rekayasa struktur beton prategang - 2_compressed (1).pdf
PROFIL TOKOH: Imam S. Ernawi
1. BKPRN
BADAN KOORDINASI PENATAAN RUANG NASIONAL
tataruangBKPRN | BADAN KOORDINASI PENATAAN RUANG NASIONAL
buletin
BARCODE
GERAKAN
KOTA HIJAU
Surakarta
dan Komitmen Hijau
Planning for Sustainability In Sweden
Kebijakan Perkotaan
Terkait Perubahan Iklim
Ruang Terbuka Hijau
Dalam Kota yang Sehat
Potensi Tiga Kawasan:
Memahami RTR Kawasan
Strategis Nasional Perkotaan
Konferensi Perubahan Iklim
2011 Durban
Mengembangkan Papua yang Kaya
“Pending Zone/Holding Zone”:
Mempercepat dengan Menangguhkan
Program Mangrove Capital
Cities Can Lead Us
To A Green Future
Agenda Kerja BKPRN
JANUARI - FEBRUARI 2012
ImamS.Ernawi
PROFIL
2. 2 buletin tata ruang | Januari - Februari 2012
sekapur
sirih
Assalamu’alaikum warrahmatullah wabarakatuh,
Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa kita panjatkan atas kesempatan yang
selalu diberikan kepada kita untuk terus berkarya, dan Buletin Tata Ruang masih diberi
kesempatan untuk hadir kembali dalam edisi perdana di tahun 2012.
Dalam beberapa dekade terakhir, kota-kota di Indonesia mengalami permasalahan
lingkungan yang hampir sama, antara lain banjir, transportasi, dan penanganan
sampah, yang akhirnya menimbulkan penurunan kualitas ruang kota dan lingkungan.
Permasalahan kota adalah permasalahan kompleks yang tidak bisa ditangani secara
parsial atau hanya berbasis proyek, tetapi harus secara komprehensif melalui perencanaan
yang matang dengan visi yang menjawab solusi ke depan yang berkelanjutan.
Kota hijau (green city) adalah kota yang sehat secara ekologis. Kota hijau harus dipahami
sebagai kota yang memanfaatkan secara efektif dan efisien sumber daya air dan energi,
mengurangi limbah, menerapkan sistem transportasi terpadu, menjamin kesehatan
lingkungan, dan menyinergikan lingkungan alami dan buatan.
Di seluruh dunia, kota hijau atau green cities telah menjadi model pengembangan
perkotaan yang baru, baik di benua Amerika, Asia, Eropa, Australia, maupun Afrika.
Fenomena yang sama juga dialami oleh Indonesia. Maka perlu dideklarasikan bahwa
dampak perubahan iklim di Indonesia bukan hanya dihadapi melalui bidang kehutanan
dengan REDD+ atau pengembangan lahan gambut, tetapi sekarang juga melalui
pengembangan kawasan seperti entitas perkotaan, dengan konsep Green City. Ini
merupakan tantangan baru dan terbesar yang sedang dihadapi Indonesia, terlebih karena
lebih dari 52% penduduk nasional mendiami kawasan perkotaan. Indonesia saat ini fokus
pada penanganan daerah perkotaan yang sangat rentan mengalami dampak perubahan
iklim. Selain upaya-upaya mitigasi di bidang kehutanan atau yang lebih dikenal dengan
program REDD+, pengembangan gambut atau peatland management, saat ini telah
terdapat upaya yang lebih struktural dalam bidang adaptasi perkotaan. Banyak fakta
menggambarkan betapa rentan dan sensitifnya daerah perkotaan dalam menghadapi
perubahan iklim.
Olehkarenaitu,penyelenggaraanpenataanruangyangterintegrasimenjadiunsurpenting
didalam mewujudkan ruang yang nyaman, produktif dan berkelanjutan. Salah satunya
adalah melalui Program Pengembangan Kota Hijau (P2KH) yang sedang berlangsung di
60 Kota dan Kabupaten. Bersama-sama Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota
di dalam menjalankan program P2KH diharapkan bisa memenuhi ketetapan Undang-
Undang No. 26/2007 tentang Penataan Ruang, terutama guna mencapai Ruang Terbuka
Hijau (RTH) sebesar 30 persen, yang sekaligus juga merespon perubahan iklim yang terjadi.
Harapan kami, penataan ruang bisa memberikan kontribusi yang nyata dalam perwujudan
kota hijau yang berkelanjutan, serta pemerintah daerah dan masyarakat diharapkan dapat
sebagai pilar utama di dalam memonitor pengembangan dan implementasi kota hijau di
Indonesia.
Direktur Jenderal Penataan Ruang, Kementerian Pekerjaan Umum
Selaku Sekretaris Tim Pelaksana BKPRN
Ir. Imam S. Ernawi, MCM, M.Sc
buletin tata ruang
PELINDUNG
Ir. Imam S. Ernawi, MCM, M.Sc.
Dr. Eko Luky Wuryanto
Dr. Ir. Max Pohan
Drs. Imam Hendargo Abu Ismoyo, MA
Drs. Syamsul Arif Rivai, M.Si, MM.
PENANGGUNG JAWAB
Ir. Iman Soedradjat, MPM.
Ir. Deddy Koespramoedyo, M.Sc.
Ir. Heru Waluyo, M.Com
Drs. Sofjan Bakar, M.Sc.
DR. Ir. Abdul Kamarzuki, MPM
Ir. Basuki Karyaatmadja
PENASEHAT REDAKSI
DR. Ir. Ruchyat Deni Dj. M.Eng
Ir. Iwan Taruna Isa
M. Eko Rudianto, M.Bus (IT)
PEMIMPIN REDAKSI
Ir. Sita Indrayani,MM
WAKIL PEMIMPIN REDAKSI
Aria Indra Purnama, ST, MUM
REDAKTUR PELAKSANA
Ir. Melva Eryani Marpaung, MUM.
SEKRETARIS REDAKSI
Indira P. Warpani, ST., MT., MSc
STAF REDAKSI
Ir. Dwi Hariawan, MA
Ir. Kartika Listriana, MPPM
Ir. Nana Apriyana, MT
Wahyu Suharto, SE, MPA
Ir. Dodi S Riyadi, MT
Ir. Indra Sukaryono
Endra Saleh ATM, ST, MSc
Hetty Debbie R, ST.
Tessie Krisnaningtyas, SP
Listra Pramadwita, ST, MT, M.Sc
Ayu A. Asih, S.Si
M. Refqi, ST
Marissa Putri Barrynanda, ST
Heri Khadarusno, ST
KOORDINASI PRODUKSI
Angger Hassanah, SH
STAF PRODUKSI
Alwirdan BE
KOORDINASI SIRKULASI
Supriyono S.Sos
STAF SIRKULASI
Dhyan Purwaty, S.Kom
Penerbit: Sekretariat Tim Pelaksana BKPRN
Alamat Redaksi: Gedung Penataan Ruang dan SDA,
Jl. Patimura 20, Kebayoran Baru, Jakarta 12110
Telp. (021) 7226577, Fax. (021) 7226577
Website BKPRN:http://www.bkprn.org
Email:timpelaksanabkprn@yahoo.com
dan redaksi _butaru@pu.go.id
3. 3Januari - Februari 2012 | buletin tata ruang
dari
redaksi
Salam hangat bagi pembaca setia Butaru..
Di awal tahun 2012 ini Buletin Tata Ruang kembali pada edisi pertamanya. Pada edisi
ini Butaru mengangkat topik Green Cities (Kota Hijau), dimana perwujudan Kota Hijau
merupakan sebuah konsep perkotaan dalam upaya menjaga keseimbangan lingkungan
hidup, ekonomi, dan sosial demi generasi mendatang yang lebih baik serta dalam upaya
menjaga keberlangsungan planet bumi. Di sinilah posisi strategis act locally, while
thinking globally tidak hanya sekadar slogan semata.
Pada Profil Wilayah akan ditampilkan Kota Surakarta, yang telah menyelesaikan Perda
RTRW Kota dan juga termasuk kedalam kelompok kota yang sangat antusias untuk
mengimplementasikan Konsep P2KH (Program Pengembangan Kota Hijau). Dalam Topik
Utama edisi kali ini, redaksi mendapat kontribusi artikel dari pemerhati masalah perkotaan
Swedia yaitu Sixten Larsson yang memberikan sumbangan pemikirannya khusus untuk
Bulletin Tata Ruang melalui tulisan dengan judul “Planning for Sustainability in Sweden”.
Pada edisi ini pula selain artikel tentang Peningkatan Kualitas Lingkungan Melalui
Kebijakan Perkotaan Terkait Perubahan Iklim, terdapat artikel RTH dalam Kota Kota Sehat,
artikel Hasil Konferensi Perubahan Iklim-Durban, Kawasan Bentang Laut Papua, artikel
terkait masalah Pending Zone, serta program Mangrove Capital.
Profil Tokoh kali ini menampilkan seorang pemerhati terkait masalah perkotaan dan
penginisiasi kota hijau di Indonesia, Ir. Imam S Ernawi, MCM, yang akan mengungkapkan
berbagai gagasannya, agar kita bisa lebih memberi perhatian pentingnya pengembangan
kota wilayah yang respon terhadap perubahan iklim dalam mewujudkan sustainability.
Pada rubrik wacana kali ini, akan dilontarkan sebuah pandangan kota dapat menggiring
kita menuju sebuah Masa Depan Hijau (Cities can lead us to a Green Future: Low Carbon
Initiatives Make Economic Sense) yang menyatakan bahwa Kota-kota dapat mengambil
peran unggulan (leading role) dalam menggiring dunia menuju masa depan yang lebih
ramah iklim (a more climate-friendly future). Hal ini, lebih jauh dapat dicapai dalam waktu
yang singkat, dan secara praktis tanpa tambahan ongkos/biaya. Dengan investasi hanya
2% dari GDP kota yang modern, karbon rendah, dan efisien energi dalam 10 tahun, akan
mengurangi tingkat emisi karbon kota tersebut sebesar 40% tanpa tambahan biaya,
bahkan dapat menghemat anggaran tahunan sebesar 2,2% dari GDP.
Tulisan dalam Butaru ini ditulis oleh para penulis yang memiliki pengalaman yang
panjang dibidangnya dengan tema-tema yang menarik, sehingga diharapkan pembaca
dapat memperkaya wawasan.
Selamat membaca
Redaksi
PROFIL TOKOH
Imam S. Ernawi
PROFIL WILAYAH
Surakarta
dan Komitmen Hijau
Oleh: Redaksi Butaru
TOPIK UTAMA
Planning for Sustainablity
In Sweden
Oleh: Sixten Larsson
TOPIK UTAMA
Kebijakan Perkotaan
Terkait Perubahan Iklim
Oleh: Direktur Perkotaan dan Perdesaan
Kementerian PPN/Bappenas
TOPIK UTAMA
Ruang Terbuka Hijau
Dalam Kota yang Sehat
Oleh: Chris. D. Prasetijaningsih dan Mufty Riyan
TOPIK UTAMA
Potensi Tiga Kawasan:
Memahami RTR Kawasan
Strategis Nasional Perkotaan
TOPIK LAIN
Konferensi Perubahan Iklim
2011 Durban
Oleh: Redaksi Butaru
TOPIK LAIN
Mengembangkan Papua yang Kaya
Oleh: Ir. Kartika Listriana, MPPM
TOPIK LAIN
“Pending Zone/Holding Zone”:
Mempercepat dengan Menangguhkan
Oleh: Ir. chaerudin Mangkudisastra, M.Sc.
TOPIK LAIN
Program Mangrove Capital
Oleh: Redaksi Butaru
WACANA
Cities Can Lead Us
To A Green Future
Oleh: Redaksi Butaru
AGENDA
Agenda Kerja BKPRN
Januari - Februari 2012
04
08
11
15
19
24
30
34
40
44
46
47
daftar isi
4. 4 buletin tata ruang | Januari - Februari 2012
Imam S.
Ernawi
Imam S. Ernawi adalah Direktur Jenderal Penataan Ruang, Kementerian Pekerjaan
Umum. Lahir di Tuban, Jawa Timur, pada 10 Mei 1955, Imam menyelesaikan
pendidikan dasar hingga lulus SMA di Probolinggo pada tahun 1973. Ia kemudian
melanjutkan studinya di Jurusan Teknik Arsitektur Institut Teknologi Bandung dan
lulus tahun 1979. Pada tahun 1991, ia mengambil studi pasca sarjana program
Construction Management, dan program Engineering Policy, di Washington
University St. Louis, Amerika Serikat.
Bergabung dengan Kementerian PU pada tahun 1980, Imam pun mulai terlibat
dalam berbagai proyek penting di Kementerian tersebut. Selama hampir 30 tahun
menata karir di institusi tersebut, ia telah memegang jabatan-jabatan antara lain
Staf Ahli Menteri PU Bidang Keterpaduan Pembangunan (2005-2007); Kepala Pusat
Kajian Kebijakan Dep. PU (2003-2005); Direktur Bina Teknik, Ditjen. Perumahan dan
Permukiman, Dep. Kimpraswil (2001-2003); Kepala Biro Perencanaan dan Informasi
Publik, Dep. Kimbangwil (1999-2001); Direktur Bina Program Ditjen. Cipta Karya
Dep. PU (1998-1999); dan Kepala Subdit Tata Bangunan Ditjen. Cipta Karya Dep. PU
(1994-1998).
Di luar itu, ia juga aktif dalam berbagai keanggotaan profesi, antara lain Ikatan
Arsitek Indonesia (IAI), Ikatan Ahli Perencanaan (IAP), Himpunan Ahli Manajemen
Konstruksi Indonesia (HAMKI), Society of American Value Engineers (SAVE), dan
Construction Management Association of America (CMAA).
Sebagai inisiator Gerakan Kota Hijau, ia memandang penataan kota yang
merujuk pada konsep “green city” atau kota hijau, tidak sekadar mengedepankan
pembangunan ruang terbuka hijau (RTH), melainkan juga merencanakan dan
menata ulang kota secara sehat dan ekologis. Visi-misi dan harapan beliau akan
realisasi Kota Hijau di Indonesia yang dampaknya dapat dirasakan seluruh
masyarakat, diuraikan pada wawancara berikut ini.
ApalatarbelakangKementerianPUmenerapkankonsepKotaHijau(GreenCities)?
Inisiatif mewujudkan kota hijau memiliki makna strategis karena dilatarbelakangi
oleh beberapa faktor, antara lain pertumbuhan kota yang begitu cepat dan
berimplikasi terhadap timbulnya berbagai permasalahan perkotaan seperti
kemacetan, banjir, permukiman kumuh, kesenjangan sosial, dan berkurangnya
luasan ruang terbuka hijau. Beberapa tahun terakhir, permasalahan perkotaan
semakin berat karena hadirnya fenomena perubahan iklim, yang menuntut kita
semua untuk memikirkan secara lebih seksama. dan mengembangkan gagasan
cerdas yang dituangkan ke dalam kebijakan dan program yang lebih komprehensif
sekaligus realistis sebagai solusi perubahan iklim.
profil tokoh
Gerakan Kota Hijau:
Merespon Perubahan Iklim
dan Pelestarian LingkunganDirjen Penataan Ruang,
Kementerian PU
5. 5Januari - Februari 2012 | buletin tata ruang
Oleh karenanya, Kementerian
Pekerjaan Umum, melalui Ditjen
Penataan Ruang, mendorong
terwujudnya kota hijau sebagai
metafora dari kota berkelanjutan, yang
berlandaskan penerapan prinsip-prinsip
pembangunan berkelanjutan, sekaligus
yang mampu menjawab kebutuhan
dan permasalahan kota/perkotaan
aktual, sekaligus merespon tantangan
perubahan iklim.
ApavisidanmisipengembanganKota
Hijau (Green Cities) secara umum?
Misi kota hijau sebenarnya tidak hanya
sekedar ‘menghijaukan’ kota. Lebih
dari itu, kota hijau dengan visinya yang
lebih luas dan komprehensif, yaitu Kota
yang Ramah Lingkungan, memiliki misi
antara lain memanfaatkan secara efektif
dan efisien sumberdaya air dan energi,
mengurangi limbah, menerapkan
sistem transportasi terpadu,
menjamin kesehatan lingkungan, dan
Mensinergikan lingkungan alami dan
buatan, berdasarkan perencanaan
dan perancangan kota yang berpihak
pada prinsip-prinsip pembangunan
berkelanjutan baik secara lingkungan,
sosial dan ekonomi secara seimbang.
Kota Hijau dapat diwujudkan apabila
didukung oleh green building
infrastructure dan partisipasi
masyarakat (green community).
Bagaimana kontribusi dua hal
tersebut terhadap konsep Kota Hijau?
Menurut saya, terdapat beberapa
atribut untuk mewujudkan kota hijau.
Yang pertama adalah perencanaan dan
perancangan kota (Green Planning and
Design), yang bertujuan meningkatkan
kualitas rencana tata ruang dan rancang
kotayanglebihsensitifterhadapagenda
hijau, upaya adaptasi dan mitigasi
terhadap perubahan iklim. Kemudian
yang ke dua adalah pembangunan
ruang terbuka hijau (Green Open
Space) untuk meningkatkan kualitas
dan kuantitas RTH sesuai dengan
karakteristik kota/kabupaten, dengan
target RTH 30%. Selanjutnya yang ke
tiga adalah Green Community, yaitu
pengembangan jaringan kerjasama
pemerintah, masyarakat, dan dunia
usaha yang sehat. Yang ke empat
adalah pengurangan dan pengolahan
limbah dan sampah (Green Waste),
dengan menerapkan zero waste. Yang
ke lima adalah pengembangan sistem
transportasi berkelanjutan (Green
Transportation) yang mendorong
warga untuk menggunakan
transportasi publik ramah lingkungan,
serta berjalan kaki dan bersepeda
dalam jarak pendek. Yang ke enam
adalah peningkatan kualitas air (Green
Water) dengan menerapkan konsep
ekodrainase dan zero runoff. Lalu yang
ke tujuh adalah Green Energy, yaitu
pemanfaatan sumber energi yang
efisien dan ramah lingkungan. Dan
yang terakhir, ke delapan, adalah Green
Building, yaitu penerapan bangunan
hijau yang hemat energi.
Green waste, green transportation,
green water, green energy, dan
green building merupakan atribut
yang sering kita sebut sebagai green
insfrastructure. Keseluruhan atribut
kota hijau tersebut tidak berdiri sendiri,
namun merupakan satu kesatuan yang
integral, termasuk dalam kaitannya
dengan pengembangan ekonomi
lokal sebagai dampak ikutan dari
perwujudan masing-masing atribut.
DalamrangkamewujudkanIndonesia
sebagai Kota Hijau, Kementerian
Pekerjaan Umum (PU) saat ini
merintis Program Pengembangan
Kota Hijau (P2KH). Apa saja hambatan
dan tantangan dalam mewujudkan
Program Pengembangan Kota Hijau
tersebut?
Hambatan dan tantangan yang
dihadapi dalam mewujudkan kota hijau
di Indonesia dapat dicermati dalam
beberapaaspek,yaituaspekTurbinlakwas,
ekonomi, sosial, lingkungan, tata kelola,
dan spasial. Dalam aspek Turbinlakwas,
ada masalah pengaturan, pembinaan,
pelaksanaan dan pengawasan yang
harus diperhatikan. Pengaturan P2KH
sebenarnya sudah cukup lengkap,
namun masih perlu dilengkapi
dengan peraturan turunan yang lebih
detail, seperti Juknis, sehingga lebih
mudah dalam operasionalisasinya.
Lalu dalam pembinaan, P2KH
terkendala karena belum optimalnya
kapasitas kelembagaan dalam rangka
perwujudan kota hijau di Indonesia.
Dalam pelaksanaannya, Rencana Tata
Ruang belum sepenuhnya digunakan
sebagai acuan pembangunan serta
rendahnya keterlibatan stakeholders
dalam penyelenggaraan RTH. Sedangkan
masalah pengawasan adalah kurang
Green waste,
green transportation,
green water,
green energy, dan
green building
merupakan atribut
yang sering kita
sebut sebagai
green infrastructure.
6. 6 buletin tata ruang | Januari - Februari 2012
Hambatan dan
tantangan yang
dihadapi dalam
mewujudkan kota
hijau di Indonesia
dapat dicermati
dalam aspek
Turbinlakwas,
ekonomi, sosial,
lingkungan, tata
kelola dan spasial.
profil tokoh
optimalnya pengawasan oleh aparat.
Bagaimana dengan tantangan
pada aspek ekonomi, sosial dan
lingkungan?
Padaaspekekonomi,P2KHmenghadapi
tantangan, yaitu tingginya pendanaan
serta terbatasnya lahan perkotaan
dalam mewujudkan ruang terbuka
hijau sebesar 30% dari luas kota.
Dalam aspek sosial, P2KH menghadapi
masalah antara lain kecenderungan
perilaku masyarakat yang
kontraproduktif dan destruktif, serta
kurangnya pemahaman masyarakat
akan pentingnya aspek lingkungan
sehingga peran masyarakat dalam
perwujudannya kota hijau rendah.
Sedangkan dalam aspek lingkungan
P2KH menghadapi tantangan, yaitu
peningkatan jumlah penduduk
perkotaan dari waktu ke waktu yang
menyebabkan meningkatnya beban
yang harus didukung oleh lingkungan,
serta pembangunan yang cenderung
berorientasi pada aspek ekonomi
dan kurang memperhatikan aspek
lingkungan.
Tadi bapak menyebutkan juga ada
tantangan dalam aspek tata kelola.
Apa saja yang termasuk?
Dalam aspek tata kelola, P2KH
menghadapi masalah yaitu masih
rendahnyakerjasamadankoordinasiantar
sektor dalam pengelolaan lingkungan
hidup. Kemudian yang terakhir, dalam
aspek spasial, tantangan P2KH adalah
perkembangan kawasan perkotaan
yang cenderung bersifat ekspansif dan
menunjukkan gejala urban sprawl yang
tidak terkendali, alihfungsi kawasan
pertanian subur di pinggiran kota dan
meningkatnya ketergantungan pada
kendaraan bermotor, serta kurangnya
lahan perkotaan yang dapat digunakan
sebagai RTH.
di permukiman informal yang lebih
terpapar oleh bahaya tersebut.
Kota yang tangguh adalah kota yang
mempersiapkan diri terhadap dampak
iklim di masa kini dan masa mendatang
dengan membatasi kekuatan dan
keparahan dampak tersebut. Meskipun
dampaknya tetap terjadi, sebuah kota
yang tangguh mampu menanggapi
dengan cepat dan efektif, dengan
cara yang tepat dan efisien. Untuk itu,
membangun ketahanan kota terhadap
perubahan iklim menjadi prioritas
utama bagi kota. Selain mitigasi, yang
kegiatannya sebagian besar terfokus
pada masa lalu, kota-kota sekarang
harus memainkan peran yang lebih
besar dalam adaptasi.
Apa yang perlu dipersiapkan
menurut bapak?
Membangun ketahanan tidak hanya
memerlukan pengambilan keputusan
yang cepat oleh pihak berwenang,
tetapijugajaringhubunganinstitusional
dan sosial yang kuat dan mampu
menyediakan jaring pengaman bagi
warga yang rentan. Melalui kegiatan
perencanaan formal dan persiapan
informal, kota dapat membangun
kekuatannya untuk menyesuaikan diri
secara efektif pada dampak iklim di saat
sekarang dan di masa depan, sembari
bereksperimen dan berinovasi dalam
pembuatandanperencanaankebijakan.
Kota-kota dapat menggiring kita
menuju sebuah Masa Depan Hijau.
Bagaimana pendapat bapak?
Kota hijau masa depan (future green
cities) dapat terwujud jika kota-kota
yang saat ini tengah kita inisiasi sebagai
kota hijau dapat mengakomodasi
prinsip-prinsip kota hijau, contohnya
dengan diakomodasinya target
pencapaian RTH sebesar 30% dalam
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)
kotanya.
Kota hijau yang kita cita-citakan
ini adalah kota masa depan milik
generasi penerus. Hal ini sejalan
Konsep perkotaan Indonesia ke
depan, “Competitive Green City”
adalah suatu terobosan. Akan tetapi
yangdiperlukanIndonesia,terutama
pada awal pelaksanaan, harus dapat
membangun daya tahan (resilience)
masyarakat dan pemerintah di
tingkat lokal. Bagaimana menurut
bapak?
Menurut saya, ketahanan kota lebih
tepat dikaitkan dengan kota hijau dalam
konteksmitigasidanadaptasiperubahan
iklim. Perubahan iklim dapat dilihat
sebagai sebuah tantangan serius bagi
kota-kota di seluruh dunia, terutama di
negara berkembang, dimana urbanisasi
terjadi sangat cepat. Perubahan
iklim ini menimbulkan ancaman
yaitu meningkatkan kerentanan,
menghancurkan keuntungan ekonomi,
dan menghalangi pembangunan sosial
dan ekonomi. Masyarakat miskin kota
akan menerima dampak paling berat,
karena mereka tinggal dan bekerja
7. 7Januari - Februari 2012 | buletin tata ruang
Perwujudan kota hijau membutuhkan dukungan dan
keterlibatan multi sektor dalam rangka memenuhi
tercapainya berbagai atribut kota hijau.
dengan harapan kita semua untuk
mulai mewujudkan ruang yang aman,
nyaman, produktif, dan berkelanjutan
sesuai amanat UU No. 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang.
Keberhasilanupayainimensyaratkan
adanya pendekatan kolaboratif,
bukan sendiri-sendiri. bagaimana
keterlibatan semua stakeholders
khususnya pemerintah daerah?
Prakarsa P2KH merupakan tahapan
yang lebih maju dalam siklus
pelaksanaan penataan ruang
yang tidak berhenti pada tataran
perencanaan, namun telah bergulir
pada tataran implementasi rencana
dalam bentuk aksi-aksi nyata pada
skala kota/kabupaten sebagai
satu entitas yang utuh. P2KH juga
bukan sekedar himpunan sektoral,
melainkan suatu program sinergis
dan kolaboratif dengan inisiatif utama
dari pemerintah kota/kabupaten dan
masyarakat yang difasilitasi oleh
pemerintah pusat.
Karena itu, P2KH berbasis pada
Rencana Aksi Kota Hijau (RAKH) yang
berlandaskan penataan ruang sebagai
‘panglima’ pengembangan wilayah,
paradigma kota berkelanjutan,
pentingnya kemandirian daerah,
peran koordinasi provinsi dan fasilitasi
pusat, dan intervensi program yang
berkelanjutan.
Secara politis, inisiatif tersebut telah
mendapat respon yang sangat
positif dari pemerintah kabupaten/
kota. Pada Peringatan Puncak Hari
Tata Ruang 2011 pada tanggal 7-8
November yang lalu, telah dilakukan
penandatanganan Piagam Komitmen
Kota Hijau dan penyematan daun
hijau pada pohon Kantajaura (Kanopi
Kota Hijau Nusantara) oleh 60 Bupati/
Walikota, sebagai bentuk komitmen
bersama untuk mewujudkan kota hijau.
Hal yang patut mendapatkan apresiasi
ini merupakan sebuah loncatan besar
bagi pemerintah daerah yang secara
konkrit akan mewujudkan kota yang
berkelanjutan.
Apa upaya-upaya yang harus
dilakukan?
Perwujudan kota hijau membutuhkan
dukungan dan keterlibatan sektor lain
dalam rangka memenuhi tercapainya
dua atribut kota hijau. Atribut yang
pertama adalah sektor perhubungan
dalam rangka menciptakan Green
Transportation, yaitu Pengembangan
sistem transportasi yang berkelanjutan,
misalnya transportasi publik, jalur
sepeda, dsb. Yang ke dua adalah sektor
pengembangan permukiman yang
meliputi GreenWaste, yaitu usaha untuk
melaksanakan prinsip 3R (mengurangi
sampah/limbah, mengembangkan
proses daur ulang dan meningkatkan
nilai tambah), Green Water, yaitu
efisiensi pemanfaatan sumberdaya air,
dan Green Building, atau bangunan
hemat energi. Aspek lain yang tak
kalah penting adalah sektor energi
dalam rangka Green Energy, yaitu
pemanfaatan sumber energi yang
efisien dan ramah lingkungan.
Aksi kolaboratif tersebut tentunya
tidak hadir secara mekanistik semata,
namun memerlukan proses yang
konsisten dan sistematis, mulai dari
sosialisasi, mobilisasi, persuasi, hingga
implementasi, sehingga gerakan
kolektif yang sebenarnya dapat
terbangun.
Apa harapan bapak mengenai
perwujudan Kota Hijau di Indonesia?
Kembali kepada judul besarnya tadi,
kota hijau itu harus menjadi gerakan.
Artinya semua pihak harus berperan.
Tetapi gerakan itu harus bisa menjadi
gerakan yang penjurunya adalah
pemerintah daerah kabupaten/
kota karena merekalah yang
sebetulnya mendapatkan tugas dan
kewenangan sesuai dengan otonomi
daerah untuk mengurus kota atau
wilayahnya. Sementara stakeholder
atau pemangku kepentingan yang
lain harus mendorong, mempercepat,
meningkatkan atau memperluas.
Apa kunci terciptanya Kota Hijau?
Saya kira kunci sukses untuk daerah
sebagai penjuru gerakan ini adalah
pertama leadership daerah tersebut
harus baik. Jadi walikota harus pro
green. Yang ke dua, politik anggaran
di daerah tersebut harus berpihak ke
arah ini, apakah lewat rencana program
kerja pemerintah daerah tahunan,
atau dengan kepandaian/kecerdasan
mereka untuk bisa mengundang
masyarakat dan dunia usaha. Yang
terakhir adalah adanya green
community dalam upaya menciptakan
critical mass.
Jadi konsep Kota Hijau di sini bukan
semata masalah RTH?
Hijau di sini memang berarti
peningkatan luasan RTH, tapi bukan
semata-mata untuk memenuhi syarat
30% (sesuai UU Penataan Ruang)
atau beautification, tetapi untuk
mewujudkan kinerja hijau yang dapat
menjawab fungsi ekologi. Memang
gerakan ini perlu perjuangan. Jadi
kita perlu mengedukasi agar daerah-
daerah merasa butuh, konsisten dan
berkomitmen untuk mengalokasikan
sumber dayanya, sehingga dampak
gerakan ini semakin besar.
Perwujudan Kota Hijau ini harus
dimulai dari mana?
Yang harus dilakukan adalah mulai dari
sekarang, mulai dari yang kecil-kecil,
dan mulai dari diri sendiri. Masyarakat
merubah perilakunya untuk lebih
ramah lingkungan, hemat energi,
tidak konsumtif terhadap energi. Lalu
pemerintah daerah (kabupaten/kota)
mendukung terwujudnya kota hijau
melalui prakarsa P2KH.
8. 8 buletin tata ruang | Januari - Februari 2012
profil wilayah
Kota terus bertumbuh, dari
yang awalnya merupakan kota
kecil yang minim infrastruktur
dan fasilitas lainnya, kemudian
berkembang menjadi kota besar.
Saat bicara tentang kota yang berhasil,
ada permasalahan RTH di dalamnya.dan Komitmen Hijau
KOTA….KOTA IDENTIK denganpemusatanseluruhkegiatan
yangditandaidenganpembangunangedungyangmenjulang
tinggi, pembangunan infrastruktur sebagai penunjang dan
sarana penduduk kota untuk mobilisasi, berbagai macam
sarana transportasi, dan kepadatan penduduk yang tinggi
dengan segala macam aktivitasnya yang ikut memenuhi dan
mewarnai kehidupan kota setiap saat. Suatu kota dikatakan
berhasil,maju, dan berkembang jika kota tersebut memiliki
aktivitas perekonomian yang sangat tinggi yang didukung
dengan pembangunan infrastruktur dan sarana pendukung
lainnya serta diikuti dengan mobilitas penduduk yang tinggi.
Akan tetapi apakah semua pembangunan yang dilakukan
diperkotaan memiliki pengaruh positif bagi kota secara
keseluruhan??? Apakah pembangunan kota tersebut telah
seimbang dengan daya dukung lingkungan kota tersebut???
Pembangunan tidak akan pernah berhenti dilakukan untuk
membangun suatu kota, sehingga kota terus bertumbuh
dari yang awal mulanya merupakan kota kecil dengan minim
insfrastruktur dan fasilitas lainnya dan kemudian berkembang
menjadi kota besar dan terus berkembang menjadi kota
megapolitan seperti Jakarta. Kota Jakarta merupakan kota
Megapolitan yang hingga saat ini sudah dapat dikatakan kota
yang over capacity dapat dilihat dari jumlah penduduk Jakarta
yang hingga kini menjadi angka ±9.5 juta jiwa, yang idelanya
penduduk Jakarta berkisar antara 4-5 juta jiwa atau setengah
dari penduduk saat ini. Dengan kondisi kota yang over capacity
tersebut, mulai timbulah berbagai macam permasalahan
perkotaan, diantaranya masalah kemacetan, masalah sosial
dapat dilihat dari tidak meratanya kesejahteraan masyarakat,
ketidaknyaman masyarakat dalam beraktivitas sehari-hari, dan
permasalahan banjir yang merupakan amcaman Kota Jakarta
pada setiap musim hujan bahkan saat ini tanpa musim hujan
pun Jakarta Utara sering terendam akibat dari naiknya muka air
laut/ROB akibat dari penurunan muka air tanah.
Bencana jebolnya Tanggul Situ Gintung pada Tahun 2009
lalu merupakan bencana alam yang disebabkan oleh
masyarakat yang telah melakukan penyimpangan terhadap
RTRW, di mana di sekitar area tanggul tidak diperkenankan
sebagai kawasan budidaya, akan tetapi kebutuhan akan
lahan perkotaan yang semakin meningkat, peraturan
tersebut diabaikan sehingga yang terjadi adalah bencana
yang mengakibatkan kerugian yang materi dan jiwa yang
besar. Sangat disayangkan bencana serupa sering terjadi
khususnya di kota-kota besar, beberapa lapisan masyarakat
yang hanya memikirkan keuntungan sepihak dengan sering
melakukan penyimpangan terkait peruntukan guna lahan
tanpa memikirkan kapasitas, keterbatasan daya dukung dan
daya tamping suatu lahan perkotaan.
Menanggapi permasalahan di atas, UU Nomor 26 Tahun
2007 Tetang Penataan Ruang telah mengamanatkan bahwa
setiap Prop/Kab/Kota yang dalam proses penyusunan RTRW
diwajibkanuntukmemilikiproporsiRuangTerbukaHijau(RTH)
pada setiap wilayahnya sebesar 30%, atau untuk wilayah kota
paling sedikit 20%. Perwujudan RTH pada setiap wilayah ini
merupakan perwujudan dan penguatan dari tujuan Penataan
Ruang, yaitu “mewujudkan penataan ruang yang aman,
nyaman, produktif, dan berkelanjutan”. Kata berkelanjutan
di dalam UU ini berkaitan erat dengan lingkungan, kualitas
lingkungan sudah seharusnya dipertahankan bahkan dapat
ditingkatkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat
saat ini dan generasi mendatang. Jika melihat tujuan dari
Penataan Ruang, dapat dikatakan perencanaan tidak semata-
mata hanya menuntut suatu wilayah agar produktif, akan
tetapi juga memperhatikan keseimbangan lingkungan dan
masyarakat di dalamnya.
SurakartaOleh: Redaksi Butaru
9. 9Januari - Februari 2012 | buletin tata ruang
Kota Surakarta, yang juga dikenal dengan Solo terletak di
Provinsi Jawa Tengah yang memiliki jumalah penduduk
±600.000 jiwa dengan luas 4.404,06 Ha yang terbagi atas 5
(lima) kecamatan, yaitu Kec. Laweyan, Kec. Serengan, Kec.
Pasar Kliwon, Kec. Jebres, Kec. Banjarsari.
Kota Surakarta, selayaknya kota besar merupakan pusat
pertumbuhan wilayah Jawa Tengah dengan potensi ekonomi
sangat tinggi di bidang industry, perdagangan, pariwisata
dan sector penunjang lainnya. Selain itu Kota Surakarta juga
merupakan kota penghubung bagi daerah hinterland, di
antaranya Kab. Boyolali, Kab. Sukoharjo, Kab. Karanganyar,
Kab. Wonogiri, Kab. Sragen, dan Kab. Klaten.
Melirik potensi yang terkandung di dalamnya dan di
dukung dengan letak yang strategis, tidak menjadikan
Pemerintah Kota Surakarta memiliki keinginan sepenuhnya
mengembangkan pembangunan yang optimal untuk Kota
Surakarta ini. Dalam pembangunan Kota Surakarta, Pemkot
tetap akan memperhatikan keseimbangan lingkungan di
mana telah tertuang di dalam Tujuan Penataan Ruang yang
telah tercantum di dalam draft Raperda RTRW Kota Surakarta,
yaitu ”Mewujudkan Kota Surakarta Sebagai Kota Budaya
yang Produktif, Berkelanjutan dan Berwawasan Lingkungan
Dengan Berbasis Pada Sektor Industri Kreatif, Perdagangan
dan Jasa, Pendidikan, Pariwisata, Serta Olah Raga”.
Kata Berkelanjutan dan Berwawasan Lingkungan yang
merupakan amanat dari UU No. 26 Tahun 2007 Tentang
Penataan Ruang telah dibuktikan dan direalisasikan melalui
beberapa program dengan tujuan memperbaiki dan
menyehatkan lingkungan Kota Surakarta, di mana program
lingkungan tersebut telah berhasil dan meraih beberapa
penghargaan, di antaranya melalui “Kota Dalam Kebun”
yang dicanangkan oleh Ir. Joko Widodo selaku walikota
Surakarta. Program ini dapat menciptakan kota yang
sehat dan asri, hijau dipenuhi oleh pepohonan dengan
sendirinya akan menciptakan iklim yang sejuk dan membuat
manusia di dalamnya merasakan sehat dan tenang yang
merupakan idaman bagi setiap wilayah, khususnya di kota
besar yang jauh dari suasana hijau dan asri. Sehingga tidak
heran Kementerian Lingkungan Hidup pada tahun 2011
memberikan penghargaan bagi Pemerintah Kota Surakarta
atas kerja kersa di dalam penyehatan lingkungan kota dan
menciptakan iklim yang sejuk.
Pada tahun 2011 juga Pemkot Surakarta “Kota Langit Biru”
oleh Kementerian Lingkungan Hidup, di dalam penilaian ini,
Kota Surakarta memiliki skor tertinggi untuk kategori kota
besar dan telah menyisihkan 12 kota besar di Indonesia.
Penilaian ini dilakukan dengan mengukur tingkat emisi gas
buang dari sumber yang bergerak atau kendaraan bermotor
dan penyediaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang telah
dirancang pemkot untuk dapat menciptakan iklim mikro
yang bersih.
Awal tahun 2011, melalui Direktorat Jenderal Penataan
Ruang telah melakukan inisiasi Program Pengembangan Kota
Hijau (P2KH) di 60 kota dan kabupaten. P2KH ini merupakan
merupakan program dalam rangka mewujudkan amanat UU
Penataan Ruang tentang perwujudan RTH 30%, selain itu juga
merupakan reaksi dan tanggapan mengenai isu global yaitu
Perubahan Iklim yang hingga kini dampaknya telah terjadi
dibelahan bumi. Telah tercatat 20 Kota yang telah sepakat
dengan menandatangani “Komitmen Kota Hijau” pada
tanggal 7 November 2011, yang juga merupakan rangkaian
Hari Peringatan World Town Planning Day (WTPD).
Berbagai penghargaan lingkungan telah diraih Surakarta,
akan tetapi usaha pemkot untuk selalu menghijaukan dan
ciptakan udara bersih tidak hanya berhenti sampai disini. Kota
Surakarta merupakan salah satu kota yang terpilih dan telah
berkomitmen sebagai Kota Hijau, bentuk komitmen tersebut
ditandai dengan penandatanganan piagam “Komitmen Kota
Hijau” yang merupakan bentuk kesepakatan antara Pemkot
Surakarta dengan Direktorat Jenderal Penataan Ruang
Kementerian Pekerjaan Umum. Berbagai program Kota Hijau
telah disiapkan oleh pemkot, perencanaan tersebut telah
tertuang di dalam Draft Raperda RTRW Kota Surakarta, yang
saat ini telah sampai pada tahap telah persetujuan substansi
dan saat ini sedang pembahasan di DPRD setempat. Di dalam
Draft Raperda RTRW Kota Surakarta telah mencantumkan
bahwa RTH Kota Surakarta dibagi atas 2 (dua) RTH Publik yang
meliputi taman pemakaman umum, dan jalur hijau sepanjang
jalan, sempadan sungai, sempadan rel kereta api, taman
wisata alam, taman rekreasi, kebun binatang, lapangan olah
raga, taman lingkungan perumahan dan permukiman, serta
pedestrian. Dan RTH Privat, yang meliputi lahan pertanian
kota atau halaman rumah/gedung milik masyarakat/swasta
yang ditanami tumbuhan, taman lingkungan perkantoran,
gedung komersial dan taman atap (roof garden).
10. 10 buletin tata ruang | Januari - Februari 2012
profil wilayah
Direncanakan luas RTH Kota Surakarta dalam bentuk taman
seluas 357 (tiga ratus lima puluh tujuh) Ha, RTH Dalam bentuk
Taman Pemakaman Umum (TPU) seluas 50 (lima puluh) Ha,
RTH dalam bentuk sempadan rel kereta api seluas 73 (tujuh
puluh tiga) Ha dengan sebaran di beberapa kecamatan.
Selain itu juga terdapat Ruang Terbuka Non Hijau (RTNH)
di Kota Surakarta seluas 7 (tujuh) Ha yang juga tersebar
diseluruh kawasan kecamatan. Untuk mewujudkan RTH
yang telah direncanakan, Pemerintah Kota Surakarta telah
melakukan kerjasama pendanaan melalui dana sharing
APBN dan APDB serta pihak perbankan melalui Bank Mandiri
yang telah melakukan kesepakatan terkait konsep kerjasama
untuk merealisasikan RTH.
Solo City Walk merupakan salah satu bentuk perwujudan
RTH public, Solo City Walk ini dapat memberikan kesejukan
dan kehijauan pada Kota Surakarta, fasilitas pejalan kaki yang
aman dengan sisi hijau kanan dan kiri dapat memberikan rasa
sejuk di dalamnya. Selain itu lokasi PKL di beberapa bagian
tidak mengganggu bagi pejalan kaki karena tempat untuk
PKL telah disediakan oleh pemkot dengan rapi dan teratur.
Saat ini, telah tercatat ±18.61% RTH di Kota Surakarta, di dalam
perencanaankedepanPemerintahKotaSurakartayangdibantu
olehjajarannyajugatelahmenyiapkanbeberapaprogramdalam
rangka merealisasikan “Komitmen Kota Hijau”, di antaranya
adalah Program “Green Building”, menggalakkan konsep “Roof
Garden” sebagaimana yang telah tercantum di dalan Draft
Seluruh penduduk Kota
Surakarta juga berkewajiban
memelihara taman-taman
lingkungan di lingkup RT/RW
atau kelurahan agar iklim mikro
tetap terjaga dan mendukung
perwujudan Kota Hijau.
RTRW Kota Surakarta, pembangunan jalan lingkungan dengan
menggunakan paving, penanaman 1 (satu) juta pohon, dan
kegiatan sayembara inisiasi rencana kota.
Pada tahun 2009, Pemerintah Kota Surakarta juga telah
mengeluarkan Perda berkaitan dengan RTH, yaitu Perda No.
8 Tahun 2009 Tentang Bangunan, yang mengatur adanya
kewajiban untuk menetapkan Koefisien Dasar Bangunan
(KDB) maksimal 85%, kecuali lokasi tertentu, dan saluran air
hujan sebelum dibuang ke saluran umum kota harus melalui
sumur resapan terlebih dahulu.
RTH tidaklah hanya direncanakan dan dilaksanakan begitu
saja, melainkan terdapat beberapa instansi Pemkot yang
terlibat didalam kepengurusan dan perawatan RTH Kota
Surakarta, di antaranya adalah untuk pengelolaan dan
pemeliharaan taman kota, jalur hijau, dan lapangan dikelola
oleh Dinas Kebersihan dan Pertamanan, Dinas Pekerjaan
Umum dan Badan Lingkungan Hidup berperan di dalam
penyediaan pohon dan RTH di sempadan sungai, Dinas
Pertanian juga terlibat di dalam penyediaan tanaman
produktif, selain itu seluruh penduduk Kota Surakarta juga
berkewajiban memelihara taman-taman lingkungan di
lingkup RT/RW/Kelurahan agar iklim mikro tetap terjaga dan
mendukung perwujudan Kota Hijau.
Perencanaan perwujudan RTH di Kota Surakarta memiliki
beberapa kendala dan permasalahan yang dihadapi, antara
lain mengenai status ruas jalan yang kewenangannya dimiliki
oleh Perintah Propinsi, untuk kawasan sepadan sungai dan
rel kereta api terdapat permasalahn dengan warga sekitar,
karena banyak pemukiman liar yang telah berdiri disekitar
sempadan tersebut, perlu ditingkatkan kembali koordinasi
antara beberapa dinas terkait yang bertanggung jawab
dalam pengelolaan RTH agar pelaksanaan perwujudan RTH
dapat terkoordinir dengan baik dan serasi, dan permasalahan
kesadaran masyarakat dalam pemeliharaan dan perawatan
RTH masih perlu untuk ditingkatkan kembali.
Sangat tidak mudah mendapatkan predikat Kota Bersih,
karena kota identik dengan kebisingan dan polusi dari
kendaraan, aktivitas pabrik, dan aktivitas penduduk kota yang
terus mencemari lingkungan kota. Akan tetapi komitmen
berbagai macam instansi baik pemerintahan, masyarakat,
akademisi, dan sektor swasta yang turut menghijaukan
lingkungan mereka, membuat Kota Surakarta menjadi hijau
dan bersih.
RTH pada hakikatnya merupakan salah satu unsur ruang kota
yang mempunyai peran penting serta dengan unsur kota
lainnyadanmemilikipengaruhsangatpositifbagilingkungan
sekitar. Perbaikan lingkungan tidak perlu diawali dengan
langkah besar dan menciptakan sesuatu yang inovatif,
melainkan berawal dari kesadaran diri sendiri yang nantinya
akan memberikan dampak yang luas bagi lingkungan sekitar.
(mpb)RTH Kota Surakarta
11. 11Januari - Februari 2012 | buletin tata ruang
topik utama
Planning for
Sustainability
in SwedenOleh: Sixten Larsson
Urban Planner, Visual Communication AB
Sweden
URBAN DEVELOPMENT IN SWEDEN is based on a strong
local self-governance. The municipalities in Sweden have the
right and the duty to determine how the built environment
should be developed and through its power of taxation, they
also have the means for implementation. This decentralised
character of the society is reflected in the administrative
structure and in the legislation that governs different levels
of government. This system has a long history. Many cities
and towns had their rudimentary local planning and building
regulations in place in the end of the 18th century. The main
legislative instruments that guide urban development at
presentaretheLocalGovernmentAct1991,theEnvironmental
Code (1999) and the revised Planning and Building Act (2011).
With the increasing complexity of development, globalisation
trends, climate change issues and the need for a broader
sustainability perspective, new demands are placed on
municipalities regarding coordination and cooperation
and new approaches to participation and stakeholder
involvement. Furthermore, municipalities are required to
take into account national interests as expressed in national
policies and strategies such as:
• Swedish Environmental Objectives
• Climate and Energy Policy
• Swedish Strategy for Sustainable Development.
11Januari - Februari 201 | buletin tata ruang
12. 12 buletin tata ruang | Januari - Februari 2012
topik utama
The three pillars of sustainability
must be seen as integral parts in
urban development. Environmental –
ecological and biological processes;
Social – interaction between people
and involvement; Economic –
balanced growth.
“Cities and other built areas must provide a good, healthy
living environment and contribute to good regional and global
environments. Natural and cultural assets must be protected
and developed. Buildings and amenities must be located and
designed in accordance with sound environmental principles
and in such a way as to promote sustainable management of
land, water and other resources.”
Swedish Environmental Quality Objectives, no. 15
The concept of sustainable planning and development
Social sustainability
Social sustainability entails integrated physical urban
structure with mixed development, diverse housing options,
meeting places and provision for interaction between
different groups in the society. Equally important is the
provisions for involvement in planning processes and in the
democraticprocesses.Accesstohealthandeducationservices
and fair distribution of income and assets are fundamental to
sustainable social development.
Economic sustainability
Urban areas are often called the engines of economic
growth. While planning must encourage economic initiatives,
economic sustainability requires that development is in
balance with available resources and not harmful to the
environment. Support for local production, recycling, reuse
and energy efficient technologies are economic development
in line with sustainability perspectives.
The concept of sustainable development has gained
increasing attention among authorities, interest groups
and the general public, due to a growing awareness of
environmental threats and the potential consequences
for economic development. The holistic perspective is
however sometimes lacking. Sustainable planning and
urban development require a conscious integration of social,
economic, environmental as well as institutional, technical
and functional considerations. Many municipalities have
in recent years developed more inclusive and integrated
planning and implementation processes, reflected in
institutional structures, comprehensive planning, strategies
and policies. The three pillars for sustainable development –
environmental, social, economic aspects – are included in the
formulation of development visions and all three need to be
provided for in order to achieve sustainability.
Environmental sustainability
Environmental sustainability concerns protection of
biological and ecological processes and sustaining biological
diversity. To achieve this, the impact of human activities must
not exceed the carrying capacity of the environment. Urban
planning needs to protect green areas and corridors, parks,
forests and natural resources as well as agricultural land.
Climate change mitigation requires reducing emissions of
greenhouse gases, designing infrastructure and buildings to
withstand the expected effects. Transport system and energy
provision must be based on renewable energy sources,
efficient energy use and expansion of public transport
systems.
13. 13Januari - Februari 2012 | buletin tata ruang
Göteborg; the original fortification is a main feature. Haga
(Göteborg), retaining the character and identity of the
working class housing area. The Vällingby centre is given a
new image, while protecting the urban design concept.
The impact of existing urban structures
The visions and long-term strategies presented by Swedish municipalities focus
on ideal and future development scenarios with optimistic assumptions regarding
the outcome. However, development occurs in connection with or within existing
urban structures, both in physical and socio-economic terms. Cities have grown
over time and taken forms that reflect the attitudes and culture of the time.
Most Swedish towns have a historical core from medieval time or with an origin as
military fortifications. Other town structures represent the industrialisation in the
19th century. Large suburban areas came into being during the great expansion
and redevelopment programmes since the 1960s.
The planning and implementation process
The way in which urban planning and implementation
processes are carried out is just as important as the content of
the planning concepts. The integrated approach emphasise
the linkages between the different stages of the process and
the need to take implementation, operation and maintenance
into account already at the plan preparation phase.
A participatory planning process, transparency and
inclusiveness that involve relevant authorities, interest
groups, communities, private sector and other stakeholders
are necessity to promote sustainable development.
Planning principles for sustainable development
The planning principles that are applied in urban planning in Sweden reflect the
ambitions to promote sustainable development and are found in most visions,
strategies and comprehensive planning.
Integration – functional, socio-economic, cultural
Accessibility – public transport, cycle paths and walkways, services within walking
distance.
Compact urban structures - higher density, infilling and redevelopment
Mixed development – Variation of land uses and activities
Diversity – variation of housing types, architectural quality, character and identity.
Public transport emphasis – integral part of urban planning, energy efficiency.
Protection of green areas and the natural environment – limiting encroachment
into natural areas, providing and conserving green areas within urban structures.
Protection of cultural heritage and the built environment – protection of areas and
significant features in the urban environment.
Protection of agricultural land and food production – local food production, urban
agriculture and farming.
Local economic development – support for businesses, skills development, efficient
communication and good infrastructure.
Safety and security – safe walkways, street lighting, surveillance, meeting places,
community involvement.
Conservation of natural resources and assets – waste reduction, recycling,
renewable energy, energy efficiency.
14. 14 buletin tata ruang | Januari - Februari 2012
topik utama
Urban planning and implementation is a continuous process with
need for feedback throughout the process and with evaluation
of the outcome. The linkages between Programming, Planning,
Implementation and Review require new approaches, institutional
coordination and cooperation.
Vision for sustainable urban development
Municipalities in Sweden face many challenges in the form
of lack of resources, financial restrictions and economic
crises. There is need for considerable reforms and financial
investmentstopromotesustainabilityandthemainchallenge
is the need for innovative approaches to urban planning. The
three aspects of sustainability – environmental, social and
economic – need to be addressed with equal importance.
Swedish municipalities have made great progress in evolving
new concepts for planning and development. The key
principles that have been identified are the components that
guide the vision for sustainable urban development.
All aspects of sustainability must be addressed;
focusing on economic and social aspects only
might provide equitable situation but not
sustainable; environmental and social focus
would lead to a tolerable situation at best;
and a focus on environmental and economic
aspects might be seen as viable, but not
sustainable in the long-term perspective. The
planning principles are the tools to develop
diverse and dynamic living environment.
topik utama
5
Planning for sustainability in Sweden
Sixten Larsson, Urban Planner, Visual Communication AB
stakeholders are necessity to promote sustainable development.
Urban planning and implementation is a continuous process with need for feedback throughout the
process and with evaluation of the outcome. The linkages between Programming, Planning,
Implementation and Review require new approaches, institutional coordination and cooperation.
1
PROGRAMMING
3
IMPLEMENTING
2
PLANNING
REVIEW 1
REVIEW
REVIEW
3
2
1 3
2ProtectingofCultu
ral Heritage and The B
uiltEnvirontment
Co
m
pact Urban Structuri
ng
Protectionofagr
icultural resources and
foodproduction
Accessibility
Public Transport
Renewa
ble Energy & Energy E
fficiency
Safety and Security
Tran
sparency and Particip
ation
Loc
al Economic Developm
ent
ProtectionTheG
reen Area & The Natur
alEnvirontment
Mixed Development
Diversity
Integration
Waste
Reduction, Recycling,
Re-Use
ENVIRONMENTAL
SUSTAINABLE
SOCIAL
ECONOMIC
ENVIRONMENTAL
SUSTAINABLE
SOCIAL
ECONOMIC
15. 15Januari - Februari 2012 | buletin tata ruang
Terkait Perubahan Iklim
KebijakanPerkotaan
Oleh: Ir. Hayu Parasati, MPS,
Direktur Perkotaan dan Perdesaan
Kementerian PPN/Bappenas
Dalam kasus perubahan iklim, kota menjadi penyebab,
sekaligus penanggung akibat yang paling parah.
URBANISASI MASIH MENJADI isu utama pembangunan
perkotaan. Pada tahun 2050, diperkirakan populasi penduduk
perkotaan di Asia akan mencapai 64%. Fenomena yang sama
akan terjadi di Indonesia, dimana pada tahun 2025 penduduk
perkotaan diperkirakan akan mencapai 67,5%.
Aglomerasipendudukdanekonomidiperkotaanmemberikan
kontribusi besar terhadap perekonomian nasional. Olahan
data BPS mengindikasikan kota-kota metropolitan di
Indonesia mampu menyumbangkan 20,37% dari total PDRB
seluruh kota tahun 2008, demikian pula kota-kota besar yang
mampu menyumbangkan 15,34%. (lihat tabel berikut)
Sumber : BPS 2008 , diolah
*) Total 90 kota, kota-kota di Provinsi DKI Jakarta dianggap sebagai satu
kota otonom
Perubahan Iklim di Indonesia
Indonesia merupakan penghasil emisi gas rumah kaca
terbesar ke tiga di dunia. Maka jelas Indonesia sedang
menghadapi berbagai dampak yang ditimbulkan oleh
perubahan iklim. WWF Indonesia (1999) memperkirakan,
temperatur akan meningkat antara 1.30C sampai dengan
4.60C pada tahun 2100 dengan trend sebesar 0.10C–0.40C
per tahun. Selanjutnya, pemanasan global akan menaikkan
muka air laut sebesar 100 cm pada tahun 2100.
Akumulasi kejadian ini akan mempengaruhi infrastruktur,
bangunan, dan kegiatan manusia saat ini dan mendatang.
Pemanasan global akan meningkatkan temperatur,
memperpendek musim hujan, dan meningkatkan intensitas
curah hujan. Kondisi ini dapat mengubah kondisi air dan
kelembaban tanah yang akhirnya akan mempengaruhi
sektor pertanian dan ketersediaan pangan. Perubahan iklim
juga akan meningkatkan dampak buruh dari wabah penyakit
yang ditularkan melalui air atau vektor lain seperti nyamuk.
Kota juga merupakan penghasil emisi gas rumah kaca.
Sumber utama emisi gas rumah kaca di kota adalah
penggunaan bahan bakar fosil untuk listrik, transportasi,
industri, rumah tangga, dsb. Rumah tangga di Pulau Jawa
memberikan kontribusi emisi CO2 terbesar yang bersumber
dari penggunaan energi lebih dari 100 juta ton per tahun.
Industri di Pulau Jawa memberikan kontribusi emisi CO2
terbesar, meningkat dari 13 juta ton pada tahun 2003
menjadi 24 juta ton pada tahun 2005. Pada tahun 2007,
penggunaan kendaraan bermotor di Pulau Jawa memberikan
kontribusi emisi CO2 terbesar sebesar 40 juta ton, 16 juta ton
diantaranya berasal dari Provinsi DKI Jakarta.
Kawasan perkotaan sangat rentan terhadap dampak
perubahan iklim akibat populasinya yang besar, penggunaan
infrastruktur yang intensif, aktivitas ekonomi tinggi, serta
adanya konsentrasi penduduk miskin. Dampak perubahan
iklim di perkotaan berpotensi menyebabkan ancaman
kenaikan permukaan laut terhadap kota yang terletak di
wilayah pesisir, badai ekstrim dan peningkatan suhu udara
yang menimpa kota-kota di pesisir dan menghancurkan
infrastruktur sosial maupun ekonomi, dan masyarakat
Asian Urbanization 2010 2050
Total Urban Population (millions) 1,649 3,247
Northeast Asia 805 1,284
South Asia 496 1,261
Central Asia 96 182
Urbanization (%) 41% 64%
Northeast Asia 50% 74%
South Asia 30% 55%
Southeast Asia 42% 65%
Central Asia 52% 67%
Kriteria Kota Presentase
terhadap Jumlah
SeluruhKota*)
Kontribusi PDRB
terhadap Total PDRB
Kota Tahun 2008
Metropolitan ( > 1juta jiwa) 11,11% 20,37%
Besar (500.000 - 1juta jiwa) 15,55% 15,34%
Menengah (100.000 -
500.000 jiwa)
62,22% 7,82%
Kecil (50.000 - 100.000 jiwa) 11,11% 2,37%
Sumber: Asia 2050. Realizing the Asian Century
Lebihlanjut,perkembangankontribusiPDRBkotametropolitan
dan besar terhadap PDRB seluruh kota pada tahun 2005-2009
terus meningkat, sedangkan pada kota menengah dan kecil
cenderung stagnan, bahkan menurun.
16. 16 buletin tata ruang | Januari - Februari 2012
Program-program terkait mitigasi dan adaptasi perubahan
iklim telah dilaksanakan oleh sektor-sektor pemerintah
pusat, di antaranya :
1. Program Pengendalian Penyakit dan Kesehatan
Lingkungan (Kementerian Kesehatan)
2. Program Koordinasi Kebijakan Bidang Perekonomian
(Kemenko Perekonomian)
3. Program Pengelolaan SDA dan Program Pembinaan dan
Pengembangan Infrastruktur Permukiman (Kementerian PU)
4. Program Penanggulangan Bencana (BNPB)
5. Program Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan
Hidup (Kementerian LH)
6. Program Penciptaan Teknologi dan Varietas Unggul
Berdaya Saing (Kementerian Pertanian)
7. Program Pengelolaan Sumber Daya Laut, Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil (Kementerian Kelautan dan Perikanan)
8. Program Pengelolaan dan Pelayanan Transportasi Darat
(Kementerian Perhubungan)
9. Program Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan
Desa dan Program Bina Pembangunan Daerah (Kemdagri)
10. Program Pengembangan Masyarakat dan Kawasan
Transmigrasi (Kemenakertrans)
11. Program Konservasi Keanekaragaman Hayati dan
Perlindungan Hutan (Kemenhut)
12. Program Pengelolaan Energi Baru Terbarukan dan
Konservasi Energi (Kemen ESDM)
13. ProgramPeningkatanKemampuanIPTEKuntukPenguatan
Sistem Inovasi Nasional (Kemenristek)
14. Program Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT)
15. Program Penelitian, Penguasaan, dan Pemanfaatan IPTEK
(LIPI)
16. Program Pengembangan dan Pembinaan Meteorologi,
Klimatologi dan Geofisika (BMKG)
berpenghasilan rendah di kota menjadi masyarakat yang
paling rentan terhadap dampak perubahan iklim karena
keterbatasan sumber daya dan kapasitas yang dimiliki untuk
mengantisipasi dampak-dampak tersebut.
Akibat perubahan iklim permukaan air laut di pesisir Jakarta
diperkirakan akan meningkat 0,57 cm per tahun, sedangkan
penurunan muka tanah sebesar 0,8 cm per tahun. Hal ini
akan berdampak besar pada produktivitas infrastruktur dan
ekonomi perkotaan.
Tantangan Mitigasi dan Adaptasi
Mitigasi perubahan iklim adalah upaya-upaya yang
dilakukan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Hal
tersebut dilakukan antara lain dengan cara perencanaan
pembangunan kota, antara lain dengan pengendalian urban
sprawl.Tujuannya adalah agar tidak terjadi penambahan jarak
yang harus ditempuh penduduk dalam beraktivitas, serta
tidak menambah kebutuhan penduduk untuk menggunakan
kendaraan pribadi. Efektifitas strategi tersebut sangat
bergantung pada gaya hidup dan kebutuhan penduduk kota.
Selain itu, juga dilakukan mitigasi seperti peningkatan
efisiensi penggunaan energi pada kawasan terbangun di
kota, peningkatan penggunaan sumber energi alternatif, dan
pengembangan sistem transportasi massal dengan sumber
energi alternatif yang bertujuan mengurangi penambahan
kendaraan pribadi.
Sementara itu adaptasi perubahan iklim mencakup seluruh
tindakan yang dilakukan untuk mengurangi kerentanan
kota dan penduduknya terhadap dampak perubahan iklim.
Adaptasi dan mitigasi perubahan iklim merupakan dua
hal yang harus dilaksanakan secara bersama-sama. Upaya
mitigasi yang gagal akan mengakibatkan gagalnya upaya
adaptasi pula.
Contoh-contoh upaya adaptasi antara lain meningkatkan
sistem drainase kota untuk antisipasi peningkatan debit
air hujan, meningkatkan sistem pengendalian banjir,
perencanaan dan pengendalian pemanfaatan ruang/guna
lahan, meningkatkan ketahanan pangan, mengurangi
penggunaan air untuk rumah tangga maupun industri, dan
meningkatkan pemanfaatan sumber air alternatif seperti
air hujan. Upaya-upaya adaptasi ini memerlukan pelibatan
seluruh stakeholders perkotaan.
topik utama
Sea Level Rise (mm/year)
0.0 1.0 2.0 3.0 4.0 5.0 6.0 7.0 8.0 9.0
Lampung
Sumatra
Surabaya
Semarang
Jakarta
Belawan
Cilacap
Indonesia
17. 17Januari - Februari 2012 | buletin tata ruang
Visi Perkotaan Nasional adalah terwujudnya kota yang layak huni, berkeadilan,
mandiri, dan berdaya saing secara berkelanjutan untuk kesejahteraan masyarakat
perkotaan, sesuai dengan karakter potensi dan budaya lokal pada tahun 2024.
Sementara misinya adalah:
Meningkatkan pemerataan pembangunan kota-kota sesuai fungsinya dalam
sistem perkotaan nasional.
Meningkatkan pengembangan ekonomi kota yang produktif, atraktif, dan
efisien, dengan memanfaatkan potensi unggulan dan daya dukung sumber daya.
Mengembangkan sarana dan prasarana perkotaan yang memenuhi Standar
Pelayanan Perkotaan (SPP) serta mengedepankan pembangunan sosial dan
budaya masyarakat.
Meningkatkan kualitas tata ruang kota yang memperhatikan daya dukung dan
daya tampung lingkungan serta menjamin daya tahan kota terhadap ancaman
bencana dan dampak perubahan iklim.
Meningkatkan kualitas penyelenggaraan tata kelola pemerintahan kota yang
transparan, akuntabel, dan partisipatif serta mengedepankan proses komunikasi
dan interaksi publik dalam perencanaan dan pembangunan kota.
Untuk mewujudkan visi dan mendukung misi tersebut,
diberlakukanlah delapan kebijakan pembangunan perkotaan
nasional, yaitu:
1. meningkatkan peran kota sebagai pendorong
pertumbuhan ekonomi lokal, regional dan nasional yang
berketahanan iklim (urban led development policy)
2. menyebarkan pusat-pusat pertumbuhan perkotaan
untuk mengatasi ketimpangan pembangunan antar wilayah
(decentralized concentration)
3. mengedepankan pembangunan manusia dan sosial-
budaya dalam pembangunan perkotaan
4. mendorong kota dan wilayah sekitarnya agar mampu
mengembangkanekonomilokaldanmeningkatkankapasitas
fiskal
5. memacu pemenuhan kebutuhan PSU kota serta
penyediaan perumahan dan permukiman yang layak
6. mendorong terwujudnya kota-kota padat-lahan (compact
city) yang didukung oleh pemanfaatan ruang perkotaan
yang efisien serta penatagunaan tanah perkotaan yang
berkeadilan
7. mendorong kota-kota dalam meningkatkan kualitas
kesehatan lingkungan dan siap menghadapi perubahan iklim
serta adaptif terhadap kemungkinan bencana
8. meningkatkan kapasitas sumber daya manusia,
kelembagaan, dan menerapkan prinsip-prinsip tata
pemerintahan yang baik (good governance), serta
mendorong munculnya kepemimpinan yang visioner.
Dalam KSPN terkait aspek lingkungan dan perubahan iklim
tercantum dalam kebijakan ke tujuh yaitu mendorong kota-
kota dalam meningkatkan kualitas kesehatan lingkungan
dan siap menghadapi perubahan iklim serta adaptif terhadap
kemungkinanbencana.Haliniyangmeliputi:(1)Pengendalian
kegiatan pembangunan kota agar tidak merusak lingkungan
melalui mekanisme insentif disinsentif; dan (2) Peningkatan
kapasitas pemerintah daerah dan pelibatan aktif masyarakat
dalam mewujudkan lingkungan permukiman yang sehat
dan adaptif terhadap bencana dan perubahan iklim melalui
pembangunan kota yang terintegrasi dan seimbang antara
aspek ekonomi dan ekologi.
Dalam KSPN terkait aspek
lingkungan dan perubahan
iklim tercantum dalam
kebijakan ketujuh yaitu
mendorong kota-kota
dalam meningkatkan
kualitas kesehatan
lingkungan dan siap
menghadapi perubahan
iklim serta adaptif terhadap
kemungkinan bencana.
Kebijakan dan Strategi Perkotaan Nasional (KSPN)
VISI PEMBANGUNAN PANJANG
Indonesia yang Mandiri, Maju, Adil, dan Makmur
- Pemerataan pertumbuhan kota
metropolitan-besar-menengah-kecil
- Pengendalian kota-kota besar dan
metropolotan
- manajemen perkotaan
- Pembangunan kota menengah dan
kota kecil
- pemenuhan kebutuhan pelayanan
dasar perkotaan
- Keterkaitan ekonomi kota-desa
- perluasan dan diversifikasi aktivitas
ekonomi dan perdagangan antar
desa-kota
RPJPN 2005-2025
Kota sebagai suatu
kesatuan kawasan/wilayah
RPJPN 2005-2025
People
Centered:
tempat tinggal
berorientasi
pada
kenyamanan,
kelayakan huni,
dan kebutuhan
penduduk kota
Engine of
growth:
pendorong
pertumbuhan
nasional dan
regional
18. 18 buletin tata ruang | Januari - Februari 2012
Upaya Pemerintah Indonesia untuk Mitigasi
dan Adaptasi Perubahan Iklim
Setelah meratifikasi UNFCC 1994 dan Kyoto Protocol 2004,
Pemerintah Indonesia berpartisipasi aktif dalam upaya-upaya
mitigasi dan adaptasi perubahan iklim baik dalam kerangka
regional maupun internasional. Pada tahun 2010 Pemerintah
Indonesia meluncurkan Indonesia Climate Change
Sectoral Roadmap (ICCSR) 2010-2030, yang disusun untuk
menetapkan tujuan nasional, sasaran sektoral, dan prioritas
upaya-upaya yang berkaitan dengan adaptasi dan mitigasi
perubahan iklim bagi seluruh sektor. Muatan ICCSR juga telah
diintegrasikan kedalam dokumen-dokumen perencanaan
pembangunan yaitu Rencana Pembangunan Jangka
Menengah (RPJM) 2010-2014 dan Rencana Kerja Pemerintah
(RKP). Saat ini telah disusun Rancangan Peraturan Presiden
(Raperpres) tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi
Gas Rumah Kaca (RAN-GRK).
RAN-GRKdisusunsebagaitindaklanjutkomitmenPemerintah
Indonesia untuk menurunkan emisi gas rumah kaca pada
tahun 2020 sebesar 26% dari BAU (bussiness as usual) dan
sebesar 41% dengan bantuan internasional. RAN-GRK
berisikan rencana aksi masing-masing bidang yang terkait
erat dengan upaya penurunan emisi gas rumah kaca dalam
mengantisipasi terjadinya perubahan iklim, yaitu bidang
kehutanan dan lahan gambut, pertanian, energi, industri
dan transportasi dan juga bidang pengelolaan limbah.
Untuk pelaksanaan di daerah, RAN GRK direncanakan akan
dijabarkan ke dalam RAD GRK di tingkat provinsi. Indonesia
Climate Change Trust Fund (ICCTF) diresmikan pada tanggal
14 September 2009, dan mulai beroperasi sejak Januari 2010.
ICCTF diharapkan dapat menjadi komplemen dari berbagai
mekanisme pendanaan yang telah ada dan dapat menjadi
alternatif mekanisme pendanaan.
Saat ini ICCTF telah mendanai tiga kegiatan percontohan
(pilot project) yaitu: (1) Riset dan pengembangan manajemen
lahan gambut berkelanjutan (dilaksanakan oleh Kementerian
Pertanian); (2) Konservasi energi pada industri baja dan pulp
kertas (dilaksanakan oleh Kementerian Perindustrian); dan (3)
Penyadaran publik, pelatihan dan pendidikan untuk upaya
mitigasi dan adaptasi perubahan iklim (dilaksanakan oleh
BMKG dengan kolaborasi bersama LIPI, BPPT, Kementerian
Pendidikan Nasional, Kementerian Pertanian, Kementerian
Kelautan dan Perikanan).
Tindak Lanjut ke Depan
Ada beberapa upaya yang dilaksanakan di tingkat pusat dan
daerah terkait masalah perubahan iklim.
Upaya yang dilakukan di tingkat pusat yang pertama adalah
penetapan Kebijakan dan Strategi Perkotaan Nasional (KSPN)
dan integrasi upaya-upaya pengelolaan lingkungan hidup-
mitigasi dan adaptasi perubahan iklim-penanggulangan
bencana. Upaya yang ke dua adalah sinkronisasi kebijakan
atau penyelarasan kebijakan nasional terkait adaptasi dan
mitigasi perubahan iklim melalui RPJMN, ICCSR, RAN-GRK,
ICCTF, penyelarasan atau keterkaitan berbagai inisiatif
kota-kota dengan kebijakan dan program nasional terkait
perubahan iklim.
Upaya yang ke tiga adalah pelaksanaan kebijakan dan
pembiayaan, peningkatan daya tarik dan percepatan
pembangunan kota menengah, kecil, dan perdesaan untuk
mengendalikan kecenderungan urban sprawl di kota besar
dan metropolitan, peningkatan kemitraan pemerintah-
masyarakat-swasta, dan penerapan insentif-disinsentif
penghematan penggunaan energi.
Upaya yang ke empat adalah melalui data dan informasi
dengancarasosialisasikebijakandanprogramnasionalterkait
perubahan iklim kepada pemerintah daerah, pertukaran
informasi dan good practices upaya-upaya adaptasi dan
mitigasi perubahan iklim.
Sedangkan upaya-upaya terkait perubahan iklim yang
dilakukan di tingkat kota antara lain adalah dengan
sinkronisasi kebijakan, yaitu integrasi Rencana Aksi Daerah
Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD GRK)-Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD)-Kebijakan
dan Strategi Perkotaan Daerah (KSPD).
Upaya yang ke dua adalah pelaksanaan kebijakan dan
pembiayaan dengan cara pengendalian urban sprawl dan
pemanfaatan ruang (termasuk keterpaduan guna lahan dan
transportasi), penggunaan energi alternatif, pengembangan
sistem transportasi massal, serta penerapan konsep
bangunan hijau (green building) dengan material dan desain
ramah lingkungan, juga penerapan insentif-disinsentif
penghematan pengunaan energi. Sementara upaya yang ke
tiga melalui data dan informasi yang bertujuan meningkatan
kesadaran penduduk kota terhadap perubahan iklim dan
menyusun database terkait perubahan iklim.
Referensi:
- Proyeksi Penduduk Indonesia 2005-2025, BPS 2008
- www.wwf.or.id; www.iklimkarbon.com
-StatusLingkunganHidupIndonesia2009,GlobalReportonHumanSettlement
2011 (UN-HABITAT)
- Cities, Climate Change, and Multilevel Governance (OECD, 2009) , Indonesia
and Climate Change (World Bank, 2007)
Pemerintah Indonesia
berpartisipasi aktif dalam
upaya-upaya mitigasi dan
adaptasi perubahan iklim
baik dalam kerangka regional
maupun Internasional.
topik utama
19. 19Januari - Februari 2012 | buletin tata ruang
dalam Kota yang Sehat
Oleh: Chris. D. Prasetijaningsih1) dan Mufty Riyan2)
RuangTerbukaHijau
APAKAH ARTI KOTA SEHAT? Apakah kota seperti makhluk
hidup yang bisa dideteksi kesehatannya? Bagaimana
terminologi kota sehat muncul dari para ahli kesehatan
dan perencana kota? Kerusakan lingkungan tidak hanya
meningkatkan kematian akibat dari penyakit-penyakit yang
ditimbulkan, Aktivitas yang terjadi di kawasan-kawasan
pariwisata seringkali menjadi suatu cikal bakal timbulnya
penyakit baru karena penduduk dari luar daerah maupun luar
negeri membawa penyakit yang tidak terdeteksi atau terasa
sebelumnya, dan dalam interaksi sekumpulan orang secara
bersama-sama. Pentingnya kondisi kota yang sehat selain
untuk mengurangi peningkatan jumlah penduduk sakit
yang berakibat berkurangnya produktivitas, tetapi juga untuk
mengurangi terbuangnya devisa negara akibat mengimpor
obat-obatan dari luar negeri.
Tentu saja, definisi kota yang sehat tidak harus atau hanya
dikriteriakan terhadap fisik kota, tetapi justru terhadap orang-
orang atau makhluk yang hidup di dalamnya. Seringkali ahli
infrastruktruktur mengembangkannya kepada kebutuhan
akan fisik yang memungkinkan manusia hidup sehat. Pada
kenyataannya itu tidak cukup, karena ada relasi antara orang
dan alam yang mempengaruhi kesehatan seseorang, serta
orang dan orang yang mencerminkan derajat kesehatan
seseorang. Banyaknya kasus bunuh diri, seperti terjun dari
bangunan bertingkat di perkotaan, meminum obat nyamuk
di pedesaan, membunuh karena tersinggung, dll., semuanya
seringkali bermula dari kondisi lingkungan yang kurang
mendukung.
Jiwa dan tubuh yang sehat membutuhkan ruang yang sehat.
Di sinilah peran ruang terbuka hijau kota yang memadukan
Pembangunan kota hijau bukan semata bertujuan
‘menghijaukan’ sebuah kota. Di balik itu, ada agenda yang lebih
kompleks, yaitu menyangkut warga kota yang lebih sehat.
unsur manusia dengan lingkungannya (alam) menjadi
penting dalam membentuk kota sehat. Lalu, bagaimanakah
mendefinisikan kota sehat yang lebih memadai dikaitkan
dengan penerapan penyediaan Ruang Terbuka Hijau sebesar
20 persen di area publik dan 10 persen di lahan privat seperti
yang digariskan dalam UU Tata Ruang No. 26 tahun 2007?
RUANG TERBUKA HIJAU DALAM KOTA SEHAT
KOTA SEHAT
Pendekatan Kota Sehat pertama kali dikembangkan di Eropa
olehWHOpadatahun1980-ansebagaistrategimenyongsong
Ottawa-Charter. Ditekankan bahwa kesehatan dapat dicapai
danberkelanjutanapabilasernuaaspek,yaitusosial,ekonomi,
lingkungan dan budaya diperhatikan. Penekanan tidak cukup
pada pelayanan kesehatan, tetapi kepada seluruh aspek yang
mempengaruhi kesehatan masyarakat, baik jasmani maupun
rohani.
Tahun 1996, WHO menetapkan tema Hari Kesehatan Sedunia
“Healthy Cities for Better Life”. Di Indonesia, Pilot Proyek Kota
Sehat pertama kali diluncurkan di 6 kota, yaitu Kabupaten
Cianjur, Kota Balikpapan, Bandar Lampung, Pekalongan,
Malang, dan Jakarta Timur, yang dicanangkan oleh Menteri
Dalam Negeri pada tanggal 26 Oktober 1998 di Jakarta.
Kemudian diikuti dengan pengembangan Kabupaten/Kota
Sehat khususnya di bidang pariwisata di delapan kota, yaitu
Kawasan Anyer di Kabupaten Serang, Kawasan Batu Raden
di Kabupaten Banyumas, Kotagede di Kota Yogyakarta,
Kawasan Wisata Brastagi di Kabupaten Karo, Kawasan Pantai
Senggigi di Kabupaten Lombok Barat, Kawasan Pantai dan
20. 20 buletin tata ruang | Januari - Februari 2012
topik utama
laut Bunaken di Kota Manado, Kabupaten Tana Toraja, dan
Kawasan Nongsa dan Marina di Kota Batam (Kementerian
Kesehatan dan Kementerian Dalam Negeri, Pedoman
Penyelenggaraan Kabupaten/Kota Sehat, 2005).
Pada tahun berikutnya, 1 Maret 1999, konsep pembangunan
berwawasan kesehatan dicanangkan oleh Presiden BJ
Habibie. Pembangunan berwawasan kesehatan berarti setiap
pembangunan yang dilakukan perlu mempertimbangkan
aspek dan dampak kesehatan. Upaya meningkatkan
kesehatan merupakan tanggung jawab semua sektor,
masyarakat dan swasta. Pengertian Kabupaten/Kota Sehat
adalah suatu kondisi kabupaten/kota yang bersih, nyaman,
aman,dansehatuntukdihunipenduduk,yangdicapaimelalui
terselenggaranya penerapan beberapa tatanan dengan
kegiatan yang terintegrasi yang disepakati masyarakat dan
pemerintah daerah.
Pada tahun 1999, upaya mewujudkan Kota Sehat, meliputi
tiga aspek, yaitu:
1. Pembuatan, penggunaan dan pemeliharaan sumber air
bersih (sumur gali, sumur pompa, atau air pipa), jamban atau
WC, tempat sampah dan lubang pembuangan sampah, dan
tempat pembuangan air bekas dari dapur dan kamar mandi;
2. Pemeliharaan kebersihan di dalam rumah, di pekarangan,
serta makanan dan minuman (pemilihan bahan makanan,
pengolahan, penyiapan, penyajian, dan penyimpanan);
3. Penggunaan dan penyimpanan pestisida secara benar
(seperti racun nyamuk dan racun hama agar tidak meracuni
manusia, hewan peliharaan atau lingkungan).
Selanjutnya peringkat kota sehat bisa ditetapkan
berdasarkan nilai Indeks Pembangunan Kesehatan
Masyarakat (IPKM). Terdapat 24 indikator yang masuk dalam
IPKM. IPKM adalah indikator komposit yang menggambarkan
kemajuan pembangunan kesehatan yang dirumuskan dari
data kesehatan berbasis komunitas yaitu Riskesdas (riset
kesehatan dasar), PSE (pendataan sosial ekonomi) dan survei
podes (potensi desa) (Triono Soendoro, 2011; http://health.
detik.com/read/2011/04/21/134659/1622759/763/
daftar-kota-paling-sehat-dan-kurang-sehat; Peraturan
Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kesehatan No.
34 tahun 2005)
RUANG TERBUKA HIJAU
Kondisi fisik dari suatu lingkungan perkotaan terbentuk dari
tiga unsur (dinamis) dasar yaitu pepohonan dan organisme di
dalamnya, struktur (kondisi sosial), dan manusia (Grey, 1996).
Gunadi (1995) menjelaskan istilah Ruang Terbuka (open
space), yakni daerah atau tempat terbuka di lingkungan
perkotaan. Ruang Terbuka berbeda dengan istilah ruang
luar (exterior space), yang ada di sekitar bangunan dan
merupakan kebalikan ruang dalam (interior space) di dalam
bangunan. Definisi ruang luar, adalah ruang terbuka yang
sengajadirancangsecarakhususuntukkegiatantertentu,dan
digunakan secara intensif, seperti halaman sekolah, lapangan
olahraga, termasuk plaza (piazza) atau square. Sedangkan
‘zona hijau’ bisa berbentuk jalur (path), seperti jalur hijau
jalan, tepian air waduk atau danau dan bantaran sungai,
bantaran rel kereta api, saluran/jejaring listrik tegangan
tinggi, dan simpul kota (nodes), berupa ruang taman rumah,
taman lingkungan, taman kota, taman pemakaman, taman
pertanian kota, dan seterusnya. Zona hijau inilah yang
kemudian kita sebut Ruang Terbuka Hijau (RTH).
Dalam pendefinisian selanjutnya, RTH adalah bagian dari
ruang terbuka – yang merupakan salah satu bagian dari
ruang-ruang di suatu kota – yang biasa menjadi ruang bagi
kehidupan manusia dan mahkluk lainnya untuk hidup dan
berkembang secara berkelanjutan. Ruang terbuka dapat
dipahami sebagai ruang atau lahan yang belum dibangun
atau sebagian besar belum dibangun di wilayah perkotaan
yang mempunyai nilai untuk keperluan taman dan rekreasi;
konservasi lahan dan sumber daya alam lainnya; atau
keperluan sejarah dan keindahan (Green, 1959).
Ruang terbuka hijau merupakan salah satu bentuk dari
kepentingan umum. Penting untuk disediakan di dalam suatu
kawasan karena dapat memberikan dampak positif berupa
peningkatan kualitas lingkungan sekitarnya dan menjadi
pertimbangan penting dalam menentukan tata guna lahan di
suatu kota (Keeble, 1959). Pendefinisian menurut Permendagri
No.1 tahun 2007 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau
Kawasan Perkotaan, RTH kawasan perkotaan merupakan
bagian dari ruang terbuka suatu kawasan perkotaan yang
diisi oleh tumbuhan dan tanaman guna mendukung manfaat
ekologi, sosial, budaya, ekonomi dan estetika.
Pembangunan berwawasan
kesehatan berarti setiap
pembangunan yang dilakukan
perlu mempertimbangkan
aspek dan dampak kesehatan
yang merupakan tanggung
jawab semua sektor,
masyarakat dan swasta.
20 buletin tata ruang | Januari - Februari 2012
21. 21Januari - Februari 2012 | buletin tata ruang
RTH memiliki tiga fungsi dasar, yaitu secara sosial, fisik, dan
estetik (Adams, 1952). Secara sosial, RTH merupakan fasilitas
untuk umum dengan fungsi rekreasi, pendidikan, dan olah
raga. Ruang terbuka hijau kota dapat menjadi tempat untuk
menjalin komunikasi antar masyarakat kota. Sedangkan secara
fisik, RTH berfungsi sebagai paru-paru kota, melindungi sistem
tata air, peredam bunyi, pemenuhan kebutuhan visual, dan
menahan perkembangan lahan terbangun (sebagai penyangga).
Pepohonan dan vegetasi yang ada di ruang terbuka hijau dapat
menghasilkan udara segar dan menyaring debu serta mengatur
sirkulasi udara sehingga dapat melindungi warga kota dari
gangguan polusi udara. Lalu secara estetik, RTH kota berfungsi
sebagai pengikat antar elemen gedung, sebagai pemberi ciri
dalam membentuk wajah kota, dan juga sebagai salah satu unsur
dalam penataan arsitektur perkotaan.
Berdasarkan definsi dan fungsinya, peran
RTH sangat esensial dalam membangun
suatu kota sehat. Keberadaan suatu RTH
sebagai ruang terbuka yang bebas dan
dilengkapi dengan elemen-elemen “hijau”
seperti pepohonan dapat meningkatkan
kesehatan warga kota, baik secara jasmani
(fisik) maupun rohani (jiwa). Ini mengapa
sebagian dari 24 indikator (IPKM), yang
telah disinggung di atas, berkaitan dengan
RTH, dilihat dari manfaat dan fungsi RTH.
Penyediaan RTH di suatu kota tidak hanya selalu dari
pemerintah, seperti penyediaan taman kota, jalur hijau, dan
lainnya. Namun, penyediaan RTH juga dapat ditingkatkan
dengan meningkatkan kesadaran penghuni kota akan
pentingnya RTH. Berbagai jenis RTH dapat dilakukan di lahan
privat milik masyarakat atau swasta. Membangun kesadaran
masyarakat akan pentingnya peran RTH inilah yang juga
penting dalam membangun kota sehat.
Sosialisasi mengenai penyediaan dan pemanfaatan RTH di
tingkat masyarakat perlu dilakukan. Selain itu, pembentukan
dan pelestarian komunitas hijau juga penting dalam rangka
membangun gaya hidup sehat di masyarakat. Dukungan
dari pemerintah dapat dilakukan melalui penyelenggaraan
kegiatan sosial dan kebijakan lokal yang mendorong, di
antaranya adalah adanya insentif bagi masyarakat/swasta
yang menyediakan RTH di halaman/lahan miliknya sendiri.
INDIKATOR
Indikator kota sehat yang terkait dengan penyediaan RTH
adalahprevalensipneumonia,prevalensiasmadanprevalensi
ISPA (Infeksi saluran pernapasan akut). RTH harus 30% dari
luas wilayah kota. Bagian-bagian RTH (Ditjen Penataan Ruang,
2008) selalu mengandung tiga unsur dengan fungsi pokok
RTH, yaitu yang pertama fisik-ekologis, termasuk perkayaan
jenis dan plasma nutfahnya, yang ke dua, ekonomis, yaitu
nilai produktif/finansial dan penyeimbang untuk kesehatan
lingkungan, dan yang ke tiga adalah sosial-budaya, termasuk
pendidikan, dan nilai budaya dan psikologisnya.
Dengan berbagai jenis tanaman pengisinya, RTH mempunyai
multifungsi yaitu penghasil oksigen, bahan baku pangan,
sandang, papan, bahan baku industri, pengatur iklim mikro,
penyerap polusi udara, air dan tanah, jalur pergerakan
satwa, penciri (maskot) daerah, pengontrol
suara, dan pandangan. Pencemaran udara
yang sering menyebabkan penurunan
kesehatan manusia adalah partikel yang
sangat kecil (PM10 diameter aerodinamik
sebesar 10 mikrometer) yang akan
menyebabkan penyakit pernafasan, asma,
dan kardiovaskular.
Kemenpera dalam lokakarya Standard
Pelayanan Minimum bidang perumahan
dan permukiman (Heripoerwanto, 2009)
menyatakan, untuk mewujudkan lingkungan yang sehat dan
aman, sustainable human settlement perlu memperhatikan
empat hal, yaitu menghemat input sumberdaya (tanah,
air, energi, bahan bangunan); meminimasi limbah (padat,
cair, polusi udara, suara, panas, GRK); menjamin keadilan
(antargenerasi, antarwilayah, sosial); dan menjamin
pengambilan keputusan yang baik (pendelegasian dan
partisipasi).
Bila kita cermati, dewasa ini isu strategis yang terkait dengan
pembangunankotaadalahsemakinmeningkatnyapenduduk
yang bermukim di kota. Pada 2010, penduduk perkotaan di
Indonesia mencapai 54%. Diperkirakan pada 2025, penduduk
Indonesia yang bermukim di perkotaan mencapai 68%.
Kota hijau atau green city adalah konsep perkotaan, dimana
masalah lingkungan hidup, ekonomi, dan sosial budaya
RTH berfungsi sebagai
paru-paru kota,
melindungi sistem tata
air, peredam bunyi,
pemenuhan kebutuhan
visual, dan menahan
perkembangan lahan
terbangun.
22. 22 buletin tata ruang | Januari - Februari 2012
topik utama
Dalam rangka mendorong
kabupaten/kota berlomba-
lomba memperbaiki
lingkungannya, ada beberapa
lomba/award yang
dilakukan oleh pemerintah
dan dimotori oleh
nstansi-instansi pemerintah.
(kearifan lokal) harus seimbang demi generasi mendatang
yang lebih baik. Kota hijau berkorelasi dengan faktor
urbanisasi yang menyebabkan pertumbuhan kota-kota besar
menjadi tidak terkendali bila tidak ditata dengan baik.
Adapun kriteria kota hijau setidaknya memiliki delapan
atribut, yaitu perencanaan dan perancangan kota ramah
lingkungan,ruangterbukahijau,konsumsienergiyangefisien,
pengelolaan air, pengelolaan limbah, memiliki bangunan
hemat energi, punya sistem transportasi berkelanjutan, dan
pelibatan aktif masyarakat sebagai komunitas hijau (Marhum,
2011). Maka, kota hijau dengan penyediaan RTH akan
menjadikan kota yang lebih baik yaitu kota sehat.
PERENCANAAN RUANG TERBUKA HIJAU
Berdasarkan Permendagri No.1 tahun 2007, perencanaan pembangunan dan
pemanfaatan RTH kawasan perkotaan melibatkan para pelaku pembangunan.
RTHKP publik tidak dapat dialihfungsikan, dan pemanfaatannya dapat
dikerjasamakan dengan pihak ke tiga ataupun antar pemerintah daerah.
Sedangkan RTH privat dikelola oleh perseorangan atau lembaga/badan hukum
sesuai dengan peraturan perundangan-undangan.
Pengendalian RTHKP dilakukan melalui perizinan, pemantauan, pelaporan
dan penertiban. Penataan RTHKP melibatkan peranserta masyarakat, swasta,
lembaga/badan hukum dan/atau perseorangan. Peranserta masyarakat dimulai
dari pembangunan visi dan misi, perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian,
dapat dilakukan dalam proses pengambilan keputusan mengenai penataan
RTHKP, kerjasama dalam pengelolaan, kontribusi dalam pemikiran, pembiayaan
maupun tenaga fisik untuk pelaksanaan pekerjaan.
Dalam rangka mendorong kabupaten/kota berlomba-lomba memperbaiki
lingkungannya, ada beberapa lomba/award yang dilakukan pemerintah dan
dimotori oleh instansi-instansi pemerintah. Lomba ini ada yang menunjukkan
kualitasdaerah(kabupaten/kota)secarakeseluruhan,tapiadajugayangkhususpada
aspek-aspek tertentu saja dan yang dilakukan pemerintah, seperti Adipura (aspek
lingkungan), Inovasi Manajemen Award (aspek partisipasi dan inovasi penanganan),
dan Adi Puritama (aspek permukiman, pengembang). Lomba ini juga merupakan
suatu alat untuk memantau suatu daerah di dalam pelaksanaan program yang ada,
lalu pemenangnya dapat menjadi contoh bagi daerah-daerah lain.
Kota Surabaya sebagai salah satu pemenang Indonesia Green Region Award
(IGRA) 2011 (igraaward.com) dapat dijadikan contoh bagaimana lingkungan yang
hijau dibentuk melalui kegiatan atau program berbasis komunitas/masyarakat.
Selain meningkatkan sendiri luas RTH-nya melalui pembangunan/revitalisasi
taman-taman kota, Pemerintah Kota Surabaya juga sadar bahwa peningkatan
kualitas lingkungan akan lebih mudah apabila melibatkan peranserta masyarakat.
Program-program seperti“Urban Farming”,“Surabaya Green and Clean”,“Surabaya
Berwarna Bunga”, dan meningkatkan kembali implementasi 3R (Reuse, Reduce,
Recycle) dalam pengelolaan sampah, dilakukan dalam rangka membentuk kota
hijau yang sehat.
Program-program ini telah meningkatkan RTH yang di bawah 10% menjadi
20,25% (Forum Diskusi Nasional Perkotaan, Bappenas 2011). Walikota Surabaya
Kota hijau berkorelasi
dengan faktor urbanisasi
yang menyebabkan
pertumbuhan kota-kota
besar menjadi tidak
terkendali bila tidak ditata
dengan baik.
23. 23Januari - Februari 2012 | buletin tata ruang
dalam presentasinya mengenai “Kota Yang Berkelanjutan dan Berketahanan Iklim”
di Bappenas pada November 2011 yang lalu, menunjukkan adanya penurunan
penderita penyakit seperti infeksi saluran pernafasan setelah dilakukan program-
program terkait pemeliharaan ruang terbuka hijau, peningkatan kualitas
lingkungan dengan perbaikan sanitasi, pengelolaan persampahan dan perbaikan
kampung kumuh. Kota Denpasar yang juga memperoleh IGRA Award urutan ke
tiga dan Kota Sehat ke dua pada tahun 2011, memiliki RTH 24% dari luas kota.
Kota sehat memerlukan
inisiatif dari pemerintah
kota untuk melakukan
kebijakan dan program
pembangunan kota
yang bertujuan untuk
meningkatkan kondisi
lingkungan dan kesehatan
masyarakat.
Dengan demikian bisa kita simpulkan bila ruang terbuka hijau, sebagai bagian dari
ruang publik, harus berkualitas karena menjadi tempat berkumpul dan berinteraksi
masyarakat, juga menjadi media untuk mengurangi berbagai macam polusi akibat
aktivitas manusia. Ruang terbuka hijau menjadi salah satu elemen penting menuju
Kota Sehat yang dapat mencegah terjadinya penurunan kualitas udara maupun
meningkatnya emisi dari angkutan/mobil, industri, dan lain-lain, serta menjadi
sarana hiburan dan tempat bersantai yang akan meningkatkan kualitas kehidupan
masyarakatnya.
Krisis RTH sebenarnya berkaitan dengan perencanaan yang tidak memadai, yang
diakibatkan pergulatan antara kepentingan ekonomi versus kepentingan publik,
serta kemampuan mengelola dan melaksanakan rencana yang ada. Perwujudan
Kota Sehat memerlukan inisiatif dari pemerintah kota untuk melakukan kebijakan
dan program pembangunan kota yang bertujuan untuk meningkatkan kondisi
lingkungan dan kesehatan masyarakat. Selain meningkatkan kembali proporsi
RTH di kawasan perkotaan, perwujudan kota sehat juga dapat dilakukan dari
pendekatan di dalam lingkungan masyarakat kota dalam rangka mengembalikan
kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan.
Kota sebagai tempat tinggal, harus menjadi ruang yang mampu menyediakan
pelayananyangdibutuhkanolehmasyarakatnyaagarlayakhunidannyaman(people
centered).Kesadaranmasyarakatakanpentingnyakesehatandapatterwujudmelalui
program-program berbasis komunitas (community-based program). Dalam hal ini,
tata ruang harus memastikan terpenuhinya kebutuhan ruang masyarakat, terutama
tersedianya ruang publik berupa Ruang Terbuka Hijau. Penelitian terus menerus
terkait kebutuhan dan kualitas Ruang Terbuka Hijau juga perlu dilakukan untuk
meningkatkan kualitas Rencana Tata Ruang yang sesuai dengan kebutuhan akan
peningkatankualitaskehidupanmasyarakatnya.Karenapadaakhirnyakeberlanjutan
sebuah kota tidak lagi dilihat dari program atau pembangunan fisiknya, melainkan
tercermin dari kesehatan manusia-manusia di dalamnya.
Referensi:
1) Widyaiswara Madya Penataan Ruang, Pusat Pembinaan, Pendidikan dan Pelatihan Perencana Bappenas;
chris.dwi3@yahoo.com
2) Sarjana lulusan Perencana Wilayah dan Kota, ITB; riyanmufty@gmail.com
No. Kota Sehat *) No. Igra Award **)
1 Makasar 1 Surabaya
2 Denpasar 2 Yogyakarta
3 Padang 3 Denpasar
4 Menado 4 Palangkaraya
5 Balikpapan 5 Banda Aceh
6 Solok
7 Cimahi
8 Sukabumi
Sumber:
*) metro.kompasiana.com
**) igraaward.com
Tabel. Kota Sehat dan IGRA Award tahun 2011
24. 24 buletin tata ruang | Januari - Februari 2012
topik utama
Memahami RTR Kawasan
Strategis Nasional Perkotaan
Kawasan Strategis
Nasional bukan hanya
Jabodetabekpunjur.
Mamminasata,
Mebidangro dan
Sarbagita punya
potensi yang tak kalah
pentingnya secara
nasional.
KAWASAN STRATEGIS NASIONAL (KSN) ialah wilayah yang penataan ruangnya
diprioritaskan. Hal ini karena secara nasional KSN berpengaruh sangat penting
terhadap kedaulatan negara, pertahanan dan keamanan negara, ekonomi, sosial,
budaya, dan/atau lingkungan, termasuk wilayah di dalamnya yang ditetapkan
sebagai warisan dunia. Di dalam PP No. 26/2008 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Nasional (RTRWN), ditetapkan 76 KSN yang memiliki kepentingan ekonomi,
lingkungan hidup, sosial budaya, pendayagunaan sumber daya alam dan teknologi
tinggi, serta pertahanan dan keamanan.
Hingga saat ini, telah ditetapkan 4 (empat) Perpres RTR KSN Perkotaan yaitu RTR
Jabodetabekpunjur (Perpres 54/2008), Sarbagita (Perpres 45/2011), Mamminasata
(Perpres 55/2011) dan Mebidangro (Perpres 62/2011).
Masing-masing KSN tersebut memiliki karakteristik dan tantangan yang berbeda-
beda. Dengan demikian kebijakan dan program yang spesifik diperlukan agar
tujuan RTR KSN tersebut berhasil. Namun di antara empat KSN tersebut, hanya
Jabodetabekpunjur yang sudah sering diulas. Artikel ini akan membahas
permasalahan ketiga KSN lainnya, yaitu Mamminasata, Mebidangro, dan Sarbagita.
Bagaimana RTR kawasan Perkotaan tersebut ditetapkan, apa visi KSN tersebut,
tujuan RTR KSN, isu-isu, dan strategi untuk mencapai tujuan.
I. RENCANA TATA RUANG KAWASAN PERKOTAAN MAMMINASATA (Perpres No. 55 Tahun 2011)
berperansebagaiPusatKegiatanNasional(PKN).Haliniberarti
cakupan pelayanan Makassar menjangkau wilayah nasional
dan berfungsi sebagai pusat pelayanan produksi, distribusi
dan jasa, serta berfungsi sebagai simpul transportasi untuk
melayani wilayah nasional atau beberapa propinsi.
Namun bersamaan dengan pesatnya perkembangan Kota
Makassar, tumbuh pula berbagai pesoalan pada Kawasan
Perkotaan Mamminasata kepada, antara lain lingkungan,
transportasi, kelangkaan sarana dan prasarana permukiman,
sosial dan ekonomi. Persoalan tersebut saling berkaitan erat
dan tidak terbatas oleh batas administrasi, jadi tidak bisa
dilihat sebagai persoalan individu kota, melainkan sistem
perkotaan yang terpadu.
Dalam Pengembangan Kawasan Metropolitan Mamminasata
terdapat empat isu strategis yang menjadi perhatian utama,
VISI KAWASAN PERKOTAAN MAMMINASATA
Kawasan Perkotaan Mamminasata yang meliputi Kota
Makassar, Kabupaten Maros, Gowa dan Takalar dibentuk
berdasarkan SK Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan Tahun
2003 dengan luas wilayah 246.230 ha. Kawasan Perkotaan
Mamminasata merupakan kawasan pengembangan yang
terbentuk akibat pengembangan Kota Makassar yang
begitu pesat dan menyebabkan terjadinya aglomerasi
antara tiga kota utama lainnya. Secara umum, Kota Makassar
mendominasi semua kegiatan perkotaan di Kawasan
Perkotaan Mamminasata. Maka, Kota Makassar, yang saat ini
juga berkembang sebagai pintu gerbang bagi pembangunan
IndonesiadiKawasanTimur,adalahrepresentasidariKawasan
Perkotaan Mamminasata.
Di dalam sistem perkotaan nasional, Makassar sebagai kota
utama dalam lingkup Kawasan Perkotaan Mamminasata
PotensiTigaKawasan:
25. 25Januari - Februari 2012 | buletin tata ruang
yaitu pengembangan ekonomi (investasi) dan keseimbangan
antar wilayah, pengembangan Kawasan Metropolitan
Mamminasata dalam kerangka pengembangan Pulau
Sulawesi, keterkaitan Kawasan Perkotaan Mamminasata
dengan kawasan produksi di Sulsel dan Sulbar, dan
penyelesaian persoalan internal perkotaan di Kawasan
Perkotaan Mamminasata.
Semua isu tersebut dipandang strategis karena menentukan
tercapainya visi Kawasan Perkotaan Mamminasata yaitu
terwujudnya Kawasan Perkotaan Mamminasata dengan
program perkotaan yang hijau, nyaman, indah dan sehat
yang juga mampu mendatangkan investor serta dapat
disejajarkan dengan kota metropolitan di dunia sebagai
kawasan metropolitan terkemuka dan terdepan di Kawasan
Timur Indonesia yang berwawasan internasional dan
bersendikan kearifan lokal. Penataan Ruang Kawasan
Perkotaan Mamminasata yang tertuang dalam Perpres No. 55
tahun 2011 harus mendukung terwujudnya visi ini.
Untuk itu, Penataan Ruang Kawasan Perkotaan Mamminasata
diselenggarakan untuk menuju tujuannya. Tujuan
yang pertama adalah mewujudkan Kawasan Perkotaan
Mamminasata sebagai salah satu pusat pertumbuhan wilayah
dan/atau pusat orientasi pelayanan berskala internasional
serta penggerak utama di Kawasan Timur Indonesia; ke
dua, menciptakan keterpaduan penyelenggaraan penataan
ruang antara wilayah nasional, wilayah provinsi, dan wilayah
kabupaten/kota di Kawasan Perkotaan Mamminasata, ke
tiga, membangun sistem perkotaan Kawasan Perkotaan
Mamminasata yang berhierarki, terstruktur, dan seimbang
sesuai dengan fungsi dan tingkat pelayanannya, ke empat,
menjaga keseimbangan fungsi lindung dan fungsi budi daya
pada Kawasan Perkotaan Mamminasata sesuai dengan daya
dukung dan daya tampung lingkungan, dan yang terakhir
adalah mewujudkan pertahanan dan keamanan negara
yang dinamis serta integrasi nasional di Kawasan Perkotaan
Mamminasata.
Hal-hal tersebut di atas kemudian diuraikan di dalam
Penataan Ruang Kawasan Perkotaan Mamminasata dengan
kebijakan-kebijakan lebih detail, yang meliputi:
1. Pengembangan ekonomi, sosial, budaya, pertahanan
dan keamanan negara, serta pelestarian lingkungan hidup
sebagai satu kesatuan,
2. Pengembangan Kawasan Perkotaan Mamminasata
sebagai pusat orientasi pelayanan berskala internasional
dan penggerak utama bagi Kawasan Timur Indonesia,
3. Pengembangan Kawasan Perkotaan Mamminasata sebagai
pusat pertumbuhan dan sentra pengolahan hasil produksi
bagi pembangunan kawasan perkotaan inti dan kawasan
perkotaan di sekitarnya, dan
4. Peningkatan aksesibilitas antarwilayah dan pemerataan
jangkauan pelayanan
Untuk menyukseskan kebijakan-kebijakan di atas, diperlukan
strategi-strategi. Dalam pengembangan ekonomi, sosial,
budaya, pertahanan dan keamanan negara, serta pelestarian
lingkungan hidup sebagai satu kesatuan, dilakukan strategi-
strategi sebagai berikut:
- Meningkatkan pelestarian situs warisan budaya lokal yang
beragam;
- Mengembangkan pusat pertumbuhan berbasis potensi
sumber daya alam dan kegiatan budi daya unggulan
sebagai penggerak utama di Kawasan Timur Indonesia;
- Mengelola pemanfaatan sumber daya alam sesuai daya
dukung dan daya tampung lingkungan hidup;
- Mengembangkan kegiatan budi daya secara selektif di
dalam dan di sekitar kawasan pertahanan dan keamanan
negara;
- Mengembangkan zona penyangga yang memisahkan
antara kawasan untuk pertahanan dan keamanan negara
dengan kawasan budidaya terbangun di sekitarnya;
- Mengembangkan kegiatan budidaya tidak terbangun
yang berfungsi sebagai zona penyangga yang memisahkan
kawasan lindung dengan kawasan budidaya terbangun;
- Merehabilitasi dan merevitalisasi kawasan lindung yang
mengalami kerusakan fungsi lindung;
- Mengendalikan pengembangan Kawasan Perkotaan
Mamminasata, khususnya di kawasan pantai dan daerah
irigasi teknis.
26. 26 buletin tata ruang | Januari - Februari 2012
topik utama
Kemudian dalam pengembangan Kawasan Perkotaan
Mamminasata sebagai pusat orientasi pelayanan berskala
internasional dan penggerak utama bagi Kawasan Timur
Indonesia ada tiga strategi yang dilakukan, yaitu:
1. Mendorong kawasan perkotaan inti dan pusat-pusat
pertumbuhan agar berdaya saing dalam mendukung
pengembangan kawasan perkotaan di sekitarnya,
2. Mengembangkan pusat pertumbuhan baru di kawasan
yang memiliki nilai ekonomi, sosial, budaya, serta yang
belum terlayani oleh pusat pertumbuhan yang ada,
3. Mendorong terselenggaranya pembangunan Kawasan
PerkotaanMamminasatasecaraterpadumelaluikoordinasi
lintas sektor, lintas wilayah dan antar pemangku
kepentingan.
Sementara strategi pengembangan Kawasan Perkotaan
Mamminasata sebagai pusat pertumbuhan dan sentra
pengolahan hasil produksi bagi pembangunan kawasan
perkotaan inti dan kawasan perkotaan di sekitarnya adalah:
1. Mendorong pengembangan pusat perdagangan dan jasa,
pusat kegiatan pertanian, pusat kegiatan perikanan, dan
pusat kegiatan pengolahan hasil produksi,
2. Mendorong pengembangan sentra-sentra kawasan
ekonomi baru dalam pengolahan hasil produksi, pertanian,
dan perikanan,
3. Mendorong pembangunan industri strategis kawasan
dengan pemanfaatan sumber daya pesisir dan kelautan,
4. Meningkatkan keterkaitan wilayah penghasil bahan baku
industri dengan kawasan peruntukan industri pengolahan
di Kawasan Perkotaan Mamminasata.
Selain itu, peningkatan aksesibilitas antarwilayah dan
pemerataan jangkauan pelayanan sistem jaringan prasarana
di Kawasan Perkotaan Mamminasata juga memiliki strategi,
antara lain:
- memantapkan aksesibilitas antarwilayah guna mendukung
pengembangan Koridor Ekonomi Sulawesi;
- meningkatkan kualitas dan jangkauan pelayanan sistem
jaringan transportasi perkotaan yang seimbang dan terpadu
untuk menjamin aksesibilitas yang tinggi antara kawasan
perkotaan inti dengan kawasan perkotaan di sekitarnya;
- mengembangkan jaringan jalan bebas hambatan,
manajemen dan rekayasa lalu lintas, serta penyediaan dan
sosialisasi sistem pelayanan angkutan umum massal yang
terpadu;
- mengembangkan keterpaduan sistem jaringan
transportasi darat, transportasi laut, dan transportasi udara,
untuk menjamin aksesibilitas yang tinggi antar-PKN dan
antarnegara;
- meningkatkan kualitas dan jangkauan pelayanan sistem
jaringan energi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat;
- meningkatkan kualitas dan jangkauan pelayanan
sistem jaringan telekomunikasi yang mencapai seluruh
pusat kegiatan dan permukiman di Kawasan Perkotaan
Mamminasata;
- meningkatkan konservasi sumber daya air, pendayagunaan
sumber daya air, dan pengendalian daya rusak air dengan
berbasis pengelolaan wilayah sungai secara terpadu; dan
- meningkatkan kualitas dan jangkauan pelayanan air minum,
air limbah, drainase, dan persampahan secara terpadu
untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di Kawasan
Perkotaan Mamminasata.
No. Program Uraian
1 Jaringan Jalan Metropolitan
Mamminasata
Pembangunan jalan arteri termasuk Jalan Trans-Sulawesi, Hertasning,
Abdulah Daeng Sirua, dan Mamminasata Bypass
2 PengelolaanSampah – TPA
Regional
Mamminasata
Pengelolaan Sampah Regional Mamminasata termasuk pabrik pemila-
han, pengomposan, TPA (Pattalassang), alat berat, jalan akses, fasilitas
pendukung, stasiun transfer
3 Pasokan Air Bersih Pasokan air bersih Mamminasata, utamanya Maros dan Takalar
4 Pengelolaan Limbah Cair Instalasi Pengolahan Air Limbah di Kota Makassar (Pantai Losari)
5 Program Go Green Promosi areal hijau dan taman dengan sasaran peningkatan areal hijau
seluas 25.000 ha
6 Kawasan Kota Baru Pembangunan KotaBaru meliputi Gowa dan Maros (3.500 ha)
7 Drainase Drainase kawasan Bandara dan kawasan rawan banjir di sebelah timur
Kota Makassar dan maros
8 Kawasan Industri KIMA 2 Pembangunan kawasan Industri diMaros (566 ha)
9 UniversitasHassanudin (Kam-
pus Baru)
Relokasi Fakultas Teknik UNHAS ke Bontomarannu Gowa (Kawasan Pen-
didikan Mamminasata)
10 Kawasan MaritimTakalar Pengembangan Kawasan MaritimTakalar
11 Pembangunan Monorel Pembangunan Monorel Kawasan Perkotaan Mamminasata
Tabel. Program Pembangunan Kawasan Perkotaan Mamminasata
27. 27Januari - Februari 2012 | buletin tata ruang
II. RENCANA TATA RUANG METROPOLITAN MEBIDANGRO (Perpres No.62 Tahun 2011)
Kebijakan Tata Ruang Nasional menempatkan Metropolitan
Mebidangro sebagai Pusat Kegiatan Nasional (PKN) sekaligus
sebagai Kawasan Strategis Nasional (KSN) dengan fokus
pengembangankegiatanekonomi.MetropolitanMebidangro
berada di Wilayah Sumatera Bagian Utara yang memiliki
kedudukan strategis terhadap pengembangan Segitiga
Ekonomi Regional Indonesia - Thailand - Singapura (IMT-GT).
Posisinya yang strategis ini menjadi perhatian penting dalam
pengembangan Metropolitan Mebidangro ke depan.
Medan-Binjai-Deli Serdang & Karo sendiri memiliki visi yang
jauh ke depan (visi 2027) yaitu kota yang nyaman dihuni,
memiliki fasilitas kota yang terjangkau, mendorong gairah
berakitivitas sosial, ekonomi maupun kebudayaan, banyak
ruang publik yang mudah dicapai dengan bersepeda atau
jalan kaki dan transportasi umum yang andal.
Selain itu, sebagai PKN dan KSN Ekonomi, Rencana
Pengembangan Metropolitan Mebidangro telah disiapkan
sampai tahun 2030. Tujuannya agar Mebidangro mampu
menjadi pusat pelayanan ekonomi skala nasional yang
mampu bersaing dengan pusat pelayanan ekonomi Regional
IMT-GT, di samping melayani penduduknya dengan prima.
Luas wilayah Metropolitan Mebidangro adalah 301.697 ha,
meliputi Kota Medan, Kota Binjai, Kabupaten Deli Serdang
dan sebagian Kabupaten Karo. Pada tahun 2009 total jumlah
penduduk metropolitan ini mencapai 4.2 juta Jiwa.
Dengan perkiraan pertumbuhan penduduk selama 20 tahun
terakhir sebesar 30,95%, diperkirakan jumlah penduduk
Metropolitan Mebidangro pada tahun 2029 akan mencapai
5.5 juta Jiwa. Dilihat dari daya dukung fisik dasarnya, sekitar
37,55% lahan Metropolitan Mebidangro, yaitu 113.280
ha, potensial dikembangkan untuk kegiatan perkotaan.
Diperkirakan daya tampung kawasan Metropolitan
Mebidangro mencapai 6,8 juta jiwa.
Metropolitan Mebidangro didukung dengan keberadaan
Bandara Kualanamu (dalam proses pembangunan)
sebagai pengganti Bandara Polonia. Bandara Kualanamu
ditetapkan sebagai bandara internasional dengan hierarki
pusat pengumpul skala primer (KM 11 Tahun 2010,
Tatanan Kebandarudaraan Nasional). Bandara Kualanamu
direncanakan memiliki kapasitas pelayanan untuk
penerbangan pesawat tipe B.747-400, dengan rencana luas
wilayah bandara minimal 1.365 ha. Metropolitan Mebidangro
juga didukung keberadaan pelabuhan laut Belawan dengan
status pelabuhan internasional (PP No. 26 tahun 2008,
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional).
Dalam melaksanakan pengelolan Kawasan Metropolitan,
penguatan kelembagaan eksisting melalui pola kerjasama
daerah menjadi perhatian penting terkait implementasi
pengembangan Metropolitan Mebidangro 2030.
Penguatan kelembagaan berorientasi pada sinergi program
pembangunan, kepastian hukum dan perpendekan proses
birokrasi sehingga mampu meningkatkan gairah investasi di
wilayah Metropolitan Mebidangro.
Kebijakan dalam Penataan Ruang Kawasan Perkotaan
Mebidangro meliputi:
1. Pengembangan dan pemantapan fungsi Kawasan
Perkotaan Mebidangro sebagai pusat perekonomian
nasional yang produktif dan efisien serta mampu bersaing
secara internasional terutama dalam kerja sama ekonomi
subregional Segitiga Pertumbuhan Indonesia-Malaysia-
Thailand;
2. Peningkatan akses pelayanan pusat-pusat kegiatan
perkotaan Mebidangro sebagai pembentuk struktur ruang
perkotaan dan penggerak utama pengembangan wilayah
Sumatera bagian utara;
3. Peningkatan kualitas dan jangkauan pelayanan jaringan
prasarana transportasi, energi, telekomunikasi, sumber
daya air, serta prasarana perkotaan Kawasan Perkotaan
Mebidangro yang merata dan terpadu secara internasional,
nasional, dan regional;
4. Peningkatan keterpaduan antarkegiatan budi daya serta
keseimbangan antara perkotaan dan perdesaan sesuai
dengan daya dukung dan daya tampung lingkungan;
5. Peningkatan fungsi, kuantitas, dan kualitas RTH dan
kawasanlindunglainnyadiKawasanPerkotaanMebidangro.
Penguatan kelembagaan
berorientasi pada sinergi program
pembangunan, kepastian hukum
dan perpendekan proses birokrasi
sehingga mampu meningkatkan
gairah investasi di wilayah
Metropolitan Mebidangro.