Penelitian menganalisis keanekaragaman dan kelimpahan makrozoobentos di Sungai Naborsahan, Sumatera Utara. Lima filum ditemukan terbagi menjadi 26 genera. Stasiun pertama memiliki indeks keanekaragaman tertinggi sedangkan stasiun ketiga memiliki kelimpahan individu tertinggi dengan genus Tryonia paling banyak. Parameter fisika dan kimia masih memenuhi syarat kehidupan makrozoobentos.
Identifikasi Bakteri Indigenous Pereduksi Logam Berat Cr(VI) dengan metode Mo...Easter Tawy
Â
Tugas Kelompok Power Point Presentation Teknologi DNA "Identifikasi Bakteri Indigenous Pereduksi Logam Berat Cr(VI) Dengan Metode Molekular Di Sungai Cikijing Rancaekek, Jawa Barat"
Identifikasi Bakteri Indigenous Pereduksi Logam Berat Cr(VI) dengan metode Mo...Easter Tawy
Â
Tugas Kelompok Power Point Presentation Teknologi DNA "Identifikasi Bakteri Indigenous Pereduksi Logam Berat Cr(VI) Dengan Metode Molekular Di Sungai Cikijing Rancaekek, Jawa Barat"
Tumbuhan sebagai bioindikator pencemaran lingkunganAri Sugiarto
Â
Beberapa jenis tumbuhan yang digunakan sebagai bioindikator pencemaran lingkungan (pencemaran air, pencemeran tanah, dan pencemaran udara) memiliki kemampuan dalam mendetekdi atau mengukur tingkat pencemaran lingkungan yang terdapat di suatu kawasan.
INDIKATOR KUALITAS AIR SUNGAI DENGAN MENGGUNAKAN MAKRO INVERTEBRATA DI SUNGAI...Asramid Yasin
Â
http://ojs.uho.ac.id/index.php/green/article/view/6053
ABSTRAK
Makroinvertebrata berperan penting dalam suatu perairan dan telah lama digunakan sebagai bioindikator kualitas air. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi tingkat pencemaran air Sungai Wanggu dengan menggunakan makroinvertebrata. Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan Agustus sampai September 2017. Sedangkan parameter yang diamati yaitu fisik, kimia dan biologi. Parameter fisik meliputi (suhu, TSS, kekeruhan dan kecepatan arus). Parameter kimia meliputi (pH, COD, BOD dan DO). Sedangkan parameter biologi yaitu (makroinvertebrata). Hasil pengujian yang dilakukan menunjukkan bahwa untuk parameter fisik–kimia perairan, yaitu suhu 340C, 310C dan 350C, TSS 9,26 mg l-1, 13,49 mg l-1 dan 11,53 mg l-1. Kekeruhan 2,15 NTU, 1,86 NTU dan1,95 NTU. Kecepatan arus 35,06 ms-1, 4,77 ms-1 dan 40,48 ms-1. PH 7,16, 7,45 dan 7,78. COD 2,15 mg l-1, 6,38 mg l-1 dan 4,72 mg l-1. BOD 1,09 mg l-1, 1,39 mg l-1 dan 1,18 mg l-1. DO 7,42 mg l-1, 6,95 mg l-1 dan 7,26 mg l-1. Parameter biologi yaitu makroinvertebrata menghasilkan nilai FBI yaitu pada stasiun-I 4,42 dengan kriteria baik, stasiun-II 4,82 kriteria baik dan pada stasiun-III dengan nilai 7,32 dengan kriteria buruk sekali. Dengan demikian kualitas perairan agak tercemar dan tercemar sangat berat.
Kata kunci: Makroinvertebrata,Sungai Wanggu, Kualitas Air
Tumbuhan sebagai bioindikator pencemaran lingkunganAri Sugiarto
Â
Beberapa jenis tumbuhan yang digunakan sebagai bioindikator pencemaran lingkungan (pencemaran air, pencemeran tanah, dan pencemaran udara) memiliki kemampuan dalam mendetekdi atau mengukur tingkat pencemaran lingkungan yang terdapat di suatu kawasan.
INDIKATOR KUALITAS AIR SUNGAI DENGAN MENGGUNAKAN MAKRO INVERTEBRATA DI SUNGAI...Asramid Yasin
Â
http://ojs.uho.ac.id/index.php/green/article/view/6053
ABSTRAK
Makroinvertebrata berperan penting dalam suatu perairan dan telah lama digunakan sebagai bioindikator kualitas air. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi tingkat pencemaran air Sungai Wanggu dengan menggunakan makroinvertebrata. Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan Agustus sampai September 2017. Sedangkan parameter yang diamati yaitu fisik, kimia dan biologi. Parameter fisik meliputi (suhu, TSS, kekeruhan dan kecepatan arus). Parameter kimia meliputi (pH, COD, BOD dan DO). Sedangkan parameter biologi yaitu (makroinvertebrata). Hasil pengujian yang dilakukan menunjukkan bahwa untuk parameter fisik–kimia perairan, yaitu suhu 340C, 310C dan 350C, TSS 9,26 mg l-1, 13,49 mg l-1 dan 11,53 mg l-1. Kekeruhan 2,15 NTU, 1,86 NTU dan1,95 NTU. Kecepatan arus 35,06 ms-1, 4,77 ms-1 dan 40,48 ms-1. PH 7,16, 7,45 dan 7,78. COD 2,15 mg l-1, 6,38 mg l-1 dan 4,72 mg l-1. BOD 1,09 mg l-1, 1,39 mg l-1 dan 1,18 mg l-1. DO 7,42 mg l-1, 6,95 mg l-1 dan 7,26 mg l-1. Parameter biologi yaitu makroinvertebrata menghasilkan nilai FBI yaitu pada stasiun-I 4,42 dengan kriteria baik, stasiun-II 4,82 kriteria baik dan pada stasiun-III dengan nilai 7,32 dengan kriteria buruk sekali. Dengan demikian kualitas perairan agak tercemar dan tercemar sangat berat.
Kata kunci: Makroinvertebrata,Sungai Wanggu, Kualitas Air
Presented by Maria Elena B. San Jose, MPA, Coastal Management Coordinator of the Provincial Environment Management Office during the Seminar on Environmental Laws and Enforcement for the Police Environment Desk Officers and Members of Task Force Ilahas. The said seminar was attended by 75 participants held at the Goverrnor's Hall, Capitol Building, Bacolod City, Negros Occidental on 18-19 September 2013.
Analisis resiko kandungan merkuri (hg) pada lingkungan perairanTanty Puspa Sari
Â
Terpaparrnya suatu zat dalam lingkungan sekarang ini dapat terjadi diberbagai jenis lingkungan. Salah satu zat yang dapat terpapar dalam suatu lingkungan adalah Hg atau biasa disebut merkuri. Merkuri merupakan unsur yang sangat jarang dalam kerak bumi, dan relatif terkonsentrasi pada beberapa daerah vulkanik dan endapan-endapan mineral biji dari logam-logam berat. Merkuri banyak terdapat di lingkungan terutama perairan.
Adapun cara penelitian yang digunakan adalah cross sectional, yaitu penelitian untuk mempelajari dinamika korelasi antara faktor-faktor resiko dengan efek, dengan cara pendekatan pengumpulan data atau studi literature. Adapun hasil penelitian kondisi air sungai di wilayah pertambangan Cisoka pada tahun 2005 (< 0,05 x 10-3 ppm Hg), berada di bawah baku mutu air menurut Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001 (< 0,001 ppm), sedangkan pada tahun 2011, kadar Hg rata-rata berada di atas baku mutu air yaitu 0,00392 ppm. Akibat banyaknya merkuri yang terdapat di lingkungan dapat mengakibatkan air berubah menjadi warna keruh dan tercemar. Adapun Solusi untuk mengurangi merkuri di perairan yaitu dengan Penanggulangan (pengendalian dan pencegahan) dampak pencemaran dilakukan dengan penataan kembali tata ruang
HUBUNGAN LOGAM BERAT Pb DAN Cd PADA AIR LAUT, PLANKTON DAN LARVA PELAGIS IKAN...Mustain Adinugroho
Â
Abstrak: Teluk Semarang merupakan teluk yang terbentang dari Kabupaten Kendal, hingga Kabupaten Demak dan terbagi kedalam 2 sel sedimen (sel sedimen 4 dan 5). Daerah ini memiliki habitat vital seperti estuari dan mangrove yang merupakan daerah asuhan bagi organisme air. Namun banyak aktifitas manusia seperti industri, pemukiman dan pelabuhan bermuara di teluk ini. Logam berat adalah salah satu hasil buangan aktifitas tersebut yang merupakan polutan berbahaya karena bersifat racun, nondegradable dan dapat terakumulasi pada jaringan tubuh. Tekanan lingkungan ini dikhawatirkan akan berdampak bagi habitat vital serta tumbuh dan berkembangnya organisme terutama larva ikan. Larva merupakan salah satu fase dalam siklus hidup organisme yang rentan terhadap tekanan lingkungan tersebut. Pengambilan sample dilakukan pada bulan Sept-Okt 2014 pada 15 stasiun. Pengambilan sampel dilakukan sebanyak 4 kali, dengan interval waktu 2 minggu. Pengujian logam berat menggunakan metode ASS di Laboratorium Kimia FSM Universitas Diponegoro. Analisis regresi berganda digunakan untuk mengetahui hubungan logam Pb dan Cd di air, plankton dan larva pelagis ikan. Hasil menunjukkan bahwa kosentrasi logam berat Pb dalam air laut berkisar antara 0,0178-0,0663 mg/L, sedangkan logam Cd berkisar antara 0,0024-0,0056 mg/L. Konsentrasi logam Pb pada plankton berkisar antara 0,0375-0,1854 mg/kg, sedangkan logam Cd berkisar antara 0,0310-0,1018 mg/kg. Kosentrasi logam Pb pada larva ikan berkisar antara 0,0554-0,2789 mg/kg, sedangkan logam Cd berkisar antara 0,0346-0,1635 mg/kg. Hubungan korelasi logam Pb maupun Cd pada air laut dan plankton berpengaruh lemah dan tidak signifikan. Kandungan logam berat Pb pada air laut dan plankton hanya berpengaruh sebesar 39,4% pada sel sedimen 4 dan 1,9% pada sel sedimen 5. Sedangkan Kandungan logam berat Cd pada air laut dan plankton hanya berpengaruh sebesar 24,6% pada sel sedimen 4 dan 13,8% pada sel sedimen 5.
Kata kunci: larva ikan, plankton, logam Cd dan Pb
ppt profesionalisasi pendidikan Pai 9.pdfNur afiyah
Â
Pembelajaran landasan pendidikan yang membahas tentang profesionalisasi pendidikan. Semoga dengan adanya materi ini dapat memudahkan kita untuk memahami dengan baik serta menambah pengetahuan kita tentang profesionalisasi pendidikan.
1. Keanekaragaman dan Kelimpahan Makrozoobentos di Sungai Naborsahan
Kabupaten Toba Samosir Sumatera Utara
Diversity and Abundance of Macrozoobenthos in Naborsahan River of Toba
Samosir Regency, North Sumatera
Melinda Sari Lubis1
, Mohammad Basyuni2
, Ani Suryanti3
1. Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Pertanian,
Universitas Sumatera Utara
2. Staff Pengajar Program Studi Kehutanan, Fakultas Pertanian,
Universitas Sumatera Utara
3. Staff Pengajar Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas
Pertanian, Universitas Sumatera Utara
ABSTRACT
This research described diversity and abundance of macrozoobenthos in
Naborsahan River Toba Samosir Regency of North Sumatra. Macrozoobenthos
sampling station consists of 3 stations using purposive random sampling method.
Physical and chemical parameters were measured as temperature, currents, depth,
brightness, turbidity, organic content on C-substrate, pH, DO, and BOD5.
Macrozoobenthos obtained 5 phylum, i.e. Annelida, Arthropoda, Nemertea,
molluscs and Platyhelminthes which were divided into 26 genera. First station had
a value diversity index (H') of 2,25 with a high of 11 genera. Tryonia genera had
the highest value abundance of 14.430 ind/m2
that found at third station.
Keywords: Diversity, Abundance, Macrozoobenthos, Naborsahan.
1. Pendahuluan
Sungai Naborsahan berada di
Kecamata Ajibata, Kabupaten Toba
Samosir, Sumatera Utara. Sungai ini
memiliki debit sedang yaitu ± 2 m3
/s
(Lukman, 2010). Bagian tengah dari
sungai ini memiliki substrat dasar
pasir sehingga organisme yang
mampu beradaptasi pada kondisi
substrat pasir adalah organisme
infauna makro (berukuran 1-10 cm)
yang mampu menggali liang di
dalam pasir. Jenis substrat dan jenis
partikel merupakan faktor
lingkungan yang berpengaruh
terhadap distribusi hewan
makrozoobentos karena masing-
masing jenis makrozoobentos
mempunyai cara hidup yang berbeda
yang disesuaikan dengan jenis
substrat dasar habitatnya (Riniatsih
dan Edi, 2009).
Faktor yang mempengaruhi
keberadaan makrozoobenthos adalah
faktor fisika kimia lingkungan
perairan, diantaranya penetrasi
cahaya yang berpengaruh terhadap
suhu air, kandungan unsur kimia
seperti kandungan ion hidrogen (pH),
oksigen terlarut (DO), dan kebutuhan
oksigen biologi (BOD). Kelimpahan
makrozoobentos bergantung pada
toleransi atau sensitifitasnya terhadap
perubahan lingkungan. Setiap
komunitas memberikan respon
2. terhadap perubahan kualitas habitat
dengan cara penyesuaian diri pada
struktur komunitas (Nugroho, 2006).
Tujuan dari penelitian ini
adalah untuk mengetahui
keanekaragaman dan kelimpahan
makrozoobentos di sungai
Naborsahan, Kabupaten Toba
Samosir, Sumatera Utara.
Manfaat dari penelitian ini
adalah memberikan informasi
keanekaragaman dan kelimpahan
makrozoobentos di sungai
Naborsahan, Kabupaten Toba
Samosir, Sumatera.
2. Metode dan Bahan
Penelitian ini dilaksanakan
pada bulan April-Juni 2013 di Sungai
Naborsahan, Kecamatan Ajibata,
Kabupaten Toba Samosir, Provinsi
Sumatera Utara.
Pengambilan sampel dilakukan
sebanyak 3 (tiga) stasiun,
pengambilan sampel dilakukan
ulangan sebanyak 3 kali. Metode
yang digunakan adalah Purposive
Random Sampling. Adapun tiga
stasiun penelitian dengan deskripsi
lokasi sebagai berikut:
1. Stasiun I (02o
39'06.89" LU dan
098o
56'11.59" BT) sebagai tempat
aktivitas masyarakat seperti
penangkapan ikan dan adanya
pemukiman penduduk di sekitar
sungai.
2. Stasiun II (02o
39'10.66" LU dan
098o
56'08.86" BT) stasiun ini
sebagai tempat aktivitas
masyarakat seperti mandi cuci
kakus (MCK) dan penangkapan
ikan.
3. Stasiun III (02o
39'19.22" LU dan
098o
56'03.44" BT) Stasiun ini
berada pada bagian hilir sungai
dan merupakan inlet bagi Danau
toba.
Identifikasi makrozoobentos
dilakukan di Laboratorium Terpadu
Fakultas Pertanian Universitas
Sumatera Utara dan di Laboratorium
Biologi Dasar Fakultas MIPA.
Analisis sampel parameter fisika
kimia dilakukan secara insitu dan
exsitu. Insitu yaitu suhu, arus,
kedalaman, kecerahan, pH, dan DO
dan secara exsitu yaitu BOD5,
kandungan C-organik dan kekeruhan
dilakukan di Pusat Penelitian
Sumberdaya Alam dan Lingkungan
(PUSLIT SDAL) Universitas
Sumatera Utara.
3. Hasil dan Pembahasan
Tabel 1. Parameter Fisika Kimia di Sungai Naborsahan
Parameter Stasiun
1 2 3
Suhu (o
C) 23 23 25
Arus (m/s) 0,44 0,23 0,43
Kedalaman (cm) 64 63 78
Kecerahan (cm) 50 46 72
Kekeruhan (NTU) 7,1 5,9 16,6
Kandungan C-Organik 2,36 2,72 2,38
Substrat (%)
pH 7,02 6,7 7,05
DO (mg/l) 6,9 7,2 10,9
BOD5 (mg/l) 2,2 4,1 8
3. Hasil penelitian pada Tabel 1
menunjukkan stasiun III memiliki
nilai suhu tertinggi yaitu 25 o
C.
Sedangkan kisaran suhu terendah
adalah stasiun I dan II yaitu 23 o
C,
suhu di setiap stasiun tidak memiliki
selisih terlalu jauh sehingga masih
sesuai dengan kisaran suhu yang
dibutuhkan makrozoobentos.
Menurut Lusianingsih (2011) kisaran
suhu yang optimal untuk
pertumbuhan bentos antara 20 o
C -
30 o
C.
Nilai pengukuran arus tidak
memiliki selisih yang jauh yaitu
0,44 m/s dan 0,43 m/s pada stasiun I
dan stasiun III. Sedangkan nilai arus
terendah yaitu 0,23 m/s pada stasiun
II. Stasiun I dan stasiun III dapat
dikategorikan memiliki arus cepat
dan stasiun II memiliki arus sedang.
Substrat pasir memudahkan
makrozoobentos untuk bergeser dan
bergerak ke tempat lain. Kawuri et al
(2012) melaporkan bahwa kecepatan
arus tersebut memengaruhi
penyebaran makrozoobentos.
Stasiun III merupakan stasiun
yang paling dalam karena berada
pada bagian muara sungai dan inlet
dari danau Toba dengan ketinggian
elevasi yang mencapai 905 m diatas
permukaan laut (dpl) (Purawinata,
2013) dengan kedalaman pada
stasiun ini sebesar 78 cm. Sedangkan
kedalaman stasiun II yaitu 63 cm.
Kedalaman pada stasiun I dan stasiun
II tidak memiliki selisih yang jauh
yaitu 64 cm. Hasil yang diperoleh
stasiun II lebih dangkal dari stasiun I,
hal ini dikarenakan topografi sungai
dimana stasiun II lebih rendah
daripada stasiun I.
Hasil pengukuran kecerahan
pada stasiun III yaitu 72 cm, hal ini
menunjukkan stasiun III termasuk
jernih karena hasil pengukuran
kedalaman dan kecerahan tidak
memiliki selisih yang jauh. Menurut
Effendi (2003) bahwa kecerahan air
tergantung pada kekeruhan. Jika nilai
kekeruhan sangat tinggi maka nilai
kecerahan akan sangat rendah.
Kekeruhan
Kekeruhan tertinggi berada
pada stasiun III dengan rata-rata nilai
berkisar 16,6 NTU. Sedimentasi
yang tinggi menyebabkan terjadinya
kekeruhan, kekeruhan pada sungai
dapat membatasi masuknya cahaya
matahari ke dalam air sehingga kadar
oksigen terlarut (DO) semakin
rendah. Menurut Rakhmanda (2011)
bahwa semakin tinggi sedimentasi
maka semakin berkurang kandungan
oksigen terlarut.
Kandungan C-organik
substrat tertinggi yaitu stasiun II
sebesar 2,72 % karena stasiun
tersebut merupakan daerah
pemukiman penduduk. Stasiun III
memiliki nilai kandungan C-organik
substrat sebesar 2,38 %, stasiun III
berada pada muara sungai tetapi
kandungan organiknya lebih rendah
dari stasiun II dikarenakan
terdapatnya tanaman eceng gondok
pada stasiun III. Hal ini sesuai
dengan Junaidi et al (2010) bahwa
stasiun yang banyak terdapat eceng
gondok, terjadi penyerapan bahan
organik sehingga kadar bahan C-
Organik menjadi rendah.
Hasil pengukuran pH
diperoleh nilai pH berkisar 6-7.
Berdasarkan hasil pengukuran
tersebut nilai pH di sungai
Naborsahan pada stasiun I-III masih
sesuai dengan habitat
makrozoobentos, menurut Effendi
(2003) sebagian besar biota akuatik
dapat berkembang baik dengan nilai
pH 7-8,5. Hal ini juga sesuai dengan
Junaidi et al (2010) melaporkan
bahwa nilai pH < 5 atau > 9 sangat
4. tidak sesuai bagi kehidupan
makrozoobentos.
Kandungan oksigen terlarut
(DO) tertinggi yaitu pada stasiun III
sebesar 10,9 mg/l. Sedangkan nilai
DO terendah yaitu 6,9 mg/l pada
stasiun I. Hasil yang diperoleh
menunjukkan DO masih sesuai bagi
habitat makrozoobentos. Menurut PP
No. 82 Tahun 2001 dengan nilai DO
3 mg/l m nilai batas minimum.
Effendi (2003) juga melaporkan
bahwa perairan sebaiknya memiliki
kadar DO tidak kurang dari 5 mg/l.
Nilai BOD5 tertinggi pada
stasiun III sebesar 8 mg/l. Sedangkan
stasiun I memiliki nilai BOD5
terendah sebesar 2,2 mg/l. Perbedaan
Nilai BOD5 disetiap stasiun
penelitian disebabkan jumlah bahan
organik yang terkandung berbeda.
Gambar 1. Indeks Keanekaragaman (H') Makrozoobentos
Gambar 1 menunjukkan nilai keanekaragaman (H') tertinggi yaitu 2,25
dengan 11 genus, dan stasiun II sebesar 2,23 dengan 15 genus. Sedangkan indeks
keanekaragaman (H') terendah yaitu stasiun III dengan nilai 1,58 dengan 21
genus.
Gambar 2. Kelimpahan Individu (KI) Makrozoobentos
Stasiun
1
2
3
645 ind/m2
28.822 ind/m2
2.949 ind/m2
0
0.5
1
1.5
2
2.5
1 2 3
IndeksKeanekaragaman(H')
Stasiun
2,25 2,23
1,58
5. Gambar 2 menunjukkan
stasiun III memiliki nilai kelimpahan
individu (KI) tertinggi yaitu 28.822
ind/m2
. Genus yang memiliki nilai
kelimpahan tertinggi pada stasiun ini
adalah Tryonia sebesar 14.429
ind/m2
. Sedangkan Stasiun I
memiliki nilai kelimpahan individu
terendah yaitu 645 ind/m2
, genus
yang memiliki nilai kelimpahan
individu tertinggi pada stasiun I
adalah Thiara sebesar 111 ind/m2
.
H' (Gambar 1) menunjukkan
stasiun I indeks keanekaragaman
tertinggi. Menurut Nugroho (2006)
jika nilai H’ lebih besar dari 1 dan
lebih kecil dari 3 maka dikategorikan
memilliki keanekaragaman sedang,
dapat diartikan stasiun I memiliki
keanekaragaman makrozoobentos
sedang. Nugroho (2006) melaporkan
bahwa perairan yang kualitasnya
baik memiliki keanekaragaman jenis
yang tinggi. Sedangkan indeks
keanekaragaman (H') terendah yaitu
stasiun III maka dikategorikan
memiliki keanekaragaman rendah.
Menurut Ruswahyuni (2010) bahwa
indeks keanekaragaman dipengaruhi
oleh jumlah genus dan jumlah
individu disetiap genus
makrozoobentos.
Gambar 2 menunjukkan
stasiun III memiliki nilai kelimpahan
individu (KI) dengan genus yang
memiliki nilai kelimpahan tertinggi
pada stasiun ini adalah Tryonia.
Tryonia termasuk dalam kelas
Gastropoda, Handayani et al (2001)
melaporkan bahwa Gastropoda
merupakan organisme yang
mempunyai kisaran penyebaran yang
luas di substrat berbatu, berpasir,
maupun berlumpur, tetapi organisme
ini cenderung menyukai substrat
berpasir dengan kecepatan arusnya
lambat dan mempunyai substrat
dasar pasir dan sedikit berlumpur.
Menurut Suin (2002) bahwa faktor
lingkungan sangat menentukan
penyebaran dan kepadatan populasi
suatu organisme, apabila kepadatan
suatu genus di suatu daerah sangat
berlimpah, maka menunjukkan
abiotik di stasiun itu sangat
mendukung kehidupan genus
tersebut.
Prostoma tidak terdapat pada
stasiun lainnya hanya terdapat di
stasiun III. Stasiun III yang berada
pada bagian hilir sungai yang banyak
mendapat pengaruh limbah seperti
limbah domestik dari hulu sungai
dengan nilai kekeruhan cukup tinggi
yaitu 16,6 NTU. Prostoma terdapat
pada perairan yang memiliki suhu
tertinggi dari ketiga stasiun yaitu 25
o
C. Pennak (1953) melaporkan pada
kondisi lingkungan yang kurang
baik, seperti oksigen yang tidak
memadai dan suhu tinggi, prostoma
akan membentuk kista dan tetap
hidup di dalam kista tersebut selama
beberapa hari ataupun sampai
beberapa minggu dan muncul ketika
kondisi lingkungan memadai
sehingga penyebarannya terbatas.
Darmono (2008) melaporkan bahwa
keberadaan atau banyaknya populasi
dan distribusi dari suatu genus
organisme dalam suatu ekosistem
bergantung pada daya toleransi
spesies tersebut terhadap beberapa
faktor fisik ataupun kimiawi dalam
ekosistem tersebut.
4. Kesimpulan
Parameter fisika kimia sangat
mempengaruhi keanekaragaman dan
kelimpahan makrozoobentos pada
setiap stasiun. Jika terjadi perubahan
nilai ambang batas pada setiap
parameter maka sangat
mempengaruhi kehidupan
makrozoobentos.
6. Daftar Pustaka
Darmono. 2008. Lingkungan Hidup
Dan Pencemaran. Universitas
Indonesia Press, Bandung.
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas
Air Bagi Pengelolaan
Sumberdaya dan Lingkungan
Perairan.
Kanisius,Yogyakarta.
Handayani, S.T., B. Suharto dan
Marsoedi. 2001. Penentuan
Status Kualitas Perairan
Sungai Brantas Hulu dengan
Biomonitoring
Makrozoobentos: Tinjauan
dari Pencemaran Bahan
Organik. Biosain, 1 (1): 32.
Junaidi, E. Effendi, P. Joko. 2010.
Kelimpahan Populasi dan
Pola Distribusi Remis
(Corbicula sp) di Sungai
Borang Kabupaten
Banyuasin. Jurnal Penelitian
Sains, 13(3): 50-54.
Kawuri, L. Mustofa, N. Suryanti.
2012. Kondisi Perairan
Berdasarkan Bioindikator
Makrobentos di Sungai
Seketak Tembalang Kota
Semarang. Journal Of
Management Of Aquatic
Resources, 1 (1): 1-7.
Lukman, 2010. Faktor-Faktor
Pertimbangan dalam
Penetapan Tata Ruang
Perairan Danau: Studi Kasus
Danau Toba. Prosiding
Seminar Nasional Limnologi
V. Medan: Universitas.
Lusianingsih, N. 2011.
Keanekaragaman
Makrozoobentos di Sungai
Bah Bolon Kabupaten
Simalungun Sumatera Utara.
[Skripsi]. Medan: Fakultas
Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam
Universitas Sumatera Utara.
Nugroho, A. 2006. Bioindikator
Kualitas Air. Universitas
Trisakti, Jakarta.
Pennak, R. 1953. Fresh Water
Invertebrates Of The United
States. The Ronald Press
Company, New York.
Purawinata, G. 2013. Analisa Clean
Development Mechanism
Sebagai Bagian Studi
Kelayakan Pembangkit
Listrik Tenaga Air Asahan IV
Sumatera Utara. Jurnal
Teknik Elektro dan
Informatika, 2(1): 1-5.
Rakhmanda, A. 2011. Estimasi
Populasi Gastropoda di
Sungai Tambak Bayan
Yogyakarta. Jurnal Ekologi
Perairan, 1: 1-7.
Riniatsih, I. Edi, W, K. 2009.
Substrat Dasar dan Parameter
Oseanografi Sebagai Penentu
Keberadaan Gastropoda dan
Bivalvia di Pantai Sluke
Kabupaten Rembang. Jurnal
Ilmu Kelautan, 14(1): 50-59.
Ruswahyuni. 2010. Populasi dan
Keanekaragaman Hewan
Makrobentos pada Perairan
Tertutup dan Terbuka di
Teluk Awur, Jepara. Jurnal
Ilmiah Perikanan dan
Kelautan, 2(1): 11-20.
7. Suin, N. 2002. Metoda Ekologi. Universita Andalas, Padang.