SlideShare a Scribd company logo
”Prespektif Silvika 
Dalam Keanekaragaman Hayati dan 
Silvikultur ” 
Oleh 
I R W A N T O 
Yogyakarta, 2006
www.irwantoshut.com 
1. PENDAHULUAN 
Keanekaragaman hayati atau biological diversity (biodiversity) merupakan 
istilah yang mengacu pada berbagai kehidupan di bumi. Secara umum, kajiannya 
menyangkut tiga tingkatan, yaitu: keanekaragaman genetik, keanekaragaman jenis, 
dan keanekaan ekosistem. Di alam, beranekaragam jenis hayati umumnya hidup 
dalam kondisi lingkungan tertentu, hasil interaksi antara jenis-jenis hayati (biotik) 
dengan faktor abiotik (antara lain tanah, udara, air, temperatur, kelembaban) di 
sekitarnya. Selanjutnya, sistem hubungan timbal balik antara jenis-jenis hayati 
dengan lingkungannya membentuk suatu sistem ekologi atau ekosistem. 
Ekosistem di alam banyak ragamnya. Misalnya, ekosistem hutan, pesisir, 
lautan dan lain-lain. Berbagai ragam varietas, jenis atau pun ekosistem itu 
memberikan manfaat pada manusia. Oleh karenanya, semua itu perlu dikelola oleh 
manusia dengan sebaik-baiknya, agar berbagai keuntungan tersebut tidak punah. 
Salah satu caranya adalah dengan melakukan konservasi. 
Konservasi atau conservation dapat diartikan sebagai suatu usaha 
pengelolaan yang dilakukan oleh manusia dalam memanfaatkan sumberdaya alam 
sehingga dapat menghasilkan keuntungan sebesar-besarnya secara berkelanjutan 
untuk generasi manusia saat ini, serta tetap memelihara potensinya untuk memenuhi 
kebutuhan-kebutuhan dan aspirasi-aspirasi generasi generasi yang akan datang. 
Berdasarkan pengertian tersebut, konservasi mencakup berbagai aspek 
positif, yaitu perlindungan, pemeliharaan, pemanfaatan secara berkelanjutan, 
restorasi, dan penguatan lingkungan alam (IUCN, 1980). Pengertian tersebut juga 
menekankan bahwa konservasi tidak bertentangan dengan pemanfaatan aneka ragam 
varietas, jenis dan ekosistem untuk kepentingan manusia secara maksimal selama 
pemanfaatan tersebut dilakukan secara berkelanjutan. 
Dalam praktek di lapangan, kerap kali masih ditemukan pengertian dan 
persepsi tentang konservasi yang keliru, yaitu seolah-olah konservasi melarang total 
pemanfataan sumberdaya alam. Berlandaskan pada pengertian tersebut masyarakat, 
khususnya penduduk setempat yang bermukim di sekitar kawasan konservasi, 
dilarang keras untuk dapat menikmati berbagai manfaat yang diberikan oleh 
PRESPEKTIF SILVIKA DALAM KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN SILVIKULTUR 1
www.irwantoshut.com 
lingkungan sekitarnya. Penduduk dipisahkan dengan lingkungannya secara paksa, 
padahal mereka secara turun-temurun telah lama tinggal di wilayahnya. 
Tujuan utama konservasi, menurut ”Strategi Konservasi Sedunia” (World 
Conservation Strategy), ada tiga, yaitu: (a) memelihara proses ekologi yang esensial 
dan sistem pendukung kehidupan, (b) mempertahankan keanekaan genetis , dan (c) 
menjamin pemanfaatan jenis (spesies) dan ekosistem secara berkelanjutan. 
Dari uraian mengenai tujuan konservasi tersebut, kita tahu bahwa tidak ada 
larangan bagi manusia untuk memanfaatkan varitas, jenis, dan ekosistem yang ada di 
sekitarnya. Dan bila dilihat dari sejarah perkembangan peradaban manusia di muka 
bumi, sesungguhnya manusia tidak pernah lepas dari aspek pemanfaatan dan 
pengelolaan anekaragam jenis dan ekosistem di lingkungan sekitarnya. 
2. KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI 
Banyak spesies telah berkembang dan punah sejak kehidupan bermula. Hal 
ini dapat ketahui melalui catatan fosil. Tetapi, sekarang ini spesies menjadi punah 
dengan laju yang lebih tinggi daripada waktu sebelumnya dalam sejarah geologi, 
hampir keseluruhannya disebabkan oleh kegiatan manusia. Di masa geologi yang 
lalu spesies yang punah akan digantikan oleh spesies baru yang berkembang mengisi 
celah atau ruang yang ditinggalkan. Pada saat sekarang, hal ini tidak akan mungkin 
terjadi karena banyak habitat telah hilang. 
Kerusakan hutan telah meningkatkan emisi karbon hampir 20 %. Ini sangat 
signifikan karena karbon dioksida merupakan salah satu gas rumah kaca yang 
berimplikasi pada kecenderungan pemanasan global. Salju dan penutupan es telah 
menurun, suhu lautan dalam telah meningkat dan level permukaan lautan meningkat 
100-200 mm selama abad yang terakhir. Bila laju yang sekarang berlanjut, para 
pakar memprediksi bumi secara rata-rata 1oC akan lebih panas menjelang tahun 
2025. Peningkatan permukaan air laut dapat menenggelamkan banyak wilayah. 
Kondisi cuaca yang ekstrim yang menyebabkan kekeringan, banjir dan taufan, serta 
distribusi organisme penyebab penyakit diprediksinya dapat terjadi. 
Hutan dapat mempengaruhi pola curah hujan melalui transpirasi dan 
melindungi daerah aliran sungai. Deforestasi menyebabkan penurunan curah hujan 
PRESPEKTIF SILVIKA DALAM KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN SILVIKULTUR 2
www.irwantoshut.com 
dan perubahan pola distribusinya. Ini juga menyebabkan erosi dan banjir. Apa yang 
disampaikan di atas hanya beberapa dampak ekologis dari deforestasi, yang 
dampaknya berpengaruh langsung pada manusia. 
Bencana alam seperti banjir, dan kebakaran hutan yang secara langsung 
maupun tidak langsung disebabkan kegiatan manusia, semuanya memberikan 
konsekuensi ekonomi serius pada wilayah yang terkena. Biaya untuk mengatasinya 
bisa menelas ratusan juta rupiah, termasuk kesengsaraan manusian yang terkena. 
Erosi dan terbentuknya gurun karena deforestasi menurunkan kemampuan 
masyarakat setempat untuk menanam tanaman dan memberi makan mereka sendiri. 
Ekploitasi sumbedaya hutan yang tidak bijaksana pada akhirnya juga 
berakhir dengan kehancuran industri hasil hutan. Bila metode lestari yang 
dipergunakan, areal yang dipanenan ditanami kembali, maka ini bukan merupakan 
substitusi untuk hutan yang telah dipanen. Hutan alam mungkin memerlukan ratusan 
tahun untuk berkembang menjadi sistem yang rumit yang mengandung banyak 
spesies yang saling tergantung satu sama lain. Pada tegakan dengan pohon-pohon 
yang ditanam murni, lapisan permukaan tanah dan tumbuhan bawahnya diupayakan 
relatif bersih. Pohon-pohon muda akan mendukung sebagian kecil spesies asli yang 
telah ada sebelumnya. Pohon-pohon hutan hujan tropis perlu waktu bertahun-tahun 
untuk dapat dipanen dan tidak dapat digantikan dengan cepat; demikian juga 
komunitasnya yang kompleks juga juga tidak mudah digantikan bila rusak. 
Kehilangan keanekaragaman hayati secara umum juga berarti bahwa spesies 
yang memiliki potensi ekonomi dan sosial mungkin hilang sebelum mereka 
ditemukan. Sumberdaya obat-obatan dan bahan kimia yang bermanfaat yang 
dikandung oleh spesies liar mungkin hilang untuk selamanya. Kekayaan spesies yang 
terdapat pada hutan hujan tropis mungkin mengandung bahan kimia dan obat-obatan 
yang berguna. Banyak spesies lautan mempertahankan dirinya secara kimiawi dan ini 
merupakan sumber bahan obat-obatan yang penting. 
Banyak metode dan alat yang tersedia dalam pengelolaan keanekaragaman 
hayati yang secara umum dapat dikelompokkan sebagai berikut: 
 Konservasi Insitu, meliputi metode dan alat untuk melindungi spesies, variasi 
genetik dan habitat dalam ekosistem aslinya. Pendekatan insitu meliputi 
penetapan dan pengelolaan kawasan lindung seperti: cagar alam, suaka 
PRESPEKTIF SILVIKA DALAM KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN SILVIKULTUR 3
www.irwantoshut.com 
margasatwa, taman nasional, taman wisata alam, hutan lindung, sempadan 
sungai, kawasan plasma nutfah dan kawasan bergambut. Dalam prakteknya, 
pendekatan insitu juga termasuk pengelolaan satwa liar dan strategi 
perlindungan sumberdaya di luar kawasan lindung. Di bidang kehutanan dan 
pertanian, pendekatan insitu juga digunakan untuk melindungi keanekaragaman 
genetik tanaman di habitat aslinya serta penetapan spesies dilindungi tanpa 
menspesifikasikan habitatnya. 
 Konservasi Eksitu, meliputi metode dan alat untuk melindungi spesies 
tanaman, satwa liar dan organisme mikro serta varietas genetik di luar 
habitat/ekosistem aslinya. Kegiatan yang umum dilakukan antara lain 
penangkaran, penyimpanan atau pengklonan karena alasan: (1) habitat 
mengalami kerusakan akibat konversi; (2) materi tersebut dapat digunakan 
untuk penelitian, percobaan, pengembangan produk baru atau pendidikan 
lingkungan. Dalam metode tersebut termasuk: pembangunan kebun raya, 
koleksi mikologi, museum, bank biji, koleksi kultur jaringan dan kebun 
binatang. Mengingat bahwa organisme dikelola dalam lingkungan buatan, 
metode eksitu mengisolasi spesies dari proses-proses evolusi. 
 Restorasi dan Rehabilitasi, meliputi metode, baik insitu maupun eksitu, untuk 
membangun kembali spesies, varietas genetik, komunitas, populasi, habitat dan 
proses-proses ekologis. Restorasi ekologis biasanya melibatkan upaya 
rekonstruksi ekosistem alami atau semi alami di daerah-daerah yang 
mengalami degradasi, termasuk reintroduksi spesies asli, sedangkan rehabilitasi 
melibatkan upaya untuk memperbaiki proses-proses ekosistem, misalnya 
Daerah Aliran Sungai, tetapi tidak diikuti dengan pemulihan ekosistem dan 
keberadaan spesies asli. 
 Pengelolaan Lansekap Terpadu, meliputi alat dan strategi di bidang kehutanan, 
perikanan, pertanian, pengelolaan satwa liar dan pariwisata untuk menyatukan 
unsur perlindungan, pemanfaatan lestari serta kriteria pemerataan dalam tujuan 
dan praktek pengelolaan. Mengingat bahwa tataguna lahan tersebut 
mendominasi keseluruhan bentuk lansekap, baik pedalaman maupun wilayah 
pesisir, reinvestasi untuk pengelolaan keanekaragaman hayati memiliki peluang 
besar untuk dapat diperoleh. 
PRESPEKTIF SILVIKA DALAM KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN SILVIKULTUR 4
www.irwantoshut.com 
 Formulasi Kebijakan dan Kelembagaan, meliputi metode yang membatasi 
penggunaan sumberdaya lahan melalui zonasi, pemberian insentif dan pajak 
untuk menekan praktek penggunaan lahan yang secara potensial dapat 
merusak; mengaturan kepemilikan lahan yang mendukung pengurusannya 
secara lestari; serta menetapkan kebijakan pengaturan kepentingan swasta dan 
masyarakat yang menguntungkan bagi konservasi keanekaragaman hayati. 
3. PENGELOLAAN KEANEKARAGAMAN HAYATI DALAM 
EKOSISTEM HUTAN 
Menurut Undang-undang No. 5 Tahun 1990, konservasi sumberdaya alam 
hayati dan ekosistemnya dilakukan dengan kegiatan: (1) perlindungan sistem 
penyangga kehidupan; (2) pengawetan keanekaragaman spesies tumbuhan dan satwa 
beserta ekosistemnya; dan (3) pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati 
dan ekosistemnya. Dalam konteks ini, konservasi keanekaragaman hayati 
(biodiversity) merupakan bagian tak terpisahkan dari pengertian konservasi 
sumberdaya alam hayati. Selain itu, dengan ratifikasi Konvensi Keanekaragaman 
Hayati (Biodiversity Convention) oleh Pemerintah Indonesia melalui Undang-undang 
Nomor 5 Tahun 1994, konservasi keanekaragaman hayati telah menjadi komitmen 
nasional yang membutuhkan dukungan seluruh lapisan masyarakat. 
Luas hutan hujan tropika di dunia hanya meliputi 7 % dari luas permukaan 
bumi, tetapi mengandung lebih dari 50 % total jenis yang ada di seluruh dunia. 
Kenyataan ini menunjukkan bahwa hutan hujan tropika merupakan salah satu pusat 
keanekaragaman hayati terpenting di dunia. Laju kerusakan hutan hujan tropika yang 
relatif cepat telah menyebabkan tipe hutan ini menjadi pusat perhatian dunia 
internasional. Meskipun luas Indonesia hanya 1.3 % dari luas bumi, tetapi memiliki 
keanekaragaman hayati yang tinggi, meliputi : 10 % dari total jenis tumbuhan 
berbunga, 12 % dari total jenis mamalia, 16 % dari total jenis reptilia, 17 % dari total 
jenis burung dan 25 % dari total jenis ikan di seluruh dunia. Hal ini menyebabkan 
Indonesia menjadi pusat perhatian dunia internasional dalam hal keanekaragaman 
hayatinya. 
Berdasarkan hasil penafsiran citra satelit Landsat 7 ETM+ tahun 2002/2003, 
total daratan yang ditafsir adalah sebesar 187,91 juta ha kondisi penutupan lahan, 
PRESPEKTIF SILVIKA DALAM KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN SILVIKULTUR 5
www.irwantoshut.com 
baik di dalam maupun di luar kawasan, adalah : Hutan 93,92 juta ha (50 %), Non 
hutan 83,26 juta ha (44 %), dan Tidak ada data 10,73 juta ha (6 %). Khusus di dalam 
kawasan hutan yaitu seluas 133,57 juta ha, kondisi penutupan lahannya adalah 
sebagai berikut : Hutan 85,96 juta ha (64 %), Non hutan 39,09 juta ha (29 %) dan 
Tidak ada data 8,52 juta ha (7 %). (BAPLAN, 2005) 
Eksploitasi hutan alam produksi secara besar-besaran yang telah berlangsung 
sejak tahap awal pembangunan jangka panjang pertama (1969) telah memberikan 
kontribusi besar bagi pembangunan nasional melalui produk utamanya kayu dan 
hasil hutan ikutan (non-kayu) seperti rotan, damar, tengkawang, cendana dan gaharu. 
Tanpa mengabaikan dampak positif tersebut, eksploitasi hutan alam produksi juga 
telah memberikan dampak negatif bagi sumberdaya hutan sendiri. Berbagai jenis 
kayu komersial, bahkan di antaranya termasuk kayu mewah, kini telah menjadi 
langka. Kayu eboni (Dyospyros ebenum dan D. celebica), kayu ulin (Eusyderoxylon 
zwageri), ramin (Gonystylus bancanus), dan beberapa jenis meranti (Shorea spp.) 
adalah contoh dari beberapa jenis komersial yang harganya tinggi, tetapi sudah sulit 
ditemukan di alam dan di pasaran. Selain itu, puluhan jenis kayu kurang dikenal 
(lesser-known species) saat ini mungkin telah menjadi langka atau punah sebelum 
diketahui secara pasti nilai/manfaat dan sifat-sifatnya. 
Setiap species mempunyai kecepatan tumbuh yang berbeda-beda, ada yang 
tergolong fast growing spesies terutama untuk jenis-jenis pioner, tetapi ada yang 
termasuk dalam slow growing spesies. Untuk keberlanjutan pemanenan jangka 
panjang jenis pohon yang lambat pertumbuhannya seperti Shorea ovalis, S. seminis, 
S. leavis, Vatica sp., Koompassia sp. dan Eusideroxylon zwageri, maka diperlukan 
pengurangan dalam intensitas pembalakan (total gabungan sekitar 5 batang/ ha). Hal 
ini perlu dilakukan agar tidak terjadi kepunahan dalam jenis tertentu akibat 
penebangan hutan. 
Pohon-pohon besar yang hidup di hutan-hutan dataran rendah dengan 
ketinggian kanopi mencapai hampir 50 meter. Jenis-jenis pohon yang berada di 
hutan-hutan ini adalah dari suku Dipterocarpaceae. Pohon-pohon ini menduduki 
sekitar 80% dari biomassa pohon yang kanopinya tertinggi dan nilai biomassanya 
mencapai 70% dari seluruh biomassa pohon yang kanopinya tertinggi (Curran dan 
PRESPEKTIF SILVIKA DALAM KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN SILVIKULTUR 6
www.irwantoshut.com 
Leighton, 2000). Juga merupakan 10% dari semua jenis pohon yang ada di Indonesia 
(Ashton dkk., 1998). 
Jenis-jenis pohon dari suku Dipterocarpaceae merupakan bagian akhir dari 
suksesi hutan, karena hanya tumbuh di hutan-hutan yang sudah memiliki kanopi 
yang rapat. Jenis-jenisnya tersebar luas sekali, tumbuh di hutan-hutan dari dataran 
rendah sampai kaki pegunungan di seluruh Asia Tenggara dan sub-benua India. Suku 
Dipterocarpaceae merupakan bagian dari kayu keras yang paling berharga di dunia. 
Selama beberapa dekade, hutan-hutan Dipterocarpaceae di Indonesia secara 
komersial ditebang dengan laju penebangan yang tinggi dan tidak 
berkesinambungan. Dampak langsung penebangan terhadap hutan yang sangat jelas 
adalah hilangnya sejumlah tertentu pohon. Namun dampak tidak langsung 
pengaruhnya sangat besar bagi kesehatan hutan dataran rendah di masa depan. 
Tanaman-tanaman ini tidak hanya harus menghadapi bahaya terinjak-injak, 
terluka, dan gangguan-gangguan lainnya yang disebabkan oleh penebangan, tetapi 
juga harus bersaing dengan spesies pionir yang tumbuh cepat yang dapat membuat 
tanaman tersebut kalah dalam bersaing mendapatkan cahaya matahari. Satu kajian 
menunjukkan bahwa penebangan kembali spesies pionir dan pemberian lubang di 
kanopi untuk memberi lebih banyak sinar matahari mampu meningkatkan ketahanan 
regenerasi Dipterocarp hingga 30%. Di daerah-daerah yang tidak dikelola, 
Dipterocarp umumnya hanya menutup 25% dari total luas lahan basah (Kuusipalo 
dkk., 1997). 
4. PENGELOLAAN HUTAN DI INDONESIA 
Luas hutan produksi saat ini adalah 64 juta hektar tersebar di seluruh 
Indonesia, dikelola oleh berbagai lembaga antara lain yaitu Dinas Kehutanan, HPH 
(Hak Pengusahaan Hutan), BUMN (Badan Usaha Milik Negara), HPH perusahaan 
patungan (BUMN dan Swasta) dan Persero. Sementara itu data menunjukkan bahwa 
potensi hutan produksi cenderung menurun dan mengalami kemunduran. Bukti lain 
atas fenomena tersebut ditunjukkan oleh realisasi produksi kayu bulat selama periode 
1993/1994 s/d 1997/ 1998 selalu dibawah 20 juta m3 setiap tahun (Anonim: 1998). 
PRESPEKTIF SILVIKA DALAM KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN SILVIKULTUR 7
www.irwantoshut.com 
Gambaran lain dilaporkan oleh Fraser (1999) bahwa hutan primer yang termasuk 
hutan produksi akan habis 7 - 8 tahun lagi. 
Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan Pasal 6 ayat 1 dan 
2, membagi hutan menurut fungsi pokoknya menjadi (1) hutan konservasi, (2) hutan 
lindung dan (3) hutan produksi. Definisi yang diberikan untuk ”hutan produksi” 
adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan. 
Interpretasi menyimpang membuat hutan tersebut dikhususkan untuk tujuan produksi 
saja tanpa memperhatikan fungsi yang lain seperti pengaturan tata air, pencegahan 
banjir dan erosi, memelihara kesuburan tanah, pelestarian lingkungan hidup, 
konservasi keanekaragaman hayati dan sebagainya. 
Para pengelola hutan produksi seakan merasa tidak bersalah jika terjadi 
bencana banjir, dan kemunduran kualitas tempat tumbuh karena fungsi ini 
dibebankan pada hutan lindung walaupun disadari benar bahwa luas hutan lindung 
yang sangat kecil yaitu kurang dari 10 juta ha dibanding dengan luas hutan total 
seluas 121,19 juta ha berdasarkan Inventarisasi Hutan Nasional (Fraser:1999) atau 
bahkan jauh lebih kecil dibandingkan dengan luas daratan Indonesia. 
Pengertian hutan konservasi juga menunjukkan fenomena yang sama yaitu 
tentang kawasan konservasi tertentu dan bukan lagi pada fungsinya. Di bagian 
perundangan lain yaitu pada UU No 5 tahun 1990 yang semestinya menjadi acuan 
UU No 41 tahun 1999 ini disebutkan bahwa konservasi sumberdaya alam hayati 
adalah pengelolaan sumberdaya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan 
secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap 
rnemelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya. Pada 
pasal 5 perundangan tersebut dan pasal 12 UUPLH dikatakan bahwa konservasi 
dilakukan dengan perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan 
keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya dan 
pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. 
Dengan mengacu perundangan yang ada tampak adanya dualisme pengertian 
konservasi, di satu pihak konservasi berarti kawasan dan di pihak lain konservasi 
berarti fungsi atau kegiatan. Dualisme pengertian ini tanpa terasa terus berjalan, 
sehingga membuat para pengelola hutan bersikap ambivalen terhadap konservasi. 
Dengan mendasarkan sikap bahwa konservasi adalah pengertian kawasan maka 
PRESPEKTIF SILVIKA DALAM KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN SILVIKULTUR 8
www.irwantoshut.com 
seakan lupa bahwa hutan adalah salah satu pemanfaatan ekosistem sumberdaya 
alam hayati dalam satuan ekosistem yang merupakan salah satu pilar konservasi. 
Sebagai konsekuensinya konservasi mestinya merupakan keharusan dalam 
pengelolaan hutan. 
Sebagai bagian masyarakat dunia, Indonesia terikat oleh berbagai kesepakatan 
internasional, antara lain adalah Convention on Biodiversity, Convention on 
Climate Change, Forest Principles dan World Conservation Strategy. Dengan 
ratifikasi konvensi ini seluruh kebijakan pengelolaan hutan harus 
mempertimbangkan rambu-rambu yang telah disepakati dalam konvensi ini. 
Berbagai kesepakatan internasional seperti Forest Principles (KTT Bumi), 
konferensi ITTO, kelembagaan ekolabel telah mengarahkan ke bentuk pengelolaan 
hutan di Indonesia yang bersifat sustainable forest management, yang bercirikan 
keterlanjutan fungsi ekologis/lindung fisik hutan (tanah, flora, fauna, hidrologi dan 
iklim), keberlanjutan fungsi produksi dan keberlanjutan fungsi sosial budaya. 
Dengan kata lain pengelolaan hutan yang tetap berorientasi sebagai ekosistem 
dengan fungsi ekologis, produksi dan sosial telah merupakan kesepakatan 
internasional. 
5. PERSPEKTIF SILVIKA DALAM PENGELOLAAN HUTAN 
Tujuan pengelolaan hutan seperti yang dimaksud dalam UU No. 41 tahun 
1999 ini mengisyaratkan bahwa produk hutan sudah semestinya bukan didasarkan 
atas kayu saja, melainkan produk seluruh potensi ekosistem hutan sesuai 
kemampuan optimal ekosistem yang bersangkutan secara lestari. Sudah harus 
dimulai bahwa penentuan AAC (annual available cut) ditentukan bukan ber-dasarkan 
pada konsumsi kayu (baik legal maupun illegal cutting), akan tetapi 
lebih pada kemampuan ekosistem hutan dan atau kesejahteraan masyarakat sekitar. 
Perhitungan Jatah Tebangan Tahunan (AAC) didasarkan atas total volume 
kayu komersial (diukur melalui inventarisasi) yang dikalikan dengan ‘faktor 
eksploitasi 0,8 dan kemudian dengan ‘faktor keamanan 0,7 (total 0,56) serta 
membagi jumlah total dengan 35 tahun. Sistem ini merupakan bentuk pengaturan 
hasil, namun angkanya bersifat statis dan tidak didasarkan pada karakteristik areal 
PRESPEKTIF SILVIKA DALAM KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN SILVIKULTUR 9
www.irwantoshut.com 
hutan bersangkutan. Dalam banyak hal, ini telah mengakibatkan terjadinya 
pemanenan berlebih (overcutting atau undercutting). Selain itu, kegiatan 
inventarisasi seringkali terlalu menekankan pada keberadaan jenis komersial, dan 
faktor eksploitasi yang diukur di lapangan adalah 0,5 (Matikainen, Herika  
Muntoko, 1998). 
Asumsi bahwa pertumbuhan kembali hutan setelah pemanenan sebesar 1 m3 
ha-1 tahun-1, sehingga memberi hasil sebesar 35 m3 ha-1 pada akhir siklus. Namun 
demikian, ini merupakan taksiran tingkat pertumbuhan yang berlebihan, dan tidak 
memperhatikan aspek kematian (mortalitas) alami. Hutan tidak tumbuh secepat 
seperti yang diasumsikan. 
Menurut Lamprecht (1996) pertumbuhan hutan primer riapnya kecil dan 
dalam skala luas besarnya mendekati nol, walaupun terdapat permudaan namun 
jumlahnya sering sedikit saja. Untuk hutan sekunder riap awalnya besar namun 
lambat laun akan mengecil. 
Perhitungan taksiran hasil untuk siklus kedua tidak memperhatikan kerusakan 
berarti yang terjadi pada tegakan sisa akibat penebangan. Praktek pemanenan yang 
kurang baik mengakibatkan pembukaan tajuk dan meningkatkan persaingan antara 
jenis dipterocarps komersial dengan jenis yang senang dengan cahaya. Belum banyak 
upaya dilakukan untuk mengurangi kerusakan akibat penebangan, sehingga 
mengakibatkan penurunan kualitas dan areal hutan. 
Ragam ekosistem hutan di Indonesia sangat tinggi baik dalam sebaran 
horizontal (dari garis katulistiwa ke garis lintang utara maupun selatan) maupun 
vertikal (ketinggian tempat mulai dari dataran pantai sampai gunung yang tinggi) 
yang diikuti ragam jenis yang tinggi pula. Untuk memudahkan pemahamannya, 
ragam tersebut dapat diklasifikasi berdasarkan kondisi ekologisnya dengan 
membagi hutan produksi menjadi 2 kelompok besar yaitu: 
a. kelompok tipe zonal yang dipengaruhi terutama oleh iklim 
b. kelompok tipe azonal yang dipengaruhi terutama oleh habitat. 
Kelompok zonal merupakan kelompok ekosistem yang sangat tergantung pada 
intensitas curah hujan sehingga atas dasar faktor ini pula dapat dibedakan menjadi 
tipe hutan tropika humida, tropika musim, savana dan lain-lain. Kelompok ini masih 
dapat dibedakan (diklasifikasi) lagi berdasarkan faktor lain seperti tinggi tempat, 
PRESPEKTIF SILVIKA DALAM KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN SILVIKULTUR 10
www.irwantoshut.com 
jenis tanah, topografi dan sebagainya. Hutan produksi sebagian besar (lebih dari 
80%) termasuk dalam tipe ekosistem hutan tropika humida dan tersebar di Sumatera, 
Kalimantan, Sulawesi, Kepulauan Maluku dan Papua Barat, sedangkan sisanya 
termasuk dalam tipe ekosistem hutan tropika musim dan tersebar di Jawa, Bali, Nusa 
Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Sementara itu kelompok azonal 
keberadaannya sangat ditentukan oleh habitat aslinya dan hampir tidak terpengaruh 
oleh curah hujan, antara lain adalah ekosistem hutan mangrove, pantai, gambut, 
kerangas, terumbu karang, black water ecosystem dan sebagainya. 
Ragam ekosistem hutan tersebut membawa konsekuensi karakteristik / perilaku 
ekosistem yang berbeda satu dengan yang lain. Dengan demikian hutan bukan hanya 
sekedar kumpulan jenis flora dan fauna pada habitat tertentu, akan tetapi jenis-jenis 
tersebut bersama-sama dengan faktor biofisik yang lain membentuk satuan ekosistem 
yang berinteraksi sangat erat (Sajise: 1975; 1977a; 1977b). Oleh karena itu informasi 
interaksi ini harus terus digali agar dapat memberikan landasan pengelolaan/ 
budidaya ekosistem yang bersangkutan, peningkatan produktivitas dan pelestarian 
jasa lingkungan. 
Jika keragaman ekosistem hutan produksi ini telah diyakini, maka 
keseragaman pengelolaan hutan seperti yang terjadi selama ini sungguh tidak tepat, 
apalagi bila motif utama pengelolaan adalah kepentingan ekonomi. Sebagai contoh 
misalnya (1) peraturan TPTI (Tebang Pilih Tanam Indonesia) tidak terpusatkan akan 
tetapi diadakan di setiap propinsi (2) peraturan TPTI disesuaikan dengan 
karakteristik hutan yang dimaksud dan (3) pengalaman budi daya hutan jati yang 
termasuk dalam ekosistem tropika musim diterapkan begitu saja di Hutan Tanaman 
Industri (HTI) di hutan tropika humida. Pada saat ini terdapat semacam pemaksaan 
kehendak pada suatu ekosistem hutan sehingga berakibat degradasi hutan. Hutan 
tropika humida yang dicirikan dengan lahan yang miskin hara, keasaman tinggi, 
curah hujan tinggi dan lain sebagainya (sering disebut sebagai fragile ecosystem) 
berubah menjadi habitat yang ideal bagi tropika humida yang mempunyai struktur 
(susunan) tertentu, setidaknya digambarkan pada kondisi aslinya. Namun dengan 
berubahnya struktur secara drastis akibat tebangan, penanaman atau metode 
silvikultur yang lain berubah pula atribut fungsionalnya sampai pada 
kemundurannya. Apalagi variasi berbagai faktor lingkungan biofisik yang tinggi, 
PRESPEKTIF SILVIKA DALAM KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN SILVIKULTUR 11
www.irwantoshut.com 
maka keseragaman metode pengelolaan sangat tidak kondusif bagi pertumbuhan dan 
pelestarian hutan. 
6. PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI BERWAWASAN KONSERVASI 
Jika untuk sementara kayu masih menjadi sasaran target utama produksi hutan, 
maka segala aktivitas untuk peningkatan produktivitasnya sudah semestinya tetap 
berlandaskan kaidah ekosistem hutan atau berwawasan konservasi agar pelestarian 
ekosistem hutan dalam jangka panjang dapat menjadi kenyataan. Beberapa peluang 
pengelolaan hutan produksi yang berwawasan konservasi dapat dilakukan dan 
disesuaikan pada setiap tipe hutan. Pengertian peluang disini adalah kemungkinan 
penerapan metode tertentu yang bukan saja untuk kepentingan ekonomis sesaat 
(yang bisa merusak ekosistem hutan dalam jangka panjang) tetapi juga 
mempertimbangkan aspek konservasinya. Untuk memudahkan pembahasan 
dibedakan antara pengelolaan hutan produksi alam dan tanaman. 
6.1. Pengelolaan Hutan Alam 
Hampir seluruh hutan alam termasuk dalam ekosistem hutan tropika humida 
dengan sederet atribut yang melekat padanya dan dikenal dengan ekosistem yang 
rapuh (fragile ecosystem). Dalam perjalanan pengelolaannya sampai saat ini kondisi 
hutan sudah banyak mengalami kerusakan, akibat eksploitasi yang berlebihan, alih 
fungsi, kebakaran, penjarahan dan sebagainya. Kegiatan pengusahaan hutan selama 
ini ternyata telah menyebabkan terjadinya penurunan areal dan kualitas hutan yang 
berdampak jumlah kayu tersedia untuk panenan siklus tebang kedua jauh lebih 
rendah dari yang diharapkan. 
Ragam ekosistem hutan alam sangat tinggi, baik dalam volume standing stock, 
komposisi, faktor lingkungan dan sebagainya, sehingga memerlukan penanganan 
yang berbeda pula. Kebijakan pengelolaan hutan alam yang berlaku saat ini (Tebang 
Pilih dan Tanam Indonesia - TPTI) menetapkan sistem pemanenan yang seragam 
untuk areal hutan di seluruh wilayah Indonesia, tanpa memperhatikan tipe dan 
kondisi hutannya. Intensitas penebangan ditetapkan dengan batas diameter minimum 
40 cm untuk hutan rawa, 50 cm untuk hutan Dipterocarp dataran rendah serta 60 cm 
PRESPEKTIF SILVIKA DALAM KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN SILVIKULTUR 12
www.irwantoshut.com 
untuk areal hutan produksi terbatas dengan kelerengan melebihi 40%. Sistem ini 
telah mengakibatkan pemanenan berlebih di banyak areal, sehingga hutan tidak dapat 
pulih dalam waktu 35 tahun untuk dapat menghasilkan kayu pada rotasi kedua. 
Keanekaragaman jenis sangat tinggi membentuk struktur tertentu baik secara 
vertikal (stratifikasi tajuk dan atau perakaran) maupun horizontal. Mekanisme in-ternal 
untuk mendapatkan stabilitas ekosistem justru diperoleh dari aspek ini. 
Hutan primer saat ini telah hampir habis dan pada pengelolaan selanjutnya 
sudah harus beralih ke hutan bekas tebangan dan atau hutan tanaman. Karena itu 
upaya peningkatan produktivitas dengan input energi (biaya) serendah-rendahnya 
dan tanpa merugikan lingkungan (tetap berwawasan konservasi) sangat diperlukan. 
Sistem silvikultur yang digunakan hampir seluruhnya adalah TPTI (Tebang 
Pilih Tanam Indonesia) dengan satu aturan untuk seluruh hutan alam di Indonesia, 
walaupun sistem ini adalah sistem silvikultur yang relatif paling aman untuk 
diterapkan dibanding yang lain dalam hal jasa lingkungannya. 
Tidak ada batasan maksimum jumlah volume kayu atau jumlah batang yang 
dapat ditebang per satuan areal. Penebangan terlalu banyak pohon di setiap unit 
areal dapat mengakibatkan terciptanya kondisi yang mengganggu pertumbuhan 
jenis-jenis kayu komersial. 
Sesuai dengan situasi saat ini hutan dituntut untuk memberikan produk yang 
selalu meningkat, kelestarian yang tetap terjamin dan masukan biaya yang rendah. 
Pemenuhan tuntutan ini sungguh tidak mudah namun tampaknya tidak ada pilihan 
lain kecuali harus terus mencari peluang untuk mendapatkan tujuan yang 
diinginkan. Beberapa hal yang dapat dilakukan adalah : 
1. Sesuai dengan ragam hutan alam yang tinggi maka perlu penerapan peraturan 
(sistem silvikultur dan aturan pengelolaan lainnya) yang berbeda, setidaknya 
dibedakan pada level propinsi. 
2. Kemampuan optimal suatu ekosistem hutan bukan hanya kayu, karena itu 
penentuan AAC seyogyanya tidak hanya mendasarkan pada produksi kayu saja. 
Karena itu diperlukan reorientasi pemikiran baru untuk mendapatkan 
produktivitas hutan yang optimal. Pola konsumsi produk hasil hutan dalam 
bentuk apapun harus didasarkan pada kemampuan ekosistem hutan yang 
dimaksud. 
PRESPEKTIF SILVIKA DALAM KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN SILVIKULTUR 13
www.irwantoshut.com 
3. Dengan mulai habisnya hutan primer, maka pengelolaan hutan alam akan beralih 
ke hutan bekas tebangan. Jika diasumsikan tidak ada tebangan cuci mangkok 
(tebang ulang sebelum waktunya) hutan bekas tebangan perlu dipelihara untuk 
terus meningkatkan produksinya atau setidaknya kembali ke keadaan semula, 
apalagi yang karena sebab tertentu tebang ulang tampaknya tidak bisa dihindari. 
Karena itu pemeliharaan hutan menjadi aspek yang sangat penting. Namun jika 
kegiatan pemeliharaan hutan ini didasarkan pada sistem silvikultur TPTI 
hasilnya tidak efisien (Marsono: 1997). Di antara kegiatan pemeliharaan bekas 
tebangan yang berupa perapihan, pembebasan pertama, pengadaan bibit, 
pengayaan, pemeliharaan tanaman, pembebasan kedua dan ketiga, dan 
penjarangan tajuk, hanya penjarangan tajuklah yang secara langsung 
memberikan percepatan pertumbuhan tegakan tinggal paling efektif. Hal ini 
terjadi karena tindakan penjarangan memberikan ruang tumbuh optimal bagi po-hon 
binaan yang terdiri dari pohon inti dan permudaan tingkat dibawahnya. 
Kegiatan ini hanya terbatas pada pohon-pohon future harvest saja dan pada 
tingkat pertumbuhan tertentu yang paling responsif terhadap perlakuan ini, 
sehingga input biaya sangat rendah. Sementara itu pohon pendamping tetap 
berfungsi sebagai pembentuk struktur sehingga terus memberikan jasa 
lingkungan dan atau atribut fungsionalnya (tetap berwawasan konservasi), dan 
sangat efisien karena menghilangkan banyak pekerjaan dan biaya yang 
sebenarnya tidak diperlukan. 
4. Dalam jangka panjang sudah harus mulai dipikirkan untuk mengelola hutan 
berdasarkan konsep kesesuaian lahan. Dengan berbasis pendekatan ekosistem, pe-ngelolaan 
hutan produksi didasarkan pada unit-unit ekologis yang merupakan 
resultante dari seluruh faktor lingkungan (biofisik) sehingga terbentuk kesatuan 
pengelolaan yang berkemampuan sama baik produktivitas maupun jasa 
lingkungannya 
5. Introduksi sistem silvikultur atau sistem baru lainnya yang sekiranya menjanjikan 
produksi hendaknya dikaji lebih mendalam terlebih dulu agar kerusakan hutan 
dapat lebih dibatasi 
6. Keberhasilan pengelolaan konservasi di hutan ini sangat tergantung sumber daya 
manusianya, karena itu penyiapannya perlu dilakukan dengan sebaik-baiknya. 
PRESPEKTIF SILVIKA DALAM KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN SILVIKULTUR 14
www.irwantoshut.com 
6.2. Pengelolaan Hutan Tanaman 
Pada prinsipnya hutan tanaman secara ekologis adalah bentuk simplifikasi 
sistem alam dengan tuntutan ekonomis sebagai pengendali utama. Pengembangan 
lebih lanjut terhadap motivasi ekonomis tersebut dilakukan dengan simplifikasi 
berbagai komponen sistem antara lain jenis (jenis yang bergenetis baik), bentukan 
struktur (stratifikasi tajuk dan atau perakaran), input energi (biaya) dan penggantian 
natural stabilizing factor (homeostasis ekosistem) dengan chemical stabilizing 
factor (pupuk, pestisida dan lain-lain). Keseluruhan manipulasi ini dikemas dalam 
bentuk metode dan sistem silvikultur dengan output utama produktivitas. Jika prinsip 
hutan tanaman masih tetap seperti ini maka pelestarian jangka panjang akan 
diragukan, atau pada suatu saat secara finansial akan akan tidak ekonomis lagi, 
karena harus menanggung beban atribut fungsional yang sudah tidak berjalan lagi. 
Dalam sudut pandang lain dapat dikatakan bahwa integritas ekosistem tidak dapat 
dipertahankan lagi, kaidah ekosistem hutan menjadi hilang, terfragmentasi, sehingga 
memacu parahnya water yield dan kualitas air, sempitnya ruang gerak satwa, 
tererosinya sumber daya genetik dan penurunan produktivitas hutan dalam jangka 
panjang (Soekotjo:1999). 
Beberapa contoh kasus mundurnya hutan tanaman yang kurang memperhatikan 
wawasan konservasi telah disebutkan di muka yaitu antara lain penurunan produk-tivitas, 
penurunan bonita pada areal tertentu dan sebagainya. Di Philipina, 
penanaman hutan monokultur (Leucaena leucocephala) pada kelerengan 36 - 50 % 
terjadi kebocoran fosfat pada neraca hara yang dibuatnya sebesar 56,76 kg/ ha/th, 
sementara pada grassland area dengan kelerengan yang sama diperoleh saldo 
sebesar 35,43 kg/ha/th. Keadaan yang hampir sama dilaporkan dari India berasal dari 
hutan tanaman cepat tumbuh dan eksot (Eucalyptus sp. dan pinus) yang ditanam 
monokultur, tidak berwawasan konservasi menjadi bencana besar bagi pelestarian 
lingkungan. Bencana kekurangan air terjadi karena konsumsi air sangat tinggi untuk 
pertumbuhan (1,41 dan 8,87 mm per gram biomasa kering untuk eucalyptus dan 
pinus) dan kemunduran kualitas tempat tumbuh (Shiva  Bandyopadhyay: 1983). 
Kemudian tahun 1985 FAO (Food and Agriculture Organization of The United 
PRESPEKTIF SILVIKA DALAM KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN SILVIKULTUR 15
www.irwantoshut.com 
Nations) juga melaporkan kondisi serupa di banyak negara seperti Brazil, Australia, 
Malawi dan Afrika Selatan (Poore  Fries: 1985). 
Dengan penekanan hutan produksi untuk berfungsi ekonomis yang setinggi-tingginya 
maka telah terjadi bahwa hutan tanaman dianggap kurang/tidak 
memperhatikan aspek konservasi, sehingga memunculkan isu penting sebagai 
berikut: 
1. Simplifikasi ekosistem hutan secara berlebihan sehingga struktur hutan yang 
terbentuk selalu monokultur. Struktur hutan ini memutus sama sekali kaidah 
ekosistem hutan sehingga atribut fungsional ekosistem tidak operasional 
2. Stabilitas hutan menjadi rendah (natural stabilizing factor tidak berfungsi), 
sehingga cenderung mengganti menjadi chemical stabilizing factor yang 
biayanya mahal dan tidak ramah lingkungan 
3. Kemunduran site quality / bonita / tapak hutan. Banyak lahan hutan tanaman 
yang mengalami kemunduran tapak hutan yang ditandai dengan penurunan 
produktivitas atau kejemuan jenis tertentu sehingga harus diganti dengan 
jenis tanaman lain 
4. Faktor hidroorologi belum/tidak mendapatkan perhatian yang memadai. Hal 
ini dapat dilihat pada besar dan frekuensi banjir hampir setiap sungai yang 
ada pada setiap musim penghujan. Akan tetapi sebaliknya pada musim 
kemarau banyak sungai yang debitnya sangat kecil dan bahkan kering tidak 
berair. 
Dalam jangka panjang harus sudah dimulai pengelolaan hutan berdasarkan 
kesesuaian lahan, membentuk unit-unit ekologis berdasarkan kaidah ekosistem 
yang mempunyai respon yang sama baik dalam produktivitas maupun jasa 
lingkungannya. Aspek ini tampak semakin penting belakangan ini terutama bila 
dikaitkan dengan desakan pihak lain untuk menyelenggarakan agribisnis di areal 
hutan produksi. Terlepas dari berbagai faktor yang berpengaruh mulai dari politik, 
sosial, ekonomi dan kelembagaannya, masalah ini dapat didekati dengan menyusun 
klasifikasi lahan yang baik, agar dapat dideliniasi dengan jelas kawasan-kawasan 
yang bisa ditolerir untuk agribisnis dan kawasan yang harus dilakukan pengelolaan 
PRESPEKTIF SILVIKA DALAM KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN SILVIKULTUR 16
www.irwantoshut.com 
hutan berbasis konservasi, sehingga kualitas lingkungan yang menjadi tanggung 
jawab hutan produksi dapat tetap dipertahankan. 
7. KESIMPULAN 
Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan: 
1. Keanekaragaman hayati atau biological diversity (biodiversity) merupakan kajian 
menyangkut tiga tingkatan, yaitu: keanekaragaman genetik, keanekaragaman 
jenis, dan keanekaan ekosistem. 
2. Untuk keberlanjutan pemanenan jangka panjang jenis pohon yang lambat 
pertumbuhannya seperti Shorea ovalis, S. seminis, S. leavis, Vatica sp., 
Koompassia sp. dan Eusideroxylon zwageri, maka diperlukan pengurangan 
dalam intensitas pembalakan. 
3. Jenis-jenis pohon dari family Dipterocarpaceae merupakan bagian akhir dari 
suksesi hutan, tumbuh di hutan-hutan yang memiliki kanopi yang rapat. Jenis ini 
tidak hanya menghadapi bahaya kerusakan disebabkan oleh penebangan, tetapi 
juga harus bersaing dengan spesies pionir yang tumbuh lebih cepat membuat 
tanaman tersebut kalah bersaing mendapatkan cahaya matahari. 
4. Hutan produksi merupakan kesatuan ekosistem yang ragamnya tinggi, sehingga 
pengelolaannya perlu didasarkan pada kaidah ekosistem yang bersangkutan 
untuk mendapatkan peningkatan produktivitas dan pelestarian jasa lingkungan 
dalam jangka panjang. Keseragaman peraturan dalam pengelolaan hutan 
produksi sudah tidak sesuai lagi untuk mengelola hutan produksi mengingat 
ragam ekosistem hutan produksi yang ada. 
5. Pengelolaan hutan alam, sistem silvikultur TPTI sudah saatnya ditinjau kembali 
terutama berkaitan dengan adanya beberapa metode silvikultur yang kurang 
relevan dan mulai dikelolanya hutan bekas tebangan rotasi pertama. 
6. Siklus tebangan sistem silvikultur TPTI selama 35 tahun yang seragam harus 
diperpanjang disesuaikan dengan pertumbuhan riap dan kondisi setempat. 
7. Simplifikasi sistem yang berlebihan pada hutan tanaman membahayakan 
produktivitas dalam jangka panjang dan atau lingkungan hidup. 
PRESPEKTIF SILVIKA DALAM KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN SILVIKULTUR 17
www.irwantoshut.com 
8. Kesesuaian lahan yang dapat menggambarkan unit-unit ekologis berdasarkan 
kaidah ekosistem untuk mendapatkan respon yang sama dalam produktivitas 
maupun jasa lingkungan sudah saatnya diterapkan di hutan produksi untuk 
mendapatkan hasil yang optimal. 
PRESPEKTIF SILVIKA DALAM KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN SILVIKULTUR 18
www.irwantoshut.com 
DAFTAR PUSTAKA 
Anonim, 2005, Kawasan Hutan. Badan Planologi Kehutanan. Departemen 
Kehutanan. Jakarta. 
Anonim, 2005. Pengelolaan Kolaboratif. Peraturan Menteri Kehutanan No. 
19/Menhut-II/2004. Departemen Kehutanan Republik Indonesia. Jakarta. 
Arief, A. 1994, Hutan Hakekat dan Pengaruhnya Terhadap Lingkungan. Yayasan 
Obor Indonesia Jakarta. 
Daniel, Th.W., J.A. Helms, F. S. Baker., 1992, Prinsip-Prinsip Silvikultur (Edisi 
Bahasa Indonesia, diterjemahkan oleh : Dr. Ir. Djoko Marsono), Gadjah 
Mada University Press, Yogyakarta. 
Iskandar, J. 2000, Konservasi Keanekaragaman Hayati. Ulasan Pakar Mengenai 
Keaneka Ragaman Hayati. Yayasan Kehati. 
John, Kathy Mackinnon, 1993. Pengelolaan Kawasan Yang Dilindungi di Daerah 
Tropika. (Terjemahan). Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 
Lampercht, H, 1996. Pertimbangan Silvikultur Di Wilayah Tropik. Silvikultur Hutan 
Alam di Indonesia. Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman. 
Samarinda. 
Marsono, Dj dan Thoyib, A, 1984. Ekosistem Hutan Tropika Humida. Proyek 
Pendidikan dan Latihan dalam Rangka Pengindonesiaan Tenaga Kerja 
Pengusahaan Hutan dengan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. 
Yogyakarta. 
Marsono, Dj. 1984. Peningkatan Produktivitas Dalam Pembangunan Hutan Alam 
Berkelanjutan. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Ekologi 
Hutan pada Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. 
Marsono, Dj. 1984. Vegetasi Tumbuhan Bawah Hutan Tanaman Jati di KPH Kendal. 
Buletin Penilitian Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. 
Yogyakarta. 
Marsono, Dj. 1992. Pelaksanaan AMDAL Hak Pegusahaan Hutan Tanaman Industri. 
Buletin. Ilmiah Instiper. Institut Pertanian Stiper. Yogyakarta. 
Marsono, Dj. 1991. Potensi dan Kondisi Hutan Hujan Tropika Basah di Indonesia. 
Buletin. Ilmiah Instiper. Institut Pertanian Stiper. Yogyakarta. 
PRESPEKTIF SILVIKA DALAM KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN SILVIKULTUR 19
www.irwantoshut.com 
Marsono, Dj. 2004. Konservasi Sumberdaya alam dan Lingkungan Hidup. Penerbit 
BIGRAF Publishing Bekrjasama dengan Sekolah Tinggi Teknik Linkungan 
YLH Yogyakarta. 
Riyanto, B. 2004, Kilas Balik Pengusahaan Hutan Produksi dan Optimisme 
Membangun Masa Depan Kehutanan di Indonesia. Balai Sertifikasi 
Penguji Hasil Hutan. XIII. Kalimantan Timur. Samarinda. 
Sheil, D, et all. 2004. Mengeksplorasi keanekaragaman hayati, lingkungan dan 
pandangan masyarakat lokal mengenai berbagai lanskap hutan. Center for 
International Forestry Research. Indonesia 
Slik, J. W. F. 2001. Macaranga and Mallotus (Euphorbiaceae) as indicators for 
disturbance in the lowland dipterocarp forests of East Kalimantan, 
Indonesia. Tropenbos-Kalimantan Series 4, Tropenbos International, 
Wageningen, the Netherlands. 
Slik, J. W. F., and Eichhorn K. A. O. 2003. Fire survival of lowland tropical rain 
forest trees in relation to stem diameter and topographic position. Oecologia 
137: 446-455. 
Soetrisno, Kadar, 1998, Silvika, Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman, 
Samarinda. 
Sumaryono dan Redhahari, 2002 Pengaturan Hasil Hutan Produksi pada Era 
Desentralisasi di Kalimantan Timur Lokakarya Pengelolaan Hutan Produksi 
di Kalimantan Timur. Samarinda. 
Weidelt, H.J, 1995 Silvikultur Hutan Alam Tropika. Diterjemahkan oleh Nunuk 
Supriyatno. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. 
Whitmore, T.C, 1975, Tropical Rain Forests of the Far East (Chapter Two Forest 
Structure) 1st Edition, Oxford University Press, Oxford. 
PRESPEKTIF SILVIKA DALAM KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN SILVIKULTUR 20
www.irwantoshut.co.cc 
http://irwantoshut.blogspot.com 
http://irwantoforester.wordpress.com 
http://sig-kehutanan.blogspot.com 
http://ekologi-hutan.blogspot.com 
http://pengertian-definisi.blogspot.com 
www.irthebest.com 
email : irwantoshut@gmail.com 
email : irwantoshut@yahoo.com

More Related Content

What's hot

Makalah Ekologi: Komunitas Klimaks
Makalah Ekologi: Komunitas KlimaksMakalah Ekologi: Komunitas Klimaks
Makalah Ekologi: Komunitas Klimaks
UNESA
 
Laporan inventarisasi hutan
Laporan inventarisasi hutanLaporan inventarisasi hutan
Laporan inventarisasi hutan
abdul gonde
 
Pengelolaan lahan basah (mangrove dan gambut)
Pengelolaan lahan basah (mangrove dan gambut)Pengelolaan lahan basah (mangrove dan gambut)
Pengelolaan lahan basah (mangrove dan gambut)
CIFOR-ICRAF
 
Ekosistem hutan mangrove
Ekosistem hutan mangroveEkosistem hutan mangrove
Ekosistem hutan mangrove
amalia
 
Pengendalian OPT secara kimiawi
Pengendalian OPT secara kimiawiPengendalian OPT secara kimiawi
Pengendalian OPT secara kimiawi
Py Bayu
 
Vigor dan viabilitas benih
Vigor dan viabilitas benihVigor dan viabilitas benih
Vigor dan viabilitas benihUnhy Doel
 
EKOLOGI HUTAN
EKOLOGI HUTANEKOLOGI HUTAN
EKOLOGI HUTAN
EDIS BLOG
 
TEKNIK PERSILANGA,N BUATAN
TEKNIK PERSILANGA,N BUATANTEKNIK PERSILANGA,N BUATAN
TEKNIK PERSILANGA,N BUATAN
Repository Ipb
 
Unsur C ( karbon )
Unsur C ( karbon )Unsur C ( karbon )
Unsur C ( karbon )
Qiqi Gobel
 
Sistem budidaya tanaman ( uu no. 12 tahun 1992)
Sistem budidaya tanaman ( uu no. 12 tahun 1992)Sistem budidaya tanaman ( uu no. 12 tahun 1992)
Sistem budidaya tanaman ( uu no. 12 tahun 1992)Hari Prasetyo
 
PENGENDALIAN HAMA TERPADU.ppt
PENGENDALIAN HAMA TERPADU.pptPENGENDALIAN HAMA TERPADU.ppt
PENGENDALIAN HAMA TERPADU.ppt
irhamakbar7
 
PPT MANGROVE
PPT MANGROVEPPT MANGROVE
PPT MANGROVEElvionita
 
Materi konservasi alam dan lingkungan
Materi konservasi alam dan lingkunganMateri konservasi alam dan lingkungan
Materi konservasi alam dan lingkungan
Janiarto Paradise
 
Sistem pertanian terpadu
Sistem pertanian terpaduSistem pertanian terpadu
Sistem pertanian terpaduIeke Ayu
 
Ppt Kearifan dalam pemanfaatan sumber daya alam
Ppt Kearifan dalam pemanfaatan sumber daya alamPpt Kearifan dalam pemanfaatan sumber daya alam
Ppt Kearifan dalam pemanfaatan sumber daya alam
Doris Agusnita
 
Pengendalian hama
Pengendalian hamaPengendalian hama
Pengendalian hama
Yuliana Wita
 
Pengantar evaluasi lahan
Pengantar evaluasi lahanPengantar evaluasi lahan
Pengantar evaluasi lahanAqyu DenganMyu
 
2 agroforestri di indonesia
2 agroforestri di indonesia2 agroforestri di indonesia
2 agroforestri di indonesia
abdul samad
 

What's hot (20)

Makalah Ekologi: Komunitas Klimaks
Makalah Ekologi: Komunitas KlimaksMakalah Ekologi: Komunitas Klimaks
Makalah Ekologi: Komunitas Klimaks
 
Ekologi
EkologiEkologi
Ekologi
 
Laporan inventarisasi hutan
Laporan inventarisasi hutanLaporan inventarisasi hutan
Laporan inventarisasi hutan
 
Pengelolaan lahan basah (mangrove dan gambut)
Pengelolaan lahan basah (mangrove dan gambut)Pengelolaan lahan basah (mangrove dan gambut)
Pengelolaan lahan basah (mangrove dan gambut)
 
Ekosistem hutan mangrove
Ekosistem hutan mangroveEkosistem hutan mangrove
Ekosistem hutan mangrove
 
Pengendalian OPT secara kimiawi
Pengendalian OPT secara kimiawiPengendalian OPT secara kimiawi
Pengendalian OPT secara kimiawi
 
Vigor dan viabilitas benih
Vigor dan viabilitas benihVigor dan viabilitas benih
Vigor dan viabilitas benih
 
EKOLOGI HUTAN
EKOLOGI HUTANEKOLOGI HUTAN
EKOLOGI HUTAN
 
TEKNIK PERSILANGA,N BUATAN
TEKNIK PERSILANGA,N BUATANTEKNIK PERSILANGA,N BUATAN
TEKNIK PERSILANGA,N BUATAN
 
Unsur C ( karbon )
Unsur C ( karbon )Unsur C ( karbon )
Unsur C ( karbon )
 
Sistem budidaya tanaman ( uu no. 12 tahun 1992)
Sistem budidaya tanaman ( uu no. 12 tahun 1992)Sistem budidaya tanaman ( uu no. 12 tahun 1992)
Sistem budidaya tanaman ( uu no. 12 tahun 1992)
 
PENGENDALIAN HAMA TERPADU.ppt
PENGENDALIAN HAMA TERPADU.pptPENGENDALIAN HAMA TERPADU.ppt
PENGENDALIAN HAMA TERPADU.ppt
 
PPT MANGROVE
PPT MANGROVEPPT MANGROVE
PPT MANGROVE
 
Materi konservasi alam dan lingkungan
Materi konservasi alam dan lingkunganMateri konservasi alam dan lingkungan
Materi konservasi alam dan lingkungan
 
Sistem pertanian terpadu
Sistem pertanian terpaduSistem pertanian terpadu
Sistem pertanian terpadu
 
Kelompok 4 'fisiografis'
Kelompok 4 'fisiografis'Kelompok 4 'fisiografis'
Kelompok 4 'fisiografis'
 
Ppt Kearifan dalam pemanfaatan sumber daya alam
Ppt Kearifan dalam pemanfaatan sumber daya alamPpt Kearifan dalam pemanfaatan sumber daya alam
Ppt Kearifan dalam pemanfaatan sumber daya alam
 
Pengendalian hama
Pengendalian hamaPengendalian hama
Pengendalian hama
 
Pengantar evaluasi lahan
Pengantar evaluasi lahanPengantar evaluasi lahan
Pengantar evaluasi lahan
 
2 agroforestri di indonesia
2 agroforestri di indonesia2 agroforestri di indonesia
2 agroforestri di indonesia
 

Similar to SILVIKA

Kepentingan biodiversiti dan langkah
Kepentingan biodiversiti dan langkahKepentingan biodiversiti dan langkah
Kepentingan biodiversiti dan langkahFez Na
 
Pendidkan lingkungan hidup
Pendidkan lingkungan hidupPendidkan lingkungan hidup
Pendidkan lingkungan hiduprismaoris
 
BIODIVERSITAS
BIODIVERSITASBIODIVERSITAS
BIODIVERSITAS
Asrizal Wahdan Wilsa
 
S umber daya alam
S umber daya alamS umber daya alam
S umber daya alamdabol_ajah
 
Makalah lingkungan hidup 2
Makalah lingkungan hidup 2Makalah lingkungan hidup 2
Makalah lingkungan hidup 2
Net Break
 
Kelompok 4
Kelompok 4Kelompok 4
Kelompok 4
ORCHIDSIGN
 
Plants in the strictest sense
Plants in the strictest sensePlants in the strictest sense
Plants in the strictest sense
AlifkasuryaPratama
 
Manfaat keanekaragaman hayati dan konservasi (geografi)
Manfaat keanekaragaman hayati dan konservasi (geografi)Manfaat keanekaragaman hayati dan konservasi (geografi)
Manfaat keanekaragaman hayati dan konservasi (geografi)
enggalfauzia
 
Penyusutan keanekaragaman hayati (2)
Penyusutan keanekaragaman hayati (2)Penyusutan keanekaragaman hayati (2)
Penyusutan keanekaragaman hayati (2)Ig Fandy Jayanto
 
Alam yang serasi adalah alam yang mengandung berbagai komponen ekosistem seca...
Alam yang serasi adalah alam yang mengandung berbagai komponen ekosistem seca...Alam yang serasi adalah alam yang mengandung berbagai komponen ekosistem seca...
Alam yang serasi adalah alam yang mengandung berbagai komponen ekosistem seca...fitria rusadi
 
Kerusakan pelestarian lingkungan
Kerusakan pelestarian lingkunganKerusakan pelestarian lingkungan
Kerusakan pelestarian lingkungan
Sekar Ciptaning Anindya
 
etnosains dalam biologi konservasi
etnosains dalam biologi konservasietnosains dalam biologi konservasi
etnosains dalam biologi konservasi
arisantomico
 
Rekling03 konservasi
Rekling03 konservasiRekling03 konservasi
Rekling03 konservasi
Arif Rahman
 
Pengantar Biodiversitas
Pengantar Biodiversitas Pengantar Biodiversitas
Pengantar Biodiversitas
YUSLI Jusuf Ahmad
 
ANCAMAN KELESTARIAN KEANEKARAGAMAN HAYATI.docx
ANCAMAN KELESTARIAN KEANEKARAGAMAN HAYATI.docxANCAMAN KELESTARIAN KEANEKARAGAMAN HAYATI.docx
ANCAMAN KELESTARIAN KEANEKARAGAMAN HAYATI.docx
Habibimaulana2
 

Similar to SILVIKA (20)

Silvika tanah
Silvika tanahSilvika tanah
Silvika tanah
 
Kepentingan biodiversiti dan langkah
Kepentingan biodiversiti dan langkahKepentingan biodiversiti dan langkah
Kepentingan biodiversiti dan langkah
 
Pendidkan lingkungan hidup
Pendidkan lingkungan hidupPendidkan lingkungan hidup
Pendidkan lingkungan hidup
 
BIODIVERSITAS
BIODIVERSITASBIODIVERSITAS
BIODIVERSITAS
 
S umber daya alam
S umber daya alamS umber daya alam
S umber daya alam
 
Keanekaragaman Hayati
Keanekaragaman HayatiKeanekaragaman Hayati
Keanekaragaman Hayati
 
Slaid biodiversiti
Slaid biodiversitiSlaid biodiversiti
Slaid biodiversiti
 
Biodiversiti
BiodiversitiBiodiversiti
Biodiversiti
 
Makalah lingkungan hidup 2
Makalah lingkungan hidup 2Makalah lingkungan hidup 2
Makalah lingkungan hidup 2
 
Kelompok 4
Kelompok 4Kelompok 4
Kelompok 4
 
Plants in the strictest sense
Plants in the strictest sensePlants in the strictest sense
Plants in the strictest sense
 
Manfaat keanekaragaman hayati dan konservasi (geografi)
Manfaat keanekaragaman hayati dan konservasi (geografi)Manfaat keanekaragaman hayati dan konservasi (geografi)
Manfaat keanekaragaman hayati dan konservasi (geografi)
 
Penyusutan keanekaragaman hayati (2)
Penyusutan keanekaragaman hayati (2)Penyusutan keanekaragaman hayati (2)
Penyusutan keanekaragaman hayati (2)
 
Alam yang serasi adalah alam yang mengandung berbagai komponen ekosistem seca...
Alam yang serasi adalah alam yang mengandung berbagai komponen ekosistem seca...Alam yang serasi adalah alam yang mengandung berbagai komponen ekosistem seca...
Alam yang serasi adalah alam yang mengandung berbagai komponen ekosistem seca...
 
Kerusakan pelestarian lingkungan
Kerusakan pelestarian lingkunganKerusakan pelestarian lingkungan
Kerusakan pelestarian lingkungan
 
etnosains dalam biologi konservasi
etnosains dalam biologi konservasietnosains dalam biologi konservasi
etnosains dalam biologi konservasi
 
Rekling03 konservasi
Rekling03 konservasiRekling03 konservasi
Rekling03 konservasi
 
Pengantar biodiversitas
Pengantar biodiversitasPengantar biodiversitas
Pengantar biodiversitas
 
Pengantar Biodiversitas
Pengantar Biodiversitas Pengantar Biodiversitas
Pengantar Biodiversitas
 
ANCAMAN KELESTARIAN KEANEKARAGAMAN HAYATI.docx
ANCAMAN KELESTARIAN KEANEKARAGAMAN HAYATI.docxANCAMAN KELESTARIAN KEANEKARAGAMAN HAYATI.docx
ANCAMAN KELESTARIAN KEANEKARAGAMAN HAYATI.docx
 

More from EDIS BLOG

DESKRIPSI PALAQUIUM ABOVATUM
DESKRIPSI PALAQUIUM ABOVATUMDESKRIPSI PALAQUIUM ABOVATUM
DESKRIPSI PALAQUIUM ABOVATUM
EDIS BLOG
 
Efective Communication (Communication Skill)
Efective Communication (Communication Skill)Efective Communication (Communication Skill)
Efective Communication (Communication Skill)
EDIS BLOG
 
Terjemahan bab 7 forest hidrologi Karakteristik Hutan
Terjemahan bab 7 forest hidrologi Karakteristik HutanTerjemahan bab 7 forest hidrologi Karakteristik Hutan
Terjemahan bab 7 forest hidrologi Karakteristik Hutan
EDIS BLOG
 
FAMILY THEACEA
FAMILY THEACEAFAMILY THEACEA
FAMILY THEACEA
EDIS BLOG
 
Makalah sosiologi hutan dan lingkungan
Makalah sosiologi hutan dan lingkunganMakalah sosiologi hutan dan lingkungan
Makalah sosiologi hutan dan lingkungan
EDIS BLOG
 
LAPORAN PRAKTIKUM MIKROBIOLOGI KEHUTANAN PENGENALAN ALAT-ALAT MIKROBIOLOGI
LAPORAN PRAKTIKUM MIKROBIOLOGI KEHUTANAN PENGENALAN ALAT-ALAT MIKROBIOLOGILAPORAN PRAKTIKUM MIKROBIOLOGI KEHUTANAN PENGENALAN ALAT-ALAT MIKROBIOLOGI
LAPORAN PRAKTIKUM MIKROBIOLOGI KEHUTANAN PENGENALAN ALAT-ALAT MIKROBIOLOGI
EDIS BLOG
 
LAPORAN PRAKTIKUM PENGENALAN ALAT-ALAT MIKROBIOLOGI
LAPORAN PRAKTIKUM PENGENALAN ALAT-ALAT MIKROBIOLOGILAPORAN PRAKTIKUM PENGENALAN ALAT-ALAT MIKROBIOLOGI
LAPORAN PRAKTIKUM PENGENALAN ALAT-ALAT MIKROBIOLOGI
EDIS BLOG
 
Ekonomi sumber daya hutan FHIL UHO 2014 Produksi, Proses Produksi, Dan Sumber...
Ekonomi sumber daya hutan FHIL UHO 2014 Produksi, Proses Produksi, Dan Sumber...Ekonomi sumber daya hutan FHIL UHO 2014 Produksi, Proses Produksi, Dan Sumber...
Ekonomi sumber daya hutan FHIL UHO 2014 Produksi, Proses Produksi, Dan Sumber...
EDIS BLOG
 
Klimatologi hutan
Klimatologi hutanKlimatologi hutan
Klimatologi hutanEDIS BLOG
 
KELEMBAPAN UDARA
KELEMBAPAN UDARAKELEMBAPAN UDARA
KELEMBAPAN UDARA
EDIS BLOG
 
RADIASI MATAHARI
RADIASI MATAHARIRADIASI MATAHARI
RADIASI MATAHARI
EDIS BLOG
 
KELEMBAPAN UDARA
KELEMBAPAN UDARAKELEMBAPAN UDARA
KELEMBAPAN UDARA
EDIS BLOG
 
HIDROLOGI HUTAN
HIDROLOGI HUTANHIDROLOGI HUTAN
HIDROLOGI HUTAN
EDIS BLOG
 
PENGERTIAN LIMBAH
PENGERTIAN LIMBAHPENGERTIAN LIMBAH
PENGERTIAN LIMBAH
EDIS BLOG
 
DIABETES MALITUS
DIABETES MALITUSDIABETES MALITUS
DIABETES MALITUS
EDIS BLOG
 
EPIDEMILOGI
EPIDEMILOGIEPIDEMILOGI
EPIDEMILOGI
EDIS BLOG
 
PENGANTAR EPIDEMILOGI
PENGANTAR EPIDEMILOGIPENGANTAR EPIDEMILOGI
PENGANTAR EPIDEMILOGI
EDIS BLOG
 
BUKU AJAR MANAJEMEN HUTAN 2009
BUKU AJAR MANAJEMEN HUTAN 2009BUKU AJAR MANAJEMEN HUTAN 2009
BUKU AJAR MANAJEMEN HUTAN 2009
EDIS BLOG
 
PENGERTIAN KESEHATAN MASYARAKAT
PENGERTIAN KESEHATAN MASYARAKATPENGERTIAN KESEHATAN MASYARAKAT
PENGERTIAN KESEHATAN MASYARAKAT
EDIS BLOG
 
Tipe buah
Tipe buahTipe buah
Tipe buah
EDIS BLOG
 

More from EDIS BLOG (20)

DESKRIPSI PALAQUIUM ABOVATUM
DESKRIPSI PALAQUIUM ABOVATUMDESKRIPSI PALAQUIUM ABOVATUM
DESKRIPSI PALAQUIUM ABOVATUM
 
Efective Communication (Communication Skill)
Efective Communication (Communication Skill)Efective Communication (Communication Skill)
Efective Communication (Communication Skill)
 
Terjemahan bab 7 forest hidrologi Karakteristik Hutan
Terjemahan bab 7 forest hidrologi Karakteristik HutanTerjemahan bab 7 forest hidrologi Karakteristik Hutan
Terjemahan bab 7 forest hidrologi Karakteristik Hutan
 
FAMILY THEACEA
FAMILY THEACEAFAMILY THEACEA
FAMILY THEACEA
 
Makalah sosiologi hutan dan lingkungan
Makalah sosiologi hutan dan lingkunganMakalah sosiologi hutan dan lingkungan
Makalah sosiologi hutan dan lingkungan
 
LAPORAN PRAKTIKUM MIKROBIOLOGI KEHUTANAN PENGENALAN ALAT-ALAT MIKROBIOLOGI
LAPORAN PRAKTIKUM MIKROBIOLOGI KEHUTANAN PENGENALAN ALAT-ALAT MIKROBIOLOGILAPORAN PRAKTIKUM MIKROBIOLOGI KEHUTANAN PENGENALAN ALAT-ALAT MIKROBIOLOGI
LAPORAN PRAKTIKUM MIKROBIOLOGI KEHUTANAN PENGENALAN ALAT-ALAT MIKROBIOLOGI
 
LAPORAN PRAKTIKUM PENGENALAN ALAT-ALAT MIKROBIOLOGI
LAPORAN PRAKTIKUM PENGENALAN ALAT-ALAT MIKROBIOLOGILAPORAN PRAKTIKUM PENGENALAN ALAT-ALAT MIKROBIOLOGI
LAPORAN PRAKTIKUM PENGENALAN ALAT-ALAT MIKROBIOLOGI
 
Ekonomi sumber daya hutan FHIL UHO 2014 Produksi, Proses Produksi, Dan Sumber...
Ekonomi sumber daya hutan FHIL UHO 2014 Produksi, Proses Produksi, Dan Sumber...Ekonomi sumber daya hutan FHIL UHO 2014 Produksi, Proses Produksi, Dan Sumber...
Ekonomi sumber daya hutan FHIL UHO 2014 Produksi, Proses Produksi, Dan Sumber...
 
Klimatologi hutan
Klimatologi hutanKlimatologi hutan
Klimatologi hutan
 
KELEMBAPAN UDARA
KELEMBAPAN UDARAKELEMBAPAN UDARA
KELEMBAPAN UDARA
 
RADIASI MATAHARI
RADIASI MATAHARIRADIASI MATAHARI
RADIASI MATAHARI
 
KELEMBAPAN UDARA
KELEMBAPAN UDARAKELEMBAPAN UDARA
KELEMBAPAN UDARA
 
HIDROLOGI HUTAN
HIDROLOGI HUTANHIDROLOGI HUTAN
HIDROLOGI HUTAN
 
PENGERTIAN LIMBAH
PENGERTIAN LIMBAHPENGERTIAN LIMBAH
PENGERTIAN LIMBAH
 
DIABETES MALITUS
DIABETES MALITUSDIABETES MALITUS
DIABETES MALITUS
 
EPIDEMILOGI
EPIDEMILOGIEPIDEMILOGI
EPIDEMILOGI
 
PENGANTAR EPIDEMILOGI
PENGANTAR EPIDEMILOGIPENGANTAR EPIDEMILOGI
PENGANTAR EPIDEMILOGI
 
BUKU AJAR MANAJEMEN HUTAN 2009
BUKU AJAR MANAJEMEN HUTAN 2009BUKU AJAR MANAJEMEN HUTAN 2009
BUKU AJAR MANAJEMEN HUTAN 2009
 
PENGERTIAN KESEHATAN MASYARAKAT
PENGERTIAN KESEHATAN MASYARAKATPENGERTIAN KESEHATAN MASYARAKAT
PENGERTIAN KESEHATAN MASYARAKAT
 
Tipe buah
Tipe buahTipe buah
Tipe buah
 

Recently uploaded

LAPORAN EKSTRAKURIKULER SEKOLAH DASAR NEGERI
LAPORAN EKSTRAKURIKULER SEKOLAH DASAR NEGERILAPORAN EKSTRAKURIKULER SEKOLAH DASAR NEGERI
LAPORAN EKSTRAKURIKULER SEKOLAH DASAR NEGERI
PURWANTOSDNWATES2
 
SOSIALISASI PPDB TAHUN AJARAN 2024-2025.pptx
SOSIALISASI PPDB TAHUN AJARAN 2024-2025.pptxSOSIALISASI PPDB TAHUN AJARAN 2024-2025.pptx
SOSIALISASI PPDB TAHUN AJARAN 2024-2025.pptx
astridamalia20
 
ppt landasan pendidikan Alat alat pendidikan PAI 9_
ppt landasan pendidikan Alat alat pendidikan PAI 9_ppt landasan pendidikan Alat alat pendidikan PAI 9_
ppt landasan pendidikan Alat alat pendidikan PAI 9_
setiatinambunan
 
INDIKATOR KINERJA DAN FOKUS PERILAKU KS.pdf
INDIKATOR KINERJA DAN FOKUS PERILAKU KS.pdfINDIKATOR KINERJA DAN FOKUS PERILAKU KS.pdf
INDIKATOR KINERJA DAN FOKUS PERILAKU KS.pdf
NurSriWidyastuti1
 
Laporan Piket Guru untuk bukti dukung PMM.pdf
Laporan Piket Guru untuk bukti dukung PMM.pdfLaporan Piket Guru untuk bukti dukung PMM.pdf
Laporan Piket Guru untuk bukti dukung PMM.pdf
gloriosaesy
 
SOAL SHB PKN SEMESTER GENAP TAHUN 2023-2024.docx
SOAL SHB PKN SEMESTER GENAP TAHUN 2023-2024.docxSOAL SHB PKN SEMESTER GENAP TAHUN 2023-2024.docx
SOAL SHB PKN SEMESTER GENAP TAHUN 2023-2024.docx
MuhammadBagusAprilia1
 
Patofisiologi Sistem Endokrin hormon pada sistem endokrin
Patofisiologi Sistem Endokrin hormon pada sistem endokrinPatofisiologi Sistem Endokrin hormon pada sistem endokrin
Patofisiologi Sistem Endokrin hormon pada sistem endokrin
rohman85
 
NUMERASI KOMPETENSI PENDIDIK TAHAP CAKAP DAN MAHIR.pdf
NUMERASI KOMPETENSI PENDIDIK TAHAP CAKAP DAN MAHIR.pdfNUMERASI KOMPETENSI PENDIDIK TAHAP CAKAP DAN MAHIR.pdf
NUMERASI KOMPETENSI PENDIDIK TAHAP CAKAP DAN MAHIR.pdf
DataSupriatna
 
PI 2 - Ratna Haryanti, S. Pd..pptx Visi misi dan prakarsa perubahan pendidika...
PI 2 - Ratna Haryanti, S. Pd..pptx Visi misi dan prakarsa perubahan pendidika...PI 2 - Ratna Haryanti, S. Pd..pptx Visi misi dan prakarsa perubahan pendidika...
PI 2 - Ratna Haryanti, S. Pd..pptx Visi misi dan prakarsa perubahan pendidika...
agusmulyadi08
 
RANCANGAN TINDAKAN AKSI NYATA MODUL 1.4.pptx
RANCANGAN TINDAKAN AKSI NYATA MODUL 1.4.pptxRANCANGAN TINDAKAN AKSI NYATA MODUL 1.4.pptx
RANCANGAN TINDAKAN AKSI NYATA MODUL 1.4.pptx
SurosoSuroso19
 
Form B1 Rubrik Observasi Presentasi Visi Misi -1.docx
Form B1 Rubrik Observasi Presentasi Visi Misi -1.docxForm B1 Rubrik Observasi Presentasi Visi Misi -1.docx
Form B1 Rubrik Observasi Presentasi Visi Misi -1.docx
EkoPutuKromo
 
Permainan Wiwi Wowo aksi nyata berkebhinekaan
Permainan Wiwi Wowo aksi nyata berkebhinekaanPermainan Wiwi Wowo aksi nyata berkebhinekaan
Permainan Wiwi Wowo aksi nyata berkebhinekaan
DEVI390643
 
Laporan wakil kepala sekolah bagian Kurikulum.pdf
Laporan wakil kepala sekolah bagian Kurikulum.pdfLaporan wakil kepala sekolah bagian Kurikulum.pdf
Laporan wakil kepala sekolah bagian Kurikulum.pdf
yuniarmadyawati361
 
PPT Aksi Nyata Diseminasi Modul 1.4.pptx
PPT Aksi Nyata Diseminasi Modul 1.4.pptxPPT Aksi Nyata Diseminasi Modul 1.4.pptx
PPT Aksi Nyata Diseminasi Modul 1.4.pptx
Kurnia Fajar
 
Laporan pembina seni tari - www.kherysuryawan.id.pdf
Laporan pembina seni tari - www.kherysuryawan.id.pdfLaporan pembina seni tari - www.kherysuryawan.id.pdf
Laporan pembina seni tari - www.kherysuryawan.id.pdf
heridawesty4
 
Juknis Pengisian Blanko Ijazah 2024 29 04 2024 Top.pptx
Juknis Pengisian Blanko Ijazah 2024 29 04 2024 Top.pptxJuknis Pengisian Blanko Ijazah 2024 29 04 2024 Top.pptx
Juknis Pengisian Blanko Ijazah 2024 29 04 2024 Top.pptx
mattaja008
 
Form B8 Rubrik Refleksi Program Pengembangan Kompetensi Guru -1.docx
Form B8 Rubrik Refleksi Program Pengembangan Kompetensi Guru -1.docxForm B8 Rubrik Refleksi Program Pengembangan Kompetensi Guru -1.docx
Form B8 Rubrik Refleksi Program Pengembangan Kompetensi Guru -1.docx
EkoPutuKromo
 
Modul Ajar PAI dan Budi Pekerti Kelas 2 Fase A Kurikulum Merdeka
Modul Ajar PAI dan Budi Pekerti Kelas 2 Fase A Kurikulum MerdekaModul Ajar PAI dan Budi Pekerti Kelas 2 Fase A Kurikulum Merdeka
Modul Ajar PAI dan Budi Pekerti Kelas 2 Fase A Kurikulum Merdeka
Fathan Emran
 
Pi-2 AGUS MULYADI. S.Pd (3).pptx visi giru penggerak dan prakrsa perubahan bagja
Pi-2 AGUS MULYADI. S.Pd (3).pptx visi giru penggerak dan prakrsa perubahan bagjaPi-2 AGUS MULYADI. S.Pd (3).pptx visi giru penggerak dan prakrsa perubahan bagja
Pi-2 AGUS MULYADI. S.Pd (3).pptx visi giru penggerak dan prakrsa perubahan bagja
agusmulyadi08
 
RUBRIK OBSERVASI KINERJA KEPALA SEKOLAH.docx
RUBRIK OBSERVASI KINERJA KEPALA SEKOLAH.docxRUBRIK OBSERVASI KINERJA KEPALA SEKOLAH.docx
RUBRIK OBSERVASI KINERJA KEPALA SEKOLAH.docx
kinayaptr30
 

Recently uploaded (20)

LAPORAN EKSTRAKURIKULER SEKOLAH DASAR NEGERI
LAPORAN EKSTRAKURIKULER SEKOLAH DASAR NEGERILAPORAN EKSTRAKURIKULER SEKOLAH DASAR NEGERI
LAPORAN EKSTRAKURIKULER SEKOLAH DASAR NEGERI
 
SOSIALISASI PPDB TAHUN AJARAN 2024-2025.pptx
SOSIALISASI PPDB TAHUN AJARAN 2024-2025.pptxSOSIALISASI PPDB TAHUN AJARAN 2024-2025.pptx
SOSIALISASI PPDB TAHUN AJARAN 2024-2025.pptx
 
ppt landasan pendidikan Alat alat pendidikan PAI 9_
ppt landasan pendidikan Alat alat pendidikan PAI 9_ppt landasan pendidikan Alat alat pendidikan PAI 9_
ppt landasan pendidikan Alat alat pendidikan PAI 9_
 
INDIKATOR KINERJA DAN FOKUS PERILAKU KS.pdf
INDIKATOR KINERJA DAN FOKUS PERILAKU KS.pdfINDIKATOR KINERJA DAN FOKUS PERILAKU KS.pdf
INDIKATOR KINERJA DAN FOKUS PERILAKU KS.pdf
 
Laporan Piket Guru untuk bukti dukung PMM.pdf
Laporan Piket Guru untuk bukti dukung PMM.pdfLaporan Piket Guru untuk bukti dukung PMM.pdf
Laporan Piket Guru untuk bukti dukung PMM.pdf
 
SOAL SHB PKN SEMESTER GENAP TAHUN 2023-2024.docx
SOAL SHB PKN SEMESTER GENAP TAHUN 2023-2024.docxSOAL SHB PKN SEMESTER GENAP TAHUN 2023-2024.docx
SOAL SHB PKN SEMESTER GENAP TAHUN 2023-2024.docx
 
Patofisiologi Sistem Endokrin hormon pada sistem endokrin
Patofisiologi Sistem Endokrin hormon pada sistem endokrinPatofisiologi Sistem Endokrin hormon pada sistem endokrin
Patofisiologi Sistem Endokrin hormon pada sistem endokrin
 
NUMERASI KOMPETENSI PENDIDIK TAHAP CAKAP DAN MAHIR.pdf
NUMERASI KOMPETENSI PENDIDIK TAHAP CAKAP DAN MAHIR.pdfNUMERASI KOMPETENSI PENDIDIK TAHAP CAKAP DAN MAHIR.pdf
NUMERASI KOMPETENSI PENDIDIK TAHAP CAKAP DAN MAHIR.pdf
 
PI 2 - Ratna Haryanti, S. Pd..pptx Visi misi dan prakarsa perubahan pendidika...
PI 2 - Ratna Haryanti, S. Pd..pptx Visi misi dan prakarsa perubahan pendidika...PI 2 - Ratna Haryanti, S. Pd..pptx Visi misi dan prakarsa perubahan pendidika...
PI 2 - Ratna Haryanti, S. Pd..pptx Visi misi dan prakarsa perubahan pendidika...
 
RANCANGAN TINDAKAN AKSI NYATA MODUL 1.4.pptx
RANCANGAN TINDAKAN AKSI NYATA MODUL 1.4.pptxRANCANGAN TINDAKAN AKSI NYATA MODUL 1.4.pptx
RANCANGAN TINDAKAN AKSI NYATA MODUL 1.4.pptx
 
Form B1 Rubrik Observasi Presentasi Visi Misi -1.docx
Form B1 Rubrik Observasi Presentasi Visi Misi -1.docxForm B1 Rubrik Observasi Presentasi Visi Misi -1.docx
Form B1 Rubrik Observasi Presentasi Visi Misi -1.docx
 
Permainan Wiwi Wowo aksi nyata berkebhinekaan
Permainan Wiwi Wowo aksi nyata berkebhinekaanPermainan Wiwi Wowo aksi nyata berkebhinekaan
Permainan Wiwi Wowo aksi nyata berkebhinekaan
 
Laporan wakil kepala sekolah bagian Kurikulum.pdf
Laporan wakil kepala sekolah bagian Kurikulum.pdfLaporan wakil kepala sekolah bagian Kurikulum.pdf
Laporan wakil kepala sekolah bagian Kurikulum.pdf
 
PPT Aksi Nyata Diseminasi Modul 1.4.pptx
PPT Aksi Nyata Diseminasi Modul 1.4.pptxPPT Aksi Nyata Diseminasi Modul 1.4.pptx
PPT Aksi Nyata Diseminasi Modul 1.4.pptx
 
Laporan pembina seni tari - www.kherysuryawan.id.pdf
Laporan pembina seni tari - www.kherysuryawan.id.pdfLaporan pembina seni tari - www.kherysuryawan.id.pdf
Laporan pembina seni tari - www.kherysuryawan.id.pdf
 
Juknis Pengisian Blanko Ijazah 2024 29 04 2024 Top.pptx
Juknis Pengisian Blanko Ijazah 2024 29 04 2024 Top.pptxJuknis Pengisian Blanko Ijazah 2024 29 04 2024 Top.pptx
Juknis Pengisian Blanko Ijazah 2024 29 04 2024 Top.pptx
 
Form B8 Rubrik Refleksi Program Pengembangan Kompetensi Guru -1.docx
Form B8 Rubrik Refleksi Program Pengembangan Kompetensi Guru -1.docxForm B8 Rubrik Refleksi Program Pengembangan Kompetensi Guru -1.docx
Form B8 Rubrik Refleksi Program Pengembangan Kompetensi Guru -1.docx
 
Modul Ajar PAI dan Budi Pekerti Kelas 2 Fase A Kurikulum Merdeka
Modul Ajar PAI dan Budi Pekerti Kelas 2 Fase A Kurikulum MerdekaModul Ajar PAI dan Budi Pekerti Kelas 2 Fase A Kurikulum Merdeka
Modul Ajar PAI dan Budi Pekerti Kelas 2 Fase A Kurikulum Merdeka
 
Pi-2 AGUS MULYADI. S.Pd (3).pptx visi giru penggerak dan prakrsa perubahan bagja
Pi-2 AGUS MULYADI. S.Pd (3).pptx visi giru penggerak dan prakrsa perubahan bagjaPi-2 AGUS MULYADI. S.Pd (3).pptx visi giru penggerak dan prakrsa perubahan bagja
Pi-2 AGUS MULYADI. S.Pd (3).pptx visi giru penggerak dan prakrsa perubahan bagja
 
RUBRIK OBSERVASI KINERJA KEPALA SEKOLAH.docx
RUBRIK OBSERVASI KINERJA KEPALA SEKOLAH.docxRUBRIK OBSERVASI KINERJA KEPALA SEKOLAH.docx
RUBRIK OBSERVASI KINERJA KEPALA SEKOLAH.docx
 

SILVIKA

  • 1. ”Prespektif Silvika Dalam Keanekaragaman Hayati dan Silvikultur ” Oleh I R W A N T O Yogyakarta, 2006
  • 2. www.irwantoshut.com 1. PENDAHULUAN Keanekaragaman hayati atau biological diversity (biodiversity) merupakan istilah yang mengacu pada berbagai kehidupan di bumi. Secara umum, kajiannya menyangkut tiga tingkatan, yaitu: keanekaragaman genetik, keanekaragaman jenis, dan keanekaan ekosistem. Di alam, beranekaragam jenis hayati umumnya hidup dalam kondisi lingkungan tertentu, hasil interaksi antara jenis-jenis hayati (biotik) dengan faktor abiotik (antara lain tanah, udara, air, temperatur, kelembaban) di sekitarnya. Selanjutnya, sistem hubungan timbal balik antara jenis-jenis hayati dengan lingkungannya membentuk suatu sistem ekologi atau ekosistem. Ekosistem di alam banyak ragamnya. Misalnya, ekosistem hutan, pesisir, lautan dan lain-lain. Berbagai ragam varietas, jenis atau pun ekosistem itu memberikan manfaat pada manusia. Oleh karenanya, semua itu perlu dikelola oleh manusia dengan sebaik-baiknya, agar berbagai keuntungan tersebut tidak punah. Salah satu caranya adalah dengan melakukan konservasi. Konservasi atau conservation dapat diartikan sebagai suatu usaha pengelolaan yang dilakukan oleh manusia dalam memanfaatkan sumberdaya alam sehingga dapat menghasilkan keuntungan sebesar-besarnya secara berkelanjutan untuk generasi manusia saat ini, serta tetap memelihara potensinya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan aspirasi-aspirasi generasi generasi yang akan datang. Berdasarkan pengertian tersebut, konservasi mencakup berbagai aspek positif, yaitu perlindungan, pemeliharaan, pemanfaatan secara berkelanjutan, restorasi, dan penguatan lingkungan alam (IUCN, 1980). Pengertian tersebut juga menekankan bahwa konservasi tidak bertentangan dengan pemanfaatan aneka ragam varietas, jenis dan ekosistem untuk kepentingan manusia secara maksimal selama pemanfaatan tersebut dilakukan secara berkelanjutan. Dalam praktek di lapangan, kerap kali masih ditemukan pengertian dan persepsi tentang konservasi yang keliru, yaitu seolah-olah konservasi melarang total pemanfataan sumberdaya alam. Berlandaskan pada pengertian tersebut masyarakat, khususnya penduduk setempat yang bermukim di sekitar kawasan konservasi, dilarang keras untuk dapat menikmati berbagai manfaat yang diberikan oleh PRESPEKTIF SILVIKA DALAM KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN SILVIKULTUR 1
  • 3. www.irwantoshut.com lingkungan sekitarnya. Penduduk dipisahkan dengan lingkungannya secara paksa, padahal mereka secara turun-temurun telah lama tinggal di wilayahnya. Tujuan utama konservasi, menurut ”Strategi Konservasi Sedunia” (World Conservation Strategy), ada tiga, yaitu: (a) memelihara proses ekologi yang esensial dan sistem pendukung kehidupan, (b) mempertahankan keanekaan genetis , dan (c) menjamin pemanfaatan jenis (spesies) dan ekosistem secara berkelanjutan. Dari uraian mengenai tujuan konservasi tersebut, kita tahu bahwa tidak ada larangan bagi manusia untuk memanfaatkan varitas, jenis, dan ekosistem yang ada di sekitarnya. Dan bila dilihat dari sejarah perkembangan peradaban manusia di muka bumi, sesungguhnya manusia tidak pernah lepas dari aspek pemanfaatan dan pengelolaan anekaragam jenis dan ekosistem di lingkungan sekitarnya. 2. KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI Banyak spesies telah berkembang dan punah sejak kehidupan bermula. Hal ini dapat ketahui melalui catatan fosil. Tetapi, sekarang ini spesies menjadi punah dengan laju yang lebih tinggi daripada waktu sebelumnya dalam sejarah geologi, hampir keseluruhannya disebabkan oleh kegiatan manusia. Di masa geologi yang lalu spesies yang punah akan digantikan oleh spesies baru yang berkembang mengisi celah atau ruang yang ditinggalkan. Pada saat sekarang, hal ini tidak akan mungkin terjadi karena banyak habitat telah hilang. Kerusakan hutan telah meningkatkan emisi karbon hampir 20 %. Ini sangat signifikan karena karbon dioksida merupakan salah satu gas rumah kaca yang berimplikasi pada kecenderungan pemanasan global. Salju dan penutupan es telah menurun, suhu lautan dalam telah meningkat dan level permukaan lautan meningkat 100-200 mm selama abad yang terakhir. Bila laju yang sekarang berlanjut, para pakar memprediksi bumi secara rata-rata 1oC akan lebih panas menjelang tahun 2025. Peningkatan permukaan air laut dapat menenggelamkan banyak wilayah. Kondisi cuaca yang ekstrim yang menyebabkan kekeringan, banjir dan taufan, serta distribusi organisme penyebab penyakit diprediksinya dapat terjadi. Hutan dapat mempengaruhi pola curah hujan melalui transpirasi dan melindungi daerah aliran sungai. Deforestasi menyebabkan penurunan curah hujan PRESPEKTIF SILVIKA DALAM KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN SILVIKULTUR 2
  • 4. www.irwantoshut.com dan perubahan pola distribusinya. Ini juga menyebabkan erosi dan banjir. Apa yang disampaikan di atas hanya beberapa dampak ekologis dari deforestasi, yang dampaknya berpengaruh langsung pada manusia. Bencana alam seperti banjir, dan kebakaran hutan yang secara langsung maupun tidak langsung disebabkan kegiatan manusia, semuanya memberikan konsekuensi ekonomi serius pada wilayah yang terkena. Biaya untuk mengatasinya bisa menelas ratusan juta rupiah, termasuk kesengsaraan manusian yang terkena. Erosi dan terbentuknya gurun karena deforestasi menurunkan kemampuan masyarakat setempat untuk menanam tanaman dan memberi makan mereka sendiri. Ekploitasi sumbedaya hutan yang tidak bijaksana pada akhirnya juga berakhir dengan kehancuran industri hasil hutan. Bila metode lestari yang dipergunakan, areal yang dipanenan ditanami kembali, maka ini bukan merupakan substitusi untuk hutan yang telah dipanen. Hutan alam mungkin memerlukan ratusan tahun untuk berkembang menjadi sistem yang rumit yang mengandung banyak spesies yang saling tergantung satu sama lain. Pada tegakan dengan pohon-pohon yang ditanam murni, lapisan permukaan tanah dan tumbuhan bawahnya diupayakan relatif bersih. Pohon-pohon muda akan mendukung sebagian kecil spesies asli yang telah ada sebelumnya. Pohon-pohon hutan hujan tropis perlu waktu bertahun-tahun untuk dapat dipanen dan tidak dapat digantikan dengan cepat; demikian juga komunitasnya yang kompleks juga juga tidak mudah digantikan bila rusak. Kehilangan keanekaragaman hayati secara umum juga berarti bahwa spesies yang memiliki potensi ekonomi dan sosial mungkin hilang sebelum mereka ditemukan. Sumberdaya obat-obatan dan bahan kimia yang bermanfaat yang dikandung oleh spesies liar mungkin hilang untuk selamanya. Kekayaan spesies yang terdapat pada hutan hujan tropis mungkin mengandung bahan kimia dan obat-obatan yang berguna. Banyak spesies lautan mempertahankan dirinya secara kimiawi dan ini merupakan sumber bahan obat-obatan yang penting. Banyak metode dan alat yang tersedia dalam pengelolaan keanekaragaman hayati yang secara umum dapat dikelompokkan sebagai berikut: Konservasi Insitu, meliputi metode dan alat untuk melindungi spesies, variasi genetik dan habitat dalam ekosistem aslinya. Pendekatan insitu meliputi penetapan dan pengelolaan kawasan lindung seperti: cagar alam, suaka PRESPEKTIF SILVIKA DALAM KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN SILVIKULTUR 3
  • 5. www.irwantoshut.com margasatwa, taman nasional, taman wisata alam, hutan lindung, sempadan sungai, kawasan plasma nutfah dan kawasan bergambut. Dalam prakteknya, pendekatan insitu juga termasuk pengelolaan satwa liar dan strategi perlindungan sumberdaya di luar kawasan lindung. Di bidang kehutanan dan pertanian, pendekatan insitu juga digunakan untuk melindungi keanekaragaman genetik tanaman di habitat aslinya serta penetapan spesies dilindungi tanpa menspesifikasikan habitatnya. Konservasi Eksitu, meliputi metode dan alat untuk melindungi spesies tanaman, satwa liar dan organisme mikro serta varietas genetik di luar habitat/ekosistem aslinya. Kegiatan yang umum dilakukan antara lain penangkaran, penyimpanan atau pengklonan karena alasan: (1) habitat mengalami kerusakan akibat konversi; (2) materi tersebut dapat digunakan untuk penelitian, percobaan, pengembangan produk baru atau pendidikan lingkungan. Dalam metode tersebut termasuk: pembangunan kebun raya, koleksi mikologi, museum, bank biji, koleksi kultur jaringan dan kebun binatang. Mengingat bahwa organisme dikelola dalam lingkungan buatan, metode eksitu mengisolasi spesies dari proses-proses evolusi. Restorasi dan Rehabilitasi, meliputi metode, baik insitu maupun eksitu, untuk membangun kembali spesies, varietas genetik, komunitas, populasi, habitat dan proses-proses ekologis. Restorasi ekologis biasanya melibatkan upaya rekonstruksi ekosistem alami atau semi alami di daerah-daerah yang mengalami degradasi, termasuk reintroduksi spesies asli, sedangkan rehabilitasi melibatkan upaya untuk memperbaiki proses-proses ekosistem, misalnya Daerah Aliran Sungai, tetapi tidak diikuti dengan pemulihan ekosistem dan keberadaan spesies asli. Pengelolaan Lansekap Terpadu, meliputi alat dan strategi di bidang kehutanan, perikanan, pertanian, pengelolaan satwa liar dan pariwisata untuk menyatukan unsur perlindungan, pemanfaatan lestari serta kriteria pemerataan dalam tujuan dan praktek pengelolaan. Mengingat bahwa tataguna lahan tersebut mendominasi keseluruhan bentuk lansekap, baik pedalaman maupun wilayah pesisir, reinvestasi untuk pengelolaan keanekaragaman hayati memiliki peluang besar untuk dapat diperoleh. PRESPEKTIF SILVIKA DALAM KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN SILVIKULTUR 4
  • 6. www.irwantoshut.com Formulasi Kebijakan dan Kelembagaan, meliputi metode yang membatasi penggunaan sumberdaya lahan melalui zonasi, pemberian insentif dan pajak untuk menekan praktek penggunaan lahan yang secara potensial dapat merusak; mengaturan kepemilikan lahan yang mendukung pengurusannya secara lestari; serta menetapkan kebijakan pengaturan kepentingan swasta dan masyarakat yang menguntungkan bagi konservasi keanekaragaman hayati. 3. PENGELOLAAN KEANEKARAGAMAN HAYATI DALAM EKOSISTEM HUTAN Menurut Undang-undang No. 5 Tahun 1990, konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya dilakukan dengan kegiatan: (1) perlindungan sistem penyangga kehidupan; (2) pengawetan keanekaragaman spesies tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya; dan (3) pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Dalam konteks ini, konservasi keanekaragaman hayati (biodiversity) merupakan bagian tak terpisahkan dari pengertian konservasi sumberdaya alam hayati. Selain itu, dengan ratifikasi Konvensi Keanekaragaman Hayati (Biodiversity Convention) oleh Pemerintah Indonesia melalui Undang-undang Nomor 5 Tahun 1994, konservasi keanekaragaman hayati telah menjadi komitmen nasional yang membutuhkan dukungan seluruh lapisan masyarakat. Luas hutan hujan tropika di dunia hanya meliputi 7 % dari luas permukaan bumi, tetapi mengandung lebih dari 50 % total jenis yang ada di seluruh dunia. Kenyataan ini menunjukkan bahwa hutan hujan tropika merupakan salah satu pusat keanekaragaman hayati terpenting di dunia. Laju kerusakan hutan hujan tropika yang relatif cepat telah menyebabkan tipe hutan ini menjadi pusat perhatian dunia internasional. Meskipun luas Indonesia hanya 1.3 % dari luas bumi, tetapi memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi, meliputi : 10 % dari total jenis tumbuhan berbunga, 12 % dari total jenis mamalia, 16 % dari total jenis reptilia, 17 % dari total jenis burung dan 25 % dari total jenis ikan di seluruh dunia. Hal ini menyebabkan Indonesia menjadi pusat perhatian dunia internasional dalam hal keanekaragaman hayatinya. Berdasarkan hasil penafsiran citra satelit Landsat 7 ETM+ tahun 2002/2003, total daratan yang ditafsir adalah sebesar 187,91 juta ha kondisi penutupan lahan, PRESPEKTIF SILVIKA DALAM KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN SILVIKULTUR 5
  • 7. www.irwantoshut.com baik di dalam maupun di luar kawasan, adalah : Hutan 93,92 juta ha (50 %), Non hutan 83,26 juta ha (44 %), dan Tidak ada data 10,73 juta ha (6 %). Khusus di dalam kawasan hutan yaitu seluas 133,57 juta ha, kondisi penutupan lahannya adalah sebagai berikut : Hutan 85,96 juta ha (64 %), Non hutan 39,09 juta ha (29 %) dan Tidak ada data 8,52 juta ha (7 %). (BAPLAN, 2005) Eksploitasi hutan alam produksi secara besar-besaran yang telah berlangsung sejak tahap awal pembangunan jangka panjang pertama (1969) telah memberikan kontribusi besar bagi pembangunan nasional melalui produk utamanya kayu dan hasil hutan ikutan (non-kayu) seperti rotan, damar, tengkawang, cendana dan gaharu. Tanpa mengabaikan dampak positif tersebut, eksploitasi hutan alam produksi juga telah memberikan dampak negatif bagi sumberdaya hutan sendiri. Berbagai jenis kayu komersial, bahkan di antaranya termasuk kayu mewah, kini telah menjadi langka. Kayu eboni (Dyospyros ebenum dan D. celebica), kayu ulin (Eusyderoxylon zwageri), ramin (Gonystylus bancanus), dan beberapa jenis meranti (Shorea spp.) adalah contoh dari beberapa jenis komersial yang harganya tinggi, tetapi sudah sulit ditemukan di alam dan di pasaran. Selain itu, puluhan jenis kayu kurang dikenal (lesser-known species) saat ini mungkin telah menjadi langka atau punah sebelum diketahui secara pasti nilai/manfaat dan sifat-sifatnya. Setiap species mempunyai kecepatan tumbuh yang berbeda-beda, ada yang tergolong fast growing spesies terutama untuk jenis-jenis pioner, tetapi ada yang termasuk dalam slow growing spesies. Untuk keberlanjutan pemanenan jangka panjang jenis pohon yang lambat pertumbuhannya seperti Shorea ovalis, S. seminis, S. leavis, Vatica sp., Koompassia sp. dan Eusideroxylon zwageri, maka diperlukan pengurangan dalam intensitas pembalakan (total gabungan sekitar 5 batang/ ha). Hal ini perlu dilakukan agar tidak terjadi kepunahan dalam jenis tertentu akibat penebangan hutan. Pohon-pohon besar yang hidup di hutan-hutan dataran rendah dengan ketinggian kanopi mencapai hampir 50 meter. Jenis-jenis pohon yang berada di hutan-hutan ini adalah dari suku Dipterocarpaceae. Pohon-pohon ini menduduki sekitar 80% dari biomassa pohon yang kanopinya tertinggi dan nilai biomassanya mencapai 70% dari seluruh biomassa pohon yang kanopinya tertinggi (Curran dan PRESPEKTIF SILVIKA DALAM KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN SILVIKULTUR 6
  • 8. www.irwantoshut.com Leighton, 2000). Juga merupakan 10% dari semua jenis pohon yang ada di Indonesia (Ashton dkk., 1998). Jenis-jenis pohon dari suku Dipterocarpaceae merupakan bagian akhir dari suksesi hutan, karena hanya tumbuh di hutan-hutan yang sudah memiliki kanopi yang rapat. Jenis-jenisnya tersebar luas sekali, tumbuh di hutan-hutan dari dataran rendah sampai kaki pegunungan di seluruh Asia Tenggara dan sub-benua India. Suku Dipterocarpaceae merupakan bagian dari kayu keras yang paling berharga di dunia. Selama beberapa dekade, hutan-hutan Dipterocarpaceae di Indonesia secara komersial ditebang dengan laju penebangan yang tinggi dan tidak berkesinambungan. Dampak langsung penebangan terhadap hutan yang sangat jelas adalah hilangnya sejumlah tertentu pohon. Namun dampak tidak langsung pengaruhnya sangat besar bagi kesehatan hutan dataran rendah di masa depan. Tanaman-tanaman ini tidak hanya harus menghadapi bahaya terinjak-injak, terluka, dan gangguan-gangguan lainnya yang disebabkan oleh penebangan, tetapi juga harus bersaing dengan spesies pionir yang tumbuh cepat yang dapat membuat tanaman tersebut kalah dalam bersaing mendapatkan cahaya matahari. Satu kajian menunjukkan bahwa penebangan kembali spesies pionir dan pemberian lubang di kanopi untuk memberi lebih banyak sinar matahari mampu meningkatkan ketahanan regenerasi Dipterocarp hingga 30%. Di daerah-daerah yang tidak dikelola, Dipterocarp umumnya hanya menutup 25% dari total luas lahan basah (Kuusipalo dkk., 1997). 4. PENGELOLAAN HUTAN DI INDONESIA Luas hutan produksi saat ini adalah 64 juta hektar tersebar di seluruh Indonesia, dikelola oleh berbagai lembaga antara lain yaitu Dinas Kehutanan, HPH (Hak Pengusahaan Hutan), BUMN (Badan Usaha Milik Negara), HPH perusahaan patungan (BUMN dan Swasta) dan Persero. Sementara itu data menunjukkan bahwa potensi hutan produksi cenderung menurun dan mengalami kemunduran. Bukti lain atas fenomena tersebut ditunjukkan oleh realisasi produksi kayu bulat selama periode 1993/1994 s/d 1997/ 1998 selalu dibawah 20 juta m3 setiap tahun (Anonim: 1998). PRESPEKTIF SILVIKA DALAM KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN SILVIKULTUR 7
  • 9. www.irwantoshut.com Gambaran lain dilaporkan oleh Fraser (1999) bahwa hutan primer yang termasuk hutan produksi akan habis 7 - 8 tahun lagi. Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan Pasal 6 ayat 1 dan 2, membagi hutan menurut fungsi pokoknya menjadi (1) hutan konservasi, (2) hutan lindung dan (3) hutan produksi. Definisi yang diberikan untuk ”hutan produksi” adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan. Interpretasi menyimpang membuat hutan tersebut dikhususkan untuk tujuan produksi saja tanpa memperhatikan fungsi yang lain seperti pengaturan tata air, pencegahan banjir dan erosi, memelihara kesuburan tanah, pelestarian lingkungan hidup, konservasi keanekaragaman hayati dan sebagainya. Para pengelola hutan produksi seakan merasa tidak bersalah jika terjadi bencana banjir, dan kemunduran kualitas tempat tumbuh karena fungsi ini dibebankan pada hutan lindung walaupun disadari benar bahwa luas hutan lindung yang sangat kecil yaitu kurang dari 10 juta ha dibanding dengan luas hutan total seluas 121,19 juta ha berdasarkan Inventarisasi Hutan Nasional (Fraser:1999) atau bahkan jauh lebih kecil dibandingkan dengan luas daratan Indonesia. Pengertian hutan konservasi juga menunjukkan fenomena yang sama yaitu tentang kawasan konservasi tertentu dan bukan lagi pada fungsinya. Di bagian perundangan lain yaitu pada UU No 5 tahun 1990 yang semestinya menjadi acuan UU No 41 tahun 1999 ini disebutkan bahwa konservasi sumberdaya alam hayati adalah pengelolaan sumberdaya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap rnemelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya. Pada pasal 5 perundangan tersebut dan pasal 12 UUPLH dikatakan bahwa konservasi dilakukan dengan perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya dan pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Dengan mengacu perundangan yang ada tampak adanya dualisme pengertian konservasi, di satu pihak konservasi berarti kawasan dan di pihak lain konservasi berarti fungsi atau kegiatan. Dualisme pengertian ini tanpa terasa terus berjalan, sehingga membuat para pengelola hutan bersikap ambivalen terhadap konservasi. Dengan mendasarkan sikap bahwa konservasi adalah pengertian kawasan maka PRESPEKTIF SILVIKA DALAM KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN SILVIKULTUR 8
  • 10. www.irwantoshut.com seakan lupa bahwa hutan adalah salah satu pemanfaatan ekosistem sumberdaya alam hayati dalam satuan ekosistem yang merupakan salah satu pilar konservasi. Sebagai konsekuensinya konservasi mestinya merupakan keharusan dalam pengelolaan hutan. Sebagai bagian masyarakat dunia, Indonesia terikat oleh berbagai kesepakatan internasional, antara lain adalah Convention on Biodiversity, Convention on Climate Change, Forest Principles dan World Conservation Strategy. Dengan ratifikasi konvensi ini seluruh kebijakan pengelolaan hutan harus mempertimbangkan rambu-rambu yang telah disepakati dalam konvensi ini. Berbagai kesepakatan internasional seperti Forest Principles (KTT Bumi), konferensi ITTO, kelembagaan ekolabel telah mengarahkan ke bentuk pengelolaan hutan di Indonesia yang bersifat sustainable forest management, yang bercirikan keterlanjutan fungsi ekologis/lindung fisik hutan (tanah, flora, fauna, hidrologi dan iklim), keberlanjutan fungsi produksi dan keberlanjutan fungsi sosial budaya. Dengan kata lain pengelolaan hutan yang tetap berorientasi sebagai ekosistem dengan fungsi ekologis, produksi dan sosial telah merupakan kesepakatan internasional. 5. PERSPEKTIF SILVIKA DALAM PENGELOLAAN HUTAN Tujuan pengelolaan hutan seperti yang dimaksud dalam UU No. 41 tahun 1999 ini mengisyaratkan bahwa produk hutan sudah semestinya bukan didasarkan atas kayu saja, melainkan produk seluruh potensi ekosistem hutan sesuai kemampuan optimal ekosistem yang bersangkutan secara lestari. Sudah harus dimulai bahwa penentuan AAC (annual available cut) ditentukan bukan ber-dasarkan pada konsumsi kayu (baik legal maupun illegal cutting), akan tetapi lebih pada kemampuan ekosistem hutan dan atau kesejahteraan masyarakat sekitar. Perhitungan Jatah Tebangan Tahunan (AAC) didasarkan atas total volume kayu komersial (diukur melalui inventarisasi) yang dikalikan dengan ‘faktor eksploitasi 0,8 dan kemudian dengan ‘faktor keamanan 0,7 (total 0,56) serta membagi jumlah total dengan 35 tahun. Sistem ini merupakan bentuk pengaturan hasil, namun angkanya bersifat statis dan tidak didasarkan pada karakteristik areal PRESPEKTIF SILVIKA DALAM KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN SILVIKULTUR 9
  • 11. www.irwantoshut.com hutan bersangkutan. Dalam banyak hal, ini telah mengakibatkan terjadinya pemanenan berlebih (overcutting atau undercutting). Selain itu, kegiatan inventarisasi seringkali terlalu menekankan pada keberadaan jenis komersial, dan faktor eksploitasi yang diukur di lapangan adalah 0,5 (Matikainen, Herika Muntoko, 1998). Asumsi bahwa pertumbuhan kembali hutan setelah pemanenan sebesar 1 m3 ha-1 tahun-1, sehingga memberi hasil sebesar 35 m3 ha-1 pada akhir siklus. Namun demikian, ini merupakan taksiran tingkat pertumbuhan yang berlebihan, dan tidak memperhatikan aspek kematian (mortalitas) alami. Hutan tidak tumbuh secepat seperti yang diasumsikan. Menurut Lamprecht (1996) pertumbuhan hutan primer riapnya kecil dan dalam skala luas besarnya mendekati nol, walaupun terdapat permudaan namun jumlahnya sering sedikit saja. Untuk hutan sekunder riap awalnya besar namun lambat laun akan mengecil. Perhitungan taksiran hasil untuk siklus kedua tidak memperhatikan kerusakan berarti yang terjadi pada tegakan sisa akibat penebangan. Praktek pemanenan yang kurang baik mengakibatkan pembukaan tajuk dan meningkatkan persaingan antara jenis dipterocarps komersial dengan jenis yang senang dengan cahaya. Belum banyak upaya dilakukan untuk mengurangi kerusakan akibat penebangan, sehingga mengakibatkan penurunan kualitas dan areal hutan. Ragam ekosistem hutan di Indonesia sangat tinggi baik dalam sebaran horizontal (dari garis katulistiwa ke garis lintang utara maupun selatan) maupun vertikal (ketinggian tempat mulai dari dataran pantai sampai gunung yang tinggi) yang diikuti ragam jenis yang tinggi pula. Untuk memudahkan pemahamannya, ragam tersebut dapat diklasifikasi berdasarkan kondisi ekologisnya dengan membagi hutan produksi menjadi 2 kelompok besar yaitu: a. kelompok tipe zonal yang dipengaruhi terutama oleh iklim b. kelompok tipe azonal yang dipengaruhi terutama oleh habitat. Kelompok zonal merupakan kelompok ekosistem yang sangat tergantung pada intensitas curah hujan sehingga atas dasar faktor ini pula dapat dibedakan menjadi tipe hutan tropika humida, tropika musim, savana dan lain-lain. Kelompok ini masih dapat dibedakan (diklasifikasi) lagi berdasarkan faktor lain seperti tinggi tempat, PRESPEKTIF SILVIKA DALAM KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN SILVIKULTUR 10
  • 12. www.irwantoshut.com jenis tanah, topografi dan sebagainya. Hutan produksi sebagian besar (lebih dari 80%) termasuk dalam tipe ekosistem hutan tropika humida dan tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Kepulauan Maluku dan Papua Barat, sedangkan sisanya termasuk dalam tipe ekosistem hutan tropika musim dan tersebar di Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Sementara itu kelompok azonal keberadaannya sangat ditentukan oleh habitat aslinya dan hampir tidak terpengaruh oleh curah hujan, antara lain adalah ekosistem hutan mangrove, pantai, gambut, kerangas, terumbu karang, black water ecosystem dan sebagainya. Ragam ekosistem hutan tersebut membawa konsekuensi karakteristik / perilaku ekosistem yang berbeda satu dengan yang lain. Dengan demikian hutan bukan hanya sekedar kumpulan jenis flora dan fauna pada habitat tertentu, akan tetapi jenis-jenis tersebut bersama-sama dengan faktor biofisik yang lain membentuk satuan ekosistem yang berinteraksi sangat erat (Sajise: 1975; 1977a; 1977b). Oleh karena itu informasi interaksi ini harus terus digali agar dapat memberikan landasan pengelolaan/ budidaya ekosistem yang bersangkutan, peningkatan produktivitas dan pelestarian jasa lingkungan. Jika keragaman ekosistem hutan produksi ini telah diyakini, maka keseragaman pengelolaan hutan seperti yang terjadi selama ini sungguh tidak tepat, apalagi bila motif utama pengelolaan adalah kepentingan ekonomi. Sebagai contoh misalnya (1) peraturan TPTI (Tebang Pilih Tanam Indonesia) tidak terpusatkan akan tetapi diadakan di setiap propinsi (2) peraturan TPTI disesuaikan dengan karakteristik hutan yang dimaksud dan (3) pengalaman budi daya hutan jati yang termasuk dalam ekosistem tropika musim diterapkan begitu saja di Hutan Tanaman Industri (HTI) di hutan tropika humida. Pada saat ini terdapat semacam pemaksaan kehendak pada suatu ekosistem hutan sehingga berakibat degradasi hutan. Hutan tropika humida yang dicirikan dengan lahan yang miskin hara, keasaman tinggi, curah hujan tinggi dan lain sebagainya (sering disebut sebagai fragile ecosystem) berubah menjadi habitat yang ideal bagi tropika humida yang mempunyai struktur (susunan) tertentu, setidaknya digambarkan pada kondisi aslinya. Namun dengan berubahnya struktur secara drastis akibat tebangan, penanaman atau metode silvikultur yang lain berubah pula atribut fungsionalnya sampai pada kemundurannya. Apalagi variasi berbagai faktor lingkungan biofisik yang tinggi, PRESPEKTIF SILVIKA DALAM KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN SILVIKULTUR 11
  • 13. www.irwantoshut.com maka keseragaman metode pengelolaan sangat tidak kondusif bagi pertumbuhan dan pelestarian hutan. 6. PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI BERWAWASAN KONSERVASI Jika untuk sementara kayu masih menjadi sasaran target utama produksi hutan, maka segala aktivitas untuk peningkatan produktivitasnya sudah semestinya tetap berlandaskan kaidah ekosistem hutan atau berwawasan konservasi agar pelestarian ekosistem hutan dalam jangka panjang dapat menjadi kenyataan. Beberapa peluang pengelolaan hutan produksi yang berwawasan konservasi dapat dilakukan dan disesuaikan pada setiap tipe hutan. Pengertian peluang disini adalah kemungkinan penerapan metode tertentu yang bukan saja untuk kepentingan ekonomis sesaat (yang bisa merusak ekosistem hutan dalam jangka panjang) tetapi juga mempertimbangkan aspek konservasinya. Untuk memudahkan pembahasan dibedakan antara pengelolaan hutan produksi alam dan tanaman. 6.1. Pengelolaan Hutan Alam Hampir seluruh hutan alam termasuk dalam ekosistem hutan tropika humida dengan sederet atribut yang melekat padanya dan dikenal dengan ekosistem yang rapuh (fragile ecosystem). Dalam perjalanan pengelolaannya sampai saat ini kondisi hutan sudah banyak mengalami kerusakan, akibat eksploitasi yang berlebihan, alih fungsi, kebakaran, penjarahan dan sebagainya. Kegiatan pengusahaan hutan selama ini ternyata telah menyebabkan terjadinya penurunan areal dan kualitas hutan yang berdampak jumlah kayu tersedia untuk panenan siklus tebang kedua jauh lebih rendah dari yang diharapkan. Ragam ekosistem hutan alam sangat tinggi, baik dalam volume standing stock, komposisi, faktor lingkungan dan sebagainya, sehingga memerlukan penanganan yang berbeda pula. Kebijakan pengelolaan hutan alam yang berlaku saat ini (Tebang Pilih dan Tanam Indonesia - TPTI) menetapkan sistem pemanenan yang seragam untuk areal hutan di seluruh wilayah Indonesia, tanpa memperhatikan tipe dan kondisi hutannya. Intensitas penebangan ditetapkan dengan batas diameter minimum 40 cm untuk hutan rawa, 50 cm untuk hutan Dipterocarp dataran rendah serta 60 cm PRESPEKTIF SILVIKA DALAM KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN SILVIKULTUR 12
  • 14. www.irwantoshut.com untuk areal hutan produksi terbatas dengan kelerengan melebihi 40%. Sistem ini telah mengakibatkan pemanenan berlebih di banyak areal, sehingga hutan tidak dapat pulih dalam waktu 35 tahun untuk dapat menghasilkan kayu pada rotasi kedua. Keanekaragaman jenis sangat tinggi membentuk struktur tertentu baik secara vertikal (stratifikasi tajuk dan atau perakaran) maupun horizontal. Mekanisme in-ternal untuk mendapatkan stabilitas ekosistem justru diperoleh dari aspek ini. Hutan primer saat ini telah hampir habis dan pada pengelolaan selanjutnya sudah harus beralih ke hutan bekas tebangan dan atau hutan tanaman. Karena itu upaya peningkatan produktivitas dengan input energi (biaya) serendah-rendahnya dan tanpa merugikan lingkungan (tetap berwawasan konservasi) sangat diperlukan. Sistem silvikultur yang digunakan hampir seluruhnya adalah TPTI (Tebang Pilih Tanam Indonesia) dengan satu aturan untuk seluruh hutan alam di Indonesia, walaupun sistem ini adalah sistem silvikultur yang relatif paling aman untuk diterapkan dibanding yang lain dalam hal jasa lingkungannya. Tidak ada batasan maksimum jumlah volume kayu atau jumlah batang yang dapat ditebang per satuan areal. Penebangan terlalu banyak pohon di setiap unit areal dapat mengakibatkan terciptanya kondisi yang mengganggu pertumbuhan jenis-jenis kayu komersial. Sesuai dengan situasi saat ini hutan dituntut untuk memberikan produk yang selalu meningkat, kelestarian yang tetap terjamin dan masukan biaya yang rendah. Pemenuhan tuntutan ini sungguh tidak mudah namun tampaknya tidak ada pilihan lain kecuali harus terus mencari peluang untuk mendapatkan tujuan yang diinginkan. Beberapa hal yang dapat dilakukan adalah : 1. Sesuai dengan ragam hutan alam yang tinggi maka perlu penerapan peraturan (sistem silvikultur dan aturan pengelolaan lainnya) yang berbeda, setidaknya dibedakan pada level propinsi. 2. Kemampuan optimal suatu ekosistem hutan bukan hanya kayu, karena itu penentuan AAC seyogyanya tidak hanya mendasarkan pada produksi kayu saja. Karena itu diperlukan reorientasi pemikiran baru untuk mendapatkan produktivitas hutan yang optimal. Pola konsumsi produk hasil hutan dalam bentuk apapun harus didasarkan pada kemampuan ekosistem hutan yang dimaksud. PRESPEKTIF SILVIKA DALAM KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN SILVIKULTUR 13
  • 15. www.irwantoshut.com 3. Dengan mulai habisnya hutan primer, maka pengelolaan hutan alam akan beralih ke hutan bekas tebangan. Jika diasumsikan tidak ada tebangan cuci mangkok (tebang ulang sebelum waktunya) hutan bekas tebangan perlu dipelihara untuk terus meningkatkan produksinya atau setidaknya kembali ke keadaan semula, apalagi yang karena sebab tertentu tebang ulang tampaknya tidak bisa dihindari. Karena itu pemeliharaan hutan menjadi aspek yang sangat penting. Namun jika kegiatan pemeliharaan hutan ini didasarkan pada sistem silvikultur TPTI hasilnya tidak efisien (Marsono: 1997). Di antara kegiatan pemeliharaan bekas tebangan yang berupa perapihan, pembebasan pertama, pengadaan bibit, pengayaan, pemeliharaan tanaman, pembebasan kedua dan ketiga, dan penjarangan tajuk, hanya penjarangan tajuklah yang secara langsung memberikan percepatan pertumbuhan tegakan tinggal paling efektif. Hal ini terjadi karena tindakan penjarangan memberikan ruang tumbuh optimal bagi po-hon binaan yang terdiri dari pohon inti dan permudaan tingkat dibawahnya. Kegiatan ini hanya terbatas pada pohon-pohon future harvest saja dan pada tingkat pertumbuhan tertentu yang paling responsif terhadap perlakuan ini, sehingga input biaya sangat rendah. Sementara itu pohon pendamping tetap berfungsi sebagai pembentuk struktur sehingga terus memberikan jasa lingkungan dan atau atribut fungsionalnya (tetap berwawasan konservasi), dan sangat efisien karena menghilangkan banyak pekerjaan dan biaya yang sebenarnya tidak diperlukan. 4. Dalam jangka panjang sudah harus mulai dipikirkan untuk mengelola hutan berdasarkan konsep kesesuaian lahan. Dengan berbasis pendekatan ekosistem, pe-ngelolaan hutan produksi didasarkan pada unit-unit ekologis yang merupakan resultante dari seluruh faktor lingkungan (biofisik) sehingga terbentuk kesatuan pengelolaan yang berkemampuan sama baik produktivitas maupun jasa lingkungannya 5. Introduksi sistem silvikultur atau sistem baru lainnya yang sekiranya menjanjikan produksi hendaknya dikaji lebih mendalam terlebih dulu agar kerusakan hutan dapat lebih dibatasi 6. Keberhasilan pengelolaan konservasi di hutan ini sangat tergantung sumber daya manusianya, karena itu penyiapannya perlu dilakukan dengan sebaik-baiknya. PRESPEKTIF SILVIKA DALAM KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN SILVIKULTUR 14
  • 16. www.irwantoshut.com 6.2. Pengelolaan Hutan Tanaman Pada prinsipnya hutan tanaman secara ekologis adalah bentuk simplifikasi sistem alam dengan tuntutan ekonomis sebagai pengendali utama. Pengembangan lebih lanjut terhadap motivasi ekonomis tersebut dilakukan dengan simplifikasi berbagai komponen sistem antara lain jenis (jenis yang bergenetis baik), bentukan struktur (stratifikasi tajuk dan atau perakaran), input energi (biaya) dan penggantian natural stabilizing factor (homeostasis ekosistem) dengan chemical stabilizing factor (pupuk, pestisida dan lain-lain). Keseluruhan manipulasi ini dikemas dalam bentuk metode dan sistem silvikultur dengan output utama produktivitas. Jika prinsip hutan tanaman masih tetap seperti ini maka pelestarian jangka panjang akan diragukan, atau pada suatu saat secara finansial akan akan tidak ekonomis lagi, karena harus menanggung beban atribut fungsional yang sudah tidak berjalan lagi. Dalam sudut pandang lain dapat dikatakan bahwa integritas ekosistem tidak dapat dipertahankan lagi, kaidah ekosistem hutan menjadi hilang, terfragmentasi, sehingga memacu parahnya water yield dan kualitas air, sempitnya ruang gerak satwa, tererosinya sumber daya genetik dan penurunan produktivitas hutan dalam jangka panjang (Soekotjo:1999). Beberapa contoh kasus mundurnya hutan tanaman yang kurang memperhatikan wawasan konservasi telah disebutkan di muka yaitu antara lain penurunan produk-tivitas, penurunan bonita pada areal tertentu dan sebagainya. Di Philipina, penanaman hutan monokultur (Leucaena leucocephala) pada kelerengan 36 - 50 % terjadi kebocoran fosfat pada neraca hara yang dibuatnya sebesar 56,76 kg/ ha/th, sementara pada grassland area dengan kelerengan yang sama diperoleh saldo sebesar 35,43 kg/ha/th. Keadaan yang hampir sama dilaporkan dari India berasal dari hutan tanaman cepat tumbuh dan eksot (Eucalyptus sp. dan pinus) yang ditanam monokultur, tidak berwawasan konservasi menjadi bencana besar bagi pelestarian lingkungan. Bencana kekurangan air terjadi karena konsumsi air sangat tinggi untuk pertumbuhan (1,41 dan 8,87 mm per gram biomasa kering untuk eucalyptus dan pinus) dan kemunduran kualitas tempat tumbuh (Shiva Bandyopadhyay: 1983). Kemudian tahun 1985 FAO (Food and Agriculture Organization of The United PRESPEKTIF SILVIKA DALAM KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN SILVIKULTUR 15
  • 17. www.irwantoshut.com Nations) juga melaporkan kondisi serupa di banyak negara seperti Brazil, Australia, Malawi dan Afrika Selatan (Poore Fries: 1985). Dengan penekanan hutan produksi untuk berfungsi ekonomis yang setinggi-tingginya maka telah terjadi bahwa hutan tanaman dianggap kurang/tidak memperhatikan aspek konservasi, sehingga memunculkan isu penting sebagai berikut: 1. Simplifikasi ekosistem hutan secara berlebihan sehingga struktur hutan yang terbentuk selalu monokultur. Struktur hutan ini memutus sama sekali kaidah ekosistem hutan sehingga atribut fungsional ekosistem tidak operasional 2. Stabilitas hutan menjadi rendah (natural stabilizing factor tidak berfungsi), sehingga cenderung mengganti menjadi chemical stabilizing factor yang biayanya mahal dan tidak ramah lingkungan 3. Kemunduran site quality / bonita / tapak hutan. Banyak lahan hutan tanaman yang mengalami kemunduran tapak hutan yang ditandai dengan penurunan produktivitas atau kejemuan jenis tertentu sehingga harus diganti dengan jenis tanaman lain 4. Faktor hidroorologi belum/tidak mendapatkan perhatian yang memadai. Hal ini dapat dilihat pada besar dan frekuensi banjir hampir setiap sungai yang ada pada setiap musim penghujan. Akan tetapi sebaliknya pada musim kemarau banyak sungai yang debitnya sangat kecil dan bahkan kering tidak berair. Dalam jangka panjang harus sudah dimulai pengelolaan hutan berdasarkan kesesuaian lahan, membentuk unit-unit ekologis berdasarkan kaidah ekosistem yang mempunyai respon yang sama baik dalam produktivitas maupun jasa lingkungannya. Aspek ini tampak semakin penting belakangan ini terutama bila dikaitkan dengan desakan pihak lain untuk menyelenggarakan agribisnis di areal hutan produksi. Terlepas dari berbagai faktor yang berpengaruh mulai dari politik, sosial, ekonomi dan kelembagaannya, masalah ini dapat didekati dengan menyusun klasifikasi lahan yang baik, agar dapat dideliniasi dengan jelas kawasan-kawasan yang bisa ditolerir untuk agribisnis dan kawasan yang harus dilakukan pengelolaan PRESPEKTIF SILVIKA DALAM KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN SILVIKULTUR 16
  • 18. www.irwantoshut.com hutan berbasis konservasi, sehingga kualitas lingkungan yang menjadi tanggung jawab hutan produksi dapat tetap dipertahankan. 7. KESIMPULAN Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan: 1. Keanekaragaman hayati atau biological diversity (biodiversity) merupakan kajian menyangkut tiga tingkatan, yaitu: keanekaragaman genetik, keanekaragaman jenis, dan keanekaan ekosistem. 2. Untuk keberlanjutan pemanenan jangka panjang jenis pohon yang lambat pertumbuhannya seperti Shorea ovalis, S. seminis, S. leavis, Vatica sp., Koompassia sp. dan Eusideroxylon zwageri, maka diperlukan pengurangan dalam intensitas pembalakan. 3. Jenis-jenis pohon dari family Dipterocarpaceae merupakan bagian akhir dari suksesi hutan, tumbuh di hutan-hutan yang memiliki kanopi yang rapat. Jenis ini tidak hanya menghadapi bahaya kerusakan disebabkan oleh penebangan, tetapi juga harus bersaing dengan spesies pionir yang tumbuh lebih cepat membuat tanaman tersebut kalah bersaing mendapatkan cahaya matahari. 4. Hutan produksi merupakan kesatuan ekosistem yang ragamnya tinggi, sehingga pengelolaannya perlu didasarkan pada kaidah ekosistem yang bersangkutan untuk mendapatkan peningkatan produktivitas dan pelestarian jasa lingkungan dalam jangka panjang. Keseragaman peraturan dalam pengelolaan hutan produksi sudah tidak sesuai lagi untuk mengelola hutan produksi mengingat ragam ekosistem hutan produksi yang ada. 5. Pengelolaan hutan alam, sistem silvikultur TPTI sudah saatnya ditinjau kembali terutama berkaitan dengan adanya beberapa metode silvikultur yang kurang relevan dan mulai dikelolanya hutan bekas tebangan rotasi pertama. 6. Siklus tebangan sistem silvikultur TPTI selama 35 tahun yang seragam harus diperpanjang disesuaikan dengan pertumbuhan riap dan kondisi setempat. 7. Simplifikasi sistem yang berlebihan pada hutan tanaman membahayakan produktivitas dalam jangka panjang dan atau lingkungan hidup. PRESPEKTIF SILVIKA DALAM KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN SILVIKULTUR 17
  • 19. www.irwantoshut.com 8. Kesesuaian lahan yang dapat menggambarkan unit-unit ekologis berdasarkan kaidah ekosistem untuk mendapatkan respon yang sama dalam produktivitas maupun jasa lingkungan sudah saatnya diterapkan di hutan produksi untuk mendapatkan hasil yang optimal. PRESPEKTIF SILVIKA DALAM KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN SILVIKULTUR 18
  • 20. www.irwantoshut.com DAFTAR PUSTAKA Anonim, 2005, Kawasan Hutan. Badan Planologi Kehutanan. Departemen Kehutanan. Jakarta. Anonim, 2005. Pengelolaan Kolaboratif. Peraturan Menteri Kehutanan No. 19/Menhut-II/2004. Departemen Kehutanan Republik Indonesia. Jakarta. Arief, A. 1994, Hutan Hakekat dan Pengaruhnya Terhadap Lingkungan. Yayasan Obor Indonesia Jakarta. Daniel, Th.W., J.A. Helms, F. S. Baker., 1992, Prinsip-Prinsip Silvikultur (Edisi Bahasa Indonesia, diterjemahkan oleh : Dr. Ir. Djoko Marsono), Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Iskandar, J. 2000, Konservasi Keanekaragaman Hayati. Ulasan Pakar Mengenai Keaneka Ragaman Hayati. Yayasan Kehati. John, Kathy Mackinnon, 1993. Pengelolaan Kawasan Yang Dilindungi di Daerah Tropika. (Terjemahan). Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Lampercht, H, 1996. Pertimbangan Silvikultur Di Wilayah Tropik. Silvikultur Hutan Alam di Indonesia. Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman. Samarinda. Marsono, Dj dan Thoyib, A, 1984. Ekosistem Hutan Tropika Humida. Proyek Pendidikan dan Latihan dalam Rangka Pengindonesiaan Tenaga Kerja Pengusahaan Hutan dengan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Marsono, Dj. 1984. Peningkatan Produktivitas Dalam Pembangunan Hutan Alam Berkelanjutan. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Ekologi Hutan pada Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Marsono, Dj. 1984. Vegetasi Tumbuhan Bawah Hutan Tanaman Jati di KPH Kendal. Buletin Penilitian Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Marsono, Dj. 1992. Pelaksanaan AMDAL Hak Pegusahaan Hutan Tanaman Industri. Buletin. Ilmiah Instiper. Institut Pertanian Stiper. Yogyakarta. Marsono, Dj. 1991. Potensi dan Kondisi Hutan Hujan Tropika Basah di Indonesia. Buletin. Ilmiah Instiper. Institut Pertanian Stiper. Yogyakarta. PRESPEKTIF SILVIKA DALAM KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN SILVIKULTUR 19
  • 21. www.irwantoshut.com Marsono, Dj. 2004. Konservasi Sumberdaya alam dan Lingkungan Hidup. Penerbit BIGRAF Publishing Bekrjasama dengan Sekolah Tinggi Teknik Linkungan YLH Yogyakarta. Riyanto, B. 2004, Kilas Balik Pengusahaan Hutan Produksi dan Optimisme Membangun Masa Depan Kehutanan di Indonesia. Balai Sertifikasi Penguji Hasil Hutan. XIII. Kalimantan Timur. Samarinda. Sheil, D, et all. 2004. Mengeksplorasi keanekaragaman hayati, lingkungan dan pandangan masyarakat lokal mengenai berbagai lanskap hutan. Center for International Forestry Research. Indonesia Slik, J. W. F. 2001. Macaranga and Mallotus (Euphorbiaceae) as indicators for disturbance in the lowland dipterocarp forests of East Kalimantan, Indonesia. Tropenbos-Kalimantan Series 4, Tropenbos International, Wageningen, the Netherlands. Slik, J. W. F., and Eichhorn K. A. O. 2003. Fire survival of lowland tropical rain forest trees in relation to stem diameter and topographic position. Oecologia 137: 446-455. Soetrisno, Kadar, 1998, Silvika, Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman, Samarinda. Sumaryono dan Redhahari, 2002 Pengaturan Hasil Hutan Produksi pada Era Desentralisasi di Kalimantan Timur Lokakarya Pengelolaan Hutan Produksi di Kalimantan Timur. Samarinda. Weidelt, H.J, 1995 Silvikultur Hutan Alam Tropika. Diterjemahkan oleh Nunuk Supriyatno. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Whitmore, T.C, 1975, Tropical Rain Forests of the Far East (Chapter Two Forest Structure) 1st Edition, Oxford University Press, Oxford. PRESPEKTIF SILVIKA DALAM KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN SILVIKULTUR 20
  • 22. www.irwantoshut.co.cc http://irwantoshut.blogspot.com http://irwantoforester.wordpress.com http://sig-kehutanan.blogspot.com http://ekologi-hutan.blogspot.com http://pengertian-definisi.blogspot.com www.irthebest.com email : irwantoshut@gmail.com email : irwantoshut@yahoo.com