jokowi yang paling banyak dipergunjingkan akhir-akhir ini 
adalah Kepala Staf Tim Transisi Rini Mariani Soemarno. Kapabilitas dan kompetensi Rini 
memang tak perlu diragukan. Dia pernah magang di Departemen Keuangan AS, menjabat 
vice president Citibank, dan presiden direktur PT Astra International yang mengelola 
pemasaran sejumlah merek mobil dari Jepang dan Eropa. 
Dengan rekam jejak seperti itu, sangat mudah bagi publik untuk mengaitkan Rini dengan 
kepentingan sejumlah kelompok usaha asing berskala multinasional. Toyota, Daihatsu, dan 
Isuzu yang bernaung dalam Astra tentu khawatir dengan masa depan pangsa pasar mereka 
jika Jokowi bersikukuh terus mendukung pengembangan mobil SMK. Ketika itu terjadi, patut 
untuk diasumsikan bahwa tiga raksasa industri automotif dari Jepang itu akan mendekati Rini 
sebagai teman lama guna memengaruhi arah kebijakan Pemerintah Indonesia di bidang 
industri automotif. 
Kedatangan senator Amerika Serikat (AS) John McCain ke Jakarta baru-baru ini juga 
memunculkan beragam tafsir. Orang penting dari Partai Republik AS itu datang ke Jakarta 
ketika masalah perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia seperti tidak berkepastian. 
Kedatangan McCain mengingatkan publik pada kunjungan Menteri Luar Negeri AS
Condoleezza Rice ke Jakarta pada 14-15 Maret 2006. Rice, juga dari Partai Republik, terbang 
ke Jakarta ketika sengketa Pertamina dengan perusahaan minyak asal AS, ExxonMobil, untuk 
menjadi operator ladang minyak Blok Cepu berlarut-larut. 
Hanya sehari sebelum Rice mendarat di Jakarta, pemerintah menunjuk ExxonMobil sebagai 
pengendali Blok Cepu. Pemerintah memaksa Pertamina mengalah. Maka itu, boleh jadi, 
McCain juga datang ke Jakarta membawa titipan aspirasi kelompok kepentingan dari AS 
untuk perpanjangan kontrak Freeport. McCain memang hanya menemui pimpinan DPR/MPR 
serta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan tidak bersilaturahmi dengan Jokowi-JK. 
Tetapi, bisa dipastikan bahwa akan ada orang yang dipercaya menyampaikan pesan McCain 
itu kepada Jokowi-JK. 
Ketika persoalan Freeport dibuat final nanti, di situ publik menafsirkan bagaimana Jokowi-JK 
menyikapi perilaku kelompok kepentingan AS itu. Kesediaan Samsung memproduksi ponsel 
di Indonesia juga tak lepas dari peran kelompok kepentingan. Duta Besar Korea Selatan 
untuk Indonesia, Cho Tai-young, sudah memberi kepastian tentang keputusan Samsung itu 
dalam pertemuan dengan Jokowi di Kantor Gubernur DKI baru-baru ini. Kelompok 
kepentingan yang berhasil memaksa Samsung mungkin saja akan meminta kompensasi 
kepada tim Jokowi-JK. 
42 
Jadi, ada beragam cara dan strategi yang bisa digunakan kelompok-kelompok kepentingan 
untuk mengusulkan sosok calon menteri. Pola pendekatannya nyaris sama dengan praktik 
koalisi parpol yang bagi-bagi kursi menteri. Anda memberi sesuatu, Anda pun mendapatkan 
sesuatu sebagai imbalannya. Dalam proses seperti itulah akan muncul penumpang gelap 
dalam kabinet Jokowi-JK. Disebut penumpang gelap karena menteri titipan dari kelompok 
kepentingan bisa merusak strategi presiden untuk merealisasikan visi dan misi yang 
dijanjikannya semasa kampanye. 
Tentu saja rakyat berharap Jokowi-JK tegar menghadapi kelompok kepentingan. Ajakan 
kepada publik untuk memberi masukan tentang kandidat menteri adalah ide segar yang 
diharapkan bisa memberi kekuatan tambahan bagi presiden terpilih dalam membentuk 
kabinet. Masukan dari partai pengusung, relawan, dan tim internal Jokowi-JK mestinya 
memberi keleluasaan lebih bagi Jokowi-JK untuk menentukan mana figur yang layak dan 
tidak layak untuk menjabat menteri. 
Harapan kita, pasangan Jokowi- JK yang telah dimenangkan MK ini nanti, tidak lagi 
mengulangi kekeliruan pemerintahan sebelumnya yang lebih mengandalkan praktik 
pencitraan, dengan gincu dan bedak tebal guna menutupi bopeng-bopeng pemerintahan yang 
amburadul. Selamat bekerja! 
BAMBANG SOESATYO 
Anggota Komisi III DPR RI/ Presidium Nasional KAHMI 2012- 2017 dan Wakil Ketua 
Umum Kadin Indonesia
43 
Parasit di Tubuh Polri 
Koran SINDO 
5 September 2014 
Tertangkapnya dua Anggota Kepolisian Republik Indonesia (Polri) yang bertugas di Polda 
Kalimantan Barat, karena diduga terkait kasus narkoba di Malaysia, bukan hanya 
mempermalukan Polri, melainkan juga Indonesia sebagai sebuah bangsa bermartabat. 
Keduanya ditangkap Polis Narkotik Diraja Malaysia (PDRM) di Kuching, Malaysia, Sabtu 
(30/8). Banyaknya kasus di tubuh Polri yang seharusnya menjadi teladan bagi rakyat 
merupakan parasit yang sepertinya sangat susah dihentikan. Salah satu kasus yang juga 
memalukan menjelang Idul Fitri adalah tertangkapnya 10 anggota Satuan Lalu Lintas 
(Satlantas) Polres Pemalang, Jawa Tengah (Jateng), lantaran diduga melakukan pungutan liar 
(pungli) terhadap sopir-sopir truk agar bisa melintas di atas Jembatan Comal, Pemalang, 
Sabtu 9 Agustus 2014 (Koran SINDO, 13/8/2014). 
Peristiwa ini diibaratkan melalui pepatah kuno, ”Karena nila setitik, rusak susu sebelanga.” 
Sepertinya pimpinan Polri belum menemukan strategi jitu pembinaan personel agar 
berperilaku terhormat. Selalu terdengar ada oknum polisi yang mengingkari sumpahnya 
sebagai pelayan, pengayom, pelindung masyarakat, serta penegak hukum. 
Setelah keberhasilan mengamankan pemilu legislatif, pemilu presiden, dan Operasi Ketupat 
Lebaran 2014 yang menuai pujian karena mampu menekan jumlah kecelakaan di jalan dan 
gangguan kamtibmas, kasus di Malaysia menjadi klimaks. Semuanya selalu mengarah pada 
aspek finansial, seolah gaji dan tunjangan tidak cukup sehingga harus mencari penghasilan 
tambahan yang melanggar hukum. 
Polisi Jujur 
Tanpa bermaksud mendahului penyelidikan Polis Diraja Malaysia soal keterlibatan kedua 
anggota Polri, tetapi kesan yang muncul di ruang publik ialah institusi berbaju cokelat itu 
betul-betul terpuruk. Hampir setiap hari ada berita tentang perilaku anggota Polri yang 
memalukan. Ini menjadi indikasi bahwa pembinaan dan pengawasan di internal tidak berjalan 
sebagaimana mestinya. 
Janji pimpinan Polri yang akan mereformasi diri belum membawa hasil yang memuaskan. 
Rakyat begitu merindukan sosok polisi yang bisa dibanggakan karena jujur, bersih, 
profesional, dan berwibawa. Jika suatu kasus yang meresahkan berhasil dibongkar polisi, 
dipastikan mendapat sambutan dan respek luar biasa dari masyarakat. Apalagi warga 
masyarakat begitu mudah merasakan kekuasaan besar polisi yang hampir-hampir susah
44 
dilawan. Hampir semua kekuasaan yang besar itu sering diselewengkan saat melakukan 
penegakan hukum. 
Lebih celaka, karena tindakan itu selalu dibalut dengan penertiban dan penegakan hukum 
yang membuat masyarakat gerah lantaran tidak proporsional. Untuk memberantas parasit di 
tubuh Polri tentu bukan persoalan gampang, sebab terkait dengan perilaku dan kultur. Polri 
harus sadar bahwa tugas menjaga kamtibmas dan penegakan hukum tidak akan berhasil 
dengan baik tanpa mengubah perilaku dan kultur. Maka, reformasi Polri perlu didesain secara 
totalitas dengan sasaran membangun kembali agar anggota polisi berperilaku jujur, bersih, 
dan profesional. 
Mental korup yang memanfaatkan suatu kasus sebagai sumber uang harus segera dihentikan. 
Jangan sampai rakyat selalu merasa tidak nyaman jika bersentuhan dengan polisi karena takut 
dicari-cari kesalahannya atau dimintai uang, sehingga menjadi saksi sekalipun tidak bersedia. 
Kepala Polri Jenderal Sutarman yang terus berupaya mendapatkan kepercayaan dan simpati 
dari masyarakat harus menjadi perhatian pimpinan Polri di daerah. Perilaku pungli dan masih 
lemahnya profesionalitas dalam mengungkap kejahatan, ibarat pepatah ”menepuk angin” 
dalam merebut kepercayaan dan simpati masyarakat. 
Dalam berbagai dimensinya, bukan tidak mungkin praktik suap menguatkan dugaan banyak 
orang untuk pemenuhan target setoran buat atasan. Jika betul seperti itu–meski kita berharap 
tidak demikian– agaknya sulit bagi Polri membersihkan parasit institusi. 
Diskresi Kepolisian 
Kasus tertangkapnya dua anggota Polri di Malaysia, pungli Jembatan Comal di Pemalang dan 
maraknya penyelewengan anggota menjadi momen bagi Polri untuk memperbaiki kinerja. 
Kita percaya masyarakat akan terus membutuhkan polisi, sehingga aparat kepolisian harus 
mampu menunjukkan perilaku yang baik. 
Kejadian di Malaysia bukan hanya melanggar disiplin karena keberadaannya di sana bukan 
melaksanakan tugas, melainkan termasuk kejahatan yang memalukan bangsa. Jika terbukti, 
tentu layak dihukum berat, meskipun itu dilakukan di negeri orang. Kasus itu merusak upaya 
yang tengah dibangun Kepala Polri untuk menjadikan polisi sebagai panutan bagi 
masyarakat. Kita mendukung segala upaya membersihkan aparat kepolisian yang masih 
sering berperilaku korup, baik yang kecil-kecil terlebih yang besar. 
Artinya, bukan hanya polisi yang berjuang memperbaiki citranya, masyarakat juga selalu 
berjuang mengubah persepsi terhadap polisi. Sebab tidak ada untungnya memupuk stigma 
negatif kepada polisi. Apalagi polisi bagian yang tidak terpisahkan dengan masyarakat, 
keduanya akan selalu hidup berdampingan dan saling membutuhkan. 
Banyak polisi yang cerdas, berintegritas, dan punya hati nurani dalam melaksanakan fungsi 
dan tugas. Mereka punya kompetensi dan profesionalitas, terutama saat berhadapan dengan
45 
persoalan masyarakat yang membutuhkan tindakan kepolisian. Tetapi kenapa polisi masih 
sering dicemooh? Boleh jadi ini terkait dengan pelaksanaan ”diskresi” kepolisian yang 
kadang melampaui kewenangan polisi. Ini yang acap menimbulkan salah tafsir yang 
dilaksanakan oleh individu polisi yang sedang bertugas di tengah masyarakat. Padahal, 
penerapan diskresi butuh kecerdasan dan kualitas kompetensi seorang anggota polisi, sebab 
meskipun diskresi untuk kepentingan umum tetapi kadang tidak sejalan dengan ketentuan 
tertulis. 
Publik juga banyak tahu bahwa pekerjaan polisi penuh dinamika, yang kadang tidak semua 
orang memahaminya. Di dalamnya butuh kemampuan khusus yang bukan sekadar 
pengabdian, melainkan juga pola pikir yang rasional dan bijak. Jika itu mampu diapresiasi, 
maka parasit di tubuh Polri setidaknya terhenti, atau paling tidak bisa diminimalkan. 
MARWAN MAS 
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Bosowa 45, Makassar
46 
Gawat Darurat Hukum Konservatif 
Koran SINDO 
6 September 2014 
Minggu (31/8/2014) lalu anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Bambang Soesetyo, biasa 
dipanggil Bamsoet, meluncurkan buku berjudul Indonesia Gawat Darurat. Buku setebal 
1.000 halaman tersebut menghimpun tulisan-tulisan Bamsoet di berbagai media massa 
selama menjadi anggota DPR periode 2009-2014. Sesuai judulnya, buku tersebut 
menggambarkan sisi suram Indonesia selama pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono 
(SBY) atau Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) Jilid II. Di dalam buku yang dibagi atas 
sembilan isu gawat darurat Indonesia itu di-jelentreh-kan problem dan persoalan-persoalan 
yang tak diselesaikan dengan baik oleh pemerintahan SBY. 
Saya sendiri, sebagai seorang pemberi komentar atas buku itu, mempunyai kesan bahwa isi 
buku itu hanya berisi serangan-serangan terhadap pemerintahan SBY. Saya mempertanyakan, 
mengapa hanya menulis kritik dan tidak ada sama sekali tulisan apresiatif atas kemajuan-kemajuan 
yang dicapai pemerintahan SBY. Atas kritik itu, Bamsoet mengatakan bahwa 
bukunya itu memang berisi reaksi atas berbagai isu yang ditulis dari waktu ke waktu dari 
posisinya sebagai pengawas pemerintah yakni anggota DPR. Isinya memang lebih pelototan 
pengawas terhadap yang diawasi. Maka itu, kalau mau mencari catatan prestasi pemerintahan 
SBY seperti meningkatnya demokratisasi dalam aspek tertentu, kebebasan pers, stabilitas, 
dan pertumbuhan ekonomi tidak akan ditemukan di dalam buku ini. 
Terlepas dari soal setuju atau tidak setuju pada Bamsoet atas berbagai isu yang dikupasnya, 
buku ini menjadi penting karena seakan menjadi ensiklopedi atau glosarium berbagai 
persoalan besar selama pemerintahan SBY periode kedua. Kalau kita ingin mengingat dan 
melihat peristiwa penting dan panas pada era tersebut, kita bisa menemukan kata kunci pada 
daftar isi buku dan mendapat penjelasan masalah dan waktu terjadinya di dalam uraian-uraiannya 
meski opininya lebih berwajah Bamsoet. 
Saya sependapat dengan mantan Wakil Gubernur DKI Prijanto yang hadir saat itu. Meski isi 
buku Bamsoet ini memuat beragam masalah, intinya satu yakni merajalelanya korupsi yang 
tak bisa dicegah dan ditangani dengan baik oleh pemerintahan SBY. Janji SBY yang pernah 
mengatakan akan memimpin sendiri perang melawan korupsi tak benar-benar bisa dilakukan. 
Malah tokoh-tokoh partai yang dipimpinnya, Partai Demokrat, baik yang ada di eksekutif 
maupun di legislatif banyak yang terlibat korupsi. 
Sejalan dengan kegagalan memerangi korupsi, jika keseluruhan isi buku ini dispesifikkan 
pada sudut hukum atau diletakkan di dalam kerangka pemahaman hukum yang agak teoretis, 
dapat dikatakan bahwa hukum-hukum kita saat ini sudah menjadi begitu konservatif. Hukum 
konservatif ditandai oleh sekurang-kurangnya tiga hal. Pertama, pembuatannya lebih banyak
47 
ditentukan secara sepihak oleh lembaga-lembaga negara, miskin partisipasi rakyat. Pada 
zaman Orde Baru semua rancangan undang-undang (UU) sampai penetapannya sangat 
didominasi oleh lembaga eksekutif sehingga DPR lebih merupakan rubber stamps atau 
stempel karet yang harus selalu membenarkan dan menyetujui rancangan UU yang diajukan 
pemerintah. Sekarang, berkat reformasi, DPR sudah mempunyai peran lebih besar untuk 
berinisiatif mengajukan rancangan UU, tetapi produknya tetap konservatif, lebih banyak 
ditentukan oleh elite. 
Tidak jarang pembicaraan tentang UU yang akan dibuat sebagai produk hukum dibicarakan 
melalui lobi-lobi antarelite di luar Gedung DPR, termasuk di hotel-hotel, dan restoran-restoran. 
Itulah sebabnya banyak UU yang isinya dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi 
melalui judicial review, bahkan tidak sedikit anggota DPR yang kemudian ditangkap dan 
dihukum oleh KPK. 
Kedua, dalam penegakannya, hukum konservatif ditandai oleh banyak kolusi antarpenegak 
hukum. Bukti-bukti tentang ini sudah banyak. Banyak hakim, jaksa, polisi, pengacara, dan 
pesakitan (terduga, tersangka, terdakwa) yang digelandang ke pengadilan karena penyuapan 
dan permainan perkara. Hukum konservatif itu pembuatannya didominasi oleh elite, 
sedangkan penegakannya diselimuti kolusi dan penyuapan-penyuapan. 
Ketiga, hukum konservatif memberi peluang opened interpretative yakni memberi peluang 
besar untuk ditafsirkan lebih lanjut oleh implementator dengan berbagai peraturan 
pelaksanaan sehingga sang implementator bisa membuat aturan-aturan turunan berdasarkan 
kehendaknya sendiri. Tidak jarang terjadi perdebatan penting atas satu materi RUU di DPR, 
sulit dicapai titik temu, tetapi kemudian diambil jalan kompromi dengan kesepakatan bahwa 
hal yang diperdebatkan itu diserahkan saja untuk diatur lebih lanjut dengan peraturan 
pelaksanaan oleh pemerintah atau unit-unit pelaksananya. Inilah yang kemudian membuka 
terjadi korupsi kebijakan atau korupsi peraturan. 
Dari bingkai teori tentang kelahiran hukum-hukum konservatif kemudian timbul pertanyaan 
mendasar, mengapa setelah Era Reformasi ini hukum-hukum kita masih konservatif? 
Bukankah reformasi kita lakukan agar kita bisa membangun sistem politik yang demokratis 
sehingga bisa lahir hukum-hukum yang responsif? Jawabannya, karena sebenarnya 
konfigurasi politik kita sudah berbelok dari demokratis pada awal reformasi menjadi oligarkis 
pada masa sekarang ini. 
Di dalam politik oligarkis keputusan-keputusan penting tak lagi didominasi oleh aspirasi 
rakyat, tetapi ditentukan oleh kesepakatan elite dengan kepentingan-kepentingannya sendiri. 
Di dalam konfigurasi politik yang oligarkis kemunculan gawat darurat hukum konservatif 
menjadi niscaya. 
MOH MAHFUD MD 
Guru Besar Hukum Konstitusi
(SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014
(SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014
(SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014
(SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014
(SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014
(SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014
(SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014
(SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014
(SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014
(SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014
(SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014
(SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014
(SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014
(SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014
(SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014
(SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014
(SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014
(SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014
(SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014
(SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014
(SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014
(SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014
(SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014
(SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014
(SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014
(SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014
(SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014
(SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014
(SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014
(SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014
(SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014
(SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014
(SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014
(SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014
(SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014
(SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014
(SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014
(SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014
(SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014
(SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014
(SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014
(SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014
(SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014
(SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014
(SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014
(SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014
(SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014
(SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014
(SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014
(SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014
(SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014
(SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014
(SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014
(SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014
(SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014
(SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014
(SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014
(SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014
(SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014
(SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014
(SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014
(SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014
(SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014
(SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014
(SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014
(SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014
(SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014
(SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014
(SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014
(SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014
(SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014
(SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014
(SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014
(SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014
(SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014
(SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014
(SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014
(SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014
(SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014
(SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014
(SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014
(SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014
(SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014
(SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014
(SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014
(SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014
(SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014
(SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014
(SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014
(SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014
(SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014
(SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014
(SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014
(SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014
(SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014
(SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014
(SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

More Related Content

What's hot

Selamatkan Negara & Lindungi Rakyat, Perang Dunia 3–Abad 21 Segera Tiba (Worl...
Selamatkan Negara & Lindungi Rakyat, Perang Dunia 3–Abad 21 Segera Tiba (Worl...Selamatkan Negara & Lindungi Rakyat, Perang Dunia 3–Abad 21 Segera Tiba (Worl...
Selamatkan Negara & Lindungi Rakyat, Perang Dunia 3–Abad 21 Segera Tiba (Worl...Asean Damai
 
Kelompok 5 ketahanan nasional
Kelompok 5 ketahanan nasionalKelompok 5 ketahanan nasional
Kelompok 5 ketahanan nasionalnatal kristiono
 
Ancaman bidang keamanan dan pertahanan
Ancaman bidang keamanan dan pertahananAncaman bidang keamanan dan pertahanan
Ancaman bidang keamanan dan pertahananmaranathatesa
 
WAWASAN NUSANTARA SEBAGAI GEOPOLITIK INDONESIA
WAWASAN NUSANTARA SEBAGAI GEOPOLITIK INDONESIAWAWASAN NUSANTARA SEBAGAI GEOPOLITIK INDONESIA
WAWASAN NUSANTARA SEBAGAI GEOPOLITIK INDONESIAMawarda Nurodanika
 
Menatap tantangan integrasi nasional
Menatap tantangan integrasi nasionalMenatap tantangan integrasi nasional
Menatap tantangan integrasi nasionalghinahuwaidah
 
Ancaman Militer Terhadap Keutuhan NKRI
Ancaman Militer Terhadap Keutuhan NKRIAncaman Militer Terhadap Keutuhan NKRI
Ancaman Militer Terhadap Keutuhan NKRIMaharani Asmara Putri
 
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002Muhammad Sirajuddin
 
Slide 8 wawasan nusantara
Slide 8 wawasan nusantaraSlide 8 wawasan nusantara
Slide 8 wawasan nusantaraFadzilul idqham
 
Sistem Pertahanan dan Keamanan Negara Republik Indonesia
Sistem Pertahanan dan Keamanan Negara Republik IndonesiaSistem Pertahanan dan Keamanan Negara Republik Indonesia
Sistem Pertahanan dan Keamanan Negara Republik IndonesiaChristina Dwi Rahayu
 
Pertahanan dan Keamanan Negara Indonesia menurut UUD Negara RI Tahun 1945
Pertahanan dan Keamanan Negara Indonesia menurut UUD Negara RI Tahun 1945Pertahanan dan Keamanan Negara Indonesia menurut UUD Negara RI Tahun 1945
Pertahanan dan Keamanan Negara Indonesia menurut UUD Negara RI Tahun 1945Asep Wahyudin
 

What's hot (19)

Selamatkan Negara & Lindungi Rakyat, Perang Dunia 3–Abad 21 Segera Tiba (Worl...
Selamatkan Negara & Lindungi Rakyat, Perang Dunia 3–Abad 21 Segera Tiba (Worl...Selamatkan Negara & Lindungi Rakyat, Perang Dunia 3–Abad 21 Segera Tiba (Worl...
Selamatkan Negara & Lindungi Rakyat, Perang Dunia 3–Abad 21 Segera Tiba (Worl...
 
Kelompok 5 ketahanan nasional
Kelompok 5 ketahanan nasionalKelompok 5 ketahanan nasional
Kelompok 5 ketahanan nasional
 
Ancaman bidang keamanan dan pertahanan
Ancaman bidang keamanan dan pertahananAncaman bidang keamanan dan pertahanan
Ancaman bidang keamanan dan pertahanan
 
WAWASAN NUSANTARA SEBAGAI GEOPOLITIK INDONESIA
WAWASAN NUSANTARA SEBAGAI GEOPOLITIK INDONESIAWAWASAN NUSANTARA SEBAGAI GEOPOLITIK INDONESIA
WAWASAN NUSANTARA SEBAGAI GEOPOLITIK INDONESIA
 
Kwn bab7 kel9_akt2
Kwn bab7 kel9_akt2Kwn bab7 kel9_akt2
Kwn bab7 kel9_akt2
 
Menatap tantangan integrasi nasional
Menatap tantangan integrasi nasionalMenatap tantangan integrasi nasional
Menatap tantangan integrasi nasional
 
Bela negara
Bela negaraBela negara
Bela negara
 
Ancaman Militer Terhadap Keutuhan NKRI
Ancaman Militer Terhadap Keutuhan NKRIAncaman Militer Terhadap Keutuhan NKRI
Ancaman Militer Terhadap Keutuhan NKRI
 
1 uu-32-2014
1 uu-32-20141 uu-32-2014
1 uu-32-2014
 
Ppt pkn wawasan nusantara
Ppt pkn wawasan nusantaraPpt pkn wawasan nusantara
Ppt pkn wawasan nusantara
 
Jeane
JeaneJeane
Jeane
 
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002
 
Wawasan nusantara
Wawasan nusantaraWawasan nusantara
Wawasan nusantara
 
Slide 8 wawasan nusantara
Slide 8 wawasan nusantaraSlide 8 wawasan nusantara
Slide 8 wawasan nusantara
 
Tugas PKN IV Ketahanan Nasional
Tugas PKN IV Ketahanan NasionalTugas PKN IV Ketahanan Nasional
Tugas PKN IV Ketahanan Nasional
 
Sistem Pertahanan dan Keamanan Negara Republik Indonesia
Sistem Pertahanan dan Keamanan Negara Republik IndonesiaSistem Pertahanan dan Keamanan Negara Republik Indonesia
Sistem Pertahanan dan Keamanan Negara Republik Indonesia
 
Presentasi Bela Negara
Presentasi Bela NegaraPresentasi Bela Negara
Presentasi Bela Negara
 
Pertahanan dan Keamanan
Pertahanan dan KeamananPertahanan dan Keamanan
Pertahanan dan Keamanan
 
Pertahanan dan Keamanan Negara Indonesia menurut UUD Negara RI Tahun 1945
Pertahanan dan Keamanan Negara Indonesia menurut UUD Negara RI Tahun 1945Pertahanan dan Keamanan Negara Indonesia menurut UUD Negara RI Tahun 1945
Pertahanan dan Keamanan Negara Indonesia menurut UUD Negara RI Tahun 1945
 

Similar to (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

Wawasan Nusantara yang menggabarkan kultur dalam bermasyarakat d indoensia
Wawasan Nusantara yang menggabarkan kultur dalam bermasyarakat d indoensiaWawasan Nusantara yang menggabarkan kultur dalam bermasyarakat d indoensia
Wawasan Nusantara yang menggabarkan kultur dalam bermasyarakat d indoensiamohandika1
 
2 sekapur sirih & daftar isi
2 sekapur sirih & daftar isi2 sekapur sirih & daftar isi
2 sekapur sirih & daftar isiAzlan Abdurrahman
 
Konsep tata ruang benua maritim
Konsep tata ruang benua maritimKonsep tata ruang benua maritim
Konsep tata ruang benua maritimKellin Quinn
 
TUGAS PKN.pptxBARU.pptx
TUGAS PKN.pptxBARU.pptxTUGAS PKN.pptxBARU.pptx
TUGAS PKN.pptxBARU.pptxTriMulyana5
 
Pembangunan Nasional dan Ketahanan Nasional
Pembangunan Nasional dan Ketahanan NasionalPembangunan Nasional dan Ketahanan Nasional
Pembangunan Nasional dan Ketahanan NasionalLestari Moerdijat
 
Kemaritiman INDONESIA
Kemaritiman INDONESIAKemaritiman INDONESIA
Kemaritiman INDONESIAsamsir07
 
Aneka Bahan Terkait KSN Laut Lepas
Aneka Bahan Terkait KSN Laut LepasAneka Bahan Terkait KSN Laut Lepas
Aneka Bahan Terkait KSN Laut LepasFitri Indra Wardhono
 
Kelebihan dan kekurangan wawasan nusantara dalam aspek sosial
Kelebihan dan kekurangan wawasan nusantara dalam aspek sosialKelebihan dan kekurangan wawasan nusantara dalam aspek sosial
Kelebihan dan kekurangan wawasan nusantara dalam aspek sosialFarmaSea
 
Kedudukan strategis indonesia dalam konteks ipoleksosbudhankam ila AKBID PARA...
Kedudukan strategis indonesia dalam konteks ipoleksosbudhankam ila AKBID PARA...Kedudukan strategis indonesia dalam konteks ipoleksosbudhankam ila AKBID PARA...
Kedudukan strategis indonesia dalam konteks ipoleksosbudhankam ila AKBID PARA...Operator Warnet Vast Raha
 
Rizky darmawan tugas.1 perbatasan
Rizky darmawan tugas.1 perbatasanRizky darmawan tugas.1 perbatasan
Rizky darmawan tugas.1 perbatasanRizkyDarmawan49
 
2. sejarah perekonomian indonesia
2. sejarah perekonomian indonesia2. sejarah perekonomian indonesia
2. sejarah perekonomian indonesiaFindi Rifa'i
 
7 bab v politik dan kebijakan
7 bab v politik dan kebijakan7 bab v politik dan kebijakan
7 bab v politik dan kebijakanAzlan Abdurrahman
 
Makalah perekonomian indonesia
Makalah perekonomian indonesiaMakalah perekonomian indonesia
Makalah perekonomian indonesiaRuri1139
 
Makalah batas wilayah laut indonesia
Makalah batas wilayah laut indonesiaMakalah batas wilayah laut indonesia
Makalah batas wilayah laut indonesiaahmad akhyar
 
XII_Sejarah-Indonesia_KD-3.3_final.pdf
XII_Sejarah-Indonesia_KD-3.3_final.pdfXII_Sejarah-Indonesia_KD-3.3_final.pdf
XII_Sejarah-Indonesia_KD-3.3_final.pdfKristianiSaragih
 

Similar to (SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014 (20)

Wawasan Nusantara yang menggabarkan kultur dalam bermasyarakat d indoensia
Wawasan Nusantara yang menggabarkan kultur dalam bermasyarakat d indoensiaWawasan Nusantara yang menggabarkan kultur dalam bermasyarakat d indoensia
Wawasan Nusantara yang menggabarkan kultur dalam bermasyarakat d indoensia
 
Materi 9
Materi 9Materi 9
Materi 9
 
2 sekapur sirih & daftar isi
2 sekapur sirih & daftar isi2 sekapur sirih & daftar isi
2 sekapur sirih & daftar isi
 
Konsep tata ruang benua maritim
Konsep tata ruang benua maritimKonsep tata ruang benua maritim
Konsep tata ruang benua maritim
 
TUGAS PKN.pptxBARU.pptx
TUGAS PKN.pptxBARU.pptxTUGAS PKN.pptxBARU.pptx
TUGAS PKN.pptxBARU.pptx
 
Pembangunan Nasional dan Ketahanan Nasional
Pembangunan Nasional dan Ketahanan NasionalPembangunan Nasional dan Ketahanan Nasional
Pembangunan Nasional dan Ketahanan Nasional
 
11 bab ix strategi maritim
11 bab ix strategi maritim11 bab ix strategi maritim
11 bab ix strategi maritim
 
Kemaritiman INDONESIA
Kemaritiman INDONESIAKemaritiman INDONESIA
Kemaritiman INDONESIA
 
Aneka Bahan Terkait KSN Laut Lepas
Aneka Bahan Terkait KSN Laut LepasAneka Bahan Terkait KSN Laut Lepas
Aneka Bahan Terkait KSN Laut Lepas
 
Kelebihan dan kekurangan wawasan nusantara dalam aspek sosial
Kelebihan dan kekurangan wawasan nusantara dalam aspek sosialKelebihan dan kekurangan wawasan nusantara dalam aspek sosial
Kelebihan dan kekurangan wawasan nusantara dalam aspek sosial
 
Kedudukan strategis indonesia dalam konteks ipoleksosbudhankam ila AKBID PARA...
Kedudukan strategis indonesia dalam konteks ipoleksosbudhankam ila AKBID PARA...Kedudukan strategis indonesia dalam konteks ipoleksosbudhankam ila AKBID PARA...
Kedudukan strategis indonesia dalam konteks ipoleksosbudhankam ila AKBID PARA...
 
Rizky darmawan tugas.1 perbatasan
Rizky darmawan tugas.1 perbatasanRizky darmawan tugas.1 perbatasan
Rizky darmawan tugas.1 perbatasan
 
2. sejarah perekonomian indonesia
2. sejarah perekonomian indonesia2. sejarah perekonomian indonesia
2. sejarah perekonomian indonesia
 
7 bab v politik dan kebijakan
7 bab v politik dan kebijakan7 bab v politik dan kebijakan
7 bab v politik dan kebijakan
 
Makalah perekonomian indonesia
Makalah perekonomian indonesiaMakalah perekonomian indonesia
Makalah perekonomian indonesia
 
Makalah batas wilayah laut indonesia
Makalah batas wilayah laut indonesiaMakalah batas wilayah laut indonesia
Makalah batas wilayah laut indonesia
 
Logika matematika
Logika matematikaLogika matematika
Logika matematika
 
Makalah wawasan nusantara dalam globalisasi
Makalah  wawasan nusantara dalam globalisasiMakalah  wawasan nusantara dalam globalisasi
Makalah wawasan nusantara dalam globalisasi
 
ARTIKEL PKN TUGAS 1 ADITYA WAHYU LES SETIAWAN.pdf
ARTIKEL PKN TUGAS 1 ADITYA WAHYU LES SETIAWAN.pdfARTIKEL PKN TUGAS 1 ADITYA WAHYU LES SETIAWAN.pdf
ARTIKEL PKN TUGAS 1 ADITYA WAHYU LES SETIAWAN.pdf
 
XII_Sejarah-Indonesia_KD-3.3_final.pdf
XII_Sejarah-Indonesia_KD-3.3_final.pdfXII_Sejarah-Indonesia_KD-3.3_final.pdf
XII_Sejarah-Indonesia_KD-3.3_final.pdf
 

Recently uploaded

BENTUK NEGARA ,BENTUK PEMERINTAHAN DAN SISTEM PEMERINTAHAN
BENTUK NEGARA ,BENTUK PEMERINTAHAN DAN SISTEM PEMERINTAHANBENTUK NEGARA ,BENTUK PEMERINTAHAN DAN SISTEM PEMERINTAHAN
BENTUK NEGARA ,BENTUK PEMERINTAHAN DAN SISTEM PEMERINTAHANharri34
 
1. TTT - AKKP (Pindaan 2022) dan AKJ (Pemansuhan 2022) (1A) (1).pptx
1. TTT - AKKP (Pindaan 2022) dan AKJ (Pemansuhan 2022) (1A) (1).pptx1. TTT - AKKP (Pindaan 2022) dan AKJ (Pemansuhan 2022) (1A) (1).pptx
1. TTT - AKKP (Pindaan 2022) dan AKJ (Pemansuhan 2022) (1A) (1).pptxmohamadhafiz651
 
pdf-makalah-manusia-nilai-moral-hukum.docx
pdf-makalah-manusia-nilai-moral-hukum.docxpdf-makalah-manusia-nilai-moral-hukum.docx
pdf-makalah-manusia-nilai-moral-hukum.docxINTANAMALINURAWALIA
 
UU-HKPD-Bahan-Sosialisasi-UU-No-1-tahun-2022-HKPD.pdf
UU-HKPD-Bahan-Sosialisasi-UU-No-1-tahun-2022-HKPD.pdfUU-HKPD-Bahan-Sosialisasi-UU-No-1-tahun-2022-HKPD.pdf
UU-HKPD-Bahan-Sosialisasi-UU-No-1-tahun-2022-HKPD.pdfSumardi Arahbani
 
2. MACAM MACAM KORBAN.ppt Materi Kuliah Hukum Viktimologi
2. MACAM MACAM KORBAN.ppt Materi Kuliah Hukum Viktimologi2. MACAM MACAM KORBAN.ppt Materi Kuliah Hukum Viktimologi
2. MACAM MACAM KORBAN.ppt Materi Kuliah Hukum ViktimologiSaktaPrwt
 
PENANGANAN PELANGGARAN PEMILU TAHUN 2024.pptx
PENANGANAN PELANGGARAN PEMILU TAHUN 2024.pptxPENANGANAN PELANGGARAN PEMILU TAHUN 2024.pptx
PENANGANAN PELANGGARAN PEMILU TAHUN 2024.pptxmuhammadarsyad77
 
interpretasi literal and purposive .pptx
interpretasi literal and purposive .pptxinterpretasi literal and purposive .pptx
interpretasi literal and purposive .pptxekahariansyah96
 
BUKU FAKTA SEJARAH :Pangeran Heru Arianataredja (keturunan Sultan Sepuh III S...
BUKU FAKTA SEJARAH :Pangeran Heru Arianataredja (keturunan Sultan Sepuh III S...BUKU FAKTA SEJARAH :Pangeran Heru Arianataredja (keturunan Sultan Sepuh III S...
BUKU FAKTA SEJARAH :Pangeran Heru Arianataredja (keturunan Sultan Sepuh III S...Indra Wardhana
 
materi hukum bisnis hukum persaingan usaha
materi hukum bisnis hukum persaingan usahamateri hukum bisnis hukum persaingan usaha
materi hukum bisnis hukum persaingan usahayunitahatmayantihafi
 
HAK PATEN yang merupakan salah satu bagian dari HAKI
HAK PATEN yang merupakan salah satu bagian dari HAKIHAK PATEN yang merupakan salah satu bagian dari HAKI
HAK PATEN yang merupakan salah satu bagian dari HAKIdillaayuna
 

Recently uploaded (10)

BENTUK NEGARA ,BENTUK PEMERINTAHAN DAN SISTEM PEMERINTAHAN
BENTUK NEGARA ,BENTUK PEMERINTAHAN DAN SISTEM PEMERINTAHANBENTUK NEGARA ,BENTUK PEMERINTAHAN DAN SISTEM PEMERINTAHAN
BENTUK NEGARA ,BENTUK PEMERINTAHAN DAN SISTEM PEMERINTAHAN
 
1. TTT - AKKP (Pindaan 2022) dan AKJ (Pemansuhan 2022) (1A) (1).pptx
1. TTT - AKKP (Pindaan 2022) dan AKJ (Pemansuhan 2022) (1A) (1).pptx1. TTT - AKKP (Pindaan 2022) dan AKJ (Pemansuhan 2022) (1A) (1).pptx
1. TTT - AKKP (Pindaan 2022) dan AKJ (Pemansuhan 2022) (1A) (1).pptx
 
pdf-makalah-manusia-nilai-moral-hukum.docx
pdf-makalah-manusia-nilai-moral-hukum.docxpdf-makalah-manusia-nilai-moral-hukum.docx
pdf-makalah-manusia-nilai-moral-hukum.docx
 
UU-HKPD-Bahan-Sosialisasi-UU-No-1-tahun-2022-HKPD.pdf
UU-HKPD-Bahan-Sosialisasi-UU-No-1-tahun-2022-HKPD.pdfUU-HKPD-Bahan-Sosialisasi-UU-No-1-tahun-2022-HKPD.pdf
UU-HKPD-Bahan-Sosialisasi-UU-No-1-tahun-2022-HKPD.pdf
 
2. MACAM MACAM KORBAN.ppt Materi Kuliah Hukum Viktimologi
2. MACAM MACAM KORBAN.ppt Materi Kuliah Hukum Viktimologi2. MACAM MACAM KORBAN.ppt Materi Kuliah Hukum Viktimologi
2. MACAM MACAM KORBAN.ppt Materi Kuliah Hukum Viktimologi
 
PENANGANAN PELANGGARAN PEMILU TAHUN 2024.pptx
PENANGANAN PELANGGARAN PEMILU TAHUN 2024.pptxPENANGANAN PELANGGARAN PEMILU TAHUN 2024.pptx
PENANGANAN PELANGGARAN PEMILU TAHUN 2024.pptx
 
interpretasi literal and purposive .pptx
interpretasi literal and purposive .pptxinterpretasi literal and purposive .pptx
interpretasi literal and purposive .pptx
 
BUKU FAKTA SEJARAH :Pangeran Heru Arianataredja (keturunan Sultan Sepuh III S...
BUKU FAKTA SEJARAH :Pangeran Heru Arianataredja (keturunan Sultan Sepuh III S...BUKU FAKTA SEJARAH :Pangeran Heru Arianataredja (keturunan Sultan Sepuh III S...
BUKU FAKTA SEJARAH :Pangeran Heru Arianataredja (keturunan Sultan Sepuh III S...
 
materi hukum bisnis hukum persaingan usaha
materi hukum bisnis hukum persaingan usahamateri hukum bisnis hukum persaingan usaha
materi hukum bisnis hukum persaingan usaha
 
HAK PATEN yang merupakan salah satu bagian dari HAKI
HAK PATEN yang merupakan salah satu bagian dari HAKIHAK PATEN yang merupakan salah satu bagian dari HAKI
HAK PATEN yang merupakan salah satu bagian dari HAKI
 

(SINDONEWS.COM) Opini hukum politik 23 agustus 2014-29 September 2014

  • 1. 1 DAFTAR ISI INDONESIA, BANGSA MARITIM YANG TERSESAT Bagus Jatmiko 4 DEMOKRASI DAN KEPATUHAN Janedjri M Gaffar 8 TATA KELOLA KOMUNIKASI PEMERINTAHAN BARU Gun Gun Heryanto 11 PEPESAN KOSONG KOALISI TANPA SYARAT Moch Nurhasim 14 OPOSISI JUGA SEKSI Iding Rosyidin 17 PEMILIHAN WAKIL GUBERNUR DKI: UJIAN “PANAS” KOALISI MERAH PUTIH Eko Ardiyanto 20 PEJABAT PUBLIK & SISTEM POLITIK Dinna Wisnu 22 MENGAPA HENDROPRIYONO? Bawono Kumoro 25 MELACAK AKAR KONFLIK ARAB-YAHUDI Faisal Ismail 28 KEADILAN SUBSTANTIF Moh Mahfud MD 31 DEMOKRASI INDONESIA Firman Noor 34 ANALISIS DAMPAK REGULASI Romli Atmasasmita 37 PENUMPANG GELAP JOKOWI-JK Bambang Soesatyo 40 PARASIT DI TUBUH POLRI Marwan Mas 43 GAWAT DARURAT HUKUM KONSERVATIF Moh Mahfud MD 46 ABORSI PADA KASUS PEMERKOSAAN
  • 2. 2 Sofyan Hasdam 48 KOALISI ABADI Sarlito Wirawan Sarwono 50 ANAS DAN OPINI YANG BERUBAH Ma’mun Murod Al-Barbasy 53 PENGUNDURAN DIRI JOKOWI Zainal Arifin Mochtar 57 MUNIR, 10 TAHUN MENOLAK LUPA Tom Saptaatmaja 60 KORUPSI DI SEKTOR MIGAS Marwan Batubara 63 DUA PRESIDEN Andi Syafrani 66 PERUBAHAN SISTEM DAN POLEMIKNYA M Alfan Alfian 70 PILKADA YANG KONSTITUSIONAL, DEMOKRATIS, DAN EFISIEN Ahmad Yani 73 PENGUNDURAN DIRI AHOK Muhammad Tri Andika 76 MK BUKAN LEGISLATIF Moh Mahfud MD 78 PARADOKS PILKADA LANGSUNG ATAU TAK LANGSUNG Moch Nurhasim 80 KEPASTIAN ARAH PENYELESAIAN SENGKETA PILKADA Samsul Wahidin 83 PRESIDENSIAL PASCA-PEMILU 2014 Janedjri M Gaffar 86 MORALITAS VS EFISIENSI Romli Atmasasmita 89 RUSAK AKIBAT PILKADA LANGSUNG Bambang Soesatyo 92 QUO VADIS PILKADA? Ma’mun Murod Al-Barbasy 96
  • 3. 3 KITA DAN REFERENDUM SKOTLANDIA Dinna Wisnu 99 FEDERASI ADVOKAT INDONESIA Amzulian Rifai 102 WAJAH GANDA JOKOWI-JK Romanus Ndau Lendong 105 KADO PAHIT DI AKHIR JABATAN Marwan Mas 108 KELIRUMOLOGI DALAM HUKUM Moh Mahfud MD 111 ADVOKAT DALAM CENGKERAMAN POLITIK Andi Syafrani 113 HADIRKAN FAKTA YANG BENAR (I) Anas Urbaningrum 116 HADIRKAN FAKTA YANG BENAR (II) Anas Urbaningrum 119 HADIRKAN FAKTA YANG BENAR (III) Anas Urbaningrum 122 PLEIDOI ANAS, MERINDU KEADILAN Ma’mun Murod Al-Barbasy 125 PELANTIKAN ANGGOTA DPR YANG TERSANGKUT KORUPSI Jamal Wiwoho 128 DEMOKRASI BUKAN UNTUK MENYESATKAN Arissetyanto Nugroho 131 MEMPERSOALKAN KONSISTENSI JOKOWI Bambang Soesatyo 134 KELIRUMOLOGI KEADILAN SUBSTANTIF Moh Mahfud MD 137 BECERMIN PADA NEGARA HUKUM YANG RETAK W Riawan Tjandra 139 PEMBEBASAN BERSYARAT: KELIRU ASAL, MELESET TUJUAN Reza Indragiri Amriel 142
  • 4. 4 Indonesia, Bangsa Maritim yang Tersesat Koran SINDO 23 Agustus 2014 Indonesia adalah negara kepulauan, itu adalah sebuah fakta yang tak terbantahkan, dengan lebar wilayah yang menyamai Amerika Serikat. Sebutan Indonesia sebagai negara maritim sudah merupakan julukan yang melekat selama ini, melihat kondisi geografis Indonesia dengan menimbang fakta bahwa tiga perempat wilayah teritorial Indonesia merupakan wilayah perairan. Namun, ada hal yang belum disepakati bersama dan mungkin masih menjadi bahan perdebatan, adalah kenyataan apakah Indonesia, dilihat dari sudut pandang pemerintah dan juga rakyatnya sendiri, sudah bertindak sesuai dengan takdir geografisnya sebagai sebuah negara maritim kepulauan ataukah masih jauh dari hal tersebut? Beberapa pihak akan menyatakan bahwa arah pembangunan Indonesia sudah cukup sesuai dengan kondisi geografis kepulauan yang dimiliki, apabila dilihat dari beberapa kebijakan pemerintah serta berbagai event internasional yang telah diadakan di bidang kemaritiman. Namun, anggapan ini akan segera mendapatkan bantahan dari pihak lainnya yang menyatakan bahwa hal tersebut belum cukup sebagai indikasi bahwa Indonesia telah kembali menjelma sebagai sebuah negara maritim besar. Justru sebenarnya Indonesia masih jauh dari layak untuk mendapatkan sebutan negara maritim, terutama bila dilihat dari sudut kebijakan pemerintah secara keseluruhan dan bagaimana rakyat Indonesia memandang negerinya sendiri yang sama sekali tidak mencerminkan garis kebijakan dan wawasan sebuah bangsa maritim. Hal ini karena tidak konsistennya kebijakan pemerintah yang ada saat ini dengan fakta geografi Indonesia yang merupakan negara kepulauan terbesar di dunia sehingga Indonesia dapat disebut sebagai sebuah negeri yang menyangkal takdirnya sendiri. Untuk memahami alasan di balik semua ini, kita harus melihat kilas balik sejarah Indonesia untuk dapat melihat alasan penyebab hal ini terjadi. Jauh sebelum era kolonialisme yang berlangsung lebih dari tiga abad, masyarakat Indonesia adalah orang-orang yang berorientasi maritim yang dapat terindikasi dari warna budayanya serta juga sistem pemerintahannya yang bercorak maritim. Namun, setelah masa kolonial, yang diawali oleh Spanyol, kemudian Portugal serta Belanda, sebagai kolonialis paling lama di bumi Indonesia, terjadi pergeseran karakteristik bangsa Indonesia secara sistematis karena pengaruh para kolonialis yang didominasi oleh dasar pemikiran kontinental yang kemudian mengikis pemahaman asli bangsa Indonesia yang sejatinya berjati diri sebagai bangsa
  • 5. 5 maritim. Sebagai konsekuensi dari perubahan pola pikir tersebut, prioritas kebijakan pembangunan nasional pun bergeser jauh tanpa mempertimbangkan lagi sektor maritim sebagai faktor penting di tataran strategis perkembangan bangsa. Tindakan ini sangat disesalkan karena merupakan indikasi yang sangat jelas bahwa negara dengan sengaja mengabaikan aset dan mungkin juga kekuatan terbesarnya. Arah perkembangan ekonomi nasional yang lebih menekankan pada sektor agraria (agrikultur) daripada sektor maritim (akuakultur) sudah terjadi selama lebih dari tiga dekade di bawah rezim Orde Baru dan masih berlanjut hingga sekarang. Akibatnya, Indonesia lebih dilihat sebagai negara yang berorientasi pada pertanian daripada berorientasi pada maritim. Sudut pandang demikian juga membuat fokus pengembangan wilayah yang lebih ke arah daratan, yang juga berefek samping pada pengabaian pembangunan di wilayah pesisir, belum lagi pembangunan pulau-pulau kecil di daerah perbatasan. *** Pengabaian pentingnya sektor maritim juga dapat mengakibatkan terciptanya daerah-daerah vakum yang disebabkan ketiadaan peran pemerintah di daerah tersebut. Daerah vakum ini kemudian akan diisi entitas-entitas lain selain dari pemerintahan yang sah. Di banyak daerah yang ditelantarkan pemerintah, kekosongan tersebut akan diisi kekuatan-kekuatan lain yang dapat mengambil bentuk seperti organisasi kriminal, pemberontak, bahkan memungkinkan munculnya klaim wilayah dari negara lain terhadap daerah vakum tersebut. Bukti akan fakta pahit ini adalah kasus Pulau Sipadan-Ligitan yang masih segar dalam ingatan bangsa Indonesia, ketika itu klaim pemerintah Malaysia dimenangkan Mahkamah Internasional (International Court of Justice-ICJ) pada tahun 2002 atas dasar penilaian “effective occupation” atau pendudukan efektif yang berarti bahwa justru pihak Malaysia yang memberikan perhatian berupa pasokan kebutuhan bagi para penduduk di pulau-pulau tersebut melebihi pemiliknya yang sah, Indonesia, yang pada faktanya justru menelantarkan mereka. Melihat arah perkembangan pertahanan nasional, merupakan suatu hal yang patut dicatat bahwa konsep pertahanan suatu bangsa akan sangat dipengaruhi oleh pola pikir pemimpin bangsa tersebut. Contoh dari bagaimana seorang pemimpin dapat memengaruhi sudut pandang suatu bangsa dapat dilihat dari fakta sejarah. Winston Churchill, mantan perdana menteri Inggris pada masa Perang Dunia ke-II, merupakan“ First Lord of Admiralty” atau semacam menteri angkatan laut Inggris Raya, sebelum menempati posisi sebagai perdana menteri. Dia paham benar bahwa Inggris Raya harus selalu menggantungkan diri pada keberadaan lautannya untuk dapat menahan semua ancaman yang datang. Franklin Delano Roosevelt, mantan presiden ke-32 Amerika Serikat, sebelum menjabat sebagai presiden AS, pernah
  • 6. 6 menjabat sebagai “Assistant Secretary of the Nacy” atau deputi menteri angkatan laut dalam kariernya di pemerintahan AS. Dia sangat mengerti bagaimana strategi kemaritiman dapat memengaruhi kejayaan atau kemunduran suatu negara. Kedua pemimpin dunia ini merupakan beberapa contoh pemimpin yang paham akan peran vital sektor maritim dalam menjamin keamanan negaranya masing-masing, dan bahwa pembangunan sektor maritim sangat fundamental guna mendukung kekuatan sebuah bangsa. Bagi sebuah negara maritim, merupakan hal yang sangat kritis untuk memiliki pemimpin-pemimpinnya yang berwawasan, serta mempunyai perspektif maritim. Hal ini diperlukan agar mereka mampu mengarahkan negaranya pada kejayaan yang bertumpu pada kekuatan di bidang maritim. Dikarenakan kesadaran akan pentingnya kekuatan maritim, Sekutu mampu membalikkan keadaan terhadap musuh-musuhnya pada Perang Dunia ke-II. Di lain pihak, kekalahan Nazi Jerman disebabkan oleh salah satu faktornya adalah pengabaian kekuatan AL Jerman (Kriegsmarine) oleh Hitler sang Fuhrer yang kemudian berakibat fatal. Fokus pada sektor maritim sebagai tulang punggung pertahanan negara merupakan suatu keniscayaan yang harus benar-benar dimengerti oleh pemimpin sebuah negara maritim, terutama bagi sebuah negara kepulauan terbesar di dunia. Poros pertahanan sebuah negara maritim sudah semestinya bertumpu kepada aspek kemaritiman. Hal ini bertolak belakang dengan apa yang digariskan Indonesia saat ini, yang justru mengabaikan sektor pertahanan maritimnya. Harus dicatat bahwa kekuatan maritim suatu bangsa terletak tidak hanya pada angkatan lautnya atau hanya sebatas pada kesatuan penegak hukum maritimnya, juga seperti yang ditekankan oleh Geofrey Till, penulis buku Sea Power bahwa kekuatan maritim itu juga melingkupi semua pihak dalam lingkup kemaritiman, termasuk pihak-pihak di sektor nonpemerintahan yang juga akan melingkupi sektor swasta. Para pelaku maritim nonpemerintah ini terdiri atas agensi-agensi yang mempunyai kepentingan terhadap aktivitas kemaritiman, seperti galangan kapal, industri perkapalan, perusahaan pelayaran, agensi keamanan maritim, serta asosiasi-asosiasi kemaritiman lainnya yang sebagian besar dari mereka berasal dari sektor swasta. Peran serta para pelaku maritim ini sangat krusial dalam upaya untuk mengembalikan kejayaan maritim bangsa Indonesia yang sebenarnya merupakan takdirnya bangsa ini yang sebenarnya. Tugas mulia ini akan menjadi mustahil untuk dilakukan apabila hanya ditangani oleh pemerintah tanpa adanya peran serta dari para pelaku maritim tersebut di atas. Kita sebagai bangsa Indonesia mempunyai tanggung jawab yang besar terhadap diri kita sendiri, dan juga kepada rekan sebangsa lainnya, untuk mengembalikan haluan negara kita yang salah arah selama ini, yang terhentakkan keluar dari jalurnya oleh perjalanan sejarah.●
  • 7. 7 MAYOR BAGUS JATMIKO Perwira TNI AL, Kandidat Master dalam Bidang Analis Pertahanan di Naval Postgraduate School, Monterey, California
  • 8. 8 Demokrasi dan Kepatuhan Koran SINDO 25 Agustus 2014 Kamis, 21 Agustus 2014 lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutus perkara perselisihan hasil pemilu presiden dan wakil presiden (pilpres) dengan amar putusan menyatakan menolak permohonan pemohon. Proses persidangan perkara perselisihan hasil pilpres yang menentukan presiden dan wakil presiden Indonesia untuk masa jabatan lima tahun ke depan ini mendapat perhatian besar, baik dari masyarakat dalam negeri maupun luar negeri. Pembacaan putusan perkara Nomor 1/PHPU.PRES-XII/2014 ini pun menyudahi proses politik pilpres dengan berbagai konstelasi yang melingkupinya. Penyelesaian perkara perselisihan hasil pemilu, baik terkait dengan perselisihan hasil pemilu anggota lembaga perwakilan (pileg) maupun pilpres, tidak hanya keberhasilan bagi MK, namun juga bagi segenap bangsa Indonesia karena telah berhasil menjalani pemilu secara damai dalam menentukan pemerintahan yang akan datang. Keberhasilan bangsa Indonesia menjalani dua pemilu pada 2014 ini juga merupakan bentuk nyata keberhasilan menjalankan prinsip negara hukum yang demokratis dan negara demokrasi berdasarkan hukum. Final dan Mengikat Pasal 24C UUD 1945 antara lain menyatakan bahwa MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk memutus perselisihan tentang hasil pemilu. Sifat final dalam putusan MK mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding). Artinya, putusan MK langsung memperoleh kekuatan hukum sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh. Putusan MK wajib dipatuhi dan dilaksanakan. Ini adalah perintah konstitusi sebagai wujud kesepakatan bersama segenap warga negara. Desain putusan MK bersifat final dan mengikat tentu tidak dapat dilepaskan dari hakikat keberadaan MK dalam konteks negara hukum yang demokratis dan negara demokrasi berdasarkan hukum. MK adalah pengadilan konstitusi yang memeriksa, mengadili, dan memutus obyek sengketa atau perkara dengan ukuran konstitusionalitas. Pada posisi ini MK menjadi penafsir akhir konstitusi yang harus menghindari ambiguitas atau pertentangan tafsir demi berjalannya kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang konstitusional. Karena itu, diperlukan satu otoritas akhir di tangan hakim konstitusi yang ketika menjatuhkan putusan akan menghilangkan semua perbedaan.
  • 9. 9 Dalam konteks demokrasi, otoritas akhir penentu perselisihan hasil pemilu diperlukan agar kontestasi pemilu yang tak berkesudahan tidak terjadi. Agar otoritas akhir pemutus perselisihan hasil pemilu memiliki legitimasi yang diakui semua pihak, ia harus bersifat independen dan imparsial terhadap aktor-aktor yang terlibat dalam pemilu, baik peserta maupun penyelenggara. Hakim akan memeriksa, mengadili, dan memutus perkara secara mendalam berdasarkan keadilan hukum. Hal ini sekaligus merupakan wujud nyata kepatuhan proses politik terhadap putusan hukum. Konstruksi ini dapat dijumpai di semua negara-negara demokrasi modern, terlepas dari perbedaan pengadilan mana yang diberi kewenangan memutus perselisihan hasil pemilu. Legalitas putusan final dan mengikat harus disertai legitimasi sehingga melahirkan kepatuhan. Legitimasi itu bersumber dari proses persidangan, personal hakim, dan argumentasi putusan. Proses persidangan harus berjalan secara adil dan transparan, memberikan kesempatan yang sama kepada semua pihak serta dapat diikuti oleh masyarakat. Transparansi sangat penting karena putusan yang akan dijatuhkan dapat dinilai dengan rasio publik. Legitimasi juga ditentukan oleh personal hakim yang memeriksa, mengadili dan memutus perkara. UUD 1945 mensyaratkan hakim konstitusi adalah seorang negarawan yang menguasai konstitusi. Negarawan memiliki makna yang luas, namun setidaknya dapat diartikan sebagai seseorang yang sudah terlepas dari kepentingan individu dan kelompok politik. Kepentingan bangsa dan negaralah yang menjadi orientasi satu-satunya. Sumber legitimasi ketiga adalah argumentasi putusan. Bagian utama putusan yang menjadi kekuatan legitimasi adalah argumentasi yang menjadi pertimbangan hukum putusan. Pertimbangan hukum putusan yang komprehensif, mempertimbangkan semua alat bukti dan fakta yang terungkap di persidangan, serta memiliki kejelasan nalar hukum akan menjadi sumber utama legitimasi putusan itu sendiri. Pasal 24C UUD 1945 adalah sumber legalitas konstitusional putusan MK yang bersifat final dan mengikat. MK sadar sepenuhnya akan arti strategis putusan yang dijatuhkan. Karena itu, putusan harus memiliki legitimasi kuat dengan cara menggelar persidangan yang adil dan transparan, menjaga independensi dan imparsialitas hakim, serta menyusun pertimbangan hukum putusan secara komprehensif dan mendalam. Kepatuhan Legalitas dan legitimasi adalah dasar bagi kepatuhan. Suatu putusan yang legal dan memiliki legitimasi kuat dengan sendirinya akan mendatangkan kepatuhan. Kepatuhan adalah kesediaan untuk menerima dan menjalankan putusan, tidak selalu terkait dengan persetujuan, apalagi kepuasan. Terhadap perkara yang melibatkan dua atau lebih pihak yang saling berhadapan hampir tidak mungkin ada putusan yang disetujui oleh semua pihak, apalagi memuaskan. Kita patut bangga bahwa putusan MK dalam perkara PHPU Presiden 2014 dipatuhi oleh semua pihak, dalam arti diterima dan dihormati, baik oleh pemohon, termohon, maupun pihak terkait.
  • 10. Kebanggaan ini tidak semata-mata milik MK, melainkan milik bangsa Indonesia yang telah menunjukkan kedewasaan dalam berdemokrasi sesuai prinsip negara hukum yang demokratis dan negara demokrasi berdasarkan hukum. Kepatuhan tersebut tentu tidak mensyaratkan adanya persetujuan atau kepuasan. Artinya, bisa saja ada pihak yang masih tidak setuju atau tidak puas dengan putusan yang telah dijatuhkan, namun dalam hal ini yang terpenting adalah putusan itu diterima, dihormati, dipatuhi dan dilaksanakan sebagai hukum. Dalam konteks perselisihan hasil pilpres, putusan MK adalah putusan akhir yang bersifat final dan mengikat. Kalaupun masih terdapat proses hukum atau proses politik lain yang dilakukan harus ditempatkan bukan sebagai forum untuk mempersoalkan hasil pilpres, melainkan lebih untuk memperbaiki penyelenggaraan pilpres di masa yang akan datang. Hanya dengan kepatuhan demikian demokrasi dapat berlanjut ke tahapan yang lebih substantif, yaitu proses pengambilan keputusan dan penyelenggaraan pemerintahan yang senantiasa melibatkan partisipasi masyarakat. Semua pihak harus berpartisipasi, baik sebagai pemegang pemerintahan maupun sebagai penyeimbang. Keduanya harus ada dan dijalankan. ● 10 JANEDJRI M GAFFAR Doktor Ilmu Hukum, Alumnus PDIH Universitas Diponegoro, Semarang
  • 11. 11 Tata Kelola Komunikasi Pemerintahan Baru Koran SINDO Senin, 25 Agustus 2014 PERHELATAN pemilihan umum yang reguler dilakukan setiap lima tahunan telah usai dengan beragam cerita yang mengiringinya. Kita patut bersyukur, meskipun tensi politik sangat panas sebagai ekses polarisasi dukungan terhadap dua arus utama pasangan capres/cawapres, pada akhirnya bangsa kita dewasa menyikapinya. Pemilu secara umum berjalan damai dan tiap pihak menghormati hukum, peraturan, etika, dan keadaban publik sebagai saluran berkompetisi. Ke depan jalan panjang terbentang, terjal dan butuh daya tahan luar biasa saat menghadapi tantangan nyata dari dalam maupun luar negeri. Tantangan Global Presiden terpilih lima tahun ke depan akan dihadapkan pada kompleksitas persolan di segala lini. Karena itu, butuh kemauan dan kemampuan untuk mengelola sumber daya alam, sumber daya manusia, sumber daya politik berupa dukungan, dan public trust sebagai modal sosial. Salah satu tantangan faktual di era baru ini adalah pengelolaan komunikasi pemerintahan dalam optimalisasi peran di dalam negeri, kawasan maupun dunia internasional. Ada sejumlah tantangan nyata di depan mata yang mengharuskan pemerintah memiliki visi komunikasi yang jelas, terarah, dan adaptif dengan konteks perubahan yang terjadi. Tantangan geopolitik terutama kompetisi di kawasan ASEAN dan dunia. Geopolitik mengkaji makna strategis dan politis suatu wilayah geografi mencakup lokasi, luas, serta sumber daya alam wilayah tersebut. Geopolitik mempunyai empat unsur pembangun, yaitu keadaan geografis, politik dan strategi, hubungan timbal balik antara geografi dan politik, serta unsur kebijakan. Kondisi geografi suatu negara tentu sangat memengaruhi berbagai aspek dalam penyelenggaraan negara bersangkutan seperti pengambilan keputusan, kebijakan politik luar negeri, hubungan perdagangan. Jika kita identifikasi ada sejumlah tantangan nyata di depan mata. Pertama, tahun 2015 Indonesia dihadapkan pada tantangan mulai berlakunya Masyarakat Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community). Pemberlakuan action dari Masyarakat Ekonomi ASEAN ini bertujuan memenuhi target MDGs (Milennium Development Goals). Kesepakatan ASEAN Free Trade Area (AFTA) mengharuskan kita mampu bersaing secara
  • 12. 12 sehat di berbagai bidang. Dengan konsep area ASEAN sebagai pasar tunggal, pembebasan bea tarif masuk antarnegara dan kerja sama saling menguntungkan mengharuskan Pemerintah Indonesia mengoptimalkan strategi komunikasi di kawasan. Indonesia harus meyakinkan pihak lain sebagai engine of growth bagi ekonomi kawasan dan dunia. Strategi komunikasi digunakan untuk promosi ekspor, membangun global brand, standardisasi internasional, penetrasi pasar baru di luar negeri, serta mengelola citra dan reputasi produk lokal kita kompetitif dalam persaingan global. Kedua, di skala global, Indonesia juga menjadi anggota The Group of Twenty (G-20) atau lazim dikenal dengan sebutan G-20. Dalam konteks kerja sama ini pun Indonesia belum tampil optimal. Indonesia terjebak utang yang besar dan cadangan devisa yang lemah. Kita kerapkali tak punya tawaran yang spesifik, bahkan kerap dipandang sinis bahwa keberadaan Indonesia hanya menjadi kanal kepentingan Amerika untuk merayu India dan China. Tentu stigma negatif ini harus diubah dengan mengoptimalkan peran di G-20 untuk kemajuan Indonesia. Ketiga, tantangan zona perang informasi global yang bersifat asimetris (zone of asymetric warfare) yang tak lagi berbasis gerakan militer sebagaimana kita pahami dalam konsep perang konvensional, melainkan melalui penetrasi informasi. Misalnya di pengujung 2013, SBY dan sejumlah pejabat Indonesia lainnya gusar sekaligus marah saat mengetahui penyadapan yang dilakukan Australia. Ironis memang karena Australia dan Indonesia merupakan negara bertetangga yang pasti memiliki banyak persinggungan kepentingan. Laporan yang dipublikasikan harian Australia Sydney Morning Herald (SMH), Kamis (31/10/2013), menyebutkan negara-negara di Asia Timur dan Tenggara termasuk Indonesia menjadi objek penyadapan berskala global. Tentunya dunia terperangah! Harian ternama Inggris The Guardian juga melaporkan Badan Keamanan Nasional AS (NSA) telah memantau komunikasi 35 pemimpin negara pada tahun 2006, termasuk Kanselir Jerman Angela Merkel dan Presiden Brasil Dilma Rousseff. Bocornya dokumen intelijen dari whistleblower bernama Edward Snowden yang dulu bekerja di NSA ini membuka mata banyak pihak bahwa perang informasi itu kini bersifat asimetris. Belum lagi tantangan perang cyber. Fenomena seperti ini dibahas panjang lebar oleh Richard A Clarke dan Robert K Knake dalam bukunya Cyber War (2010) sebagai serangan kontemporer yang harus diwaspadai bagi keamanan nasional. Metode seperti ini misalnya yang dipilih Wikileaks yang membocorkan dokumen-dokumen rahasia untuk memerangi korupsi dan rezim ketertutupan informasi. Beberapa informasi yang dibocorkan Wikileaks juga pernah menohok kehormatan SBY dan pemerintahan Indonesia.
  • 13. 13 Prioritas Pemerintah Tata kelola komunikasi nasional juga harus menjadi prioritas pemerintahan baru. Komunikasi sangat vital sehingga perlu ditempatkan pada posisi yang strategis. Pemerintah baru harus mampu mengelola harapan publik yang begitu tinggi dan menjaga modal sosial berbentuk public trust. Sejumlah tindakan komunikasi bisa dilakukan misalnya dengan mengoptimalkan akses informasi dari pemerintah untuk masyarakat, sosialisasi program jangka pendek, menengah dan panjang secara sistematis, kanal aduan, sinergi komunikasi antarlembaga pemerintah, komunikasi strategis terkait isu kontekstual yang muncul dari kondisi yang membutuhkan respons cepat pemerintah. Pemerintah harus memiliki blue print yang jelas mengenai pengelolaan opini publik, public relations politik, marketing komunikasi, komunikasi sosial, komunikasi internasional, komunikasi antarbudaya dll. Oleh karena begitu penting dan strategisnya komunikasi bagi pemerintahan baru diperlukan kebijakan dan tata kelola komunikasi yang optimal. Presiden SBY telah mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 1 Tahun 2014 yang ditandatanganinya pada 20 Januari 2014 mengenai pembentukan Dewan Teknologi Informasi dan Komunikasi Nasional (Detiknas). Detiknas adalah lembaga koordinasi eksekutif yang dibentuk dan diketuai Presiden Republik Indonesia melalui Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No 20 Tahun 2006. Detiknas memiliki visi untuk mempercepat pertumbuhan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) di Indonesia secara efisien dengan membuat kebijakan TIK secara nasional melalui sinkronisasi program-program TIK di seluruh kementerian/lembaga. Sayangnya, peran dewan ini antara ada dan tiada! Ke depan, menurut saya, harus ada tata kelola yang lebih fokus pada sinkronisasi komunikasi nasional dan internasional. Mampu merumuskan kebijakan umum, arahan strategis, koordinasi sistemik guna menyelesaikan persoalan komunikasi pemerintahan baru. DR GUN GUN HERYANTO Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta dan Pengurus Pusat Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia (ISKI)
  • 14. 14 Pepesan Kosong Koalisi Tanpa Syarat Koran SINDO 26 Agustus 2014 Hasil keputusan Mahkamah Konstitusi (MK), 21 Agustus 2014 telah mengukuhkan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) sebagai presiden terpilih dan tinggal menunggu pelantikan pada 20 Oktober 2014 mendatang. Keputusan MK yang menolak seluruh gugatan pasangan capres Prabowo Subianto-Hatta Rajasa menyebabkan dinamika politik koalisi yang kian menarik. Masalahnya, apakah model koalisi yang digagas oleh Jokowi sebagai koalisi yang tanpa syarat dapat diwujudkan. Beberapa kali Jokowi mengingatkan agar partai pendukungnya berkoalisi tanpa syarat dan menteri yang terpilih melepaskan jabatan partai politik (parpol). Artinya, tidak ada syarat apa pun termasuk soal jabatan menteri ketika kemudian dalam pilpres menang (KORAN SINDO, 12/8). Gagasan Jokowi sebagai presiden terpilih di atas bukan tanpa tantangan. Secara ideal bisa saja dilakukan, tetapi politik adalah politik, penuh dinamika, onak, dan duri. Dengan dukungan yang kecil dari partai pengusung di parlemen, amat mustahil konsep koalisi tanpa syarat dapat diterapkan. PDIP sebagai partai utama pendukung Jokowi hanya memperoleh 109 kursi (19,46%). Jika ditambah dengan kursi Nasdem 6,25%, PKB 8,39%, dan kursi Hanura 2,85% dari 560 kursi DPR, tampak jelas modal dan dukungan presiden terpilih sangat minim. Total jumlah kursi pendukung Jokowi hanya 207 kursi atau 36,96%. Selain dukungan yang minim, publik pun tahu presiden tidak bekerja sendiri dalam memutuskan kebijakan. Memang benar Jokowi-JK sebagai pemenang pemilu yang langsung dipilih oleh rakyat. Akan tetapi, Indonesia menganut sistem presidensial yang meniscayakan adanya hubungan kerja sama antara presiden dan DPR dalam membuat kebijakan. Argumentasi presiden memiliki legitimasi karena dipilih langsung oleh rakyat, sama halnya dengan mengasumsikan presiden dalam menjalankan roda pemerintahan dapat bekerja sendiri. Dalam sistem presidensial, ada perbedaan mendasar antara relasi DPR-presiden dan presiden- DPR dalam membangun mekanisme checks and balances. Format hubungan DPR-presiden berbeda dengan hubungan presiden-DPR untuk sebuah proses kebijakan atau lahirnya sebuah undang-undang. DPR posisinya lebih tinggi, karena sebuah undang-undang tanpa persetujuan presiden secara otomatis akan berlaku setelah 30 hari. Sebaliknya, kebijakan presiden tanpa dukungan DPR dengan mudah akan dihentikan di tengah jalan.
  • 15. 15 *** Dengan kondisi seperti itu, pernyataan Jokowi, presiden terpilih yang menyatakan bahwa koalisi yang akan dibentuk adalah koalisi tanpa syarat, ibarat menegakkan benang basah. Artinya, secara politik koalisi tanpa syarat dan struktur kabinet tanpa menteri dari partai hampir mustahil dilakukan. Ibaratnya, tak ada dukungan yang gratis, dan tak ada dukungan politik yang tidak menginginkan jabatan kekuasaan di pemerintahan. Membayangkan kabinet Jokowi-JK tanpa orang-orang partai ibarat membangun pemerintahan yang selalu berada dalam ancaman. Pengalaman di era Gus Dur, Mega, dan SBY dapat menjadi contoh, dengan kabinet yang didukung oleh partai politik yang jumlahnya cukup signifikan saja, seperti Presiden Gus Dur yang diusung poros tengah saja dimakzulkan. Begitu pula dengan beberapa kasus kebijakan SBY yang ditentang keras oleh DPR, padahal SBY membangun pemerintahannya dengan koalisi yang besar, hampir 70% partai koalisinya menguasai kursi parlemen. Dalam konteks seperti itu, PDIP sebagai partai pengusungnya lebih realistis. PDIP menyadari dengan kekuasaan koalisi 36% di parlemen, masih perlu mencari kawan baru untuk bergabung. Pilihannya hanya satu, menarik partai yang sudah berkoalisi dengan Prabowo- Hatta atau Partai Demokrat yang ingin menjadi partai penyeimbang. Dengan modal partai pendukung yang kecil pula, Jokowi mengalami dilema dalam melakukan negosiasi dengan partai-partai yang akan diajak berkoalisi. Sebut sebagai contoh, penolakan PKB atas gagasan Jokowi agar menteri tidak merangkap jabatan partai dan PKB menagih janji jatah menteri, termasuk menteri agama, adalah sinyal awal bahwa koalisi tanpa syarat bukan tanpa masalah. Sama halnya dengan itu, keinginan untuk menarik kawan baru apakah PPP, Partai Demokrat, atau Golkar, menurut hemat penulis bergantung pada tawaran yang akan diberikan. Istilahnya tak ada jatah menteri, tak ada dukungan, tidak mungkin ada politik yang gratis, partai dibentuk untuk berkuasa, pasti mereka memiliki kepentingan untuk memperoleh jabatan. Dengan kekuatan yang hanya 36,96% pula, rasanya hampir mustahil menegakkan kepala dengan mengatakan bahwa koalisi tidak boleh macam-macam, partai yang mendukung tidak boleh meminta balas budi, dan semua kuasa hanya ada pada presiden terpilih. Situasi itulah yang kini sedang dihadapi oleh PDIP dan Jokowi. Itulah realitas politik yang sedang bergolak di dalam. Pencitraan bahwa calon-calon menteri sedang digodok dengan mekanisme keikutsertaan publik dalam mengusulkan nama-nama adalah sebuah proses yang bisa menjadi antiklimaks. Proses penyusunan struktur kabinet yang dikemukakan ke publik sebagai kabinet yang profesional, ramping, dan minim orang partai, dapat saja mengangkat nama presiden terpilih. Tetapi sebaliknya apabila bertentangan dengan susunan nama-nama kabinetnya, justru akan memunculkan kekecewaan politik dan awal ketidakpercayaan terhadap presiden terpilih. Komunikasi yang mulai gencar dilakukan oleh PDIP dan sejumlah pihak pendukung presiden terpilih memperlihatkan pula bahwa mereka merasa “tidak aman”. Kekuatan oposisi yang
  • 16. 16 berasal dari barisan Merah Putih Prabowo yang terdiri atas PAN, PPP, Golkar, PKS, dan Gerinda, jika benar akan permanen dan tak ada yang membelot adalah sebuah buldoser oposisi dengan penguasaan 52,14%. Sebuah kekuatan oposisi yang bukan saja akan mengancam, melainkan justru dapat menimbulkan “huru-hara” politik di parlemen. Oleh karena itu, wacana koalisi tanpa syarat, tidak ada bagi-bagi jabatan dapat disebut sebuah pepesan kosong, sesuatu yang mustahil terjadi. Apa maknanya? Kontestasi koalisi pascakeputusan MK adalah sebuah proses koalisi yang sedang dibangun oleh presiden terpilih untuk mengamankan dukungan politiknya di parlemen. Dalam suasana politik Indonesia saat ini, adakah koalisi yang ikhlas, koalisi tanpa imbal jasa? ● MOCH NURHASIM Peneliti pada Pusat Penelitian Politik-LIPI
  • 17. 17 Oposisi juga Seksi Koran SINDO 27 Agustus 2014 Kini pasangan Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK) telah resmi sebagai presiden dan wakil presiden Republik Indonesia periode 2014-2019 setelah Mahkamah Konstitusi (MK) menolak seluruh gugatan yang dilayangkan pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Upaya-upaya hukum yang ditempuh penggugat, dengan demikian, telah berakhir karena keputusan MK bersifat final dan mengikat. Terkait masalah ini, banyak pertanyaan yang muncul tentang bagaimana masa depan Koalisi Merah Putih yang beranggotakan partai-partai politik pendukung pasangan nomor urut dua tersebut. Apakah mereka akan tetap berkoalisi setidaknya sampai lima tahun ke depan sehingga memilih berada di luar kekuasaan ataukah akan bubar di tengah jalan karena sebagian anggotanya tergiur masuk ke dalam kekuasaan? Kekuasaan yang Menggoda Bukan tidak mungkin sebagian anggota Koalisi Merah Putih akan berpindah haluan untuk mendukung pemerintahan Jokowi-JK. Seperti diwacanakan belakangan ini bahwa Demokrat dan PAN tengah didekati PDIP agar bergabung ke dalam gerbongnya. Meski Demokrat sudah mengeluarkan pernyataan resmi untuk bersikap netral, sejumlah elite partai ini banyak yang melakukan pendekatan dengan partai pemenang pemilu. Sementara para elite partai-partai anggota Koalisi Merah Putih lain mulai melakukan manuver. Golkar misalnya bahkan telah cukup lama diramaikan dengan wacana penyelenggaraan musyawarah nasional (munas) pada Oktober 2014, dipercepat dari yang seharusnya pada 2015 sebagaimana kesepakatan Munas VIII di Riau. Calon kuat ketua umum partai beringin yang muncul, Agung Laksono, tegas-tegas menyatakan akan mendukung pemerintahan Jokowi-JK. Jika ini terjadi, Golkar jelas akan keluar dari Koalisi Merah Putih. Hal yang sama juga tengah menimpa PPP. Adanya keinginan elite-elite partai politik pendukung koalisi untuk berubah haluan kian menahbiskan bahwa kekuasaan memiliki daya penggoda yang luar biasa. Ironisnya, di republik ini partai-partai politik dalam banyak hal kerap menggantungkan hidupnya pada ketiak kekuasaan. Karena itu, ketika dihadapkan pada pilihan untuk berada di luar, mereka seolah-olah merasa tidak akan mampu berbuat banyak. Ini diperparah dengan kecenderungan pragmatisme partai-partai politik tersebut di mana kursi atau kekuasaan merupakan segala-galanya dalam berpolitik. Politik semata-mata dimaknai seperti yang
  • 18. 18 dikatakan Harold D. Lasswell sebagai siapa memperoleh apa, kapan, dan bagaimana (who gets what, when and how). Akibat itu, mereka lebih memilih untuk berada di dalam kekuasaan yang dianggapnya sebagai zona nyaman ketimbang mengambil risiko untuk berada di luar kekuasaan. Oposisi, Mengapa Tidak? Padahal sesungguhnya politik yang sehat memerlukan keseimbangan kekuasaan. Kekuasaan tanpa penyeimbang akan mudah terjatuh pada otoritarianisme dan bentuk-bentuk kesewenangan lain. Tesis Lord Acton yang sangat terkenal, kekuasaan cenderung korup dan kekuasaan absolut cenderung korup secara mutlak (power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely), tampaknya sulit dibantah. Berbagai praktik kekuasaan tanpa kekuatan penyeimbang dengan mudah ditemukan di negara-negara otoriter, termasuk di negeri ini pada masa Orba. Kekuatan penyeimbang tidak dapat disangkal lagi merupakan prasyarat mutlak (conditio sine qua non) bagi tegaknya demokrasi di negeri ini. Karena itu, partai-partai politik anggota Koalisi Merah Putih, kalaupun tidak semuanya, seyogianya ada yang tetap memainkan peran penyeimbang atau oposisi untuk lima tahun ke depan. Mereka tidak perlu ragu-ragu untuk menyatakan dirinya sebagai partai oposisi bagi pemerintahan Jokowi-JK. Hemat penulis, peran sebagai oposisi bisa menjadi sesuatu yang menguntungkan bagi partai-partai politik. Jika peran oposisi yang dimainkannya berjalan secara benar, besar kemungkinan oposisi akan menjadi investasi politik pada masa-masa yang akan datang. Artinya, mereka akan dapat memanen dividen investasi politik itu pada waktunya nanti. Demikianlah kita misalnya menyaksikan silih bergantinya partai yang berkuasa di AS. Yang menjadi oposisi bisa menarik hati publik sehingga kemudian mampu berkuasa pada periode berikutnya. Karena itu, publik sangat berharap anggota Koalisi Merah Putih seperti Gerindra, PKS, dan PBB, syukur-syukur juga anggota-anggota Koalisi Merah Putih lainnya, konsisten memainkan peran oposisi paling tidak selama lima tahun ke depan. Peran oposisi yang baik, menurut hemat penulis, harus diorientasikan pada ihwal berikut. Pertama, oposisi seyogianya didasarkan pada niat untuk melakukan politik keseimbangan terhadap kekuasaan. Mereka sadar sepenuhnya bahwa dalam kultur demokrasi kekuasaan tidak boleh dibiarkan berjalan sendiri, tapi harus ada yang mengimbanginya. Jangan sampai oposisi dipengaruhi oleh motif balas dendam atas kekalahan yang diderita partai-partai oposisi saat pemilu. Kalau motif ini yang mengemuka, bisa dipastikan peran oposisi yang dimainkannya tidak akan berjalan dengan baik. Kedua, peran oposisi harus dilakukan secara cerdas, jangan asal-asalan. Dengan kata lain, partai-partai oposisi harus bisa menempatkan dirinya kapan untuk bersikap kritis atas kebijakan pemerintah dan kapan saatnya memberikan dukungan. Asal kritis saja atau lebih parah asal berbeda dengan pemerintah, alih-alih akan mendatangkan simpati justru akan menimbulkan antipati publik. Ini malah membahayakan bagi partai-partai itu.
  • 19. Ketiga, oposisi seyogianya dimaknai sebagai bentuk merawat tradisi politik yang baik di republik ini. Sebagaimana diketahui, budaya politik Indonesia hampir tidak mengenal tradisi oposisi apalagi selama kendali kekuasaan dipegang rezim Orba. Jangankan oposisi, potensi-potensi 19 perbedaan sikap dan pandangan dengan pemerintah saja ketika itu segera disapu bersih oleh penguasa bahkan dengan menggunakan kekerasan. Baru setelah memasuki reformasi oposisi mulai muncul meski belum menjadi tradisi politik yang melembaga. Pada dua periode pemerintahan kemarin misalnya PDIP telah memainkan peran oposisi dengan cukup baik dan kini dapat menunai hasilnya. Maka itu, sangat tepat kalau Gerindra, PKS, dan partai anggota Koalisi Merah Putih lain juga ikut merawat tradisi politik yang baik ini dengan menempuh jalur oposisi. Pada masa-masa yang akan datang bukan tidak mungkin kita dapat menyaksikan silih berganti kekuasaan di Indonesia antara penguasa dan oposisi. Dengan demikian, oposisi tidak lagi menjadi sesuatu yang dianggap tabu di negeri ini. Sebaliknya, ia justru isu seksi yang mesti dimanfaatkan partai-partai politik yang mengalami kekalahan dalam pemilu. Sekali lagi, tidak perlu ragu untuk menempuh jalur oposisi. IDING ROSYIDIN Dosen Komunikasi Politik FISIP UIN Jakarta dan Deputi Direktur the Political Literacy Institute
  • 20. 20 Pemilihan Wakil Gubernur DKI: Ujian ”Panas” Koalisi Merah Putih Koran SINDO 27 Agustus 2014 Senin (25/8) lalu 106 anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta dilantik dan diambil sumpahnya. Aroma pertarungan politik sudah langsung merebak di Kantor DPRD yang bersebelahan dengan Balai Kota tempat gubernur dan wakil gubernur berkantor. Dengan keterpilihan Joko Widodo sebagai presiden RI 2014-2019, secara otomatis sesuai Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 26 Ayat 3, Wakil Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) akan naik menjadi gubernur DKI Jakarta. Lalu, siapa wakil gubernurnya yang akan mendampingi Ahok? Di sinilah ”ujian panas” pertama Koalisi Merah Putih pendukung calon presiden Prabowo Subianto-Hatta Rajasa ditentukan. Merujuk komposisi anggota DPRD DKI 2014-2019 kekuatan Koalisi Merah Putih berjumlah 57 kursi (Gerindra 15, PKS 11, PPP 10, Demokrat 10, Golkar 9, dan PAN 2), sedangkan koalisi pendukung Jokowi-JK berjumlah 49 kursi (PDIP 28 kursi, Hanura 10, PKB 6, dan NasDem 5). Seperti diketahui, pasangan Jokowi-Ahok di Pilkada DKI diusulkan PDIP dan Gerindra, hanya dua partai inilah yang berhak mengajukan calon wakil gubernur ke DPRD, ini sesuai Undang-Undang Pemerintahan Daerah Pasal 26 ayat 4 yang isinya: ”Kepala daerah mengajukan dua calon wakil kepala daerah berdasarkan usul partai politik atau gabungan partai politik pengusungnya dulu untuk dipilih dalam rapat paripurna DPRD”. Aroma persaingan ”merebut” kursi DKI-2 sudah terlihat dari sikap Partai Gerindra dan PDI Perjuangan yang ”ngotot” mengajukan calon masing-masing. Dari Gerindra ada nama M Sanusi (ketua Fraksi Gerindra DPRD DKI 2009-2014) dan M Taufik (ketua DPD Gerindra DKI), sementara PDIP mengantongi tiga calon yakni Boy Sadikin (ketua DPD PDIP DKI Jakarta), Djarot Saiful (mantan Wali Kota Blitar), dan Bambang DH (mantan Wali Kota Surabaya). Partai Gerindra tentu akan bertarung habis-habisan untuk merebut kursi wakil gubernur DKI karena partai pendukung Prabowo Subianto ini tak ingin kehilangan muka dua kali setelah kalah di pilpres lalu. Tawaran-tawaran politik di panggung pimpinan DPRD DKI akan menjadi ”hadiah” jika anggota Koalisi Merah Putih solid. Bukan tidak mungkin, jika kursi wakil gubernur DKI diisi
  • 21. kader Gerindra, ketua DPRD akan diisi anggota dari PPP atau Demokrat, sedangkan posisi wakil ketua DPRD dan ketua komisi akan dibagi rata pendukung Koalisi Merah Putih. Namun, kalkulasi politik Koalisi Merah Putih ini sebaiknya juga harus mempertimbangkan masukan Ahok sebagai gubernur DKI pengganti Jokowi, yang menginginkan pendampingnya orang yang jujur, pekerja keras, dan bisa mengimbangi sikap dinamis dirinya. 21 Syarat menjadi kepala daerah juga pernah disampaikan Ahok. Selain pertimbangan dari Ahok, Partai Gerindra sebagai motor Koalisi Merah Putih di DPRD DKI Jakarta juga harus memperhitungkan masa depan politik untuk pilkada selanjutnya. Jangan sampai, karena hanya ingin memaksakan kehendak merebut kursi DKI-2, prestasi Ahok dan wakil gubernurnya nanti justru menjadi bumerang. Fraksi Demokrat Jadi Penentu Hampir mirip dengan situasi di DPR pusat, Fraksi Demokrat di DPRD DKI Jakarta akan menjadi penentu peta koalisi. Hitungan politik Koalisi Merah Putih di DPRD DKI bisa bubar jalan jika Fraksi Demokrat yang memiliki 10 kursi memilih bergabung ke koalisi pendukung Jokowi-JK dan mendukung calon wakil gubernur yang akan diajukan PDI Perjuangan. Fraksi Demokrat tentu punya kalkulasi politik tersendiri, jika mereka memilih bergabung dengan PDIP daripada Gerindra, bisa jadi partai besutan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memiliki target di Pilkada atau Pemilu Legislatif 2019 mendatang agar bisa kembali menjadi fraksi mayoritas seperti pada 2004-2009. Jika Fraksi Demokrat benar bergabung dengan PDIP, dukungan ini tentu tak ”gratis”, pasti ada tawar-menawar politik bagi kader Demokrat di DPRD DKI. Menurut prediksi penulis, selaku gubernur DKI Jakarta yang baru nanti, Ahok pasti menginginkan pendampingnya berasal dari koalisi yang dimotori PDI Perjuangan agar dukungan di legislatif semakin kuat karena Ahok yang berasal dari Gerindra dan wagub yang berasal dari PDIP akan memiliki kepentingan yang sama yakni kepemimpinan yang sukses hingga 2017. Jika pasangan ideal ini terwujud, masalah penyerapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tentu tidak akan menjadi masalah seperti tahun sebelumnya. Lalu, bagaimana akhir ”drama” pemilihan wakil gubernur DKI Jakarta ini? Jawabannya akan mulai terlihat pada proses pemilihan pimpinan DPRD DKI 2014-2019 hingga penetapan wakil gubernur. Apakah Koalisi Merah Putih akan lolos pada ”ujian panas” pertamanya ini? Kita lihat saja nanti. EKO ARDIYANTO Mahasiswa Program Pascasarjana Komunikasi Politik Universitas Persada Indonesia Y.A.I Jakarta
  • 22. 22 Pejabat Publik & Sistem Politik Koran SINDO 27 Agustus 2014 Tiga hari lalu Jenderal Prayuth Chan-ocha menjadi orang nomor dua terkuat di Thailand setelah Raja King Bhumibol Adulyadej. Dia adalah perdana menteri ke-29 dan akan memimpin Thailand menuju pemilihan umum di bulan Oktober 2015. Dia saat ini masih menjabat sebagai kepala staf Angkatan Darat Thailand, tetapi akan memasuki masa pensiun pada bulan September tahun ini. Meski begitu masyarakat Thailand masih ragu apakah sang jenderal akan legawa meletakkan jabatannya mengingat sejarah sepak terjang militer sebagai kekuatan politik yang mampu memotong seluruh jalur prosedur demokrasi yang dibangun di Thailand. Kalaupun Jenderal Prayuth memiliki niat baik untuk meletakkan jabatan militernya, sang pengganti haruslah seseorang yang ia kenal baik dan loyal. Hal ini mengandung makna bahwa kepangkatan tidak menjamin loyalitas bila tidak disertai hubungan antarpribadi yang dekat. Selain itu, konsultasi dengan pihak kerajaan juga tidak dapat diabaikan karena Raja Thailand masih menjadi figur kuat dalam menentukan arah politik (termasuk upaya menuju demokrasi) di Thailand walaupun secara fisik beliau semakin hari lemah karena usia. Ujian terdekat Jenderal Prayuth adalah penyusunan kabinet. Apakah ia akan mengakomodasi kelompok Kaus Merah dan Kuning? Siapakah yang mendapatkan posisi penting dalam kabinet? Beberapa analis politik mengatakan politik tidak beda dengan sistem ekonomi pasar. Para aktor saling bertransaksi untuk mendapatkan legitimasi dari aktor lain. Istilah umumnya, tidak ada makan siang gratis. Di Amerika misalnya dikenal dengan istilah pork-barrel, yaitu tukar-menukar dukungan dengan mengucurkan proyek pembangunan di sebuah wilayah. Namun perumpamaan ini juga tidak sepenuhnya benar. Pertama karena dalam ekonomi pun tidak ada yang namanya persaingan bebas. Pertukaran dalam ekonomi pasar juga memiliki biaya yang membuat hukum permintaan-penawaran tidak selalu berjalan sempurna. Para ekonom menyebutnya anomali, tetapi ahli sosiologi dan politik menyebutnya sebagai aspek sosial ekonomi. Maksudnya bahwa ekonomi hidup dalam sebuah ruang yang sesak dengan berbagai macam sistem, aturan, nilai, moral, etika, sistem rasional, dan sebagainya. Pada saat permintaan BBM tinggi dan persediaan rendah, harga minyak di SPBU semestinya mengikuti hukum tersebut. Namun dalam kenyataannya tidak terjadi karena sistem politik menahan harga tersebut walaupun akibatnya pembangunan di sektor lain seperti infrastruktur, pendidikan
  • 23. 23 atau kesehatan menjadi tersendat-sendat pelaksanaannya. Demokrasi Thailand adalah salah satu contoh terdekat yang dapat kita diskusikan. Demokrasi di sana selalu dibayang-bayangi dengan ketakutan akan selalu terjadinya kudeta militer apabila masyarakat sipil tidak dapat menyelesaikan persoalan mereka secara sipil. Penjelasan yang umum yang melatarbelakangi kekhawatiran itu antara lain karena sistem demokrasi Thailand masih mencampuradukkan antara kekuasaan monarki dan kekuasaan politik modern. Secara formal kekuasaan Raja Thailand telah berkurang dibandingkan 80 tahun lalu. Ketika itu raja menyetujui desakan kaum reformis untuk memberikan hak konstitusi kepada warga di mana raja melepaskan kekuasaan eksekutif, yudikatif dan legislatif. Meski demikian, raja Thailand saat ini masih merupakan pimpinan tertinggi dari angkatan bersenjata dan memiliki kekuasaan untuk memberikan pengampunan. Kebebasan berpendapat dijamin selama tidak menyinggung simbol-simbol kerajaan. Siapapun yang melanggar akan masuk ke penjara. Pertanyaannya kemudian apakah demokrasi dengan percampuran antara kekuasaan raja dan sistem politik yang modern adalah sebuah bentuk demokrasi yang ideal untuk masyarakat Thailand? Jawabannya sangat relatif. Bagi kaum rational choice, demokrasi di Thailand bukan demokrasi yang ideal karena sistem politiknya tidak menyediakan atau mendukung tumbuhnya tindakan-tindakan rasional untuk mencapai tujuannya. Sistem politik harus menciptakan lingkungan di mana para aktor dan tindakannya didorong berpolitik dengan menggunakan etika, moral, dan pertimbangan-pertimbangan yang dapat diterima akal manusia khususnya etika dan moral. Apabila sistem politik tidak mendukung hal tersebut, yang terjadi adalah tindakan para aktor politik yang tidak bermoral dan tidak beretika. Pandangan demikian banyak berbenturan dengan kenyataan yang ada di lapangan. Contoh adalah China dengan sistem satu partainya. Apakah kita dapat menyatakan bahwa China lebih baik dari Thailand atau sebaliknya Thailand lebih baik dari China? Kaum realis-pragmatis berpandangan baik atau tidaknya demokrasi harus dikembalikan kepada rakyat itu sendiri. Apabila sistem itu tidak cocok, rakyat pasti akan menolak dan melakukan perubahan. Namun, apabila cocok, masyarakatnya akan baik-baik saja. Negara-negara sosialis sebelum Tembok Berlin runtuh menolak sistem demokrasi Barat. Mereka menganggap demokrasi itu adalah demokrasi borjuis. Hanya Kuba dan China yang secara resmi menyatakan menganut ideologi sosialis yang masih bertahan. Negara-negara Timur Tengah yang masih memiliki kekuasaan monarki juga menolak demokrasi tersebut karena terlalu sekuler dan tidak sesuai dengan ajaran agama mayoritas. Apabila kita menyerahkan definisi yang ideal dan tidak dari sejauh mana masyarakat bereaksi, apakah kita tidak terjebak dalam relativisme atau pendapat yang menyatakan tidak ada satu kebenaran yang sah karena kebenaran itu bersifat terbatas baik oleh waktu maupun ruang? Saya tidak berniat menjawab pertanyaan itu karena selain ruang yang terbatas, pertanyaan
  • 24. tersebut lebih baik dijawab oleh pejabat publik yang akan menggantikan atau memperpanjang kekuasaan mereka seusai hiruk pikuk pemilihan legislatif dan presiden bulan lalu. Pertanyaan-pertanyaan seperti ini semestinya menjadi pertanyaan yang harus hidup dalam benak seluruh pejabat politik di Indonesia, terutama mereka yang duduk di kursi presiden, parlemen, kabinet, badan-badan negara dan lembaga publik lain. Para pejabat harus hati-hati dalam memutuskan dan bertindak karena apa yang mereka lakukan akan memiliki dampak yang besar kepada masyarakat. Para pejabat publik tidak boleh berhenti mencari jawaban ideal tentang mengapa mereka ingin maju dan duduk di kursi kekuasaan. Apakah karena berjuang untuk mengurangi kemiskinan? Berjuang memperbesar biaya pendidikan atau kesehatan? Melakukan perubahan untuk kehidupan toleransi atau hanya iseng demi memperbaiki status sosial ekonomi? Apabila para anggota parlemen tidak lagi peduli untuk mencari tahu apa yang membuat mereka terdorong masuk di parlemen, sejak saat itulah mereka tidak lagi berarti. ● 24 DINNA WISNU, PhD Co-Founder & Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi, Universitas Paramadina @dinnawisnu
  • 25. 25 Mengapa Hendropriyono? Koran SINDO 28 Agustus 2014 Usai sudah pesta demokrasi lima tahunan pemilihan presiden (pilpres). Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan pasangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla sebagai pemenang pilpres tahun 2014 dengan perolehan 70.997.833 suara (53,15%). Sementara pasangan Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa memperoleh 62.576.444 suara (46,85%). Kemenangan pasangan nomor urut satu itu kian kukuh pascapenolakan Mahkamah Konstitusi terhadap gugatan perselisihan hasil pemilihan umum yang diajukan oleh pasangan Prabowo-Hatta pada Kamis (21/8) lalu. Berbagai pekerjaan rumah terkait kehidupan bangsa dan negara–baik di bidang ekonomi, politik, maupun hukum–telah menanti untuk segera dituntaskan setelah pasangan nomor urut dua tersebut secara resmi dilantik sebagai presiden dan wakil presiden pada 20 Oktober mendatang. Seiring dengan hal itu, presiden terpilih Joko Widodo telah membentuk tim transisi dengan komposisi keanggotaan Rini Mariani Soemarno, Anies Baswedan, Andi Widjajanto, Hasto Kristianto, dan Akbar Faizal. Beberapa tugas utama tim transisi adalah mempersiapkan hal-hal strategis terkait Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2015, mempersiapkan arsitektur kabinet, dan mempersiapkan kelancaran rencana program Joko Widodo- Jusuf Kalla. Pembentukan tim transisi menuai apresiasi karena dinilai sebagai ikhtiar politik Joko Widodo selaku presiden terpilih, untuk menghemat waktu agar pemerintahan mendatang dapat langsung bekerja setelah pelantikan. Meskipun demikian, tidak sedikit pula kritik tajam publik ditujukan kepada Joko Widodo terkait pembentukan tim transisi, terutama soal keberadaan tokoh kontroversial AM Hendropriyono di jajaran penasihat. Tidak kurang istri almarhum Munir, Suciwati, mengkritik keras keputusan Joko Widodo tersebut. Mantan wali kota Solo itu berdalih memilih AM Hendropriyono sebagai penasihat semata-mata untuk kepentingan urusan intelijen bagi kantor transisi. Sudah menjadi rahasia umum bila nama AM Hendropriyono termasuk tokoh penuh kontroversi dan memiliki resistensi tinggi di mata publik, terutama para aktivis dan pegiat hak asasi manusia (HAM). Guru besar bidang ilmu intelijen ini diduga terkait peristiwa pelanggaran HAM di Talangsari tahun 1989 saat menjabat danrem 043 Garuda Hitam Lampung. Selain itu, dia juga diduga terlibat dalam usaha pembunuhan mantan aktivis Munir saat menjabat sebagai kepala Badan Intelijen Negara (BIN) tahun 2004. Karena itu, wajar bila keberadaan nama AM Hendropriyono sebagai penasihat tim transisi mengundang keprihatinan publik.
  • 26. Bukan tidak mungkin jabatan sebagai penasihat tim transisi merupakan awal pembuka jalan untuk menduduki posisi strategis di kabinet Joko Widodo mendatang, seperti menteri koordinator politik, hukum, dan keamanan (menko polhukam). Apalagi, AM Hendropriyono memiliki kedekatan dengan Megawati Soekarnoputri yang notabene ketua umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan sekaligus mentor politik Joko Widodo. Harus diakui, dalam konteks Indonesia, penegakan HAM masih menjadi sebuah pekerjaan rumah besar yang belum dituntaskan. Di tengah hiruk-pikuk politik pemilihan presiden (pilpres) tahun 2014, pekerjaan rumah itu pun terasa kian berat untuk dituntaskan karena sejumlah tokoh terduga pelanggar HAM masih belum menjauh dari pusat-pusat kekuasaan negara. Atau justru kian mendekat dengan lingkaran terdalam kekuasaan? Sulit dipungkiri kemunculan kembali para elite dengan rekam jejak kelam di masa lalu di langgam politik nasional saat ini merupakan gambaran konkret tentang tidak adanya perasaan bersalah dan penyesalan diri atas berbagai dosa politik di masa lalu, termasuk masalah pelanggaran HAM. Keterlibatan mereka dalam kontestasi politik saat ini dapat dilihat sebagai bentuk ketidakrelaan tinggal di pinggiran sejarah. Ada sebuah kepercayaan besar dalam diri mereka dengan berkiprah di dunia politik peluang untuk masuk ke dalam lingkaran kekuasaan akan kembali terbuka. Boleh jadi pula mereka meyakini jabatan di pemerintahan kelak akan dapat melindungi mereka dari berbagai tuntutan kasus pelanggaran HAM di masa lalu. 26 Terkait hal itu ada baiknya apabila kita melihat pengalaman Sudan. Lima tahun lalu International Criminal Court mengesahkan perintah penangkapan internasional (arrest warrant) terhadap Presiden Sudan Omar Hassan Ahmad al-Bashir sebagai pelaku tidak langsung dari kejahatan perang dan kejahatan kemanusiaan di Darfur. Statuta International Criminal Court tidak mengakui adanya kekebalan hukum sekalipun pihak bersangkutan tengah menjabat sebagai kepala negara. Ditegaskan dengan jelas, seorang pejabat negara tetap dapat dituntut secara pidana oleh pengadilan internasional. Pengalaman Sudan memberikan pelajaran kepada kita semua bahwa merupakan kesalahan besar jika mengira sebuah jabatan politik pemerintahan dapat melindungi seseorang dari tuntutan hukum pelanggaran HAM. Sebagai bangsa, kita kelak tentu tidak ingin mendapatkan aib karena seorang pejabat tinggi negara diseret ke pengadilan internasional atas tuduhan pelanggaran HAM. Mungkin benar perkataan seorang tokoh bernama Mirek dalam novel The Book of Laugher and Forgetting karya Milan Kundera bahwa perjuangan manusia melawan kekuasaan merupakan perjuangan melawan lupa. Ketika deretan kejahatan kemanusiaan dan kekerasan oleh negara terhapus dari memori kolektif publik, tidak aneh bila tokoh-tokoh dengan catatan kelam di masa lalu dapat berganti peran menjadi seorang pahlawan. Harus diingat bila keterbukaan dan kebebasan politik kita nikmati di era reformasi seperti saat ini bukanlah cek kosong. Segala keterbukaan dan kebebasan politik itu dapat hadir karena ditebus dengan tetesan peluh dan darah dari para
  • 27. 27 pejuang gerakan-gerakan reformasi. Kehadiran era reformasi merupakan kesempatan emas bagi negara untuk membayar lunas utang kepada mereka yang pernah menjadi korban rezim masa lalu. Semoga Joko Widodo belum lupa dan masih mengingat hal ini dengan baik sebagaimana janji-janji saat kampanye pilpres lalu. Menempatkan tokoh- tokoh dengan rekam jejak kelam di lingkaran kekuasaan cuma akan mempersingkat masa “bulan madu” Joko Widodo dengan publik. ● BAWONO KUMORO Peneliti Politik The Habibie Center
  • 28. 28 Melacak Akar Konflik Arab-Yahudi Koran SINDO 29 Agustus 2014 Dari segi akidah dan syariah, bangsa Arab dan Yahudi mempunyai banyak ikatan pertalian, kedekatan, dan persamaan. Jika dirunut sampai ke nenek moyang, bangsa Arab dan Yahudi masih keturunan Nabi Ibrahim. Agama Islam dan agama Yahudi sama-sama melarang umatnya makan babi. Kedua agama sama-sama mengajarkan kepada komunitasnya untuk berkhitan. Kedua komunitas (dan Kristen) sama-sama menjadikan Yerusalem sebagai kota suci. Akan tetapi, karena muatan sentimen politik antara umat Arab dan umat Yahudi jauh lebih dominan, konflik berdarah pun terjadi secara turun-temurun sampai sekarang ini. Akar masalah konflik Arab-Yahudi bermula sejak zaman Nabi Muhammad di Madinah pada abad ke-7 M. Awalnya, komunitas Yahudi menandatangani Piagam Madinah dan menyatakan setia kepada Nabi Muhammad sebagai kepala negara. Tapi ketika Perang Ahzab (Khandaq) terjadi pada 627 M, komunitas Yahudi (Bani Quraizhah) berkhianat, mereka membantu kaum Quraisy menyerang umat Islam. Akibat pengkhianatan ini, kaum Yahudi banyak yang dijatuhi hukum mati. Khalifah Umar bin Khattab (634-644 M) mengusir komunitas Yahudi dari Madinah karena mereka merupakan musuh dalam selimut. Kaum Yahudi menyebar di daerah Khaibar dan sekitarnya. Keberadaan Yahudi di wilayah itu tetap menjadi ancaman bagi umat Islam. Karena itu, pasukan muslim menyerang dan menaklukkan mereka. Jika dihitung sejak zaman Nabi (abad ke-7 M), konflik Arab-Yahudi sudah berlangsung lebih dari 14 abad dan belum berakhir sampai sekarang. Jika dihitung sejak berdirinya negara Israel tahun 1948, konflik Arab (Palestina)-Israel sudah berlangsung selama 66 tahun. Belum juga ada penyelesaian politik. Tidak tercapainya penyelesaian secara adil dan permanen telah menyebabkan terjadinya serangkaian konflik berdarah yang mengerikan. Di tahun 1967, perang enam hari Arab-Israel pecah dan berakhir dengan kekalahan pihak Arab (yang melibatkan tentara gabungan Mesir, Suriah, Lebanon, dan Palestina). Karena tentara Israel memiliki persenjataan yang lebih canggih dan modern, negara zionis itu menang. Resolusi DK PBB agar Israel mundur ke wilayah perbatasan sebelum perang tidak diindahkan Israel. Sampai sekarang Israel menganeksasi Dataran Tinggi Golan milik Suriah. Israel menyerang Lebanon pada September 1982 dan tentaranya mengepung Sabra dan Shatila yang menjadi konsentrasi pengungsian Palestina. Dalam situasi terkepung, pasukan Kristen Maronit Falangis dengan mudah memasuki Sabra dan Shatila dan membantai rakyat sipil. Diperkirakan 3.500 orang terbantai (kebanyakan pengungsi Palestina). Tindakan milisi Kristen Falangis merupakan “balasan” terhadap milisi muslim menyusul terbunuhnya Bashir
  • 29. 29 Gamayel (dari Partai Kristen Kataeb) dalam suatu ledakan bom di Beirut. Saat itu Gamayel dinyatakan menang dalam pemilu dan sebagai presiden terpilih. PM Ariel Sharon dan rezim zionis Israel harus bertanggung jawab atas terjadinya “massacre“ ini karena tentaranya memuluskan jalan bagi milisi Falangis ke Sabra dan Shatila untuk melakukan pembantaian. Agresi tentara Israel ke Gaza yang pertama terjadi pada 27 Desember 2008. Pasukan Israel secara gencar menyerang Gaza secara eksesif, masif, dan membabi buta. Tiga pekan lamanya tentara Israel melakukan serangan ke Gaza dan berakhir pada 18 Januari 2009. Pasukan Israel menjatuhkan berton-ton bom ke Gaza. Militer Israel melancarkan serangan dari udara, darat, dan laut dengan persenjataan yang modern dan canggih. Sementara Hamas hanya mengandalkan roket. Akibat gempuran ini, banyak korban tragis berjatuhan di pihak Palestina: lebih dari 1.300 orang tewas dan lebih dari 3000 orang luka-luka. Mayoritas mereka adalah anak-anak, wanita, dan rakyat sipil yang tidak berdosa. Banyak gedung, masjid, sekolah yang dikelola oleh PBB, dan rumah penduduk Palestina ludes. Fasilitas- fasilitas umum seperti jaringan listrik, telepon, dan saluran air bersih hancur. Di pihak Israel, 13 tentaranya tewas dan beberapa orang terluka terkena roket Hamas. Gaza sangat mengalami kekurangan makanan, air, dan aliran listrik. Rumah sakit sangat kewalahan merawat ratusan korban (anak-anak, perempuan, dan rakyat sipil) yang terluka. Dewan Keamanan (DK) PBB mengeluarkan Resolusi No 1860 yang isinya menyerukan kepada Israel untuk menghentikan serangannya ke Gaza. Namun, rezim zionis Israel tak bergeming sedikit pun dan terus menggempur Gaza. Dalam sidang DK PBB, Amerika Serikat (AS) abstain. Sikap politik AS—baik di bawah pemerintahan Partai Republik maupun Partai Demokrat—tetap pro-Israel. Gencatan senjata tercapai setelah Gaza porak poranda digempur tentara Israel. Agresi militer Israel ke Gaza yang kedua terjadi pada 8 Juli 2014. Pola, taktik, dan strategi serangan tentara Israel ke Gaza serupa dengan serangan pada tahun 2008-2009. Berawal dengan membombardir Gaza dari udara, pasukan Israel lantas menyerbu dari darat secara besar-besaran. Pihak Hamas, yang hanya mengandalkan roket, tidak berdaya menghadapi serangan tentara Israel yang menggunakan tank, senjata berat, dan rudal yang modern dan canggih. Israel di bawah rezim Benjamin Netanyahu mempersenjatai diri dengan Iron Dome yang dapat menangkis serangan roket Hamas sebelum mencapai sasaran. Dengan cara ini, pihak Israel dapat meminimalisasi korban penduduk sipil. Agresi brutal Israel ke Gaza telah menewaskan lebih dari 2.000 orang Palestina dan melukai lebih dari 8.000 orang Palestina (termasuk anak-anak, perempuan, dan penduduk sipil). Gedung, masjid, rumah penduduk, universitas, sekolah (termasuk sekolah PBB) dan fasilitas umum seperti jaringan telepon, aliran listrik, dan saluran air minum hancur remuk. Penduduk Gaza sangat kekurangan makanan, air bersih, obat-obatan, dan bantuan kemanusiaan lainnya. Di pihak Israel, sejumlah kecil tentaranya tewas dan beberapa penduduk sipil terluka terkena
  • 30. serangan roket dari Gaza. Atas inisiatif Sekjen PBB Ban Ki-moon dan Menlu AS John Kerry, gencatan senjata antara Hamas-Israel tercapai, tetapi hanya dalam hitungan jam dan tidak efektif. Kini Mesir terus memediasi agar terjadi gencatan senjata antara kedua belah pihak, tetapi belum maksimal. Perang terus berlanjut: Hamas meroket Israel, Israel mengebom Gaza. Dua petinggi militer Hamas beserta istri dan anaknya tewas terkena bom Israel. Masih sulit ditemukan solusi politik yang dapat mendamaikan Palestina (Hamas) dan Israel yang telah begitu lama terlibat konflik. Masing-masing pihak hendaknya bersikap realistis, yaitu dapat menerima tawaran “two state solution”. Palestina hendaknya menerima dan mengakui eksistensi negara Israel, begitu juga Israel hendaknya menerima dan mengakui keberadaan Negara Palestina. Kedua negara hidup berdampingan secara damai. Inilah seruan yang terdengar di kalangan masyarakat internasional dan inilah opsi yang dapat dipandang sebagai “win-win solution.” ● 30 FAISAL ISMAIL Guru Besar Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
  • 31. 31 Keadilan Substantif Koran SINDO 30 Agustus 2014 Belakangan ini, terutama saat ramai sengketa Pemilu Presiden 2014 di Mahkamah Konstitusi (MK), istilah keadilan substantif sebagai prinsip dan konsep hukum mencuat sebagai bahan polemik dan debat-debat terbuka. Istilah ini muncul setiap hari, baik di forum-forum persidangan MK maupun dalam ulasan (komentar-komentar) di media massa. “Hakim harus berani membuat terobosan untuk menggali rasa keadilan. Hakim tidak boleh terbelenggu oleh formalitas prosedural atau pasal-pasal undang-undang,” demikian seruan yang ditujukan kepada hakim. Menariknya, kedua kubu yang bersengketa sama-sama meminta putusan yang sesuai dengan keadilan substantif. Untuk itu, hakim dituntut berbicara dengan hati nuraninya guna menggali rasa keadilan di tengah-tengah masyarakat, bukan hanya berbicara dengan rasionalitas pada bunyi pasal-pasal undang-undang. Hakim harus berani berijtihad di luar ketentuan UU agar keadilan bisa ditemukan untuk bahan putusan. Keadilan substantif, dengan demikian, adalah keadilan yang diciptakan oleh hakim dalam putusan-putusannya berdasar hasil galiannya atas rasa keadilan di dalam masyarakat, tanpa dibelenggu bunyi pasal undang-undang yang berlaku. Bentuk perbuatan yang sama bisa divonis secara berbeda, tergantung pada hasil penggalian hakim atas rasa keadilan. Namanya pengadil, bukan penghukum. Itulah makna judge makes law, hakim membuat hukum. Keadilan substantif (substantive justice) kerap dilawankan dengan keadilan prosedural (procedural justice), yakni putusan hakim atau proses penegakan hukum yang sepenuhnya didasarkan pada bunyi undang-undang. Menurut konsep keadilan prosedural, sesuatu dianggap adil apabila pelaksanaan dan putusan hakim selalu mengikuti bunyi pasal-pasal di dalam undang-undang. Jika hakim memutus di luar ketentuan undang-undang bisa dianggap tidak adil karena melanggar kepastian-kepastian yang sudah ditentukan oleh UU. Yang dikatakan adil di dalam keadilan prosedural itu adalah apabila putusan hakim diletakkan pada aturan-aturan resmi yang ada sebelumnya. Ini diperlukan agar ada kepastian bagi orang-orang yang akan melakukan sesuatu sehingga bisa memprediksi apa akibat yang akan timbul dari perbuatannya itu. Sebenarnya, kalau ditilik dari latar belakangnya, baik keadilan substantif maupun keadilan prosedural sama-sama berangkat dari esensi kebaikan hukum yang sama. Dulu, pada saat kekuasaan ada di satu tangan, monarki atau raja, kalau ada warga masyarakat merasa dirugikan haknya maka mereka mengajukan perkara itu kepada raja. Raja kemudian menunjuk hakim untuk mengadili perkara itu tanpa ada aturan tertulis. Pokoknya hakim yang
  • 32. 32 ditunjuk disuruh mencari sendiri putusan yang baik dan adil, tanpa hukum tertulis yang bisa dijadikan pedoman. Setiap perkara yang muncul kemudian diserahkan kepada hakim-hakim oleh raja agar diadili menurut kreasinya masing-masing, sesuai dengan rasa keadilan yang ditemukan dalam penggaliannya. Putusan-putusan itu kemudian menjadi hukum yang mengikat sebagai putusan hukum negara. Tetapi ketika kemudian muncul negara-negara demokrasi modern, terutama di kawasan Eropa Kontinental, muncul pula ide tentang perlunya hukum tertulis. Hakim tak bisa lagi dibiarkan membuat putusan sendiri-sendiri, melainkan harus memutus sesuai dengan hukum tertulis. Untuk itu di dalam negara harus ada lembaga legislatif (yang membuat hukum tertulis atau undang-undang) sedangkan hakim dimasukkan dalam lembaga yudikatif (yang menegakkan undang-undang di pengadilan jika ada sengketa). Hakim tak boleh membuat hukum, tapi harus menjadi corong pembuat UU. Pembatasan kepada hakim agar tidak membuat hukum (putusan) sendiri di luar undang-undang dimaksudkan agar ada kepastian sehingga masyarakat bisa mengukur dan memprediksi sendiri akibat-akibat hukum dari setiap perbuatannya. Dalam mengadili sengketa, hakim harus berpedoman pada undang-undang karena menurut paham (legisme) ini keadilan terletak justru terletak pada kepastian hukumnya. Selanjutnya sejarah berputar lagi. Keadilan dalam bentuk putusan-putusan hakim di luar undang-undang ternyata dibutuhkan karena di dalam kasus yang sama sering kali terdapat latar belakang situasi yang berbeda. Keadilan dipandang selalu dinamis, tak bisa dikunci dengan undang-undang yang statis. Meski bentuk dan akibat suatu perbuatan sama, vonis hakim harus berbeda jika latar belakang dan situasi yang melingkupinya berbeda. Bukan kepastian, tetapi keadilanlah yang diperlukan dalam hukum. Kepastian hanya bisa diikuti sepanjang bisa memastikan bahwa keadilan ditegakkan. Sejak ada MK konsep keadilan substantif tidak lagi hanya dijadikan polemik literatur dalam wacana akademik tetapi sudah dituangkan di dalam vonis-vonis. Banyak vonis MK yang sengaja keluar dari ketentuan resmi UU guna menciptakan keadilan yang ternyata disambut baik dalam dunia penegakan hukum di Indonesia. Gagasan keadilan substantif bertemu secara esensial dengan gagasan hukum progresif yang digencarkan oleh Prof Satjipto Rahardjo melalui Universitas Diponegoro. Satjipto mengatakan bahwa keadilan itu tidak hanya ada dalam pasal-pasal UU, tetapi harus lebih banyak dicari di dalam denyut-denyut kehidupan masyarakat. Tetapi bagi MK, keadilan substantif tak boleh secara hitam-putih diartikan sebagai keharusan membuat vonis yang selalu keluar dari UU. Keadilan substantif harus dicari sendiri dengan menggali rasa keadilan dalam masyarakat, tetapi sekaligus bisa menerapkan ketentuan UU selama ketentuan di dalam UU dirasa sudah adil. Dengan demikian, memahami vonis MK harus dilihat dari latar belakang kasus dan pertimbangannya untuk setiap kasus. ●
  • 33. 33 MOH MAHFUD MD Guru Besar Hukum Konstitusi
  • 34. 34 Demokrasi Indonesia Koran SINDO 1 September 2014 Sekitar empat belas tahun yang lalu saat George Walker Bush dinyatakan sebagai pemenang presiden mengalahkan Al Gore, penulis sempat tercenung apakah mungkin bangsa Indonesia dapat mengikuti jejak kedewasaan berpolitik masyarakat AS, khususnya yang menghormati hasil pemilihan dengan elegan dan damai. Saat itu Bush junior menang dengan situasi yang agak unik. Dia memang memenangkan electoral college (EC), kerap ditafsirkan sebagai dewan pemilih, lebih banyak, namun jumlah total suara pemilih (popular vote) dimenangkan oleh Gore. Sepintas Gore, dengan keunggulan popular vote sekitar setengah juta suara, lebih layak memimpin. Namun, memang dalam sistem pemilihan presiden AS presiden terpilih ditentukan oleh seberapa besar jumlah EC dan bukan oleh jumlah suara yang diperolehnya. Akhirnya masyarakat dan elite AS taat pada aturan main itu dan mengakui Bush sebagai presiden baru. Tidak terkecuali Gore, yang dengan legawa dapat menerima kekalahan yang menyakitkan itu. Pemilihan presiden pun tidak menjadi sumber konflik berkepanjangan. Kesadaran Konstitusional Dengan ditetapkan keputusan MK beberapa waktu lalu, perjalanan pilpres di Tanah Air telah sampai pada tahap akhir. Dengan situasi yang berbeda, namun dalam substansi yang sama, terbangun situasi kondusif yang terjadi hingga hari ini menunjukkan sebuah kualitas kematangan berpolitik bangsa Indonesia yang tidak kalah dengan negara sekaliber AS. Seluruh pihak menerima hasil keputusan MK dengan baik. Pascapemungutan suara akhir Juli yang menimbulkan kehebohan, hingga akhirnya MK mengambil keputusannya sebulan setelahnya, kehidupan masyarakat secara umum berlangsung normal. Tidak ada upaya-upaya yang sistematis untuk memperkeruh suasana. Sebaliknya, semua pihak tampak berupaya untuk berkontribusi secara positif dan bersikap secara proporsional dan profesional. Baik pihak teradu maupun yang mengadu siap untuk menjaga berjalannya sidang ini dengan baik. Kalaupun ada kericuhan saat persidangan, terbukti hanya sebuah riak-riak kecil. Sementara pihak MK telah bersikap profesional. Aspek-aspek yang bernuansakan dugaan, namun tidak dapat dibuktikan secara meyakinkan benar-benar disingkirkan. Afiliasi dan latar belakang politik para hakim juga tampak sama sekali tidak berpengaruh dalam proses pengambilan keputusan mereka. Kekhawatiran bahwa beberapa hakim akan bersikap bias
  • 35. 35 karena kedekatan dengan partai-partai pendukung kelompok pengadu tertentu terbukti tidak terjadi. Dengan demikian, penjuru konstitusi dan aturan main telah dikedepankan secara komprehensif para aktor pengambil keputusan pada masa-masa krusial itu. Tidak itu saja, secara umum proses pilpres itu memperlihatkan bahwa kebebasan memilih dan penghormatan terhadap perbedaan telah dipraktikkan dengan elegan. Tidak ada korban nyawa satu pun di tengah salah satu perhelatan yang konon paling menegangkan ini. Demokrasi di Tengah Mayoritas Muslim Sebagai negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di seantero jagat, kasus pilpres dan pileg damai yang melibatkan lebih dari 133 juta manusia harusnya mampu membuka mata masyarakat dunia atas kemampuan negara dengan mayoritas penduduk muslim ini dalam menjalankan ritual terpenting dalam kehidupan demokrasi. Apa yang telah terjadi mematahkan mitos atau asumsi bahwa demokrasi tidak dapat berjalan di sebuah negara dengan mayoritas warganya umat Islam. Kenyataannya, demokrasi telah dianggap sebagai sistem yang terbaik untuk dijalankan di negara ini. Mayoritas rakyat tampak tidak memberikan ruang atas bangkitnya otoritarianisme. Hasil survei beberapa kalangan, termasuk dari Pusat Penelitian Politik-LIPI, menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat kita menganggap demokrasi sebagai sistem yang baik. Bahkan ada di antaranya yang dengan yakinnya mengatakan sebagai sistem yang terbaik. Yang terjadi saat ini adalah bukan benar-benar hal yang baru. Pileg 1955 yang berlangsung damai diakui oleh banyak kalangan telah menunjukkan kekhidmatan masyarakat Indonesia dalam berdemokrasi. Secara substansi hasil yang juga patut disyukuri dari pagelaran pilpres adalah semakin terbangun kompromi. Terlihat bahwa dalam membangun koalisi tidak terpatok pada sentimen primordialisme ataupun sekat nasionalis versus agama (Islam) semata, namun lebih karena persoalan yang jauh lebih prinsipiil. Tidak mengherankan jika kemudian di masing-masing kubu unsur-unsur nasionalis dapat bergandengan tangan dengan unsur-unsur agama. Tidak saja pada level partai, namun pula di level ormas dan relawan. Beberapa Catatan Meski menunjukkan gelagat peningkatan kualitas demokrasi yang membaik, tidak berarti demokrasi kita telah sempurna. Jelas harus diakui di sana-sini masih banyak kelemahan dan bahkan kemunduran. Di antara masalah klasik itu adalah persoalan penyakit kronis menahun DPT yang tidak kunjung dapat diselesaikan. Padahal DPT adalah salah satu elemen kunci baik dan buruk penyelenggaraan pemilu. Uniknya, tahun inilah terjadi situasi di mana jumlah suara seorang kandidat pileg dapat jauh melebihi DPT.
  • 36. Kinerja penyelenggara pemilu juga masih belum memuaskan. Teguran DKPP atas KPU dan pemecatan di level KPUD adalah bukti belum seutuhnya performa baik itu terjaga. Belum lagi keberatan dari banyak partai yang tersingkir pada Pemilu 2014 (Anam, 2013). Sementara Bawaslu dalam batas tertentu tampak belum benar-benar berdaya meski beberapa kewenangan dan perbaikan tunjangan sudah jauh membaik saat ini. 36 Begitu pula dengan sikap tidak dewasa dan keberpihakan yang berlebihan dari berbagai institusi yang seharusnya menjadi penopang demokrasi. Mulai dari media massa hingga lembaga survei dan polling tidak terbebas dari virus yang menggerogoti upaya pendidikan politik masyarakat yang imbang, santun, dan bernalar. Sedihnya, sikap seperti itu juga menjalar ke beberapa tokoh yang selama ini konon dipandang sebagai demokrat atau aktivis yang memperjuangkan nilai-nilai perbedaan, baik dalam situs pribadi maupun komentar lepasnya di beberapa media. Berbagai catatan buruk itu juga tidak terlepas dari kondisi partai yang secara umum masih dikelola jauh dari modern. Begitu pula sistem pemilu yang justru makin mendorong individualisme dan pragmatisme. Mudah-mudahan di kemudian hari ihwal seperti itu tidak terulang kembali sehingga kualitas demokrasi kita dapat semakin menjulang tinggi. FIRMAN NOOR Peneliti LIPI dan Pengajar di Departemen Ilmu Politik FISIP UI
  • 37. 37 Analisis Dampak Regulasi Koran SINDO 2 September 2014 Analisis Dampak Regulasi (ADR) atau Regulatory Impact Analysis (RIA) telah dipraktikkan pada empat era pemerintahan Amerika Serikat dan di beberapa negara Eropa, termasuk negara-negara baru di wilayah Eropa Timur. Analisis ini menggunakan pendekatan analisis ekonomi mikro dalam proses penetapan kebijakan publik yang berpijak pada apa yang seharusnya dilakukan (what ought to do) dan tidak semata-mata pada apa yang terjadi (what is) atau apa yang telah terjadi (ex ante). Evaluasi melalui ADR/RIA merupakan sarana hukum yang bertujuan menemukan solusi atas perkiraan dampak yang akan terjadi dengan diberlakukannya suatu undang-undang yang terkait kepentingan publik secara luas. Evaluasi tersebut tidak menggunakan pendekatan abstraksi-logis dan metafisik sebagaimana lama dianut para ahli hukum, melainkan menggunakan pendekatan ”cost and benefit ratio”. Pendekatan kedua ini telah berhasil setidaknya di negara-negara yang telah disebutkan di atas: mempertemukan penilaian benar (right) dan salah (wrong) dan penilaian ”risiko (cost ) dan untung (benefit)” sehingga jika disandingkan akan tampak sinkronisasi antara tujuan hukum (Aristoteles) dan prinsip-prinsip ekonomi (Cooter dan Ullen). Sinkronisasi tersebut ada pada tiga pasang variabel yaitu prinsip ekonomi keseimbangan dengan tujuan hukum kepastian hukum; efisiensi dengan keadilan; serta maksimalisasi dengan kemanfaatan. *** Keenam variabel tersebut merupakan interelasi yang solid dan bersifat interdepensi satu sama lain. Jika hubungan tersebut dipahami benar oleh ahli hukum dan ahli ekonomi, dapat membentuk suatu ekosistem peradilan pidana (EKOSPP) yang sangat produktif dan mendukung keberhasilan sistem peradilan pidana Indonesia. Karena bekerjanya hukum dalam kenyataan selalu dipertimbangkan dampak regulasi secara objektif, terukur, dan pasti. Contohnya dalam pemberantasan korupsi, biaya perkara sekitar Rp50 juta-100 juta tidaklah rasional jika kejaksaan atau KPK tetap melanjutkan proses penyidikan dan pemeriksaan sidang pengadilan jika perkara korupsi telah merugikan keuangan negara jauh di bawah batas biaya perkara tersebut. Sebaliknya, tentu masyarakat bertanya-tanya bagaimana dengan efek jera terhadap pelakunya? Pandangan kita tentang efek jera dari suatu tindakan hukum pidana seharusnya diartikan dalam konteks pemulihan status hukum pelaku dari orang hukuman menjadi manusia berguna bagi bangsa dan negara.
  • 38. 38 Konsep ini dalam referensi hukum modern dikenal sebagai ”keadilan restoratif”, lawan dari ”keadilan retributif” dan dampak terhadap kepentingan keuangan negara. Bukankah dengan penanganan perkara korupsi dengan nilai kerugian keuangan negara jauh di bawah biaya perkara tersebut hanya akan menghasilkan dua kerugian negara, yaitu pertama disebabkan biaya perkara akan bertambah besar dan waktu yang cukup lama, 400 hari sampai putusan PK, dan biaya makan seorang narapidana dalam waktu minimum empat tahun sebesar Rp15.000 per hari. Sebab kedua, negara kehilangan waktu dan fokus pada nilai kerugian keuangan negara yang sangat signifikan setidaknya di atas biaya perkara tersebut di atas. Penanganan perkara yang kontra-produktif ini mengakibatkan penambahan kerugian keuangan negara dua atau tiga kali lipat dari kerugian keuangan negara yang seharusnya dikembalikan (diselamatkan) kepada negara. Penelitian M Jusuf (2013) menemukan nilai kerugian keuangan negara yang berhasil diselamatkan dalam kurun waktu lima tahun (2007-2012) tidak mencapai 50% dari total kerugian keuangan negara dari korupsi sebesar Rp180.309.318.403,96 (19,5%), dan USD37.261.549,65 (20,28%). Bahkan dalam laporan ICW, nilai kerugian keuangan negara dari pengelolaan sumber daya alam, yaitu Rp169,7 triliun dari illegal logging, dan Rp300 triliun dari illegal fishing, sampai saat ini belum secara maksimal diselamatkan/dikembalikan kepada negara. *** Merujuk pada pendekatan ”cost and benefit ratio” dibandingkan dengan pendekatan ”benar dan salah” serta kenyataan inefisiensi pengembalian kerugian keuangan negara terbukti bahwa politik hukum pidana nasional selama kurun waktu dua masa pemerintahan SBY, khususnya dalam pemberantasan korupsi, telah gagal. Sebaliknya, klaim keberhasilan hanya tampak dari sejumlah pejabat tinggi telah diseret KPK dan dijebloskan ke dalam penjara, namun secara riil ternyata tidak tampak efek jera yang signifikan– dengan semakin banyaknya korupsi dan koruptor–dan tidak jelas letak keuntungan (benefit) bagi kepentingan tujuan mencapai kesejahteraan rakyat sebagaimana diamanatkan di dalam Bab XIV UUD 1945. Kesejahteraan rakyat tidak berbanding lurus dan secara linear diklaim sebagai keberhasilan sebanyak-banyaknya menjebloskan pelaku korupsi ke dalam penjara. Bahkan yang terjadi, koruptor telah menjadi kelas masyarakat eksklusif di dalam penjara yang memiliki pengaruh dan kekuatan uang untuk ”mengatur” kehidupan mereka di dalam penjara. Solusi yang bijak adalah pemimpin nasional, eksekutif dan legislatif, serta masyarakat sipil dan para ahli hukum dan ekonomi harus menyatukan visi dan misi serta program-program nyata secara rasional (bukan emosional) melalui penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi.
  • 39. 39 ROMLI ATMASASMITA Guru Besar (Emeritus) Universitas Padjadjaran Bandung
  • 40. 40 Penumpang Gelap Jokowi-JK Koran SINDO 4 September 2014 Mahkamah Konstitusi sudah memutuskan pemenang Pemilihan Presiden 2014 yaitu Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK). Namun, hingga kini format kabinet kerja yang profesional yang selalu didengungkan masih belum jelas. Banyak kalangan terus penasaran. Mampukah keduanya menangkal penetrasi kelompok kepentingan? Kegagalan keduanya akan dengan mudah dilihat publik jika ada penumpang gelap dalam formasi kabinet mereka. Menunggu kehadiran pemerintah baru, sejumlah pemerhati masih menggarisbawahi pernyataan bernuansa komitmen Jokowi dalam debat kandidat calon presiden putaran terakhir. Dia saat itu menegaskan, ”Dalam (sektor) tambang, minyak, dan gas memang banyak kelompok kepentingan. Semua sudah tahu pembagiannya. Tapi, apakah kita punya keinginan untuk hentikan itu? Jika kelompok kepentingan itu masih ada, kita akan begini terus. Kami (Jokowi-JK) tidak ingin terbebani dengan masa lalu.” Kelompok kepentingan, atau dalam istilah lain disebut juga mafia, akan selalu ada, bahkan tak jarang berdampingan dengan sebuah rezim pemerintahan. Kelompok-kelompok itu tak pernah jauh dari pusat kekuasaan karena mereka punya andil dalam proses keterpilihan seorang pemimpin. Target utama mereka bukan sekadar balik modal, melainkan meraih untung sebesar-besarnya. Mereka mengincar proyek-proyek pemerintah yang profitable atau meminta konsesi. Figur-figur dari kelompok kepentingan itu tak akan pernah menampakkan wujud atau batang hidung mereka di sidang kabinet atau ruang kerja menteri. Dibuat kesan bahwa mereka tak pernah ada karena kelompok-kelompok itu hanya perlu bermanuver di belakang layar. Lantas, siapa ujung tombak kelompok kepentingan itu di pemerintahan atau di sidang kabinet? Bisa presidennya sendiri atau menteri. Maka itu, ketika Jokowi memberi isyarat untuk tidak akan menanggapi dan tidak memberi akses bagi kelompok-kelompok kepentingan memengaruhi kebijakan pemerintahannya, ia diacungi jempol. Tetapi, pada saat bersamaan, muncul juga pertanyaan. Mampukah presiden-wakil presiden terpilih menangkal penetrasi kelompok-kelompok kepentingan yang sudah lama bergentayangan di republik ini? Benarkah Jokowi atau bahkan Prabowo bebas dari sponsor kelompok ini? Wallahualam. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pernah menegaskan bahwa dari aspek skala, korupsi terbesar terjadi di sektor energi. Modusnya bukan hanya rekayasa perjanjian bagi hasil dengan kontraktor asing atau cost
  • 41. 41 recovery. Modus lainnya adalah monopoli dan rekayasa harga dalam perdagangan bahan bakar minyak (BBM). Modus ini mengambil untung dari program subsidi BBM yang membuat APBN berantakan dan tak berdaya. Penangguk untung terbesar dari modus ini kelompok kepentingan yang disebut publik sebagai mafia migas. Modus korupsi ini bisa berkesinambungan karena mafia migas itu punya orang kuat di kabinet. Kelompok kepentingan lainnya bersekutu dalam kartel. Mereka memonopoli impor sejumlah komoditas kebutuhan pokok rakyat. Ada kartel kedelai, kartel bawang putih, hingga kartel daging sapi. Tentu saja kartel-kartel ini punya jagoan di kabinet sehingga mereka bisa mendapatkan hak monopoli impor itu. Ulah kartel-kartel ini sempat sangat keterlaluan dan merugikan masyarakat karena merekayasa kelangkaan untuk mendongkrak harga kedelai, bawang putih, hingga daging sapi. Ambisi Jokowi untuk mengakhiri sepak terjang kelompok kepentingan itu memang sangat ideal dan menjadi harapan seluruh rakyat. Tetapi, apakah Jokowi-JK cukup kuat untuk mengatakan ”tidak” pada kelompok-kelompok kepentingan? Inilah yang masih ditunggu khalayak. Tetapi, di ruang publik para pemerhati mulai mengembuskan bisik-bisik. Ada yang sudah melihat bahwa kelompok kepentingan bahkan sudah menempel ketat tim pemenangan Jokowi-JK. Tak hanya itu, ada juga yang melihat figur penganut neoliberalisme di sekitar Jokowi-JK. Memang mengkhawatirkan kelompok kepentingan di sekitar Jokowi-JK pada tahap persiapan transisi sekarang ini mungkin agak berlebihan. Tetapi, Jokowi-JK perlu mewaspadai ini agar kabinet dan pemerintahan mereka nanti tidak disusupi penumpang gelap. Suara Publik Salah satu orang kepercayaan Jokowi yang paling banyak dipergunjingkan akhir-akhir ini adalah Kepala Staf Tim Transisi Rini Mariani Soemarno. Kapabilitas dan kompetensi Rini memang tak perlu diragukan. Dia pernah magang di Departemen Keuangan AS, menjabat vice president Citibank, dan presiden direktur PT Astra International yang mengelola pemasaran sejumlah merek mobil dari Jepang dan Eropa. Dengan rekam jejak seperti itu, sangat mudah bagi publik untuk mengaitkan Rini dengan kepentingan sejumlah kelompok usaha asing berskala multinasional. Toyota, Daihatsu, dan Isuzu yang bernaung dalam Astra tentu khawatir dengan masa depan pangsa pasar mereka jika Jokowi bersikukuh terus mendukung pengembangan mobil SMK. Ketika itu terjadi, patut untuk diasumsikan bahwa tiga raksasa industri automotif dari Jepang itu akan mendekati Rini sebagai teman lama guna memengaruhi arah kebijakan Pemerintah Indonesia di bidang industri automotif. Kedatangan senator Amerika Serikat (AS) John McCain ke Jakarta baru-baru ini juga memunculkan beragam tafsir. Orang penting dari Partai Republik AS itu datang ke Jakarta ketika masalah perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia seperti tidak berkepastian. Kedatangan McCain mengingatkan publik pada kunjungan Menteri Luar Negeri AS
  • 42. Condoleezza Rice ke Jakarta pada 14-15 Maret 2006. Rice, juga dari Partai Republik, terbang ke Jakarta ketika sengketa Pertamina dengan perusahaan minyak asal AS, ExxonMobil, untuk menjadi operator ladang minyak Blok Cepu berlarut-larut. Hanya sehari sebelum Rice mendarat di Jakarta, pemerintah menunjuk ExxonMobil sebagai pengendali Blok Cepu. Pemerintah memaksa Pertamina mengalah. Maka itu, boleh jadi, McCain juga datang ke Jakarta membawa titipan aspirasi kelompok kepentingan dari AS untuk perpanjangan kontrak Freeport. McCain memang hanya menemui pimpinan DPR/MPR serta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan tidak bersilaturahmi dengan Jokowi-JK. Tetapi, bisa dipastikan bahwa akan ada orang yang dipercaya menyampaikan pesan McCain itu kepada Jokowi-JK. Ketika persoalan Freeport dibuat final nanti, di situ publik menafsirkan bagaimana Jokowi-JK menyikapi perilaku kelompok kepentingan AS itu. Kesediaan Samsung memproduksi ponsel di Indonesia juga tak lepas dari peran kelompok kepentingan. Duta Besar Korea Selatan untuk Indonesia, Cho Tai-young, sudah memberi kepastian tentang keputusan Samsung itu dalam pertemuan dengan Jokowi di Kantor Gubernur DKI baru-baru ini. Kelompok kepentingan yang berhasil memaksa Samsung mungkin saja akan meminta kompensasi kepada tim Jokowi-JK. 42 Jadi, ada beragam cara dan strategi yang bisa digunakan kelompok-kelompok kepentingan untuk mengusulkan sosok calon menteri. Pola pendekatannya nyaris sama dengan praktik koalisi parpol yang bagi-bagi kursi menteri. Anda memberi sesuatu, Anda pun mendapatkan sesuatu sebagai imbalannya. Dalam proses seperti itulah akan muncul penumpang gelap dalam kabinet Jokowi-JK. Disebut penumpang gelap karena menteri titipan dari kelompok kepentingan bisa merusak strategi presiden untuk merealisasikan visi dan misi yang dijanjikannya semasa kampanye. Tentu saja rakyat berharap Jokowi-JK tegar menghadapi kelompok kepentingan. Ajakan kepada publik untuk memberi masukan tentang kandidat menteri adalah ide segar yang diharapkan bisa memberi kekuatan tambahan bagi presiden terpilih dalam membentuk kabinet. Masukan dari partai pengusung, relawan, dan tim internal Jokowi-JK mestinya memberi keleluasaan lebih bagi Jokowi-JK untuk menentukan mana figur yang layak dan tidak layak untuk menjabat menteri. Harapan kita, pasangan Jokowi- JK yang telah dimenangkan MK ini nanti, tidak lagi mengulangi kekeliruan pemerintahan sebelumnya yang lebih mengandalkan praktik pencitraan, dengan gincu dan bedak tebal guna menutupi bopeng-bopeng pemerintahan yang amburadul. Selamat bekerja! BAMBANG SOESATYO Anggota Komisi III DPR RI/ Presidium Nasional KAHMI 2012- 2017 dan Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia
  • 43. 43 Parasit di Tubuh Polri Koran SINDO 5 September 2014 Tertangkapnya dua Anggota Kepolisian Republik Indonesia (Polri) yang bertugas di Polda Kalimantan Barat, karena diduga terkait kasus narkoba di Malaysia, bukan hanya mempermalukan Polri, melainkan juga Indonesia sebagai sebuah bangsa bermartabat. Keduanya ditangkap Polis Narkotik Diraja Malaysia (PDRM) di Kuching, Malaysia, Sabtu (30/8). Banyaknya kasus di tubuh Polri yang seharusnya menjadi teladan bagi rakyat merupakan parasit yang sepertinya sangat susah dihentikan. Salah satu kasus yang juga memalukan menjelang Idul Fitri adalah tertangkapnya 10 anggota Satuan Lalu Lintas (Satlantas) Polres Pemalang, Jawa Tengah (Jateng), lantaran diduga melakukan pungutan liar (pungli) terhadap sopir-sopir truk agar bisa melintas di atas Jembatan Comal, Pemalang, Sabtu 9 Agustus 2014 (Koran SINDO, 13/8/2014). Peristiwa ini diibaratkan melalui pepatah kuno, ”Karena nila setitik, rusak susu sebelanga.” Sepertinya pimpinan Polri belum menemukan strategi jitu pembinaan personel agar berperilaku terhormat. Selalu terdengar ada oknum polisi yang mengingkari sumpahnya sebagai pelayan, pengayom, pelindung masyarakat, serta penegak hukum. Setelah keberhasilan mengamankan pemilu legislatif, pemilu presiden, dan Operasi Ketupat Lebaran 2014 yang menuai pujian karena mampu menekan jumlah kecelakaan di jalan dan gangguan kamtibmas, kasus di Malaysia menjadi klimaks. Semuanya selalu mengarah pada aspek finansial, seolah gaji dan tunjangan tidak cukup sehingga harus mencari penghasilan tambahan yang melanggar hukum. Polisi Jujur Tanpa bermaksud mendahului penyelidikan Polis Diraja Malaysia soal keterlibatan kedua anggota Polri, tetapi kesan yang muncul di ruang publik ialah institusi berbaju cokelat itu betul-betul terpuruk. Hampir setiap hari ada berita tentang perilaku anggota Polri yang memalukan. Ini menjadi indikasi bahwa pembinaan dan pengawasan di internal tidak berjalan sebagaimana mestinya. Janji pimpinan Polri yang akan mereformasi diri belum membawa hasil yang memuaskan. Rakyat begitu merindukan sosok polisi yang bisa dibanggakan karena jujur, bersih, profesional, dan berwibawa. Jika suatu kasus yang meresahkan berhasil dibongkar polisi, dipastikan mendapat sambutan dan respek luar biasa dari masyarakat. Apalagi warga masyarakat begitu mudah merasakan kekuasaan besar polisi yang hampir-hampir susah
  • 44. 44 dilawan. Hampir semua kekuasaan yang besar itu sering diselewengkan saat melakukan penegakan hukum. Lebih celaka, karena tindakan itu selalu dibalut dengan penertiban dan penegakan hukum yang membuat masyarakat gerah lantaran tidak proporsional. Untuk memberantas parasit di tubuh Polri tentu bukan persoalan gampang, sebab terkait dengan perilaku dan kultur. Polri harus sadar bahwa tugas menjaga kamtibmas dan penegakan hukum tidak akan berhasil dengan baik tanpa mengubah perilaku dan kultur. Maka, reformasi Polri perlu didesain secara totalitas dengan sasaran membangun kembali agar anggota polisi berperilaku jujur, bersih, dan profesional. Mental korup yang memanfaatkan suatu kasus sebagai sumber uang harus segera dihentikan. Jangan sampai rakyat selalu merasa tidak nyaman jika bersentuhan dengan polisi karena takut dicari-cari kesalahannya atau dimintai uang, sehingga menjadi saksi sekalipun tidak bersedia. Kepala Polri Jenderal Sutarman yang terus berupaya mendapatkan kepercayaan dan simpati dari masyarakat harus menjadi perhatian pimpinan Polri di daerah. Perilaku pungli dan masih lemahnya profesionalitas dalam mengungkap kejahatan, ibarat pepatah ”menepuk angin” dalam merebut kepercayaan dan simpati masyarakat. Dalam berbagai dimensinya, bukan tidak mungkin praktik suap menguatkan dugaan banyak orang untuk pemenuhan target setoran buat atasan. Jika betul seperti itu–meski kita berharap tidak demikian– agaknya sulit bagi Polri membersihkan parasit institusi. Diskresi Kepolisian Kasus tertangkapnya dua anggota Polri di Malaysia, pungli Jembatan Comal di Pemalang dan maraknya penyelewengan anggota menjadi momen bagi Polri untuk memperbaiki kinerja. Kita percaya masyarakat akan terus membutuhkan polisi, sehingga aparat kepolisian harus mampu menunjukkan perilaku yang baik. Kejadian di Malaysia bukan hanya melanggar disiplin karena keberadaannya di sana bukan melaksanakan tugas, melainkan termasuk kejahatan yang memalukan bangsa. Jika terbukti, tentu layak dihukum berat, meskipun itu dilakukan di negeri orang. Kasus itu merusak upaya yang tengah dibangun Kepala Polri untuk menjadikan polisi sebagai panutan bagi masyarakat. Kita mendukung segala upaya membersihkan aparat kepolisian yang masih sering berperilaku korup, baik yang kecil-kecil terlebih yang besar. Artinya, bukan hanya polisi yang berjuang memperbaiki citranya, masyarakat juga selalu berjuang mengubah persepsi terhadap polisi. Sebab tidak ada untungnya memupuk stigma negatif kepada polisi. Apalagi polisi bagian yang tidak terpisahkan dengan masyarakat, keduanya akan selalu hidup berdampingan dan saling membutuhkan. Banyak polisi yang cerdas, berintegritas, dan punya hati nurani dalam melaksanakan fungsi dan tugas. Mereka punya kompetensi dan profesionalitas, terutama saat berhadapan dengan
  • 45. 45 persoalan masyarakat yang membutuhkan tindakan kepolisian. Tetapi kenapa polisi masih sering dicemooh? Boleh jadi ini terkait dengan pelaksanaan ”diskresi” kepolisian yang kadang melampaui kewenangan polisi. Ini yang acap menimbulkan salah tafsir yang dilaksanakan oleh individu polisi yang sedang bertugas di tengah masyarakat. Padahal, penerapan diskresi butuh kecerdasan dan kualitas kompetensi seorang anggota polisi, sebab meskipun diskresi untuk kepentingan umum tetapi kadang tidak sejalan dengan ketentuan tertulis. Publik juga banyak tahu bahwa pekerjaan polisi penuh dinamika, yang kadang tidak semua orang memahaminya. Di dalamnya butuh kemampuan khusus yang bukan sekadar pengabdian, melainkan juga pola pikir yang rasional dan bijak. Jika itu mampu diapresiasi, maka parasit di tubuh Polri setidaknya terhenti, atau paling tidak bisa diminimalkan. MARWAN MAS Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Bosowa 45, Makassar
  • 46. 46 Gawat Darurat Hukum Konservatif Koran SINDO 6 September 2014 Minggu (31/8/2014) lalu anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Bambang Soesetyo, biasa dipanggil Bamsoet, meluncurkan buku berjudul Indonesia Gawat Darurat. Buku setebal 1.000 halaman tersebut menghimpun tulisan-tulisan Bamsoet di berbagai media massa selama menjadi anggota DPR periode 2009-2014. Sesuai judulnya, buku tersebut menggambarkan sisi suram Indonesia selama pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) atau Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) Jilid II. Di dalam buku yang dibagi atas sembilan isu gawat darurat Indonesia itu di-jelentreh-kan problem dan persoalan-persoalan yang tak diselesaikan dengan baik oleh pemerintahan SBY. Saya sendiri, sebagai seorang pemberi komentar atas buku itu, mempunyai kesan bahwa isi buku itu hanya berisi serangan-serangan terhadap pemerintahan SBY. Saya mempertanyakan, mengapa hanya menulis kritik dan tidak ada sama sekali tulisan apresiatif atas kemajuan-kemajuan yang dicapai pemerintahan SBY. Atas kritik itu, Bamsoet mengatakan bahwa bukunya itu memang berisi reaksi atas berbagai isu yang ditulis dari waktu ke waktu dari posisinya sebagai pengawas pemerintah yakni anggota DPR. Isinya memang lebih pelototan pengawas terhadap yang diawasi. Maka itu, kalau mau mencari catatan prestasi pemerintahan SBY seperti meningkatnya demokratisasi dalam aspek tertentu, kebebasan pers, stabilitas, dan pertumbuhan ekonomi tidak akan ditemukan di dalam buku ini. Terlepas dari soal setuju atau tidak setuju pada Bamsoet atas berbagai isu yang dikupasnya, buku ini menjadi penting karena seakan menjadi ensiklopedi atau glosarium berbagai persoalan besar selama pemerintahan SBY periode kedua. Kalau kita ingin mengingat dan melihat peristiwa penting dan panas pada era tersebut, kita bisa menemukan kata kunci pada daftar isi buku dan mendapat penjelasan masalah dan waktu terjadinya di dalam uraian-uraiannya meski opininya lebih berwajah Bamsoet. Saya sependapat dengan mantan Wakil Gubernur DKI Prijanto yang hadir saat itu. Meski isi buku Bamsoet ini memuat beragam masalah, intinya satu yakni merajalelanya korupsi yang tak bisa dicegah dan ditangani dengan baik oleh pemerintahan SBY. Janji SBY yang pernah mengatakan akan memimpin sendiri perang melawan korupsi tak benar-benar bisa dilakukan. Malah tokoh-tokoh partai yang dipimpinnya, Partai Demokrat, baik yang ada di eksekutif maupun di legislatif banyak yang terlibat korupsi. Sejalan dengan kegagalan memerangi korupsi, jika keseluruhan isi buku ini dispesifikkan pada sudut hukum atau diletakkan di dalam kerangka pemahaman hukum yang agak teoretis, dapat dikatakan bahwa hukum-hukum kita saat ini sudah menjadi begitu konservatif. Hukum konservatif ditandai oleh sekurang-kurangnya tiga hal. Pertama, pembuatannya lebih banyak
  • 47. 47 ditentukan secara sepihak oleh lembaga-lembaga negara, miskin partisipasi rakyat. Pada zaman Orde Baru semua rancangan undang-undang (UU) sampai penetapannya sangat didominasi oleh lembaga eksekutif sehingga DPR lebih merupakan rubber stamps atau stempel karet yang harus selalu membenarkan dan menyetujui rancangan UU yang diajukan pemerintah. Sekarang, berkat reformasi, DPR sudah mempunyai peran lebih besar untuk berinisiatif mengajukan rancangan UU, tetapi produknya tetap konservatif, lebih banyak ditentukan oleh elite. Tidak jarang pembicaraan tentang UU yang akan dibuat sebagai produk hukum dibicarakan melalui lobi-lobi antarelite di luar Gedung DPR, termasuk di hotel-hotel, dan restoran-restoran. Itulah sebabnya banyak UU yang isinya dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi melalui judicial review, bahkan tidak sedikit anggota DPR yang kemudian ditangkap dan dihukum oleh KPK. Kedua, dalam penegakannya, hukum konservatif ditandai oleh banyak kolusi antarpenegak hukum. Bukti-bukti tentang ini sudah banyak. Banyak hakim, jaksa, polisi, pengacara, dan pesakitan (terduga, tersangka, terdakwa) yang digelandang ke pengadilan karena penyuapan dan permainan perkara. Hukum konservatif itu pembuatannya didominasi oleh elite, sedangkan penegakannya diselimuti kolusi dan penyuapan-penyuapan. Ketiga, hukum konservatif memberi peluang opened interpretative yakni memberi peluang besar untuk ditafsirkan lebih lanjut oleh implementator dengan berbagai peraturan pelaksanaan sehingga sang implementator bisa membuat aturan-aturan turunan berdasarkan kehendaknya sendiri. Tidak jarang terjadi perdebatan penting atas satu materi RUU di DPR, sulit dicapai titik temu, tetapi kemudian diambil jalan kompromi dengan kesepakatan bahwa hal yang diperdebatkan itu diserahkan saja untuk diatur lebih lanjut dengan peraturan pelaksanaan oleh pemerintah atau unit-unit pelaksananya. Inilah yang kemudian membuka terjadi korupsi kebijakan atau korupsi peraturan. Dari bingkai teori tentang kelahiran hukum-hukum konservatif kemudian timbul pertanyaan mendasar, mengapa setelah Era Reformasi ini hukum-hukum kita masih konservatif? Bukankah reformasi kita lakukan agar kita bisa membangun sistem politik yang demokratis sehingga bisa lahir hukum-hukum yang responsif? Jawabannya, karena sebenarnya konfigurasi politik kita sudah berbelok dari demokratis pada awal reformasi menjadi oligarkis pada masa sekarang ini. Di dalam politik oligarkis keputusan-keputusan penting tak lagi didominasi oleh aspirasi rakyat, tetapi ditentukan oleh kesepakatan elite dengan kepentingan-kepentingannya sendiri. Di dalam konfigurasi politik yang oligarkis kemunculan gawat darurat hukum konservatif menjadi niscaya. MOH MAHFUD MD Guru Besar Hukum Konstitusi