Buku ajar ini membahas manajemen hutan dengan fokus pada kaidah ilmiah dan teknis pengelolaan hutan. Definisi manajemen hutan yang diadopsi adalah penerapan prinsip kehutanan dengan mempertimbangkan aspek bisnis dan sosial untuk mencapai tujuan pengelolaan hutan secara berkelanjutan. Bab pendahuluan ini memperkenalkan ruang lingkup dan tujuan manajemen hutan.
Sagu adalah salah satu jenis tanaman pangan yang merupakan makanan pokok beberapa suku di Indonesia. Lalu bagaimanasih penanganan pasca panen sagu?
yuukk kita bahas
Modul Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL)Ade Soekadis
Ibarat dua sisi pada sekeping mata uang, pengelolaan hutan memberikan dua dimensi yang berbeda. Dimensi pertama memposisikan peran dunia usaha kehutanan melalui pengusahaan hutan dan industrialisasi kehutanan menjadi salah satu tulang punggung pertumbuhan ekonomi nasional selama persoalan besar terkait dengan degradasi kualitas lingkungan
Sagu adalah salah satu jenis tanaman pangan yang merupakan makanan pokok beberapa suku di Indonesia. Lalu bagaimanasih penanganan pasca panen sagu?
yuukk kita bahas
Modul Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL)Ade Soekadis
Ibarat dua sisi pada sekeping mata uang, pengelolaan hutan memberikan dua dimensi yang berbeda. Dimensi pertama memposisikan peran dunia usaha kehutanan melalui pengusahaan hutan dan industrialisasi kehutanan menjadi salah satu tulang punggung pertumbuhan ekonomi nasional selama persoalan besar terkait dengan degradasi kualitas lingkungan
Sebagai salah satu pertanggungjawab pembangunan manusia di Jawa Timur, dalam bentuk layanan pendidikan yang bermutu dan berkeadilan, Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur terus berupaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan masyarakat. Untuk mempercepat pencapaian sasaran pembangunan pendidikan, Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur telah melakukan banyak terobosan yang dilaksanakan secara menyeluruh dan berkesinambungan. Salah satunya adalah Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) jenjang Sekolah Menengah Atas, Sekolah Menengah Kejuruan, dan Sekolah Luar Biasa Provinsi Jawa Timur tahun ajaran 2024/2025 yang dilaksanakan secara objektif, transparan, akuntabel, dan tanpa diskriminasi.
Pelaksanaan PPDB Jawa Timur tahun 2024 berpedoman pada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 1 Tahun 2021 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru, Keputusan Sekretaris Jenderal Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi nomor 47/M/2023 tentang Pedoman Pelaksanaan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 1 Tahun 2021 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru pada Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, dan Sekolah Menengah Kejuruan, dan Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 15 Tahun 2022 tentang Pedoman Pelaksanaan Penerimaan Peserta Didik Baru pada Sekolah Menengah Atas, Sekolah Menengah Kejuruan dan Sekolah Luar Biasa. Secara umum PPDB dilaksanakan secara online dan beberapa satuan pendidikan secara offline. Hal ini bertujuan untuk mempermudah peserta didik, orang tua, masyarakat untuk mendaftar dan memantau hasil PPDB.
Sebuah buku foto yang berjudul Lensa Kampung Ondel-Ondelferrydmn1999
Indonesia, negara kepulauan yang kaya akan keragaman budaya, suku, dan tradisi, memiliki Jakarta sebagai pusat kebudayaan yang dinamis dan unik. Salah satu kesenian tradisional yang ikonik dan identik dengan Jakarta adalah ondel-ondel, boneka raksasa yang biasanya tampil berpasangan, terdiri dari laki-laki dan perempuan. Ondel-ondel awalnya dianggap sebagai simbol budaya sakral dan memainkan peran penting dalam ritual budaya masyarakat Betawi untuk menolak bala atau nasib buruk. Namun, seiring dengan bergulirnya waktu dan perubahan zaman, makna sakral ondel-ondel perlahan memudar dan berubah menjadi sesuatu yang kurang bernilai. Kini, ondel-ondel lebih sering digunakan sebagai hiasan atau sebagai sarana untuk mencari penghasilan. Buku foto Lensa Kampung Ondel-Ondel berfokus pada Keluarga Mulyadi, yang menghadapi tantangan untuk menjaga tradisi pembuatan ondel-ondel warisan leluhur di tengah keterbatasan ekonomi yang ada. Melalui foto cerita, foto feature dan foto jurnalistik buku ini menggambarkan usaha Keluarga Mulyadi untuk menjaga tradisi pembuatan ondel-ondel sambil menghadapi dilema dalam mempertahankan makna budaya di tengah perubahan makna dan keterbatasan ekonomi keluarganya. Buku foto ini dapat menggambarkan tentang bagaimana keluarga tersebut berjuang untuk menjaga warisan budaya mereka di tengah arus modernisasi.
Apakah program Sekolah Alkitab Liburan ada di gereja Anda? Perlukah diprogramkan? Jika sudah ada, apa-apa saja yang perlu dipertimbangkan lagi? Pak Igrea Siswanto dari organisasi Life Kids Indonesia membagikannya untuk kita semua.
Informasi lebih lanjut: 0821-3313-3315 (MLC)
#SABDAYLSA #SABDAEvent #ylsa #yayasanlembagasabda #SABDAAlkitab #Alkitab #SABDAMLC #ministrylearningcenter #digital #sekolahAlkitabliburan #gereja #SAL
1. MANAJEMEN HUTAN
Prof. Dr. Ir. Supratman, MP.
Prof. Dr. Ir. Syamsu Alam, MS.
Laboratorium Kebijakan dan Kewirausahaan Kehutanan
Fakultas Kehutanan - Universitas Hasanuddin
2. i
Kata Pengantar
Mata Kuliah ”Manajemen Hutan” merupakan salah satu mata kuliah yang wajib diikuti oleh seluruh mahasiswa Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin, baik mahasiswa pada Program Studi Manajemen Hutan maupun pada Program Studi Teknologi Hasil Hutan. Rata-rata jumlah mahasiswa yang ikut pada kuliah ini adalah 120 sampai 150 orang. Untuk mengoptimalkan pencapaian tujuan pembelajaran serta untuk mempermudah mengorganisir pelaksanaan perkuliahan dengan metode Student Center Learning (SCL), sejak dua tahun terakhir ini, mahasiswa dibagi menjadi dua kelas sehingga rata-rata jumlah mahasiswa pada setiap kelas adalah 60 – 75 orang.
Pembagian kelas tersebut membawa konsekwensi penyajian materi perkuliahan yang mungkin dapat berbeda antara satu kelas dengan kelas yang lainnya apabila dilakukan oleh dosen yang berbeda, terutama apabila jadwal kelas tersebut paralel sehingga tidak memungkinkan satu orang dosen melaksanakan kuliah di dalam dua kelas yang berbeda pada waktu yang bersamaan. Untuk mengatasi hal ini, diperlukan Buku Ajar yang menjadi pegangan bagi anggota tim pengajar dan mahasiswa di dalam pelaksanakan kuliah.
Buku Ajar ini dihimpun dari Hand Out yang terserak yang selama ini telah digunakan oleh tim pengajar pada setiap kali perkuliahan. Hand Out tersebut diedit, ditambah, ataupun dikurangi materinya kemudian distrukturkan menjadi Bab-Bab sesuai dengan Garis-Garis Besar Rancangan Pembelajaran (GBRP) yang telah disusun sebelumnya, menghasilkan Buku Ajar yang anda baca pada saat ini.
Ide untuk menulis Buku Ajar ini sejatinya telah lama dipikirkan, namun tidak dapat diwujudkan. Tuntutan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran serta adanya dukungan yang kuat dari Pimpinan Fakultas Kehutanan, dan pimpinan universitas pada saat ini telah memicu semangat tim pengajar untuk mewujudkan ide yang terpendam tersebut. Atas dukungan ini, kami ucapkan terima kasih.
Harapan kami, semoga kehadiran Buku Ajar ini dapat melengkapi pustaka mahasiswa dan menjadi pemicu bagi penulis untuk menyusun Buku Ajar yang lebih berkualitas.
Tamalanrea, Agustus 2009
Tim Penulis
3. ii
Deskripsi Singkat :
Mata kuliah ini membahas pengertian dan ruang lingkup manajemen hutan, beberapa konsep dasar untuk pengelolaan hutan lestari, preskripsi pengelolaan hutan, konsep pengaturan hutan, dan analisis keputusan di dalam manajemen hutan.
Tujuan Umum :
1. Memahami konsep-konsep dasar pengelolaan hutan
2. Mampu meningkatkan produktivitas dan dan nilai eknomi sumberdaya hutan
3. Mampu menata unit-unit pengelolaan hutan sesuai dengan karakteristik sumberdaya hutan
Tujuan Khusus
1. Memahami kaidah-kaidah ilmiah pengelolaan hutan
2. Mampu mengembangkan manfaat dan jasa sumberdaya hutan
3. Mampu merencanakan, menganalisis, dan melaksanakan pengelolaan hutan sesuai prinsip-prinsip bisnis dan prinsip-prinsip kelestarian
6. 1 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
BBAABB
PPEENNDDAAHHUULLUUAANN
A. Pengertian dan Ruang Lingkup Manajemen Hutan
Manajemen dapat diartikan sebagai seni, ilmu, dan proses untuk mencapai tujuan yang telah dirumuskan melalui kegiatan dengan orang lain. Manajemen Hutan, dalam pandangan luas, adalah integrasi faktor-faktor biologi, sosial, ekonomi, dan faktor-faktor lain yang mempengaruhi keputusan pengelolaan hutan. Setiap sesuatu mempengaruhi sesuatu yang lain dalam pengelolaan hutan, oleh karena itu, seseorang harus mengetahui segala sesuatu untuk membuat keputusan. Hal ini mungkin benar, tetapi hanya pada tingkatan tertentu. Pandangan yang luas tersebut tidak diadopsi pada mata kuliah ini sebab kebutuhan pengetahuan tersebut tidak mungkin dicapai dan karena keputusan manajemen hutan tidak dibuat segera saat ini, tetapi melalui proses yang panjang.
Pada hirarki yang lebih rendah, manajemen hutan didefisikan sebagai seluruh keputusan yang dibutuhkan untuk melaksanakan kegiatan pengelolaan
I
Pokok Bahasan : Pendahuluan
Tujuan Umum : Memahami pengertian dan ruang lingkup manajemen hutan
Tujuan Instruksional Khusus : Selesai mempelajari Bab I, mahasiswa/i mampu menjelaskan: (1) pengertian dan ruang lingkup manajemen hutan, (2) tujuan dan fungsi manajemen hutan, (3) aspek- aspek teknis, sosial, ekonomi, dan lingkungan manejemen hutan
.
7. 2 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
hutan secara berkelanjutan. Pengertian ini lebih banyak berfokus pada pengetahuan yang digunakan secara langsung untuk mengelola suatu areal hutan. Hal ini berarti bahwa personal manajemen adalah bagian dari manajemen hutan karena manajemen hutan menggunakan orang, mechanical enggineering adalah juga bagian dari manajemen hutan karena dalam manajemen hutan menggunakan mesin-mesin. Kadang-kadang interaksi sosial juga termasuk bagian dari manajemen hutan. Pengertian yang kedua ini juga tidak diadopsi pada mata kuliah ini karena pengetahuan yang dibutuhkan untuk pengambilan keputusan tersebut tidak mesti dikuasai oleh manajer hutan, akan tetapi dapat saja diperoleh melalui tenaga ahli yang dipekerjakan atau disewa sebagai konsultan.
Secara historis, manajemen hutan pada dasarnya terkait dengan aspek biologi dan aspek silvikultur dari hutan. Defenisi ini diturunkan dari filosofi biologi sebagai aspek dasarnya. Kadang-kadang defenisi manajemen hutan juga mencakup pengelolaan daerah aliran sungai (DAS), inventarisasi, dan aspek- aspek kehutanan yang lain. Hal ini semua merupakan bagian integral dari manajemen hutan. Namun demikian, sebagai suatu profesi, ilmu manajemen hutan telah berkembang menjadi suatu bidang yang terpisah dari aspek-aspek tersebut di atas.
Materi Mata Kuliah Manajemen Hutan yang ditulis di dalam buku ajar ini membatasi kajiannya pada dua hal yaitu: (1) mengkaji kaidah-kaidah ilmiah pengelolaan hutan, dan (2) mengkaji aspek-aspek teknis membangun dan mengelola unit-unit pengelolaan hutan. Oleh karena itu, pengertian manajemen hutan yang diadopsi pada mata kuliah ini adalah aplikasi prinsip-prinsip ilmiah dan teknis kehutanan dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip bisnis dan sosial untuk mencapai satu atau beberapa tujuan. Aspek-aspek Sosial, Bisnis, dan Teknis dalam Mengelola Hutan, disajikan pada Tabel 1.
8. 3 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
Tabel 1. Aspek-Aspek Sosial, Bisnis, dan Teknis dalam Mengelola Hutan
No.
Aspek Sosial dan Bisnis
Aspek Teknis
1.
Ekonomi
Silvika dan Silvikultur
2.
Organisasi dan Administrasi
Inventarisasi
3.
Keuangan
Logging
4.
Akuntansi
Teknologi Kayu
5.
Statistik
Patrhology
6.
Pemasaran
Entomology
7.
Hukum Bisnis
Perlindungan Hutan
8.
Perburuhan
Wildlife
9.
Real Estate
Rekreasi Hutan
10.
Ilmu social dan Politik
Civil Enginering
Tidak seorangpun yang bisa menguasai semua bidang ilmu tersebut di atas, dan hal ini menggambarkan bahwa manajemen hutan dalam pelaksanaannya bersifat kolektif. Seorang manajer hutan perlu memiliki pengetahuan dasar dan aplikasi dari semua bidang ilmu di atas dan menguasainya sebisa mungkin.
B. Tujuan dan Fungsi Manajemen Hutan
1. Tujuan Manajemen Hutan
Hutan dikelola untuk tujuan serbaguna, dengan tujuan akhir adalah untuk mendapatkan nilai manfaat bersih total yang paling tinggi. Pengelolaan hutan untuk tujuan produksi kayu, harus memperhatikan dan mendukung (compatible) tujuan lain, seperti DAS, wildlife, rekreasi, dll. Pada beberapa kasus, penggunaan kawasan hutan bertentangan (incompatible) dengan tujuan pengelolaan yang lain seperti pengelolaan areal penggembalaan di dalam kawasan hutan terkadang tidak compatible dengan pengelolaan hutan untuk tujuan produksi kayu. Hal ini mengharuskan pengelola hutan membuat keputusan tentang prioritas penggunaan lahan hutan. Manajemen hutan membutuhkan pengkajian dan aplikasi teknik-teknik analisis untuk membantu memilih alternatif manajemen yang memberikan kontribusi terbaik bagi pencapaian tujuan pengelolaan hutan.
9. 4 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
Tujuan pengelolaan hutan sangat tergantung pada tujuan pemilik hutan dan situasi ekonomi yang ada pada wilayah dimana hutan tersebut berada. Pada kawasan hutan negara, tujuan pengelolaan hutan sangat ditentukan oleh faktor politik dan tingkat kepentingan terhadap areal hutan. Tingkat kepentingan tersebut terkadang tidak dapat diukur dalam satuan ukuran nilai uang. Pengelolaan hutan negara biasanya lebih banyak difokuskan pada perlindungan tata air yang dibayar dengan kelestarian supply air, dan dikeola dengan tujuan serba guna. Sedangkan hutan milik dikelola dengan tujuan untuk menghasilkan barang dan jasa yang biasanya terfokus pada total produksi dan total benefit yang dapat diperoleh dari lahan hutan tersebut.
2. Fungsi Manajemen Hutan
Pengelolaan hutan lestari harus mencakup beberapa fungsi yaitu fungsi teknis, komersil, finansial, personial, fungsi administrasi, dan fungsi kepemimpinan. Fungsi teknis dalam manajemen hutan diarahkan untuk mencapai tujuan teknis, fungsi komersiil untuk mencapai tujuan ekonomi (berkaitan dengan pasar), fungsi finansiil untuk mencapai tujuan finansial (berkaitan dengan biaya dan pendapatan), fungsi personil berkaitan dengan kuantitas dan kualitas sumberdaya manusia (SDM), fungsi administrasi merupakan fungsi penunjang, berkaitan dengan pengembangan, dan fungsi kepemimpinan berkaitan dengan unsur-unsur manajemen (POAC).
C. Aspek-aspek Teknis, Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan dalam Manajemen Hutan
Untuk merlaksanakan fungsi-fungsi tersebut di lapangan, seorang manajer hutan harus memperhatikan aspek-aspek teknis, sosial, ekonomi, dan lingkungan, sebagai berikut:
1. Aspek Teknis
Kegiatan manajemen hutan pada dasarnya berkaitan dengan pemanfaatan hutan sebagai sumberdaya alam dan sebagai suatu ekosistem. Kegiatan manajemen hutan akan dan harus berkaitan dengan kegiatan-kegiatan teknis yaitu, penanaman, pemeliharaan, perlinduingan hutan, pemanenan hutan,
10. 5 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
pengolahan hasil hutan (industri pengolahan hasil hutan, dan pemasaran hasil hutan. Untuk dapat mewujudkan aspek-aspek tersebut di atas dalam pelaksanaan kegiatan manajemen hutan secara operasional di lapangan diperlukan penguasaan pengetahuan teknis kehutanan.
2. Aspek Sosial Ekonomi
Kegiatan manajemen hutan pada dasarnya adalah kegiatan pengusahaan hutan. Oleh karena itu, aspek-aspek perusahaan yaitu aspek ekonomi dan aspek keuangan sangat erat hubungannya dengan manajemen hutan.
Untuk dapat melaksanakan dan mewujudkan aspek teknis manajemen hutan, dibutuhkan investasi (SDM, peralatan dan teknologi) dan analisis-analisis ekonomi dan finansial. Hal ini terutama karena manajemen hutan berkaitan dengan dimensi waktu yang panjang untuk dapat menghasilkan produk serta harus bertumpu pada prinsip kelestarian sebagai prinsip dasar pengelolaan hutan. Untuk dapat mewujudkan manajemen hutan lestari diperlukan adanya perencanaan yang efisien dan rasional.
3. Aspek Lingkungan
Pengelolaan hutan disamping memanfaatkan hutan sebagai sumberdaya alam, harus pula memperhatikan sisi lain dari hutan yaitu sebagai Ekosistem (ekosistem hutan).
Secara operasional, pengelolaan hutan akan memanfaatkan ekosistem hutan. Ini berarti bahwa dalam manajemen hutan harus diperhatikan pula pengaruh pemanfaatan tersebut terhadap komponen ekosistem hutan yang terdiri dari “tanah-biologi hutan-iklim/lingkungan”.
Pengelolaan hutan utamanya hutan alam tropis lembab (tropical rain forest) yang kaya akan jenis penyusun tegakannya, harus diperhatikan pula adanya “keanekaragaman hayati” didalamnya dalam perspektif jangka panjang.
11. 6 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
Latihan Soal-soal:
1. Jelaskan pengertian dan ruang lingkup mata kuliah manajemen hutan
2. Jelaskan tujuan dan fungsi manajemen hutan
3. Jelaskan aspek-aspek teknis, sosial, ekonomi, dan lingkungan manejemen hutan
Rujukan:
Davis, K.P. 1978. Forest Management (Valuation and Regulatino). Mc. Graw-Hill, Inc. Manila.
Junus. M. 1984. Dasar Umum Ilmu Kehutanan. Buku I. Badan Kerjasama Perguruan Tinggi Indonesia Timur. LEPHAS
Leuschener. W. A. 1984. Introduction to Forest Resource Management. Joh Wiley and Sons. Inc.
Lawrence. S. D., K.N. Johnson. 1987. Forest Managament. Mc. Graw-Hill. Inc.
Soedirman. S. 1997. Buku Ajar Manajemen Hutan. Fakultas Kehutanan, Universitas Mulawarman. Samarinda
12. 7 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
BAB
SEJARAH PENGELOLAAN HUTAN
Secara garis besar, bentuk pengusahaan hutan yang pernah dilakukan,
khususnya di negara- negara maju, dari dulu sampai sekarang dapat dibedakan
menjadi tiga atau empat macam (Simon, 1999), yaitu: (1) penambangan kayu,
(2) pengelolaan hutan tanaman, (3) pengelolaan sumberdaya hutan, dan (4)
pengelolaan ekosistem hutan.
Penambangan kayu dan pengelolaan hutan tanaman tergolong pada
strategi kehutanan konvensional, sedangkan pengelolaan sumberdaya hutan
dan pengelolaan ekosistem hutan termasuk dalam strategi kehutanan sosial.
Perbedaan pokok antara kedua strategi pengelolaan hutan tersebut terletak pada
tujuan pengelolaan dan system perencanaan yang digunakan, dengan segala
konsekuensi dan implikasinya.
Wilayah
Pengelolaan
Provinsi
Wilayah
Pengelolaan
Kabupaten
Unit
Pengelolaan
Kriteria Kelembagaan
II
Pokok Bahasan : Sejarah Pengelolaan Hutan
Tujuan Umum : Memahami sejarah pengelolaan hutan
nasional dan dunia
Tujuan Instruksional Khusus : Selesai mempelajari Bab I, mahasiswa/i
mampu: (1) menjelaskan perkembangan
sejarah pengelolaan hutan, (2) mengevaluasi
sejarah pengelolaan hutan, dan (3)
menjelaskan konsep pengelolaan hutan
mutakhir.
13. 8 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
Pengelolaan hutan berarti pemanfaatan fungsi hutan untuk memenuhi kebutuhan manusia secara maksimal. Pada waktu masyarakat manusia belum mengenal hubungan komersil secara luas, hutan hanya dimanfaatkan sebagai tempat untuk mengambil bahan makanan, nabati ataupun hewani, atau tempat mengambil kayu untuk membuat rumah tempat tinggal dan untuk sumber energy. Hutan juga sering ditebang untuk memperluas tempat pemukiman, lahan pertanian, atau mengamankan wilayah dari gangguan binatang buas.
A. Penambangan Kayu (Timber extraction)
1. Penambangan kayu di Lembah Eufrat dan Tigris
Penambangan kayu di daerah ini sudah dimulai dilakukan sekitar tahun 2000 SM, yaitu pada masa kerajaan Babylonia. Karena sudah berlangsung lama, maka sangat sedikit informasi yang tersedia untuk melukiskan lebih mendalam tentang penambangan kayu di Babylonia ini beserta kerusakan hutan yang ditimbulkannya.
Salah satu cirri kejayaan suatu negara adalah tingginya intensitas perdagangan yang dilakukan masyarakat negara tersebut, termasuk perdagangan kayu. Secara konvensional, kayu diperlukan untuk bahan konstruksi rumah, alat-alat pertanian dan alat transportasi darat maupun air.
Karena tidak diikuti dengan usaha permudaan kembali, maka timber extraction di Mesopotamia ini berakhir dengan kehancuran hutan. Bahkan begitu beratnya tingkat kerusakan hutan tersebut , daerah yang semula terkenal dengan kesuburannya itu akhirnya sebagian berubah menjadi padang rumput, bahkan padang pasir sampai sekarang.
2. Penambangan Kayu di Eropa Tengah dan Barat
Penambangan kayu di daerah ini mulai dilakukan sekitar abad ke-3, yaitu pada waktu kekaisaran Romawi mulai mengembangkan wilayah jajahannya ke seluruh Eropa Tengah dan Barat. Negara yang paling banyak mengalami kegiatan ini, dan oleh karena itu juga paling besar menerima dampak negative, adalah Jerman. Jalan raya yang menghubungkan Roma-Frankfurt sekarang ini adalah jalan yang dulu digunakan untuk kepentingan mengontrol daerah jajahan
14. 9 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
itu oleh Romawi, di sepanjang jalan ini relatif lebih banyak jumlah kota atau pusat pemukiman, yang dulu merupakan pusat-pusat kegiatan penebangan kayu dan pos-pos untuk mengontrol daerah jajahan.
Perkembangan pengelolaan hutan yang sangat berarti sehubungan dengan kerusakan hutan akibat penambangan kayu di Eropa Tengah dan Barat adalah diumumkannnya Undang-Undang Kehutanan di Perancis, terkenal dengan Ordonance de Melun , pada tahun 1376 oleh raja LUIS XIV (OSMASTON, 1966 dalam SIMON, 1999).
Untuk mendukung kegiatan pengelolaan hutan yang baik, seperti yang dikehendaki oleh jiwa Undang-Undang itu, kemudian Perancis mendirikan sekolah kehutanan. Di sini barangkali pengeruh Universitas Al Hambra di Cordoba memang ada, karena banyak pula pemuda Perancis yang kemudian ikut menuntut ilmu ke Spanyol.
Setelah Ordonance de Melun pada 482 Kerajaan Inggris juga mengeluarkan Forest Act , yang kemudian disempurnakan lagi pada Tahun 1543 (OSMASTON, 1966 dalam SIMON, 1999). Pada periode berikutnya, pendidikan kehutanan lebih berkembang di Jerman. Akademi kehutanan di Tarrant dikenal sebagai sekolah tinggi kehutanan yang pertama di dunia. Oleh karena itu, secara konsepsional Jerman juga tampil menjadi negara yang berhasil memperbaiki kerusakan hutan akibat penambangan kayu di Eropa. Masalah ini akan dibahas lagi dalam paragraf-paragraf selanjutnya.
3. Penambangan Kayu di Indonesia
Penambangan kayu di Eropa dilakukan oleh pemerintah kolonial. Hal ini terulang lagi di Negara-negara Asia, Afrika dan Amerika latin sampai masa perang dunia II. Bnagsa-bangsa Eropa banyak yang keluar dari tanah airnya mencari tanah jajahan, seperti Inggris, Spanyol Italia, bahkan juga bangsa- bangsa kecil seperti Belanda, Belgia dan Portugal.
Di negara jajahan itu, para penjajah menguras sumberdaya apa saja yang dapat dijual dengan memperoleh kekayaan, termasuk hutan. Itu pulalah yang dilakukan Belanda di Indonesia. Oleh karena itu, penjajah bangsa Belanda juga sangat giat melakukan penambangan kayu.
15. 10 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
B. Pengelolaan Kebun Kayu
Kerusakan hutan akibat Timber extraction kemudian mulai dipikirkan benar-benar agar tidak berkepanjangan. Bahkan, kerusakan hutan telah menyadarkan orang Jerman akan perlunya permudaan kembali kawasan hutan bekas tebangan agar produksi kayu dapat lestari. Oleh karena itu, salah satu hikmah yang dirumuskan Jerman dari tragedy kerusakan hutan itu adalah munculnya istilah kelestarian hasil, yang konon sudah mulai dikenal pada abad ke-9.
Istilah kelestarian hasil telah mendorong perlu adanya pengaturan tebangan yang baik sehingga jumlah hasil kayu yang dipungut setiap tahun tidak terlalu bervariasi. Dari sini, selanjutnya rimbawan Jerman berhasil menemukan berbagai macam metode pengaturan hasil yang dipergunakan untuk mengatur etat tebangan. Adanya metode permudaan dan metode pengaturan hasil ini, setelah jangka waktu yang cukup panjang, membentuk elemen-elemen pengelolaan hutan modern yang berlandaskan pada kelestarian hasil hutan (sustained yield principles). Berdasarkan semua pengalaman tersebut, maka pada tahun 1816 HEINRICH VON COTTA dapat menyelesaikan sebuah buku yang berjudul Anweisung zum Waldbau (petunjuk silvikultur). Dlam tulisannya, COTTA menjelaskan secara sistematik metode pengaturan hasil yang sudah dipraktekkan secara luas di Jerman sejak beberapa abad terakhir. Oleh karena itu, selanjutnya dikenal ada metode COTTA atau metode Periodik Blok, yang nama aslinya adalah Periodic Yields with A Regeneration Block method.
Beberapa waktu sebelumnya GEORG LUDWIG HARTIG, guru COTTA, telah menulis buku yang menerangkan perlunya pembagian wilayah sebagai dasar penyusunan organisasi lapangan untuk menyelenggarakan pengelolaan hutan yang efisien. Dalam tulisan HARTIG itu, juga ditekankan perlunya pembuatan hutan monokultur dengan system silvikultur tebang habis dengan permudaan buatan. Walaupun ide HARTIG tentang hutan monokultur itu segera ditentang pada ekolog dan rimbawan konservasionis, misalnya KARL HAYER (MANAN, 1988 dalam SIMON, 1999), karena alas an perkembangan hama dan
16. 11 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
penyakit tetapi para praktisi kehutanan lebih menyukai metode HARTIG karena monokultur lebih mudah dalam perencanaan dan pelaksanaannya. Nampaknya, monokultur juga akan menghasilkan kayu lebih tinggi karena jumlah pohon komersial yang ditanam perhektar lebih baik.
Pada awal abd ke-18, yaitu pada tahun 1710, seorang ahli kehutanan Jerman lainnya, HANS CARL VON CARLOWITZ, menulis buku dengan judul Silvicultura economika (ekonomi silvikultur). Di dalam buku ini, CARLOWITZ menerangkan keuntungan yang diperoleh dari penanaman hutan satu jenis (monokultur) untuk mewujudkan apa yang dinamakan Sustained yield forestry. Gagasan CARLOWITZ inilah yang dielaborasi lebih lanjut oleh HARTIG dan muridnya COTTA.
Gagasan hutan tanaman monokultur dengan 1 daur itu menjadi lebih kokoh lagi setelah pada tahun 1849 FAUSTMAN menulis rumus daur dinansial. Dengan dirumuskannya system pengelolaan hutan seperti itu, seolah-olah Jerman telah memproklamirkan system pengelolaan kebun kayu, yang kelak menjadi acuan pembangunan hutan di seluruh dunia. Selanjutnya, semua kegiatan teknik kehutanan mulai dari pembuatan tanaman pemeliharaan sampai pemanenan dengan segala kelengkapannya terus mengalami kemajuan. Paling tidak selama lebih dari dua abad, yaitu abad ke-18 sampai pertengahan abad ke- 20, Jerman memang menjadi kiblat ilmu kehutanan seluruh negara di dunia (PELUSO, 1993). Di Indonesia, system Jerman diterapkan untuk membangun hutan jati yang rusak akibat timber extraction selama masa VOC dan awal pemerintahan Hindia Belanda.
Ciri-ciri system pengelolaan hutan dari Jerman tersebut adalah:
Pada umumnya merupakan hutan tanaman monokultur dengan system silvikultur tebang habis dan permudaan buatan.
Karena monokultur, maka untuk kesederhanaan dalam perencanaan digunakan konsep Kelas Perusahaan (Planning unit) yang sekaligus berlaku sebagai alat pengendali kelestarian hasil.
17. 12 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
Satuan kelas perusahaan adalah unit perencanaan yang dinamakan Bagian Hutan, yang untuk hutan jati di Jawa luasnya berkisar antara 4.000 – 6.000 ha.
Untuk pengaturan hasil digunakan konsep daur tunggal. Pada mulanya daur tunggal itu ditetapkan dengan criteria teknik, tetapi kemudian diganti dengan daur financial setelah FAUSTMANN menemukan rumus perhitungan yang monumental pada tahun 1949.
Konsep pengelolaan hutan yang dimaksudkan itu berkembang pesat sejak abad ke-17, terutama karena beberapa keuntungan yang secara teoritik memang cukup memberi harapan, yaitu:
Perencanaannya sederhana dan oleh karena itu mudah dan murah.
Pelaksanaan pengelolaan juga lebih mudah dan biaya yang murah sehingga diharapkan diperoleh keuntungan uang yang tinggi.
Konsep kelas perusahaan menguntungkan bagi pengadaan bahan baku industry yang pada waktu itu di Jerman masih terbatas menggunakan jenis tertentu saja.
Walaupun konsep yang ditentukan dengan lebih memperhatikan kepentingan ekonomi itu sejak awal sudah ditentang oleh ekolog dan kaum konservasionis, tetapi sebagaimana lazimnya, pertimbangan ekonomi hampir selalu diunggulkan karena jangkauan waktunya hanya untuk jangka pendek, dibanding dengan pertimbangan lingkungan yang relatif lebih abstrak dan bersifat jangka panjang. Kekurangan-kekurangan system tersebut:
Tegakan monokultur rentan terhadap gangguan hama dan penyakit karena keragaman hayati menjadi sangat miskin sehingga ekosistem hutan tidak lagi stabil.
Fungsi perlindungan terhadap lingkungan berkurang banyak karena pembangunan hutan hanya ditekankan pada produktivitas kayu yang setinggi mungkin.
Tidak dapat memaksimumkan produktivitas kawasan hutan karena system pengelolaan seragam untuk areal yang relative luas (satu kelas perusahaan),
18. 13 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
tanpa memperhatikan ragam sifat fisik wilayah, pengaruh social ekonomi masyarakat, dan potensi pasar.
Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan masyarakat, termasuk di negara sedang berkembang yang dulu merupakan Negara jajahan bangsa- bangsa Eropa, kekurangan hutan tanaman monokultur semakin dapat dipahami secara luas. Di lain pihak, kemajuan teknologi yang selalu menyertai pembangunan di mana pun, justru menuntut peran hutan sebagai pelindung ekosistem dan lingkungan hidup. Di samping itu juga dituntut agar fungsi hutan untuk menjadi sumberdaya yang selalu menyajikan berbagai macam keperluan masyarakat, seperti yang diberikan oleh hutan alam klimaks, dapat diwujudkan kembali.
C. Pengelolaan Sumberdaya Hutan
Pengelolaan hutan untuk menghasilkan kayu berkembang pesat di negara-negara maju, khususnya Eropa Barat dan Amerika Utara, sepanjang abad ke-18 dan 19. Sistem pengelolaan kebun kayu itu, yang menempatkan kelesatarian hasil sebagai landasannya, dikenal sebagai sistem pengelolaan hutan modern. Di Jawa, system tersebut juga dapat dilaksanakan dengan sukses untuk membuat hutan tanaman jati. Landasan politis ini telah digariskan oleh DAENDELS tahun 1811, persiapannya dirumuskan Tim MOLLIER yang mulai bekerja pada tahun 1849, sedangkan pelaksanaan operasionalnya baru berjalan mulai tahun 1898 setelah usulan BRUINSMA tentang organisasi territorial yang dinamakan vesterij diterima oleh pemerintah pada tahun 1892 (LUGT, 1933 dalam SIMON, 1999).
Pada waktu sistem Timber Management itu dirumuskan, keadaan social ekonomi masyarakat di Pulau Jawa masih jauh berbeda dengan keadaan sekarang. Perubahan keadaan social-ekonomi maupun kemajuan iptek tersebut menyebabkan konsep kebun kayu yang disusun pada akhir abad ke-19 itu tidak lagi sinkron (gayut) dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat pada akhir abad ke-20 ini. Selama dekade 1950-an pengelolaan kebun kayu mulai menghadapi masalah-masalah baru yang berkaitan dengan masalah-masalah social-ekonomi
19. 14 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
masyarakat di sekitar hutan. Dari kondisi lambatnya perkembangan penanganan masalah tersebut sehingga timbul gangguan keamanan yang menyebabkan terjadinya kerusakan hutan. Hal tersebut berdampak di seluruh dunia termasuk pulau Jawa yang telah dibangun dengan sukses selama periode 1898-1942 (periode timber management pertama).
Pada Kongres Kehutanan Dunia V denga tema Multiple Use of Forest Land dan Kongres Kehutanan Dunia VIII tahun 1978 dengan tema Forest for People, yang rimbawan telah menyadarinya dan memberi reaksi yang tepat terhadap perubahan tersebut. Sayangnya aplikasi konsep baru itu di lapangan sangat lambat sehingga selama periode itu, bahkan sampai sekarang, laju kerusakan hutan tersebut meningkat.
Dengan lahirnya istilah social forestry (kehutanan sosial) pada Kongres Kehutanan Dunia VIII tahun 1978, maka pengelolaan kebun kayu yang semula dianggap sebagai bentuk pengelolaan hutan modern telah berubah menjadi strategi pengelolaan hutan modern telah berubah menjadi strategi pengelolaan kehutanan konvensional (conventional forestry). Dalam strategi pengelolaan hutan yang baru ini ada tiga perbedaan yang penting dibanding dengan sistem konvensional (kebun kayu), yaitu:
Tujuan pengelolaan hutan tidak hanya untuk menghasilkan kayu pertukangan, melainkan untuk memanfaatkan sumberdaya kawasan hutan bagi semua jenis hasil hutan yang dapat dihasilkan di tempat yang bervariasi menurut lokasi.
Orientasi pengelolaan hutan berubah dari kepentingan untuk memperoleh keuntungan financial bagi perusahaan ke kepentingan dan kebutuhan masyarakat, khususnya yang bertempat tinggal di dalam dan kawasan hutan.
Berbeda dengan pengelolaan kebun kayu yang berskala luas dengan konsep kelas perusahaan untuk satu bagian hutan sebagai unit, dalam strategi kehutanan social bentuk pengelolaan hutan beragam sesuai dengan sifat fisik wilayah mikro dan pengaruh sosial (management regiems), untuk memaksimumkan produktivitas tiap jengkal kawasan hutan. Satuan wilayah mikro yang diambil di sini adalah unit kegiatan tahunan, khususnya pekerjaan
20. 15 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
tanaman, yang pada hutan jati di jawa dapat diidentikkan dengan petak (compartment) dengan luas sekitar 30-40 ha saja.
Karena tujuan pengelolaan hutan tidak lagi hanya menghasilkan kayu pertukangan, melainkan hasil apa saja yang tersedia di tempat dan sesuai dengan kondisi fisik wilayah maupun tuntunan sosial-ekonomi masyarakat, maka bentuk pengelolaan hutan ini dinamakan Pengelolaan Sumber Daya Hutan (Forest Resource Management).
Bagi forest resource management, konsep timber management dengan kelas perusahaan monokultur, dan daur tunggal akan membatasi upaya mencapai produktivitas maksimumnkarena konsep yang lama itu sama sekali tidak fleksibel, tidak dapat menyesuaikan dengan kondisi mikro. Oleh karena itu, yang cocok adalah konsep management regimes, polikutur, daur ganda dan satuan regime dalam petak. Dengan demikian, perubahan dari timber management ke forest resource management benar-benar memerlukan perubahan dalam semua aspek perencanaan maupun pelaksanaan pengelolaan. Tujuan penerapan sistem pengelolaan yang beragam dalam bentuk berbagai regimes adalah untuk memaksimumkan produktivitas tiap jengkal kawasan hutan disesuaikan dengan kondisi tanah dan lahan serta faktor lingkungan setempat yang mempengaruhinya. Kalau konsep kelas perusahaan dibandingkan dengan konsep Management Regimes, masing-masing mempunyai keuntungan dan kelemahan.
Keuntungan konsep Management regimes:
Karena polikultur, tegakan lebih tahan terhadap serangan hama dan penyakit;
Tegakan polikultur berpengaruh lebih baik terhadap lingkungan, termasuk aspek hidro-orologi dan kehidupan satwa;
Hasil yang diperoleh dari hutan akan semakin beragam (diversifikasi) sehingga menguntungkan konsumen maupun produsen.
Kekurangan konsep Management regimes:
Perencanaan dan pelaksanaan pengelolaan lebih sulit. Setiap daerah memerlukan rencana tersendiri disesuaikan dengan kondisi tersebut;
21. 16 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
Karena titik (1) di atas, maka diperlukan kualifkasi tenaga perencana maupun pengelola yang lebih baik;
Kalau rencana dan pelaksanaan pengelolaan di lapangan kurang professional, keuntungan perusahaan justru menurun.
Keuntungan dan kelemahan konsep Kelas perusahaan merupakan kebalikan dari konsep Management Regimes tersebut.
D. Pengelolaan Ekosistem Hutan
Sesuai kodratnya, peranan pohon yang paling utama adalah untuk menjaga ekosistem permukaan planet bumi ini. Oleh karena itu, dengan semakin banyaknya jumlah penduduk serta produk teknologi, fungsi lindung akan menjadi lebih penting dibanding dengan fungsi ekonomi yang diharapkan dari hutan. Dalam kondisi seperti ini, tidak mustahil bahwa fungsi ekonomi akan berubah menjadi hasil sampingan (side products), sedang hasil utama yang diharapkan dari hutan adalah fungsi perlindungan lingkungan. Pada tahap ini, bentuk pengelolaan hutan akan berubah menjadi tingkatan yang sangat kompleks, yaitu Pengelolaan Ekosistem Hutan (Forest Ecosystem Management).
Dikaitkan dengan masukan (input) yang diperlukan dan keluaran (output) yang dihasilkan, maka ilmu yang diperlukan untuk membangun sistem pengelolaan ekosistem hutan benar-benar masih amat jauh dari yang sekarang tersedia. Namun demikian, bukan berarti bahwa konsep ini belum dapat dimulai sampai sekarang, karena fenomena-fenomena yang terdapat di lapangan dapat dikaji dan ditiru untuk model awal. Alternatif lain untuk menyusun rekayasa system pengelolaan ekosistem hutan adalah dengan mengembangkan sedikit demi sedikit konsep pengelolaan sumberdaya hutan, dengan menggeser titik berat keluaran dari fungsi ekonomi ke fungsi perlindungan lingkungan.
Dalam pengelolaan ekosistem hutan, kepentingan lingkungan hidup lebih diutamakan, sedangkan keuntungan finansial dipandang sebagai hasil sampingan saja. Oleh karena itu, untuk merancang pengelolaan ekosistem hutan diperlukan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat lengkap. Inilah
22. 17 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
kendala utama yang dihadapi oleh perencana yang pada umumnya hanya berbekal ilmu teknik kehutanan saja.
E. Evaluasi Pengelolaan Hutan
Seperti yang terjadi sejak dulu kala pertentangan tentang peranan hutan antar kepentingan selalu dimenangkan oleh kepentingan ekonomi. Puncak perkembangan yang terlahir itu adalah lahirnya badan-badan internasional seperti ITTO (International Timber Tride Organization). Di samping terjadinya aksi boikot oleh masyarakat dan LSM di Negara maju terhadap penjualan kayu yang ditebang dari hutan alam, ITTO lalu membuat aturan-aturan utuk membatasi laju pengrusakan hutan oleh para pengusaha perkayuan, sambil mendorong perbaikan sistem pengelolaan hutan yang dilaksanakan di negara- negara sedang berkembang, khususnya yang memiliki hutan alam tropika.
Namun begitu jauh sebenarnya baik LSM maupun ITTO belum memiliki konsep yang bersifat operasional untuk memperbaiki pelaksanaan pengelolaan hutan oleh negara-negara sedang berkembang. Oleh karena itu, aturan-aturan itu hanya cenderung memberi tekanan kepada negara-negara pemilik hutan tropika agar yang bersangkutan mencari sendiri jalan pemecahan untuk memperbaiki system pengelolaan hutan yang harus dilaksanakan. Hal ini disebabkan karena elemen ilmu yang diperlukan untuk memperbaiki sistem pengelolaan hutan tropika yang sebagian besar telah rusak karena penebangan untuk memenuhi permintaan bahan baku industry perkayuan milik atau menjadi kebutuhan Negara maju itu sebenarnya belum tersedia.
Agar supaya di kemudian hari dilaksanakan penilaian yang obyektif tentang rencana dan pelaksanaan suatu pengelolaan hutan, maka dipikirkan adanya landasan teori objektif pula. Pada dasarnya tujuan pengelolaan hutan harus mengacu pada bagaimana perumusannya untuk memaksimumkan manfaat yang disediakan oleh hutan. Begitu pula aplikasinya harus tidak menyimpang dari rencana yang selalu berpegang teguh pada prinsip-prinsip agro-ekosistem tentang produktivitas, stabilitas, kelestarian dan keadilan.
23. 18 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
F. Kehutanan Masyarakat (Community Forestry):
Konsep Pengelolaan Hutan Mutakhir
Konsep pemikiran kehutanan masyarakat berkembang setelah kebijakan industrialisasi kehutanan yang bersifat ekonomi-sentrik gagal. Hal ini ditandai dengan tingginya laju degradasi hutan dan kemiskinan masyarakat di dalam dan disekitar hutan. Kegagalan kebijakan industrialisasi kehutanan mendorong terjadinya pergeseran paradigma pembangunan kehutanan, yaitu: dari state based forest management ke community based forest management, dari timber oriented ke forest ecosystem management, dari big scale business ke small owner scale business, dari eksploitasi ke rehabilitasi dan konservasi, dari pendekatan sektoral ke pendekatan regional (sistem), dan dari sistem pengelolaan yang seragam ke sistem pengelolaan spesifik berdasarkan potensi lokal (Alam, 2003).
Kehutanan masyarakat (community forestry) adalah sistem pengelolaan hutan yang berintikan partisipasi rakyat, artinya rakyat diberi wewenang merencanakan dan merumuskan sendiri apa yang mereka kehendaki. Sedangkan pihak lain menfasilitasi rakyat untuk dapat menumbuhkan bibit, menanam, mengelola, dan melindungi sumberdaya hutan milik mereka, agar rakyat memperoleh keuntungan maksimum dari sumberdaya hutan dan mengelolanya secara berkelanjutan (FAO, 1995).
Desmond F. D. (1996), mengemukakan bahwa kehutanan masyarakat adalah pengendalian dan pengelolaan sumberdaya hutan oleh masyarakat lokal untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, yang terpadu dengan system pertanian masyarakat. Definisi Desmond F. D. ini lebih radikal dibanding dengan definisi FAO (1995) karena menghilangkan pernyataan perlunya pihak lain memberikan advis dan input needed kepada masyarakat lokal. Namun demikian, kedua definisi tersebut mempunyai kesamaan yaitu tidak mempersoalkan status lahan (kawasan hutan atau bukan kawasan hutan), tetapi menekankan kepada siapa pengelolanya. Hal inilah yang membedakan konsep kehutanan masyarakat (community forestry) dengan konsep Hutan Kemasyarakatan (HKm) yang digalakkan pemerintah Indonesia.
24. 19 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
Konsep hutan kemasyarakatan (forest community) atau disingkat HKm pertama kali diperkenalkan oleh pemerintah pada tahun 1995 dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 622/Kpts-II/1995, kemudian direvisi dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 677/Kpts-II/1998, kemudian direvisi lagi dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 865/Kpts-II/1999, dan revisi terakhir adalah Keputusan Menteri Kehutanan No. 31/Kpts-II/2001. Intisari konsep kehutanan masyarakat dari beberapa keputusan menteri tersebut adalah membangun sistem pengelolaan hutan negara yang bertujuan untuk memberdayakan masyarakat setempat tanpa mengganggu fungsi pokok hutannya.
Kebijakan terakhir pemerintah yang terkait dengan konsep kehutanan masyarakat adalah Program Social Forestry. Di dalam Peraturan Menteri Kehutanan No: PP.01/Menhut-11/2004 dijelaskan pengertian Social Forestry adalah sistem pengelolaan sumberdaya hutan pada kawasan hutan negara atau hutan hak, yang memberi kesempatan kepada masyarakat setempat sebagai pelaku dan atau mitra utama dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya dan mewujudkan kelestarian hutan. Program Social Forestry, dengan demikian, pada dasarnya berintikan kepada upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat desa di dalam dan di sekitar hutan melalui suatu sistem pengelolaan hutan yang menempatkan masyarakat desa sebagai pelaku utama, mitra kerja, dan sebagai pihak yang harus mendapat bagian kesejahteraan yang memadai dari kegiatan pengelolaan hutan. Program Social Forestry mengedepankan partisipasi masyarakat desa sebagai unsur utama dalam pengelolaan hutan.
Social Forestry mengandung makna yaitu rangkaian kegiatan pengembangan dan pengurusan hutan negara dan hutan hak yang dilakukan sendiri oleh pemiliknya/masyarakat dengan fasilitasi dari semua stakeholder terkait, serta memperhatikan prinsip-prinsip pengusahaan hutan. Forestry mengandung makna sebagai suatu tatanan sistem, sedangkan kata social mempunyai dimensi yang bermacam-macam, yaitu (Kartasubrata, J., 2003):
1. sosial dalam artian konsep perhutanan sosial mendukung integrasi ekonomi, ekologi, dan kelestarian.
25. 20 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
2. sosial dalam hal keterpaduan dalam masyarakat. Fungsi kunci yang berhubungan dengan sumberdaya hutan seperti pengambilan keputusan, pengawasan, pengelolaan, investasi, dan pemanfaatan hasil tidak terkonsentrasi di tangan institusi pemerintah dan pemegang konsesi (swasta) saja, akan tetapi terdistribusi ke masyarakat.
3. sosial dalam hal ditetapkan secara sosial, yang berarti situasional dan dinamis.
4. sosial dalam hal suatu bentuk kehutanan yang menjadi acuan masyarakat secara politis, sosial, institusional, dan ekonomis.
Pada dasarnya istilah kehutanan masyarakat (community forestry) dan social forestry jika dikaitkan dengan latar belakang permasalahannya menunjukkan kesamaan maksud yaitu, (Alam, 2003):
1. menggeser paradigma pembangunan kehutanan dari atas dan tersentralisasi menuju pembangunan kehutanan yang mengutamakan kontrol dan keputusan dari masyarakat lokal.
2. Mengubah sikap dan keterampilan rimbawan dari pelindung hutan terhadap gangguan manusia menjadi bekerja bersama masyarakat.
Campbel (1997) dalam Suhardjito, dkk. (2000) mengusulkan 20 langkah pergeseran yang diperlukan untuk menerapkan konsep kehutanan masyarakat, sepeti disajikan pada Tabel 2.
26. 21 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
Tabel 2. Pergeseran yang Diperlukan untuk Menerapkan Konsep Kehutanan Masyarakat
dari
menuju
A. Sikap Dan Orientasi
1. Pengendalian
Dukungan/Fasilitasi
2. Penerima Manfaat
Mitra
3. Pengguna
Pengelola
4. Pembuatan keputusan unilateral
Partisipatif
5.Orientasi Penerimaan
Orientasi sumberdaya
6. Keuntungan nasional
Orientasi keadilan local
7. Diarahkan oleh rencana
Proses belajar/evolusi
B. Institusional Dan Adninistratif
8. Sentralisasi
Desentralisasi
9. Manajemen (Perencanaan, pelaksanaan, monitoring) oleh pemerintah
Kemitraan
10. Top down
Partisipatif/negosiatif
11. Orientasi target
Orientasi proses
12. Anggaran kaku untuk rencana kerja besar
Anggaran fleksibel
13. Aturan-aturan untuk menghukum
Penyelesaian konflik
C.Metode Manajemen
14. Kaku
Fleksibel
15. Tujuan Tunggal
Tujuan Ganda
16. Keseragaman
Keanekaragaman
17. Produk tunggal
Produk beragam
18. Silvikultur tunggal
Silvikultur spesifik local
19. Tanaman
Regenerasi alam
20. Tenaga kerja/buruh/ pengumpul
Manajer/pelaksana/pemroses/ pemasar
Sumber: Suhardjito, dkk. (2000)
Implementasi konsep kehutanan masyarakat di lapangan dijumpai dalam beberapa istilah yang merupakan varian dari konsep dasar kehutanan masyarakat, antara lain (Suhardjito, dkk., 2000):
1. Collaborative Forest Management, adalah: pengelolaan kawasan hutan tertentu dengan pola kemitraan yang melibatkan berbagai stakeholders (pemerintah, pengusaha, dan masyarakat lokal). Para stakeholders mengembangkan kesepakatan-kesepakatan yang menjelaskan peran, tanggung jawab, dan dan hak-haknya dalam mengelola sumberdaya hutan. Kesepakatan-kesepakatan tersebut paling tidak meliputi, (1) kejelasan kawasan hutan dan tata batasnya, (2) lingkup pemanfaatan dan pemanenan hutan, (3) penetapan dan pengakuan atas peran, tanggung jawab, dan hak
27. 22 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
masing-masing stakeholders, (4) prosedur pengambilan keputusan dan menyelesaikan konflik, (5) membuat rencana pengelolaan yang detail dan utuh.
2. Co-management, sama dengan Collaborative Forest Management, hanya berbeda dalam model partisipasinya, dimana dalam Co-management bentuk partisipasinya sampai pada proses-proses politik dan proses pengambilan keputusan.
3. Joint Forest Management (JFM), adalah: kerangka manajemen hutan yang mendorong kemitraan antara Departemen Kehutanan dengan kelembagaan lokal dan anggota masyarakat yang hidupnya bergantung pada hutan untuk mengembangkan pola yang saling menguntungkan dan bertanggung jawab terhadap sumberdaya hutan yang dikelola. Di India, JFM memberikan akses penuh hasil hutan bukan kayu kepada masyarakat, dan 20 - 50% bagi hasil untuk kayu pada saat panen.
Untuk menghindari terjadinya kerancuan definisi, maka perlu adanya suatu rumusan dasar yang menjadi penciri dari konsep kehutanan masyarakat yaitu, (Suhardjito, dkk., 2000):
1. Masyarakat lokal mampu mengambil peran utama dalam pengelolaan hutan, dengan cara-cara yang cocok dan sesuai dengan tujuan serta nilai-nilai lokal.
2. Masyarakat lokal mempunyai hak-hak yang sah dalam mengelola sumberdaya hutan.
3. Pengelolaan hutan mengkaitkan secara simultan tujuan-tujuan lingkungan, ekonomi, dan sosial.
4. Kemitraan dan pengembilan keputusan oleh masyarakat lokal merupakan ciri minimum dari kehutanan masyarakat.
G. Pertanyaan dan Tugas
1. Jelaskan perkemangan sejarah pengelolaan hutan
2. Jelaskan konsep pengelolaan hutan mutakhir
3. Jelaskan satu bentuk pengelolaan hutan yang anda ketahui
28. 23 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
Rujukan:
Simon. 1993; Hutan Jati dan Kemakmuran: Problematika dan Strategi Pemecahannya. Aditya Media. Yogyakarta.
Simon, 1995; Pengelolaan Hutan Kolaboratif
FKKM, 1998.
29. 24 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
BAB
REVIEW TEORI DASAR
PENGELOLAAN HUTAN
Untuk dapat mengelola hutan dengan baik, diperlukan dasar-dasar teori
yang berkaitan dengan system pengelolaan hutan. Dasar-dasar teori yang
dimaksud mencakup teori tentang pengelolaan hutan pada umumnya dan
elemen-elemen dasar pengelolaan hutan.
A. Konsep Tegakan dan Hutan
Berikut ini akan dikemukakan beberapa konsep dasar yang terkait dengan
tegakan dan hutan:
1. Tegakan (Stand) adalah kesatuan pohon-pohon atau tumbuhan lain yang
menempati suatu areal tertentu dan yang memiliki komposisi jenis (species),
umur, dan kondisi yang cukup seragam untuk dapat dibedakan dari hutan
Wilayah
Pengelolaan
Provinsi
Wilayah
Pengelolaan
Kabupaten
IUPHHK
Ijin Lain
1. Tata hutan
2. Pemanfaatan
3. Rehabilitasi
4. Perlindungan
5. Konservasi
Unit
Pengelolaan
1. Perencanaan
Kehutanan
2. Pengelolaan
3. Litbang, Diklat
Luh
4. Pengawasan
Pengurusan
Pengelolaan
Kriteria Kelembagaan
Kawasan ada Hak
Kawasan tdk ada Hak
Kawasan Konflik
III
Pokok Bahasan : Review Teori Dasar Pengelolaan Hutan
Tujuan Umum : Memahami dasar-dasar teori yang
berkaitan dengan system pengelolaan hutan
lestari
Tujuan Instruksional Khusus : Selesai mempelajari Bab III, mahasiswa/i
mampu menjelaskan: (1) konsep hutan
seumur, hutan tidak seumur, hutan normal,
riap, rotasi, dan konsep kelestarian.
30. 25 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
atau kelompok tumbuhan lain di sebelah atau sekitar areal tersebut. Tegakan merupakan unit dasar suatu perlakuan silvikultur.
2. Tegakan tidak Seumur (Even-aged stand) adalah tegakan yang terdiri dari pohon-pohon yang berumur sama atau paling tidak berada dalam kelas umur yang sama. Smith (1962) menyebutkan bahwa suatu tegakan dianggap seumur kalau perbedaan umur antara pohon-pohon yang paling tuadan yang paling muda tidak melebihi 20% panjang daur (rotasi).
Sebenarnya dalam hutan yang dipermudakan secara alamsukar sekali dijumpai tegakan yang terdiri dari pohon-pohon yang berumur sama. Oleh karena itu mungkin lebih tepat kalau kita katakana bahwa tegakanseumur adalah tegakan yang terdiri dari pohon-pohon dengan perbedaan umur antara pohon yang paling muda dan yang paling tua yang diperbolehkan adalah 10 sampai 20 tahun. Namun demikian, apabila tegakan tersebut tidak akan ditebang sebelum berumur 100 – 200 tahun, maka perbedaan umur yang diperbolehkan mencapai 25% dari umur daur atau rotasi.
3. Tegakan tidak Seumur (Uneven-aged stand) adalah tegakan yang terdiri dari pohon-pohon dengan perbedaan umur antara pohon yang paling tua dengan pohon yang paling muda paling sedikit sebesar tiga kelas umur. Jadi dalam tegakan tidak seumur terdapat paling sedikit tiga kelas umur.
4. Kelas umur (age class) adalah salah satu dari rangkaian selang (interrval) waktu yang menyusun rentangan umur (life span) pohon hutan. Jadi rentangan umur pohon hutan dibagi ke dalam beb erapa selang waktu . Di Indonesia, biasanya panjang selang waktu tanaman hutan adalah 5 atau 10 tahun. Untuk jenis pohon yang rumbuh cepat panjang selang waktu hanya 1 tahun.
Biasanya tiap jenis pohon ditetapkan panjang selang waktui yang sama. Untuk Albizia falcataria panjang selang waktu ditetapkan 1 tahun, Pinus merkusii 5 tahun, Tectona grandis yang tumbuh lebih lama 10 tahun.
5. Hutan Seumur (Even-aged Forest) adalah hutan yang terdiri atas tegakan- tegakan seumur, meskipun perbedaan umur yang sangat besar (lebih dari ¼
31. 26 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
rotasi) antara pohon-pohon dalam suatu tegakan dengan pohon-pohon dalam tegakan lainnya.
Contoh: Suatu hutan terdiri dari 4 tegakan yaitu A, B, C, dan D. Tiap tegakan tersebutadalah tegakan seumur. Kemudian kita perhatikan bahwa padategakan A terdapat pohopohon yang berumur 60 tahun dan pada tegakan C terdapat pohon-pohon yang berumur 10 tahun. Kalau diketahui pula bahwa hutantersebut mempunyairotasi 80 tahun, apakah hutantersebut masihdapat dikatakan hutan seumur?
Jawabannya adalah benar hutan tersebut adalah hutan seumur. Hal ini disebabkan karena tiap tegakan dalam hutan tersebut adalah tegakan seumur, meskipun perbedan umur antara pohon dalam suatu tegakan dengan pohon dalam tegakan yang lain melebihi ¼ rotasi.
6. Hutan Tidak Seumur (Uneven-aged Forest) adalah hutan yang terdiri dari tegakan-tegakan tidak seumur.
Contoh: Suatu hutan terdiri dari tegakan-tegakan A, B, C, dan D. Hutan tersebut dapat dikatakan tidak seumur kalau tegakan A tidak seumur, tegakan B tidak seumur, tegakan C tidak seumur, dan tegakan D tidak seumur.
7. Dinamika Tegakan. Dinamika suatu tegakan didasarkan atas prinsip-prinsip ekologi yang telah memberikan sumbangan kepada sifat dasar dari tegakan tersebut, seperti suksesi, kompetisi, toleransi,dan konsep zona optimum. Faktor-faktor inilah yang secara lansung mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan dari tegakan yang dibangun. Pertumbuhan tersebut akan mempengaruhi pertumbuhan tinggi, diameter, dan volume dari tegakan yang telah dibangun. Faktor-faktor tersebut selanjutnya akan mempengaruhi apakah tegakan itu tegakan seumur atau tegakan tidak seumur. Tegakan seumur dan tegakan tidak seumur inilah yang menentukan sistem silvikultur yang akan dibangun.
Berikut ini, diuraikan secara singkat tentang prinsip-prinsip ekologi yang telah memberikan sumbangan kepada sifat dasar dari tegakan, yaitu:
a. Suksesi Hutan
32. 27 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
Suksesi tumbuhan adalah pergantian suatu komunitas tanaman pada suatu areal oleh komunitas tanaman lain. Suksesi primer mulai dari permukaan bumi yang tidak ditumbuhi tanaman, kemudian terjadi perkembangan pergantian ke arah yang lebih maju, dan akhirnya mencapai tahap ekspresi ekologi yang paling tinggi yang disebut klimaks. Apabila perjalanan suksesi tadi mundur akibat adanya ganguan seperti api, penebangan oleh peladang berpindah, maka penyembuhan ke arah tahap sebelum datangnya gangguan disebut suksesi sekunder. Suksesi primer terjadi karena adanya pergantian sekelompok spesies oleh yang lainnya yang disebabkan oleh perkembangan dalam ekosistem itu sendiri, sedangkan suksesi sekunder terjadi karena pengaruh kekuatan luar yang meruah ekosistem seperti pengrusakan hutan, dan lain-lain.
Rimbawan pada umumnya mengelola tegakan yang sedang berada dalam perkembangan suksesi sekunder. Malahan banyak spesies pohon-pohon membentuk komponen-komponen tahap perkembanmgan di bawah klimaks, danseringkali usaha utama rimbawan adalah menghalangi tendensi dari suatu komunitas maju ke arah spesies-spesies pembentuk klimaks. Setiap wilayah hutan memiliki ciri-ciri komunitas pohon-pohonan tertentu, dan rimbawan menggunakan praktek-praktek silvikultur untuk mempertahankan suatu tahap perkembangan dalam rentetan perjalanan suksesi sehingga tujuan pengelolaan hutandapat dipenuhi.
b. Kompetisi
Kompetisi adalah suatu proses yang bergerak maju karena setiap spesies memiliki kemampuan yangberbeda dalam suatu lingkungan tertentu, dan spesies yang kurang mampu mengadakan penyesuaian akan hilang dari persaingan.
Agar sukses dalam persaingan, suatu spesies harus memiliki sumber biji yang cukup, tempat perkecambahan biji yang cocok, keadaan pertumbuhan yang cukup, dan tidak memiliki kelemahan utama dalam terhadap serangan penyakit, hama, dan binatang yangdapat merintangi kelansungan hidupnya.
33. 28 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
Dalam proses kompetisi ini, suatu spesies dapat menempatkan dirinya sebagai spesies yang dominan dan bahkan suatu spesies dapat menggantikan spesies lainya sehingga terdapat suatu proses saling ganti mengganti antarberbagai spesies.
c. Toleransi
Suksesi bergerak maju karena spesies yang menyerang lebih mampu bersaing dalam lingkungan yang sedang berubah.
Toleransi dalam kehutanan diartikan sebagai kapasitas relatif suatu pohon untuk bersaing dalam keadaan cahaya yang rendah dan persaingan akar yang tinggi. Pohon-pohon yang toleran memperbanyak diri dan membentuk lapisan tanah bawah tajuk dari pohon-pohon yang kurang toleran dan bahkan di bawah naungannya sendiri. Pohon-pohon yang tidak toleran memperbanyak diri dengan sukses hanya pada daerah-daerah terbuka dimana terdapat tajuk yang terbuka lebar. Tentunya terdapat spesies yang sangat toleran, toleran, tingkat menengah, tidak toleran, dan sangat tidak toleran. Pengetahunamengenai toleransi dan implikasinya terhadap persaingan dan pertumbuhan adalah suatu hal yang mendasar untuk memperoleh sistim silvikultur yang baik dan mendasar pula bagi setiap keputusan kita dalam pengelolan hutan.
d. Zone Optimum
Zone optimum adalah tempat dimana suatu spesies tertentu sering dijumpai pada berbagai macam tanah dan tempat tumbuh (site). Pada tempat tumbuh yang paling baik, spesies tersebut mencapai ukuran, umur, dan berbagai sifat baik yang maksimum. Ukuran, umur, dan sifat-sifat baik tersebut menurun pada zone-zone yang lebih dingin atau lebih panas. Pada zone optimum tersebut spesies yangbersangkutan paling mudah memperbanyak diri. Suatu spesies yang toleran kemungkinan besar akan membentuk suatu klimaks pada zone optimumnya.
34. 29 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
B. Konsep Silviks, Silvikultur, dan Struktur Tegakan
Silviks adalah studi sejarah hidup dan ciri-ciri umum pohon-pohon hutan dan tegakan-tegakan dengan memberikan perhatian utama terhadap faktor- faktor lingkungan sekitarnya.
Silvikultur adalah ilmu dan seni dalam usaha menanam, menumbuhkan, memelihara, memungut hasil, dan melaksanakan permudaan hutan berdasarkan pengetahuan silviks dalam pengelolaan hutan. Dengan kata lain, silvikultur adalah ilmu dan seni penerapan silviks dalam manajemen hutan.
Struktur tegakan adalah susunan tegakan berdasarkan umur, kelas diameter, tajuk, dan kelas pohon lainnya. Dinamika tegakan dituntun oleh prinsip-prinsip ekologi yang memberikan sifat dasar dari tegakan seperti, suksesi, kompetisi, toleransi, dan konsep zona optimum.
Preskripsi silvikultur seyogyanya diberikan setelah kita mengetahui dinamika tegakan serta tipe hutan yang akan dikelola. Terdapat beberapa pandangan pakar tentang sistem silvikultur dalam hubungannya dengan pengelolaan hutan, yaitu:
Sistem silvikultur hendaknya dibuat dimana sistem itu akan digunakan, tidak dirakit dan dibawa dari hutan lain (David, M. Smith, 1986)
Dalam pengelolaan hutan kita tidak dapat menggunakan satu macam sistem silvikultur karena di dalam hutan terdapat fluktuasi (Hendrikson dan K. Sanojea, 1975).
Penggunaan sistem silvikultur yang sederhana memang enak, tetapi jangan sampai hutan alam diganti dengan tegakan sederhana hanya karena tegakan pengganti itu mudah dimengerti (David M Smith, 1986).
Secara umum, sistem silvikultur dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Sistem Silvikultur Tebang Habis
Keuntungan:
Operasi pembalakan terkonsentrasi di areal kecil, tetapi volume kayu besar
Kerusakan akibat pembalakan terhadap tegakan mudah dicegah
Kerusakan pohon akibat tumbang oleh angin dihindari
35. 30 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
Tanaman baru terdiri jenis intoleran, bebas persaingan dengan tegakan tua
Metode sederhana, praktis, dan mudah
Tegakan seumur, murni, dan teratur, tumbuh cepat
Pelaksanaan dengan tumpangsari dapat meningkatkan pendapatan masyarakat di sekitar hutan
Kerugian:
Memusnahkan penutup tanah, iklim mikro berubah, lahan terbuka, gulma tumbuh meluas
Perlindungan terhadap erosi berkurang, juga tanah mudah lonsor terutama pada lapangan miring
Secara estetika kurang baik pemandangannya
Bahaya kebakaran meningkat karena angin dan panas terik
Tidak semua jenis dan ukuran pohon laku dijual
Hutan baru yang seumur dan murni kurang resistent terhadap penyakit, hama, dan kebakaran
Terbentuk humus yang susunanya didominasi oleh unsur tertentu
Unit cost penanaman per ha lebih mahal
b. Sistem Silvikultur Tebang Pilih
Keuntungan:
Perlindungan terhadap tempat tumbuh dan permudaan
Terjadi penutupan tajuk vertikal
Perlindungan terhadap hama dan penyakit
Secara estetika lebih baik
Permudaan alam jenis toleran dipermudah
Penyesuaian dengan situasi pasar kayu
Tegakan tak seumur lebih baik bagi habitat satwa
Menjamin kelestarian produksi pada kawasan kecil
Penjarangan dapat dilakukan simultan dengan pemanenan
Unit cost permudaan per ha lebih murah
36. 31 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
Kerugian:
Produksi kecil, tetapi areal penebangan luas sehingga pengangkutan mahal
Kerusakan terhadap tegakan sisa
Memusnahkan sumber plasma nutfah/genetika yang baik
Bentuk pohon kurang baik karena ruang tumbuh luas pada umur tua
Permudaan jenis toleran lebih banyak dari pada intoleran
Memerlukan kecakapan profesional tinggi dari pelaksana
Tertutup terhadap penggembalaan ternak
Kurang menyerap tenaga kerja dalam operasinya
Permudaan alam lebih sulit diatur, demikian pula tindakan pemeliharaan/pembebasan.
Peran silvikultur dalam pengelolaan hutan adalah adanya keuntungan- keuntungan yang diperoleh dengan tercapainya tujuan-tujuan praktek silvikultur. Praktek silvikultur tersebut berupa:
Pengendalian komposisi tegakan
Pengendalian kerapatan tegakan
Pembangunan areal yang tidak produktif
Perlindungan hutan
Pengendalian rotasi dan siklus tebang
Tercapainya efisiensi kerja
Perlindungan tanah dan manfaat tidak lansung hutan
C. Konsep Riap (Increment)
Riap adalah pertambahan diameter, bidang dasar (basal area), tinggi, volume, mutu, atau nilai suatu pohon atau tegakan selama jangka waktu tertentu. Riap kasar (Gross increment) menunjukkan nilai yang belum dikurangi dengan suatu factor yang disebabkan oleh mortalitas atau kemunduran mutu. Sedang riap netto adalah nilai yang diperoleh setelah pengurangan factor tersebut. Di Indonesia, riap biasanya dinyatakan dalam m3/ha/tahun.
37. 32 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
Riap merupakan tulang punggung ilmu manajemen hutan, yang bertujuan untuk menghasilkan kayu. Tanpa informasi tentang riap, suatu rencana pengelolaan hutan tidak lebih dari sekedar petunjuk untuk menghadapi pekerjaan-pekerjaan di lapangan, dan bukan merupakan suatu rencana yang harus dilaksanakan untuk mencapai tujuan pengelolaan.
Biasanya riap dipakai untuk menyatakan pertambahan volume pohon atau tegakan per satuan waktu tertentu, menyatakan pertambahan nilai tegakan, menyatakan pertambahan diameter atau tinggi pohon setiap tahun. Pada bagian ini, pembicaraan akan dibatasi pada riap pohon dan riap tegakan.
1. Riap Individu Pohon
Untuk individu pohon akan dibahas riap diameter, riap tinggi, dan riap volume.
Riap diameter biasanya diwakili oleh riap diameter stinggi dada. Riap diameter merupakan salah satu komponen yang penting dalam menentukan riap volume. Alat yang paling banyak dipakai untuk mengukur riap diameter adalah “bor riap”. Tetapi alat ini hanya efektif untuk mengukur riap pohon yang mempunyai lingkaran tahun yang jelas. Sebagian besar jenis pohon yang berasal dari hutan tropika basah tidak mempunyai lingkaran tahun yang nyata dan pembentukan lingkaran pertumbuhan tidak berkaitandengan siklus tahunan. Riap diameter tiap tahun dapat dikur dari lebar antara lingkaran tahun tertentu. Lingkaran tahun dapat dipakai juga untuk menghitung umur pohon.
Riap Tinggi juga mempunyai peranan dalam perhitungan ripa volume, terutama untuk tegakan yang masih muda. Ada empat cara untuk menentukan riap tinggi, yaitu:
a. Menaksir atau mengukur panjang ruas tahunan. Cara ini hanya dapat dipakai untuk spesies tertentu saja terutama spesies dari daerah temperate dan boreal.
b. Analisis tinggi (height analysis) terhadap pohon yang ditebang. Dengan menghitung lingkaran tahun pada penampang lintang pohon untuk berbagai ketinggian, akan dapat diketahui pertambahan tinggi selama periode waktu
38. 33 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
tertentu. Cara ini dapat dilakukan untuk semua spesies yang mempunyai lingkaran tahun.
c. Mengukur pertambahan tinggi pohon selama periode waktu tertentu. Pengukuran tinggi dapat menggunakan hypsometer. Cara ini dapat dilakukan untuk semua jenis pohon, tetapi memerlukan waktu yang lama untuk menunggu sampai pada pengukuran yang kedua.
d. Menentukan riap tinggi dengan kurva tinggi. Kurva tinggi untuk semua spesies bergantung pada umur. Sampai umur tertentu, pohon sudah tidak lagi tumbuh meninggi, dan sejak itu volume pohon hanya dipengaruhi oleh riap diameter.
Riap volume pohon adalah pertambahan volume selama jangka waktu tertentu. Dalam teori, riap volume dapat ditentukan secara tepat dengan mengurangi volume pada akhir periode (B) dengan volume pohon tersebut pada awal peroide (A).
2. Riap Tegakan
Riap volume suatu tegakan bergantung pada kepadatan (jumlah) pohon yang menyusun tegakan tersebut (degree of stocking), jenisnya, dan kesuburan tanahnya. Riap volume suatu pohon dapat dilihat dari kecepatan tumbuh diameter, yang setiap jenis, biasanya mempunyai nilai (rate) yang berbeda-beda. Untuk semua jenis pada waktu muda mempunyai kecepatan tumbuh diameter yang tinggi. Kemudian, semakin tua semakin menurun, sampai akhirnya berhenti. Untuk hutan tanaman, biasanya pertumbuhan diameter mengikuti bentuk hurup S (sigmoid), karena pada mulanya tumbuh agak lambat, kemudian cepat, lalu menurun. Lambatnya pertumbuhan diameter pada waktu muda disebabkan oleh perlakuan terhadap tanaman yang rapat, untuk menghindari percabangan yang berlebihan dan penjarangan yang belum memberi hasil (tending thinnings).
Kalau suatu tegakan tidak meriap lagi, maka dikatakan hutan tersebut sudah mencapai klimaks. Jadi mulai saat itu dan seterusnya riap tegakan sudah sama dengan nol. Riap volume suatu tegakan selama satu daur dapat dibedakan atas: riap rata-rata tahunan (Mean Annual Increment = MAI), riap rata-rata
39. 34 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
periodik (Periodic Annual Inbcrement) = PAI), dan riap rata-rata berjalan (Current Annual Increment = CAI).
Contoh: Suatu hutan tanaman pada umur 40 tahun, hutan tersebut mempunyai volume 120 m3/ha, maka sampai umur 40 tahun, hutan tersebut mempunyai MAI = 120/40 = 3 m3/ha/tahun. Kalau pada umur 14 tahun, tanaman mempunyai volume 45 m3/ha, dan pada umur 15 tahun menjadi 49 m3/ha, maka CAI hutan pada umur 15 tahun adalah 49 m3/ha – 45 m3/ha = 4 m3/ha/tahun. Bila pada umur 20 tahun, volume tegakan itu menjadi 66,5 m3/ha, maka PAI tegakan antara umur 15 sampai 20 tahun adalah (66,5 – 49)/5 = 3,5 m3/ha/tahun.
Volume (m3/ha)
MAI
CAI
R maksimum Umur (th)
Gambar 1. Penentuan Panjang Rotasi Berdasarkan Riap Tegakan
Titik potong antar grafik MAI dan CAI merupakan umur sewaktu tegakan mencapai riap volume maksimal. Dalam penentuan daur, umur tersebut ditetapkan sebagai daur volume maksimal.
40. 35 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
Tugas: Uraikan proses/cara perhitungan angka-angka yang tertera pada kolom 5 s/d kolom 11. Kemudian Gambarkan Kurva MAI dan CAI berdasarkan hasil perhitungan tersebut. Apa kesimpulan yang saudara dapatkan dari hasil perhitungan dan kurva tersebut?
Age (a)
Volume
MAI
CAI
Main crop.
Thinngings
Total
Total production
(1)
(2)
(3)
(1)
(2)
(3)
V
T
V + T
V + ΣT
V + ΣT
a
V + T
a
V
a
V”+T”-V’
10
V”+T”-(V’-T’)
10
V”-V’
10
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
30
500
500
500
17
17
17
126
233
260
326
368
363
310
255
192
126
227
224
269
268
234
167
99
120
197
203
226
239
220
174
149
121
40
1700
60
1760
1760
44
44
42
50
3670
360
4030
4090
82
81
73
60
5700
570
6270
6690
111
104
95
70
7960
1000
8960
9950
142
128
114
80
10350
1290
11640
13630
170
145
129
90
12550
1430
13980
17260
192
155
139
100
14290
1360
15650
20360
204
156
143
110
15780
860
16640
22710
206
151
143
120
16990
710
17700
24630
205
147
142
41. 36 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
D. Konsep Hutan Normal
Bersamaan dengan perkembangan konsep kelestarian, sepanjang abad 19 berkembang pula konsep hutan normal, yang kemudian menjadi salah satu instrument untuk melaksanakan pengelolaan hutan.
Lahirnya konsep hutan normal tidak lepas dari harapan setelah pelaksanaan system pengaturan hasil yang paling sederhana yaitu metode annual coupe atau vak-werk (Belanda). Dari sistem pengaturan hasil ini dibayangkan akan terbentuk hutan dengan susunan umur yang teratur.
Hutan normal dapat didefinisikan sebagai hutan yang dapat mencapai dan menjaga derajat kesempurnaan hutan untuk memenuhi ketentuan sesuai dengan tujuan pengelolaan. Secara ideal, hutan normal merupakan tegakan dengan persebaran kelas umur yang merata dan riap yang maksimal. Tebangan tahunan atau priodik pada hakekatnya harus sama dengan riap untuk jangka waktu yang bersangkutan. Dengan demikian, hasil kayu yang maksimal dapat diperoleh sepanjang waktu tanpa membahayakan hasil di masa datang, dan oleh karena itu kelestarian hasil hutan dapat dipertahankan.
Misalkan kelas perusahaan kayu pertukangan dengan luas 500 ha dikelola dengan rotasi 25 tahun. Dengan metode annual coupe, di seluruh kawasan hutan tersebut akan dibuat 25 petak kerja diberi batas dan nomor permanen mulai dari petak 1 sampai 25. Secara skematis pembagian kawasan hutan ke dalam petak-petak kerja tersebut dilukiskan pada Gambar 2.
Setiap tahun akan dilakukan tebangan pada petak kerja secara berurutan, kemudian diikuti dengan permudaan kembali pada tahun berikutnya. Kalau penebangan dimulai pada tahun 2003, maka pada tahun 2028 di seluruh kawasan hutan telah terbentuk hutan-hutan seumur pada setiap petak. Umur tegakan di seluruh kawasan hutan bervariasi dari 1 sampai 25 tahun. Angka- angka yang tertulis di setiap petak kerja pada Gambar 2 menunjukkan umur tegakan di petak yang bersangkutan setelah pelaksanaan tebangan seluas 1 daur.
Susunan tegakan seperti itu, yang terdiri atas berbagai umur yang komplit dari satu tahun sampai umur masak tebang dan luas masing-masing juga sama,
42. 37 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
dapat dilukiskan dalam bagan koordinat yang menghubungkan antara umur dan volume tegakan tiap kelas umur. Lukisan ini digambarkan pada Gambar 3 . Tiap petak dalam Gambar 3 menunjukkan volume tegakan yang dibentuk setelah satu tahun. Oleh karena itu tegakan yang baru berumur satu tahun dilukiskan oleh satu kotak, dan seterusnya sampai tegakan yang berumur 25 tahun dilukiskan oleh 25 kotak pula.
Tahun 2003-2028
1
2
3
4
5
10
9
8
7
6
11
12
13
14
15
20
19
18
17
16
21
22
23
24
25
Tahun 2029-2054
25
24
23
22
21
16
17
18
19
20
15
14
13
12
11
6
7
8
9
10
5
4
3
2
1
Gambar 2. Pembagian Kawasan Hutan Pada Hutan Normal
Dengan melihat susunan kelas umur seperti di atas, maka hutan normal dapat didefinisikan sebagai tegakan yang mempunyai susunan kelas umur yang merata, mulai kelas umur 1 sampai akhir daur, dalam keadaan penuh dan mempunyai kondisi pertumbuhan yang maksimal. Setiap kelompok umur tegakan mempunyai luas atau potensi pertumbuhan normal yang sama sehingga tebangan tahunan selalu menghasilkan kayu yang maksimal dan sama volumenya.
Hutan normal merupakan hutan yang tertata penuh (fully regulated), dan potensi kayunya juga dalam keadaan normal. Disini terkandung pengertian
43. 38 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
bahwa semua individu pohon di dalam hutan normal tersebut dalam keadaan pertumbuhan yang baik dan sehat. Semua pohon memperoleh ruang tumbuh yang optimal, tidak ada yang dalam keadaan tertekan. Hutan dengan potensi kayu yang normal berarti mempunyai kepadatan tegakan maksimal, sesuai dengan tujuan pengelolaan, keadaan tempat tumbuh dan variable hutan lainnya.
Hutan normal akan menjaga pertumbuhan tegakan di masa datang dengan sebaran kelas umur atau kelas diameter pohon serta riap yang sesuai dengan tujuan pengelolaan. Oleh karena itu, kriteria yang menentukan pengertian hutan normal adalah: (1) tendon tegakan normal, (2) sebaran kelas umur normal, dan (3) riap tegakan normal.
Untuk mencapai hutan normal, diperlukan pemilihan yang tepat tentang system pengaturan hasil dan teknik silvikultur yang akan dipakai. Perlakuan silvikultur untuk memelihara tegakan harus direncanakan pada waktu yang tepat dan dengan cara yang memadai, sehingga setiap tempat tumbuh atau kelompok hutan akan dalam keadaan penuh oleh jenis yang cocok dengan kondisi tempat tumbuh tersebut. Tegakan akan dijarangi secara periodik utuk memberikan ruang tumbuh yang optimal bagi tegakan tinggal, dan untuk mencapai riap yang maksimal sesuai dengan dimensi kayu atau umur yang diperlukan oleh tujuan pengelolaan tertentu.
Dalam kenyataan, hutan normal yang ideal seperti itu sebenarnya tidak pernah dapat dicapai, walaupun dengan biaya yang mahal dan usaha yang maksimal sekalipun. Oleh karena itu, hutan normal sebagai alat untuk mencapai keuntungan yang optimal tidak lagi dipegang teguh secara kaku. Untuk menghindari ketidak luwesan konsep hutan normal tersebut, Davis (1966) memperkenalkan istilah yang lebih fleksibel, yaitu hutan dalam keadaan tendon penuh (full-stocked forest). Suatu table hasil dapat dibuat untuk melukiskan perkembangan volume standar suatu tegakan yang dalam keadaan penuh. Bukan volume maksimal sebagaimana pendapat umum selama ini.
44. 39 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Umur
Gambar 3. Susunan Kelas Umur Tegakan Hutan Normal
Untuk system pengelolaan hutan yang lebih intensif, istilah yang dipakai adalah hutan yang tertata penuh (fully-regulated forest) . Dalam hal ini, hutan dengan tendon penuh diharapkan dapat dicapai pada suatu waktu tertentu, khususnya pada akhir daur. Selama jangka waktu satu daur tersebut, hutan
Volume (m3/ha)
45. 40 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
dapat dikelola dengan teratur untuk memperoleh manfaat hutan yang maksimal sesuai dengan kebutuhan dan keadaan setempat.
E. Konsep Rotasi
1. Pengertian
Rotasi adalah jangka waktu dalam tahun yang diperlukan oleh suatu jenis tanaman untuk mencapai umur masak tebang, dihitung sejak jenis tersebut ditanam. Nampak dari definisi tersebut bahwa konsep rotasi dipakai untuk pengelolaan hutan dengan tujuan menghasilkan kayu dari tegakan seumur. Untuk tegakan tidak seumur, istilah yang dipakai untuk arti yang sama dengan rotasi adalah siklustebangan (cutting cycle). Istilah yang bersifat umum untuk mengganti dua istilah tersebut adalah daur.
2. Macam-Macam Daur
Dalam pengelolaan hutan seumur, menentukan panjang rotasi mempunyai peranan yang sangat penting karena berpengaruh terhadap efisiensi dan efektifitas tujuan pengelolaan. Pada buku-buku teks kehutanan klassik, selalu disebutkan ada enam macam kriteria untuk menentukan panjang rotasi, yang kemudian menunjukkan nama daur yang bersangkutan, yaitu:
a. Daur Fisik, yaitu daur yang berimpitan dengan kemampuan suatu jenis untuk dapat bertahan hidup secara alami. Kadang-kadang juga diartikan atau disamakan dengan waktu sampai suatu jenis masih mampu untuk menghasilkan biji yang dapat tumbuh menjadi anakan yang sehat.
Definisi tersebut menunjukkan bahwa daur fisik sama sekali tidak berkaitan dengan masalah ekonomi. Daur fisik jenis pohon hutan umumnya sangat panjang dan karena itu tidak mempunyai nilai praktis. Jelasnya, daur yang dipakai untuk suatu jenis tertentu tidak lebi panjang dari daur fisiknya.
b. Daur Silviukultur, yaitu jangka waktu yang diperlukan oleh suatu jenis pohon utuk mulai dapat melakukan permudaan kembali dengan baik. Apabila jenis tersebut biasa melakukan permudaan dengan biji, maka daur silvikultur
46. 41 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
berarti jangka waktu yang diperlukan oleh jenis tersebut untuk mulai menghasilkan biji yang dapat digunakan untuk permudaan kembali. Jadi kebalikan dari daur fisik, maka daur silvikultur merupakan batas terendah yang digunakan sebagai pertimbangan dalam menentukan daur suatu jenis pohon. Daur suatu jenis tidak boleh lebih pendek dari daur silvikulturnya.
Bagaimana bila cara permudaan dengan kultur jaringan? Maka praktis daur silvikultur menjadi tidak mempunyai arti lagi.
c. Daur Teknik, yaitu umur pada waktu suatu jenis yang diusahakan sudah dapat menghasilkan kayu yang dapat digunakan untuk tujuan tertentu. Jadi bergantung pada tujuan pengusahaannya, jenis daur ini dapat panjang atau pendek. Misalnya, daur untuk kayu bakar dan pulp pada umumnya pendek, tetapi daur untuk kayu pertukangan seringkali amat panjang.
d. Daur Volume Maksimum, yaitu umur tegakan dimana hasil kayu tahunan mencapai volume yang tertinggi. Disini tidak hanya dihitung hasil dari tebangan akhir saja tetapi juga termasuk seluruh hasil penjarangan yang pernah dilakukan sampai umur tersebut. Daur hasil kayu maksimum ini merupakan konsep daur yang paling penting yang mempunyai nilai praktis, dan paling banyak dipakai di lapangan. Panjang daur volume maksimum tercapai pada saat umur tegakan dimana terjadi perpotongan antara kurva riap rata-rata tahunan (MAI) dan CAI (lihat Gambar 1).
e. Daur pendapatan maksimum, juga dinamakan daur rente hutan maksimum (the highest forest rental). Pada umur tersebut suatu hutan tanaman akan menghasilkan pendapatan bersih maksimum. Rara-rata pendapatan bersih tahunan dapat dihitung dengan rumus:
FR = Yr + ΣTr – C – r.a
r
Dimana: FR = rata-rata pendapatan tahunan bersih (Rp/ha/tahun)
Yr = Nilai hasil tebangan akhir pada umur daur (Rp/ha)
Tr = Nilai hasil penjarangan sampai akhir daur (Rp/ha)
C = biaya pembuatan tanaman (Rp/ha)
r = panjang rotasi (tahun)
a = biaya administrasi rata-rata (Rp/ha/tahun)
47. 42 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
Karena dasar perhitungannya adalah hasil kayu, maka panjang daur ini hampir sama dengan panjang daur volume maksimum. Bedanya adalah variasi harga kayu.
Contoh: Perhitungan Rata-rata Pendapatan Tahunan bersih (Annual Forest Rent), dari Tegakan Seumur Pinus dengan site Indeks 100.
Umur (th)
Nilai Tegakan Kotor ($)
Biaya Pembangunan Hutan ($)*
Nila Bersih Tegakan ($/acre)
Forest Rent ($/acre)
20
22
40
-18
-0,9
30
174
53
121
4,0
40
510
66
444
11,1
50
721
79
642
12,8
60
834
92
742
12,4
70
918
105
813
11,6
80
993
118
875
10,9
Keterangan: Biaya pembangunan hutan terdiri atas biaya pembangunan pada tahun pertama sebesar $ 14/acre, dan biaya pemeliharaan sebesar $1,3/acre/tahun
f. Daur keuntungan maksimum disebut juga daur financial, yaitu umur tebangan hutan tanaman yang dapat menghasilkan keuntungan tertinggi dalam nilai uang. Di kehutanan, keuntungan dapat dilihat dari dua sudut pandang yang berbeda, yaitu dari nilai harapan lahan (Land /expectation Value = LEV) dan dari hasil finansial.
Nilai harapan lahan adalah nilai yang didasarkan pada pendapatan bersih yang dapat diperoleh dari suatu lahan, dihitung pada tingkat bunga tertentu. Di Kehutanan, pendapatan tidak diperoleh pada setiap tahun, melainkan secara periodik pada tahun-tahun tertentu. Oleh karena itu, pendapatan untuk waktu yang akan datang perlu didiskon pada tahun perhitungan. Rumus untuk perhitungan ini, pertama kali dikemukakan oleh Faustman pada tahun 1849. Rumus tersebut adalah sebagai berikut:
48. 43 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
Yr + Ta (1 + i)r-a + Tb (1 + i)r-a + I [ (1 + i)r – 1] – C (1 + i)r-a – Sa (1 + i)r-a – e [ (1 + i)r – 1]
i i
LEV =
(1 + i)r – 1
dimana:
LEV = nilai harapan lahan
Yr = pendapatan pada umur rotasi (Rp/ha)
Ta, Tb, dst = nilai bersih penjarangan pada tahun ke-a, tahun ke-b, dst.
I = Pendapatan tahunan yang diperoleh dari perumputan, perburuan, dll.
C = Biaya pembangunan hutan pada tahun ke-a
Sa, Sb, dst = Biaya pemeliharaan pada tahun ke-a, tahun ke-b, dst.
e = Biaya tahunan, seperti pajak, administrasi, dll.
r = panjang rotasi
i = suku bunga
Rumus Faustman tersebut di atas, sekarang banyak dimodifikasi, sehingga lahir rumus baru yang dapat disebut rumus “Neo- Faustman”, seperti rumus tanah kosong, rumus biaya pemeliharaan tegakan terkecil, dan rumus nilai jual maksimum.
49. 44 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
Contoh: Perhitungan LEV dari Tegakan Seumur Pinus dengan site Indeks 100, Suku bunga 3% (Davis, 1966, halaman 239).
Umur Tegakan (th)
Biaya Pembangunan Tegakan ($)
Biaya Tahunan ($)
Biaya Total pada Umur Rotasi ($)
Pendapatan Total pada Umur Rotasi ($)
Pendapatan Bersih pada Umur Rotasi ($)
Nilai Harapan Lahan (LEV)
Tahun Pertama
Nilai Biaya pada umur rotasi (setelah dikompound)
Biaya Tahunan
Nilai Biaya Tahunan pada umur rotasi (setelah dikompound)
(a)
(b)
(c)
(d)
(e)
(f)
(g)
(h)
(i)
(a) (1 + i)r-1
(d) (1 + i )r – 1
i
(c) + (e)
(g) – (f)
(h)
--------------
(1 + i)r – 1
20
14
24.55
1.3
34.93
59
22
37
46
30
14
32,99
1.3
61.85
95
174
79
55
40
14
44.34
1.3
98.02
142
510
368
163
50
14
59.59
1.3
146.64
206
721
515
152
60
14
80.08
1.3
211.97
292
834
542
111
70
14
107.62
1.3
299.77
407
918
511
74
80
14
144.63
1.3
417.77
562
993
431
45
50. 45 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
3. Menentukan Daur Sebelum menentukan panjang daur yang akan dipakai untuk suatu kelas perusahaan, perlu ditetapkan terlebih dahulu jenis daur mana yang akan dianut. Hal ini tentu saja berkaitan erat dengan tujuan pengelolaan. Secara garis besar, pertimbangan-pertimbanan memilih tipe daur dalam hubungannya dengan tujuan pengelolaan adalah sebagai berikut:
Bila tujuan pengelolaan lebih mengutamakan perolehan manfaat non- ekonomi dari hutan (mengatur supply jasa hutan) seperti, satwa liar, rekreasi, dan lain-lain semacam itu, maka daur silvikultur dan daur fisik akan lebih baik.
Bila tujuan pengelolaan dititikberatkan untuk menghasilkan kayu, baik kayu pertukangan maupun kayu bakar, daur teknik dan daur volume maksimum akan merupakan alternatif yang paling tepat.
Untuk tujuan pengelolaan yang mengutamakan keuntungan dalam nilai uang (untuk mengatur pengembalian uang), digunakan rotasi pendapatan maksimum atau daur finansial.
Disamping tujuan pengelolaan, panjang daur juga ditentukan oleh faktor- faktor antara lain: besarnya riap atau percepatan pertumbuhan pohon penyusun tegakan, tujuan akhir penggunaan kayu, kondisi tapak hutan, dan jenis pohon yang ditanam. Davis (1966) mengklasifikasi beberapa faktor yang berpengaruh terhadap panjang daur ke dalam dua kelompok yaitu faktor fisik dan faktor financial, yaitu,
Jenis produk apa yang diperlukan atau yang dapat dijual dengan keuntungan tertinggi (aspek demand).
Produktifitas hutan, atau apa yang dapat ditanam (aspek supply).
Dalam klasifikasi tersebut, biaya maupun penghasilan dimasukkan ke dalam dua kelompok itu (fisik dan finansial) yang harus diintegrasikan yang kemudian daur ditentukan sesuai dengan tujuan pengelolaan hutan. Dalam hal ini, tiga faktor yang harus diperhatikan, yaitu:
51. 46 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
nilai produk, berkaitan dengan ukuran dan kualitas yang menguntungkan untuk dijual, (tapi nilai di sini terlepas dari nilai financial) dan pada umur berapa akan diperoleh nilai tertinggi pada suatu tujuan pengelolaan tertentu.
Faktor hutan, yang mencakup: physical produvtivity (site indeks), pathological factors, entomological factor, silvicultural factor.
Pandangan ekonomi, yaitu keberartian waktu (terkait dengan aspek financial).
F. Konsep Kelestarian 1. Karakterisitik Sumberdaya Hutan Hutan pada dasarnya mempunyai dua sisi yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain, yaitu hutan sebagai sumberdaya alam dan hutan sebagai suatu ekosistem. Hutan sebagai sumberdaya alam, dengan karakteristik, dapat diperbaharui, mempunyai fungsi manfaat serbaguna (multi use resources), bergam antara satu tempat dengan tempat lainnya (divers), potensial (berukuran besar, sebagai populasi). Sedangkan hutan sebagai ekosistem, dengan karaktersitik, sangat kompleks, bersifat labil (mudah terpengaruh oleh peruahan), dan beragam (divers). Dengan demikian, dalam memanfaatkan hutan untuk memenuhi kebutuhan manusia dan pembangunan, maka karakteristik atau sifat hutan sebagai sumberdaya alam dan ekosistem harus menjadi pertimbangan utama secara proporsional. Pertumbuhan penduduk yang pesat, menyebabkan kebutuhan terhadap lahan dan hasil hutan juga meningkat. Peningkatan ini tidak hanya dalam jumlah (kuantitasnya), tetapi juga dalam jenisnya serta kualitasnya. Untuk dapat memenuhi meningkatnya kebutuhan akan hasil-manfaat tersebut, maka intensifikasi dan cara-cara pemanfaatan hutan juga harus ditingkatkan. Dalam waktu yang bersamaan terdapat perkembangan global yang menyertainya. 2. Konsep Kelestarian
Pada kondisi seperti diuraikan di atas, dengan mempertimbangkan sifat- sifat hutan (sebagai SDA dan sebagai ekosistem) maka dikembangkan suatu
52. 47 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
prinsip dasar dalam pemanfaatan hutan yang dikenal sebagai Prinsip Kelestarian (Sustainable Principle). Berdasarkan perkembangannya, dikenal dua prinsip kelestarian, yaitu: prinsip hasil (yield principle), dan prinsip manajemen (management principle). 1. Prinsip Hasil (yield principle) Prinsip ini dikembangkan untuk pertama kalinya dalam pengelolaan hutan di Jerman, dimana dalam mewujudkan pemenuhan kebutuhan akan hasil dan manfaat hutan yang terus meningkat, maka hasil-manfaat hutan merupakan dasar utama pengelolaan hutan. Dengan demikian, prinsip hasil adalah prinsip dalam pengelolaan hutan yang mendasarkan pada pertimbangan hasil yang diperoleh dari hutan sebagai dasar utamanya. Dalam sejarah pengetrapannya, terdapat beberapa bentuk prinsip hasil, yaitu:
a. Prinsip hasil yang lestari (sustainable yield principle)
Pengelolaan hutan dengan prinsip hasil lestari mengupayakan hasil (yield) yang diperoleh dari hutan kurang lebih sama dari waktu ke waktu (tahun ke tahun atau rotasi ke rotasi). Prinsip ini dapat dicapai apabila terdapat keseimbangan antara riap (increment) dari tegakan hutan dengan pemanenannya (harvesting). Keseimbangan ini merupakan persyaratan minimal yang harus dipenuhi untuk mewujudkan kelestarian hasil. Dengan demikian, masukan yang sangat penting dan mendasar untuk mewujudkan tercapainya prinsip kelestarian hasil adalah besarnya riap. Riap adalah besarnya pertambahan tumbuh dimensi pohon-tegakan (diameter, tinggi, volume) menurut ruang dan waktu. Satuan yang sering digunakan dalam menyatakan riap adalah m3/ha/tahun. Terdapat banyak cara untuk mengukur besarnya riap tegakan, salah satu yang sering dipergunakan adalah dengan melakukan pengamatan-pengukuran secara berurutan (continuous forest measurement) pada plot permanent (Petak Ukur Permanen = PUP).
53. 48 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
Sehubungan dengan riap tegakan sebagai masukan yang mendasar dalam mewujudkan kelestarian hasil, maka setiap HPH diharuskan membuat PUP di areal bekas tebangan. Dengan mengetahui riap tegakan tinggal, maka dapat ditentukan besarnya jangka waktu rotasi tebangan (cutting cycle) dan besarnya jatah tebang tahunan (JTT = AAC) pada rotasi kedua.
b. Prinsip hasil yang selalu meningkat (progressive yield principle)
Disamping hasil yang diperoleh dari hutan (utamanya kayu) berlangsung kurang lebih sama dari waktu ke waktu, pengelola hutan berupaya lebih lanjut untuk meningkatkan hasil yang diperoleh dari hutan dari waktu ke waktu. Jadi bersifat progressif. Dengan demikian, prinsip hasil yang selalu meningkat adalah prinsip pengelolaan hutan yang mengupayakan hasil yang akan diperoleh dari hutan akan terus meningkat dari waktu ke waktu (tahun ke tahun, rotasi ke rotasi). Prinsip ini dapat dicapai dengan meningkatkan potensi tegakan per satuan luasnya, atau dengan kata lain riap tegakan harus ditingkatkan per satuan luas per satuan waktu, melalui:
1) Penerapan teknik silvikultur yang tepat, misalnya melalui penjarangan (thinning) yang tepat, pemupukan, dll.
2) Pemilihan bibit unggul melalui program-program kultur jaringan (tissue culture), pemuliaan pohon (tree improvement), dan rekayasa teknologi biologi (biotechnology).
c. Prinsip hasil yang maksimal (maximum yield principle)
Dengan semakin meningkatnya kebutuhan terhadap hasil hutan, maka upaya untuk mendapatkan hasil secara progressif masih belum dapat memenuhi kebutuhan tersebut. Pada saat yang bersamaan teknologi pemanfaatan hasil hutan juga mengalami peningkatan, yang ditopang dengan berkembangnya IPTEKS pemanfaatan hasil hutan.
Melalui teknologi pemanfatan hasil hutan, yaitu memproses-mengolah hasil hutan menjadi produk jadi atau setengah jadi, diharapkan nilai dari hasil
54. 49 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
hutan akan meningkat dan maksimal. Dengan demikian, prinsip hasil maksimal adalah prinsip pengelolaan hutan yang mengupayakan diperolehnya nilai maksimal dari sumberdaya hutan. Untuk mendapatkan nilai maksimal tersebut, beberapa upaya yang dapat dilakukan adalah:
1) industrialisasi pengolahan hasil hutan untuk mendapatkan nilai tambah (value added).
2) Intensifikasi pemanfaatan hasil hutan sehingga diperoleh volume hasil hutan yang lebih besar (memperkecil volume limbah)
3) Diversifikasi pemanfaatan hasil hutan
Dengan demikian, prinsip ini menekankan pada peningkatan nilai dibanding peningkatan produksi hasil hutan. 2. Prinsip Manajemen Hutan Lestari (Sustainabel Forest Management) Pengelolaan hutan seyogyanya tidak hanya mempertimbangkan kelestarian hasil tetapi harus pula mempertimbangkan dampak dari pemanfatan hasil tersebut. Oleh karenanya, pengelolaan hutan mempunyai dimensi yang lebih luas (multidimentional principle). Berbeda dengan prinsip kelestarian hasil, prinsip pengelolaan hutan secaralestari perlu dan harus mempertimbangkan aspek-aspek yang lebih luas, yaitu:
a. Kelestarian sumberdaya hutan (resource security)
b. Kelestarian produksi (cointinuity of production)
c. Kelestarian lingkungan (environment)
d. Kelestarian keanekaragaman hayati (biodiversity)
e. Kelestarian sosekbud masyarakaty (socio-economic and culute)
Dengan demikian, pada prinsip manajemen, aspek kelestarian hasil merupakan salah satu bagian saja dari kegiatan pengelolaan hutan. Untuk
55. 50 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
mewujudkan kelestarian pemanfaatan hutan, semua aspek di atas harus dipertimbangkan secara komprehensif. 3.6 Bahan Disuksi 3.7 Bacaan/Rujukan: Davis, K.P. 1978; Lawrence. S. D., K.N. Johnson. 1987; Leuschener. W. A. 1984; Junus. M. 1984; Jerram. M.R.K. 1980. 3.8 Latihan Soal-Soal
56. 51 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
BAB
PRESKRIPSI PENGELOLAAN HUTAN
A. Pengertian Preskripsi Pengelolaan Hutan
Preskripsi pengelolaan hutan adalah seperangkat kegiatan yang
diimplementasikan pada suatu tegakan untuk mencapai hasil tertentu yang
diinginkan. Penanaman, penjarangan, permudaan, pemanenan, pemupukan,
dan lain-lain adalah contoh kegiatan yang dilakukan untuk mendapatkan struktur
vegetasi dan hasil kayu yang diinginkan.
Membangun, menilai, dan mengaplikasikan preskripsi-preskripsi pada
suatu tegakan adalah aktivitas utama yang dilakukan oleh professional
kehutanan dimana pada aktivitas tersebut teori-teori dan prinsip-prinsip
pengelolaan hutan diaplikasikan dalam dunia nyata.
Wilayah
Pengelolaan
Provinsi
Wilayah
Pengelolaan
Kabupaten
IUPHHK
Ijin Lain
1. Tata hutan
2. Pemanfaatan
3. Rehabilitasi
4. Perlindungan
5. Konservasi
Unit
Pengelolaan
1. Perencanaan
Kehutanan
2. Pengelolaan
3. Litbang, Diklat
Luh
4. Pengawasan
Pengurusan
Pengelolaan
Kriteria Kelembagaan
Kawasan ada Hak
Kawasan tdk ada Hak
Kawasan Konflik
IV
Pokok Bahasan : Preskripsi Pengelolaan Hutan
Tujuan Umum : Menganalisis preskripsi pengelolaan hutan.
Tujuan Instruksional Khusus : Selesai mempelajari Bab IV, mahasiswa/i
mampu: (1) menjelaskan tiga elemen dasar
membangun preskripsi pengelolaan hutan,
(2) membangun, menilai, dan
mengaplikasikan preskripsi-preskripsi
pengelolaan pada suatu tegakan
57. 52 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
Pengembangan preskripsi telah dilakukan dalam perencanaan pengelolaan hutan saat ini. Preksripsi tertentu yang diterapkan pada suatu tipe lahan bersama-sama dengan prediksi hasil secara kuantitatif dan perkiraan hasil yang lain apabila preskripsi tersebut diimplementasikan merupakan building block dari model perencanaan dan skedul pembangunan hutan moderen yang sebenarnya. Perumusan preskripsi perlu mengintegrasikan strategi klassifikasi lahan, pengetahuan dasar dan aplikasi silvikultur, teknik-teknik prediksi pertumbuhan, nilai-nilai ekonomi, dan terknik analisis pengambilan keputusan dari ahli ekonomi manajemen. Contoh: Terdapat penggergajian kayu kecil, tegakan campuran pinus pada tanah yang peka erosi, kelerengan kurang dari 30%, site indeks lebih besar dari 100, dan basal area lebih besar dari 200 ft2 per acre, eksploitasi menggunakan traktor, melakukan penjarangan komersial untuk menurunkan basal area menjadi 140 ft2 per acre, rotasi 30 tahun, melakukan regenerasi dengan jenis Dougles-fir. Prediksi hasil dari kegiatan regenerasi ini adalah 15.000 board feet (Mbd ft) sawn timber dan 600 ft3 kayu pulp hasil penjarangan, 34 Mbd ft sawn timber dan 1.200 ft3 kayu pulp dari hasil tebangan akhir pada tegakan yang ada saat ini, dan 64 Mbd ft pada tebangan akhir dari hasil regenerasi. Preskripsi pengelolaan hutan yang baik harus berpedoman pada empat hal yaitu:
1. Keutuhan dan kelanjutan ekologi.
Preskripsi pengelolaan hutan harus mepertimbagkan berbagai fungsi lingkungan maupun jasa-jasa yang diberikan oleh hutan antara lain, pemeliharaan keanekaragaman hayati hutan, perlindungan daerah aliran sungai, pemeliharaan fungsi daur ulang zat hara yang penting, perlindungan iklim mikro dan iklim setempat, dan lain-lain.
2. Penggunaan produk dan jasa hutan oleh manusia secara berkelanjutan dan adil.
Preskripsi pengelolaan hutan mempertimbangkan ciri-ciri ekologi, faktor- faktor sosial dan demografi, serta potensi ekonomi pada setiap unit manajemen. Biaya-biaya dan manfaat-manfaat ekonomi baik perlindungan
58. 53 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
maupun produksi hutan sama-sama dipikul masyarakat setempat, sektor swasta, dan pemerintah.
3. Pengelolaan terpadu pada skala yang tepat.
Hutan dikelola dalam suatu kerangka perencanaan wilayah, pengambilan keputusan dan pengelolaan yang memperhitungkan permukiman manusia di sekitarnya, tanah-tanah pertanian, dan berbagai macam kegiatan ekonomi. Pertimbangan-pertimbangan ekologi dan sosial menentukan ukuran wilayah pengelolaan. Pemerintah, masyarakat, swasta, dan kepentingan-kepentingan lain bersama-sama merumuskan pilihan-pilihan pengelolaan untuk memenuhi kebutuhan manusia secara berkelanjutan baik pada kawasan hutan maupun pada lahan-lahan masyarakat dan mengatasi masalah-masalah penggunaan lahan. 4. Keikutsertaan yang adil dan bijaksana oleh semua pihak yang berkepentingan. Memberikan kewenangan dan hak atas informasi dan partisipasi kepada semua pihak yang berkepentingan dalam proses perumusan keputusan- keputusan pengelolaan dan kebijakan kehutanan. B. Elemen-elemen Dasar Membangun Preskripsi Pengelolaan Hutan Pernyataan pada uraian Bagian A menggambarkan tiga elemen esensial dari preskripsi pada suatu lahan hutan, yaitu:
1. Klasifikasi Lahan (Land – type Classification)
Klassifikasi lahan menggambarkan paket atau tipe-tipe lahan menurut lokasi, potensi tegakan, kerapatan, jenis, tanah, kelerengan, dan atribut-atribut lahan yang lain. Disini kita membuat keputusan tentang keseragaman (homogenitas) dan keberagaman (heterogenitas) lahan/wilayah.
Mengklasifikasi lahan ke dalam unit-unit pengelolaan yang homogen memungkinkan kita untuk menggeneralisir hasil antara areal yang diamati
59. 54 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
dan dipelajari dengan areal yang tidak diamati tetapi mempunyai kondisi yang sama dengan areal yang diamati. Untuk mendapatkan areal yang homogen perlu mempertimbangkan tidak hanya karakteristik fisik dan vegetasi, tetapi juga karakteristik pembangunan Contoh: Areal hutan seluas 1000 acre, dengan karakteristik sebagai berikut: a. Karakteristik fisik: 1) kelerengan (2 kelas), yaitu: moderate (0 – 30%) curam (> 30%) 2) wilayah DAS (2 kelas) Elk creek Fish creek b. araktersitik vegetasi 1) Penutupan lahan (3 kelas) soft woods hard woods Grasses 2) Potensi tegakan (2 kelas) diameter rata-rata < 14 inci diameter rata-rata > 1 inci c. Karakteristik pembangunan 1) Jarak dari jalan raya (2 kelas) < 200 ft dari jalan > 200 ft dari jalan Karakteristik tersebut dapat dilihat pada Gambar 4, 5 dan Gambar 6.
60. 55 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
61. 56 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
Dengan karakteristik tersebut di atas:
a. Berapa unit manajemen homogen yang dapat anda bangun? Untuk
menjawab pertanyaan ini, anda harus melakukan overlay Gambar 4, Gambar
5, dan Gambar 6. Hasilnya disajikan pada Gambar 7.
62. 57 | B u k u A j a r M a n a j e m e n H u t a n
b. Dari sejumlah unit manajemen homogen yang anda dapatkan pada soal a,
berapa unit manajemen yang secara aktual dapat dikelola? Kenapa?
c. Bagaimana preskripsi pengelolaan unit manajemen yang anda telah bangun?
2. Skedule kegiatan (Management activity schedule)
Skedule kegiatan menggambarkan tata waktu (timing), metode, dan kondisi-kondisi
terhadap vegetasi dan sumberdaya yang lain yang akan dimanipulasi
atau diperlakukan untuk mencapai hasil yang diinginkan, mencakup: aturan-aturan
eksploitasi (logging rules), schedule penjarangan dan pemanenan
hasil (timber thinning and harvest schedule), dan teknik regenerasi
(regeneration technique for the next tree crop).
3. Prediksi Pertumbuhan dan Hasil (Quantitiative growth and yield projection),
Hal ini menggambarkan secara numeric berapa banyak kayu yang
diharapkan dari penebangan komersial khususnya volume yang akan
ditebang pada penjarangan dan tebangan akhir dari tegakan yang ada
sekarang dan tegakan berikutnya dari hasil regenerasi.