SlideShare a Scribd company logo
DESENTRALISASI
FISKAL

Diploma IV Kurikulum Khusus BPKP
Kelas 8B
Aditya Wahyu Kusuma Wardana
Daniel Wawone Yunior Basar
Ivan Dwi Jatmiko
Restu Kurnia Natalia
Yusniar Yuliana Wardani
0
DESENTRALISASI FISKAL

A. PENGERTIAN DESENTRALISASI FISKAL
Desentralisasi merupakan sebuah instrumen untuk mencapai salah satu tujuan
bernegara, terutama memberikan pelayanan publik yang lebih baik dan menciptakan
proses pengambilan keputusan publik yang lebih demokratis. Dengan desentralisasi
akan terwujud pelimpahan wewenangan kepada tingkat pemerintahan yang lebih
rendah untuk melakukan pembelanjaan, kewenangan untuk memungut pajak (taxing
power), terbentuknya Dewan yang dipilih oleh rakyat, Kepala Daerah yang dipilih oleh
DPRD, dan adanya bantuan dalam bentuk transfer dari Pemerintah Pusat. Dorongan
desentralisasi yang terjadi di berbagai negara di dunia terutama di negara-negara
berkembang, dipengaruhi oleh beberapa faktor, misalnya, latar belakang atau
pengalaman suatu negara, peranannya dalam globalisasi dunia, kemunduran dalam
pembangunan ekonomi, tuntutan terhadap perubahan tingkat pelayanan masyarakat,
tanda-tanda adanya disintegrasi di beberapa negara, dan yang terakhir, respons
terhadap banyaknya kegagalan yang dialami oleh pemerintahan sentralistis dalam
memberikan pelayanan masyarakat yang efektif. Pada prinsipnya desentralisasi
bertujuan pada efisiensi sektor publik dalam produksi dan distribusi pelayanan,
meningkatkan kualitas pembuatan keputusan dengan menggunakan informasi lokal,
meningkatkan akuntabilitas dan meningkatkan kemampuan respon terhadap kebutuhan
dan kondisi lokal (Giannoni, 2002). Hal inilah yang mendorong desentralisasi
diserahkan dan dilaksanakan pemerintahan daerah yakni kabupaten/kota. Selain itu
menurut Silverman (1990) dalam laporan World Bank di Uganda (2005) menyatakan
bahwa pemerintah lokal lebih responsif terhadap warga negaranya dibanding
pemerintah pusat sehingga keputusan yang diambil lebih merefleksikan kebutuhan dan
keinginan rakyat. Desentralisasi akan membawa pemerintah lebih dekat dengan rakyat
dan mendorong mereka untuk lebih terlibat (Mills, 1994).
Desentralisasi fiskal, merupakan salah satu komponen utama dari desentralisasi.
Desentralisasi di Indonesia ditandai dengan adanya perubahan pola hubungan yang
terjadi antara pemerintah pusat dan daerah setelah diberlakukannya Undang-undang
(UU) Nomor 22 tahun 1999 dan UU Nomor 25 tahun 1999 yang kemudian UU tersebut
disempurnakan menjadi UU Nomor 32 tahun 2004 dan UU Nomor 33 tahun 2004.
1
Kebijakan awal yang dirumuskan dalam UU Nomor 22 dan Nomor 25 tahun 1999
antara Alokasi Umum (DAU) sebagai sumber pembiayaan berbagai urusan
pemerintahan yang telah didaerahkan, Dana Bagi Hasil (DBH) dari ekstraksi sumber
daya alam yang berada di daerah yang bersangkutan, dan diberikannya otoritas pajak
yang terbatas kepada pemerintah daerah. Selanjutnya, amandemen undang-undang
desentralisasi yang dilakukan pada tahun 2004 menitikberatkan kepada mekanisme
pemantauan oleh pemerintah pusat, dan perbaikan kepada pertanggungjawaban
pengeluaran pemerintah daerah (Brodjonegoro 2004). Di sisi fiskal, UU Nomor 33
tahun 2004 memperbesar basis bagi hasil pajak dari sumber daya alam yang dimiliki
daerah, maupun dari pajak tingkat nasional lainnya, dan perluasan total dana yang
menjadi sumber DAU.
Desentralisasi fiskal merupakan komponen utama dari desentralisasi karena
berkaitan langsung dengan hubungan fungsi penerimaan dan pengeluaran dana publik
antara tingkatan pemerintahan yang lebih tinggi dengan pemerintahan dibawahnya
(Muluk, 2006). Apabila pemerintah daerah melaksanakan fungsinya secara efektif dan
mendapat kebebasan dalam pengambilan keputusan pengeluaran di sektor publik,
maka mereka harus mendapat dukungan sumber-sumber keuangan yang memadai
(Siddik, 2002b). Kebijakan desentralisasi fiskal dapat meloloskan suatu negara dari
berbagai jebakan ketidak-efisienan, ketidak-efektifan pemerintahan, ketidak-stabilan
makro ekonomi, dan ketidak-cukupan pertumbuhan ekonomi.
Desentralisasi fiskal juga dimaksudkan untuk perbaikan efisiensi ekonomi, efisiensi
biaya, perbaikan akuntabilitas dan peningkatan mobilitas dana (Bird dan Vailancourt,
2000), serta berbagi beban keuangan dengan kawasan dan kota (Todaro dan Smith,
2004). Kebijakan desentralisasi fiskal juga dapat menjadi daya saing suatu daerah jika
dibandingkan dengan daerah lain, suatu daerah dapat menawarkan paket pajak dan
pelayanan publik yang terbaik dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui
pilihan publik (Stoker, 1991; Grofman, 2002; Feld e al. 2004).
Desentralisasi fiskal yang ada di Indonesia adalah desentralisasi fiskal di sisi
pengeluaran yang didanai terutama melalui transfer ke daerah maka esensi otonomi
pengelolaan

fiskal

daerah

membelanjakan dana

dititikberatkan

sesuai kebutuhan

pada

diskresi

(kebebasan)

untuk

dan prioritas masingmasing daerah.

Pelaksanaan desentralisasi fiskal akan berjalan dengan baik dengan berpedoman
kepada :
2
1. Adanya Pemerintah Pusat yang kapabel dalam melakukan pengawasan dan
enforcement;
2. Terdapat

keseimbangan

antara

akuntabilitas

dan

kewenangan

dalam

melakukan pungutan pajak dan retribusi Daerah.
Kebijakan desentralisasi sistem perpajakan yang termasuk dalam kebijakan
desentralisasi fiskal diterapkan di Indonesia mulai tahun 2001. Sebelumnya selama 30
tahun lebih Indonesia merupakan salah satu negara yang sangat sentralistik. Kebijakan
ini tertuang dalam bentuk perundang-undangan yang mengatur perimbangan keuangan
antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, dan perundangan tentang pajak
dan retribusi daerah. Perimbangan keuangan mengatur tentang bagi hasil pajak dan
sumber daya alam serta dana transfer dari pemerintah pusat kepada pemerintah
daerah. Perundangan pajak dan retribusi daerah mengatur jenis pajak yang menjadi
kewenangan pemerintah daerah untuk memungutnya.
Pelaksanaan Undang-undang Nomor 22 dan 25 Tahun 1999 telah menyebabkan
perubahan yang sangat mendasar mengenai pengaturan hubungan Pusat dan Daerah,
khususnya dalam bidang administrasi pemerintahan maupun dalam hubungan
keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, yang dalam banyak literatur disebut
intergovernment fiscal relation yang dalam UU Nomor 25 tahun 1999 disebut
perimbangan keuangan. Sesuai Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, Daerah
diberikan kewenangan untuk menyelenggarakan seluruh fungsi pemerintahan, kecuali
kewenangan pemerintahan dalam bidang pertahanan keamanan, politik luar negeri,
fiskal dan moneter, peradilan, agama, dan adminsitrasi pemerintahan yang bersifat
strategis. Dengan pembagian kewenangan/fungsi tersebut pelaksanaan pemerintahan
di Daerah dilaksanakan berdasarkan asas desentralisasi, asas dekonsentrasi dan
tugas pembantuan.
Implikasi langsung dari kewenangan/fungsi yang diserahkan kepada Daerah sesuai
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 adalah kebutuhan dana yang cukup besar.
Untuk itu, telah diatur hubungan keuangan antara Pusat dan Daerah yang
dimaksudkan

untuk

membiayai

pelaksanaan

fungsi

yang

menjadi

kewenangannya.Kebijakan desentralisasi fiskal di Indonesia diatur dengan UU Nomor
22 dan UU Nomor 25 Tahun 1999 serta UU-APBN. Menurut UU Nomor 22 dan 25
Tahun 1999 ini, perimbangan keuangan Pusat dan Daerah dalam rangka pelaksanaan
desentralisasi fiskal mengandung pengertian bahwa kepada Daerah diberikan
kewenangan untuk memanfaatkan sumber keuangan sendiri dan didukung dengan
3
perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah. Sumber-sumber pembiayaan
Daerah yang utama dalam rangka pelaksanaan desentralisasi fiskal meliputi:
Pendapatan Asli Daerah
Salah satu wujud dari pelaksanaan desentralisasi fiskal adalah pemberian sumbersumber penerimaan bagi daerah yang dapat digali dan digunakan sendiri sesuai
dengan potensinya masing-masing. Kewenangan Daerah untuk memungut pajak dan
retribusi diatur dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 yang merupakan
penyempurnaan dari Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 dan ditindaklanjuti
peraturan pelaksanaannya dengan PP Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah
dan PP Nomor 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah. Berdasarkan UU dan PP
tersebut, Daerah diberikan kewenangan untuk memungut 11 jenis pajak dan 28 jenis
retribusi. Penetapan jenis pajak dan retribusi tersebut didasarkan pertimbangan bahwa
jenis pajak dan retribusi tersebut secara umum dipungut di hampir semua Daerah dan
merupakan jenis pungutan yang secara teoritis dan praktek merupakan jenis pungutan
yang baik. Selain jenis pajak dan retribusi tersebut, Daerah juga diberikan kewenangan
untuk memungut jenis pajak (kecuali untuk Provinsi) dan retribusi lainnya sesuai
kriteria-kriteria tertentu yang ditetapkan dalam undang-undang .
Dana Perimbangan
Bagian Daerah dalam bentuk bagi hasil penerimaan (Revenue Sharing)
Untuk menambah pendapatan Daerah dalam rangka pembiayaan pelaksanaan
fungsi yang menjadi kewenangannya dilakukan dengan pola bagi hasil penerimaan
pajak dan bukan pajak (SDA) antara Pusat dan Daerah. Selanjutnya berdasarkan
Undang-undang PPh Nomor 17 Tahun 2000, mulai TA 2001 Daerah memperoleh bagi
hasil dari Pajak Penghasilan (PPh) orang pribadi (personal income tax), yaitu PPh
Pasal 21 serta PPh Pasal 25/29 Orang Pribadi. Ditetapkannya PPh Perorangan
sebagai objek bagi hasil dimaksudkan sebagai kompensasi dan penyelaras bagi
Daerah-daerah yang tidak memiliki SDA tetapi memberikan kontribusi yang besar bagi
penerimaan negara (APBN).
1. Dana Alokasi Umum
Untuk mengurangi ketimpangan dalam kebutuhan pembiayaan dan penguasaan
pajak antara Pusat dan Daerah telah diatasi dengan adanya perimbangan keuangan
antara Pusat dan Daerah (dengan kebijakan bagi hasil dan DAU minimal sebesar 25%
4
dari Penerimaan Dalam Negeri). Dengan perimbangan tersebut, khususnya dari DAU
akan memberikan kepastian bagi Daerah dalam memperoleh sumber-sumber
pembiayaan

untuk

membiayai

kebutuhan

pengeluaran

yang

menjadi

tanggungjawabnya.
Sesuai dengan UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Daerah bahwa kebutuhan DAU oleh suatu Daerah (Provinsi,
Kabupaten, dan Kota) ditentukan dengan menggunakan pendekatan konsep Fiscal
Gap, dimana kebutuhan DAU suatu Daerah ditentukan atas kebutuhan Daerah (fiscal
needs) dengan potensi Daerah (fiscal capacity). Dengan pengertian lain, DAU
digunakan untuk menutup celah yang terjadi karena kebutuhan Daerah melebihi dari
potensi penerimaan Daerah yang ada. Berdasarkan konsep fiscal gap tersebut,
distribusi DAU kepada daerah-daerah yang memiliki kemampuan relatif besar akan
lebih kecil dan sebaliknya daerah-daerah yang mempunyai kemampuan keuangan
relatif kecil akan memperoleh DAU yang relatif besar. Dengan konsep ini sebenarnya
daerah yang fiscal capacitynya lebih besar dari fiscal needs hitungan DAUnya akan
negatif. Kebutuhan Daerah paling sedikit dicerminkan dari variabel jumlah penduduk,
luas wilayah, keadaan geografi, dan tingkat pendapatan masyarakat dengan
memperhatikan kelompok masyarakat miskin. Sementara potensi ekonomi Daerah
dicerminkan dengan potensi penerimaan Daerah seperti potensi industri, potensi SDA,
potensi SDM, dan PDRB. Untuk menghindari kemungkinan penurunan kemampuan
Daerah dalam membiayai beban pengeluaran yang sudah menjadi tanggung jawabnya,
maka

perhitungan

DAU

disamping

menggunakan

formula

Fiscal

Gap

juga

menggunakan Faktor Penyeimbang (sesuai PP Nomor 104 tentang Dana Perimbangan
sebagaimana telah direvisi dengan PP Nomor 84 Tahun 2001). Dengan adanya Faktor
Penyeimbang, alokasi DAU kepada Daerah ditentukan dengan perhitungan formula
Fiscal Gap dan Faktor Penyeimbang.
2. Dana Alokasi Khusus
Pada hakikatnya pengertian Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah dana yang berasal
dari APBN, yang dialokasikan kepada Daerah untuk membantu membiayai kebutuhan
khusus. Pengalokasian DAK ditentukan dengan memperhatikan tersedianya dana
dalam APBN. Sesuai dengan UU Nomor 25 Tahun 1999, yang dimaksud dengan
kebutuhan khusus adalah (i) kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan dengan
menggunakan rumus alokasi umum, dalam pengertian kebutuhan yang tidak sama
dengan kebutuhan Daerah lain, misalnya: kebutuhan di kawasan transmigrasi,
5
kebutuhan beberapa jenis investasi/prasarana baru, pembangunan jalan di kawasan
terpencil, saluran irigasi primer, dan saluran drainase primer; dan (ii) kebutuhan yang
merupakan komitmen atau prioritas nasional.
Pinjaman Daerah
Untuk membiayai kebutuhan Daerah berkaitan dengan penyediaan prasarana yang
dapat menghasilkan (pengeluaran modal), Daerah juga dapat melakukan pinjaman baik
dari dalam negeri (Pusat dan Lembaga Keuangan) maupun dari luar negeri dengan
persetujuan Pusat.
B. TUJUAN DESENTRALISASI FISKAL
Pada dasarnya desentralisasi fiskal menurut kedua UU ini bertujuan untuk :
1. Kesinambungan kebijaksanaan fiskal (Fiscal Sustainability) dalam konteks
kebijaksanaan ekonomi makro.
2. Mengoreksi vertical imbalance, yaitu untuk memperkecil ketimpangan yang
terjadi antara keuangan Pemerintah Pusat dan keuangan Daerah yang
dilakukan dengan memperbesar taxing power Daerah
Kebijaksanaan untuk mengatasi kesenjangan fiskal antar Daerah (horizontal
imbalance) dilakukan dengan transfer dana dari Pemerintah Pusat kepada Daerah
melalui konsep Fiscal Gap yaitu kebutuhan Daerah (kebutuhan fiskal) dibandingkan
dengan potensi Daerah (kapasitas fiskal), dimana kebutuhan Daerah yang melebihi
kapasitas fiskalnya akan ditutup dengan transfer dana dari Pemerintah Pusat. Dalam
konteks ini, tranfer dana melalui DAU akan dapat mengkoreksi kesenjangan horizontal
dengan meningkatkan kemampuan/kapasitas fiscal Daerah. Tanpa transfer DAU,
kapasitas fiskal Daerah tidak dapat memenuhi kebutuhannya. DAU yang disalurkan
kepada Provinsi dan Kabupaten/Kota telah dapat meningkatkan kemampuan kapasitas
fiskal Daerah meskipun peningkatan kapasitas fiskal tersebut adalah berasal dari
transfer Pemerintah Pusat melalui DAU.
Adapun tujuan desentralisasi fiskal menurut Grand Design Desentralisasi Fiskal
yang diteritkan oleh Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan adalah sebagai
berikut:
1. Ketimpangan vertikal dan horizontal yang minimum
DAU harus mampu mengatasi ketimpangan horizontal yang sampai saat ini
masih cukup tinggi, sebagai akibat adanya kebijakan-kebijakan yang justru
6
mendistorsi formulasi DAU untuk mencapai tujuan tersebut, seperti
holdharmless policy dan penggunaan belanja pegawai sebagai variabel.
Penilaian kebutuhan fiskal dalam formulasi DAU tidak lagi menggunakan
proxy, namun telah menggunakan alat ukur yang lebih mencerminkan
kebutuhan riil tiap-tiap daerah.
Penghitungan DAU dilakukan oleh lembaga yang independen yang terlepas
dari berbagai macam kepentingan politik. Pembagian DAU bukan dari
kepentingan politik tetapi kepentingan daerah dalam pengertian yang
sebenarnya yaitu kepentingan pemenuhan kebutuhan pelayanan minimum.
menjadi suatu urgensi bagi Indonesia untuk merumuskan kembali peran dari
dana alokasi khusus (DAK) dalam mekanisme dana perimbangan. Arah
yang benar adalah bahwa DAK menjadi instrumen utama dalam rangka
mendorong pembangunan daerah untuk memenuhi berbagai prioritas
pembangunan nasional. Oleh karena itu, besarnya alokasi DAK seyogyanya
meningkat secara signifikan. Bila porsi DAK dalam dana perimbangan saat
ini hanya sekitar 8,05%, maka di masa mendatang, untuk dapat menjadi
alokasi DAK yang efektif bagi pemenuhan prioritas nasional, diharapkan
dapat meningkat porsinya menjadi setidak-tidaknya 30% terhadap total dana
perimbangan.
Diharapkan di masa yang akan datang akan dapat didesain suatu sistem
bagi hasil yang lebih sederhana. Meskipun demikian, DBH harus tetap
mengemban fungsinya untuk mengurangi ketidakseimbangan vertikal
dengan tetap menjaga kesinambungan fiskal nasional.
2. Pendapatan dan pembiayaan yang efisien dan efektif
Jika Indonesia ingin menuju desentralisasi fiskal dengan penguatan
kapasitas daerah, maka penguatan pajak daerah adalah suatu syarat penting
yang harus dilaksanakan. Penguatan pajak daerah ini tidak berarti memberikan
sumber fiskal tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap daerah dan
nasional, melainkan melalui penelahaan beberapa faktor dengan mengacu
pada prinsip efisiensi dan efektivitas.
3. Siklus dan proses belanja daerah yang efisien dan efektif
Siklus dan proses belanja daerah dapat semakin ditingkatkan efisiensi dan
efektifitasnya, dalam hal teknis administrasi dan kualitas penganggaran. Terkait
7
dengan teknis administrasi, proses belanja daerah diupayakan 1) tercapainya
siklus anggaran yang tepat waktu; 2) cakupan rencana kerja dari dokumen
pelaksanaan anggaran (DPA) tidak hanya menggambarkan kebijakan umum
pemerintah daerah tetapi juga sudah mencakup detail program yang
komprehensif termasuk dalam hal estimasi pembiayaannya; serta 3) penetapan
mekanisme penyaluran dan administrasi dana tersisa (SILPA) yang juga
dikaitkan dengan perubahan rencana kerja agar penyesuaian antara APBD dan
realisasi budget dapat menghilangkan pemborosan pengeluaran dan juga
untuk menjaga keberlanjutan dari suatu program pembangunan (program
pemerintah).
4. Harmonisasi belanja pusat dan daerah
Satu hal yang pasti diharapkan akan terjadi dalam masa yang akan datang
adalah agar sinkronisasi dan koordinasi antar unit dan antar tingkatan
pemerintahan tidak lagi menjadi ”barang mewah” yang sulit untuk diperoleh.
Sinkronisasi dan koordinasi antar unit dan antar tingkatan, terutama dalam
program-program dan kegiatannya, haruslah diwujudkan melalui sistem
perencanaan nasional yang mendukungnya. Sistem tersebut harus mempunyai
alat atau regulasi untuk menjamin kepastian dan kejelasan pembagian urusan
di antara berbagai tingkatan, sehingga tidak lagi terjadi tumpang tindih belanja
antar unit dan antar tingkatan.
C. Desentralisasi Fiskal dan Perubahan Kebijakan (1974-2004)
1.

Konsolidasi Orde Baru: Konteks Politik Kebijakan Fiskal
Peran militer menjadi sebuar ciri yang menonjol dari rezim Orde Baru. Dalam
beberapa hal, keterlibatan militer dalam urusan-urusan sosial dan ekonomi
memang menbuat proses pembuatan keputusan menjadi efektif dan efisien.
Keputusan-keputusan strategis dalam birokrasi publik tidak membutuhkan
proses yang berbelit-belit melalui adu argumentasi. Namun demikian, terdapat
bukti bahwa keterlibatan militer dalam kegiatan nonmiliter juga menyebabkan
meluasnya penyalahgunaan. Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM)
juga melaporkan bahwa para investor mengeluhkan banyaknya meja yang
harus dilalui untuk memperoleh izin usaha, dan mengungkapkan bahwa mejameja tersebut kebanyakan dikendalikan oleh para perwira militer.

8
Dari segi pendapatan, sebagian besar pendapatan nasional dari minyak dan
komoditas lain dikuasai oleh pemerintah pusat. Juga, banyak sumber
pendapatan yang dikumpulkan oleh berbagai departemen pusat, seperti Dana
Cess yang dikumpulkan oleh kantor Daerah Departemen Dalam Negeri,
pungutan izin kehutanan yang dikumpulkan Departemen Pertanian dan
Kehutanan. Sejumlah kecil presentase mungkin diberikan kepada kantor-kantor
di provinsi dan kabupaten, tetapi tampaknya tidak tersedia statistik yang dapat
diandalkan mengenai besarnya.
2. Legislasi 1974 dan Menguatnya Kontrol Politik
Prinsip ”swatantra riil seluas-luasnya” bisa mengungkap masalah karena
tidak mengakui adanya pembatasan kewenangan daerah. Selain itu struktur
yang hierarkis dalam UU No. 18/1965 tidak memberi peluang bagi pemerintah
pusat untuk melakukan ”pembinaan” kepada pemerintah daerah hingga ke
jenjang yang paling rendah. Pemerintah pusat harus menggenggam kontrol
terhadap daerah-daerah sehingga sentralisasi pemerintah harus dilakukan.
Kurangnya ketetapan tentang hal-hal keuangan memperlihatkan bahwa
pemerintah lebih memilih melanjutkan sistem sentralistis dan tidak berniat
menyelesaikan

masalah-masalah

dalam

hubungan

fiskal

antarjenjang

pemerintahan. Dalam hal ini hanya ditetapkan bahwa sumber-sumber lainnya
penerimaan pemerintah daerah adalah Pendapatan Asli Daerah (PAD), subsidi,
dan sumber-sumber lainnya yang sah, dan bahkan pelaksanaannya akan diatur
dalam peraturan pemerintah dan peraturan-peraturan lain yang lebih rendah.
Dalam pasal 56 dinyatakan bahwa perimbangan keuangan antara pemerintah
pusat dengan pemenrintah daerah akan diatur dalam undang-undang yang
terpisah. Tidak ada rincian lebih lanjut tentang hubungan-hubungan fiskal
horizontal maupun vertical di antara jenjang pemerintahan yang berbeda. Satusatunya landasan legal bagi hubungan fiskal antarjenjang pemerintahan yang
diratifikasi pada masa Orde Lama di bawah Soekarno, maka dapat dipahami
bahwa kebijakan Orde Baru dalam persoalan ini didasarkan pada kekuasaan
diskresi pemerintah pusat.
Sebagai akibat dari kontrol dan sentralisasi yang sistematis melalui
pelaksana UU No. 5/1974 dan undang-undang lain yang mengikutinya,
pemerintah muncul sebagai satu-satunya aktor dalam semua urusan yang
bersifat ekomomi dan politik. Pada saat yang sama, lembaga legislatif sebagian
9
besar menjadi tidak aktif. Para elit politik mulai kuatir bahwa DPRD menjadi
makin bebal dan tidak responsif terhadap kebutuhan lokal. Karena kecewa
dengan kinerja DPRD, banyak di antara unsur masyarakat lokal yang kemudian
menyampaikan keluhan-keluhan langsung ke parlemen pusat (DPR). Meskipun
unsur-unsur itu tidak menggelar demokrasi atau perlawanan massal, DPR
makin kewalahan dengan banyaknya keluhan tentag masalah-masalah
kedaerahan.
3. Sentralisasi Fiskal dalam Pelaksanaannya
Pemerintah Orde Baru bergerak cepat dengan proyek-proyek pembangunan
di seluruh tanah air. Proyek pembangunan masif itu hanya mungkin terwujud
apabila pemerintah memegang kontrol politik yang ketat serta sumber daya
yang cukup. Ada dua sumber daya kunci yang dimobilisasi pemerintah Orde
Baru dalam mendanai pembangunan di daerah, yaitu : penerimaan minyak dan
utang luar negeri. Ketika tiba-tiba pendapatan minyak melorot pada awal tahun
1980-an, pemerintah menambah lagi utang luar negeri dan menerapkan
beberapa kebijakan baru di bidang perpajakan.
Dalam susunan pemerintah pusat, sebenarnya tidak ada lembaga atau
instansi yang secara khusus ditugaskan untuk melaksanakan program-program
inpres. Namun dapat diketahui bahwa kebanyakan tanggung jawab di tingkat
nasional berada pada Departemen Dalam Negeri, Departemen Keuangan, dan
Bappenas. Praktek yang dilakukan dalam penyusunan program Inpres adalah
dengan menyusun tim antar-Departemen yang anggota-anggotanya diambil
dari Departemen Dalam Negeri, Departemen Keuangan, dan Bappenas,
Departemen Pekerjaan Umum, Bank rakyat Indonesia, serta instansi-instansi
dari Departemen lainnya, tergantung pada jenis proyek yang hendak
dilaksanakan.
Sangat disayangkan bahwa semakin banyak pemerintah pusat meluncurkan
program-program Inpres baru, semakin kecil bukti bahwa program-program itu
mampu menjawab kebutuhan daerah. Di sebuah kabupaten, bisa terjadi bahwa
terlalu banyak jalan yang dibangun, namun sesungguhnya rakyat lebih
membutuhkan sebuah jembatan sebagai sarana penghubung.
4. Mengakomodasi gagasan baru
Praktik pelaksanaan dari konsep subsidiaritas di Indonesia tidak sesuai
dengan makna sebenarnya. Sepanjang masa pemerintahan Orde Baru,
10
desentralisasi dipahami sebagai pendelegasian tanggung jawab administratif
kepada para pejabat daerah (decentralised management) dan bukannya
penyerahan kekuasaan untuk membuat keputusan kepada para wakil rakyat
yang sudah dipilih rakyat. Dengan kata lain, sebagian besar pejabat daerah
dan juga rakyat biasa, melihat bahwa desentralisasi adalah soal pelaksanaan
kegiatan dan pemberian pelayanan publik di tingkat daerah, tetapi bukan soal
pengalihan kekuasaan politik kepada para pejabat daerah.
Namun

dengan

begitu

banyaknya

proyek

pemerintah

pusat

yang

dilaksanakan di daerah, tidak banyak keluhan yang dungkapkan oleh para
pejabat daerah berkenaan dengan peran mereka yang terbatas dalam
pengganggran. Kasus-kasus perlawanan yang kuat hanya sebatas pada
pemilihan kepala daerah. Hingga awal tahun 1990-an, pemerintah provinsi dan
pemerintah lokal tidak banyak menyampaikan keluhan mengenai aspek-aspek
finansial seperti pajak daerah, perimbangan keuangan, atau sempitnya
kekuasaan diskresi bagi pembangunan yang partisipatif. Pemerintah Pusat
agaknya juga cukup percaya diri dalam mengatasi perlawanan di tingkat
provinsi.
Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1992 menetapkan agar pejabat
pemerintah pusat menyerahkan sejumlah tanggung jawab untuk melaksanakan
urusan pelayanan publik kepada daerah Tingkat II. Gagasan yang hendak
diwujudkan adalah ”asas desentralisasi” di Tingkat II dan menerapkan ”asas
Dekonsentrasi” di tingkat I. Namun demikian, peraturan pemerintah ini tidak
bisa mencapai tujuannya. Sebagian besar pemerintah provinsi tidak bersedia
menyerahkan kekuasaan finansial kepada pemerintah lokal sedangkan pjabatpejabat pemerintah pusat hanya mendorong desentralisasi dengan setengah
hati.
5. Legislasi 1999
Krisis moneter dan ambruknya ekonomi memicu perlawanan terhadap
pemerintahan Orde Baru di bawah Soeharto pada awa tahun 1998. Tidak
banyak terjadi pertentangan mengenai RUU pemerintah daerah karena
sebagian besar pendapat menerucut pada kebutuhan untuk melakukan
desentralisasi. Dalam tempo dua bulan, UU No. 22 Tahun 1999 disahkan
dengan perubahan yang sangat sedikit dibanding rancanga asli dari Depdagri.
11
UU No. 25 Tahun 1999 mengenai hubungan fiskal antara pemerintah pusat
dengan pemerintah daerah di bahas tengah desakan bertubi-tubi dari daerah
yang kaya sumber daya alam. Mungkin karena itulah rumus-rumus yang
akhirnya dituangkan dalam undang-undang ini tidak menunjukkan keterkaitan
yang erat dengan kebutuhan fiskal yang sesungguhnya di banyak provinsi dan
kabupaten/kota. Ketentuan paling penting dalam UU No. 25 Tahun 1999 adalah
: (1) bahwa sekurang-kurangnya 25% dari pendapatan dalam negeri harus
dialokasikan ke daerah, di mana dari seluruh totalnya 10% harus dialokasikan
ke provinsi dan 90% ke kabupaten kota, (2) dihapusnya SDO dan bantuan
Inpres yang selanjutnya keduanya digabung menjadi Dana Alokasi Umum
(DAU) yang didasarkan pada rumus transfer tertentu, (3) Dana Alokasi Khusus
(DAK) diberikan kepada daerah berdasarkan kebutuhan pembangunan
mereka, dan (4) peningkatan cukup besar dari bagian daerah atas pendapatan
dari minyak bumi (15%) dan gas alam (30%). Semua ketentuan dalam
perundangan tahun 1999 ini akan berlaku efektif dalam waktu dua tahun
setelah disahkan.
Undang-undang baru tahun 1999 itu menciptakan sosok baru mengenai
hubungan fiskal antarjenjang pemerintah. Di dalamnya terkandung banyak
terobosan, tetapi ternyata terdapat ketentuan-ketentuan yang tidak jelas dan
berbagai

kelemahan.

Tidak

adanya

ketentuan

mengenai

mekanisme

akuntabilitas dan pengembangan kapasitas administratif di tingkat daerah juga
merupakan kendala serius yang akhirnya tetap menghambat pelaksanaan
kebijakan desentralisasi fiskal di tanah air.
6. Pelaksanaan Desentralisasi di Tengah Kemelut Politik
Menyangkut hubungan antarjenjang pemerintah tampaknya banyak aspek
hubungan fiskal pada masa-masa awal pelaksanaan perundangan tahun 1999
yang terpengaruh oleh sistem lama. Jika DAU dapat diasosialisasikan dengan
alokasi SDO dalam sistem sebelumnya, DAK dapat dipandang sebagai
metamorfosis dari bantuan-bantuan Inpres masa Pemerintahan Orde Baru.
Karena pemerintah daerah tidak diberi kewenangan untuk merencanakan
sumber daya manusianya sendiri, termasuk kemungkinan merampingkan staf
agar lebih efisien, maka porsi yang sangat besar dari DAU terserap untuk
membayar gaji pegawai. Pada saat yang sama, karena pemerintah pusat
masih menghadapi kendala anggaran karena krisis ekonomi dan karena
12
pendapatan minyak dan gas bumi yang telah ”didaerahkan”, maka besarnya
DAK bagi kebanyakan kabupaten/kota di seluruh Indonesia juga terbatas.
Di tingkat daerah, terdapat kecenderungan bahwa kebijakan desentralisasi
fiskal disandera oleh para elit politik sehingga tujua utama dari kebijakan
tersebut tidak bisa dicapai. Politik uang, birokrasi yang membelanjakan dana
publik untuk dirinya sendiri, serta penyalahgunaan kekuasaan politik dan
finansial justru semakin merebak karena kurangnya sistem akuntabilitas yang
terlembaga. Namun, desentralisasi fiskal dilaksanakan di tengah kemelut politik
dan ekonomi dan menghadap berbagai persoalan serius, tidak mungkin lagi
untuk berbalik arah.
7. Penyesuaian Kebijakan Desentralisasi : Legislasi 2004
Undang-undang tahun 2004 mengenai pemerintah daerah mengembalikan
hubungan hierarkhi antara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten kota
serta memuat ketentuan rinci mengenai pemilihan kepala daerah. Akan tetapi,
menyangkut hubungan fiskal antarjenjang pemerintahan, hanya terdapat
perubahan-perubahan kecil. UU No. 33/2004 sedikit menaikkan presentase
pendapatan negara yang akan dialokasikan kepada pemerintah daerah melalui
DAU serta presentase pembagian pendapatan dari minyak, serta menetapkan
pembagian pendapatan dari gas bumi yang lebih jelas. Sebuah sistem bantuan
kerja sama (matching grants) ditetapkan dengan ketentuan mengenai dana
penyertaan untuk alokasi DAK. Namun secara keseluruhan ketentuan
mengenai pembagian pajak antarjenjang pemerintahan masih tetap sama
dengan undang-undang sebelumnya. Kebijakan desentralisasi fiskal akan tetap
dipengaruhi oleh negoisasi-negoisasi politik di antara jenjang pemerintahan yan
berbada.
D. BELAJAR DARI PRAKTEK INTERNASIONAL
1. Jenis Transfer yang Harus Dihindari
Para pembuat kebijakan harus menghindari merancang Intergovernmental
Grants jenis berikut:
1) Hibah dengan tujuan ditentukan yang tersamar.
2) Program pembagian pendapatan umum dengan beberapa faktor yang
bekerja di lintas tujuan, melemahkan akuntabilitas, dan tidak memajukan
efisiensi fiskal atau tujuan ekuitas fiskal. Desentralisasi pajak atau tax-base
13
sharing menawarkan alternatif yang lebih baik untuk program pembagian
pendapatan umum, karena mereka meningkatkan akuntabilitas sambil
menjaga otonomi daerah.
3) Hibah untuk membiayai defisit subnasional, yang menciptakan insentif
untuk menjalankan defisit yang lebih tinggi di masa depan.
4) Hibah

tanpa

syarat

yang

mencakup

insentif

untuk upaya fiskal.

Meningkatkan pelayanan sekaligus menurunkan biaya pajak seharusnya
menjadi tujuan sektor publik.
5) Input- (or process-) based atau ad hoc conditional grant programs, yang
melemahkan otonomi daerah, fleksibilitas, efisiensi fiskal dan tujuan ekuitas
fiskal.
6) Hibah modal tanpa jaminan dana untuk pemeliharaan masa depan, yang
memiliki potensi untuk menciptakan white elephants.
7) Negosiasi hibah atau kebijaksanaan dalam sistem federal, yang dapat
menciptakan pertikaian dan perpecahan.
8) One size fits all grants kepada pemerintah daerah, yang menciptakan
ketidakadilan yang besar.
9) Hibah yang melibatkan perubahan mendadak di total pool dan alokasinya.
2. Prinsip yang dapat diadopsi
Para pembuat kebijakan harus berusaha untuk menghormati prinsip-prinsip
berikut dalam merancang dan melaksanakan transfer antar pemerintah:
1) Keep it simple. Dalam desain transfer fiskal, keadilan kasar mungkin lebih
baik daripada penuh keadilan, jika mencapai penerimaan yang lebih luas
dan keberlanjutan.
2) Fokus pada satu tujuan dalam program hibah dan membuat desain sesuai
dengan tujuan tersebut. Menetapkan beberapa tujuan dalam program hibah
tunggal menghadapi risiko gagal untuk mencapai salah satu dari tujuan
tersebut.
3) Perkenalkan ceiling (terkait dengan indikator makro) dan floor untuk
memastikan stabilitas dan prediktabilitas dalam dana hibah.
4) Memperkenalkan sunset clause. Sangat diharapkan program hibah ditinjau
secara berkala - katakan, setiap lima tahun dan diperpanjang (jika sesuai).
Dalam tahun-tahun, tidak ada perubahan pada program harus dilakukan,
14
dalam rangka memberikan kepastian dalam pemrograman anggaran untuk
semua pemerintah.
5) Menyamakan kapasitas fiskal per kapita dengan standar yang ditetapkan
dalam rangka mencapai pemerataan fiskal. Standar tersebut akan
menentukan total pool dan alokasi antar unit penerima. Perhitungan yang
diperlukan untuk penyetaraan kapasitas fiskal menggunakan sistem pajak
representatif untuk dasar pengenaan pajak utama dapat dilakukan untuk
sebagian besar negara. Sebaliknya, pengeluaran perlu pemerataan
memerlukan analisis yang sulit dan kompleks, mengundang banyak
kontroversi dan perdebatan.
6) Dalam program hibah spesifik tujuan, memberlakukan persyaratan pada
output atau standar akses dan kualitas pelayanan bukan pada input dan
proses. Hal ini memungkinkan pemberi untuk mencapai tujuan mereka
tanpa merusak pilihan lokal tentang cara terbaik untuk memberikan layanan
tersebut. Sebagian besar negara harus menetapkan standar minimum
nasional pelayanan dasar di seluruh bangsa untuk memperkuat pasar
umum internal dan serikat ekonomi.
7) Kenali ukuran populasi, wilayah yang dilayani, dan sifat perkotaan /
pedesaan

dalam pemberian

jasa untuk pemberian

hibah kepada

pemerintah daerah. Menetapkan alokasi rumus yang terpisah untuk setiap
jenis pemerintah kota atau daerah.
8) Menetapkan hal yang tidak berbahaya

atau menyusun ketentuan yang

memastikan bahwa pemerintah menerima setidaknya transfer untuk tujuan
umum dalam periode sebelum reformasi. Seiring waktu, ketika ekonomi
tumbuh, ketentuan tersebut tidak akan menunda tahap dari reformasi
penuh.
9) Memastikan bahwa semua pemangku kepentingan didengar dan bahwa
politik sesuai dengan prinsip dan standar pemerataan. Politik harus
diinternalisasidalam pengaturan kelembagaan. Arms-length institutions,
misal independent grant commissions tidak banyak membantu karena tidak
memungkinkan adanya pengaruh politik dan karena itu cenderung untuk
memilih solusi yang kompleks dan tidak transparan.

15
3. Principles and Better Practices in Grant Design
Grant objective
Bridge fiscal gap

Grand Design

Examples of better

Examples of practices to

practices

avoid

Reassignment of

Pengurangan pajak dan

Deficit grants, wage grants

responsibilities,

tax-base sharing (Kanada)

(China)

tax abatement,

Tax by tax sharing (China,

tax-base sharing

India)

Reduce regional

General

Fiscal equalization with

General revenue sharing

fiscal disparities

nonmatching

explicit standard that

with multiple factors

fiscal capacity

determines total pool as

(Brazil and India); fiscal

equalization

well as allocation

equalization with a fixed

transfers

(Canada, Denmark, and

pool (Australia, China)

Germany)
Compensate for

Open-ended

Grant for teaching

Closed-ended matching

benefit spillovers

matching

hospitals (South Africa)

grants

transfers Grant
with matching
rate consistent
with spill-out of
benefits
Set national

Conditional

Road maintenance and

Conditional transfers with

minimum

nonmatching

primary education grants

conditions on spending

standards

output-based

(Indonesia before 2000)

alone (most countries),

block transfers
with conditions on
standards of
service and access

Education transfers
(Brazil, Chile, Colombia)
Health transfers (Brazil,
Canada)

pork barrel transfers (e.g.,
United States federal
US$200 million transfer to
Alaska in 2006 for “a
bridge to nowhere”), ad
hoc grants

Conditional capital Capital grant for school

Capital grants with no

grants with

construction (Indonesia

matching and no future

matching rate that

before 2000), highway

upkeep requirements

varies inversely

construction matching

with local fiscal

grants to states (United

capacity

States)
16
Influence local

Open-ended

Matching transfers for

priorities in areas

matching

social assistance (Canada

of high national

transfers

before 2004)

but low local

(preferably with

priority

Ad hoc grant

matching rate
varying inversely
with fiscal
capacity)

Provide

Capital grants,

Capital grants with

Stabilization grants with

stabilization and

provided

matching rates that vary

no future upkeep

overcome

maintenance

inversely with local fiscal

requirements

infrastructure

possible

capacity

deficiencies

E. KONDISI dan PERMASALAHAN DESENTRALISASI FISKAL DI NDONESIA
Dari pelaksanaan desentralisasi fiscal yang dimulai dari tahun 2001, kondisi yang
dihadapi oleh pemerintah Indonesia secara garis besar dapat dikategorikan menjadi 4
macam yaitu :
1. Ketimpangan Vertikal dan Horizontal secara minimum
1) DAU
Dalam UU No.33/2004 telah dinyatakan dengan tegas bahwa DAU
dibagikan dengan formula yang didasarkan atas alokasi dasar dan
kesenjangan

fiskal

(fiscal

gap).

Alokasi

dasar

ditetapkan

terutama

berdasarkan besarnya belanja pegawai, sedangkan kesenjangan fiskal
dihitung dari selisih antara kebutuhan fiscal dan kapasitas fiskal. Dengan
masih adanya peran belanja pegawai, mendorong pemerintah daerah untuk
terus menambah jumlah pegawainya, terlepas dari pertimbangan efisiensi
pegawai. Selain itu, keberadaan variabel belanja pegawai dalam formula
DAU dianggap pula sebagai pencetus motivasi untuk melakukan pemekaran
daerah, karena bagi daerah otonom baru sebagai hasil pemekaran, mereka
akan otomatis membutuhkan pegawai yang pembiayaannya dijamin oleh
alokasi DAU.

17
Sementara itu, perhitungan kebutuhan fiskal pada saat ini belum
dilakukan dengan menggunakan pendekatan kebutuhan belanja yang
sesungguhnya,

melainkan

masih

menggunakan

beberapa

variabel

pendekatan (proxy variables), diantaranya adalah:
jumlah penduduk,
luas wilayah,
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB).
2) DAK
Semenjak dilakukannya kebijakan desentralisasi fiskal pada tahun 2001,
sangat dirasakan tidak jelasnya peran dari Dana Alokasi Khusus (DAK)
dalam membiayai otonomi daerah. Euforia terhadap desentralisasi dan
otonomi daerah pada tahun 2000 tampaknya mengakibatkan pengambil
keputusan untuk lebih memberikan prioritas kepada alokasi dana transfer,
seperti DAU dan DBH, yang memberikan diskresi yang luas bagi pemda
untuk mengatur penggunaannya.
Sebagai akibatnya, peran DAK yang dapat dijadikan stimulus tercapainya
target pembangunan nasional dan mengedepankan eksternalitas dari
pelayanan public daerah menjadi terabaikan. Hal ini tampak dari alokasi DAK
yang hanya sebesar 700,9 Milyar Rupiah pada tahun 2001. Alokasi DAK
inipun pada dasarnya adalah alokasi dana reboisasi, yang seperti
diamanatkan oleh Undang-undang pada saat itu (UU No.25/1999) sebagian
didaerahkan kembali dalam bentuk alokasi DAK.
Namun sejalan dengan waktu dan menguatnya kebutuhan untuk
pemenuhan berbagai program prioritas nasional, maka peran DAK menjadi
meningkat. Besarnya alokasi DAK pada tahun 2008 telah menjadi 21.202
Milyar Rupiah, suatu peningkatan sangat signifikan dibandingkan dengan
alokasi DAK tahun 2001. Namun demikian, alokasi DAK yang pada saat ini
hanya sebesar 8,05 % dari total dana perimbangan, relatif masih rendah
peranannya dalam mendukung kebijakan desentralisasi fiskal.
Selain itu, DAK masih dirasakan belum jelas arah dan kegunaannya.
Seperti diketahui, jenis-jenis DAK saat ini meliputi 12 (dua belas) bidang,
yaitu : Pendidikan, kesehatan, jalan,irigasi,air bersih, kelautan dan perikanan,
18
pertanian, prasarana pemerintahan, lingkungan hidup,kependudukan dan
kehutanan. Dengan demikian, jumlah alokasi DAK yang meningkat pada
dasarnya terbagi atas alokasi untuk banyak bidang, sehingga efektivitas
alokasi DAK per bidang menjadi sangat minimal.
3) DBH
Untuk melihat kondisi saat ini dari kebijakan DBH dapat ditinjau dari
beberapa segi:
Formula alokasi DBH
Persentase yang dibagi-hasilkan dengan daerah relative tidak mengalami
perubahan semenjak ditetapkan kebijakan tersebut pada tahun 2001.
Pengecualian terjadi untuk besarnya persentase bagi-hasil minyak dan
gas bumi, yang mengalami kenaikan sebesar 0,5% pada tahun 2004.
Rumusan bagi hasil untuk setiap jenis pajak dan juga penerimaan sumber
daya alam sangat bervariasi satu dengan yang lain, selain itu, semenjak
ditetapkan rumusan alokasi ini pada tahun 2001, tidak ada argumentasi
yang jelas tentang formula bagi hasil tersebut. Formula DBH menjadi
makin kompleks karena pemberlakuan formula yang berbeda untuk
daerah otonomi khusus, yaitu Nanggro Aceh Darussalam dan Papua.
Dasar nilai penetapan bagi hasil
Selain dari beragamnya formula, yang juga menambah rumit alokasi DBH
adalah beragamnya dasar penetapan untuk bagi hasil.Saat ini, untuk
minyak dan gas bumi, yang dibagi-hasilkan kepada daerah adalah nilai
net-operating income setelah dikurangi berbagai jenis pajak (PPh, PPN,
dan PBB), dengan formula yang berbeda untuk minyak bumi dan gas
alam.Sedangkan untuk Pertambangan, Kehutanan dan Perikanan, nilai
yang dibagi-hasilkan pada dasarnya ada dua jenis, yaitu biaya sewa
perijinan usaha dan royalti untuk produksi yang dihasilkan.
Pemanfaatan DBH di daerah
Bagi pemerintah daerah yang memperoleh alokasi DBH yang cukup
signifikan, seyogyanya pemanfaatan dana tersebut dilakukan secara
optimal

dalam

rangka

meningkatkan

pelayanan

publik

dan

pengembangan infrastruktur dasar di daerah. Namun demikian, arah
penggunaan DBH tampaknya belum jelas di daerah, bahkan terkadang
terjadi

tumpang

tindih

program

kegiatan

antara

Provinsi

dan
19
Kabupaten/Kota, misalnya pembangunan lapangan udara pada lokasi
yang berdekatan dengan anggaran berbeda, yaitu dari provinsi dan yang
satunya dari kabupaten.
Mekanisme penyaluran DBH
Permasalahan klasik yang terus terjadi semenjak tahun 2001 sampai
dengan sekarang adalah keterlambatan penyaluran DBH ke daerah,
khususnya untuk DBH yang berasal dari sumber daya alam. Seharusnya
penyaluran dilakukan pada setiap akhir kuartal, dimana nilai yang
disalurkan pada 3 kuartal pertama adalah nilai yang didasarkan kepada
angka yang disepakati di APBN, sedangkan nilai yang disalurkan pada
kuartal terakhir sudah memperhitungkan berbagai penyesuaian terhadap
realisasi yang terjadi.Jumlah yang bisa dibagi-hasilkan untuk realisasi
minyak dan gas bumi adalah maksimum 130% dari harga asumsi awal di
APBN.Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasi keterlambatan
penyaluran DBH ke daerah, sehingga alokasi DBH ini mulai lebih baik
pada tahun 2008.
2. Pendapatan dan Pembiayaan Daerah yang Efektif dan efisien
Dalam skema desentralisasi fiskal di Indonesia, pemerintah daerah diberikan
kewenangan untuk memungut dan menentukan tarif secara terbatas (tariff
maksimum telah ditentukan oleh UU) untuk beberapa jenis pajak daerah yang
ditentukan oleh UU. Hal ini menyebabkan daerah hanya memiliki instrumen yang
sangat terbatas untuk mengelola sisi fungsi pendapatan. Walaupun dalam
kenyataannya, banyak daerah mengeluarkan peraturan daerah untuk memungut
pajak atau retribusi yang berdampak pada ekonomi biaya tinggi. Rendahnya
penerimaan pajak dan retribusi daerah ini ditunjukkan oleh data bahwa
kontribusi PAD terhadap APBD hanya kurang dari 10%, seperti pada tabel
berikut ini.

20
3. Siklus dan Proses Belanja Daerah yang Efektif dan efisien
Proses penganggaran yang berjenjang antar tiap tingkatan pemerintahan,
merupakan

salah

satu

faktor

yang

menyebabkan

panjangnya

proses

penganggaran. Kondisi saat ini, dimana terdapat sekitar 3 bulan rentang waktu
antara penetapan APBN dan APBD berpengaruh pada lambatnya timing
eksekusi dari anggaran pemerintah daerah seperti tercantum dalam UU No. 17
Tahun 2003. Selain itu, penerimaan pemerintah daerah yang sebagian besar
disalurkan oleh pemerintah pusat melalui dana perimbangan, juga menunjukkan
bahwa smoothing out dari alokasi dana perimbangan oleh pemerintah pusat
akan sangat membantu efektifitas pengeluaran pemerintah daerah.
Pada saat ini, anggaran belanja daerah disusun tidak berdasarkan suatu
analisis kebutuhan yang nyata yang harus dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah.
Anggaran belanja disusun secara ekletik, dengan anggaran tahun sebelumnya
sebagai acuan utama. Tidak jarang bahwa peningkatan anggaran pemerintah
hanya dirumuskan sebagai suatu peningkatan proporsional dari anggaran tahun
berjalan, tanpa mempertimbangkan kebutuhan yang nyata. Sulitnya menyusun
anggaran belanja sesuai dengan kebutuhan nyata Pemerintah Daerah juga
diakibatkan oleh tidak adanya Analisis Standar Belanja (ASB). Karena itu tidak
mengherankan bahwa banyak analisis terhadap anggaran pemerintah sampai
saat ini menunjukkan adanya biaya penyelenggaraan layanan publik yang
sangat fluktuatif dari tahun ke tahun. Hal ini mencerminkan jauhnya penetapan
anggaran dari analisis kebutuhan dan analisis standar belanja.
4. Harmonisasi Belanja Pusat dan Daerah
Sampai saat ini masih terjadi tumpang tindih belanja antar unit maupun antar
tingkatan. Masih sering terjadi belanja pemerintah pusat melalui anggaran
21
kementerian, baik secara langsung ke daerah maupun melalui mekanisme
dekonsentrasi dan tugas pembantuan, digunakan untuk mendanai kegiatankegiatan

yang

seharusnya

menjadi

urusan

daerah

yang

telah

didesentralisasikan. Hal ini juga diperparah dengan rendahnya mekanisme
koordinasi antara pusat dan daerah dalam pengalokasian dana-dana tersebut,
sehingga tidak hanya tidak tepat guna tapi juga tumpang tindih. Di samping itu,
sistem perencanaan nasional juga belum sepenuhnya dapat mengkoordinasikan
program-program di pusat maupun daerah. Hal ini didorong oleh adanya ego
sektoral dari masing-masing unit di semua tingkatan. Yang masih kadang terjadi
adalah ketidakjelasan siapa mengerjakan apa, sehingga berbagai program
saling berbenturan. Komitmen untuk menjaga kejelasan pembagian urusan dari
masing-masing pihak menjadi salah satu penyebab carut marut perencanaan
tersebut, di samping belum adanya SPM yang jelas untuk semua urusan.
Tumpang tindih antara belanja pusat dan daerah ditenggarai sebagai salah
satu faktor yang mendorong tingginya belanja pegawai baik di tingkat
pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Tabel 5.1 menunjukkan bahwa
belanja pegawai selama tahun 2005-2008 merupakan komponen pengeluaran
yang dominan relative dibandingkan dengan belanja modal. Perbandingan
belanja personel (belanja modal) terhadap tahun-tahun sebelum desentralisasi
yaitu terhadap pengeluaran rutin (pengeluaran pembangunan) cenderung bias
karena dalam belanja pembangunan masih juga mencakup komponen personnel
selain belanja modal. Sistem anggaran seperti ini juga merupakan salah satu
penyebab kurang terkontrolnya komponen dari pengeluaran belanja pegawai.
Untuk tingkat pemerintah pusat, penerapan standar pelayanan minimal
(SPM) juga berarti orientasi pada cakupan outcome yang mungkin akan
bersinggungan atau sama untuk tiap unit karena melibatkan koordinasi beberapa
departemen teknis. Berdasarkan PP No. 65 Tahun 2005, penentuan SPM yang
harus berdasarkan koordinasi dari beberapa kementrian, merupakan salah satu
cara untuk pemetaan SPM untuk tiap sektor sementara pada saat yang sama
koordinasi dilakukan untuk menghindari ketidaksesuaian antara outcome dengan
sumber daya. Namun sampai saat ini, dari 12 sektor pelayanan dasar,
penetapan SPM baru ada untuk sector pendidikan, kesehatan dan lingkungan
hidup (Departemen Keuangan, 2009).
22
Sedangkan permasalahan desentralisasi fiscal yang dihadapi pemerintah Indonesia
menurut Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru dari
World Bank adalah sebagai berikut :
a. Tantangan utama bagi pembangunan Indonesia bukan lagi untuk memberikan
dana kepada daerah-daerah yang lebih miskin tetapi bagaimana memastikan
agar daerah-daerah tersebut menggunakan dana yang disalurkan dengan
sebaik-baiknya. Sumber dana yang terpenting untuk daerah—Dana Alokasi
Umum (Dana DAU)—mengalami peningkatan nominal hingga 64 persen pada
2006. Sebagian besar daerah sudah memiliki sumber daya yang cukup untuk
melakukan berbagai perbaikan taraf hidup warganya. Bahkan daerah-daerah
yang dulunya dianggap miskin, kini memiliki DAU per kapita rata-rata sebesar
AS$425 setiap tahun, jumlah alokasi DAU ini telah mengalami peningkatan
sebesar 75 persen pada tahun 2006.
b. Lebih dari setengah kenaikan alokasi DAU yang seharusnya digunakan untuk
peningkatan

penyediaan

layanan

kepada

masyarakat

digunakan

untuk

membiayai belanja pegawai pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. Kebijakan
pembayaran gaji pegawai daerah secara penuh melalui DAU ini tidak
mendorong pemerintah daerah mengarahkan dana itu untuk peningkatan
pelayanan masyarakat.
c. Banyak

pemerintah

daerah

mengalami

kesulitan

untuk

membelanjakan

anggaran tambahan mereka. Mereka lalu menyimpan dana itu dalam rekening

23
bank setempat, jumlah simpanan itu semakin banyak dan telah mencapai angka
3,1 persen dari PDB pada bulan November 2006.
d. Pos pengeluaran paling besar untuk pemerintah daerah adalah untuk
penyelenggaraan administrasi pemerintahan, yang menyerap sebanyak 32
persen dari seluruh pengeluaran pemerintah daerah. Pengeluaran administrasi
yang sangat besar ini mengakibatkan berkurangnya pengeluaran untuk
sektorsektor penting lainnya, terutama sektor kesehatan, pertanian, dan
infrastruktur.
Adapun rekomendasi yang diberikan oleh World Bank sebagai berikut :
a. Mekanisme alokasi DAU seharusnya diubah dengan menghilangkan cakupan
pembayaran gaji pemerintah daerah secara penuh. Penyaluran dana yang
penggunaannya telah ditetapkan akan menurunkan insentif untuk mengurangi
kelebihan pegawai dan mencari kombinasi masukan secara optimal (tenaga
kerja,

modal,

bahan

baku,dan

outsourcing)

untuk

pemberian

layanan

masyarakat yang bermutu. Menghilangkan cakupan pembayaran gaji secara
penuh ini akan berkontribusi terhadap peningkatan efisiensi pada pengeluaran
pemerintah daerah.
b. Untuk mendorong fungsi perimbangan dari perimbangan fiskal pusat-daerah,
sebagian besar dari dana DAU harus dialokasikan berdasarkan formula
kesenjangan fiskal. Penghapusan cakupan pembayaran gaji dari alokasi dana
DAU akan berkontribusi pada tujuan ini.
c. Pemerintah seharusnya mengurangi fluktuasi jumlah dana

DAU untuk

menghindari dampak fluktuasi ini terhadap anggaran daerah. Fluktuasi besar
jangka

pendek

akan

membutuhkan

penyesuaian

besar-besaran

dalam

penentuan anggaran atau strategi pengeluaran jangka panjang yang lebih
lancar. Akan tetapi, hal-hal ini tidak mudah untuk dirumuskan dan dilaksanakan
di tingkat daerah mengingat keterbatasan kapasitas manajerial. Ada sejumlah
cara yang dapat digunakan untuk memperlancar alokasi dana DAU, di antaranya
pemanfaatan asumsi harga minyak jangka panjang, penciptaan stabilisasi dana
cadangan nasional atau di daerah, dan peningkatan secara riil alokasi DAU
setiap tahun.
d. Oleh karena tingkat pendapatan pemerintah daerah saat ini sudah relatif besar,
seharusnya berfokus pada pergeseran ke arah pemanfaatan sumber daya yang
efisien dan bukan pada mobilisasi sumber daya tambahan. Satu elemen kunci
24
untuk menjamin efisiensi pengeluaran adalah alat ukur kinerja pemerintah
daerah untuk melakukan perbandingan di seluruh kabupaten/kota. Insentif yang
menarik harus disediakan untuk pemanfaatan anggaran yang cermat dan efektif.
Insentif ini dapat dimasukkan ke dalam sistem penyaluran anggaran antarpemerintahan.
e. Pemerintah daerah perlu melakukan pergeseran dari alokasi anggaran
administrasi yang terlalu besar menuju penerapan kebijakan pemberian layanan
masyarakat dan berpihak pada masyarakat miskin. Jumlah pengeluaran saat ini
untuk kebutuhan administrasi pemerintahan terlalu tinggi dan ini menunjukkan
penggunaan sumber daya yang tidak efisien. Ada ruang yang begitu besar untuk
melakukan

perbaikan

dalam

pemanfaatan

sumber-sumber

daya

publik.

Penggunaan anggaran sebesar 5 sampai 10 persen untuk kepentingan
administrasi seharusnya merupakan target pemerintah daerah.
f. Kapasitas untuk membuat perencanaan dan menentukan anggaran di daerah
perlu ditingkatkan. Proses persetujuan anggaran perlu dirampingkan dan
pengeluaran di luar anggaran perlu direvisi. Hanya dengan demikian
perencanaan anggaran dapat mencerminkan rencana pengeluaran yang efisien
dan dapat mencegah terjadinya surplus anggaran yang terlalu besar.
g. Pemungutan dan pengumpulan pendapatan pajak di daerah perlu ditingkatkan.
Hal ini memerlukan desentralisasi PBB untuk wilayah perkotaan dan pedesaan
dan memberi ruang kepada daerah untuk bersaing dengan daerah lain (ini
merupakan kelaziman yang sudah berlaku secara internasional). Hal ini juga
termasuk

peningkatan

pengumpulan

pajak

itu

sendiri,

yang

rata-rata

menghabiskan setengah dari pajak yang terkumpul—angka yang terlalu tinggi
dilihat dari standar mana pun. Akhirnya, penggunaan retribusi dan pajak daerah
lainnya seharusnya diatur dengan jelas untuk mencegah timbulnya dampak
negatif terhadap iklim investasi.
h. Kerangka aturan bagi pengelolaan keuangan pemerintah daerah, terutama yang
berkaitan dengan kapasitas melakukan pinjaman dan pengelolaan terhadap
surplus anggaran yang jumlahnya semakin besar harus diperkuat. Kapasitas dan
daya tarik daerah untuk mendapatkan kredit akan dapat didorong dengan
menyelesaikan dan melaksanakan kerangka aturan agar PDAM dan Pemda
dapat

mengatasi

permasalahannya.

Departemen

Keuangan

dapat

mengembangkan pedoman mengenai akumulasi dan pemanfaatan dana
25
cadangan yang rasional. Jika jumlah dana cadangan yang semakin tinggi
sebagai ciri dari kinerja anggaran pemerintah daerah terus berlangsung, maka
setidaknya dana cadangan itu harus digunakan untuk meningkatkan investasi
dalam infrastruktur publik dan membayar hutang yang masih tertunggak.

Bibliography
[1] Ministry of Finance RI Fiscal Decentralization Assistance Team, Fiscal Decentralization Grand Design.
Jakarta: Ministry Of finance, 2010.
[2] Wahyudi Kumorotomo, Desentralisasi Fiskal: Politik dan Perubahan Kebijakan 1974-2004, 1st ed.,
Erwan Agus Purwanto, Ed. Jakarta, Indonesia: Prenada Media, 2008.
[3] World Bank, Kajian Pengeluaran Publik Indonesia:Memaksimalkan Peluang Baru. Jakarta, 2007.
[4] Robin Boadway and Anwar Shah, Intergovernmental Fiscal Transfer, Principles and Practice.
Washington, DC: World Bank, 2007.

26

More Related Content

What's hot

Pemerintahan Megawati Soekarno Putri
Pemerintahan Megawati Soekarno PutriPemerintahan Megawati Soekarno Putri
Pemerintahan Megawati Soekarno Putri
Hana Medina
 
Konsep Otonomi Daerah
Konsep Otonomi DaerahKonsep Otonomi Daerah
Konsep Otonomi Daerah
Siti Sahati
 
KEMITRAAN SEKTOR PUBLIK – PRIVAT “Public-Private Partnership (PPP)”, MODE...
KEMITRAAN SEKTOR PUBLIK – PRIVAT     “Public-Private Partnership (PPP)”, MODE...KEMITRAAN SEKTOR PUBLIK – PRIVAT     “Public-Private Partnership (PPP)”, MODE...
KEMITRAAN SEKTOR PUBLIK – PRIVAT “Public-Private Partnership (PPP)”, MODE...Ely Goro Leba
 
46. silabus-eki-317-ekonomi-publik-lanjutan
46. silabus-eki-317-ekonomi-publik-lanjutan46. silabus-eki-317-ekonomi-publik-lanjutan
46. silabus-eki-317-ekonomi-publik-lanjutan
nopriadi2411
 
Teori sistem dunia
Teori sistem duniaTeori sistem dunia
Teori sistem dunia
Syahrul Hidayat
 
PPT SEJARAH REFORMASI
PPT SEJARAH REFORMASIPPT SEJARAH REFORMASI
PPT SEJARAH REFORMASI
Aldya Rachma
 
Studi Kasus Penyimpangan Atas Pengelolaan Keuangan Daerah Kabupaten Bogor Pad...
Studi Kasus Penyimpangan Atas Pengelolaan Keuangan Daerah Kabupaten Bogor Pad...Studi Kasus Penyimpangan Atas Pengelolaan Keuangan Daerah Kabupaten Bogor Pad...
Studi Kasus Penyimpangan Atas Pengelolaan Keuangan Daerah Kabupaten Bogor Pad...
Universitas Pakuan
 
Makalah fix kasus hambalang
Makalah fix kasus hambalangMakalah fix kasus hambalang
Makalah fix kasus hambalang
Gerlan Hahanusa
 
Policy brief pkh
Policy brief pkhPolicy brief pkh
Policy brief pkh
Be Susantyo
 
Peran ekonomi pemerintah
Peran ekonomi pemerintahPeran ekonomi pemerintah
Peran ekonomi pemerintah
Siti Sahati
 
Implikasi implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah terhadap p...
Implikasi implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah terhadap p...Implikasi implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah terhadap p...
Implikasi implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah terhadap p...
Researcher Syndicate68
 
Kebijakan otonomi khusus di indonesia
Kebijakan otonomi khusus di indonesiaKebijakan otonomi khusus di indonesia
Kebijakan otonomi khusus di indonesia
Deny P. Sambodo
 
Hubungan Keuangan pusat dan daerah ( modul xi )
Hubungan Keuangan pusat dan daerah ( modul xi )Hubungan Keuangan pusat dan daerah ( modul xi )
Hubungan Keuangan pusat dan daerah ( modul xi )BKPP kabupaten Bandung
 
Makalah_Konsep Anggaran dan Pengelolaan Keuangan Negara
Makalah_Konsep Anggaran dan Pengelolaan Keuangan NegaraMakalah_Konsep Anggaran dan Pengelolaan Keuangan Negara
Makalah_Konsep Anggaran dan Pengelolaan Keuangan Negara
Fox Broadcasting
 
Konsep Desentralisasi Dan Sentralisasi
Konsep Desentralisasi Dan SentralisasiKonsep Desentralisasi Dan Sentralisasi
Konsep Desentralisasi Dan Sentralisasi
fathir fajar sidiq
 
Ekonomi Pajak Kelas 11 Kurikulum 2013
Ekonomi Pajak Kelas 11 Kurikulum 2013Ekonomi Pajak Kelas 11 Kurikulum 2013
Ekonomi Pajak Kelas 11 Kurikulum 2013
Meyta Aini
 
Kebijakan Pemerintahan Gusdur
Kebijakan Pemerintahan GusdurKebijakan Pemerintahan Gusdur
Kebijakan Pemerintahan GusdurMuhamad Yogi
 

What's hot (20)

Pemerintahan Megawati Soekarno Putri
Pemerintahan Megawati Soekarno PutriPemerintahan Megawati Soekarno Putri
Pemerintahan Megawati Soekarno Putri
 
Konsep Otonomi Daerah
Konsep Otonomi DaerahKonsep Otonomi Daerah
Konsep Otonomi Daerah
 
KEMITRAAN SEKTOR PUBLIK – PRIVAT “Public-Private Partnership (PPP)”, MODE...
KEMITRAAN SEKTOR PUBLIK – PRIVAT     “Public-Private Partnership (PPP)”, MODE...KEMITRAAN SEKTOR PUBLIK – PRIVAT     “Public-Private Partnership (PPP)”, MODE...
KEMITRAAN SEKTOR PUBLIK – PRIVAT “Public-Private Partnership (PPP)”, MODE...
 
Kajian otsus papua
Kajian otsus papuaKajian otsus papua
Kajian otsus papua
 
46. silabus-eki-317-ekonomi-publik-lanjutan
46. silabus-eki-317-ekonomi-publik-lanjutan46. silabus-eki-317-ekonomi-publik-lanjutan
46. silabus-eki-317-ekonomi-publik-lanjutan
 
Teori sistem dunia
Teori sistem duniaTeori sistem dunia
Teori sistem dunia
 
6 pbb-2
6 pbb-26 pbb-2
6 pbb-2
 
Makalah PPh pasal 22
Makalah PPh pasal 22Makalah PPh pasal 22
Makalah PPh pasal 22
 
PPT SEJARAH REFORMASI
PPT SEJARAH REFORMASIPPT SEJARAH REFORMASI
PPT SEJARAH REFORMASI
 
Studi Kasus Penyimpangan Atas Pengelolaan Keuangan Daerah Kabupaten Bogor Pad...
Studi Kasus Penyimpangan Atas Pengelolaan Keuangan Daerah Kabupaten Bogor Pad...Studi Kasus Penyimpangan Atas Pengelolaan Keuangan Daerah Kabupaten Bogor Pad...
Studi Kasus Penyimpangan Atas Pengelolaan Keuangan Daerah Kabupaten Bogor Pad...
 
Makalah fix kasus hambalang
Makalah fix kasus hambalangMakalah fix kasus hambalang
Makalah fix kasus hambalang
 
Policy brief pkh
Policy brief pkhPolicy brief pkh
Policy brief pkh
 
Peran ekonomi pemerintah
Peran ekonomi pemerintahPeran ekonomi pemerintah
Peran ekonomi pemerintah
 
Implikasi implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah terhadap p...
Implikasi implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah terhadap p...Implikasi implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah terhadap p...
Implikasi implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah terhadap p...
 
Kebijakan otonomi khusus di indonesia
Kebijakan otonomi khusus di indonesiaKebijakan otonomi khusus di indonesia
Kebijakan otonomi khusus di indonesia
 
Hubungan Keuangan pusat dan daerah ( modul xi )
Hubungan Keuangan pusat dan daerah ( modul xi )Hubungan Keuangan pusat dan daerah ( modul xi )
Hubungan Keuangan pusat dan daerah ( modul xi )
 
Makalah_Konsep Anggaran dan Pengelolaan Keuangan Negara
Makalah_Konsep Anggaran dan Pengelolaan Keuangan NegaraMakalah_Konsep Anggaran dan Pengelolaan Keuangan Negara
Makalah_Konsep Anggaran dan Pengelolaan Keuangan Negara
 
Konsep Desentralisasi Dan Sentralisasi
Konsep Desentralisasi Dan SentralisasiKonsep Desentralisasi Dan Sentralisasi
Konsep Desentralisasi Dan Sentralisasi
 
Ekonomi Pajak Kelas 11 Kurikulum 2013
Ekonomi Pajak Kelas 11 Kurikulum 2013Ekonomi Pajak Kelas 11 Kurikulum 2013
Ekonomi Pajak Kelas 11 Kurikulum 2013
 
Kebijakan Pemerintahan Gusdur
Kebijakan Pemerintahan GusdurKebijakan Pemerintahan Gusdur
Kebijakan Pemerintahan Gusdur
 

Similar to Paper desentralisasi fiskal

Perimbangan pusat dan daerah
Perimbangan pusat dan daerahPerimbangan pusat dan daerah
Perimbangan pusat dan daerahIyens Syeikhbu
 
Perimbangan pusat dan daerah
Perimbangan pusat dan daerahPerimbangan pusat dan daerah
Perimbangan pusat dan daerahIyens Syeikhbu
 
makalah desentralisasi fiskal kab. karimun
makalah desentralisasi fiskal kab. karimunmakalah desentralisasi fiskal kab. karimun
makalah desentralisasi fiskal kab. karimun
safiq1
 
makalah desentralisasi fiskal kab. karimun
makalah desentralisasi fiskal kab. karimunmakalah desentralisasi fiskal kab. karimun
makalah desentralisasi fiskal kab. karimun
safiq1
 
Keuangan pusat dan daerah
Keuangan pusat dan daerahKeuangan pusat dan daerah
Keuangan pusat dan daerah
Dian Herdiana
 
Teori dan Konsep Keuangan Daerah New 9 September 2011.pptx
Teori dan Konsep Keuangan Daerah New 9 September 2011.pptxTeori dan Konsep Keuangan Daerah New 9 September 2011.pptx
Teori dan Konsep Keuangan Daerah New 9 September 2011.pptx
MuhammadRizky297200
 
Format baru otonomi daerah
Format baru otonomi daerahFormat baru otonomi daerah
Format baru otonomi daerah
Agung Jatmiko
 
Desentralisasi dan Otonomi Daerah di Indonesia. Konsep, Pencapaian, dan Agend...
Desentralisasi dan Otonomi Daerah di Indonesia. Konsep, Pencapaian, dan Agend...Desentralisasi dan Otonomi Daerah di Indonesia. Konsep, Pencapaian, dan Agend...
Desentralisasi dan Otonomi Daerah di Indonesia. Konsep, Pencapaian, dan Agend...
Oswar Mungkasa
 
Artikel stia lan jkt-menyoal desentralisasi fiskal (suryanto)
Artikel stia lan jkt-menyoal desentralisasi fiskal (suryanto)Artikel stia lan jkt-menyoal desentralisasi fiskal (suryanto)
Artikel stia lan jkt-menyoal desentralisasi fiskal (suryanto)
Researcher Syndicate68
 
Denis anggun
Denis anggunDenis anggun
Keuangan pusat-dan-daerah
Keuangan pusat-dan-daerahKeuangan pusat-dan-daerah
Keuangan pusat-dan-daerahEfry Ghani
 
Keuangan Pemerintah Daerah.pptx
Keuangan Pemerintah Daerah.pptxKeuangan Pemerintah Daerah.pptx
Keuangan Pemerintah Daerah.pptx
HatabFaizu
 
Otonomi Daerah (Perekonomian Indonesia BAB 7)
Otonomi Daerah (Perekonomian Indonesia BAB 7)Otonomi Daerah (Perekonomian Indonesia BAB 7)
Otonomi Daerah (Perekonomian Indonesia BAB 7)
Bagus Cahyo Jaya Pratama Pratama
 
analisis sumber penerimaan bontang
analisis sumber penerimaan bontanganalisis sumber penerimaan bontang
analisis sumber penerimaan bontang
Muhammad Amri
 
Hubungan antara pertumbuhan ekonomi daerah
Hubungan antara pertumbuhan ekonomi daerahHubungan antara pertumbuhan ekonomi daerah
Hubungan antara pertumbuhan ekonomi daerah
Priyo Hari Adi
 
Otonomi daerah
Otonomi daerahOtonomi daerah
Otonomi daerah
Handhika YP
 
Pkn0192 2 pembentukan daerah dan kawasan khusus (1)
Pkn0192 2 pembentukan daerah dan kawasan khusus (1)Pkn0192 2 pembentukan daerah dan kawasan khusus (1)
Pkn0192 2 pembentukan daerah dan kawasan khusus (1)
JanuarRobiansyah
 
Resume uu no 33 th.2004
Resume uu no 33 th.2004Resume uu no 33 th.2004
Resume uu no 33 th.2004
Ike Hanisyah
 
KEUNGAN NEGARA
KEUNGAN NEGARAKEUNGAN NEGARA
KEUNGAN NEGARA
dedikurnia kurnia
 

Similar to Paper desentralisasi fiskal (20)

Perimbangan pusat dan daerah
Perimbangan pusat dan daerahPerimbangan pusat dan daerah
Perimbangan pusat dan daerah
 
Perimbangan pusat dan daerah
Perimbangan pusat dan daerahPerimbangan pusat dan daerah
Perimbangan pusat dan daerah
 
makalah desentralisasi fiskal kab. karimun
makalah desentralisasi fiskal kab. karimunmakalah desentralisasi fiskal kab. karimun
makalah desentralisasi fiskal kab. karimun
 
makalah desentralisasi fiskal kab. karimun
makalah desentralisasi fiskal kab. karimunmakalah desentralisasi fiskal kab. karimun
makalah desentralisasi fiskal kab. karimun
 
Keuangan pusat dan daerah
Keuangan pusat dan daerahKeuangan pusat dan daerah
Keuangan pusat dan daerah
 
Teori dan Konsep Keuangan Daerah New 9 September 2011.pptx
Teori dan Konsep Keuangan Daerah New 9 September 2011.pptxTeori dan Konsep Keuangan Daerah New 9 September 2011.pptx
Teori dan Konsep Keuangan Daerah New 9 September 2011.pptx
 
Format baru otonomi daerah
Format baru otonomi daerahFormat baru otonomi daerah
Format baru otonomi daerah
 
Desentralisasi dan Otonomi Daerah di Indonesia. Konsep, Pencapaian, dan Agend...
Desentralisasi dan Otonomi Daerah di Indonesia. Konsep, Pencapaian, dan Agend...Desentralisasi dan Otonomi Daerah di Indonesia. Konsep, Pencapaian, dan Agend...
Desentralisasi dan Otonomi Daerah di Indonesia. Konsep, Pencapaian, dan Agend...
 
Artikel stia lan jkt-menyoal desentralisasi fiskal (suryanto)
Artikel stia lan jkt-menyoal desentralisasi fiskal (suryanto)Artikel stia lan jkt-menyoal desentralisasi fiskal (suryanto)
Artikel stia lan jkt-menyoal desentralisasi fiskal (suryanto)
 
Denis anggun
Denis anggunDenis anggun
Denis anggun
 
Keuangan pusat-dan-daerah
Keuangan pusat-dan-daerahKeuangan pusat-dan-daerah
Keuangan pusat-dan-daerah
 
Keuangan Pemerintah Daerah.pptx
Keuangan Pemerintah Daerah.pptxKeuangan Pemerintah Daerah.pptx
Keuangan Pemerintah Daerah.pptx
 
Otonomi Daerah (Perekonomian Indonesia BAB 7)
Otonomi Daerah (Perekonomian Indonesia BAB 7)Otonomi Daerah (Perekonomian Indonesia BAB 7)
Otonomi Daerah (Perekonomian Indonesia BAB 7)
 
analisis sumber penerimaan bontang
analisis sumber penerimaan bontanganalisis sumber penerimaan bontang
analisis sumber penerimaan bontang
 
Hubungan antara pertumbuhan ekonomi daerah
Hubungan antara pertumbuhan ekonomi daerahHubungan antara pertumbuhan ekonomi daerah
Hubungan antara pertumbuhan ekonomi daerah
 
Otonomi daerah
Otonomi daerahOtonomi daerah
Otonomi daerah
 
Pkn0192 2 pembentukan daerah dan kawasan khusus (1)
Pkn0192 2 pembentukan daerah dan kawasan khusus (1)Pkn0192 2 pembentukan daerah dan kawasan khusus (1)
Pkn0192 2 pembentukan daerah dan kawasan khusus (1)
 
Resume uu no 33 th.2004
Resume uu no 33 th.2004Resume uu no 33 th.2004
Resume uu no 33 th.2004
 
KEUNGAN NEGARA
KEUNGAN NEGARAKEUNGAN NEGARA
KEUNGAN NEGARA
 
138 293-1-pb
138 293-1-pb138 293-1-pb
138 293-1-pb
 

More from Mulyadi Yusuf

Paper seminar akuntansi pemerintah kel 1--sap berbasis akrual
Paper seminar akuntansi pemerintah kel 1--sap berbasis akrualPaper seminar akuntansi pemerintah kel 1--sap berbasis akrual
Paper seminar akuntansi pemerintah kel 1--sap berbasis akrual
Mulyadi Yusuf
 
Mckinsey kominfo
Mckinsey kominfoMckinsey kominfo
Mckinsey kominfo
Mulyadi Yusuf
 
Paper mssp analisis renstra dan capaian kinerja kemenhub (1)
Paper mssp   analisis renstra dan capaian kinerja kemenhub (1)Paper mssp   analisis renstra dan capaian kinerja kemenhub (1)
Paper mssp analisis renstra dan capaian kinerja kemenhub (1)
Mulyadi Yusuf
 
Paper mssp analisis renstra dan capaian kinerja kemenpan rb
Paper mssp   analisis renstra dan capaian kinerja kemenpan rb Paper mssp   analisis renstra dan capaian kinerja kemenpan rb
Paper mssp analisis renstra dan capaian kinerja kemenpan rb
Mulyadi Yusuf
 
Paper menstra kemenkes final-sapce
Paper menstra kemenkes final-sapcePaper menstra kemenkes final-sapce
Paper menstra kemenkes final-sapce
Mulyadi Yusuf
 
Peta strategi kementan
Peta strategi kementanPeta strategi kementan
Peta strategi kementan
Mulyadi Yusuf
 
Mssp analisis renstra ditjen ppi
Mssp analisis renstra ditjen ppiMssp analisis renstra ditjen ppi
Mssp analisis renstra ditjen ppi
Mulyadi Yusuf
 
Manstrapem bina upaya kesehatan final
Manstrapem bina upaya kesehatan finalManstrapem bina upaya kesehatan final
Manstrapem bina upaya kesehatan final
Mulyadi Yusuf
 
Paper mssp analisis renstra dan capaian kinerja ditjen perhubungan udara
Paper mssp   analisis renstra dan capaian kinerja ditjen perhubungan udaraPaper mssp   analisis renstra dan capaian kinerja ditjen perhubungan udara
Paper mssp analisis renstra dan capaian kinerja ditjen perhubungan udara
Mulyadi Yusuf
 
Balanced scorecard amin subiyakto
Balanced scorecard   amin subiyaktoBalanced scorecard   amin subiyakto
Balanced scorecard amin subiyakto
Mulyadi Yusuf
 
10. kertas kerja it audit
10. kertas kerja it audit10. kertas kerja it audit
10. kertas kerja it audit
Mulyadi Yusuf
 
09.2 audit siklus pembelian dan pembayaran
09.2 audit siklus pembelian dan pembayaran09.2 audit siklus pembelian dan pembayaran
09.2 audit siklus pembelian dan pembayaran
Mulyadi Yusuf
 
09.1 audit siklus penjualan dan penerimaan
09.1 audit siklus penjualan dan penerimaan09.1 audit siklus penjualan dan penerimaan
09.1 audit siklus penjualan dan penerimaan
Mulyadi Yusuf
 
05.2 auditing procedure application controls
05.2 auditing procedure   application controls05.2 auditing procedure   application controls
05.2 auditing procedure application controls
Mulyadi Yusuf
 
05.1 auditing procedure general controls
05.1 auditing procedure   general controls05.1 auditing procedure   general controls
05.1 auditing procedure general controlsMulyadi Yusuf
 
03.2 application control
03.2 application control03.2 application control
03.2 application control
Mulyadi Yusuf
 
03.1 general control
03.1 general control03.1 general control
03.1 general control
Mulyadi Yusuf
 
02. cobit5 introduction
02. cobit5 introduction02. cobit5 introduction
02. cobit5 introduction
Mulyadi Yusuf
 
02. cobit 41 dan iso 17799
02. cobit 41 dan iso 1779902. cobit 41 dan iso 17799
02. cobit 41 dan iso 17799
Mulyadi Yusuf
 
Erm tm 12
Erm tm 12Erm tm 12
Erm tm 12
Mulyadi Yusuf
 

More from Mulyadi Yusuf (20)

Paper seminar akuntansi pemerintah kel 1--sap berbasis akrual
Paper seminar akuntansi pemerintah kel 1--sap berbasis akrualPaper seminar akuntansi pemerintah kel 1--sap berbasis akrual
Paper seminar akuntansi pemerintah kel 1--sap berbasis akrual
 
Mckinsey kominfo
Mckinsey kominfoMckinsey kominfo
Mckinsey kominfo
 
Paper mssp analisis renstra dan capaian kinerja kemenhub (1)
Paper mssp   analisis renstra dan capaian kinerja kemenhub (1)Paper mssp   analisis renstra dan capaian kinerja kemenhub (1)
Paper mssp analisis renstra dan capaian kinerja kemenhub (1)
 
Paper mssp analisis renstra dan capaian kinerja kemenpan rb
Paper mssp   analisis renstra dan capaian kinerja kemenpan rb Paper mssp   analisis renstra dan capaian kinerja kemenpan rb
Paper mssp analisis renstra dan capaian kinerja kemenpan rb
 
Paper menstra kemenkes final-sapce
Paper menstra kemenkes final-sapcePaper menstra kemenkes final-sapce
Paper menstra kemenkes final-sapce
 
Peta strategi kementan
Peta strategi kementanPeta strategi kementan
Peta strategi kementan
 
Mssp analisis renstra ditjen ppi
Mssp analisis renstra ditjen ppiMssp analisis renstra ditjen ppi
Mssp analisis renstra ditjen ppi
 
Manstrapem bina upaya kesehatan final
Manstrapem bina upaya kesehatan finalManstrapem bina upaya kesehatan final
Manstrapem bina upaya kesehatan final
 
Paper mssp analisis renstra dan capaian kinerja ditjen perhubungan udara
Paper mssp   analisis renstra dan capaian kinerja ditjen perhubungan udaraPaper mssp   analisis renstra dan capaian kinerja ditjen perhubungan udara
Paper mssp analisis renstra dan capaian kinerja ditjen perhubungan udara
 
Balanced scorecard amin subiyakto
Balanced scorecard   amin subiyaktoBalanced scorecard   amin subiyakto
Balanced scorecard amin subiyakto
 
10. kertas kerja it audit
10. kertas kerja it audit10. kertas kerja it audit
10. kertas kerja it audit
 
09.2 audit siklus pembelian dan pembayaran
09.2 audit siklus pembelian dan pembayaran09.2 audit siklus pembelian dan pembayaran
09.2 audit siklus pembelian dan pembayaran
 
09.1 audit siklus penjualan dan penerimaan
09.1 audit siklus penjualan dan penerimaan09.1 audit siklus penjualan dan penerimaan
09.1 audit siklus penjualan dan penerimaan
 
05.2 auditing procedure application controls
05.2 auditing procedure   application controls05.2 auditing procedure   application controls
05.2 auditing procedure application controls
 
05.1 auditing procedure general controls
05.1 auditing procedure   general controls05.1 auditing procedure   general controls
05.1 auditing procedure general controls
 
03.2 application control
03.2 application control03.2 application control
03.2 application control
 
03.1 general control
03.1 general control03.1 general control
03.1 general control
 
02. cobit5 introduction
02. cobit5 introduction02. cobit5 introduction
02. cobit5 introduction
 
02. cobit 41 dan iso 17799
02. cobit 41 dan iso 1779902. cobit 41 dan iso 17799
02. cobit 41 dan iso 17799
 
Erm tm 12
Erm tm 12Erm tm 12
Erm tm 12
 

Recently uploaded

Modul Ajar PAI dan Budi Pekerti Kelas 8 Fase D Kurikulum Merdeka
Modul Ajar PAI dan Budi Pekerti Kelas 8 Fase D Kurikulum MerdekaModul Ajar PAI dan Budi Pekerti Kelas 8 Fase D Kurikulum Merdeka
Modul Ajar PAI dan Budi Pekerti Kelas 8 Fase D Kurikulum Merdeka
Fathan Emran
 
Pemutakhiran Data dosen pada sister.pptx
Pemutakhiran Data dosen pada sister.pptxPemutakhiran Data dosen pada sister.pptx
Pemutakhiran Data dosen pada sister.pptx
ssuser4dafea
 
Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 7 Fase D Kurikulum Merdeka - [abdiera.com]
Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 7 Fase D Kurikulum Merdeka - [abdiera.com]Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 7 Fase D Kurikulum Merdeka - [abdiera.com]
Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 7 Fase D Kurikulum Merdeka - [abdiera.com]
Fathan Emran
 
Teori Fungsionalisme Kulturalisasi Talcott Parsons (Dosen Pengampu : Khoirin ...
Teori Fungsionalisme Kulturalisasi Talcott Parsons (Dosen Pengampu : Khoirin ...Teori Fungsionalisme Kulturalisasi Talcott Parsons (Dosen Pengampu : Khoirin ...
Teori Fungsionalisme Kulturalisasi Talcott Parsons (Dosen Pengampu : Khoirin ...
nasrudienaulia
 
materi penyuluhan kesehatan reproduksi remaja
materi penyuluhan kesehatan reproduksi remajamateri penyuluhan kesehatan reproduksi remaja
materi penyuluhan kesehatan reproduksi remaja
DewiInekePuteri
 
Pemaparan budaya positif di sekolah.pptx
Pemaparan budaya positif di sekolah.pptxPemaparan budaya positif di sekolah.pptx
Pemaparan budaya positif di sekolah.pptx
maulatamah
 
Tokoh Pendidikan Universitas Negeri Jakarta.pdf
Tokoh Pendidikan Universitas Negeri Jakarta.pdfTokoh Pendidikan Universitas Negeri Jakarta.pdf
Tokoh Pendidikan Universitas Negeri Jakarta.pdf
Mutia Rini Siregar
 
Workshop "CSR & Community Development (ISO 26000)"_di BALI, 26-28 Juni 2024
Workshop "CSR & Community Development (ISO 26000)"_di BALI, 26-28  Juni 2024Workshop "CSR & Community Development (ISO 26000)"_di BALI, 26-28  Juni 2024
Workshop "CSR & Community Development (ISO 26000)"_di BALI, 26-28 Juni 2024
Kanaidi ken
 
SOAL ASAS SENI MUSIK kelas 2 semester 2 kurikulum merdeka
SOAL ASAS SENI MUSIK kelas 2 semester 2 kurikulum merdekaSOAL ASAS SENI MUSIK kelas 2 semester 2 kurikulum merdeka
SOAL ASAS SENI MUSIK kelas 2 semester 2 kurikulum merdeka
NiaTazmia2
 
RENCANA TINDAK LANJUT (RTL) PASCA PELATIHAN.pptx
RENCANA TINDAK LANJUT (RTL) PASCA PELATIHAN.pptxRENCANA TINDAK LANJUT (RTL) PASCA PELATIHAN.pptx
RENCANA TINDAK LANJUT (RTL) PASCA PELATIHAN.pptx
mukminbdk
 
Materi Feedback (umpan balik) kelas Psikologi Komunikasi
Materi Feedback (umpan balik) kelas Psikologi KomunikasiMateri Feedback (umpan balik) kelas Psikologi Komunikasi
Materi Feedback (umpan balik) kelas Psikologi Komunikasi
AdePutraTunggali
 
POWERPOINT ASAS PERMAINAN CATUR MSSD.pptx
POWERPOINT ASAS PERMAINAN CATUR MSSD.pptxPOWERPOINT ASAS PERMAINAN CATUR MSSD.pptx
POWERPOINT ASAS PERMAINAN CATUR MSSD.pptx
cikgumeran1
 
Pelatihan AI GKA abdi Sabda - Apa itu AI?
Pelatihan AI GKA abdi Sabda - Apa itu AI?Pelatihan AI GKA abdi Sabda - Apa itu AI?
Pelatihan AI GKA abdi Sabda - Apa itu AI?
SABDA
 
Pembentukan-Pantarlih-Pilkada-Kabupaten-Tapin.pptx
Pembentukan-Pantarlih-Pilkada-Kabupaten-Tapin.pptxPembentukan-Pantarlih-Pilkada-Kabupaten-Tapin.pptx
Pembentukan-Pantarlih-Pilkada-Kabupaten-Tapin.pptx
Sosdiklihparmassdm
 
Panduan Penggunaan Rekomendasi Buku Sastra.pdf
Panduan Penggunaan Rekomendasi Buku Sastra.pdfPanduan Penggunaan Rekomendasi Buku Sastra.pdf
Panduan Penggunaan Rekomendasi Buku Sastra.pdf
MildayantiMildayanti
 
MODUL P5 FASE B KELAS 4 MEMBUAT COBRICK.pdf
MODUL P5 FASE B KELAS 4 MEMBUAT COBRICK.pdfMODUL P5 FASE B KELAS 4 MEMBUAT COBRICK.pdf
MODUL P5 FASE B KELAS 4 MEMBUAT COBRICK.pdf
YuristaAndriyani1
 
Novel - PERISTIWA YANG MEMBERIKAN TELADAN.pptx
Novel - PERISTIWA YANG MEMBERIKAN TELADAN.pptxNovel - PERISTIWA YANG MEMBERIKAN TELADAN.pptx
Novel - PERISTIWA YANG MEMBERIKAN TELADAN.pptx
NirmalaJane
 
Aksi Nyata Disiplin Positif: Hukuman vs Restitusi vs Konsekuensi
Aksi Nyata Disiplin Positif: Hukuman vs Restitusi vs KonsekuensiAksi Nyata Disiplin Positif: Hukuman vs Restitusi vs Konsekuensi
Aksi Nyata Disiplin Positif: Hukuman vs Restitusi vs Konsekuensi
sabir51
 
ANALISIS PENCEMARAN UDARA AKIBAT PABRIK ASPAL
ANALISIS PENCEMARAN UDARA AKIBAT PABRIK ASPALANALISIS PENCEMARAN UDARA AKIBAT PABRIK ASPAL
ANALISIS PENCEMARAN UDARA AKIBAT PABRIK ASPAL
Annisa Syahfitri
 
Materi 2_Benahi Perencanaan dan Benahi Implementasi.pptx
Materi 2_Benahi Perencanaan dan Benahi Implementasi.pptxMateri 2_Benahi Perencanaan dan Benahi Implementasi.pptx
Materi 2_Benahi Perencanaan dan Benahi Implementasi.pptx
ahyani72
 

Recently uploaded (20)

Modul Ajar PAI dan Budi Pekerti Kelas 8 Fase D Kurikulum Merdeka
Modul Ajar PAI dan Budi Pekerti Kelas 8 Fase D Kurikulum MerdekaModul Ajar PAI dan Budi Pekerti Kelas 8 Fase D Kurikulum Merdeka
Modul Ajar PAI dan Budi Pekerti Kelas 8 Fase D Kurikulum Merdeka
 
Pemutakhiran Data dosen pada sister.pptx
Pemutakhiran Data dosen pada sister.pptxPemutakhiran Data dosen pada sister.pptx
Pemutakhiran Data dosen pada sister.pptx
 
Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 7 Fase D Kurikulum Merdeka - [abdiera.com]
Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 7 Fase D Kurikulum Merdeka - [abdiera.com]Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 7 Fase D Kurikulum Merdeka - [abdiera.com]
Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 7 Fase D Kurikulum Merdeka - [abdiera.com]
 
Teori Fungsionalisme Kulturalisasi Talcott Parsons (Dosen Pengampu : Khoirin ...
Teori Fungsionalisme Kulturalisasi Talcott Parsons (Dosen Pengampu : Khoirin ...Teori Fungsionalisme Kulturalisasi Talcott Parsons (Dosen Pengampu : Khoirin ...
Teori Fungsionalisme Kulturalisasi Talcott Parsons (Dosen Pengampu : Khoirin ...
 
materi penyuluhan kesehatan reproduksi remaja
materi penyuluhan kesehatan reproduksi remajamateri penyuluhan kesehatan reproduksi remaja
materi penyuluhan kesehatan reproduksi remaja
 
Pemaparan budaya positif di sekolah.pptx
Pemaparan budaya positif di sekolah.pptxPemaparan budaya positif di sekolah.pptx
Pemaparan budaya positif di sekolah.pptx
 
Tokoh Pendidikan Universitas Negeri Jakarta.pdf
Tokoh Pendidikan Universitas Negeri Jakarta.pdfTokoh Pendidikan Universitas Negeri Jakarta.pdf
Tokoh Pendidikan Universitas Negeri Jakarta.pdf
 
Workshop "CSR & Community Development (ISO 26000)"_di BALI, 26-28 Juni 2024
Workshop "CSR & Community Development (ISO 26000)"_di BALI, 26-28  Juni 2024Workshop "CSR & Community Development (ISO 26000)"_di BALI, 26-28  Juni 2024
Workshop "CSR & Community Development (ISO 26000)"_di BALI, 26-28 Juni 2024
 
SOAL ASAS SENI MUSIK kelas 2 semester 2 kurikulum merdeka
SOAL ASAS SENI MUSIK kelas 2 semester 2 kurikulum merdekaSOAL ASAS SENI MUSIK kelas 2 semester 2 kurikulum merdeka
SOAL ASAS SENI MUSIK kelas 2 semester 2 kurikulum merdeka
 
RENCANA TINDAK LANJUT (RTL) PASCA PELATIHAN.pptx
RENCANA TINDAK LANJUT (RTL) PASCA PELATIHAN.pptxRENCANA TINDAK LANJUT (RTL) PASCA PELATIHAN.pptx
RENCANA TINDAK LANJUT (RTL) PASCA PELATIHAN.pptx
 
Materi Feedback (umpan balik) kelas Psikologi Komunikasi
Materi Feedback (umpan balik) kelas Psikologi KomunikasiMateri Feedback (umpan balik) kelas Psikologi Komunikasi
Materi Feedback (umpan balik) kelas Psikologi Komunikasi
 
POWERPOINT ASAS PERMAINAN CATUR MSSD.pptx
POWERPOINT ASAS PERMAINAN CATUR MSSD.pptxPOWERPOINT ASAS PERMAINAN CATUR MSSD.pptx
POWERPOINT ASAS PERMAINAN CATUR MSSD.pptx
 
Pelatihan AI GKA abdi Sabda - Apa itu AI?
Pelatihan AI GKA abdi Sabda - Apa itu AI?Pelatihan AI GKA abdi Sabda - Apa itu AI?
Pelatihan AI GKA abdi Sabda - Apa itu AI?
 
Pembentukan-Pantarlih-Pilkada-Kabupaten-Tapin.pptx
Pembentukan-Pantarlih-Pilkada-Kabupaten-Tapin.pptxPembentukan-Pantarlih-Pilkada-Kabupaten-Tapin.pptx
Pembentukan-Pantarlih-Pilkada-Kabupaten-Tapin.pptx
 
Panduan Penggunaan Rekomendasi Buku Sastra.pdf
Panduan Penggunaan Rekomendasi Buku Sastra.pdfPanduan Penggunaan Rekomendasi Buku Sastra.pdf
Panduan Penggunaan Rekomendasi Buku Sastra.pdf
 
MODUL P5 FASE B KELAS 4 MEMBUAT COBRICK.pdf
MODUL P5 FASE B KELAS 4 MEMBUAT COBRICK.pdfMODUL P5 FASE B KELAS 4 MEMBUAT COBRICK.pdf
MODUL P5 FASE B KELAS 4 MEMBUAT COBRICK.pdf
 
Novel - PERISTIWA YANG MEMBERIKAN TELADAN.pptx
Novel - PERISTIWA YANG MEMBERIKAN TELADAN.pptxNovel - PERISTIWA YANG MEMBERIKAN TELADAN.pptx
Novel - PERISTIWA YANG MEMBERIKAN TELADAN.pptx
 
Aksi Nyata Disiplin Positif: Hukuman vs Restitusi vs Konsekuensi
Aksi Nyata Disiplin Positif: Hukuman vs Restitusi vs KonsekuensiAksi Nyata Disiplin Positif: Hukuman vs Restitusi vs Konsekuensi
Aksi Nyata Disiplin Positif: Hukuman vs Restitusi vs Konsekuensi
 
ANALISIS PENCEMARAN UDARA AKIBAT PABRIK ASPAL
ANALISIS PENCEMARAN UDARA AKIBAT PABRIK ASPALANALISIS PENCEMARAN UDARA AKIBAT PABRIK ASPAL
ANALISIS PENCEMARAN UDARA AKIBAT PABRIK ASPAL
 
Materi 2_Benahi Perencanaan dan Benahi Implementasi.pptx
Materi 2_Benahi Perencanaan dan Benahi Implementasi.pptxMateri 2_Benahi Perencanaan dan Benahi Implementasi.pptx
Materi 2_Benahi Perencanaan dan Benahi Implementasi.pptx
 

Paper desentralisasi fiskal

  • 1. DESENTRALISASI FISKAL Diploma IV Kurikulum Khusus BPKP Kelas 8B Aditya Wahyu Kusuma Wardana Daniel Wawone Yunior Basar Ivan Dwi Jatmiko Restu Kurnia Natalia Yusniar Yuliana Wardani 0
  • 2. DESENTRALISASI FISKAL A. PENGERTIAN DESENTRALISASI FISKAL Desentralisasi merupakan sebuah instrumen untuk mencapai salah satu tujuan bernegara, terutama memberikan pelayanan publik yang lebih baik dan menciptakan proses pengambilan keputusan publik yang lebih demokratis. Dengan desentralisasi akan terwujud pelimpahan wewenangan kepada tingkat pemerintahan yang lebih rendah untuk melakukan pembelanjaan, kewenangan untuk memungut pajak (taxing power), terbentuknya Dewan yang dipilih oleh rakyat, Kepala Daerah yang dipilih oleh DPRD, dan adanya bantuan dalam bentuk transfer dari Pemerintah Pusat. Dorongan desentralisasi yang terjadi di berbagai negara di dunia terutama di negara-negara berkembang, dipengaruhi oleh beberapa faktor, misalnya, latar belakang atau pengalaman suatu negara, peranannya dalam globalisasi dunia, kemunduran dalam pembangunan ekonomi, tuntutan terhadap perubahan tingkat pelayanan masyarakat, tanda-tanda adanya disintegrasi di beberapa negara, dan yang terakhir, respons terhadap banyaknya kegagalan yang dialami oleh pemerintahan sentralistis dalam memberikan pelayanan masyarakat yang efektif. Pada prinsipnya desentralisasi bertujuan pada efisiensi sektor publik dalam produksi dan distribusi pelayanan, meningkatkan kualitas pembuatan keputusan dengan menggunakan informasi lokal, meningkatkan akuntabilitas dan meningkatkan kemampuan respon terhadap kebutuhan dan kondisi lokal (Giannoni, 2002). Hal inilah yang mendorong desentralisasi diserahkan dan dilaksanakan pemerintahan daerah yakni kabupaten/kota. Selain itu menurut Silverman (1990) dalam laporan World Bank di Uganda (2005) menyatakan bahwa pemerintah lokal lebih responsif terhadap warga negaranya dibanding pemerintah pusat sehingga keputusan yang diambil lebih merefleksikan kebutuhan dan keinginan rakyat. Desentralisasi akan membawa pemerintah lebih dekat dengan rakyat dan mendorong mereka untuk lebih terlibat (Mills, 1994). Desentralisasi fiskal, merupakan salah satu komponen utama dari desentralisasi. Desentralisasi di Indonesia ditandai dengan adanya perubahan pola hubungan yang terjadi antara pemerintah pusat dan daerah setelah diberlakukannya Undang-undang (UU) Nomor 22 tahun 1999 dan UU Nomor 25 tahun 1999 yang kemudian UU tersebut disempurnakan menjadi UU Nomor 32 tahun 2004 dan UU Nomor 33 tahun 2004. 1
  • 3. Kebijakan awal yang dirumuskan dalam UU Nomor 22 dan Nomor 25 tahun 1999 antara Alokasi Umum (DAU) sebagai sumber pembiayaan berbagai urusan pemerintahan yang telah didaerahkan, Dana Bagi Hasil (DBH) dari ekstraksi sumber daya alam yang berada di daerah yang bersangkutan, dan diberikannya otoritas pajak yang terbatas kepada pemerintah daerah. Selanjutnya, amandemen undang-undang desentralisasi yang dilakukan pada tahun 2004 menitikberatkan kepada mekanisme pemantauan oleh pemerintah pusat, dan perbaikan kepada pertanggungjawaban pengeluaran pemerintah daerah (Brodjonegoro 2004). Di sisi fiskal, UU Nomor 33 tahun 2004 memperbesar basis bagi hasil pajak dari sumber daya alam yang dimiliki daerah, maupun dari pajak tingkat nasional lainnya, dan perluasan total dana yang menjadi sumber DAU. Desentralisasi fiskal merupakan komponen utama dari desentralisasi karena berkaitan langsung dengan hubungan fungsi penerimaan dan pengeluaran dana publik antara tingkatan pemerintahan yang lebih tinggi dengan pemerintahan dibawahnya (Muluk, 2006). Apabila pemerintah daerah melaksanakan fungsinya secara efektif dan mendapat kebebasan dalam pengambilan keputusan pengeluaran di sektor publik, maka mereka harus mendapat dukungan sumber-sumber keuangan yang memadai (Siddik, 2002b). Kebijakan desentralisasi fiskal dapat meloloskan suatu negara dari berbagai jebakan ketidak-efisienan, ketidak-efektifan pemerintahan, ketidak-stabilan makro ekonomi, dan ketidak-cukupan pertumbuhan ekonomi. Desentralisasi fiskal juga dimaksudkan untuk perbaikan efisiensi ekonomi, efisiensi biaya, perbaikan akuntabilitas dan peningkatan mobilitas dana (Bird dan Vailancourt, 2000), serta berbagi beban keuangan dengan kawasan dan kota (Todaro dan Smith, 2004). Kebijakan desentralisasi fiskal juga dapat menjadi daya saing suatu daerah jika dibandingkan dengan daerah lain, suatu daerah dapat menawarkan paket pajak dan pelayanan publik yang terbaik dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pilihan publik (Stoker, 1991; Grofman, 2002; Feld e al. 2004). Desentralisasi fiskal yang ada di Indonesia adalah desentralisasi fiskal di sisi pengeluaran yang didanai terutama melalui transfer ke daerah maka esensi otonomi pengelolaan fiskal daerah membelanjakan dana dititikberatkan sesuai kebutuhan pada diskresi (kebebasan) untuk dan prioritas masingmasing daerah. Pelaksanaan desentralisasi fiskal akan berjalan dengan baik dengan berpedoman kepada : 2
  • 4. 1. Adanya Pemerintah Pusat yang kapabel dalam melakukan pengawasan dan enforcement; 2. Terdapat keseimbangan antara akuntabilitas dan kewenangan dalam melakukan pungutan pajak dan retribusi Daerah. Kebijakan desentralisasi sistem perpajakan yang termasuk dalam kebijakan desentralisasi fiskal diterapkan di Indonesia mulai tahun 2001. Sebelumnya selama 30 tahun lebih Indonesia merupakan salah satu negara yang sangat sentralistik. Kebijakan ini tertuang dalam bentuk perundang-undangan yang mengatur perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, dan perundangan tentang pajak dan retribusi daerah. Perimbangan keuangan mengatur tentang bagi hasil pajak dan sumber daya alam serta dana transfer dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Perundangan pajak dan retribusi daerah mengatur jenis pajak yang menjadi kewenangan pemerintah daerah untuk memungutnya. Pelaksanaan Undang-undang Nomor 22 dan 25 Tahun 1999 telah menyebabkan perubahan yang sangat mendasar mengenai pengaturan hubungan Pusat dan Daerah, khususnya dalam bidang administrasi pemerintahan maupun dalam hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, yang dalam banyak literatur disebut intergovernment fiscal relation yang dalam UU Nomor 25 tahun 1999 disebut perimbangan keuangan. Sesuai Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, Daerah diberikan kewenangan untuk menyelenggarakan seluruh fungsi pemerintahan, kecuali kewenangan pemerintahan dalam bidang pertahanan keamanan, politik luar negeri, fiskal dan moneter, peradilan, agama, dan adminsitrasi pemerintahan yang bersifat strategis. Dengan pembagian kewenangan/fungsi tersebut pelaksanaan pemerintahan di Daerah dilaksanakan berdasarkan asas desentralisasi, asas dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Implikasi langsung dari kewenangan/fungsi yang diserahkan kepada Daerah sesuai Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 adalah kebutuhan dana yang cukup besar. Untuk itu, telah diatur hubungan keuangan antara Pusat dan Daerah yang dimaksudkan untuk membiayai pelaksanaan fungsi yang menjadi kewenangannya.Kebijakan desentralisasi fiskal di Indonesia diatur dengan UU Nomor 22 dan UU Nomor 25 Tahun 1999 serta UU-APBN. Menurut UU Nomor 22 dan 25 Tahun 1999 ini, perimbangan keuangan Pusat dan Daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi fiskal mengandung pengertian bahwa kepada Daerah diberikan kewenangan untuk memanfaatkan sumber keuangan sendiri dan didukung dengan 3
  • 5. perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah. Sumber-sumber pembiayaan Daerah yang utama dalam rangka pelaksanaan desentralisasi fiskal meliputi: Pendapatan Asli Daerah Salah satu wujud dari pelaksanaan desentralisasi fiskal adalah pemberian sumbersumber penerimaan bagi daerah yang dapat digali dan digunakan sendiri sesuai dengan potensinya masing-masing. Kewenangan Daerah untuk memungut pajak dan retribusi diatur dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 yang merupakan penyempurnaan dari Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 dan ditindaklanjuti peraturan pelaksanaannya dengan PP Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah dan PP Nomor 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah. Berdasarkan UU dan PP tersebut, Daerah diberikan kewenangan untuk memungut 11 jenis pajak dan 28 jenis retribusi. Penetapan jenis pajak dan retribusi tersebut didasarkan pertimbangan bahwa jenis pajak dan retribusi tersebut secara umum dipungut di hampir semua Daerah dan merupakan jenis pungutan yang secara teoritis dan praktek merupakan jenis pungutan yang baik. Selain jenis pajak dan retribusi tersebut, Daerah juga diberikan kewenangan untuk memungut jenis pajak (kecuali untuk Provinsi) dan retribusi lainnya sesuai kriteria-kriteria tertentu yang ditetapkan dalam undang-undang . Dana Perimbangan Bagian Daerah dalam bentuk bagi hasil penerimaan (Revenue Sharing) Untuk menambah pendapatan Daerah dalam rangka pembiayaan pelaksanaan fungsi yang menjadi kewenangannya dilakukan dengan pola bagi hasil penerimaan pajak dan bukan pajak (SDA) antara Pusat dan Daerah. Selanjutnya berdasarkan Undang-undang PPh Nomor 17 Tahun 2000, mulai TA 2001 Daerah memperoleh bagi hasil dari Pajak Penghasilan (PPh) orang pribadi (personal income tax), yaitu PPh Pasal 21 serta PPh Pasal 25/29 Orang Pribadi. Ditetapkannya PPh Perorangan sebagai objek bagi hasil dimaksudkan sebagai kompensasi dan penyelaras bagi Daerah-daerah yang tidak memiliki SDA tetapi memberikan kontribusi yang besar bagi penerimaan negara (APBN). 1. Dana Alokasi Umum Untuk mengurangi ketimpangan dalam kebutuhan pembiayaan dan penguasaan pajak antara Pusat dan Daerah telah diatasi dengan adanya perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah (dengan kebijakan bagi hasil dan DAU minimal sebesar 25% 4
  • 6. dari Penerimaan Dalam Negeri). Dengan perimbangan tersebut, khususnya dari DAU akan memberikan kepastian bagi Daerah dalam memperoleh sumber-sumber pembiayaan untuk membiayai kebutuhan pengeluaran yang menjadi tanggungjawabnya. Sesuai dengan UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah bahwa kebutuhan DAU oleh suatu Daerah (Provinsi, Kabupaten, dan Kota) ditentukan dengan menggunakan pendekatan konsep Fiscal Gap, dimana kebutuhan DAU suatu Daerah ditentukan atas kebutuhan Daerah (fiscal needs) dengan potensi Daerah (fiscal capacity). Dengan pengertian lain, DAU digunakan untuk menutup celah yang terjadi karena kebutuhan Daerah melebihi dari potensi penerimaan Daerah yang ada. Berdasarkan konsep fiscal gap tersebut, distribusi DAU kepada daerah-daerah yang memiliki kemampuan relatif besar akan lebih kecil dan sebaliknya daerah-daerah yang mempunyai kemampuan keuangan relatif kecil akan memperoleh DAU yang relatif besar. Dengan konsep ini sebenarnya daerah yang fiscal capacitynya lebih besar dari fiscal needs hitungan DAUnya akan negatif. Kebutuhan Daerah paling sedikit dicerminkan dari variabel jumlah penduduk, luas wilayah, keadaan geografi, dan tingkat pendapatan masyarakat dengan memperhatikan kelompok masyarakat miskin. Sementara potensi ekonomi Daerah dicerminkan dengan potensi penerimaan Daerah seperti potensi industri, potensi SDA, potensi SDM, dan PDRB. Untuk menghindari kemungkinan penurunan kemampuan Daerah dalam membiayai beban pengeluaran yang sudah menjadi tanggung jawabnya, maka perhitungan DAU disamping menggunakan formula Fiscal Gap juga menggunakan Faktor Penyeimbang (sesuai PP Nomor 104 tentang Dana Perimbangan sebagaimana telah direvisi dengan PP Nomor 84 Tahun 2001). Dengan adanya Faktor Penyeimbang, alokasi DAU kepada Daerah ditentukan dengan perhitungan formula Fiscal Gap dan Faktor Penyeimbang. 2. Dana Alokasi Khusus Pada hakikatnya pengertian Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah dana yang berasal dari APBN, yang dialokasikan kepada Daerah untuk membantu membiayai kebutuhan khusus. Pengalokasian DAK ditentukan dengan memperhatikan tersedianya dana dalam APBN. Sesuai dengan UU Nomor 25 Tahun 1999, yang dimaksud dengan kebutuhan khusus adalah (i) kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan dengan menggunakan rumus alokasi umum, dalam pengertian kebutuhan yang tidak sama dengan kebutuhan Daerah lain, misalnya: kebutuhan di kawasan transmigrasi, 5
  • 7. kebutuhan beberapa jenis investasi/prasarana baru, pembangunan jalan di kawasan terpencil, saluran irigasi primer, dan saluran drainase primer; dan (ii) kebutuhan yang merupakan komitmen atau prioritas nasional. Pinjaman Daerah Untuk membiayai kebutuhan Daerah berkaitan dengan penyediaan prasarana yang dapat menghasilkan (pengeluaran modal), Daerah juga dapat melakukan pinjaman baik dari dalam negeri (Pusat dan Lembaga Keuangan) maupun dari luar negeri dengan persetujuan Pusat. B. TUJUAN DESENTRALISASI FISKAL Pada dasarnya desentralisasi fiskal menurut kedua UU ini bertujuan untuk : 1. Kesinambungan kebijaksanaan fiskal (Fiscal Sustainability) dalam konteks kebijaksanaan ekonomi makro. 2. Mengoreksi vertical imbalance, yaitu untuk memperkecil ketimpangan yang terjadi antara keuangan Pemerintah Pusat dan keuangan Daerah yang dilakukan dengan memperbesar taxing power Daerah Kebijaksanaan untuk mengatasi kesenjangan fiskal antar Daerah (horizontal imbalance) dilakukan dengan transfer dana dari Pemerintah Pusat kepada Daerah melalui konsep Fiscal Gap yaitu kebutuhan Daerah (kebutuhan fiskal) dibandingkan dengan potensi Daerah (kapasitas fiskal), dimana kebutuhan Daerah yang melebihi kapasitas fiskalnya akan ditutup dengan transfer dana dari Pemerintah Pusat. Dalam konteks ini, tranfer dana melalui DAU akan dapat mengkoreksi kesenjangan horizontal dengan meningkatkan kemampuan/kapasitas fiscal Daerah. Tanpa transfer DAU, kapasitas fiskal Daerah tidak dapat memenuhi kebutuhannya. DAU yang disalurkan kepada Provinsi dan Kabupaten/Kota telah dapat meningkatkan kemampuan kapasitas fiskal Daerah meskipun peningkatan kapasitas fiskal tersebut adalah berasal dari transfer Pemerintah Pusat melalui DAU. Adapun tujuan desentralisasi fiskal menurut Grand Design Desentralisasi Fiskal yang diteritkan oleh Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan adalah sebagai berikut: 1. Ketimpangan vertikal dan horizontal yang minimum DAU harus mampu mengatasi ketimpangan horizontal yang sampai saat ini masih cukup tinggi, sebagai akibat adanya kebijakan-kebijakan yang justru 6
  • 8. mendistorsi formulasi DAU untuk mencapai tujuan tersebut, seperti holdharmless policy dan penggunaan belanja pegawai sebagai variabel. Penilaian kebutuhan fiskal dalam formulasi DAU tidak lagi menggunakan proxy, namun telah menggunakan alat ukur yang lebih mencerminkan kebutuhan riil tiap-tiap daerah. Penghitungan DAU dilakukan oleh lembaga yang independen yang terlepas dari berbagai macam kepentingan politik. Pembagian DAU bukan dari kepentingan politik tetapi kepentingan daerah dalam pengertian yang sebenarnya yaitu kepentingan pemenuhan kebutuhan pelayanan minimum. menjadi suatu urgensi bagi Indonesia untuk merumuskan kembali peran dari dana alokasi khusus (DAK) dalam mekanisme dana perimbangan. Arah yang benar adalah bahwa DAK menjadi instrumen utama dalam rangka mendorong pembangunan daerah untuk memenuhi berbagai prioritas pembangunan nasional. Oleh karena itu, besarnya alokasi DAK seyogyanya meningkat secara signifikan. Bila porsi DAK dalam dana perimbangan saat ini hanya sekitar 8,05%, maka di masa mendatang, untuk dapat menjadi alokasi DAK yang efektif bagi pemenuhan prioritas nasional, diharapkan dapat meningkat porsinya menjadi setidak-tidaknya 30% terhadap total dana perimbangan. Diharapkan di masa yang akan datang akan dapat didesain suatu sistem bagi hasil yang lebih sederhana. Meskipun demikian, DBH harus tetap mengemban fungsinya untuk mengurangi ketidakseimbangan vertikal dengan tetap menjaga kesinambungan fiskal nasional. 2. Pendapatan dan pembiayaan yang efisien dan efektif Jika Indonesia ingin menuju desentralisasi fiskal dengan penguatan kapasitas daerah, maka penguatan pajak daerah adalah suatu syarat penting yang harus dilaksanakan. Penguatan pajak daerah ini tidak berarti memberikan sumber fiskal tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap daerah dan nasional, melainkan melalui penelahaan beberapa faktor dengan mengacu pada prinsip efisiensi dan efektivitas. 3. Siklus dan proses belanja daerah yang efisien dan efektif Siklus dan proses belanja daerah dapat semakin ditingkatkan efisiensi dan efektifitasnya, dalam hal teknis administrasi dan kualitas penganggaran. Terkait 7
  • 9. dengan teknis administrasi, proses belanja daerah diupayakan 1) tercapainya siklus anggaran yang tepat waktu; 2) cakupan rencana kerja dari dokumen pelaksanaan anggaran (DPA) tidak hanya menggambarkan kebijakan umum pemerintah daerah tetapi juga sudah mencakup detail program yang komprehensif termasuk dalam hal estimasi pembiayaannya; serta 3) penetapan mekanisme penyaluran dan administrasi dana tersisa (SILPA) yang juga dikaitkan dengan perubahan rencana kerja agar penyesuaian antara APBD dan realisasi budget dapat menghilangkan pemborosan pengeluaran dan juga untuk menjaga keberlanjutan dari suatu program pembangunan (program pemerintah). 4. Harmonisasi belanja pusat dan daerah Satu hal yang pasti diharapkan akan terjadi dalam masa yang akan datang adalah agar sinkronisasi dan koordinasi antar unit dan antar tingkatan pemerintahan tidak lagi menjadi ”barang mewah” yang sulit untuk diperoleh. Sinkronisasi dan koordinasi antar unit dan antar tingkatan, terutama dalam program-program dan kegiatannya, haruslah diwujudkan melalui sistem perencanaan nasional yang mendukungnya. Sistem tersebut harus mempunyai alat atau regulasi untuk menjamin kepastian dan kejelasan pembagian urusan di antara berbagai tingkatan, sehingga tidak lagi terjadi tumpang tindih belanja antar unit dan antar tingkatan. C. Desentralisasi Fiskal dan Perubahan Kebijakan (1974-2004) 1. Konsolidasi Orde Baru: Konteks Politik Kebijakan Fiskal Peran militer menjadi sebuar ciri yang menonjol dari rezim Orde Baru. Dalam beberapa hal, keterlibatan militer dalam urusan-urusan sosial dan ekonomi memang menbuat proses pembuatan keputusan menjadi efektif dan efisien. Keputusan-keputusan strategis dalam birokrasi publik tidak membutuhkan proses yang berbelit-belit melalui adu argumentasi. Namun demikian, terdapat bukti bahwa keterlibatan militer dalam kegiatan nonmiliter juga menyebabkan meluasnya penyalahgunaan. Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) juga melaporkan bahwa para investor mengeluhkan banyaknya meja yang harus dilalui untuk memperoleh izin usaha, dan mengungkapkan bahwa mejameja tersebut kebanyakan dikendalikan oleh para perwira militer. 8
  • 10. Dari segi pendapatan, sebagian besar pendapatan nasional dari minyak dan komoditas lain dikuasai oleh pemerintah pusat. Juga, banyak sumber pendapatan yang dikumpulkan oleh berbagai departemen pusat, seperti Dana Cess yang dikumpulkan oleh kantor Daerah Departemen Dalam Negeri, pungutan izin kehutanan yang dikumpulkan Departemen Pertanian dan Kehutanan. Sejumlah kecil presentase mungkin diberikan kepada kantor-kantor di provinsi dan kabupaten, tetapi tampaknya tidak tersedia statistik yang dapat diandalkan mengenai besarnya. 2. Legislasi 1974 dan Menguatnya Kontrol Politik Prinsip ”swatantra riil seluas-luasnya” bisa mengungkap masalah karena tidak mengakui adanya pembatasan kewenangan daerah. Selain itu struktur yang hierarkis dalam UU No. 18/1965 tidak memberi peluang bagi pemerintah pusat untuk melakukan ”pembinaan” kepada pemerintah daerah hingga ke jenjang yang paling rendah. Pemerintah pusat harus menggenggam kontrol terhadap daerah-daerah sehingga sentralisasi pemerintah harus dilakukan. Kurangnya ketetapan tentang hal-hal keuangan memperlihatkan bahwa pemerintah lebih memilih melanjutkan sistem sentralistis dan tidak berniat menyelesaikan masalah-masalah dalam hubungan fiskal antarjenjang pemerintahan. Dalam hal ini hanya ditetapkan bahwa sumber-sumber lainnya penerimaan pemerintah daerah adalah Pendapatan Asli Daerah (PAD), subsidi, dan sumber-sumber lainnya yang sah, dan bahkan pelaksanaannya akan diatur dalam peraturan pemerintah dan peraturan-peraturan lain yang lebih rendah. Dalam pasal 56 dinyatakan bahwa perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dengan pemenrintah daerah akan diatur dalam undang-undang yang terpisah. Tidak ada rincian lebih lanjut tentang hubungan-hubungan fiskal horizontal maupun vertical di antara jenjang pemerintahan yang berbeda. Satusatunya landasan legal bagi hubungan fiskal antarjenjang pemerintahan yang diratifikasi pada masa Orde Lama di bawah Soekarno, maka dapat dipahami bahwa kebijakan Orde Baru dalam persoalan ini didasarkan pada kekuasaan diskresi pemerintah pusat. Sebagai akibat dari kontrol dan sentralisasi yang sistematis melalui pelaksana UU No. 5/1974 dan undang-undang lain yang mengikutinya, pemerintah muncul sebagai satu-satunya aktor dalam semua urusan yang bersifat ekomomi dan politik. Pada saat yang sama, lembaga legislatif sebagian 9
  • 11. besar menjadi tidak aktif. Para elit politik mulai kuatir bahwa DPRD menjadi makin bebal dan tidak responsif terhadap kebutuhan lokal. Karena kecewa dengan kinerja DPRD, banyak di antara unsur masyarakat lokal yang kemudian menyampaikan keluhan-keluhan langsung ke parlemen pusat (DPR). Meskipun unsur-unsur itu tidak menggelar demokrasi atau perlawanan massal, DPR makin kewalahan dengan banyaknya keluhan tentag masalah-masalah kedaerahan. 3. Sentralisasi Fiskal dalam Pelaksanaannya Pemerintah Orde Baru bergerak cepat dengan proyek-proyek pembangunan di seluruh tanah air. Proyek pembangunan masif itu hanya mungkin terwujud apabila pemerintah memegang kontrol politik yang ketat serta sumber daya yang cukup. Ada dua sumber daya kunci yang dimobilisasi pemerintah Orde Baru dalam mendanai pembangunan di daerah, yaitu : penerimaan minyak dan utang luar negeri. Ketika tiba-tiba pendapatan minyak melorot pada awal tahun 1980-an, pemerintah menambah lagi utang luar negeri dan menerapkan beberapa kebijakan baru di bidang perpajakan. Dalam susunan pemerintah pusat, sebenarnya tidak ada lembaga atau instansi yang secara khusus ditugaskan untuk melaksanakan program-program inpres. Namun dapat diketahui bahwa kebanyakan tanggung jawab di tingkat nasional berada pada Departemen Dalam Negeri, Departemen Keuangan, dan Bappenas. Praktek yang dilakukan dalam penyusunan program Inpres adalah dengan menyusun tim antar-Departemen yang anggota-anggotanya diambil dari Departemen Dalam Negeri, Departemen Keuangan, dan Bappenas, Departemen Pekerjaan Umum, Bank rakyat Indonesia, serta instansi-instansi dari Departemen lainnya, tergantung pada jenis proyek yang hendak dilaksanakan. Sangat disayangkan bahwa semakin banyak pemerintah pusat meluncurkan program-program Inpres baru, semakin kecil bukti bahwa program-program itu mampu menjawab kebutuhan daerah. Di sebuah kabupaten, bisa terjadi bahwa terlalu banyak jalan yang dibangun, namun sesungguhnya rakyat lebih membutuhkan sebuah jembatan sebagai sarana penghubung. 4. Mengakomodasi gagasan baru Praktik pelaksanaan dari konsep subsidiaritas di Indonesia tidak sesuai dengan makna sebenarnya. Sepanjang masa pemerintahan Orde Baru, 10
  • 12. desentralisasi dipahami sebagai pendelegasian tanggung jawab administratif kepada para pejabat daerah (decentralised management) dan bukannya penyerahan kekuasaan untuk membuat keputusan kepada para wakil rakyat yang sudah dipilih rakyat. Dengan kata lain, sebagian besar pejabat daerah dan juga rakyat biasa, melihat bahwa desentralisasi adalah soal pelaksanaan kegiatan dan pemberian pelayanan publik di tingkat daerah, tetapi bukan soal pengalihan kekuasaan politik kepada para pejabat daerah. Namun dengan begitu banyaknya proyek pemerintah pusat yang dilaksanakan di daerah, tidak banyak keluhan yang dungkapkan oleh para pejabat daerah berkenaan dengan peran mereka yang terbatas dalam pengganggran. Kasus-kasus perlawanan yang kuat hanya sebatas pada pemilihan kepala daerah. Hingga awal tahun 1990-an, pemerintah provinsi dan pemerintah lokal tidak banyak menyampaikan keluhan mengenai aspek-aspek finansial seperti pajak daerah, perimbangan keuangan, atau sempitnya kekuasaan diskresi bagi pembangunan yang partisipatif. Pemerintah Pusat agaknya juga cukup percaya diri dalam mengatasi perlawanan di tingkat provinsi. Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1992 menetapkan agar pejabat pemerintah pusat menyerahkan sejumlah tanggung jawab untuk melaksanakan urusan pelayanan publik kepada daerah Tingkat II. Gagasan yang hendak diwujudkan adalah ”asas desentralisasi” di Tingkat II dan menerapkan ”asas Dekonsentrasi” di tingkat I. Namun demikian, peraturan pemerintah ini tidak bisa mencapai tujuannya. Sebagian besar pemerintah provinsi tidak bersedia menyerahkan kekuasaan finansial kepada pemerintah lokal sedangkan pjabatpejabat pemerintah pusat hanya mendorong desentralisasi dengan setengah hati. 5. Legislasi 1999 Krisis moneter dan ambruknya ekonomi memicu perlawanan terhadap pemerintahan Orde Baru di bawah Soeharto pada awa tahun 1998. Tidak banyak terjadi pertentangan mengenai RUU pemerintah daerah karena sebagian besar pendapat menerucut pada kebutuhan untuk melakukan desentralisasi. Dalam tempo dua bulan, UU No. 22 Tahun 1999 disahkan dengan perubahan yang sangat sedikit dibanding rancanga asli dari Depdagri. 11
  • 13. UU No. 25 Tahun 1999 mengenai hubungan fiskal antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah di bahas tengah desakan bertubi-tubi dari daerah yang kaya sumber daya alam. Mungkin karena itulah rumus-rumus yang akhirnya dituangkan dalam undang-undang ini tidak menunjukkan keterkaitan yang erat dengan kebutuhan fiskal yang sesungguhnya di banyak provinsi dan kabupaten/kota. Ketentuan paling penting dalam UU No. 25 Tahun 1999 adalah : (1) bahwa sekurang-kurangnya 25% dari pendapatan dalam negeri harus dialokasikan ke daerah, di mana dari seluruh totalnya 10% harus dialokasikan ke provinsi dan 90% ke kabupaten kota, (2) dihapusnya SDO dan bantuan Inpres yang selanjutnya keduanya digabung menjadi Dana Alokasi Umum (DAU) yang didasarkan pada rumus transfer tertentu, (3) Dana Alokasi Khusus (DAK) diberikan kepada daerah berdasarkan kebutuhan pembangunan mereka, dan (4) peningkatan cukup besar dari bagian daerah atas pendapatan dari minyak bumi (15%) dan gas alam (30%). Semua ketentuan dalam perundangan tahun 1999 ini akan berlaku efektif dalam waktu dua tahun setelah disahkan. Undang-undang baru tahun 1999 itu menciptakan sosok baru mengenai hubungan fiskal antarjenjang pemerintah. Di dalamnya terkandung banyak terobosan, tetapi ternyata terdapat ketentuan-ketentuan yang tidak jelas dan berbagai kelemahan. Tidak adanya ketentuan mengenai mekanisme akuntabilitas dan pengembangan kapasitas administratif di tingkat daerah juga merupakan kendala serius yang akhirnya tetap menghambat pelaksanaan kebijakan desentralisasi fiskal di tanah air. 6. Pelaksanaan Desentralisasi di Tengah Kemelut Politik Menyangkut hubungan antarjenjang pemerintah tampaknya banyak aspek hubungan fiskal pada masa-masa awal pelaksanaan perundangan tahun 1999 yang terpengaruh oleh sistem lama. Jika DAU dapat diasosialisasikan dengan alokasi SDO dalam sistem sebelumnya, DAK dapat dipandang sebagai metamorfosis dari bantuan-bantuan Inpres masa Pemerintahan Orde Baru. Karena pemerintah daerah tidak diberi kewenangan untuk merencanakan sumber daya manusianya sendiri, termasuk kemungkinan merampingkan staf agar lebih efisien, maka porsi yang sangat besar dari DAU terserap untuk membayar gaji pegawai. Pada saat yang sama, karena pemerintah pusat masih menghadapi kendala anggaran karena krisis ekonomi dan karena 12
  • 14. pendapatan minyak dan gas bumi yang telah ”didaerahkan”, maka besarnya DAK bagi kebanyakan kabupaten/kota di seluruh Indonesia juga terbatas. Di tingkat daerah, terdapat kecenderungan bahwa kebijakan desentralisasi fiskal disandera oleh para elit politik sehingga tujua utama dari kebijakan tersebut tidak bisa dicapai. Politik uang, birokrasi yang membelanjakan dana publik untuk dirinya sendiri, serta penyalahgunaan kekuasaan politik dan finansial justru semakin merebak karena kurangnya sistem akuntabilitas yang terlembaga. Namun, desentralisasi fiskal dilaksanakan di tengah kemelut politik dan ekonomi dan menghadap berbagai persoalan serius, tidak mungkin lagi untuk berbalik arah. 7. Penyesuaian Kebijakan Desentralisasi : Legislasi 2004 Undang-undang tahun 2004 mengenai pemerintah daerah mengembalikan hubungan hierarkhi antara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten kota serta memuat ketentuan rinci mengenai pemilihan kepala daerah. Akan tetapi, menyangkut hubungan fiskal antarjenjang pemerintahan, hanya terdapat perubahan-perubahan kecil. UU No. 33/2004 sedikit menaikkan presentase pendapatan negara yang akan dialokasikan kepada pemerintah daerah melalui DAU serta presentase pembagian pendapatan dari minyak, serta menetapkan pembagian pendapatan dari gas bumi yang lebih jelas. Sebuah sistem bantuan kerja sama (matching grants) ditetapkan dengan ketentuan mengenai dana penyertaan untuk alokasi DAK. Namun secara keseluruhan ketentuan mengenai pembagian pajak antarjenjang pemerintahan masih tetap sama dengan undang-undang sebelumnya. Kebijakan desentralisasi fiskal akan tetap dipengaruhi oleh negoisasi-negoisasi politik di antara jenjang pemerintahan yan berbada. D. BELAJAR DARI PRAKTEK INTERNASIONAL 1. Jenis Transfer yang Harus Dihindari Para pembuat kebijakan harus menghindari merancang Intergovernmental Grants jenis berikut: 1) Hibah dengan tujuan ditentukan yang tersamar. 2) Program pembagian pendapatan umum dengan beberapa faktor yang bekerja di lintas tujuan, melemahkan akuntabilitas, dan tidak memajukan efisiensi fiskal atau tujuan ekuitas fiskal. Desentralisasi pajak atau tax-base 13
  • 15. sharing menawarkan alternatif yang lebih baik untuk program pembagian pendapatan umum, karena mereka meningkatkan akuntabilitas sambil menjaga otonomi daerah. 3) Hibah untuk membiayai defisit subnasional, yang menciptakan insentif untuk menjalankan defisit yang lebih tinggi di masa depan. 4) Hibah tanpa syarat yang mencakup insentif untuk upaya fiskal. Meningkatkan pelayanan sekaligus menurunkan biaya pajak seharusnya menjadi tujuan sektor publik. 5) Input- (or process-) based atau ad hoc conditional grant programs, yang melemahkan otonomi daerah, fleksibilitas, efisiensi fiskal dan tujuan ekuitas fiskal. 6) Hibah modal tanpa jaminan dana untuk pemeliharaan masa depan, yang memiliki potensi untuk menciptakan white elephants. 7) Negosiasi hibah atau kebijaksanaan dalam sistem federal, yang dapat menciptakan pertikaian dan perpecahan. 8) One size fits all grants kepada pemerintah daerah, yang menciptakan ketidakadilan yang besar. 9) Hibah yang melibatkan perubahan mendadak di total pool dan alokasinya. 2. Prinsip yang dapat diadopsi Para pembuat kebijakan harus berusaha untuk menghormati prinsip-prinsip berikut dalam merancang dan melaksanakan transfer antar pemerintah: 1) Keep it simple. Dalam desain transfer fiskal, keadilan kasar mungkin lebih baik daripada penuh keadilan, jika mencapai penerimaan yang lebih luas dan keberlanjutan. 2) Fokus pada satu tujuan dalam program hibah dan membuat desain sesuai dengan tujuan tersebut. Menetapkan beberapa tujuan dalam program hibah tunggal menghadapi risiko gagal untuk mencapai salah satu dari tujuan tersebut. 3) Perkenalkan ceiling (terkait dengan indikator makro) dan floor untuk memastikan stabilitas dan prediktabilitas dalam dana hibah. 4) Memperkenalkan sunset clause. Sangat diharapkan program hibah ditinjau secara berkala - katakan, setiap lima tahun dan diperpanjang (jika sesuai). Dalam tahun-tahun, tidak ada perubahan pada program harus dilakukan, 14
  • 16. dalam rangka memberikan kepastian dalam pemrograman anggaran untuk semua pemerintah. 5) Menyamakan kapasitas fiskal per kapita dengan standar yang ditetapkan dalam rangka mencapai pemerataan fiskal. Standar tersebut akan menentukan total pool dan alokasi antar unit penerima. Perhitungan yang diperlukan untuk penyetaraan kapasitas fiskal menggunakan sistem pajak representatif untuk dasar pengenaan pajak utama dapat dilakukan untuk sebagian besar negara. Sebaliknya, pengeluaran perlu pemerataan memerlukan analisis yang sulit dan kompleks, mengundang banyak kontroversi dan perdebatan. 6) Dalam program hibah spesifik tujuan, memberlakukan persyaratan pada output atau standar akses dan kualitas pelayanan bukan pada input dan proses. Hal ini memungkinkan pemberi untuk mencapai tujuan mereka tanpa merusak pilihan lokal tentang cara terbaik untuk memberikan layanan tersebut. Sebagian besar negara harus menetapkan standar minimum nasional pelayanan dasar di seluruh bangsa untuk memperkuat pasar umum internal dan serikat ekonomi. 7) Kenali ukuran populasi, wilayah yang dilayani, dan sifat perkotaan / pedesaan dalam pemberian jasa untuk pemberian hibah kepada pemerintah daerah. Menetapkan alokasi rumus yang terpisah untuk setiap jenis pemerintah kota atau daerah. 8) Menetapkan hal yang tidak berbahaya atau menyusun ketentuan yang memastikan bahwa pemerintah menerima setidaknya transfer untuk tujuan umum dalam periode sebelum reformasi. Seiring waktu, ketika ekonomi tumbuh, ketentuan tersebut tidak akan menunda tahap dari reformasi penuh. 9) Memastikan bahwa semua pemangku kepentingan didengar dan bahwa politik sesuai dengan prinsip dan standar pemerataan. Politik harus diinternalisasidalam pengaturan kelembagaan. Arms-length institutions, misal independent grant commissions tidak banyak membantu karena tidak memungkinkan adanya pengaruh politik dan karena itu cenderung untuk memilih solusi yang kompleks dan tidak transparan. 15
  • 17. 3. Principles and Better Practices in Grant Design Grant objective Bridge fiscal gap Grand Design Examples of better Examples of practices to practices avoid Reassignment of Pengurangan pajak dan Deficit grants, wage grants responsibilities, tax-base sharing (Kanada) (China) tax abatement, Tax by tax sharing (China, tax-base sharing India) Reduce regional General Fiscal equalization with General revenue sharing fiscal disparities nonmatching explicit standard that with multiple factors fiscal capacity determines total pool as (Brazil and India); fiscal equalization well as allocation equalization with a fixed transfers (Canada, Denmark, and pool (Australia, China) Germany) Compensate for Open-ended Grant for teaching Closed-ended matching benefit spillovers matching hospitals (South Africa) grants transfers Grant with matching rate consistent with spill-out of benefits Set national Conditional Road maintenance and Conditional transfers with minimum nonmatching primary education grants conditions on spending standards output-based (Indonesia before 2000) alone (most countries), block transfers with conditions on standards of service and access Education transfers (Brazil, Chile, Colombia) Health transfers (Brazil, Canada) pork barrel transfers (e.g., United States federal US$200 million transfer to Alaska in 2006 for “a bridge to nowhere”), ad hoc grants Conditional capital Capital grant for school Capital grants with no grants with construction (Indonesia matching and no future matching rate that before 2000), highway upkeep requirements varies inversely construction matching with local fiscal grants to states (United capacity States) 16
  • 18. Influence local Open-ended Matching transfers for priorities in areas matching social assistance (Canada of high national transfers before 2004) but low local (preferably with priority Ad hoc grant matching rate varying inversely with fiscal capacity) Provide Capital grants, Capital grants with Stabilization grants with stabilization and provided matching rates that vary no future upkeep overcome maintenance inversely with local fiscal requirements infrastructure possible capacity deficiencies E. KONDISI dan PERMASALAHAN DESENTRALISASI FISKAL DI NDONESIA Dari pelaksanaan desentralisasi fiscal yang dimulai dari tahun 2001, kondisi yang dihadapi oleh pemerintah Indonesia secara garis besar dapat dikategorikan menjadi 4 macam yaitu : 1. Ketimpangan Vertikal dan Horizontal secara minimum 1) DAU Dalam UU No.33/2004 telah dinyatakan dengan tegas bahwa DAU dibagikan dengan formula yang didasarkan atas alokasi dasar dan kesenjangan fiskal (fiscal gap). Alokasi dasar ditetapkan terutama berdasarkan besarnya belanja pegawai, sedangkan kesenjangan fiskal dihitung dari selisih antara kebutuhan fiscal dan kapasitas fiskal. Dengan masih adanya peran belanja pegawai, mendorong pemerintah daerah untuk terus menambah jumlah pegawainya, terlepas dari pertimbangan efisiensi pegawai. Selain itu, keberadaan variabel belanja pegawai dalam formula DAU dianggap pula sebagai pencetus motivasi untuk melakukan pemekaran daerah, karena bagi daerah otonom baru sebagai hasil pemekaran, mereka akan otomatis membutuhkan pegawai yang pembiayaannya dijamin oleh alokasi DAU. 17
  • 19. Sementara itu, perhitungan kebutuhan fiskal pada saat ini belum dilakukan dengan menggunakan pendekatan kebutuhan belanja yang sesungguhnya, melainkan masih menggunakan beberapa variabel pendekatan (proxy variables), diantaranya adalah: jumlah penduduk, luas wilayah, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). 2) DAK Semenjak dilakukannya kebijakan desentralisasi fiskal pada tahun 2001, sangat dirasakan tidak jelasnya peran dari Dana Alokasi Khusus (DAK) dalam membiayai otonomi daerah. Euforia terhadap desentralisasi dan otonomi daerah pada tahun 2000 tampaknya mengakibatkan pengambil keputusan untuk lebih memberikan prioritas kepada alokasi dana transfer, seperti DAU dan DBH, yang memberikan diskresi yang luas bagi pemda untuk mengatur penggunaannya. Sebagai akibatnya, peran DAK yang dapat dijadikan stimulus tercapainya target pembangunan nasional dan mengedepankan eksternalitas dari pelayanan public daerah menjadi terabaikan. Hal ini tampak dari alokasi DAK yang hanya sebesar 700,9 Milyar Rupiah pada tahun 2001. Alokasi DAK inipun pada dasarnya adalah alokasi dana reboisasi, yang seperti diamanatkan oleh Undang-undang pada saat itu (UU No.25/1999) sebagian didaerahkan kembali dalam bentuk alokasi DAK. Namun sejalan dengan waktu dan menguatnya kebutuhan untuk pemenuhan berbagai program prioritas nasional, maka peran DAK menjadi meningkat. Besarnya alokasi DAK pada tahun 2008 telah menjadi 21.202 Milyar Rupiah, suatu peningkatan sangat signifikan dibandingkan dengan alokasi DAK tahun 2001. Namun demikian, alokasi DAK yang pada saat ini hanya sebesar 8,05 % dari total dana perimbangan, relatif masih rendah peranannya dalam mendukung kebijakan desentralisasi fiskal. Selain itu, DAK masih dirasakan belum jelas arah dan kegunaannya. Seperti diketahui, jenis-jenis DAK saat ini meliputi 12 (dua belas) bidang, yaitu : Pendidikan, kesehatan, jalan,irigasi,air bersih, kelautan dan perikanan, 18
  • 20. pertanian, prasarana pemerintahan, lingkungan hidup,kependudukan dan kehutanan. Dengan demikian, jumlah alokasi DAK yang meningkat pada dasarnya terbagi atas alokasi untuk banyak bidang, sehingga efektivitas alokasi DAK per bidang menjadi sangat minimal. 3) DBH Untuk melihat kondisi saat ini dari kebijakan DBH dapat ditinjau dari beberapa segi: Formula alokasi DBH Persentase yang dibagi-hasilkan dengan daerah relative tidak mengalami perubahan semenjak ditetapkan kebijakan tersebut pada tahun 2001. Pengecualian terjadi untuk besarnya persentase bagi-hasil minyak dan gas bumi, yang mengalami kenaikan sebesar 0,5% pada tahun 2004. Rumusan bagi hasil untuk setiap jenis pajak dan juga penerimaan sumber daya alam sangat bervariasi satu dengan yang lain, selain itu, semenjak ditetapkan rumusan alokasi ini pada tahun 2001, tidak ada argumentasi yang jelas tentang formula bagi hasil tersebut. Formula DBH menjadi makin kompleks karena pemberlakuan formula yang berbeda untuk daerah otonomi khusus, yaitu Nanggro Aceh Darussalam dan Papua. Dasar nilai penetapan bagi hasil Selain dari beragamnya formula, yang juga menambah rumit alokasi DBH adalah beragamnya dasar penetapan untuk bagi hasil.Saat ini, untuk minyak dan gas bumi, yang dibagi-hasilkan kepada daerah adalah nilai net-operating income setelah dikurangi berbagai jenis pajak (PPh, PPN, dan PBB), dengan formula yang berbeda untuk minyak bumi dan gas alam.Sedangkan untuk Pertambangan, Kehutanan dan Perikanan, nilai yang dibagi-hasilkan pada dasarnya ada dua jenis, yaitu biaya sewa perijinan usaha dan royalti untuk produksi yang dihasilkan. Pemanfaatan DBH di daerah Bagi pemerintah daerah yang memperoleh alokasi DBH yang cukup signifikan, seyogyanya pemanfaatan dana tersebut dilakukan secara optimal dalam rangka meningkatkan pelayanan publik dan pengembangan infrastruktur dasar di daerah. Namun demikian, arah penggunaan DBH tampaknya belum jelas di daerah, bahkan terkadang terjadi tumpang tindih program kegiatan antara Provinsi dan 19
  • 21. Kabupaten/Kota, misalnya pembangunan lapangan udara pada lokasi yang berdekatan dengan anggaran berbeda, yaitu dari provinsi dan yang satunya dari kabupaten. Mekanisme penyaluran DBH Permasalahan klasik yang terus terjadi semenjak tahun 2001 sampai dengan sekarang adalah keterlambatan penyaluran DBH ke daerah, khususnya untuk DBH yang berasal dari sumber daya alam. Seharusnya penyaluran dilakukan pada setiap akhir kuartal, dimana nilai yang disalurkan pada 3 kuartal pertama adalah nilai yang didasarkan kepada angka yang disepakati di APBN, sedangkan nilai yang disalurkan pada kuartal terakhir sudah memperhitungkan berbagai penyesuaian terhadap realisasi yang terjadi.Jumlah yang bisa dibagi-hasilkan untuk realisasi minyak dan gas bumi adalah maksimum 130% dari harga asumsi awal di APBN.Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasi keterlambatan penyaluran DBH ke daerah, sehingga alokasi DBH ini mulai lebih baik pada tahun 2008. 2. Pendapatan dan Pembiayaan Daerah yang Efektif dan efisien Dalam skema desentralisasi fiskal di Indonesia, pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk memungut dan menentukan tarif secara terbatas (tariff maksimum telah ditentukan oleh UU) untuk beberapa jenis pajak daerah yang ditentukan oleh UU. Hal ini menyebabkan daerah hanya memiliki instrumen yang sangat terbatas untuk mengelola sisi fungsi pendapatan. Walaupun dalam kenyataannya, banyak daerah mengeluarkan peraturan daerah untuk memungut pajak atau retribusi yang berdampak pada ekonomi biaya tinggi. Rendahnya penerimaan pajak dan retribusi daerah ini ditunjukkan oleh data bahwa kontribusi PAD terhadap APBD hanya kurang dari 10%, seperti pada tabel berikut ini. 20
  • 22. 3. Siklus dan Proses Belanja Daerah yang Efektif dan efisien Proses penganggaran yang berjenjang antar tiap tingkatan pemerintahan, merupakan salah satu faktor yang menyebabkan panjangnya proses penganggaran. Kondisi saat ini, dimana terdapat sekitar 3 bulan rentang waktu antara penetapan APBN dan APBD berpengaruh pada lambatnya timing eksekusi dari anggaran pemerintah daerah seperti tercantum dalam UU No. 17 Tahun 2003. Selain itu, penerimaan pemerintah daerah yang sebagian besar disalurkan oleh pemerintah pusat melalui dana perimbangan, juga menunjukkan bahwa smoothing out dari alokasi dana perimbangan oleh pemerintah pusat akan sangat membantu efektifitas pengeluaran pemerintah daerah. Pada saat ini, anggaran belanja daerah disusun tidak berdasarkan suatu analisis kebutuhan yang nyata yang harus dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah. Anggaran belanja disusun secara ekletik, dengan anggaran tahun sebelumnya sebagai acuan utama. Tidak jarang bahwa peningkatan anggaran pemerintah hanya dirumuskan sebagai suatu peningkatan proporsional dari anggaran tahun berjalan, tanpa mempertimbangkan kebutuhan yang nyata. Sulitnya menyusun anggaran belanja sesuai dengan kebutuhan nyata Pemerintah Daerah juga diakibatkan oleh tidak adanya Analisis Standar Belanja (ASB). Karena itu tidak mengherankan bahwa banyak analisis terhadap anggaran pemerintah sampai saat ini menunjukkan adanya biaya penyelenggaraan layanan publik yang sangat fluktuatif dari tahun ke tahun. Hal ini mencerminkan jauhnya penetapan anggaran dari analisis kebutuhan dan analisis standar belanja. 4. Harmonisasi Belanja Pusat dan Daerah Sampai saat ini masih terjadi tumpang tindih belanja antar unit maupun antar tingkatan. Masih sering terjadi belanja pemerintah pusat melalui anggaran 21
  • 23. kementerian, baik secara langsung ke daerah maupun melalui mekanisme dekonsentrasi dan tugas pembantuan, digunakan untuk mendanai kegiatankegiatan yang seharusnya menjadi urusan daerah yang telah didesentralisasikan. Hal ini juga diperparah dengan rendahnya mekanisme koordinasi antara pusat dan daerah dalam pengalokasian dana-dana tersebut, sehingga tidak hanya tidak tepat guna tapi juga tumpang tindih. Di samping itu, sistem perencanaan nasional juga belum sepenuhnya dapat mengkoordinasikan program-program di pusat maupun daerah. Hal ini didorong oleh adanya ego sektoral dari masing-masing unit di semua tingkatan. Yang masih kadang terjadi adalah ketidakjelasan siapa mengerjakan apa, sehingga berbagai program saling berbenturan. Komitmen untuk menjaga kejelasan pembagian urusan dari masing-masing pihak menjadi salah satu penyebab carut marut perencanaan tersebut, di samping belum adanya SPM yang jelas untuk semua urusan. Tumpang tindih antara belanja pusat dan daerah ditenggarai sebagai salah satu faktor yang mendorong tingginya belanja pegawai baik di tingkat pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Tabel 5.1 menunjukkan bahwa belanja pegawai selama tahun 2005-2008 merupakan komponen pengeluaran yang dominan relative dibandingkan dengan belanja modal. Perbandingan belanja personel (belanja modal) terhadap tahun-tahun sebelum desentralisasi yaitu terhadap pengeluaran rutin (pengeluaran pembangunan) cenderung bias karena dalam belanja pembangunan masih juga mencakup komponen personnel selain belanja modal. Sistem anggaran seperti ini juga merupakan salah satu penyebab kurang terkontrolnya komponen dari pengeluaran belanja pegawai. Untuk tingkat pemerintah pusat, penerapan standar pelayanan minimal (SPM) juga berarti orientasi pada cakupan outcome yang mungkin akan bersinggungan atau sama untuk tiap unit karena melibatkan koordinasi beberapa departemen teknis. Berdasarkan PP No. 65 Tahun 2005, penentuan SPM yang harus berdasarkan koordinasi dari beberapa kementrian, merupakan salah satu cara untuk pemetaan SPM untuk tiap sektor sementara pada saat yang sama koordinasi dilakukan untuk menghindari ketidaksesuaian antara outcome dengan sumber daya. Namun sampai saat ini, dari 12 sektor pelayanan dasar, penetapan SPM baru ada untuk sector pendidikan, kesehatan dan lingkungan hidup (Departemen Keuangan, 2009). 22
  • 24. Sedangkan permasalahan desentralisasi fiscal yang dihadapi pemerintah Indonesia menurut Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru dari World Bank adalah sebagai berikut : a. Tantangan utama bagi pembangunan Indonesia bukan lagi untuk memberikan dana kepada daerah-daerah yang lebih miskin tetapi bagaimana memastikan agar daerah-daerah tersebut menggunakan dana yang disalurkan dengan sebaik-baiknya. Sumber dana yang terpenting untuk daerah—Dana Alokasi Umum (Dana DAU)—mengalami peningkatan nominal hingga 64 persen pada 2006. Sebagian besar daerah sudah memiliki sumber daya yang cukup untuk melakukan berbagai perbaikan taraf hidup warganya. Bahkan daerah-daerah yang dulunya dianggap miskin, kini memiliki DAU per kapita rata-rata sebesar AS$425 setiap tahun, jumlah alokasi DAU ini telah mengalami peningkatan sebesar 75 persen pada tahun 2006. b. Lebih dari setengah kenaikan alokasi DAU yang seharusnya digunakan untuk peningkatan penyediaan layanan kepada masyarakat digunakan untuk membiayai belanja pegawai pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. Kebijakan pembayaran gaji pegawai daerah secara penuh melalui DAU ini tidak mendorong pemerintah daerah mengarahkan dana itu untuk peningkatan pelayanan masyarakat. c. Banyak pemerintah daerah mengalami kesulitan untuk membelanjakan anggaran tambahan mereka. Mereka lalu menyimpan dana itu dalam rekening 23
  • 25. bank setempat, jumlah simpanan itu semakin banyak dan telah mencapai angka 3,1 persen dari PDB pada bulan November 2006. d. Pos pengeluaran paling besar untuk pemerintah daerah adalah untuk penyelenggaraan administrasi pemerintahan, yang menyerap sebanyak 32 persen dari seluruh pengeluaran pemerintah daerah. Pengeluaran administrasi yang sangat besar ini mengakibatkan berkurangnya pengeluaran untuk sektorsektor penting lainnya, terutama sektor kesehatan, pertanian, dan infrastruktur. Adapun rekomendasi yang diberikan oleh World Bank sebagai berikut : a. Mekanisme alokasi DAU seharusnya diubah dengan menghilangkan cakupan pembayaran gaji pemerintah daerah secara penuh. Penyaluran dana yang penggunaannya telah ditetapkan akan menurunkan insentif untuk mengurangi kelebihan pegawai dan mencari kombinasi masukan secara optimal (tenaga kerja, modal, bahan baku,dan outsourcing) untuk pemberian layanan masyarakat yang bermutu. Menghilangkan cakupan pembayaran gaji secara penuh ini akan berkontribusi terhadap peningkatan efisiensi pada pengeluaran pemerintah daerah. b. Untuk mendorong fungsi perimbangan dari perimbangan fiskal pusat-daerah, sebagian besar dari dana DAU harus dialokasikan berdasarkan formula kesenjangan fiskal. Penghapusan cakupan pembayaran gaji dari alokasi dana DAU akan berkontribusi pada tujuan ini. c. Pemerintah seharusnya mengurangi fluktuasi jumlah dana DAU untuk menghindari dampak fluktuasi ini terhadap anggaran daerah. Fluktuasi besar jangka pendek akan membutuhkan penyesuaian besar-besaran dalam penentuan anggaran atau strategi pengeluaran jangka panjang yang lebih lancar. Akan tetapi, hal-hal ini tidak mudah untuk dirumuskan dan dilaksanakan di tingkat daerah mengingat keterbatasan kapasitas manajerial. Ada sejumlah cara yang dapat digunakan untuk memperlancar alokasi dana DAU, di antaranya pemanfaatan asumsi harga minyak jangka panjang, penciptaan stabilisasi dana cadangan nasional atau di daerah, dan peningkatan secara riil alokasi DAU setiap tahun. d. Oleh karena tingkat pendapatan pemerintah daerah saat ini sudah relatif besar, seharusnya berfokus pada pergeseran ke arah pemanfaatan sumber daya yang efisien dan bukan pada mobilisasi sumber daya tambahan. Satu elemen kunci 24
  • 26. untuk menjamin efisiensi pengeluaran adalah alat ukur kinerja pemerintah daerah untuk melakukan perbandingan di seluruh kabupaten/kota. Insentif yang menarik harus disediakan untuk pemanfaatan anggaran yang cermat dan efektif. Insentif ini dapat dimasukkan ke dalam sistem penyaluran anggaran antarpemerintahan. e. Pemerintah daerah perlu melakukan pergeseran dari alokasi anggaran administrasi yang terlalu besar menuju penerapan kebijakan pemberian layanan masyarakat dan berpihak pada masyarakat miskin. Jumlah pengeluaran saat ini untuk kebutuhan administrasi pemerintahan terlalu tinggi dan ini menunjukkan penggunaan sumber daya yang tidak efisien. Ada ruang yang begitu besar untuk melakukan perbaikan dalam pemanfaatan sumber-sumber daya publik. Penggunaan anggaran sebesar 5 sampai 10 persen untuk kepentingan administrasi seharusnya merupakan target pemerintah daerah. f. Kapasitas untuk membuat perencanaan dan menentukan anggaran di daerah perlu ditingkatkan. Proses persetujuan anggaran perlu dirampingkan dan pengeluaran di luar anggaran perlu direvisi. Hanya dengan demikian perencanaan anggaran dapat mencerminkan rencana pengeluaran yang efisien dan dapat mencegah terjadinya surplus anggaran yang terlalu besar. g. Pemungutan dan pengumpulan pendapatan pajak di daerah perlu ditingkatkan. Hal ini memerlukan desentralisasi PBB untuk wilayah perkotaan dan pedesaan dan memberi ruang kepada daerah untuk bersaing dengan daerah lain (ini merupakan kelaziman yang sudah berlaku secara internasional). Hal ini juga termasuk peningkatan pengumpulan pajak itu sendiri, yang rata-rata menghabiskan setengah dari pajak yang terkumpul—angka yang terlalu tinggi dilihat dari standar mana pun. Akhirnya, penggunaan retribusi dan pajak daerah lainnya seharusnya diatur dengan jelas untuk mencegah timbulnya dampak negatif terhadap iklim investasi. h. Kerangka aturan bagi pengelolaan keuangan pemerintah daerah, terutama yang berkaitan dengan kapasitas melakukan pinjaman dan pengelolaan terhadap surplus anggaran yang jumlahnya semakin besar harus diperkuat. Kapasitas dan daya tarik daerah untuk mendapatkan kredit akan dapat didorong dengan menyelesaikan dan melaksanakan kerangka aturan agar PDAM dan Pemda dapat mengatasi permasalahannya. Departemen Keuangan dapat mengembangkan pedoman mengenai akumulasi dan pemanfaatan dana 25
  • 27. cadangan yang rasional. Jika jumlah dana cadangan yang semakin tinggi sebagai ciri dari kinerja anggaran pemerintah daerah terus berlangsung, maka setidaknya dana cadangan itu harus digunakan untuk meningkatkan investasi dalam infrastruktur publik dan membayar hutang yang masih tertunggak. Bibliography [1] Ministry of Finance RI Fiscal Decentralization Assistance Team, Fiscal Decentralization Grand Design. Jakarta: Ministry Of finance, 2010. [2] Wahyudi Kumorotomo, Desentralisasi Fiskal: Politik dan Perubahan Kebijakan 1974-2004, 1st ed., Erwan Agus Purwanto, Ed. Jakarta, Indonesia: Prenada Media, 2008. [3] World Bank, Kajian Pengeluaran Publik Indonesia:Memaksimalkan Peluang Baru. Jakarta, 2007. [4] Robin Boadway and Anwar Shah, Intergovernmental Fiscal Transfer, Principles and Practice. Washington, DC: World Bank, 2007. 26