Dokumen tersebut membahas tentang kesetaraan gender dan bagaimana perempuan dapat bekerja dan berkarya untuk mencapainya. Ia menjelaskan bahwa budaya patriarki telah lama menimbulkan diskriminasi terhadap perempuan, terutama dalam bidang ekonomi. Dokumen tersebut juga menyarankan pentingnya membangun kemampuan perempuan melalui pengembangan soft skill agar mereka layak dipertimbangkan dan dapat mencapai kesetaraan
Bagaimana berkarya dan bekerja dalam mencapai kesetaraan gender (monita)
1. Bagaimana Berkarya dan Bekerja
dalam Mencapai Kesetaraan Gender
kesetaraan gender menjadi topik yang selalu menarik untuk dikaji relevansinya dalam
tatanan sistem sosial. Berbagai bidang termasuk bidang pendidikan, politik, kesehatan, agama
bahkan ekonomi tidak dapat terlepas dari isu gender. Sebelum membahas lebih jauh
mengenai kesetaraan gender, kita harus menyamakan persepsi mengenai definisi konsep
gender. Menurut World Health Organisation (WHO) gender merupakan sifat perempuan
dan laki-laki, seperti norma, peran, dan hubungan antara kelompok pria dan wanita,
yang dikonstruksi secara sosial. Secara sederhana gender merupakan pemahaman yang
dibangun oleh sistem sosial masyarakat terkait identitas gender yang menimbulkan
ekspresi gender baik itu feminim atau maskulin dan akhirnya mengerucut pada
kesetaraan gender.
Setara bukan berarti harus sama karna tentunya lelaki dan perempuan punya
porsinya sendiri. Namun Budaya patriarki yang selama ini menggerogoti pemikiran
masyarakat menimbulkan marginalisasi bagi kaum Hawa, terutama dari segi
perekonomian. Data dari Workplace Gender Equality Agency di Australia menyatkaan
bahwa pendapatan per jam pekerja perempuan untuk posisi non-managerial 11,1% lebih
rendah dibandingkan laki-laki di posisi yang sama. Ditambah lagi perlakuan diskriminasi lain
yang dianggapp merugikan pihak perempuan. Pola pikir seperti inilah yang mematahkan
spirit perempuan membuatnya merasa dinomorduakan, menjadikan perempuan sebagai kaum
lemah yang tidak mampu bekerja dan berkarya. Terkhusus kaum muslimah yang
mayoritasnya memaknai QS. An- Nisa (34) sebatas pemahaman kontekstual semata. Islam
tidak melarang perempuan untuk memimpin sebagaimana halnya Sitti ‘Aisyah memimpin
perang jamal.
Berdasarkan pengamatan Sekelumit perkara diskriminasi kaum hawa disebabkan oleh
dua faktor yakni faktor eksternal yang menyangkut tatanan sosial dan faktor internal
mencakup karakter perempuan itu sendiri. Tugas manusia adalah menjadi khalifah dimuka
bumi dan kaum Hawa juga manusia, sama halnya dengan kaum Adam. Saatnya teritorial
perempuan diperluas tidak hanya sebatas di dapur, kasur dan sumur. Jika perempuan merasa
dirinya tidak layak untuk dikucilkan maka jadilah sosok yang diperhitungkan. Perempuan
harus punya kemampuan sehingga dirinya layak untuk dipertimbangkan. Mengembangan
Soft skill sangat penting bagi perempuan untuk mencapai kesetaraan, semua bermula dari
hal sederhana seperti belajar berbicara didepan umum untuk memperbaiki publik speaking
2. dan kerja kolektif untuk membangun kecerdasan emosional dan tidak kalah penting adalah
membangun relasi. Perkara yang marak terjadi salah satunya pernikahan dini. Sebagai
perempuan Jangan segan untuk menentukan pilihan terkait siapa, kapan, dan bagaimana
proses sakral inni berlangsung. Perempuan harus menyadari kodratnya sebagai calon ibu,
dimana dari hasil penelitian 40-60 % kecerdasan diwariskan oleh gen ibu, maka didiklah
anakmu 25 tahun sebelum ia lahir.
Bukan bermaksud menggurui tapi ini fakta yang kami alami, contoh sederhana dalam
ruang lingkup desa Tanete, kami justru merasa kaum Adamlah yang mengalami diskriminasi.
Setiap kepanitiaan diketuai oleh perempuan, bahkan posisi strategis juga dipangku oleh
perempuan, sebut saja sekarang ini saya diamanahi sebagai ketua karang taruna. Organisasi
kepemudaan tingkat desa yang menghimpun aspirasi pemuda dimana pergerakannya
beorientasi sosial. Kesetaraan gender tidak cukup hanya dipandang sebagai hak dan
kewajiban yang sama persis tanpa pertimbangan selanjutnya. Karena Malu rasanya apabila
perempuan menggerungkan isu kesetaraan gender yang kita artikan segala sesuatunya harus
mutlak sama dengan laki-laki. Karena pada hakikatnya lelaki dan perempuan adalah mitra
dalam kehidupan, kita hadir untuk saling menghargai bukan untuk saling menyaingi.