Infeksi adalah kehadiran agen infeksi dan respon imun tanpa gejala klinis. Rantai infeksi terdiri dari agen, reservoir, pintu keluar, transmisi, pintu masuk, dan pejamu. Pertahanan tubuh terdiri dari flora normal, peradangan, dan sistem imun. Diagnosa keperawatan untuk pasien rentan infeksi mencakup risiko infeksi dan cidera karena gangguan imunitas.
Dokumen tersebut membahas tentang asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan sistem imun khususnya imunodefisiensi. Secara ringkas dibahas mengenai patofisiologi HIV, gambaran klinis, tingkat infeksi HIV, dan infeksi oportunistik seperti Pneumonia Pneumocystis Karinii dan Citomegalovirus."
Imunologi adalah suatu cabang yang luas dari ilmu biomedis yang mencakup kajian mengenai semua aspek sistem imun (kekebalan) pada semua organisme. Imunologi antara lain mempelajari peranan fisiologis sistem imum baik dalam keadaan sehat maupun sakit.
10.faktor2 yang mempengaruhi terjadinya penyakit infeksiyemima wau
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya penyakit infeksi antara lain agen penyakit (virus, bakteri), sifat agen penyakit, dan interaksi antara tuan rumah dan agen. Reservoir sebagai sumber penularan meliputi manusia, hewan, dan benda mati yang menjadi tempat berkembang biaknya agen penyakit. Kontrol penyakit meliputi tindakan terhadap reservoir, pemutusan penularan, dan menurunkan kerentanan t
Makalah tekayasa genetika dan sistem imunMJM Networks
Dokumen tersebut membahas tentang sistem kekebalan tubuh dan rekayasa genetika. Sistem kekebalan tubuh terdiri atas pertahanan non-spesifik dan spesifik yang bekerja bersama melindungi tubuh dari patogen. Rekayasa genetika adalah manipulasi DNA untuk mengisolasi gen tertentu guna memproduksi protein atau mengubah organisme.
Infeksi adalah kehadiran agen infeksi dan respon imun tanpa gejala klinis. Rantai infeksi terdiri dari agen, reservoir, pintu keluar, transmisi, pintu masuk, dan pejamu. Pertahanan tubuh terdiri dari flora normal, peradangan, dan sistem imun. Diagnosa keperawatan untuk pasien rentan infeksi mencakup risiko infeksi dan cidera karena gangguan imunitas.
Dokumen tersebut membahas tentang asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan sistem imun khususnya imunodefisiensi. Secara ringkas dibahas mengenai patofisiologi HIV, gambaran klinis, tingkat infeksi HIV, dan infeksi oportunistik seperti Pneumonia Pneumocystis Karinii dan Citomegalovirus."
Imunologi adalah suatu cabang yang luas dari ilmu biomedis yang mencakup kajian mengenai semua aspek sistem imun (kekebalan) pada semua organisme. Imunologi antara lain mempelajari peranan fisiologis sistem imum baik dalam keadaan sehat maupun sakit.
10.faktor2 yang mempengaruhi terjadinya penyakit infeksiyemima wau
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya penyakit infeksi antara lain agen penyakit (virus, bakteri), sifat agen penyakit, dan interaksi antara tuan rumah dan agen. Reservoir sebagai sumber penularan meliputi manusia, hewan, dan benda mati yang menjadi tempat berkembang biaknya agen penyakit. Kontrol penyakit meliputi tindakan terhadap reservoir, pemutusan penularan, dan menurunkan kerentanan t
Makalah tekayasa genetika dan sistem imunMJM Networks
Dokumen tersebut membahas tentang sistem kekebalan tubuh dan rekayasa genetika. Sistem kekebalan tubuh terdiri atas pertahanan non-spesifik dan spesifik yang bekerja bersama melindungi tubuh dari patogen. Rekayasa genetika adalah manipulasi DNA untuk mengisolasi gen tertentu guna memproduksi protein atau mengubah organisme.
Gangguan autoimun terjadi ketika sistem kekebalan tubuh menyerang jaringan sehat di dalam tubuh sendiri. Gangguan ini dapat mempengaruhi berbagai organ dan jaringan tubuh, menyebabkan beragam gejala seperti rasa sakit, peradangan, dan kerusakan jaringan. Diagnosa melibatkan pemeriksaan darah untuk mendeteksi antibodi khusus, sedangkan pengobatan bertujuan menekan aktivitas sistem kekebalan dengan obat-obatan
Dokumen tersebut membahas tentang imunologi dan penyakit-penyakit yang berkaitan dengan sistem kekebalan tubuh. Terdapat penjelasan mengenai definisi imunologi, contoh penyakit seperti sindrom Goodpasture, gonore, dan tuberkulosis yang disebabkan oleh gangguan sistem imun.
Dokumen tersebut membahas tentang autoimunitas dan penyakit autoimun. Autoimunitas adalah respon kekebalan tubuh terhadap jaringan dan sel tubuh sendiri yang menyebabkan kerusakan. Penyakit autoimun disebabkan oleh faktor genetik, infeksi, kegagalan mekanisme toleransi, dan faktor lingkungan lainnya. Beberapa contoh penyakit autoimun yang dijelaskan adalah penyakit Graves, SLE, Sjogren, skleroderma
Dokumen tersebut membahas berbagai jenis penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri, virus, parasit, dan jamur seperti tuberculosis, difteria, petrusis, tetanus, demam tifoid, kusta, pes, antraks, cacar air, herpes, polio, influenza, ebola, hepatitis, rubeola, gondong, demam kuning, lymphocytic choriomeningitis, dan panu.
Penyakit autoimun terjadi ketika sistem kekebalan tubuh menyerang jaringan tubuh sendiri, menyebabkan kerusakan jaringan atau gangguan fisiologis. Gangguan autoimun dapat menyerang satu organ tertentu atau beberapa organ secara sistemik. Artritis reumatoid adalah contoh penyakit autoimun sistemik yang menyebabkan peradangan sendi kronis.
1. Imunisasi adalah upaya untuk menimbulkan kekebalan terhadap penyakit tertentu.
2. Penyakit yang bisa dicegah melalui imunisasi antara lain campak, difteri, pertusis, tetanus, Hib, MMR, polio, hepatitis, dan tuberkulosis.
3. Bayi yang diimunisasi masih bisa tertular namun kemungkinannya kecil dan penyakitnya lebih ringan.
patofisiologfi diagnosis dan penatalaksanaan HIV aids octo zulkarnain
Dokumen tersebut membahas tentang HIV/AIDS, mulai dari konsep dasar, patofisiologi, diagnosa, penatalaksanaan keperawatan dan penatalaksanaan medis. HIV adalah virus penyebab AIDS yang menyerang sel darah putih khususnya limfosit T. Infeksi HIV menyebabkan kelemahan sistem kekebalan tubuh sehingga mudah terkena infeksi opportunistik atau kanker. Diagnosa didukung dengan pemeriksaan laboratorium dan penatalaksanaannya meliputi
Paragraf pertama menjelaskan definisi alergi dan hipersensitivitas sebagai reaksi sistem imun terhadap antigen yang tidak berbahaya. Paragraf berikutnya menjelaskan empat tipe reaksi hipersensitif yang melibatkan berbagai jenis sel dan antibodi. Dokumen ini membahas mekanisme produksi IgE dan peran IgE dalam reaksi alergi serta kriteria protein yang berperan sebagai alergen.
Bab pertama membahas latar belakang imunologi sebagai cabang mikrobiologi yang mempelajari respons tubuh terhadap penyakit infeksi. Bab ini juga menjelaskan tujuan dan rumusan masalah yang akan dibahas lebih lanjut.
"[Ringkasan]"
Infeksi merupakan invasi tubuh oleh patogen yang dapat menyebabkan perubahan pada jaringan normal dan penyakit, tergantung pada daya invasi mikroorganisme dan respon pertahanan tubuh. Faktor-faktor seperti portal masuk, daya transmisi, kemampuan bertahan hidup, dan kerentanan hospes mempengaruhi perkembangan infeksi.
Case Presentation Co infection Miliary Tuberculosis and HIV/AIIDS Soroy Lardo
1. Dokumen tersebut membahas tentang ko-infeksi HIV dan TB, dimana kedua penyakit saling mempengaruhi dan memperburuk prognosis satu sama lain. 2. HIV menurunkan kekebalan tubuh sehingga meningkatkan risiko infeksi TB aktif, sementara replikasi HIV lebih tinggi pada lokasi infeksi TB. 3. Ko-infeksi meningkatkan replikasi kedua agen patogen dan merupitkan masalah kesehatan masyarakat yang serius.
Pasien berusia 43 tahun dirujuk dari RS Marthen Indey ke RSPAD Gatot Soebroto karena diduga menderita malaria berat disertai gagal ginjal akut dan hemoglobinuria setelah sebelumnya mengalami demam tinggi selama 4 hari."
Case Report : Integrating Review Inflammation and Commorbid diseasesSoroy Lardo
Diabetes is associated with atherosclerosis and COPD contributed to the chronic inflammation within the systemic vascular. Management of CVI with diabetes and COPD requires multi-disciplinary approach
Gangguan autoimun terjadi ketika sistem kekebalan tubuh menyerang jaringan sehat di dalam tubuh sendiri. Gangguan ini dapat mempengaruhi berbagai organ dan jaringan tubuh, menyebabkan beragam gejala seperti rasa sakit, peradangan, dan kerusakan jaringan. Diagnosa melibatkan pemeriksaan darah untuk mendeteksi antibodi khusus, sedangkan pengobatan bertujuan menekan aktivitas sistem kekebalan dengan obat-obatan
Dokumen tersebut membahas tentang imunologi dan penyakit-penyakit yang berkaitan dengan sistem kekebalan tubuh. Terdapat penjelasan mengenai definisi imunologi, contoh penyakit seperti sindrom Goodpasture, gonore, dan tuberkulosis yang disebabkan oleh gangguan sistem imun.
Dokumen tersebut membahas tentang autoimunitas dan penyakit autoimun. Autoimunitas adalah respon kekebalan tubuh terhadap jaringan dan sel tubuh sendiri yang menyebabkan kerusakan. Penyakit autoimun disebabkan oleh faktor genetik, infeksi, kegagalan mekanisme toleransi, dan faktor lingkungan lainnya. Beberapa contoh penyakit autoimun yang dijelaskan adalah penyakit Graves, SLE, Sjogren, skleroderma
Dokumen tersebut membahas berbagai jenis penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri, virus, parasit, dan jamur seperti tuberculosis, difteria, petrusis, tetanus, demam tifoid, kusta, pes, antraks, cacar air, herpes, polio, influenza, ebola, hepatitis, rubeola, gondong, demam kuning, lymphocytic choriomeningitis, dan panu.
Penyakit autoimun terjadi ketika sistem kekebalan tubuh menyerang jaringan tubuh sendiri, menyebabkan kerusakan jaringan atau gangguan fisiologis. Gangguan autoimun dapat menyerang satu organ tertentu atau beberapa organ secara sistemik. Artritis reumatoid adalah contoh penyakit autoimun sistemik yang menyebabkan peradangan sendi kronis.
1. Imunisasi adalah upaya untuk menimbulkan kekebalan terhadap penyakit tertentu.
2. Penyakit yang bisa dicegah melalui imunisasi antara lain campak, difteri, pertusis, tetanus, Hib, MMR, polio, hepatitis, dan tuberkulosis.
3. Bayi yang diimunisasi masih bisa tertular namun kemungkinannya kecil dan penyakitnya lebih ringan.
patofisiologfi diagnosis dan penatalaksanaan HIV aids octo zulkarnain
Dokumen tersebut membahas tentang HIV/AIDS, mulai dari konsep dasar, patofisiologi, diagnosa, penatalaksanaan keperawatan dan penatalaksanaan medis. HIV adalah virus penyebab AIDS yang menyerang sel darah putih khususnya limfosit T. Infeksi HIV menyebabkan kelemahan sistem kekebalan tubuh sehingga mudah terkena infeksi opportunistik atau kanker. Diagnosa didukung dengan pemeriksaan laboratorium dan penatalaksanaannya meliputi
Paragraf pertama menjelaskan definisi alergi dan hipersensitivitas sebagai reaksi sistem imun terhadap antigen yang tidak berbahaya. Paragraf berikutnya menjelaskan empat tipe reaksi hipersensitif yang melibatkan berbagai jenis sel dan antibodi. Dokumen ini membahas mekanisme produksi IgE dan peran IgE dalam reaksi alergi serta kriteria protein yang berperan sebagai alergen.
Bab pertama membahas latar belakang imunologi sebagai cabang mikrobiologi yang mempelajari respons tubuh terhadap penyakit infeksi. Bab ini juga menjelaskan tujuan dan rumusan masalah yang akan dibahas lebih lanjut.
"[Ringkasan]"
Infeksi merupakan invasi tubuh oleh patogen yang dapat menyebabkan perubahan pada jaringan normal dan penyakit, tergantung pada daya invasi mikroorganisme dan respon pertahanan tubuh. Faktor-faktor seperti portal masuk, daya transmisi, kemampuan bertahan hidup, dan kerentanan hospes mempengaruhi perkembangan infeksi.
Case Presentation Co infection Miliary Tuberculosis and HIV/AIIDS Soroy Lardo
1. Dokumen tersebut membahas tentang ko-infeksi HIV dan TB, dimana kedua penyakit saling mempengaruhi dan memperburuk prognosis satu sama lain. 2. HIV menurunkan kekebalan tubuh sehingga meningkatkan risiko infeksi TB aktif, sementara replikasi HIV lebih tinggi pada lokasi infeksi TB. 3. Ko-infeksi meningkatkan replikasi kedua agen patogen dan merupitkan masalah kesehatan masyarakat yang serius.
Pasien berusia 43 tahun dirujuk dari RS Marthen Indey ke RSPAD Gatot Soebroto karena diduga menderita malaria berat disertai gagal ginjal akut dan hemoglobinuria setelah sebelumnya mengalami demam tinggi selama 4 hari."
Case Report : Integrating Review Inflammation and Commorbid diseasesSoroy Lardo
Diabetes is associated with atherosclerosis and COPD contributed to the chronic inflammation within the systemic vascular. Management of CVI with diabetes and COPD requires multi-disciplinary approach
Bubble CPAP is an inexpensive respiratory support method for preterm newborns with respiratory distress syndrome. A study was conducted of 72 preterm newborns within 6 hours of birth who were randomized to receive either bubble CPAP or conventional oxygen therapy. Data on maturity, weight, presentation time, respiratory distress scores, duration of bubble CPAP, treatment failure, recurrent apnea, and survival rates were collected. The aim was to study the effectiveness of bubble CPAP for respiratory distress syndrome in preterm newborns.
Laki-laki 59 tahun dirawat dengan diagnosis sepsis akibat pneumonia nosokomial yang didukung oleh riwayat demam, penurunan nafsu makan, dan penurunan kesadaran sebelum masuk rumah sakit. Pasien memiliki riwayat diabetes mellitus selama 15 tahun dan hipertensi. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan peningkatan procalcitonin dan kultur sputum menemukan Acinetobacter baumannii. Pasien diberikan terapi resusitasi cairan dan antibiotik berdasark
1. Mrs. L, a 41-year-old woman, presented to the emergency room with chest pain for 3 days. Physical examination found her heart rate was 102 beats per minute.
2. Tests including ECG, bloodwork, chest x-ray were largely normal. The ECG showed ST depression.
3. She was assessed with unstable angina pectoris and prescribed aspirin, clopidogrel, nitroglycerin, and bisoprolol to treat her symptoms. Her prognosis was noted to be uncertain.
Injeksi intra vena narkoba amanda ko ass RSPAD Gatot SoebrotoSoroy Lardo
Tingkat penggunaan narkoba secara intravena meningkat setiap tahunnya dan menimbulkan berbagai komplikasi kesehatan. Salah satu komplikasi serius yang sering terjadi adalah infeksi bakteri. Bakteri masuk melalui kulit saat injeksi dan menyebar ke berbagai jaringan. Staphylococcus aureus dan Streptococcus sp. adalah penyebab utama infeksi pada pengguna narkoba intravena. Upaya pencegahan meliputi program pert
Imunitas terhadap parasit kompleks dan bervariasi bergantung pada jenis parasitnya. Imunitas bawaan melibatkan fagositosis namun parasit dapat resisten. Imunitas dapatan melibatkan respons Th1 dan Th2 serta antibodi tetapi seringkali tidak mampu mengeliminasi parasit secara utuh sehingga menyebabkan infeksi kronis.
Tiga kalimat ringkasan dokumen tersebut adalah:
Dokumen tersebut membahas tentang imunologi infeksi luka, termasuk peran sistem imun dalam mendeteksi dan menanggulangi infeksi, proses inflamasi akut, dan peran sel-sel imun seperti leukosit dalam merespons infeksi serta mikroorganisme yang sering menginfeksi luka.
Dokumen tersebut membahas tentang respons inflamasi dan autoimunitas. Terdapat beberapa mediator inflamasi seperti prostaglandin, histamin, sitokin, komplemen yang berperan dalam proses inflamasi. Sel fagosit seperti makrofag dan neutrofil juga berperan dalam mengeliminasi patogen. Toleransi imunologis diperlukan untuk mencegah terjadinya autoimunitas, namun kegagalan mekanisme toleransi dapat memicu penyakit autoimun.
Sistem imun merupakan sistem pertahanan tubuh yang kompleks yang terdiri atas komponen seluler dan nonseluler yang berperan melindungi tubuh dari berbagai zat asing dan patogen. Sistem ini terdiri atas sistem imun alami yang bersifat nonspesifik dan sistem imun didapat yang bersifat spesifik. Pemeriksaan Widal test digunakan untuk mendiagnosis infeksi Salmonella Typhi dengan memanfaatkan reaksi antara antigen bakteri dan antibodi yang di
Makalah ini membahas tentang autoimun dan imunodefisiensi. Autoimun adalah respon imun terhadap antigen tubuh sendiri yang menyebabkan disfungsi sistem kekebalan dan menyerang jaringan tubuh. Imunodefisiensi adalah gangguan sistem kekebalan yang menyebabkan infeksi berulang dan berat. Makalah ini menjelaskan penyebab, mekanisme, dan bentuk-bentuk autoimun dan imunodefisiensi seperti defisiensi sel B, sel
Dokumen tersebut membahas tentang imunitas terhadap parasit malaria dan toksoplasma gondii. Imunitas terhadap malaria melibatkan antibodi dan sel T yang membatasi parasit, sedangkan terhadap toksoplasma gondii melibatkan sel NK, makrofag, dan sel T untuk membatasi replikasi parasit dan membangun respons imun melalui sitokin.
Infeksi nosokomial adalah infeksi yang muncul selama perawatan di rumah sakit yang dapat disebabkan oleh berbagai agen patogen seperti bakteri, virus, jamur, dan parasit. Faktor-faktor seperti karakteristik agen infeksi, respon tubuh pasien, dan penggunaan alat medis berperan dalam perkembangan infeksi ini. Pencegahan infeksi nosokomial sangat penting untuk meningkatkan kualitas perawatan kesehatan.
Infeksi dan imunitas saling terkait, dimana infeksi dapat memicu respon imun tubuh. Ada empat jenis penyebab infeksi: virus, bakteri, parasit, dan jamur. Mekanisme pertahanan tubuh berbeda tergantung penyebab infeksinya, misalnya untuk virus melibatkan interferon dan sel T, sedangkan bakteri melibatkan komplemen dan fagositosis. Imunitas seluler dan humoral ikut berperan dalam melawan ketiga jenis penyebab sel
Similar to Interaksi infeksi dan penyakit autoimun (20)
A 71-year-old woman presented with fever, cough, and altered mental status. She was diagnosed with sepsis and acute kidney injury. She received empiric antibiotics and underwent hemodialysis to manage her organ dysfunction. Her condition improved over several days of treatment, though cultures did not identify a definite microbe.
Cardiac Manifestation in Dengue InfectionSoroy Lardo
Dengue Infection and Cardiac Manifestations How Important? Certainly greatly affect the clinical course of dengue patients with viremia phase - critical phase and recovery phase. Cardiac Manifestations, as an important organ that determines stable hemodynamics. What if our heart is disturbed? of course there is influence in management and prognosis. Please refer to this power point.
Fungal infections can occur due to the increasing use of broad-spectrum antibiotics and patients with immunodeficiency. Some pathogens, such as Cryptococcus, Candida,and Fusarium, rarely cause serious diseases in the normal host, while other endemic fungi, such as Histoplasmosis, Coccidiodes,and Paracoccidiodes can cause disease in a normal host, but has a tendency to be aggressive on immunocompromise.
Candida species are normal flora that may be an apportunistic pathogen. Candidiasis occurs in some diseases such as gastrointestinal mucosal esophagitis, a fungal disease associated with the use of catheters and in - patients who have mucosal damage or obtain broad – spectrum antibiotics. Other candidiasis consist of skin candidiasis, funguria candidiasis, disseminated candidiasis and endocarditis candidiasis. Candidemia is the fourth most common cause of nosocomial bloodstream infections in the United States and in many of the developed country. Invasive candidiasis has a significant impact on patient outcomes, and it has been estimated that the mortality of invasive candidiasis is as high as 47%. The mortality rates are 15%-25% for adults and 10%-15% for neonates and children. Diagnostic approach to fungal infection is a priority. The knowledge of the changes in epidemiology and risk factors for fungal infections, has become the main reference to measure optimal treatment of fungal infections.
Rabies : approach diagnostic and prophylaxisSoroy Lardo
Dokumen tersebut membahas tentang rabies dan profilaksis pasca paparan. Rabies adalah penyakit yang dapat dicegah dengan vaksinasi yang menyebabkan kematian 99.9% tanpa perawatan. Profilaksis pasca paparan meliputi pembersihan luka, vaksinasi, dan imunoglobulin berdasarkan kategori paparan.
Co Infection Dengue and HIV are simultanously infection. Dengue is viral infection with short term and clearence viremia. HIV is viral persistence infection with thrombocytopenia is caused by molecular mimicry
1. The patient, a 60-year-old man, presented with pale skin and fatigue for two days and was diagnosed with aplastic anemia four months ago requiring twice weekly platelet transfusions.
2. Physical examination found anemic conjunctiva, pale nails, and purpura on the arms and legs. Laboratory tests showed decreased red blood cell counts and pancytopenia.
3. The patient was diagnosed with aplastic anemia based on his history of frequent transfusions, physical findings, and low blood cell counts on laboratory tests. He received platelet transfusions and IV fluids and was advised to follow up every two weeks.
Manifestasi atipikal pada infeksi virus dengue dapat berupa demam tak terdiferensiasi, demam dengue atau DHF. Dokumen ini membahas kasus seorang wanita 32 tahun dengan keluhan nyeri perut kanan dan demam selama 11 hari yang diduga mengalami infeksi virus dengue bermanifestasi atipikal berdasarkan pemeriksaan fisik dan laboratorium.
MERS-CoV infection causes severe respiratory and substantial nonpulmonary organ dysfunctions and has a high mortality rate. Community acquired and health care–associated MERS-CoV infection occurs in patients with chronic comorbid conditions
The approach to sepsis certainly needs to be based on organ involement. The mysteri of the role of the heart associated with myocardial dysfunction, becomes a growing scientific challenge
Dokumen tersebut membahas tentang infeksi oleh Mycobacterium selain M. tuberculosis (NTM) yang dapat menginfeksi berbagai bagian tubuh termasuk paru. NTM lebih sering menginfeksi paru, kelenjar limfe, dan jaringan lunak. Faktor host dan karakteristik organisme berpengaruh terhadap kerentanan terhadap infeksi NTM. Kulturing dan identifikasi spesies NTM diperlukan untuk diagnosis dan penentuan pengobatan.
Case Presentation : Severe Dengue With Menstruation and Plasma Leakage Soroy Lardo
Laporan kasus ini membahas kasus seorang wanita usia 31 tahun dengan diagnosis Demam Berdarah Dengue (DHF) tingkat I yang dirawat selama 3 hari. Pasien mengeluh demam, nyeri sendi, nyeri kepala, dan muntah sejak 3 hari sebelumnya. Pemeriksaan fisik menunjukkan nyeri di daerah epigastrik dan hasil laboratorium menunjukkan leukopenia, trombositopenia, serta tes Dengue NS1 Ag positif. Diagnosis yang
Dokumen tersebut merupakan presentasi PowerPoint tentang demam kuning. Demam kuning adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh virus yellow fever dan ditandai dengan gejala ikterus, perdarahan, dan albuminuria berat. Penyakit ini tersebar di hutan tropis Afrika dan Amerika Selatan serta daerah subtropis Amerika Utara. Virus penyebabnya termasuk ke dalam famili Togaviridae genus Flavivirus. Penularan terjadi melalui gigitan nyam
- The patient, a 48-year-old housewife, presented with nausea, vomiting, loss of appetite, and 7 kg weight loss in the past month with a history of similar symptoms one month ago.
- She was diagnosed with dyspepsia and is being treated with soft food, IV fluids, and omeprazole to eliminate her symptoms while undergoing endoscopy to determine the cause of her dyspepsia.
- The goals are to relieve her current symptoms, identify the cause of her dyspepsia, and prevent future recurrent symptoms and complications through treatment and lifestyle changes.
Dokumen tersebut membahas rekomendasi kesehatan untuk wisatawan internasional dengan fokus pada traveller's diarrhea dan Zika virus. Dokumen menjelaskan bahwa 30% wisatawan mengalami traveller's diarrhea dan jumlah kasus Zika virus pada wisatawan yang mengunjungi Amerika meningkat, sehingga edukasi risiko penyakit dan pencegahannya penting. Dokumen ini juga memberikan panduan mengenai gejala, penyebab, diagnosis, pencegahan, dan penanganan dari
Demam berdarah virus adalah penyakit parah yang disebabkan oleh beberapa jenis virus dan ditandai dengan gejala perdarahan. Termasuk dalam keluarga virus Arenaviridae, Bunyaviridae, Filoviridae, dan Flaviviridae. Penularannya melalui hewan reservoir seperti tikus dan vektor seperti nyamuk dan kutu. Gejalanya bervariasi dari ringan seperti demam hingga berat seperti perdarahan parah. Diagnosis didasarkan pada pemerik
1.Kebutuhan Dasar Neonatus, Bayi, Balita, dan Anak Pra Sekolah.pptx
Interaksi infeksi dan penyakit autoimun
1. REFERAT
INTERAKSI INFEKSI DENGAN PENYAKIT AUTOIMUN
DISUSUN OLEH :
THIRAFI PRASTITO
1102012294
PEMBIMBING :
Dr. dr. Soroy Lardo, SpPD,FINASIM
Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi
Departemen Penyakit Dalam
RSPAD Gatot Soebroto /Fakultas Kedokteran UPV Veteran Jakarta
2. PENDAHULUAN
Pada hakikatnya interaksi antara infeksi dan penyakit autoimun bisa
beraneka ragam meliputi :
Pengaruh infeksi terhadap penyakit autoimun, efek protektif respons imun
infeksi pada penyakit autoimun, serta dampak penyakit autoimun terhadap
perjalanan penyakit.
3. INTERAKSI INFEKSI DENGAN PENYAKIT AUTOIMUN
Interaksi antara infeksi dan penyakit autoimun adalah
1. Infeksi menginduksi penyakit autoimun
2. Infeksi memperberat dan atau memicu eksaserbasi penyakit autoimun
3. Infeksi mencegah munculnya penyakit autoimun
4. Penyakit autoimun terutama terkait status imun dana tau sedang mendapatkan intervensi terapi
imunosupresan jangka lama akan memicu perkembangan infeksi ke gradasi berat dalam waktu
singkat.
4. INFEKSI SEBAGAI PEMICU PENYAKIT AUTOIMUN
Mikroorganisme memfasilitasi sinyal spesifik
antigen semacam molekul atau melalui
mobilisasi antigen endogen
Memicu proses inflamasi, menggerakkan sinyal
nonspesifik antigen yang meningkatkan
respons imun melalui efek adjuvant
Proses ini dapat dipicu oleh antigen tunggal atau multiantigen mikroorganisme sehingga
muncul penyakit autoimun. Antigen mikroorganisme sebagai pemicu tersebut dapat berasal dari
bakteri, virus, protozoa, maupun mikroplasma. Selain sitokin pemicu inflamasi sistemik, maka
komponen peptidoglikan, endotoksin mikroorganisme dapat berperan dalam memicu penyakit
autoimun.
5. DAMPAK VIRUS TERHADAP PENYAKIT AUTOIMUN
Infeksi virus rubella, hepatitis B, virus Epstein barr dapat pula sebagai pemicu penyakit
autoimun yang diduga menyebabkan terjadi perubahan respons imun terhadap antigen eksogen
maupun antigen endogen, meskupun hal ini memerlukan penelitian lanjut.
6. DAMPAK BAKTERI, JAMUR, DAN PROTOZOA TERHADAP PENYAKIT AUTOIMUN
Pada demam reuma, bakteri streptokok sebagai pemicu faringitis akut yang berlangsung 2-4
minggu sebelumnya. Selanjutnya memicu tiga gejala utama yaitu artritis, karditis dan chorea.
Pada chorea ditandai gerakan tak terkendali dari otot muka, lengan dan tungkai. Pada
pemeriksaan imunologis didapatkan antibody yang bereaksi dengan protein M dari bakteri
penyebab. Antigen streptokok tersebut memiliki epitope mirip dengan jaringan miokard jantung
manusia dan antibody terhadap streptokok dan menyerang jantung. Antigen streptokok bereaksi
silang dengan antigen otot jantung, menimbulkan kerusakan dan penyakit demam reuma.
7. INFEKSI PEMICU EKSASERBASI PENYAKIT AUTOIMUN
Helicobacter pylori (Hp) merupakan bakteri yang banyak di mukosa lambung. Hp sering sebagai
penyebab gastritis, tukak peptic, keganasan gaster, limfoma terkait jaringan limfoid mukosa.
Akhir-akhir ini Hp ditemukan terkait penyakit autoimun seperti artritis rematoid, tiroidits
autoimun, sindrom sjorgen, purpura schonlein Henoch, dan purpura trombositopenik autoimun.
Hp berperan sebagai
mamicu respons imun
Autoreaktif molekul
sehingga diproduksi sitokin
proinflamatori dalam kadar
tinggi
Merusak mukosa
melalui proses
autoimun
8. GENETIK
Kembar siam monozigot, salah satu diantaranya dapat mengalami eksaserbasi sclerosis multiple,
maka kembarannya sekitar 25-30% juga mengalami eksaserbasi sclerosis multiple
interaksi HLA pada sclerosis multiple terutama HLA DRw15, DQ w6, Dw2 pada beberapa bangsa eropa
Caucasian dan amerika utara
Infeksi virus campak mempunyai pengaruh sekitar 90% terhadap kembar monozigot untuk memunculkan
sclerosis multiple. Jadi factor infeksi terutama akibat sekitar 24 jenis virus maupun bakteri, keduanya dapat
sebagai pencetus serangan ulang sclerosis multiple. mekanismenya melalui induksi IL-2, IL-6 dan IFN-y.
9. INFEKSI PADA PENYAKIT AUTOIMUN
Penyakit autoimun yang jatuh ke posisi imunokompromais, membuka peluang spectrum infeksi menjadi luas dan
cenderung berat. Hal tersebut akibat pengaruh multimikroorganisme dan menurunnya system imun tubuh inang. Hasil
akhir kejadian infeksi sangat dipengaruhi oleh kecepatan mengenal organisme penyebab infeksi, kepekaan organisme
penyebab infeksi tersebut terhadap antimikroba, interaksi dengan respons imun tubuh, serta kecepatan kita bertindak.
Penyakit infeksi bila tidak mendapat penatalaksanaan optimal dapat menjadi ancaman serius, potensial berkembang
ke infeksi berat dan sepsis. Penyulit sepsis yang yang paling berbahaya adalah syok septik dan sindrom disfungsi
multiorgan (MODS). Hal ini merupakan kondisi serius dengan angka kematian yang tinggi.
10. Faktor internal
Yang sangat menentukan adalah factor imun, status nutrisi, dan proses apoptosis,
serta penyakit dasar yang telah ada termasuk penyakit autoimun.
System imun terdesak ke posisi
imunokompromais akibat
terapi imunosupresan jangka
lama atau akibat progresivitas
penyakit sendiri
Individu menjadi
rentan terhadap
infeksi
Lemahnya system imun
tubuh membuka peluang
mikroorganisme untuk
tumbuh kembang tak
terkendali
Potensial berkembang
kearah gradasi infeksi
berat dan sepsis
11. Autoimunitas adalah respons imun terhadap antigen jaringan sendiri yang
disebabkan kegagalan mekanisme normal dalam toleransi sel sendiri.
Autoimunitas terjadi karena antigen sendiri dapat menimbulkan aktivasi, proliferasi
serta diferensiasi sel T autoreaktif menjadi sel efektor yang menimbulkan kerusakan
jaringan dan berbagai organ. Antibody maupun sel T dapat mempunyai peran
dalam pathogenesis penyakit autoimun.
AUTOIMUNITAS
12. Infeksi
Respons imun tubuh akan
berusaha melawan antigen
mikroorganisme yang masuk
Bila reaksi berlangsung berlebihan
atau mikroorganisme mampu
bertahan persisten sebagai inductor
Penyakit autoimun
13. Antibody yang terbentuk akan
mengikat antigen mikroorganisme
membentuk kompleks imun
Antigen pemicu disebut autoantigen,
sedangkan antibody yang dibentuk
disebut autoantibodi
Menempel pada
jaringan memicu
inflamasi
Sel autoreaktif yang
diinduksi infeksi adalah
limfosit yang mempunyai
reseptor autoimun
Respons
autoimun
14. Intervensi mikroorganisme terhadap sel sasaran berakibat disekresi sitokin. Berbagai sitokin
inflamatori yang dapat terlibat selama infeksi, infeksi berat, dan sepsis antara lain adalah IL-1β,
IL-6, TNFα, MIP-2α. Di samping sitokin inflamatori juga ikut terlibat sitokin antiinflamatori
antara lain IL-10, IL-IRA, reseptor soluble TNF I dan II.
Peningkatan kadar TNFα, IL-1β dan IL-6 mencetuskan berbagai gambaran sepsis termasuk
demam, takikardia, takipnea, leukositosis, myalgia dan somnolen. Kadar TNFα yang tinggi
menginduksi terjadinya syok, koagulasi intravascular diseminata (KID), kegagalan multiorgan
dan kematian. Berbagai sitokin lain, terutama IL-8 juga meningkat kadarnya di tempat infeksi
15. Pada sepsis juga terjadi aktivasi jalur ekstrinsik maupun intrinsic, terjadi gangguan
fungsi protein C, menghambat jalur protein S dan penurunan antirombin.
Fibrinolysis dapat dihambat melalui peningkatan aktovator inhibitor 1 plasminogen
dalam plasma. Akibatnya terjadi deposisi fibrin intravaskuler, tombosis, serta perdarahan,
terjadi hipotensi dan KID.
16. PENATALAKSANAAN INFEKSI PADA PENYAKIT AUTOIMUN
Infeksi pada penyakit autoimun perlu mendapatkan perhatian serius terutama yang terdorong
masuk ke status imunokompromais. Pada imunokompromais antimikroba yang diberikan dapat
kombinasi. Hal ini penting mengingat pada imunokompromais kuman yang tumbuh kembang
bisa multimikroorganisme
Antibiotika diberikan berlandaskan peta medan kuman, sumber infeksi, potensi pelepasan
endotoksin. Bila ada indikasi antibiotika diberikan seawal mungkin, memiliki kemampuan
membunuh mikroorganisme, spectrum luas mampu bekerja intra dan ekstraseluler.
17. Sambil menunggu hasil pemeriksaan mikrobiologi. Terapi empiris pemberian antimikroba segera
dimulai sedini mungkin dalam 24 jam pertama.
Antimikroba terpilih mempunyai spectrum luas, mampu bekerja lebih awal, potensi menginduksi
resistensi minimal, dapat dikombinasi dengan antibiotika lain, berdasarkan kecurigaan sumber
infeksi, pengecatan gram, peta medan kuman dan pola resistensi setempat, asal infeksi nasokomial
atau komunitas, status imun penderita dan mempertimbangkan factor bacteremia serta
endotoksemia.
18. Salah satu contoh, sefalosporin generasi empat, imipenem-cilastatin mempunyai spectrum
luas, efektif terhadap bakteri gram positif dan gram negative termasuk strain yang resisten
terhadap aminoglikosida atau sefalosporin generasi ketiga, cukup stabil terhadap hidrolisis
beta lactamase, daya penetrasi tinggi ke dalam dinding sel bakteri gram-negatif. Jenis
antibiotic ini dapat membantu eliminasi bakteri selama infeksi berlangsung.
19. Tindakan terapi intervensi termasuk insersi pemasangan infus, indwelling
kateter harus dirawat dengan baik agar tidak menambah jumlah dan jenis
mikroorganisme pemicu infeksi. Hal ini perlu diperhatikan mengingat penyakit
autoimun terutama yang dalam posis imunokompromais sangat rentan terhadap
infeksi.
PENCEGAHAN DI RS
20. Penatalaksanaan penyakit infeksi pada penyakit autoimun dengan situasi imunokompromais,
upaya pencegahan sekunder penting dilakukan. Pertama, mencegah agar infeksi berkembang
ke sepsis. Kedua, agar sepsis tidak menjadi syok septik dan MODS.
Pencegahan dilakukan melalui 2 fase, yaitu fase resusitasi dan perawatan intensif.
PENCEGAHAN
21. Fase resusitasi
Menjamin kecukupan cairan dan elektrolit, monitoring resusitasi cairan dan koreksi gangguan
keseimbangan asam-basa, evaluasi pasien dan hindari kelambanan maupun kesalahan diagnosis
Fase perawatan intensif
Dukungan nutrisi berbasis makronutrien dan mikronutrien sedini mungkin, pasang alat bantu
pernafasan bila ada indikasi, berikan antibiotika yang tepat, minimalkan transfuse untuk menghindari
penularan mikroorganisme, dan imunoterapi
22. TERAPI IMUNOGLUBULIN
Infeksi akut yang berkembang pada imunokompromais, maka imunoglobulin mempunyai
peran untuk menginaktivasi toksin dan menghambat laju intervensi berbagai mikroorganisme
termasuk virus dan bakteri. Imunoglobulin mencegah ikatan pada reseptor, mencegah aktivasi
sel target sehingga efektif sebagai terapi ajuvan pada infeksi berat.
23. IgG eksogen
Reseptor Fcγ2b yang
diekspresika pada
permukaan membrane
limfosit B
Blokade terhadap
aktivitas limfosit
Menurunkan
produksi sitokin
proinflamatori
Endotel terproteksi,
performen vascular dan
jantung dapat
dipertahankan optimal
24. Pada infeksi, imunoglobulin juga mempunyai peran untuk memblokade pengaruh supernatigen,
sehingga tidak berpengaruh lebih lanjut terhadap intervensi pada jaringan.
Secara langsung imunoglobulin mengikat reseptor sel T sehingga overstimulasi sel T dapat dihindari,
inflamasi yang potensial berlangsung sistemik dapat dihindari, pengaruh autositotoksik dan autoreaktif
dapat dicegah.
25. Imunoglobulin 5S dan 7S di dalam implikasi klinis mempunyai peran strategis terutama dalam
upaya mencegah intervensi mikroorganisme, sebagai terapi substisusi defisiensi imun primer
dan sekunder.
Pemberian IVIG merupakan terapi suplemen pada penatalaksanaan infeksi berat. IVIG dapat
memperbaiki efektivitas antibiotika beta lactam, menurunkan aktivitas mediator inflamasi,
bersama IgG endogen merupakan imunopotensi pada fase akut, mengurangi lama perawatan
infeksi berat.
26. Pada infeksi, imunoglobulis 5S berperan antiinflamasi dan aktivitas antitoksin. Imunoglobulin 7S
lebih berperan sebagai imunomodulasi. Selain itu imunoglobulin 7S juga mempunyai efek
netralisasi, dan eliminasi toksin, efek antibakteri, efek antiviral, meningkatkan efek fagositosis
makrofag melalui peran reseptor Fc dan reseptor C3b
27. IMUNOGLOBULIN 7S
Karena berpotensi mengikat reseptor Fc pada limfosit B berarti mempunyai pengaruh
imunosupresan, maka imunoglobulin 7S sesuai dalam penatalaksanaan penyakit autoimun maupun
penyakit infeksi yang dilandasi penyakit autoimun. Setelah pemberian imunoglobulin 7S intravena,
antibodi akan berusaha mengikat antigen spesifik dan membentuk kompleks imun dilanjutkan
dengan upaya eliminasi fagositosis
28. IMUNOGLOBULIN 5S,
Sebagai molekul bebas dengan waktu paruh 12-36 jam tidak mengikat reseptor Fc, sehingga tidak
bersifat imunosupresan. Imunoglobulin 5S lebih banyak dipakai pada infeksi berat karena tidak
mengikat reseptor Fc.
29. Di klinis imunoglobulin dapat dimanfaatkan dalam penatalaksanaan penyakit imunodefisiensi, penyakit infeksi,
dan penyakit autoimun. Sebagai terapi pengganti, imunoglobulin pada penderita defisiensi imunoglobulin (IgG)
yang mengalami infeksi serius berulang. Keadaan ini memerlukan IVIG, 400-500mg/kg selama 5 hari, interval
setiang 3-4minggu atau dosis rumatan 5,0 g/L. untuk defisiensi IgG ringan atau sedang memerlukan 3,0-5,0 g/L.
Setiap 1ml sediaan mengandung imunoglobulin 50mg yang terdiri atas IgG (80%), IgA (12%) dan IgM (8%),
asam aminoasetat, dan natrium klorida.
30. TERAPI NUTRISI
Penatalaksanaan nutrisi penting untuk mencegah serta mengatasi progresivitas infeksi. Infeksi pada penyakit
autoimun memerlukan dukungan nutrisi lengkap. System imun yang imunokompromais tidak begitu saja mudah
ditanggulangi, tetapi dapat dihambat dengan cara mencegah melalui terapi nutrisi medis berlandaskan
makronutrien dan mikronutrien.
Pada infeksi berat dan sepsis juga terjadi penurunan antioksidan spesieas lain seperti asam askorbat, karotinoid,
selenium, Zinc, Copper, Iron. Selenium merupakan parameter terpenting daripada albumin, Fe, Zn terhadap resiko
kematian penderita. Gluthation perosidase (GPx), thioredoxine reductase, dan selenoprotein-P mempunyai peran
penting sebagai antioksidan dan detoksikasi ROS.
31. TERAPI STEROID
Steroid berpengaruh terhadap transkripsi gen. steroid dapat meningkatkan transkripsi gen:
lipokortin-1, beta2-adrenoreseptor, endonukleasis, inhibitor protease sekretori leukosit,
inhibitor protein IkB.
Steroid dapat menurunkan transkripsi: sitokin (TNF-α, IL-1, IL-2, IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, IL-
8, IL-11, IL-12, IL-13, GM-CSF, regulated upon activation normal T cell expressed and
secreted (RANTES), macrophage inflammatory protein-1 α (MIP-1α), iNOS, inductor
COX-2, inductor PLA2, endotelin-1, reseptor NK-1, ICAM-1, E-selectin.
32. Terapi steroid untuk infeksi pada penyakit autoimun bermanfaat untuk eliminasi pengaruh inflamasi.
Baik infeksi dan penyakit autoimun terjadi peningkatan berbagai produk mediator dan produk protein
spesifik. Produk mediator dan produk lain meliputi sitokin proinflamatori, radikal bebas, enzim
posfolipase A2 (PLA2), nitric okside sangat menentukan status endotel, vaskuler, dan miokard
33. Perubahan pada endotel, tonus vaskuler, dan miokard penderita sepsis mengakibatkan terjadi gangguan
hemodinamik. Situasi tersebut semakin diperberat oleh keadaan krisis energy akibat tuntutan hipermetabolik,
terutama bila tanpa diimbangi asupan nutrisi secara memadai.
Gangguan elektrolit dan distribusi oksigen yang tidak adekuat akan semakin memperberat. Keadaan tersebut
memicu gangguan hemodinamik refrakter dana tau ketergantungan terhadap dukungan obat vasopressor.
34. Infeksi pada penyakit autoimun yang berkembang berat ke sepsis, syok septik, sindrom distress
respiratori akut perlu dukungan steroid untuk mencegah munculnya sindrom disfungsi multiorgan.
Pada keadaan ini steroid diberikan sedini mungkin, dalam jangka pendek.
Beberapa keadaan yang juga memerlukan terapi steroid adalah pasien sepsis dengan insufisiensi renal
diikuti :
[(adrenalitis autoimun, tuberculosis, metastase adrenal, perdarahan, infeksi bakteri (meningiococcemia),
infeksi virus (sitomegalovirus), atau dan relative hipoadrenalism akibat induksi obat (terapi steroid
sebelumnya, tetapi phenytoin, ketokonazol atau etomidate)].
Pasien yang sebelumnya didiagnosis insufisiensi adrenal, diberikan steroid dosis 100-150mg
hidrokortison perhari.
35. Terapi steroid pada sepsis diutamakan untuk penderita sepsis dengan gangguan hemodinamik
refraketer dan terus menerus memerlukan dukungan vasopressor.
Beberapa studi menetapkan pemberian dosis suprafisiologi (hingga 30mg/kg metilprednisolon)
diberikan sedini mungkin pada pasien sepsis, dianjurkan pemberian jangka pendek (24-36 jam).
Studi akhir akhir ini steroid dianjurkan diberikan (200-300 mg hidrokortison per hari) pada kasus
berat diberikan dalam waktu lebih lama (lebih 5 hari).
TERAPI STEROID TERHADAP SEPSIS
36. DAFTAR PUSTAKA
1. Abbas AK, Lichtman AH, Pillai SHIV, 2010, Role of Infections in Autoimmunity, In: Cellular and Molecular
Immunology. Editors: Abbas AK, Litchman AH, Pillai SHIV, Philadelphia,pp.
2. Adams CA, Deitch EA, 2002. Prevention of Organ Injury and MODS, In: Sepsis and Multiple Organ Dysfunction.
Editors: Deitch EA, Vincent JL, Windsor A, W.B.Saunders. London,pp.
3. Akin E, McHugh GL, Flavell RA, Fikrig E, Steere AC, 1999. The Immunoglobulin (IgG) Antibody Response to OspA
dan OspB Correlates with Severe and Prolonged Lyme Arthritis and the IgG Response to P35 Correlates with Mild and
Brief Arthritis. Editor: McGhee JR. Infection and Immunity 67, 173-181.
4. Alejandria MM, Lansang MA, Dans LF, Mantaring JBC, 2005. Intravenous Immunoglobulin for Treating Sepsis and
Septic Shock (Cochrane Review). The Cochrane Library, Issue 2, 1465-1858.
5. Antelman G, Msamanga GI, Spiegelman D, Urassa EJN, 2000. Nutritional factors and infectious disease contribute to
anemia among pregnant women with human immunodeficiency virus in Tanzania. J.Nutr. 130: 1950-1957.
6. Baratawidjaya KG, 2006. Autoimunitas yang Berhubungan dengan Infeksi. Dalam: Immunologi Dasar. Edisi ke-7.
FKUI, Jakarta, 241-242.
37. 7. 7.Cerra FB, Benitez MR, Blackburn GL, Irwin RS, Jeejeebhoy K, 1997. Applied nutrition in ICU patients. Chest 111: 769-
778.
8. Christen URS, Herrath MV, 2005. Infections and Autoimmunity. Journal of Immunology, 174, 7481-7486.
9. Cunha BA, 2008. Antibiotic Essentials. 7th edition. Editors: Cunha BA. New York, pp. 513-514.
10. Daud R, 2006. Artritis Rheumatoid. Dala: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II, Edisi IV. Editor: Sudoyo AW, Setiyohadi
B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Jakarta, hlm. 1184-1191.
11. Deitch EA, Mohr AM, 2002. Antimicrobial Strategies and Antibiotic Resistance In: Sepsis and Multiple Organ Dysfunction.
Editors: Deitch EA, Vincent II< Windsor A, London,pp.
12. Fujunami RS, 2001. Can Virus Infection Trigger Autoimmune Dissease? Journal of Autoimmune
13. Hasbun R, 2007. Role of Adjunctive Steroids. In: Infections Disease Emergency Department Diagnosis and Management.
Editors: Slaven EM, Stone SC, Lopez FA. International Edition. New York. Pp
14. Munford RS, 2005. Severe Sepsis and Septic Shock. In: Harrison’s Principles of Internal Medicine. Vol II. 16th Edition.
Editors: Kasper DL, Fauci AS, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL. McGraw-Hill Medical Publishing
Division. New York, pp. 1606-1612