SlideShare a Scribd company logo
EDISI JANUARI-FEBRUARI 2013
RUBRIK KEMUDI
RUBRIK TOKOH EDO KONDOLOGIT
TEMU AKBAR NELAYAN INDONESIA DAN PERTEMUAN NASIONAL KIARA 2013AGENDA kEGIATAN
FUNGSI MANGROVERUBRIK PERNAK-PERNIK
RESEP NASI GORENG IKAN ASINRUBRIK DAPUR
Pertama, pentingnya Negara mengedepankan
prinsip-prinsip keberlanjutan sumber daya ikan
tanpa hutang, dengan tetap memprioritaskan pada
pemenuhan kebutuhan pangan nasional secara
berdikari.
Kedua, pentingnya Negara memberikan dan
memastikan terpenuhinya hak-hak nelayan sebagai
warga Negara maupun hak-hak istimewa mereka
sebagai nelayan tradisional, serta memberikan
perlindungan maksimal atas wilayan perairan
tradisionalnya.
Ketiga, pentingnya Negara memahami kegiatan
perikanan sebagai sumber pangan, pengembangan
budaya nasional, dan sumber ekonomi kerakyatan.
Keempat, pentingnya Negara memahami
kegiatan perikanan secara utuh, dengan memaknai
keterlibatan perempuan nelayan di dalam kegiatan
perikanan sebagai subjek yang teramat penting.
W: www.kiara.or.id | E: kabarbahari.indonesia@gmail.com
F: Kiara | T: @sahabatkiara
PENGANTAR REDAKSI
D A F T A R I S I
REDAKSI
KABAR BAHARI adalah
Buletin dua bulanan terbitan
Koalisi Rakyat untuk Keadilan
Perikanan (KIARA) yang
mengangkat dinamika
isu kenelayanan dalam
pengelolaan sumber daya
kelautan dan perikanan.
DEWAN REDAKSI
Pemimpin Redaksi:
Abdul Halim
Redaktur Pelaksana:
Selamet Daroyni
Sidang Redaksi:
Mida Saragih
Susan Herawati
Ahmad Marthin Hadiwinata
Desain:
Abizar Ismail
Foto Cover :
Des Syafrizal/Oxfam.
Alamat Redaksi:
Jl Lengkeng Blok J Nomor 5
Perumahan Kalibata Indah
Jakarta 12750
Telp./Faks:
+62 21 798 9543
Email:
kabarbahari.indonesia@
gmail.com
MEMPERBAIKI MANGROVE KITA
Pembaca yang budiman, buletin dwi bulanan KABAR BAHARI kembali
menyapa Anda. Untuk edisi perdana di tahun 2013 ini, Redaksi
mengulas pentingnya mangrove dalam kehidupan kita.
Keberadaan ekosistem mangrove di daerah pesisir kian terancam.
Selain beralih fungsi menjadi tambak, hutan mangrove juga kian
dilirik untuk kebun kelapa sawit dan bahkan reklamasi pantai yang
merampas hak warga negara. Akibatnya, terjadi abrasi dan intrusi air
laut serta turunnya tangkapan nelayan. Upaya nelayan tradisional
merehabilitasi hutan mangrove, di antaranya di Langkat dan Serdang
Bedagai, Sumatera Utara, patut diacungi jempol, meski rintangannya
amat berat.
Asia tercatat sebagai kawasan pemilik hutan mangrove terluas,
utamanya di Asia Selatan dan Asia Tenggara. Lebih dari 50 spesies
endemik mangrove, di antaranya Aegiceras floridum, Camptostemon
philippinensis, Heritiera globosa, tumbuh di sepanjang garis pantainya
(FAO, 2005). Seperti apa situsi mangrove di Indonesia? Koalisi Rakyat
untuk Keadilan Perikanan (KIARA) memperkirakan luasan hutan
mangrove di Indonesia menyusut drastis akibat laju konversi sejak
tahun 1980an hingga saat ini: dari 4,25 juta ha pada 1982 menjadi
kurang dari 1,9 juta ha tahun ini. Kementerian Kehutanan mencatat,
ada 7.758.410,59 hektar hutan mangrove di Indonesia. Namun, hampir
70 persen rusak.
Mendapati kondisi ini, kelestarian hutan mangrove sudah semestinya
menjadi tanggung jawab bersama. Anda bisa bayangkan, betapa
meruginya bangsa Indonesia kehilangan spesies endemik mangrove
yang tidak dimiliki oleh bangsa-bangsa lainnya.
Edisi perdana ini juga mengangkat pentingnya pengakuan dan
perlindungan Negara terhadap perempuan yang bergerak di sektor
perikanan, baik tangkap maupun budidaya. Cobalah simak upaya
Kelompok Perempuan Nelayan Muara Tanjung di Desa Sei Nagalawan,
Serdang Bedagai. Dalam edisi ini pula, Redaksi menyediakan ruang
konsultasi hukum kelautan dan perikanan. Selamat membaca dan
semoga bermanfaat.
Redaksi
AGENDA: Temu Akbar Nelayan & Pertemuan Nasional KIARA 2013
RUBRIK HUKUM: Konsultasi Hukum Nelayan dan Perikanan
RUBRIK PERNAK-PERNIK: Fungsi Mangrove
RUBRIK DAPUR: Nasi Goreng Ikan Asin
RUBRIK JELAJAH: Keberpihakan Terhadap Perempuan Nelayan
RUBRIK TOKOH: Edo Kondologit & Pak Sangkot
RUBRIK KEBIJAKAN: Pantai Publik, Hak Asasi Setiap Warga
RUBRIK SETARA: Kelompok Perempuan Nelayan Muara Tanjung 20
23
26
31
32
2
1
7
14 & 22
16
RUBRIK KEMUDI: Pentingnya Melestarikan Magrove
Lestarilah
Mangroveku..
RUBRIK KEMUDI
foto: Des Syafrizal/Oxfam.
2
PENTINGNYA
MELESTARIKAN
MANGROVE
PENGANTAR
Indonesia merupakan negara kelautan
terbesar yang memiliki hamparan hutan
mangrove terluas di dunia. Hutan mangrove
di dunia mencapai luas sekitar 16.530.000
ha yang tersebar di Asia 7.441.000 ha, Afrika
3.258.000 ha, dan Amerika 5.831.000 ha (FAO
1994).
Merujuk pada The World's Mangroves 1980-
2005 (FAO 2007), walaupun dari segi luasan
kawasan, mangrove Indonesia merupakan
yang terluas di dunia, yakni sebesar 49%,
namun kondisinya semakin menurun baik
dari segi kualitas dan kuantitas dari tahun ke
tahun. Pada tahun 1982, hutan mangrove di
Indonesia seluas 4,25 juta ha, sedangkan pada
2009 diperkirakan menjadi kurang dari 1,9 juta
ha (KIARA, 2010).
Setali tiga uang, dalam Status Lingkungan
Hidup Indonesia 2009 yang dikeluarkan oleh
Kementerian Lingkungan Hidup menyebutkan
bahwa, “Hutan mangrove di Sumatera Utara
seluas 306.154.20 ha. Dari luasan itu, 9.86%
berada dalam kondisi rusak”.
Menurunnya kualitas dan kuantitas hutan
mangrove berakibat pada minimnya daya
dukung ekosistem pesisir bagi kelangsungan
hidup spesies pesisir dan biota laut lainnya,
serta kelangsungan hidup masyarakat pesisir,
seperti abrasi yang meningkat, penurunan
tangkapan perikanan, intrusi air laut yang
semakin merambah daratan, meluasnya
penyakit malaria, dan sebagainya.
Di pesisir Pantai Timur Sumatera Utara,
luasan mangrove menurun sebesar 59.68%
dari 103,425 ha di tahun 1977 menjadi 41,700
ha di tahun 2006 (Onrizal 2006). Senada
dengan itu, data KNTI regio Sumatera (2010)
menyebutkan bahwa hutan mangrove di
pesisir Kabupaten Langkat seluas 35.000 ha.
Dari luasan itu, kini yang tersisa dalam kondisi
baik hanya 10.000 ha. Penurunan kuantitas
dan kualitas ini disebabkan oleh perluasan
tambak udang dan perkebunan sawit di
wilayah pesisir. Akibatnya, selain merusak
ekosistem pesisir, juga berdampak terhadap
penurunan pendapatan nelayan tradisional.
Oleh karena itu, penelitian tentang sawit
dan kerusakan mangrove di pesisir Pantai
Timur Sumatera Utara ini menjadi sangat
penting untuk dilakukan. Hasil penelitian ini
diharapkan dapat dijadikan sebagai dasar
dan pertimbangan utama untuk kegiatan (i)
rehabilitasi mangrove yang sudah rusak, (ii)
pengelolaan mangrove untuk masa kini dan
masa mendatang, dan (iii) memperkaya data
dan informasi perihal keterkaitan mangrove
dengan kehidupan masyarakat pesisir,
khususnya nelayan dan petambak tradisional.
KONVERSI MANGROVE
Kawasan mangrove atau hutan bakau
amatlah penting artinya bagi masyarakat
pesisir, tak terkecuali masyarakat pesisir
Pantai Timur Kabupaten Langkat, Sumatera
Utara. Di Langkat, kawasan hutan mangrove
seluas 35.000 hektar membentang
sepanjang 110 kilometer berbatasan dengan
Kabupaten Deli Serdang dan Kabupaten Aceh
Timur, Nanggroe Aceh Darussalam. Pada
perkembangannya, hanya tersisa 10.000
hektar yang berada dalam kondisi baik.
Berkurangnya luasan hutan mangrove
menjadi keprihatinan masyarakat pesisir
Langkat. Tak hanya mempengaruhi
pendapatan nelayan, melainkan juga
menjadikan mereka kian rentan terhadap
bencana. Dari segi pendapatan, misalnya,
nelayan harus pergi lebih jauh dari kuala
3
menuju laut untuk menangkap ikan. Padahal,
modal melaut yang dimiliki tak seberapa.
Kerusakan ekosistem mangrove telah
berlangsung sejak 1980-1998 sesaat setelah
pemerintah melaksanakan perluasan tambak
udang. Akibat persebaran penyakit, kualitas
udang budidaya tak lagi baik dan berdampak
pada menurunnya kualitas lingkungan pesisir.
Untuk mengatasi persoalan ini, Menteri
Kehutanan Republik Indonesia mengeluarkan
Hak Pengusahaan Hutan (HPH) Tanaman
Bakau kepada PT Sari Bumi Bakau seluas
±20100 ha dengan surat bernomor 936/
kpts-II/1999 tanggal 14 Oktober 1999.
Terbitnya HPH ini sontak diwarnai penolakan
oleh masyarakat pesisir Langkat hingga
dikeluarkannya Surat Keputusan Menteri
Kehutanan No. SK.388/MENHUT-II/2006
pada tanggal 12 Juli 2006 tentang pencabutan
Hak Pengusahaan Hutan PT. Sari Bumi
Bakau.
Meski telah dicabut, konversi hutan mangrove
secara besar-besaran terus terjadi di
kawasan Hutan Produksi Tetap dan Terbatas.
Berlangsungnya praktek ini dilandasi oleh
Surat Keputusan Menhut Nomor 44/
MENHUT-II/2005 tanggal 16 Februari 2005 Jo.
Nomor 201/Menhut-II/2006 pada tanggal 5
Juni 2006. Akibatnya, penolakan masyarakat
terus berlangsung.
Penolakan masyarakat disebabkan
oleh konversi hutan mangrove menjadi
perkebunan kelapa sawit. Praktek konversi
ini berlangsung hampir di seluruh kecamatan
pesisir Langkat, di antaranya: Secanggang,
Tanjung Pura, Gebang, Babalan, Sei Lepan,
Brandan Barat, Pangkalan Susu, Besitang,
dan Pematang Jaya.
Melihat fakta di lapangan, perusahaan yang
diduga melakukan praktek konversi hutan
mangrove adalah PT Sari Bumi Bakau (SBB),
PT. Pelita Nusantara Sejahtera (PNS), PT.
Marihot, PT. Buana, PT C.P, serta oknum
wakil rakyat partai pemenang Pemilu 2009
lalu. Atas kondisi di atas, KNTI menilai
bahwa program rehabilitasi hutan dan lahan
yang telah berlangsung sejak 2006-2008
tak berhasil menyelamatkan ekosistem
mangrove karena di saat yang sama, prakter
konversi berlangsung secara besar-besaran.
Laju konversi mangrove menimbulkan
permasalahan baru bagi nelayan dan
masyarakat pesisir Langkat, Sumatera
Utara. Di antara persoalan tersebut adalah:
(1) abrasi pantai akibat konversi ekosistem
mangrove di Kecamatan Pesisit dan Pulau
Kecil, Kabupaten Langkat; (2) hilangnya
sebagian tempat mencari nafkah masyarakat
di Desa Perlis, Desa Kelanta, Desa Lubuk
Penelusuran KNTI region Sumatera diperoleh rincian konversi
hutan mangrove
Tabel I. Luas Kerusakan Hutan Mangrove di Kabupaten Langkat
4
Kasih, dan Pangkalan Batu; (3) kian tingginya
biaya melaut yang mesti ditanggung oleh
nelayan tradisional karena wilayah tangkapan
ikan semakin jauh; (4) kian besarnya potensi
konflik horisontal antarnelayan; (5) hilangnya
kesempatan memanfaatkan lahan darat
untuk pertanian; (6) hilangnya air bawah
tanah akibat intrusi air laut sebagai sumber
air bersih bagi 180 ribu masyarakat Teluk
Haru, Langkat; dan (7) membesarnya potensi
rob akibat hilangnya ekosistem mangrove.
HILANGNYA MANGROVE
Dalam dua dekade sepertiga hutan bakau
(mangrove) dunia hancur. The Royal Society-
sebuah akademi sains di Inggris menyebutkan
bahwa kerusakan tersebut disebabkan oleh
aktivitas manusia, khususnya perluasan
tambak. Di Indonesia persebaran mangrove
berkategori rusak berat berdampak pada
menurunnya daya dukung lingkungan hidup
dan kualitas hidup masyarakat pesisir.
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan
(KIARA) memperkirakan luasan hutan
mangrove di Indonesia menyusut dengan
sangat drastis dari 4,25 juta ha pada 1982
menjadi kurang dari 1,9 juta ha tahun
ini. Rusaknya hutan pencegah banjir
tersebut berakibat pada terputusnya rantai
penghidupan dan obat-obatan masyarakat
pesisir. Selain itu, musnahnya produktivitas
perikanan dan hilangnya habitat pesisir
lainnya serta kian meningkatkan kerentanan
masyarakat pesisir atas badai dan gelombang
tinggi.
Penghargaan atas pelayanan ekosistem
hilang. Pemerintah-khususnya Kementerian
Kelautan dan Perikanan-memandang alam
semata sebagai komoditas eksploitatif demi
keuntungan segelintir orang dan memberikan
kerusakan bagi sebanyak mungkin anggota
masyarakat pesisir. Kerusakan mangrove
menjadi potret tiadanya penghargaan
pemerintah atas pelayanan ekosistem.
Dalam studinya The Royal Society
memaparkan bahwa kerusakan mangrove
akibat perluasan tambak tak sebanding
dengan kesejahteraan masyarakat pesisir. Di
Thailand, misalnya, tiap hektare luas tambak
hanya memberikan keuntungan sebesar
US$9,632. Keuntungan ini hanya dimiliki oleh
segelintir orang. Sebaliknya, pemerintah
Thailand harus menanggung biaya polusi
sebesar US$1,000, biaya hilangnya fungsi-
fungsi ekologis sebesar US$12,392, dan
pemerintah harus memberi subsidi kepada
masyarakat korban senilai US$8,412. Tak
hanya itu, tetapi pemerintah juga harus
mengalokasikan dana tambahan sebesar
US$9,318 untuk merehabilitasi mangrove.
Pengalaman Thailand hendaknya
memberikan panduan bagi pemerintah kita
untuk tak sembarang menelurkan kebijakan
terkait dengan eksploitasi ekosistem penting
dan genting seperti ekosistem mangrove.
Terlebih, menyangkut hajat hidup banyak
orang. Kami mencatat bahwa ada tiga faktor
utama penyebab kerusakan mangrove di
Indonesia. Pertama, konversi untuk ekspansi
industri pertambakan, seperti yang terjadi di
Provinsi Lampung.
Kedua, konversi hutan mangrove untuk
kegiatan reklamasi kota-kota pantai, seperti
yang terjadi di Teluk Jakarta, Padang (Sumbar),
Makassar, dan Manado (Sulut). Ketiga, terkait
pencemaran lingkungan. Saat ini perluasan
kebun kelapa sawit turut memperparah
kerusakan ekosistem mangrove di Indonesia.
Hasil pemantauan KIARA di Kab. Langkat
Sumut, misalnya, didapati fakta konversi
ekosistem mangrove menjadi perkebunan
sawit dilakukan hingga jarak kurang dari 5
meter dari arah garis pantai. Hal ini jelas tidak
berkesesuaian dengan upaya perlindungan
ekosistem pesisir di Indonesia. Jika hal ini
terus dibiarkan, bencana ekologis bakal lebih
5
masif terjadi di Kepulauan Indonesia.
Penutup: Mangrove dan Ruang Hidup Nelayan
Indonesia memiliki seperlima dari mangrove
di dunia dan sedang mengalami proses
pengrusakan secara masif oleh industri
budidaya, seperti tambak udang, yang
mengakibatkan nelayan setempat kehilangan
pekerjaan. Baru-baru ini, sebuah studi
mengenai ancaman terhadap ekosistem
mangrove menemukan bahwa mereka
menyediakan jasa ekosistem senilai US$ 1,6
miliar setiap tahunnya dan mendukung mata
pencaharian masyarakat pesisir di seluruh
dunia, termasuk perlindungan garis pantai
dari badai. Sayangnya, sebelas dari 70 spesies
mangrove terancam punah, seperti terdaftar
dalam Red List of Threatened Species IUCN
(The Guardian, 2010).
Ancaman terhadap keberlanjutan sumber
daya perikanan lainnya adalah rusaknya
ekosistem pesisir, termasuk hutan mangrove,
yang diperburuk dengan dampak perubahan
iklim. Efeknya meningkatkan suhu air laut
dan mempercepat proses pengasaman laut
yang berujung pada berubahnya kondisi
ekosistem perairan. Perubahan iklim juga
mengubah distribusi produktivitas ikan dan
spesies laut dan air tawar. Hal ini berdampak
pada keberlanjutan perikanan dan budidaya.
Terlebih bagi masyarakat pesisir yang mata
pencahariannya bergantung pada perikanan.
Ironisnya, wilayah pesisir dan daerah
penangkapan ikan kini diperlakukan
semata-mata sebagai komoditas. Tak bisa
dibayangkan, Jepang menguasai industri
kerang mutiara; Thailand dan Taiwan sudah
dan sedang berencana melakukan ekspansi
industri perikanan tangkap dan budidaya;
sejumlah pengusaha Eropa menguasai
industri pariwisata bahari; demikian halnya
Amerika Serikat, Jerman, dan Australia
yang belakangan menggalakkan industri
konservasi laut di perairan Indonesia.
Seluruhnya dilakukan dengan mengkapling
dan mempersempit wilayah tangkap nelayan
tradisional Indonesia.
Pada akhirnya, keberadaan hutan mangrove
sebagai kawasan sabuk hijau (green belt)
perlu dilindungi dengan aturan yang
tegas dan tidak tumpang tindih, termasuk
meminimalisir aktivitas pembukaan tambak
udang, perkebunan sawit, dan kawasan
wisata di kawasan hutan mangrove.***
(Abdul Halim & Tajruddin Hasibuan)
Sumber Kepustakaan:
1. The World’s Mangroves 1980-2005 (FAO 2007)
2. Status Lingkungan Hidup Indonesia 2009 (Kementerian
Lingkungan Hidup)
6
PENTINGNYA
KEBERPIHAKAN
TERHADAP
PEREMPUAN
NELAYAN
NELAYAN dalam kategori sosial sebagai
masyarakat miskin tidak kunjung berkurang
secara kuantitas. Minimnya dukungan
pemerintah dalam penegakan HAM nelayan,
dan tingginya tantangan hidup di laut, dan
kehancuran ekosistem merupakan penyebab
utama. Dalam situasi serba sulit itu, tidak
sedikit perempuan yang aktif dan lantas
sukses dalam pengelolaan sumber daya
alam perikanan. Pun begitu, sedikit sekali
penghargaan dan perlindungan yang diterima
mereka. Itu bisa kita temukan buktinya di
lapangan.
Semisal di bibir Pantai Pangandaran, Ciamis,
Provinsi Jawa Barat, tiap hari setidaknya dua
ratus lebih nelayan menjaring ikan. Mereka
didominasi oleh kaum perempuan. Sejak
dini hari nan dingin, mereka mengais rezeki,
menangkap ikan dengan alat tangkap jaring
arad. Kegiatan menarik jaring dilakukan
berulang-ulang dan menghabiskan waktu
8 hingga 10 jam per hari. Profesi ini tidak
mudah. Kulit habis tergores dan luka kalau
tak terbiasa mengerjakannya. Tangan,
pinggang, segenap tenaga dikerahkan
untuk menarik jaring yang panjangnya bisa
mencapai 400 s.d 500 meter. Itu pun belum
tentu hasil yang diperoleh mencukupi.
Pendapatan per orang per hari biasanya
antara Rp. 5.000 sampai Rp 15.000. Kalau
sedang beruntung bisa membawa pulang Rp
50.000. Kadang tak ada sama sekali. Mereka
mengatakan bahwa akan tetap bersyukur
karena yakin rezeki di tangan Tuhan YME.
Nelayan jaring arad tergolong nelayan
kategori ekonomi skala kecil, karena profesi
ini dikerjakan secara berkelompok (bahkan
kekeluargaan), tidak memerlukan modal
besar dan hasilnya pun hanya cukup untuk
RUBRIK JELAJAH 7
memenuhi kebutuhan sehari-hari. Oleh
karena situasi cuaca tak menentu, hasil
tangkapan suami tak pasti sehingga ekonomi
keluarga bisa bangkrut sewaktu-waktu.
Perempuan akhirnya melakoni profesi
nelayan jaring arad.
Di Marunda Kepu, Jakarta utara, ada
Kelompok Mekar Sari yang fokus pada
pembuatan terasi dari udang rebon dan
pembuatan ikan asin, selain itu juga aktif
melakuan advokasi tolak reklamasi bersama
FKNJ (Forum Komunikasi Nelayan Jakarta)
dan Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia
(KNTI). Tak hanya sampai di situ, Kelompok
Mekar Sari melalui Bu Habibah mendirikan
PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini).
Para perempuan nelayan anggota Kelompok
Mina Arta Karya di Mangkang Wetan,
Semarang, Jawa Tengah fokus pada produksi
kerupuk udang. Hancurnya tambak akibat
abrasi dan banjir tidak menghentikan upaya
kelompok ini untuk menanami pesisirnya
dengan bakau.
Ke arah selatan ada Kampung Laut, Pulau
Nusakambangan, di mana Kelompok Mutiara
mengembangkan pembibitan, penanaman,
pengolahan, serta penjualan bibit bakau
hingga keluar Pulau Nusakambangan. Bahkan
mereka mengolah bakau menjadi permen dan
kerupuk.
Masih di Jawa Tengah, di Kabupaten Kendal,
Kelompok Lestari dan Wilujeng melakukan
pendampingan bagi perempuan pedagang
dan pengolah ikan. Sementara di Kampung
Morodemak, Kabupaten Demak, hadirnya
Kelompok Puspita Bahari telah membantu
perekonomian nelayan. Anggotanya aktif
mengembangkan beragam produk berbahan
baku ikan, yang merupakan hasil tangkapan
nelayan, mulai dari: abon, kerupuk udang dan
bandeng presto. Berkat upaya penghijauan
berbasis kelompok yang digagas Puspita
Bahari, saat ini luas bakau di Morodemak
mencapai 10% dari luas desa. Selain itu,
mereka mengolah sampah plastik bekas
kemasan jajanan menjadi bantal hias.
8
Perempuan nelayan yang hidup di daerah
yang stok ikannya terancam harus benar-
benar mampu mengatasi kekurangan
pendapatan. Kajian KIARA (Koalisi Rakyat
untuk Keadilan Perikanan) di Marunda Kepu,
Jakarta Utara menemukan perempuan
nelayan bekerja antara 16 sampai 17 jam
per hari saat kondisi ekstrim hadir. Kondisi
ekstrim ini bersumber dari pencemaran
limbah lebih dari 250 industri yang beroperasi
di sekitar Teluk Jakarta, plus limpahan limbah
dari 13 sungai. Teluk Jakarta bisa dikatakan
sebagai tong sampah. Walaupun banyak
warga yang bergantung pada perairan
semi terbuka ini, namun sedikit sekali
upaya penanggulangan pencemaran oleh
pemerintah. Juga, nyaris tak ada perlakuan
tegas pemerintah terhadap industri
pencemar.
Faktor lainnya adalah cuaca ekstrem.
Sekarang masa paceklik bertambah panjang
dan minimnya hasil tangkapan membuat
keluarga nelayan harus bisa bertahan
lebih kuat. Kaum perempuan yang bekerja
maksimal untuk menopang hidup keluarga
bukan lagi soal pilihan, melainkan keharusan.
Ada uang, bisa makan dan sebaliknya. Cerita
menjual sendok makan sampai kepingan
genteng adalah rangkaian cerita sewaktu
paceklik itu tiba. Ada juga yang menjadi
pedagang ikan di pasar dan keliling kampung,
ada yang jadi nelayan, jadi pengusaha ikan
kering dan ikan asap, jadi pemulung dan
mendaur ulang sampah menjadi barang
bermanfaat. Ada yang beralih menjadi Tenaga
Kerja Wanita, atau menjadi buruh pabrik.
Sekali lagi, mereka tetap pahlawan bagi
keluarganya.
AKAR MASALAH
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan
(KIARA) sejak 2003 telah memetakan
faktor peminggiran terhadap perempuan
nelayan. Selain kurangnya informasi terkait
kebijakan perlindungan dan pemberdayaan,
kelompok-kelompok perempuan nelayan
dilemahkan peran-peran aktifnya dalam
melestarikan lingkungan dan menjaga
perekonomian rakyat. Di antaranya melalui
9
unsur pembangunan, seperti alih fungsi
kawasan melalui pertambangan, reklamasi,
pengkaplingan untuk kawasan wisata,
ekspansi sawit di pesisir dan sejumlah
pulau kecil, serta pencemaran. Berdasarkan
catatan KIARA, dalam dua tahun terakhir
(2010-2011), terjadi 68 konflik kelautan
dan perikanan. Angka konflik ini meningkat
tajam dibandingkan tahun lalu, yakni 28
konflik (2010). Dari 68 konflik tersebut, 20 di
antaranya adalah kasus masih berlanjut dan
belum menemukan solusi.
Konflik-konflik di kelautan tentu
mempengaruhi kualitas hidup nelayan serta
masyarakat yang tergantung pada sektor ini,
baik langsung dan tidak langsung. Kerusakan
yang diakibatkan konflik-konflik itu sangat
parah mulai dari meluasnya wilayah abrasi
dan daerah banjir rob, degradasi stok ikan
hingga polusi air dan udara. Ini merupakan
gambaran nyata di mana sektor perikanan
dikalahkan oleh kepentingan komersil
semata.
Selain kondisi obyektif tersebut, menurut
Solidaritas Perempuan (2012), terdapat
beberapa sumber ketidakadilan terhadap
perempuan, di antaranya:
1. Stereotifikasi/ stigmatisasi dan pelabelan
negatif yang merupakan himpunan
pandangan-pandangan, anggapan,
atau kepercayaan negatif terhadap
salah satu jenis kelamin. Pandangan-
pandangan stigmatik dan negatif sifatnya
merendahkan dan dampaknya merugikan.
2. Subordinasi. Posisi sosial asismetris
karena adanya pihak yang superior di satu
sisi dan inferior di sisi lain. Subordinasi ini
merupakan kelanjutan dari pandangan
yang stereotipi. Subordinasi melandasi
pola relasi atau pola hubungan sosial
yang hirarkhis di mana salah satu pihak
memandang dirinya lebih dari mereka
yang direndahkan.
3. Marginalisasi atau peminggiran. Proses
penyingkiran kepentingan, hak-hak,
kebutuhan, serta aspirasi berdasarkan
jenis kelamin yang berlangsung
secara sistematis dalam memperoleh
manfaat dari kesejahteraan hidup dan
pembangunan. Sebagaimana stereotipi,
marginalisasi dapat terjadi secara sengaja
atau ‘dianggap’ sebagai sesuatu yang
wajar.
4. Beban ganda. Beban kerja berlipat-ganda
memaksakan dan membiarkan salah satu
jenis kelamin menanggung beban aktifitas
berlebihan.
5. Dominasi. Dominasi merupakan kekuatan
yang dimiliki dan dilakukan oleh individu
atau seseorang atau kelompok tertentu
untuk menundukkan, menguasai atau
melemahkan individu atau kelompok
lain. Dominasi membuat individu atau
kelompok lain menjadi tersub-ordinasi
dan kemudian termarjinalisasi, sehingga
kepentingan mereka menjadi tidak bisa
terungkap maupun menjadi perhatian
dan menjadi keputusan. Tanda-tandafoto: Des Syafrizal/Oxfam.
10
dominasi adalah: a) tidak membiarkan
orang lain bicara; b) tidak mau mendengar
dan mengabaikan pendapat orang lain;
c) menguasai percakapan/ diskusi; d)
campur tangan terus-menerus terhadap
keputusan yang telah disepakati; dan
e) memanipulasi pendapatnya sebagai
pendapat orang banyak.
6. Diskriminasi. Pembedaan perlakuan,
pengucilan dan pembatasan yang hadir
atas dasar jenis kelamin, ras, kelas,
agama, kepercayaan, ideologi, pilihan
politik, pilihan seksual, cacat, penyakit,
dan lainnya, yang mempunyai pengaruh
atau mengurangi dan menghapuskan
pengakuan, penikmatan atau penggunaan
hak azasi manusia dan kebebasan-
kebebasan mendasar di bidang politik,
ekonomi, sosial, budaya, sipil atau bidang
apa pun lainnya.
7. Kekerasan merupakan tindakan yang
membuat orang lain merasa tidak
nyaman dan takut, karena terluka secara
fisik dan psikologis.
Kondisi obyektif kehancuran pesisir dan laut
kita menambah beban persoalan yang ada
sebelumnya di kalangan masyarakat, yakni
ketidakadilan terhadap perempuan. Sehingga,
selain harus bekerja keras menyelamatkan
situasi, perempuan nelayan juga harus bisa
meyakinkan diri dan kelompok mereka untuk
bisa menyetarakan posisi antara perempuan
dan laki-laki.
FONDASI KEADILAN
Salah satu fondasi Keadilan Perikanan yang
menjadi visi misi KIARA adalah, “Agar negara
memahami kegiatan perikanan secara utuh,
dengan memaknai keterlibatan perempuan
nelayan di dalam kegiatan perikanan sebagai
subyek yang teramat penting.”
KIARA meyakini kaum perempuan harus
berjuang dan harus bisa menjadi penggerak
perubahan. Kaum perempuan juga harus
bersatu padu untuk mendapatkan peran yang
setara dengan laki-laki. Kaum perempuan
harus mendapatkan hak-hak dasarnya
seperti pendidikan, akses terhadap informasi,
akses kesehatan, lapangan pekerjaan, taraf
hidup yang lebih baik dan sebagainya. Tanpa
adanya upaya yang satu padu, boleh jadi
kesetaraan dan pemenuhan hak-hak dasar
hanya akan menjadi impian belaka.
Upaya untuk meraih cita-cita itu mulai
didiskusikan pada pertemuan nelayan
bertemakan “Penguatan Kapasitas
Perempuan Nelayan” yang diselenggarakan
oleh Koalisi Rakyat Untuk Keadilan
Perikanan (KIARA), Perkumpulan Jaringan
Pengembangan Kawasan Pesisir (JPKP)
Buton bekerjasama dengan Aliansi untuk
Desa Sejahtera (ADS). Para nelayan yang
bertemu di Pulau Liwuto, Bau-Bau, Propinsi
Sulawesi Tenggara, 20–25 November
2010 memutuskan lahirnya ikatan
persaudaraan antar perempuan nelayan
yakni Persaudaraan Perempuan Nelayan
Indonesia (PPNI). Berdirinya PPNI juga
dibicarakan lebih lanjut dalam Temu Akbar
Nelayan yang berlangsung pada 2011 dan
2012. Mereka yang ikut dalam pertemuan itu
di antaranya kelompok perempuan nelayan
yang berasal dari Serdang Bedagai, Sumatera
Utara; Marunda, Jakarta Utara; Bau-bau,
Sulawesi Tengggara; Semarang dan Demak,
Jawa Tengah; Manado, Sulawesi Utara; dan
Lamalera, NTT.
Melalui pembelajaran di lapangan, KIARA
percaya hanya dengan gerakan perempuan
nelayan yang terdidik dan terorganisir,
akselerasi perwujudan kesejahteraan
keluarga nelayan dapat tercapai. Termasuk
untuk urusan pengelolaan sumberdaya
perikanan yang adil dan lestari.
Perempuan di wilayah pesisir dan mereka
yang bergerak di sektor kenelayanan
11
CAPAIAN PASCA PEMBENTUKAN PPNI
Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI) berdiri pada 2010, atas inisiatif
organisasi nelayan dan sejumlah lembaga yang memberi perhatian kepada nelayan
tradisional, di antaranya Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Jaringan
Pengembangan Kawasan Pesisir (JPKP) dan Aliansi untuk Desa Sejahtera (ADS).
Pada pertemuan 6-8 Februari 2012 di Kabupaten Demak, Jawa Tengah, PPNI merumuskan
misi sebagai berikut: 1) Perempuan nelayan agar terlibat di dalam pembuatan kebijakan;
2) Perempuan nelayan mampu mendorong peningkatan taraf hidup dan kesejahteraan
keluarga dan masyarakat; dan 3) Perempuan nelayan memastikan hadirnya kesetaraan
gender di kampung-kampung nelayan. PPNI memiliki visi sebagai wadah penguatan
gerakan perempuan nelayan di tingkat nasional.
Sejak pendirian PPNI, terdapat dua prestasi yang membanggakan, yakni: 1) Penerimaan
penghargaan KUSALA SWADAYA 2011 oleh Kelompok Perempuan Nelayan Puspita
Bahari pada Oktober 2011; dan 2) kelompok nelayan aktif melakukan rehabilitasi
bakau, sebagaimana dilakoni oleh sejumlah kelompok nelayan: KNTI di Kabupaten
Langkat, Sumut; Kelompok Perempuan Muara Tanjung, Serdang Bedagai, Sumatera
Utara; Kelompok Persatuan Nelayan Lestari, Kendal, Jateng; Kelompok Mutiara di Pulau
Nusakambangan.
penegakan hak-hak mereka sebagai nelayan
dan warga negara Indonesia. Pemberdayaan
ini guna mendobrak keberlanjutan situasi,
di mana peran perempuan nelayan dalam
kegiatan perikanan belum diakui.
Dalam upaya ke arah itu, pemerintah harus
merubah perlakuan atas perempuan nelayan
dalam pembangunan, bukan sebagai buruh
atau pun individu tanpa jaminan akses dan
kontrol atas sumberdaya pesisir dan laut.
Peran penting para perempuan nelayan
tidaklah dengan serta merta begitu saja
dapat meningkatkan pendapatan dan kualitas
kesejahteraan, karena mereka patut dibekali
dengan kebijakan yang berpihak, penguatan
organisasi dan penguasaan ketrampilan yang
memadai.
Di atas itu semua, pembenahan tata
kebijakan harus berkeadilan gender.
sadar betul kalau mereka harus bahu-
membahu menghadapi kerentanan dalam
berbagai aspek, melalui pembentukan
organisasi nelayan di tingkat kampung dan
mengembangkan beragam inisiatif baik.
Selain ada yang berperan dalam produksi,
pengolahan hingga distribusi hasil tangkapan
nelayan, peran perempuan nelayan menjadi
pendiri dan pengajar di PAUD (pendidikan
anak usia dini) bermunculan. Demikian halnya
peran mereka dalam perlindungan alam ada
melalui penanaman bakau. Tak hanya itu,
mereka kini hadir menjadi bagian dari gerakan
keadilan perikanan. Ini semua merupakan
bukti bahwa pelibatan perempuan harus
diletakkan pada posisi yang strategis.
Merespon hal tersebut, inisiatif yang
seharusnya dibangun sejak awal oleh Negara
adalah pemberdayaan perempuan nelayan.
Memberikan perlindungan kebijakan atas
12
Ini merupakan prasyarat mutlak guna
membenahi membenahi kegiatan perikanan
nasional. ***(Mida Saragih)
Referensi:
1) Kunjungan lapangan di Pantai Pangandaran,
Ciamis, Jawa Barat (Mei 2012).
2) Hasil diskusi dengan nelayan nelayan di
Semarang (Desember 2012); nelayan di
Morodemak, Jawa Tengah (2012); dan Nelayan
Marunda Kepu, Jakarta Utara (2012).
3) Dokumen Hasil Pertemuan Persaudaraan
Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI) di Pulau
Liwuto, Sulawesi Tenggara (2010).
4) Puspa, Dewi. 2012. “Kepemimpinan Perempuan
Bagian dari Perubahan Perempuan,” ini
merupakan dokumen presentasi yang
disampaikan pada Pertemuan Persaudaraan
Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI) di Demak,
Jawa Tengah pada 13 Februari 2012.
5) Liputan Live 365 Metro TV terkait Teluk Jakarta
per 9 Februari 2013.
6) Saragih, Mida dan Dedy Ramanta (2009)
“Pembangunan untuk Siapa: Dampak Proyek
Reklamasi terhadap Perempuan Fisher dan Anak
di Pantai Utara Jakarta, Indonesia” Jakarta: KIARA
7) Kertas Kebijakan KIARA (2012), “Laporan
KIARA 2011: Konflik Kelautan dan
Perikanan”
13
Umumnya orang memanggil Sangkot, namun
nama lengkapnya adalah Tajruddin Hasibuan.
Lelaki kelahiran Pangkalan Brandan,
Kabupaten Langkat, ini adalah Presidium
KNTI wilayah Sumatera. Ia aktif terlibat dalam
kegiatan nelayan tradisional di Sumatera.
Banyak kegiatan yang sudah dikerjakan
bersama, salah satunya adalah advokasi
terhadap isu perbatasan. Di tahun 2009,
marak terjadi penangkapan nelayan
tradisional di perbatasan Indonesia-Malaysia
oleh Polisi Laut Malaysia. Hingga tahun 2012
setidaknya ada 27 kasus dan sekitar 137
orang yang pernah ditahan.
Pada tanggal 9 Juli 2010, KIARA dan
KNTI Region Sumatera Utara melakukan
pembebasan terhadap 6 nelayan tradisional
Indonesia asal Kelurahan Brandan Timur dan
Kelurahan Sei Billah. Mereka adalah Zulham
(40), Ismail (27), Amat (24), Hamid (50), Syahrial
(42), dan Mahmud (42) yang ditahan di Balai
Polis Kuah, Langkawi, Malaysia. Dalam kasus
ini, Sangkot berpandangan bahwa nelayan
tradisional Indonesia tidak mendapatkan
perlindungan hukum dari Negara.
Di sisi lain, bersama- sama dengan nelayan,
Sangkot juga melakukan serangkaian
kegiatan advokasi terhadap kerusakan
ekosistem mangrove di pesisir. Sejak tahun
2006, kawasan hutan mangrove telah
dikonversi menjadi perkebunan kelapa
sawit seluas 16.446 ha. Perubahan fungsi
kawasan ini dilakukan oleh tiga perusahaan
perkebunan sawit, yakni UD Harapan Sawita
seluas 1.000 ha, KUD Murni seluas 385 ha,
dan PT Pelita Nusantara Sejahtera seluas
2.600 ha.
Akibat dari konversi hutan mangrove secara
masif tersebut, masyarakat yang berada di
Desa Perlis, Kelantan, Lubuk Kasih, Lubuk
Kertang, Alur Dua, Kelurahan Brandan
Barat, dan Kelurahan Sei Bilah, serta
menggantungkan mata pencahariannya
terhadap kelestarian hutan mangrove
dirugikan. Saat tak bisa melaut, biasanya
mereka cukup mencari udang atau ikan di
rerimbunan mangrove.
Melihat kondisi lingkungan hidup dan
ekonomi di wilayah pesisir yang kian
memburuk, Sangkot bersama dengan nelayan
tradisional yang tergabung di dalam KNTI
Melindungi
Nelayan
dan
Mangrove
RUBRIK TOKOH 14
(Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia)
bekerjasama dengan KIARA melakukan
rehabilitasi hutan mangrove seluas 1.200
ha. Selain menanam mangrove, mereka
juga melakukan pembibitan. Inisiatif kolektif
ini juga didukung oleh Bupati Langkat, H.
Ngogesa Sitepu, SH.
Di awal tahun 2013, Sangkot bersama-sama
dengan nelayan Langkat juga melakukan
kampanye penolakan penggunaan trawl
(pukat grandong) di Perairan Kabupaten
Langkat. Menurutnya, pengunaan trawl telah
berdampak pada rusaknya ekosistem laut
dan hilangnya mata pencaharian nelayan
tradisonal. Apa yang dilakukan oleh nelayan
tradisional adalah upaya melaksanakan
mandat Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 bahwa
“setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan
batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan
lingkungan hidup yang baik dan sehat serta
berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.
Ditambah lagi, Keputusan Presiden Nomor
39 Tahun 1980 tentang Penghapusan
Jaring Trawl juga masih berlaku. Pada
perkembangannya, Pasal 9 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang
Perikanan juga menegaskan, “Setiap orang
dilarang memiliki, menguasai, membawa,
dan/atau menggunakan alat penangkapan
dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang
mengganggu dan merusak keberlanjutan
sumber daya ikan di kapal penangkap ikan
di wilayah pengelolaan perikanan Negara
Republik Indonesia”. Penegasan UU ini
diperkuat dengan Peraturan Menteri
Kelautan dan Perikanan No. 2 Tahun 2011
tentang Jalur, Penempatan dan Alat Bantu
Penangkapan Ikan di Wilayah Perikanan
Indonesia.
Hanya saja, lamban dan lemahnya penegakan
hukum di lapangan menjadi persoalan dan
memicu konflik sosial yang berujung pada
kriminalisasi. Pada tanggal 23 Januari 2013,
23 orang nelayan tradisional justru ditangkap
oleh Aparat Kepolisian Resort Langkat.
Meskipun pada akhirnya para nelayan
telah ditangguhkan penahanannya, namun
terdapat dugaan kuat penangkapan tersebut
salah sasaran dan tidak sesuai dengan
ketentuan.
Meski dihadapkan pada resiko besar,
Sangkot bersama nelayan tradisional
Langkat telah berkomitmen untuk terus
melakukan kampanye dan pendampingan
hukum terhadap rekan-rekan yang masih
dikriminalisasi. Apalagi perjuangannya
mendapatkan dukungan dari masyarakat
Indonesia (setidaknya) melalui petisi online
yang dipersiapkan bersama dengan KIARA
dan Kontras (Medan dan Jakarta).
Perjuangan nelayan dalam segala arah
memang acap kali menemui rintangan.
Namun semangat juang harus disebarkan
dari satu nelayan ke nelayan lainnya.
“Sangkot bersama dengan nelayan tradisional
yang tergabung di dalam KNTI (Kesatuan Nelayan
Tradisional Indonesia) bekerjasama dengan KIARA
melakukan rehabilitasi hutan mangrove seluas
1.200 ha. Selain menanam mangrove, mereka juga
melakukan pembibitan. Inisiatif kolektif ini juga
didukung oleh Bupati Langkat”.
Hal ini menjadi penyemangat di tengah
permasalahan yang dari hari ke hari kian
pelik. Sangkot mengajak masyarakat nelayan
Indonesia untuk membangun kesadaran
akan pentingnya peranan nelayan tradisional
bagi bangsa Indonesia. Nelayan tradisional
adalah orang-orang terdepan yang menjaga
perbatasan Indonesia, olehnya jangan
pernah menyerah. Teruslah melakukan
perubahan, penguatan organisasi nelayan,
dan konsolidasi gerakan. Perlu diingat,
perubahan tidak akan hadir secara tiba-tiba,
tetapi perubahan adalah tentang apa yang
harus kita perjuangkan terus-menerus secara
kolektif. *** (Susan Herawati)
15
PANTAI PUBLIK, HAK A
Untuk pertama kalinya dalam sejarah perjalanan bangsa
Indonesia, tiga orang warga negaranya menggugat
pemerintah dan perusahaan karena kasus komersialisasi
pantai publik. Tepatnya pada tanggal 21 Mei 2012, 3
(tiga) warga Jakarta bernama Ahmad Taufik, Abdul Malik
Damrah, dan Bina Bektiati mendaftarkan gugatan ke
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dasar gugatan yang
mereka ajukan adalah menikmati pantai publik secara
gratis merupakan hak asasi setiap warga. Kenyataannya,
untuk masuk ke kawasan rekreasi Pantai Ancol warga
harus membayar Rp15.000/orang. Dengan fakta ini,
maka Pemerintah DKI Jakarta bersama dengan PT
Pembangunan Jaya Ancol serta PT Taman Impian Jaya
Ancol telah melakukan pelanggaran kewajiban hukum.
Bergulirnya kasus ini mendapatkan tanggapan beragam
dari warga. Sebagian besar warga mendukung inisiatif
dan menginginkan pantai publik menjadi gratis. Ada juga
sebagian warga yang masih apatis, bahkan ada sebagian
kecil yang lebih pro terhadap kegiatan komersialisasi
pantai publik.
Di sebagian negara yang telah memiliki kepedulian
terhadap hak asasi manusia, pemerintahnya melarang
praktek perusahaan yang mengenakan biaya bagi warga
yang ingin mengakses pantai sebagai ruang rekreasional.
Dengan alasan pantai dan laut itu adalah anugerah
alamiah kepada manusia sehingga tidak boleh dibatasi
aksesnya.
Pantai publik
menjadi
kebutuhan dan
dambaan semua
warga negara.
Saat pantai publik
dikomersilkan,
harusnya Negara
hadir untuk
menegakkan
konstitusi
sehingga
terpenuhi hak
asasi warganya.
RUBRIK KEBIJAKAN 16
ASASI SETIAP WARGA
Berkebalikan dengan itu, perlakukan
Pemerintah Indonesia kepada warga
negaranya masih sangat diskriminatif. Alih-
alih mengabulkan permintaan warganya
dengan memberikan akses gratis kepada
warganya. Justru sebaliknya melalui PT.
Pembangunan Jaya Ancol dkk, 3 (tiga)
orang warga negara Indonesia yang ingin
menegakkan keadilan justru digugat balik
dengan alasan telah melakukan pencemaran
nama baik (perusahaan dan Pemprov DKI
Jakarta).
Lebih mengkhawatirkan lagi, sejak munculnya
tren pembangunan kota-kota pesisir di
Indonesia dengan cara perluasan lahan
(reklamasi) ke wilayah pantai yang dimulai
sejak tahun 2000-an, sebagian besar
kota-kota tersebut mengabaikan
hak-hak warga dan
nelayan tradisional
setempat. Mereka
yang seyogyanya
menjadikan
pesisir dan laut sebagai ruang gerak dan
ruang hidupnya justru semakin disingkirkan.
Argumentasi yang menyatakan bahwa
pembayaran masuk pantai publik tersebut
merupakan ongkos untuk kebersihan dan
perawatan taman merupakan alasan yang
mengada-ada. Tiap tahunnya, anggaran
belanja pemerintah (provinsi mapun
kabupaten/kota) telah mengalokasikan dana
kebersihan, perawatan taman, dan ruang-
ruang publik, termasuk pantai.
Lagi pula, apabila ada kegiatan usaha rekreasi
(fasilitas bermain dan lain-lain) yang berada
di pantai publik bukan berarti pihak pengelola
usaha rekreasi diperbolehkan untuk menarik
ongkos dari warga. Malahan merekalah
yang semestinya menanggung biaya
kebersihan dan perawatan pantai
publik bersama dengan pemerintah
daerah. Sebaliknya, akibat dari
pengusahaan ruang pantai publik
tersebut oleh pemerintah dan
pengelola, warga justru dikebiri dan
tanpa memperoleh ganti untung.
HAKIKAT RUANG PUBLIK
Pantai publik merupakan satu bagian
dari keseluruhan ruang publik yang
17
secara hakiki memiliki pengertian yang sangat
mengikat. Ruang publik merupakan tempat
di mana setiap orang memiliki hak untuk
memasukinya tanpa harus membayar uang
masuk atau uang lainnya. Ruang publik dapat
berupa jalan (termasuk pedestrian), taman,
dan sebagainya. Hal ini berarti bahwa ruang
terbuka hijau publik, seperti pantai, jalan dan
taman serta ruang terbuka non-hijau publik,
seperti pedestrian dapat dikategorikan dan
difungsikan sebagai ruang publik.
Berdasarkan fungsinya, ruang publik
merupakan tempat bertemu, berinteraksi
dan silaturahmi antarwarga serta sebagai
tempat rekreasi dengan bentuk kegiatan
yang khusus, seperti bermain, berolahraga
dan bersantai. Sebagai sarana rekreasi, ruang
publik merupakan tempat untuk melakukan
aktivitas rekreasi bagi pelakunya. Rekreasi
merupakan salah satu yang dibutuhkan
manusia, dengan rekreasi diharapkan pelaku
dapat mengembalikan individu seutuhnya,
baik jiwa maupun rohaninya.
Secara operasional, bisa dikatakan bahwa
suatu ruang dikatakan sebagai ruang
publik apabila memenuhi minimal 2
kriteria: pertama, dapat diakses tanpa
terkecuali. Dimaksudkan bahwa ruang
publik seyogyanya dapat dimanfaatkan oleh
seluruh warga kota yang membutuhkan.
Dengan demikian, beberapa fenomena,
seperti penguasaan pribadi wilayah pantai
oleh sekelompok pengusaha rekreasi pantai,
hotel, pemanfaatan badan jalan untuk parkir
kendaraan, serta pedestrian untuk pedagang
kaki lima telah menghalangi warga kota untuk
memanfaatkan ruang publik tersebut.
Kedua, universalitas atau bisa dimaknai
sebagai penyediaan ruang publik seyogyanya
dapat mempertimbangkan berbagai kelas
dan status masyarakat yang mencerminkan
pemenuhan kebutuhan seluruh lapisan
masyarakat, baik kelas atas sampai bawah,
normal dan difabel, anak-anak hingga
dewasa, serta pria dan wanita. Lebih jauh,
ruang publik merupakan sarana menguatkan
relasi sosial masyarakat yang karakternya
dapat dilihat, seperti mengizinkan berbagai
kumpulan/grup penduduk berada di
dalamnya, serta menghargai kelas-kelas
masyarakat, perbedaan etnis, jender, dan
perbedaan umur. Walaupun secara umum
ruang ini bisa diakses semua manusia, namun
harus tetap mengikuti norma agar tidak
merugikan kepentingan umum di dalamnya.
MANDAT KONSTITUSI: PANTAI PUBLIK GRATIS
Saat ini, Negara belum memberikan
keluasaan bagi warganya untuk mengakses
pantai publik. Hal ini merupakan sinyal
betapa Negara telah gagal menjalankan
amanat konstitusi. Padahal sangat jelas
dalam Undang Undang Nomor 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang yang menyatakan
bahwa Ruang publik dapat berupa Ruang
Terbuka Hijau Publik atau Ruang Terbuka
Non Hijau Publik yang secara institusional
harus disediakan oleh pemerintah di dalam
peruntukan lahan perkotaan di Indonesia.
Lebih dari itu, pada tanggal 16 Juni
2011 Mahkamah Konstitusi (MK) telah
memutuskan perkara uji materi terhadap UU
Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang
diajukan oleh 27 orang nelayan tradisional
dan 9 organisasi masyarakat sipil bahwa
terdapat 4 (empat) hak konstitusional
masyarakat nelayan tradisional dan adat,
yang tidak boleh dirampas atau ditukar-
gulingkan, yakni (1) hak untuk melintas/
mengakses laut; (2) hak memanfaatkan
sumber daya laut; (3) hak untuk mengelola
sumber daya laut sesuai dengan kearifan lokal
dan tradisi bahari yang telah dijalani secara
turun-temurun; dan (4) hak mendapatkan
lingkungan hidup dan perairan yang bersih
dan sehat. Mengacu pada putusan tersebut
semestinya kegiatan pengusahaan pesisir
18
dan laut oleh individu maupun lembaga
swasta dalam bentuk apapun merupakan
perbuatan melawan hukum.
Untuk itu, upaya-upaya yang dilakukan
oleh warga negara guna mendapatkan
haknya untuk mengakses pantai publik perlu
didukung. Karena hak untuk mendapatkan
ruang publik merupakan hak asasi setiap
orang dan tidak bisa diwakilkan kepada
siapapun. Demikian juga inisiatif yang
dilakukan oleh 3 (tiga) orang warga Jakarta
yang menggugat Pemerintah Provinsi DKI
Jakarta, PT Pembangunan Jaya Ancol, dan
PT. Impian Jaya Ancol harus didukung
sepenuhnya.
Pada perkembangannya, Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat (PN Jakpus) menolak
gugatan ‘masuk Pantai Ancol gratis’. Majelis
hakim juga menolak gugatan balik pengelola
Ancol kepada warga sebesar Rp 1,5 miliar.
Majelis hakim menilai tidak ada aturan
hukum yang dilanggar oleh para tergugat.
“Gugatan terhadap penggugat, majelis
menyatakan ditolak,” kata ketua majelis
Dwi Sigiarto saat membacakan putusan
di PN Jakpus, Jalan Gadjah Mada, Jakarta,
Selasa (26/2/2013).
Menurut Dwi, bukti yang diajukan penggugat
juga tidak cukup. Dwi menambahkan
menimbang dari keterangan saksi dan ahli
tidak ada satupun aturan yang dilanggar oleh
Tergugat dan majelis menilai masalah ini
masih terlalu umum.
Atas putusan ini, kuasa hukum penggugat,
Fahmi Syakir merasa kecewa. Dia dan
timnya akan mempelajari putusan untuk
kemungkinan mengajukan banding.
“Kemungkinan banding. Kami sangat kecewa
harusnya hak masyarakat bisa diberikan tapi
ternyata masih tertunda ini semua demi
masyarakat,” tutur Fahmi usai persidangan.
Penting dicatat, mengakses pantai
publik adalah hak asasi dan harus terus
diperjuangkan. Pengelolaan pantai di seluruh
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
harus mengutamakan partisipasi aktif
warga negara, bukan kepentingan segelintir
orang.*** (Selamet Daroyni)
19
Nama saya
Jumiati (31), ketua
dari Kelompok Perempuan
Nelayan Muara Tanjung yang
terletak di Desa Sei Nagalawan,
Kecamatan Perbaungan, Kabupaten
Serdang Bedagai, Provinsi Sumatera Utara.
Sebagai seorang ibu rumah tangga dengan
2 (dua) putri dari suami (Sutrisno) yang
berprofesi sebagai nelayan dan pengurus
organisasi nelayan, saya mengawali tekad
untuk lebih memahami dunia nelayan.
Berdiri sejak tahun 2005, kelompok
perempuan nelayan Muara Tanjung bergerak
untuk memberdayakan perempuan nelayan
di Desa Sei Nagalawan, satu-satunya desa
pesisir di Kecamatan Perbaungan. Sudah
lebih dari 7 tahun Muara Tanjung bergiat
untuk memajukan dan menyejahterakan
perempuan nelayan. Upaya yang ditempuh
selama ini adalah dengan memperbanyak
kegiatan yang ditujukan untuk memberikan
pengetahuan tambahan sekaligus
keterampilan ekonomis agar dapat
menambah pendapatan keluarga.
BERMULA SIMPAN-PINJAM
Tepatnya pada tahun 2007, kelompok
perempuan nelayan Muara Tanjung
membentuk koperasi simpan-pinjam atau
dalam istilah kelompok seringkali disebut
dengan Credit Union (CU) Muara Tanjung.
Nyatanya, pola simpan-pinjam ini menjadi
solusi yang amat membantu anggota
kelompok untuk terbebas dari tengkulak. Hal
ini dikarenakan mereka dapat meminjam dan
menabung dengan mudah tanpa jaminan dan
dapat diangsur sesuai kesepakatan antara
pengurus kelompok dengan peminjam. Tidak
hanya itu, Credit Union yang dikelola oleh
kelompok perempuan nelayan Muara Tanjung
juga memberikan sisa hasil usaha (SHU) tiap
tahunnya kepada anggota sesuai dengan
transaksi yang dilakukan.
Melihat manfaat yang dirasakan oleh
perempuan-perempuan nelayan Desa Sei
Nagalawan, layanan CU Muara Tanjung
diperluas. Tidak hanya perempuan, melainkan
juga nelayan yang notabene suami dari
anggota kelompok perempuan nelayan Muara
Tanjung. Dengan layanan CU Muara Tanjung,
nelayan yang membutuhkan modal untuk
perbaikan perahu, mesin, dan alat tangkap
lainnya tidak mengalami kesulitan. Apalagi
sampai harus terbelit hutang ke tengkulak.
Tiap bulannya, CU Muara Tanjung mampu
memutar dana sebesar Rp500.000 –
Rp1.000.000 untuk membantu kebutuhan
anggotanya. Meski demikian, manfaatnya
sangat dirasakan oleh sekitar 30an anggota
kelompok. Seperti dituturkan oleh Nurlia
(30), “Semenjak adanya CU Muara Tanjung,
perempuan nelayan di Desa Sei Nagalawan
merasakan banyak manfaat. Kami
mendapatkan pengetahuan dan keterampilan
ekonomis yang banyak membantu kehidupan
keluarga”.
Kelompok Perempuan Nelayan
Muara Tanjung, Sei Nagalawan:
Perempuan-
Perempuan
Indonesia harus
bergerak maju
RUBRIK SETARA
foto: Des Syafrizal/Oxfam.
20
Untuk menumbuhkan rasa memiliki, sistem
pembayaran pinjaman dan penarikan
simpanan wajib maupun sukarela dilakukan
secara kolektif oleh anggota secara bergiliran
tiap harinya. Tak mengherankan, jika seluruh
anggota kelompok merasa ikut memiliki
dan terlibat dalam pengelolaan CU Muara
Tanjung.
Seiring perkembangannya, kelompok
perempuan nelayan Muara Tanjung juga
memiliki sawah seluas 3 rante (1 ha = 25
rante) yang dikelola secara kolektif oleh
anggota dan hasilnya dibagi rata. Tidak hanya
itu, kelompok perempuan nelayan Muara
Tanjung juga melakukan pengolahan hasil
tangkapan ikan menjadi kerupuk ikan, abon
ikan, dan bahkan kerupuk jeruju (hasil olahan
daun mangrove).
TANTANGAN SEBAGAI PELUANG
Diversifikasi unit usaha ekonomi yang
dikembangkan oleh kelompok perempuan
nelayan Muara Tanjung terus bertambah.
Bersama dengan Sarekat Nelayan Sumatera
Utara (SNSU), perempuan nelayan dan
nelayan bahu-membahu mengelola
ekosistem hutan mangrove untuk dijadikan
sebagai kawasan belajar dan wisata. Inisiatif
ini berjalan tanpa dukungan investasi
pribadi, baik dari Kabupaten Serdang Bedagai
maupun di luar kabupaten. Harapannya,
pengelolaan hutan mangrove ini memberikan
manfaat ekonomis (peningkatan penghasilan
keluarga nelayan) dan keuntungan ekologis
(terhindar dari abrasi, dan seterusnya).
Tiap akhir pekan, seluruh anggota
kelompok berjibaku menanam,
membersihkan, dan
merawat hutan
mangrove. Selain itu, juga menyelenggarakan
pendidikan kepemimpinan dan gender, serta
manajemen keuangan keluarga nelayan.
Berbekal dari beragam pendidikan itulah,
kelompok perempuan nelayan Muara
Tanjung ikut terlibat dalam diskusi mengenai
perda pelarangan pukat harimau (trawl) di
Sumatera Utara. Bahkan kami tidak segan-
segan melibatkan diri dalam aksi massa di
kantor DPRD Kabupaten Serdang Bedagai
untuk mendesak disahkannya perda tersebut
dan turut membantu terpenuhinya hak-hak
perempuan nelayan yang suaminya menjadi
korban tabrak kapal pukat harimau di laut.
Apa yang dikerjakan oleh kelompok
perempuan nelayan Muara Tanjung menuai
buahnya. Mereka sering kali diundang aktif
dalam berbagai pameran oleh instansi
pemerintah, seperti Dinas Kelautan dan
Perikanan; Dinas Kehutanan dan Perkebunan;
Dinas Sosial, Tenaga Kerja, dan Koperasi
Kabupaten Serdang Bedagai. Pemerintah
Kabupaten Serdang Bedagai mengatakan,
“Upaya yang dilakukan oleh kelompok
perempuan nelayan Muara Tanjung dengan
berbagai produk olahannya, seperti kerupuk
ikan, abon ikan, dan kerupuk jeruju, mampu
menjadi contoh pengembangan produk
makanan dan minuman olahan bagi
masyarakat Serdang Bedagai, khususnya
kerupuk jeruju yang berbahan dasar daun
mangrove”. Siapa yang menanam, maka ia
akan memanennya.*** (Jumiati & Susan
Herawati)
Biodata
Nama : Edo Kondologit
Lahir : Sorong, Indonesia. 5 Agustus 1967
Penyanyi asal Papua Edo Kondologit prihatin
melihat keadaan laut Indonesia yang kini
sudah banyak berubah dibandingkan dahulu.
Laut tercemar, gizi buruk, dan banyak
pemegang modal yang menguasai sumber
daya laut.
Keprihatinan Edo Kondologit berdasarkan
pengamatannya pada sejumlah fakta bahwa
Negara yang mempunyai banyak sumber
daya perikanan yang sangat luar biasa seperti
Indonesia tapi nelayan Indonesia masih
banyak yang hidup di garis kemiskinan.
Hal tersebut membuat Indonesia seperti
terasing di tanah dan lautnya sendiri.
“Apa negara kita masih pantas disebut
sebagai negara maritim? Melihat
kompleksnya permasalahan yang dihadapi
masyarakat pesisir dalam segala hal, misalnya
kemiskinan yang masih dialami sampai saat
ini,” ujar artis kelahiran Sorong, Papua ini.
Dia berharap kekaguman dan kebanggaan
kita atas kekayaan Indonesia tidak akan
luntur dengan permasalahan yang sudah
campur aduk. Segala unsur yang terlibat
dalam kemajuan perairan, perikanan dan
kelautan Indonesia harus mau saling bahu
membahu. Terpenting adalah menegakkan
konstitusi di tanah dan laut Indonesia, serta
terus menyuarakan keadilan bagi nelayan
Indonesia.
Perlu digarisbawahi pentingnya
menumbuhkan pemimpin baru yang
mencintai laut Indonesia. Pemimpin yang bisa
menjamin perlindungan bagi seluruh rakyat
Indonesia.
“Kita yang sudah tua, pikiran, dan
hati nurani sudah lelah mengalami
problematika bangsa. Kaum muda
harus memulai perubahan dan
membenahi sehingga bisa membawa
hal positif untuk Negara kita,”
tutup Edo.*** (Susan Herawati);
Jalesveva
Jayamahe!
RUBRIK TOKOH 22
TEMU AKBAR NELAYAN
INDONESIA DAN PERTEMUAN
NASIONAL KIARA 2013
Untuk kali kedua, nelayan tradisional
Indonesia menggelar Temu Akbar Nelayan
Indonesia. Kegiatan yang mengusung tema
“Tegakkan Konstitusi, Sejahterakan Nelayan!”
ini digelar di Jakarta pada tanggal 15-17
Januari 2013 dan melibatkan 200 perwakilan
nelayan dari 20 Kabupaten/Kota di Indonesia.
Ajang konsolidasi strategis nelayan ini juga
diikuti oleh kalangan Lembaga Swadaya
Masyarakat, akademisi, politisi, birokrat,
mahasiswa, dan media massa. Temu Akbar
Nelayan Indonesia diawali dengan sedekah
laut yang dilaksanakan di Sekretariat KIARA.
Pada hari kedua, bertempat di Gedung Joeang
45, agenda dimulai dengan Orasi Kebangsaan
“Tegakkan Konstitusi, Sejahterakan Nelayan”
oleh Prof. Dr. Sri Edi Swasono (Guru Besar FE
UI) dilanjutkan dengan testimoni nelayan dan
perempuan nelayan, baik perikanan tangkap
maupun budidaya.
Sesi selanjutnya Dialog Nasional bersama
Bapak Ir. H. Pramono Anung Wibowo, MM.
(Wakil Ketua DPR RI), Bapak Ir. E. Herman
Khoirun, M.Si. (Wakil Ketua Komisi 4 DPR
RI), Ibu Dr. Ir. Sulikanti Agusni, M.Sc (Deputi
Bidang PUG Bidang Ekonomi Kementerian
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak), Bapak M. Riza Damanik (Sekretaris
Jenderal KIARA) dengan pemandu acara
Bapak Agus Haryadi (Penyiar TVRI).
Selanjutnya diadakan diskusi pendalaman
melalui 4 kelompok (perikanan tangkap,
perikanan budidaya, garam, dan perempuan)
yang dibagi dan diakhiri dengan diskusi
penyusunan Deklarasi Kemandirian dan
Kedaulatan Nelayan yang berjudul “Negara
Berdaulat, Nelayan Sejahtera”.
Di hari ketiga, agenda kunjungan ke lembaga
negara (eksekutif dan legislatif) sempat
mengalami hambatan akibat hujan sejak
malam hari yang berdampak banjir besar di
tanggal 17 Januari 2013. Agenda kunjungan
ke Istana Negara untuk menyerahkan
dokumen deklarasi nelayan tidak dapat
dilakukan akibat banjir yang menggenangi
kawasan sekitarnya, sehingga peserta
bersepakat membatalkan kunjungan
tersebut.
Menjelang siang hari, jalanan kota Jakarta
mulai bisa dilalui. Dari 4 instansi terkait yang
bersedia menerima dan berdialoh dengan
peserta Temu Akbar Nelayan Indonesia,
Kementerian Negara Lingkungan Hidup dan
Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan
Keamanan membatalkan pertemuan karena
akses dan kantor terimbas banjir.
Atas kondisi itulah, nelayan dan perempuan
nelayan hanya bisa mendatangi Kementerian
Kelautan dan Perikanan dan Komisi IV DPR
RI. Dari rangkaian kegiatan Temu Akbar
Nelayan Indonesia 2013, telah menghasilkan
banyak hal antara lain: pertama, terhimpun
pemikiran lintas profesi berupa masukan
terhadap Negara guna menegakkan
konstitusi untuk menyejahterakan
nelayan. Kedua, terhimpun
resolusi penegakan
konstitusi yang
bernas
AGENDA KEGIATAN 23
dan mampu dioperasionalisasikan dalam
rangka keluar dari krisis multidimensi yang
dialami oleh nelayan tradisional Indonesia;
dan ketiga, telah terjadi dialog konstruktif,
baik dengan eksekutif maupun legislatif, guna
mempercepat proses penegakan konstitusi
dan penyejahteraan nelayan tradisional
Indonesia.
Malam penutupan kegiatan Temu Akbar
Nelayan Indonesia 2013, para peserta dihibur
dengan pagelaran malam seni bahari berupa
musik dan pentas teater berjudul “Samudera
Masih Biru” yang dilakonkan oleh KafHa
Universitas Paramadina. Dalam malam
penutupan ini, KIARA juga memberikan
Penghargaan Keadilan Perikanan kepada
4 orang anak bangsa yang berjasa atas
dedikasinya memperjuangkan pengelolaan
sumber daya kelautan dan perikanan yang
adil. Penghargaan ini di berikan kepada
Bapak Dr. Alan Koropitan (akademisi), Ibu
Habibah (perempuan nelayan), Bapak Rustam
(nelayan) dan Bapak Ngogesa Sitepu SH
(Bupati Langkat).
Sedangkan Pertemuan Nasional Koalisi
Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)
ke-5 yang dihadiri oleh anggotanya
diselenggarakan pada tanggal 18 Januari 2013
di Sekretariat Nasional KIARA. Pertemuan
tersebut menghasilkan prioritas program
KIARA dalam 2 tahun ke depan. Adapun
pengurus yang terpilih untuk periode 2013-
2015 adalah sebagai berikut: Arman Manila,
M. Riza Damanik, Dr. Rignolda Jamaludin,
Ida Ronauli, dan Muhammad Yamin (Dewan
Presidium KIARA), serta Abdul Halim sebagai
Sekretaris Jenderal KIARA periode 2013-2015.
Kami, perwakilan nelayan dan perempuan
nelayan dari 13 propinsi telah berkumpul
di Jakarta sejak 15–17 Januari 2013,
mendiskusikan nasib sedikitnya 60 juta rakyat
Indonesia yang menggantungkan hidup
secara langsung dan tidak langsung dari
sektor kelautan dan perikanan.
Kami menjadi saksi bagaimana saudara-
saudara kami meninggal dan kapalnya
tengelam di tengah laut karena cuaca
buruk, juga mengalami kriminalisasi oleh
perusahaan dan aparat. Garam-garam
menumpuk di gudang, karena pemerintah
lebih suka mengimpor dibanding membeli
garam hasil keringat petani dengan harga
layak. Ibu-ibu nelayan terjerat utang karena
penghasilan keluarga nelayan menurun dari
waktu ke waktu.
Kami menghadapi tantangan pencurian ikan,
impor ikan dan garam, nelayan-nelayan asing,
tingginya harga bahan bakar, minimnya akes
permodalan, pencemaran laut dan cuaca
ekstrim saat melaut. Namun tantangan
paling berat justru saat berhadapan dengan
produk-produk kebijakan Negara yang tidak
berpihak dan memiskinkan nelayan. Mulai
dari konversi hutan bakau dan reklamasi
kawasan pesisir, maraknya industri
pariwisata yang menggusur pemukiman dan
wilayah tangkap, penggunaan alat produksi
yang merusak dan maraknya pertambangan
yang merusak ekosistem laut, yang membuat
hasil tangkapan berkurang drastis.
Kami tak hanya bertanggung jawab
Deklarasi Kemandirian
dan Kedaulatan
Nelayan
24
memenuhi kebutuhan keluarga, kami juga mengemban tugas Negara menyediakan sumber
protein dan pemenuhan kedaulatan pangan bangsa. Kami juga tampil di depan menjadi
pelindung tanah air, saat berhadapan dengan para pencuri ikan asing dan kejahatan lintas
negara (transnational crime).
Kami telah membuktikan bahwa tantangan-tantangan di atas tak membuat kami diam. Kami
akan terus berkarya, menggunakan kearifan lokal, memulihkan ekosistem laut dan pesisir
yang telah rusak, mengembangkan ekonomi alternatif, membangun organisasi di kampung dan
menguatkan solidaritas antar nelayan.
Kami percaya, tantangan di atas tak hanya tanggung jawab nelayan dan perempuan nelayan.
Pengurus Negara harus mengambil peran dan tanggung jawab lebih besar memastikan
tegaknya Konstitusi yang memandatkan perlindungan serta memastikan kesejahteraan
nelayan dan perempuan nelayan. Salah satunya dengan memastikan adanya instrumen politik
untuk perlindungan nelayan.
NEGARA BERDAULAT,
NELAYAN SEJAHTERA
25
Oleh karena itu, Kami - nelayan dan perempuan nelayan Indonesia:
1. Bertekad melestarikan sumber daya kelautan Indonesia untuk
generasi hari ini dan masa depan.
2. Berperan aktif menjaga kedaulatan Negara dari perampokan ikan
dan kejahatan lintas negara
3. Aktif mendorong Negara menegakkan Konstitusi guna memastikan
kemandirian bangsa, kedulatan pangan, dan pemenuhan hak-hak
konstitusi nelayan.
4. Menyerukan kepada seluruh nelayan Indonesia menggunakan
hak politiknya secara sungguh-sungguh guna memastikan para
pimpinan di tingkat daerah, propinsi hingga nasional menjadikan
perlindungan nelayan sebagai agenda utama.
Temu Akbar Nelayan Indonesia, Gedung Joeang ‘45
Jakarta 15 – 17 Januari 2013
KONSULTASI
HUKUM
KELAUTAN
DAN
PERIKANAN
Dipandu oleh:
Ahmad Marthin Hadiwinata, SH
(Divisi Advokasi Hukum
dan Kebijakan)
PERIZINAN MENANGKAP IKAN BAGI
NELAYAN TRADISIONAL
Pertanyaan
Apakah setiap nelayan kecil atau nelayan
tradisional diwajibkan untuk memiliki izin agar
bisa melakukan kegiatan usaha tangkap?
Jawab
Dalam UU Perikanan yang bersumber dari UU
No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan dan UU
No. 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas
UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan
(UU Perikanan) kedudukan nelayan kecil
mendapatkan kekhususan mengenai
perizinan. UU No. 45 Tahun 2009 tentang
perubahan perubahan terhadap Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang
Perikanan mengubah aspek perizinan untuk
lebih berpihak kepada nelayan tradisional.
Berdasarkan UU Perikanan yang diatur dalam
membagi nelayan menjadi dua yaitu Nelayan
dan Nelayan Kecil.
Pasal 1 angka 10 dan angka 11 UU UU No. 45
Tahun 2009 tentang Perubahan Atas UU No.
31 Tahun 2004 tentang Perikanan:
10. Nelayan adalah orang yang
mata pencahariannya melakukan
penangkapan ikan.
RUBRIK HUKUM
Redaksi Kabar Bahari membuka forum diskusi
dan tanya jawab tentang hukum kelautan
dan perikanan. Pertanyaan atau topik diskusi
dapat disampaikan ke alamat Redaksi Kabar
Bahari, Jl. Lengkeng Blok J No. 5, Perumahan
Kalibata Indah, Jakarta 12750, atau email
kabarbahari.indonesia@gmail.com
Foto: http://3.bp.blogspot.com/-6RtMkt49gxM/UKqt9H7FQ2I/
AAAAAAAAAAc/eTpy1Gioq1k/s1600/hammer1.jpg
26
11. Nelayan Kecil adalah orang yang
mata pencahariannya melakukan
penangkapan ikan untuk memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari yang
menggunakan kapal perikanan
berukuran paling besar 5 (lima) gross
ton (GT).
Lingkup perizinan dalam Usaha Perikanan
Tangkap meliputi:
1. Surat Izin Usaha Perikanan, yang
selanjutnya disebut SIUP, adalah izin
tertulis yang harus dimiliki perusahaan
perikanan untuk melakukan usaha
perikanan dengan menggunakan
sarana produksi yang tercantum dalam
izin tersebut. Pasal 1 angka 16 UU No. 45
Tahun 2009
2. Surat Izin Penangkapan Ikan, yang
selanjutnya disebut SIPI, adalah izin
tertulis yang harus dimiliki setiap
kapal perikanan untuk melakukan
penangkapan ikan yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari SIUP.
Pasal 1 angka 17 UU No. 45 Tahun 2009
3. Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan, yang
selanjutnya disebut SIKPI, adalah
izin tertulis yang harus dimiliki setiap
kapal perikanan untuk melakukan
pengangkutan ikan. Pasal 1 angka 18 UU
No. 45 Tahun 2009
Nelayan tradisional tidak diwajibkan untuk
memiliki SIUP, SIPI dan SIKPI berdasarkan UU
Perikanan. Dihapuskannya kewajiban untuk
memiliki perizinan-perizinan tersebut diatur
dalam Pasal 26 ayat (2) UU No. 31 Tahun
2004, Pasal 27 ayat (5) UU No. 45 Tahun 2009
dan Pasal 28 ayat (4) UU No. 45 Tahun 2009.
Pasal 26 ayat (2) UU No. 31 Tahun 2004
(2) Kewajiban memiliki SIUP sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), tidak berlaku bagi
nelayan kecil dan/atau pembudi daya ikan
kecil.
Pasal 27 ayat (5) UU No. 45 Tahun 2009
(5) Kewajiban memiliki SIPI sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan/atau
membawa SIPI asli sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), tidak berlaku bagi
nelayan kecil.
Pasal 28 ayat (4) UU No. 45 Tahun 2009
(4) Kewajiban memiliki SIKPI sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan/atau
membawa SIKPI asli sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), tidak berlaku bagi
nelayan kecil dan/atau pembudi daya-
ikan kecil.
Nelayan tradisional juga dibebaskan dari
adanya pungutan perikanan yaitu pungutan
yang dibebankan kepada setiap orang
yang memperoleh manfaat langsung dari
sumber daya ikan dan lingkungannya di
wilayah pengelolaan perikanan Republik
Indonesia. Pungutan perikanan dipergunakan
untuk pembangunan perikanan serta
kegiatan pelestarian sumber daya ikan dan
lingkungannya. Hal tersebut diatur dalam
Pasal 48 ayat (2) UU No. 45 Tahun 2009
foto: http://3.bp.blogspot.com/-2oOn6f8GSKk/T0oqI-p7YZI/AAAAAAAAAhQ/T_
L7BuqDtWc/s1600/Timbangan+keadilan.jpg
27
Pasal 48 ayat (2) UU No. 45 Tahun 2009
(2) Pungutan perikanan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak dikenakan
bagi nelayan kecil dan pembudi daya-
ikan kecil.
Kekhususan nelayan tradisional adalah
memiliki kebebasan untuk bebas menangkap
ikan di seluruh wilayah pengelolaan perikanan
Republik Indonesia. Pembebasan untuk
menangkap ikan kepada nelayan tradisional
diatur dalam Pasal 61 UU No. 31 Tahun 2004
Pasal 61 UU No. 31 Tahun 2004
(1) Nelayan kecil bebas menangkap ikan di
seluruh wilayah pengelolaan perikanan
Republik Indonesia.
Kewajiban Nelayan tradisional hanyalah
mendaftarkan diri, usaha dan egiatannya
kepada instansi perikanan setempat tanpa
dikenakan biaya. Pendaftaran tersebut
dilakukan untuk keperluan pencatatan
statistik serta pemberdayaan nelayan kecil
dan pembudi daya ikan kecil.
Pasal 61 ayat (5) UU No. 31 Tahun 2004
(5) Nelayan kecil dan pembudi daya ikan
kecil harus mendaftarkan diri, usaha, dan
kegiatannya kepada instansi perikanan
setempat, tanpa dikenakan biaya, yang
dilakukan untuk keperluan statistik serta
pemberdayaan nelayan kecil dan pembudi
daya ikan kecil.
Aturan teknis mengenai pembebasan
perizinan tersebut diperjelas dalam Peraturan
Menteri Kelautan dan Perikanan No. 30 tahun
2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap.
Nelayan kecil dibebaskan untuk tidak memiliki
SIPI dan SIKPI tetapi diwajibkan dengan
adanya Bukti Pencatatan Kapal yang berlaku
selama satu tahun.
Pasal 12 ayat (2) Permen KP Usaha Perikanan
Tangkap
(2) Kewajiban memiliki SIPI dan SIKPI
sebagaimana dimaksud dalam Pasal
11 ayat (2) huruf b dan huruf c,
dikecualikan bagi nelayan kecil dan
kewajiban tersebut diganti dengan Bukti
Pencatatan Kapal.
Pasal 13 ayat (2) Permen KP Usaha Perikanan
Tangkap
(2) SIPI, SIKPI, dan Bukti Pencatatan Kapal
berlaku selama 1 (satu) tahun.
Kewenangan penerbitan Bukti Pencatatan
Kapal untuk nelayan kecil terletak pada
Bupati/Walikota. Persyaratan untuk
mendapatkan Bukti Pencatatan Kapal
diajukan kepada kepala dinas perikanan atau
kelautan tingkat kabupaten/kota dengan
melampirkan persyaratan-persayaratan.
kepala dinas wajib mengeluarkan Bukti
Pencatatan Kapal 2 (dua) hari kerja setelah
menerima berkas-berkas pengajuan Bukti
Pencatatan Kapal. Keseluruhan proses
permohonan Bukti Pencatatan Kapal tidak
dipungut biaya.
Persyaratan-persyaratan Bukti Pencatatan
Kapal antara lain:
a. fotokopi KTP nelayan tradisional dengan
menunjukkan aslinya;
b. spesifikasi teknis alat penangkapan ikan;
c. surat pernyataan bermeterai cukup yang
menyatakan:
1) kapal yang digunakan hanya 1 (satu)
unit dengan ukuran paling besar 5 (lima)
GT yang dibuktikan dengan surat tukang
atau surat galangan; dan
2) kesanggupan untuk melaporkan hasil
tangkapan ikan.
Pasal 14 ayat (4) huruf b Permen KP Usaha
Perikanan Tangkap
(4) Bupati/walikota sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) berwenang menerbitkan:
b. Bukti Pencatatan Kapal untuk
nelayan kecil yang menggunakan 1
(satu) kapal berukuran paling besar 5
(lima) GT untuk memenuhi kebutuhan
hidup sehari-hari.
Pasal 29 Permen KP Usaha Perikanan
Tangkap
(1) Nelayan kecil untuk memiliki Bukti
Pencatatan Kapal harus mengajukan
permohonan kepada kepala dinas
kabupaten/kota dengan melampirkan
persyaratan:
28
a. fotokopi KTP dengan menunjukkan
aslinya;
b. spesifikasi teknis alat penangkapan
ikan; dan
c. surat pernyataan bermeterai cukup
yang menyatakan:
1) kapal yang digunakan hanya 1
(satu) unit dengan ukuran paling
besar 5 (lima) GT yang dibuktikan
dengan surat tukang atau surat
galangan; dan
2) kesanggupan untuk melaporkan
hasil tangkapan ikan.
(2) Berdasarkan permohonan
sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), kepala dinas kabupaten/
kota paling lama 2 (dua) hari kerja
menerbitkan Bukti Pencatatan
Kapal.
(3) Penerbitan Bukti Pencatatan Kapal
tidak dipungut biaya.
(4) Bentuk dan format Bukti Pencatatan
Kapal sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), sebagaimana tercantum
dalam Lampiran XV yang
merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Menteri ini.
Referensi:
- Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang
Perikanan
- Undang-Undang No. 45 Tahun 2009 tentang
Perubahan Undang-Undang No. 31 Tahun 2004
tentang Perikanan
- Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No, 30
Tahun 2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap di
Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik
Indonesia
29
“Koalisi Rakyat untuk Keadilan
Perikanan (KIARA) memperkirakan
luasan hutan mangrove di
Indonesia menyusut dengan
sangat drastis dari 4,25
juta ha pada 1982 menjadi
kurang dari 1,9 juta ha tahun
ini. Rusaknya hutan pencegah banjir
tersebut berakibat pada terputusnya
rantai penghidupan dan obat-obatan
masyarakat pesisir. Selain itu,
musnahnya produktivitas perikanan
dan hilangnya habitat pesisir lainnya
serta kian meningkatkan
kerentanan masyarakat
pesisir atas badai dan
gelombang tinggi”
foto: Des Syafrizal/Oxfam.
30
Hutan mangrove adalah hutan yang tumbuh di daerah pantai, biasanya terdapat
di daearah teluk dan di muara sungai yang dicirikan oleh: 1) tidak terpengaruh
iklim; 2) dipengaruhi pasang surut; 3) tanah tergenang air laut; 4) tanah rendah
pantai; 5) hutan tidak mempunyai struktur tajuk; 6) jenis-jenis pohonnya biasanya
terdiri dari api-api (Avicenia sp.), pedada (Sonneratia sp.), bakau (Rhizophora sp.),
lacang (Bruguiera sp.), nyirih (Xylocarpus sp.), nipah (Nypa sp.) dll.
Hutan mangrove dibedakan dengan hutan pantai dan hutan rawa. Hutan pantai
adalah hutan yang tumbuh di sepanjang pantai, tanahnya kering, tidak pernah
mengalami genangan air laut ataupun air tawar. Ekosistem hutan pantai dapat
terdapat di sepanjang pantai yang curam di atas garis pasang air laut. Kawasan
ekosistem hutan pantai ini tanahnya berpasir dan mungkin berbatu-batu.
Sedangkan hutan rawa adalah hutan yang tumbuh dalam kawasan yang selalu
tergenang air tawar. Oleh karena itu, hutan rawa terdapat di daerah yang landai,
biasanya terletak di belakang hutan payau
FUNGSI MANGROVE
1. Melindungi pantai dari abrasi
gelombang laut
2. Mencegah terjadinya intrusi air laut
3. Sumber nutrisi dan habitat bagi
biota laut
4. Habitat satwa liar
5. Tempat berbiaknya berbagai biota
laut (nursery ground)
6. Penahan angin laut
7. Penyerap limbah
8. Bahan baku makanan, obat-
obatan, alcohol, kosmetik,
penyamak kulit, zar warna dan
lain-lain.
9. Tempat pembesaran atau mencari
makan (feeding ground) dari
berbagai ikan atau hewan air
lainnya seperti kepiting, moluska
dan invertebrata.
10. Tempat berlindung dan
berbiak berbagai jenis burung
seperti Kuntul (Egretta sp),
Pecuk (palacrocorax sp), Belibis
(Dendrocygna cineres).
FUNGSI HUTAN MANGROVE
RUBRIK PERNAK-PERNIK 31
Resep
NASI GORENG
IKAN ASIN
RUBRIK DAPUR 32
foto: http://farm2.static.flickr.com/1439/1087211489_d0fcbdb30b.jpg
Bahan yang Dibutuhkan:
• 250 gr nasi putih (2 piring)
• 100 gr ikan jambal roti, potong dadu, kemudian goreng
• 5 butir bawang merah, iris halus
• 1 batang daun bawang, iris halus
• 3 buah cabai hijau, iris serong
• 2 cabai merah, iris serong
• 2 butir telur, kocok lepas
• 1 papan petai, iris panjang
• 1 sdm kecap ikan
• 1/4 sdt merica bubuk
• garam secukupnya
• 2 sdm minyak untuk menumis
Cara Memasak:
1. Panaskan minyak, kemudian tumis bawang merah
sampai harum
2. Masukkan daun bawang, cabai hijau, dan cabai merah,
aduk rata.
3. Sisihkan tumisan cabai.
4. Pecahkan telur dalam wajan dan buat orak – arik, Lalu
masak bersama tumisan cabai,
5. Masukkan petai dan nasi
6. Tambahkan kecap ikan, merica bubuk, dan garam, aduk
rata ( cicipi jika perlu )
7. Masukkan ikan asin, dan masak sampai matang
8. Angkat dan sajikan.
Tentunya akan lebih enak jika disajikan dengan kerupuk.
33
t
Nasi Goreng Ikan Asin akan lebih enak
jika disajikan dengan Kerupuk Jeruju dari daun mangrove hasil kerja
Kelompok Perempuan Nelayan Muara Tanjung, Desa Sei Nagalawan,
Kecamatan Perbaungan, Kabupaten Serdang Bedagai,
Provinsi Sumatera Utara
(Hubungi: Ibu Jumiati di +62 812 6367 6561)
Kerupuk
Jeruju
GALERI KIARA
Paket buku
“Menghidupkan
Konstitusi Kepulauan”
@Rp100.000
Buku
“Indonesia Dijajah
Jepang”
@Rp40.000
Untuk Pemesanan hubungi:
susanherawati84@gmail.com
Kabar bahari

More Related Content

What's hot

Karakterisitik manajemen sumberdaya perikanan
Karakterisitik manajemen sumberdaya perikananKarakterisitik manajemen sumberdaya perikanan
Karakterisitik manajemen sumberdaya perikanan
afdal muhammad
 
Pengelolaan sumber daya alam pesisir dan laut
Pengelolaan sumber daya alam pesisir dan lautPengelolaan sumber daya alam pesisir dan laut
Pengelolaan sumber daya alam pesisir dan laut
Ibel007
 
Pendayagunaan dan Optimalisasi Potensi Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Dala...
Pendayagunaan dan Optimalisasi Potensi Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Dala...Pendayagunaan dan Optimalisasi Potensi Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Dala...
Pendayagunaan dan Optimalisasi Potensi Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Dala...
Himaka Unsyiah
 
Masyarakat Pesisir dan Pemberdayaannya
Masyarakat Pesisir dan PemberdayaannyaMasyarakat Pesisir dan Pemberdayaannya
Masyarakat Pesisir dan PemberdayaannyaAinun Dita Febriyanti
 
Pengantar biologi konservasi "hutan mangrove"
Pengantar biologi konservasi "hutan mangrove"Pengantar biologi konservasi "hutan mangrove"
Pengantar biologi konservasi "hutan mangrove"
Indah Asrida
 
Pengelolaan pesisir dan laut dengan kearifan lokal di kabupaten muna
Pengelolaan pesisir dan laut dengan kearifan lokal di kabupaten munaPengelolaan pesisir dan laut dengan kearifan lokal di kabupaten muna
Pengelolaan pesisir dan laut dengan kearifan lokal di kabupaten munaOperator Warnet Vast Raha
 
Skripsi optimalisasi peran dinas kelautan dan perikanan
Skripsi optimalisasi peran dinas kelautan dan perikananSkripsi optimalisasi peran dinas kelautan dan perikanan
Skripsi optimalisasi peran dinas kelautan dan perikanan
Sutny_Wulan_Sary_Puasa
 
Marine and Coastal Protected Areas (MCPAs) : (a chance to save indonesian mar...
Marine and Coastal Protected Areas (MCPAs) : (a chance to save indonesian mar...Marine and Coastal Protected Areas (MCPAs) : (a chance to save indonesian mar...
Marine and Coastal Protected Areas (MCPAs) : (a chance to save indonesian mar...
Mujiyanto -
 
Pesisir 9 PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR
Pesisir 9 PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIRPesisir 9 PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR
Pesisir 9 PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR
suningterusberkarya
 
Budaya masyarakat nelayan-kusnadi
Budaya masyarakat nelayan-kusnadiBudaya masyarakat nelayan-kusnadi
Budaya masyarakat nelayan-kusnadi
Dzulfikar Rizka
 
Urgensi Meningkatkan Kepedulian Pada Masyarakat dan Lingkungan Pesisir - Nats...
Urgensi Meningkatkan Kepedulian Pada Masyarakat dan Lingkungan Pesisir - Nats...Urgensi Meningkatkan Kepedulian Pada Masyarakat dan Lingkungan Pesisir - Nats...
Urgensi Meningkatkan Kepedulian Pada Masyarakat dan Lingkungan Pesisir - Nats...
Mudrikan Nacong
 
Bangga! Papua Barat Menjadi Provinsi Konservasi Pertama Di Dunia dan Indonesia
Bangga! Papua Barat Menjadi Provinsi Konservasi Pertama Di Dunia dan Indonesia  Bangga! Papua Barat Menjadi Provinsi Konservasi Pertama Di Dunia dan Indonesia
Bangga! Papua Barat Menjadi Provinsi Konservasi Pertama Di Dunia dan Indonesia
AlanaAlexandria1
 
Kajian struktur komunitas juvenil ikan di perairan ekosistem mangrove bagian ...
Kajian struktur komunitas juvenil ikan di perairan ekosistem mangrove bagian ...Kajian struktur komunitas juvenil ikan di perairan ekosistem mangrove bagian ...
Kajian struktur komunitas juvenil ikan di perairan ekosistem mangrove bagian ...
Mujiyanto -
 
Inovasi Kemaritiman
Inovasi KemaritimanInovasi Kemaritiman
Inovasi Kemaritiman
Tri Widodo W. UTOMO
 
Tugas mk. konservasi pak indra l.
Tugas mk. konservasi pak indra l.Tugas mk. konservasi pak indra l.
Tugas mk. konservasi pak indra l.
JenLy Hau
 
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MELALUI PEMBUDIDAYAAN IKAN TAWAR OLEH DINAS KELAUTAN
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MELALUI PEMBUDIDAYAAN IKAN TAWAR OLEH DINAS KELAUTANPEMBERDAYAAN MASYARAKAT MELALUI PEMBUDIDAYAAN IKAN TAWAR OLEH DINAS KELAUTAN
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MELALUI PEMBUDIDAYAAN IKAN TAWAR OLEH DINAS KELAUTAN
93220872
 
Agrikan volume 9 edisi 1 1 13-ahmad talib_
Agrikan volume 9 edisi 1 1 13-ahmad talib_Agrikan volume 9 edisi 1 1 13-ahmad talib_
Agrikan volume 9 edisi 1 1 13-ahmad talib_
Umar Tangke
 
Industrialisasi perikanan budidaya kepulauan riau melalui penerapan konsep
Industrialisasi perikanan budidaya kepulauan riau melalui penerapan konsepIndustrialisasi perikanan budidaya kepulauan riau melalui penerapan konsep
Industrialisasi perikanan budidaya kepulauan riau melalui penerapan konsep
Ministry of Marine Affairs and Fisheries, Republic of Indonesia
 

What's hot (20)

Karakterisitik manajemen sumberdaya perikanan
Karakterisitik manajemen sumberdaya perikananKarakterisitik manajemen sumberdaya perikanan
Karakterisitik manajemen sumberdaya perikanan
 
Laporan medkom
Laporan medkomLaporan medkom
Laporan medkom
 
Pengelolaan sumber daya alam pesisir dan laut
Pengelolaan sumber daya alam pesisir dan lautPengelolaan sumber daya alam pesisir dan laut
Pengelolaan sumber daya alam pesisir dan laut
 
Pendayagunaan dan Optimalisasi Potensi Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Dala...
Pendayagunaan dan Optimalisasi Potensi Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Dala...Pendayagunaan dan Optimalisasi Potensi Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Dala...
Pendayagunaan dan Optimalisasi Potensi Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Dala...
 
Masyarakat Pesisir dan Pemberdayaannya
Masyarakat Pesisir dan PemberdayaannyaMasyarakat Pesisir dan Pemberdayaannya
Masyarakat Pesisir dan Pemberdayaannya
 
Pengantar biologi konservasi "hutan mangrove"
Pengantar biologi konservasi "hutan mangrove"Pengantar biologi konservasi "hutan mangrove"
Pengantar biologi konservasi "hutan mangrove"
 
Pengelolaan pesisir dan laut dengan kearifan lokal di kabupaten muna
Pengelolaan pesisir dan laut dengan kearifan lokal di kabupaten munaPengelolaan pesisir dan laut dengan kearifan lokal di kabupaten muna
Pengelolaan pesisir dan laut dengan kearifan lokal di kabupaten muna
 
Skripsi optimalisasi peran dinas kelautan dan perikanan
Skripsi optimalisasi peran dinas kelautan dan perikananSkripsi optimalisasi peran dinas kelautan dan perikanan
Skripsi optimalisasi peran dinas kelautan dan perikanan
 
Marine and Coastal Protected Areas (MCPAs) : (a chance to save indonesian mar...
Marine and Coastal Protected Areas (MCPAs) : (a chance to save indonesian mar...Marine and Coastal Protected Areas (MCPAs) : (a chance to save indonesian mar...
Marine and Coastal Protected Areas (MCPAs) : (a chance to save indonesian mar...
 
Pesisir 9 PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR
Pesisir 9 PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIRPesisir 9 PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR
Pesisir 9 PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR
 
Budaya masyarakat nelayan-kusnadi
Budaya masyarakat nelayan-kusnadiBudaya masyarakat nelayan-kusnadi
Budaya masyarakat nelayan-kusnadi
 
Urgensi Meningkatkan Kepedulian Pada Masyarakat dan Lingkungan Pesisir - Nats...
Urgensi Meningkatkan Kepedulian Pada Masyarakat dan Lingkungan Pesisir - Nats...Urgensi Meningkatkan Kepedulian Pada Masyarakat dan Lingkungan Pesisir - Nats...
Urgensi Meningkatkan Kepedulian Pada Masyarakat dan Lingkungan Pesisir - Nats...
 
Bangga! Papua Barat Menjadi Provinsi Konservasi Pertama Di Dunia dan Indonesia
Bangga! Papua Barat Menjadi Provinsi Konservasi Pertama Di Dunia dan Indonesia  Bangga! Papua Barat Menjadi Provinsi Konservasi Pertama Di Dunia dan Indonesia
Bangga! Papua Barat Menjadi Provinsi Konservasi Pertama Di Dunia dan Indonesia
 
Kajian struktur komunitas juvenil ikan di perairan ekosistem mangrove bagian ...
Kajian struktur komunitas juvenil ikan di perairan ekosistem mangrove bagian ...Kajian struktur komunitas juvenil ikan di perairan ekosistem mangrove bagian ...
Kajian struktur komunitas juvenil ikan di perairan ekosistem mangrove bagian ...
 
Rtr pulau sumatera
Rtr pulau sumateraRtr pulau sumatera
Rtr pulau sumatera
 
Inovasi Kemaritiman
Inovasi KemaritimanInovasi Kemaritiman
Inovasi Kemaritiman
 
Tugas mk. konservasi pak indra l.
Tugas mk. konservasi pak indra l.Tugas mk. konservasi pak indra l.
Tugas mk. konservasi pak indra l.
 
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MELALUI PEMBUDIDAYAAN IKAN TAWAR OLEH DINAS KELAUTAN
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MELALUI PEMBUDIDAYAAN IKAN TAWAR OLEH DINAS KELAUTANPEMBERDAYAAN MASYARAKAT MELALUI PEMBUDIDAYAAN IKAN TAWAR OLEH DINAS KELAUTAN
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MELALUI PEMBUDIDAYAAN IKAN TAWAR OLEH DINAS KELAUTAN
 
Agrikan volume 9 edisi 1 1 13-ahmad talib_
Agrikan volume 9 edisi 1 1 13-ahmad talib_Agrikan volume 9 edisi 1 1 13-ahmad talib_
Agrikan volume 9 edisi 1 1 13-ahmad talib_
 
Industrialisasi perikanan budidaya kepulauan riau melalui penerapan konsep
Industrialisasi perikanan budidaya kepulauan riau melalui penerapan konsepIndustrialisasi perikanan budidaya kepulauan riau melalui penerapan konsep
Industrialisasi perikanan budidaya kepulauan riau melalui penerapan konsep
 

Similar to Kabar bahari

Dr achmad syamsu makalah fungsi mangrove, permasalahan dan konsep pengelolaannya
Dr achmad syamsu makalah fungsi mangrove, permasalahan dan konsep pengelolaannyaDr achmad syamsu makalah fungsi mangrove, permasalahan dan konsep pengelolaannya
Dr achmad syamsu makalah fungsi mangrove, permasalahan dan konsep pengelolaannya
wahyuddin S.T
 
Manfaat mangrove sebagai pelestarian lingkungan hidup dan objek pariwisata
Manfaat mangrove sebagai pelestarian lingkungan hidup dan objek pariwisataManfaat mangrove sebagai pelestarian lingkungan hidup dan objek pariwisata
Manfaat mangrove sebagai pelestarian lingkungan hidup dan objek pariwisataDendhy Nugraha
 
Ppt hutan mangrove_Tps 50_ tgs2-guruh prabowo adi
Ppt hutan mangrove_Tps 50_ tgs2-guruh prabowo adiPpt hutan mangrove_Tps 50_ tgs2-guruh prabowo adi
Ppt hutan mangrove_Tps 50_ tgs2-guruh prabowo adi
Guruh Adhi
 
PPT_KEL4_MR_KSDA_GEOE20.pptx
PPT_KEL4_MR_KSDA_GEOE20.pptxPPT_KEL4_MR_KSDA_GEOE20.pptx
PPT_KEL4_MR_KSDA_GEOE20.pptx
mutiarasagala2
 
Jurnal kerusakan tk, lamun, maangrove
Jurnal kerusakan tk, lamun, maangroveJurnal kerusakan tk, lamun, maangrove
Jurnal kerusakan tk, lamun, maangrove
erikakurnia
 
Mamfaat hutan
Mamfaat hutan Mamfaat hutan
Mamfaat hutan
Nova DiLa
 
Mangrove care
Mangrove careMangrove care
Mangrove care
dewi rimayani
 
Mangrove care
Mangrove careMangrove care
Mangrove care
dewi rimayani
 
Potensi kemaritiman
Potensi kemaritimanPotensi kemaritiman
Potensi kemaritiman
Bunda Rara
 
Biologi populasi Rajungan
Biologi populasi RajunganBiologi populasi Rajungan
Biologi populasi Rajungan
arisandy08
 
Policy brief-pena-psap-konphalindo-indonesian
Policy brief-pena-psap-konphalindo-indonesianPolicy brief-pena-psap-konphalindo-indonesian
Policy brief-pena-psap-konphalindo-indonesian
Aksi SETAPAK
 
Ppt . potensi kemaritiman indonesia
Ppt . potensi kemaritiman indonesiaPpt . potensi kemaritiman indonesia
Ppt . potensi kemaritiman indonesia
masmukriyadi
 
PPT . POTENSI KEMARITIMAN INDONESIA.pptx
PPT . POTENSI KEMARITIMAN INDONESIA.pptxPPT . POTENSI KEMARITIMAN INDONESIA.pptx
PPT . POTENSI KEMARITIMAN INDONESIA.pptx
SuBagio6
 
Laporan budidaya laut
Laporan budidaya lautLaporan budidaya laut
Laporan budidaya laut
Ibnu Riyadi
 
ANALISIS PARAMETER FISIKA-KIMIA UNTUK KEPENTINGAN REHABILITASI EKOSISTEM MANG...
ANALISIS PARAMETER FISIKA-KIMIA UNTUK KEPENTINGAN REHABILITASI EKOSISTEM MANG...ANALISIS PARAMETER FISIKA-KIMIA UNTUK KEPENTINGAN REHABILITASI EKOSISTEM MANG...
ANALISIS PARAMETER FISIKA-KIMIA UNTUK KEPENTINGAN REHABILITASI EKOSISTEM MANG...
Asramid Yasin
 
Analisis kebijakan tentang Alat Penangkap Ikan
Analisis kebijakan tentang Alat Penangkap IkanAnalisis kebijakan tentang Alat Penangkap Ikan
Analisis kebijakan tentang Alat Penangkap Ikan
nautika
 
8 bab vi lingkungan maritim
8 bab vi lingkungan maritim8 bab vi lingkungan maritim
8 bab vi lingkungan maritim
Azlan Abdurrahman
 
Tentang sumber daya laut
Tentang sumber daya lautTentang sumber daya laut
Tentang sumber daya laut
mineshaft12
 
IPS LAUT POTENSI SILAHKAN DIBACA YAA.pptx
IPS LAUT POTENSI SILAHKAN DIBACA YAA.pptxIPS LAUT POTENSI SILAHKAN DIBACA YAA.pptx
IPS LAUT POTENSI SILAHKAN DIBACA YAA.pptx
NirsaIsmiAlmanda
 

Similar to Kabar bahari (20)

Dr achmad syamsu makalah fungsi mangrove, permasalahan dan konsep pengelolaannya
Dr achmad syamsu makalah fungsi mangrove, permasalahan dan konsep pengelolaannyaDr achmad syamsu makalah fungsi mangrove, permasalahan dan konsep pengelolaannya
Dr achmad syamsu makalah fungsi mangrove, permasalahan dan konsep pengelolaannya
 
Manfaat mangrove sebagai pelestarian lingkungan hidup dan objek pariwisata
Manfaat mangrove sebagai pelestarian lingkungan hidup dan objek pariwisataManfaat mangrove sebagai pelestarian lingkungan hidup dan objek pariwisata
Manfaat mangrove sebagai pelestarian lingkungan hidup dan objek pariwisata
 
Ppt hutan mangrove_Tps 50_ tgs2-guruh prabowo adi
Ppt hutan mangrove_Tps 50_ tgs2-guruh prabowo adiPpt hutan mangrove_Tps 50_ tgs2-guruh prabowo adi
Ppt hutan mangrove_Tps 50_ tgs2-guruh prabowo adi
 
PPT_KEL4_MR_KSDA_GEOE20.pptx
PPT_KEL4_MR_KSDA_GEOE20.pptxPPT_KEL4_MR_KSDA_GEOE20.pptx
PPT_KEL4_MR_KSDA_GEOE20.pptx
 
Jurnal kerusakan tk, lamun, maangrove
Jurnal kerusakan tk, lamun, maangroveJurnal kerusakan tk, lamun, maangrove
Jurnal kerusakan tk, lamun, maangrove
 
Mamfaat hutan
Mamfaat hutan Mamfaat hutan
Mamfaat hutan
 
Mangrove care
Mangrove careMangrove care
Mangrove care
 
Mangrove care
Mangrove careMangrove care
Mangrove care
 
Potensi kemaritiman
Potensi kemaritimanPotensi kemaritiman
Potensi kemaritiman
 
Biologi populasi Rajungan
Biologi populasi RajunganBiologi populasi Rajungan
Biologi populasi Rajungan
 
Policy brief-pena-psap-konphalindo-indonesian
Policy brief-pena-psap-konphalindo-indonesianPolicy brief-pena-psap-konphalindo-indonesian
Policy brief-pena-psap-konphalindo-indonesian
 
Ppt . potensi kemaritiman indonesia
Ppt . potensi kemaritiman indonesiaPpt . potensi kemaritiman indonesia
Ppt . potensi kemaritiman indonesia
 
PPT . POTENSI KEMARITIMAN INDONESIA.pptx
PPT . POTENSI KEMARITIMAN INDONESIA.pptxPPT . POTENSI KEMARITIMAN INDONESIA.pptx
PPT . POTENSI KEMARITIMAN INDONESIA.pptx
 
Laporan budidaya laut
Laporan budidaya lautLaporan budidaya laut
Laporan budidaya laut
 
ANALISIS PARAMETER FISIKA-KIMIA UNTUK KEPENTINGAN REHABILITASI EKOSISTEM MANG...
ANALISIS PARAMETER FISIKA-KIMIA UNTUK KEPENTINGAN REHABILITASI EKOSISTEM MANG...ANALISIS PARAMETER FISIKA-KIMIA UNTUK KEPENTINGAN REHABILITASI EKOSISTEM MANG...
ANALISIS PARAMETER FISIKA-KIMIA UNTUK KEPENTINGAN REHABILITASI EKOSISTEM MANG...
 
Analisis kebijakan tentang Alat Penangkap Ikan
Analisis kebijakan tentang Alat Penangkap IkanAnalisis kebijakan tentang Alat Penangkap Ikan
Analisis kebijakan tentang Alat Penangkap Ikan
 
8 bab vi lingkungan maritim
8 bab vi lingkungan maritim8 bab vi lingkungan maritim
8 bab vi lingkungan maritim
 
Tentang sumber daya laut
Tentang sumber daya lautTentang sumber daya laut
Tentang sumber daya laut
 
IPS LAUT POTENSI SILAHKAN DIBACA YAA.pptx
IPS LAUT POTENSI SILAHKAN DIBACA YAA.pptxIPS LAUT POTENSI SILAHKAN DIBACA YAA.pptx
IPS LAUT POTENSI SILAHKAN DIBACA YAA.pptx
 
Prospek dan kendala pembangunan wilayah pesisir berbasis pembudidayaan mangro...
Prospek dan kendala pembangunan wilayah pesisir berbasis pembudidayaan mangro...Prospek dan kendala pembangunan wilayah pesisir berbasis pembudidayaan mangro...
Prospek dan kendala pembangunan wilayah pesisir berbasis pembudidayaan mangro...
 

Kabar bahari

  • 1. EDISI JANUARI-FEBRUARI 2013 RUBRIK KEMUDI RUBRIK TOKOH EDO KONDOLOGIT TEMU AKBAR NELAYAN INDONESIA DAN PERTEMUAN NASIONAL KIARA 2013AGENDA kEGIATAN FUNGSI MANGROVERUBRIK PERNAK-PERNIK RESEP NASI GORENG IKAN ASINRUBRIK DAPUR
  • 2. Pertama, pentingnya Negara mengedepankan prinsip-prinsip keberlanjutan sumber daya ikan tanpa hutang, dengan tetap memprioritaskan pada pemenuhan kebutuhan pangan nasional secara berdikari. Kedua, pentingnya Negara memberikan dan memastikan terpenuhinya hak-hak nelayan sebagai warga Negara maupun hak-hak istimewa mereka sebagai nelayan tradisional, serta memberikan perlindungan maksimal atas wilayan perairan tradisionalnya. Ketiga, pentingnya Negara memahami kegiatan perikanan sebagai sumber pangan, pengembangan budaya nasional, dan sumber ekonomi kerakyatan. Keempat, pentingnya Negara memahami kegiatan perikanan secara utuh, dengan memaknai keterlibatan perempuan nelayan di dalam kegiatan perikanan sebagai subjek yang teramat penting. W: www.kiara.or.id | E: kabarbahari.indonesia@gmail.com F: Kiara | T: @sahabatkiara
  • 3. PENGANTAR REDAKSI D A F T A R I S I REDAKSI KABAR BAHARI adalah Buletin dua bulanan terbitan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) yang mengangkat dinamika isu kenelayanan dalam pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan. DEWAN REDAKSI Pemimpin Redaksi: Abdul Halim Redaktur Pelaksana: Selamet Daroyni Sidang Redaksi: Mida Saragih Susan Herawati Ahmad Marthin Hadiwinata Desain: Abizar Ismail Foto Cover : Des Syafrizal/Oxfam. Alamat Redaksi: Jl Lengkeng Blok J Nomor 5 Perumahan Kalibata Indah Jakarta 12750 Telp./Faks: +62 21 798 9543 Email: kabarbahari.indonesia@ gmail.com MEMPERBAIKI MANGROVE KITA Pembaca yang budiman, buletin dwi bulanan KABAR BAHARI kembali menyapa Anda. Untuk edisi perdana di tahun 2013 ini, Redaksi mengulas pentingnya mangrove dalam kehidupan kita. Keberadaan ekosistem mangrove di daerah pesisir kian terancam. Selain beralih fungsi menjadi tambak, hutan mangrove juga kian dilirik untuk kebun kelapa sawit dan bahkan reklamasi pantai yang merampas hak warga negara. Akibatnya, terjadi abrasi dan intrusi air laut serta turunnya tangkapan nelayan. Upaya nelayan tradisional merehabilitasi hutan mangrove, di antaranya di Langkat dan Serdang Bedagai, Sumatera Utara, patut diacungi jempol, meski rintangannya amat berat. Asia tercatat sebagai kawasan pemilik hutan mangrove terluas, utamanya di Asia Selatan dan Asia Tenggara. Lebih dari 50 spesies endemik mangrove, di antaranya Aegiceras floridum, Camptostemon philippinensis, Heritiera globosa, tumbuh di sepanjang garis pantainya (FAO, 2005). Seperti apa situsi mangrove di Indonesia? Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) memperkirakan luasan hutan mangrove di Indonesia menyusut drastis akibat laju konversi sejak tahun 1980an hingga saat ini: dari 4,25 juta ha pada 1982 menjadi kurang dari 1,9 juta ha tahun ini. Kementerian Kehutanan mencatat, ada 7.758.410,59 hektar hutan mangrove di Indonesia. Namun, hampir 70 persen rusak. Mendapati kondisi ini, kelestarian hutan mangrove sudah semestinya menjadi tanggung jawab bersama. Anda bisa bayangkan, betapa meruginya bangsa Indonesia kehilangan spesies endemik mangrove yang tidak dimiliki oleh bangsa-bangsa lainnya. Edisi perdana ini juga mengangkat pentingnya pengakuan dan perlindungan Negara terhadap perempuan yang bergerak di sektor perikanan, baik tangkap maupun budidaya. Cobalah simak upaya Kelompok Perempuan Nelayan Muara Tanjung di Desa Sei Nagalawan, Serdang Bedagai. Dalam edisi ini pula, Redaksi menyediakan ruang konsultasi hukum kelautan dan perikanan. Selamat membaca dan semoga bermanfaat. Redaksi AGENDA: Temu Akbar Nelayan & Pertemuan Nasional KIARA 2013 RUBRIK HUKUM: Konsultasi Hukum Nelayan dan Perikanan RUBRIK PERNAK-PERNIK: Fungsi Mangrove RUBRIK DAPUR: Nasi Goreng Ikan Asin RUBRIK JELAJAH: Keberpihakan Terhadap Perempuan Nelayan RUBRIK TOKOH: Edo Kondologit & Pak Sangkot RUBRIK KEBIJAKAN: Pantai Publik, Hak Asasi Setiap Warga RUBRIK SETARA: Kelompok Perempuan Nelayan Muara Tanjung 20 23 26 31 32 2 1 7 14 & 22 16 RUBRIK KEMUDI: Pentingnya Melestarikan Magrove
  • 5. PENTINGNYA MELESTARIKAN MANGROVE PENGANTAR Indonesia merupakan negara kelautan terbesar yang memiliki hamparan hutan mangrove terluas di dunia. Hutan mangrove di dunia mencapai luas sekitar 16.530.000 ha yang tersebar di Asia 7.441.000 ha, Afrika 3.258.000 ha, dan Amerika 5.831.000 ha (FAO 1994). Merujuk pada The World's Mangroves 1980- 2005 (FAO 2007), walaupun dari segi luasan kawasan, mangrove Indonesia merupakan yang terluas di dunia, yakni sebesar 49%, namun kondisinya semakin menurun baik dari segi kualitas dan kuantitas dari tahun ke tahun. Pada tahun 1982, hutan mangrove di Indonesia seluas 4,25 juta ha, sedangkan pada 2009 diperkirakan menjadi kurang dari 1,9 juta ha (KIARA, 2010). Setali tiga uang, dalam Status Lingkungan Hidup Indonesia 2009 yang dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup menyebutkan bahwa, “Hutan mangrove di Sumatera Utara seluas 306.154.20 ha. Dari luasan itu, 9.86% berada dalam kondisi rusak”. Menurunnya kualitas dan kuantitas hutan mangrove berakibat pada minimnya daya dukung ekosistem pesisir bagi kelangsungan hidup spesies pesisir dan biota laut lainnya, serta kelangsungan hidup masyarakat pesisir, seperti abrasi yang meningkat, penurunan tangkapan perikanan, intrusi air laut yang semakin merambah daratan, meluasnya penyakit malaria, dan sebagainya. Di pesisir Pantai Timur Sumatera Utara, luasan mangrove menurun sebesar 59.68% dari 103,425 ha di tahun 1977 menjadi 41,700 ha di tahun 2006 (Onrizal 2006). Senada dengan itu, data KNTI regio Sumatera (2010) menyebutkan bahwa hutan mangrove di pesisir Kabupaten Langkat seluas 35.000 ha. Dari luasan itu, kini yang tersisa dalam kondisi baik hanya 10.000 ha. Penurunan kuantitas dan kualitas ini disebabkan oleh perluasan tambak udang dan perkebunan sawit di wilayah pesisir. Akibatnya, selain merusak ekosistem pesisir, juga berdampak terhadap penurunan pendapatan nelayan tradisional. Oleh karena itu, penelitian tentang sawit dan kerusakan mangrove di pesisir Pantai Timur Sumatera Utara ini menjadi sangat penting untuk dilakukan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai dasar dan pertimbangan utama untuk kegiatan (i) rehabilitasi mangrove yang sudah rusak, (ii) pengelolaan mangrove untuk masa kini dan masa mendatang, dan (iii) memperkaya data dan informasi perihal keterkaitan mangrove dengan kehidupan masyarakat pesisir, khususnya nelayan dan petambak tradisional. KONVERSI MANGROVE Kawasan mangrove atau hutan bakau amatlah penting artinya bagi masyarakat pesisir, tak terkecuali masyarakat pesisir Pantai Timur Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Di Langkat, kawasan hutan mangrove seluas 35.000 hektar membentang sepanjang 110 kilometer berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang dan Kabupaten Aceh Timur, Nanggroe Aceh Darussalam. Pada perkembangannya, hanya tersisa 10.000 hektar yang berada dalam kondisi baik. Berkurangnya luasan hutan mangrove menjadi keprihatinan masyarakat pesisir Langkat. Tak hanya mempengaruhi pendapatan nelayan, melainkan juga menjadikan mereka kian rentan terhadap bencana. Dari segi pendapatan, misalnya, nelayan harus pergi lebih jauh dari kuala 3
  • 6. menuju laut untuk menangkap ikan. Padahal, modal melaut yang dimiliki tak seberapa. Kerusakan ekosistem mangrove telah berlangsung sejak 1980-1998 sesaat setelah pemerintah melaksanakan perluasan tambak udang. Akibat persebaran penyakit, kualitas udang budidaya tak lagi baik dan berdampak pada menurunnya kualitas lingkungan pesisir. Untuk mengatasi persoalan ini, Menteri Kehutanan Republik Indonesia mengeluarkan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) Tanaman Bakau kepada PT Sari Bumi Bakau seluas ±20100 ha dengan surat bernomor 936/ kpts-II/1999 tanggal 14 Oktober 1999. Terbitnya HPH ini sontak diwarnai penolakan oleh masyarakat pesisir Langkat hingga dikeluarkannya Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. SK.388/MENHUT-II/2006 pada tanggal 12 Juli 2006 tentang pencabutan Hak Pengusahaan Hutan PT. Sari Bumi Bakau. Meski telah dicabut, konversi hutan mangrove secara besar-besaran terus terjadi di kawasan Hutan Produksi Tetap dan Terbatas. Berlangsungnya praktek ini dilandasi oleh Surat Keputusan Menhut Nomor 44/ MENHUT-II/2005 tanggal 16 Februari 2005 Jo. Nomor 201/Menhut-II/2006 pada tanggal 5 Juni 2006. Akibatnya, penolakan masyarakat terus berlangsung. Penolakan masyarakat disebabkan oleh konversi hutan mangrove menjadi perkebunan kelapa sawit. Praktek konversi ini berlangsung hampir di seluruh kecamatan pesisir Langkat, di antaranya: Secanggang, Tanjung Pura, Gebang, Babalan, Sei Lepan, Brandan Barat, Pangkalan Susu, Besitang, dan Pematang Jaya. Melihat fakta di lapangan, perusahaan yang diduga melakukan praktek konversi hutan mangrove adalah PT Sari Bumi Bakau (SBB), PT. Pelita Nusantara Sejahtera (PNS), PT. Marihot, PT. Buana, PT C.P, serta oknum wakil rakyat partai pemenang Pemilu 2009 lalu. Atas kondisi di atas, KNTI menilai bahwa program rehabilitasi hutan dan lahan yang telah berlangsung sejak 2006-2008 tak berhasil menyelamatkan ekosistem mangrove karena di saat yang sama, prakter konversi berlangsung secara besar-besaran. Laju konversi mangrove menimbulkan permasalahan baru bagi nelayan dan masyarakat pesisir Langkat, Sumatera Utara. Di antara persoalan tersebut adalah: (1) abrasi pantai akibat konversi ekosistem mangrove di Kecamatan Pesisit dan Pulau Kecil, Kabupaten Langkat; (2) hilangnya sebagian tempat mencari nafkah masyarakat di Desa Perlis, Desa Kelanta, Desa Lubuk Penelusuran KNTI region Sumatera diperoleh rincian konversi hutan mangrove Tabel I. Luas Kerusakan Hutan Mangrove di Kabupaten Langkat 4
  • 7. Kasih, dan Pangkalan Batu; (3) kian tingginya biaya melaut yang mesti ditanggung oleh nelayan tradisional karena wilayah tangkapan ikan semakin jauh; (4) kian besarnya potensi konflik horisontal antarnelayan; (5) hilangnya kesempatan memanfaatkan lahan darat untuk pertanian; (6) hilangnya air bawah tanah akibat intrusi air laut sebagai sumber air bersih bagi 180 ribu masyarakat Teluk Haru, Langkat; dan (7) membesarnya potensi rob akibat hilangnya ekosistem mangrove. HILANGNYA MANGROVE Dalam dua dekade sepertiga hutan bakau (mangrove) dunia hancur. The Royal Society- sebuah akademi sains di Inggris menyebutkan bahwa kerusakan tersebut disebabkan oleh aktivitas manusia, khususnya perluasan tambak. Di Indonesia persebaran mangrove berkategori rusak berat berdampak pada menurunnya daya dukung lingkungan hidup dan kualitas hidup masyarakat pesisir. Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) memperkirakan luasan hutan mangrove di Indonesia menyusut dengan sangat drastis dari 4,25 juta ha pada 1982 menjadi kurang dari 1,9 juta ha tahun ini. Rusaknya hutan pencegah banjir tersebut berakibat pada terputusnya rantai penghidupan dan obat-obatan masyarakat pesisir. Selain itu, musnahnya produktivitas perikanan dan hilangnya habitat pesisir lainnya serta kian meningkatkan kerentanan masyarakat pesisir atas badai dan gelombang tinggi. Penghargaan atas pelayanan ekosistem hilang. Pemerintah-khususnya Kementerian Kelautan dan Perikanan-memandang alam semata sebagai komoditas eksploitatif demi keuntungan segelintir orang dan memberikan kerusakan bagi sebanyak mungkin anggota masyarakat pesisir. Kerusakan mangrove menjadi potret tiadanya penghargaan pemerintah atas pelayanan ekosistem. Dalam studinya The Royal Society memaparkan bahwa kerusakan mangrove akibat perluasan tambak tak sebanding dengan kesejahteraan masyarakat pesisir. Di Thailand, misalnya, tiap hektare luas tambak hanya memberikan keuntungan sebesar US$9,632. Keuntungan ini hanya dimiliki oleh segelintir orang. Sebaliknya, pemerintah Thailand harus menanggung biaya polusi sebesar US$1,000, biaya hilangnya fungsi- fungsi ekologis sebesar US$12,392, dan pemerintah harus memberi subsidi kepada masyarakat korban senilai US$8,412. Tak hanya itu, tetapi pemerintah juga harus mengalokasikan dana tambahan sebesar US$9,318 untuk merehabilitasi mangrove. Pengalaman Thailand hendaknya memberikan panduan bagi pemerintah kita untuk tak sembarang menelurkan kebijakan terkait dengan eksploitasi ekosistem penting dan genting seperti ekosistem mangrove. Terlebih, menyangkut hajat hidup banyak orang. Kami mencatat bahwa ada tiga faktor utama penyebab kerusakan mangrove di Indonesia. Pertama, konversi untuk ekspansi industri pertambakan, seperti yang terjadi di Provinsi Lampung. Kedua, konversi hutan mangrove untuk kegiatan reklamasi kota-kota pantai, seperti yang terjadi di Teluk Jakarta, Padang (Sumbar), Makassar, dan Manado (Sulut). Ketiga, terkait pencemaran lingkungan. Saat ini perluasan kebun kelapa sawit turut memperparah kerusakan ekosistem mangrove di Indonesia. Hasil pemantauan KIARA di Kab. Langkat Sumut, misalnya, didapati fakta konversi ekosistem mangrove menjadi perkebunan sawit dilakukan hingga jarak kurang dari 5 meter dari arah garis pantai. Hal ini jelas tidak berkesesuaian dengan upaya perlindungan ekosistem pesisir di Indonesia. Jika hal ini terus dibiarkan, bencana ekologis bakal lebih 5
  • 8. masif terjadi di Kepulauan Indonesia. Penutup: Mangrove dan Ruang Hidup Nelayan Indonesia memiliki seperlima dari mangrove di dunia dan sedang mengalami proses pengrusakan secara masif oleh industri budidaya, seperti tambak udang, yang mengakibatkan nelayan setempat kehilangan pekerjaan. Baru-baru ini, sebuah studi mengenai ancaman terhadap ekosistem mangrove menemukan bahwa mereka menyediakan jasa ekosistem senilai US$ 1,6 miliar setiap tahunnya dan mendukung mata pencaharian masyarakat pesisir di seluruh dunia, termasuk perlindungan garis pantai dari badai. Sayangnya, sebelas dari 70 spesies mangrove terancam punah, seperti terdaftar dalam Red List of Threatened Species IUCN (The Guardian, 2010). Ancaman terhadap keberlanjutan sumber daya perikanan lainnya adalah rusaknya ekosistem pesisir, termasuk hutan mangrove, yang diperburuk dengan dampak perubahan iklim. Efeknya meningkatkan suhu air laut dan mempercepat proses pengasaman laut yang berujung pada berubahnya kondisi ekosistem perairan. Perubahan iklim juga mengubah distribusi produktivitas ikan dan spesies laut dan air tawar. Hal ini berdampak pada keberlanjutan perikanan dan budidaya. Terlebih bagi masyarakat pesisir yang mata pencahariannya bergantung pada perikanan. Ironisnya, wilayah pesisir dan daerah penangkapan ikan kini diperlakukan semata-mata sebagai komoditas. Tak bisa dibayangkan, Jepang menguasai industri kerang mutiara; Thailand dan Taiwan sudah dan sedang berencana melakukan ekspansi industri perikanan tangkap dan budidaya; sejumlah pengusaha Eropa menguasai industri pariwisata bahari; demikian halnya Amerika Serikat, Jerman, dan Australia yang belakangan menggalakkan industri konservasi laut di perairan Indonesia. Seluruhnya dilakukan dengan mengkapling dan mempersempit wilayah tangkap nelayan tradisional Indonesia. Pada akhirnya, keberadaan hutan mangrove sebagai kawasan sabuk hijau (green belt) perlu dilindungi dengan aturan yang tegas dan tidak tumpang tindih, termasuk meminimalisir aktivitas pembukaan tambak udang, perkebunan sawit, dan kawasan wisata di kawasan hutan mangrove.*** (Abdul Halim & Tajruddin Hasibuan) Sumber Kepustakaan: 1. The World’s Mangroves 1980-2005 (FAO 2007) 2. Status Lingkungan Hidup Indonesia 2009 (Kementerian Lingkungan Hidup) 6
  • 9. PENTINGNYA KEBERPIHAKAN TERHADAP PEREMPUAN NELAYAN NELAYAN dalam kategori sosial sebagai masyarakat miskin tidak kunjung berkurang secara kuantitas. Minimnya dukungan pemerintah dalam penegakan HAM nelayan, dan tingginya tantangan hidup di laut, dan kehancuran ekosistem merupakan penyebab utama. Dalam situasi serba sulit itu, tidak sedikit perempuan yang aktif dan lantas sukses dalam pengelolaan sumber daya alam perikanan. Pun begitu, sedikit sekali penghargaan dan perlindungan yang diterima mereka. Itu bisa kita temukan buktinya di lapangan. Semisal di bibir Pantai Pangandaran, Ciamis, Provinsi Jawa Barat, tiap hari setidaknya dua ratus lebih nelayan menjaring ikan. Mereka didominasi oleh kaum perempuan. Sejak dini hari nan dingin, mereka mengais rezeki, menangkap ikan dengan alat tangkap jaring arad. Kegiatan menarik jaring dilakukan berulang-ulang dan menghabiskan waktu 8 hingga 10 jam per hari. Profesi ini tidak mudah. Kulit habis tergores dan luka kalau tak terbiasa mengerjakannya. Tangan, pinggang, segenap tenaga dikerahkan untuk menarik jaring yang panjangnya bisa mencapai 400 s.d 500 meter. Itu pun belum tentu hasil yang diperoleh mencukupi. Pendapatan per orang per hari biasanya antara Rp. 5.000 sampai Rp 15.000. Kalau sedang beruntung bisa membawa pulang Rp 50.000. Kadang tak ada sama sekali. Mereka mengatakan bahwa akan tetap bersyukur karena yakin rezeki di tangan Tuhan YME. Nelayan jaring arad tergolong nelayan kategori ekonomi skala kecil, karena profesi ini dikerjakan secara berkelompok (bahkan kekeluargaan), tidak memerlukan modal besar dan hasilnya pun hanya cukup untuk RUBRIK JELAJAH 7
  • 10. memenuhi kebutuhan sehari-hari. Oleh karena situasi cuaca tak menentu, hasil tangkapan suami tak pasti sehingga ekonomi keluarga bisa bangkrut sewaktu-waktu. Perempuan akhirnya melakoni profesi nelayan jaring arad. Di Marunda Kepu, Jakarta utara, ada Kelompok Mekar Sari yang fokus pada pembuatan terasi dari udang rebon dan pembuatan ikan asin, selain itu juga aktif melakuan advokasi tolak reklamasi bersama FKNJ (Forum Komunikasi Nelayan Jakarta) dan Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI). Tak hanya sampai di situ, Kelompok Mekar Sari melalui Bu Habibah mendirikan PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini). Para perempuan nelayan anggota Kelompok Mina Arta Karya di Mangkang Wetan, Semarang, Jawa Tengah fokus pada produksi kerupuk udang. Hancurnya tambak akibat abrasi dan banjir tidak menghentikan upaya kelompok ini untuk menanami pesisirnya dengan bakau. Ke arah selatan ada Kampung Laut, Pulau Nusakambangan, di mana Kelompok Mutiara mengembangkan pembibitan, penanaman, pengolahan, serta penjualan bibit bakau hingga keluar Pulau Nusakambangan. Bahkan mereka mengolah bakau menjadi permen dan kerupuk. Masih di Jawa Tengah, di Kabupaten Kendal, Kelompok Lestari dan Wilujeng melakukan pendampingan bagi perempuan pedagang dan pengolah ikan. Sementara di Kampung Morodemak, Kabupaten Demak, hadirnya Kelompok Puspita Bahari telah membantu perekonomian nelayan. Anggotanya aktif mengembangkan beragam produk berbahan baku ikan, yang merupakan hasil tangkapan nelayan, mulai dari: abon, kerupuk udang dan bandeng presto. Berkat upaya penghijauan berbasis kelompok yang digagas Puspita Bahari, saat ini luas bakau di Morodemak mencapai 10% dari luas desa. Selain itu, mereka mengolah sampah plastik bekas kemasan jajanan menjadi bantal hias. 8
  • 11. Perempuan nelayan yang hidup di daerah yang stok ikannya terancam harus benar- benar mampu mengatasi kekurangan pendapatan. Kajian KIARA (Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan) di Marunda Kepu, Jakarta Utara menemukan perempuan nelayan bekerja antara 16 sampai 17 jam per hari saat kondisi ekstrim hadir. Kondisi ekstrim ini bersumber dari pencemaran limbah lebih dari 250 industri yang beroperasi di sekitar Teluk Jakarta, plus limpahan limbah dari 13 sungai. Teluk Jakarta bisa dikatakan sebagai tong sampah. Walaupun banyak warga yang bergantung pada perairan semi terbuka ini, namun sedikit sekali upaya penanggulangan pencemaran oleh pemerintah. Juga, nyaris tak ada perlakuan tegas pemerintah terhadap industri pencemar. Faktor lainnya adalah cuaca ekstrem. Sekarang masa paceklik bertambah panjang dan minimnya hasil tangkapan membuat keluarga nelayan harus bisa bertahan lebih kuat. Kaum perempuan yang bekerja maksimal untuk menopang hidup keluarga bukan lagi soal pilihan, melainkan keharusan. Ada uang, bisa makan dan sebaliknya. Cerita menjual sendok makan sampai kepingan genteng adalah rangkaian cerita sewaktu paceklik itu tiba. Ada juga yang menjadi pedagang ikan di pasar dan keliling kampung, ada yang jadi nelayan, jadi pengusaha ikan kering dan ikan asap, jadi pemulung dan mendaur ulang sampah menjadi barang bermanfaat. Ada yang beralih menjadi Tenaga Kerja Wanita, atau menjadi buruh pabrik. Sekali lagi, mereka tetap pahlawan bagi keluarganya. AKAR MASALAH Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) sejak 2003 telah memetakan faktor peminggiran terhadap perempuan nelayan. Selain kurangnya informasi terkait kebijakan perlindungan dan pemberdayaan, kelompok-kelompok perempuan nelayan dilemahkan peran-peran aktifnya dalam melestarikan lingkungan dan menjaga perekonomian rakyat. Di antaranya melalui 9
  • 12. unsur pembangunan, seperti alih fungsi kawasan melalui pertambangan, reklamasi, pengkaplingan untuk kawasan wisata, ekspansi sawit di pesisir dan sejumlah pulau kecil, serta pencemaran. Berdasarkan catatan KIARA, dalam dua tahun terakhir (2010-2011), terjadi 68 konflik kelautan dan perikanan. Angka konflik ini meningkat tajam dibandingkan tahun lalu, yakni 28 konflik (2010). Dari 68 konflik tersebut, 20 di antaranya adalah kasus masih berlanjut dan belum menemukan solusi. Konflik-konflik di kelautan tentu mempengaruhi kualitas hidup nelayan serta masyarakat yang tergantung pada sektor ini, baik langsung dan tidak langsung. Kerusakan yang diakibatkan konflik-konflik itu sangat parah mulai dari meluasnya wilayah abrasi dan daerah banjir rob, degradasi stok ikan hingga polusi air dan udara. Ini merupakan gambaran nyata di mana sektor perikanan dikalahkan oleh kepentingan komersil semata. Selain kondisi obyektif tersebut, menurut Solidaritas Perempuan (2012), terdapat beberapa sumber ketidakadilan terhadap perempuan, di antaranya: 1. Stereotifikasi/ stigmatisasi dan pelabelan negatif yang merupakan himpunan pandangan-pandangan, anggapan, atau kepercayaan negatif terhadap salah satu jenis kelamin. Pandangan- pandangan stigmatik dan negatif sifatnya merendahkan dan dampaknya merugikan. 2. Subordinasi. Posisi sosial asismetris karena adanya pihak yang superior di satu sisi dan inferior di sisi lain. Subordinasi ini merupakan kelanjutan dari pandangan yang stereotipi. Subordinasi melandasi pola relasi atau pola hubungan sosial yang hirarkhis di mana salah satu pihak memandang dirinya lebih dari mereka yang direndahkan. 3. Marginalisasi atau peminggiran. Proses penyingkiran kepentingan, hak-hak, kebutuhan, serta aspirasi berdasarkan jenis kelamin yang berlangsung secara sistematis dalam memperoleh manfaat dari kesejahteraan hidup dan pembangunan. Sebagaimana stereotipi, marginalisasi dapat terjadi secara sengaja atau ‘dianggap’ sebagai sesuatu yang wajar. 4. Beban ganda. Beban kerja berlipat-ganda memaksakan dan membiarkan salah satu jenis kelamin menanggung beban aktifitas berlebihan. 5. Dominasi. Dominasi merupakan kekuatan yang dimiliki dan dilakukan oleh individu atau seseorang atau kelompok tertentu untuk menundukkan, menguasai atau melemahkan individu atau kelompok lain. Dominasi membuat individu atau kelompok lain menjadi tersub-ordinasi dan kemudian termarjinalisasi, sehingga kepentingan mereka menjadi tidak bisa terungkap maupun menjadi perhatian dan menjadi keputusan. Tanda-tandafoto: Des Syafrizal/Oxfam. 10
  • 13. dominasi adalah: a) tidak membiarkan orang lain bicara; b) tidak mau mendengar dan mengabaikan pendapat orang lain; c) menguasai percakapan/ diskusi; d) campur tangan terus-menerus terhadap keputusan yang telah disepakati; dan e) memanipulasi pendapatnya sebagai pendapat orang banyak. 6. Diskriminasi. Pembedaan perlakuan, pengucilan dan pembatasan yang hadir atas dasar jenis kelamin, ras, kelas, agama, kepercayaan, ideologi, pilihan politik, pilihan seksual, cacat, penyakit, dan lainnya, yang mempunyai pengaruh atau mengurangi dan menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak azasi manusia dan kebebasan- kebebasan mendasar di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau bidang apa pun lainnya. 7. Kekerasan merupakan tindakan yang membuat orang lain merasa tidak nyaman dan takut, karena terluka secara fisik dan psikologis. Kondisi obyektif kehancuran pesisir dan laut kita menambah beban persoalan yang ada sebelumnya di kalangan masyarakat, yakni ketidakadilan terhadap perempuan. Sehingga, selain harus bekerja keras menyelamatkan situasi, perempuan nelayan juga harus bisa meyakinkan diri dan kelompok mereka untuk bisa menyetarakan posisi antara perempuan dan laki-laki. FONDASI KEADILAN Salah satu fondasi Keadilan Perikanan yang menjadi visi misi KIARA adalah, “Agar negara memahami kegiatan perikanan secara utuh, dengan memaknai keterlibatan perempuan nelayan di dalam kegiatan perikanan sebagai subyek yang teramat penting.” KIARA meyakini kaum perempuan harus berjuang dan harus bisa menjadi penggerak perubahan. Kaum perempuan juga harus bersatu padu untuk mendapatkan peran yang setara dengan laki-laki. Kaum perempuan harus mendapatkan hak-hak dasarnya seperti pendidikan, akses terhadap informasi, akses kesehatan, lapangan pekerjaan, taraf hidup yang lebih baik dan sebagainya. Tanpa adanya upaya yang satu padu, boleh jadi kesetaraan dan pemenuhan hak-hak dasar hanya akan menjadi impian belaka. Upaya untuk meraih cita-cita itu mulai didiskusikan pada pertemuan nelayan bertemakan “Penguatan Kapasitas Perempuan Nelayan” yang diselenggarakan oleh Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Perkumpulan Jaringan Pengembangan Kawasan Pesisir (JPKP) Buton bekerjasama dengan Aliansi untuk Desa Sejahtera (ADS). Para nelayan yang bertemu di Pulau Liwuto, Bau-Bau, Propinsi Sulawesi Tenggara, 20–25 November 2010 memutuskan lahirnya ikatan persaudaraan antar perempuan nelayan yakni Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI). Berdirinya PPNI juga dibicarakan lebih lanjut dalam Temu Akbar Nelayan yang berlangsung pada 2011 dan 2012. Mereka yang ikut dalam pertemuan itu di antaranya kelompok perempuan nelayan yang berasal dari Serdang Bedagai, Sumatera Utara; Marunda, Jakarta Utara; Bau-bau, Sulawesi Tengggara; Semarang dan Demak, Jawa Tengah; Manado, Sulawesi Utara; dan Lamalera, NTT. Melalui pembelajaran di lapangan, KIARA percaya hanya dengan gerakan perempuan nelayan yang terdidik dan terorganisir, akselerasi perwujudan kesejahteraan keluarga nelayan dapat tercapai. Termasuk untuk urusan pengelolaan sumberdaya perikanan yang adil dan lestari. Perempuan di wilayah pesisir dan mereka yang bergerak di sektor kenelayanan 11
  • 14. CAPAIAN PASCA PEMBENTUKAN PPNI Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI) berdiri pada 2010, atas inisiatif organisasi nelayan dan sejumlah lembaga yang memberi perhatian kepada nelayan tradisional, di antaranya Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Jaringan Pengembangan Kawasan Pesisir (JPKP) dan Aliansi untuk Desa Sejahtera (ADS). Pada pertemuan 6-8 Februari 2012 di Kabupaten Demak, Jawa Tengah, PPNI merumuskan misi sebagai berikut: 1) Perempuan nelayan agar terlibat di dalam pembuatan kebijakan; 2) Perempuan nelayan mampu mendorong peningkatan taraf hidup dan kesejahteraan keluarga dan masyarakat; dan 3) Perempuan nelayan memastikan hadirnya kesetaraan gender di kampung-kampung nelayan. PPNI memiliki visi sebagai wadah penguatan gerakan perempuan nelayan di tingkat nasional. Sejak pendirian PPNI, terdapat dua prestasi yang membanggakan, yakni: 1) Penerimaan penghargaan KUSALA SWADAYA 2011 oleh Kelompok Perempuan Nelayan Puspita Bahari pada Oktober 2011; dan 2) kelompok nelayan aktif melakukan rehabilitasi bakau, sebagaimana dilakoni oleh sejumlah kelompok nelayan: KNTI di Kabupaten Langkat, Sumut; Kelompok Perempuan Muara Tanjung, Serdang Bedagai, Sumatera Utara; Kelompok Persatuan Nelayan Lestari, Kendal, Jateng; Kelompok Mutiara di Pulau Nusakambangan. penegakan hak-hak mereka sebagai nelayan dan warga negara Indonesia. Pemberdayaan ini guna mendobrak keberlanjutan situasi, di mana peran perempuan nelayan dalam kegiatan perikanan belum diakui. Dalam upaya ke arah itu, pemerintah harus merubah perlakuan atas perempuan nelayan dalam pembangunan, bukan sebagai buruh atau pun individu tanpa jaminan akses dan kontrol atas sumberdaya pesisir dan laut. Peran penting para perempuan nelayan tidaklah dengan serta merta begitu saja dapat meningkatkan pendapatan dan kualitas kesejahteraan, karena mereka patut dibekali dengan kebijakan yang berpihak, penguatan organisasi dan penguasaan ketrampilan yang memadai. Di atas itu semua, pembenahan tata kebijakan harus berkeadilan gender. sadar betul kalau mereka harus bahu- membahu menghadapi kerentanan dalam berbagai aspek, melalui pembentukan organisasi nelayan di tingkat kampung dan mengembangkan beragam inisiatif baik. Selain ada yang berperan dalam produksi, pengolahan hingga distribusi hasil tangkapan nelayan, peran perempuan nelayan menjadi pendiri dan pengajar di PAUD (pendidikan anak usia dini) bermunculan. Demikian halnya peran mereka dalam perlindungan alam ada melalui penanaman bakau. Tak hanya itu, mereka kini hadir menjadi bagian dari gerakan keadilan perikanan. Ini semua merupakan bukti bahwa pelibatan perempuan harus diletakkan pada posisi yang strategis. Merespon hal tersebut, inisiatif yang seharusnya dibangun sejak awal oleh Negara adalah pemberdayaan perempuan nelayan. Memberikan perlindungan kebijakan atas 12
  • 15. Ini merupakan prasyarat mutlak guna membenahi membenahi kegiatan perikanan nasional. ***(Mida Saragih) Referensi: 1) Kunjungan lapangan di Pantai Pangandaran, Ciamis, Jawa Barat (Mei 2012). 2) Hasil diskusi dengan nelayan nelayan di Semarang (Desember 2012); nelayan di Morodemak, Jawa Tengah (2012); dan Nelayan Marunda Kepu, Jakarta Utara (2012). 3) Dokumen Hasil Pertemuan Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI) di Pulau Liwuto, Sulawesi Tenggara (2010). 4) Puspa, Dewi. 2012. “Kepemimpinan Perempuan Bagian dari Perubahan Perempuan,” ini merupakan dokumen presentasi yang disampaikan pada Pertemuan Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI) di Demak, Jawa Tengah pada 13 Februari 2012. 5) Liputan Live 365 Metro TV terkait Teluk Jakarta per 9 Februari 2013. 6) Saragih, Mida dan Dedy Ramanta (2009) “Pembangunan untuk Siapa: Dampak Proyek Reklamasi terhadap Perempuan Fisher dan Anak di Pantai Utara Jakarta, Indonesia” Jakarta: KIARA 7) Kertas Kebijakan KIARA (2012), “Laporan KIARA 2011: Konflik Kelautan dan Perikanan” 13
  • 16. Umumnya orang memanggil Sangkot, namun nama lengkapnya adalah Tajruddin Hasibuan. Lelaki kelahiran Pangkalan Brandan, Kabupaten Langkat, ini adalah Presidium KNTI wilayah Sumatera. Ia aktif terlibat dalam kegiatan nelayan tradisional di Sumatera. Banyak kegiatan yang sudah dikerjakan bersama, salah satunya adalah advokasi terhadap isu perbatasan. Di tahun 2009, marak terjadi penangkapan nelayan tradisional di perbatasan Indonesia-Malaysia oleh Polisi Laut Malaysia. Hingga tahun 2012 setidaknya ada 27 kasus dan sekitar 137 orang yang pernah ditahan. Pada tanggal 9 Juli 2010, KIARA dan KNTI Region Sumatera Utara melakukan pembebasan terhadap 6 nelayan tradisional Indonesia asal Kelurahan Brandan Timur dan Kelurahan Sei Billah. Mereka adalah Zulham (40), Ismail (27), Amat (24), Hamid (50), Syahrial (42), dan Mahmud (42) yang ditahan di Balai Polis Kuah, Langkawi, Malaysia. Dalam kasus ini, Sangkot berpandangan bahwa nelayan tradisional Indonesia tidak mendapatkan perlindungan hukum dari Negara. Di sisi lain, bersama- sama dengan nelayan, Sangkot juga melakukan serangkaian kegiatan advokasi terhadap kerusakan ekosistem mangrove di pesisir. Sejak tahun 2006, kawasan hutan mangrove telah dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit seluas 16.446 ha. Perubahan fungsi kawasan ini dilakukan oleh tiga perusahaan perkebunan sawit, yakni UD Harapan Sawita seluas 1.000 ha, KUD Murni seluas 385 ha, dan PT Pelita Nusantara Sejahtera seluas 2.600 ha. Akibat dari konversi hutan mangrove secara masif tersebut, masyarakat yang berada di Desa Perlis, Kelantan, Lubuk Kasih, Lubuk Kertang, Alur Dua, Kelurahan Brandan Barat, dan Kelurahan Sei Bilah, serta menggantungkan mata pencahariannya terhadap kelestarian hutan mangrove dirugikan. Saat tak bisa melaut, biasanya mereka cukup mencari udang atau ikan di rerimbunan mangrove. Melihat kondisi lingkungan hidup dan ekonomi di wilayah pesisir yang kian memburuk, Sangkot bersama dengan nelayan tradisional yang tergabung di dalam KNTI Melindungi Nelayan dan Mangrove RUBRIK TOKOH 14
  • 17. (Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia) bekerjasama dengan KIARA melakukan rehabilitasi hutan mangrove seluas 1.200 ha. Selain menanam mangrove, mereka juga melakukan pembibitan. Inisiatif kolektif ini juga didukung oleh Bupati Langkat, H. Ngogesa Sitepu, SH. Di awal tahun 2013, Sangkot bersama-sama dengan nelayan Langkat juga melakukan kampanye penolakan penggunaan trawl (pukat grandong) di Perairan Kabupaten Langkat. Menurutnya, pengunaan trawl telah berdampak pada rusaknya ekosistem laut dan hilangnya mata pencaharian nelayan tradisonal. Apa yang dilakukan oleh nelayan tradisional adalah upaya melaksanakan mandat Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 bahwa “setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Ditambah lagi, Keputusan Presiden Nomor 39 Tahun 1980 tentang Penghapusan Jaring Trawl juga masih berlaku. Pada perkembangannya, Pasal 9 ayat (1) Undang- Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan juga menegaskan, “Setiap orang dilarang memiliki, menguasai, membawa, dan/atau menggunakan alat penangkapan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan di kapal penangkap ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia”. Penegasan UU ini diperkuat dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 2 Tahun 2011 tentang Jalur, Penempatan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan di Wilayah Perikanan Indonesia. Hanya saja, lamban dan lemahnya penegakan hukum di lapangan menjadi persoalan dan memicu konflik sosial yang berujung pada kriminalisasi. Pada tanggal 23 Januari 2013, 23 orang nelayan tradisional justru ditangkap oleh Aparat Kepolisian Resort Langkat. Meskipun pada akhirnya para nelayan telah ditangguhkan penahanannya, namun terdapat dugaan kuat penangkapan tersebut salah sasaran dan tidak sesuai dengan ketentuan. Meski dihadapkan pada resiko besar, Sangkot bersama nelayan tradisional Langkat telah berkomitmen untuk terus melakukan kampanye dan pendampingan hukum terhadap rekan-rekan yang masih dikriminalisasi. Apalagi perjuangannya mendapatkan dukungan dari masyarakat Indonesia (setidaknya) melalui petisi online yang dipersiapkan bersama dengan KIARA dan Kontras (Medan dan Jakarta). Perjuangan nelayan dalam segala arah memang acap kali menemui rintangan. Namun semangat juang harus disebarkan dari satu nelayan ke nelayan lainnya. “Sangkot bersama dengan nelayan tradisional yang tergabung di dalam KNTI (Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia) bekerjasama dengan KIARA melakukan rehabilitasi hutan mangrove seluas 1.200 ha. Selain menanam mangrove, mereka juga melakukan pembibitan. Inisiatif kolektif ini juga didukung oleh Bupati Langkat”. Hal ini menjadi penyemangat di tengah permasalahan yang dari hari ke hari kian pelik. Sangkot mengajak masyarakat nelayan Indonesia untuk membangun kesadaran akan pentingnya peranan nelayan tradisional bagi bangsa Indonesia. Nelayan tradisional adalah orang-orang terdepan yang menjaga perbatasan Indonesia, olehnya jangan pernah menyerah. Teruslah melakukan perubahan, penguatan organisasi nelayan, dan konsolidasi gerakan. Perlu diingat, perubahan tidak akan hadir secara tiba-tiba, tetapi perubahan adalah tentang apa yang harus kita perjuangkan terus-menerus secara kolektif. *** (Susan Herawati) 15
  • 18. PANTAI PUBLIK, HAK A Untuk pertama kalinya dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia, tiga orang warga negaranya menggugat pemerintah dan perusahaan karena kasus komersialisasi pantai publik. Tepatnya pada tanggal 21 Mei 2012, 3 (tiga) warga Jakarta bernama Ahmad Taufik, Abdul Malik Damrah, dan Bina Bektiati mendaftarkan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dasar gugatan yang mereka ajukan adalah menikmati pantai publik secara gratis merupakan hak asasi setiap warga. Kenyataannya, untuk masuk ke kawasan rekreasi Pantai Ancol warga harus membayar Rp15.000/orang. Dengan fakta ini, maka Pemerintah DKI Jakarta bersama dengan PT Pembangunan Jaya Ancol serta PT Taman Impian Jaya Ancol telah melakukan pelanggaran kewajiban hukum. Bergulirnya kasus ini mendapatkan tanggapan beragam dari warga. Sebagian besar warga mendukung inisiatif dan menginginkan pantai publik menjadi gratis. Ada juga sebagian warga yang masih apatis, bahkan ada sebagian kecil yang lebih pro terhadap kegiatan komersialisasi pantai publik. Di sebagian negara yang telah memiliki kepedulian terhadap hak asasi manusia, pemerintahnya melarang praktek perusahaan yang mengenakan biaya bagi warga yang ingin mengakses pantai sebagai ruang rekreasional. Dengan alasan pantai dan laut itu adalah anugerah alamiah kepada manusia sehingga tidak boleh dibatasi aksesnya. Pantai publik menjadi kebutuhan dan dambaan semua warga negara. Saat pantai publik dikomersilkan, harusnya Negara hadir untuk menegakkan konstitusi sehingga terpenuhi hak asasi warganya. RUBRIK KEBIJAKAN 16
  • 19. ASASI SETIAP WARGA Berkebalikan dengan itu, perlakukan Pemerintah Indonesia kepada warga negaranya masih sangat diskriminatif. Alih- alih mengabulkan permintaan warganya dengan memberikan akses gratis kepada warganya. Justru sebaliknya melalui PT. Pembangunan Jaya Ancol dkk, 3 (tiga) orang warga negara Indonesia yang ingin menegakkan keadilan justru digugat balik dengan alasan telah melakukan pencemaran nama baik (perusahaan dan Pemprov DKI Jakarta). Lebih mengkhawatirkan lagi, sejak munculnya tren pembangunan kota-kota pesisir di Indonesia dengan cara perluasan lahan (reklamasi) ke wilayah pantai yang dimulai sejak tahun 2000-an, sebagian besar kota-kota tersebut mengabaikan hak-hak warga dan nelayan tradisional setempat. Mereka yang seyogyanya menjadikan pesisir dan laut sebagai ruang gerak dan ruang hidupnya justru semakin disingkirkan. Argumentasi yang menyatakan bahwa pembayaran masuk pantai publik tersebut merupakan ongkos untuk kebersihan dan perawatan taman merupakan alasan yang mengada-ada. Tiap tahunnya, anggaran belanja pemerintah (provinsi mapun kabupaten/kota) telah mengalokasikan dana kebersihan, perawatan taman, dan ruang- ruang publik, termasuk pantai. Lagi pula, apabila ada kegiatan usaha rekreasi (fasilitas bermain dan lain-lain) yang berada di pantai publik bukan berarti pihak pengelola usaha rekreasi diperbolehkan untuk menarik ongkos dari warga. Malahan merekalah yang semestinya menanggung biaya kebersihan dan perawatan pantai publik bersama dengan pemerintah daerah. Sebaliknya, akibat dari pengusahaan ruang pantai publik tersebut oleh pemerintah dan pengelola, warga justru dikebiri dan tanpa memperoleh ganti untung. HAKIKAT RUANG PUBLIK Pantai publik merupakan satu bagian dari keseluruhan ruang publik yang 17
  • 20. secara hakiki memiliki pengertian yang sangat mengikat. Ruang publik merupakan tempat di mana setiap orang memiliki hak untuk memasukinya tanpa harus membayar uang masuk atau uang lainnya. Ruang publik dapat berupa jalan (termasuk pedestrian), taman, dan sebagainya. Hal ini berarti bahwa ruang terbuka hijau publik, seperti pantai, jalan dan taman serta ruang terbuka non-hijau publik, seperti pedestrian dapat dikategorikan dan difungsikan sebagai ruang publik. Berdasarkan fungsinya, ruang publik merupakan tempat bertemu, berinteraksi dan silaturahmi antarwarga serta sebagai tempat rekreasi dengan bentuk kegiatan yang khusus, seperti bermain, berolahraga dan bersantai. Sebagai sarana rekreasi, ruang publik merupakan tempat untuk melakukan aktivitas rekreasi bagi pelakunya. Rekreasi merupakan salah satu yang dibutuhkan manusia, dengan rekreasi diharapkan pelaku dapat mengembalikan individu seutuhnya, baik jiwa maupun rohaninya. Secara operasional, bisa dikatakan bahwa suatu ruang dikatakan sebagai ruang publik apabila memenuhi minimal 2 kriteria: pertama, dapat diakses tanpa terkecuali. Dimaksudkan bahwa ruang publik seyogyanya dapat dimanfaatkan oleh seluruh warga kota yang membutuhkan. Dengan demikian, beberapa fenomena, seperti penguasaan pribadi wilayah pantai oleh sekelompok pengusaha rekreasi pantai, hotel, pemanfaatan badan jalan untuk parkir kendaraan, serta pedestrian untuk pedagang kaki lima telah menghalangi warga kota untuk memanfaatkan ruang publik tersebut. Kedua, universalitas atau bisa dimaknai sebagai penyediaan ruang publik seyogyanya dapat mempertimbangkan berbagai kelas dan status masyarakat yang mencerminkan pemenuhan kebutuhan seluruh lapisan masyarakat, baik kelas atas sampai bawah, normal dan difabel, anak-anak hingga dewasa, serta pria dan wanita. Lebih jauh, ruang publik merupakan sarana menguatkan relasi sosial masyarakat yang karakternya dapat dilihat, seperti mengizinkan berbagai kumpulan/grup penduduk berada di dalamnya, serta menghargai kelas-kelas masyarakat, perbedaan etnis, jender, dan perbedaan umur. Walaupun secara umum ruang ini bisa diakses semua manusia, namun harus tetap mengikuti norma agar tidak merugikan kepentingan umum di dalamnya. MANDAT KONSTITUSI: PANTAI PUBLIK GRATIS Saat ini, Negara belum memberikan keluasaan bagi warganya untuk mengakses pantai publik. Hal ini merupakan sinyal betapa Negara telah gagal menjalankan amanat konstitusi. Padahal sangat jelas dalam Undang Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang menyatakan bahwa Ruang publik dapat berupa Ruang Terbuka Hijau Publik atau Ruang Terbuka Non Hijau Publik yang secara institusional harus disediakan oleh pemerintah di dalam peruntukan lahan perkotaan di Indonesia. Lebih dari itu, pada tanggal 16 Juni 2011 Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan perkara uji materi terhadap UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang diajukan oleh 27 orang nelayan tradisional dan 9 organisasi masyarakat sipil bahwa terdapat 4 (empat) hak konstitusional masyarakat nelayan tradisional dan adat, yang tidak boleh dirampas atau ditukar- gulingkan, yakni (1) hak untuk melintas/ mengakses laut; (2) hak memanfaatkan sumber daya laut; (3) hak untuk mengelola sumber daya laut sesuai dengan kearifan lokal dan tradisi bahari yang telah dijalani secara turun-temurun; dan (4) hak mendapatkan lingkungan hidup dan perairan yang bersih dan sehat. Mengacu pada putusan tersebut semestinya kegiatan pengusahaan pesisir 18
  • 21. dan laut oleh individu maupun lembaga swasta dalam bentuk apapun merupakan perbuatan melawan hukum. Untuk itu, upaya-upaya yang dilakukan oleh warga negara guna mendapatkan haknya untuk mengakses pantai publik perlu didukung. Karena hak untuk mendapatkan ruang publik merupakan hak asasi setiap orang dan tidak bisa diwakilkan kepada siapapun. Demikian juga inisiatif yang dilakukan oleh 3 (tiga) orang warga Jakarta yang menggugat Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, PT Pembangunan Jaya Ancol, dan PT. Impian Jaya Ancol harus didukung sepenuhnya. Pada perkembangannya, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) menolak gugatan ‘masuk Pantai Ancol gratis’. Majelis hakim juga menolak gugatan balik pengelola Ancol kepada warga sebesar Rp 1,5 miliar. Majelis hakim menilai tidak ada aturan hukum yang dilanggar oleh para tergugat. “Gugatan terhadap penggugat, majelis menyatakan ditolak,” kata ketua majelis Dwi Sigiarto saat membacakan putusan di PN Jakpus, Jalan Gadjah Mada, Jakarta, Selasa (26/2/2013). Menurut Dwi, bukti yang diajukan penggugat juga tidak cukup. Dwi menambahkan menimbang dari keterangan saksi dan ahli tidak ada satupun aturan yang dilanggar oleh Tergugat dan majelis menilai masalah ini masih terlalu umum. Atas putusan ini, kuasa hukum penggugat, Fahmi Syakir merasa kecewa. Dia dan timnya akan mempelajari putusan untuk kemungkinan mengajukan banding. “Kemungkinan banding. Kami sangat kecewa harusnya hak masyarakat bisa diberikan tapi ternyata masih tertunda ini semua demi masyarakat,” tutur Fahmi usai persidangan. Penting dicatat, mengakses pantai publik adalah hak asasi dan harus terus diperjuangkan. Pengelolaan pantai di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia harus mengutamakan partisipasi aktif warga negara, bukan kepentingan segelintir orang.*** (Selamet Daroyni) 19
  • 22. Nama saya Jumiati (31), ketua dari Kelompok Perempuan Nelayan Muara Tanjung yang terletak di Desa Sei Nagalawan, Kecamatan Perbaungan, Kabupaten Serdang Bedagai, Provinsi Sumatera Utara. Sebagai seorang ibu rumah tangga dengan 2 (dua) putri dari suami (Sutrisno) yang berprofesi sebagai nelayan dan pengurus organisasi nelayan, saya mengawali tekad untuk lebih memahami dunia nelayan. Berdiri sejak tahun 2005, kelompok perempuan nelayan Muara Tanjung bergerak untuk memberdayakan perempuan nelayan di Desa Sei Nagalawan, satu-satunya desa pesisir di Kecamatan Perbaungan. Sudah lebih dari 7 tahun Muara Tanjung bergiat untuk memajukan dan menyejahterakan perempuan nelayan. Upaya yang ditempuh selama ini adalah dengan memperbanyak kegiatan yang ditujukan untuk memberikan pengetahuan tambahan sekaligus keterampilan ekonomis agar dapat menambah pendapatan keluarga. BERMULA SIMPAN-PINJAM Tepatnya pada tahun 2007, kelompok perempuan nelayan Muara Tanjung membentuk koperasi simpan-pinjam atau dalam istilah kelompok seringkali disebut dengan Credit Union (CU) Muara Tanjung. Nyatanya, pola simpan-pinjam ini menjadi solusi yang amat membantu anggota kelompok untuk terbebas dari tengkulak. Hal ini dikarenakan mereka dapat meminjam dan menabung dengan mudah tanpa jaminan dan dapat diangsur sesuai kesepakatan antara pengurus kelompok dengan peminjam. Tidak hanya itu, Credit Union yang dikelola oleh kelompok perempuan nelayan Muara Tanjung juga memberikan sisa hasil usaha (SHU) tiap tahunnya kepada anggota sesuai dengan transaksi yang dilakukan. Melihat manfaat yang dirasakan oleh perempuan-perempuan nelayan Desa Sei Nagalawan, layanan CU Muara Tanjung diperluas. Tidak hanya perempuan, melainkan juga nelayan yang notabene suami dari anggota kelompok perempuan nelayan Muara Tanjung. Dengan layanan CU Muara Tanjung, nelayan yang membutuhkan modal untuk perbaikan perahu, mesin, dan alat tangkap lainnya tidak mengalami kesulitan. Apalagi sampai harus terbelit hutang ke tengkulak. Tiap bulannya, CU Muara Tanjung mampu memutar dana sebesar Rp500.000 – Rp1.000.000 untuk membantu kebutuhan anggotanya. Meski demikian, manfaatnya sangat dirasakan oleh sekitar 30an anggota kelompok. Seperti dituturkan oleh Nurlia (30), “Semenjak adanya CU Muara Tanjung, perempuan nelayan di Desa Sei Nagalawan merasakan banyak manfaat. Kami mendapatkan pengetahuan dan keterampilan ekonomis yang banyak membantu kehidupan keluarga”. Kelompok Perempuan Nelayan Muara Tanjung, Sei Nagalawan: Perempuan- Perempuan Indonesia harus bergerak maju RUBRIK SETARA foto: Des Syafrizal/Oxfam. 20
  • 23. Untuk menumbuhkan rasa memiliki, sistem pembayaran pinjaman dan penarikan simpanan wajib maupun sukarela dilakukan secara kolektif oleh anggota secara bergiliran tiap harinya. Tak mengherankan, jika seluruh anggota kelompok merasa ikut memiliki dan terlibat dalam pengelolaan CU Muara Tanjung. Seiring perkembangannya, kelompok perempuan nelayan Muara Tanjung juga memiliki sawah seluas 3 rante (1 ha = 25 rante) yang dikelola secara kolektif oleh anggota dan hasilnya dibagi rata. Tidak hanya itu, kelompok perempuan nelayan Muara Tanjung juga melakukan pengolahan hasil tangkapan ikan menjadi kerupuk ikan, abon ikan, dan bahkan kerupuk jeruju (hasil olahan daun mangrove). TANTANGAN SEBAGAI PELUANG Diversifikasi unit usaha ekonomi yang dikembangkan oleh kelompok perempuan nelayan Muara Tanjung terus bertambah. Bersama dengan Sarekat Nelayan Sumatera Utara (SNSU), perempuan nelayan dan nelayan bahu-membahu mengelola ekosistem hutan mangrove untuk dijadikan sebagai kawasan belajar dan wisata. Inisiatif ini berjalan tanpa dukungan investasi pribadi, baik dari Kabupaten Serdang Bedagai maupun di luar kabupaten. Harapannya, pengelolaan hutan mangrove ini memberikan manfaat ekonomis (peningkatan penghasilan keluarga nelayan) dan keuntungan ekologis (terhindar dari abrasi, dan seterusnya). Tiap akhir pekan, seluruh anggota kelompok berjibaku menanam, membersihkan, dan merawat hutan mangrove. Selain itu, juga menyelenggarakan pendidikan kepemimpinan dan gender, serta manajemen keuangan keluarga nelayan. Berbekal dari beragam pendidikan itulah, kelompok perempuan nelayan Muara Tanjung ikut terlibat dalam diskusi mengenai perda pelarangan pukat harimau (trawl) di Sumatera Utara. Bahkan kami tidak segan- segan melibatkan diri dalam aksi massa di kantor DPRD Kabupaten Serdang Bedagai untuk mendesak disahkannya perda tersebut dan turut membantu terpenuhinya hak-hak perempuan nelayan yang suaminya menjadi korban tabrak kapal pukat harimau di laut. Apa yang dikerjakan oleh kelompok perempuan nelayan Muara Tanjung menuai buahnya. Mereka sering kali diundang aktif dalam berbagai pameran oleh instansi pemerintah, seperti Dinas Kelautan dan Perikanan; Dinas Kehutanan dan Perkebunan; Dinas Sosial, Tenaga Kerja, dan Koperasi Kabupaten Serdang Bedagai. Pemerintah Kabupaten Serdang Bedagai mengatakan, “Upaya yang dilakukan oleh kelompok perempuan nelayan Muara Tanjung dengan berbagai produk olahannya, seperti kerupuk ikan, abon ikan, dan kerupuk jeruju, mampu menjadi contoh pengembangan produk makanan dan minuman olahan bagi masyarakat Serdang Bedagai, khususnya kerupuk jeruju yang berbahan dasar daun mangrove”. Siapa yang menanam, maka ia akan memanennya.*** (Jumiati & Susan Herawati)
  • 24. Biodata Nama : Edo Kondologit Lahir : Sorong, Indonesia. 5 Agustus 1967 Penyanyi asal Papua Edo Kondologit prihatin melihat keadaan laut Indonesia yang kini sudah banyak berubah dibandingkan dahulu. Laut tercemar, gizi buruk, dan banyak pemegang modal yang menguasai sumber daya laut. Keprihatinan Edo Kondologit berdasarkan pengamatannya pada sejumlah fakta bahwa Negara yang mempunyai banyak sumber daya perikanan yang sangat luar biasa seperti Indonesia tapi nelayan Indonesia masih banyak yang hidup di garis kemiskinan. Hal tersebut membuat Indonesia seperti terasing di tanah dan lautnya sendiri. “Apa negara kita masih pantas disebut sebagai negara maritim? Melihat kompleksnya permasalahan yang dihadapi masyarakat pesisir dalam segala hal, misalnya kemiskinan yang masih dialami sampai saat ini,” ujar artis kelahiran Sorong, Papua ini. Dia berharap kekaguman dan kebanggaan kita atas kekayaan Indonesia tidak akan luntur dengan permasalahan yang sudah campur aduk. Segala unsur yang terlibat dalam kemajuan perairan, perikanan dan kelautan Indonesia harus mau saling bahu membahu. Terpenting adalah menegakkan konstitusi di tanah dan laut Indonesia, serta terus menyuarakan keadilan bagi nelayan Indonesia. Perlu digarisbawahi pentingnya menumbuhkan pemimpin baru yang mencintai laut Indonesia. Pemimpin yang bisa menjamin perlindungan bagi seluruh rakyat Indonesia. “Kita yang sudah tua, pikiran, dan hati nurani sudah lelah mengalami problematika bangsa. Kaum muda harus memulai perubahan dan membenahi sehingga bisa membawa hal positif untuk Negara kita,” tutup Edo.*** (Susan Herawati); Jalesveva Jayamahe! RUBRIK TOKOH 22
  • 25. TEMU AKBAR NELAYAN INDONESIA DAN PERTEMUAN NASIONAL KIARA 2013 Untuk kali kedua, nelayan tradisional Indonesia menggelar Temu Akbar Nelayan Indonesia. Kegiatan yang mengusung tema “Tegakkan Konstitusi, Sejahterakan Nelayan!” ini digelar di Jakarta pada tanggal 15-17 Januari 2013 dan melibatkan 200 perwakilan nelayan dari 20 Kabupaten/Kota di Indonesia. Ajang konsolidasi strategis nelayan ini juga diikuti oleh kalangan Lembaga Swadaya Masyarakat, akademisi, politisi, birokrat, mahasiswa, dan media massa. Temu Akbar Nelayan Indonesia diawali dengan sedekah laut yang dilaksanakan di Sekretariat KIARA. Pada hari kedua, bertempat di Gedung Joeang 45, agenda dimulai dengan Orasi Kebangsaan “Tegakkan Konstitusi, Sejahterakan Nelayan” oleh Prof. Dr. Sri Edi Swasono (Guru Besar FE UI) dilanjutkan dengan testimoni nelayan dan perempuan nelayan, baik perikanan tangkap maupun budidaya. Sesi selanjutnya Dialog Nasional bersama Bapak Ir. H. Pramono Anung Wibowo, MM. (Wakil Ketua DPR RI), Bapak Ir. E. Herman Khoirun, M.Si. (Wakil Ketua Komisi 4 DPR RI), Ibu Dr. Ir. Sulikanti Agusni, M.Sc (Deputi Bidang PUG Bidang Ekonomi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak), Bapak M. Riza Damanik (Sekretaris Jenderal KIARA) dengan pemandu acara Bapak Agus Haryadi (Penyiar TVRI). Selanjutnya diadakan diskusi pendalaman melalui 4 kelompok (perikanan tangkap, perikanan budidaya, garam, dan perempuan) yang dibagi dan diakhiri dengan diskusi penyusunan Deklarasi Kemandirian dan Kedaulatan Nelayan yang berjudul “Negara Berdaulat, Nelayan Sejahtera”. Di hari ketiga, agenda kunjungan ke lembaga negara (eksekutif dan legislatif) sempat mengalami hambatan akibat hujan sejak malam hari yang berdampak banjir besar di tanggal 17 Januari 2013. Agenda kunjungan ke Istana Negara untuk menyerahkan dokumen deklarasi nelayan tidak dapat dilakukan akibat banjir yang menggenangi kawasan sekitarnya, sehingga peserta bersepakat membatalkan kunjungan tersebut. Menjelang siang hari, jalanan kota Jakarta mulai bisa dilalui. Dari 4 instansi terkait yang bersedia menerima dan berdialoh dengan peserta Temu Akbar Nelayan Indonesia, Kementerian Negara Lingkungan Hidup dan Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan membatalkan pertemuan karena akses dan kantor terimbas banjir. Atas kondisi itulah, nelayan dan perempuan nelayan hanya bisa mendatangi Kementerian Kelautan dan Perikanan dan Komisi IV DPR RI. Dari rangkaian kegiatan Temu Akbar Nelayan Indonesia 2013, telah menghasilkan banyak hal antara lain: pertama, terhimpun pemikiran lintas profesi berupa masukan terhadap Negara guna menegakkan konstitusi untuk menyejahterakan nelayan. Kedua, terhimpun resolusi penegakan konstitusi yang bernas AGENDA KEGIATAN 23
  • 26. dan mampu dioperasionalisasikan dalam rangka keluar dari krisis multidimensi yang dialami oleh nelayan tradisional Indonesia; dan ketiga, telah terjadi dialog konstruktif, baik dengan eksekutif maupun legislatif, guna mempercepat proses penegakan konstitusi dan penyejahteraan nelayan tradisional Indonesia. Malam penutupan kegiatan Temu Akbar Nelayan Indonesia 2013, para peserta dihibur dengan pagelaran malam seni bahari berupa musik dan pentas teater berjudul “Samudera Masih Biru” yang dilakonkan oleh KafHa Universitas Paramadina. Dalam malam penutupan ini, KIARA juga memberikan Penghargaan Keadilan Perikanan kepada 4 orang anak bangsa yang berjasa atas dedikasinya memperjuangkan pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan yang adil. Penghargaan ini di berikan kepada Bapak Dr. Alan Koropitan (akademisi), Ibu Habibah (perempuan nelayan), Bapak Rustam (nelayan) dan Bapak Ngogesa Sitepu SH (Bupati Langkat). Sedangkan Pertemuan Nasional Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) ke-5 yang dihadiri oleh anggotanya diselenggarakan pada tanggal 18 Januari 2013 di Sekretariat Nasional KIARA. Pertemuan tersebut menghasilkan prioritas program KIARA dalam 2 tahun ke depan. Adapun pengurus yang terpilih untuk periode 2013- 2015 adalah sebagai berikut: Arman Manila, M. Riza Damanik, Dr. Rignolda Jamaludin, Ida Ronauli, dan Muhammad Yamin (Dewan Presidium KIARA), serta Abdul Halim sebagai Sekretaris Jenderal KIARA periode 2013-2015. Kami, perwakilan nelayan dan perempuan nelayan dari 13 propinsi telah berkumpul di Jakarta sejak 15–17 Januari 2013, mendiskusikan nasib sedikitnya 60 juta rakyat Indonesia yang menggantungkan hidup secara langsung dan tidak langsung dari sektor kelautan dan perikanan. Kami menjadi saksi bagaimana saudara- saudara kami meninggal dan kapalnya tengelam di tengah laut karena cuaca buruk, juga mengalami kriminalisasi oleh perusahaan dan aparat. Garam-garam menumpuk di gudang, karena pemerintah lebih suka mengimpor dibanding membeli garam hasil keringat petani dengan harga layak. Ibu-ibu nelayan terjerat utang karena penghasilan keluarga nelayan menurun dari waktu ke waktu. Kami menghadapi tantangan pencurian ikan, impor ikan dan garam, nelayan-nelayan asing, tingginya harga bahan bakar, minimnya akes permodalan, pencemaran laut dan cuaca ekstrim saat melaut. Namun tantangan paling berat justru saat berhadapan dengan produk-produk kebijakan Negara yang tidak berpihak dan memiskinkan nelayan. Mulai dari konversi hutan bakau dan reklamasi kawasan pesisir, maraknya industri pariwisata yang menggusur pemukiman dan wilayah tangkap, penggunaan alat produksi yang merusak dan maraknya pertambangan yang merusak ekosistem laut, yang membuat hasil tangkapan berkurang drastis. Kami tak hanya bertanggung jawab Deklarasi Kemandirian dan Kedaulatan Nelayan 24
  • 27. memenuhi kebutuhan keluarga, kami juga mengemban tugas Negara menyediakan sumber protein dan pemenuhan kedaulatan pangan bangsa. Kami juga tampil di depan menjadi pelindung tanah air, saat berhadapan dengan para pencuri ikan asing dan kejahatan lintas negara (transnational crime). Kami telah membuktikan bahwa tantangan-tantangan di atas tak membuat kami diam. Kami akan terus berkarya, menggunakan kearifan lokal, memulihkan ekosistem laut dan pesisir yang telah rusak, mengembangkan ekonomi alternatif, membangun organisasi di kampung dan menguatkan solidaritas antar nelayan. Kami percaya, tantangan di atas tak hanya tanggung jawab nelayan dan perempuan nelayan. Pengurus Negara harus mengambil peran dan tanggung jawab lebih besar memastikan tegaknya Konstitusi yang memandatkan perlindungan serta memastikan kesejahteraan nelayan dan perempuan nelayan. Salah satunya dengan memastikan adanya instrumen politik untuk perlindungan nelayan. NEGARA BERDAULAT, NELAYAN SEJAHTERA 25 Oleh karena itu, Kami - nelayan dan perempuan nelayan Indonesia: 1. Bertekad melestarikan sumber daya kelautan Indonesia untuk generasi hari ini dan masa depan. 2. Berperan aktif menjaga kedaulatan Negara dari perampokan ikan dan kejahatan lintas negara 3. Aktif mendorong Negara menegakkan Konstitusi guna memastikan kemandirian bangsa, kedulatan pangan, dan pemenuhan hak-hak konstitusi nelayan. 4. Menyerukan kepada seluruh nelayan Indonesia menggunakan hak politiknya secara sungguh-sungguh guna memastikan para pimpinan di tingkat daerah, propinsi hingga nasional menjadikan perlindungan nelayan sebagai agenda utama. Temu Akbar Nelayan Indonesia, Gedung Joeang ‘45 Jakarta 15 – 17 Januari 2013
  • 28. KONSULTASI HUKUM KELAUTAN DAN PERIKANAN Dipandu oleh: Ahmad Marthin Hadiwinata, SH (Divisi Advokasi Hukum dan Kebijakan) PERIZINAN MENANGKAP IKAN BAGI NELAYAN TRADISIONAL Pertanyaan Apakah setiap nelayan kecil atau nelayan tradisional diwajibkan untuk memiliki izin agar bisa melakukan kegiatan usaha tangkap? Jawab Dalam UU Perikanan yang bersumber dari UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan dan UU No. 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (UU Perikanan) kedudukan nelayan kecil mendapatkan kekhususan mengenai perizinan. UU No. 45 Tahun 2009 tentang perubahan perubahan terhadap Undang- Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan mengubah aspek perizinan untuk lebih berpihak kepada nelayan tradisional. Berdasarkan UU Perikanan yang diatur dalam membagi nelayan menjadi dua yaitu Nelayan dan Nelayan Kecil. Pasal 1 angka 10 dan angka 11 UU UU No. 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan: 10. Nelayan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan. RUBRIK HUKUM Redaksi Kabar Bahari membuka forum diskusi dan tanya jawab tentang hukum kelautan dan perikanan. Pertanyaan atau topik diskusi dapat disampaikan ke alamat Redaksi Kabar Bahari, Jl. Lengkeng Blok J No. 5, Perumahan Kalibata Indah, Jakarta 12750, atau email kabarbahari.indonesia@gmail.com Foto: http://3.bp.blogspot.com/-6RtMkt49gxM/UKqt9H7FQ2I/ AAAAAAAAAAc/eTpy1Gioq1k/s1600/hammer1.jpg 26
  • 29. 11. Nelayan Kecil adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang menggunakan kapal perikanan berukuran paling besar 5 (lima) gross ton (GT). Lingkup perizinan dalam Usaha Perikanan Tangkap meliputi: 1. Surat Izin Usaha Perikanan, yang selanjutnya disebut SIUP, adalah izin tertulis yang harus dimiliki perusahaan perikanan untuk melakukan usaha perikanan dengan menggunakan sarana produksi yang tercantum dalam izin tersebut. Pasal 1 angka 16 UU No. 45 Tahun 2009 2. Surat Izin Penangkapan Ikan, yang selanjutnya disebut SIPI, adalah izin tertulis yang harus dimiliki setiap kapal perikanan untuk melakukan penangkapan ikan yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari SIUP. Pasal 1 angka 17 UU No. 45 Tahun 2009 3. Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan, yang selanjutnya disebut SIKPI, adalah izin tertulis yang harus dimiliki setiap kapal perikanan untuk melakukan pengangkutan ikan. Pasal 1 angka 18 UU No. 45 Tahun 2009 Nelayan tradisional tidak diwajibkan untuk memiliki SIUP, SIPI dan SIKPI berdasarkan UU Perikanan. Dihapuskannya kewajiban untuk memiliki perizinan-perizinan tersebut diatur dalam Pasal 26 ayat (2) UU No. 31 Tahun 2004, Pasal 27 ayat (5) UU No. 45 Tahun 2009 dan Pasal 28 ayat (4) UU No. 45 Tahun 2009. Pasal 26 ayat (2) UU No. 31 Tahun 2004 (2) Kewajiban memiliki SIUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak berlaku bagi nelayan kecil dan/atau pembudi daya ikan kecil. Pasal 27 ayat (5) UU No. 45 Tahun 2009 (5) Kewajiban memiliki SIPI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau membawa SIPI asli sebagaimana dimaksud pada ayat (3), tidak berlaku bagi nelayan kecil. Pasal 28 ayat (4) UU No. 45 Tahun 2009 (4) Kewajiban memiliki SIKPI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau membawa SIKPI asli sebagaimana dimaksud pada ayat (3), tidak berlaku bagi nelayan kecil dan/atau pembudi daya- ikan kecil. Nelayan tradisional juga dibebaskan dari adanya pungutan perikanan yaitu pungutan yang dibebankan kepada setiap orang yang memperoleh manfaat langsung dari sumber daya ikan dan lingkungannya di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia. Pungutan perikanan dipergunakan untuk pembangunan perikanan serta kegiatan pelestarian sumber daya ikan dan lingkungannya. Hal tersebut diatur dalam Pasal 48 ayat (2) UU No. 45 Tahun 2009 foto: http://3.bp.blogspot.com/-2oOn6f8GSKk/T0oqI-p7YZI/AAAAAAAAAhQ/T_ L7BuqDtWc/s1600/Timbangan+keadilan.jpg 27
  • 30. Pasal 48 ayat (2) UU No. 45 Tahun 2009 (2) Pungutan perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dikenakan bagi nelayan kecil dan pembudi daya- ikan kecil. Kekhususan nelayan tradisional adalah memiliki kebebasan untuk bebas menangkap ikan di seluruh wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia. Pembebasan untuk menangkap ikan kepada nelayan tradisional diatur dalam Pasal 61 UU No. 31 Tahun 2004 Pasal 61 UU No. 31 Tahun 2004 (1) Nelayan kecil bebas menangkap ikan di seluruh wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia. Kewajiban Nelayan tradisional hanyalah mendaftarkan diri, usaha dan egiatannya kepada instansi perikanan setempat tanpa dikenakan biaya. Pendaftaran tersebut dilakukan untuk keperluan pencatatan statistik serta pemberdayaan nelayan kecil dan pembudi daya ikan kecil. Pasal 61 ayat (5) UU No. 31 Tahun 2004 (5) Nelayan kecil dan pembudi daya ikan kecil harus mendaftarkan diri, usaha, dan kegiatannya kepada instansi perikanan setempat, tanpa dikenakan biaya, yang dilakukan untuk keperluan statistik serta pemberdayaan nelayan kecil dan pembudi daya ikan kecil. Aturan teknis mengenai pembebasan perizinan tersebut diperjelas dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 30 tahun 2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap. Nelayan kecil dibebaskan untuk tidak memiliki SIPI dan SIKPI tetapi diwajibkan dengan adanya Bukti Pencatatan Kapal yang berlaku selama satu tahun. Pasal 12 ayat (2) Permen KP Usaha Perikanan Tangkap (2) Kewajiban memiliki SIPI dan SIKPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf b dan huruf c, dikecualikan bagi nelayan kecil dan kewajiban tersebut diganti dengan Bukti Pencatatan Kapal. Pasal 13 ayat (2) Permen KP Usaha Perikanan Tangkap (2) SIPI, SIKPI, dan Bukti Pencatatan Kapal berlaku selama 1 (satu) tahun. Kewenangan penerbitan Bukti Pencatatan Kapal untuk nelayan kecil terletak pada Bupati/Walikota. Persyaratan untuk mendapatkan Bukti Pencatatan Kapal diajukan kepada kepala dinas perikanan atau kelautan tingkat kabupaten/kota dengan melampirkan persyaratan-persayaratan. kepala dinas wajib mengeluarkan Bukti Pencatatan Kapal 2 (dua) hari kerja setelah menerima berkas-berkas pengajuan Bukti Pencatatan Kapal. Keseluruhan proses permohonan Bukti Pencatatan Kapal tidak dipungut biaya. Persyaratan-persyaratan Bukti Pencatatan Kapal antara lain: a. fotokopi KTP nelayan tradisional dengan menunjukkan aslinya; b. spesifikasi teknis alat penangkapan ikan; c. surat pernyataan bermeterai cukup yang menyatakan: 1) kapal yang digunakan hanya 1 (satu) unit dengan ukuran paling besar 5 (lima) GT yang dibuktikan dengan surat tukang atau surat galangan; dan 2) kesanggupan untuk melaporkan hasil tangkapan ikan. Pasal 14 ayat (4) huruf b Permen KP Usaha Perikanan Tangkap (4) Bupati/walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang menerbitkan: b. Bukti Pencatatan Kapal untuk nelayan kecil yang menggunakan 1 (satu) kapal berukuran paling besar 5 (lima) GT untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Pasal 29 Permen KP Usaha Perikanan Tangkap (1) Nelayan kecil untuk memiliki Bukti Pencatatan Kapal harus mengajukan permohonan kepada kepala dinas kabupaten/kota dengan melampirkan persyaratan: 28
  • 31. a. fotokopi KTP dengan menunjukkan aslinya; b. spesifikasi teknis alat penangkapan ikan; dan c. surat pernyataan bermeterai cukup yang menyatakan: 1) kapal yang digunakan hanya 1 (satu) unit dengan ukuran paling besar 5 (lima) GT yang dibuktikan dengan surat tukang atau surat galangan; dan 2) kesanggupan untuk melaporkan hasil tangkapan ikan. (2) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepala dinas kabupaten/ kota paling lama 2 (dua) hari kerja menerbitkan Bukti Pencatatan Kapal. (3) Penerbitan Bukti Pencatatan Kapal tidak dipungut biaya. (4) Bentuk dan format Bukti Pencatatan Kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (2), sebagaimana tercantum dalam Lampiran XV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Referensi: - Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan - Undang-Undang No. 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan - Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No, 30 Tahun 2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia 29
  • 32. “Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) memperkirakan luasan hutan mangrove di Indonesia menyusut dengan sangat drastis dari 4,25 juta ha pada 1982 menjadi kurang dari 1,9 juta ha tahun ini. Rusaknya hutan pencegah banjir tersebut berakibat pada terputusnya rantai penghidupan dan obat-obatan masyarakat pesisir. Selain itu, musnahnya produktivitas perikanan dan hilangnya habitat pesisir lainnya serta kian meningkatkan kerentanan masyarakat pesisir atas badai dan gelombang tinggi” foto: Des Syafrizal/Oxfam. 30
  • 33. Hutan mangrove adalah hutan yang tumbuh di daerah pantai, biasanya terdapat di daearah teluk dan di muara sungai yang dicirikan oleh: 1) tidak terpengaruh iklim; 2) dipengaruhi pasang surut; 3) tanah tergenang air laut; 4) tanah rendah pantai; 5) hutan tidak mempunyai struktur tajuk; 6) jenis-jenis pohonnya biasanya terdiri dari api-api (Avicenia sp.), pedada (Sonneratia sp.), bakau (Rhizophora sp.), lacang (Bruguiera sp.), nyirih (Xylocarpus sp.), nipah (Nypa sp.) dll. Hutan mangrove dibedakan dengan hutan pantai dan hutan rawa. Hutan pantai adalah hutan yang tumbuh di sepanjang pantai, tanahnya kering, tidak pernah mengalami genangan air laut ataupun air tawar. Ekosistem hutan pantai dapat terdapat di sepanjang pantai yang curam di atas garis pasang air laut. Kawasan ekosistem hutan pantai ini tanahnya berpasir dan mungkin berbatu-batu. Sedangkan hutan rawa adalah hutan yang tumbuh dalam kawasan yang selalu tergenang air tawar. Oleh karena itu, hutan rawa terdapat di daerah yang landai, biasanya terletak di belakang hutan payau FUNGSI MANGROVE 1. Melindungi pantai dari abrasi gelombang laut 2. Mencegah terjadinya intrusi air laut 3. Sumber nutrisi dan habitat bagi biota laut 4. Habitat satwa liar 5. Tempat berbiaknya berbagai biota laut (nursery ground) 6. Penahan angin laut 7. Penyerap limbah 8. Bahan baku makanan, obat- obatan, alcohol, kosmetik, penyamak kulit, zar warna dan lain-lain. 9. Tempat pembesaran atau mencari makan (feeding ground) dari berbagai ikan atau hewan air lainnya seperti kepiting, moluska dan invertebrata. 10. Tempat berlindung dan berbiak berbagai jenis burung seperti Kuntul (Egretta sp), Pecuk (palacrocorax sp), Belibis (Dendrocygna cineres). FUNGSI HUTAN MANGROVE RUBRIK PERNAK-PERNIK 31
  • 34. Resep NASI GORENG IKAN ASIN RUBRIK DAPUR 32 foto: http://farm2.static.flickr.com/1439/1087211489_d0fcbdb30b.jpg
  • 35. Bahan yang Dibutuhkan: • 250 gr nasi putih (2 piring) • 100 gr ikan jambal roti, potong dadu, kemudian goreng • 5 butir bawang merah, iris halus • 1 batang daun bawang, iris halus • 3 buah cabai hijau, iris serong • 2 cabai merah, iris serong • 2 butir telur, kocok lepas • 1 papan petai, iris panjang • 1 sdm kecap ikan • 1/4 sdt merica bubuk • garam secukupnya • 2 sdm minyak untuk menumis Cara Memasak: 1. Panaskan minyak, kemudian tumis bawang merah sampai harum 2. Masukkan daun bawang, cabai hijau, dan cabai merah, aduk rata. 3. Sisihkan tumisan cabai. 4. Pecahkan telur dalam wajan dan buat orak – arik, Lalu masak bersama tumisan cabai, 5. Masukkan petai dan nasi 6. Tambahkan kecap ikan, merica bubuk, dan garam, aduk rata ( cicipi jika perlu ) 7. Masukkan ikan asin, dan masak sampai matang 8. Angkat dan sajikan. Tentunya akan lebih enak jika disajikan dengan kerupuk. 33
  • 36. t Nasi Goreng Ikan Asin akan lebih enak jika disajikan dengan Kerupuk Jeruju dari daun mangrove hasil kerja Kelompok Perempuan Nelayan Muara Tanjung, Desa Sei Nagalawan, Kecamatan Perbaungan, Kabupaten Serdang Bedagai, Provinsi Sumatera Utara (Hubungi: Ibu Jumiati di +62 812 6367 6561) Kerupuk Jeruju
  • 37. GALERI KIARA Paket buku “Menghidupkan Konstitusi Kepulauan” @Rp100.000 Buku “Indonesia Dijajah Jepang” @Rp40.000 Untuk Pemesanan hubungi: susanherawati84@gmail.com