cara untuk membunuh gulma dengan pestisida seperti kontak dan sistemik
Pikp modul08 sub sistem pengolahan
1. PENGANTAR ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN:
SubSistem Pengolahan Hasil Perikanan
Bambang Budi Sasmito
Laboratorium Pengolahan Hasil Perikanan, THP-FPIK UB
Email : niabbs@ub.ac.id
Pokok Bahasan : SubSistem Pengolahan Hasil Perikanan
B. Diskripsi Singkat : Modul membahas pengawetan ikan sebagai
bagian dari Sistem Perikanan secara
keseluruhan. Modul ini diberikan setelah sistem
perikanan tangkap dan sistem perikanan
budidaya. Aspek utama yang dibahas ialah
jenis-jenis pengawetan ikan yang pada akhirnya
merugikan manusia.
C. Tujuan Instruksional Khusus:
1. Peserta bisa menjelaskan (dengan kalimat sendiri) definisi dari
sistem pengawetan ikan sebagai bagian dari sistem perikanan
secara keseluruhan;
2. Peserta bisa menyebutkan komponen utama pada sistem
pengawetan ikan
3. Peserta bisa menyebutkan 5 (lima) tipe pengawetan ikan;
4. Peserta mampu menjelaskan jenis-jenis manipulasi terhadap
sistem yang dilakukan manusia dalam usaha mengawetkan ikan
5. Peserta bisa menyelesaikan projek tentang pilihan pengawetan
ikan
D. Isi Pokok Bahasan:
1. Pendahuluan
Sejarah pengolahan ikan sudah dimulai sejak dahulu kala, ribuan
tahun sebelum masehi. Kapan mulainya orang-orang mengenal cara-
cara pengolahan ikan tidak diketahui secara pasti. Namun bukti-bukti
menunjukan bahwa ketika masih jaman batupun telah diketahiu adanya
cara-cara pengolahan ikan secara sederhana. Diduga pengeringan
merupakan metode pengawetan dan pengolahan ikan yang pertama-
tama dikerjakan orang. Kemudian peralatan dari logam mulai digunakan
kira-kira 3500 sebelum masehi (Hadiwiyoto, 1993).
MODUL
8
2. Sasmito, B.B - FAKULTAS PERIKANAN & ILMU KELAUTAN
Page 2 of 9
Mata Kuliah PIKP/ SubSistem Pengolahan Hasil Perikanan 2012University of Brawijaya
Dengan semakin berkembangnya pasar dan teknologi pengolahan hasil perikanan,
maka setiap pengolah ikan dituntut agar dapat menerapkan tehnik-teknik baru atau
yang lebih memadai. Tujuan pengolahan ikan pada dasarnya adalah memperpanjang
daya awet, meningkatkan nilai tambah produk dan memanfaatkan secara efisien
komponen-komponennya. Produk perikanan sangat mudah busuk atau kehilangan
kesegarannya, sehingga sangat diperlukan cara atau proses pengolahan yang dapat
memperpanjang daya awet produk tersebut. Dengan demikian produk tersebut dapat
disimpan dalam waktu yang relatif lama dan dapat didistribusikan ke lokasi-lokasi
yang jauh dari lokasi penangkapannya. (Ariani, 2002).
Usaha mencegah proses pembusukan agar ikan-ikan yang melimpah dapat
memanfaatkan, perlu dikembangkan berbagai cara pengawetan dan pengolahan yang
cepat serta tepat. Memang dalam masalah cita rasa akan memiliki perbedaan antara
ikan yang masih segar dengan yang sudah diawetkan. Bahkan dari semua cara
pengawetan ikan akan menyebabkan perubahan sifat-sifat yang terdapat pada ikan
segar, baik dalam hal bau, rasa, bentuk, maupun struktur dagingnya. Pengawetan
cara tradisional merupakan cara yang umum dilakukan oleh para nelayan dengan
menggunakan peralatan dan bahan-bahan yang sangat sederhana. Cara yang biasa
dilakukan adalah pengeringan, pengasapan, penggaraman, dan fermentasi (Irawan,
1997).
Protein ialah komponen terpenting pada makanan. Berdasarkan sumbernya,
protein bisa dibedakan ke dalam protein nabati (tumbuhan) dan protein hewani
(berasal dari hewan). Selanjutnya, protein hewani pada dasarnya dibedakan lagi
dalam dua kelompok, ialah: hewan ternak di darat dan protein yang berasal dari ikan
atau binatang air lainnya. Pengetahuan tentang ternak di darat sudah banyak
diketahui dibandingkan dengan ikan. Namun ikan mengandung beberapa bahan
penting yang tidak terdapat pada hewan ternak di darat. Selain itu, beberapa jenis
ikan mempunyai rasa yang sangat khas dan enak menurut selera kebanyakan
masyarakat. Hal ini menempatkan ikan sebagai salah satu komponen sumber
makanan yang penting bagi manusia. Masalah utama pada ikan ialah dia lebih cepat
mengalami pembusukan dibandingkan daging dari hewan ternak di darat sehingga
membutuhkan penanganan khusus.
Ikan yang kita makan sehari-hari bisa berasal dari dua sumber kegiatan, ialah
penangkapan dan/atau budidaya. Ikan mempunyai kandungan air yang relatif tinggi
dibanding hewan ternak. Hal ini membuat ikan sebagai media yang optimal untuk
pertumbuhan organisme pengurai protein maupun organisme patogen. Hal ini
membuat ikan akan cepat mengalami proses pembusukan. Proses pembusukan
secara mudah bisa kita ketahui dari warna alminya yang berubah dan baunya yang
menyengat. Proses pembusukan berdampak pada penolakan komoditas untuk
dikonsumsi oleh masyarakat. Pembusukan akan merugikan nelayan atau petani ikan.
Kita sudah sering mendengar dari nelayan yang membuang ikan ke laut pada saat
musim panen karena tidak laku dijual. Sebaliknya, harga ikan menjadi mahal pada
saat musim paceklik (low fishing season).
3. Sasmito, B.B - FAKULTAS PERIKANAN & ILMU KELAUTAN
Page 3 of 9
Mata Kuliah PIKP/ SubSistem Pengolahan Hasil Perikanan 2012University of Brawijaya
Gambar 1 Diagram hipotetik nomenklatur sumber protein dan proses pembusukan
dari berbagai sumber protein hewani.
Ikan yang sedang mengalami proses pembusukan bisa dibedakan dari ikan
yang masih segar dengan karakteristik sebagai berikut:
1) Karakteristik ikan segar:
Daging kenyal;
Mata jernih dan menonjol;
Sisik kuat dan mengkilap;
Warna cemerlang secara keseluruhan;
Insang berwarna merah;
Dinding perut masih kuat (tidak lembek)
ikan berbau tapi tidak anyir
2) Karakteristik ikan yang sudah mengalami pembusukan:
Daging lembek;
Mata suram dan tenggelam ke dalam
Sisik suram dan mudah lepas;
Warna tubuh suram dan didominasi lendir;
Insang berwarna kelabu dengan lendir yang tebal
Dinding perut lembek
Ikan berbau anyir atau busuk
2 Pengawetan ikan sebagai sistem
Pasar hanya mau menerima ikan dalam kondisi segar atau, paling tidak, ikan
yang belum mengalami pembusukan. Ikan yang sedang atau sudah mengalami
pembusukan tidak bisa diterima oleh konsumen untuk kebutuhan konsumsi. Bahkan,
ikan yang sudah busuk juga sangat sulit diterima untuk kebutuhan non-konsumsi,
seperti untuk bahan tepung ikan. Oleh karena itu penjual akan memasarkan ikan
dalam bentuk segar atau ikan yang belum mengalami pembusukan.
Sebelum dijual, ikan sering kali harus mengalami paket perjalanan sebelum
mencapai konsumen. Proses perjalanan (transportasi) untuk mencapai pasar atau
distribusi memerlukan waktu yang sering kali relatif lama. Selama perjalanan ini, ikan
sering kali menjadi busuk dan tidak diterima oleh pasar atau distribusi. Untuk itu,
manusia melakukan berbagai usaha untuk mempertahankan kualitas ikan tetap
terjaga sebelum dikonsumsi oleh konsumen. Jenis manipulasi teknologi pengawetan
ini akan bervariasi sesuai dengan ketersediaan bahan, kemampuannya dalam
mempertahankan kualitas ikan, biaya yang dubutuhkan dibandingkan nilai tambah
yang didapat dan dampak yang ditimbulkan dari penambahan pengawet (additive).
4. Sasmito, B.B - FAKULTAS PERIKANAN & ILMU KELAUTAN
Page 4 of 9
Mata Kuliah PIKP/ SubSistem Pengolahan Hasil Perikanan 2012University of Brawijaya
Pengawetan ikan, dengan demikian, bisa dikatakan sebagai usaha (manipulasi)
teknologi) oleh manusia untuk mempertahankan kualitas ikan seperti pada kondisi
segar dengan memberikan suatu bentuk perlakuan terhadap ikan (hasil tangkap
maupun budidaya). Kondisi ikan dibandingkan dengan pada saat masih segar ialah
indikator dari kualitas ikan tersebut. Gambar 2 menunjukkan salah satu skenario
tingkat kesegaran (kualitas) berdasarkan perubahan waktu, antara ikan tanpa
perlakuan dan setelah mengalami perlakuan pengawetan oleh manusia. Pada kondisi
normal (alami), ikan mulai mengalami penurunan kualitas setelah 2 jam. Sedangkan
perlakuan pengawetan bisa mempertahankan kesegaran ikan sampai 5 jam. Namun
setelah 18 jam, kualitas ikan hampir tidak berbeda yang menunjukkan bahwa
perlakuan pengawetan sudah tidak menunjukkan pengaruh nyata terhadap kualitas
ikan.
Gambar 2 Grafik hipotetik skenario penurunan kualitas ikan yang terjadi secara alami
() dan ketika dilakukan usaha pengawetan ().
3 Teknologi Pengawetan
Seperti telah dijelaskan, manipulasi teknologi yang digunakan untuk
mempertahankan kualitas ikan sangat beragam. Namun pada dasarnya, tipe
pengawetan tersebut bisa dipisahkan ke dalam kategori: (1) perlakuan suhu; (2)
perlakuan biologis; (3) perlakuan kimia dan (4) perlakuan kombinasi.
3.1 Perlakuan suhu
A Suhu Dingin
Bakteri pengurai protein, dekomposer maupun patogen biasanya aktif pada
suhu antara 0 – 30 °C. Pada suhu diturunkan secara cepat, aktifitas bakteri akan
melambat atau bahkan bisa berhenti selama beberapa saat. Pengetahuan ini
digunakan sebagai dasar untuk memberikan perlakuan es pada ikan. Ikan biasanya
dibersihkan dengan air bersih untuk mengurangi jumlah bakteri awal. Setelah itu,
5. Sasmito, B.B - FAKULTAS PERIKANAN & ILMU KELAUTAN
Page 5 of 9
Mata Kuliah PIKP/ SubSistem Pengolahan Hasil Perikanan 2012University of Brawijaya
ikan dicelupkan ke dalam air es selama beberapa saat. Selanjutnya ikan dipindahkan,
dan digabungkan bersama es. Ikan disimpan bersama es pada ruang yang terisolasi
dari suhu di luar yang panas. Stereo-foam ialah tipe box yang sering digunakan untuk
menyimpan ikan ketika diberi es. Setelah beberapa lama, seluruh es akan mencair
dan suhu meningkat. Pada saat itu ikan dicelupkan kembali ke dalam larutan es dan
disimpan bersama es. Dengan cara ini, ikan bisa disimpan mungkin sekitar 20 hari
dan masih dinyatakan sebagai produk ikan segar.
Proses distribusi ikan untuk mencapai pasar sering memerlukan waktu lebih
lama dari kemampuan es untuk mempertahankan kesegaran ikan. Pada kondisi ini,
ikan disimpan pada suhu – 40 °C atau sampai – 80 °C pada ruangan yang terisolasi.
Ikan sering kali bisa disimpan sampai 6 – 12 bulan dan bisa diterima oleh pasar.
Ketika dijual produk ikan ini disebut sebagai kategori beku. Sedangkan kualitas
seperti tersebut di atas masih disebut ikan segar.
B Suhu Tinggi
Aktifitas bakteri pembusuk juga bisa dihambat atau dihentikan sementara pada
suhu tinggi, 80 – 90 °C. Hal ini dilakukan dengan meningkatkan suhu daging ikan
secara cepat sampai batas yang diinginkan. Ikan produk kaleng misalnya, sudah
sering menggunakan suhu tinggi untuk menghentikan aktifitas bakteri pengurai.
Proses pemanasan ikan sering kali dilakukan dengan menggunakan sinar
matahari atau menggunakan asap panas. Selain untuk meningkatkan suhu,
pengeringan juga bertujuan untuk menurunkan kandungan air pada ikan (air ialah
media yang sangat baik untuk pertumbuhan mikroorganisme pembusuk).
Pengeringan juga menyebabkan koagolasi protein dan menjadikan bagian luar ikan
keras dan kompak. Kondisi ini akan menyulitkan mikroorganisme untuk menembus
daging dari luar.
Proses pengeringan yang paling sering kita lihat ialah dengan menggunakan
sinar matahari (sun drying). Pengeringan juga bisa dilakukan melalui proses
pengasapan. Asap pembakaran kayu pada proses pengeringan, selain membawa
udara panas, juga mengandung senyawa atau bahan-bahan anti-mikroba (seperti
aldehide, alkohol, keton). Pengasapan bisa menyebabkan permukaan ikan lebih
mengkilat dan menjadi daya tarik untuk konsumen. Namun teknologi asap
menyebabkan permukaan luar ikan menjadi sangat keras. Pengawetan ikan melalui
proses pengasapan sering kali disebut sebagai kombinasi antara tipe suhu panas dan
kimia. Ikan kaleng juga menggunakan kombinasi antara suhu tinggi dan vakum untuk
untuk menghambat proses pembusukan oleh mikro-organisme.
Gambar 3 kombinasi penggunaan suhu tinggi dan pengeringan dalam pengawetan
ikan. Proses pengeringan bertujuan untuk mengurangi kadar atau
6. Sasmito, B.B - FAKULTAS PERIKANAN & ILMU KELAUTAN
Page 6 of 9
Mata Kuliah PIKP/ SubSistem Pengolahan Hasil Perikanan 2012University of Brawijaya
kandungan air pada ikan. Pengeringan juga menyebabkan bagian luar ikan
menjadi keras dan kompak sehingga daging bagian dalam akan sulit
ditembus oleh mikro-organisme.
3.2 Pengawetan Biologis
Pengawetan ikan kadang dilakukan dengan memberikan ragi. Ragi ialah sel-sel
hidup yang diberikan pada ikan untuk merubah karbohidrat menjadi alkohol. Sel ragi
akan menghasilkan enzim yang menjadi katalisator biologis dalam membantu
berbagai reaksi biokimia, termasuk untuk merubah karbohidrat.
Pengawetan secara biologis ini relatif jarang dilakukan pada tatanan praktis.
Walaupun kualitas ikan bisa dipertahankan, cita rasa ikan akan berubah dari kondisi
aslinya. Bagi orang yang tidak terbiasa, hasil dari pengawetan biologis sering ditolak
oleh konsumen.
Metode fermentasi yang paling umum digunakan ialah dengan menambahkan
bakteri asam laktat. Pada media yang tepat, fermentasi bakteri akan bekerja
menghasilkan asam-asam organik: asam laktat, asam asetat, asetaldehide dan
senyawa anti-mikroba yang menghambat pertumbuhan bakteri pembusukan. Media
bakteri yang sering ditambahkan ialah gula dan tepung (tapioka). Bakteri ini bekerja
pada kondisi anaerobik, sehingga ikan harus ditutup rapat dalam plastik atau stoples.
3.3 Pengawetan Kimiawi
Tipe pengawetan secara kimia yang paling umum dan mudah dilakukan ialah
dengan pemberian garam dapur (NaCl). Teknik ini sering dikombinasi dengan
pengeringan dan fermentasi sehingga menghasilkan ikan asin. Jika tidak
menggunakan fermentasi biologis, produk yang dihasilkan ialah berupa ikan asin
kering. Tipe pengawetan kimia sangat beragam. Sebagian besar pengawet tersebut
menggunakan bahan non alami, sehingga bisa menimbulkan dampak sampingan yang
relatif berbahaya bagi kesehatan manusia.
A. Asap Cair
Asap cair ialah suatu ekstrak dari bahan alami yang menghasilkan senyawa
anti-bakteri, anti-jamur dan dapat memperlambat penurunan kualitas ikan. Asap cair
pada dasarnya mengandung senyawa asam organik, karbonil, furan, alkohol, ester,
lakton, fenol dan polisiklik aromatik hidrokarbon. Gabungan senyawa ini secara
bersama mempunyai pengaruh bakterisidal.
Ikan yang masih segar dimasukkan ke dalam larutan asap cair (konsentrasi
10%) selama 30 menit. Jika disimpan pada suhu kamar, kualitas ikan bisa
dipertahankan sampai sekitar 24 jam. Namun jika dikombinasi dengan penyimpanan
suhu dingin, kualitas bisa dipertahankan sampai beberapa hari. Namun senyawa
polisiklik aromatik hidrokarbon (PAH) ternyata berbahaya untuk kesehatan, sehingga
aplikasi asap cair harus dilakukan secara hati-hati.
B. Nitrit & Nitrat
Pengawet jenis Nitrit dan Nitrat banyak tersedia dalam bentuk garam kalium
atau natrium nitrit. Kedua bahan ini berbentuk butiran dengan tingkat kelarutan yang
tinggi (pada media air). Kedua bahan ini dapat menghambat pertumbuhan bakteri
pada daging ikan. Namun daya awet dari kedua bahan ini relatif rendah atau tidak
7. Sasmito, B.B - FAKULTAS PERIKANAN & ILMU KELAUTAN
Page 7 of 9
Mata Kuliah PIKP/ SubSistem Pengolahan Hasil Perikanan 2012University of Brawijaya
berlangsung lama. Jumlah nitrit yang ditambahkan biasanya tidak melebihi 0,1% atau
1 gram per kilogram ikan. Pemberian nitrat melebihi 2 gram per kg bahan bisa
menyebabkan keracunan dan berbahaya bagi kesehatan manusia. Untuk mengatasi
keracunan tersebut maka pemakaian nitrit biasanya dicampur dengan nitrat dalam
jumlah yang sama. Nitrit tersebut akan diubah menjadi nitrat sedikit demi sedikit
sehingga jumlah nitrit di dalam daging tidak berlebihan.
C. Pengawet dan pewarna alami
Penggunaan es sebagai pengawet sering kali tidak bisa dijangkau oleh nelayan
dibandingkan dengan kompensasi dari harga ikan hasil produksi. Sebagai gantinya,
nelayan kadang menggunakan bahan kimia alami yang dicampur dengan pewarna
dalam proses pengawetan ikan. Bahan seperti jahe, sosor bebek, mahkota dewa dan
lidah buaya diduga mengandung senyawa yang bisa menghambat pertumbuhan
bakteri. Bahan lain, seperti kunir, karamel dan pandan lebih banyak berfungsi sebagai
pewarna alami untuk menambah daya tarik pada produk.
D. Bahan kimia berbahaya
Penggunaan bahan pengawet kimia bisa dibedakan berdasarkan sumbernya,
ialah bahan alami dan bahan sintetis yang dibuat melalui pabrik kimia. Secara praktis,
bahan alami sulit bisa tersedia dalam jumlah dan kemasan yang mudah untuk aplikasi
pada tingkat lapang. Bahan kimia alami juga tidak selalu bisa memenuhi kebutuhan
konsumen tentang warna dan mempertahankan kualitas ikan. Dengan pertimbangan
ini, nelayan lebih sering memilih bahan kimia pengawet sintetis.
Pengawet kimia sintetis sering kali menimbulkan efek samping yang berbahaya
pada kesehatan manusia dan lingkungan. Penggunaan pengawet nitrit bisa meracuni
darah. Pengolah ikan, seperti pemindang atau pengasin sering menggunakan bahan
pengawet yang tidak direkomendasi atau bahkan dilarang oleh Balai Pengawasan
Obat dan Makanan (BPOM). Bahan tersebut, antara lain ialah formalin, baygon, dan
sejenisnya. Namun bahan kimia ini sangat sulit untuk dideteksi secara visual maupun
dalam penampilan produk secara fisik. Bahkan sering kali penggunaan bahan ini lebih
memperlihatkan kondisi produk yang lebih higienis. Ikan yang diawetkan dengan
formalin sering kali tidak dirubung lalat. Dengan demikian, konsumen secara cepat
akan cenderung memilih produk yang justru seharusnya dihindari.
4. Teknologi pengawetan ikan yang ramah lingkungan
Tipe teknologi pengawetan ikan yang ramah lingkungan mengandung beberapa
kelemahan. Kelemahan pertama ialah pada kemampuan mempertahankan kualitas
ikan relatif pendek. Jika bisa dilakukan dalam waktu lama, dia akan membutuhkan
biaya yang relatif tinggi dibandingkan teknologi alternatif lainnya. Pengawetan dengan
es mungkin termasuk yang paling ramah lingkungan dan tidak membahayakan
kesehatan. Tipe kedua ialah pembekuan (frozen). Namun kedua tipe pengawetan ini
memerlukan energi dan sekaligus biaya yang tinggi. Sebaliknya, biaya yang
dikeluarkan sering kali tidak sebanding dengan dengan penerimaan yang didapat dari
harga ikan.
Ikan asin, jika prosesnya dilakukan secara higienis termasuk tipe pengawetan
yang tidak berbahaya. Biaya untuk membuat ikan asin juga tidak terlalu mahal.
Perlakuan yang diberikan ialah garam dapur yang dikombinasi dengan pengeringan
8. Sasmito, B.B - FAKULTAS PERIKANAN & ILMU KELAUTAN
Page 8 of 9
Mata Kuliah PIKP/ SubSistem Pengolahan Hasil Perikanan 2012University of Brawijaya
pada kondisi sinar matahari. Pengeringan bertujuan untuk mengurangi kandungan
atau kadar air pada daging ikan. Penambahan garam ditujukan untuk menghambat
pertumbuhan mikro-organisme patogen. Masalah dasar pada tipe pengawetan ini
ialah rasa ikan yang sudah diawetkan dan jika tidak tersedia cukup sinar matahari
untuk melakukan pengeringan. Ikan asin tidak termasuk jenis awetan yang disenangi
konsumen. Jika tidak ada sinar matahari ketika melakukan pengeringan, ikan akan
cepat mengalami kerusakan. Kondisi inilah yang menjadi pendorong utama nelayan
menggunakan bahan kimia lain untuk memastikan ikannya lebih awet.
Kombinasi antara pemanasan, penggunaan kimia dari bahan alami (bumbu dan
penyedap) dan kedap udara ialah teknik pengawetan yang sering digunakan untuk
produk-produk ikan dalam kaleng. Perusahaan pengalengan biasanya termasuk
kategori perusahaan besar dan keberadaannya mudah dilacak. Selain, bahan tersebut
di atas, perusahaan tidak akan mau menambahkan bahan-bahan kimia lain yang
berbahaya bagi kesehatan.
Ringkasan:
Setiap konsumen selalu memilih ikan yang paling segar untuk konsumsi
keluarga. Penghasil ikan (nelayan) sering harus mengatasi faktor jarak dan waktu
untuk bisa mencapai pasar dan distribusi. Kendala jarak dan waktu menyebabkan
kualitas tidak bisa dipertahankan sesegar mungkin, dan produsen harus melakukan
upaya pengawetan ikan untuk mempertahankan kualitas ikan ketika dijual.
Teknik pengawetan sangat beragam, dari yang paling sederhana dan murah
sampai yang sangat kompleks dan mahal. Teknik sederhana dan murah biasanya
tidak mampu mempertahankan kualitas ikan seperti keinginan konsumen. Ikan asin
ialah salah satu produk pengawetan dengan cara yang mudah dan murah. Namun
rasa ikan asin tidak disukai oleh kebanyakan konsumen.
Beberapa teknik pengawetan ikan memerlukan energi dan biaya yang terlalu
tinggi untuk bisa dijangkau oleh nelayan atau penghasil ikan. Biaya pengawetan tidak
bisa dikompensasi dari harga ikan di pasar. Namun tipe pengawetan ini bisa
mempertahankan kualitas seperti yang diinginkan oleh konsumen.
Beberapa teknik pengawetan dengan menggunakan bahan kimia sering
menjadi target sebagian besar produsen ikan. Penggunaan bahan kimia alami sering
tidak praktis dan ketersediaannya tidak kontinyu. Oleh karena itu nelayan atau
produsen ikan memilih bahan kimia sintetis yang sering berbahaya bagi konsumen.
Bahan kimia sintetis ini sulit dideteksi secara visual sehinga kita tidak bisa melacak
bahan pengawet yang digunakan. Hal ini memungkinkan penggunaan bahan-bahan
yang berbahaya bagi kesehatan dan lingkungan seperti formalin.
9. Sasmito, B.B - FAKULTAS PERIKANAN & ILMU KELAUTAN
Page 9 of 9
Mata Kuliah PIKP/ SubSistem Pengolahan Hasil Perikanan 2012University of Brawijaya
Referensi:
Afrianto E., & E. Liviawati. 1989. Pengawetan dan Pengolahan Ikan. Yogyakarta,
Kanisius.
Ariani, F. 2002. Jurnal Teknologi Pengolahan Ikan dan Rumput Laut. Departemen
Kelautan dan Perikanan. Jakarta.
Blair A, P. Stewart, PA Hoover. 1987. Cancers of the nasopharynx and oropharynx and
formaldehyde exposure. J. Natl. Cancer Inst. 78(1): 191-193.
Dwijitno, & R. Riyanto, 2006. Studi penggunaan asap cair untuk pengawetan ikan
kembung (Rastrelliger neglectus) segar. Jurnal Pascapanen Bioteknologi
Kelautan dan Perikanan, 1(2): 143-148
Hadiwiyoto, S. 1993. Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan. Liberty Yogyakarta.
Yogyakarta.
Irawan, A. 1997. Pengawetan Ikan dan Hasil Perikanan. CV.Aneka. Solo.
Tugas membuat projek:
Madura (Jawa Timur) dan Kupang (Timor) ialah dua wilayah dengan
karakteristik tingkat curah hujan sangat rendah dan suhu udara tinggi. Madura
juga sangat khas dengan dengan produksi garam. Sedangkan Kupang
mempunyai kayu-kayu kering, berukuran kecil dan daya api yang kuat. Buat
suatu projek untuk menilai jenis prioritas jenis pengolahan ikan untuk daerah
Madura dan Kupang. Analisis prioritas jenis pengawetan dilakukan berdasarkan
indikator: ketersediaan bahan baku, kondisi lingkungan yang mendukung dan
dampak produk pengawetan pada kesehatan konsumen serta lingkungan