1. Renungan ini membahas tentang pentingnya mengakui dosa dan memohon ampunan kepada Allah. Penyair Arab Abu Nawas dikutip sebagai contoh yang jujur mengakui dosanya dan memohon ampunan.
2. Penulis menyadari bahwa seringkali manusia tidak menyadari dosa-dosa yang dilakukan dan enggan mengakuinya serta meminta maaf. Hal ini mirip sifat Iblis yang sombong dan enggan taat kepada Allah.
Amalan doa;H.DADANG DJOKO KARYANTO; Sebagai langkah yang baik dalam mengawali suatu kegiatan dan tekat untuk kebaikan dunia dan akhirat. Sengaja di share agar bermanfaat bagi yang membutuhkan, amin, "BERBAGI ILMU ADALAH INDAH".
Kematian hanyalah perubahan suasana saja, sedangkan ruh manusia setelah berpisah dari jasad akan tetap kekal, adakalanya dalam kungkungan azab dan ada kalanya dalam kenikmatan
Amalan doa;H.DADANG DJOKO KARYANTO; Sebagai langkah yang baik dalam mengawali suatu kegiatan dan tekat untuk kebaikan dunia dan akhirat. Sengaja di share agar bermanfaat bagi yang membutuhkan, amin, "BERBAGI ILMU ADALAH INDAH".
Kematian hanyalah perubahan suasana saja, sedangkan ruh manusia setelah berpisah dari jasad akan tetap kekal, adakalanya dalam kungkungan azab dan ada kalanya dalam kenikmatan
Ibrahim ibn Adham, ketika menjawab pertanyaan penduduk Basrah, “kenapa doa-doa kami tak pernah dikabulkan oleh Allah?” Beliau menyatakan bahwa ada sepuluh persoalan yang menjadi penyebab tidak terkabulnya serangkain doa, salah satu di antaranya yang terpenting adalah: “banyak memakan nikmat Tuhanmu, akan tetapi tidak mensyukurinya”.
Mengedepankan wacana tentang Edmund Husserl tidak boleh tidak harus menyentuh core ideanya tentang filsafat, yaitu “Fenomenologi”, sebab dialah yang – paling tidak hingga saat ini – dianggap sebagai pendiri aliran pemikiran ini. Bertens, dalam salah satu tulisannya, menyatakan bahwa selaku pendiri aliran fenomenologi, Husserl telah mempengaruhi filsafat abad kita ini secara amat mendalam.[1] Sebegitu mendalamnya pengaruh pemikiran Edmund Husserl terhadap pemikiran filsafat abad ini, Delfgaauw, seorang filosof Belanda, bahkan dengan tegas menyatakan bahwa filsafat jaman kita (ini) dipengaruhi secara mendalam oleh fenomenologi yang diajarkan oleh Edmund Husserl (1859-1938).[2]
Bahagia dalam kehidupan dunia adalah dambaan setiap insan. Jika dia orang yang beriman, maka dia juga berharap bisa meraih kebahagiaan abadi di akhirat. Namun, tidak semua orang yang berkeinginan baik bisa meraih impiannya. Salah satu dari sekian banyak orang yang bisa meraih kebahagiaan abadi di akhirat adalah al-Mukhbitûn. Siapakah mereka? Apakah kriteria-kriteria mereka?
TAWAKKAL adalah sebuah sikap yang – seharusnya – dipilih oleh setiap muslim, di mana pun, kapan pun dan dalam situasi dan kondisi apa pun. Tetapi, ternyata untuk memilihnya tidak semudah yang kita katakan. Selalu saja ada kendala yang menjadikan diri kita tak mampu bersikap tawakkal. Bahkan, karena kesalahfahaman kita terhadap makna tawakkal, bukan tidak mungkin ‘kita’ akan terjebak pada sikap yang salah.
Pada bulan Muharram ada satu hari yang dikenal dengan sebutan hari ‘Asyura. Orang-orang jahiliyah pada masa pra Islam dan bangsa Yahudi sangat memuliakan hari ini. Hal tersebut karena pada hari ini Allah Subhânahu Wa Ta’âlâ menyelamatkan Nabi Musa ’alaihis salâm dari kejaran Fir’aun dan bala tentaranya. Bersyukur atas karunia Allah Subhânahu Wa Ta’âlâ kepadanya, Nabi Musa ’alaihis salâm akhirnya berpuasa pada hari ini. Tatkala sampai berita ini kepada Nabi kita (Muhammad) shallallâhu ‘alaihi wa sallam, melalui orang-orang Yahudi yang tinggal di Madinah beliau bersabda, فَأَنَا أَحَقُّ بِمُوْسَى مِنْكُمْ (Saya lebih berhak mengikuti Musa dari kalian [kaum Yahudi]).
Pesan moral dari kisah ashhabul kahfi.pdf (muhsin hariyanto)Muhsin Hariyanto
Kisah-kisah dalam al-Quran, dalam pandangan para mufassir, selalu mengisyaratkan ‘ibrah yang sarat makna. Setiap pembaca kisah ini, bahkan mungkin akan menangkap isyarat yang berbeda-beda, karena kemampuan mereka yang tidak sama, atau karena mereka memiliki sudut-pandang yang berbeda terhadap kisah-kisah itu. Tak terkecuali terhadap kisah Ash-hâbul Kahfi. Kisah ini, menurut para mufassir sangat sarat dengan pesan moral. Dan siapa pun yang bisa membaca isyarat pesan moral di dalamnya akan mampu bercerita kembali dengan berbagai perspektif.
1. 1
Renungan Subuh: “I’tirâf1
Yang Tertunda”2
BERKALI-KALI kucermati satu pernyataan populer dari seorang
penyair ‘bijak’ dari dunia Arab, yang terkenal dengan sebutan Abu Nawas3
,
yang menyatakan bahwa dirinya telah banyak melakukan perbuatan dosa,
dan oleh karenanya ia pun bersungguh-sungguh untuk memohon ampunan
dari Allah atas semua dosanya dengan sikap ‘harap dan cemas’ (rajâ’ wa
khauf).
َلِإَ ِهََلَتْسََ ِسْودْرِف
ْ
لِلََ
ا
ل
ْ
هأَ#َلوََ
ْ
قأَوىَََعََّانلَِارََِيم ِحاجلَ
Wahai Tuhanku, Aku bukanlah ahli (surga) Firdaus, namun aku tidak kuat berada
dalam neraka Jahim
َْبفهََ ِلََ
ا
ةبْوتََْرِف
ْ
اغوََذَنَْوَ ِبََ#َك
ّ
إنفََرِفَغََِب
ْ
اذلنََِمْيِظالعَ
Maka berilah aku taubat (ampunan) dan ampunilah dosaku, sesungguhnya Engkau
adalah Maha Pengampun (atas) dosa yang besar
َذَنَْوَ ِبََثلِمََادد
ْ
عأََِالمّالرََ#َْبهفََ ِلََ
ا
ةبْوتَللااجلاذيَ
Dosaku bagaikan bilangan pasir, maka berilah aku taubat (ampunan) wahai
Tuhanku yang memiliki keagungan
يِرْمعوََصِقانََ ِفََ
ّ
ِكََمْويََ#َذوَ ِب
ْ
نََدِئازََيفكََ ِالمِت
ْ
احَ
Umurku ini setiap hari berkurang, sedang dosaku selalu bertambah, bagaimana aku
menanggungnya
1
I’tirâf, arti: “pengakuan”
2
Renungan ini saya tulis di rumah, setelah usai melaksanakan shalat jamaah
subuh di Masjid Ngadisuryan Yogyakarta.
3
Abu Nawas adalah pujangga Arab dan merupakan salah satu penyair
terbesar sastra Arab klasik. Penyair ulung sekaligus tokoh sufi ini mempunyai nama
lengkap Abu Ali Al Hasan bin Hani al-Hakami dan hidup pada zaman Khalifah
Harun al-Rasyid di Baghdad (806-814 M). Oleh masyarakat luas Abu Nawas dikenal
terutama karena kecerdasan dan kecerdikan dalam melontarkan kata-kata, sehingga
banyak lahir anekdot jenaka yang sarat dengan hikmah.
2. 2
َِإَلَ ِهََكدْبعََ ِاصالعََاكتأََ#اّارِقمََ
ّ
اذلِبَنَْوَِبََ
ْ
دقوََكَعدَ
Wahai, Tuhanku, hambaMu yang berbuat dosa (ini) telah datang kepadaMu dengan
mengakui segala dosa, dan telah memohon (ampunan) kepadaMu
َ
ْ
نِإفَََْرِف
ْ
غتََت
ْ
أنفََِذلَاكََل
ْ
هأََ#َ
ْ
إنفََ
ْ
در ْطتََْنمفَوجْرنََاكوِسَ
Maka jika Engkau mengampuni, maka Engkaulah yang berhak mengampuni. Jika
Engkau menolak, kepada siapakah lagi aku mengharap selain kepada Engkau?
Abu Nawas adalah contoh nyata ‘hamba Allah yang jujur dengan
pengakuannya”, dan dia benar-sadar bahwa dirinya telah bergelimang
dengan) dosa, dan oleh karena dia pun beristighfâr (memohon ampunan)
kepada Allah.
Dalam renunganku, aku berkesimpulan, bahwa ‘ternyata’ aku, dan
mungkin juga ‘kita’ -- umat manusia -- seringkali tak menyadari bahwa
diriku dan ‘diri kita’ telah melakukan banyak dosa, dan (juga) tak sedikit
yang enggan untuk mengakuinya, dan akhirnya: “tak bersedia untuk
memohon ampun atas dosa-dosanya”. Bukan saja dosaku dan ‘kita’ kepada
Allah secara langsung. Bahkan dosaku dan ‘kita’ terhadap sesama makhluk
pun ‘seringkali’ tak ‘ku’ dan ‘kita’ sadari dan (tak ‘ku’ dan ‘kita’) akui, dan
oleh karenanya ‘aku’ dan ‘kita’ pun (menjadi) enggan untuk meminta maaf
karenanya.
Manusia, seringkali mewarisi sikap Iblis, yang karena keengganan
dan kesombongannya, tak bersedia patuh kepada Allah. Dirinya merasa
paling ’hebat’ dan mengganggap remeh yang lain, hanya karena ‘merasa’,
dan bukan karena menyadari dengan kesadaran penuh. Hingga lambat laun
dia telah bergelimang (dengan) dosa, dan akhirnya ‘hati’-nya pun kotor
karenanya.
Aku, yang berkali-kali merenung di setiap usai melaksanakan shalat,
termasuk pagi hari ini, setelah menunaikan shalat subuh, bahkan pernah
dengan sangat menyesal menyatakan: “mengapa ‘diriku’ yang terlalu
banyak berbuati dosa, dengan segala keengganan dan kesombonganku, tak
segera mau bertaubat?” Apakah ini sebuah pertanda bahwa ‘hatiku’ masih
terlalu kotor, hingga aku tak segera mau mengakui dan menyadari
kesalahanku, dan selanjutnya berubah menjadi seseorang yang lebih baik?
Benarkah ‘hatiku’ masih terlalu kotor untuk menjadi sebuah cermin?
Di pagi yang cerah ini, dengan ketulusan hati, aku benar-benar
bermohon kepadaMu, “Ya Allah, berikan hidayah dan taufiqMu kepada
3. 3
diriku yang dha’îf (lemah) ini segera ‘bersedia’ untuk bertaubat. Hingga diri
aku benar-benar memiliki hati yang bersih, yang dengan kebersihan hati ini,
aku sangat berharap pada saat yang telah Engkau takdirkan, ‘diriku’ menjadi
‘diri’ yang tenang dan damai (nafsun muthmainah), untuk kemudian bersedia
mendekatkan diri kepadaMu kapan pun dan dimana pun diriku berada. Dan
jangan sekejap pun Engkau biarkan diriku ini menunda-nunda pengakuan
dosa, yang oleh karenanya ‘diriku’ menjadi semakin jauh dariMu.”
Āmîn Yâ Mujîbas Sâilîn.
Masjid Ngadisuryan-Yogyakarta, Senin - 7 Februari 2016