SlideShare a Scribd company logo
1 of 17
Download to read offline
Mata Kuliah : Semantik Bahasa Indonesia
Dosen Pengampu : Dr. Idawati Garim, S.Pd., M.Pd.
RELASI MAKNA
(HUBUNGAN MAKNA)
Disusun Oleh:
Zulpadli Rahim (1951041043)
PBSI II C
PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
2020
ii
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih, maha penyayang. Puji
syukur penulis panjatkan kepada Tuhan yang mahakuasa, karena atas rahmat dan
inayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul
“Relasi Makna (Hubungan Makna)”, dapat disusun sebagaimana mestinya.
Penulis menyusun makalah ini berdasarkan bimbingan dari dosen mata
kuliah Semantik Bahasa Indonesia, disusun berdasarkan dari beberapa
penulis/penyusun yang telah menerbitkan beberapa buku-buku yang telah dipakai
sebagai bahan pembelajaran di berbagai universitas di Indonesia.
Penulis menyadari segala kekurangan dan keterbatasan materi di makalah
ini, oleh karena itu dengan penuh kerendahan hati penulis menerima segala
perbaikan dari pembaca demi perkembangan penulisan penulis. Akhir kata,
mudah-mudahan makalah ini dapat bermanfaat bagi yang membutuhkannya.
Gowa, 17 Maret 2020
Penulis
iii
DAFTAR ISI
SAMPUL ……………………………………………………………………. i
KATA PENGANTAR ................................................................................... ii
DAFTAR ISI .................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. . 1
A. Latar Belakang .............................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ......................................................................... 1
C. Tujuan Penulisan ........................................................................... 1
D. Manfaat Penulisan ......................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN ............................................................................... 3
A. Pengertian Relasi Makna ............................................................... 4
B. Prinsip Relasi Makna .................................................................... 4
C. Jenis-jenis Relasi Makna ............................................................... 6
BAB III PENUTUP .......................................................................................
A. Kesimpulan ................................................................................... 25
B. Saran .............................................................................................. 25
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 26
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam suatu bahasa, makna kata saling berhubungan, hubungan ini disebut
relaksi makna. Relasi makna dapat berwujud bermacam-macam. Dalam setiap
bahasa termasuk bahasa Indonesia, seringkali kita temukan adanya hubungan
kemaknaan atau relasi semantik antara sebuah kata atau satuan bahasa dengan
kata satuan bahasa lainnya.
Semantik sebagai suatu ilmu tentang makna kata memiliki unsur leksikal
sebagai akibat tata hubungan (relasi) makna. Relasi makna tersebut adalah
sinonimi, antonimi, hiponimi, metonimia, polisemi, homonimi, dan sebagainya.
Dalam makalah ini penulis memaparkan lebih lanjut mengenai sinonimi,
antonimi, dan hiponimi beserta seluk-beluknya (Masduki, 2013).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan permasalahan di atas, maka rumusan masalah yang dapat
dirumuskan adalah sebagai berikut:
1. Apa pengertian relasi makna?
2. Apa prinsip relasi makna?
3. Apa jenis-jenis relasi makna
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan makalah tersebut, maka tujuan dari penulisan makalah
ini adalah, sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pengertian relasi makna.
2. Untuk mengetahui prinsip relasi makna makna.
3. Untuk mengetahui jenis-jenis relasi makna.
2
D. Manfaat Penulisan
Manfaat dari penulisan ini adalah kita bisa mengetahui sedikit banyak
mengenai relasi makna selain itu kita juga menambah pengetahuan pembaca
tentang relasi makna dan pembagiannya.
3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Relasi Makna
Relasi makna adalah hubungan kemaknaan atau relasi semantik antara sebuah
kata atau satuan bahasa lainnya dengan kata atau satuan bahasa lainnya lagi.
Hubungan atau relasi kemaknaan ini mungkin menyangkut hal kesamaan makna
(sinonim), kebalikan makna (antonim), kegandaan makna (polisemi dan
ambiguitas), ketercakupan makna (hiponimi), kelainan makna (homonimi),
kelebihan makna (redundansi), dan lainnya (Abdul Chaer, 2013).
B. Prinsip Relasi Makna
Sehubungan dengan hubungan makna, Nida (1975 : 15-20) mengemukakan empat
prinsip untuk menyatakan hubungan makna. Keempat prinsip itu, yakni:
1. Prinsip Inkusi
Dengan makna inkusi dimaksudkan makna yang sudah tercakup di dalamnya.
Kalau menyebut kata tertentu sudah termasuk yang lain tanpa memberikan
penjelasan. Sebenarnya prinsip ini merupakan akal manusia untuk memudahkan
dirinya mengungkapkan sesuatu. Misalnya, dalam bahasa Indonesia terdapat kata-
kata: binatang, ikan rumput.
Kalau ada yang mengatakan rumput, sebenarnya banyak hal yang tercakup di
dalamnya, misalnya morfologi rumput itu sendiri, kegunaan rumput, jenis rumput,
tempat rumput tumbuh, rumput yang akrab dengan manusia dan rumput yang
menjengkelkan manusia, rumput yang menguning karena sengatan matahari, dan
hubungan antara rumput dengan makhluk lain. Demikian pula kalau kita
menyebut kata binatang, terbayang pada kata kucing, kambing, kerbau, burung,
kuda, ikan dan binatang lainnya sesuai dengan pengalaman kita.
4
2. Prinsip Bersinggungan
Makna hampir sama dengan kata yang bersinonim, hanya pada makna
bersinggungan tingkat kesamaan itu berbeda. Misalnya, kata: memberikan,
menyerahkan, menghadiahkan, menganugerahkan, maknanya saling berhubungan
atau bersinggungan. Ketersinggungan kata-kata tersebut terletak pada makna: ada
tangan yang direntangkan ke depan, tangan itu berisi sesuatu, dan di hadapannya
ada pula tangan yang direntangkan ke depan, tangan itu kosong, dan siap untuk
menerima sesuatu.
3. Prinsip Komplementer
Prinsip Komplementer Prinsip komplementasi ditandai oleh kontrak, dan
kadang- kadang lawan kata. Umumnya ada tiga tipe hubungan makna yang
bersifat komplementasi, yakni:
a) Lawan Kata
Kata yang berlawanan makna berhubungan dengan: (i) kualitas, misalnya
baik x buruk; tinggi x rendah; (ii) jumlah, misalnya banyak x sedikit; (iii)
keadaan, misalnya bujang x kawin; hidup x mati; terbuka x tertutup; (iv)
waktu, misalnya sekarang x kemudian, lalu; (v) jarak, misalnya ini x itu,
sana x situ; dan (vi) gerakan, misalnya masuk x keluar; membeli x menjual;
pergi x datang.
b) Berbalik
Kata yang berbalik makna, misalnya bersahabat x berseteru; menjadikan
berkelahi x mendamaikan. Istilah berbalik memperlihatkan makna yang
tadi-tadinya dalam keadaan x berbalik menjadi dalam keadaan semula.
c) Serah Terima
Hubungan makna yang bersifat komplementasi untuk tipe serah terima,
misalnya kata membeli dan menyerahkan; meminjam dan meminjamkan;
berkata dan mendengar, mengutang dan mengutangkan; meberi dan
menerima.
5
4. Prinsip Tumpang Tindih
Berbeda dengan apa yang dikemukakan olch Nida (1975:16- I7 yang
penulis maksudkan dengan makna tumpang tindih yakni, auntu keadaan yang
memberikan informasi kebahasaan dalam satu kata. Dengan kata lain, makna
kata itu berlapis-lapis dilihat dari sgi kebahasaan. Untuk menerangkannya,
penulis mengambil bahasa Gorontalo sebagai bahan pembanding. Bahasa
Gorontalo seperti juga bahasa serumpun yang lain, termasuk di sini BI, dapat
digolongkan ke dalam bahasa bertipe aglutinasi. Dengan jalan peng- imbuhan,
sebuah leksem dapat melahirkan banyak kata yang ten- tu saja maknanya
berlapis-lapis.
Data I
1) Botiima?o meja (ini meja).
2) Kameja?u wahu? ende (kemejaku biru).
3) Pohamamai bongo limo (ambillah kelapa lima (buah)).
4) Wa?u o doi (aku beruang).
Data ini memperlihatkan bahwa kata meja (meja), wahu? ende (biru),
limo (lima), dan wa?u (aku) hanya mengandung makna tunggal. Kata-kata ini
hanya memiliki satu lapis makna. Dengan kata lain, maknanya belum
bertumpang tindih.
Data II
1) Tio loona?o ode paatali (ia (telah) pergi ke pasar).
2) Ti Paapa hulo-hulo?o (ayah (sedang) duchuk)
3) Ti Pama hemomutahu (paman sedang menembak).
4) Ami moluladu (kami (akan) menulis).
Kalau diperhatikan kata-kata: loona?o ((telah) pergi); hulo- Aulo?o
(sedang duduk); hemomuntahu (sedang menembak); moluladu ((akan)
menulis), terdapat kenyataan bahwa makna yang terkandung di dalam kata-
6
kata ini berbeda dengan makna yang dikemukakan pada Data I. Pada Data I
terlihan bahwa kata-kata tersebut hanya memiliki satu lapis makna,
sedangkan pada Data II, kata-kata tersebut mengandung dua lapis makna..
Ambillah kata loona?o ((telah) pergi). Kata loon?o, leksemnya adalah
na?o, mendapat awalan lo  loona?o, Kata loona?o bermakna telah pergi.
Jadi, di samping menyatakan makna pergi, juga terkandung makna bahwa
kegiatan tersebut telah dilaksanakan. Kapan dilaksanakan, tidak
diinformasikan. Dengan kata lain, kata loona?o (telah) pergi) mengandung
dua lapis makna, yakni kegiatan itu sendiri, pergi, dan lapis kedua berupa
informasi tentang kala (tenses). Hal yang sama berlaku pula untuk kata-kata:
hulo-hulo?o (sedang duduk), hemomutahu (sedang menembak), dan kata
moluladu ((akan) menulis). Maksudnya, semua kata ini mengandung dua
lapis makna.
C. Jenis-jenis Relasi Makna
1. Sinonimi
Secara etimologi kata sinonimi berasal dari bahasa Yunani kuno,
yaitu onoma yang berarti ‘nama’, dan syn yang berarti ‘dengan’. Maka secara
harfiah kata sinonim berarti ‘nama lain untuk benda atau hal yang sama’. Secara
semantik menurut Verhaar (1978) mendefinisikan sebagai ungkapan (bisa berupa
kata, frase atau kalimat) yang maknanya kurang lebih sama dengan makna
ungkapan lain (Abdul Chaer, 2013).
Hubungan makna antara dua buah kata yang bersinonim bersifat dua arah.
Dua buah kata yang bersinonim kesamaannya tidak seratus persen, hanya kurang
lebih dan kesamaanya tidak bersifat mutlak (Zgusta dan Ullman dalam Abdul
Chaer). Tidak mutlak sebab ada prinsip semantik yang mengatakan apabila bentuk
berbeda maka makna pun akan berbeda, walaupun perbedaanya hanya sedikit.
Kata-kata yang bersinonim itu tidak memiliki makna yang persis sama.
7
Menurut teori Verhaar yang sama tentu adalah informasinya, padahal
informasi ini bukan makna karena informasi bersifat ekstralingual sedangkan
makna bersifat intralingual. Kesinoniman mutlak atau kesinoniman simetris
memang tidak ada dalam perbendaharaan kata bahasa Indonesia.
Ketidakmungkinan kita untuk menukar sebuah kata dengan kata lain, yang
bersinonim adalah banyak sebabnya. Antara lain: faktor waktu, faktor tempat atau
daerah, faktor sosial, faktor bidang kegiatan dan faktor nuansa makna.
Sinonim tidak hanya terjadi pada kata, tetapi bisa dalam satuan bahasa lainnya
seperti: morfem bebas dengan morfem terikat, kata dengan kata, kata dengan
frase, frase dengan frase dan kalimat dengan kalimat.
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan mengenai sinonim:
a) Tidak semua kata dalam bahasa Indonesia mempunyai sinonim.
b) Ada kata-kata yang bersinonim pada bentuk dasar tetapi tidak pada
bentuk jadian.
c) Ada kata-kata yang tidak mempunyai sinonim pada bentuk dasar,
tetapi memiliki sinonim pada bentuk jadian.
d) Ada kata-kata yag dalam arti “sebenarnya” tidak mempunyai sinonim,
tetapi dalam arti “kiasan” justru mempunyai sinonim.
2. Antonimi atau Oposisi
Kata antonimi berasal dari kata Yunani kuno, yaitu onoma yang artinya
‘nama’, dan anti yang artinya ‘melawan’. Maka secara harfiah antonim berarti
‘nama lain untuk benda lain pula’. Secara semantik, Verhaar (1978)
mendefinisikan sebagai ungkapan (biasanya berupa kata, tetapi dapat pula dalam
bentuk frase atau kalimat) yang maknanya dianggap kebalikan dari makna
ungkapan lain (Abdul Chaer, 2013). Hubungan makna antara dua buah kata yang
berantonim bersifat dua arah. Antonim terdapat pada semua tataran bahasa,
tataran morfem, tataran kata, tataran frase, dan tataran kalimat. Hanya mencari
contohnya dalam setiap bahasa tidak mudah.
8
Antonim pun, sama halnya dengan sinonim, tidak bersifat mutlak. Itulah
sebabnya barangkali dalam batasan diatas, Verhaar menyatakan “yang maknanya
dianggap kebalikan dari makna ungkapan lain”. Jadi hanya dianggap kebalikan
bukan mutlak berlawanan. Dengan istilah oposisi, maka bisa tercakup dari konsep
yang betul-betul berlawanan sampai kepada yang hanya bersifat kontras saja.
Berdasarkan sifatnya, oposisi dapat dibedakan menjadi :
a) Oposisi mutlak, yaitu terdapat pertentangan makna secara mutlak.
b) Oposisi kutub, yaitu makna kata-kata yang termasuk oposisi kutub ini
pertentangannya tidak bersifat mutlak, melainkan bersifat garadasi. Artinya
terdapat tingkat-tingkat makna pada kata-kata. Kata-kata yang beroposisi
kutub ini umumnya adalah kata-kata dari kelas adjektif.
c) Oposisi hubungan, yaitu makna kata-kata yang beroposisi hubungan
(relasional) ini bersifat saling melengkapi. Artinya, kehadiran kata yang
satu karena ada kata yang lain menjadi oposisinya. Tanpa kehadiran
keduanya maka oposisi ini tidak ada. Kata-kata yang beroposisi hubungan
ini bisa berupa kata kerja. Selain itu, bisa berupa kata benda.
d) Oposisi hierarkial yaitu, makna kata-kata yag beroposisi hierarkial ini
menyatakan deret jenjang atau tingkatan. Kata-kata yang beroposisi
hierarkial ini adalah kata-kata yang berupa nama satuan ukuran (berat,
panjang dan isi), nama satuan hitungan dan penanggalan, nama jenjang
kepangkatan, dan sebagainya.
e) Oposisi majemuk yaitu, oposisi di antara dua buah kata. Namun, dalam
perbendaharaan kata bahasa Indonesia ada kata-kata yang beroposisi lebih
dari satu kata.
3. Homonimi, Homofoni, dan Homografi
Kata homonimi berasal dari bahasa Yunani kuno onomo yang artinya ‘nama’
dan homo artinya ‘sama’. Secara harfiah homonimi dapat diartikan sebagai ‘nama
sama untuk benda atau hal lain’. Secara semantik, Verhaar (1978) memberi
definisi homonimi sebagai ungkapan (berupa kata, frase atau kalimat) yang
9
bentuknya sama dengan ungkapan lain (juga berupa kata, frase atau kalimat)
tetapi maknanya tidak sama (Abdul Chaer, 2013). Dalam bahasa Indonesia
banyak juga homonimi yang terdiri lebih dari tiga buah kata.
Di dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia susunan W.J.S Poerwadarminta di
dalam kata yang berhomonimi digunakan angka Romawi, tetapi dalam Kamus
Bahasa Indonesia (1983) oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, dan
Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988) juga oleh Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa, kata-kata yang berhomonimi itu ditandai dengan angka
Arab. Hubungan antara dua buah kata yang homonim bersifat dua arah. Ada dua
kemungkinan sebab terjadinya homonimi :
a) Bentuk-bentuk yang berhomonimi itu berasal dari bahasa atau dialek yang
berlainan.
b) Bentuk-bentuk yang berhomonim itu terjadi sebagai hasil proses morfologi.
c) Sama halnya dengan sinonim, antonim, homonimi ini dapat terjadi pada
tataran morfem, tataran kata, tataran frase, dan tataran kalimat.
d) Homonimi antarmorfem, tentunya antara sebuah morfem terikat dengan
morfem terikat lainnya.
e) Homonimi antarfrase
f) Homonimi antarkalimat
Di samping homonimi ada pula istilah homofoni dan homografi. Ketiga istilah
ini biasanya dibicarakan bersama karena ada kesamaan objek pembicaraan.
Homonimi dilihat dari segi “bunyi” (homo yang artinya sama dan fon yang
artinya bunyi), sedangkan homografi dilihat dari segi “tulisan”, “ejaaan”
(homo yang artinya sama dan grafi yang artinya tulisan).
Homofoni sebetulnya sama saja dengan homonimi karena realisasinya bentuk-
bentuk bahasa adalah berupa bunyi. Jadi, kata ‘bisa’ yang berarti ‘racun ular dan
kata ‘bisa’ yang berarti ‘sanggup’, selain merupakan bentuk yang homonimi
adalah juga bentuk yang homofoni, dan juga homografi karena tulisannya juga
sama. Dalam bahasa Indonesia ada sejumlah kata yang homofon, tetapi ditulis
10
dengan ejaan yang berbeda karena ingin memperjelas perbedaan makna. Di dalam
Kamus Umum Bahasa Indonesia susunan Poerwadarminta kata-kata yang
homograf ini diberi keterangan cara melafalkannya di belakang tiap-tiap kata. Ada
beberapa buku pelajaran yang menyatakan bahwa homograf adalah juga homonim
karena mereka berpandangan ada dua macam homonim, yaitu (a) homonim yang
homofon, dan (b) homonim yang homograf.
4. Hiponimi dan Hipernimi
Kata hiponimi berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu onoma berarti ‘nama’
dan hype berarti ‘dibawah’. Jadi, secara harfiah berarti ‘nama yang termasuk di
bawah nama lain’. Secara semantik Verhaar (1978) menyatakan hiponim ialah
ungkapan (biasanya berupa kata, tetapi kiranya dapat juga frase atau kalimat)
yang maknanya dianggap merupakan bagian dari makna suatu ungkapan lain.
Jika relasi antara dua buah kata yang bersinonim, berantonim, dan
berhomonim bersifat dua arah maka relasi antara dua buah kata yang berhiponim
ini adalah searah. Definisi Verhaar disebutkan bahwa hiponim kiranya terdapat
pula dalam bentuk frase dan kalimat. Namun, kiranya sukar mencari contohnya
dalam bahasa Indonesia karena juga hal ini lebih banyak menyangkut masalah
logika dan bukan masalah linguistik. Ole karena itu, menurut Verhaar masalah ini
dapat dilewati saja, tidak perlu dipersoalkan lagi.
Konsep hiponimi dan hipernimi mengandaikan adanya kelas bawahan dan
kelas atasan, adanya makna sebuah kata yang berada di bawah makna kata
lainnya. Karena itu, ada kemungkinan sebuah kata yang merupakan hipernimi
terhadap sejumlah kata lain, akan menjadi hiponim terhadap kata lain yang
hierarkial berada diatasnya. Konsep hiponimi dan hipernimi mudah diterapkan
pada kata benda tetapi agak sukar pada kata kerja dan kata sifat. Di samping
istilah hiponimi ada pula istilah yang disebut meronimi. Kedua istilah ini
mengandung konsep yang hampir sama. Bedanya adalah kalau hiponimi
menyatakan adanya kata (unsur leksikal) yang maknanya berada di bawah makna
11
kata lain, sedangkan meronimi menyatakan adanya kata (unsur leksikal) yang
merupakan bagian dari kata lain.
5. Polisemi
Polisemi lazim diartikan sebagai satuan bahasa ( terutama kata, bisa juga
frasa) yang memiliki makna lebih dari satu. Menurut pembicaraan terdahulu setiap
kata hanya memiliki satu makna, yakni yang disebut makna leksikal dan makna
yang sesuai dengan referennya.
Dalam perkembangan selanjutnya komponen-komponen makna ini
berkembang menjadi makna-makna tersendiri. Makna-makna yang bukan makna
asal dari sebuah kata bukanlah makna leksikal sebab tidak merujuk kepada referen
dari kata itu yang berkenaan dengan polisemi ini adalah bagaimana kita bisa
membedakannya dengan bentuk-bentuk yang disebut homonimi. Bahwa
homonimi bukanlah sebuah kata, melainkan dua buah kata atau lebih yang
kebetulan bentuknya sama.
Homonimi bukan sebuah kata maka maknanya pun berbeda, di dalam kamus
bentuk-bentuk yang homonimi didaftarkan sebagai entri-entri yang berbeda.
Sebaliknya bentuk-bentuk adalah sebuah kata yang memiliki makna lebih dari
satu. Karena polisemi ini adalah sebuah kata maka di dalamnya kamus didaftarkan
sebagai sebuah entri. Satu lagi perbedaan antara homonimi dan polisemi, yaitu
makna-makna pada bentuk-bentuk homonimi tidak ada kaitan atau hubungannnya
sama sekali antara yang satu dengan yang lainnya.
6. Ambiguitas
Ambiguitas atau ketaksaan sering diartikan sebagai kata yang bermakna ganda
atau mendua arti. Polisemi juga bermakna ganda. Polisemi dan ambiguitas sama-
sama bermakna ganda hanya kalau kegandaan makna dalam polisemi berasal dari
kata, sedangkan kegandaan makna dalam ambiguitas berasal dari satuan
12
gramatikal yang lebih besar, yaitu frase atau kalimat dan terjadi sebagai akibat
penafsiran struktur gramatikal yang berbeda.
Bahasa lisan penafsiran ganda ini mungkin tidak akan terjadi karena stuktur
gramatikal itu dibantu oleh unsur intonasi. Namun, dalam bahasa tulis penafsiran
ganda ini dapat saja terjadi jika penanda-penanda ejaan tidak lengkap diberikan.
Perbedaan ambiguitas dengan homonimi dilihat sebagai bentuk yang kebetulan
sama dan dengan makna yang berbeda, sedangkan ambiguitas adalah semua
bentuk dengan makna yang berbeda sebagai akibat dari berbedanya penafsiran
stuktur gramatikal bentuk tersebut. Ambiguitas hanya terjadi pada satuan frase
dan kalimat, sedangkan homonimi dapat terjadi pada semua satuan gramatikal
(morfem, kata, frase, dan kalimat).
7. Redudansi
Istilah redundansi sering diartikan sebagai ‘berlebih-lebihan pemakaian unsur
segmental dalam suatu bentuk ujaran’. Salah satu prinsip dasar semantik adalah
bila bentuk berbeda maka makna pun akan berbeda. Makna adalah suatu
fenomena dalam ujaran (utterance, internal phenomenon), sedangkan informasi
adalah sesuatu yang luar ujran (utterence-external).
13
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Relasi makna adalah hubungan kemaknaan atau relasi semantik antara sebuah
kata atau satuan bahasa lainnya dengan kata atau satuan bahasa lainnya lagi.
Hubungan atau relasi kemaknaan ini mungkin menyangkut hal kesamaan makna
(sinonim), kebalikan makna (antonim), kegandaan makna (polisemi dan
ambiguitas), ketercakupan makna (hiponimi), kelainan makna (homonimi),
kelebihan makna (redundansi), dan lainnya.
B. Saran
Penulis menyadari bahwa makalah diatas banyak sekali kesalahan dan jauh
dari kesempurnaan. Penulis akan memperbaiki makalah tersebut dengan
berpedoman pada banyak sumber yang dapat dipertanggungjawabkan. Maka dari
itu penulis mengharapkan kritik dan saran mengenai pembahasan makalah dalam
kesimpulan di atas.
14
DAFTAR PUSTAKA
Masduki, M. (2013). Relasi Makna (Sinonimi, Antonimi, dan Hiponimi) dan
Seluk Beluknya. Prosodi: Jurnal Ilmu Bahasa dan Sastra, 7(1), Article 1.
https://doi.org/10.21107/prosodi.v7i1.47
Pateda, Mansoer. 2010. Semantik Leksikal. Jakarta: Rineka Cipta.
Alegorinai. 2016. Relasi Makna (Pengertian, dan Jenis-jenisnya).
https://alegorinai.wordpress.com/2016/08/18/relasi-makna-pengertian-dan-
jenis-jenisnya/ (diakses pada tanggal 17 Maret 2020)

More Related Content

What's hot

Pemerolehan dan Perkembangan Bahasa Anak
Pemerolehan dan Perkembangan Bahasa AnakPemerolehan dan Perkembangan Bahasa Anak
Pemerolehan dan Perkembangan Bahasa AnakHamdan Husein Batubara
 
Persamaan dan perbedaan kurikulum ktsp dengan kurikulum 2013
Persamaan dan perbedaan kurikulum ktsp dengan kurikulum 2013Persamaan dan perbedaan kurikulum ktsp dengan kurikulum 2013
Persamaan dan perbedaan kurikulum ktsp dengan kurikulum 2013Hafiza .h
 
Teori Belajar dalam Pembelajaran Bahasa
Teori Belajar dalam Pembelajaran BahasaTeori Belajar dalam Pembelajaran Bahasa
Teori Belajar dalam Pembelajaran BahasaYunita Siswanti
 
Makalah Apresiasi Karya Sastra Anak secara Reseptif
Makalah Apresiasi Karya Sastra Anak secara ReseptifMakalah Apresiasi Karya Sastra Anak secara Reseptif
Makalah Apresiasi Karya Sastra Anak secara ReseptifUniversitas Negeri Semarang
 
membaca permulaan dan lanjutan
membaca permulaan dan lanjutanmembaca permulaan dan lanjutan
membaca permulaan dan lanjutanAjengIlla
 
Program kerja english club
Program kerja english clubProgram kerja english club
Program kerja english clubajaizainudin
 
Kemampuan membaca teks wacana pendek dalam hati
Kemampuan membaca teks wacana pendek dalam hati Kemampuan membaca teks wacana pendek dalam hati
Kemampuan membaca teks wacana pendek dalam hati Ka Jejen
 
Jenis jenis menyimak
Jenis jenis menyimakJenis jenis menyimak
Jenis jenis menyimakImam Suwandi
 
Kata pengantar kewirausahaan
Kata pengantar kewirausahaanKata pengantar kewirausahaan
Kata pengantar kewirausahaanazwarkairi
 
PEMEROLEHAN DAN PEMBELAJARAN BAHASA KEDUA
PEMEROLEHAN DAN PEMBELAJARAN BAHASA KEDUAPEMEROLEHAN DAN PEMBELAJARAN BAHASA KEDUA
PEMEROLEHAN DAN PEMBELAJARAN BAHASA KEDUAEndang Pristiawaty
 

What's hot (20)

Pemerolehan dan Perkembangan Bahasa Anak
Pemerolehan dan Perkembangan Bahasa AnakPemerolehan dan Perkembangan Bahasa Anak
Pemerolehan dan Perkembangan Bahasa Anak
 
Jenis-Jenis Semantik
Jenis-Jenis SemantikJenis-Jenis Semantik
Jenis-Jenis Semantik
 
Semantik
SemantikSemantik
Semantik
 
Persamaan dan perbedaan kurikulum ktsp dengan kurikulum 2013
Persamaan dan perbedaan kurikulum ktsp dengan kurikulum 2013Persamaan dan perbedaan kurikulum ktsp dengan kurikulum 2013
Persamaan dan perbedaan kurikulum ktsp dengan kurikulum 2013
 
Teori Belajar dalam Pembelajaran Bahasa
Teori Belajar dalam Pembelajaran BahasaTeori Belajar dalam Pembelajaran Bahasa
Teori Belajar dalam Pembelajaran Bahasa
 
Beberapa masalah dalam penerjemahan
Beberapa masalah dalam penerjemahanBeberapa masalah dalam penerjemahan
Beberapa masalah dalam penerjemahan
 
Keterampilan Membaca
Keterampilan MembacaKeterampilan Membaca
Keterampilan Membaca
 
Makalah Apresiasi Karya Sastra Anak secara Reseptif
Makalah Apresiasi Karya Sastra Anak secara ReseptifMakalah Apresiasi Karya Sastra Anak secara Reseptif
Makalah Apresiasi Karya Sastra Anak secara Reseptif
 
Kurikulum 1994 dan suplemen kurikulum 1999
Kurikulum 1994 dan suplemen kurikulum 1999Kurikulum 1994 dan suplemen kurikulum 1999
Kurikulum 1994 dan suplemen kurikulum 1999
 
Membaca kritis
Membaca kritisMembaca kritis
Membaca kritis
 
membaca permulaan dan lanjutan
membaca permulaan dan lanjutanmembaca permulaan dan lanjutan
membaca permulaan dan lanjutan
 
Program kerja english club
Program kerja english clubProgram kerja english club
Program kerja english club
 
PPT PANTUN
PPT PANTUNPPT PANTUN
PPT PANTUN
 
Kemampuan membaca teks wacana pendek dalam hati
Kemampuan membaca teks wacana pendek dalam hati Kemampuan membaca teks wacana pendek dalam hati
Kemampuan membaca teks wacana pendek dalam hati
 
Jenis jenis menyimak
Jenis jenis menyimakJenis jenis menyimak
Jenis jenis menyimak
 
TINDAK UJARAN DALAM PSIKOLINGUISTIK
TINDAK UJARAN DALAM PSIKOLINGUISTIKTINDAK UJARAN DALAM PSIKOLINGUISTIK
TINDAK UJARAN DALAM PSIKOLINGUISTIK
 
Kata pengantar kewirausahaan
Kata pengantar kewirausahaanKata pengantar kewirausahaan
Kata pengantar kewirausahaan
 
Teori belajar bahasa
Teori belajar bahasaTeori belajar bahasa
Teori belajar bahasa
 
Fonologi
FonologiFonologi
Fonologi
 
PEMEROLEHAN DAN PEMBELAJARAN BAHASA KEDUA
PEMEROLEHAN DAN PEMBELAJARAN BAHASA KEDUAPEMEROLEHAN DAN PEMBELAJARAN BAHASA KEDUA
PEMEROLEHAN DAN PEMBELAJARAN BAHASA KEDUA
 

Similar to MAKALAH SEMANTIK

Similar to MAKALAH SEMANTIK (20)

Makalah semantik
Makalah semantikMakalah semantik
Makalah semantik
 
Semantik makna
Semantik maknaSemantik makna
Semantik makna
 
DIKSI BAHASA INDONESIA
DIKSI BAHASA INDONESIADIKSI BAHASA INDONESIA
DIKSI BAHASA INDONESIA
 
Makalah semanti1
Makalah semanti1Makalah semanti1
Makalah semanti1
 
Metlit gayabahasa
Metlit gayabahasaMetlit gayabahasa
Metlit gayabahasa
 
ppt kel 3.pptx
ppt kel 3.pptxppt kel 3.pptx
ppt kel 3.pptx
 
Morfologi Bahsa Indonesia
Morfologi Bahsa IndonesiaMorfologi Bahsa Indonesia
Morfologi Bahsa Indonesia
 
Semantik Pragmatis
Semantik PragmatisSemantik Pragmatis
Semantik Pragmatis
 
Semantik dan peristilahan
Semantik dan peristilahanSemantik dan peristilahan
Semantik dan peristilahan
 
makalah semantik
makalah semantikmakalah semantik
makalah semantik
 
08cisi pelajaran -interaksi-3
08cisi pelajaran -interaksi-308cisi pelajaran -interaksi-3
08cisi pelajaran -interaksi-3
 
08cisi pelajaran -interaksi-3 (1)
08cisi pelajaran -interaksi-3 (1)08cisi pelajaran -interaksi-3 (1)
08cisi pelajaran -interaksi-3 (1)
 
08cisi pelajaran -interaksi-3
08cisi pelajaran -interaksi-308cisi pelajaran -interaksi-3
08cisi pelajaran -interaksi-3
 
Bab 7-sarwo-edi
Bab 7-sarwo-ediBab 7-sarwo-edi
Bab 7-sarwo-edi
 
Bm cik umar individu
Bm cik umar individuBm cik umar individu
Bm cik umar individu
 
Pengertian wacana
Pengertian wacanaPengertian wacana
Pengertian wacana
 
Tugas power point
Tugas power pointTugas power point
Tugas power point
 
Belajar makna
Belajar maknaBelajar makna
Belajar makna
 
Makna kata
Makna kataMakna kata
Makna kata
 
Makalah bahasa indonesia
Makalah bahasa indonesiaMakalah bahasa indonesia
Makalah bahasa indonesia
 

Recently uploaded

Lembar Catatan Percakapan Pasca observasidocx
Lembar Catatan Percakapan Pasca observasidocxLembar Catatan Percakapan Pasca observasidocx
Lembar Catatan Percakapan Pasca observasidocxbkandrisaputra
 
Modul Ajar Biologi Kelas 11 Fase F Kurikulum Merdeka [abdiera.com]
Modul Ajar Biologi Kelas 11 Fase F Kurikulum Merdeka [abdiera.com]Modul Ajar Biologi Kelas 11 Fase F Kurikulum Merdeka [abdiera.com]
Modul Ajar Biologi Kelas 11 Fase F Kurikulum Merdeka [abdiera.com]Abdiera
 
MATERI EKOSISTEM UNTUK SEKOLAH MENENGAH ATAS
MATERI EKOSISTEM UNTUK SEKOLAH MENENGAH ATASMATERI EKOSISTEM UNTUK SEKOLAH MENENGAH ATAS
MATERI EKOSISTEM UNTUK SEKOLAH MENENGAH ATASKurniawan Dirham
 
PELAKSANAAN + Link2 Materi Pelatihan "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN & ...
PELAKSANAAN + Link2 Materi Pelatihan "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN & ...PELAKSANAAN + Link2 Materi Pelatihan "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN & ...
PELAKSANAAN + Link2 Materi Pelatihan "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN & ...Kanaidi ken
 
442539315-ppt-modul-6-pend-seni-pptx.pptx
442539315-ppt-modul-6-pend-seni-pptx.pptx442539315-ppt-modul-6-pend-seni-pptx.pptx
442539315-ppt-modul-6-pend-seni-pptx.pptxHendryJulistiyanto
 
TUGAS GURU PENGGERAK Aksi Nyata Modul 1.1.pdf
TUGAS GURU PENGGERAK Aksi Nyata Modul 1.1.pdfTUGAS GURU PENGGERAK Aksi Nyata Modul 1.1.pdf
TUGAS GURU PENGGERAK Aksi Nyata Modul 1.1.pdfElaAditya
 
Modul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase C
Modul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase CModul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase C
Modul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase CAbdiera
 
Materi Pertemuan Materi Pertemuan 7.pptx
Materi Pertemuan Materi Pertemuan 7.pptxMateri Pertemuan Materi Pertemuan 7.pptx
Materi Pertemuan Materi Pertemuan 7.pptxRezaWahyuni6
 
DESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptx
DESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptxDESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptx
DESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptxFuzaAnggriana
 
Laporan Guru Piket untuk Pengisian RHK Guru Pengelolaan KInerja Guru di PMM
Laporan Guru Piket untuk Pengisian RHK Guru Pengelolaan KInerja Guru di PMMLaporan Guru Piket untuk Pengisian RHK Guru Pengelolaan KInerja Guru di PMM
Laporan Guru Piket untuk Pengisian RHK Guru Pengelolaan KInerja Guru di PMMmulyadia43
 
Dampak Pendudukan Jepang.pptx indonesia1
Dampak Pendudukan Jepang.pptx indonesia1Dampak Pendudukan Jepang.pptx indonesia1
Dampak Pendudukan Jepang.pptx indonesia1udin100
 
Materi Pertemuan 6 Materi Pertemuan 6.pptx
Materi Pertemuan 6 Materi Pertemuan 6.pptxMateri Pertemuan 6 Materi Pertemuan 6.pptx
Materi Pertemuan 6 Materi Pertemuan 6.pptxRezaWahyuni6
 
Tugas 1 pembaruan dlm pembelajaran jawaban tugas tuton 1.docx
Tugas 1 pembaruan dlm pembelajaran jawaban tugas tuton 1.docxTugas 1 pembaruan dlm pembelajaran jawaban tugas tuton 1.docx
Tugas 1 pembaruan dlm pembelajaran jawaban tugas tuton 1.docxmawan5982
 
AKSI NYATA MODUL 1.2-1 untuk pendidikan guru penggerak.pptx
AKSI NYATA MODUL 1.2-1 untuk pendidikan guru penggerak.pptxAKSI NYATA MODUL 1.2-1 untuk pendidikan guru penggerak.pptx
AKSI NYATA MODUL 1.2-1 untuk pendidikan guru penggerak.pptxWirionSembiring2
 
ppt-modul-6-pend-seni-di sd kelompok 2 ppt
ppt-modul-6-pend-seni-di sd kelompok 2 pptppt-modul-6-pend-seni-di sd kelompok 2 ppt
ppt-modul-6-pend-seni-di sd kelompok 2 pptArkhaRega1
 
11 PPT Pancasila sebagai Paradigma Kehidupan dalam Masyarakat.pptx
11 PPT Pancasila sebagai Paradigma Kehidupan dalam Masyarakat.pptx11 PPT Pancasila sebagai Paradigma Kehidupan dalam Masyarakat.pptx
11 PPT Pancasila sebagai Paradigma Kehidupan dalam Masyarakat.pptxMiftahunnajahTVIBS
 
Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5
Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5
Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5KIKI TRISNA MUKTI
 
Tugas 1 ABK di SD prodi pendidikan guru sekolah dasar.docx
Tugas 1 ABK di SD prodi pendidikan guru sekolah dasar.docxTugas 1 ABK di SD prodi pendidikan guru sekolah dasar.docx
Tugas 1 ABK di SD prodi pendidikan guru sekolah dasar.docxmawan5982
 
REFLEKSI MANDIRI_Prakarsa Perubahan BAGJA Modul 1.3.pdf
REFLEKSI MANDIRI_Prakarsa Perubahan BAGJA Modul 1.3.pdfREFLEKSI MANDIRI_Prakarsa Perubahan BAGJA Modul 1.3.pdf
REFLEKSI MANDIRI_Prakarsa Perubahan BAGJA Modul 1.3.pdfirwanabidin08
 
DEMONSTRASI KONTEKSTUAL MODUL 1.3 PENDIDIKAN GURU PENGGERAK
DEMONSTRASI KONTEKSTUAL MODUL 1.3 PENDIDIKAN GURU PENGGERAKDEMONSTRASI KONTEKSTUAL MODUL 1.3 PENDIDIKAN GURU PENGGERAK
DEMONSTRASI KONTEKSTUAL MODUL 1.3 PENDIDIKAN GURU PENGGERAKirwan461475
 

Recently uploaded (20)

Lembar Catatan Percakapan Pasca observasidocx
Lembar Catatan Percakapan Pasca observasidocxLembar Catatan Percakapan Pasca observasidocx
Lembar Catatan Percakapan Pasca observasidocx
 
Modul Ajar Biologi Kelas 11 Fase F Kurikulum Merdeka [abdiera.com]
Modul Ajar Biologi Kelas 11 Fase F Kurikulum Merdeka [abdiera.com]Modul Ajar Biologi Kelas 11 Fase F Kurikulum Merdeka [abdiera.com]
Modul Ajar Biologi Kelas 11 Fase F Kurikulum Merdeka [abdiera.com]
 
MATERI EKOSISTEM UNTUK SEKOLAH MENENGAH ATAS
MATERI EKOSISTEM UNTUK SEKOLAH MENENGAH ATASMATERI EKOSISTEM UNTUK SEKOLAH MENENGAH ATAS
MATERI EKOSISTEM UNTUK SEKOLAH MENENGAH ATAS
 
PELAKSANAAN + Link2 Materi Pelatihan "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN & ...
PELAKSANAAN + Link2 Materi Pelatihan "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN & ...PELAKSANAAN + Link2 Materi Pelatihan "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN & ...
PELAKSANAAN + Link2 Materi Pelatihan "Teknik Perhitungan & Verifikasi TKDN & ...
 
442539315-ppt-modul-6-pend-seni-pptx.pptx
442539315-ppt-modul-6-pend-seni-pptx.pptx442539315-ppt-modul-6-pend-seni-pptx.pptx
442539315-ppt-modul-6-pend-seni-pptx.pptx
 
TUGAS GURU PENGGERAK Aksi Nyata Modul 1.1.pdf
TUGAS GURU PENGGERAK Aksi Nyata Modul 1.1.pdfTUGAS GURU PENGGERAK Aksi Nyata Modul 1.1.pdf
TUGAS GURU PENGGERAK Aksi Nyata Modul 1.1.pdf
 
Modul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase C
Modul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase CModul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase C
Modul Ajar Pendidikan Pancasila Kelas 5 Fase C
 
Materi Pertemuan Materi Pertemuan 7.pptx
Materi Pertemuan Materi Pertemuan 7.pptxMateri Pertemuan Materi Pertemuan 7.pptx
Materi Pertemuan Materi Pertemuan 7.pptx
 
DESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptx
DESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptxDESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptx
DESAIN MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS DIGITAL.pptx
 
Laporan Guru Piket untuk Pengisian RHK Guru Pengelolaan KInerja Guru di PMM
Laporan Guru Piket untuk Pengisian RHK Guru Pengelolaan KInerja Guru di PMMLaporan Guru Piket untuk Pengisian RHK Guru Pengelolaan KInerja Guru di PMM
Laporan Guru Piket untuk Pengisian RHK Guru Pengelolaan KInerja Guru di PMM
 
Dampak Pendudukan Jepang.pptx indonesia1
Dampak Pendudukan Jepang.pptx indonesia1Dampak Pendudukan Jepang.pptx indonesia1
Dampak Pendudukan Jepang.pptx indonesia1
 
Materi Pertemuan 6 Materi Pertemuan 6.pptx
Materi Pertemuan 6 Materi Pertemuan 6.pptxMateri Pertemuan 6 Materi Pertemuan 6.pptx
Materi Pertemuan 6 Materi Pertemuan 6.pptx
 
Tugas 1 pembaruan dlm pembelajaran jawaban tugas tuton 1.docx
Tugas 1 pembaruan dlm pembelajaran jawaban tugas tuton 1.docxTugas 1 pembaruan dlm pembelajaran jawaban tugas tuton 1.docx
Tugas 1 pembaruan dlm pembelajaran jawaban tugas tuton 1.docx
 
AKSI NYATA MODUL 1.2-1 untuk pendidikan guru penggerak.pptx
AKSI NYATA MODUL 1.2-1 untuk pendidikan guru penggerak.pptxAKSI NYATA MODUL 1.2-1 untuk pendidikan guru penggerak.pptx
AKSI NYATA MODUL 1.2-1 untuk pendidikan guru penggerak.pptx
 
ppt-modul-6-pend-seni-di sd kelompok 2 ppt
ppt-modul-6-pend-seni-di sd kelompok 2 pptppt-modul-6-pend-seni-di sd kelompok 2 ppt
ppt-modul-6-pend-seni-di sd kelompok 2 ppt
 
11 PPT Pancasila sebagai Paradigma Kehidupan dalam Masyarakat.pptx
11 PPT Pancasila sebagai Paradigma Kehidupan dalam Masyarakat.pptx11 PPT Pancasila sebagai Paradigma Kehidupan dalam Masyarakat.pptx
11 PPT Pancasila sebagai Paradigma Kehidupan dalam Masyarakat.pptx
 
Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5
Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5
Materi Strategi Perubahan dibuat oleh kelompok 5
 
Tugas 1 ABK di SD prodi pendidikan guru sekolah dasar.docx
Tugas 1 ABK di SD prodi pendidikan guru sekolah dasar.docxTugas 1 ABK di SD prodi pendidikan guru sekolah dasar.docx
Tugas 1 ABK di SD prodi pendidikan guru sekolah dasar.docx
 
REFLEKSI MANDIRI_Prakarsa Perubahan BAGJA Modul 1.3.pdf
REFLEKSI MANDIRI_Prakarsa Perubahan BAGJA Modul 1.3.pdfREFLEKSI MANDIRI_Prakarsa Perubahan BAGJA Modul 1.3.pdf
REFLEKSI MANDIRI_Prakarsa Perubahan BAGJA Modul 1.3.pdf
 
DEMONSTRASI KONTEKSTUAL MODUL 1.3 PENDIDIKAN GURU PENGGERAK
DEMONSTRASI KONTEKSTUAL MODUL 1.3 PENDIDIKAN GURU PENGGERAKDEMONSTRASI KONTEKSTUAL MODUL 1.3 PENDIDIKAN GURU PENGGERAK
DEMONSTRASI KONTEKSTUAL MODUL 1.3 PENDIDIKAN GURU PENGGERAK
 

MAKALAH SEMANTIK

  • 1. Mata Kuliah : Semantik Bahasa Indonesia Dosen Pengampu : Dr. Idawati Garim, S.Pd., M.Pd. RELASI MAKNA (HUBUNGAN MAKNA) Disusun Oleh: Zulpadli Rahim (1951041043) PBSI II C PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA BAHASA DAN SASTRA INDONESIA UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR 2020
  • 2. ii KATA PENGANTAR Dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih, maha penyayang. Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan yang mahakuasa, karena atas rahmat dan inayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Relasi Makna (Hubungan Makna)”, dapat disusun sebagaimana mestinya. Penulis menyusun makalah ini berdasarkan bimbingan dari dosen mata kuliah Semantik Bahasa Indonesia, disusun berdasarkan dari beberapa penulis/penyusun yang telah menerbitkan beberapa buku-buku yang telah dipakai sebagai bahan pembelajaran di berbagai universitas di Indonesia. Penulis menyadari segala kekurangan dan keterbatasan materi di makalah ini, oleh karena itu dengan penuh kerendahan hati penulis menerima segala perbaikan dari pembaca demi perkembangan penulisan penulis. Akhir kata, mudah-mudahan makalah ini dapat bermanfaat bagi yang membutuhkannya. Gowa, 17 Maret 2020 Penulis
  • 3. iii DAFTAR ISI SAMPUL ……………………………………………………………………. i KATA PENGANTAR ................................................................................... ii DAFTAR ISI .................................................................................................. iii BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. . 1 A. Latar Belakang .............................................................................. 1 B. Rumusan Masalah ......................................................................... 1 C. Tujuan Penulisan ........................................................................... 1 D. Manfaat Penulisan ......................................................................... 2 BAB II PEMBAHASAN ............................................................................... 3 A. Pengertian Relasi Makna ............................................................... 4 B. Prinsip Relasi Makna .................................................................... 4 C. Jenis-jenis Relasi Makna ............................................................... 6 BAB III PENUTUP ....................................................................................... A. Kesimpulan ................................................................................... 25 B. Saran .............................................................................................. 25 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 26
  • 4. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam suatu bahasa, makna kata saling berhubungan, hubungan ini disebut relaksi makna. Relasi makna dapat berwujud bermacam-macam. Dalam setiap bahasa termasuk bahasa Indonesia, seringkali kita temukan adanya hubungan kemaknaan atau relasi semantik antara sebuah kata atau satuan bahasa dengan kata satuan bahasa lainnya. Semantik sebagai suatu ilmu tentang makna kata memiliki unsur leksikal sebagai akibat tata hubungan (relasi) makna. Relasi makna tersebut adalah sinonimi, antonimi, hiponimi, metonimia, polisemi, homonimi, dan sebagainya. Dalam makalah ini penulis memaparkan lebih lanjut mengenai sinonimi, antonimi, dan hiponimi beserta seluk-beluknya (Masduki, 2013). B. Rumusan Masalah Berdasarkan permasalahan di atas, maka rumusan masalah yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut: 1. Apa pengertian relasi makna? 2. Apa prinsip relasi makna? 3. Apa jenis-jenis relasi makna C. Tujuan Penulisan Berdasarkan rumusan makalah tersebut, maka tujuan dari penulisan makalah ini adalah, sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui pengertian relasi makna. 2. Untuk mengetahui prinsip relasi makna makna. 3. Untuk mengetahui jenis-jenis relasi makna.
  • 5. 2 D. Manfaat Penulisan Manfaat dari penulisan ini adalah kita bisa mengetahui sedikit banyak mengenai relasi makna selain itu kita juga menambah pengetahuan pembaca tentang relasi makna dan pembagiannya.
  • 6. 3 BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Relasi Makna Relasi makna adalah hubungan kemaknaan atau relasi semantik antara sebuah kata atau satuan bahasa lainnya dengan kata atau satuan bahasa lainnya lagi. Hubungan atau relasi kemaknaan ini mungkin menyangkut hal kesamaan makna (sinonim), kebalikan makna (antonim), kegandaan makna (polisemi dan ambiguitas), ketercakupan makna (hiponimi), kelainan makna (homonimi), kelebihan makna (redundansi), dan lainnya (Abdul Chaer, 2013). B. Prinsip Relasi Makna Sehubungan dengan hubungan makna, Nida (1975 : 15-20) mengemukakan empat prinsip untuk menyatakan hubungan makna. Keempat prinsip itu, yakni: 1. Prinsip Inkusi Dengan makna inkusi dimaksudkan makna yang sudah tercakup di dalamnya. Kalau menyebut kata tertentu sudah termasuk yang lain tanpa memberikan penjelasan. Sebenarnya prinsip ini merupakan akal manusia untuk memudahkan dirinya mengungkapkan sesuatu. Misalnya, dalam bahasa Indonesia terdapat kata- kata: binatang, ikan rumput. Kalau ada yang mengatakan rumput, sebenarnya banyak hal yang tercakup di dalamnya, misalnya morfologi rumput itu sendiri, kegunaan rumput, jenis rumput, tempat rumput tumbuh, rumput yang akrab dengan manusia dan rumput yang menjengkelkan manusia, rumput yang menguning karena sengatan matahari, dan hubungan antara rumput dengan makhluk lain. Demikian pula kalau kita menyebut kata binatang, terbayang pada kata kucing, kambing, kerbau, burung, kuda, ikan dan binatang lainnya sesuai dengan pengalaman kita.
  • 7. 4 2. Prinsip Bersinggungan Makna hampir sama dengan kata yang bersinonim, hanya pada makna bersinggungan tingkat kesamaan itu berbeda. Misalnya, kata: memberikan, menyerahkan, menghadiahkan, menganugerahkan, maknanya saling berhubungan atau bersinggungan. Ketersinggungan kata-kata tersebut terletak pada makna: ada tangan yang direntangkan ke depan, tangan itu berisi sesuatu, dan di hadapannya ada pula tangan yang direntangkan ke depan, tangan itu kosong, dan siap untuk menerima sesuatu. 3. Prinsip Komplementer Prinsip Komplementer Prinsip komplementasi ditandai oleh kontrak, dan kadang- kadang lawan kata. Umumnya ada tiga tipe hubungan makna yang bersifat komplementasi, yakni: a) Lawan Kata Kata yang berlawanan makna berhubungan dengan: (i) kualitas, misalnya baik x buruk; tinggi x rendah; (ii) jumlah, misalnya banyak x sedikit; (iii) keadaan, misalnya bujang x kawin; hidup x mati; terbuka x tertutup; (iv) waktu, misalnya sekarang x kemudian, lalu; (v) jarak, misalnya ini x itu, sana x situ; dan (vi) gerakan, misalnya masuk x keluar; membeli x menjual; pergi x datang. b) Berbalik Kata yang berbalik makna, misalnya bersahabat x berseteru; menjadikan berkelahi x mendamaikan. Istilah berbalik memperlihatkan makna yang tadi-tadinya dalam keadaan x berbalik menjadi dalam keadaan semula. c) Serah Terima Hubungan makna yang bersifat komplementasi untuk tipe serah terima, misalnya kata membeli dan menyerahkan; meminjam dan meminjamkan; berkata dan mendengar, mengutang dan mengutangkan; meberi dan menerima.
  • 8. 5 4. Prinsip Tumpang Tindih Berbeda dengan apa yang dikemukakan olch Nida (1975:16- I7 yang penulis maksudkan dengan makna tumpang tindih yakni, auntu keadaan yang memberikan informasi kebahasaan dalam satu kata. Dengan kata lain, makna kata itu berlapis-lapis dilihat dari sgi kebahasaan. Untuk menerangkannya, penulis mengambil bahasa Gorontalo sebagai bahan pembanding. Bahasa Gorontalo seperti juga bahasa serumpun yang lain, termasuk di sini BI, dapat digolongkan ke dalam bahasa bertipe aglutinasi. Dengan jalan peng- imbuhan, sebuah leksem dapat melahirkan banyak kata yang ten- tu saja maknanya berlapis-lapis. Data I 1) Botiima?o meja (ini meja). 2) Kameja?u wahu? ende (kemejaku biru). 3) Pohamamai bongo limo (ambillah kelapa lima (buah)). 4) Wa?u o doi (aku beruang). Data ini memperlihatkan bahwa kata meja (meja), wahu? ende (biru), limo (lima), dan wa?u (aku) hanya mengandung makna tunggal. Kata-kata ini hanya memiliki satu lapis makna. Dengan kata lain, maknanya belum bertumpang tindih. Data II 1) Tio loona?o ode paatali (ia (telah) pergi ke pasar). 2) Ti Paapa hulo-hulo?o (ayah (sedang) duchuk) 3) Ti Pama hemomutahu (paman sedang menembak). 4) Ami moluladu (kami (akan) menulis). Kalau diperhatikan kata-kata: loona?o ((telah) pergi); hulo- Aulo?o (sedang duduk); hemomuntahu (sedang menembak); moluladu ((akan) menulis), terdapat kenyataan bahwa makna yang terkandung di dalam kata-
  • 9. 6 kata ini berbeda dengan makna yang dikemukakan pada Data I. Pada Data I terlihan bahwa kata-kata tersebut hanya memiliki satu lapis makna, sedangkan pada Data II, kata-kata tersebut mengandung dua lapis makna.. Ambillah kata loona?o ((telah) pergi). Kata loon?o, leksemnya adalah na?o, mendapat awalan lo  loona?o, Kata loona?o bermakna telah pergi. Jadi, di samping menyatakan makna pergi, juga terkandung makna bahwa kegiatan tersebut telah dilaksanakan. Kapan dilaksanakan, tidak diinformasikan. Dengan kata lain, kata loona?o (telah) pergi) mengandung dua lapis makna, yakni kegiatan itu sendiri, pergi, dan lapis kedua berupa informasi tentang kala (tenses). Hal yang sama berlaku pula untuk kata-kata: hulo-hulo?o (sedang duduk), hemomutahu (sedang menembak), dan kata moluladu ((akan) menulis). Maksudnya, semua kata ini mengandung dua lapis makna. C. Jenis-jenis Relasi Makna 1. Sinonimi Secara etimologi kata sinonimi berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu onoma yang berarti ‘nama’, dan syn yang berarti ‘dengan’. Maka secara harfiah kata sinonim berarti ‘nama lain untuk benda atau hal yang sama’. Secara semantik menurut Verhaar (1978) mendefinisikan sebagai ungkapan (bisa berupa kata, frase atau kalimat) yang maknanya kurang lebih sama dengan makna ungkapan lain (Abdul Chaer, 2013). Hubungan makna antara dua buah kata yang bersinonim bersifat dua arah. Dua buah kata yang bersinonim kesamaannya tidak seratus persen, hanya kurang lebih dan kesamaanya tidak bersifat mutlak (Zgusta dan Ullman dalam Abdul Chaer). Tidak mutlak sebab ada prinsip semantik yang mengatakan apabila bentuk berbeda maka makna pun akan berbeda, walaupun perbedaanya hanya sedikit. Kata-kata yang bersinonim itu tidak memiliki makna yang persis sama.
  • 10. 7 Menurut teori Verhaar yang sama tentu adalah informasinya, padahal informasi ini bukan makna karena informasi bersifat ekstralingual sedangkan makna bersifat intralingual. Kesinoniman mutlak atau kesinoniman simetris memang tidak ada dalam perbendaharaan kata bahasa Indonesia. Ketidakmungkinan kita untuk menukar sebuah kata dengan kata lain, yang bersinonim adalah banyak sebabnya. Antara lain: faktor waktu, faktor tempat atau daerah, faktor sosial, faktor bidang kegiatan dan faktor nuansa makna. Sinonim tidak hanya terjadi pada kata, tetapi bisa dalam satuan bahasa lainnya seperti: morfem bebas dengan morfem terikat, kata dengan kata, kata dengan frase, frase dengan frase dan kalimat dengan kalimat. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan mengenai sinonim: a) Tidak semua kata dalam bahasa Indonesia mempunyai sinonim. b) Ada kata-kata yang bersinonim pada bentuk dasar tetapi tidak pada bentuk jadian. c) Ada kata-kata yang tidak mempunyai sinonim pada bentuk dasar, tetapi memiliki sinonim pada bentuk jadian. d) Ada kata-kata yag dalam arti “sebenarnya” tidak mempunyai sinonim, tetapi dalam arti “kiasan” justru mempunyai sinonim. 2. Antonimi atau Oposisi Kata antonimi berasal dari kata Yunani kuno, yaitu onoma yang artinya ‘nama’, dan anti yang artinya ‘melawan’. Maka secara harfiah antonim berarti ‘nama lain untuk benda lain pula’. Secara semantik, Verhaar (1978) mendefinisikan sebagai ungkapan (biasanya berupa kata, tetapi dapat pula dalam bentuk frase atau kalimat) yang maknanya dianggap kebalikan dari makna ungkapan lain (Abdul Chaer, 2013). Hubungan makna antara dua buah kata yang berantonim bersifat dua arah. Antonim terdapat pada semua tataran bahasa, tataran morfem, tataran kata, tataran frase, dan tataran kalimat. Hanya mencari contohnya dalam setiap bahasa tidak mudah.
  • 11. 8 Antonim pun, sama halnya dengan sinonim, tidak bersifat mutlak. Itulah sebabnya barangkali dalam batasan diatas, Verhaar menyatakan “yang maknanya dianggap kebalikan dari makna ungkapan lain”. Jadi hanya dianggap kebalikan bukan mutlak berlawanan. Dengan istilah oposisi, maka bisa tercakup dari konsep yang betul-betul berlawanan sampai kepada yang hanya bersifat kontras saja. Berdasarkan sifatnya, oposisi dapat dibedakan menjadi : a) Oposisi mutlak, yaitu terdapat pertentangan makna secara mutlak. b) Oposisi kutub, yaitu makna kata-kata yang termasuk oposisi kutub ini pertentangannya tidak bersifat mutlak, melainkan bersifat garadasi. Artinya terdapat tingkat-tingkat makna pada kata-kata. Kata-kata yang beroposisi kutub ini umumnya adalah kata-kata dari kelas adjektif. c) Oposisi hubungan, yaitu makna kata-kata yang beroposisi hubungan (relasional) ini bersifat saling melengkapi. Artinya, kehadiran kata yang satu karena ada kata yang lain menjadi oposisinya. Tanpa kehadiran keduanya maka oposisi ini tidak ada. Kata-kata yang beroposisi hubungan ini bisa berupa kata kerja. Selain itu, bisa berupa kata benda. d) Oposisi hierarkial yaitu, makna kata-kata yag beroposisi hierarkial ini menyatakan deret jenjang atau tingkatan. Kata-kata yang beroposisi hierarkial ini adalah kata-kata yang berupa nama satuan ukuran (berat, panjang dan isi), nama satuan hitungan dan penanggalan, nama jenjang kepangkatan, dan sebagainya. e) Oposisi majemuk yaitu, oposisi di antara dua buah kata. Namun, dalam perbendaharaan kata bahasa Indonesia ada kata-kata yang beroposisi lebih dari satu kata. 3. Homonimi, Homofoni, dan Homografi Kata homonimi berasal dari bahasa Yunani kuno onomo yang artinya ‘nama’ dan homo artinya ‘sama’. Secara harfiah homonimi dapat diartikan sebagai ‘nama sama untuk benda atau hal lain’. Secara semantik, Verhaar (1978) memberi definisi homonimi sebagai ungkapan (berupa kata, frase atau kalimat) yang
  • 12. 9 bentuknya sama dengan ungkapan lain (juga berupa kata, frase atau kalimat) tetapi maknanya tidak sama (Abdul Chaer, 2013). Dalam bahasa Indonesia banyak juga homonimi yang terdiri lebih dari tiga buah kata. Di dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia susunan W.J.S Poerwadarminta di dalam kata yang berhomonimi digunakan angka Romawi, tetapi dalam Kamus Bahasa Indonesia (1983) oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, dan Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988) juga oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, kata-kata yang berhomonimi itu ditandai dengan angka Arab. Hubungan antara dua buah kata yang homonim bersifat dua arah. Ada dua kemungkinan sebab terjadinya homonimi : a) Bentuk-bentuk yang berhomonimi itu berasal dari bahasa atau dialek yang berlainan. b) Bentuk-bentuk yang berhomonim itu terjadi sebagai hasil proses morfologi. c) Sama halnya dengan sinonim, antonim, homonimi ini dapat terjadi pada tataran morfem, tataran kata, tataran frase, dan tataran kalimat. d) Homonimi antarmorfem, tentunya antara sebuah morfem terikat dengan morfem terikat lainnya. e) Homonimi antarfrase f) Homonimi antarkalimat Di samping homonimi ada pula istilah homofoni dan homografi. Ketiga istilah ini biasanya dibicarakan bersama karena ada kesamaan objek pembicaraan. Homonimi dilihat dari segi “bunyi” (homo yang artinya sama dan fon yang artinya bunyi), sedangkan homografi dilihat dari segi “tulisan”, “ejaaan” (homo yang artinya sama dan grafi yang artinya tulisan). Homofoni sebetulnya sama saja dengan homonimi karena realisasinya bentuk- bentuk bahasa adalah berupa bunyi. Jadi, kata ‘bisa’ yang berarti ‘racun ular dan kata ‘bisa’ yang berarti ‘sanggup’, selain merupakan bentuk yang homonimi adalah juga bentuk yang homofoni, dan juga homografi karena tulisannya juga sama. Dalam bahasa Indonesia ada sejumlah kata yang homofon, tetapi ditulis
  • 13. 10 dengan ejaan yang berbeda karena ingin memperjelas perbedaan makna. Di dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia susunan Poerwadarminta kata-kata yang homograf ini diberi keterangan cara melafalkannya di belakang tiap-tiap kata. Ada beberapa buku pelajaran yang menyatakan bahwa homograf adalah juga homonim karena mereka berpandangan ada dua macam homonim, yaitu (a) homonim yang homofon, dan (b) homonim yang homograf. 4. Hiponimi dan Hipernimi Kata hiponimi berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu onoma berarti ‘nama’ dan hype berarti ‘dibawah’. Jadi, secara harfiah berarti ‘nama yang termasuk di bawah nama lain’. Secara semantik Verhaar (1978) menyatakan hiponim ialah ungkapan (biasanya berupa kata, tetapi kiranya dapat juga frase atau kalimat) yang maknanya dianggap merupakan bagian dari makna suatu ungkapan lain. Jika relasi antara dua buah kata yang bersinonim, berantonim, dan berhomonim bersifat dua arah maka relasi antara dua buah kata yang berhiponim ini adalah searah. Definisi Verhaar disebutkan bahwa hiponim kiranya terdapat pula dalam bentuk frase dan kalimat. Namun, kiranya sukar mencari contohnya dalam bahasa Indonesia karena juga hal ini lebih banyak menyangkut masalah logika dan bukan masalah linguistik. Ole karena itu, menurut Verhaar masalah ini dapat dilewati saja, tidak perlu dipersoalkan lagi. Konsep hiponimi dan hipernimi mengandaikan adanya kelas bawahan dan kelas atasan, adanya makna sebuah kata yang berada di bawah makna kata lainnya. Karena itu, ada kemungkinan sebuah kata yang merupakan hipernimi terhadap sejumlah kata lain, akan menjadi hiponim terhadap kata lain yang hierarkial berada diatasnya. Konsep hiponimi dan hipernimi mudah diterapkan pada kata benda tetapi agak sukar pada kata kerja dan kata sifat. Di samping istilah hiponimi ada pula istilah yang disebut meronimi. Kedua istilah ini mengandung konsep yang hampir sama. Bedanya adalah kalau hiponimi menyatakan adanya kata (unsur leksikal) yang maknanya berada di bawah makna
  • 14. 11 kata lain, sedangkan meronimi menyatakan adanya kata (unsur leksikal) yang merupakan bagian dari kata lain. 5. Polisemi Polisemi lazim diartikan sebagai satuan bahasa ( terutama kata, bisa juga frasa) yang memiliki makna lebih dari satu. Menurut pembicaraan terdahulu setiap kata hanya memiliki satu makna, yakni yang disebut makna leksikal dan makna yang sesuai dengan referennya. Dalam perkembangan selanjutnya komponen-komponen makna ini berkembang menjadi makna-makna tersendiri. Makna-makna yang bukan makna asal dari sebuah kata bukanlah makna leksikal sebab tidak merujuk kepada referen dari kata itu yang berkenaan dengan polisemi ini adalah bagaimana kita bisa membedakannya dengan bentuk-bentuk yang disebut homonimi. Bahwa homonimi bukanlah sebuah kata, melainkan dua buah kata atau lebih yang kebetulan bentuknya sama. Homonimi bukan sebuah kata maka maknanya pun berbeda, di dalam kamus bentuk-bentuk yang homonimi didaftarkan sebagai entri-entri yang berbeda. Sebaliknya bentuk-bentuk adalah sebuah kata yang memiliki makna lebih dari satu. Karena polisemi ini adalah sebuah kata maka di dalamnya kamus didaftarkan sebagai sebuah entri. Satu lagi perbedaan antara homonimi dan polisemi, yaitu makna-makna pada bentuk-bentuk homonimi tidak ada kaitan atau hubungannnya sama sekali antara yang satu dengan yang lainnya. 6. Ambiguitas Ambiguitas atau ketaksaan sering diartikan sebagai kata yang bermakna ganda atau mendua arti. Polisemi juga bermakna ganda. Polisemi dan ambiguitas sama- sama bermakna ganda hanya kalau kegandaan makna dalam polisemi berasal dari kata, sedangkan kegandaan makna dalam ambiguitas berasal dari satuan
  • 15. 12 gramatikal yang lebih besar, yaitu frase atau kalimat dan terjadi sebagai akibat penafsiran struktur gramatikal yang berbeda. Bahasa lisan penafsiran ganda ini mungkin tidak akan terjadi karena stuktur gramatikal itu dibantu oleh unsur intonasi. Namun, dalam bahasa tulis penafsiran ganda ini dapat saja terjadi jika penanda-penanda ejaan tidak lengkap diberikan. Perbedaan ambiguitas dengan homonimi dilihat sebagai bentuk yang kebetulan sama dan dengan makna yang berbeda, sedangkan ambiguitas adalah semua bentuk dengan makna yang berbeda sebagai akibat dari berbedanya penafsiran stuktur gramatikal bentuk tersebut. Ambiguitas hanya terjadi pada satuan frase dan kalimat, sedangkan homonimi dapat terjadi pada semua satuan gramatikal (morfem, kata, frase, dan kalimat). 7. Redudansi Istilah redundansi sering diartikan sebagai ‘berlebih-lebihan pemakaian unsur segmental dalam suatu bentuk ujaran’. Salah satu prinsip dasar semantik adalah bila bentuk berbeda maka makna pun akan berbeda. Makna adalah suatu fenomena dalam ujaran (utterance, internal phenomenon), sedangkan informasi adalah sesuatu yang luar ujran (utterence-external).
  • 16. 13 BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Relasi makna adalah hubungan kemaknaan atau relasi semantik antara sebuah kata atau satuan bahasa lainnya dengan kata atau satuan bahasa lainnya lagi. Hubungan atau relasi kemaknaan ini mungkin menyangkut hal kesamaan makna (sinonim), kebalikan makna (antonim), kegandaan makna (polisemi dan ambiguitas), ketercakupan makna (hiponimi), kelainan makna (homonimi), kelebihan makna (redundansi), dan lainnya. B. Saran Penulis menyadari bahwa makalah diatas banyak sekali kesalahan dan jauh dari kesempurnaan. Penulis akan memperbaiki makalah tersebut dengan berpedoman pada banyak sumber yang dapat dipertanggungjawabkan. Maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran mengenai pembahasan makalah dalam kesimpulan di atas.
  • 17. 14 DAFTAR PUSTAKA Masduki, M. (2013). Relasi Makna (Sinonimi, Antonimi, dan Hiponimi) dan Seluk Beluknya. Prosodi: Jurnal Ilmu Bahasa dan Sastra, 7(1), Article 1. https://doi.org/10.21107/prosodi.v7i1.47 Pateda, Mansoer. 2010. Semantik Leksikal. Jakarta: Rineka Cipta. Alegorinai. 2016. Relasi Makna (Pengertian, dan Jenis-jenisnya). https://alegorinai.wordpress.com/2016/08/18/relasi-makna-pengertian-dan- jenis-jenisnya/ (diakses pada tanggal 17 Maret 2020)