Tiga kalimat:
1. Dokumen ini merangkum kunjungan lapangan utusan Kementerian Lingkungan Hidup dan Dinas Kehutanan Humbahas untuk memverifikasi pengaduan masyarakat terhadap dampak kerusakan lingkungan akibat kegiatan PT TPL di Tanah Batak.
2. Kunjungan lapangan menemukan berbagai bukti kerusakan lingkungan seperti penebangan hutan alam, penurunan debit air, dan kerusakan habitat hewan
1. Respon Kementerian Lingkungan Hidup atas Dampak TPL di Humbahas
Oleh: David Rajagukguk dan Trisna Harahap
Kehadiran PT TPL yang sebelumnya bernama Inti Indorayon Utama (IIU) ditanah Batak dari
hadirnya sampai sekarang masih perlu dipertanyakan. Apakah untung atau buntung yang
didatangkan bagi Tanah Batak ini. Cukup banyak permasalahan yang ditimbulkan baik dari
segi lingkungan karena pencemaran udara dan air serta kerusakan infrastruktur yang
dipergunakan umum terutama jalan akibat operasi turk pengangkut kayu mereka. Dan yang
paling parah, akibt kehadiran PT TPL di Tanah Batak adalah banyaknya sengketa tanah yang
berhubungan dengan Konsesi HPHTI mereka. Korbannya adalah Masyarakat adat yang telah
mengelolah tanahnya secara turun-temurun. Terkait dengan banyaknya masalah yang
ditimbulkan ini terkhusus soal lingkungan masyarakat sudah banyak membuat surat
pengaduan ke berbagai instansi terkait, termasuk ke kementrian lingkungan hidup. Salah
satu surat yang ditanggapi oleh kementerian lingkungan hidup adalah surat pengaduan
masyarakat dari Kecamatan Parlilitan yang disampaikan oleh salah satu LSM yang ada di
Ibukota negara ini. LSM Paragon yang telah diberikan kuasa oleh beberapa kelompok
masyarakat di Parlilitan melayangkan surat pengaduan terkait kerusakan lingkungan,
masalah hutan kemenyan dan pemanfaatan limbah padat untuk pengeras jalan serta
sengkat tanah.
Pengaduan yang disampaikan oleh LSM Paragon tersebut direspon dengan baik ditunjukkan
dengan kehadiran staf Kementerian Lingkungan hidup di Humbang Hasundutan pada 28
Oktober 2011. Keterlibatan KSPPM dan kelompok yang didampingi sebenarnya tanpa
perencanaan karena sebelumnya sudah ada janji diskusi diengan dinas kehuatan dan
lingkungan hidup humbahas terkait masalahTombak Haminjon Pandumaan-sipituhuta dan
Tombak Sitakkubak - Aek Lung. Pertemuan ini diibaratkan sekali kayuh dua tiga pulau
terlampaui. Setelah pertemuan ini disepakati dilakukan pertemuan keesokan harinya FGD
khusus dengan keompok pelapor dan masalah yang ada di Pandumaan-Sipituhuta. Sekitar
pukul 10.30 pada 29 Oktober 2011, perwakilan dari Kecamatan Parlilitan dan pandumaan
Sipituhuta bersama KSPPM melakukan diskusi di Kantor Dinas Kehutanan dan Lingkungan
Hidup Humbahas. Diskusi ini bertujuan untuk menggali informasi lebih banyak lagi terkait
kerusakan lingkungan yang ditimbulkan aktifitas PT TPL.
Sebelum memulai diskusi, Kepala Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Humbahas, Ir.
Marco Panggabean menjelaskan tujuan dan maksud kedatangan 2 orang staf kementerian
lingkungan hidup ke Humbahas. Kepala Dinas memperkenalkan utusan dari kementerian
lingkungan hidup adalah Vitry A, SH (Kasubdit Kerugian Negara dan Masyarakat) dan
Suharno, SH (staf Ass. Deputi Penyelesaian Sengketa Lingkungan). Vitry dari kementerian
menjelaskan bahwa kehadiran mereka adalah untuk mengklarfikasi dan memverifikasi
pengaduan yang masuk ke kementerian Lingkungan Hidup terkait adanya laporan yang
masuk pada mereka. Perwakilan masyarakat yang hadir pada diskusi kelompok terbatas ini,
diminta untuk menceriterakan dampak kehadiran PT TPL di daerah mereka.
Masden Tinambunan (Desa Sion Timur) sebagai salah satu pelapor, menjelaskan bahwa saat
ini masyarakat masyarakat Sionom Hudon Timur sangat resah atas kehadiran PT TPL di
daerah mereka. Hampir seluruh Hutan kemenyan milik mereka sudah menjadi konsesi TPL
2. yang ditanami eucaliptus. Secara garis besar masden menjelas 3 hal yang menjadi
permsalahan pokok akibat kehadiran PT TPL di daerah mereka, yaitu: (1). Menurunnya debit
air dari sumbernya untuk kebutuhan harian masyarakat dan untuk persawahan. Masdem
juga menjelaskan sumber air meraka berasal Aek Situmohap, Aek Sihulihap dan Aek
Marbatang yang kesumanya berada di konsesi TPL. Masyarakat Khawatir bahwa beberapa
tahun ke depan akan terjai kekeringan di daerah mereka. Kekeringan ini akan menyebabkan
(2). Banyaknya Kemenyan yang telah ditebangi oleh PT TPL dari hutan adat mereka yang
telah 200 tahun di kelola mulai nenek moyang sampai sekarang. Hutan kemenyan tidak
tertata, kemenyan harus berada di hutan lindung, ketika hutan ditebangi yang terjadi adalah
pengurangi hasil haminjon/kemenyan yang mengakibatkan masyarakat mengalami
penurunan penghasilan. (3). Jika Hutan adat mereka yang telah mereka kelola selama ini
dijadikan konsesi TPL maka masyarakat akan tergusur karena tidak ada tanah untuk mencari
nafkah.
Sondang Tamba dari Desa Sionom Hudon Timur menambahkan, masalah lainnya adalah
denkatnya eukaliptus ke lahan Tombak Haminjon/Kemenyan masyarakat dan akibatnya
petani kemenyan terganggu. Dicontohkannya kemenyan dari kebunnya telah ditebang oleh
TPL (sekitar 1500 pohon ditebang) dan yang belum ditebang 3.000 batang. Hal ini dilakukan
kontraktor TPL tanpa pemberitahuan kepadanya. Ia sendiri tidak pernah menjual kayu yanga
da dilahannya pada kontraktor TPL tersebut.
Pinus Sitanggang (Dusun Pargamanan-Desa Simataniari, Kec Parlilitan) dan Togap Sitanggang
(Desa Sihas Dolok I, Kec. Parlilitan) selanjutnya juga menyampaikan keluhannya kepada
utusan dari Kelemterian Lingkungan Hidup, pada intinya apa yang disampaikan tidak jauh
berebeda dengan yang disampaikan perwakilan dari Sionom Hudon Timur. Hal lain yang
disampaikannya adalah adanya dampak penggunaan limbah “boiler” (limbah padat dari
Pabrik TPL di Porsea). Limbah yang digunakan untuk pengerasan jalan di lokasi konsesi ini
merember ke air/sungai yang dipergunakan oleh masyarakat. Dampaknya masyarakat
terkena penyakit gatal karena menggunakan air tersebut untuk kebutuhan sehari-harinya.
Bahan pengerasan jalan ini berada di hulu sungai yang mengalir ke desa, dimana air dipakai
untuk kebutuhan sehari-hari. Ditambahkannya kedatangan TPL meresahkan masyarakat.
Terjadi perpecahan adat dan jemaat dalam satu lembaga gereja. Hal ini diakibatkan
sebagian masyarakat di Desa Simataniari menerima ganti rugi sebesar Rp. 1.000.000/Ha dar
kontraktor TPL dan sebagian masyarakat yang tidak menolak menerima ganti rugi. Hal ini
yang menyebabkan perpecahan di masyarakat. TPL menyuruh kontraktor yang berasal dari
masyarakat sebagai pengusaha untuk menebangi hutan yang dinyatakan sebagai lahan
konsesi mereka. Secara khusus disampaikan juga bahwa sudahada kekeringan kurang lebih
12 ha lahan persawahan di daerah Bintang Maria, Desa Simataniari.
Perwakilan Masyarakat dari Desa Pandumaan-Sipituhuta yang diwakili Arnold Lumban Batu
dan Kersi Sihite, menyampaikan hal yang sama dengan apa yang telah disampaikan
perwakilan dari Kecamatan Parlilitan. Mereka hanya menambahkan bahwa akibat
penebangan hutan adat/kemenyan yang dilakukan oleh PT TPL, berbagai hewan hutan
sudah memasuki kawasan Tombak Haminjon dan merusak pondok mereka yang dihutan
kemenyan, misalnya kera dan beruang madu. Bahkan Beruang madu pernah masuk ke
perkampungan dan mengobrak-abrik isi rumah. Ditambahkan juga bahwa lahan yang sudah
dirusak dan ditebangi oleh PT TPL yang merupakan milik masyarakat adat Pandumaan-
3. Sipituhuta kurang lebih 400 ha. Selesai mendengar dan menggali informasi dari masyarakat,
diskusi dilanjutkan dengan membahas rencana kunjungan lapangan bersama masyarakat
dengan utusan dari Kementerian Lingkungan Hidup. Kunjungan lapangan ini ditujukan untuk
melihat realitas kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh TPL di kawasan Hutan
adat/kemenyan masyarakat.
Kunjungan Lapangan
Setelah selesai diskusi, Suhano dan Vitri dari Kementrian Lingkungan Hidup, Marco
Panggabean dan Halomoan Manullang dari Dinas Kehutanan Humbahas bersama
masyarakat mewakili Desa Pandumaan, Desa Sipituhuta, desa Sihas Dolok 1 dan Desa
Simataniari, bersama pergi ke Tombak haminjon (hutan kemenyan) milik masyarakat.
Kegiatan ini bertujuan mengklarfikasi dan memverifikasi pelaporan masyarakat kecamatan
Parlilitan mengenai dampak kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh aktifitas TPL.
Daerah yang kami tuju adalah tombak haminjon milik Desa Pandumaan. Kami melalui jalan
bukaan TPL di sektor Tele. Sekitar 100 meter sebelum tiba di kantor TPL, terlihat timbunan
kayu yang menggunung. Di lokasi itu tertera nama-nama plank merk sawmil. “Entah apa
yang difikirkan orang-orang ini saat membabat hutan” fikirku.
Dari di kantor TPL, rombongan yang terdiri atas tiga mobil yaitu TPL, Kadishut Humbahas
dan utusan KLH serta masyarakat masuk ke lokasi yang akan dituju yaitu Dolok Ginjang.
Sepanjang perjalanan terlihat truk yang sedang mengangkat kayu alam. Diameter kayu-kayu
itu mulai dari sekitar 30 cm hingga 1,5 meter. Menurut Pinus Sitanggang (Desa Simataniari)
kayu-kayu ini adalah kayu yang sangat bagus. “Padahal untuk menumbuhkan pohon itu
bukan butuhkan waktu yang sangat lama. Tapi mudah sekali TPL menebangnya” sahutnya.
Perjalanan kami melalui lokasi Aek Sulpi. Sejauh mata memandang yang ada hanya bekas
penebangan pohon dan akar pohon yang tercerabut dari tanah. Di lokasi itu juga terlihat
eucaliptus tumbuh sekitar ½ meter. Padahal menurut Arnold Lumban Batu daerah ini
merupakan salah satu lokasi yang distampas. Stampas adalah perjanjian yang dibuat antara
masyarakat, TPL, Kapolres Humbahas dan Dinas Kehutanan Humbahas bahwa dilokasi ini
dilarang melakukan kegiatan. Dengan ditanamnya pohon eucaliptus, TPL telah melanggar
kesepakatan stampas itu.
Diskusi dengan utusan dari KLH, Arnold Lumban Batu menceritakan bahwa burung sudah
tidak ada lagi di lokasi TPL, monyet sering merusak pohon kemenyan bahkan beruang sering
merusak tempat tinggal di hutan. Hal ini karena habitat asli hewan-hewan tersebut telah
dirusak. “Tidak ada kehidupan yang diberikan eucaliptus ini untuk binatang di hutan”
sahutnya.
Vitry menanyakan tentang perusahaan yang membiarkan satu-satu batang kemenyan
tumbuh diantara eucaliptus dan dibuktikan dengan plangkat yang bertuliskan “Pohon
Kemenyan ini dilindungi oleh TPL”. Arnold Lumban Batu menjelaskan apa yang ditanyakan
oleh Vity dengan mengatakan “membiarkan pohon kemenyan tumbuh tanpa berdampingan
dengan kayu alam hanya tinggal menunggu waktu hingga kemenyan itu mati. Ia menunjuk
pohon-pohon kemenyan yang sudah mati yang berada diantara eucaliptus dan penebangan
pohon sebagai bukti”.
4. Perjalanan kami lanjutkan ke lokasi Dolok Ginjang, menurut pekerja lapangan TPL tempat itu
bernama Kuari 7 (baru) tempat pengambilan batu untuk pengersan jalan di lokasi konsisi
TPL. Menurut masyarakat di tempat itu merupakan lokasi dimana dinamit diledakkan.
Namun pihak TPL sendiri tidak mengakui peledakan itu. Ama Liston Lumban Gaol, salah satu
perwakilan masyarakat Pandumaan yang kami temui di tengah jalan menuju Dolok Ginjang
mengatakan bahwa mereka baru mengusir pekerja TPL yang mengoperasikan alat berat
pengeruk batu di lokasi tersebut. Hal ini juga diakui oleh staf lapangan TPL.
Penggunaan lokasi tersebut untuk penggalian batu dijelaskan staff lapangan TPL, bahwa
mereka telah menandatangani penyerahan lahan dengan seorang warga dari Desa Aek Nauli
yang menyatakan bahwa lokasi itu adalah miliknya. Penyerahan inipun diketahui oleh
Kepala Desa Aek Nauli 1 Kecamatan Pollung. Namun menurut Ama Liston bahwa warga
tersebut hanya mengelola tanah ini. “Lokasi ini adalah perbatasan hutan kemenyan milik
masyarakat Pargamanan Kec.Parlilitan dengan hutan kemenyan milik masyarakat
Pandumaan-Sipituhuta, Kec.Pollung” serunya. Ia juga mengatakan bahwa warga tersebut
telah memina maaf kepada masyarakat Pollung karena telah menjual hutan kemenyan pada
pertemuan bersama Pansus DPRD Humbahas, Kepala Desa dari 9 Desa di Pollung pada
tanggal 26 September 2011.
Dalam perjalanan pulang kami melihat banyak anak sungai yang hampir kering dan kami
menyampaikan kepada utusand ari KLh bahw hal tersebut karena tidak ada lagi hutan alam
karena sudah tergantikan eucaliptus yang terkenal rakus air. Hasil dari kunjungan ini
perwakilan masyarakat yang ikut berharap bahwa ada laporan yang berpihak terhadap
masyarakat atas apa yang mereka alami. Harapan besar atas tersampaikannya informasi
kerusakan yang ditimbulkan oleh TPL ini dapat benar-benar ditindak lanjuti dengan baik dan
serius sehingga masyarakat tidak lagi merasa dirugikan dan dikorbankan hanya untuk
kepentingan pengusaha semata.
Foto 1 : Anak sungai yang mengering
Foto 2 : Lokasi Dolok Ginjang yang diledakkan oleh TPL