Tiga kalimat ringkasan dokumen tersebut adalah:
Dokumen tersebut membahas tentang arti emansipasi kaum perempuan di era modern serta upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk menghilangkan bias gender dan mewujudkan kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan, termasuk melalui pendidikan dan media yang adil serta menegakkan nilai-nilai keadilan seperti justitia commutativa untuk memberikan hak yang sama.
1. ARTI EMANSIPASI DI ERA MODERN
Untuk pengarustamaan Gender
Disampaikan pada kegiatan
KPK - KOMUNITAS PENGGIAT NILAI-NILAI KEBANGSAAN
Dinas Pendidikan Propinsi Jawa Timur
oleh
Dr. H. Djoko Adi Walujo,S.T.,MM*)
PENGANTAR:
Terminologi emansipasi kaum perempuan secara harfiah adalah kesetaraan hak dan
gender. Emansipasi kaumperempuan memiliki makana, atau bisa diartikan sebagai
suatu usaha untuk menuntut persamaan hak-hak kaum perempuan terhadap hak-
hak kaum pria di segala lini kehidupan kehidupan. Emansipasi kaum perempuan
bertujuan memberi kesempatan bekerja, belajar, dan berkarya seperti halnya para
pria, tentunya seimbang dengan kemampuannya, dan bukan pembnerian gratis
semata. Pengertian laiinya adalah mempersepsikan pada kata sejajar karena tidak
mungkin dinyatakan sebagai sama persis atau sama dan sebangun karena
sesungguhnya jelas ada yang berbeda.
Perbedaan itu bisa dilihat dari kondisi fisik, sisi emosional, sifat-sifat bawaan
(personality traits) Secara fisiologis, misalnya, kaum perempuan mengalami
mesntruasi hingga berkonsekuensi berbeda pada hukum-hukum yang dibebankan
atasnya. Sementara dari kejiwaan, sedangkan kaum pria umumnya lebih
mengedepankan akalnya sehingga lebih bijak, sementara perempuan cenderung
mengedepankan emosinya. Namun dengan emosi yang menonjol itu, perempuan
patut menjadi ibu yang memilki kekuatan dahsyat yakni jalianan ikatan yang kuat
anatara ibu dan anak.
Sehingga secara praksis dapat dinyatakan bahwa kaum perempuan dalam
emansipasi adalah memperjuangkan agar kaum perempuan bisa memilih dan
menentukan nasibnya sendiri dan mampu membuat majdi dirinya sendiri.
Kemudian dikaitkan dengan era modern, yang sarwa penuh dengan kemajuan
teknologi, kaum perempuan harus masuk disetiap tataran kemajuan itu. Modernisasi
akan mengikis asumsis, atau persepsi bahwa perempuan itu dilahirkan hanya untuk
wilayah domestik. Ke depan peremuan harus berani menyatakan bahawa kedialan
2. ARTI EMANSIPASI DI ERA MODERN
Disampaiakan pada KPK- KOMONITAS PENGGERAK NILAI_NILAI KEBANGSAAN
DINAS PENDIDIKAN PROPINSI JAWA TIMUR
HOTEL SINAR I JUANDA - SURABAYA
djoko adi walujo
2
gender itu bukan pemberian, tapi adalah hasil perjuangan. Makna pemberdayaan
perempuan bukan menganggap perempuan sebagai obyek, namun lebih dario itu,
perempuan adalah bunyek, bahkan bisa dikatakan “suma subjectiva”. Sebuah
adigium yang menyatakan bahwa perempuan adalah sumber kehidupan.
PENDIDIKAN DAN KEADILAN GENDER
Sudah mendarah daging di lingkup budaya kita yakni sebuah tataran
“patriakhis”, sebuah tataran masyarakat yang memandang sebelah mata terhadap
eksistensi wanita. Keadaan ini mengusik hak-hak perempuan, yang kadangkala
justru disemaikan oleh kaum perempuan itu sendiri. Paternalistik ini menyeruak
kesegenap kehidupan dan sengaja dimunculkan dengan tujuan akhir melalui model-
model penjinakaan.
Dunia periklanan sejak lama telah melakukan penjinakan terhadap peran wanita.
sebagai contoh bila kita cermat melihat disepanjang jalan besar di Nusantara ini
bahkan mendunia, papan reklame selalu melakukan ekplotasi peranan wanita.
Wanita dijadikan obyek, dengan kecantikannya hanya dipasangkan dengan Produk
sebuah Ban Mobil. Iklan ini menempatkan wanita hanya pada tataran “seksis”,
karena tidak ada korelasi sedikitpun antara ban mobil dengan kecantikan orang.
Bila kita melihatnya kurang cermat, iklan-iklan yang menyertakan wanita tadi
dianggap sebagai keunggulan wanita yang berperan didunia media, namun secara
hati-hati dapat dicermati bahwa ini adalah pembunuhan karakter dan peran. Sisi
lain terdapat gula-gula yang justru melibas peran wanita yang paling hakiki, yakni
sebuah jabatan hadiah. Seorang isteri walikota menjadi ketua penggerak PKK tingkat
kota dan kabupaten, dengan jabatan hadiah ini sudah identik gambaran sebuah
penomorduaan wanita (subordinasi), dianggap penomorduaan karena untuk
menduduki suatu jabatan startegis dikarenakan menjadi isteri seorang pejabat.
Menerima jabatan bukan karena kehebatan dan prestasi yang dimilikinya,
melainkan hadiah dari sang suami. Ini bentuk ketidakadilan yang tercipta secara
terselebung, karena jabatan-jabatan hadiah merupakan startegi penjinakan peran,
dengan peran baru tersebut, maka jaminan untuk menjadi alat legitimasi kekuasaan
akan semakin kental. Artinya tidak mungkin terjadi sebuah kritik tajam muncul dari
lembaga yang dipimpin oleh sang isteri, meskipun terjadi ketidakadilan gender.
Upaya untuk mengakhiri babak ketidakadilan terhadap wanita, yang masih bisa
diharapkan adalah peranan institusi pendidikan dan media.
Pendidikan satu-satunya wahana yang diharapkan untuk menjadi wasit adil
terhadap peranan gender, yakni sebuah peranan yang meletakkan pada proporsi
yang sebenarnya, sebuah keadilan yang diterima sesuai dengan apa yang dilakukan
“ Justitia Comutativa”.
Kita sadar bahwa pendidikan adalah wahana cultural yang perannya untuk
memberikan kontribusi dalam meningkatkan harkat dan martabat wanita, ternyata
dengan tidak sengaja justru menjadi muara nuasa ketidakadilan.
3. ARTI EMANSIPASI DI ERA MODERN
Disampaiakan pada KPK- KOMONITAS PENGGERAK NILAI_NILAI KEBANGSAAN
DINAS PENDIDIKAN PROPINSI JAWA TIMUR
HOTEL SINAR I JUANDA - SURABAYA
djoko adi walujo
3
INSTUSI PENDIDIKAN DAN MEDIA MASA MENGKREASI
KETIDAKADILAN
Tulisan Achmad Muthali’in dalam bukunya “Bias Gender dalam
Pendidikan” sangat tajam menyoroti ketidakadilan itu.
Ternyata banyak kreasi-kreasi yang menjinakan peran
wanita dalam dunia pendidikan. Seperti juga yang
tertulis dalam buku “Potret Kesadaran Gender Orang
Media” terbitan PSW- Pusat Studi Wanita Unair, yang
menyoroti ketidak adilan orang media dalam melihat
sosok wanita. Pada akhir tahun 2000 jumlah
wartawan dari total jumlah wartawan di
Indonesia hanya 12 %, ini adalah statistik yang
mengambarkan realitas empirik yang perlu
penelahaan. Dari sekian banyak penelitian yang
dilaksanakan beberapa serpihan ketidakadilan
dijumpai dalam penempatan peran. Barangkali
dilatari pikiran bahwa wanita diberikan peran pada sektor
domestik, maka untuk peran wartawan pos kriminal mengundang
banyak kekawatiran. Pos-pos kriminal apalagi terkait dengan
lembaga pemasyarakatan, dan pelacuran harus dihindari dari sentuhan wartawan
wanita. Ketika pendidikan dan media masa menjadi harapan dan realitanya justru
memiliki kontribusi yang kuat untuk menkreasi ketidakadilan gender, maka
pupuslah harapan ini.
Sungguh merupakan ancaman bagi wanita untuk menutut kesamaan hak yang
semestinya kalau kedua institusi ini melakukan kreasi sesat. Melalui pendidikan
akan terbangun proses internalisasi, apalagi bila diawali sejak usia dini, maka akan
menjadi sebuah keyakinan yang akut. Suatu kenyataan yang tidak terbantah bahwa
banyak buku-buku teks pelajaran yang secara lugas mencipta ketidakadilan. Sebagai
contoh seperti Tesis Achmad Muthalin yang telah menemukan bukti terdapat buku-
buku SD yang menggambarkan ketidakadilan tersebut dalam visualisasinya. Juga
diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh oleh Astuti, Indarti, dan Sasriyani
(1999), bahwa bias Gender juga terjadi dalam Buku Pelajaran Bahasa Indonesia.
Penelitian ini menemukan dalam buku-buku pelajaran Bahasa Indonesia yang
dipergunakan di SD, SLTP dan di SMU.
PERAN YANG SEHARUSNYA.
Mengawali suatu niatan yang terfocus agar ketidakdilan gender dapat dieliminasi
adalah membangun pola pikir baru dalam dunia pendidikan, meredifinisikan
kembali bahwa pendidikan tidak pernah membelah hak antara pria dan wanita.
Pendidikan mengangkat persamaan hak dan bergerak atas nama kejujuran.
Penormorduaan [subordinasi] terhadap wanita, justru melanggar “Pekem”
pendidikan yang menempatkan pembebasan sebagai supremasinya, dari sikap dasar
pendidikan ini, maka penelaahan terhadap produk-produk pendidikan harus
4. ARTI EMANSIPASI DI ERA MODERN
Disampaiakan pada KPK- KOMONITAS PENGGERAK NILAI_NILAI KEBANGSAAN
DINAS PENDIDIKAN PROPINSI JAWA TIMUR
HOTEL SINAR I JUANDA - SURABAYA
djoko adi walujo
4
dilakukan tera ulang. Mulai dari kurikulum sampai produk derivasinya, dilihat
secara cermat adakah serpihan yang senagaja, terselubung, atau lainnya memilki
nuansa ketidakadilan gender. Institusi pendidikan harus mengedepankan peran
wanita pada porsi yang sebenarnya, bukan “paranoid latah” secara menggebu untuk
membuat studi wanita tanpa tataran yang rasional. Upaya ini harus diawali dari
perguruan tinggi seharusnya telah tumbuh lembaga studi yang menfocuskan pada
persoalan-persoalan wanita, dengan berbagai renik-reniknya. Dengan studi yang
mengkhususkan pada persoalan wanita diharapkan akan lebih memunculkan pola
sikap yang lebih arif, disamping akan memperoleh informasi yang lebih akurat
berbegai potensi wanita.
Terkait dengan konstelasi kependudukan di Indonesia yang mayoritas adalah
penduduk wanita, maka sudah seharusnya porsi wanita dalam setiap kesempatan
memperoleh proporsi yang sebenarnya, namun tidak harus karena lebih mayoritas.
Sungguh kurang bijak bila dari kalangan wanita menuntuk suatu qouta untuk
anggota parlemen. Akan lebih bijak bila kalangan wanita secara terhormat
membangun prestasi-prestasi yang hakiki untuk measuk ke araena yang bebes dari
ketidakadilan.
NILAI –NILAI KEADILAN YANG YANG SETARA UNTUK KAUM WANITA
Justitia Commutativa. Keadilan atau keadilan tukar menukar, yaitu
memberikan kepada masing-masing haknya atau bagiannya atas dasar
kesamaan. Sebuah prestasi akan seharga dengan kontra prestasinya, jasa
sesuai dengan balas jasanya.
Justitia Distributiva. Keadilan membagi, yakni memberikan kepada
masing-masing haknya atau bagiannya atas dasar perbedaan yang
didasarkan pada tingkat kesetaraan mutu/kualitas.
Justitia Vindicativa. Keadilan proporsional, yakni memberikan kepada
masing-masing haknya, atau bagiannya atas dasar proporsi masing-masing.
Termasuk berat atau ringannya suatu pelanggaran.
Justitia Creativa. Keadilan mencipta, yakni memberikan kepada masing-
masing hak kebebasan untuk mencipta sesuai dengan daya ciptanya dalam
bidang Ilmu Pengatahuan teknologi dan seni budaya
Justitia Protectiva. Keadilan perlindungan, yakni memberikan kepada
masing-masing hak perlindungan.Kekuasaan yang ada di tangan manusia
dan dikenakan terhadap sesama manusia harus dibatasi dan diawasi.
5. ARTI EMANSIPASI DI ERA MODERN
Disampaiakan pada KPK- KOMONITAS PENGGERAK NILAI_NILAI KEBANGSAAN
DINAS PENDIDIKAN PROPINSI JAWA TIMUR
HOTEL SINAR I JUANDA - SURABAYA
djoko adi walujo
5
Justitia legalis. Keadilan Hukum, yakni memberikan kepada masing-
masing haknya atau bagiannya yang telah ditentukan oleh undang-undang
dan peraturan negara dalam rangka mewujudkan keserjahteraan umum.
BIAS GENDER DAN HAK ASASI MANUSIA
ias gender sering terjadi di masyarakat, yang
mendeskrispsikan bahwa hak-hak perempuan hanya
berada dalam wilayah domistikasi, secara akut menjadi
sebuah kepercayaan, bahwa seorang perempuan memiliki
keterbatasan. Selanjutnya keadaan ini lebih diperparah, dan disalah artikan sebagai
budaya yang harus disepakati, dalam implementasinya muncul anggapan bahwa
peran wanita yang berlebihan telah melanggar kaidah budaya. Pada hakikatnya
dalam kehidupan ini, tatanan kehidupaan berasal dari kemuaman menjalin harmoni,
“bagaimana kita hidup bersama, dan bekerjasama dengan orang lain. [how to live
and work together with other].
Bias gender yang acapkali dimainkan adalah memberikan peran perempuan pada
wilayah terbatas yang implementasinya berupa pelanggaran Hak Asasi Manusia:
Penomorduaan peran [sub ordination]
Beban kerja yang tak terbatas [burden]
Pemiskinan [marginalisasi]
Label negative [stereotype]
KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) [Violence]
Penorduaan [sub ordinasi] :
Sering praktik penorduaan terhadap peran perempuan terjadi, dan digambarkan
seorang pemimpin harus laki-laki, ketua adalah laki-laki, perempuan tidak layak
menjadi pemimimpin dan kurang panas.
Seorang perempuan yang pantas menduduki jabatan sekretaris, dan dijadikan
budaya bahwa jabatan sekretaris adalah jabatan “feminim”, sedngakan ketua adalah
jabatan “maskulin”.
Beban kerja tak terbatas [burden]:
Perempuan digamabarkan sebagai manusia ang lemah lembut, sehingga tidak
selayaknya menjadi seorang pemimpin. Realitas sebenarnya justru terbalik, bahwa
perempuan memiliki kapasitas kerja yang lebih, bahkan justru berlebihan.
Seakan-akan ada “supertisi” atau di sakralkan perempuan itu tidak baik bila
diberikan beban yang berlebihan, misalnya tidak pantas seorang perempuan
B
6. ARTI EMANSIPASI DI ERA MODERN
Disampaiakan pada KPK- KOMONITAS PENGGERAK NILAI_NILAI KEBANGSAAN
DINAS PENDIDIKAN PROPINSI JAWA TIMUR
HOTEL SINAR I JUANDA - SURABAYA
djoko adi walujo
6
memegang jabatan pemimpin, karena menjadi pemimpin identik menanggung
bebabn yang berat.
Pemiskinan dan marginalisasi]:
Marginalisasi adalah gambaran buruk dan sering dialami seorang perempuan,
seakan seorang perempuan harus pasrah menerima peran yang terpinggirkan.
Karirpun harus dibatasi, ketika perannya bagus acapkali dijinakkan, agar mimilih
posisi domistik.
Terdapat fenomena yang menyesatkan yakni mengangkat sebuah mitologi yang
mengambarkan seolah-olah perempuan adalah ibu sejati yang pengabdian
terhormatnya hanyalah menjadi ibu rumah tangga.
Labeling negatif:
Peran seorang perempuan dilabelkan negative, digambarkan serorang yang lemah
lembut,emosional dan kurang rasional.
Sehingga dinyatakan tidak akan mampu mengemban tugas sebagai seorang
pemimpin. Labeling negative kadang dimunculkan dengan gambaran yang amat
menyedihkan [ maaf: perempuan adalah sumber gossip “rasan-rasan Jawa”,
banyak mulut], masih banyak lagi label negative yang merugikan.
KDRT – Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Violence).
Kadang tidak disadari bahwa hak asasi bagi wanita terampas, dan ketika dianggap
lemah sering menjadi sasaran KDRT-Kekerasan dalam rumah tangga. Hal ini sangat
disayangkan karena ketika terjadi kekekerasan dalam rumah tangga berakibat fatal
menyentuh ketahanan keluarga. KDRT adalah contoh pelanggaran hak asasi di
dalam rumah tangga.
* djoko adi walujo: Adalah Alumni Universitas Negeri Surabaya (UNESA- Dahulu IKIP SURABAYA), doctor business
administration di JOSÈRIZAL UNIVERSITY OF PHILIPPINA, Salah satu anggota dewan pendidikan propinsi jawa timur, mantan
anggota dewan Pembina perpustakaan masjid propinsi jawa timur, mantan wakil ketua PGRI propinsi jawa timur, mantan
Gugus Pemikir Yayasan Pembina Lembaga Pendidikan (YPLP-PGRI) pusat, sekretaris ISPI- Ikatan Sarjana Pendidikan
Indonesia propinsi jawa timur, sekretaris badan penyelenggara Universitas Adi Buana Surabaya,. Memiliki International
Certificated untuk pelatihan guru-guru zone Asia-Pacific (EI-Edication International), Certificate “Leadership in Higher
Education” – University Technolofy of Sydney-Australia