1. 1
Refleksi Gerakan Literasi
:: agus m. irkham
Kehadiran Taman Bacaan Masyarakat (TBM) semula dimaksudkan
sebagai sarana menjaga keaksaraan teknis masyarakat. Yakni mereka
yang semula buta huruf, lantas sudah melek huruf tidak kembali
mengalami buta huruf. Buta huruf yang dikarenakan kemampuan
membaca teknis yang sudah dimiliki tidak pernah dipraktikkan atau
digunakan. Baik menulis, terutama membaca. Dan itu dipicu oleh
sulitnya mereka mengakses bahan bacaan. Entah karena faktor jarak,
harga maupun ketiadaan bahan bacaan. TBM hadir menjadi solusi
bagi persoalan sulitnya akses tersebut.
Namun seiring berjalannya waktu, pola kegiatan dan model
pengembangan TBM dalam konteks gerakan literasi tidak bisa lagi
memfokuskan pada keberaksaraan teknis itu. Tapi harus mulai
bergeser pada keaksaraan fungsional dan budaya.
Apa pasal?
Karena meskipun angka melek aksara masih ada, angkanya semakin
menciut. Tahun 2003, ada 15,41 juta orang buta aksara di Indonesia.
Pada tahun 2010, jumlah itu menyusut tinggal 7,54 juta orang.
Artinya, Indonesia lebih cepat melampaui target Millenium
Development Goals (MDGs) yang menyepakati penurunan 50 persen
buta aksara pada tahun 2015. Capaian prestasi yang menghasilkan
ganjaran berupa penghargaan UNESCO Sejong Literacy Prize .
Indonesia dinilai memiliki kontribusi luar biasa terhadap upaya
pemberantasan angka buta huruf.
Nah berdasarkan beberan pencapaian perangkaan keaksaraan teknis
di atas, tentu saja jika TBM hanya memfokuskan pada program
keaksaraan teknis akan cepat mati gaya. Karena dalam hitungan
beberapa tahun lagi besar kemungkinan angka buta huruf akan
semakin sedikit—jika kita sepakat menghilangkannya sama sekali
sebagai sesuatu yang mustahil.
2. 2
Belum lagi perubahan kondisi yang berlangsung di masyarakat terkait
dengan pemanfaatan social media dan integrasi internet ke
handphone—yang di Indonesia jumlah pemegangnya sudah tembus
250 juta. Mau tidak mau, suka tidak suka TBM harus pula
meresposnya. Bukan menjadikan kecenderungan itu sebagai sesuatu
yang harus ditakuti dan dihindari, sebaliknya harus dimanfaatkan.
Lagi, gerakan literasi melalui pendirian perpustakaan warga dan TBM
juga sudah mulai menyempit ke kesatuan-kesatuan spasial yang
semakin kecil. Tidak lagi kecamatan atau desa/kelurahan, tapi RW
(rukun warga).
Beberapa kecenderungan, fenomena, dan perubahan yang tengah
berlangsung tersebut pada 4-7 Desember 2012 lalu secara khusus
dibahas dalam Lokakarya Evaluasi Pengembangan Budaya Baca.
Acara yang berlangsung di Surabaya itu diadakan oleh Direktorat
Pembinaan Pendidikan Masyarakat, Kementerian Pendidikan dan
Kebudyaan.
Kebetulan penulis menjadi salah satu peserta dan tergabung dalam
kelompok yang mengevaluasi program budaya baca yang sudah dan
sedang dilakukan di Indonesia sepanjang tahun 2012. Tidak hanya itu,
tapi juga merumuskan pengembangan gerakan budaya baca ke
depan, khususnya terkait dengan peran TBM, mulai dari yang bersifat
filosofis, sosiologis, hingga teknis.
Dalam catatan saya, paling kurang ada lima entry evaluasi sekaligus
refleksi gerakan literasi selama tahun 2012 ini.
Pertama, penambahan gerai baca (TBM) melalui program 1RW-1TBM
(Satu Rukun Warga Satu Taman Bacaan Masyarakat) sebagai gerakan
ke masyarakat yang bersifat jangka panjang dan berkelanjutan. Hal
ini perlu dan penting mengingat jumlah TBM yang ada baru sekitar 8
persen dari total jumlah desa di tanah air (75.000 desa). Artinya
masih sangat sedikit masyarakat yang terlayani bacaan. Atas dasar itu
penambahan jumlah TBM harus diretas. Agar semakin mendekati
3. 3
atau mencerminkan kebutuhan masyarakat, secara jumlah dan
kualitas TBM.
Kedua, menambahkan peran TBM sebagai tandon naskah buku.
Sehingga pada tiap diri pengelola, pengunjung, dan TBM sebagai
kelembagaan ada peningkatan kualitas dan kapasitas. Dari membaca
ke menulis. Dari konsumen bacaan ke produsen bacaan. Dari objek
bacaan ke subjek bacaan. Penambahan peran TBM ini juga menjadi
bagian dari upaya menaikkan indeks konsumsi buku per kapita.
Di Indonesia, pertahun sekitar 30.000 judul diterbitkan. Dengan
asumsi tiap terbit dicetak 3.000 eksemplar, maka total buku yang
beredar sebesar 90.000.000 eksemplar. Besar memang, tapi karena
jumlah penduduk kita juga besar (220 juta jiwa), maka indeks
perkapita kepemilikan buku hanya 0,40. Jauh di bawah negeri
tetangga kita, Malaysia (1,07) bahkan Vietnam sekalipun (0,53). Maka
pada titik ini, kehadiran TBM tidak saja tampil sebagai penanda
zaman, tapi juga menjadi bagian dari yang ikut berkontribusi dalam
menjawab tantangan zaman. Yakni berupa meningkatnya kuantitas
kebutuhan masyarakat terhadap bahan bacaan.
Ketiga, selama ini pendirian dan pembinaan TBM di daerah—dalam
beberapa kasus—masih sangat tergantung pada peran Dinas
Pendidikan Daerah, dalam hal ini adalah Kepala Bidang Pendidikan
Non Formal Informal. Nah, menariknya berdasarkan hasil temuan
investigasi tim teknis pengembangan budaya baca Dikmas, masih saja
ada propinsi yang belum memiliki satu TBM pun yang layak kunjung.
Sudah begitu, PNFI di daerah (Propinsi dan Kabupaten/Kota) belum
mengoptimalkan perannya sebagai fasilitator sekaligus motivator
yang menggerakkan masyarakat agar mendirikan TBM di daerah.
Maka ke depan, alangkah baiknya jika Subdit Sarana dan Prasarana
Direktorat Pembinaan dan Pendidikan Masyarakat, Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan di awal tahun mengadakan pelatihan
untuk para Kabid PNFI di tingkat Propinsi dan Kabupaten. Pelatihan
berisi motivasi atau dorongan, khususnya berkaitan dengan
pengembangan budaya baca (TBM) di daerah masing-masing. Serta
4. 4
menebalkan kesadaran kepada mereka tentang strategisnya fungsi
PNFI dalam gerakan literasi di Indonesia.
Keempat, dalam era dunia tidak lagi selebar daun kelor tapi sudah
seruas jari jempol, TBM harus superior dalam memarketingkan
gerakan budaya baca. Harus mulai untuk banyak bekerja, sekaligus
banyak bicara (talk more do more). Baik melalui TBM dari sisi
kelembagaannya, peranannya dalam gerakan literasi yang lebih luas,
maupun dari beragam program kreatif yang pernah digelarnya.
Saluran social marketing-nya bisa melalui dua jalan. Yakni helatan
literasi berupa program Indonesia Membaca di tingkat lokal: Jember
Membaca, Malang Membaca, Batang Membaca, Semarang
Membaca, Makassar Membaca, dan lain sebagainya, serta
pemanfaatan social media untuk mempublikasikan, profil, kegiatan,
serta gagasan. Mulai dari facebook, twitter, wikipedia, slideshare,
flickr hingga youtube.
Kelima, diperlukan satu website khusus (tersendiri) yang dapat
dijadikan sarana merekam (direktori profil TBM se-Indonesia),
berbagi informasi, dan inspirasi sesama (pegiat) TBM. Termasuk
berelasi dengan pemerintah—berkaitan dengan peraturan dan
penganggaran—dan stakeholder budaya baca lainnya. Sehingga di
masa depan, gerakan literasi di Indonesia akan semakin efektif,
efisien, transparan, dan partisipatif.●