Rangkuman singkat dari dokumen tersebut adalah:
1. Dokumen tersebut membahas pokok-pokok pikiran koalisi masyarakat sipil dalam merevisi UU Migas 22/2001, terkait permasalahan produksi migas yang menurun, tata kelola yang kurang transparan, dan persoalan hukum kelembagaan pengelolaan migas.
2. Usulan revisi UU Migas menegaskan pentingnya perencanaan migas untuk ketahanan energi
Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 002/PUU-I/2003 pada tanggal 21 Desember 2004, telah membatalkan Pasal 12 ayat (3), Pasal 22 ayat (1), serta Pasal 28 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, karena bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Tahun 1945), sehingga pasal-pasal yang dibatalkan tersebut tidak lagi memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
Koalisi Publish What You Pay (PWYP) Indonesia yang diinisiasi oleh Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) menyusun penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) Migas usulan masyarakat sipil.
Usulan masyarakat sipil ini diharapkan memberikan pandangan alternatif dalam penyusunan UU Migas yang sesuai dengan konstitusi dan berpihak pada kepentingan publik. Proses penyusunan RUU ini juga termasuk rangkaian diskusi mendalam dan wawancara dengan pakar, akademisi, masyarakat sipil, dan pemerintah selama kurang lebih 11 bulan.
Sebanyak 11 isu kunci yang dimasukkan dalam RUU ini, yaitu perencanaan pengelolaan migas, model kelembagaan hulu migas, badan pengawas, BUMN pengelola, petroleum fund,
domestic market obligation, dana cadangan, cost recovery, participating interest, perlindungan atas dampak kegiatan migas, serta sistem informasi dan partisipasi.
Laporan disusun dan diterbitkan oleh Publish What You Pay Indonesia untuk menandai 20 tahun usia Era Reformasi, sejak 1998. Laporan ini disusun sebagai refleksi dan catatan atas pencapaian agenda reformasi di sektor industri ekstraktif khususnya migas dan pertambangan, baik dari aspek ekonomi dan pembangunan secara makro, penerimaan negara, pemenuhan energi, pemberantasan korupsi, transparansi dan perbaikan tata kelola pemerintahan, serta desentralisasi.
Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 002/PUU-I/2003 pada tanggal 21 Desember 2004, telah membatalkan Pasal 12 ayat (3), Pasal 22 ayat (1), serta Pasal 28 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, karena bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Tahun 1945), sehingga pasal-pasal yang dibatalkan tersebut tidak lagi memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
Koalisi Publish What You Pay (PWYP) Indonesia yang diinisiasi oleh Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) menyusun penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) Migas usulan masyarakat sipil.
Usulan masyarakat sipil ini diharapkan memberikan pandangan alternatif dalam penyusunan UU Migas yang sesuai dengan konstitusi dan berpihak pada kepentingan publik. Proses penyusunan RUU ini juga termasuk rangkaian diskusi mendalam dan wawancara dengan pakar, akademisi, masyarakat sipil, dan pemerintah selama kurang lebih 11 bulan.
Sebanyak 11 isu kunci yang dimasukkan dalam RUU ini, yaitu perencanaan pengelolaan migas, model kelembagaan hulu migas, badan pengawas, BUMN pengelola, petroleum fund,
domestic market obligation, dana cadangan, cost recovery, participating interest, perlindungan atas dampak kegiatan migas, serta sistem informasi dan partisipasi.
Laporan disusun dan diterbitkan oleh Publish What You Pay Indonesia untuk menandai 20 tahun usia Era Reformasi, sejak 1998. Laporan ini disusun sebagai refleksi dan catatan atas pencapaian agenda reformasi di sektor industri ekstraktif khususnya migas dan pertambangan, baik dari aspek ekonomi dan pembangunan secara makro, penerimaan negara, pemenuhan energi, pemberantasan korupsi, transparansi dan perbaikan tata kelola pemerintahan, serta desentralisasi.
Presentasi ini disampaikan oleh Maryati Abdullah, Koordinator Nasional Publish What You Pay Indonesia dalam Diskusi dan Temu Media PWYP Indonesia pada 21 November 2016 dengan judul "Krisis Energi, Mafia Migas, dan Revisi UU Migas".
Sebuah modul yang bisa digunakan siapa saja untuk memahami industri ekstraktif migas dan aliran penerimaannya. Tulisan ini berisi mengenai tahapan kegiatan di hulu migas, mulai dari proses penandatanganan kontrak hingga produksi berlangsung.
Di dalamnya juga disebutkan beberapa ketentuan dokumen penting dalam pelaksanaan kegiatan hulu migas yang harus diajukan oleh kontraktor kepada BPMIGAS (saat ini SKK Migas) untuk mendapat persetujuan.
Tulisan ini juga mengulas tentang jenis-jenis penerimaan, alirannya dari siapa kepada siapa, serta mekanisme dan ketentuan bagi hasil antara kontraktor dan pemerintah, serta ketentuan Dana Bagi Hasil (DBH) antara pemerintah pusat ke pemerintah daerah.
Usulan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (RUU Minerba) pertama kali diusulkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI pada 2 Februari 2015 melalui Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015-2019. Pada perjalanannya dalam kurang lebih 5 (lima) tahun, proses penyusunan RUU Minerba sangat dinamis. Perdebatan RUU ini mengalami fase maju mundur dan tarik ulur, baik antar fraksi-fraksi di DPR dan Pemerintah, maupun lahirnya berbagai pandangan dari pengamat, akademisi, organisasi masyarakat sipil dan publik secara umum. Sampai akhir masa jabatan DPR periode 2014-2019, revisi UU Minerba merupakan salah satu RUU yang ditunda penyelesaiannya di tengah polemik dan penolakan atas Revisi UU KPK melalui gerakan publik dengan tagar #ReformasiDikorupsi.
Urun Rembuk. Permukiman dan Ketahanan PanganOswar Mungkasa
pembangunan terkesan memanfaatkan tanah pertanian yang ditengarai dapat mengurangi produksi pangan. dengan demikian, dibutuhkan upaya yang masif agar pengalihan lahan pertanian tidak terjadi tanpa pengendalian.
Materi ini disampaikan oleh Hendra Sinadia, Deputi Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI), dalam Diskusi Publik: Perbaikan Tata Kelola Batubara di Indonesia sekaligus peluncuran laporan "Penataan Izin Batubara dalam Korsup Batubara", 8/6 lalu.
ditulis oleh Oswar Mungkasa dalam Majalah HUDMagz Edisi 4 Tahun 2013. diterbitkan oleh Yayasan Lembaga Pengkajian Pengembangan Permukiman dan Perkotaan (LP P3I)/HUD Institute
Jalan panjang perwujudan ketahanan nasional dalam persfektif penguasaan ruangAdriansyah Rustandi
kilas pandang tentang politik penguasaan ruang di Indonesia, dan Sumatera Selatan. disampaikan pada Seminar “Ketahanan Nasional Dalam Perspektif Pertanahan”, Lembar Institute 2012
Dalam rangka menjawab tantangan pembangunan berkelanjutan, Paris Agreement, dan penyelamatan lingkungan hidup, PWYP Indonesia mempresentasikan "Tata Kelola Energi dan Penyelamatan Lingkungan Hidup." Presentasi ini disampaikan oleh Maryati Abdullah, Koordinator Nasional Publish What You Pay Indonesia dalam PNLH XI WALHI di Palembang, 24 April 2016.
small presentation on energy conservation, providing just a backbone to the information so that you can move forward in giving your presentation a body to cover. Hoping it would serve the purpose you are looking for.
Presentasi ini disampaikan oleh Maryati Abdullah, Koordinator Nasional Publish What You Pay Indonesia dalam Diskusi dan Temu Media PWYP Indonesia pada 21 November 2016 dengan judul "Krisis Energi, Mafia Migas, dan Revisi UU Migas".
Sebuah modul yang bisa digunakan siapa saja untuk memahami industri ekstraktif migas dan aliran penerimaannya. Tulisan ini berisi mengenai tahapan kegiatan di hulu migas, mulai dari proses penandatanganan kontrak hingga produksi berlangsung.
Di dalamnya juga disebutkan beberapa ketentuan dokumen penting dalam pelaksanaan kegiatan hulu migas yang harus diajukan oleh kontraktor kepada BPMIGAS (saat ini SKK Migas) untuk mendapat persetujuan.
Tulisan ini juga mengulas tentang jenis-jenis penerimaan, alirannya dari siapa kepada siapa, serta mekanisme dan ketentuan bagi hasil antara kontraktor dan pemerintah, serta ketentuan Dana Bagi Hasil (DBH) antara pemerintah pusat ke pemerintah daerah.
Usulan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (RUU Minerba) pertama kali diusulkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI pada 2 Februari 2015 melalui Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015-2019. Pada perjalanannya dalam kurang lebih 5 (lima) tahun, proses penyusunan RUU Minerba sangat dinamis. Perdebatan RUU ini mengalami fase maju mundur dan tarik ulur, baik antar fraksi-fraksi di DPR dan Pemerintah, maupun lahirnya berbagai pandangan dari pengamat, akademisi, organisasi masyarakat sipil dan publik secara umum. Sampai akhir masa jabatan DPR periode 2014-2019, revisi UU Minerba merupakan salah satu RUU yang ditunda penyelesaiannya di tengah polemik dan penolakan atas Revisi UU KPK melalui gerakan publik dengan tagar #ReformasiDikorupsi.
Urun Rembuk. Permukiman dan Ketahanan PanganOswar Mungkasa
pembangunan terkesan memanfaatkan tanah pertanian yang ditengarai dapat mengurangi produksi pangan. dengan demikian, dibutuhkan upaya yang masif agar pengalihan lahan pertanian tidak terjadi tanpa pengendalian.
Materi ini disampaikan oleh Hendra Sinadia, Deputi Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI), dalam Diskusi Publik: Perbaikan Tata Kelola Batubara di Indonesia sekaligus peluncuran laporan "Penataan Izin Batubara dalam Korsup Batubara", 8/6 lalu.
ditulis oleh Oswar Mungkasa dalam Majalah HUDMagz Edisi 4 Tahun 2013. diterbitkan oleh Yayasan Lembaga Pengkajian Pengembangan Permukiman dan Perkotaan (LP P3I)/HUD Institute
Jalan panjang perwujudan ketahanan nasional dalam persfektif penguasaan ruangAdriansyah Rustandi
kilas pandang tentang politik penguasaan ruang di Indonesia, dan Sumatera Selatan. disampaikan pada Seminar “Ketahanan Nasional Dalam Perspektif Pertanahan”, Lembar Institute 2012
Dalam rangka menjawab tantangan pembangunan berkelanjutan, Paris Agreement, dan penyelamatan lingkungan hidup, PWYP Indonesia mempresentasikan "Tata Kelola Energi dan Penyelamatan Lingkungan Hidup." Presentasi ini disampaikan oleh Maryati Abdullah, Koordinator Nasional Publish What You Pay Indonesia dalam PNLH XI WALHI di Palembang, 24 April 2016.
small presentation on energy conservation, providing just a backbone to the information so that you can move forward in giving your presentation a body to cover. Hoping it would serve the purpose you are looking for.
Understanding the Evaluation Context and Program Theory of Change 理解评价背景和项目变革理论Dadang Solihin
Shanghai International Program for Development Evaluation Training Asia-Pacific Finance and Development Center; 200 Panlong Road-Shanghai, October 10, 2008
Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas) telah lima kali dimintakan uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK). Saat ini, UU Migas dalam proses revisi dan masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) sejak tahun 2010. Namun demikian, hingga tahun 2018 atau hampir sembilan tahun, revisi UU Migas tidak kunjung selesai, bahkan belum pernah sekalipun dibahas dalam rapat pembahasan antara DPR dengan Pemerintah. Hingga Kertas Posisi ini disusun, rancangan revisi UU Migas masih dibahas di Badan Legislasi untuk kemudian diusulkan menjadi rancangan usulan Komisi VII DPR.
Masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Publish What You Pay Indonesia (PWYP Indonesia) membuat usulan rancangan revisi UU Migas dengan pokok-pokok pikiran yang mencakup aspek perencanaan dan pencadangan migas untuk ketahanan energi, model kelembagaan pengelolaan migas, dana abadi migas, pengelolaan dampak lingkungan dan keselamatan kerja sektor migas, serta aspek transparansi, akuntabilitas dan partisipasi masyarakat dalam perencanaan dan pengelolaan migas.
"Optimalisasi Production Sharing Contract demi Peningkatan Stabilitas Pasokan...Shinta Yanirma
Merupakan presentasi tim conference Unpad 1 (Shinta Yanirma & Niella Novia Arland) di NAW 2011 dengan tema "Oil & Gas Accounting For National Wealth and Energy Sustainability".
NAW merupakan konferensi&kompetisi tahunan yang diikuti oleh seluruh mahasiswa akuntansi di Indonesia. Diselenggarakan oleh @HIMAKUNPAD.
Kertas fakta ini mengurai tentang visi, misi dan program pasangan Preseiden dan Wakil Presiden Jokowi-JK khususnya 15 (lima belas) aspek terkait di bidang energi, industri ekstraktif pertambangan dan sumber daya alam.
Saat ini EITI sedang menyusun sebuah tinjauan strategis untuk memperbaiki standar EITI di masa depan. Salah satu proposal yang diangkat adalah mengenai dorongan atau permintaan membuka kontrak antara pemerintah dan perusahaan ekstraktif. Dewan EITI saat ini sedang mengumpulkan pandangan dari Negara pelaksana EITI perihal hal ini. Jika disetujui, maka keputusan terhadap topik ini akan dimasukkan sebagai bagian dari keputusan Dewan dalam Konferensi Global EITI ke-6 yang akan diselenggarakan di Sydney bulan Mei 2013.
Keterbukaan kontrak menjadi hal yang signifikan dalam mendorong transparansi di sektor ekstraktif. Policy Brief ini berisi kajian masyarakat sipil tentang pentingnya transparansi kontrak dan aspek kerahasiaan kontrak. Melalui policy brief ini, masyarakat sipil mendorong transparansi kontrak masuk sebagai standar EITI 2016.
Keterbukaan kontrak pertambangan ini mencakup keterbukaan Production Sharing Contract (PSC), Kontrak Karya (KK), dan Perjanjian Karya Pengusahaan Batubara (PKP2B),
materi ini dibuat untuk presentasi sharing section tahun 2019 disaat aturan tersebut baru dirilis. hasil Update tahun ini akan saya jelaskan di blog beranibaik.wordpress.com
RUU Adaptasi dan Mitigasi Perubahan IklimFarhan Helmy
Paparan tentang pentingnya RUU Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim yang disampaikan oleh Bapak Abdul Kadir Jailani, Direktorat Perjanjian Ekososbud, Kementerian Luar Negeri pada pertemuan konsultasi yang difasilitasi oleh Kementerian Hukum dan HAM, 26 Juni 2013.
"Optimalisasi Production Sharing Contract demi Peningkatan Stabilitas Pasokan...Shinta Yanirma
Merupakan presentasi tim conference Unpad 1 (Shinta Yanirma & Niella Novia Arland) di NAW 2011 dengan tema "Oil & Gas Accounting For National Wealth and Energy Sustainability".
NAW merupakan konferensi&kompetisi tahunan yang diikuti oleh seluruh mahasiswa akuntansi di Indonesia. Diselenggarakan oleh @HIMAKUNPAD.
Catatan Akhir Tahun 2013 Terkait Tata Kelola Migas dan Tambang di Indonesia. Meliputi aspek transparansi penerimaan sektor ekstraktif (EITI), agenda revisi UU Migas, Pemberantasan Korupsi sektor ekstraktif, Kebijakan Hilirisasi Sektor Mineral dan Batubara, serta Renegosiasi Kontrak (KK dan PKP2B) Mineral dan Batubara.
Tata kelola gas bumi sebagai perwujudan kedaulatan energi di indonesiaSampe Purba
paper ini menjelaskan dua hal, yaitu 1. ada perbedaan antara ketahanan, kemandirian dan kedaulatan energi. 2. bahwa apabila pilihannya adalah kedaulatan energi, maka diperlukan a. konsistensi dalam pengawalannya, b. kesadaran bersama, bahwa memilih prioritas, itu juga berarti menomor sekiankan yang tidak prioritas. konsekuensinya harus diterima. Pengelolaan gas lebih berdimensi jangka panjang, dgn manajemen yang berbeda di sisi hulu, midstream dan demand side.
1. Nyawiji Nandur Kanggo Lestarine Kendeng
2. Sedulur Kendeng Social Audit Training: Increasing Community Participation in Development Oversight
3. Sedulur Kendeng Social Audit Training: Increasing Community Participation in Development Oversight
4. Self-led influencing: Shifting the Empowerment Narrative
5. Moeldoko and JMPPK Discuss Kendeng Mountain Study
1. Aliansi Masyarakat Sipil: “RPJMD Harus Inklusif, Adil dan Berkelanjutan”
2. Lingkar Belajar Advokasi Kebijakan dan Temu Kartini Kendeng
3. Kendeng Tadarus Kanggo Ibu Bumi
4. “Surat Super Soko Semar (SUPERSEMAR)“ KLHS Perintah Presiden, Harus Dijalankan !!!
5. Para Kartini dari Jawa Tengah Ini akan Terus Suarakan Kelestarian Bumi
6. JMPPK Bangun Posko Pantau Pelanggaran Tambang Pegunungan Kendeng
1. The Civil Society Alliance: "The RPJMD of Central Java Province Must Be Inclusive, Fair and Sustainable"
2. Community Training on Policy Advocacy and Kendeng Women Gathering
3. Kendeng Community Recites Al-Quran for the Mother Nature
4. “Letter of Super Soko Semar (SUPERSEMAR)” KLHS Orders President, Must Be Done !!!
5. These Kartini from Central Java Will Continue to Speak Out for the Sustainability of the Earth
6. JMPPK Builds Command Post to Monitor Kendeng Mountain Mining Violations
1. Nyawiji Nandur Kanggo Lestarine Kendeng
2. mplikasi Omnibus Law terhadap Upaya Penataan Ruang dan Pencegahan Korupsi Sektor Sumber Daya Alam
3. Prinsip Berdikari: Menggeser Narasi Pemberdayaan
4. Pelatihan Audit Sosial: Meningkatkan Partisipasi Masyarakat dalam Pengawasan Pembangunan
5. Moeldoko dan JMPPK Bahas Kajian Pegunungan Kendeng
Compared with other sources of energy, oil and gas continue to become primary sources of energy in Indonesia with the highest level of consumption. Apart from propping up almost one third of national revenue, oil and gas also significantly contribute to create job opportunities, supply the need of fuel, petrochemical industry which in turn effectively enhances investment and economy.
As a natural resource contained within the bowel of the earth, the constitution of the Republic of Indonesia asserts that the ownership and enterpreneurship of national oil and gas industry is controlled by the state and immensely benefitted to the welfare of people accordingly (constitution 1945, article 33). Furthermore, it is asserted through the law 22/2001 on oil and gas that the control by the state is administered by the government as the holder of mining right. It means, the government is entitled with authority to administer the exploration and exploitation of oil and gas throughout Indonesian territory.
Keterbukaan informasi publik merupakan hak asasi setiap warga negara yang mendukung pengembangan diri dan kehidupan seseorang, baik secara pribadi/individu maupun dalam hubungan sosialnya, serta dalam menjalankan peran kehidupan berbangsa dan bernegara secara baik dan bertanggung jawab. Keterbukaan informasi publik merupakan salah satu ciri dari negara demokratis, dan menjadiprasyarat dalam partisipasi, transparansi, dan akuntablitas dalam tata kelola pemerintahan yang baik. Keterbukaan informasi publik dapat mendorong kemajuan sebuah bangsa, karena memungkinkan adanya kontrol publik serta mendorong terciptanya check and balances.
In Indonesia, natural resources including oil and gas, mineral and coal mining are controlled by the state and managed for the greatest prosperity of the people1. This means that the country and its citizens are the true owners of the natural resource wealth. While, the utilization is represented by the government so that it is managed as well as possible for the purpose of people’s welfare in accordance with the stipulated provisions. In realizing the benefits of welfare, transparency and accountability in the management of natural resources are absolutely essential.
Openness of public information is a human right of every citizen who supports self- development and the life of a person, both personally / individually and in social relations, and in carrying out the role of national and state life in a good and responsible manner. Openness of public information is one of the characteristics of a democratic country, and is a prerequisite for participation, transparency and accountability in good governance. Openness of public information can encourage the progress of a nation, because it allows for public control and encourages the creation of checks and balances
Keterbukaan dalam menjalankan pemerintahan dibutuhkan untuk mewujudkan pemerintahan yang partisipatif, dimana masyarakat dapat aktif berpartisipasi mengawal dan mengawasi jalannya pemerintahan. Untuk mendukung hal tersebut, Pemerintah Indonesia telah berkomitmen untuk menggunakan prinsip keterbukaan informasi kepada publik di antaranya melalui Undang-Undang No.14 Tahun 2008 tentang keterbukaan publik dan lahirnya Open Government Partnership (OGP) yang kini beranggotakan 78 negara, dimana Indonesia menjadi salah satu pelopornya, serta lahirnya Perpres No. 39 Tahun 2019 tentang Satu Data
The principle of openness in running the government is needed to realize a participatory government where people can actively participate in overseeing policy implementation. To support this, the Government of Indonesia has committed to use the principle of public information disclosure, which is shown through Law No. 14/2008. Moreover, Indonesia had participated in Open Government Partnership (OGP) which has 78-member countries which Indonesia is one of the pioneers of OGP, as well as Presidential Decree No.39/2019 on Satu Data (One Data) Indonesia.
Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 9 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Pertambangan Mineral dan Batu Bara pada September, 2019. Dalam peraturan tersebut, Pemerintah memasukkan ketentuan yang mengatur tentang data dan sistem informasi pertambangan. Pemerintah Provinsi NTB juga menjamin ruang bagi publik untuk berpartisipasi melakukan pengawasan terhadap operasional pertambangan di wilayahnya. Dua klausul ini merupakan jawaban atas persoalan-persoalan mendasar yang dialami masyarakat yang hidup di sekitar tambang, diantaranya adalah minimnya akses informasi dan ruang partisipasi.
The government of West Nusa Tenggara Province issued a Local Government Regulation on Mining Governance in September 2019. In this newly-issued regulation, there is a specific chapter on data and information systems of the mining sector and also provisions that guarantee public participation to monitor mining activities in the province. This is an answer to the problems faced by the people living near mining areas in West Nusa Tenggara Province.
West Nusa Tenggara Province (NTB) is one of the provinces with abundant metal and non-metal mineral resources and spread in almost all districts / cities. Now, there are 261 Mining Business Licenses (IUP) in NTB, consisting of 27 metal mineral IUPs and 234 rock IUPs (NTB ESDM Service, 2019). From 27 metal mineral IUPs, in fact there are 11 IUPs covering an area of 35,519 ha that are indicated to be in protected and conservation forest areas (DG Minerba, MEMR, 2017). Whereas based on Law number 41 of 1999 concerning Forestry, the two regions may not be used for mining activities.
The need for contract (and licensing documents) openness in the extractive industries is currently getting stronger, along with public demands for a transparent and accountable extractive industry governance. Some cases have shown a good precedent of contract openness in the said sector in Indonesia
Komisi Informasi telah mengeluarkan Surat Edaran Nomor 2 Tahun 2020 tentang Pelayanan Informasi Penyediaan Publik dalam masa Darurat Kesehatan Masyarakat Akibat CoronaVirus Disease 2019 (Covid-19). Surat Edaran (SE) ini mengatur ketentuan penyediaan informasi terkait penanganan Covid-19 yang mudah dijangkau dan dipahami oleh masyarakat. Sehingga, diperlukan sebuah kajian untuk menilai pemenuhan hak informasi masyarakat, dan secara khusus menilai efektivitas implementasi SE tersebut. Kaji cepat ini bertujuan untuk; (1) mengetahui gambaran tata kelola keterbukaan informasi penanganan Covid-19 di Nusa Tenggara Barat (NTB) selama masa tanggap darurat Covid-19; dan (2) menilai sejauh mana efektivitas implementasi Surat Edaran Komisi Informasi Pusat Nomor 2 tahun 2020 di NTB. Hasil kaji cepat ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 dalam meningkatkan efektivitas penanganan Covid-19, serta meningkatkan partisipasi publik selama masa tanggap darurat. Kaji cepat ini dilaksanakan menggunakan metode survei secara online dan tatap muka selama 10 hari sejak tanggal 28 April-5 Mei 2020. Survei tatap muka dilakukan di Kabupaten Lombok Tengah, Lombok Barat dan Kota Mataram. Jumlah responden seluruhnya sebanyak 582 orang yang berasal dari seluruh kabupaten/kota di NTB. Sedangkan jumlah responden tatap muka sebanyak 121 orang yang dipilih secara acak berdasarkan jenis kelamin, usia, dan tingkat kesejahteraan rumah tangga.
Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 secara tegas menyatakan bahwa seluruh kekayaan alam yang ada di bumi Indonesia dikuasai oleh negara dan digunakan untuk mewujudkan kemakmuran rakyat.1 Minyak dan gas bumi (migas), serta pertambangan mineral dan batubara (minerba) merupakan beberapa kekayaan alam Indonesia, yang harus dikelola untuk mencapai tujuan Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945. Mengingat industri migas dan minerba tergolong sebagai industri ekstraktif yang high risk, high technology, dan high cost, maka pengelolaannya perlu dilakukan melalui kerja sama dengan berbagai pihak yang memiliki modal kapital maupun teknologi yang kompetitif. Kerja sama pengelolaan migas dan minerba ini sebagian besar dilakukan berdasarkan sistem kontrak. Dalam konteks Indonesia, sistem kontrak banyak digunakan untuk kegiatan sektor hulu yang mencakup kegiatan eksplorasi dan eksploitasi/produksi migas dan minerba, sedangkan untuk kegiatan
hilir dilaksanakan melalui pemberian izin usaha.2 Sejak tahun 2009, sebagian sektor hulu minerba dilaksanakan melalui sistem perizinan
Countries around the world collect taxes from their people in various forms, income tax, vehicle tax, land-building tax, fees from extraction of natural resources (royalties) and so forth. John Locke declared tax payments as reciprocity for meeting the people’s needs to get protection from the state.1 Such protection can be interpreted as guarantee and fulfillment of basic rights such as the right to life, health, ownership of property, and education.2 Richard Murphy emphasized the principle of protection, countries that collect taxes must protect their citizens without discrimination and provide public goods.3
Di Indonesia, kekayaan alam termasuk di dalamnya minyak dan gas bumi (migas) dan pertambangan mineral dan batubara (minerba) dikuasai
oleh negara dan dikelola untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat1. Ini artinya bahwa negara dan warganya adalah pemilik sesungguhnya kekayaan sumber daya alam (SDA). Sedangkan pemanfatannya diwakilkan kepada pemerintah agar dikelola dengan sebaik-baiknya untuk tujuan kesejahteraan rakyat sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan. Dalam mewujudkan manfaat kesejahteraan itu, maka transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan SDA mutlak untuk dilaksanakan
Article 33 paragraph (3) of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia expressly states that all-natural resources in the land of Indonesia are controlled by the state and used to realize the prosperity of the people.1 Oil and gas, as well as minerals and coal are some of Indonesia’s natural wealth, which must be managed to achieve the objectives of Article 33 paragraph (3) of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia. Considering that oil and gas, mineral and coal are classified as high risk, high technology, and high cost industries, the management needs to be done in collaboration with various parties who have capital and competitive technology. Most of the cooperation in oil and gas, mineral and coal management is carried out based on the contract system. In the Indonesian context, the contract system is widely used for upstream sector activities that include exploration and exploitation/production of oil and gas, and mineral and coal, while for downstream activities it is implemented through the granting of a business license.2 Since 2009, part of the upstream mineral and coal sector has been implemented through a licensing system.
Negara-negara di seluruh dunia memungut pajak dari rakyatnya dalam berbagai macam bentuk, pajak penghasilan, pajak kendaraan, pajak bumi-bangunan, iuran dari ekstraksi sumber daya alam (royalti) dan lain sebagainya. John Locke menyatakan pembayaran pajak sebagai timbal balik atas pemenuhan kebutuhan rakyat untuk mendapatkan perlindungan dari negara. Perlindungan tersebut dapat dimaknai sebagai jaminan dan pemenuhan atas hak-hak dasar seperti hak untuk hidup, sehat, memiliki properti, dan pendidikan. Richard Murphy mempertegas prinsip perlindungan tersebut bahwa negara yang memungut pajak harus melindungi warganya tanpa diskriminasi dan menyediakan kebutuhan publik (public goods).
More from Publish What You Pay (PWYP) Indonesia (20)
Disampaikan dalam Drum-up Laboratorium Inovasi Kabupaten Sorong, 27 Mei 2024
Dr. Tri Widodo W. Utomo, S.H., MA.
Deputi Kajian Kebijakan dan Inovasi Administrasi Negara LAN-RI
PETUNJUK TEKNIS INTEGRASI PELAYANAN KESEHATAN PRIMER
Kementerian Kesehatan menggulirkan transformasi sistem kesehatan.
Terdapat 6 pilar transformasi sistem kesehatan sebagai penopang kesehatan
Indonesia yaitu: 1) Transformasi pelayanan kesehatan primer; 2) Transformasi
pelayanan kesehatan rujukan; 3) Transformasi sistem ketahanan kesehatan;
4) Transformasi sistem pembiayaan kesehatan; 5) Transformasi SDM
kesehatan; dan 6) Transformasi teknologi kesehatan.
Transformasi pelayanan kesehatan primer dilaksanakan melalui edukasi
penduduk, pencegahan primer, pencegahan sekunder dan peningkatan
kapasitas serta kapabilitas pelayanan kesehatan primer. Pilar prioritas
pertama ini bertujuan menata kembali pelayanan kesehatan primer yang ada,
sehingga mampu melayani seluruh penduduk Indonesia dengan pelayanan
kesehatan yang lengkap dan berkualitas.
Penataan struktur layanan kesehatan primer tersebut membutuhkan
pendekatan baru yang berorientasi pada kebutuhan layanan di setiap
siklus kehidupan yang diberikan secara komprehensif dan terintegrasi
antar tingkatan fasilitas pelayanan kesehatan. Pendekatan baru ini disebut
sebagai Integrasi Pelayanan Kesehatan Primer, melibatkan Puskesmas, unit
pelayanan kesehatan di desa/kelurahan yang disebut juga sebagai Puskesmas
Pembantu dan Posyandu. Selanjutnya juga akan melibatkan seluruh fasilitas
pelayanan kesehatan primer.
Survei Kesehatan Indonesia (SKI) Tahun 2023Muh Saleh
Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 merupakan survei yang mengintegrasikan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) dan Survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGI). SKI 2023 dikerjakan untuk menilai capaian hasil pembangunan kesehatan yang dilakukan pada kurun waktu lima tahun terakhir di Indonesia, dan juga untuk mengukur tren status gizi balita setiap tahun (2019-2024). Data yang dihasilkan dapat merepresentasikan status kesehatan tingkat Nasional sampai dengan tingkat Kabupaten/Kota.
Ketersediaan data dan informasi terkait capaian hasil pembangunan kesehatan penting bagi Kementerian Kesehatan, Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota sebagai bahan penyusunan kebijakan, program dan kegiatan pembangunan yang lebih terarah dan tepat sasaran berbasis bukti termasuk pengembangan Rencana Pembangunan Kesehatan Jangka Menengah Nasional (RPJMN 2024-2029) oleh Kementerian PPN/Bappenas. Dalam upaya penyediaan data yang valid dan akurat tersebut, Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan (BKPK) bekerjasama dengan Badan Pusat Statistik (BPS) dalam penyusunan metode dan kerangka sampel SKI 2023, serta bersama dengan Lintas Program di Kementerian Kesehatan, World Health Organization (WHO) dan World Bank dalam pengembangan instrumen, pedoman hingga pelaporan survei.
Disampaikan pada PKN Tingkat II Angkatan IV-2024 BPSDM Provinsi Jawa Tengah dengan Tema “Transformasi Tata Kelola Pelayanan Publik untuk Mewujudkan Perekonomian Tangguh, Berdayasaing, dan Berkelanjutan”
Dr. Tri Widodo Wahyu Utomo, S.H., MA
Deputi Kajian Kebijakan dan Inovasi Administrasi Negara LAN RI
Pokok-Pokok Pikiran Usulan Koalisi Masyarakat Sipil dalam Revisi UU Migas 22/2001
1. POSITION NOTE : POKOK POKOK PIKIRAN USULAN REVISI UU MIGAS
Pokok Pokok Pikiran
Usulan Koalisi Masyarakat Sipil
dalam Revisi UU Migas 22/2001
POSITION NOTE
JUNI, 2015
Position Notes
Konteks
Penyusunan kembali kebijakan sektor Minyak dan Gas Bumi di Indonesia, melalui
undang-undang adalah mutlak diperlukan. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001
tentang Minyak dan Gas Bumi (UU 22/2001) dinilai kurang memberikan daya
dorong bagi perkembangan sektor Minyak dan Gas Bumi (Migas) di Indonesia serta
kurang menjawab aspek ketahanan energi kita. Hal ini ditandai dengan sejumlah
persoalan-persoalan antara lain jumlah produksi yang terus menyusut, krisis energi,
tata kelola yang kurang transparan dan akuntabel, serta persoalan hukum
kelembagaan pengelola sektor migas.
Terkait produksi, sebagai contoh pada tahun 2005, total produksi minyak
Indonesia tidak mampu mengimbangi kebutuhan domestik Indonesia. Pada saat itu
konsumsi minyak Indonesia mencapai 1,3 Juta barel/hari dengan produksi nasional
Indonesia sebesar 1.1 Juta barel/hari. Tren ini berlanjut hingga 2014 dengan posisi
konsumsi domestik Indonesia sebanyak 1,6 Juta Barel/hari, sedangkan produksi
menyusut menjadi 800 ribu barel/hari.
Pada isu tata kelola, penerapan UU 22/2001 memiliki beberapa persoalan
pada sektor hulu, mid-stream dan hilir, terutama menyangkut aspek transparansi
dan akuntabilititas. Pada sektor hulu terkait cost recovery, audit BPK menunjukan
adanya potensi kerugian negara dari dispute yang terjadi, sebagaimana temuan
audit BPK tahun 2013 terkait biaya penyimpangan pembayaran cost recovery
sebesar USD 221,5 juta atau Rp. 2,25 triliun pada periode 2010-2012. Pada sektor
mid-stream, penjualan dan pembelian minyak mentah ditengarai sarat dengan
praktek mafia pemburu ‘rente’, yang salah satunya diindikasikan dengan temuan
kasus suap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam penjualan minyak
mentah dan kondensat bagian negara (government entitlement). Pada sektor hilir,
misalnya diindikasikan oleh dugaan praktek ketertutupan dan ketidakefisienan
dalam proses pengadaan minyak mentah untuk kebutuhan BBM dalam negeri oleh
Petral yang dinyatakan oleh Menteri ESDM baru-baru ini.
Terkait investasi sektor hulu, ketentuan yang berlaku dalam UU 22/2001
berupa penyertaan modal (participating interest) sebesar 10% yang menjadi hak
daerah pun tidak sepi dari isu pemburu rente, yang alih-alih menguntungkan
daerah, melainkan bagi hasil keuntungan penyertaan (dividen) yang lebih lebih
besar dinikmati oleh pihak ketiga (pemodal). Sedangkan pada subtansi hukum, UU
22/2001 setidak-tidaknya telah tiga kali dimintakan uji materi kepada Mahkamah
Konstitusi (MK), yang kemudian diputuskan melalui Putusan MK No. 002/PUU-I/
2003, Putusan MK No. 20/PUU-V/2007, dan Putusan MK No. 36/PUU-X/2012.
Dari ketiga putusan tersebut, Putusan MK Nomor 36/PUU-X/2012 memiliki
dampak signifikan kepada sektor Migas di Indonesia dengan membubarkan BP
Migas sebagai lembaga pelaksana kegiatan hulu Migas di Indonesia
2. POSITION NOTE : POKOK POKOK PIKIRAN USULAN REVISI UU MIGAS
Berdasarkan uraian permasalah tersebut, maka
diperlukan sebuah rumusan undang-undang baru di sektor
Migas yang dapat menjawab persoalan-persoalan di atas.
Usulan Materi Revisi UU Migas
Rancangan Undang-Undang Migas usulan koalisi
masyarakat sipil ini mengusulkan pengaturan-pengaturan
untuk menjawab permasalahan UU 22/2001 sebagaimana
diuraikan di atas. Secara umum usulan RUU ini
menggarisbawahi aspek perencanaan dan pencadangan migas
untuk ketahanan energi; sinergi kegiatan migas dengan
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; prinsip
transparansi, partisipasi dan akuntabilitas;; pemanfaatan
migas untuk pengembangan energi bersih-terbarukan dan
stabilisasi ekonomi; serta kepentingan daerah dan
pembangunan yang mensejahterakan masyarakat
.
1. Perencanaan dan Pencadangan Migas
Perencanaan memiliki peran penting dalam pengelolaan
migas di Indonesia, yaitu: Pertama, adanya pendekatan secara
komprehensif yang terintegrasi antara sektor hulu dan hilir.
Kedua, melakukan sinkronisasi berbagai rencana kebijakan
pemerintah terkait dengan pencadangan dan pemenuhan
kebutuhan energi nasional sebagai strategi ketahanan energi.
Ketiga, menyelaraskan kebijakan pemanfaatan dan pengelolaan
migas dengan kebijakan di sektor lingkungan hidup, tata
ruang, pertanahan, dan aspek pembangunan berkelanjutan
lainnya.
Penegasan aspek perencanaan dalam RUU migas ini
merupakan inisiatif untuk melakukan koreksi terhadap UU
22/2001 yang kental dengan nuansa eksplorasi dan eksploitasi
(pelaksanaan kegiatan usaha/pemanfaatan migas), tanpa
adanya perencanaan yang komperehensif sebagai bagian dari
strategi ketahanan energi. RUU Migas ini mengatur
pengelolaan migas dengan pendekatan komprehensif sejak
dari perencanaan, eksplorasi-eksploitasi, produksi dan
penerimaan negara, hingga manajemen hasil dan ketahanan
energi hingga aspek penegakan hukum. Oleh karena itu pada
tataran implementasi, pemerintah seharusnya telah
mempersiapkan instrumen perencanaan terlebih dahulu
sebelum memanfaatkan migas untuk strategi pembangunan.
Perencanaan migas disusun berdasarkan pertimbangan:
• hasil inventarisasi potensi dan cadangan minyak dan gas
bumi; dengan mempertimbangkan laju eksploitasi dan
pertimbangan tingkat pengembalian cadangan (reserve
replacement ratio) yang ideal.
• kebijakan Energi Nasional dan Rencana Umum Energi
Nasional sebagaimana diatur dalam undang-undang dan
Peraturan Pemerintah.
• Kajian Lingkungan Hidup Strategis dan Rencana
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
sebagaimana diatur dalam undang-undang tentang
pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup;
• Rencana pembangunan nasional baik jangka menengah
maupun panjang; agar selaras dengan strategi
pembangunan lainnya
serta terdapat indikator dan proses
minitoring dan evaluasi yang sistemik.
• Rencana Tata Ruang dan Wilayah; termasuk pemanfaatan
lahan, pemanfaatan hutan dan kawasan lainnya.
• Sebaran penduduk, kondisi geografis dan
kearifan lokal.
• Strategi pengembangan ekonomi yang distributif, dan
berkeadilan sosial
Perencanaan ini setidaknya memuat:
• Pemenuhan kebutuhan energi nasional dari sektor minyak
dan gas bumi;
• Inventarisasi dan keseimbangan neraca potensi,
pencadangan dan pemanfaatan minyak bumi
• Pemeliharaan dan perlindungan lingkungan hidup yang
terkena dampak dari kegiatan usaha minyak dan gas bumi;
• Pengendalian dan pengawasan industri hulu minyak dan gas
bumi; serta pengawasan pemanfaatan dan distribusi di
sektor hilir
• Strategi pengurangan tingkat ketergantungan pada energi
fosil, melalui substitusi secara bertahap pemenuhan energi
dari sumber minyak dan gas bumi ke sumber energi yang
terbarukan.
Kewajiban Pemenuhan Kebutuhan Domestik
(Domestic Market Obligation)
Putusan MK No. 002/PUU-I/2003 membatalkan
Pasal 22 ayat (1) UU 22/2001. MK berpendapat bahwa frasa
“paling banyak” dalam Pasal tersebut berarti hanya ada pagu
atas (patokan persentase tertinggi) tanpa memberikan batasan
pagu terendah, hal ini berpotensi digunakan oleh pelaku
usaha untuk menyerahkan DMO bagiannya dengan
persentase serendah-rendahnya. Hal ini bertentangan dengan
prinsip Pasal 33 UUD RI Tahun 1945.
Putusan MK tersebut menyatakan bahwa pasal
tentang DMO dalam UU Migas 22/2001 telah tidak memiliki
kekuatan hukum tetap. Dengan demikian kami memandang
bahwa pengaturan DMO harus disesuaikan dengan
perencanaan dan dan prioritas pemenuhan kebutuhan dalam
negeri. Dimana, besaran DMO ditetapkan strateginya oleh
Pemerintah yang selaras dengan proses perencanaan
pembangunan dengan pertimbangan DPR. Hal tersebut juga
dimaksudkan agar Pemerintah tidak memiliki batasan dalam
mengatur ketentuan DMO, sebagai pengejawantahan fungsi
penguasaan dan pengaturan sebagaimana mandat pasal 33
UUD 1945.
POSITION NOTE
JUNI, 2015
3. POSITION NOTE : POKOK POKOK PIKIRAN USULAN REVISI UU MIGAS
2. Penyelenggaraan Kegiatan Usaha Migas
Dalam penyelenggaraan kegiatan usaha migas, koalisi
ini memberikan penekanan pada aspek model dan mekanisme
pelaksanaan kontrak migas, aspek kelembagaan di sektor hulu
maupun hilir, aspek penerimaan negara dan perpajakan, cost
recovery, serta aspek perlindungan atas dampak lingkungan
dari kegiatan migas.
Model Pelaksanaan Kontrak Migas
Koalisi ini memandang bahwa model Kontrak Kerja
Sama (baik Production Sharing Contract (PSC) maupun Technical
Assistant Contract (TAC) secara umum saat ini masih dapat
untuk dipertahankan, namun jika terdapat kebutuhan
dimungkinkan untuk adanya variasi misalnya pada fiscal term
atau ketentuan perpajakan (taxation) lainnya. Pada proses
tender penawaran Wilayah Kerja (WK) baru ataupun proses
perpanjangan, perlu dibuat mekanisme yang lebih baku,
dengan kriteria yang jelas dan proses due diligent yang lebih
transparan dan akuntabel untuk menghindari ruang bagi
diskresi para negosiator yang sangat rentan terhadap korupsi.
Pada Blok Migas perpanjangan, hak pertama penawaran
pertama diutamakan untuk BUMN, dan perlu diatur
mekanisme transisi yang menguntungkan bagi semua pihak
agar tidak menimbulkan krisis produksi dan kinerja
pengelolaan migas.
Setting Kelembagaan Sektor Hulu dan Hilir
Pada dasarnya, hak kepemilikan Migas ada pada
negara (mining property right) yang hak pengelolaannya menjadi
tanggung jawab Pemerintah (economic right). Pemerintah
kemudian membentuk kelembagaan di sektor migas, yang
diberi mandat untuk menjalankan fungsi pemanfaatan,
pengaturan, pengusahaan, pengelolaan, dan pengawasan di
sektor migas. Lembaga tersebut berupa Badan Usaha Khusus
yang berbentuk BUMN untuk menjalankan 5 (lima) fungsi
strategis di atas, yang diawasi oleh lembaga pengawas yang
juga melibatkan unsur independen.
Putusan MK No.36/PUU-X/2012 menyatakan bahwa:
“Dalam menjalankan penguasaan Negara atas
sumber daya alam Migas, Pemerintah
melakukan tindakan pengurusan atas sumber
daya alam Migas dengan memberikan konsesi
kepada satu atau beberapa Badan Usaha Milik
Negara untuk mengelola kegiatan usaha Migas
pada sektor hulu, kemudian Badan Usaha Milik
Negara itulah yang akan melakukan KKS
dengan Badan Usaha Milik Daerah, Koperasi,
Usaha Kecil, badan hukum swasta, atau Bentuk
Usaha Tetap.”
Berdasarkan Putusan MK tersebut, Negara melakukan
keseluruhan pengelolaan migas. Dalam hal ini, Negara
menguasai sumber daya migas sebagai kekayaan
nasional. Penguasaan Negara tersebut kemudian
diselenggarakan oleh Pemerintah. Penyelenggaraan oleh
Pemerintah meliputi: penyelenggaraan fungsi
pengaturan dan pengurusan oleh Menteri ESDM,
penyelenggaraan fungsi pengelolaan oleh BUMN, dan
penyelenggaraan fungsi pengawasan oleh Badan
Pengawas.
Fungsi Pengaturan dan pengurusan dilakukan
dengan penyusunan regulasi dan peraturan perundang-
undangan serta pemberian izin kuasa pertambangan. Fungsi
Pengelolaan dilakukan oleh BUMN sebagai penerima kuasa
pertambangan. Fungsi Pengawasan dilakukan terhadap
kegiatan hulu dan kegiatan hilir migas.
“Dalam menjalankan penguasaan Negara atas sumber daya
alam Migas, Pemerintah melakukan tindakan pengurusan atas
sumber daya alam Migas dengan memberikan konsesi kepada
satu atau beberapa Badan Usaha Milik Negara untuk
mengelola kegiatan usaha Migas pada sektor hulu, kemudian
Badan Usaha Milik Negara itulah yang akan melakukan KKS
dengan Badan Usaha Milik Daerah, Koperasi, Usaha Kecil,
badan hukum swasta, atau Bentuk Usaha Tetap.”
Putusan MK No.36/PUU-X/2012
POSITION NOTEPOSITION NOTE
JUNI, 2015
4. POSITION NOTE : POKOK POKOK PIKIRAN USULAN REVISI UU MIGAS
BUMN Pengelola
Dalam melaksanakan fungsi pengelolaan migas,
pemerintah melimpahkan Kuasa Pertambangan kepada
BUMN Pengelola untuk melakukan fungsi pengelolaan hulu
migas. Dalam hal BUMN Pengelola tidak dapat melakukan
pengelolaan sendiri, maka dapat melakukan kerja sama
dengan badan usaha lain melalui mekanisme Kontrak Kerja
Sama. BUMN Pengelola memiliki tugas menjamin kebutuhan
nasional atas Migas baik untuk konsumsi maupun mendukung
kegiatan ekonomi nasional dan mencari cadangan strategis
Migas untuk ketahanan energi baik di dalam maupun di luar
negeri. Dalam melaksanakan tugas tersebut BUMN Pengelola
memiliki kewenangan untuk melakukan kegiatan eksplorasi
dan eksploitasi di Wilayah Kerja secara intensif serta
memproduksi Migas secara optimal dengan Kaidah
Keteknikan yang baik dan melakukan manajemen operasi
secara transparan dan akuntabel.
Badan Pengawas
Putusan MK No.36/PUU-X/2012 dalam
pertimbangannya, menyatakan bahwa pengawasan menjadi
salah satu makna “penguasaan Negara” dalam Pasal 33 UUD
1945. Selain mengadakan kebijakan, pengurusan, pengaturan,
dan pengelolaan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Perubahan struktur kelembagaan tidak serta merta
memberikan jaminan adanya kinerja yang efektif. Pengalaman
di Negara lain menunjukkan bahwa dibutuhkan mekanisme
untuk menjamin akuntabilitas terhadap publik maupun antar
lembaga pemerintah jika lembaga-lembaga tersebut ingin
dapat memaksimalkan efektivitasnya, serta mengurangi resiko
terjadinya skandal atau konflik kepentingan. Dengan
demikian pengawasan menjadi salah satu agenda utama yang
harus diatur dalam UU Migas yang baru. Dalam hal
melakukan pengawasan, Pemerintah yang dalam hal ini
adalah Presiden mengangkat Badan Pengawas untuk
melakukan pengawasan atas kegiatan usaha hulu dan hilir
migas, yang dilakukan oleh BUMN Pengelola serta Badan
Usaha. Badan Pengawas beranggotakan 5 (lima) orang yang
mewakili unsur pemerintah, masyarakat sipil, akademisi, dan
dunia usaha.
Penerimaan Negara dan Perpajakan
(Revenue dan Taxation)
Mekanisme perpajakan dan penerimaan negara dari
sektor migas hendaknya didorong untuk mengatasi persoalan
pengembangan sektor migas, pemenuhan kebutuhan energi
dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, serta menopang
ketahanan energi yang berkelanjutan. Mekanisme perpajakan
dan penerimaan negara didorong menjadi lebih adil,
transparan dan akuntabel, dengan memperhatikan
pemanfaatan penerimaan negara bagi kesejahteraan
masyarakat. Dalam hal ini juga diperlukan kepastian hukum
dari mekanisme perpajakan di sektor migas. Pembelanjaan
Penerimaan negara sektor migas didorong pelaksanaannnya
secara efektif, tepat sasaran, berkelanjutan dan
memperhatikan kepentingan inter-generasi.
Koalisi ini mendorong penguatan inisiatif
transparansi penerimaan melalui mekanisme EITI (Extractive
Industries Transparency Initiative). EITI merupakan mekanisme
pelaporan penerimaan negara (pajak dan non-pajak) yang
dibayarkan oleh perusahaan ekstraktif dan yang diterima oleh
pemerintah. Indonesia telah menjadi anggota EITI sejak
tahun 2010 yang mekanisme pelaksanaannya diatur melalui
Peraturan Presiden No.26/2010. Melalui EITI, diharapkan
dapat terjadi: crosscheck and balance antara pemerintah-
pengusaha-dan masyarakat, terutama terkait informasi
produksi/lifting, penerimaan negara dan dana bagi hasil
migas. Melalui EITI, persoalan asimetri informasi yang
menimbulkan ketidakpercayaan publik diharapkan dapat
terkurangi secara bertahap.
Cost Recovery
Dengan model kelembagaan hulu migas yang baru
(sesuai usulan koalisi ini), cost recovery dilakukan oleh BUMN
Pengelola. RUU ini menekankan pada aspek transparansi cost
recovery. Ketertutupan dalam penentuan dan perincian cost
recovery selama ini ditengarai memberi peluang terjadinya
praktek-praktek kolusi dan korupsi sebagaimana terafirmasi
dalam temuan pemeriksaan BPK pada tahun 2013 dimana
ditemukan biaya penyimpangan pembayaran cost recovery
sebesar USD 221,5 juta atau Rp. 2,25 triliun pada periode
2010-2012.2 Penerapan transparansi merupakan kunci untuk
meningkatkan akuntabilitas perhitungan cost recovery yang
dibayarkan
kepada kontraktor KKS.
Selain itu, mengenai biaya-biaya operasi apa saja
yang bisa di-recover, RUU ini mengusulkan agar biaya
pengelolaan lingkungan hidup tidak dimasukkan dalam cost
recovery agar perusahaan migas terdorong untuk benar-benar
mengelola lingkungannya dengan baik. Apabila terjadi
pencemaran/kerusakan lingkungan hidup, perusahaan lah
yang akan bertanggung jawab atas segala kerugian yang
ditimbulkan dan biaya pemulihan lingkungan sesuai dengan
asas polluters pays principle yang diatur di UU No.32 Tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup dan instrumen hukum internasional.
Perlindungan Lingkungan
Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang
Minyak dan Gas Bumi (UU 22/2001) tidak banyak mengatur
aspek lingkungan dalam kegiatan migas. Padahal, kegiatan
usaha migas merupakan salah satu kegiatan yang memiliki
dampak terhadap lingkungan. Selain dampak perubahan
permukaan tanah, kegiatan usaha migas juga mengeluarkan
emisi yang menjadi salah satu penyebab perubahan iklim.
UU 22/2001 mengatur aspek lingkungan dalam
kesatuannya dengan aspek Kesehatan dan Keselamatan Kerja
(K3), sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 40 ayat (2):
INVESTOR NEWSLETTER ISSUE N°3
FALL 2009POSITION NOTE
JUNI, 2015
5. POSITION NOTE : POKOK POKOK PIKIRAN USULAN REVISI UU MIGAS
Secara substansi dan tujuan,
K3 dan pengelolaan lingkungan hidup
memiliki perbedaan yang signifikan,
sehingga seharusnya pengaturanya
dipisah. Oleh karena itu, RUU Migas
usulan koalisi masyarakat ini mengatur
aspek lingkungan hidup terpisah dari
ketentuan K3.
Pengaturan aspek lingkungan
hidup mencakup kewajiban BUMN dan
Badan Usaha dalam menjamin
perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup dan kewajiban bagi
usaha tertentu untuk memiliki asuransi
lingkungan hidup. Perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup mencakup
kegiatan pencegahan, penanggulangan,
dan pemulihan atas terjadinya
pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan akibat kegiatan migas.
Pengaturan mengenai asuransi
lingkungan hidup dilakukan sebagai
upaya memperkuat konsep strict liability
(tanggung jawab mutlak) dalam kasus
lingkungan yang saat ini telah diatur
dalam Undang-Undang No. 32 Tahun
2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dengan
diaturnya jaminan keuangan/asuransi,
perusahaan tidak diperbolehkan
melakukan pengeboran apabila tidak
memiliki asuransi/jaminan keuangan
dengan minimum cakupan sebagaimana
ditentukan dalam peraturan perundang-
undangan.
Sedangkan pengaturan
mengenai K3 ditujukan untuk
memberikan perlindungan bagi sumber
daya manusia yang bekerja pada industri
migas. Perlindungan K3 dilakukan sesuai
dengan standar dan mutu yang berlaku,
kaidah keteknikan yang baik, dan
peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Perlindungan lainnya terkait
dengan kegiatan migas adalah terkait
dengan pengadaan tanah untuk
kepentingan migas. Pasal 10 huruf e
Undang-Undang No. 2 Tahun 2012
tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan Untuk Kepentingan
Umum menyatakan bahwa kegiatan
migas masuk dalam kategori kegiatan
pembangunan untuk kepentingan umum.
Oleh karena itu, pengadaan tanah untuk
kegiatan migas harus tunduk kepada UU
2/2012. Meski demikian, pengadaan
tanah untuk kegiatan migas ini harus
pula mempertimbangkan eksistensi dan
kepemilikan tanah serta hutan adat oleh
masyarakat adat sebagaimana juga telah
dikuatkan oleh Keputusan Mahkamah
Konstitusi.
3. Peranan Pemerintah
Daerah
Sejak reformasi, kebijakan
desentralisasi yang dilaksanakan
diantaranya bertujuan untuk
memberikan kewenangan yang lebih
besar kepada pemerintah daerah untuk
mendesain prioritas pembangunannya
sendiri dan menggunakan SDA yang
tersedia untuk membangun daerah.
Meskipun pengelolaan sektor Migas
masih sangat terpusat, dalam konteks
desentralisasi pemerintah daerah
mengambil peran yang lebih besar
untuk mengelola pendapatan dari
Migas lewat mekanisme Dana Bagi
Hasil (DBH) Migas yang ditransfer
pemerintah Pusat ke kas daerah.
Prosentasi DBH untuk APBD
daerah-daerah penghasil Migas
meningkat cukup signifikan dan
memiliki pengaruh yang besar
terhadap kapasitas fiskal daerah.
Karena itu APBD untuk daerah-
daerah penghasil Migas memiliki resiko
yang cukup besar terhadap volatilitas
harga komoditas dunia dengan
demikian keberlangsungan
perencanaan pembangunan daerah
sangat dipengaruhi oleh situasi pasar
dunia yang relatif tidak stabil. Dalam
konteks tersebut diperlukan mekanisme
di daerah-daerah penghasil untuk
dapat meminimalisir resiko volatilitas
harga komoditas dunia terhadap
perencanaan pembangunan dan
kapasitas fiskal daerah lewat Sovereight
Wealth Funds (SWF) sebagaimana
telah disebutkan di atas. .
“Badan Usaha atau Bentuk
Usaha Tetap menjamin
keselamatan dan kesehatan
kerja serta pengelolaan
lingkungan hidup dan menaati
ketentuan peraturan
perundang-undangan yang
berlaku dalam kegiatan usaha
Minyak dan Gas Bumi.”
Pasal 40 ayat (2), UU Migas
22/2001
INVESTOR NEWSLETTER ISSUE N°3
FALL 2009POSITION NOTE
JUNI, 2015
6. POSITION NOTE : POKOK POKOK PIKIRAN USULAN REVISI UU MIGAS
Participating Interest
Masalah yang kerap terjadi pada participating
interest adalah daerah tidak mampu mengambil keseluruhan
hak participating interest, kecuali mereka menggandeng pihak
swasta. Hal ini membuat tujuan adanya participating interest,
yaitu untuk melibatkan, serta memberikan manfaat kepada
pemerintah daerah, perusahaan daerah dan warga lokal
menjadi tidak tercapai, dikarenakan skema kerja sama yang
lebih menguntungkan pihak ketiga. RUU Migas usulan
masyarakat ini mengusulkan besaran skema participating
interest sebesar maksimal 10% dimana Pemda diberi
fleksibilitas untuk mengambil bagian sesuai kemampuannya.
Koalisi ini mendorong agar BUMD dapat meminjam kepada
lembaga pembiayaan seperti Pusat Investasi Pemerintah atau
menerbitkan obligasi untuk menghimpun dana dari
masyarakat. Selain itu, BUMD yang dapat mengambil
participating interest adalah BUMD yang kepemilikan
modalnya 100% dikuasai oleh Pemerintah Daerah.
4. Transparansi, Akuntabilitas dan Partisipasi
Di era modern saat ini, aspek keterbukaan informasi,
akuntabilitas dan partisipasi merupakan elemen penting
dalam penyelenggaraan negara dan tata pemerintahan yang
baik. Oleh karena ini, RUU usulan masyarakat ini mendorong
penguatan aspek keterbukaan informasi, akuntabilitas dan
partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sektor migas.Hal
tersebut juga sejalan dengan keikutsertaan Pemerintah dalam
mendorong keterbukaan tata pemerintahan secara global,
misalnya melalui standar EITI maupun Open Government
Partnerhsip (OGP).
Dalam pelaksanaan kegiatan sektor migas,
keterbukaan informasi secara pro-aktif (setiap saat), berkala,
maupun serta merta selaras dengan pelaksanaan Undang-
Undang Keterbukaan Informasi Publik (UU 14/2008). UU
ini juga mewajibkan pembentukan Pejabat Pengelola
Informasi dan Dokumentasi (PPID) di setiap badan publik,
guna memenuhi hak publik atas informasi. Keterbukaan
informasi, akuntabilitas dan partisipasi didorong terjadi di
sepanjang rantai proses industri migas, sektor hulu maupun
hilir. Di sektor hulu, transparansi, akuntabilitas dan partisipasi
didorong terjadi saat proses penawaran wilayah kerja (kontrak
blok migas), proses eksplorasi dan eksploitasi, produksi dan
penjualan migas, proses pembayaran penerimaan negara,
dana bagi hasil, maupun alokasi pembelanjaan pendapatan
migas. Di sektor hilir, transparansi, akuntabilitas dan
partisipasi didorong terjadi dalam proses transportasi,
pengangkutan dan distribusi hasil migas, pengadaan minyak
mentah untuk BBM, serta perhitungan dan alokasi subsidi
migas berikut pembiayaan dan distribusinya.
RUU Migas ini juga harus dapat menegaskan
pentingnya akses informasi publik atas dokumen dan proses
pemberian kontrak kerja sama, dengan tentu saja
menghormati kepentingan para pihak sebagaimana diatur
dalam Pasal 17 UU KIP. Pada proses lelang dan pemberian
kontrak didorong agar lebih transparan dan fair, dimana pada
setiap proses diharapkan pemerintah memberikan argumen
secara terbuka kepada publik sebagai dasar pengambilan
keputusannya. Hal tersebut juga akan memudahkan DPR
(dan juga publik) untuk melakukan pengawasan terhadap
proses lelang dan pelaksanaan sebuah kontrak kerja sama
migas.
Penutup
Position note ini disusun sebagai gambaran pokok-pokok
fikiran dari usulan revisi Undang-Undang Migas 22/2001
yang disusun oleh jaringan koalisi masyarakat sipil Publish
What You Pay Indonesia yang diinisiasi oleh kelompok kerja
advokasi revisi undang-undang migas, terdiri dari Indonesia
Center for Environmental Law (ICEL), Pusat Studi Hukum
dan Kebijakan (PSHK), Institut for Essential Services Reform
(IESR), dan Indonesia Parliamentary Center (IPC). Position
note ini merupakan brief singkat dari isi draft Revisi Undang
Undang Migas-versi usulan masyarakat sipil, berikut
penjelasannya yang juga dilengkapi oleh Naskah Akademik
dalam dokumen yang terpisah.
POSITION NOTE
JUNI, 2015
Tim Penyusun
Dessy Eko Prayitno, Nisa Istiqomah, M. Giri Taufik, Maryati Abdullah,Aryanto Nugroho, Sulastio, Emanuel Bria.
Alamat
Sekretariat Nasional Publish WhatYou Pay Indonesia
Jl.Tebet Utara 2C No.22B,Tebet, Jakarta Selatan 12810, Indonesia
T/F : +62 21 8355560 | sekretariat@pwyp-indonesia.org | www.pwyp-indonesia.org