11 PPT Pancasila sebagai Paradigma Kehidupan dalam Masyarakat.pptx
PLS Bank Syariah
1. MAKALAH
“PROFIT LOST SHARING”
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Perbankan Syariah di Indonesia
Dosen Pengampu :
Bakhrul Huda, M.E.I
OLEH KELOMPOK 9 :
1. Amelia Anastasha (G04219006)
2. Vita Sari Safiroh (G74219123)
3. Imam Ali Mustofa (G94219157)
PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
2020
2. 2
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmannirrohim
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena tuntunan, rahmat,
dan karunia-Nyalah kita dapat melanjutkan kehidupan kita terutama kita tetap dapat menjalani
aktivitas kita sehari-hari sebagai seorang mahasiswa, dan oleh karena-Nya pula penulis dapat
menyelesaikan makalah ini sebagai bentuk tugas mata kuliah “Perbankan Syariah di Indonesia”
yang dibawakan oleh bapak Bakhrul Huda, M.E.I. .
Makalah ini berjudul “Profit Lost Sharing” Dalam menyusun makalah ini, penulis telah
berupaya semaksimal mungkin untuk menyajikan yang terbaik sesuai kemampuan penulis.
Harapannya, semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca khususnya
mahasiswa terutama dalam menyusun makalah selanjutnya yang dapat digunakan sebagai
referensi.
Akhir kata pengantar ini penulis mengucapakan terimakasih kepada Bapak Bakhrul
Huda, M.E.I. yang telah membimbing kami dalam proses belajar-mengajar, dan kepada semua
pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini, dan jika ada kritik dan saran yang
bersifat membangun penulis akan menerimanya sebagai bahan acuan mengoreksi diri dan
kedepannya dapat menyajikan yang lebih baik lagi dari makalah ini.
Penulis
3. 3
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................................................2
DAFTAR ISI...........................................................................................................................................3
BAB I.....................................................................................................................................................4
PENDAHULUAN...................................................................................................................................4
1.1. Latar Belakang.........................................................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah....................................................................................................................4
1.3 Tujuan Masalah........................................................................................................................4
BAB II ....................................................................................................................................................5
PEMBAHASAN .....................................................................................................................................5
2.1 Konsep Dasar Profit Lost Sharing.............................................................................................5
2.2 Kontrak Mudharabah................................................................................................................9
2.3 Aplikasi Mudharabah Dalam Perbankan Syariah ....................................................................13
BAB III.................................................................................................................................................18
PENUTUP ............................................................................................................................................18
3.1 Kesimpulan............................................................................................................................18
3.2 Saran......................................................................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................................19
4. 4
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Akad mudharabah merupakan salah sattu produk perbankan syariah. Seperti yang
dibutkan didalam Undang-Undang 2008 Tentang Perbankan Syariah menyebutkan,
bahwa salah satu akad pembiyaan syaariah adalah mudharabah. Selain itu Bank
Indonesia (PBI) Nomor, 10/16/PBI/2008 Dalam kegiatan perhimpunan dana dan
penyaluran Bank Syariah, juga menyebutkan mudharbah adalah yang didalam
perbankan.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana Konsep Dasar Profit Lost Sharing sebagai Karakteristik Bank Syariah?
2. Bagaimana Kontrak Mudharabah?
3. Bagaimana Aplikasi Mudharabah dalam Perbankan Syariah?
1.3 Tujuan Masalah
1. Untuk Mengetahui Konsep Dasar Profit Lost Sharing sebagai Karakteristik Bank
Syariah
2. Untuk Mengetahui Kontrak Mudharabah
3. Untuk Mengetahui Aplikasi Mudharabah dalam Perbankan Syariah
5. 5
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Konsep Dasar Profit Lost Sharing
Keharaman bunga dalam syariah membawa konsekuensi adanya penghapusan bunga
secara mutlak. Teori profit lost sharing (PLS) dibangun sebagai tawaran baru diluar sistem bunga
yang cenderung tidak mencerminkan keadilan karena memberikan diskriminasi terhadap
pembagian resiko maupun untung bagi para pelaku ekonomi. Principles of Islamic Finance
dibangun atas dasar larangan riba, larangan gharar, tuntutan bisnis halal, resiko bisnis ditanggung
bersama, dan transaksi ekonomi berlandaskan pada pertimbangan memenuhi rasa keadilan. Profit
lost sharing berarti keuntungan atau kerugian yang mungkin timbul dari kegiatan ekonomi/bisnis
ditanggung bersama-sama. Dalam atribut nisbah bagi hasil tidak terdapat suatu fixed and certain
return sebagaimana bunga, tetapi dilakukan profit lost sharing berdasarkan produktivitas nyata
dari produk tersebut.1
Sebenarnya dalam perekonomian modern pembiayaan dengan system PLS
sudah biasa terjadi dalam berbagai kegiatan penyertaan modal (equty financing) bisnis.
Kepemilikann saham dalam suatu perseroan merupakan contoh popular dalam penyeertaan
modal. Pemegang saham akan mnerima keuntungan berupa deviden sekaligus menanggung
resiko jika perusahaan mengalami kerugian.
Dalam sistem Profit Lost Sharing harga modal ditentukan secara bersama dengan peran
dari kewirausahaan. Price of capital dan entrepreneurship merupakan kesatuan integratif yang
secara bersama-sama harus diperhitungkan dalam menentukan harga faktor produksi. Dalam
pandangan syariah uang dapat dikembangkan hanya dengan suatu produktivitas nyata. Tidak ada
tambahan atas pokok uang yang tidak menghasilkan produktivitas2
.
Dalam perjanjian bagi hasil yang disepakati adalah proporsi pembagian hasil (disebut nisbah
bagi hasil) dalam ukuran presentase atas kemungkinan hasil produktivitas nyata. Nilai nominal
bagi hasil yang nyata-nyata diterima, baru dapat diketahui setelah hasil pemanfaatan dana
tersebut benar-benar telah ada. Nisbah bagi hasil ditentukan berdasarkan kesepakatan pihak-
1
Adiwarman A. Karim, Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontenporer, Jakarta:Bina Insani, 2001, hlm. 143.
2
Muchlis Yahya, Edy Agunggunanto,”Teori Bagi Hasil (Profit and Lost Sharing) dan Perbankan Syariah
dalam Ekonomi Syariah”, Jurnal Dinamika Ekonomi Pembangunan, Vol.1 No.1, Juli 2011, Universitas Diponegoro
Semarang, hlm. 67.
6. 6
pihak yang bekerja sama (share and partnership) dan prospek perolehan keuntungan (expected
risk). Secara sistematis dapat diformulasikan menjadi :
BH = f (S,p, 0)
Keterangan :
BH = bagi hasil
S = share on partnership
p = expected return
0 = expected risk
Kesepakatan suatu tingkat nisbah terlebih dahulu harus memperhatikan ketiga faktor
tersebut. Faktor pertama, share on partnership merupakan sesuatu yang telah nyata dan terukur.
Oleh karenanya tidak memerlukan perhatian khusus. Dua faktor terakhir, expected return, dan
expected risk memerlukan perhatian khusus. Oleh karenanya kemampuan untuk memperkirakan
keuntungan maupun resiko yang mungkin terjadi dalam kerjasama yang berlandaskan PLS
mutlak dibutuhkan, terutama pada aspek kemungkinan resiko. Hal Ini karena, pertama, resiko
memiliki efek negatif bagi usaha. Semakin besar resiko semakin mengurangi nilai keuntungan
usaha. Kedua, resiko memiliki sumber, cakupan dan sifat yang seringkali tidak
memperhitungkan data secara cermat. Ketiga, perkiraan atas keuntungan biasanya memasukkan
perhitungan variabel resiko3
.
Pada dasarnya suatu resiko muncul karena ada ketidakpastian (uncertainty) di masa
depan. Ketidakpastian dibagi menjadi 3 kategori:
1. Risk. Kemunculannya berkemungkinan memiliki preseden historis dan dapat dilakukan
estimasi probabilitas untuk tiap hasil yang mungkin muncul.
2. Structural uncertainties. Kemungkinan terjadinya suatu hasil bersifat unik, tidak memiliki
preseden di masa lalu. Akan tetapi tetap berkemungkinan terjadi dalam logika kausalitas.
3. Unknowables. Kemunculan kejadian secara ekstrim tidak terbayangkan sebelumnya.4
Dalam kategori ini resiko merupakan sebutan bagi kemungkinan kejadian yang ada
preseden historisnya dan mengikuti suatu distribusi probabilitas. Karenanya, resiko
sesungguhnya dapat diperkirakan -- setidaknya secara teoritis. Resiko merupakan segala sesuatu
yang terjadi secara tidak pasti di masa depan. Resiko dibagi menjadi 2 aspek, yakni:
3
Ibid, hlm. 68
4
Van Deer Heidjein, Investasi Syariah di Pasar Modal, Jakarta:Gramedia, 1996, hlm. 96.
7. 7
• Pasive risk, yaitu sebuah resiko yang terjadi dan benar-benar tidak ada perkiraan dan
perhitungan yang dapat dipakai, dan tidak diketahui jawabannya. Perkiraan atas resiko ini hanya
mengandalkan keberuntungan (game of chance), karena seseorang hanya dapat bersifat pasif.
• Responsive risk, yaitu resiko yang kemunculannya memiliki penjelasan kausalitas dan
distribusi probabilitas. Resiko ini dapat diperkirakan dengan menggunakan cara-cara tertentu.
Memperkirakan resiko responsif ini sering disebut game of skill, karena perkiraannya didasarkan
atas skill tertentu.5
Dalam batas-batas tertentu resiko dapat diperkirakan, Sehingga penerimaan seseorang atas
nisbah bagi hasil tidak melulu bersifat spekulatif. Resiko adalah sebuah konsekuensi dari
aktifitas produktif. Resiko yang perlu dihindari adalah yang tidak dapat diperkirakan, seperti
pasive risk atau unknowables. Resiko seperti ini dalam terminologi fiqh mu’amalah disebut
gharar yang benar-benar bersifat spekulatif. Gharar terjadi karena seseorang sama sekali tidak
(dapat) mengetahui kemungkinan terjadinya sesuatu, sehingga bersifat perjudian atau game of
chance. Jika satu pihak menerima keuntungan, maka pihak lain pasti mengalami kerugian. Hal
ini berarti telah terjadi win lose solution. Transaksi syariah mencerminkan positive sum game
atau win-win solution sebagaimana dalam ajaran teori profit loss sharing.
Dasar perhitungan bagi hasil dengan menggunakan profit/loss sharing merupakan bagi
hasil yang dihitung dari laba/rugi usaha. Kedua pihak, bank syariah maupun nasabah akan
memperoleh keuntungan atas hasil usaha mudharib dan ikut menanggung kerugian bila usahanya
mengalami kerugian.6
Contoh berikut untuk mempermudah penjelasan.
Nisbah yang telah ditetapkan adalah 10% untuk bank dan 90% untuk nasabah. Dalam hal
bank sebagai mudharib dan nasabah sebagai shohibul maal, bila bank syariah memperoleh
pendapatan Rp. 10.000.000,-
Dalam contoh tersebut, misalnya total biaya Rp. 9.000.000,- maka :
Bagi hasil yang diterima oleh nasabah adalah Rp. 900.000,- (90% x (Rp
10.000.000,- - Rp 9.000.000,-))
Bagi hasil untuk bank syariah sebesar Rp 100.000,- (10% x (10.000.000,- -
9.000.000,-)
5
Al-Sultan, Financial Characteristics of Interest Free Bank, Wollongong:The University of Wollongong, 1999,
hlm.8.
6
Ismail, Perbankan Syariah, Jakarta:PT Kharisma Putra Utama, 2017, hlm.99.
8. 8
Dengan berlandaskan kerangka teori fiqh mu’amalah (syariah) maka dapat dinyatakan,
bahwa sistem bunga masuk dalam kategori ruang lingkup gharar. Hal ini karena dalam
prosesnya mempunyai sifat game of chance. Secara operasional perbedaan bunga dan NBH
(nisbah bagi hasil) dapat dijabarkan melalui kerangka penjelasan Tabel 1.7
Tabel 1. Perbedaaan Bunga dengan Bagi Hasil
Bunga Bagi hasil
Tidak terdapat risk and return sharing.
Besarnya bunga ditentukan pada saat akad.
Jadi, terdapat asumsi pemakaian dana passti
mendatangkan keuntungan
Berdasarkan risk and return sharing. Besarnya
nisbah bagi hasil disepakati pada saat akad
dibuat dengan berpedoman pada kemungkinan
adanya resiko untung-rugi
Besarnya bunga berdaasarkan pressentasse
atas modal (pokok pinjaman). Besaran bunga
biasanya lebih ditentukan berdasarkan tingkat
bunga pasar market interest rate)
Besaran nisbah bagi hasil berdasarkan
pesentase atas keuntungan yang diperoleh.
Besaran nisbah bagi hasil disepakati lebih
didadarkan atass kontribusi masing-masing
pihak, prospek perolehan keuntungan, dan
tingkat resiko yang mungkin terjadi
Pembayaran bunga tetap sebagai mana dalam
perjanjian, tidak terpengaruh pada hasil riil
dari pemanfaatan dana
Jumlah nominal bagi hasil akan berfluktuasi
seuai dengan keuntungan riil dari pemanfaatan
dana
Eksistensi bunga diragukan oleh hamper
semua agama samawi, para pemikir besar,
bahkan ekonom
Eksistensi berdasarkan nilai-nilai keaddilan
yang bersumber dari Islam
Teori PLS dikembangkan dalam dua model, yakni model mudharabah dan musyarakah.
Model Mudharabah merujuk pada bentuk kerjasama usaha antara dua belah pihak. Pihak
pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh modal, sedangkan pihak lainnya menjadi
pengelola dana (mudharib). Model Musyarakah adalah akad kerjasama antara dua pihak atau
lebih untuk menjalankan suatu usaha tertentu. Masing-masing pihak memberikankontribusi dana
denan kesepakatan keuntungan dan resiko ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.8
7
Safii Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Jakarta:Gema Insani, 2000, hlm.101.
8
Zainul Arifin, Memahami Bank Syariah, Jakarta:Alvabet, 2000, hlm.156.
9. 9
2.2 Kontrak Mudharabah
a) Pengertian mudharabah
Al-Mudharabah adalah akad perjanjian antara dua pihak atau lebih untuk melakukan
kerjasama usaha. Satu pihak akan menempatkan modal sebesar 100% yang disebut dengan
shahibul maal, dan pihak lainnya sebagai pengelola usaha, disebut mudharib.9
Shohibul maal
berhak mendapat laba dari modal yang diserahkannya, dan mudharib juga berhak mendapat laba
dari tenaga kerja dan usahanya.10
Bagi hasil dari usaha yang dikerjasamakan dihitung sesuai
dengan nisbah yang disepakati antara pihak-pihak yang bekerja sama. Bila usaha yang
dilaksanakan oleh mudharib menderita kerugian, maka kerugian itu ditanggung oleh shohibul
maal selama kerugiannya bukan karena penyimpangan atau kesalahan yang dilakukan oleh
mudharib. Bila mudharib melakukan kesalahan dalam melakukan usaha, maka mudharib wajib
mengganti dana yang diinvestasikan oleh shohibul maal.
b) Aturan dan syarat mudharabah
Guna memfasilitasi berlangsungnya akad mudharabah, para fukaha telah bersusah payah
merumuskan aturan main bagi mudharabah ini sebagai berikut ini, dengan tetap sepenuhnya
memperhatikan syariat Islam.
Pertama, dua atau lebih orang, secara sukarela memasuki kontrak; salah satu pihak
menyediakan sejumlah modal yang diperlukan oleh pihak yang atu lagi akan menggunakan
modal tersebut didalam bisnis untuk mendapatkan laba.
Kedua, bagian laba masing-masing ppihak harus dijelaskan dengan terperinci dalam
bentuk rasio yang pasti atau persentase. Meski demikian, kerugian bisnis itu seluruhnya menjadi
tanggung jawab robbul mal.
Ketiga, modal haruslah dinilai dengan emas atau perak,atau uang, tidak boleh dalam
bentuk komoditas maupun dalam bentuk pembebasan utang.
Keempat, pihak robbul mal harus memenuhi seluruh modal yang diperlukan sebelum
mudharib memulai bisnisnya.
9
Ismail, Op.Cit., hlm.83.
10
M. Sharif C., Sistem Ekonomi Islam Prinsip Dasar, Jakarta;Kencana Prenada Media Group, 2012, hlm.210.
10. 10
Kelima, pihak mudharib bebas melakukan bisnisnya dengan modal yang dia anggap
mencukupi. Setiap syarat yang membatasi kebebasannya menjadikan kontrak itu cacat.
Terakhir, jangka waktu mudharabah tidak harus ditentukan terlebih dahulu dan tidak
pula harus dibatasi, tetapi pihak yang manapun dapat menghentikannya dengan memberitahukan
keinginannya itu kepada pihak lain.11
Dalam akad mudharabah, harus ada minimal dua pelaku. Pihak pertama bertindak sebagai
pemilik modal (shahibul maal), sedangkan pihak kedua bertindak sebagai pelaksana usaha
(mudharib).
c) Dasar Mudharabah
Mudharabah atau qirad termasuk salah saatu bentuk akad syirkah (perkongsian). Istilah
Mudhrabah digunakan orang Irak, sedangkan orang Hijaz menyebutnya dengan qirad. Dengan
demikian Mudharabah dan Qirad adalah dua istilah untuk maksud yang sama. Qirad diambil dari
kata Al-Qardu (potongan), sebab pemilik memberikan potongan dari hartanya untuk dierikan
kepada pengusaha agar mengusahakan harta tersebut dan pengusaha akan memberikan potongan
dari laba yang diperoleh. Bisa juga diambil dari kata muqaradah yang berarti (kesamaan), sebeb
pemilik modal dan pengaha memiliki hak yang sama terhadap laba. Orang Irak menyebutnya
dengan istilah Mudharabah sebeb setiap yang melakukan akad meiliki bagian dari laba atau
pengusaha harus mengadakan perjalanan dalam mengusahakan harta modal tersebut, perjalanan
tersebut dinamakan “dorban fissfar”12
.
d) Rukun dan Syarat Mudharaabah
a. Rukun Mudhrabah
Faktor-faktor yang harus ada (rukun) dalam akad mudharabah adalah:
1) Pelaku (pemilik modal maupun pelaksana usaha)
2) Objek mudharabah (modal dan kerja).
11
Ibid, hlm.212.
12
Rahmat Syafe’I, Fiqh Muamalah, (Bandung: CV.Pustaka Setia,2000), h. 223
11. 11
3) Persetujuan kedua elah pihak (ijab qobul).
4) Nisbah13
Pelaku, jelaslah bahwa rukun dalam mudharabah sama dengan rukun dalam akad jual beli
ditambah satu faktor tambahan, yakni nisbah keuntugan. Faktor pertama (pelaku) kiranya sudah
cukup jelas. Dalam akad mudharabah, harus ada minimal dua pelaku. Pihak prtama bertindak
ebagai pelaksana usaha (mudharib). Tanpa dua pelaku ini, maka akad mudharabah tidaak ada.
Objek, faktor (objek mudharabah) merupakan konsekuensi logis dari tindakan yang
dilakukan oleh para pelaku. Pemilik modal menyerahkan modalnya sebagai objek
mudharabah,sedangkan pelksana menyerahkan kerjnya sebagai konsep mudharbah. Modal yang
diseahkan bisa berbentuk uang atau barang yang diini berapa nili uangnya. Sedangkn kerj yang
diserahkan dalam bentuk keahlian, keterampilan, selling skill, menagement skill dan lai-lain.
Tanpa dua objek ini, akad mudharabah pun tidak akan ada.
Persetujuan, yakni persetujuan kedua belah pihak, mrupaakan konsekuensi dari prinsip
an-taradin minkum (sama-sama rela). Disini kedua belah pihak harus secara rela bersekapat
untuk mengikatkn diri dalam akad mudharabah. Shohibul mal setuju dengan pernnya
mengkotribusikan dana, sementara mudharib usaha pun setuju dengan perannya untuk
mengkotribusikan kerja.
Nisbah keuntungan, adalah rukun yang khas dari akad mudharabah, yang tidak adaa dlam
akad jual beli. Nisbah ini mencerminkan imbalan yang berhak dditrima oleh kedua belah pihak
yang bermudharabah, mudharib mendapatkan imbalan atas kerjanya, sedangan shahib al-mal
mendaat imbalan aatas penyertan modalnya. Nisbah keuntungan inilah yang akan mencegah
terjadi perselisihan antara kedua belah pihak mengenai cara pembagian keuntungan.
b. Syarat mudharabah14
Syarat-syarat sah mudharabah adalaah sebagai berikut:
13
Adiwarman A. Karim, Bank Islam Analisis Fiqiqh dan Keuangan, (Jakarta: The Internasional Institute of Islamic
Though Indonesia, 2003) h. 205
14
Muamalat Institut, Perbankan SyariahPerspektif Praktisi, (Jakarta: Yayasan Pendidikan Perbankan dan LKS.
2001) hlm. 73
12. 12
1) Orang yang terkait dengan akad adalah cukup bertindak hukum
2) Syarat modal yang digunkaan hrus:
a) Berbentuk uang (bukan barang).
b) Jelas jumlahnya
c) Tunai (bukan berbentuk uang)
d) Langsung diserahkan kepada mudhrib
3) Pembagian keuntungan harus jelas dan besarnyaa nisbah sesuai dengan yang
disepakati.
e). Bentuk bentuk mudharabah
1. Mudharabah Muthlaqah
Yang dimaksud dengan transaksi mudharabah muthlaqah adalah bentuk kerja
sama antara shahibul maal dan mudharib yang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi
oleh spesifikasi jenis usaha, waktu dan daerah bisnis.
2. Mudharabah Muqayyadah
Mudharabah Muqayyadah atau disebut juga dengan istilah restricted mudharabah
adalah kebalikan dari mudharabah muthlaqah. Mudahrib dibatasi dengan batasan jenis
usaha, waktu atau tempat usaha. Adanya pembatasan ini seringkali mnecerminkan
kecenderungan umum shahibul maal dalam memasuki jenis dunia usaha. shahib al-mal
boleh menetapkan bataan atau syarat-syarat tertentu guna menyelamtkan modalnya dari
resiko, syarat-syarat atau batasan ini harus dipeenuhi oleh mudharib. Apabila ia
melanggar batasan ini, ia bertanggung jawab atas kerugian yang timbul
Dalam praktik perbankan syariah kini dikenal dua bentuk mudharabah
muqayyadah, yaitu:
a. Off balance sheet, yaitu aliran dana berasal dari satu nasabah investor kepada
satu nasabah pembiayaan (yang dalam bank konvensional disebut debitur). Di
13. 13
sini bank syariah hanya bertindak sebagai arranger saja. Pencatatan
transaksinya di bank syariah dilakukan secara off balance sheet. Bagi hasilnya
hanya melibatkan nasabah investor dan pelaksana usaha sesuai dengan
kesepakatan mereka, sedangkan bank hanya memperoleh arranger free.
b. On balance sheet, yaitu aliran dana terjadi dari satu nasabah investor ke
sekelompok pelaksana usaha dalam beberapa sector terbatas, misalnya
pertanian, manufaktur dan jasa. Nasabah investor lainnya mungkin
mensyaratkan dananya hanya boleh dipakai untuk pembiayaan di sektor
pertambangan, properti dan pertanian. Selain berdasarkan sektor, nasabah
investor dapat saja mensyaratkan berdasarkan jenis akad yang digunakan,
misalnya hanya berdasarkan akad perjanjian kredit saja. Skema ini disebut On
Balance Sheet karena dicatat di dalam neraca bank.
Jadi, dalam dasarnya terdapat dua bentuk mudharabah yakni muthlaqah dan
muqayyadah15
.
3. Mudaharabah Tsuna’iyyah
Akad mudharabah yang dilakukan secara langsung antara pemilik modal
(shahibul maal) dan pengelola (mudharib).
4. Mudharabah Musytarakah
Akad Mudharabah yang pengelolanya (mudahrib) turut menyertakan modalnya
dalam kerjasama usaha.
2.3 Aplikasi Mudharabah Dalam Perbankan Syariah
Skema mudharabah yang telah kita bahas adalah skema yang berlaku anatra kedua belah
pihak saja secara langsung, yakni shahibul mal berhubungan langsung dengan mudharib. Dalam
kasus ini, yang terjadi adalah investasi langsung (direct financing) antara shahibul mal (sebagai
15
Ibid., hlm. 208
14. 14
surplus unit) dengan mudharib (sebagai deficit unit). Dalam direct financing ini, peran bank
sebagai perantara (intermediary) tidak ada.
Mudarabhah klasik seperti ini memiliki ciri-ciri khusus yaitu hubungan antara shahibul
mal dan mudharib merupakan hubungan personal dan langsung serta dilandasi oleh rasa saling
percaya antara kedua belah pihak. Shahibul mal hanya mau menyerahkan modalnya kepada
orang yang ia kenal dengan baik profesionalitas maupun karakternya.16
Modus mudharabah seperti itu tidak efisien lagi dan kecil kemungkinannya untuk
diterapkan oleh bank karena beberapa hal yaitu :
1. Sistem kerja pada bank adalah investasi berkelompok, dimana mereka tidak saling
mengenal. Jadi kecil kemungkinan terjadi hubungan yang langsung dan personal.
2. Banyak investasi sekarang ini membutuhkan dana dalam jumlah besar, sehingga
diperlukan puluhan bahkan ratus ribuan shahibul mal untuk sama-sama menjadi
penyandang dana untuk satu proyek tertentu.
3. Lemahnya disiplin terhadap ajaran islam menyebabkan sulitnya bank memperoleh
jaminan keamanan atas modal yang disalurkannya.
Untuk mengatasi hal diatas, khusunya masalah perrtama dan kedua, maka ulama
kontemporer melakukan inovasi baru atas skema mudharabah, yakni mudharabah yang
melibatkan tiga pihak. Tambahan satu pihak ini diperankan oleh bank syariah sebagai lembaga
perantara yang mempertemukan shahibul mal dengan mudharib. Jadi terjadi evolusi dari konsep
direct financing menjadi indirect financing.
16
Adiwarman A. Karim, Bank Islam, Jakarta:PT Raja Grafindo, 2006, hlm.210.
15. 15
Dalam skema indirect financing diatas , bank menerima dana dari shahibul mal dalam
bentuk dana pihak ketiga (DP-3) sebagai sumber dananya. Dana-dana ini dapat bebentuk
tabungan atau simpanan deposito mudhrabah dengan jangka waktu yang bervariasi. Selanjutnya
dana-dana yang sudah terkumpul ini disalurkan kembali oleh bank ke dalam bentuk pembiayaan-
pembiayaan yang menghasilkan (earning asset). Dan keuntungan dari penyaluran pembiayan
inilah yang akan dibagi hasil antara bank dengan pemilki DP-3 (mudharib).17
Proses inilah yang dipotret dalam neraca bank syariah, sehingga necara suatu bank
syariah pada dasarnya akan tampak sebagai berikut:
Aktiva
Penyaluran Dana (Financing & Investment)
Pasiva
Sumber Dana (Funding)
Non-Earning Assets:
Kas
Giro pada BI
Current Liabilites
Earning Assets:
Surat Berharga
Pembiayaan:
1. Murabahah
Dana Pihak Ketiga:
Giro wadiah
Tabungan Mudharabah
Deposito Mudharabah
17
Ibid, hlm.211.
16. 16
2. Ijarah
3. IMBT
4. Mudharabah
5. Musyarakah
Fixed Assets Stockholder’s Equity
Berdasarkan hasil penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Arianto menyebutkan bahwa
ada beberapa upaya untuk mengoptimalkan praktik mudharabah pada bank syariah antara lain
adalah: pertama, kesinambungan dan transparansi informasi terhadap usaha yang akan
dijalankan. Informasi usaha dan pasar adalah sesuatu yang sangat penting dan berharga dalam
setiap usaha. Oleh karena itu langkah ini bisa dimaksimalkan melalui database yang aktual, rinci
dan faktual, sambil terus mencari dan menemukan format usaha yang sesuai dengan iklim usaha
tersebut. Kedua, pengembangan industry-industri kecil yang dibina oleh bank syariah. Industri
ini benar-benar milik rakyat, prospektif dan dikelola dengan amanah. Ketiga, membuat aturan
yang sesuai dan berstandar dengan prinsip syariah18
.
Tingginya porsi pembiayaan berbasis bagi hasil mempunyai beberapa keunggulan, yaitu:
1. Pembiayaan mudharabah akan menggerakkan sektor rill karena pembiayaan ini bersifat
produktif yakni disalurkan untuk kebutuhan investasi dan modal kerja. Apabila investasi
di sektor rill meningkat, maka akan menciptakan kesempatan kerja baru sehingga dapat
mengurangi pengangguran sekaligus meningkatkan pendapatan negara.
2. Nasabah akan memiliki dua pilihan, apakah akan mendepositokan dananya pada bank
syariah atau bank konvensional. Nasabah akan membandingkan antara expected rate of
return yang ditawarkan bank syariah dengan tingkat suku bunga bank konvensional.
Dengan demikian diharapkan akan menjadi pendorong peningkatan jumlah nasabah di
bank syariah.
18
Arianto Nugroho, “Peranan Al-Mudharabah Sebagai Salah Satu Produk Perbankan Syariah dalam Upaya
Mengentaskan Kemiskinan di Indonesia”, Jurnal Ekonomi dan Pendidikan, Vol.8 No.2, November 2011.
17. 17
3. Peningkatan presentase pembiayaan bagi hasil akan mendorong tumbuhnya pengusaha
atau investor yang berani mengambil keputusan bisnis yang berisiko. Pada akhirnya kan
berkembang berbagai inovasi baru yang akan meningkatkan daya saing bank syariah.
4. Pola pembiayaan mudharabah adalah pola pembiayaan produktif yang memberikan nilai
tambah bagi perekonomian dan sektor rill sehingga kemungkinan terjadinya krisis
keuangan akan dapat dikurangi.19
Dengan pemahaman yang menyeluruh tentang akad mudharabah pada perbankan syariah
diharapkan kepercayaan masyarakat tentang perbankan syariah meningkat dalam mendukung
distribusi pendapatan, dan mampu memberdayakan sekaligus memberdayakan perekonomian
rakyat.
19
Sri abidah S., “Aplikasi Mudharabah dalam Perbankan Syariah di Indonesia”, Jurnal Ekonomika-Bisnis, Vol.4
No.1, Januari 2013, Universitas Negeri Surabaya, hlm.22-23.
18. 18
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dalam sistem Profit Lost Sharing harga modal ditentukan secara bersama dengan peran dari
kewirausahaan. Profit lost sharing berarti keuntungan atau kerugian yang mungkin timbul dari
kegiatan ekonomi/bisnis ditanggung bersama-sama. Dalam perjanjian bagi hasil yang disepakati
adalah proporsi pembagian hasil (disebut nisbah bagi hasil) dalam ukuran presentase atas
kemungkinan hasil produktivitas nyata.
Al-Mudharabah adalah akad perjanjian antara dua pihak atau lebih untuk melakukan kerjasama
usaha. Satu pihak akan menempatkan modal sebesar 100% yang disebut dengan shahibul maal,
dan pihak lainnya sebagai pengelola usaha, disebut mudharib.
Aplikasi mudharabah dalam perbankan syariah mengalami inovasi terbaru atas skema
mudharabah, yaitu mudharabah yang melibatkan tiga pihak. Tambahan satu pihak ini diperankan
oleh bank syariah sebagai lembaga perantara yang mempertemukan shahibul mal dengan
mudharib. Jadi terjadi evolusi dari konsep direct financing menjadi indirect financing.
3.2 Saran
Demikian penulisan makalah ini, harapan kami dengan adanya makalah ini bisa menjadikan
kita untuk lebih memahami tentang profit-lost sharing, kontrak mudharabah maupun aplikasi
mudharabah dalam perbankan syariah dalam kehidupan sehari-hari. Serta dengan harapan
semoga dapat dipahami dan bermanfaat bagi para pembaca.
19. 19
DAFTAR PUSTAKA
Adiwarman A. karim, 2001, Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer, Jakarta:Bina Insani.
Adiwarman A. Karim, 2003, Bank Islam Analisis Fiqiqh dan Keuangan (Jakarta: The
Internasional Instute Of Islamic Though Indonesia.
Adiwarman A. Karim, 2006, Bank Islam, Jakarta:PT Raja Grafindo.
Al-Sultan, 1999, Financial Characteristics of Interest Free Bank, Wollongong:The University of
Wollongong
Arianto Nugroho, 2011, “Peranan Al-Mudharabah sebagai Salah Satu Produk Perbankan
Syariah dalam Upaya Mengentaskan Kemiskinan di Indonesia”, Jurnal Ekonomi dan
Pendidikan, Vol.8 No.2
Ismail, 2017, Perbankan Syariah, Jakarta:PT Kharisma Putra Utama.
M. Sharif C., 2012, Sistem Ekonomi Islam Prinsip Dasar, Jakarta:Kencana Prenada Media
Group.
Muamalat, 2001, Institut Perbankan Syariah Perspektif Praktisi , Jakarta: Yayasan Pendidikan
Perbankan Dan LKS.
Muchlis Yahya, Edy Agunggunanto, 2011, ,”Teori Bagi Hasil (Profit and Lost Sharing) dan
Perbankan Syariah dalam Ekonomi Syariah”, Jurnal Dinamika Ekonomi Pembangunan,
Vol.1 No.1, , Universitas Diponegoro Semarang.
Rahmat Syafe’i, 2000, Fiqh Muamalah, Bandung: CV.Pustaka Setia.
Safii Antonio, 2000, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Jakarta:Gema Insani.
Sri Abidah S, 2013, “Aplikasi Mudharabah dalam Perbankan Syariah di Indonesia”, Jurnal
Ekonomika-Bisnis, Vol.4 No.1, Universitas Negeri Surabaya
Van Deer Heidjein, 1996, Investasi Syariah di Pasar Modal, Jakarta:Gramedia.
Zainul Arifin, 2000, Memahami Bank Islam, Jakarta:Alvabet.