Desentralisasi fiskal di indonesia : Permasalahan dan PencapaianIsnu Rahadi Wiratama
Dokumen tersebut membahas tentang desentralisasi fiskal di Indonesia sejak reformasi 1998, termasuk pencapaian dan permasalahannya. Desentralisasi fiskal memberi kewenangan keuangan kepada pemerintah daerah untuk mengelola sumber daya secara lebih efisien dan meningkatkan pelayanan masyarakat. Namun, pelaksanaannya menghadapi tantangan seperti pengelolaan belanja daerah dan korupsi. Dokumen ini juga membahas
Masalah pembangunan ekonomi di indonesiaamel shifa
Dokumen tersebut membahas masalah-masalah pembangunan ekonomi di Indonesia, termasuk masalah kependudukan, kemiskinan, keterbelakangan, pengangguran, dan ketidakmerataan pembangunan, serta upaya-upaya pemerintah untuk mengatasinya seperti program KB, transmigrasi, pemberdayaan masyarakat, peningkatan pendidikan, dan pemerataan pembangunan.
Makalah ini membahas sistem e-budgeting yang diterapkan Pemprov DKI Jakarta untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan anggaran. E-budgeting memiliki manfaat seperti mencegah anggaran "siluman" dan meningkatkan efisiensi, meski masih dihadapkan pada hambatan seperti kendala teknologi dan komitmen pegawai. Makalah ini juga membahas pro dan kontra serta contoh penerapan e-budgeting di negara
Desentralisasi fiskal di indonesia : Permasalahan dan PencapaianIsnu Rahadi Wiratama
Dokumen tersebut membahas tentang desentralisasi fiskal di Indonesia sejak reformasi 1998, termasuk pencapaian dan permasalahannya. Desentralisasi fiskal memberi kewenangan keuangan kepada pemerintah daerah untuk mengelola sumber daya secara lebih efisien dan meningkatkan pelayanan masyarakat. Namun, pelaksanaannya menghadapi tantangan seperti pengelolaan belanja daerah dan korupsi. Dokumen ini juga membahas
Masalah pembangunan ekonomi di indonesiaamel shifa
Dokumen tersebut membahas masalah-masalah pembangunan ekonomi di Indonesia, termasuk masalah kependudukan, kemiskinan, keterbelakangan, pengangguran, dan ketidakmerataan pembangunan, serta upaya-upaya pemerintah untuk mengatasinya seperti program KB, transmigrasi, pemberdayaan masyarakat, peningkatan pendidikan, dan pemerataan pembangunan.
Makalah ini membahas sistem e-budgeting yang diterapkan Pemprov DKI Jakarta untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan anggaran. E-budgeting memiliki manfaat seperti mencegah anggaran "siluman" dan meningkatkan efisiensi, meski masih dihadapkan pada hambatan seperti kendala teknologi dan komitmen pegawai. Makalah ini juga membahas pro dan kontra serta contoh penerapan e-budgeting di negara
Otonomi daerah memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai aspirasi masyarakat dalam kerangka NKRI. Otonomi daerah didasarkan pada prinsip otonomi yang luas, nyata, dan bertanggung jawab.
Dokumen tersebut merupakan silabus mata kuliah Ekonomi Publik Lanjutan yang membahas tentang alokasi sektor publik, analisis biaya dan manfaat, penentuan harga barang publik, desentralisasi fiskal, penganggaran daerah, serta penerimaan daerah. Mata kuliah ini terdiri dari 14 topik pembahasan dan bertujuan agar mahasiswa memahami konsep-konsep tersebut.
Studi Kasus Penyimpangan Atas Pengelolaan Keuangan Daerah Kabupaten Bogor Pad...Universitas Pakuan
Studi kasus mengenai penyimpangan dalam pengelolaan keuangan daerah Kabupaten Bogor pada masa pemerintahan Rachmat Yasin sebagai Bupati. Rachmat Yasin divonis 5 tahun 6 bulan penjara karena terbukti menerima suap senilai Rp4,5 miliar untuk memuluskan izin penggunaan lahan seluas 2.754 hektar. Tulisan ini membahas definisi korupsi, rumusan tindak pidana korupsi, kasus dan sebab terjadiny
Pemerintah memainkan peran penting dalam perekonomian melalui fungsi alokasi, distribusi, dan stabilisasi untuk mengatasi kegagalan pasar dan mencapai kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan."
Implikasi implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah terhadap p...Researcher Syndicate68
ABSTRAK
Implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah telah memasuki babak
kedua sejak reformasi 1998, yakni babak pertama berdasarkan UU No. 22 dan 25
Tahun 1999 dan babak kedua berlandaskan UU No. 32 dan 33 Tahun 2004.
Seluruh komponen stakeholders penyelenggaraan kebijakan desentralisasi dan
otonomi daerah tentu berharap agar babak ini lebih baik daripada babak
sebelumnya, baik dalam hal desentralisasi administratif maupun desentralisasi
fiskal. Hal ini tidak lain karena kedua hal tersebut – yakni desentralisasi
administratif (pembagian urusan pemerintahan) dan desentralisasi fiskal
(pembiayaan/pendanaan) merupakan dua sisi mata uang yang saling berkaitan
sama lain. Tulisan ini mencoba menjelaskan implikasi implementasi desentralisasi
dan otonomi daerah, khususnya terhadap hubungan keuangan Pusat – Daerah,
yang dimulai dengan melihat arah desentralisasi dan struktur pemerintahan masa
depan, reformasi penyelenggaraan pemerintahan daerah dan hubungan Pusat –
Daerah, tahapan implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah, dan
mencermati implikasi internal dan eksternal pola hubungan keuangan Pusat –
Daerah.
Dokumen tersebut membahas tentang kebijakan otonomi khusus di Indonesia dengan mempelajari kasus Aceh, Papua, DKI Jakarta, dan Yogyakarta. Dibahas pula berbagai pendekatan terhadap desentralisasi dan otonomi daerah secara umum.
Buku ini membahas tentang desentralisasi dan pemerintahan daerah dalam konteks model demokrasi lokal dan efisiensi struktural. Secara umum desentralisasi bertujuan meningkatkan efisiensi pemerintahan dan partisipasi masyarakat. Terdapat beberapa jenis desentralisasi yaitu dekonsentrasi, devolusi, dan tugas pembantuan yang melibatkan penyerahan kewenangan dari pusat ke daerah. Tujuan desentralisasi mel
Dokumen tersebut membahas tentang pengertian pajak secara umum, sumber-sumber pengertian pajak, jenis-jenis pajak, asas-asas pemungutan pajak, dan subjek pajak penghasilan. Secara ringkas, pajak adalah iuran wajib rakyat kepada negara yang digunakan untuk membiayai pengeluaran negara sesuai undang-undang tanpa mendapat imbalan langsung.
Otonomi daerah memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai aspirasi masyarakat dalam kerangka NKRI. Otonomi daerah didasarkan pada prinsip otonomi yang luas, nyata, dan bertanggung jawab.
Dokumen tersebut merupakan silabus mata kuliah Ekonomi Publik Lanjutan yang membahas tentang alokasi sektor publik, analisis biaya dan manfaat, penentuan harga barang publik, desentralisasi fiskal, penganggaran daerah, serta penerimaan daerah. Mata kuliah ini terdiri dari 14 topik pembahasan dan bertujuan agar mahasiswa memahami konsep-konsep tersebut.
Studi Kasus Penyimpangan Atas Pengelolaan Keuangan Daerah Kabupaten Bogor Pad...Universitas Pakuan
Studi kasus mengenai penyimpangan dalam pengelolaan keuangan daerah Kabupaten Bogor pada masa pemerintahan Rachmat Yasin sebagai Bupati. Rachmat Yasin divonis 5 tahun 6 bulan penjara karena terbukti menerima suap senilai Rp4,5 miliar untuk memuluskan izin penggunaan lahan seluas 2.754 hektar. Tulisan ini membahas definisi korupsi, rumusan tindak pidana korupsi, kasus dan sebab terjadiny
Pemerintah memainkan peran penting dalam perekonomian melalui fungsi alokasi, distribusi, dan stabilisasi untuk mengatasi kegagalan pasar dan mencapai kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan."
Implikasi implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah terhadap p...Researcher Syndicate68
ABSTRAK
Implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah telah memasuki babak
kedua sejak reformasi 1998, yakni babak pertama berdasarkan UU No. 22 dan 25
Tahun 1999 dan babak kedua berlandaskan UU No. 32 dan 33 Tahun 2004.
Seluruh komponen stakeholders penyelenggaraan kebijakan desentralisasi dan
otonomi daerah tentu berharap agar babak ini lebih baik daripada babak
sebelumnya, baik dalam hal desentralisasi administratif maupun desentralisasi
fiskal. Hal ini tidak lain karena kedua hal tersebut – yakni desentralisasi
administratif (pembagian urusan pemerintahan) dan desentralisasi fiskal
(pembiayaan/pendanaan) merupakan dua sisi mata uang yang saling berkaitan
sama lain. Tulisan ini mencoba menjelaskan implikasi implementasi desentralisasi
dan otonomi daerah, khususnya terhadap hubungan keuangan Pusat – Daerah,
yang dimulai dengan melihat arah desentralisasi dan struktur pemerintahan masa
depan, reformasi penyelenggaraan pemerintahan daerah dan hubungan Pusat –
Daerah, tahapan implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah, dan
mencermati implikasi internal dan eksternal pola hubungan keuangan Pusat –
Daerah.
Dokumen tersebut membahas tentang kebijakan otonomi khusus di Indonesia dengan mempelajari kasus Aceh, Papua, DKI Jakarta, dan Yogyakarta. Dibahas pula berbagai pendekatan terhadap desentralisasi dan otonomi daerah secara umum.
Buku ini membahas tentang desentralisasi dan pemerintahan daerah dalam konteks model demokrasi lokal dan efisiensi struktural. Secara umum desentralisasi bertujuan meningkatkan efisiensi pemerintahan dan partisipasi masyarakat. Terdapat beberapa jenis desentralisasi yaitu dekonsentrasi, devolusi, dan tugas pembantuan yang melibatkan penyerahan kewenangan dari pusat ke daerah. Tujuan desentralisasi mel
Dokumen tersebut membahas tentang pengertian pajak secara umum, sumber-sumber pengertian pajak, jenis-jenis pajak, asas-asas pemungutan pajak, dan subjek pajak penghasilan. Secara ringkas, pajak adalah iuran wajib rakyat kepada negara yang digunakan untuk membiayai pengeluaran negara sesuai undang-undang tanpa mendapat imbalan langsung.
Makalah ini membahas analisis kebijakan desentralisasi fiskal dalam APBN tahun 2013-2015 di Kabupaten Karimun. Topik ini mencakup penjelasan latar belakang masalah desentralisasi fiskal, rumusan masalah, tujuan, manfaat makalah, landasan teori desentralisasi fiskal dan pelaksanaannya di Indonesia.
Dokumen tersebut membahas perjalanan desentralisasi di Indonesia sejak era reformasi, mulai dari latar belakang, pendekatan yang digunakan (big bang atau zig-zag), dan reformasi struktur pemerintahan menurut UU No. 22/1999 tentang otonomi daerah.
“Untuk itu, ciptakan suatu kadensi (: peningkatan) akuntabilitas.
Pemimpin yang sukses secara tertib dan berkala membuat
pertanggunggugatan komitmen yang telah dibuatnya,” demikian kata
Stephen R. Covey. Pertanggunggugatan (akuntabilitas) adalah disiplin
atau roadmap keempat yang ditawarkan Covey bagi para pemimpin
atau eksekutif dalam kondisi dunia yang sedang berubah cepat.
Akuntabilitas merupakan kewajiban untuk mempertanggung gugat
(obligation to answer) apa saja yang telah dicapai, termasuk
pertanggungjawaban (responsibility) untuk menentukan tindakan
(obligation to act) apa yang akan dilakukan. Demikian pula,
pemerintahan daerah harus mempertanggung-gugatkan pelaksanaan
urusan pemerintahan yang telah diserahkan kepada mereka baik
pemerintah provinsi, kabupaten maupun kota sesuai dengan amanat
UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 33
Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat
dan Pemerintah Daerah. Pertanggunggugatan pemerintah daerah
menyangkut pelaksanaan desentralisasi politik, administratif dan
fiskal. Melalui tulisan ini penulis ingin mengupas sedikit gambaran
dinamika implementasi dan upaya yang dapat ditempuh dalam
pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia.
Dokumen tersebut membahas tentang desentralisasi di Indonesia pasca reformasi. Secara garis besar, dokumen menjelaskan latar belakang dan tujuan dilaksanakannya desentralisasi di Indonesia, yaitu untuk meningkatkan pelayanan publik dan pengelolaan sumber daya lokal melalui pengalihan wewenang dan keuangan dari pemerintah pusat ke daerah. Dokumen juga membahas definisi desentralisasi dan pentingnya pemerintahan daerah d
Dokumen tersebut membahas tentang pembangunan ekonomi era otonomi daerah di Indonesia, termasuk latar belakang, definisi, landasan hukum, pembagian urusan, dan tantangan pelaksanaan otonomi daerah."
Dokumen tersebut memberikan analisis mengenai sumber-sumber penerimaan daerah Kota Bontang di Kalimantan Timur. Ia menjelaskan bahwa pendapatan daerah berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Perimbangan. PAD terdiri dari pajak daerah, retribusi daerah, dan hasil usaha daerah. Dana perimbangan terdiri dari Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum, dan Dana Alokasi Khusus. Dokumen ini mengan
Hubungan antara pertumbuhan ekonomi daerahPriyo Hari Adi
Priyo Hari Adi meneliti hubungan antara pertumbuhan ekonomi daerah, belanja pembangunan, dan pendapatan asli daerah di kabupaten dan kota di Jawa-Bali. Ia menguji dampak perubahan alokasi belanja terhadap pertumbuhan ekonomi dan PAD serta hubungan antara pertumbuhan ekonomi dengan PAD."
Dokumen tersebut membahas tentang kekelompokan 3 yang terdiri dari 4 orang siswa beserta nama dan nomor absen masing-masing. Selanjutnya dokumen tersebut menjelaskan pengertian otonomi daerah menurut undang-undang dan ahli. Dokumen juga menyebutkan tujuan dan manfaat otonomi daerah serta model hubungan antara pemerintah pusat dan daerah.
Pkn0192 2 pembentukan daerah dan kawasan khusus (1)JanuarRobiansyah
Dokumen tersebut membahas tentang pembentukan daerah dan kawasan khusus sebagai konsekuensi dari kebijakan desentralisasi berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004. Dokumen ini juga menjelaskan tentang pengertian desentralisasi, otonomi daerah di Indonesia, dan pembentukan kawasan khusus secara nasional.
Konsep 7S McKinsey menjelaskan faktor-faktor kunci keberhasilan organisasi yang terdiri dari Struktur, Strategi, Sistem, Keterampilan, Staf, Gaya Kepemimpinan, dan Nilai-nilai Bersama. Model ini digunakan untuk menganalisis faktor-faktor penunjang pencapaian visi dan tujuan Kemenkominfo dalam membangun masyarakat informasi Indonesia.
Paper mssp analisis renstra dan capaian kinerja kemenpan rb Mulyadi Yusuf
1. Dokumen ini membahas analisis kinerja Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi dalam melaksanakan rencana strategis dan mencapai target kinerja. 2. Kementerian ini bertugas mengkoordinasikan kebijakan reformasi birokrasi dan meningkatkan kinerja aparatur negara melalui berbagai program seperti penataan struktur birokrasi dan profesionalisasi PNS. 3. Kinerja kementerian dievaluasi berdas
Dokumen ini berisi visi dan misi Kementerian Pertanian untuk mewujudkan pertanian berkelanjutan berbasis sumber daya lokal guna meningkatkan ketahanan pangan, nilai tambah, daya saing, ekspor, dan kesejahteraan petani. Untuk mencapai visi tersebut, ditekankan pada peningkatan produksi dan produktivitas, diversifikasi pangan, pengembangan industri hilir, serta peningkatan kualitas SDM pertanian.
Dokumen tersebut membahas tentang Balanced Scorecard (BSC) sebagai sistem manajemen strategik yang menerjemahkan strategi organisasi menjadi ukuran kinerja. Dibahas empat perspektif BSC yaitu keuangan, pelanggan, proses bisnis internal, dan pembelajaran & pertumbuhan beserta cara mengidentifikasi sasaran strategis dan indikator kinerja utama."
Working papers are notes recorded by auditors regarding procedures performed, evidence obtained, and conclusions during an audit. They serve to plan the audit, record evidence and test results, determine the audit opinion, and allow for review and supervision. Working papers are owned by the audit firm but must be kept confidential, with the auditor only disclosing information with client consent or as required by law. Working papers should be complete, clear, organized and support the audit observations, testing, conclusions and recommendations. They contain details of audit planning, execution and evidence, and are retained according to professional and legal standards.
09.2 audit siklus pembelian dan pembayaranMulyadi Yusuf
The document describes a manual purchases and cash disbursement system and how it could be automated using a computer-based accounting system (CBAS). In a manual system, purchase requisitions and orders are prepared on paper and routed between departments, while cash disbursements involves manually preparing checks. A CBAS allows routing of documents and authorizations electronically and automating processes like check printing. However, it also concentrates duties, so internal controls must focus on areas like access restrictions, supervision, and independent verification to prevent fraud.
09.1 audit siklus penjualan dan penerimaanMulyadi Yusuf
The document discusses audit procedures for testing controls and performing substantive tests in the revenue cycle. It describes testing input controls like credit authorization and validation controls. It also discusses testing process controls such as file update controls and access controls. The document outlines testing output controls and understanding the client's data files and structures. It provides examples of substantive tests like reviewing sales invoices for unusual trends, confirming accounts receivable, and assessing valuation of accounts receivable.
05.2 auditing procedure application controlsMulyadi Yusuf
To summarize:
1) Auditors conduct a top-down risk assessment (RA) to determine which applications and controls to review. They document risks and controls in matrices mapped to processes, accounts, and disclosures.
2) The RA involves weighting risk factors, ranking risks, and prioritizing applications for review based on composite risk scores. Applications above a threshold score are included in the review scope.
3) The review scope, approach, and frequency are based on the RA results and resource availability. A business process method breaks processes into levels to structure the control review.
The document discusses various types of application controls. It begins by listing the most common types as input control, process control, and output control. It then provides more details on each type of application control, including definitions and examples. It explains that application controls regulate the input, processing, and output of an application in order to ensure complete and accurate processing of data. The risks of input, processing, and outputs are also summarized.
The document discusses two broad groupings of information systems control activities: general controls and application controls. General controls relate to many IS applications and support effective application controls by ensuring continued operation of IS. They include logical access controls, system development life cycle controls, program change management controls, and data center physical security controls. Application controls are designed to ensure complete and accurate processing of data from input through output and include controls over input, processing, and output of applications. The design of general controls depends on application control requirements and enterprise risk management, while reliance on application controls depends on the design and operating effectiveness of general controls.
The document provides an overview of the COBIT 5 framework, which is designed to help enterprises govern and manage information and related technology. It discusses the five principles of COBIT 5: meeting stakeholder needs, covering the enterprise end-to-end, applying a single integrated framework, enabling a holistic approach, and separating governance from management. It also outlines the seven enablers that make up the COBIT 5 framework: principles, processes, organizational structures, culture, ethics, skills, and relationships and communication. The document notes that COBIT 5 is intended to help enterprises balance realizing benefits from IT while optimizing risk levels and resource use.
The document provides information about BPKP's internal participant selection process for 2010 and 2012. It includes the number of participants, pass rates, and other details like participant origins and time taken to pass exams. It shows that in 2010, 30 participants were selected with a 10% pass rate, while in 2012 there were 30 participants selected with a 10% pass rate as well.
1) The document discusses Enterprise Risk Management based on ISO 31000-2009. It outlines the ERM process which includes agreeing on context, risk assessment, risk treatment, and monitoring.
2) The risk assessment process involves risk identification, analysis, and evaluation. Key steps are identifying risks, analyzing causes and impacts, and prioritizing risks based on impact and likelihood.
3) Risk treatment options discussed are avoiding, exploiting, accepting, transferring, and mitigating risks. Ongoing monitoring ensures effectiveness of controls and responses to new and changing risks.
Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 7 Fase D Kurikulum Merdeka - [abdiera.com]Fathan Emran
Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 7 SMP/MTs Fase D Kurikulum Merdeka - abdiera.com. Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 7 SMP/MTs Fase D Kurikulum Merdeka. Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 7 SMP/MTs Fase D Kurikulum Merdeka. Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 7 SMP/MTs Fase D Kurikulum Merdeka. Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 7 SMP/MTs Fase D Kurikulum Merdeka. Modul Ajar Bahasa Indonesia Kelas 7 SMP/MTs Fase D Kurikulum Merdeka.
Teori Fungsionalisme Kulturalisasi Talcott Parsons (Dosen Pengampu : Khoirin ...nasrudienaulia
Dalam teori fungsionalisme kulturalisasi Talcott Parsons, konsep struktur sosial sangat erat hubungannya dengan kulturalisasi. Struktur sosial merujuk pada pola-pola hubungan sosial yang terorganisir dalam masyarakat, termasuk hierarki, peran, dan institusi yang mengatur interaksi antara individu. Hubungan antara konsep struktur sosial dan kulturalisasi dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Pola Interaksi Sosial: Struktur sosial menentukan pola interaksi sosial antara individu dalam masyarakat. Pola-pola ini dipengaruhi oleh norma-norma budaya yang diinternalisasi oleh anggota masyarakat melalui proses sosialisasi. Dengan demikian, struktur sosial dan kulturalisasi saling memengaruhi dalam membentuk cara individu berinteraksi dan berperilaku.
2. Distribusi Kekuasaan dan Otoritas: Struktur sosial menentukan distribusi kekuasaan dan otoritas dalam masyarakat. Nilai-nilai budaya yang dianut oleh masyarakat juga memengaruhi bagaimana kekuasaan dan otoritas didistribusikan dalam struktur sosial. Kulturalisasi memainkan peran dalam melegitimasi sistem kekuasaan yang ada melalui nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat.
3. Fungsi Sosial: Struktur sosial dan kulturalisasi saling terkait dalam menjalankan fungsi-fungsi sosial dalam masyarakat. Nilai-nilai budaya dan norma-norma yang terinternalisasi membentuk dasar bagi pelaksanaan fungsi-fungsi sosial yang diperlukan untuk menjaga keseimbangan dan stabilitas dalam masyarakat.
Dengan demikian, konsep struktur sosial dalam teori fungsionalisme kulturalisasi Parsons tidak dapat dipisahkan dari kulturalisasi karena keduanya saling berinteraksi dan saling memengaruhi dalam membentuk pola-pola hubungan sosial, distribusi kekuasaan, dan pelaksanaan fungsi-fungsi sosial dalam masyarakat.
Universitas Negeri Jakarta banyak melahirkan tokoh pendidikan yang memiliki pengaruh didunia pendidikan. Beberapa diantaranya ada didalam file presentasi
Workshop "CSR & Community Development (ISO 26000)"_di BALI, 26-28 Juni 2024Kanaidi ken
Dlm wktu dekat, Pelatihan/WORKSHOP ”CSR/TJSL & Community Development (ISO 26000)” akn diselenggarakan di Swiss-BelHotel – BALI (26-28 Juni 2024)...
Dgn materi yg mupuni & Narasumber yg kompeten...akn banyak manfaat dan keuntungan yg didpt mengikuti Pelatihan menarik ini.
Boleh jga info ini👆 utk dishare_kan lgi kpda tmn2 lain/sanak keluarga yg sekiranya membutuhkan training tsb.
Smga Bermanfaat
Thanks Ken Kanaidi
Paper ini bertujuan untuk menganalisis pencemaran udara akibat pabrik aspal. Analisis ini akan fokus pada emisi udara yang dihasilkan oleh pabrik aspal, dampak kesehatan dan lingkungan dari emisi tersebut, dan upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi pencemaran udara
Materi 2_Benahi Perencanaan dan Benahi Implementasi.pptx
Paper desentralisasi fiskal
1. DESENTRALISASI
FISKAL
Diploma IV Kurikulum Khusus BPKP
Kelas 8B
Aditya Wahyu Kusuma Wardana
Daniel Wawone Yunior Basar
Ivan Dwi Jatmiko
Restu Kurnia Natalia
Yusniar Yuliana Wardani
0
2. DESENTRALISASI FISKAL
A. PENGERTIAN DESENTRALISASI FISKAL
Desentralisasi merupakan sebuah instrumen untuk mencapai salah satu tujuan
bernegara, terutama memberikan pelayanan publik yang lebih baik dan menciptakan
proses pengambilan keputusan publik yang lebih demokratis. Dengan desentralisasi
akan terwujud pelimpahan wewenangan kepada tingkat pemerintahan yang lebih
rendah untuk melakukan pembelanjaan, kewenangan untuk memungut pajak (taxing
power), terbentuknya Dewan yang dipilih oleh rakyat, Kepala Daerah yang dipilih oleh
DPRD, dan adanya bantuan dalam bentuk transfer dari Pemerintah Pusat. Dorongan
desentralisasi yang terjadi di berbagai negara di dunia terutama di negara-negara
berkembang, dipengaruhi oleh beberapa faktor, misalnya, latar belakang atau
pengalaman suatu negara, peranannya dalam globalisasi dunia, kemunduran dalam
pembangunan ekonomi, tuntutan terhadap perubahan tingkat pelayanan masyarakat,
tanda-tanda adanya disintegrasi di beberapa negara, dan yang terakhir, respons
terhadap banyaknya kegagalan yang dialami oleh pemerintahan sentralistis dalam
memberikan pelayanan masyarakat yang efektif. Pada prinsipnya desentralisasi
bertujuan pada efisiensi sektor publik dalam produksi dan distribusi pelayanan,
meningkatkan kualitas pembuatan keputusan dengan menggunakan informasi lokal,
meningkatkan akuntabilitas dan meningkatkan kemampuan respon terhadap kebutuhan
dan kondisi lokal (Giannoni, 2002). Hal inilah yang mendorong desentralisasi
diserahkan dan dilaksanakan pemerintahan daerah yakni kabupaten/kota. Selain itu
menurut Silverman (1990) dalam laporan World Bank di Uganda (2005) menyatakan
bahwa pemerintah lokal lebih responsif terhadap warga negaranya dibanding
pemerintah pusat sehingga keputusan yang diambil lebih merefleksikan kebutuhan dan
keinginan rakyat. Desentralisasi akan membawa pemerintah lebih dekat dengan rakyat
dan mendorong mereka untuk lebih terlibat (Mills, 1994).
Desentralisasi fiskal, merupakan salah satu komponen utama dari desentralisasi.
Desentralisasi di Indonesia ditandai dengan adanya perubahan pola hubungan yang
terjadi antara pemerintah pusat dan daerah setelah diberlakukannya Undang-undang
(UU) Nomor 22 tahun 1999 dan UU Nomor 25 tahun 1999 yang kemudian UU tersebut
disempurnakan menjadi UU Nomor 32 tahun 2004 dan UU Nomor 33 tahun 2004.
1
3. Kebijakan awal yang dirumuskan dalam UU Nomor 22 dan Nomor 25 tahun 1999
antara Alokasi Umum (DAU) sebagai sumber pembiayaan berbagai urusan
pemerintahan yang telah didaerahkan, Dana Bagi Hasil (DBH) dari ekstraksi sumber
daya alam yang berada di daerah yang bersangkutan, dan diberikannya otoritas pajak
yang terbatas kepada pemerintah daerah. Selanjutnya, amandemen undang-undang
desentralisasi yang dilakukan pada tahun 2004 menitikberatkan kepada mekanisme
pemantauan oleh pemerintah pusat, dan perbaikan kepada pertanggungjawaban
pengeluaran pemerintah daerah (Brodjonegoro 2004). Di sisi fiskal, UU Nomor 33
tahun 2004 memperbesar basis bagi hasil pajak dari sumber daya alam yang dimiliki
daerah, maupun dari pajak tingkat nasional lainnya, dan perluasan total dana yang
menjadi sumber DAU.
Desentralisasi fiskal merupakan komponen utama dari desentralisasi karena
berkaitan langsung dengan hubungan fungsi penerimaan dan pengeluaran dana publik
antara tingkatan pemerintahan yang lebih tinggi dengan pemerintahan dibawahnya
(Muluk, 2006). Apabila pemerintah daerah melaksanakan fungsinya secara efektif dan
mendapat kebebasan dalam pengambilan keputusan pengeluaran di sektor publik,
maka mereka harus mendapat dukungan sumber-sumber keuangan yang memadai
(Siddik, 2002b). Kebijakan desentralisasi fiskal dapat meloloskan suatu negara dari
berbagai jebakan ketidak-efisienan, ketidak-efektifan pemerintahan, ketidak-stabilan
makro ekonomi, dan ketidak-cukupan pertumbuhan ekonomi.
Desentralisasi fiskal juga dimaksudkan untuk perbaikan efisiensi ekonomi, efisiensi
biaya, perbaikan akuntabilitas dan peningkatan mobilitas dana (Bird dan Vailancourt,
2000), serta berbagi beban keuangan dengan kawasan dan kota (Todaro dan Smith,
2004). Kebijakan desentralisasi fiskal juga dapat menjadi daya saing suatu daerah jika
dibandingkan dengan daerah lain, suatu daerah dapat menawarkan paket pajak dan
pelayanan publik yang terbaik dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui
pilihan publik (Stoker, 1991; Grofman, 2002; Feld e al. 2004).
Desentralisasi fiskal yang ada di Indonesia adalah desentralisasi fiskal di sisi
pengeluaran yang didanai terutama melalui transfer ke daerah maka esensi otonomi
pengelolaan
fiskal
daerah
membelanjakan dana
dititikberatkan
sesuai kebutuhan
pada
diskresi
(kebebasan)
untuk
dan prioritas masingmasing daerah.
Pelaksanaan desentralisasi fiskal akan berjalan dengan baik dengan berpedoman
kepada :
2
4. 1. Adanya Pemerintah Pusat yang kapabel dalam melakukan pengawasan dan
enforcement;
2. Terdapat
keseimbangan
antara
akuntabilitas
dan
kewenangan
dalam
melakukan pungutan pajak dan retribusi Daerah.
Kebijakan desentralisasi sistem perpajakan yang termasuk dalam kebijakan
desentralisasi fiskal diterapkan di Indonesia mulai tahun 2001. Sebelumnya selama 30
tahun lebih Indonesia merupakan salah satu negara yang sangat sentralistik. Kebijakan
ini tertuang dalam bentuk perundang-undangan yang mengatur perimbangan keuangan
antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, dan perundangan tentang pajak
dan retribusi daerah. Perimbangan keuangan mengatur tentang bagi hasil pajak dan
sumber daya alam serta dana transfer dari pemerintah pusat kepada pemerintah
daerah. Perundangan pajak dan retribusi daerah mengatur jenis pajak yang menjadi
kewenangan pemerintah daerah untuk memungutnya.
Pelaksanaan Undang-undang Nomor 22 dan 25 Tahun 1999 telah menyebabkan
perubahan yang sangat mendasar mengenai pengaturan hubungan Pusat dan Daerah,
khususnya dalam bidang administrasi pemerintahan maupun dalam hubungan
keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, yang dalam banyak literatur disebut
intergovernment fiscal relation yang dalam UU Nomor 25 tahun 1999 disebut
perimbangan keuangan. Sesuai Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, Daerah
diberikan kewenangan untuk menyelenggarakan seluruh fungsi pemerintahan, kecuali
kewenangan pemerintahan dalam bidang pertahanan keamanan, politik luar negeri,
fiskal dan moneter, peradilan, agama, dan adminsitrasi pemerintahan yang bersifat
strategis. Dengan pembagian kewenangan/fungsi tersebut pelaksanaan pemerintahan
di Daerah dilaksanakan berdasarkan asas desentralisasi, asas dekonsentrasi dan
tugas pembantuan.
Implikasi langsung dari kewenangan/fungsi yang diserahkan kepada Daerah sesuai
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 adalah kebutuhan dana yang cukup besar.
Untuk itu, telah diatur hubungan keuangan antara Pusat dan Daerah yang
dimaksudkan
untuk
membiayai
pelaksanaan
fungsi
yang
menjadi
kewenangannya.Kebijakan desentralisasi fiskal di Indonesia diatur dengan UU Nomor
22 dan UU Nomor 25 Tahun 1999 serta UU-APBN. Menurut UU Nomor 22 dan 25
Tahun 1999 ini, perimbangan keuangan Pusat dan Daerah dalam rangka pelaksanaan
desentralisasi fiskal mengandung pengertian bahwa kepada Daerah diberikan
kewenangan untuk memanfaatkan sumber keuangan sendiri dan didukung dengan
3
5. perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah. Sumber-sumber pembiayaan
Daerah yang utama dalam rangka pelaksanaan desentralisasi fiskal meliputi:
Pendapatan Asli Daerah
Salah satu wujud dari pelaksanaan desentralisasi fiskal adalah pemberian sumbersumber penerimaan bagi daerah yang dapat digali dan digunakan sendiri sesuai
dengan potensinya masing-masing. Kewenangan Daerah untuk memungut pajak dan
retribusi diatur dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 yang merupakan
penyempurnaan dari Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 dan ditindaklanjuti
peraturan pelaksanaannya dengan PP Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah
dan PP Nomor 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah. Berdasarkan UU dan PP
tersebut, Daerah diberikan kewenangan untuk memungut 11 jenis pajak dan 28 jenis
retribusi. Penetapan jenis pajak dan retribusi tersebut didasarkan pertimbangan bahwa
jenis pajak dan retribusi tersebut secara umum dipungut di hampir semua Daerah dan
merupakan jenis pungutan yang secara teoritis dan praktek merupakan jenis pungutan
yang baik. Selain jenis pajak dan retribusi tersebut, Daerah juga diberikan kewenangan
untuk memungut jenis pajak (kecuali untuk Provinsi) dan retribusi lainnya sesuai
kriteria-kriteria tertentu yang ditetapkan dalam undang-undang .
Dana Perimbangan
Bagian Daerah dalam bentuk bagi hasil penerimaan (Revenue Sharing)
Untuk menambah pendapatan Daerah dalam rangka pembiayaan pelaksanaan
fungsi yang menjadi kewenangannya dilakukan dengan pola bagi hasil penerimaan
pajak dan bukan pajak (SDA) antara Pusat dan Daerah. Selanjutnya berdasarkan
Undang-undang PPh Nomor 17 Tahun 2000, mulai TA 2001 Daerah memperoleh bagi
hasil dari Pajak Penghasilan (PPh) orang pribadi (personal income tax), yaitu PPh
Pasal 21 serta PPh Pasal 25/29 Orang Pribadi. Ditetapkannya PPh Perorangan
sebagai objek bagi hasil dimaksudkan sebagai kompensasi dan penyelaras bagi
Daerah-daerah yang tidak memiliki SDA tetapi memberikan kontribusi yang besar bagi
penerimaan negara (APBN).
1. Dana Alokasi Umum
Untuk mengurangi ketimpangan dalam kebutuhan pembiayaan dan penguasaan
pajak antara Pusat dan Daerah telah diatasi dengan adanya perimbangan keuangan
antara Pusat dan Daerah (dengan kebijakan bagi hasil dan DAU minimal sebesar 25%
4
6. dari Penerimaan Dalam Negeri). Dengan perimbangan tersebut, khususnya dari DAU
akan memberikan kepastian bagi Daerah dalam memperoleh sumber-sumber
pembiayaan
untuk
membiayai
kebutuhan
pengeluaran
yang
menjadi
tanggungjawabnya.
Sesuai dengan UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Daerah bahwa kebutuhan DAU oleh suatu Daerah (Provinsi,
Kabupaten, dan Kota) ditentukan dengan menggunakan pendekatan konsep Fiscal
Gap, dimana kebutuhan DAU suatu Daerah ditentukan atas kebutuhan Daerah (fiscal
needs) dengan potensi Daerah (fiscal capacity). Dengan pengertian lain, DAU
digunakan untuk menutup celah yang terjadi karena kebutuhan Daerah melebihi dari
potensi penerimaan Daerah yang ada. Berdasarkan konsep fiscal gap tersebut,
distribusi DAU kepada daerah-daerah yang memiliki kemampuan relatif besar akan
lebih kecil dan sebaliknya daerah-daerah yang mempunyai kemampuan keuangan
relatif kecil akan memperoleh DAU yang relatif besar. Dengan konsep ini sebenarnya
daerah yang fiscal capacitynya lebih besar dari fiscal needs hitungan DAUnya akan
negatif. Kebutuhan Daerah paling sedikit dicerminkan dari variabel jumlah penduduk,
luas wilayah, keadaan geografi, dan tingkat pendapatan masyarakat dengan
memperhatikan kelompok masyarakat miskin. Sementara potensi ekonomi Daerah
dicerminkan dengan potensi penerimaan Daerah seperti potensi industri, potensi SDA,
potensi SDM, dan PDRB. Untuk menghindari kemungkinan penurunan kemampuan
Daerah dalam membiayai beban pengeluaran yang sudah menjadi tanggung jawabnya,
maka
perhitungan
DAU
disamping
menggunakan
formula
Fiscal
Gap
juga
menggunakan Faktor Penyeimbang (sesuai PP Nomor 104 tentang Dana Perimbangan
sebagaimana telah direvisi dengan PP Nomor 84 Tahun 2001). Dengan adanya Faktor
Penyeimbang, alokasi DAU kepada Daerah ditentukan dengan perhitungan formula
Fiscal Gap dan Faktor Penyeimbang.
2. Dana Alokasi Khusus
Pada hakikatnya pengertian Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah dana yang berasal
dari APBN, yang dialokasikan kepada Daerah untuk membantu membiayai kebutuhan
khusus. Pengalokasian DAK ditentukan dengan memperhatikan tersedianya dana
dalam APBN. Sesuai dengan UU Nomor 25 Tahun 1999, yang dimaksud dengan
kebutuhan khusus adalah (i) kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan dengan
menggunakan rumus alokasi umum, dalam pengertian kebutuhan yang tidak sama
dengan kebutuhan Daerah lain, misalnya: kebutuhan di kawasan transmigrasi,
5
7. kebutuhan beberapa jenis investasi/prasarana baru, pembangunan jalan di kawasan
terpencil, saluran irigasi primer, dan saluran drainase primer; dan (ii) kebutuhan yang
merupakan komitmen atau prioritas nasional.
Pinjaman Daerah
Untuk membiayai kebutuhan Daerah berkaitan dengan penyediaan prasarana yang
dapat menghasilkan (pengeluaran modal), Daerah juga dapat melakukan pinjaman baik
dari dalam negeri (Pusat dan Lembaga Keuangan) maupun dari luar negeri dengan
persetujuan Pusat.
B. TUJUAN DESENTRALISASI FISKAL
Pada dasarnya desentralisasi fiskal menurut kedua UU ini bertujuan untuk :
1. Kesinambungan kebijaksanaan fiskal (Fiscal Sustainability) dalam konteks
kebijaksanaan ekonomi makro.
2. Mengoreksi vertical imbalance, yaitu untuk memperkecil ketimpangan yang
terjadi antara keuangan Pemerintah Pusat dan keuangan Daerah yang
dilakukan dengan memperbesar taxing power Daerah
Kebijaksanaan untuk mengatasi kesenjangan fiskal antar Daerah (horizontal
imbalance) dilakukan dengan transfer dana dari Pemerintah Pusat kepada Daerah
melalui konsep Fiscal Gap yaitu kebutuhan Daerah (kebutuhan fiskal) dibandingkan
dengan potensi Daerah (kapasitas fiskal), dimana kebutuhan Daerah yang melebihi
kapasitas fiskalnya akan ditutup dengan transfer dana dari Pemerintah Pusat. Dalam
konteks ini, tranfer dana melalui DAU akan dapat mengkoreksi kesenjangan horizontal
dengan meningkatkan kemampuan/kapasitas fiscal Daerah. Tanpa transfer DAU,
kapasitas fiskal Daerah tidak dapat memenuhi kebutuhannya. DAU yang disalurkan
kepada Provinsi dan Kabupaten/Kota telah dapat meningkatkan kemampuan kapasitas
fiskal Daerah meskipun peningkatan kapasitas fiskal tersebut adalah berasal dari
transfer Pemerintah Pusat melalui DAU.
Adapun tujuan desentralisasi fiskal menurut Grand Design Desentralisasi Fiskal
yang diteritkan oleh Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan adalah sebagai
berikut:
1. Ketimpangan vertikal dan horizontal yang minimum
DAU harus mampu mengatasi ketimpangan horizontal yang sampai saat ini
masih cukup tinggi, sebagai akibat adanya kebijakan-kebijakan yang justru
6
8. mendistorsi formulasi DAU untuk mencapai tujuan tersebut, seperti
holdharmless policy dan penggunaan belanja pegawai sebagai variabel.
Penilaian kebutuhan fiskal dalam formulasi DAU tidak lagi menggunakan
proxy, namun telah menggunakan alat ukur yang lebih mencerminkan
kebutuhan riil tiap-tiap daerah.
Penghitungan DAU dilakukan oleh lembaga yang independen yang terlepas
dari berbagai macam kepentingan politik. Pembagian DAU bukan dari
kepentingan politik tetapi kepentingan daerah dalam pengertian yang
sebenarnya yaitu kepentingan pemenuhan kebutuhan pelayanan minimum.
menjadi suatu urgensi bagi Indonesia untuk merumuskan kembali peran dari
dana alokasi khusus (DAK) dalam mekanisme dana perimbangan. Arah
yang benar adalah bahwa DAK menjadi instrumen utama dalam rangka
mendorong pembangunan daerah untuk memenuhi berbagai prioritas
pembangunan nasional. Oleh karena itu, besarnya alokasi DAK seyogyanya
meningkat secara signifikan. Bila porsi DAK dalam dana perimbangan saat
ini hanya sekitar 8,05%, maka di masa mendatang, untuk dapat menjadi
alokasi DAK yang efektif bagi pemenuhan prioritas nasional, diharapkan
dapat meningkat porsinya menjadi setidak-tidaknya 30% terhadap total dana
perimbangan.
Diharapkan di masa yang akan datang akan dapat didesain suatu sistem
bagi hasil yang lebih sederhana. Meskipun demikian, DBH harus tetap
mengemban fungsinya untuk mengurangi ketidakseimbangan vertikal
dengan tetap menjaga kesinambungan fiskal nasional.
2. Pendapatan dan pembiayaan yang efisien dan efektif
Jika Indonesia ingin menuju desentralisasi fiskal dengan penguatan
kapasitas daerah, maka penguatan pajak daerah adalah suatu syarat penting
yang harus dilaksanakan. Penguatan pajak daerah ini tidak berarti memberikan
sumber fiskal tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap daerah dan
nasional, melainkan melalui penelahaan beberapa faktor dengan mengacu
pada prinsip efisiensi dan efektivitas.
3. Siklus dan proses belanja daerah yang efisien dan efektif
Siklus dan proses belanja daerah dapat semakin ditingkatkan efisiensi dan
efektifitasnya, dalam hal teknis administrasi dan kualitas penganggaran. Terkait
7
9. dengan teknis administrasi, proses belanja daerah diupayakan 1) tercapainya
siklus anggaran yang tepat waktu; 2) cakupan rencana kerja dari dokumen
pelaksanaan anggaran (DPA) tidak hanya menggambarkan kebijakan umum
pemerintah daerah tetapi juga sudah mencakup detail program yang
komprehensif termasuk dalam hal estimasi pembiayaannya; serta 3) penetapan
mekanisme penyaluran dan administrasi dana tersisa (SILPA) yang juga
dikaitkan dengan perubahan rencana kerja agar penyesuaian antara APBD dan
realisasi budget dapat menghilangkan pemborosan pengeluaran dan juga
untuk menjaga keberlanjutan dari suatu program pembangunan (program
pemerintah).
4. Harmonisasi belanja pusat dan daerah
Satu hal yang pasti diharapkan akan terjadi dalam masa yang akan datang
adalah agar sinkronisasi dan koordinasi antar unit dan antar tingkatan
pemerintahan tidak lagi menjadi ”barang mewah” yang sulit untuk diperoleh.
Sinkronisasi dan koordinasi antar unit dan antar tingkatan, terutama dalam
program-program dan kegiatannya, haruslah diwujudkan melalui sistem
perencanaan nasional yang mendukungnya. Sistem tersebut harus mempunyai
alat atau regulasi untuk menjamin kepastian dan kejelasan pembagian urusan
di antara berbagai tingkatan, sehingga tidak lagi terjadi tumpang tindih belanja
antar unit dan antar tingkatan.
C. Desentralisasi Fiskal dan Perubahan Kebijakan (1974-2004)
1.
Konsolidasi Orde Baru: Konteks Politik Kebijakan Fiskal
Peran militer menjadi sebuar ciri yang menonjol dari rezim Orde Baru. Dalam
beberapa hal, keterlibatan militer dalam urusan-urusan sosial dan ekonomi
memang menbuat proses pembuatan keputusan menjadi efektif dan efisien.
Keputusan-keputusan strategis dalam birokrasi publik tidak membutuhkan
proses yang berbelit-belit melalui adu argumentasi. Namun demikian, terdapat
bukti bahwa keterlibatan militer dalam kegiatan nonmiliter juga menyebabkan
meluasnya penyalahgunaan. Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM)
juga melaporkan bahwa para investor mengeluhkan banyaknya meja yang
harus dilalui untuk memperoleh izin usaha, dan mengungkapkan bahwa mejameja tersebut kebanyakan dikendalikan oleh para perwira militer.
8
10. Dari segi pendapatan, sebagian besar pendapatan nasional dari minyak dan
komoditas lain dikuasai oleh pemerintah pusat. Juga, banyak sumber
pendapatan yang dikumpulkan oleh berbagai departemen pusat, seperti Dana
Cess yang dikumpulkan oleh kantor Daerah Departemen Dalam Negeri,
pungutan izin kehutanan yang dikumpulkan Departemen Pertanian dan
Kehutanan. Sejumlah kecil presentase mungkin diberikan kepada kantor-kantor
di provinsi dan kabupaten, tetapi tampaknya tidak tersedia statistik yang dapat
diandalkan mengenai besarnya.
2. Legislasi 1974 dan Menguatnya Kontrol Politik
Prinsip ”swatantra riil seluas-luasnya” bisa mengungkap masalah karena
tidak mengakui adanya pembatasan kewenangan daerah. Selain itu struktur
yang hierarkis dalam UU No. 18/1965 tidak memberi peluang bagi pemerintah
pusat untuk melakukan ”pembinaan” kepada pemerintah daerah hingga ke
jenjang yang paling rendah. Pemerintah pusat harus menggenggam kontrol
terhadap daerah-daerah sehingga sentralisasi pemerintah harus dilakukan.
Kurangnya ketetapan tentang hal-hal keuangan memperlihatkan bahwa
pemerintah lebih memilih melanjutkan sistem sentralistis dan tidak berniat
menyelesaikan
masalah-masalah
dalam
hubungan
fiskal
antarjenjang
pemerintahan. Dalam hal ini hanya ditetapkan bahwa sumber-sumber lainnya
penerimaan pemerintah daerah adalah Pendapatan Asli Daerah (PAD), subsidi,
dan sumber-sumber lainnya yang sah, dan bahkan pelaksanaannya akan diatur
dalam peraturan pemerintah dan peraturan-peraturan lain yang lebih rendah.
Dalam pasal 56 dinyatakan bahwa perimbangan keuangan antara pemerintah
pusat dengan pemenrintah daerah akan diatur dalam undang-undang yang
terpisah. Tidak ada rincian lebih lanjut tentang hubungan-hubungan fiskal
horizontal maupun vertical di antara jenjang pemerintahan yang berbeda. Satusatunya landasan legal bagi hubungan fiskal antarjenjang pemerintahan yang
diratifikasi pada masa Orde Lama di bawah Soekarno, maka dapat dipahami
bahwa kebijakan Orde Baru dalam persoalan ini didasarkan pada kekuasaan
diskresi pemerintah pusat.
Sebagai akibat dari kontrol dan sentralisasi yang sistematis melalui
pelaksana UU No. 5/1974 dan undang-undang lain yang mengikutinya,
pemerintah muncul sebagai satu-satunya aktor dalam semua urusan yang
bersifat ekomomi dan politik. Pada saat yang sama, lembaga legislatif sebagian
9
11. besar menjadi tidak aktif. Para elit politik mulai kuatir bahwa DPRD menjadi
makin bebal dan tidak responsif terhadap kebutuhan lokal. Karena kecewa
dengan kinerja DPRD, banyak di antara unsur masyarakat lokal yang kemudian
menyampaikan keluhan-keluhan langsung ke parlemen pusat (DPR). Meskipun
unsur-unsur itu tidak menggelar demokrasi atau perlawanan massal, DPR
makin kewalahan dengan banyaknya keluhan tentag masalah-masalah
kedaerahan.
3. Sentralisasi Fiskal dalam Pelaksanaannya
Pemerintah Orde Baru bergerak cepat dengan proyek-proyek pembangunan
di seluruh tanah air. Proyek pembangunan masif itu hanya mungkin terwujud
apabila pemerintah memegang kontrol politik yang ketat serta sumber daya
yang cukup. Ada dua sumber daya kunci yang dimobilisasi pemerintah Orde
Baru dalam mendanai pembangunan di daerah, yaitu : penerimaan minyak dan
utang luar negeri. Ketika tiba-tiba pendapatan minyak melorot pada awal tahun
1980-an, pemerintah menambah lagi utang luar negeri dan menerapkan
beberapa kebijakan baru di bidang perpajakan.
Dalam susunan pemerintah pusat, sebenarnya tidak ada lembaga atau
instansi yang secara khusus ditugaskan untuk melaksanakan program-program
inpres. Namun dapat diketahui bahwa kebanyakan tanggung jawab di tingkat
nasional berada pada Departemen Dalam Negeri, Departemen Keuangan, dan
Bappenas. Praktek yang dilakukan dalam penyusunan program Inpres adalah
dengan menyusun tim antar-Departemen yang anggota-anggotanya diambil
dari Departemen Dalam Negeri, Departemen Keuangan, dan Bappenas,
Departemen Pekerjaan Umum, Bank rakyat Indonesia, serta instansi-instansi
dari Departemen lainnya, tergantung pada jenis proyek yang hendak
dilaksanakan.
Sangat disayangkan bahwa semakin banyak pemerintah pusat meluncurkan
program-program Inpres baru, semakin kecil bukti bahwa program-program itu
mampu menjawab kebutuhan daerah. Di sebuah kabupaten, bisa terjadi bahwa
terlalu banyak jalan yang dibangun, namun sesungguhnya rakyat lebih
membutuhkan sebuah jembatan sebagai sarana penghubung.
4. Mengakomodasi gagasan baru
Praktik pelaksanaan dari konsep subsidiaritas di Indonesia tidak sesuai
dengan makna sebenarnya. Sepanjang masa pemerintahan Orde Baru,
10
12. desentralisasi dipahami sebagai pendelegasian tanggung jawab administratif
kepada para pejabat daerah (decentralised management) dan bukannya
penyerahan kekuasaan untuk membuat keputusan kepada para wakil rakyat
yang sudah dipilih rakyat. Dengan kata lain, sebagian besar pejabat daerah
dan juga rakyat biasa, melihat bahwa desentralisasi adalah soal pelaksanaan
kegiatan dan pemberian pelayanan publik di tingkat daerah, tetapi bukan soal
pengalihan kekuasaan politik kepada para pejabat daerah.
Namun
dengan
begitu
banyaknya
proyek
pemerintah
pusat
yang
dilaksanakan di daerah, tidak banyak keluhan yang dungkapkan oleh para
pejabat daerah berkenaan dengan peran mereka yang terbatas dalam
pengganggran. Kasus-kasus perlawanan yang kuat hanya sebatas pada
pemilihan kepala daerah. Hingga awal tahun 1990-an, pemerintah provinsi dan
pemerintah lokal tidak banyak menyampaikan keluhan mengenai aspek-aspek
finansial seperti pajak daerah, perimbangan keuangan, atau sempitnya
kekuasaan diskresi bagi pembangunan yang partisipatif. Pemerintah Pusat
agaknya juga cukup percaya diri dalam mengatasi perlawanan di tingkat
provinsi.
Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1992 menetapkan agar pejabat
pemerintah pusat menyerahkan sejumlah tanggung jawab untuk melaksanakan
urusan pelayanan publik kepada daerah Tingkat II. Gagasan yang hendak
diwujudkan adalah ”asas desentralisasi” di Tingkat II dan menerapkan ”asas
Dekonsentrasi” di tingkat I. Namun demikian, peraturan pemerintah ini tidak
bisa mencapai tujuannya. Sebagian besar pemerintah provinsi tidak bersedia
menyerahkan kekuasaan finansial kepada pemerintah lokal sedangkan pjabatpejabat pemerintah pusat hanya mendorong desentralisasi dengan setengah
hati.
5. Legislasi 1999
Krisis moneter dan ambruknya ekonomi memicu perlawanan terhadap
pemerintahan Orde Baru di bawah Soeharto pada awa tahun 1998. Tidak
banyak terjadi pertentangan mengenai RUU pemerintah daerah karena
sebagian besar pendapat menerucut pada kebutuhan untuk melakukan
desentralisasi. Dalam tempo dua bulan, UU No. 22 Tahun 1999 disahkan
dengan perubahan yang sangat sedikit dibanding rancanga asli dari Depdagri.
11
13. UU No. 25 Tahun 1999 mengenai hubungan fiskal antara pemerintah pusat
dengan pemerintah daerah di bahas tengah desakan bertubi-tubi dari daerah
yang kaya sumber daya alam. Mungkin karena itulah rumus-rumus yang
akhirnya dituangkan dalam undang-undang ini tidak menunjukkan keterkaitan
yang erat dengan kebutuhan fiskal yang sesungguhnya di banyak provinsi dan
kabupaten/kota. Ketentuan paling penting dalam UU No. 25 Tahun 1999 adalah
: (1) bahwa sekurang-kurangnya 25% dari pendapatan dalam negeri harus
dialokasikan ke daerah, di mana dari seluruh totalnya 10% harus dialokasikan
ke provinsi dan 90% ke kabupaten kota, (2) dihapusnya SDO dan bantuan
Inpres yang selanjutnya keduanya digabung menjadi Dana Alokasi Umum
(DAU) yang didasarkan pada rumus transfer tertentu, (3) Dana Alokasi Khusus
(DAK) diberikan kepada daerah berdasarkan kebutuhan pembangunan
mereka, dan (4) peningkatan cukup besar dari bagian daerah atas pendapatan
dari minyak bumi (15%) dan gas alam (30%). Semua ketentuan dalam
perundangan tahun 1999 ini akan berlaku efektif dalam waktu dua tahun
setelah disahkan.
Undang-undang baru tahun 1999 itu menciptakan sosok baru mengenai
hubungan fiskal antarjenjang pemerintah. Di dalamnya terkandung banyak
terobosan, tetapi ternyata terdapat ketentuan-ketentuan yang tidak jelas dan
berbagai
kelemahan.
Tidak
adanya
ketentuan
mengenai
mekanisme
akuntabilitas dan pengembangan kapasitas administratif di tingkat daerah juga
merupakan kendala serius yang akhirnya tetap menghambat pelaksanaan
kebijakan desentralisasi fiskal di tanah air.
6. Pelaksanaan Desentralisasi di Tengah Kemelut Politik
Menyangkut hubungan antarjenjang pemerintah tampaknya banyak aspek
hubungan fiskal pada masa-masa awal pelaksanaan perundangan tahun 1999
yang terpengaruh oleh sistem lama. Jika DAU dapat diasosialisasikan dengan
alokasi SDO dalam sistem sebelumnya, DAK dapat dipandang sebagai
metamorfosis dari bantuan-bantuan Inpres masa Pemerintahan Orde Baru.
Karena pemerintah daerah tidak diberi kewenangan untuk merencanakan
sumber daya manusianya sendiri, termasuk kemungkinan merampingkan staf
agar lebih efisien, maka porsi yang sangat besar dari DAU terserap untuk
membayar gaji pegawai. Pada saat yang sama, karena pemerintah pusat
masih menghadapi kendala anggaran karena krisis ekonomi dan karena
12
14. pendapatan minyak dan gas bumi yang telah ”didaerahkan”, maka besarnya
DAK bagi kebanyakan kabupaten/kota di seluruh Indonesia juga terbatas.
Di tingkat daerah, terdapat kecenderungan bahwa kebijakan desentralisasi
fiskal disandera oleh para elit politik sehingga tujua utama dari kebijakan
tersebut tidak bisa dicapai. Politik uang, birokrasi yang membelanjakan dana
publik untuk dirinya sendiri, serta penyalahgunaan kekuasaan politik dan
finansial justru semakin merebak karena kurangnya sistem akuntabilitas yang
terlembaga. Namun, desentralisasi fiskal dilaksanakan di tengah kemelut politik
dan ekonomi dan menghadap berbagai persoalan serius, tidak mungkin lagi
untuk berbalik arah.
7. Penyesuaian Kebijakan Desentralisasi : Legislasi 2004
Undang-undang tahun 2004 mengenai pemerintah daerah mengembalikan
hubungan hierarkhi antara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten kota
serta memuat ketentuan rinci mengenai pemilihan kepala daerah. Akan tetapi,
menyangkut hubungan fiskal antarjenjang pemerintahan, hanya terdapat
perubahan-perubahan kecil. UU No. 33/2004 sedikit menaikkan presentase
pendapatan negara yang akan dialokasikan kepada pemerintah daerah melalui
DAU serta presentase pembagian pendapatan dari minyak, serta menetapkan
pembagian pendapatan dari gas bumi yang lebih jelas. Sebuah sistem bantuan
kerja sama (matching grants) ditetapkan dengan ketentuan mengenai dana
penyertaan untuk alokasi DAK. Namun secara keseluruhan ketentuan
mengenai pembagian pajak antarjenjang pemerintahan masih tetap sama
dengan undang-undang sebelumnya. Kebijakan desentralisasi fiskal akan tetap
dipengaruhi oleh negoisasi-negoisasi politik di antara jenjang pemerintahan yan
berbada.
D. BELAJAR DARI PRAKTEK INTERNASIONAL
1. Jenis Transfer yang Harus Dihindari
Para pembuat kebijakan harus menghindari merancang Intergovernmental
Grants jenis berikut:
1) Hibah dengan tujuan ditentukan yang tersamar.
2) Program pembagian pendapatan umum dengan beberapa faktor yang
bekerja di lintas tujuan, melemahkan akuntabilitas, dan tidak memajukan
efisiensi fiskal atau tujuan ekuitas fiskal. Desentralisasi pajak atau tax-base
13
15. sharing menawarkan alternatif yang lebih baik untuk program pembagian
pendapatan umum, karena mereka meningkatkan akuntabilitas sambil
menjaga otonomi daerah.
3) Hibah untuk membiayai defisit subnasional, yang menciptakan insentif
untuk menjalankan defisit yang lebih tinggi di masa depan.
4) Hibah
tanpa
syarat
yang
mencakup
insentif
untuk upaya fiskal.
Meningkatkan pelayanan sekaligus menurunkan biaya pajak seharusnya
menjadi tujuan sektor publik.
5) Input- (or process-) based atau ad hoc conditional grant programs, yang
melemahkan otonomi daerah, fleksibilitas, efisiensi fiskal dan tujuan ekuitas
fiskal.
6) Hibah modal tanpa jaminan dana untuk pemeliharaan masa depan, yang
memiliki potensi untuk menciptakan white elephants.
7) Negosiasi hibah atau kebijaksanaan dalam sistem federal, yang dapat
menciptakan pertikaian dan perpecahan.
8) One size fits all grants kepada pemerintah daerah, yang menciptakan
ketidakadilan yang besar.
9) Hibah yang melibatkan perubahan mendadak di total pool dan alokasinya.
2. Prinsip yang dapat diadopsi
Para pembuat kebijakan harus berusaha untuk menghormati prinsip-prinsip
berikut dalam merancang dan melaksanakan transfer antar pemerintah:
1) Keep it simple. Dalam desain transfer fiskal, keadilan kasar mungkin lebih
baik daripada penuh keadilan, jika mencapai penerimaan yang lebih luas
dan keberlanjutan.
2) Fokus pada satu tujuan dalam program hibah dan membuat desain sesuai
dengan tujuan tersebut. Menetapkan beberapa tujuan dalam program hibah
tunggal menghadapi risiko gagal untuk mencapai salah satu dari tujuan
tersebut.
3) Perkenalkan ceiling (terkait dengan indikator makro) dan floor untuk
memastikan stabilitas dan prediktabilitas dalam dana hibah.
4) Memperkenalkan sunset clause. Sangat diharapkan program hibah ditinjau
secara berkala - katakan, setiap lima tahun dan diperpanjang (jika sesuai).
Dalam tahun-tahun, tidak ada perubahan pada program harus dilakukan,
14
16. dalam rangka memberikan kepastian dalam pemrograman anggaran untuk
semua pemerintah.
5) Menyamakan kapasitas fiskal per kapita dengan standar yang ditetapkan
dalam rangka mencapai pemerataan fiskal. Standar tersebut akan
menentukan total pool dan alokasi antar unit penerima. Perhitungan yang
diperlukan untuk penyetaraan kapasitas fiskal menggunakan sistem pajak
representatif untuk dasar pengenaan pajak utama dapat dilakukan untuk
sebagian besar negara. Sebaliknya, pengeluaran perlu pemerataan
memerlukan analisis yang sulit dan kompleks, mengundang banyak
kontroversi dan perdebatan.
6) Dalam program hibah spesifik tujuan, memberlakukan persyaratan pada
output atau standar akses dan kualitas pelayanan bukan pada input dan
proses. Hal ini memungkinkan pemberi untuk mencapai tujuan mereka
tanpa merusak pilihan lokal tentang cara terbaik untuk memberikan layanan
tersebut. Sebagian besar negara harus menetapkan standar minimum
nasional pelayanan dasar di seluruh bangsa untuk memperkuat pasar
umum internal dan serikat ekonomi.
7) Kenali ukuran populasi, wilayah yang dilayani, dan sifat perkotaan /
pedesaan
dalam pemberian
jasa untuk pemberian
hibah kepada
pemerintah daerah. Menetapkan alokasi rumus yang terpisah untuk setiap
jenis pemerintah kota atau daerah.
8) Menetapkan hal yang tidak berbahaya
atau menyusun ketentuan yang
memastikan bahwa pemerintah menerima setidaknya transfer untuk tujuan
umum dalam periode sebelum reformasi. Seiring waktu, ketika ekonomi
tumbuh, ketentuan tersebut tidak akan menunda tahap dari reformasi
penuh.
9) Memastikan bahwa semua pemangku kepentingan didengar dan bahwa
politik sesuai dengan prinsip dan standar pemerataan. Politik harus
diinternalisasidalam pengaturan kelembagaan. Arms-length institutions,
misal independent grant commissions tidak banyak membantu karena tidak
memungkinkan adanya pengaruh politik dan karena itu cenderung untuk
memilih solusi yang kompleks dan tidak transparan.
15
17. 3. Principles and Better Practices in Grant Design
Grant objective
Bridge fiscal gap
Grand Design
Examples of better
Examples of practices to
practices
avoid
Reassignment of
Pengurangan pajak dan
Deficit grants, wage grants
responsibilities,
tax-base sharing (Kanada)
(China)
tax abatement,
Tax by tax sharing (China,
tax-base sharing
India)
Reduce regional
General
Fiscal equalization with
General revenue sharing
fiscal disparities
nonmatching
explicit standard that
with multiple factors
fiscal capacity
determines total pool as
(Brazil and India); fiscal
equalization
well as allocation
equalization with a fixed
transfers
(Canada, Denmark, and
pool (Australia, China)
Germany)
Compensate for
Open-ended
Grant for teaching
Closed-ended matching
benefit spillovers
matching
hospitals (South Africa)
grants
transfers Grant
with matching
rate consistent
with spill-out of
benefits
Set national
Conditional
Road maintenance and
Conditional transfers with
minimum
nonmatching
primary education grants
conditions on spending
standards
output-based
(Indonesia before 2000)
alone (most countries),
block transfers
with conditions on
standards of
service and access
Education transfers
(Brazil, Chile, Colombia)
Health transfers (Brazil,
Canada)
pork barrel transfers (e.g.,
United States federal
US$200 million transfer to
Alaska in 2006 for “a
bridge to nowhere”), ad
hoc grants
Conditional capital Capital grant for school
Capital grants with no
grants with
construction (Indonesia
matching and no future
matching rate that
before 2000), highway
upkeep requirements
varies inversely
construction matching
with local fiscal
grants to states (United
capacity
States)
16
18. Influence local
Open-ended
Matching transfers for
priorities in areas
matching
social assistance (Canada
of high national
transfers
before 2004)
but low local
(preferably with
priority
Ad hoc grant
matching rate
varying inversely
with fiscal
capacity)
Provide
Capital grants,
Capital grants with
Stabilization grants with
stabilization and
provided
matching rates that vary
no future upkeep
overcome
maintenance
inversely with local fiscal
requirements
infrastructure
possible
capacity
deficiencies
E. KONDISI dan PERMASALAHAN DESENTRALISASI FISKAL DI NDONESIA
Dari pelaksanaan desentralisasi fiscal yang dimulai dari tahun 2001, kondisi yang
dihadapi oleh pemerintah Indonesia secara garis besar dapat dikategorikan menjadi 4
macam yaitu :
1. Ketimpangan Vertikal dan Horizontal secara minimum
1) DAU
Dalam UU No.33/2004 telah dinyatakan dengan tegas bahwa DAU
dibagikan dengan formula yang didasarkan atas alokasi dasar dan
kesenjangan
fiskal
(fiscal
gap).
Alokasi
dasar
ditetapkan
terutama
berdasarkan besarnya belanja pegawai, sedangkan kesenjangan fiskal
dihitung dari selisih antara kebutuhan fiscal dan kapasitas fiskal. Dengan
masih adanya peran belanja pegawai, mendorong pemerintah daerah untuk
terus menambah jumlah pegawainya, terlepas dari pertimbangan efisiensi
pegawai. Selain itu, keberadaan variabel belanja pegawai dalam formula
DAU dianggap pula sebagai pencetus motivasi untuk melakukan pemekaran
daerah, karena bagi daerah otonom baru sebagai hasil pemekaran, mereka
akan otomatis membutuhkan pegawai yang pembiayaannya dijamin oleh
alokasi DAU.
17
19. Sementara itu, perhitungan kebutuhan fiskal pada saat ini belum
dilakukan dengan menggunakan pendekatan kebutuhan belanja yang
sesungguhnya,
melainkan
masih
menggunakan
beberapa
variabel
pendekatan (proxy variables), diantaranya adalah:
jumlah penduduk,
luas wilayah,
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB).
2) DAK
Semenjak dilakukannya kebijakan desentralisasi fiskal pada tahun 2001,
sangat dirasakan tidak jelasnya peran dari Dana Alokasi Khusus (DAK)
dalam membiayai otonomi daerah. Euforia terhadap desentralisasi dan
otonomi daerah pada tahun 2000 tampaknya mengakibatkan pengambil
keputusan untuk lebih memberikan prioritas kepada alokasi dana transfer,
seperti DAU dan DBH, yang memberikan diskresi yang luas bagi pemda
untuk mengatur penggunaannya.
Sebagai akibatnya, peran DAK yang dapat dijadikan stimulus tercapainya
target pembangunan nasional dan mengedepankan eksternalitas dari
pelayanan public daerah menjadi terabaikan. Hal ini tampak dari alokasi DAK
yang hanya sebesar 700,9 Milyar Rupiah pada tahun 2001. Alokasi DAK
inipun pada dasarnya adalah alokasi dana reboisasi, yang seperti
diamanatkan oleh Undang-undang pada saat itu (UU No.25/1999) sebagian
didaerahkan kembali dalam bentuk alokasi DAK.
Namun sejalan dengan waktu dan menguatnya kebutuhan untuk
pemenuhan berbagai program prioritas nasional, maka peran DAK menjadi
meningkat. Besarnya alokasi DAK pada tahun 2008 telah menjadi 21.202
Milyar Rupiah, suatu peningkatan sangat signifikan dibandingkan dengan
alokasi DAK tahun 2001. Namun demikian, alokasi DAK yang pada saat ini
hanya sebesar 8,05 % dari total dana perimbangan, relatif masih rendah
peranannya dalam mendukung kebijakan desentralisasi fiskal.
Selain itu, DAK masih dirasakan belum jelas arah dan kegunaannya.
Seperti diketahui, jenis-jenis DAK saat ini meliputi 12 (dua belas) bidang,
yaitu : Pendidikan, kesehatan, jalan,irigasi,air bersih, kelautan dan perikanan,
18
20. pertanian, prasarana pemerintahan, lingkungan hidup,kependudukan dan
kehutanan. Dengan demikian, jumlah alokasi DAK yang meningkat pada
dasarnya terbagi atas alokasi untuk banyak bidang, sehingga efektivitas
alokasi DAK per bidang menjadi sangat minimal.
3) DBH
Untuk melihat kondisi saat ini dari kebijakan DBH dapat ditinjau dari
beberapa segi:
Formula alokasi DBH
Persentase yang dibagi-hasilkan dengan daerah relative tidak mengalami
perubahan semenjak ditetapkan kebijakan tersebut pada tahun 2001.
Pengecualian terjadi untuk besarnya persentase bagi-hasil minyak dan
gas bumi, yang mengalami kenaikan sebesar 0,5% pada tahun 2004.
Rumusan bagi hasil untuk setiap jenis pajak dan juga penerimaan sumber
daya alam sangat bervariasi satu dengan yang lain, selain itu, semenjak
ditetapkan rumusan alokasi ini pada tahun 2001, tidak ada argumentasi
yang jelas tentang formula bagi hasil tersebut. Formula DBH menjadi
makin kompleks karena pemberlakuan formula yang berbeda untuk
daerah otonomi khusus, yaitu Nanggro Aceh Darussalam dan Papua.
Dasar nilai penetapan bagi hasil
Selain dari beragamnya formula, yang juga menambah rumit alokasi DBH
adalah beragamnya dasar penetapan untuk bagi hasil.Saat ini, untuk
minyak dan gas bumi, yang dibagi-hasilkan kepada daerah adalah nilai
net-operating income setelah dikurangi berbagai jenis pajak (PPh, PPN,
dan PBB), dengan formula yang berbeda untuk minyak bumi dan gas
alam.Sedangkan untuk Pertambangan, Kehutanan dan Perikanan, nilai
yang dibagi-hasilkan pada dasarnya ada dua jenis, yaitu biaya sewa
perijinan usaha dan royalti untuk produksi yang dihasilkan.
Pemanfaatan DBH di daerah
Bagi pemerintah daerah yang memperoleh alokasi DBH yang cukup
signifikan, seyogyanya pemanfaatan dana tersebut dilakukan secara
optimal
dalam
rangka
meningkatkan
pelayanan
publik
dan
pengembangan infrastruktur dasar di daerah. Namun demikian, arah
penggunaan DBH tampaknya belum jelas di daerah, bahkan terkadang
terjadi
tumpang
tindih
program
kegiatan
antara
Provinsi
dan
19
21. Kabupaten/Kota, misalnya pembangunan lapangan udara pada lokasi
yang berdekatan dengan anggaran berbeda, yaitu dari provinsi dan yang
satunya dari kabupaten.
Mekanisme penyaluran DBH
Permasalahan klasik yang terus terjadi semenjak tahun 2001 sampai
dengan sekarang adalah keterlambatan penyaluran DBH ke daerah,
khususnya untuk DBH yang berasal dari sumber daya alam. Seharusnya
penyaluran dilakukan pada setiap akhir kuartal, dimana nilai yang
disalurkan pada 3 kuartal pertama adalah nilai yang didasarkan kepada
angka yang disepakati di APBN, sedangkan nilai yang disalurkan pada
kuartal terakhir sudah memperhitungkan berbagai penyesuaian terhadap
realisasi yang terjadi.Jumlah yang bisa dibagi-hasilkan untuk realisasi
minyak dan gas bumi adalah maksimum 130% dari harga asumsi awal di
APBN.Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasi keterlambatan
penyaluran DBH ke daerah, sehingga alokasi DBH ini mulai lebih baik
pada tahun 2008.
2. Pendapatan dan Pembiayaan Daerah yang Efektif dan efisien
Dalam skema desentralisasi fiskal di Indonesia, pemerintah daerah diberikan
kewenangan untuk memungut dan menentukan tarif secara terbatas (tariff
maksimum telah ditentukan oleh UU) untuk beberapa jenis pajak daerah yang
ditentukan oleh UU. Hal ini menyebabkan daerah hanya memiliki instrumen yang
sangat terbatas untuk mengelola sisi fungsi pendapatan. Walaupun dalam
kenyataannya, banyak daerah mengeluarkan peraturan daerah untuk memungut
pajak atau retribusi yang berdampak pada ekonomi biaya tinggi. Rendahnya
penerimaan pajak dan retribusi daerah ini ditunjukkan oleh data bahwa
kontribusi PAD terhadap APBD hanya kurang dari 10%, seperti pada tabel
berikut ini.
20
22. 3. Siklus dan Proses Belanja Daerah yang Efektif dan efisien
Proses penganggaran yang berjenjang antar tiap tingkatan pemerintahan,
merupakan
salah
satu
faktor
yang
menyebabkan
panjangnya
proses
penganggaran. Kondisi saat ini, dimana terdapat sekitar 3 bulan rentang waktu
antara penetapan APBN dan APBD berpengaruh pada lambatnya timing
eksekusi dari anggaran pemerintah daerah seperti tercantum dalam UU No. 17
Tahun 2003. Selain itu, penerimaan pemerintah daerah yang sebagian besar
disalurkan oleh pemerintah pusat melalui dana perimbangan, juga menunjukkan
bahwa smoothing out dari alokasi dana perimbangan oleh pemerintah pusat
akan sangat membantu efektifitas pengeluaran pemerintah daerah.
Pada saat ini, anggaran belanja daerah disusun tidak berdasarkan suatu
analisis kebutuhan yang nyata yang harus dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah.
Anggaran belanja disusun secara ekletik, dengan anggaran tahun sebelumnya
sebagai acuan utama. Tidak jarang bahwa peningkatan anggaran pemerintah
hanya dirumuskan sebagai suatu peningkatan proporsional dari anggaran tahun
berjalan, tanpa mempertimbangkan kebutuhan yang nyata. Sulitnya menyusun
anggaran belanja sesuai dengan kebutuhan nyata Pemerintah Daerah juga
diakibatkan oleh tidak adanya Analisis Standar Belanja (ASB). Karena itu tidak
mengherankan bahwa banyak analisis terhadap anggaran pemerintah sampai
saat ini menunjukkan adanya biaya penyelenggaraan layanan publik yang
sangat fluktuatif dari tahun ke tahun. Hal ini mencerminkan jauhnya penetapan
anggaran dari analisis kebutuhan dan analisis standar belanja.
4. Harmonisasi Belanja Pusat dan Daerah
Sampai saat ini masih terjadi tumpang tindih belanja antar unit maupun antar
tingkatan. Masih sering terjadi belanja pemerintah pusat melalui anggaran
21
23. kementerian, baik secara langsung ke daerah maupun melalui mekanisme
dekonsentrasi dan tugas pembantuan, digunakan untuk mendanai kegiatankegiatan
yang
seharusnya
menjadi
urusan
daerah
yang
telah
didesentralisasikan. Hal ini juga diperparah dengan rendahnya mekanisme
koordinasi antara pusat dan daerah dalam pengalokasian dana-dana tersebut,
sehingga tidak hanya tidak tepat guna tapi juga tumpang tindih. Di samping itu,
sistem perencanaan nasional juga belum sepenuhnya dapat mengkoordinasikan
program-program di pusat maupun daerah. Hal ini didorong oleh adanya ego
sektoral dari masing-masing unit di semua tingkatan. Yang masih kadang terjadi
adalah ketidakjelasan siapa mengerjakan apa, sehingga berbagai program
saling berbenturan. Komitmen untuk menjaga kejelasan pembagian urusan dari
masing-masing pihak menjadi salah satu penyebab carut marut perencanaan
tersebut, di samping belum adanya SPM yang jelas untuk semua urusan.
Tumpang tindih antara belanja pusat dan daerah ditenggarai sebagai salah
satu faktor yang mendorong tingginya belanja pegawai baik di tingkat
pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Tabel 5.1 menunjukkan bahwa
belanja pegawai selama tahun 2005-2008 merupakan komponen pengeluaran
yang dominan relative dibandingkan dengan belanja modal. Perbandingan
belanja personel (belanja modal) terhadap tahun-tahun sebelum desentralisasi
yaitu terhadap pengeluaran rutin (pengeluaran pembangunan) cenderung bias
karena dalam belanja pembangunan masih juga mencakup komponen personnel
selain belanja modal. Sistem anggaran seperti ini juga merupakan salah satu
penyebab kurang terkontrolnya komponen dari pengeluaran belanja pegawai.
Untuk tingkat pemerintah pusat, penerapan standar pelayanan minimal
(SPM) juga berarti orientasi pada cakupan outcome yang mungkin akan
bersinggungan atau sama untuk tiap unit karena melibatkan koordinasi beberapa
departemen teknis. Berdasarkan PP No. 65 Tahun 2005, penentuan SPM yang
harus berdasarkan koordinasi dari beberapa kementrian, merupakan salah satu
cara untuk pemetaan SPM untuk tiap sektor sementara pada saat yang sama
koordinasi dilakukan untuk menghindari ketidaksesuaian antara outcome dengan
sumber daya. Namun sampai saat ini, dari 12 sektor pelayanan dasar,
penetapan SPM baru ada untuk sector pendidikan, kesehatan dan lingkungan
hidup (Departemen Keuangan, 2009).
22
24. Sedangkan permasalahan desentralisasi fiscal yang dihadapi pemerintah Indonesia
menurut Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru dari
World Bank adalah sebagai berikut :
a. Tantangan utama bagi pembangunan Indonesia bukan lagi untuk memberikan
dana kepada daerah-daerah yang lebih miskin tetapi bagaimana memastikan
agar daerah-daerah tersebut menggunakan dana yang disalurkan dengan
sebaik-baiknya. Sumber dana yang terpenting untuk daerah—Dana Alokasi
Umum (Dana DAU)—mengalami peningkatan nominal hingga 64 persen pada
2006. Sebagian besar daerah sudah memiliki sumber daya yang cukup untuk
melakukan berbagai perbaikan taraf hidup warganya. Bahkan daerah-daerah
yang dulunya dianggap miskin, kini memiliki DAU per kapita rata-rata sebesar
AS$425 setiap tahun, jumlah alokasi DAU ini telah mengalami peningkatan
sebesar 75 persen pada tahun 2006.
b. Lebih dari setengah kenaikan alokasi DAU yang seharusnya digunakan untuk
peningkatan
penyediaan
layanan
kepada
masyarakat
digunakan
untuk
membiayai belanja pegawai pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. Kebijakan
pembayaran gaji pegawai daerah secara penuh melalui DAU ini tidak
mendorong pemerintah daerah mengarahkan dana itu untuk peningkatan
pelayanan masyarakat.
c. Banyak
pemerintah
daerah
mengalami
kesulitan
untuk
membelanjakan
anggaran tambahan mereka. Mereka lalu menyimpan dana itu dalam rekening
23
25. bank setempat, jumlah simpanan itu semakin banyak dan telah mencapai angka
3,1 persen dari PDB pada bulan November 2006.
d. Pos pengeluaran paling besar untuk pemerintah daerah adalah untuk
penyelenggaraan administrasi pemerintahan, yang menyerap sebanyak 32
persen dari seluruh pengeluaran pemerintah daerah. Pengeluaran administrasi
yang sangat besar ini mengakibatkan berkurangnya pengeluaran untuk
sektorsektor penting lainnya, terutama sektor kesehatan, pertanian, dan
infrastruktur.
Adapun rekomendasi yang diberikan oleh World Bank sebagai berikut :
a. Mekanisme alokasi DAU seharusnya diubah dengan menghilangkan cakupan
pembayaran gaji pemerintah daerah secara penuh. Penyaluran dana yang
penggunaannya telah ditetapkan akan menurunkan insentif untuk mengurangi
kelebihan pegawai dan mencari kombinasi masukan secara optimal (tenaga
kerja,
modal,
bahan
baku,dan
outsourcing)
untuk
pemberian
layanan
masyarakat yang bermutu. Menghilangkan cakupan pembayaran gaji secara
penuh ini akan berkontribusi terhadap peningkatan efisiensi pada pengeluaran
pemerintah daerah.
b. Untuk mendorong fungsi perimbangan dari perimbangan fiskal pusat-daerah,
sebagian besar dari dana DAU harus dialokasikan berdasarkan formula
kesenjangan fiskal. Penghapusan cakupan pembayaran gaji dari alokasi dana
DAU akan berkontribusi pada tujuan ini.
c. Pemerintah seharusnya mengurangi fluktuasi jumlah dana
DAU untuk
menghindari dampak fluktuasi ini terhadap anggaran daerah. Fluktuasi besar
jangka
pendek
akan
membutuhkan
penyesuaian
besar-besaran
dalam
penentuan anggaran atau strategi pengeluaran jangka panjang yang lebih
lancar. Akan tetapi, hal-hal ini tidak mudah untuk dirumuskan dan dilaksanakan
di tingkat daerah mengingat keterbatasan kapasitas manajerial. Ada sejumlah
cara yang dapat digunakan untuk memperlancar alokasi dana DAU, di antaranya
pemanfaatan asumsi harga minyak jangka panjang, penciptaan stabilisasi dana
cadangan nasional atau di daerah, dan peningkatan secara riil alokasi DAU
setiap tahun.
d. Oleh karena tingkat pendapatan pemerintah daerah saat ini sudah relatif besar,
seharusnya berfokus pada pergeseran ke arah pemanfaatan sumber daya yang
efisien dan bukan pada mobilisasi sumber daya tambahan. Satu elemen kunci
24
26. untuk menjamin efisiensi pengeluaran adalah alat ukur kinerja pemerintah
daerah untuk melakukan perbandingan di seluruh kabupaten/kota. Insentif yang
menarik harus disediakan untuk pemanfaatan anggaran yang cermat dan efektif.
Insentif ini dapat dimasukkan ke dalam sistem penyaluran anggaran antarpemerintahan.
e. Pemerintah daerah perlu melakukan pergeseran dari alokasi anggaran
administrasi yang terlalu besar menuju penerapan kebijakan pemberian layanan
masyarakat dan berpihak pada masyarakat miskin. Jumlah pengeluaran saat ini
untuk kebutuhan administrasi pemerintahan terlalu tinggi dan ini menunjukkan
penggunaan sumber daya yang tidak efisien. Ada ruang yang begitu besar untuk
melakukan
perbaikan
dalam
pemanfaatan
sumber-sumber
daya
publik.
Penggunaan anggaran sebesar 5 sampai 10 persen untuk kepentingan
administrasi seharusnya merupakan target pemerintah daerah.
f. Kapasitas untuk membuat perencanaan dan menentukan anggaran di daerah
perlu ditingkatkan. Proses persetujuan anggaran perlu dirampingkan dan
pengeluaran di luar anggaran perlu direvisi. Hanya dengan demikian
perencanaan anggaran dapat mencerminkan rencana pengeluaran yang efisien
dan dapat mencegah terjadinya surplus anggaran yang terlalu besar.
g. Pemungutan dan pengumpulan pendapatan pajak di daerah perlu ditingkatkan.
Hal ini memerlukan desentralisasi PBB untuk wilayah perkotaan dan pedesaan
dan memberi ruang kepada daerah untuk bersaing dengan daerah lain (ini
merupakan kelaziman yang sudah berlaku secara internasional). Hal ini juga
termasuk
peningkatan
pengumpulan
pajak
itu
sendiri,
yang
rata-rata
menghabiskan setengah dari pajak yang terkumpul—angka yang terlalu tinggi
dilihat dari standar mana pun. Akhirnya, penggunaan retribusi dan pajak daerah
lainnya seharusnya diatur dengan jelas untuk mencegah timbulnya dampak
negatif terhadap iklim investasi.
h. Kerangka aturan bagi pengelolaan keuangan pemerintah daerah, terutama yang
berkaitan dengan kapasitas melakukan pinjaman dan pengelolaan terhadap
surplus anggaran yang jumlahnya semakin besar harus diperkuat. Kapasitas dan
daya tarik daerah untuk mendapatkan kredit akan dapat didorong dengan
menyelesaikan dan melaksanakan kerangka aturan agar PDAM dan Pemda
dapat
mengatasi
permasalahannya.
Departemen
Keuangan
dapat
mengembangkan pedoman mengenai akumulasi dan pemanfaatan dana
25
27. cadangan yang rasional. Jika jumlah dana cadangan yang semakin tinggi
sebagai ciri dari kinerja anggaran pemerintah daerah terus berlangsung, maka
setidaknya dana cadangan itu harus digunakan untuk meningkatkan investasi
dalam infrastruktur publik dan membayar hutang yang masih tertunggak.
Bibliography
[1] Ministry of Finance RI Fiscal Decentralization Assistance Team, Fiscal Decentralization Grand Design.
Jakarta: Ministry Of finance, 2010.
[2] Wahyudi Kumorotomo, Desentralisasi Fiskal: Politik dan Perubahan Kebijakan 1974-2004, 1st ed.,
Erwan Agus Purwanto, Ed. Jakarta, Indonesia: Prenada Media, 2008.
[3] World Bank, Kajian Pengeluaran Publik Indonesia:Memaksimalkan Peluang Baru. Jakarta, 2007.
[4] Robin Boadway and Anwar Shah, Intergovernmental Fiscal Transfer, Principles and Practice.
Washington, DC: World Bank, 2007.
26