Risiko Masuk dan Menyebarnya ASF- Asosiasi Epidemiologi Veteriner (AEVI), Bog...Tata Naipospos
Â
Topik dalam presentasi ini meliputi:
(1) Faktor Etiologi African Swine Fever
(2) Sejarah dan Peta Penyebaran African Swine Fever di Dunia
(3) Epidemiologi African Swine Fever
(4) African Swine Fever di China (Agustus 2018)
(5) Peta Sebaran Ternak Babi di Indonesia dan Importasi Babi dan Produknya (2017)
(6) Potensi masuknya African Swine Fever Lewat Media Pembawa
(7) Pencegahan masuknya African Swine Fever ke Indonesia
Materi kuliah analisis risiko dalam mata kuliah epidemiologi veteriner untuk mahasiswa kedokteran hewan. Salindia ini membahas metode analisis risiko dalam kaitannya dengan penyakit hewan lintas batas sesuai dengan panduan Organisasi Kesehatan Hewan Dunia.
Risiko Masuk dan Menyebarnya ASF- Asosiasi Epidemiologi Veteriner (AEVI), Bog...Tata Naipospos
Â
Topik dalam presentasi ini meliputi:
(1) Faktor Etiologi African Swine Fever
(2) Sejarah dan Peta Penyebaran African Swine Fever di Dunia
(3) Epidemiologi African Swine Fever
(4) African Swine Fever di China (Agustus 2018)
(5) Peta Sebaran Ternak Babi di Indonesia dan Importasi Babi dan Produknya (2017)
(6) Potensi masuknya African Swine Fever Lewat Media Pembawa
(7) Pencegahan masuknya African Swine Fever ke Indonesia
Materi kuliah analisis risiko dalam mata kuliah epidemiologi veteriner untuk mahasiswa kedokteran hewan. Salindia ini membahas metode analisis risiko dalam kaitannya dengan penyakit hewan lintas batas sesuai dengan panduan Organisasi Kesehatan Hewan Dunia.
Risiko Masuknya AFS ke Indonesia - Direktorat Kesehatan Hewan, Solo, 31 Oktob...Tata Naipospos
Â
Presentasi ini membahas sejumlah hal mengenai African Swine Fever yang telah menyebar di China dan potensi masuknya ke Indonesia dengan topik-topik sebagai berikut:
(1) Faktor yang memicu penyebaran African Swine Fever
(2) African Swine Fever di China (Oktober 2018)
(3) Peta Sebaran Ternak Babi di Indonesia dan Importasi Babi dan Produknya (2017)
(4) Potensi masuknya African Swine Fever Lewat Media Pembawa
(5) Belajar dari China: Pencegahan masuk dan menyebarnya African Swine Fever di Indonesia
Sebuah buku foto yang berjudul Lensa Kampung Ondel-Ondelferrydmn1999
Â
Indonesia, negara kepulauan yang kaya akan keragaman budaya, suku, dan tradisi, memiliki Jakarta sebagai pusat kebudayaan yang dinamis dan unik. Salah satu kesenian tradisional yang ikonik dan identik dengan Jakarta adalah ondel-ondel, boneka raksasa yang biasanya tampil berpasangan, terdiri dari laki-laki dan perempuan. Ondel-ondel awalnya dianggap sebagai simbol budaya sakral dan memainkan peran penting dalam ritual budaya masyarakat Betawi untuk menolak bala atau nasib buruk. Namun, seiring dengan bergulirnya waktu dan perubahan zaman, makna sakral ondel-ondel perlahan memudar dan berubah menjadi sesuatu yang kurang bernilai. Kini, ondel-ondel lebih sering digunakan sebagai hiasan atau sebagai sarana untuk mencari penghasilan. Buku foto Lensa Kampung Ondel-Ondel berfokus pada Keluarga Mulyadi, yang menghadapi tantangan untuk menjaga tradisi pembuatan ondel-ondel warisan leluhur di tengah keterbatasan ekonomi yang ada. Melalui foto cerita, foto feature dan foto jurnalistik buku ini menggambarkan usaha Keluarga Mulyadi untuk menjaga tradisi pembuatan ondel-ondel sambil menghadapi dilema dalam mempertahankan makna budaya di tengah perubahan makna dan keterbatasan ekonomi keluarganya. Buku foto ini dapat menggambarkan tentang bagaimana keluarga tersebut berjuang untuk menjaga warisan budaya mereka di tengah arus modernisasi.
Karakteristik Manusia Komunikan dalam Bingkai Psikologi Komunikasi
Â
Mengenal ASF dan Mekanisme Penanganannya di Babi Hutan - KLHK, 2 Juni 2021
1. Mengenal African swine fever (ASF) dan
Mekanisme Penanganannya di Babi Hutan
Drh Tri Satya Putri Naipospos, MPhil, PhD
Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI)
Sosialisasi Penanganan Kasus African Swine
Fever (ASF) di Kawasan Hutan Indonesia
Jakarta, 2 Juni 2021
2. African swine fever (ASF)
• African swine fever (ASF) adalah penyakit virus hemoragik pada babi,
yang menjangkiti babi domestik dan babi liar dari semua umur dan jenis
kelamin dengan tingkat fatalitas kasus hingga 100%.
• Penyakit ini menyebabkan kerugian ekonomi yang besar, mengancam
ketahanan pangan dan perdagangan yang aman, dan menjadi tantangan
produksi babi yang berkelanjutan di negara-negara tertular.
• Dalam waktu 4 tahun terakhir, ASF menyebar dengan kecepatan yang
belum pernah terjadi sebelumnya dan pandemi ASF di Asia bukan hanya
menunjukkan ada kelemahan di sektor peternakan dan kesehatan hewan,
tetapi juga berbagai kaitan langsung dan tidak langsung antara industri babi
dan daur ulang serta penggunaan hasil ikutan ternak (by-products).
3. Distribusi ASF Global (2005-2020)
Tidak ada informasi/tidak pernah dilaporkan/ASF tidak ada
Wabah tercatat dari 2005 hingga 2017
Wabah pertama dilaporkan 2018
Wabah pertama dilaporkan 2019
Wabah pertama dilaporkan 2020
4. Penyebaran ASF di Indonesia
Sumut (Sep 2019)
Mentawai
(Des 2019)
P. Nias
(Mar 2020)
Pasaman
(Nov 2019)
Bali
(Des 2019)
NTT (Mar 2020)
Jawa Barat
(Jan 2020) Jawa Tengah
(Nov 2020)
Papua Barat
(Mar 2021)
Lampung
(Mar 2021)
Sumsel (Jul 2020)
Kaltim
(Mei 2021)
Bangka (Mar 2021)
5. Kabupaten tertular ASF di Indonesia
No Provinsi
Mulai
wabah
1 SUMUT Sep 2019 Asahan, Batubara, Binjai, Dairi, Deli Serdang,
Humbang Hasundutan, Karo, Labuhan Batu,
Labuhan Batu Utara, Langkat, Medan,
Pakpak Barat, Medan, Samosir, Serdang
Bedagai, Simalungun, Tanjung Balai, Tapanuli
Selatan, Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah,
Tebing Tinggi, Toba Samosir, Nias
2 SUMBAR Nov 2019 Pasaman, Mentawai
3 BALI Des 2019 Denpasar, Tabanan, Gianyar, Karang Asem,
Badung, Buleleng, Bangli, Klungkung,
Jembrana
4 JABAR Jan 2020 Bogor
5 NTT Mar 2020 Belu, Malaka, TTU, TTS, Kab. Kupang, Kota
Kupang, Flotim, Sikka, Lembata, Mabar,
Sumba Timur, Sumba Barat Daya, Sumba
Barat, Rote Ndao, Sabu Raijua, Alor
No Provinsi
Mulai
wabah
6 SUMSEL Jul 2020 Palembang,
OKU
7 JATENG Nov 2020 Karang
Anyar, Kota
Solo, Klaten
8 BABEL Mar 2021 Bangka
9 PAPUA
BARAT
Mar 2021 Manokwari
10 LAMPUNG Mar 2021 Lampung
Timur
11 KALTIM Mei 2021 Berau
Riau, DI Yogyakarta ??
6. Epidemiologi ASF
• Epidemiologi ASF kompleks dan bervariasi
tergantung pada:
– lingkungan
– tipe sistim produksi babi
– ada/tidaknya vektor caplak yang kompeten
– perilaku manusia, dan
– ada/tidaknya babi hutan.
• Penularan dapat terjadi karena kontak
langsung dengan babi domestik atau babi
hutan yang terinfeksi.
7. Penularan ASF pada babi hutan
Negara Mulai wabah Penularan
babi hutan
China Agustus 2018 Ya
Mongolia Januari 2019 Tidak
Vietnam Februari 2019 Tidak
Kamboja Maret 2019 Tidak
Hong Kong Mei 2019 Tidak
Korea Utara Mei 2019 Tidak
Laos Juni 2019 Ya
Filipina Juli 2019 Ya
Myanmar Agustus 2019 Tidak
Korea Selatan September 2019 Ya
Timor Leste September 2019 Tidak
Indonesia September 2019 Ya
Negara Mulai wabah Penularan
babi hutan
India Januari 2020 Ya
Papua New Guinea Maret 2020 Tidak
Malaysia Februari 2021 Ya
9. Jenis babi hutan yang ada di Indonesia
Jenis babi Nama ilmiah Lokasi
Babi rusa Babyrousa Di sekitar pulau Sulawesi, seperti Togean,
Sulu, dan Buru
Babi rusa Togean Babyrousa togeanensis Pulau Togean, Sulawesi Tengah
Babi rusa buru Babyrousa babyrussa Pulau Buru, Mangoli, Taliabu (Kepulauan
Maluku)
Babi berjanggut Sus barbatus Sumatra, Kalimantan
Babi bagong Sus verrucosus Jawa, Pulau Bawean
Babi berkutil Sus celebensis Pulau Sulawesi, Flores, Nias dan Seram
Babi celeng Sus scrofa Sumatra, Jawa, Bali, Lombok, Sumbawa,
Sumba, Pulau Komodo.
https://balitourism.my.id/2021/05/05/6-types-of-pigs-in-indonesia-warty-pigs-to-bearded-pigs/
https: Wikipedia.org
10. Siklus penularan ASF
1. Siklus silvatik
– Afrika Timur dan Selatan
2. Siklus caplak–babi
– Afrika Timur dan Selatan,
Eropa (Spanyol dan Portugal)
3. Siklus domestik
– Afrika, Eropa, Asia
4. Siklus babi hutan–habitat
– Eropa, Asia
Wartog
Caplak
lunak
Babi semak
Babi
domestik
Produk
babi
Habitat
Babi hutan
Sumber: Chenaiset al., EmergInfect Dis. 2018 Apr;24(4):810-812.
3+4
3+4
11. Siklus 4: babi hutan–habitat
• Babi hutan adalah reservoir epidemiologis ASF.
• Babi hutan adalah inang jangka panjang virus ASF terlepas dari
siklus babi–caplak.
• Daya mematikan (letalitas) > 90% dalam waktu 5 hari;
• Di area tertular:
– hampir semua babi hutan yang ditemukan mati adalah positif
virus ASF (>80%);
– Babi hutan yang diburu: prevalensi virus 2% atau kurang;
– Sero-prevalensi di area endemik < 5%.
Sumber: Presentasi Vittorio Guberti - ASF control in wild boars -lessons learnt from EU, GF-TAD (2020)
12. Faktor risiko penyebaran ASF
ke populasi babi hutan
• Hampir semua babi hutan yang positif ASF ditemukan di daerah dengan
deteksi infeksi virus ASF pada babi domestik (OIE, 2014).
• Biasanya, babi hutan terinfeksi dengan mengais-ngais bangkai babi
terinfeksi yang dibuang secara ilegal dari sektor domestik.
• Begitu virus ASF masuk ke populasi babi hutan, menyebar sebagai akibat
dari interaksi antar babi hutan, mengarah ke epidemi yang terlokalisir, di
mana sebagian besar populasi babi hutan mati.
• Babi hutan mampu mempertahankan penularan terbatas selama
beberapa bulan ketika ada kepadatan populasi yang tinggi dan waktu
yang menguntungkan untuk introduksi virus (FAO, 2013).
Sumber: Scientific Opinion on African swine fever. EFSA Journal 2014;12(4):3628.
13. • Kontak langsung (babi hutan ke babi
hutan) adalah rute infeksi primer ketika
populasi babi hutan yang terinfeksi
berada pada kepadatan yang tinggi.
• Kontak tidak langsung memainkan
peran penting dalam mempertahankan
virus secara lokal pada kepadatan babi
hutan yang rendah; bangkai infeksius
menjadi sumber utama virus.
Rute infeksi pada babi hutan
Sumber: Presentasi Vittorio Guberti - ASF control in wild boars -lessons learnt from EU, GF-TAD (2020)
14. Perbandingan jumlah wabah ASF antara
babi domestik dan babi hutan
• Mengingat harapan hidup hewan yang
terinfeksi virus ASF sangat singkat,
cara paling efektif untuk melakukan
surveilans pada babi hutan adalah
memonitor laporan bangkai babi hutan
yang terinfeksi.
• Pengendalian ASF jangka panjang di
Asia hanya dimungkinkan apabila
dilakukan surveilans ASF berbasis
risiko pada babi hutan melalui upaya
multisektoral antara kementerian yang
menangani satwa liar dan pertanian.
Negara
Jumlah wabah s/d Mei 2020
Babi domestik Babi hutan
Belgia 0 829
Republik Czech 0 213
Estonia 19 1.599
Latvia 61 3.076
Polandia 264 8.941
Lithuania 61 1.116
Korea Selatan 17 605
China 176 17
Laos 139 6
Sumber: Vergne T. et al (2020). Emerg Infect Dis, Vol. 26, No. 10.
15. Kontaminasi habitat oleh bangkai babi hutan
• Siklus babi hutan–habitat ini dikarakterisasi
oleh penularan langsung antara babi hutan
yang terinfeksi dan babi hutan yang peka, dan
penularan tidak langsung lewat bangkai
(karkas) di habitat.
• Kontaminasi habitat oleh bangkai babi hutan
yang positif virus ASF dan kemungkinan
penularan intraspesies berikutnya, mungkin
dapat terjadi dengan infeksi dosis rendah atau
dosis tinggi, bergantung pada landskap,
waktu, musim, dan dekomposisi karkas.
16. Penelitian tentang daya tahan virus
dalam bangkai babi hutan
• Bangkai babi hutan yang terinfeksi dapat bertindak sebagai reservoir virus
jangka panjang di lingkungan.
• Virus ASF paling stabil dalam limpa atau otot yang disimpan pada 20oC dan
dalam darah yang disimpan pada 4oC.
• Pada tulang yang disimpan pada 20oC, virus infeksius terdeteksi hingga 3
bulan, dan pada 4oC hingga 1 bulan, sedangkan pada suhu kamar, tidak ada
virus yang hidup setelah 1 minggu.
• Pada kulit yang disimpan pada 20oC, 4oC dan suhu kamar berturut-turut tetap
infeksius hingga 3, 6 dan 3 bulan.
• Dalam urin dan feses, tidak ada virus yang hidup setelah 1 minggu.
• Kesimpulan: Jaringan dan organ dari karkas babi hutan yang membusuk dan
bertahan di lingkungan untuk waktu lama dapat menjadi sumber infeksi untuk
beberapa bulan, terutama pada temperatur rendah.
Sumber: Fischer M et al. (2020). Viruses 2020, 12, 1118.
17. Proses pembusukan bangkai babi hutan
• Contoh pembusukan
alamiah bangkai babi hutan
pada musim panas di hutan:
– A, B = Hari ke-1, lalat
meletakkan telur pada
lubang kecil dari bangkai
– C = Hari ke-6, invasi larva
secara massif
– D = Hari ke-9, proses hampir
final. Hanya kumpulan kecil
kegiatan larva; tulang hampir
menyebar.
Sumber: Presentasi Igolkin A. FAO GF-TAD (2018).
18. Virus ASF bertahan pada ekskresi
• Virus ASF sangat tahan terhadap lingkungan
• Secara eksperimental, daya tahan virus:
• Daya tahan virus ASF dalam feses/urin bergantung pada temperatur.
• Tanah yang terkontaminasi dapat bertindak sebagai sumber infeksi
untuk babi hutan dalam jangka waktu lama (Davies et al., 2017).
Feses Urin
Temperatur Lama Temperatur Lama
4oC 8 hari 4oC 15 hari
37oC 3-4 hari 21oC 5 hari
37oC 2-3 hari
19. Daya tahan virus ASF di tanah yang
terkontaminasi oleh bangkai babi hutan
• Berapa lama virus ASF bertahan pada tulang?
• Bagaimana peran tanah di bawah bangkai?
– Menurut penelitian, pH tanah, struktur, dan suhu sekitar
berperan dalam stabilitas virus ASF infeksius.
– Virus ASF infeksius didemonstrasikan dalam spesimen yang
berasal dari pasir steril setidaknya selama 3 minggu, dari
pasir pantai hingga lebih dari 2 minggu, dari tanah lapangan
selama satu minggu, dan dari tanah rawa selama 3 hari.
Material Durasi Metoda Referensi
Tulang 94 hari Isolasi virus McKercher, 1987
Tulang 188 hari
(6-8oC)
Bioassay (i.m.) Kovalenko et al., 1972
20. Penanganan bangkai (karkas) babi hutan
di lapangan
• Laporkan kepada otoritas yang berwenang apabila
menemukan bangkai (karkas) babi hutan.
• Pengambilan spesimen sesuai protokol untuk pengujian
di laboratorium.
• Pembuangan dan penguburan bangkai babi hutan di
area yang telah dipersiapkan khusus.
• Perlakuan terhadap bekas tempat bangkai babi hutan
dengan desinfektans.
• Bersihkan dan disinfeksi peralatan, pakaian, kendaraan
dan asesoris lain di lokasi sebelum meninggalkan area.
21. Penanganan bangkai babi hutan
• Untuk meminimalkan risiko, pengangkatan yang aman dari bangkai
babi hutan di area yang tertular ASF dan diangkut ke insinerator
dianggap sangat penting untuk pengendalian penyakit yang efektif.
• Jika pengangkatan tidak memungkinkan, bangkai biasanya dikubur
di tempat untuk mencegah kontak langsung babi hutan ke sumber
infeksi.
• Penguburan yang tepat sebagai alternatif pembuangan bangkai babi
hutan dianggap sebagai cara yang aman untuk memitigasi
penyebaran virus ASF di habitat.
Sumber: Zani L et al (2020(. African swine fever virus survival in buried
wild boar carcasses. Transbound Emerg Dis. 2020;00:1–7.
22. Pengalaman penanganan ASF pada
babi hutan di Eropa
• Eropa saat ini mengalami epidemi ASF yang berlangsung lama, baik pada babi
domestik maupun babi hutan.
• Sebelum serangan ASF ke Negara Baltik (Estonia, Latvia, dan Lithuania) dan
Polandia, umumnya dianggap bahwa ASF dalam populasi babi hutan dapat
sembuh dengan sendirinya (self-limiting), tetapi cenderung bertahan apabila
populasi babi hutan cukup besar.
• Di Belgia dan Republik Czech, infeksi ASF dapat diberantas karena di ke-dua
negara, kasus dapat direstriksi di area terbatas.
• Di Estonia dan Latvia, di mana seluruh negara terinfeksi, kombinasi surveilans
dan penguburan karkas babi hutan dan pengurangan populasi baik karena ASF
dan peningkatan tekanan perburuan telah menghasilkan penurunan secara
nyata sirkulasi virus ASF.
Sumber: Penrith M.L. (2020). Current status of African swine fever. CABI Agric Biosci (2020) 1:11.
23. Keberhasilan pemberantasan ASF pada
babi hutan di Republik Chech
• Tindakan pemberantasan yang sukses dengan strategi sebagai berikut:
– Zonasi yang menetapkan zona tertular dan zona penyangga (buffer) dan zona
pengendalian disekelilingnya. Zona dibuat sesegera mungkin dan cukup besar.
– Bangkai babi hutan harus ditemukan dan dibuang.
– Insentif untuk penemuan bangkai dapat meningkatkan kepatuhan dan sukses.
– Di zona tertular, penghentian kegiatan berburu diterapkan secara ketat.
– Perangkap diizinkan jika dapat diterapkan dan sesuai prosedur.
– Pemagaran dibuktikan berhasil dan dapat diterapkan sesuai situasi lokal.
– Jika memungkinkan, pelarangan masuk dapat diimplementasikan.
– Pengurangan babi hutan di sekeliling area dapat diterapkan tetapi harus
diputuskan secara individual untuk setiap kasus.
– Aspek kesejahteraan hewan dan faktor risiko harus dipertimbangkan.
– Populasi babi hutan di luar zona tertular harus dikurangi.
Sumber: Blome S et al (2020). Virus Research 287 (2020) 198099.
24. Manajemen ASF pada babi hutan
1. Pembuangan karkas dan limbah
– Penghancuran yang tepat dan pembuangan karkas yang terinfeksi, seperti
insinerasi atau menyegel karkas dalam kantong plastik dan menguburnya
cukup dalam untuk mencegah babi hutan atau hewan lainnya menggalinya.
– Limbah makanan juga harus dibuang dengan hati-hati untuk mencegah babi
liar atau domestik mengakses produk daging babi yang terinfeksi.
2. Kapasitas surveilans
– Peningkatan kapasitas pengujian dan menerapkan pengambilan sampel dari
semua kematian yang mencurigakan dari babi domestik, babi liar, dan babi
hutan sebagai sistim deteksi dini untuk melindungi populasi liar.
– Kegiatan ini harus dibarengi dengan sistim monitoring dan pelaporan dengan
akses terbuka.
25. Manajemen ASF pada babi hutan (lanjt)
3. Tindakan biosekuriti
– Pemisahan tugas untuk memastikan petugas kesehatan hewan atau petugas
yang menangani babi dan produk babi yang terkontaminasi virus ASF tidak
terhubung ke peternakan babi domestik lain atau ke habitat babi hutan.
4. Penelitian
– Peningkatan penelitian untuk menilai dan memperbaharui status konserivasi
dari spesies babi hutan, dimana banyak yang tidak memiliki data populasi
yang dapat diandalkan atau data sudah ketinggalan zaman.
– Kehadiran vektor dapat mengubah ekologi virus ASF secara drastis, dan
belum diketahui tentang peran vektor ASF di Indonesia.
– Keterbatasan penting untuk menilai risiko sirkulasi ASF pada babi hutan
adalah terbatasnya informasi tentang estimasi kepadatan setiap spesies babi.
26. Manajemen ASF pada babi hutan (lanjt)
5. Jangkauan layanan publik
– Komunikasi efektif yang jelas tentang kerugian, ancaman, dan kebijakan
pemerintah kepada publik untuk meminimalkan disinformasi di lapangan.
6. Pembangunan kapasitas
– Kemitraan untuk membangun kapasitas One Health dengan inisiatif
penelitian epidemiologi satwa liar untuk deteksi penyakit zoonosis baru.
7. Kolaborasi intersektoral
– Pengembangan hubungan antara peneliti, pemerintah, dan komunitas lokal
dalam mempromosikan kepercayaan, umpan balik, dan aliran data yang
bebas akan menjadi penting dalam deteksi dan pengendalian ASF.
– Deteksi dan mitigasi diintegrasikan antara babi liar dan babi domestik.
– Kolaborasi intersektoral antara KLHK dan Kementan untuk mengatasi ASF.
27. Kesimpulan dan saran (1)
• Populasi babi hutan memegang peran penting dalam penyebaran dan
keberadaan ASF untuk jangka waktu lama.
• Pembuangan bangkai babi hutan terinfeksi yang dilakukan secara aman
memegang peran penting dalam pengendalian ASF.
• Virus ASF tetap ada di lingkungan meskipun kepadatan babi hutan sangat
rendah => Tidak ada ambang batas.
• Perhatian khusus harus diberikan pada temuan bangkai di area yang baru
tertular, biasanya bangkai pertama kali ditemukan belum tentu mewakili
kasus pertama di area tersebut, oleh karena itu diperlukan peningkatan
surveilans pasif dan pengujian semua bangkai yang ditemukan.
28. Kesimpulan dan saran (2)
• Praktik perburuan harus diadaptasikan dengan evolusi epidemiologi
penyakit karena efeknya terhadap populasi babi hutan.
• Manajemen babi hutan yang memadai di area yang tertular maupun
yang tidak tertular ASF sangat penting dan membutuhkan pengembangan
strategi umum bersama.
• Manajemen babi hutan memerlukan kerjasama pihak berwenang di
kehutanan dengan pihak lain seperti pihak berwenang di kesehatan
hewan, lingkungan hidup dan organisasi yang melakukan kegiatan
berburu di tingkat pusat dan daerah yang esensial untuk pencegahan,
deteksi dini dan pengendalian ASF.