Puasa di bulan Rajab hukumnya sunah berdasarkan dalil umum tentang kesunahan puasa di bulan-bulan suci. Ada tiga pendapat tentang puasa sunah di bulan-bulan haram: 1) disunahkan di seluruh bulan, 2) hanya Muharram, 3) tiga hari tertentu. Yang paling kuat adalah pendapat pertama, didukung hadis Abu Mujibah tentang anjuran Nabi puasa bulan-bulan haram. Meski tidak ada dalil khusus
Materi Bid PPM Bappeda Sos Pemutakhiran IDM 2024 di kec Plumbon.pptx
Hukum Puasa Rajab.docx
1. Hukum Puasa Rajab
MuslimahNews.com, FIKIH — Oleh: KH
Hafidz Abdurrahman dan M. Shiddiq Al-Jawy
1. Menurut KH Hafidz Abdurrahman
Rajab termasuk bulan suci (al-Asyhur al-
Hurum), selain Muharram, Dzulqa’dah, dan
Dzulhijjah. Dalam hadis yang diriwayatkan
oleh Ibn Majah, Nabi saw. bersabda,
مُرُحْال َرُهْشَأ ْمُص
“Puasalah pada bulan-bulan Haram.” (HR
Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, no. 1741)
Karena Rajab merupakan salah satu bulan suci
(al-Asyhur al-Hurum), maka puasa di bulan ini
2. hukumnya sunah (mandub), sebagaimana yang
dinyatakan dalam hadis Ibn Majah di atas.
Mengenai sebagian ulama yang menyatakan
larangan puasa di bulan Rajab, baik yang
mengatakan makruh ataupun haram, maka
status hadis yang digunakan oleh mereka
adalah hadis-hadis yang lemah.
Sebagai contoh, dari Ibn ‘Abbas ra. berkata,
ِامَي ِ
ص ْنَع َمَّلَس َو ِهْيَلَع ُهللا ىَّصل ِهللا ُل ْوُس َر ىَهَن
بَجَر
“Rasulullah saw telah melarang puasa
Rajab.” (HR Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, no.
1743)
3. Di dalam isnad (jalur periwayatannya) terdapat
Dawud bin ‘Atha’ yang disepakati
kedhaifannya. Begitu juga hadis yang
diriwayatkan oleh Kharasyah bin al-Hurr yang
mengatakan,
ِلَاج ِ
الر َّفِكَأ ُب ِ
ْرضَي ِباََّطخْال َْنب َرَمُع ُْتيَأ َر
،ِامَعَّالط يِف َاه ْوُعَضَي ىَّتَح ،بَج َر ِم ْوَص يِف
َّنِإ ب؟َجَر اَم بَج َر :ُل ْوُقَي َو
َانَك ٌرْهَش ُبَج َر اَم
َك ِ
رُت ُمَالْساإل َءاَج اَّمَلَف ،ِةَّيِلِهاَجْال ُلْهَأ ُهُمِظَعُي
“Aku melihat ‘Umar bin al-Khaththab
memukul telapak orang-orang karena puasa
Rajab, hingga mereka meletakkannya ke
makanan. ‘Umar berkata, “Rajab, ada apa
dengan Rajab?” Rajab itu adalah bulan yang
diagungkan oleh orang Jahiliah. Ketika Islam
datang, maka ia telah ditinggalkan.” (HR at-
Thabrani, al-Mu’jam al-Ausath, no. 7632)
4. Ibn Hajar al-Haitsami berkomentar, “Di
dalamnya terdapat al-Hasan bin Jabalah. Aku
tidak tahu ada orang yang menyebutnya.”
Jadi, statusnya jelas majhul (tidak dikenal).
Begitu juga hadis yang menjelaskan tentang
Nabi saw. berpuasa sebulan penuh, di luar
Ramadan, kecuali bulan Rajab dan Sya’ban
(HR at-Thabrani, al-Mu’jam al-Ausath, no.
9418)
Al-Haitsami berkomentar, “Di dalamnya ada
Yusuf bin ‘Athiyyah as-Shaffar. Dia orang
yang dhaif.” Dan banyak yang lain. Semuanya
lemah, atau menipu, dan tidak bisa digunakan
sebagai hujah.
5. Karena itu, hukum puasa Rajab tetap sunah
(mandub) berdasarkan dalil umum tentang
kesunahan puasa di bulan-bulan suci (asyhur
hurum). Mengenai berapa hari yang
disunahkan, apakah di awal, di tengah, di
akhir, atau sebagian kecil, setengah atau
sebagian besar bulan Rajab? Tidak ada
ketentuan nasnya. Karena itu, kapan saja puasa
di dalamnya hukumnya sunah.
Mengenai niat, niat bagian dari rukun dalam
puasa, baik sunah maupun wajib. Karena ini
merupakan ibadah. Dasarnya adalah hadis
Nabi saw:
ِتاَيِالنِب ُلاَمْعَألا اَمَّنِإ
“Amal perbuatan [ibadah] bergantung pada
niatnya.” [HR Bukhari]
6. Meski dalam pelaksanaannya bisa berbeda.
Niat untuk puasa wajib, wajib dinyatakan di
malam hari, atau sebelum terbit fajar.
Sedangkan niat puasa sunah, boleh dinyatakan
hingga pertengahan hari, jika mulai malam
hingga fajar belum dinyatakan.
Meski ada juga ulama yang menyatakan,
bahwa niatnya juga bisa dinyatakan meski hari
telah melewati waktu zawal (matahari
tergelincir), tengah hari.
Adapun satu niat puasa untuk dua puasa,
misalnya puasa Ramadan sekaligus niat puasa
sunah Senin dan Kamis, misalnya, karena
kebetulan harinya hari Senin atau Kamis,
maka niat seperti ini tidak sah. Begitu juga,
niat puasa sunah Rajab sekaligus Senin atau
Kamis, juga sama. Karena niat dalam ibadah
adalah rukun, dan rukun tersebut berlaku
7. untuk satu ibadah, tidak lebih. Puasa sunah
Rajab adalah satu ibadah, sedangkan puasa
Senin dan Kamis juga satu ibadah. Jika satu
niat untuk dua ibadah, maka niatnya tidak sah.
Jadi, tetap niat wajib dinyatakan untuk satu
ibadah. Puasa Rajab, Senin, Kamis atau yang
lain. Masing-masing satu niat. Wallahu a’lam.
2. Menurut Ustaz M. Shiddiq Al-Jawy
Para ulama berbeda pendapat mengenai puasa
sunah pada bulan-bulan haram (Zulqa’dah,
Zulhijjah, Muharram, dan Rajab) dalam tiga
versi.
Pertama, menurut ulama Malikiyah dan
Syafi’iyah, disunahkan berpuasa pada seluruh
bulan haram.
8. Kedua, ulama Hanabilah hanya menyunahkan
puasa bulan Muharram saja, berdasarkan sabda
Nabi saw, “Salat paling utama setelah salat
wajib adalah salat lail, sedang puasa paling
utama setelah puasa Ramadan adalah puasa
bulan Muharam.” (HR Muslim).
Ketiga, ulama Hanafiyah berpendapat yang
disunahkan dari bulan-bulan haram hanya tiga
hari pada masing-masing bulan haram, yaitu
Kamis, Jumat, dan Sabtu. (Wahbah Zuhaili, Al
Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, 2/590;
Abdurrahman Jaziri, Al Fiqh Ala Al Madzahib
Al Arba’ah, 1/378; Al Mausu’ah Al Fiqhiyah
Al Kuwaitiyah, 28/81; Yusuf Qaradhawi, Fiqh
As Shiyam, hlm. 125 & 141).
Menurut kami, yang rajih/kuat adalah
pendapat pertama yang menyunahkan
puasa pada seluruh bulan haram,
9. berdasarkan dalil umum yang ada dalam
masalah ini.
(Imam Nawawi, Al Majmu’ Syarah Al
Muhadzdzab, 6/386; Imam Syaukani, Nailul
Authar, hlm. 880; Mahmud Abdul Lathif
Uwaidhah, Al Jami’ li Ahkam As Shiyam,
hlm. 152).
Dalilnya hadis dari Abu Mujibah Al Bahiliyah
RA, dari ayahnya atau pamannya, “Aku
pernah mendatangi Nabi saw lalu berkata,
’Wahai Nabi Allah, saya laki-laki yang pernah
datang kepadamu pada tahun awal [hijrah].’
Nabi SAW berkata, ‘Lalu mengapa tubuhmu
jadi kurus?i Dia menjawab, ‘Aku tak makan di
siang hari, aku hanya makan di malam hari.’
Nabi SAW bertanya, ‘Siapa yang
menyuruhmu menyiksa dirimu?’ Aku
10. menjawab, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya
aku ini kuat.’
Nabi SAW berkata, ‘Berpuasalah pada bulan
sabar (Ramadan), dan satu hari setelah
Ramadan.’ Aku berkata, ‘Aku masih kuat.’
Nabi SAW berkata, ‘Berpuasalah pada bulan
sabar, dan dua hari setelah Ramadan.’ Aku
berkata, ‘Aku masih kuat.’
Nabi SAW berkata, ‘Berpuasalah pada bulan
sabar, dan tiga hari setelah Ramadan, dan
berpuasalah pada bulan-bulan haram.'” (HR
Ibnu Majah no 1741; Abu Dawud no 2428,
Ahmad no 20589).
Imam Syaukani menerangkan,”Dalam hadis
ini terdapat dalil pensyariatan puasa pada
bulan-bulan haram.” (Imam Syaukani, Nailul
Authar, hlm. 881).
11. Sebagian ulama seperti Nashiruddin Al Albani
dalam Dha’if Abu Dawud menganggap lemah
hadis di atas, karena terdapat ketidakpastian
siapa nama periwayat hadis dari kabilah Al
Bahilah itu. Namun Imam Syaukani tetap
menguatkan hadis tersebut, dengan menukil
pendapat Imam Mundziri yang menyatakan
perselisihan nama sahabat semacam itu tak
membuat cacat suatu hadis. (Imam Syaukani,
Nailul Authar, hlm. 881; Wablul Ghamam Ala
Syifa` Al Awam, 1/514).
Adapun dalil-dalil khusus yang mensyariatkan
puasa di bulan Rajab, menurut para ulama
hadis-hadisnya memang lemah (dhaif). Imam
Syaukani meriwayatkan dari Ibnu Subki, dari
Muhammad bin Manshur As Sam’ani yang
berkata, “Tak ada dalil hadis yang kuat yang
mensunnahkan puasa bulan Rajab secara
khusus. Hadis-hadis yang diriwayatkan dalam
12. masalah ini berstatus wahiyah (sangat lemah)
yang tak menggembirakan ulama.” (Imam
Syaukani, Nailul Authar, hlm. 881).
Imam Syaukani mengatakan meski tak ada
dalil khusus yang layak menjadi dasar puasa di
bulan Rajab, namun dalil umum tentang
anjuran puasa bulan-bulan haram tetap dapat
diamalkan.
Jadi, puasa di bulan Rajab hukumnya tetap
sunah, hanya saja sebaiknya tak berpuasa
sebulan penuh, mengingat hadis Nabi SAW,
“Berpuasalah kamu pada bulan-bulan haram
dan berbukalah (diucapkan tiga kali), Nabi
SAW lalu memberi isyarat dengan tiga
jarinya, menghimpun tiga jari itu lalu
menguraikannya.” (HR Abu Dawud, no
2428). (Imam Syaukani, Nailul Authar, hlm.
880). Wallahu a’lam. [MNews]