Risalah ini disampaikan dengan Amanah Penting :
Hendaklah orang yang berqurban melaksanakan qurban karena Allah semata. Jadi niatnya haruslah ikhlas lillahi ta’ala, yang lahir dari ketaqwaan yang mendalam dalam dada kita. Bukan berqurban karena riya` agar dipuji-puji sebagai orang kaya, orang dermawan, atau politisi yang peduli rakyat, dan sebagainya. Sesungguhnya yang sampai kepada Allah SWT adalah taqwa kita, bukan daging dan darah qurban kita. Allah SWT berfirman:
لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ
“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketaqwaan daripada kamulah yang mencapainya.” (TQS Al Hajj : 37)
2. Kata kurban atau korban, berasal dari bahasa
Arab qurban, diambil dari kata : qaruba (fi’il
madhi) – yaqrabu (fi’il mudhari’) – qurban wa
qurbânan (mashdar). Artinya, mendekati
atau menghampiri (Matdawam, 1984).
Menurut istilah, qurban adalah segala
sesuatu yang digunakan untuk mendekatkan
diri kepada Allah baik berupa hewan
sembelihan maupun yang lainnya (Ibrahim
Anis et.al, 1972). Dalam bahasa Arab, hewan
kurban disebut juga dengan istilah udh-hiyah
atau adh-dhahiyah
3. Kata ini diambil dari kata dhuhâ, yaitu
waktu matahari mulai tegak yang
disyariatkan untuk melakukan
penyembelihan kurban, yakni kira-kira
pukul 07.00 – 10.00 (Ash Shan’ani, Subulus
Salam, IV/89).
Udh-hiyah adalah hewan kurban (unta,
sapi, dan kambing) yang disembelih pada
hari raya Qurban dan hari-hari tasyriq
sebagai taqarrub (pendekatan diri) kepada
Allah (Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, XIII/155;
Al Ja’bari, 1994).
4. Qurban hukumnya sunnah, tidak wajib.
Imam Malik, Asy Syafi’i, Abu Yusuf, Ishak
bin Rahawaih, Ibnul Mundzir, Ibnu Hazm
dan lainnya berkata,”Qurban itu hukumnya
sunnah bagi orang yang mampu (kaya),
bukan wajib, baik orang itu berada di
kampung halamannya (muqim), dalam
perjalanan (musafir), maupun dalam
mengerjakan haji.” (Matdawam, 1984)
5. Ukuran “mampu” berqurban, hakikatnya
sama dengan ukuran kemampuan
shadaqah, yaitu mempunyai kelebihan
harta (uang) setelah terpenuhinya
kebutuhan pokok (al hajat al asasiyah) –
yaitu sandang, pangan, dan papan– dan
kebutuhan penyempurna (al hajat al
kamaliyah) yang lazim bagi seseorang. Jika
seseorang masih membutuhkan uang untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut,
maka dia terbebas dari menjalankan
sunnah qurban (Al Ja’bari, 1994) .
6. Dasar kesunnahan qurban antara lain, firman
Allah SWT :
ْرَحْانَو َكِّبَرِّل ِّلَصَف
Maka dirikan (kerjakan) shalat karena
Tuhanmu, dan berqurbanlah.” (TQS Al Kautsar
: 2).
ْمُكَل ٌةَّن ُس َو ُهَو ِّر ْحَّالنِّب ُتْرِّم ُأ
“Aku diperintahkan (diwajibkan) untuk
menyembelih qurban, sedang qurban itu bagi
kamu adalah sunnah.”(HR.At-Tirmidzi)
7. ِّجاَوِّب َسْيَل َو ُر ْحَّالن َّيَلَع َبِّتُكْمُكْيَلَع ٍب
“Telah diwajibkan atasku (Nabi SAW)
qurban dan ia tidak wajib atas kalian.”
(HR. Ad Daruquthni)
Dua hadits di atas merupakan qarinah
(indikasi/petunjuk) bahwa qurban adalah
sunnah. Firman Allah SWT yang berbunyi
“wanhar” (dan berqurbanlah kamu) dalam
surat Al Kautas ayat 2 adalah tuntutan untuk
melakukan qurban (thalabul fi’li).
8. Sedang hadits At Tirmidzi, “umirtu bi an nahri
wa huwa sunnatun lakum” (aku diperintahkan
untuk menyembelih qurban, sedang qurban itu
bagi kamu adalah sunnah), juga hadits Ad
Daruquthni “kutiba ‘alayya an nahru wa laysa
biwaajibin ‘alaykum” (telah diwajibkan atasku
qurban dan ia tidak wajib atas kalian);
merupakan qarinah bahwa thalabul fi’li yang ada
tidak bersifat jazim (keharusan), tetapi bersifat
ghairu jazim (bukan keharusan). Jadi, qurban itu
sunnah, tidak wajib. Namun benar, qurban
adalah wajib atas Nabi SAW, dan itu adalah salah
satu khususiyat beliau (lihat Rifa’i et.al.,
Terjemah Khulashah Kifayatul Akhyar, hal. 422).
9. Orang yang mampu berqurban tapi tidak
berqurban, hukumnya makruh. Sabda Nabi
SAW:
ْقَي الَف ِّحَضُي ْمَلَو ٌةَع َس ُهَل َانَك ْنَمنا الَصُم َّنَبَر
“Barangsiapa yang mempunyai kemampuan
tetapi ia tidak berqurban, maka janganlah
sekali-kali ia menghampiri tempat shalat kami.”
(HR. Ahmad, Ibnu Majah, dan Al Hakim, dari Abu
Hurairah RA. Menurut Imam Al Hakim, hadits ini
shahih. Lihat Subulus Salam IV/91)
10. Perkataan Nabi “fa laa yaqrabanna
musholaanaa” (janganlah sekali-kali ia
menghampiri tempat shalat kami) adalah
suatu celaan (dzamm), yaitu tidak layaknya
seseorang -yang tak berqurban padahal
mampu– untuk mendekati tempat sholat Idul
Adh-ha. Namun ini bukan celaan yang
sangat/berat (dzamm syanii’) seperti halnya
predikat fahisyah (keji), atau min ‘amalisy
syaithan (termasuk perbuatan syetan), atau
miitatan jaahiliyatan (mati jahiliyah) dsb.
11. Namun hukum qurban dapat menjadi wajib,
jika menjadi nadzar seseorang, sebab
memenuhi nadzar adalah wajib sesuai hadits
Nabi SAW :
َو ُهْعِّطُيْلَف َ َّاَّلل َعيِّطُي ْنَأ َرَذَن ْنَمُهَيِّصْعَي ْنَأ َرَذَن ْنَم
ِّهِّصْعَي الَف
“Barangsiapa yang bernadzar untuk ketaatan
kepada Allah, maka hendaklah ia
melaksanakannya. Barangsiapa yang bernadzar
untuk kemaksiatan kepada Allah, maka
janganlah ia melaksanakannya.” (HR al-Bukhari,
Abu Dawud, al-Tirmidzi)
12. Qurban juga menjadi wajib, jika seseorang
(ketika membeli kambing, misalnya)
berkata,”Ini milik Allah,” atau “Ini
binatang qurban.” (Sayyid Sabiq, 1987; Al
Jabari, 1994).
13. Berqurban merupakan amal yang paling
dicintai Allah SWT pada saat Idul Adh-ha.
Sabda Nabi SAW
ًالَمَع ِّرْحَّالن َمْوَي َمَدآ ُنْبا َلِّمَع اَمِّ َّاَّلل ىَلِّإ َّبَحَأ
ٍمَد ِّةَاقَرِّه ْنِّم َّلَجَو َّزَع
“Tidak ada suatu amal anak Adam pada
hari raya Qurban yang lebih dicintai Allah
selain menyembelih qurban.” (HR. At
Tirmidzi) (Abdurrahman, 1990)
14. Berdasarkan hadits itu Imam Ahmad bin
Hambal, Abuz Zanad, dan Ibnu Taimiyah
berpendapat,”Menyembelih hewan pada
hari raya Qurban, aqiqah (setelah
mendapat anak), dan hadyu (ketika haji),
lebih utama daripada shadaqah yang
nilainya sama.” (Al Jabari, 1994).
15. Tetesan darah hewan qurban akan
memintakan ampun bagi setiap dosa orang
yang berqurban. Sabda Nabi SAW :
يغفر فانه اضحيتك فاشهدي قومي فاطمة يا
ذنب كل دمها من من تقطر قطرة باول لك
عملته
“Hai Fathimah, bangunlah dan
saksikanlah qurbanmu. Karena setiap
tetes darahnya akan memohon ampunan
dari setiap dosa yang telah kaulakukan…”
(HR al-Baihaqi, lihat Sayyid Sabiq, Fikih
Sunnah XIII/165)
16. Waktu
Qurban dilaksanakan setelah sholat Idul
Adh-ha tanggal 10 Zulhijjah, hingga akhir
hari Tasyriq (sebelum maghrib), yaitu
tanggal 13 Zulhijjah. Qurban tidak sah bila
disembelih sebelum sholat Idul Adh-ha.
Sabda Nabi SAW:
َذ اَمَّنِّإَف ِّة َالَّالص َلْبَق َحَبَذ ْنَمْنَمَو ِّهِّسْفَنِّل َحَب
َةَّن ُس َابَصَأَو ُهُك ُسُن َّمَت ْدَقَف ِّة َالَّالص َدْعَب َحَبَذ
َينِّمِّل ْسُمْال
17. “Barangsiapa menyembelih qurban
sebelum sholat Idul Adh-ha (10 Zulhijjah)
maka sesungguhnya ia menyembelih untuk
dirinya sendiri. Dan barangsiapa
menyembelih qurban sesudah sholat Idul
Adh-ha, maka sesungguhnya ia telah
menyempurnakan ibadahnya (berqurban)
dan telah sesuai dengan sunnah
(ketentuan) Islam.” (HR. Bukhari)
18. Sabda Nabi SAW :
ٌحْبَذ ِّقيِّر ْشَّالت ِّماَّيَأ ُّلُك
“Semua hari tasyriq (tanggal 11, 12, dan 13
Zulhijjah) adalah waktu untuk menyembelih
qurban.” (HR. Ahmad dan Ibnu Hibban)
Menyembelih qurban sebaiknya pada siang
hari, bukan malam hari pada tanggal-tanggal
yang telah ditentukan itu. Menyembelih pada
malam hari hukumnya sah, tetapi makruh.
Demikianlah pendapat para imam seperti Imam
Abu Hanifah, Asy Syafi’i, Ahmad, Abu Tsaur,
dan jumhur ulama (Matdawam, 1984).
19. Perlu dipahami, bahwa penentuan tanggal 10
Zulhijjah adalah berdasarkan ru`yat yang
dilakukan oleh Amir (penguasa) Makkah, sesuai
hadits Nabi SAW dari sahabat Husain bin Harits Al
Jadali RA (HR. Abu Dawud, Sunan Abu Dawud
hadits no.1991). Jadi, penetapan 10 Zulhijjah
tidak menurut hisab yang bersifat lokal
(Indonesia saja misalnya), tetapi mengikuti
ketentuan dari Makkah. Patokannya, adalah
waktu para jamaah haji melakukan wukuf di
Padang Arafah (9 Zulhijjah), maka keesokan
harinya berarti 10 Zulhijjah bagi kaum muslimin
di seluruh dunia.
20. Diutamakan, tempat penyembelihan
qurban adalah di dekat tempat sholat Idul
Adh-ha dimana kita sholat (misalnya
lapangan atau masjid), sebab Rasulullah
SAW berbuat demikian (HR. Bukhari).
Tetapi itu tidak wajib, karena Rasulullah
juga mengizinkan penyembelihan di rumah
sendiri (HR. Muslim). Sahabat Abdullah bin
Umar RA menyembelih qurban di manhar,
yaitu pejagalan atau rumah pemotongan
hewan (Abdurrahman, 1990).
21. Hewan yang boleh dijadikan qurban adalah :
unta, sapi, dan kambing (atau domba). Selain
tiga hewan tersebut, misalnya ayam, itik, dan
ikan, tidak boleh dijadikan qurban (Sayyid
Sabiq, 1987; Al Jabari, 1994). Allah SWT
berfirman:
ِّم ْمُهَقَزَر اَم ىَلَع ِّ َّاَّلل َم ْاس واُرُكْذَيِّلِّماَعْنَ ْْا ِّةَميِّهَب ْن
“…supaya mereka menyebut nama Allah
terhadap hewan ternak (bahimatul an’am)
yang telah direzekikan Allah kepada mereka.”
(TQS Al Hajj : 34)
22. Dalam bahasa Arab, kata bahimatul an’aam
(binatang ternak) hanya mencakup unta,
sapi, dan kambing, bukan yang lain (Al
Jabari, 1994).
Prof. Mahmud Yunus dalam kitabnya Al Fiqh
Al Wadhih III/3 membolehkan berkurban
dengan kerbau (jamus), sebab disamakan
dengan sapi.
23. Dalam berqurban boleh menyembelih
hewan jantan atau betina, tidak ada
perbedaan, sesuai hadits-hadits Nabi SAW
yang bersifat umum mencakup kebolehan
berqurban dengan jenis jantan dan betina,
dan tidak melarang salah satu jenis kelamin
(Sayyid Sabiq, 1987; Abdurrahman, 1990)
24. Sesuai hadits-hadits Nabi SAW,
dianggap mencukupi,
berqurban dengan
kambing/domba berumur satu
tahun masuk tahun kedua, sapi
(atau kerbau) berumur dua
tahun masuk tahun ketiga, dan
unta berumur lima tahun
(Sayyid Sabiq, 1987; Mahmud
Yunus, 1936).
25. Hewan yang dikurbankan haruslah mulus, sehat, dan
bagus. Tidak boleh ada cacat atau cedera pada tubuhnya.
Sudah dimaklumi, qurban adalah taqarrub kepada Allah.
Maka usahakan hewannya berkualitas prima dan top,
bukan kualitas sembarangan (Rifa’i et.al, 1978)
Berdasarkan hadits-hadits Nabi SAW, tidak dibenarkan
berkurban dengan hewan :
yang nyata-nyata buta sebelah,
yang nyata-nyata menderita penyakit (dalam keadaan
sakit),
yang nyata-nyata pincang jalannya,
yang nyata-nyata lemah kakinya serta kurus,
yang tidak ada sebagian tanduknya,
yang tidak ada sebagian kupingnya,
yang terpotong hidungnya,
yang pendek ekornya (karena terpotong/putus)
26. Seekor kambing berlaku untuk satu orang. Tak ada
qurban patungan (berserikat) untuk satu ekor
kambing. Sedangkan seekor unta atau sapi, boleh
patungan untuk tujuh orang (HR. Muslim). Lebih
utama, satu orang berqurban satu ekor unta atau sapi
Perlu ditambahkan, bahwa dalam satu keluarga
(rumah), bagaimana pun besarnya keluarga itu,
dianjurkan ada seorang yang berkurban dengan
seekor kambing. Itu sudah memadai dan syiar Islam
telah ditegakkan, meskipun yang mendapat pahala
hanya satu orang, yaitu yang berkurban itu sendiri.
Hadits Nabi SAW:
ْض
ُ
أ ٍماَع ِّلُك يِّف ٍتْيَب ِّلْهَأ ِّلُك ىَلَع َّنِّإًةَّيِّح
“Dianjurkan bagi setiap keluarga dalam setiap tahun
menyembelih qurban.” (HR. Ahmad, Abu Dawud,
Tirmidzi, An Nasa`i, dan Ibnu Majah)
27. Hewan yang akan dikurbankan dibaringkan
ke sebelah rusuknya yang kiri dengan posisi
mukanya menghadap ke arah kiblat, diiringi
dengan membaca doa “Robbanaa taqabbal
minnaa innaka antas samii’ul ‘aliim.”
(Artinya : Ya Tuhan kami, terimalah
kiranya qurban kami ini, sesungguhnya
Engkau Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui.)
Penyembelih meletakkan kakinya yang
sebelah di atas leher hewan, agar hewan
itu tidak menggerak-gerakkan kepalanya
atau meronta.
28. Penyembelih melakukan penyembelihan,
sambil membaca : “Bismillaahi Allaahu
akbar.” (Artinya : Dengan nama Allah,
Allah Maha Besar). (Dapat pula ditambah
bacaan shalawat atas Nabi SAW. Para
penonton pun dapat turut memeriahkan
dengan gema takbir “Allahu akbar!”)
29. Kemudian penyembelih membaca doa
kabul (doa supaya qurban diterima Allah)
yaitu : “Allahumma minka wa ilayka.
Allahumma taqabbal min …” (sebut nama
orang yang berkurban). (Artinya : Ya Allah,
ini adalah dari-Mu dan akan kembali
kepada-Mu. Ya Allah, terimalah dari…. )
(Ad Dimasyqi, 1993; Matdawam, 1984;
Rifa’i et.al., 1978; Rasjid, 1990)
30. Penyembelihan, yang afdhol dilakukan oleh
yang berqurban itu sendiri, sekali pun dia
seorang perempuan. Namun boleh
diwakilkan kepada orang lain, dan sunnah
yang berqurban menyaksikan
penyembelihan itu (Matdawam, 1984; Al
Jabari, 1994).
31. Dalam penyembelihan, wajib terdapat 4
(empat) rukun penyembelihan, yaitu :
Pertama, Adz Dzaabih (penyembelih), yaitu
setiap muslim, meskipun anak-anak, tapi harus
yang mumayyiz (sekitar 7 tahun). Boleh
memakan sembelihan Ahli Kitab (Yahudi dan
Nashrani), menurut mazhab Syafi’i. Menurut
mazhab Hanafi, makruh, dan menurut mazhab
Maliki, tidak sempurna, tapi dagingnya halal.
Jadi, sebaiknya penyembelihnya muslim. (Al
Jabari, 1994).
Kedua, Adz Dzabiih, yaitu hewan yang
disembelih.Telah diterangkan sebelumnya.
32. Ketiga, Al Aalah, yaitu setiap alat yang
dengan ketajamannya dapat digunakan
menyembelih hewan, seperti pisau besi,
tembaga, dan lainnya. Tidak boleh
menyembelih dengan gigi, kuku, dan tulang
hewan (HR. Bukhari dan Muslim).
Keempat, Adz Dzabh, yaitu
penyembelihannya itu sendiri.
Penyembelihan wajib memutuskan hulqum
(saluran nafas) dan mari` (saluran
makanan). (Mahmud Yunus, 1936)
33. Sesudah hewan disembelih, sebaiknya
penanganan hewan qurban (pengulitan dan
pemotongan) baru dilakukan setelah hewan
diyakini telah mati. Hukumnya makruh
menguliti hewan sebelum nafasnya habis dan
aliran darahnya berhenti (Al Jabari, 1994).
Dari segi fakta, hewan yang sudah disembelih
tapi belum mati, otot-ototnya sedang
berkontraksi karena stress. Jika dalam kondisi
demikian dilakukan pengulitan dan
pemotongan, dagingnya akan alot alias tidak
empuk. Sedang hewan yang sudah mati otot-
ototnya akan mengalami relaksasi sehingga
dagingnya akan empuk.
34. Ketentuannya, disunnahkan bagi orang
yang berqurban, untuk memakan daging
qurban, dan menyedekahkannya kepada
orang-orang fakir, dan menghadiahkan
kepada karib kerabat. Nabi SAW bersabda :
وُرِّخَّادَو واُمِّعْطَأَو واُلُكَف
“Makanlah daging qurban itu, dan
berikanlah kepada fakir-miskin, dan
simpanlah.” (HR. Ibnu Majah dan Tirmidzi,
hadits shahih)
35. Berdasarkan hadits itu, pemanfaatan daging
qurban dilakukan menjadi tiga bagian/cara, yaitu
: makanlah, berikanlah kepada fakir miskin, dan
simpanlah. Namun pembagian ini sifatnya tidak
wajib, tapi mubah (lihat Ibnu Rusyd, Bidayatul
Mujtahid I/352; Al Jabari, 1994; Sayyid Sabiq,
1987).
Orang yang berqurban, disunnahkan turut
memakan daging qurbannya sesuai hadits di atas.
Boleh pula mengambil seluruhnya untuk dirinya
sendiri. Jika diberikan semua kepada fakir-
miskin, menurut Imam Al Ghazali, lebih baik.
Dianjurkan pula untuk menyimpan untuk diri
sendiri, atau untuk keluarga, tetangga, dan teman
karib (Al Jabari, 1994; Rifa’i et.al, 1978).
36. Akan tetapi jika daging qurban sebagai
nadzar, maka wajib diberikan semua
kepada fakir-miskin dan yang berqurban
diharamkan memakannya, atau menjualnya
(Ad Dimasyqi, 1993; Matdawam, 1984)
Pembagian daging qurban kepada fakir dan
miskin, boleh dilakukan hingga di luar
desa/ tempat dari tempat penyembelihan
(Al Jabari, 1994).
37. Ibnu Qudamah (mazhab Hambali) dan yang lainnya
(Al Hasan dan Abu Tsaur, dan segolongan ulama
Hanafiyah) mengatakan boleh. Namun menurut
Imam Malik dan Al Laits, lebih utama diberikan
kepada muslim (Al Jabari, 1994).
Penyembelih (jagal), tidak boleh diberi upah dari
qurban. Kalau mau memberi upah, hendaklah
berasal dari orang yang berqurban dan bukan dari
qurban (Abdurrahman, 1990). Hal itu sesuai hadits
Nabi SAW dari sahabat Ali bin Abi Thalib RA :
اًئْي َش اَهْنِّم َرِّزاَجْال َيِّط ْع
ُ
أ ََل ْنَأَو
“…(Rasulullah memerintahkan kepadaku) untuk
tidak memberikan kepada penyembelih sesuatu
daripadanya (hewan qurban).” (HR. Bukhari dan
Muslim) (Al Jabari, 1994)
38. Menjual kulit hewan adalah haram, demikianlah
pendapat jumhur ulama (Ibnu Rusyd, Bidayatul
Mujtahid I/352). Dalilnya sabda Nabi SAW:
ُلُكَف ِّيِّحاَضَ ْْاَو ِّيْدَهْال َموُحُل واُيعِّبَت ََلَوواُقَّدَصَتَو وا
اَوهُيعِّبَت ََلَو اَهِّدوُلُجِّب واُعِّتْمَت ْاسَو
“Dan janganlah kalian menjual daging hadyu (qurban
orang haji) dan daging qurban. Makanlah dan
sedekahkanlah dagingnya itu, ambillah manfaat
kulitnya, dan jangan kamu menjualnya…”(HR. Ahmad)
(Matdawam, 1984).
Sebagian ulama seperti segolongan penganut mazhab
Hanafi, Al Hasan, dan Al Auza’i membolehkannya. Tapi
pendapat yang lebih kuat, dan berhati-hati (ihtiyath),
adalah janganlah orang yang berqurban menjual kulit
hewan qurban. Imam Ahmad bin Hambal sampai
berkata,”Subhanallah ! Bagaimana harus menjual kulit
hewan qurban, padahal ia telah dijadikan sebagai milik
Allah ?” (Al Jabari, 1994).
39. hendaklah orang yang berqurban melaksanakan
qurban karena Allah semata. Jadi niatnya haruslah
ikhlas lillahi ta’ala, yang lahir dari ketaqwaan yang
mendalam dalam dada kita. Bukan berqurban karena
riya` agar dipuji-puji sebagai orang kaya, orang
dermawan, atau politisi yang peduli rakyat, dan
sebagainya. Sesungguhnya yang sampai kepada Allah
SWT adalah taqwa kita, bukan daging dan darah
qurban kita. Allah SWT berfirman:
ْنِّكَلَو اَهُاؤَمِّد ََلَو اَهُموُحُل َ َّاَّلل َلاَنَي ْنَلْمُكْنِّم َوْقَّالت ُهُالَنَي
“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak
dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketaqwaan
daripada kamulah yang mencapainya.” (TQS Al Hajj :
37)