KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT MELAYU PESISIR DAN NELAYANcindyanggrainy
Kearifan lokal masyarakat melayu pesisir dan nelayan diangkat menjadi suatu pembelajaran dengan cara bagaimana kita menyelamatkan lingkugan dengan cara-cara sederhana dan berbasis pengetahuan lokal setempat (masyarakat melayu).
Strategi Pemanfaatan dan Pengelolaan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Secara...Abida Muttaqiena
Pemanfaatan SDKP berkelanjutan pada prinsipnya adalah perpaduan antara pengelolaan
sumberdaya dan pemanfaatan dengan tetap menjaga kelestarian sumberdaya dalam
jangka panjang untuk kepentingan generasi mendatang. Teknologi penangkapan ikan
bukan hanya ditujukan untuk meningkatkan hasil tangkapan, tetapi juga memperbaiki
proses penangkapan untuk meminimumkan dampak penangkapan ikan terhadap
lingkungan perairan dan biodiversitinya.
KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT MELAYU PESISIR DAN NELAYANcindyanggrainy
Kearifan lokal masyarakat melayu pesisir dan nelayan diangkat menjadi suatu pembelajaran dengan cara bagaimana kita menyelamatkan lingkugan dengan cara-cara sederhana dan berbasis pengetahuan lokal setempat (masyarakat melayu).
Strategi Pemanfaatan dan Pengelolaan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Secara...Abida Muttaqiena
Pemanfaatan SDKP berkelanjutan pada prinsipnya adalah perpaduan antara pengelolaan
sumberdaya dan pemanfaatan dengan tetap menjaga kelestarian sumberdaya dalam
jangka panjang untuk kepentingan generasi mendatang. Teknologi penangkapan ikan
bukan hanya ditujukan untuk meningkatkan hasil tangkapan, tetapi juga memperbaiki
proses penangkapan untuk meminimumkan dampak penangkapan ikan terhadap
lingkungan perairan dan biodiversitinya.
Pendayagunaan dan Optimalisasi Potensi Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Dala...Himaka Unsyiah
Nama : Muhammad Adhe Putra
Tempat/Tanggal Lahir : Medan, 12 Januari 1994
Email : adheputra38@gmail.com
Asal Universitas : Institut Pertanian Bogor
Judul Esai : Pendayagunaan dan Optimalisasi Potensi Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Dalam Menghadapi ASEAN Economic Community Untuk Pembangungan Ekonomi Nasional
Marine and Coastal Protected Areas (MCPAs) : (a chance to save indonesian mar...Mujiyanto -
Perikanan dan usaha dalam bidang ekonomi telah dilaksanakan dan terintegrasi pada sumber daya pantai dan laut. Usaha-usaha seperti itu dapat berakibat pada kondisi kehidupan masyarakat pantai, keanekaragaman hayati, dan beberapa fungsi ekosistem di laut. Strategi konservasi terhadap sumber daya di dalam laut saat ini sedang dibutuhkan. Salah satu strategi yang ditawarkan adalah menetapkan Marine Coastal Protected Areas (MCPAs). MCPAs dapat dibentuk dengan mengikuti beberapa pertimbangan, sebagai contoh: persetujuan dari masyarakat dan para pemanfaat sumberdaya lain (stakeholders), yang secara langsung atau secara tidak langsung menggunakan wilayah pantai, kondisi dan kepekaan beberapa jenis terhadap adanya perubahan-perubahan lingkungan, dan yang paling penting adalah usaha untuk memonitor dan mengevaluasi perlindungan laut, melaksanakan program secara terus menerus. Strategi melalui manajemen MCPAs diharapkan bisa untuk menyelamatkan dan melindungi ketersediaan sumber daya pantai dan laut, khususnya pada sektor perikanan, dengan memerhatikan rendahnya ekonomi nelayan tradisional di Indonesia.
Bangga! Papua Barat Menjadi Provinsi Konservasi Pertama Di Dunia dan Indonesia AlanaAlexandria1
Provinsi Papua Barat di Indonesia pada Juni 2019 dinyatakan sebagai Provinsi Konservasi, yang pertama bagi Indonesia dan seluruh dunia. Penunjukan baru ini penting baik secara simbolis maupun dalam memastikan kesehatan masa depan ekosistem yang menakjubkan di provinsi ini. Selain hutan hujannya, Papua Barat adalah pusat keanekaragaman hayati laut dunia, memiliki lebih banyak spesies daripada tempat lain di planet ini.
Kajian struktur komunitas juvenil ikan di perairan ekosistem mangrove bagian ...Mujiyanto -
Fungsi ekologis dari ekosistem mangrove yaitu sebagai tempat pemijahan (nursery ground), tempat mencari makan (feeding ground), dan tempat perlindungan (shelter) beberapa organisme perairan, rimata, serangga, burung, reptil dan amphibi. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji struktur komunitas juvenil ikan di perairan ekosistem mangrove bagian Barat Kepulauan Karimunjawa, Kabupaten Jepara. Penelitian dilaksanakan selama bulan Juni hingga bulan Desember 2012, sampel diperoleh untuk mewakili sampel pada musim Timur, musim Peralihan Timur ke Barat dan pada musim Barat. Juvenil ikan di perairan ekosistem mangrove, dikoleksi dengan jaring dengan ukuran mata jaring 500 µ, jarring lempar ukuran mata jaring 2 inchi, alat pancing serta serok (seser) ikan. Komposisi jenis mangrove yang ditemukan di ekosistem mangrove Pulau Parang terdiri dari Bruguiera cylindrica, Bruguiera gymnorrhiza, Ceriops tagal, Lumnitzera racemosa, Rhizophora mucronata, Scyphiphora hydrophyllacea, Sonneratia alba dan Xylocarpus moluccensis. Komposisi jenis juvenil ikan di perairan ekosistem mangrove yang dikoleksi selama tiga musim berturut-turut berjumlah 14 jenis, yang tergolong ke dalam 11 famili dan 13 genus. Nilai indeks keanekaragaman jenis berkisar antara 0,056 – 1,557 pada kategori sedang, keseragaman juvenil ikan berkisar antara 0,035 – 0,926 berada dalam kondisi yang stabil dan dominansi berkisar antara 0,236 – 0,985 artinya terdapat beberapa jenis juvenil ikan yang mendominasi di stasiun penelitian.
Blue Economy merupakan konsep yang dapat dijadikan acuan untuk pembangunan sektor perikanan budidaya di Provinsi Kepulauan Riau. Presentasi ini dibuat oleh Dr. Syamsul Akbar dan Romi Novriadi, M.Sc sebagai insan perikanan yang ingin mendedikasikan hidup untuk mendukung produksi budidaya perikanan yang berkelanjutan
Pendayagunaan dan Optimalisasi Potensi Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Dala...Himaka Unsyiah
Nama : Muhammad Adhe Putra
Tempat/Tanggal Lahir : Medan, 12 Januari 1994
Email : adheputra38@gmail.com
Asal Universitas : Institut Pertanian Bogor
Judul Esai : Pendayagunaan dan Optimalisasi Potensi Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Dalam Menghadapi ASEAN Economic Community Untuk Pembangungan Ekonomi Nasional
Marine and Coastal Protected Areas (MCPAs) : (a chance to save indonesian mar...Mujiyanto -
Perikanan dan usaha dalam bidang ekonomi telah dilaksanakan dan terintegrasi pada sumber daya pantai dan laut. Usaha-usaha seperti itu dapat berakibat pada kondisi kehidupan masyarakat pantai, keanekaragaman hayati, dan beberapa fungsi ekosistem di laut. Strategi konservasi terhadap sumber daya di dalam laut saat ini sedang dibutuhkan. Salah satu strategi yang ditawarkan adalah menetapkan Marine Coastal Protected Areas (MCPAs). MCPAs dapat dibentuk dengan mengikuti beberapa pertimbangan, sebagai contoh: persetujuan dari masyarakat dan para pemanfaat sumberdaya lain (stakeholders), yang secara langsung atau secara tidak langsung menggunakan wilayah pantai, kondisi dan kepekaan beberapa jenis terhadap adanya perubahan-perubahan lingkungan, dan yang paling penting adalah usaha untuk memonitor dan mengevaluasi perlindungan laut, melaksanakan program secara terus menerus. Strategi melalui manajemen MCPAs diharapkan bisa untuk menyelamatkan dan melindungi ketersediaan sumber daya pantai dan laut, khususnya pada sektor perikanan, dengan memerhatikan rendahnya ekonomi nelayan tradisional di Indonesia.
Bangga! Papua Barat Menjadi Provinsi Konservasi Pertama Di Dunia dan Indonesia AlanaAlexandria1
Provinsi Papua Barat di Indonesia pada Juni 2019 dinyatakan sebagai Provinsi Konservasi, yang pertama bagi Indonesia dan seluruh dunia. Penunjukan baru ini penting baik secara simbolis maupun dalam memastikan kesehatan masa depan ekosistem yang menakjubkan di provinsi ini. Selain hutan hujannya, Papua Barat adalah pusat keanekaragaman hayati laut dunia, memiliki lebih banyak spesies daripada tempat lain di planet ini.
Kajian struktur komunitas juvenil ikan di perairan ekosistem mangrove bagian ...Mujiyanto -
Fungsi ekologis dari ekosistem mangrove yaitu sebagai tempat pemijahan (nursery ground), tempat mencari makan (feeding ground), dan tempat perlindungan (shelter) beberapa organisme perairan, rimata, serangga, burung, reptil dan amphibi. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji struktur komunitas juvenil ikan di perairan ekosistem mangrove bagian Barat Kepulauan Karimunjawa, Kabupaten Jepara. Penelitian dilaksanakan selama bulan Juni hingga bulan Desember 2012, sampel diperoleh untuk mewakili sampel pada musim Timur, musim Peralihan Timur ke Barat dan pada musim Barat. Juvenil ikan di perairan ekosistem mangrove, dikoleksi dengan jaring dengan ukuran mata jaring 500 µ, jarring lempar ukuran mata jaring 2 inchi, alat pancing serta serok (seser) ikan. Komposisi jenis mangrove yang ditemukan di ekosistem mangrove Pulau Parang terdiri dari Bruguiera cylindrica, Bruguiera gymnorrhiza, Ceriops tagal, Lumnitzera racemosa, Rhizophora mucronata, Scyphiphora hydrophyllacea, Sonneratia alba dan Xylocarpus moluccensis. Komposisi jenis juvenil ikan di perairan ekosistem mangrove yang dikoleksi selama tiga musim berturut-turut berjumlah 14 jenis, yang tergolong ke dalam 11 famili dan 13 genus. Nilai indeks keanekaragaman jenis berkisar antara 0,056 – 1,557 pada kategori sedang, keseragaman juvenil ikan berkisar antara 0,035 – 0,926 berada dalam kondisi yang stabil dan dominansi berkisar antara 0,236 – 0,985 artinya terdapat beberapa jenis juvenil ikan yang mendominasi di stasiun penelitian.
Blue Economy merupakan konsep yang dapat dijadikan acuan untuk pembangunan sektor perikanan budidaya di Provinsi Kepulauan Riau. Presentasi ini dibuat oleh Dr. Syamsul Akbar dan Romi Novriadi, M.Sc sebagai insan perikanan yang ingin mendedikasikan hidup untuk mendukung produksi budidaya perikanan yang berkelanjutan
Hutan Mangrove Batu Ampar: Keniscayaan Pengelolaan Kolaboratif. Revitalisasi KKMD dengan pendekatan CBFM sebagai “pintu masuk” dijalankannya kebijakan pengelolaan hutan mangrove secara kolaboratif.
ANALISIS PARAMETER FISIKA-KIMIA UNTUK KEPENTINGAN REHABILITASI EKOSISTEM MANG...Asramid Yasin
Jurnal Green Growth dan Manajemen Lingkungan
http://journal.unj.ac.id/unj/index.php/jgg/article/view/9048
Abstrak: Di beberapa tempat telah dilakukan rehabilitasi terhadap kawasan mangrove yang telah rusak namun pada kenyataannya tidak semua kegiatan rehabilitasi mangrove berhasil dilakukan. Penelitian ini bertujuan mengetahui kondisi parameter lingkungan perairan pantai Bungkutoko Kecamatan Abeli sesuai untuk kegiatan rehabilitasi ekosistem mangrove dan menentukan strategi rehabilitasi yang tepat untuk diterapkan di perairan pantai Bungkutoko Kecamatan Abeli. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juni-Juli 2009 bertempat di pesisir pulau Bungkutoko Kecamatan Abeli Kabupaten Kendari Sulawesi Tenggara. Data yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisis secara deskriptif. Dari hasil pengukuran beberapa parameter fisika-kimia di pesisir pulau Bungkutoko Kecamatan Abeli Kota Kendari yang diperoleh sesuai untuk dilakukan kegiatan rehabilitasi ekosistem mangrove dengan memperhatikan waktu penanaman yang tepat yaitu ketika musim berbuah mangrove dan musim teduh dan menggunakan teknik penanaman secara langsung menggunakan propagul dan penanaman menggunakan anakan (bibit dalam polybag).
Prospek dan kendala pembangunan wilayah pesisir berbasis pembudidayaan mangro...
Kabar bahari
1. EDISI JANUARI-FEBRUARI 2013
RUBRIK KEMUDI
RUBRIK TOKOH EDO KONDOLOGIT
TEMU AKBAR NELAYAN INDONESIA DAN PERTEMUAN NASIONAL KIARA 2013AGENDA kEGIATAN
FUNGSI MANGROVERUBRIK PERNAK-PERNIK
RESEP NASI GORENG IKAN ASINRUBRIK DAPUR
2. Pertama, pentingnya Negara mengedepankan
prinsip-prinsip keberlanjutan sumber daya ikan
tanpa hutang, dengan tetap memprioritaskan pada
pemenuhan kebutuhan pangan nasional secara
berdikari.
Kedua, pentingnya Negara memberikan dan
memastikan terpenuhinya hak-hak nelayan sebagai
warga Negara maupun hak-hak istimewa mereka
sebagai nelayan tradisional, serta memberikan
perlindungan maksimal atas wilayan perairan
tradisionalnya.
Ketiga, pentingnya Negara memahami kegiatan
perikanan sebagai sumber pangan, pengembangan
budaya nasional, dan sumber ekonomi kerakyatan.
Keempat, pentingnya Negara memahami
kegiatan perikanan secara utuh, dengan memaknai
keterlibatan perempuan nelayan di dalam kegiatan
perikanan sebagai subjek yang teramat penting.
W: www.kiara.or.id | E: kabarbahari.indonesia@gmail.com
F: Kiara | T: @sahabatkiara
3. PENGANTAR REDAKSI
D A F T A R I S I
REDAKSI
KABAR BAHARI adalah
Buletin dua bulanan terbitan
Koalisi Rakyat untuk Keadilan
Perikanan (KIARA) yang
mengangkat dinamika
isu kenelayanan dalam
pengelolaan sumber daya
kelautan dan perikanan.
DEWAN REDAKSI
Pemimpin Redaksi:
Abdul Halim
Redaktur Pelaksana:
Selamet Daroyni
Sidang Redaksi:
Mida Saragih
Susan Herawati
Ahmad Marthin Hadiwinata
Desain:
Abizar Ismail
Foto Cover :
Des Syafrizal/Oxfam.
Alamat Redaksi:
Jl Lengkeng Blok J Nomor 5
Perumahan Kalibata Indah
Jakarta 12750
Telp./Faks:
+62 21 798 9543
Email:
kabarbahari.indonesia@
gmail.com
MEMPERBAIKI MANGROVE KITA
Pembaca yang budiman, buletin dwi bulanan KABAR BAHARI kembali
menyapa Anda. Untuk edisi perdana di tahun 2013 ini, Redaksi
mengulas pentingnya mangrove dalam kehidupan kita.
Keberadaan ekosistem mangrove di daerah pesisir kian terancam.
Selain beralih fungsi menjadi tambak, hutan mangrove juga kian
dilirik untuk kebun kelapa sawit dan bahkan reklamasi pantai yang
merampas hak warga negara. Akibatnya, terjadi abrasi dan intrusi air
laut serta turunnya tangkapan nelayan. Upaya nelayan tradisional
merehabilitasi hutan mangrove, di antaranya di Langkat dan Serdang
Bedagai, Sumatera Utara, patut diacungi jempol, meski rintangannya
amat berat.
Asia tercatat sebagai kawasan pemilik hutan mangrove terluas,
utamanya di Asia Selatan dan Asia Tenggara. Lebih dari 50 spesies
endemik mangrove, di antaranya Aegiceras floridum, Camptostemon
philippinensis, Heritiera globosa, tumbuh di sepanjang garis pantainya
(FAO, 2005). Seperti apa situsi mangrove di Indonesia? Koalisi Rakyat
untuk Keadilan Perikanan (KIARA) memperkirakan luasan hutan
mangrove di Indonesia menyusut drastis akibat laju konversi sejak
tahun 1980an hingga saat ini: dari 4,25 juta ha pada 1982 menjadi
kurang dari 1,9 juta ha tahun ini. Kementerian Kehutanan mencatat,
ada 7.758.410,59 hektar hutan mangrove di Indonesia. Namun, hampir
70 persen rusak.
Mendapati kondisi ini, kelestarian hutan mangrove sudah semestinya
menjadi tanggung jawab bersama. Anda bisa bayangkan, betapa
meruginya bangsa Indonesia kehilangan spesies endemik mangrove
yang tidak dimiliki oleh bangsa-bangsa lainnya.
Edisi perdana ini juga mengangkat pentingnya pengakuan dan
perlindungan Negara terhadap perempuan yang bergerak di sektor
perikanan, baik tangkap maupun budidaya. Cobalah simak upaya
Kelompok Perempuan Nelayan Muara Tanjung di Desa Sei Nagalawan,
Serdang Bedagai. Dalam edisi ini pula, Redaksi menyediakan ruang
konsultasi hukum kelautan dan perikanan. Selamat membaca dan
semoga bermanfaat.
Redaksi
AGENDA: Temu Akbar Nelayan & Pertemuan Nasional KIARA 2013
RUBRIK HUKUM: Konsultasi Hukum Nelayan dan Perikanan
RUBRIK PERNAK-PERNIK: Fungsi Mangrove
RUBRIK DAPUR: Nasi Goreng Ikan Asin
RUBRIK JELAJAH: Keberpihakan Terhadap Perempuan Nelayan
RUBRIK TOKOH: Edo Kondologit & Pak Sangkot
RUBRIK KEBIJAKAN: Pantai Publik, Hak Asasi Setiap Warga
RUBRIK SETARA: Kelompok Perempuan Nelayan Muara Tanjung 20
23
26
31
32
2
1
7
14 & 22
16
RUBRIK KEMUDI: Pentingnya Melestarikan Magrove
5. PENTINGNYA
MELESTARIKAN
MANGROVE
PENGANTAR
Indonesia merupakan negara kelautan
terbesar yang memiliki hamparan hutan
mangrove terluas di dunia. Hutan mangrove
di dunia mencapai luas sekitar 16.530.000
ha yang tersebar di Asia 7.441.000 ha, Afrika
3.258.000 ha, dan Amerika 5.831.000 ha (FAO
1994).
Merujuk pada The World's Mangroves 1980-
2005 (FAO 2007), walaupun dari segi luasan
kawasan, mangrove Indonesia merupakan
yang terluas di dunia, yakni sebesar 49%,
namun kondisinya semakin menurun baik
dari segi kualitas dan kuantitas dari tahun ke
tahun. Pada tahun 1982, hutan mangrove di
Indonesia seluas 4,25 juta ha, sedangkan pada
2009 diperkirakan menjadi kurang dari 1,9 juta
ha (KIARA, 2010).
Setali tiga uang, dalam Status Lingkungan
Hidup Indonesia 2009 yang dikeluarkan oleh
Kementerian Lingkungan Hidup menyebutkan
bahwa, “Hutan mangrove di Sumatera Utara
seluas 306.154.20 ha. Dari luasan itu, 9.86%
berada dalam kondisi rusak”.
Menurunnya kualitas dan kuantitas hutan
mangrove berakibat pada minimnya daya
dukung ekosistem pesisir bagi kelangsungan
hidup spesies pesisir dan biota laut lainnya,
serta kelangsungan hidup masyarakat pesisir,
seperti abrasi yang meningkat, penurunan
tangkapan perikanan, intrusi air laut yang
semakin merambah daratan, meluasnya
penyakit malaria, dan sebagainya.
Di pesisir Pantai Timur Sumatera Utara,
luasan mangrove menurun sebesar 59.68%
dari 103,425 ha di tahun 1977 menjadi 41,700
ha di tahun 2006 (Onrizal 2006). Senada
dengan itu, data KNTI regio Sumatera (2010)
menyebutkan bahwa hutan mangrove di
pesisir Kabupaten Langkat seluas 35.000 ha.
Dari luasan itu, kini yang tersisa dalam kondisi
baik hanya 10.000 ha. Penurunan kuantitas
dan kualitas ini disebabkan oleh perluasan
tambak udang dan perkebunan sawit di
wilayah pesisir. Akibatnya, selain merusak
ekosistem pesisir, juga berdampak terhadap
penurunan pendapatan nelayan tradisional.
Oleh karena itu, penelitian tentang sawit
dan kerusakan mangrove di pesisir Pantai
Timur Sumatera Utara ini menjadi sangat
penting untuk dilakukan. Hasil penelitian ini
diharapkan dapat dijadikan sebagai dasar
dan pertimbangan utama untuk kegiatan (i)
rehabilitasi mangrove yang sudah rusak, (ii)
pengelolaan mangrove untuk masa kini dan
masa mendatang, dan (iii) memperkaya data
dan informasi perihal keterkaitan mangrove
dengan kehidupan masyarakat pesisir,
khususnya nelayan dan petambak tradisional.
KONVERSI MANGROVE
Kawasan mangrove atau hutan bakau
amatlah penting artinya bagi masyarakat
pesisir, tak terkecuali masyarakat pesisir
Pantai Timur Kabupaten Langkat, Sumatera
Utara. Di Langkat, kawasan hutan mangrove
seluas 35.000 hektar membentang
sepanjang 110 kilometer berbatasan dengan
Kabupaten Deli Serdang dan Kabupaten Aceh
Timur, Nanggroe Aceh Darussalam. Pada
perkembangannya, hanya tersisa 10.000
hektar yang berada dalam kondisi baik.
Berkurangnya luasan hutan mangrove
menjadi keprihatinan masyarakat pesisir
Langkat. Tak hanya mempengaruhi
pendapatan nelayan, melainkan juga
menjadikan mereka kian rentan terhadap
bencana. Dari segi pendapatan, misalnya,
nelayan harus pergi lebih jauh dari kuala
3
6. menuju laut untuk menangkap ikan. Padahal,
modal melaut yang dimiliki tak seberapa.
Kerusakan ekosistem mangrove telah
berlangsung sejak 1980-1998 sesaat setelah
pemerintah melaksanakan perluasan tambak
udang. Akibat persebaran penyakit, kualitas
udang budidaya tak lagi baik dan berdampak
pada menurunnya kualitas lingkungan pesisir.
Untuk mengatasi persoalan ini, Menteri
Kehutanan Republik Indonesia mengeluarkan
Hak Pengusahaan Hutan (HPH) Tanaman
Bakau kepada PT Sari Bumi Bakau seluas
±20100 ha dengan surat bernomor 936/
kpts-II/1999 tanggal 14 Oktober 1999.
Terbitnya HPH ini sontak diwarnai penolakan
oleh masyarakat pesisir Langkat hingga
dikeluarkannya Surat Keputusan Menteri
Kehutanan No. SK.388/MENHUT-II/2006
pada tanggal 12 Juli 2006 tentang pencabutan
Hak Pengusahaan Hutan PT. Sari Bumi
Bakau.
Meski telah dicabut, konversi hutan mangrove
secara besar-besaran terus terjadi di
kawasan Hutan Produksi Tetap dan Terbatas.
Berlangsungnya praktek ini dilandasi oleh
Surat Keputusan Menhut Nomor 44/
MENHUT-II/2005 tanggal 16 Februari 2005 Jo.
Nomor 201/Menhut-II/2006 pada tanggal 5
Juni 2006. Akibatnya, penolakan masyarakat
terus berlangsung.
Penolakan masyarakat disebabkan
oleh konversi hutan mangrove menjadi
perkebunan kelapa sawit. Praktek konversi
ini berlangsung hampir di seluruh kecamatan
pesisir Langkat, di antaranya: Secanggang,
Tanjung Pura, Gebang, Babalan, Sei Lepan,
Brandan Barat, Pangkalan Susu, Besitang,
dan Pematang Jaya.
Melihat fakta di lapangan, perusahaan yang
diduga melakukan praktek konversi hutan
mangrove adalah PT Sari Bumi Bakau (SBB),
PT. Pelita Nusantara Sejahtera (PNS), PT.
Marihot, PT. Buana, PT C.P, serta oknum
wakil rakyat partai pemenang Pemilu 2009
lalu. Atas kondisi di atas, KNTI menilai
bahwa program rehabilitasi hutan dan lahan
yang telah berlangsung sejak 2006-2008
tak berhasil menyelamatkan ekosistem
mangrove karena di saat yang sama, prakter
konversi berlangsung secara besar-besaran.
Laju konversi mangrove menimbulkan
permasalahan baru bagi nelayan dan
masyarakat pesisir Langkat, Sumatera
Utara. Di antara persoalan tersebut adalah:
(1) abrasi pantai akibat konversi ekosistem
mangrove di Kecamatan Pesisit dan Pulau
Kecil, Kabupaten Langkat; (2) hilangnya
sebagian tempat mencari nafkah masyarakat
di Desa Perlis, Desa Kelanta, Desa Lubuk
Penelusuran KNTI region Sumatera diperoleh rincian konversi
hutan mangrove
Tabel I. Luas Kerusakan Hutan Mangrove di Kabupaten Langkat
4
7. Kasih, dan Pangkalan Batu; (3) kian tingginya
biaya melaut yang mesti ditanggung oleh
nelayan tradisional karena wilayah tangkapan
ikan semakin jauh; (4) kian besarnya potensi
konflik horisontal antarnelayan; (5) hilangnya
kesempatan memanfaatkan lahan darat
untuk pertanian; (6) hilangnya air bawah
tanah akibat intrusi air laut sebagai sumber
air bersih bagi 180 ribu masyarakat Teluk
Haru, Langkat; dan (7) membesarnya potensi
rob akibat hilangnya ekosistem mangrove.
HILANGNYA MANGROVE
Dalam dua dekade sepertiga hutan bakau
(mangrove) dunia hancur. The Royal Society-
sebuah akademi sains di Inggris menyebutkan
bahwa kerusakan tersebut disebabkan oleh
aktivitas manusia, khususnya perluasan
tambak. Di Indonesia persebaran mangrove
berkategori rusak berat berdampak pada
menurunnya daya dukung lingkungan hidup
dan kualitas hidup masyarakat pesisir.
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan
(KIARA) memperkirakan luasan hutan
mangrove di Indonesia menyusut dengan
sangat drastis dari 4,25 juta ha pada 1982
menjadi kurang dari 1,9 juta ha tahun
ini. Rusaknya hutan pencegah banjir
tersebut berakibat pada terputusnya rantai
penghidupan dan obat-obatan masyarakat
pesisir. Selain itu, musnahnya produktivitas
perikanan dan hilangnya habitat pesisir
lainnya serta kian meningkatkan kerentanan
masyarakat pesisir atas badai dan gelombang
tinggi.
Penghargaan atas pelayanan ekosistem
hilang. Pemerintah-khususnya Kementerian
Kelautan dan Perikanan-memandang alam
semata sebagai komoditas eksploitatif demi
keuntungan segelintir orang dan memberikan
kerusakan bagi sebanyak mungkin anggota
masyarakat pesisir. Kerusakan mangrove
menjadi potret tiadanya penghargaan
pemerintah atas pelayanan ekosistem.
Dalam studinya The Royal Society
memaparkan bahwa kerusakan mangrove
akibat perluasan tambak tak sebanding
dengan kesejahteraan masyarakat pesisir. Di
Thailand, misalnya, tiap hektare luas tambak
hanya memberikan keuntungan sebesar
US$9,632. Keuntungan ini hanya dimiliki oleh
segelintir orang. Sebaliknya, pemerintah
Thailand harus menanggung biaya polusi
sebesar US$1,000, biaya hilangnya fungsi-
fungsi ekologis sebesar US$12,392, dan
pemerintah harus memberi subsidi kepada
masyarakat korban senilai US$8,412. Tak
hanya itu, tetapi pemerintah juga harus
mengalokasikan dana tambahan sebesar
US$9,318 untuk merehabilitasi mangrove.
Pengalaman Thailand hendaknya
memberikan panduan bagi pemerintah kita
untuk tak sembarang menelurkan kebijakan
terkait dengan eksploitasi ekosistem penting
dan genting seperti ekosistem mangrove.
Terlebih, menyangkut hajat hidup banyak
orang. Kami mencatat bahwa ada tiga faktor
utama penyebab kerusakan mangrove di
Indonesia. Pertama, konversi untuk ekspansi
industri pertambakan, seperti yang terjadi di
Provinsi Lampung.
Kedua, konversi hutan mangrove untuk
kegiatan reklamasi kota-kota pantai, seperti
yang terjadi di Teluk Jakarta, Padang (Sumbar),
Makassar, dan Manado (Sulut). Ketiga, terkait
pencemaran lingkungan. Saat ini perluasan
kebun kelapa sawit turut memperparah
kerusakan ekosistem mangrove di Indonesia.
Hasil pemantauan KIARA di Kab. Langkat
Sumut, misalnya, didapati fakta konversi
ekosistem mangrove menjadi perkebunan
sawit dilakukan hingga jarak kurang dari 5
meter dari arah garis pantai. Hal ini jelas tidak
berkesesuaian dengan upaya perlindungan
ekosistem pesisir di Indonesia. Jika hal ini
terus dibiarkan, bencana ekologis bakal lebih
5
8. masif terjadi di Kepulauan Indonesia.
Penutup: Mangrove dan Ruang Hidup Nelayan
Indonesia memiliki seperlima dari mangrove
di dunia dan sedang mengalami proses
pengrusakan secara masif oleh industri
budidaya, seperti tambak udang, yang
mengakibatkan nelayan setempat kehilangan
pekerjaan. Baru-baru ini, sebuah studi
mengenai ancaman terhadap ekosistem
mangrove menemukan bahwa mereka
menyediakan jasa ekosistem senilai US$ 1,6
miliar setiap tahunnya dan mendukung mata
pencaharian masyarakat pesisir di seluruh
dunia, termasuk perlindungan garis pantai
dari badai. Sayangnya, sebelas dari 70 spesies
mangrove terancam punah, seperti terdaftar
dalam Red List of Threatened Species IUCN
(The Guardian, 2010).
Ancaman terhadap keberlanjutan sumber
daya perikanan lainnya adalah rusaknya
ekosistem pesisir, termasuk hutan mangrove,
yang diperburuk dengan dampak perubahan
iklim. Efeknya meningkatkan suhu air laut
dan mempercepat proses pengasaman laut
yang berujung pada berubahnya kondisi
ekosistem perairan. Perubahan iklim juga
mengubah distribusi produktivitas ikan dan
spesies laut dan air tawar. Hal ini berdampak
pada keberlanjutan perikanan dan budidaya.
Terlebih bagi masyarakat pesisir yang mata
pencahariannya bergantung pada perikanan.
Ironisnya, wilayah pesisir dan daerah
penangkapan ikan kini diperlakukan
semata-mata sebagai komoditas. Tak bisa
dibayangkan, Jepang menguasai industri
kerang mutiara; Thailand dan Taiwan sudah
dan sedang berencana melakukan ekspansi
industri perikanan tangkap dan budidaya;
sejumlah pengusaha Eropa menguasai
industri pariwisata bahari; demikian halnya
Amerika Serikat, Jerman, dan Australia
yang belakangan menggalakkan industri
konservasi laut di perairan Indonesia.
Seluruhnya dilakukan dengan mengkapling
dan mempersempit wilayah tangkap nelayan
tradisional Indonesia.
Pada akhirnya, keberadaan hutan mangrove
sebagai kawasan sabuk hijau (green belt)
perlu dilindungi dengan aturan yang
tegas dan tidak tumpang tindih, termasuk
meminimalisir aktivitas pembukaan tambak
udang, perkebunan sawit, dan kawasan
wisata di kawasan hutan mangrove.***
(Abdul Halim & Tajruddin Hasibuan)
Sumber Kepustakaan:
1. The World’s Mangroves 1980-2005 (FAO 2007)
2. Status Lingkungan Hidup Indonesia 2009 (Kementerian
Lingkungan Hidup)
6
9. PENTINGNYA
KEBERPIHAKAN
TERHADAP
PEREMPUAN
NELAYAN
NELAYAN dalam kategori sosial sebagai
masyarakat miskin tidak kunjung berkurang
secara kuantitas. Minimnya dukungan
pemerintah dalam penegakan HAM nelayan,
dan tingginya tantangan hidup di laut, dan
kehancuran ekosistem merupakan penyebab
utama. Dalam situasi serba sulit itu, tidak
sedikit perempuan yang aktif dan lantas
sukses dalam pengelolaan sumber daya
alam perikanan. Pun begitu, sedikit sekali
penghargaan dan perlindungan yang diterima
mereka. Itu bisa kita temukan buktinya di
lapangan.
Semisal di bibir Pantai Pangandaran, Ciamis,
Provinsi Jawa Barat, tiap hari setidaknya dua
ratus lebih nelayan menjaring ikan. Mereka
didominasi oleh kaum perempuan. Sejak
dini hari nan dingin, mereka mengais rezeki,
menangkap ikan dengan alat tangkap jaring
arad. Kegiatan menarik jaring dilakukan
berulang-ulang dan menghabiskan waktu
8 hingga 10 jam per hari. Profesi ini tidak
mudah. Kulit habis tergores dan luka kalau
tak terbiasa mengerjakannya. Tangan,
pinggang, segenap tenaga dikerahkan
untuk menarik jaring yang panjangnya bisa
mencapai 400 s.d 500 meter. Itu pun belum
tentu hasil yang diperoleh mencukupi.
Pendapatan per orang per hari biasanya
antara Rp. 5.000 sampai Rp 15.000. Kalau
sedang beruntung bisa membawa pulang Rp
50.000. Kadang tak ada sama sekali. Mereka
mengatakan bahwa akan tetap bersyukur
karena yakin rezeki di tangan Tuhan YME.
Nelayan jaring arad tergolong nelayan
kategori ekonomi skala kecil, karena profesi
ini dikerjakan secara berkelompok (bahkan
kekeluargaan), tidak memerlukan modal
besar dan hasilnya pun hanya cukup untuk
RUBRIK JELAJAH 7
10. memenuhi kebutuhan sehari-hari. Oleh
karena situasi cuaca tak menentu, hasil
tangkapan suami tak pasti sehingga ekonomi
keluarga bisa bangkrut sewaktu-waktu.
Perempuan akhirnya melakoni profesi
nelayan jaring arad.
Di Marunda Kepu, Jakarta utara, ada
Kelompok Mekar Sari yang fokus pada
pembuatan terasi dari udang rebon dan
pembuatan ikan asin, selain itu juga aktif
melakuan advokasi tolak reklamasi bersama
FKNJ (Forum Komunikasi Nelayan Jakarta)
dan Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia
(KNTI). Tak hanya sampai di situ, Kelompok
Mekar Sari melalui Bu Habibah mendirikan
PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini).
Para perempuan nelayan anggota Kelompok
Mina Arta Karya di Mangkang Wetan,
Semarang, Jawa Tengah fokus pada produksi
kerupuk udang. Hancurnya tambak akibat
abrasi dan banjir tidak menghentikan upaya
kelompok ini untuk menanami pesisirnya
dengan bakau.
Ke arah selatan ada Kampung Laut, Pulau
Nusakambangan, di mana Kelompok Mutiara
mengembangkan pembibitan, penanaman,
pengolahan, serta penjualan bibit bakau
hingga keluar Pulau Nusakambangan. Bahkan
mereka mengolah bakau menjadi permen dan
kerupuk.
Masih di Jawa Tengah, di Kabupaten Kendal,
Kelompok Lestari dan Wilujeng melakukan
pendampingan bagi perempuan pedagang
dan pengolah ikan. Sementara di Kampung
Morodemak, Kabupaten Demak, hadirnya
Kelompok Puspita Bahari telah membantu
perekonomian nelayan. Anggotanya aktif
mengembangkan beragam produk berbahan
baku ikan, yang merupakan hasil tangkapan
nelayan, mulai dari: abon, kerupuk udang dan
bandeng presto. Berkat upaya penghijauan
berbasis kelompok yang digagas Puspita
Bahari, saat ini luas bakau di Morodemak
mencapai 10% dari luas desa. Selain itu,
mereka mengolah sampah plastik bekas
kemasan jajanan menjadi bantal hias.
8
11. Perempuan nelayan yang hidup di daerah
yang stok ikannya terancam harus benar-
benar mampu mengatasi kekurangan
pendapatan. Kajian KIARA (Koalisi Rakyat
untuk Keadilan Perikanan) di Marunda Kepu,
Jakarta Utara menemukan perempuan
nelayan bekerja antara 16 sampai 17 jam
per hari saat kondisi ekstrim hadir. Kondisi
ekstrim ini bersumber dari pencemaran
limbah lebih dari 250 industri yang beroperasi
di sekitar Teluk Jakarta, plus limpahan limbah
dari 13 sungai. Teluk Jakarta bisa dikatakan
sebagai tong sampah. Walaupun banyak
warga yang bergantung pada perairan
semi terbuka ini, namun sedikit sekali
upaya penanggulangan pencemaran oleh
pemerintah. Juga, nyaris tak ada perlakuan
tegas pemerintah terhadap industri
pencemar.
Faktor lainnya adalah cuaca ekstrem.
Sekarang masa paceklik bertambah panjang
dan minimnya hasil tangkapan membuat
keluarga nelayan harus bisa bertahan
lebih kuat. Kaum perempuan yang bekerja
maksimal untuk menopang hidup keluarga
bukan lagi soal pilihan, melainkan keharusan.
Ada uang, bisa makan dan sebaliknya. Cerita
menjual sendok makan sampai kepingan
genteng adalah rangkaian cerita sewaktu
paceklik itu tiba. Ada juga yang menjadi
pedagang ikan di pasar dan keliling kampung,
ada yang jadi nelayan, jadi pengusaha ikan
kering dan ikan asap, jadi pemulung dan
mendaur ulang sampah menjadi barang
bermanfaat. Ada yang beralih menjadi Tenaga
Kerja Wanita, atau menjadi buruh pabrik.
Sekali lagi, mereka tetap pahlawan bagi
keluarganya.
AKAR MASALAH
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan
(KIARA) sejak 2003 telah memetakan
faktor peminggiran terhadap perempuan
nelayan. Selain kurangnya informasi terkait
kebijakan perlindungan dan pemberdayaan,
kelompok-kelompok perempuan nelayan
dilemahkan peran-peran aktifnya dalam
melestarikan lingkungan dan menjaga
perekonomian rakyat. Di antaranya melalui
9
12. unsur pembangunan, seperti alih fungsi
kawasan melalui pertambangan, reklamasi,
pengkaplingan untuk kawasan wisata,
ekspansi sawit di pesisir dan sejumlah
pulau kecil, serta pencemaran. Berdasarkan
catatan KIARA, dalam dua tahun terakhir
(2010-2011), terjadi 68 konflik kelautan
dan perikanan. Angka konflik ini meningkat
tajam dibandingkan tahun lalu, yakni 28
konflik (2010). Dari 68 konflik tersebut, 20 di
antaranya adalah kasus masih berlanjut dan
belum menemukan solusi.
Konflik-konflik di kelautan tentu
mempengaruhi kualitas hidup nelayan serta
masyarakat yang tergantung pada sektor ini,
baik langsung dan tidak langsung. Kerusakan
yang diakibatkan konflik-konflik itu sangat
parah mulai dari meluasnya wilayah abrasi
dan daerah banjir rob, degradasi stok ikan
hingga polusi air dan udara. Ini merupakan
gambaran nyata di mana sektor perikanan
dikalahkan oleh kepentingan komersil
semata.
Selain kondisi obyektif tersebut, menurut
Solidaritas Perempuan (2012), terdapat
beberapa sumber ketidakadilan terhadap
perempuan, di antaranya:
1. Stereotifikasi/ stigmatisasi dan pelabelan
negatif yang merupakan himpunan
pandangan-pandangan, anggapan,
atau kepercayaan negatif terhadap
salah satu jenis kelamin. Pandangan-
pandangan stigmatik dan negatif sifatnya
merendahkan dan dampaknya merugikan.
2. Subordinasi. Posisi sosial asismetris
karena adanya pihak yang superior di satu
sisi dan inferior di sisi lain. Subordinasi ini
merupakan kelanjutan dari pandangan
yang stereotipi. Subordinasi melandasi
pola relasi atau pola hubungan sosial
yang hirarkhis di mana salah satu pihak
memandang dirinya lebih dari mereka
yang direndahkan.
3. Marginalisasi atau peminggiran. Proses
penyingkiran kepentingan, hak-hak,
kebutuhan, serta aspirasi berdasarkan
jenis kelamin yang berlangsung
secara sistematis dalam memperoleh
manfaat dari kesejahteraan hidup dan
pembangunan. Sebagaimana stereotipi,
marginalisasi dapat terjadi secara sengaja
atau ‘dianggap’ sebagai sesuatu yang
wajar.
4. Beban ganda. Beban kerja berlipat-ganda
memaksakan dan membiarkan salah satu
jenis kelamin menanggung beban aktifitas
berlebihan.
5. Dominasi. Dominasi merupakan kekuatan
yang dimiliki dan dilakukan oleh individu
atau seseorang atau kelompok tertentu
untuk menundukkan, menguasai atau
melemahkan individu atau kelompok
lain. Dominasi membuat individu atau
kelompok lain menjadi tersub-ordinasi
dan kemudian termarjinalisasi, sehingga
kepentingan mereka menjadi tidak bisa
terungkap maupun menjadi perhatian
dan menjadi keputusan. Tanda-tandafoto: Des Syafrizal/Oxfam.
10
13. dominasi adalah: a) tidak membiarkan
orang lain bicara; b) tidak mau mendengar
dan mengabaikan pendapat orang lain;
c) menguasai percakapan/ diskusi; d)
campur tangan terus-menerus terhadap
keputusan yang telah disepakati; dan
e) memanipulasi pendapatnya sebagai
pendapat orang banyak.
6. Diskriminasi. Pembedaan perlakuan,
pengucilan dan pembatasan yang hadir
atas dasar jenis kelamin, ras, kelas,
agama, kepercayaan, ideologi, pilihan
politik, pilihan seksual, cacat, penyakit,
dan lainnya, yang mempunyai pengaruh
atau mengurangi dan menghapuskan
pengakuan, penikmatan atau penggunaan
hak azasi manusia dan kebebasan-
kebebasan mendasar di bidang politik,
ekonomi, sosial, budaya, sipil atau bidang
apa pun lainnya.
7. Kekerasan merupakan tindakan yang
membuat orang lain merasa tidak
nyaman dan takut, karena terluka secara
fisik dan psikologis.
Kondisi obyektif kehancuran pesisir dan laut
kita menambah beban persoalan yang ada
sebelumnya di kalangan masyarakat, yakni
ketidakadilan terhadap perempuan. Sehingga,
selain harus bekerja keras menyelamatkan
situasi, perempuan nelayan juga harus bisa
meyakinkan diri dan kelompok mereka untuk
bisa menyetarakan posisi antara perempuan
dan laki-laki.
FONDASI KEADILAN
Salah satu fondasi Keadilan Perikanan yang
menjadi visi misi KIARA adalah, “Agar negara
memahami kegiatan perikanan secara utuh,
dengan memaknai keterlibatan perempuan
nelayan di dalam kegiatan perikanan sebagai
subyek yang teramat penting.”
KIARA meyakini kaum perempuan harus
berjuang dan harus bisa menjadi penggerak
perubahan. Kaum perempuan juga harus
bersatu padu untuk mendapatkan peran yang
setara dengan laki-laki. Kaum perempuan
harus mendapatkan hak-hak dasarnya
seperti pendidikan, akses terhadap informasi,
akses kesehatan, lapangan pekerjaan, taraf
hidup yang lebih baik dan sebagainya. Tanpa
adanya upaya yang satu padu, boleh jadi
kesetaraan dan pemenuhan hak-hak dasar
hanya akan menjadi impian belaka.
Upaya untuk meraih cita-cita itu mulai
didiskusikan pada pertemuan nelayan
bertemakan “Penguatan Kapasitas
Perempuan Nelayan” yang diselenggarakan
oleh Koalisi Rakyat Untuk Keadilan
Perikanan (KIARA), Perkumpulan Jaringan
Pengembangan Kawasan Pesisir (JPKP)
Buton bekerjasama dengan Aliansi untuk
Desa Sejahtera (ADS). Para nelayan yang
bertemu di Pulau Liwuto, Bau-Bau, Propinsi
Sulawesi Tenggara, 20–25 November
2010 memutuskan lahirnya ikatan
persaudaraan antar perempuan nelayan
yakni Persaudaraan Perempuan Nelayan
Indonesia (PPNI). Berdirinya PPNI juga
dibicarakan lebih lanjut dalam Temu Akbar
Nelayan yang berlangsung pada 2011 dan
2012. Mereka yang ikut dalam pertemuan itu
di antaranya kelompok perempuan nelayan
yang berasal dari Serdang Bedagai, Sumatera
Utara; Marunda, Jakarta Utara; Bau-bau,
Sulawesi Tengggara; Semarang dan Demak,
Jawa Tengah; Manado, Sulawesi Utara; dan
Lamalera, NTT.
Melalui pembelajaran di lapangan, KIARA
percaya hanya dengan gerakan perempuan
nelayan yang terdidik dan terorganisir,
akselerasi perwujudan kesejahteraan
keluarga nelayan dapat tercapai. Termasuk
untuk urusan pengelolaan sumberdaya
perikanan yang adil dan lestari.
Perempuan di wilayah pesisir dan mereka
yang bergerak di sektor kenelayanan
11
14. CAPAIAN PASCA PEMBENTUKAN PPNI
Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI) berdiri pada 2010, atas inisiatif
organisasi nelayan dan sejumlah lembaga yang memberi perhatian kepada nelayan
tradisional, di antaranya Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Jaringan
Pengembangan Kawasan Pesisir (JPKP) dan Aliansi untuk Desa Sejahtera (ADS).
Pada pertemuan 6-8 Februari 2012 di Kabupaten Demak, Jawa Tengah, PPNI merumuskan
misi sebagai berikut: 1) Perempuan nelayan agar terlibat di dalam pembuatan kebijakan;
2) Perempuan nelayan mampu mendorong peningkatan taraf hidup dan kesejahteraan
keluarga dan masyarakat; dan 3) Perempuan nelayan memastikan hadirnya kesetaraan
gender di kampung-kampung nelayan. PPNI memiliki visi sebagai wadah penguatan
gerakan perempuan nelayan di tingkat nasional.
Sejak pendirian PPNI, terdapat dua prestasi yang membanggakan, yakni: 1) Penerimaan
penghargaan KUSALA SWADAYA 2011 oleh Kelompok Perempuan Nelayan Puspita
Bahari pada Oktober 2011; dan 2) kelompok nelayan aktif melakukan rehabilitasi
bakau, sebagaimana dilakoni oleh sejumlah kelompok nelayan: KNTI di Kabupaten
Langkat, Sumut; Kelompok Perempuan Muara Tanjung, Serdang Bedagai, Sumatera
Utara; Kelompok Persatuan Nelayan Lestari, Kendal, Jateng; Kelompok Mutiara di Pulau
Nusakambangan.
penegakan hak-hak mereka sebagai nelayan
dan warga negara Indonesia. Pemberdayaan
ini guna mendobrak keberlanjutan situasi,
di mana peran perempuan nelayan dalam
kegiatan perikanan belum diakui.
Dalam upaya ke arah itu, pemerintah harus
merubah perlakuan atas perempuan nelayan
dalam pembangunan, bukan sebagai buruh
atau pun individu tanpa jaminan akses dan
kontrol atas sumberdaya pesisir dan laut.
Peran penting para perempuan nelayan
tidaklah dengan serta merta begitu saja
dapat meningkatkan pendapatan dan kualitas
kesejahteraan, karena mereka patut dibekali
dengan kebijakan yang berpihak, penguatan
organisasi dan penguasaan ketrampilan yang
memadai.
Di atas itu semua, pembenahan tata
kebijakan harus berkeadilan gender.
sadar betul kalau mereka harus bahu-
membahu menghadapi kerentanan dalam
berbagai aspek, melalui pembentukan
organisasi nelayan di tingkat kampung dan
mengembangkan beragam inisiatif baik.
Selain ada yang berperan dalam produksi,
pengolahan hingga distribusi hasil tangkapan
nelayan, peran perempuan nelayan menjadi
pendiri dan pengajar di PAUD (pendidikan
anak usia dini) bermunculan. Demikian halnya
peran mereka dalam perlindungan alam ada
melalui penanaman bakau. Tak hanya itu,
mereka kini hadir menjadi bagian dari gerakan
keadilan perikanan. Ini semua merupakan
bukti bahwa pelibatan perempuan harus
diletakkan pada posisi yang strategis.
Merespon hal tersebut, inisiatif yang
seharusnya dibangun sejak awal oleh Negara
adalah pemberdayaan perempuan nelayan.
Memberikan perlindungan kebijakan atas
12
15. Ini merupakan prasyarat mutlak guna
membenahi membenahi kegiatan perikanan
nasional. ***(Mida Saragih)
Referensi:
1) Kunjungan lapangan di Pantai Pangandaran,
Ciamis, Jawa Barat (Mei 2012).
2) Hasil diskusi dengan nelayan nelayan di
Semarang (Desember 2012); nelayan di
Morodemak, Jawa Tengah (2012); dan Nelayan
Marunda Kepu, Jakarta Utara (2012).
3) Dokumen Hasil Pertemuan Persaudaraan
Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI) di Pulau
Liwuto, Sulawesi Tenggara (2010).
4) Puspa, Dewi. 2012. “Kepemimpinan Perempuan
Bagian dari Perubahan Perempuan,” ini
merupakan dokumen presentasi yang
disampaikan pada Pertemuan Persaudaraan
Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI) di Demak,
Jawa Tengah pada 13 Februari 2012.
5) Liputan Live 365 Metro TV terkait Teluk Jakarta
per 9 Februari 2013.
6) Saragih, Mida dan Dedy Ramanta (2009)
“Pembangunan untuk Siapa: Dampak Proyek
Reklamasi terhadap Perempuan Fisher dan Anak
di Pantai Utara Jakarta, Indonesia” Jakarta: KIARA
7) Kertas Kebijakan KIARA (2012), “Laporan
KIARA 2011: Konflik Kelautan dan
Perikanan”
13
16. Umumnya orang memanggil Sangkot, namun
nama lengkapnya adalah Tajruddin Hasibuan.
Lelaki kelahiran Pangkalan Brandan,
Kabupaten Langkat, ini adalah Presidium
KNTI wilayah Sumatera. Ia aktif terlibat dalam
kegiatan nelayan tradisional di Sumatera.
Banyak kegiatan yang sudah dikerjakan
bersama, salah satunya adalah advokasi
terhadap isu perbatasan. Di tahun 2009,
marak terjadi penangkapan nelayan
tradisional di perbatasan Indonesia-Malaysia
oleh Polisi Laut Malaysia. Hingga tahun 2012
setidaknya ada 27 kasus dan sekitar 137
orang yang pernah ditahan.
Pada tanggal 9 Juli 2010, KIARA dan
KNTI Region Sumatera Utara melakukan
pembebasan terhadap 6 nelayan tradisional
Indonesia asal Kelurahan Brandan Timur dan
Kelurahan Sei Billah. Mereka adalah Zulham
(40), Ismail (27), Amat (24), Hamid (50), Syahrial
(42), dan Mahmud (42) yang ditahan di Balai
Polis Kuah, Langkawi, Malaysia. Dalam kasus
ini, Sangkot berpandangan bahwa nelayan
tradisional Indonesia tidak mendapatkan
perlindungan hukum dari Negara.
Di sisi lain, bersama- sama dengan nelayan,
Sangkot juga melakukan serangkaian
kegiatan advokasi terhadap kerusakan
ekosistem mangrove di pesisir. Sejak tahun
2006, kawasan hutan mangrove telah
dikonversi menjadi perkebunan kelapa
sawit seluas 16.446 ha. Perubahan fungsi
kawasan ini dilakukan oleh tiga perusahaan
perkebunan sawit, yakni UD Harapan Sawita
seluas 1.000 ha, KUD Murni seluas 385 ha,
dan PT Pelita Nusantara Sejahtera seluas
2.600 ha.
Akibat dari konversi hutan mangrove secara
masif tersebut, masyarakat yang berada di
Desa Perlis, Kelantan, Lubuk Kasih, Lubuk
Kertang, Alur Dua, Kelurahan Brandan
Barat, dan Kelurahan Sei Bilah, serta
menggantungkan mata pencahariannya
terhadap kelestarian hutan mangrove
dirugikan. Saat tak bisa melaut, biasanya
mereka cukup mencari udang atau ikan di
rerimbunan mangrove.
Melihat kondisi lingkungan hidup dan
ekonomi di wilayah pesisir yang kian
memburuk, Sangkot bersama dengan nelayan
tradisional yang tergabung di dalam KNTI
Melindungi
Nelayan
dan
Mangrove
RUBRIK TOKOH 14
17. (Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia)
bekerjasama dengan KIARA melakukan
rehabilitasi hutan mangrove seluas 1.200
ha. Selain menanam mangrove, mereka
juga melakukan pembibitan. Inisiatif kolektif
ini juga didukung oleh Bupati Langkat, H.
Ngogesa Sitepu, SH.
Di awal tahun 2013, Sangkot bersama-sama
dengan nelayan Langkat juga melakukan
kampanye penolakan penggunaan trawl
(pukat grandong) di Perairan Kabupaten
Langkat. Menurutnya, pengunaan trawl telah
berdampak pada rusaknya ekosistem laut
dan hilangnya mata pencaharian nelayan
tradisonal. Apa yang dilakukan oleh nelayan
tradisional adalah upaya melaksanakan
mandat Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 bahwa
“setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan
batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan
lingkungan hidup yang baik dan sehat serta
berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.
Ditambah lagi, Keputusan Presiden Nomor
39 Tahun 1980 tentang Penghapusan
Jaring Trawl juga masih berlaku. Pada
perkembangannya, Pasal 9 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang
Perikanan juga menegaskan, “Setiap orang
dilarang memiliki, menguasai, membawa,
dan/atau menggunakan alat penangkapan
dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang
mengganggu dan merusak keberlanjutan
sumber daya ikan di kapal penangkap ikan
di wilayah pengelolaan perikanan Negara
Republik Indonesia”. Penegasan UU ini
diperkuat dengan Peraturan Menteri
Kelautan dan Perikanan No. 2 Tahun 2011
tentang Jalur, Penempatan dan Alat Bantu
Penangkapan Ikan di Wilayah Perikanan
Indonesia.
Hanya saja, lamban dan lemahnya penegakan
hukum di lapangan menjadi persoalan dan
memicu konflik sosial yang berujung pada
kriminalisasi. Pada tanggal 23 Januari 2013,
23 orang nelayan tradisional justru ditangkap
oleh Aparat Kepolisian Resort Langkat.
Meskipun pada akhirnya para nelayan
telah ditangguhkan penahanannya, namun
terdapat dugaan kuat penangkapan tersebut
salah sasaran dan tidak sesuai dengan
ketentuan.
Meski dihadapkan pada resiko besar,
Sangkot bersama nelayan tradisional
Langkat telah berkomitmen untuk terus
melakukan kampanye dan pendampingan
hukum terhadap rekan-rekan yang masih
dikriminalisasi. Apalagi perjuangannya
mendapatkan dukungan dari masyarakat
Indonesia (setidaknya) melalui petisi online
yang dipersiapkan bersama dengan KIARA
dan Kontras (Medan dan Jakarta).
Perjuangan nelayan dalam segala arah
memang acap kali menemui rintangan.
Namun semangat juang harus disebarkan
dari satu nelayan ke nelayan lainnya.
“Sangkot bersama dengan nelayan tradisional
yang tergabung di dalam KNTI (Kesatuan Nelayan
Tradisional Indonesia) bekerjasama dengan KIARA
melakukan rehabilitasi hutan mangrove seluas
1.200 ha. Selain menanam mangrove, mereka juga
melakukan pembibitan. Inisiatif kolektif ini juga
didukung oleh Bupati Langkat”.
Hal ini menjadi penyemangat di tengah
permasalahan yang dari hari ke hari kian
pelik. Sangkot mengajak masyarakat nelayan
Indonesia untuk membangun kesadaran
akan pentingnya peranan nelayan tradisional
bagi bangsa Indonesia. Nelayan tradisional
adalah orang-orang terdepan yang menjaga
perbatasan Indonesia, olehnya jangan
pernah menyerah. Teruslah melakukan
perubahan, penguatan organisasi nelayan,
dan konsolidasi gerakan. Perlu diingat,
perubahan tidak akan hadir secara tiba-tiba,
tetapi perubahan adalah tentang apa yang
harus kita perjuangkan terus-menerus secara
kolektif. *** (Susan Herawati)
15
18. PANTAI PUBLIK, HAK A
Untuk pertama kalinya dalam sejarah perjalanan bangsa
Indonesia, tiga orang warga negaranya menggugat
pemerintah dan perusahaan karena kasus komersialisasi
pantai publik. Tepatnya pada tanggal 21 Mei 2012, 3
(tiga) warga Jakarta bernama Ahmad Taufik, Abdul Malik
Damrah, dan Bina Bektiati mendaftarkan gugatan ke
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dasar gugatan yang
mereka ajukan adalah menikmati pantai publik secara
gratis merupakan hak asasi setiap warga. Kenyataannya,
untuk masuk ke kawasan rekreasi Pantai Ancol warga
harus membayar Rp15.000/orang. Dengan fakta ini,
maka Pemerintah DKI Jakarta bersama dengan PT
Pembangunan Jaya Ancol serta PT Taman Impian Jaya
Ancol telah melakukan pelanggaran kewajiban hukum.
Bergulirnya kasus ini mendapatkan tanggapan beragam
dari warga. Sebagian besar warga mendukung inisiatif
dan menginginkan pantai publik menjadi gratis. Ada juga
sebagian warga yang masih apatis, bahkan ada sebagian
kecil yang lebih pro terhadap kegiatan komersialisasi
pantai publik.
Di sebagian negara yang telah memiliki kepedulian
terhadap hak asasi manusia, pemerintahnya melarang
praktek perusahaan yang mengenakan biaya bagi warga
yang ingin mengakses pantai sebagai ruang rekreasional.
Dengan alasan pantai dan laut itu adalah anugerah
alamiah kepada manusia sehingga tidak boleh dibatasi
aksesnya.
Pantai publik
menjadi
kebutuhan dan
dambaan semua
warga negara.
Saat pantai publik
dikomersilkan,
harusnya Negara
hadir untuk
menegakkan
konstitusi
sehingga
terpenuhi hak
asasi warganya.
RUBRIK KEBIJAKAN 16
19. ASASI SETIAP WARGA
Berkebalikan dengan itu, perlakukan
Pemerintah Indonesia kepada warga
negaranya masih sangat diskriminatif. Alih-
alih mengabulkan permintaan warganya
dengan memberikan akses gratis kepada
warganya. Justru sebaliknya melalui PT.
Pembangunan Jaya Ancol dkk, 3 (tiga)
orang warga negara Indonesia yang ingin
menegakkan keadilan justru digugat balik
dengan alasan telah melakukan pencemaran
nama baik (perusahaan dan Pemprov DKI
Jakarta).
Lebih mengkhawatirkan lagi, sejak munculnya
tren pembangunan kota-kota pesisir di
Indonesia dengan cara perluasan lahan
(reklamasi) ke wilayah pantai yang dimulai
sejak tahun 2000-an, sebagian besar
kota-kota tersebut mengabaikan
hak-hak warga dan
nelayan tradisional
setempat. Mereka
yang seyogyanya
menjadikan
pesisir dan laut sebagai ruang gerak dan
ruang hidupnya justru semakin disingkirkan.
Argumentasi yang menyatakan bahwa
pembayaran masuk pantai publik tersebut
merupakan ongkos untuk kebersihan dan
perawatan taman merupakan alasan yang
mengada-ada. Tiap tahunnya, anggaran
belanja pemerintah (provinsi mapun
kabupaten/kota) telah mengalokasikan dana
kebersihan, perawatan taman, dan ruang-
ruang publik, termasuk pantai.
Lagi pula, apabila ada kegiatan usaha rekreasi
(fasilitas bermain dan lain-lain) yang berada
di pantai publik bukan berarti pihak pengelola
usaha rekreasi diperbolehkan untuk menarik
ongkos dari warga. Malahan merekalah
yang semestinya menanggung biaya
kebersihan dan perawatan pantai
publik bersama dengan pemerintah
daerah. Sebaliknya, akibat dari
pengusahaan ruang pantai publik
tersebut oleh pemerintah dan
pengelola, warga justru dikebiri dan
tanpa memperoleh ganti untung.
HAKIKAT RUANG PUBLIK
Pantai publik merupakan satu bagian
dari keseluruhan ruang publik yang
17
20. secara hakiki memiliki pengertian yang sangat
mengikat. Ruang publik merupakan tempat
di mana setiap orang memiliki hak untuk
memasukinya tanpa harus membayar uang
masuk atau uang lainnya. Ruang publik dapat
berupa jalan (termasuk pedestrian), taman,
dan sebagainya. Hal ini berarti bahwa ruang
terbuka hijau publik, seperti pantai, jalan dan
taman serta ruang terbuka non-hijau publik,
seperti pedestrian dapat dikategorikan dan
difungsikan sebagai ruang publik.
Berdasarkan fungsinya, ruang publik
merupakan tempat bertemu, berinteraksi
dan silaturahmi antarwarga serta sebagai
tempat rekreasi dengan bentuk kegiatan
yang khusus, seperti bermain, berolahraga
dan bersantai. Sebagai sarana rekreasi, ruang
publik merupakan tempat untuk melakukan
aktivitas rekreasi bagi pelakunya. Rekreasi
merupakan salah satu yang dibutuhkan
manusia, dengan rekreasi diharapkan pelaku
dapat mengembalikan individu seutuhnya,
baik jiwa maupun rohaninya.
Secara operasional, bisa dikatakan bahwa
suatu ruang dikatakan sebagai ruang
publik apabila memenuhi minimal 2
kriteria: pertama, dapat diakses tanpa
terkecuali. Dimaksudkan bahwa ruang
publik seyogyanya dapat dimanfaatkan oleh
seluruh warga kota yang membutuhkan.
Dengan demikian, beberapa fenomena,
seperti penguasaan pribadi wilayah pantai
oleh sekelompok pengusaha rekreasi pantai,
hotel, pemanfaatan badan jalan untuk parkir
kendaraan, serta pedestrian untuk pedagang
kaki lima telah menghalangi warga kota untuk
memanfaatkan ruang publik tersebut.
Kedua, universalitas atau bisa dimaknai
sebagai penyediaan ruang publik seyogyanya
dapat mempertimbangkan berbagai kelas
dan status masyarakat yang mencerminkan
pemenuhan kebutuhan seluruh lapisan
masyarakat, baik kelas atas sampai bawah,
normal dan difabel, anak-anak hingga
dewasa, serta pria dan wanita. Lebih jauh,
ruang publik merupakan sarana menguatkan
relasi sosial masyarakat yang karakternya
dapat dilihat, seperti mengizinkan berbagai
kumpulan/grup penduduk berada di
dalamnya, serta menghargai kelas-kelas
masyarakat, perbedaan etnis, jender, dan
perbedaan umur. Walaupun secara umum
ruang ini bisa diakses semua manusia, namun
harus tetap mengikuti norma agar tidak
merugikan kepentingan umum di dalamnya.
MANDAT KONSTITUSI: PANTAI PUBLIK GRATIS
Saat ini, Negara belum memberikan
keluasaan bagi warganya untuk mengakses
pantai publik. Hal ini merupakan sinyal
betapa Negara telah gagal menjalankan
amanat konstitusi. Padahal sangat jelas
dalam Undang Undang Nomor 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang yang menyatakan
bahwa Ruang publik dapat berupa Ruang
Terbuka Hijau Publik atau Ruang Terbuka
Non Hijau Publik yang secara institusional
harus disediakan oleh pemerintah di dalam
peruntukan lahan perkotaan di Indonesia.
Lebih dari itu, pada tanggal 16 Juni
2011 Mahkamah Konstitusi (MK) telah
memutuskan perkara uji materi terhadap UU
Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang
diajukan oleh 27 orang nelayan tradisional
dan 9 organisasi masyarakat sipil bahwa
terdapat 4 (empat) hak konstitusional
masyarakat nelayan tradisional dan adat,
yang tidak boleh dirampas atau ditukar-
gulingkan, yakni (1) hak untuk melintas/
mengakses laut; (2) hak memanfaatkan
sumber daya laut; (3) hak untuk mengelola
sumber daya laut sesuai dengan kearifan lokal
dan tradisi bahari yang telah dijalani secara
turun-temurun; dan (4) hak mendapatkan
lingkungan hidup dan perairan yang bersih
dan sehat. Mengacu pada putusan tersebut
semestinya kegiatan pengusahaan pesisir
18
21. dan laut oleh individu maupun lembaga
swasta dalam bentuk apapun merupakan
perbuatan melawan hukum.
Untuk itu, upaya-upaya yang dilakukan
oleh warga negara guna mendapatkan
haknya untuk mengakses pantai publik perlu
didukung. Karena hak untuk mendapatkan
ruang publik merupakan hak asasi setiap
orang dan tidak bisa diwakilkan kepada
siapapun. Demikian juga inisiatif yang
dilakukan oleh 3 (tiga) orang warga Jakarta
yang menggugat Pemerintah Provinsi DKI
Jakarta, PT Pembangunan Jaya Ancol, dan
PT. Impian Jaya Ancol harus didukung
sepenuhnya.
Pada perkembangannya, Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat (PN Jakpus) menolak
gugatan ‘masuk Pantai Ancol gratis’. Majelis
hakim juga menolak gugatan balik pengelola
Ancol kepada warga sebesar Rp 1,5 miliar.
Majelis hakim menilai tidak ada aturan
hukum yang dilanggar oleh para tergugat.
“Gugatan terhadap penggugat, majelis
menyatakan ditolak,” kata ketua majelis
Dwi Sigiarto saat membacakan putusan
di PN Jakpus, Jalan Gadjah Mada, Jakarta,
Selasa (26/2/2013).
Menurut Dwi, bukti yang diajukan penggugat
juga tidak cukup. Dwi menambahkan
menimbang dari keterangan saksi dan ahli
tidak ada satupun aturan yang dilanggar oleh
Tergugat dan majelis menilai masalah ini
masih terlalu umum.
Atas putusan ini, kuasa hukum penggugat,
Fahmi Syakir merasa kecewa. Dia dan
timnya akan mempelajari putusan untuk
kemungkinan mengajukan banding.
“Kemungkinan banding. Kami sangat kecewa
harusnya hak masyarakat bisa diberikan tapi
ternyata masih tertunda ini semua demi
masyarakat,” tutur Fahmi usai persidangan.
Penting dicatat, mengakses pantai
publik adalah hak asasi dan harus terus
diperjuangkan. Pengelolaan pantai di seluruh
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
harus mengutamakan partisipasi aktif
warga negara, bukan kepentingan segelintir
orang.*** (Selamet Daroyni)
19
22. Nama saya
Jumiati (31), ketua
dari Kelompok Perempuan
Nelayan Muara Tanjung yang
terletak di Desa Sei Nagalawan,
Kecamatan Perbaungan, Kabupaten
Serdang Bedagai, Provinsi Sumatera Utara.
Sebagai seorang ibu rumah tangga dengan
2 (dua) putri dari suami (Sutrisno) yang
berprofesi sebagai nelayan dan pengurus
organisasi nelayan, saya mengawali tekad
untuk lebih memahami dunia nelayan.
Berdiri sejak tahun 2005, kelompok
perempuan nelayan Muara Tanjung bergerak
untuk memberdayakan perempuan nelayan
di Desa Sei Nagalawan, satu-satunya desa
pesisir di Kecamatan Perbaungan. Sudah
lebih dari 7 tahun Muara Tanjung bergiat
untuk memajukan dan menyejahterakan
perempuan nelayan. Upaya yang ditempuh
selama ini adalah dengan memperbanyak
kegiatan yang ditujukan untuk memberikan
pengetahuan tambahan sekaligus
keterampilan ekonomis agar dapat
menambah pendapatan keluarga.
BERMULA SIMPAN-PINJAM
Tepatnya pada tahun 2007, kelompok
perempuan nelayan Muara Tanjung
membentuk koperasi simpan-pinjam atau
dalam istilah kelompok seringkali disebut
dengan Credit Union (CU) Muara Tanjung.
Nyatanya, pola simpan-pinjam ini menjadi
solusi yang amat membantu anggota
kelompok untuk terbebas dari tengkulak. Hal
ini dikarenakan mereka dapat meminjam dan
menabung dengan mudah tanpa jaminan dan
dapat diangsur sesuai kesepakatan antara
pengurus kelompok dengan peminjam. Tidak
hanya itu, Credit Union yang dikelola oleh
kelompok perempuan nelayan Muara Tanjung
juga memberikan sisa hasil usaha (SHU) tiap
tahunnya kepada anggota sesuai dengan
transaksi yang dilakukan.
Melihat manfaat yang dirasakan oleh
perempuan-perempuan nelayan Desa Sei
Nagalawan, layanan CU Muara Tanjung
diperluas. Tidak hanya perempuan, melainkan
juga nelayan yang notabene suami dari
anggota kelompok perempuan nelayan Muara
Tanjung. Dengan layanan CU Muara Tanjung,
nelayan yang membutuhkan modal untuk
perbaikan perahu, mesin, dan alat tangkap
lainnya tidak mengalami kesulitan. Apalagi
sampai harus terbelit hutang ke tengkulak.
Tiap bulannya, CU Muara Tanjung mampu
memutar dana sebesar Rp500.000 –
Rp1.000.000 untuk membantu kebutuhan
anggotanya. Meski demikian, manfaatnya
sangat dirasakan oleh sekitar 30an anggota
kelompok. Seperti dituturkan oleh Nurlia
(30), “Semenjak adanya CU Muara Tanjung,
perempuan nelayan di Desa Sei Nagalawan
merasakan banyak manfaat. Kami
mendapatkan pengetahuan dan keterampilan
ekonomis yang banyak membantu kehidupan
keluarga”.
Kelompok Perempuan Nelayan
Muara Tanjung, Sei Nagalawan:
Perempuan-
Perempuan
Indonesia harus
bergerak maju
RUBRIK SETARA
foto: Des Syafrizal/Oxfam.
20
23. Untuk menumbuhkan rasa memiliki, sistem
pembayaran pinjaman dan penarikan
simpanan wajib maupun sukarela dilakukan
secara kolektif oleh anggota secara bergiliran
tiap harinya. Tak mengherankan, jika seluruh
anggota kelompok merasa ikut memiliki
dan terlibat dalam pengelolaan CU Muara
Tanjung.
Seiring perkembangannya, kelompok
perempuan nelayan Muara Tanjung juga
memiliki sawah seluas 3 rante (1 ha = 25
rante) yang dikelola secara kolektif oleh
anggota dan hasilnya dibagi rata. Tidak hanya
itu, kelompok perempuan nelayan Muara
Tanjung juga melakukan pengolahan hasil
tangkapan ikan menjadi kerupuk ikan, abon
ikan, dan bahkan kerupuk jeruju (hasil olahan
daun mangrove).
TANTANGAN SEBAGAI PELUANG
Diversifikasi unit usaha ekonomi yang
dikembangkan oleh kelompok perempuan
nelayan Muara Tanjung terus bertambah.
Bersama dengan Sarekat Nelayan Sumatera
Utara (SNSU), perempuan nelayan dan
nelayan bahu-membahu mengelola
ekosistem hutan mangrove untuk dijadikan
sebagai kawasan belajar dan wisata. Inisiatif
ini berjalan tanpa dukungan investasi
pribadi, baik dari Kabupaten Serdang Bedagai
maupun di luar kabupaten. Harapannya,
pengelolaan hutan mangrove ini memberikan
manfaat ekonomis (peningkatan penghasilan
keluarga nelayan) dan keuntungan ekologis
(terhindar dari abrasi, dan seterusnya).
Tiap akhir pekan, seluruh anggota
kelompok berjibaku menanam,
membersihkan, dan
merawat hutan
mangrove. Selain itu, juga menyelenggarakan
pendidikan kepemimpinan dan gender, serta
manajemen keuangan keluarga nelayan.
Berbekal dari beragam pendidikan itulah,
kelompok perempuan nelayan Muara
Tanjung ikut terlibat dalam diskusi mengenai
perda pelarangan pukat harimau (trawl) di
Sumatera Utara. Bahkan kami tidak segan-
segan melibatkan diri dalam aksi massa di
kantor DPRD Kabupaten Serdang Bedagai
untuk mendesak disahkannya perda tersebut
dan turut membantu terpenuhinya hak-hak
perempuan nelayan yang suaminya menjadi
korban tabrak kapal pukat harimau di laut.
Apa yang dikerjakan oleh kelompok
perempuan nelayan Muara Tanjung menuai
buahnya. Mereka sering kali diundang aktif
dalam berbagai pameran oleh instansi
pemerintah, seperti Dinas Kelautan dan
Perikanan; Dinas Kehutanan dan Perkebunan;
Dinas Sosial, Tenaga Kerja, dan Koperasi
Kabupaten Serdang Bedagai. Pemerintah
Kabupaten Serdang Bedagai mengatakan,
“Upaya yang dilakukan oleh kelompok
perempuan nelayan Muara Tanjung dengan
berbagai produk olahannya, seperti kerupuk
ikan, abon ikan, dan kerupuk jeruju, mampu
menjadi contoh pengembangan produk
makanan dan minuman olahan bagi
masyarakat Serdang Bedagai, khususnya
kerupuk jeruju yang berbahan dasar daun
mangrove”. Siapa yang menanam, maka ia
akan memanennya.*** (Jumiati & Susan
Herawati)
24. Biodata
Nama : Edo Kondologit
Lahir : Sorong, Indonesia. 5 Agustus 1967
Penyanyi asal Papua Edo Kondologit prihatin
melihat keadaan laut Indonesia yang kini
sudah banyak berubah dibandingkan dahulu.
Laut tercemar, gizi buruk, dan banyak
pemegang modal yang menguasai sumber
daya laut.
Keprihatinan Edo Kondologit berdasarkan
pengamatannya pada sejumlah fakta bahwa
Negara yang mempunyai banyak sumber
daya perikanan yang sangat luar biasa seperti
Indonesia tapi nelayan Indonesia masih
banyak yang hidup di garis kemiskinan.
Hal tersebut membuat Indonesia seperti
terasing di tanah dan lautnya sendiri.
“Apa negara kita masih pantas disebut
sebagai negara maritim? Melihat
kompleksnya permasalahan yang dihadapi
masyarakat pesisir dalam segala hal, misalnya
kemiskinan yang masih dialami sampai saat
ini,” ujar artis kelahiran Sorong, Papua ini.
Dia berharap kekaguman dan kebanggaan
kita atas kekayaan Indonesia tidak akan
luntur dengan permasalahan yang sudah
campur aduk. Segala unsur yang terlibat
dalam kemajuan perairan, perikanan dan
kelautan Indonesia harus mau saling bahu
membahu. Terpenting adalah menegakkan
konstitusi di tanah dan laut Indonesia, serta
terus menyuarakan keadilan bagi nelayan
Indonesia.
Perlu digarisbawahi pentingnya
menumbuhkan pemimpin baru yang
mencintai laut Indonesia. Pemimpin yang bisa
menjamin perlindungan bagi seluruh rakyat
Indonesia.
“Kita yang sudah tua, pikiran, dan
hati nurani sudah lelah mengalami
problematika bangsa. Kaum muda
harus memulai perubahan dan
membenahi sehingga bisa membawa
hal positif untuk Negara kita,”
tutup Edo.*** (Susan Herawati);
Jalesveva
Jayamahe!
RUBRIK TOKOH 22
25. TEMU AKBAR NELAYAN
INDONESIA DAN PERTEMUAN
NASIONAL KIARA 2013
Untuk kali kedua, nelayan tradisional
Indonesia menggelar Temu Akbar Nelayan
Indonesia. Kegiatan yang mengusung tema
“Tegakkan Konstitusi, Sejahterakan Nelayan!”
ini digelar di Jakarta pada tanggal 15-17
Januari 2013 dan melibatkan 200 perwakilan
nelayan dari 20 Kabupaten/Kota di Indonesia.
Ajang konsolidasi strategis nelayan ini juga
diikuti oleh kalangan Lembaga Swadaya
Masyarakat, akademisi, politisi, birokrat,
mahasiswa, dan media massa. Temu Akbar
Nelayan Indonesia diawali dengan sedekah
laut yang dilaksanakan di Sekretariat KIARA.
Pada hari kedua, bertempat di Gedung Joeang
45, agenda dimulai dengan Orasi Kebangsaan
“Tegakkan Konstitusi, Sejahterakan Nelayan”
oleh Prof. Dr. Sri Edi Swasono (Guru Besar FE
UI) dilanjutkan dengan testimoni nelayan dan
perempuan nelayan, baik perikanan tangkap
maupun budidaya.
Sesi selanjutnya Dialog Nasional bersama
Bapak Ir. H. Pramono Anung Wibowo, MM.
(Wakil Ketua DPR RI), Bapak Ir. E. Herman
Khoirun, M.Si. (Wakil Ketua Komisi 4 DPR
RI), Ibu Dr. Ir. Sulikanti Agusni, M.Sc (Deputi
Bidang PUG Bidang Ekonomi Kementerian
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak), Bapak M. Riza Damanik (Sekretaris
Jenderal KIARA) dengan pemandu acara
Bapak Agus Haryadi (Penyiar TVRI).
Selanjutnya diadakan diskusi pendalaman
melalui 4 kelompok (perikanan tangkap,
perikanan budidaya, garam, dan perempuan)
yang dibagi dan diakhiri dengan diskusi
penyusunan Deklarasi Kemandirian dan
Kedaulatan Nelayan yang berjudul “Negara
Berdaulat, Nelayan Sejahtera”.
Di hari ketiga, agenda kunjungan ke lembaga
negara (eksekutif dan legislatif) sempat
mengalami hambatan akibat hujan sejak
malam hari yang berdampak banjir besar di
tanggal 17 Januari 2013. Agenda kunjungan
ke Istana Negara untuk menyerahkan
dokumen deklarasi nelayan tidak dapat
dilakukan akibat banjir yang menggenangi
kawasan sekitarnya, sehingga peserta
bersepakat membatalkan kunjungan
tersebut.
Menjelang siang hari, jalanan kota Jakarta
mulai bisa dilalui. Dari 4 instansi terkait yang
bersedia menerima dan berdialoh dengan
peserta Temu Akbar Nelayan Indonesia,
Kementerian Negara Lingkungan Hidup dan
Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan
Keamanan membatalkan pertemuan karena
akses dan kantor terimbas banjir.
Atas kondisi itulah, nelayan dan perempuan
nelayan hanya bisa mendatangi Kementerian
Kelautan dan Perikanan dan Komisi IV DPR
RI. Dari rangkaian kegiatan Temu Akbar
Nelayan Indonesia 2013, telah menghasilkan
banyak hal antara lain: pertama, terhimpun
pemikiran lintas profesi berupa masukan
terhadap Negara guna menegakkan
konstitusi untuk menyejahterakan
nelayan. Kedua, terhimpun
resolusi penegakan
konstitusi yang
bernas
AGENDA KEGIATAN 23
26. dan mampu dioperasionalisasikan dalam
rangka keluar dari krisis multidimensi yang
dialami oleh nelayan tradisional Indonesia;
dan ketiga, telah terjadi dialog konstruktif,
baik dengan eksekutif maupun legislatif, guna
mempercepat proses penegakan konstitusi
dan penyejahteraan nelayan tradisional
Indonesia.
Malam penutupan kegiatan Temu Akbar
Nelayan Indonesia 2013, para peserta dihibur
dengan pagelaran malam seni bahari berupa
musik dan pentas teater berjudul “Samudera
Masih Biru” yang dilakonkan oleh KafHa
Universitas Paramadina. Dalam malam
penutupan ini, KIARA juga memberikan
Penghargaan Keadilan Perikanan kepada
4 orang anak bangsa yang berjasa atas
dedikasinya memperjuangkan pengelolaan
sumber daya kelautan dan perikanan yang
adil. Penghargaan ini di berikan kepada
Bapak Dr. Alan Koropitan (akademisi), Ibu
Habibah (perempuan nelayan), Bapak Rustam
(nelayan) dan Bapak Ngogesa Sitepu SH
(Bupati Langkat).
Sedangkan Pertemuan Nasional Koalisi
Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)
ke-5 yang dihadiri oleh anggotanya
diselenggarakan pada tanggal 18 Januari 2013
di Sekretariat Nasional KIARA. Pertemuan
tersebut menghasilkan prioritas program
KIARA dalam 2 tahun ke depan. Adapun
pengurus yang terpilih untuk periode 2013-
2015 adalah sebagai berikut: Arman Manila,
M. Riza Damanik, Dr. Rignolda Jamaludin,
Ida Ronauli, dan Muhammad Yamin (Dewan
Presidium KIARA), serta Abdul Halim sebagai
Sekretaris Jenderal KIARA periode 2013-2015.
Kami, perwakilan nelayan dan perempuan
nelayan dari 13 propinsi telah berkumpul
di Jakarta sejak 15–17 Januari 2013,
mendiskusikan nasib sedikitnya 60 juta rakyat
Indonesia yang menggantungkan hidup
secara langsung dan tidak langsung dari
sektor kelautan dan perikanan.
Kami menjadi saksi bagaimana saudara-
saudara kami meninggal dan kapalnya
tengelam di tengah laut karena cuaca
buruk, juga mengalami kriminalisasi oleh
perusahaan dan aparat. Garam-garam
menumpuk di gudang, karena pemerintah
lebih suka mengimpor dibanding membeli
garam hasil keringat petani dengan harga
layak. Ibu-ibu nelayan terjerat utang karena
penghasilan keluarga nelayan menurun dari
waktu ke waktu.
Kami menghadapi tantangan pencurian ikan,
impor ikan dan garam, nelayan-nelayan asing,
tingginya harga bahan bakar, minimnya akes
permodalan, pencemaran laut dan cuaca
ekstrim saat melaut. Namun tantangan
paling berat justru saat berhadapan dengan
produk-produk kebijakan Negara yang tidak
berpihak dan memiskinkan nelayan. Mulai
dari konversi hutan bakau dan reklamasi
kawasan pesisir, maraknya industri
pariwisata yang menggusur pemukiman dan
wilayah tangkap, penggunaan alat produksi
yang merusak dan maraknya pertambangan
yang merusak ekosistem laut, yang membuat
hasil tangkapan berkurang drastis.
Kami tak hanya bertanggung jawab
Deklarasi Kemandirian
dan Kedaulatan
Nelayan
24
27. memenuhi kebutuhan keluarga, kami juga mengemban tugas Negara menyediakan sumber
protein dan pemenuhan kedaulatan pangan bangsa. Kami juga tampil di depan menjadi
pelindung tanah air, saat berhadapan dengan para pencuri ikan asing dan kejahatan lintas
negara (transnational crime).
Kami telah membuktikan bahwa tantangan-tantangan di atas tak membuat kami diam. Kami
akan terus berkarya, menggunakan kearifan lokal, memulihkan ekosistem laut dan pesisir
yang telah rusak, mengembangkan ekonomi alternatif, membangun organisasi di kampung dan
menguatkan solidaritas antar nelayan.
Kami percaya, tantangan di atas tak hanya tanggung jawab nelayan dan perempuan nelayan.
Pengurus Negara harus mengambil peran dan tanggung jawab lebih besar memastikan
tegaknya Konstitusi yang memandatkan perlindungan serta memastikan kesejahteraan
nelayan dan perempuan nelayan. Salah satunya dengan memastikan adanya instrumen politik
untuk perlindungan nelayan.
NEGARA BERDAULAT,
NELAYAN SEJAHTERA
25
Oleh karena itu, Kami - nelayan dan perempuan nelayan Indonesia:
1. Bertekad melestarikan sumber daya kelautan Indonesia untuk
generasi hari ini dan masa depan.
2. Berperan aktif menjaga kedaulatan Negara dari perampokan ikan
dan kejahatan lintas negara
3. Aktif mendorong Negara menegakkan Konstitusi guna memastikan
kemandirian bangsa, kedulatan pangan, dan pemenuhan hak-hak
konstitusi nelayan.
4. Menyerukan kepada seluruh nelayan Indonesia menggunakan
hak politiknya secara sungguh-sungguh guna memastikan para
pimpinan di tingkat daerah, propinsi hingga nasional menjadikan
perlindungan nelayan sebagai agenda utama.
Temu Akbar Nelayan Indonesia, Gedung Joeang ‘45
Jakarta 15 – 17 Januari 2013
28. KONSULTASI
HUKUM
KELAUTAN
DAN
PERIKANAN
Dipandu oleh:
Ahmad Marthin Hadiwinata, SH
(Divisi Advokasi Hukum
dan Kebijakan)
PERIZINAN MENANGKAP IKAN BAGI
NELAYAN TRADISIONAL
Pertanyaan
Apakah setiap nelayan kecil atau nelayan
tradisional diwajibkan untuk memiliki izin agar
bisa melakukan kegiatan usaha tangkap?
Jawab
Dalam UU Perikanan yang bersumber dari UU
No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan dan UU
No. 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas
UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan
(UU Perikanan) kedudukan nelayan kecil
mendapatkan kekhususan mengenai
perizinan. UU No. 45 Tahun 2009 tentang
perubahan perubahan terhadap Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang
Perikanan mengubah aspek perizinan untuk
lebih berpihak kepada nelayan tradisional.
Berdasarkan UU Perikanan yang diatur dalam
membagi nelayan menjadi dua yaitu Nelayan
dan Nelayan Kecil.
Pasal 1 angka 10 dan angka 11 UU UU No. 45
Tahun 2009 tentang Perubahan Atas UU No.
31 Tahun 2004 tentang Perikanan:
10. Nelayan adalah orang yang
mata pencahariannya melakukan
penangkapan ikan.
RUBRIK HUKUM
Redaksi Kabar Bahari membuka forum diskusi
dan tanya jawab tentang hukum kelautan
dan perikanan. Pertanyaan atau topik diskusi
dapat disampaikan ke alamat Redaksi Kabar
Bahari, Jl. Lengkeng Blok J No. 5, Perumahan
Kalibata Indah, Jakarta 12750, atau email
kabarbahari.indonesia@gmail.com
Foto: http://3.bp.blogspot.com/-6RtMkt49gxM/UKqt9H7FQ2I/
AAAAAAAAAAc/eTpy1Gioq1k/s1600/hammer1.jpg
26
29. 11. Nelayan Kecil adalah orang yang
mata pencahariannya melakukan
penangkapan ikan untuk memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari yang
menggunakan kapal perikanan
berukuran paling besar 5 (lima) gross
ton (GT).
Lingkup perizinan dalam Usaha Perikanan
Tangkap meliputi:
1. Surat Izin Usaha Perikanan, yang
selanjutnya disebut SIUP, adalah izin
tertulis yang harus dimiliki perusahaan
perikanan untuk melakukan usaha
perikanan dengan menggunakan
sarana produksi yang tercantum dalam
izin tersebut. Pasal 1 angka 16 UU No. 45
Tahun 2009
2. Surat Izin Penangkapan Ikan, yang
selanjutnya disebut SIPI, adalah izin
tertulis yang harus dimiliki setiap
kapal perikanan untuk melakukan
penangkapan ikan yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari SIUP.
Pasal 1 angka 17 UU No. 45 Tahun 2009
3. Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan, yang
selanjutnya disebut SIKPI, adalah
izin tertulis yang harus dimiliki setiap
kapal perikanan untuk melakukan
pengangkutan ikan. Pasal 1 angka 18 UU
No. 45 Tahun 2009
Nelayan tradisional tidak diwajibkan untuk
memiliki SIUP, SIPI dan SIKPI berdasarkan UU
Perikanan. Dihapuskannya kewajiban untuk
memiliki perizinan-perizinan tersebut diatur
dalam Pasal 26 ayat (2) UU No. 31 Tahun
2004, Pasal 27 ayat (5) UU No. 45 Tahun 2009
dan Pasal 28 ayat (4) UU No. 45 Tahun 2009.
Pasal 26 ayat (2) UU No. 31 Tahun 2004
(2) Kewajiban memiliki SIUP sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), tidak berlaku bagi
nelayan kecil dan/atau pembudi daya ikan
kecil.
Pasal 27 ayat (5) UU No. 45 Tahun 2009
(5) Kewajiban memiliki SIPI sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan/atau
membawa SIPI asli sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), tidak berlaku bagi
nelayan kecil.
Pasal 28 ayat (4) UU No. 45 Tahun 2009
(4) Kewajiban memiliki SIKPI sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan/atau
membawa SIKPI asli sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), tidak berlaku bagi
nelayan kecil dan/atau pembudi daya-
ikan kecil.
Nelayan tradisional juga dibebaskan dari
adanya pungutan perikanan yaitu pungutan
yang dibebankan kepada setiap orang
yang memperoleh manfaat langsung dari
sumber daya ikan dan lingkungannya di
wilayah pengelolaan perikanan Republik
Indonesia. Pungutan perikanan dipergunakan
untuk pembangunan perikanan serta
kegiatan pelestarian sumber daya ikan dan
lingkungannya. Hal tersebut diatur dalam
Pasal 48 ayat (2) UU No. 45 Tahun 2009
foto: http://3.bp.blogspot.com/-2oOn6f8GSKk/T0oqI-p7YZI/AAAAAAAAAhQ/T_
L7BuqDtWc/s1600/Timbangan+keadilan.jpg
27
30. Pasal 48 ayat (2) UU No. 45 Tahun 2009
(2) Pungutan perikanan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak dikenakan
bagi nelayan kecil dan pembudi daya-
ikan kecil.
Kekhususan nelayan tradisional adalah
memiliki kebebasan untuk bebas menangkap
ikan di seluruh wilayah pengelolaan perikanan
Republik Indonesia. Pembebasan untuk
menangkap ikan kepada nelayan tradisional
diatur dalam Pasal 61 UU No. 31 Tahun 2004
Pasal 61 UU No. 31 Tahun 2004
(1) Nelayan kecil bebas menangkap ikan di
seluruh wilayah pengelolaan perikanan
Republik Indonesia.
Kewajiban Nelayan tradisional hanyalah
mendaftarkan diri, usaha dan egiatannya
kepada instansi perikanan setempat tanpa
dikenakan biaya. Pendaftaran tersebut
dilakukan untuk keperluan pencatatan
statistik serta pemberdayaan nelayan kecil
dan pembudi daya ikan kecil.
Pasal 61 ayat (5) UU No. 31 Tahun 2004
(5) Nelayan kecil dan pembudi daya ikan
kecil harus mendaftarkan diri, usaha, dan
kegiatannya kepada instansi perikanan
setempat, tanpa dikenakan biaya, yang
dilakukan untuk keperluan statistik serta
pemberdayaan nelayan kecil dan pembudi
daya ikan kecil.
Aturan teknis mengenai pembebasan
perizinan tersebut diperjelas dalam Peraturan
Menteri Kelautan dan Perikanan No. 30 tahun
2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap.
Nelayan kecil dibebaskan untuk tidak memiliki
SIPI dan SIKPI tetapi diwajibkan dengan
adanya Bukti Pencatatan Kapal yang berlaku
selama satu tahun.
Pasal 12 ayat (2) Permen KP Usaha Perikanan
Tangkap
(2) Kewajiban memiliki SIPI dan SIKPI
sebagaimana dimaksud dalam Pasal
11 ayat (2) huruf b dan huruf c,
dikecualikan bagi nelayan kecil dan
kewajiban tersebut diganti dengan Bukti
Pencatatan Kapal.
Pasal 13 ayat (2) Permen KP Usaha Perikanan
Tangkap
(2) SIPI, SIKPI, dan Bukti Pencatatan Kapal
berlaku selama 1 (satu) tahun.
Kewenangan penerbitan Bukti Pencatatan
Kapal untuk nelayan kecil terletak pada
Bupati/Walikota. Persyaratan untuk
mendapatkan Bukti Pencatatan Kapal
diajukan kepada kepala dinas perikanan atau
kelautan tingkat kabupaten/kota dengan
melampirkan persyaratan-persayaratan.
kepala dinas wajib mengeluarkan Bukti
Pencatatan Kapal 2 (dua) hari kerja setelah
menerima berkas-berkas pengajuan Bukti
Pencatatan Kapal. Keseluruhan proses
permohonan Bukti Pencatatan Kapal tidak
dipungut biaya.
Persyaratan-persyaratan Bukti Pencatatan
Kapal antara lain:
a. fotokopi KTP nelayan tradisional dengan
menunjukkan aslinya;
b. spesifikasi teknis alat penangkapan ikan;
c. surat pernyataan bermeterai cukup yang
menyatakan:
1) kapal yang digunakan hanya 1 (satu)
unit dengan ukuran paling besar 5 (lima)
GT yang dibuktikan dengan surat tukang
atau surat galangan; dan
2) kesanggupan untuk melaporkan hasil
tangkapan ikan.
Pasal 14 ayat (4) huruf b Permen KP Usaha
Perikanan Tangkap
(4) Bupati/walikota sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) berwenang menerbitkan:
b. Bukti Pencatatan Kapal untuk
nelayan kecil yang menggunakan 1
(satu) kapal berukuran paling besar 5
(lima) GT untuk memenuhi kebutuhan
hidup sehari-hari.
Pasal 29 Permen KP Usaha Perikanan
Tangkap
(1) Nelayan kecil untuk memiliki Bukti
Pencatatan Kapal harus mengajukan
permohonan kepada kepala dinas
kabupaten/kota dengan melampirkan
persyaratan:
28
31. a. fotokopi KTP dengan menunjukkan
aslinya;
b. spesifikasi teknis alat penangkapan
ikan; dan
c. surat pernyataan bermeterai cukup
yang menyatakan:
1) kapal yang digunakan hanya 1
(satu) unit dengan ukuran paling
besar 5 (lima) GT yang dibuktikan
dengan surat tukang atau surat
galangan; dan
2) kesanggupan untuk melaporkan
hasil tangkapan ikan.
(2) Berdasarkan permohonan
sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), kepala dinas kabupaten/
kota paling lama 2 (dua) hari kerja
menerbitkan Bukti Pencatatan
Kapal.
(3) Penerbitan Bukti Pencatatan Kapal
tidak dipungut biaya.
(4) Bentuk dan format Bukti Pencatatan
Kapal sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), sebagaimana tercantum
dalam Lampiran XV yang
merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Menteri ini.
Referensi:
- Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang
Perikanan
- Undang-Undang No. 45 Tahun 2009 tentang
Perubahan Undang-Undang No. 31 Tahun 2004
tentang Perikanan
- Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No, 30
Tahun 2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap di
Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik
Indonesia
29
32. “Koalisi Rakyat untuk Keadilan
Perikanan (KIARA) memperkirakan
luasan hutan mangrove di
Indonesia menyusut dengan
sangat drastis dari 4,25
juta ha pada 1982 menjadi
kurang dari 1,9 juta ha tahun
ini. Rusaknya hutan pencegah banjir
tersebut berakibat pada terputusnya
rantai penghidupan dan obat-obatan
masyarakat pesisir. Selain itu,
musnahnya produktivitas perikanan
dan hilangnya habitat pesisir lainnya
serta kian meningkatkan
kerentanan masyarakat
pesisir atas badai dan
gelombang tinggi”
foto: Des Syafrizal/Oxfam.
30
33. Hutan mangrove adalah hutan yang tumbuh di daerah pantai, biasanya terdapat
di daearah teluk dan di muara sungai yang dicirikan oleh: 1) tidak terpengaruh
iklim; 2) dipengaruhi pasang surut; 3) tanah tergenang air laut; 4) tanah rendah
pantai; 5) hutan tidak mempunyai struktur tajuk; 6) jenis-jenis pohonnya biasanya
terdiri dari api-api (Avicenia sp.), pedada (Sonneratia sp.), bakau (Rhizophora sp.),
lacang (Bruguiera sp.), nyirih (Xylocarpus sp.), nipah (Nypa sp.) dll.
Hutan mangrove dibedakan dengan hutan pantai dan hutan rawa. Hutan pantai
adalah hutan yang tumbuh di sepanjang pantai, tanahnya kering, tidak pernah
mengalami genangan air laut ataupun air tawar. Ekosistem hutan pantai dapat
terdapat di sepanjang pantai yang curam di atas garis pasang air laut. Kawasan
ekosistem hutan pantai ini tanahnya berpasir dan mungkin berbatu-batu.
Sedangkan hutan rawa adalah hutan yang tumbuh dalam kawasan yang selalu
tergenang air tawar. Oleh karena itu, hutan rawa terdapat di daerah yang landai,
biasanya terletak di belakang hutan payau
FUNGSI MANGROVE
1. Melindungi pantai dari abrasi
gelombang laut
2. Mencegah terjadinya intrusi air laut
3. Sumber nutrisi dan habitat bagi
biota laut
4. Habitat satwa liar
5. Tempat berbiaknya berbagai biota
laut (nursery ground)
6. Penahan angin laut
7. Penyerap limbah
8. Bahan baku makanan, obat-
obatan, alcohol, kosmetik,
penyamak kulit, zar warna dan
lain-lain.
9. Tempat pembesaran atau mencari
makan (feeding ground) dari
berbagai ikan atau hewan air
lainnya seperti kepiting, moluska
dan invertebrata.
10. Tempat berlindung dan
berbiak berbagai jenis burung
seperti Kuntul (Egretta sp),
Pecuk (palacrocorax sp), Belibis
(Dendrocygna cineres).
FUNGSI HUTAN MANGROVE
RUBRIK PERNAK-PERNIK 31
35. Bahan yang Dibutuhkan:
• 250 gr nasi putih (2 piring)
• 100 gr ikan jambal roti, potong dadu, kemudian goreng
• 5 butir bawang merah, iris halus
• 1 batang daun bawang, iris halus
• 3 buah cabai hijau, iris serong
• 2 cabai merah, iris serong
• 2 butir telur, kocok lepas
• 1 papan petai, iris panjang
• 1 sdm kecap ikan
• 1/4 sdt merica bubuk
• garam secukupnya
• 2 sdm minyak untuk menumis
Cara Memasak:
1. Panaskan minyak, kemudian tumis bawang merah
sampai harum
2. Masukkan daun bawang, cabai hijau, dan cabai merah,
aduk rata.
3. Sisihkan tumisan cabai.
4. Pecahkan telur dalam wajan dan buat orak – arik, Lalu
masak bersama tumisan cabai,
5. Masukkan petai dan nasi
6. Tambahkan kecap ikan, merica bubuk, dan garam, aduk
rata ( cicipi jika perlu )
7. Masukkan ikan asin, dan masak sampai matang
8. Angkat dan sajikan.
Tentunya akan lebih enak jika disajikan dengan kerupuk.
33
36. t
Nasi Goreng Ikan Asin akan lebih enak
jika disajikan dengan Kerupuk Jeruju dari daun mangrove hasil kerja
Kelompok Perempuan Nelayan Muara Tanjung, Desa Sei Nagalawan,
Kecamatan Perbaungan, Kabupaten Serdang Bedagai,
Provinsi Sumatera Utara
(Hubungi: Ibu Jumiati di +62 812 6367 6561)
Kerupuk
Jeruju