Compensation Analysis Plant of society within the National Park area of Bantimurung Bulusaraung Desa Labuaja, Cenrana, Kabupaten Marosin South Sulawesi (Pak Patu’s case study)
Model kerjasama Triple Tracks (Pro Job, Pro Poor, Pro Growth) sebagai upaya ...Farid Ma'ruf
Perum Perhutani dengan segala keterbatasannya membutuhkan pihak lain untuk mewujudkan tujuannya yakni memenuhi hajat hidup orang banyak dalam beberapa bidang, misal dalam bidang pemberdayaan dan pengembangan hutan di desa. Untuk merealisasikan tujuannya tersebut, organisasi ini membutuhkan bantuan dalam hal sumber daya manusia (SDM), modal dan manajemen yang profesional.
Peraturan Menteri Kehutanan ini mengatur tentang pemberdayaan masyarakat setempat melalui kemitraan kehutanan dengan tujuan meningkatkan kemandirian dan kesejahteraan masyarakat. Kemitraan kehutanan merupakan kerjasama antara masyarakat setempat dengan pemegang izin pemanfaatan hutan, pengelola hutan, atau kesatuan pengelolaan hutan berdasarkan prinsip-prinsip kesepakatan, kesetaraan, dan sal
Peraturan Menteri Kehutanan No. P.49/Menhut-II/2008 mengatur tentang Hutan Desa. Dokumen ini menjelaskan ketentuan umum seperti definisi istilah, maksud dan tujuan, ruang lingkup pengaturan Hutan Desa. Dokumen ini juga mengatur tentang penetapan areal kerja Hutan Desa melalui proses verifikasi dan penetapan oleh Menteri Kehutanan berdasarkan usulan Bupati/Walikota.
Peraturan Pemerintah ini mengatur tentang tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, pemanfaatan hutan, dan penggunaan kawasan hutan. Dokumen ini membahas tentang ketentuan umum, tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan pada hutan konservasi, lindung, dan produksi.
Bagaimana negara dan korporasi mengurus hutan indonesiaRaflis Ssi
Dokumen tersebut membahas tentang pengelolaan hutan di Indonesia oleh negara dan korporasi, termasuk penunjukan kawasan hutan, perubahan fungsi hutan, pemberian izin pemanfaatan hutan, dan dampaknya terhadap rakyat dan kepastian hukum atas lahan-lahan mereka.
Buku panduan ini memberikan panduan lengkap tentang proses perijinan Hutan Kemasyarakatan (HKm) mulai dari permohonan Izin Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan (IUPHKm), penetapan area kerja HKm, pemberian IUPHKm, hak dan kewajiban pemegang ijin, sampai penyusunan rencana kerja dan pelaporan. Panduan ini bertujuan untuk memfasilitasi penyelenggaraan HKm agar dapat memberdayakan masyarak
Model kerjasama Triple Tracks (Pro Job, Pro Poor, Pro Growth) sebagai upaya ...Farid Ma'ruf
Perum Perhutani dengan segala keterbatasannya membutuhkan pihak lain untuk mewujudkan tujuannya yakni memenuhi hajat hidup orang banyak dalam beberapa bidang, misal dalam bidang pemberdayaan dan pengembangan hutan di desa. Untuk merealisasikan tujuannya tersebut, organisasi ini membutuhkan bantuan dalam hal sumber daya manusia (SDM), modal dan manajemen yang profesional.
Peraturan Menteri Kehutanan ini mengatur tentang pemberdayaan masyarakat setempat melalui kemitraan kehutanan dengan tujuan meningkatkan kemandirian dan kesejahteraan masyarakat. Kemitraan kehutanan merupakan kerjasama antara masyarakat setempat dengan pemegang izin pemanfaatan hutan, pengelola hutan, atau kesatuan pengelolaan hutan berdasarkan prinsip-prinsip kesepakatan, kesetaraan, dan sal
Peraturan Menteri Kehutanan No. P.49/Menhut-II/2008 mengatur tentang Hutan Desa. Dokumen ini menjelaskan ketentuan umum seperti definisi istilah, maksud dan tujuan, ruang lingkup pengaturan Hutan Desa. Dokumen ini juga mengatur tentang penetapan areal kerja Hutan Desa melalui proses verifikasi dan penetapan oleh Menteri Kehutanan berdasarkan usulan Bupati/Walikota.
Peraturan Pemerintah ini mengatur tentang tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, pemanfaatan hutan, dan penggunaan kawasan hutan. Dokumen ini membahas tentang ketentuan umum, tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan pada hutan konservasi, lindung, dan produksi.
Bagaimana negara dan korporasi mengurus hutan indonesiaRaflis Ssi
Dokumen tersebut membahas tentang pengelolaan hutan di Indonesia oleh negara dan korporasi, termasuk penunjukan kawasan hutan, perubahan fungsi hutan, pemberian izin pemanfaatan hutan, dan dampaknya terhadap rakyat dan kepastian hukum atas lahan-lahan mereka.
Buku panduan ini memberikan panduan lengkap tentang proses perijinan Hutan Kemasyarakatan (HKm) mulai dari permohonan Izin Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan (IUPHKm), penetapan area kerja HKm, pemberian IUPHKm, hak dan kewajiban pemegang ijin, sampai penyusunan rencana kerja dan pelaporan. Panduan ini bertujuan untuk memfasilitasi penyelenggaraan HKm agar dapat memberdayakan masyarak
PPHJ adalah organisasi petani hutan yang berjuang untuk keadilan pengelolaan hutan agar masyarakat makmur. PPHJ berupaya meningkatkan kesejahteraan petani hutan dengan meminta hak kelola 100% hutan oleh masyarakat. PPHJ telah membentuk struktur organisasi di seluruh Jawa untuk mewujudkan visi hutan yang subur dan rakyat makmur.
Dokumen ini membahas tentang pola pemanfaatan ruang di Provinsi Riau berdasarkan Peraturan Pemerintah No 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Dokumen menyebutkan bahwa terdapat 2,3 juta ha izin pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan kriteria lahan dalam PP tersebut, termasuk 1,6 juta ha HTI di kawasan lindung dan hutan produksi terbatas, serta 725 ribu ha perkebunan di kaw
Raflis kepastian hukum kawasan hutan dan politik penguasaan ruangRaflis Ssi
UU Kehutanan telah ditafsirkan secara keliru oleh pemerintah semenjak tahun 1999. Hal ini dapat dilihat dari aturan pelaksana undang undang didesain untuk kepentingan kelompok tertentu yang merampas hak asal usul yang dimiliki oleh masyarakat. Aturan pelaksana berupa peraturan pemerintah dan peraturan mentri berusaha mengaburkan beberapa substansi penting yang diatur dalam undang undang. Kekeliruan dalam penafsiran ini telah diluruskan oleh beberapa putusan mahkamah konstitusi diantaranya PUU 45 dan PUU 35.Kekacauan logika yang sangat fundamental terdapat dalam Status dan Fungsi kawasan hutan, aturan pelaksana secara sistimatis berusaha mengaburkan Status kawasan hutan menjadi fungsi kawasan hutan. Padahal konflik tenurial yang terjadi justru merupakan dampak dari ketidakpastian Status Kawasan Hutan. Sehingga banyak masyarakat dikriminalisasi dengan tuduhan menguasai kawasan hutan secara tidak syah, sementara itu kawasan hutan yang dipersoalkan belum mempunyai kepastian hukum.
Dokumen tersebut membahas regulasi pengelolaan kawasan hutan di Indonesia. Terdapat beberapa aturan kunci seperti UU 41/1999 tentang kehutanan yang memberikan wewenang pemerintah untuk menetapkan status kawasan hutan, serta PP yang mengatur prosedur perubahan peruntukan kawasan hutan dan penggunaannya. Dokumen ini juga menyinggung masalah penjarahan kawasan hutan yang dilakukan melalui korupsi dalam proses birokrasi per
Pp no 6_th_2007 tata cara pengelolaan hutanwalhiaceh
Peraturan Pemerintah ini mengatur tentang tata hutan, penyusunan rencana pengelolaan hutan, dan pemanfaatan hutan. Kawasan hutan terbagi menjadi 3 fungsi pokok yaitu hutan konservasi, hutan lindung, dan hutan produksi. Kawasan hutan dikelola dalam satuan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) yang mencakup satu atau lebih fungsi pokok hutan dan satu wilayah administrasi. Pemerintah dapat melimpahkan pengel
Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 mengatur tentang tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan serta pemanfaatan hutan. Peraturan ini mengatur tentang kesatuan pengelolaan hutan (KPH), tata cara penetapan KPH, izin pemanfaatan hutan, dan ketentuan umum lainnya terkait pengelolaan hutan di Indonesia.
Dokumen tersebut membahas mengenai ketidakjelasan definisi dan kriteria hutan produksi terbatas yang menyebabkan terjadinya perubahan fungsi kawasan hutan secara tidak tepat. Dokumen ini juga mengkritik praktik perubahan fungsi dan peruntukan kawasan hutan di Indonesia yang tidak didasarkan pada analisis ilmiah dan mengabaikan aturan yang berlaku.
Peraturan Menteri Kehutanan ini mengatur tentang metode dan materi penyuluhan kehutanan yang meliputi pengertian istilah, maksud dan tujuan, metode penyuluhan berdasarkan tujuan, jumlah sasaran, media dan teknik komunikasi, serta pengelompokan metode penyuluhan kehutanan.
Policy Paper Menuju Pemanfaatan Ruang Sumatera Selatan Yang AdilYoel Hendrawan
Pandangan Masyarakat Sipil Sumatera Selatan Terhadap Pola
Pemanfaatan Ruang di Sumatera Selatan.
Aliansi Masyarakat Sipil untuk Tata Kelola Hutan & Lahan yang Baik di Sumsel.
WBH SUMSEL- WALHI SUMSEL- PINUS SUMSEL- FITRA SUMSEL – SPORA INSTITUTE
LBH PALEMBANG - IMPALM – AMAN SUMSEL- JMG SUMSEL – FKMPH SUSMEL – MHI SUMSEL – KOBAR9 - RIMBA INSTITUTE - DEPATI INSTITUTE - KHATULISTIWA HIJAU – KKDB BANYUASIN – FMS KIP BANYUASIN -PMP2D BANYUASIN - KPPM MUBA - LSM PBB MUBA – FORUM SILAMPARI MURA – LPLH MURA – YAYASAN BAKAU OKI – P3LH OKI – FORUM KONTAMINASI MUARA ENIM.
1. Memberikan gambaran konsep konektivitas sistem lindung dan budidaya dalam ekosistem gambut tropika untuk pemanfaatan lahan gambut yang berkelanjutan.
2. Menganalisis keterkaitan antara komponen biofisik dan sosial di Blok C Kabupaten Pulang Pisau untuk merumuskan strategi pengelolaan.
3. Merekomendasikan roadmap konektivitas kawasan lindung, penyangga dan budidaya berdasarkan kondisi biofisik lahan untuk
Tulisan ini membahas kerusakan hutan jati di Kabupaten Muna akibat eksploitasi berlebih. Otonomi daerah yang seharusnya mendorong partisipasi masyarakat malah mengabaikan nilai-nilai lokal dan memicu eksploitasi hutan jati untuk kepentingan ekonomi. Tulisan ini menganalisis dominasi pendekatan rasional-antroposentris dalam pengelolaan hutan dan menyarankan pendekatan yang melibatkan nilai-nilai moral dan kearif
Panduan ini memberikan informasi tentang program Perhutanan Sosial yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengelola hutan secara lestari melalui 5 skema pengelolaan hutan oleh masyarakat. Panduan ini juga menjelaskan peran pemerintah daerah dalam memfasilitasi pengajuan dan pelaksanaan Perhutanan Sosial serta pengakuan Hutan Adat oleh masyarakat hukum adat.
Dokumen tersebut merupakan jurnal yang membahas valuasi ekonomi hutan mangrove di Desa Tiwoho, Kecamatan Wori, Kabupaten Minahasa Utara. Penelitian ini mengukur nilai manfaat ekonomi langsung, tidak langsung, pilihan dan keberadaan hutan mangrove seluas 62,502 ha tersebut dengan metode valuasi ekonomi. Hasilnya menunjukkan nilai manfaat ekonomi total hutan mangrove tersebut adalah Rp. 2.316.961.
PPHJ adalah organisasi petani hutan yang berjuang untuk keadilan pengelolaan hutan agar masyarakat makmur. PPHJ berupaya meningkatkan kesejahteraan petani hutan dengan meminta hak kelola 100% hutan oleh masyarakat. PPHJ telah membentuk struktur organisasi di seluruh Jawa untuk mewujudkan visi hutan yang subur dan rakyat makmur.
Dokumen ini membahas tentang pola pemanfaatan ruang di Provinsi Riau berdasarkan Peraturan Pemerintah No 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Dokumen menyebutkan bahwa terdapat 2,3 juta ha izin pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan kriteria lahan dalam PP tersebut, termasuk 1,6 juta ha HTI di kawasan lindung dan hutan produksi terbatas, serta 725 ribu ha perkebunan di kaw
Raflis kepastian hukum kawasan hutan dan politik penguasaan ruangRaflis Ssi
UU Kehutanan telah ditafsirkan secara keliru oleh pemerintah semenjak tahun 1999. Hal ini dapat dilihat dari aturan pelaksana undang undang didesain untuk kepentingan kelompok tertentu yang merampas hak asal usul yang dimiliki oleh masyarakat. Aturan pelaksana berupa peraturan pemerintah dan peraturan mentri berusaha mengaburkan beberapa substansi penting yang diatur dalam undang undang. Kekeliruan dalam penafsiran ini telah diluruskan oleh beberapa putusan mahkamah konstitusi diantaranya PUU 45 dan PUU 35.Kekacauan logika yang sangat fundamental terdapat dalam Status dan Fungsi kawasan hutan, aturan pelaksana secara sistimatis berusaha mengaburkan Status kawasan hutan menjadi fungsi kawasan hutan. Padahal konflik tenurial yang terjadi justru merupakan dampak dari ketidakpastian Status Kawasan Hutan. Sehingga banyak masyarakat dikriminalisasi dengan tuduhan menguasai kawasan hutan secara tidak syah, sementara itu kawasan hutan yang dipersoalkan belum mempunyai kepastian hukum.
Dokumen tersebut membahas regulasi pengelolaan kawasan hutan di Indonesia. Terdapat beberapa aturan kunci seperti UU 41/1999 tentang kehutanan yang memberikan wewenang pemerintah untuk menetapkan status kawasan hutan, serta PP yang mengatur prosedur perubahan peruntukan kawasan hutan dan penggunaannya. Dokumen ini juga menyinggung masalah penjarahan kawasan hutan yang dilakukan melalui korupsi dalam proses birokrasi per
Pp no 6_th_2007 tata cara pengelolaan hutanwalhiaceh
Peraturan Pemerintah ini mengatur tentang tata hutan, penyusunan rencana pengelolaan hutan, dan pemanfaatan hutan. Kawasan hutan terbagi menjadi 3 fungsi pokok yaitu hutan konservasi, hutan lindung, dan hutan produksi. Kawasan hutan dikelola dalam satuan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) yang mencakup satu atau lebih fungsi pokok hutan dan satu wilayah administrasi. Pemerintah dapat melimpahkan pengel
Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 mengatur tentang tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan serta pemanfaatan hutan. Peraturan ini mengatur tentang kesatuan pengelolaan hutan (KPH), tata cara penetapan KPH, izin pemanfaatan hutan, dan ketentuan umum lainnya terkait pengelolaan hutan di Indonesia.
Dokumen tersebut membahas mengenai ketidakjelasan definisi dan kriteria hutan produksi terbatas yang menyebabkan terjadinya perubahan fungsi kawasan hutan secara tidak tepat. Dokumen ini juga mengkritik praktik perubahan fungsi dan peruntukan kawasan hutan di Indonesia yang tidak didasarkan pada analisis ilmiah dan mengabaikan aturan yang berlaku.
Peraturan Menteri Kehutanan ini mengatur tentang metode dan materi penyuluhan kehutanan yang meliputi pengertian istilah, maksud dan tujuan, metode penyuluhan berdasarkan tujuan, jumlah sasaran, media dan teknik komunikasi, serta pengelompokan metode penyuluhan kehutanan.
Policy Paper Menuju Pemanfaatan Ruang Sumatera Selatan Yang AdilYoel Hendrawan
Pandangan Masyarakat Sipil Sumatera Selatan Terhadap Pola
Pemanfaatan Ruang di Sumatera Selatan.
Aliansi Masyarakat Sipil untuk Tata Kelola Hutan & Lahan yang Baik di Sumsel.
WBH SUMSEL- WALHI SUMSEL- PINUS SUMSEL- FITRA SUMSEL – SPORA INSTITUTE
LBH PALEMBANG - IMPALM – AMAN SUMSEL- JMG SUMSEL – FKMPH SUSMEL – MHI SUMSEL – KOBAR9 - RIMBA INSTITUTE - DEPATI INSTITUTE - KHATULISTIWA HIJAU – KKDB BANYUASIN – FMS KIP BANYUASIN -PMP2D BANYUASIN - KPPM MUBA - LSM PBB MUBA – FORUM SILAMPARI MURA – LPLH MURA – YAYASAN BAKAU OKI – P3LH OKI – FORUM KONTAMINASI MUARA ENIM.
1. Memberikan gambaran konsep konektivitas sistem lindung dan budidaya dalam ekosistem gambut tropika untuk pemanfaatan lahan gambut yang berkelanjutan.
2. Menganalisis keterkaitan antara komponen biofisik dan sosial di Blok C Kabupaten Pulang Pisau untuk merumuskan strategi pengelolaan.
3. Merekomendasikan roadmap konektivitas kawasan lindung, penyangga dan budidaya berdasarkan kondisi biofisik lahan untuk
Tulisan ini membahas kerusakan hutan jati di Kabupaten Muna akibat eksploitasi berlebih. Otonomi daerah yang seharusnya mendorong partisipasi masyarakat malah mengabaikan nilai-nilai lokal dan memicu eksploitasi hutan jati untuk kepentingan ekonomi. Tulisan ini menganalisis dominasi pendekatan rasional-antroposentris dalam pengelolaan hutan dan menyarankan pendekatan yang melibatkan nilai-nilai moral dan kearif
Panduan ini memberikan informasi tentang program Perhutanan Sosial yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengelola hutan secara lestari melalui 5 skema pengelolaan hutan oleh masyarakat. Panduan ini juga menjelaskan peran pemerintah daerah dalam memfasilitasi pengajuan dan pelaksanaan Perhutanan Sosial serta pengakuan Hutan Adat oleh masyarakat hukum adat.
Similar to Compensation Analysis Plant of society within the National Park area of Bantimurung Bulusaraung Desa Labuaja, Cenrana, Kabupaten Marosin South Sulawesi (Pak Patu’s case study)
Dokumen tersebut merupakan jurnal yang membahas valuasi ekonomi hutan mangrove di Desa Tiwoho, Kecamatan Wori, Kabupaten Minahasa Utara. Penelitian ini mengukur nilai manfaat ekonomi langsung, tidak langsung, pilihan dan keberadaan hutan mangrove seluas 62,502 ha tersebut dengan metode valuasi ekonomi. Hasilnya menunjukkan nilai manfaat ekonomi total hutan mangrove tersebut adalah Rp. 2.316.961.
Notulen rapat konsultasi publik FSC Controlled Wood dan HCVF yang diadakan di Perum Perhutani KPH Nganjuk memberikan informasi mengenai peserta rapat, susunan acara, dan ringkasan hasil diskusi. Diskusi menyimpulkan komitmen Perum Perhutani dalam melibatkan stakeholder dan mengedepankan pendekatan sosial dalam pengelolaan hutan.
Dokumen tersebut membahas tentang Taman Nasional Aketajawe Lolobata di Maluku Utara yang meliputi profil, dasar penetapan, tugas pokok, sistem zonasi, ancaman perambahan hutan, dan dampaknya. Taman Nasional ini memiliki luas 167.300 ha yang dibagi menjadi beberapa zona untuk perlindungan ekosistem dan keanekaragaman hayati serta memungkinkan pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan. Ancaman utama
Ringkasan Pemulihan hutan dengan partisipasi masyarakatSafira Aulia Rusmi
1) Uji coba pemulihan hutan di KHDTK Carita melibatkan masyarakat setempat untuk menanam pohon-pohon kayu dan mengayaikan hutan;
2) Partisipasi masyarakat bertujuan mencegah konflik dan kekerasan serta memberikan peran penting dalam pengelolaan hutan;
3) Pendekatan ini berhasil melibatkan masyarakat sebagai mitra dalam upaya pemulihan dan pelestarian hutan.
Notulen rapat konsultasi publik FSC Controlled Wood dan HCVF di Perum Perhutani KPH Nganjuk membahas peserta rapat, susunan acara, dan resume rapat yang mencakup pembukaan, sambutan, materi konsultasi publik, tanggapan/saran, dan kesimpulan. Tanggapan dan saran stakeholder tertulis dari undangan dan langsung mencakup topik pengelolaan hutan, konservasi, dan kerjasama dengan masyarakat.
Permenhut no 38 th 2014 ttg p engenaan tarif rp.0Jhon Blora
Peraturan Menteri Kehutanan ini mengatur tentang tata cara dan persyaratan kegiatan tertentu yang dikenakan tarif Rp. 0,00 di kawasan konservasi. Kegiatan tertentu tersebut meliputi penelitian, sosial, religi, dan pemanfaatan hasil hutan untuk bantuan bencana. Kelompok yang dikenakan tarif nol rupiah antara lain mahasiswa peneliti, masyarakat sekitar untuk kegiatan sosial dan religi, serta masyar
Dokumen tersebut membahas rencana lima tahun pengelolaan rehabilitasi hutan dan lahan di Kabupaten Muaro Jambi, mencakup penentuan sasaran, wilayah, jenis vegetasi yang akan ditanam, serta tinjauan kegiatan rehabilitasi yang akan dilaksanakan."
Dokumen tersebut membahas tentang Restorasi Bentang Alam di Indonesia. Tiga poin utama dari dokumen tersebut adalah: (1) Restorasi Bentang Alam bertujuan untuk memulihkan keutuhan ekologis dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di kawasan hutan dan lahan yang terdegradasi, (2) Panduan Restorasi Bentang Alam Indonesia mengacu pada peraturan terkait pengelolaan hutan dan lingkungan, dan (3) Restorasi Bent
Similar to Compensation Analysis Plant of society within the National Park area of Bantimurung Bulusaraung Desa Labuaja, Cenrana, Kabupaten Marosin South Sulawesi (Pak Patu’s case study) (20)
Teori Fungsionalisme Kulturalisasi Talcott Parsons (Dosen Pengampu : Khoirin ...nasrudienaulia
Dalam teori fungsionalisme kulturalisasi Talcott Parsons, konsep struktur sosial sangat erat hubungannya dengan kulturalisasi. Struktur sosial merujuk pada pola-pola hubungan sosial yang terorganisir dalam masyarakat, termasuk hierarki, peran, dan institusi yang mengatur interaksi antara individu. Hubungan antara konsep struktur sosial dan kulturalisasi dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Pola Interaksi Sosial: Struktur sosial menentukan pola interaksi sosial antara individu dalam masyarakat. Pola-pola ini dipengaruhi oleh norma-norma budaya yang diinternalisasi oleh anggota masyarakat melalui proses sosialisasi. Dengan demikian, struktur sosial dan kulturalisasi saling memengaruhi dalam membentuk cara individu berinteraksi dan berperilaku.
2. Distribusi Kekuasaan dan Otoritas: Struktur sosial menentukan distribusi kekuasaan dan otoritas dalam masyarakat. Nilai-nilai budaya yang dianut oleh masyarakat juga memengaruhi bagaimana kekuasaan dan otoritas didistribusikan dalam struktur sosial. Kulturalisasi memainkan peran dalam melegitimasi sistem kekuasaan yang ada melalui nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat.
3. Fungsi Sosial: Struktur sosial dan kulturalisasi saling terkait dalam menjalankan fungsi-fungsi sosial dalam masyarakat. Nilai-nilai budaya dan norma-norma yang terinternalisasi membentuk dasar bagi pelaksanaan fungsi-fungsi sosial yang diperlukan untuk menjaga keseimbangan dan stabilitas dalam masyarakat.
Dengan demikian, konsep struktur sosial dalam teori fungsionalisme kulturalisasi Parsons tidak dapat dipisahkan dari kulturalisasi karena keduanya saling berinteraksi dan saling memengaruhi dalam membentuk pola-pola hubungan sosial, distribusi kekuasaan, dan pelaksanaan fungsi-fungsi sosial dalam masyarakat.
Modul Ajar Bahasa Inggris Kelas 10 Fase E Kurikulum MerdekaFathan Emran
Modul Ajar Bahasa Inggris Kelas 10 SMA/MA Fase E Kurikulum Merdeka - abdiera.com. Modul Ajar Bahasa Inggris Kelas 10 SMA/MA Fase E Kurikulum Merdeka. Modul Ajar Bahasa Inggris Kelas 10 SMA/MA Fase E Kurikulum Merdeka.
Workshop "CSR & Community Development (ISO 26000)"_di BALI, 26-28 Juni 2024Kanaidi ken
Dlm wktu dekat, Pelatihan/WORKSHOP ”CSR/TJSL & Community Development (ISO 26000)” akn diselenggarakan di Swiss-BelHotel – BALI (26-28 Juni 2024)...
Dgn materi yg mupuni & Narasumber yg kompeten...akn banyak manfaat dan keuntungan yg didpt mengikuti Pelatihan menarik ini.
Boleh jga info ini👆 utk dishare_kan lgi kpda tmn2 lain/sanak keluarga yg sekiranya membutuhkan training tsb.
Smga Bermanfaat
Thanks Ken Kanaidi
Paper ini bertujuan untuk menganalisis pencemaran udara akibat pabrik aspal. Analisis ini akan fokus pada emisi udara yang dihasilkan oleh pabrik aspal, dampak kesehatan dan lingkungan dari emisi tersebut, dan upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi pencemaran udara
PPT LANDASAN PENDIDIKAN.pptx tentang hubungan sekolah dengan masyarakat
Compensation Analysis Plant of society within the National Park area of Bantimurung Bulusaraung Desa Labuaja, Cenrana, Kabupaten Marosin South Sulawesi (Pak Patu’s case study)
1. Analisis Kompensasi Tanaman Masyarakat didalam Kawasan Taman Nasional
Bantimurung Bulusaraung Desa Labuaja Kecamatan Cenrana Kabupaten Maros Sulawesi
Selatan ( Studi Kasus Pak Patu )
Compensation Analysis Plant of society within the National Park area of Bantimurung
Bulusaraung Desa Labuaja, Cenrana, Kabupaten Marosin South Sulawesi
(Pak Patu’s case study)
Muh. Ichwan K
Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin
Email : muh.ichwanK@ymail.com
ABSTRACT
This research aimed to identify (1) the value of compensation for the utilization of the National
Park by Pak Patu (2) analyzing the compensation system for the utilization of the National Park
by Pak Patu. The research was conducted at Desa Labuaja, Kecamatan Cenrana, Kabupaten
Maros in August to October 2012. Data was collected through the inventory stands, interviews
and focused discussions. Research analysis of Quantitative descriptive analysis and Approach of
Rehabilitation Cost. The results showed that its analysis of costs and revenues total cost for the
construction of tree stands of Pak Patu Rp. 369 519 038, - and a revenue of Rp. 935 157 500, -
and the calculation of Land Rent, where Pak Patu paid land lease for 16 years at Rp.
491,734,655, - if Pak Patu harvest the results of his efforts, however, if Pak Patu can not harvest
his efforts to build a tree stand, the government should provide compensation to Mr. Patu,
Alternative 1 is Rp. 443 422 845, - from the costs of Pak Patu for 16 years and alternative 2 Rp.
812 941 883, - where the total cost plus the total revenue minus the land lease.
Key words :the value of compensation, the National, Pak Patu, Quantitative descriptive
PENDAHULUAN
Sumberdaya hutan memiliki fungsi yang penting sebagai sistem penyangga kehidupan
manusia (life support system). Untuk mendukung fungsi tersebut, pemerintah telah menata
kawasan hutan dengan fungsi utamanya masing-masing, yaitu, (1) hutan konservasi untuk tujuan
pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya yang juga berfungsi
sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan, (2) hutan lindung unuk tujuan mengatur tata air,
mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut dan memelihara kesuburan
tanah dan (3) hutan produksi untuk tujuan memproduksi hasil hutan (Supratman,2008)
Penggunaan kawasan hutan seperti tersebut di atas, pada banyak kasus, mengabaikan
karakteristik sumberdaya hutan sebagai ekosistem sehingga menimbulkan kontradiksi
1
2. (incompatible) antara penggunaan kawasan hutan dengan fungsi utama yang melekat pada
kawasan hutan tersebut berdasarkan tata guna kawasan hutan yang ada. Bencana ekologis seperti
banjir dan tanah longsor di musim penghujan serta kekeringan di musim kemarau adalah fakta-
fakta ekologisyang terjadi setiap tahun sebagai dampak dari aktivitas-aktivitas penggunaan
kawasan hutan yang bersifat incompatible tersebut. Bencana ekologis tersebut telah
menimbulkan kerugian terhadap perekonomian wilayah.
Kawasan hutan merupakan sumberdaya alam yang sangat penting untuk kelangsungan
hidup manusia, karena sumberdaya alam ini diperlukan oleh setiap kegiatan manusia.
Penggunaan kawasan hutan pada umumnya ditentukan oleh kemampuan kawasan hutan tersebut
untuk aktivitas pertanian dan lokasi ekonomi kawasan hutan mencakup: jarak lahan dari pusat
pasar, pemukiman, dan lain-lain (Suparmoko, 1989).
Sewa lahan merupakan konsep yang penting dalam mempelajari sistem kompensasi atas
penggunaan lahan kawasn hutan (Rosa, dkk, 2005). Sewa lahan merupakan surplus pendapatan
atas biaya yang memungkinkan faktor produksi lahan dapat dimanfaatkan dalam proses
produksi. Besarnya nilai sewa lahan sangat ditentukan oleh tingkat kesuburan lahan dan lokasi.
Semakin dekat dari pasar dan semakin subur akan semakin tinggi sewa lahannya (Barlow, 1978).
Penggunaan sumberdaya non lahan dapat menghadapi resiko sewa lahan yang tinggi.
Contoh, rumah yang berada dekat pusat kota berhadapan dengan sewa lahan yang tinggi
sekaligus memungkinkan lahan disubtitusi oleh input lainnya. Menghadapi keadaan demikian,
pilihan subtitusinya antara lain konstruksi bangunan bertingkat, perlengkapan penyejuk udara
atau perabot hemat ruang (Nugroho, 2004).
Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung adalah salah satu kawasan hutan konservasi
di Sulawesi Selatan dengan luas 43.750 ha. Kawasan taman nasional tersebut didesain dengan
menggabungkan beberapa kawasan hutan konservasi dan kawasan hutan lainnya yaitu: Taman
Wisata Alam Bantimurung seluas 1.624,25 ha, Cagar Alam Karaenta seluas 1.226 ha, Cagar
Alam Bantimurung seluas 1000 ha, Cagar Alam Bulusaraung seluas 8.056,65 ha, serta sebagian
hutan lindung dan hutan produksi yang ada di sekitarnya.
Sebelum ditetapkan sebagai areal Taman Nasional, sebagian areal tersebut telah
dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai areal usaha tani semusim, ladang berpindah, kebun, dan
hutan rakyat pola agroforestry. Selain itu, pada bagian kawasan taman nasional yang sebelumnya
berstatus hutan produksi merupakan bekas areal Pilot Project Pembangunan Hutan
Kemasyarakatan (HKm) seluas 500 ha yang dibangun pada tahun 1999 atas bantuan OECF.
Pak Patu adalah salah seorang anggota Kelompok Tani HKm yang telah memanfaatkan
kawasan hutan pada areal Taman Nasional sejak tahun 2000, jumlah pohon yang telah ditanam
oleh Pak Patu sebanyak 7400 pohon terdiri atas jenis gmelina arborea dan pohon jati (tectona
garndis). Pada saat ini pohon yang telah ditanam oleh Pak Patu sudah membentuk tegakan hutan
seumur dan bahkan secara teknis sudah dapat ditebang untuk tujuan pemanfaatan tertentu.
Masalahnya adalah Pak Patu tidak dapat memanen hasil jerih payahnya karena terkendala oleh
kebijakan larangan menebang di dalam areal Taman Nasional.Berdasarkan uraian di atas,
diperlukan penelitian untuk mengkaji besarnya nilai investasi tanaman Pak Patu sebagai dasar
penentuan kompensasi pemerintah terhadap tanaman Pak Patu.
Kompensasi adalah kewajiban pengguna/peminjam kawasan hutan untuk menyediakan
dan menyerahkan lahan bukan kawasan hutan yang direboisasi untuk dijadikan kawasan hutan
atau sejumlah dana yang dijadikan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Departemen
Kehutanan (Peraturan Menteri Kehutanan No. P. 14/Menhut-II/2006). Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui besarnya nilai kompensasi atas pemanfaatankawasan Taman Nasional oleh
Pak Patu dan Menganalisis sistem kompensasi atas pemanfaatan kawasan Taman Nasional oleh
Pak Patu.
2
3. METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan selama 2 bulan dari bulan Agustus-Oktober yang bertempat di
Desa Labuaja, Kecamatan Cenrana, Kabupaten Maros, Provinsi Sulawesi
Selatan.Indikator/parameter yang digunakan untuk mengetahui besarnya nilai kompensasi atas
pemanfaatan dan atau penggunaan kawasan hutan adalah nilai rente ekonomi kawasan hutan
(Forest Economic Rent) dan indikator/parameter yang digunakan untuk menganalisis
pengembangan sistem kompensasi atas pemanfaatan dan atau penggunaan kawasan hutan adalah
mekanisme kompensasi yang telah diatur dalam kebijakan makro seperti UU No. 41/1999,
Kepmenhut No. P.14/Kpts-II/2006, PP No.6/2007, PP No. 2/2008, dan PP No. 3/2008.
Penelitian ini akan menggunakan pendekatan partisipatif, untuk mendapatkan
masukan/informasi dari stakeholders tentang nilai dan mekanisme sistem kompensasi
pemanfaatan dan atau penggunaan kawasan hutan.Pendekatan ini dilakukan melalui inventarisasi
tegakan, wawancara mendalam dan penelusuran dokumen/literature.
Model analisis yang digunakan adalah Quantitative descriptive analysis dilakukan untuk
mendeskripsikan dan menganalisis nilai kompensasi yang wajar atas penggunaan kawasan
Taman Nasional oleh Pak Patu. Nilai kompensasi dihitung dengan pendekatan valuasi ekonomi
sumberdaya hutan, yaitu:
Pendekatan ini digunakan untuk mengetahui nilai sewa lahan kawasan hutan yang
dimanfaatkan oleh Pak Patu untuk menanam pohon. Rumus yang digunakan adalah (Darusman,
2001):
LR = TR – TC (1 + a)
dimana:
LR = rente lahan (Rp/ha)
TR = total nilai tegakan berdiri (Rp/ha)
TC = total biaya membangun tegakan (Rp/ha)
a = keuntungan normal dari aktivitas penggunaan kawasan hutan (minimal 20%, tergantung
tingkat resiko unit usaha)
untuk mencari TR = V x Hk
Dimana :
V = Volume Tegakan Berdiri (m3
/ha)
Hk = Harga Kayu Berdiri (Rp/m3
)
Pendekatan Biaya membangun tegakan (Rehabilitation Cost)
Pendekatan ini digunakan untuk mengetahui nilai kompensasi kawasan Taman Nasional
berdasarkan besarnya biaya investasi yang telah dikeluarkan oleh Pak Patu menanam dan
memelihara pohon.
Qualitative-descriptive analysis dilakukan untuk mendeskripsikan mekanisme
kompensasi penggunaan kawasan Taman Nasional oleh Pak Patu berdasarkan data dan informasi
yang diperoleh dari hasil wawancara mendalam, FGD, penelusuran dokumen/literature serta
hasil Quantitative-descriptive Analysis.
Prosedur Pelaksanaan Kegiatan
a. Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan pada penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data
primer terdiri atas data komponen-komponen penyusun nilai rente ekonomi sumberdaya hutan
3
4. dan pandangan para pihak mengenai sistem kompensasi pemanfaatan dan atau penggunaan
kawasan hutan.
Data sekunder terdiri atas data pemanfaatan dan atau penggunaan kawasan hutan dan
kebijakan-kebijakan yang terkait. Data ini diperoleh dari berbagai sumber yaitu: institusi
kehutanan dan institusi terkait lainnya, serta studi pustaka.
b. Pengolahan dan Analisis Data
Sesuai dengan jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini, maka metode pengolahan
dan analisis data yang digunakan adalah Qualitative-Descriptive Analysis dan Quantitative-
Descriptive Analysis serta analisis tabulasi frekwensi dan tabulasi silang.
c. Penyusunan Laporan
Data yang telah dikumpulkan, diolah dan dianalisis selanjutnya ditulis dalam bentuk laporan
hasil penelitian.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada tahun 1999, Pemerintah telah membangun Pilot Project Hutan Kemasyarakatan (HKm),
bantuan OECF seluas 500 ha di Desa Labuaja. Status fungsi areal HKm tersebut adalah hutan
produksi seluas 100 ha dan hutan lindung seluas 400 ha. Pada tahun 2004, seiring dengan
penetapan areal Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, areal HKm seluas 500 ha tersebut
seluruhnya masuk dalam wilayah taman nasional. Hal ini berimplikasi terhadap hilangnya akses
masyarakat mengelola areal HKm.
Pak Patu mulai membangun tegakan pohon pada tahun 1997-2012 dengan luas area 12,19 ha,
dimana area tahun 1997 memiliki luas 3,74 ha, tahun 1998, tahun 1999 dan tahun 2000 seluas
2,77 ha, tahun 2001 seluas 4,04 ha, dan tahun 2002 seluas 1,48 ha dengan jenis pohon gmelina
arborea dan pohon jati (tectonagarndis) dengan status kawasan hutan waktu itu sebagai hutan
Lindung. Dalam pembangunan hutan Pak Patu, ada kegiatan teknis yang dilakukan antara lain :
Sebelum diadakan penanaman, terlebih dahulu dilakukan persiapan lahan berupa
pembersihan lahan dari semak dan rumput-rumputan yang akan mengganggu parang dan
cangkul. Sisa-sisa dari pembersihan tersebut dibakar karena sisa pembakaran ini dapat berguna
untuk kesuburan tanah.Kegiatan ini dilakukan selama 1-2 minggu setiap tahun tanam sebelum
melakukan penanaman, tenaga kerja yang digunakan adalah 1 orang.
Pembuatan pagar batas berupa bambu yang memiliki panjang 372 m dengan jumlah babu
372 batang, selain berfungsi sebagai pembatas area pagar tersebut berfungsi sebagai pagar
pelindung bagi tanaman dari hama penganggu yaitu hewan ternak dan Babi. Pagar batas tersebut
dibuat pada tahun 1997 oleh pak patu dan setiap tahunnya dilakukan pembaharuan pagar batas.
Pengadaan bibit dilakukan pada setiap area tahun tanam. Tahun 1997 dengan 200 bibit jati
lokal, tahun 1998 dengan 100 bibit jati putih, tahun 1999 dengan 100 bibit jati putih, tahun 2000
dengan 100 bibit jati putih dan 210 bibit jati lokal, tahun 2001 dengan 1790 bibit jati putih dan
1000 jati lokal, dan tahun 2002 dengan 2000 bibit jati putih dan 2000 jati lokal, jumlah
keseluruhan bibit yang disebar sebanyak 7400 bibit dari tahun 1997-2002.
Bibit yang diperoleh pak patu dalam membangun tegakan pohon merupakan bibit sisa-sisa
pembagiaan dari pemerintah terhadap para kelompok tani, selain pemungutan bibit pak patu
mengambil dari anakan pohon berdiri. Jumlah bibit yang telah ditanam pak Patu sebanyak 7400
bibit terdiri dari 4190 bibit Jati Putih dan 3210 bibit Jati Lokal.
Setelah dilakukan persiapan lahan, kegiatan selanjutnya adalah pembuatan lubang tanam,
lubang tanam yang telah dibuat sesuai dengan jumlah bibit yang ada yaitu 7400 lubang
tanam.Pembuatan lubang tanam ini sesuai dengan kapan datangnya bibit dan sesuai kemampuan
Pak Patu sehingga waktu yang diperlukan untuk membuat lubang tanam dimasing-masing tahun
tanam bervariasi.
4
5. Setelah dilakukan pembuatan lubang tanam diadakan kegiatan penanaman.Penanaman
dilakukan tergantung dari kapan adanya bibit yang dapat ditanam yang biasanya pada awal tahun
Pak Patu melakukan penanaman sehingga waktu penanaman dapat dilakukan kapan saja dengan
jarak tanam 4x4 m.
Pemeliharaan
Pada pembangunan tegakan pohon Pak Patu, pemeliharaan merupakan hal yang sangat
penting. Adapun kegiatan pemeliharaan yang dilakukan Pak Patu dalam membangun tegakan
pohon yaitu :
a) Penyiraman
Kegiatan penyiraman dilakukan oleh Pak Patu setelah penanaman apabila tidak ada
hujan.Penyiraman ini bertujuaan untuk mencegah kekeringan pada tanaman sehingga
mengakibatkan kematiaan. Air yang digunakan untuk menyiram diambil dari sungai dengan
menggunakan alat bantu berupa ember.
b) Perlindungan dari hama
Kegiatan perlindungan dari hama dalam hal ini hewan ternak pemakan dedaunan dan Babi
merupakan salah-satu kegiatan yang penting dalam membangun tegakan pohon, hal tersebut
dibuktikan dengan pembuatan pagar batas dengan panjang 372 m..
Potensi Tegakan Pak Patu
Luas area yang dikelola oleh Pak Patu sebesar 12,19 ha tersebar dienam lokasi tahun tanam.
Luas area tahun 1997 adalah 3,74 ha dan 0,05 ha pada lokasi ke-2 dengan tahun tanam yang
sama, tahun (1998,1999, dan 2000) memiliki luas 2,77 ha, tahun 2000 pada lokasi ke-2 memiliki
luas 0,11 ha, tahun 2001 memiliki luas 4,04 ha dan tahun 2002 memiliki luas 1,48 ha.
Pembangunan tegakan pohon Pak Patu dengan penyebaran bibit sebanyak 7400 yang disebar
kesetiap lokasi tahun tanam yang berbeda-beda.
Tabel 7. Potensi Tegakan pohon Pak Patu
Tahun Luas Luas V PB (m3/Ha)̅ V TPB (m3
/Ha) D/Plot̅ ̅
Tanam
Area
(Ha)
Plot
(Ha)
Jati
Putih
Jati
Lokal
Jati
Putih
Jati
Lokal (cm)
1997 (I) 3,74 0,04 16,15 - 1510,025 - 43
1997
(II)
0,05 0,04 8,68 - 10,85 -
38
1998 0,92 0,04 1,75 - 40,25 - 27
1999 0,92 0,04 4,88 - 112,24 - 25
2000 1,03 0,04 5,14 3,36 132,355 86,52 29
2001 4,04 0,04 3,71 3,31 374,71 334,31 38
2002 1,48 0,04 12,02 3,7 444,74 136,9 28
Tabel 7, menunjukkan bahwa potensi tegakan pohon Pak Patu dari tahun tanam 1997-
2002 dimana pada tahun 1997 pada lokasi tanam pertama memiliki diameter rata-rata paling
besar diantara tahun tanam lainya. Luas area 12,19 ha dan Luas 1 plot setiap tahun tanam 20x20
m, dengan tujuaan mengetahui potensi tegakkan pohon pada setiap tahun tanam yang berbeda-
beda.
5
6. Analisis Biaya Investasi Pembangunan Tegakan Pohon Pak Patu
Biaya investasi adalah biaya yang dikeluarkan untuk jangka panjang pembangunan
hutan.Pengadaan biaya tersebut biasanya dilakukan pada tahun pertama atau sebelum
pembangunan hutan dilakukan. Biaya-biaya yang digunakan pada pembuatan tegakan pohon
oleh Pak Patu yaitu biaya investasi :
a. Biaya pembuatan pagar batas
Pagar batas digunakan untuk memetakkan area-area pengelolaan hutan oleh petani dan
sebagai pagar pengaman dari hama penganggu tanaman. Panjang pagar tersebut 372 m
dimana pagar tersebut terbuat dari susunan batu gunung dan bamboo sehingga bamboo yang
diperlukan sebanyak 372 batang / Tahun dengan harga pertahunnya beraneka ragam, karena
Pak Patu setiap tahun melakukan renovasi pagar batas, pembuatan pagar batas tersebut
dikerjakan oleh Pak Patu dengan biaya Rp. 27.278.000,-
b. Biaya pengadaan bibit
Biaya pengadaan bibit dengan jumlah bibit 7400 yang disebar kesetiap tahun tanam, dapat
dilihat pada table 8.
Berdasarkan tabel diatas, jenis tanaman yang disebar Pak Patu selama 6 tahun adalah 7400
bibit, dimana Jati Putih 4190 bibit dan Jati Lokal 3210 bibit. Pada tahun 1997-1999 tidak ada
penyebaran bibit Jati Lokal, harga bibit Rp.50,-/bibit sehingga total biaya pengadaan bibit
sebesar Rp. 203,400,- .
c. Biaya penanaman dan pemeliharaan
Biaya penanaman dan pemeliharaan adalah biaya yang dikeluarkan selama proses
penanaman dan setelah penanaman. Biaya tersebut terdiri atas :
1) Biaya pembuatan lubang tanam
Jumlah lubang tanam 7400 lubang dari tahun 1997-2002, biaya lubag tanam setiap
tahunnya berbeda-beda mulai dari harga Rp.2000,-/lubang tanam hingga
Rp.10,000,-/lubang tanam, sehingga biaya pembuatan lubang tanam yang dikerjakan oleh
Pak Patu selama 6 tahun dengan total biaya Rp. 72.270.000,-
2) Biaya pemeliharaan
Biaya pemeliharaan dalam hal ini merupakan biaya persiapan lahan dan penanaman
dalam membangun tegakan pohon, dimana kegiatan tersebut dilakukan secara beransur-
ansur selama 12 tahun dari tahun 1997-2012. Aktifitas penanaman Pak Patu dalam
memebangun tegakan pohon dari tahun 1997-2002 dan aktifitas pemeliharaan dari tahun
1997-2012, sehingga pada tahun 2002-2012 aktifitas penanaman tidak ada namun
aktifitas pemeliharaan tetap dilakukan oleh Pak Patu.
Tabel 8. Rincian biaya pengadaan bibit
Jenis Tanaman Tahun tanam Harga/bibit Jumlah Jumlah
(bibit) 1997 1998 1999 2000 2001 2002 (Rp) Bibit (Rp)
Jati Putih 100 100 100 100 1790 2000 50 4190 102.190
Jati Lokal 210 1000 2000 50 3210 101.210
Total 7400 203.400
6
7. Tabel 9. Biaya aktifitas pemeliharaan tegakan pohon Pak Patu
Aktifitas Tahun tanam Tahun Tanam
satuan
harga Jumlah
Nilai total
pemeliharaan 1997 1998 1999 2000 2001 2002 (1997-2002) satuan satuan
1997 • HOK 1.344.000 1 1.344.000
1998 • • HOK 1.344.000 2 2.688.000
1999 • • • HOK 1.548.000 3 4.644.000
2000 • • • HOK 2.400.000 3 7.200.000
2001 • • • HOK 3.600.000 3 10.800.000
2002 • • • HOK 3.600.000 3 10.800.000
2003 • • HOK 3.600.000 2 7.200.000
2004 • HOK 5.460.000 1 5.460.000
2005 • HOK 6.120.000 1 6.120.000
2006 • HOK 7.344.000 1 7.344.000
2007 • HOK 8.040.000 1 8.040.000
2008 • HOK 9.126.000 1 9.126.000
2009 • HOK 10.912.800 1 10.912.800
2010 • HOK 11.330.400 1 11.330.400
2011 • HOK 12.240.000 1 12.240.000
2012 • HOK 12.240.000 1 12.240.000
Jumlah 127.489.200
Berdasarkan tabel diatas, biaya pemeliharaan setiap tahun tanam memiliki 3 tahun masa
pemeliharaan setelah tahun tanam dan pada tahun 2005-2012 Pak Patu melakukan pemeliharaan
secara menyeluruh. Biaya pemeliharaan terbesar pada tahun 2012 sebanyak Rp. 12,240,000,- hal
ini dikarenakan biaya tenaga kerja setiap tahunnya bertambah naik. Total biaya pemeliharaan
selama 16 tahun adalah Rp. 127,489,200,-
Analisis Pendapatan
Pendapatan yang diperoleh dari pembangunan tegakan pohon Pak Patu dimana Volume
tegakan berdiri dikali dengan harga pohon berdiri.
Tabel 10. Analisis pendapatan Pak Patu selama 16 tahun
Tahun Luas Luas V PB (m3/Ha)̅ V TPB (m3
/Ha) TR (Rp)
Tanam
Area
(Ha)
Plot
(Ha)
Jati
Putih
Jati
Lokal
Jati
Putih
Jati
Lokal
Jati Putih Jati Lokal
1997 (I) 3,74 0,04 16,15 - 1510,025 - 377.506.250 -
1997
(II)
0,05 0,04 8,68 - 10,85 - 2.712.500 -
1998 0,92 0,04 1,75 - 40,25 - 10.062.500 -
1999 0,92 0,04 4,88 - 112,24 - 28.060.000 -
2000 1,03 0,04 5,14 3,36 132,355 86,52 33.088.750 43.260.000
2001 4,04 0,04 3,71 3,31 374,71 334,31 93.677.500 167.155.000
2002 1,48 0,04 12,02 3,7 444,74 136,9 111.185.000 68.450.000
Jumlah 52,33 10,37 2625,17 557,73 656.292.500 278.865.000
Total Jumlah 935.157.500
7
8. Berdasarkan tabel diatas, diamana volume tegakan berdiri untuk jati putih 2625,17 m3
dan
jati Lokal 557,73 m3
, sehingga total volume tegakan pohon berdiri selama 6 tahun adalah
3182,29 m3
dan harga pohon berdiri untuk jati Putih Rp. 250,000,-/m3
dan Jati Lokal
Rp.500,000,-/m3
, sehingga total pendapatan yang dihasilkan dari rumus Land Rent dalam
mencari total nilai tegakan berdiri adalah Rp. 935.157.500.
Analisis Kompensasi
Land Rent merupakan salah satu rumus sewa lahan dimana biaya pendapatan dikurang
biaya investasi. Dari hasil wawancara, inventarisasi dan pengolahan data menghasilkan :
LR : TR - TC (1+a)
: Rp. 935.157.500 - Rp. 369.519.038 (1+0,2)
: Rp. 491.734.655,-
Jadi, Land Rent yang harus dibayar Pak Patu bila memanen tegakan pohon yang selama
ini ia bangun adalah Rp. 491.734.655,- dan apabila pihak Taman Nasional BABUL tidak
memberikan izin melakukan penebangan maka Taman Nasional BABUL harus memberikan
Kompensasi kepada Pak Patu yaitu :
TC (1+a)
: Rp. 369.519.038 (1+0,2)
: Rp. 443.422.845,-
Berdasarkan uraian diatas kompensasi yang harus diberikan kepada Pak Patu, biaya
investasi dikali 1 ditambah 20% dari biaya investasi sehingga nilai kompensasi yang
dihasilkanadalah Rp. 443.422.845,
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil analisis data dan asumsi yang digunakan, dapat ditarik beberapa
kesimpulan tentang kompensasi tanaman diarea Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung di
Desa Labuaja, Kecamatan Cenrana, Kabupaten Maros, Provinsi Sulawesi Selatan( study khasus
Pak Patu ) sebagai berikut :
1. Pak Patu telah berhasil membangun tegakan pohon berdiri seluas 12,19 ha dalam kawasan
Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Tegakan pohon berdiri tersebut terdiri atas
tegakan Jati Putih (Gmelina arborea) sebanyak 4190 pohondan Jati Lokal (Tectona
garandis) sebanyak 3210 pohon Jati Putih dan Jati Lokal ditanam tercampur dalam areal
seluas 12,19 ha.
2. Hasil analisis finansialmenunjukkan bahwa total biaya untuk pembangunan tegakan pohon
Pak Patu adalahRp. 369.519.038, total pendapatan sebesarRp.935.157.500,- dan Land Rent
selama 16 tahun sebesar Rp. 491.734.655,-
3. Alternatif I Apa bila Pak Patu diberikan izin oleh yang berwenang menebang dan
memperoleh hasil kayu usahanya membangun tegakan pohon dalam kawasan hutan maka
Pak Patu besedia membayar Land Rent sebesar Rp. 491.734.655,- dan Alternatif II Apa
bila Pak Patu tidak diberikan izin oleh yang berwenang menebang dan memperoleh hasil
kayu usahanya membangun tegakan pohon dalam kawasan hutan maka Pak Patu
berpendapat bahwa dia wajar memperoleh segala biaya-biaya yang dia telah keluarkan,
8
9. termasuk biaya imbalan pengelolaan sesuai dengan analisis finansial yang lazim sebesar
(total cost+0,2 total cost) yaitu Rp.443.422.845,-
DAFTAR PUSTAKA
Kehutanan, 2006. Peraturan Menteri Kehutanan no 14 tahun 2006 tentang Pedoman Pinjam
Pakai Kawasan Hutan. Jakarta.
Barlow. R. 1978. Land Resource Economics: The Economics of Real Estate. Prentice-Hall, Inc.
Englewood Cliffs, New Jersey.
Nugroho, I, Dahuri, R. 2004. Pembangunan Wilayah: Perspektif Ekonomi, Sosial, dan
Lingkungan. LP3ES. Jakarta.
Rosa N, S. Kandel, L: Dimas. 2005. Kompensasi Jasa Lingkungan dan Masyaraklat Pedesaan.
ICRAF. Bogor
Suparmoko, 1989. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. BPFE. Yogyakarta.
Supratman. 2008. Pengembangan Sistem Kompensasi Areal Hutan yang Dialihfungsikan.
Balitbangda Provinsi Selawesi Selatan. Makassar
Darusman, 2001. Resiliensi Kehutanan Masyarakat di Indonesia. Debut Press. Yogyakarta
9