Dokumen tersebut membahas tentang informed consent dalam praktik kedokteran di Indonesia. Terdapat berbagai sumber yang menjelaskan isi penjelasan yang harus diberikan kepada pasien sebelum mendapatkan persetujuan, namun pelaksanaannya masih bervariasi. Proses informed consent seharusnya merupakan bagian dari komunikasi yang baik antara dokter dan pasien dalam pengambilan keputusan bersama.
Posyandu Center Of Excellence Sebagai Upaya peningkatan Kualitas.pptx
Dokter dan Informed-Consent
1. RAD Journal 2014:12:019
Dokter dan Informed-Consent, Robertus Arian Datusanantyo | 1
Dokter
dan
Informed-‐Consent
Ilustrasi:
Seorang
dokter
gigi
merencanakan
pencabutan
gigi
pada
pasiennya:
seorang
karyawan
bank.
Ketika
dokter
gigi
tersebut
menanyakan
apakah
pasien
bersedia
dicabut
giginya,
pasien
tersebut
menanyakan
apa
risikonya.
Dokter
gigi
menjelaskan
mengenai
rasa
nyeri,
perdarahan,
bahkan
mengatakan
kapan
pasien
dapat
makan
kembali
dan
bagaimana
cara
menyikat
gigi
setelah
pencabutan.
Secara
lisan
pasien
menyetujui
pencabutan
gigi.
Dua
hari
setelah
pencabutan
gigi,
pasien
mengadukan
dokter
gigi
tersebut
kepada
direktur
rumah
sakit
karena
merasa
belum
dijelaskan
bahwa
gigi
yang
telah
dicabut
tersebut
tidak
dapat
tumbuh
kembali.
(Catatan:
diinspirasi
dari
kisah
nyata
dengan
sedikit
perubahan.)
Mengenal
Informed-‐Consent
Salah
satu
hal
yang
memusingkan
para
manajer
dan
direktur
rumah
sakit
adalah
permasalahan
informed-‐consent.
Berbagai
upaya
dilakukan
agar
proses
ini
dilakukan
secara
tuntas.
Salah
satu
penyebab
permasalahan
ini
terus
menerus
terjadi
adalah
ilusi
bahwa
dengan
penandatanganan
berkas
persetujuan
tindakan
medis,
dokter
telah
terbebas
dari
kewajiban
hukum.
Hal
ini
perlu
secara
serius
dipelajari
oleh
para
dokter
agar
pelayanan
yang
diberikan
makin
etis
dan
aman.
Istilah
informed-‐consent
agak
sulit
diterjemahkan
dalam
bahasa
Indonesia.
Kementrian
Kesehatan
memakai
istilah
persetujuan
tindakan
medis
yang
sebenarnya
hanya
separuh
dari
pengertian
sesungguhnya.
Informed-‐consent
adalah
persetujuan
pasien
terhadap
tindakan
medis
tertentu
setelah
mendapatkan
penjelasan
yang
cukup
dari
dokter
yang
melayani.
Beberapa
rumah
sakit
secara
praktis
memakai
istilah
“surat
ijin
tindakan”,
“surat
persetujuan”,
“surat
ijin
operasi”,
atau
istilah
lain
yang
mengimplikasikan
gagalnya
gagasan
penjelasan
perlu
dilakukan
sebelum
permintaan
persetujuan.
Banyak
rumah
sakit
juga
hanya
menyediakan
kolom
tanda
tangan
pasien
(atau
keluarga),
dokter,
identitas,
dan
nama
tindakan
kedokteran
yang
akan
dilakukan
pada
formulir
persetujuan
tindakan
medis.
Butir-‐butir
penjelasannya
tidak
diberi
tempat
untuk
dituliskan,
dan
dengan
demikian,
penjelasan
yang
diberikan
sebelum
persetujuan
ditanyakan
sangat
mungkin
tidak
standar
apalagi
lengkap.
Setelah
era
undang-‐undang
praktek
kedokteran
no.
29
tahun
2004,
pelaksanaan
informed
consent
ini
begitu
bervariasi.
Peraturan
menteri
kesehatan
no.
290
tahun
2008
menjelaskan
bagaimana
informed
consent
harus
dilakukan.
Nampak
bahwa
pemerintah
pun
menyadari
proses
informed
consent
masih
merupakan
“permintaan
persetujuan”
atau
bahkan
“permintaan
tanda
tangan”.
Peraturan
menteri
kesehatan
di
atas
bukanlah
satu-‐satunya
sumber
yang
dapat
diacu
para
dokter
dalam
memahami
mengenai
informed-‐consent.
Sumber
lain
yang
tak
kalah
penting
adalah
Manual
Persetujuan
Tindakan
Kedokteran
yang
diterbitkan
oleh
Konsil
Kedokteran
Indonesia
tahun
2006.
Dalam
manual
ini,
disebutkan
bahwa
informed-‐consent
adalah
persetujuan
pasien
atau
yang
sah
mewakilinya
atas
rencana
tindakan
kedokteran
atau
kedokteran
gigi
yang
diajukan
oleh
dokter
atau
dokter
gigi,
setelah
menerima
informasi
yang
cukup
untuk
dapat
membuat
persetujuan.
Tindakan
kedokteran
atau
kedokteran
gigi
yang
dimaksud
dapat
berupa
tindakan
preventif,
tindakan
penunjang
diagnostik,
tindakan
terapetik,
maupun
tindakan
rehabilitatif.
Tindakan
kedokteran
berisiko
tinggi
adalah
tindakan
yang
dalam
probabilitas
tertentu
dapat
mengakibatkan
kecacatan
atau
kematian.
Umumnya,
tindakan
risiko
tinggi
ini
adalah
tindakan
invasif
atau
tindakan
bedah.
Informed-‐consent
juga
merupakan
pernyataan
sepihak
dari
pasien
dan
bukan
merupakan
perjanjian
antara
dokter
atau
dokter
gigi
dengan
pasien.
Dengan
demikian,
persetujuan
dapat
ditarik
kembali
oleh
pasien
sewaktu-‐waktu.
Pelayanan
oleh
dokter
di
rumah
sakit
merupakan
upaya
semaksimal
mungkin
yang
di
dalam
konteks
hukum
merupakan
kontrak
upaya
(inspanningsverbitennis)
dan
bukannya
kontrak
jaminan
terhadap
hasil
pelayanan
(resultaatsverbitennis).
Jadi,
proses
informed-‐consent
sesunguhnya
adalah
2. RAD Journal 2014:12:019
manifestasi
hubungan
saling
hormat
dan
komunikasi
dalam
pengambilan
keputusan
bersama
atau
shared
decision
making
dalam
upaya
pelayanan
kedokteran.
Pemberian
Informasi
Pemberian
informasi
merupakan
bagian
yang
paling
besar
dan
panjang
dalam
proses
informed-‐
consent.
Masing-‐masing
sumber
mempunyai
acuan
sendiri
apa
saja
yang
perlu
dijelaskan
dalam
pemberian
informasi.
Dokter dan Informed-Consent, Robertus Arian Datusanantyo | 2
Manual
Persetujuan
Tindakan
Kedokteran,
KKI,
tahun
2006
Undang-‐undang
Praktik
Kedokteran
no.
29
tahun
2004
Permenkes
RI
No.
290/MENKES/PER/III/2008
Isi
penjelasan
Isi
penjelasan
Isi
penjelasan
Diagnosis
Diagnosis
dan
tata
cara
tindakan
medis
Diagnosis
Dasar
Diagnosis
Tujuan
tindakan
medis
yang
dilakukan
Tata
cara
tindakan
Tindakan
Kedokteran
Alternatif
tindakan
lain
dan
risikonya
Tujuan
tindakan
kedokteran
Indikasi
Tindakan
Risiko
dan
komplikasi
yang
mungkin
terjadi
Altematif
tindakan
&
risikonya;
Tata
Cara
Tindakan
Prognosis
terhadap
tindakan
yang
dilakukan
Risiko
dan
komplikasi
Tujuan
Prognosis
Resiko
Perkiraan
pembiayaan
Komplikasi
Prognosis
Alternatif
dan
Resiko
Lain-‐lain
Tabel
1.
Isi
penjelasan
dalam
formulir
informed-‐consent
menurut
berbagai
sumber.
Bagian
memberikan
penjelasan
tindakan
kedokteran
inilah
yang
ternyata
tidak
disukai
pada
dokter
di
Indonesia.
Sering
tugas
ini
didelegasikan
pada
perawat
atau
pada
dokter
jaga
bangsal
atau
jaga
IGD.
Ini
bukanlah
tindakan
yang
bijaksana
dan
bukan
sesuatu
yang
diharapkan
pasien.
Penjelasan
yang
cukup
rinci
mengenai
informasi
apa
yang
perlu
disampaikan
pada
pasien
dalam
proses
informed-‐consent
dapat
dibaca
dengan
lebih
rinci
pada
rujukan-‐rujukan
yang
dipakai
di
atas.
Penting
untuk
para
dokter
yang
bekerja
di
rumah
sakit,
pemberian
informasi
ini
harus
disesuaikan
dengan
pasien
atau
keluarga
yang
mendengarkan.
Dalam
uraian
tentang
customer
value
pada
tulisan
mengenai
dokter
dan
pasien
rumah
sakit,
telah
dijelaskan
dengan
gamblang
bahwa
usaha
yang
baik
dan
sungguh-‐sungguh
dari
dokter
untuk
menciptakan
hubungan
yang
baik
akan
melipatgandakan
customer
value.
Untuk
itulah
dokter
perlu
memperhatikan
setiap
kata,
diksi,
kalimat,
dan
bahasa
tubuh
yang
digunakan
agar
pasien
atau
keluarga
yang
dijelaskan
tersebut
benar-‐benar
nyaman
dan
mengerti
terhadap
penjelasan
dan
kemudian
dapat
memutuskan
dengan
baik
apa
tindakan
yang
dipilih
demi
kesejahteraan
yang
sakit.
Salah
satu
pertanyaan
yang
sering
membuat
jengkel
para
dokter
Indonesia
adalah,
“berapa
persen
keberhasilan
tindakan
ini,
Dok?”.
Para
dokter
biasanya
jengkel
karena
memang
tidak
tahu
dengan
jawaban
itu.
Tentu
mudah
mengatakan
bahwa
keberhasilannya
50-‐50
(fifty-‐fifty)
bisa
berhasil
bisa
tidak.
Namun
jawaban
itu
tentu
secara
logika
tidak
dapat
diterima.
Sebenarnya
juga
bukan
kesalahan
para
dokter
bila
jawaban
atas
pertanyaan
tersebut
tidak
diketahui.
Pusat
data
di
Indonesia
untuk
hal-‐hal
seperti
itu
memang
belum
tersedia.
Selain
itu,
kadang
suatu
kasus
begitu
kompleks
sehingga
perlu
waktu
jauh
lebih
lama
untuk
menganalisis
keberhasilan
suatu
tindakan
kedokteran.
Walau
demikian,
perlu
disampaikan
pada
pasien
atau
keluarga
bahwa
data
3. RAD Journal 2014:12:019
yang
dimaksud
belum
tersedia
di
Indonesia
dan
hanya
tersedia
data
pembanding
di
negara
tertentu.
Perlu
pula
ditambahkan
bahwa
mengingat
ini
adalah
upaya,
maka
tentu
tidak
bisa
direduksi
dalam
sebuah
rumus
pecahan
sederhana
untuk
memperkirakan
hasilnya.
Persetujuan
Tindakan
Kedokteran
Persetujuan
dapat
dinyatakan
maupun
tersirat.
Persetujuan
yang
dinyatakan
dapat
secara
lisan
dan
dapat
pula
secara
tertulis.
Persetujuan
yang
dinyatakan
secara
tertulis
dibuat
pada
persetujuan
tindakan
risiko
tinggi.
Persetujuan
secara
tersirat
atau
implied
consent
dilakukan
dengan
gerakan
tubuh
yang
mempersilakan
dokter
melakukan
tindakan.
Salah
satu
contoh
persetujuan
tersirat
adalah
menggulung
lengan
baju
ketika
akan
diambil
darah
untuk
penunjang
diagnostik.
Persetujuan
harus
diberikan
sendiri
oleh
pasien
apabila
pasien
dalam
keadaan
yang
kompeten.
Kompeten
berarti
dewasa,
bukan
anak-‐anak
menurut
undang-‐undang
atau
telah/pernah
menikah,
tidak
terganggu
kesadaran
fisiknya,
mampu
berkomunikasi
secara
wajar,
tidak
mengalami
kemunduran
mental,
maupun
tidak
menderita
penyakit
mental
sehingga
dapat
membuat
keputusan
secara
bebas.
Dalam
keadaan
tertentu,
pasien
dapat
berada
dalam
keadaan
fluctuating
competence
di
mana
pada
saat
tertentu
dia
kompeten
namun
berikutnya
kurang
kompeten.
Dalam
hal
ini,
proses
informed-‐
Dokter dan Informed-Consent, Robertus Arian Datusanantyo | 3
consent
tidak
dapat
dilakukan
satu
kali
melainkan
harus
dilakukan
berulang
pada
waktu
pasien
kompeten,
dan
dicatat
konsistensinya
dalam
berkas
rekam
medis.
Apabila
syarat
pasien
kompeten
tersebut
tidak
dapat
dipenuhi,
maka
persetujuan
tindakan
kedokteran
diberikan
oleh
orang
lain
yang
berhak
setelah
mendapat
penjelasan
seperti
diuraikan
di
atas.
Siapakah
orang
lain
tersebut?
Orang
lain
tersebut
adalah
keluarga
dekat,
atau
dengan
istilah
lain:
next
of
kin.
Keluarga
paling
dekat
yang
paling
berwenang
memberikan
persetujuan
adalah
istri,
suami,
orang
tua,
dan
anak.
Kerabat
lain
seperti
nenek,
kakek,
cucu,
paman,
bibi,
keponakan,
sepupu,
bukanlah
keluarga
yang
paling
dekat.
Tidak
menutup
kemungkinan
dengan
persetujuan
pasien
dan
keluarga
terdekat
mereka
bisa
bersama-‐sama
mendapatkan
penjelasan.
Dokter
bisa
saja
menunggu
sampai
terjadi
konsensus
di
antara
keluarga
untuk
setuju
atau
tidak
terhadap
rencana
tindakan
tersebut.
Dalam
kasus
khusus,
dokter
tidak
dibebani
dengan
kewajiban
membuktikan
keluarga
terdekat
yang
muncul
dan
mendampingi
pasien.
Salah
satu
contoh
adalah
ketika
seorang
laki-‐laki
didampingi
istrinya
di
instalasi
gawat
darurat.
Istri
memberikan
persetujuan
atas
tindakan
kedokteran
tertentu
terhadap
suaminya
yang
tidak
sadar.
Dalam
kasus
ada
istri
lain
yang
kemudian
datang,
dokter
tidak
perlu
lagi
membuktikan
siapa
di
antara
keduanya
yang
paling
berhak
membuat
persetujuan.
Baik
implied-‐consent
maupun
persetujuan
tertulis,
sebaiknya
dokter
membuat
catatan
dalam
berkas
rekam
medis.
Mengenal
Informed-‐Refusal
Tulisan
mengenai
informed-‐refusal
tidak
terlalu
banyak
ditemukan.
Secara
umum,
dianggap
bila
pasien
atau
keluarganya
telah
menolak
suatu
rencana
tindakan
kedokteran,
maka
formulir
ini
diisi.
Berbeda
dengan
informed-‐consent
yang
bisa
tersirat,
pernyataan
penolakan
harus
tertulis.
Ini
penting
karena
di
pengadilan,
beban
pembuktian
ada
pada
yang
menyatakan.
Sebaiknya,
dokter
mempunyai
bukti
tertulis
bahwa
sudah
diberikan
penjelasan
yang
cukup
dan
pasien
atau
keluarganya
menolak
rencana
tindakan
kedokteran.
Dalam
hal
ini,
pasien
dan
keluarganya
menanggung
risiko
yang
timbul
dari
penolakan
tersebut.
Penolakan
ini
juga
dapat
berhenti
sewaktu-‐waktu.
Dalam
hal
pasien
atau
keluarga
mengubah
keputusannya,
dokter
wajib
memberikan
penjelasan
ulang
karena
kondisi
pasien
pada
saat
pembatalan
penolakan
kemungkinan
sudah
berbeda
sehingga
tingkat
risiko
juga
mungkin
berbeda.
Penolakan
yang
tidak
ditandatangani
oleh
pasien
atau
keluarganya
harus
dicatat
secara
rinci
dalam
berkas
rekam
medis
oleh
dokter
yang
melakukan
pelayanan.
4. RAD Journal 2014:12:019
Dokter dan Informed-Consent, Robertus Arian Datusanantyo | 4
Mengenal
Informed-‐Request
Adalah
tulisan
Kayvan
Shokrollahi,
seorang
ahli
bedah
plastik
dan
rekonstruksi
di
Inggris
yang
menginspirasi
subtopik
ini.
Judul
tulisannya
adalah
“Request
for
Treatment:
the
evolution
of
consent”.
Istilah
informed-‐request
dipakai
alih-‐alih
memakai
padan
kata
request
for
treatment
supaya
tidak
terjebak
pada
istilah
“APS”
atau
atas
permintaan
pasien.
Shokrollahi
menulis
bahwa
informed
request
menyelaraskan
asuhan
medis
dengan
kebutuhan
dan
pilihan
pasien.
Keselarasan
ini
terbukti
dapat
membawa
luaran
klinis
yang
lebih
baik.
Lebih
penting
dicatat
bahwa
dengan
informed
request,
prinsip
patient-‐centered
care
(penjelasan
mengenai
patient-‐
centered
care
ada
dalam
tulisan
berjudul
Dokter
dan
Pasien
Rumah
Sakit)
dapat
benar-‐benar
diaplikasi.
Informed
consent
mengubah
proses
inti
pengambilan
keputusan
yang
sangat
penting
pada
hubungan
dokter
dan
pasien,
yaitu
persetujuan.
Gambar
1.
Informed-‐consent
dan
informed
request.
Perbedaan
utama
antara
informed-‐consent
dan
informed-‐request
terletak
pada
proses
aktif
dari
pasien.
Pasien
mengisi
sendiri
bagian
dokumen
yang
berisi
prosedur,
manfaat,
risiko,
dan
komplikasi.
Bagian
ini
biasanya
diisi
oleh
dokter,
menyisakan
pasien
secara
pasif
memberikan
persetujuan.
Transformasi
ini
sangat
penting
dan
mendasar
karena
pasien
memerlukan
pemahaman
yang
mendalam
mengenai
rencana
terapi
sebelum
dapat
memberikan
request.
Pemahaman
itu
dapat
dicapai
hanya
dengan
satu
cara,
yaitu
intensitas
hubungan
aktif
antara
dokter
dan
pasien.
Lebih
lanjut
Shokrollahi
menulis
bahwa
informed-‐request
memerlukan
adanya
pengulangan
proses
diskusi
antara
dokter
dan
pasien
mengenai
rencana
tindakan,
manfaat,
dan
risikonya.
Pasien
kemudian
diminta
menuliskan
sendiri
apa
saja
informasi
yang
telah
diterima
dan
dipahaminya
dalam
pilihan
kalimat,
diksi,
dan
kata
pasien
sendiri.
Informasi
yang
ditulis
pasien
ini
sungguh
berharga
dan
dapat
menjadi
sumber
kekuatan
hukum
yang
kuat
mengenai
hubungan
kontraktual
kedua
belah
pihak.
Dengan
menuliskan
sendiri
pemahaman
mengenai
suatu
rencana
tindakan,
tingkat
pemahaman
pasien
dapat
dinilai
oleh
dokter.
Apabila
tingkat
pemahaman
belum
seperti
yang
diharapkan,
proses
pemberian
informasi
dapat
diulang.
Di
sisi
lain,
informed
consent
cenderung
memaparkan
pasien
dan
keluarga
pada
banyaknya
informasi
dalam
satu
kesempatan
sehingga
terasa
sangat
paternalistik
dan
pasif
dari
sisi
pasien.
Dalam
proses
informed
consent,
sulit
bagi
dokter
untuk
menilai
tingkat
pemahaman
pasien
dan/atau
keluarga
mengenai
informasi
yang
disampaikan.
Besarnya
informasi
yang
disampaikan
dalam
satu
waktu
bisa
sangat
banyak
dan
kompleks
sehingga
mustahil
dapat
dicerna
dengan
baik
oleh
pasien
dan/atau
keluarga.
5. RAD Journal 2014:12:019
Untuk
bisa
dimulai
aplikasinya
di
rumah
sakit,
sedikitnya
ada
dua
hal
penting
untuk
dipersiapkan.
Pertama,
Dokter dan Informed-Consent, Robertus Arian Datusanantyo | 5
informed-‐request
hanya
dapat
dipakai
untuk
rencana
tindakan
elektif.
Pada
tindakan
cito,
informed
request
tidak
dapat
dipakai
mengingat
panjangnya
proses.
Kedua,
dokter
dan
rumah
sakit
harus
menyediakan
sarana
pendidikan
pasien
dan
keluarga
yang
cukup
banyak
dan
menarik.
Ini
perlu,
mengingat
salah
satu
keunggulan
proses
informed-‐request
adalah
tingkat
pemahaman
pasien
yang
cukup
tinggi.
Penutup
Perilaku
dokter
dalam
perspektif
pembahasan
informed-‐consent
memang
unik.
Sebagai
bagian
dari
proses
pelayanan
kedokteran
yang
bermutu
dan
etis,
seharusnya
kemampuan
melakukan
proses
ini
ada
dalam
diri
setiap
dokter.
Sayangnya,
pengamatan
di
banyak
rumah
sakit
membuktikan
sebaliknya.
Banyak
alasan
yang
diajukan
mulai
dari
tidak
mengerti,
tidak
ada
waktu,
menambah
tulisan,
dan
lain-‐lain.
Sebagian
justru
mengerti
bahwa
formulir
informed-‐consent
yang
ada
di
rumah
sakitnya
tidak
mencukupi
untuk
praktek
kedokteran
dewasa
ini
namun
diam
saja
dan
tidak
mau
peduli
untuk
sekedar
membuat
usulan
perubahan.
Pemahaman
mengenai
topik
ini
diharapkan
dapat
memperbaiki
kondisi
yang
memprihatinkan
ini.
Penulis
Artikel
ini
dipersiapkan
dan
ditulis
oleh
dr.
Robertus
Arian
Datusanantyo.
Tulisan
ini
merupakan
tulisan
keempat
dari
seri
Dokter
dan
Manajemen
Rumah
Sakit
yang
sedang
ditulis
sebagai
pertanggungjawaban
keilmuan.
Daftar
Bacaan
________,
2009.
Peraturan
Menteri
Kesehatan
no.
No.
290/MENKES/PER/III/2008
tentang
Persetujuan
Tindakan
Kedokteran.
________,
2009.
Undang-‐Undang
Republik
Indonesia
Nomor
29
Tahun
2004
Tentang
Praktik
Kedokteran.
Guwandi,
J.,
2006.
Informed
Consent
&
Informed
Refusal
4th
Edition.
Jakarta:
Balai
Penerbit
FKUI.
Guwandi,
J.,
2009.
Dugaan
Malpraktek
Medik
&
Draft
RPP:
“Perjanjian
Terapetik
antara
Dokter
dan
Pasien”.
Jakarta:
Balai
Penerbit
FKUI.
Rafly
A.,
Sampurna
B.,
2006.
Manual
Persetujuan
Tindakan
Kedokteran.
Jakarta:
Konsil
Kedokteran
Indonesia.
Shokrollahi,
K.
(2010).
Request
for
Treatment:
the
evolution
of
consent
.
Ann
R
Coll
Surg
Engl
(92),
93-‐100.