Bab 2 memberikan ringkasan tentang Otitis Media Supuratif Kronis (OMSK) dan bakteri Pseudomonas aeruginosa yang sering menyebabkan infeksi pada OMSK. OMSK dapat dibedakan menjadi dua tipe berdasarkan lokasi infeksinya, sedangkan P. aeruginosa adalah bakteri gram negatif yang mampu membentuk biofilm yang sangat resisten terhadap antibiotik dan membantu bakteri ini bertahan sebagai penyebab infeksi kronis.
Fungsi mukosa rongga mulut sebagai pertahanan pertama tubuhFerdiana Agustin
Strukut rongga mulut yang rapat menghalangi bakteri masuk lebih dalam, dan mengalami keratinasi dan deskuamasi sehinga perlekatan dengan bakteri susah. Terdapat saliva yang antibakteri, lamina propria yang terdapat sel-sel pertahanan yang memfagosit bakteri (sel langerhans). Oral epitelium sebagai barier mikroorganisme patogen dari sintesis, mukosa oral ada kelenjar saliva yang menghasilkan enzim untuk menyerang bakteri patogen.
1. Pengetian Globalisasi
2. Dampak Globalisasi Terhadap Bidang Politik Di Indonesia
3. Langkah Langkah Yang Perlu Diambil Indonesia Dalam Menghadapi Dampak Globalisasi
1. Pengetian Globalisasi
2. Dampak Globalisasi Terhadap Bidang Politik Di Indonesia
3. Langkah Langkah Yang Perlu Diambil Indonesia Dalam Menghadapi Dampak Globalisasi
En esta presentación, con motivo de la WordCamp de Sevilla de 2012, expliqué cómo elegir temas diferentes que nos permitan ser diferentes, centrándome en las necesidades especiales para unas pocas cuestiones:
1. Eventos
2. Webs corporativas
3. Fotografía
4. Bloggers
Las opciones que se pueden tener para este tipo de cuestiones son muchas (sliders, fotografías en alta resolución, textos), y es importante elegir bien un tema que muestre a la gente qué es lo que hacemos, nuestro trabajo.
Fungsi mukosa rongga mulut sebagai pertahanan pertama tubuhFerdiana Agustin
Strukut rongga mulut yang rapat menghalangi bakteri masuk lebih dalam, dan mengalami keratinasi dan deskuamasi sehinga perlekatan dengan bakteri susah. Terdapat saliva yang antibakteri, lamina propria yang terdapat sel-sel pertahanan yang memfagosit bakteri (sel langerhans). Oral epitelium sebagai barier mikroorganisme patogen dari sintesis, mukosa oral ada kelenjar saliva yang menghasilkan enzim untuk menyerang bakteri patogen.
1. Pengetian Globalisasi
2. Dampak Globalisasi Terhadap Bidang Politik Di Indonesia
3. Langkah Langkah Yang Perlu Diambil Indonesia Dalam Menghadapi Dampak Globalisasi
1. Pengetian Globalisasi
2. Dampak Globalisasi Terhadap Bidang Politik Di Indonesia
3. Langkah Langkah Yang Perlu Diambil Indonesia Dalam Menghadapi Dampak Globalisasi
En esta presentación, con motivo de la WordCamp de Sevilla de 2012, expliqué cómo elegir temas diferentes que nos permitan ser diferentes, centrándome en las necesidades especiales para unas pocas cuestiones:
1. Eventos
2. Webs corporativas
3. Fotografía
4. Bloggers
Las opciones que se pueden tener para este tipo de cuestiones son muchas (sliders, fotografías en alta resolución, textos), y es importante elegir bien un tema que muestre a la gente qué es lo que hacemos, nuestro trabajo.
Pioderma umumnya disebakan oleh bakteri kokus. Referat ini akan lebih banyak membahas pioderma yang disebabkan bakteri non kokus. Saran dan masukkan akan sangat membantu. Semoga bermanfaat :)
1. BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Otitis Media Supuratif Kronis
Otitis media supuratif kronis (OMSK) dahulu disebut otitis media
perforate (OMP) atau dikenali sebagai congek di Indonesia. OMSK ialah
infeksi kronis di telinga tengah dengan perforasi membran timpani dan sekret
yang keluar dari telinga tengah terus menerus (persisten) atau hilang timbul
(rekuren). Sekret mungkin encer atau kental, bening atau berupa nanah.
Angka kejadian OMSK tinggi di negara berkembang disebabkan sosioekonomi yang rendah, nutrisi buruk dan kurangnya pengetahuan tentang
kesehatan. OMSK dapat diklasifikasi kepada dua jenis tipe, yaitu tipe
tubotimpanal (tipe jinak) dan tipe atikoantral (tipe ganas). Perbedaan tipe
klinik OMSK dibuat berdasarkan perbedaan anatomi yaitu pars tensa atau
pars plasida membran timpani (Djafar, 2001; Dhingra, 2007) .
2.1.1 Etiologi
OMSK jinak bermula sejak usia anak. Tipe ini merupakan lanjutan dari
penyakit otitis media akut yang diikuti dengan demam ruam dan
menyebabkan perforasi yang letaknya sentral. Perforasi ini menetap dan
memudahkan terjadinya infeksi berulang dari telinga luar. Otorrhea menjadi
persisten akibat mukosa telinga tengah yang terpapar kepada lingkungan luar
yang penuh dengan aero allergen sehingga terjadinya sensitisasi. Infeksi bisa
terjadi secara ascending melalui tuba eustachia. Infeksi tonsil, adenoid dan
sinus bisa menimbulkan otorrhea yang persisten atau rekuren (Dhingra,
2007).
Penyebab yang lain adalah perubahan tekanan udara tiba-tiba, alergi,
infeksi dan sumbatan (akibat penumpukan sekret, tampon atau tumor)
(Djafar, 2001).
2. 2.1.2 Patofisiologi
OMSK dimulakan dengan suatu infeksi akut. Patofisiologi OMSK bermula
dengan proses irritasi dan inflamasi pada mukosa telinga tengah. Respon
inflamasi menimbulkan edema pada mukosa. Inflamasi yang berkelanjutan
akan menyebabkan ulserasi pada mukosa dan kerusakan pada sel epitel.
Penjamu akan menghasilkan suatu jaringan granulasi (respon terhadap
inflamasi) yang bisa membentuk polip pada permukaan rongga telinga
tengah. Siklus infalamasi, ulserasi, infeksi dan pembentukan jaringan
granulasi akan menghancurkan tulang sehingga menimbulkan komplikasi
(Parry, 2011).
2.1.3 Gejala klinis
Gejala klinis pada tipe tubotimpani pertama adalah sekret telinga
(otorrhea) dengan ciri mukoid, mukopurulen yang menetap atau intermittent.
Sekret ini sering muncul pada keadaan infeksi saluran pernafasan atas atau
masuknya air ke dalam telinga. Kedua, terdapat tuli tipe konduktif yang
bervariasi dan jarang melebihi 50 dB. Kadang-kadang pasien bisa
mendengarkan lebih baik pada keadaan telinga penuh dengan sekret
berbanding telinga bersih. Keadaan ini bisa berlanjut sehingga terjadinya pula
tuli sensorineural. Ketiga, adanya perforasi yang letaknya sentral dimana
posisinya bisa anterior, posterior, inferior kepada letak malleus. Keempat,
mukosa telinga tengah dapat dilihat apabila perforasi membrane timpani
besar. Mukosa ini terlihat merah, edem dan membengkak pada keadaan
inflamasi (Dhingra 2007).
Pada tipe atikoantral, sekret telinga hanya sedikit dan berbau. Selain itu,
terdapatnya tuli terutamanya tuli konduktif dan bisa ditambah adanya tuli
sensorineural. Perdarahan dapat dijumpai pada tipe ini akibat granulasi atau
polip saat membersihkan telinga. Perforasi yang bisa dilihat adalah attic atau
posterosuperior tipe marginal. Selain itu, terdapat kantong retraksi yang
merupakan suatu invaginasi pada membrane timpani yang dilihat pada attic
3. atau posterosuperior pars tensa. Kolesteatoma pada tipe ini dapat dilihat pada
kantong retraksi (Dhingra 2007).
2.1.4 Pengobatan
Pada OMSK tipe tubotimpani, tujuan utama pengobatan adalah
mengendalikan infeksi ,membersihkan sekret telinga dan selanjutnya
memperbaiki ketulian dengan operasi. Pertama dilakukan pembersihan pada
liang telinga dari sekret dengan Aural toilet. Kedua, penggunaan antibiotik
topikal yang mengandungi neomisin, polimiksin atau gentamisin. Obat ini
dikombinasikan dengan steroid yang mempunyai efek anti inflammasi. Obat
ini diberi 3-4 kali per hari. pH asam sangat bermanfaat dalam membunuh
infeksi bakteri pseudomonas dengan irrigasi menggunakan 1,5% asam asetik.
Pada penggunaan obat ini harus diperhatikan efek ototoksik dari beberapa
sedian dan tidak lebih dari 1 minggu. Cara pemilihan antibiotik adalah dari
hasil kultur bakteri penyebab dan uji resistensi (Djafar, 2001; Dhingra, 2007).
Pada OMSK tipe atikoantral adalah operasi. Pengobatan konservatif
dengan medikamentosa merupakan terapi sementara sebelum operasi. Bila
terdapat abses subperiosteal, maka insisi abses dilakukan terlebih dahulu
sebelum
dilakukan
mastoidektomi.
Tujuan
utama
operasi
adalah
menghentikan infeksi secara permanen, memperbaiki membrane timpani
yang perforasi, mencegah terjadinya komplikasi atau kerusakan pendengaran
yang lebih berat serta memperbaiki pendengaran. Jenis pembedahan yang
dapat dilakuan adalah mastoidektomi sederhana, mastoidektomi radikal,
mastoidektomi radikal dengan modifikasi, miringoplasti dan timpanoplasti
(Djafar, 2001; Dhingra, 2007).
4. 2.2 Pseudomonas aeruginosa
Pseudomonas merupakan kelompok bakteri yang tersebar luas dalam tanah
dan air. Pseudomonas aeruginosa (P. aeruginosa) merupakan salah
kelompok pseudomonas dan tergolong kelompok patogen yang besar pada
manusia, kadang membentuk koloni dalam tubuh manusia. P. aeruginosa
bersifat invasif dan toksigenik sehingga pada pasien dengan daya tahan tubuh
yang rendah dapat menyebabkan infeksi. Ia merupakan patogen nosokomial
yang penting (Brooks, Butel dan Morse, 2007).
2.2.1 Klasifikasi bakteri P. aeruginosa
Klasifikasikan bakteri P.aeruginosa :
Tabel 2.1 Klasifikasi bakteri P.aeruginosa
Kingdom
: Bacteria
Phylum
: Proteobacteria
Class
: Gamma Proteobacteria
Order
: Pseudomonadales
Family
: Pseudomonadadaceae
Genus
: Pseudomonas
Species
: aeruginosa
(Sumber : Todar, 2008)
Gambar 2.1 pewarnaan bakteri
(Sumber : Todar, 2008).
5. 2.2.2 Morfologi dan identifikasi
P. aeruginosa dengan ciri khasnya berbentuk batang, motil dan berukuran
sekitar 0,6 x 2 mm. Bakteri ini tergolong kelompok bakteri gram negatif dan
dapat muncul dalam bentuk tunggal, berpasangan atau kadang-kadang dalam
bentuk rantai pendek. P. aeruginosa dapat tumbuh dengan baik pada suhu 3742ºC. Bakteri ini tidak memfermentasi karbohidrat dan bersifat oksidasepositif, tetapi banyak strain mengoksidasi glukosa. P. aeruginosa dapat
diidentifikasi berdasarkan morfologi koloni, sifat oksidase-positif, adanya
pigmen yang khas, dan pertumbuhan pada suhu 42ºC (Brooks, Butel dan
Morse, 2007).
P. aeruginosa adalah bakteri obligat aerob yang dapat tumbuh dengan
mudah pada banyak jenis medium biakan dan beberapa strain dapat
menyebabkan hemolisis darah. Koloni P. aeruginosa adalah bulat halus
dengan warna fluoresensi kehijauan. Bakteri ini sering menghasilkan
piosianin yang tidak dihasilkan spesies pseudomonas lain, pigmen kebirubiruan yang tidak berfluorensi, yang berdifusi ke dalam agar. P. aeruginosa
juga banyak memproduksi pigmen pioverdin yang berfluorensi, yang
memberikan warna kehijauan pada agar. Beberapa strain menghasilkan
pigmen piorubin yang berwarna merah gelap atau pigmen piomelanin yang
hitam (Brooks, Butel dan Morse, 2007).
P. aeruginosa pada biakan dapat membentuk berbagai jenis koloni. Setiap
koloni dapat mempunyai aktivitas biokimia, enzimatik dan pola kerentanan
antimikroba yang berbeda. Pada biakan pasien dengan fibrosis kistik sering
membentuk koloni P. aeruginosa yang mukoid akibat produksi berlebihan
dari alginate, suatu eksopolisakarida yang berfungsi menghasilkan matriks
sehingga organisme dapat hidup dalam biofilm (Brooks, Butel dan Morse,
2007).
6. 2.2.3 Struktur antigen dan toksin
Struktur dari permukaan sel yang menjulur pili (fimbria) membantu
pelekatan pada sel epitel inang. Sifat endotoksik P. aeruginosa karena
lipopolisakarida yang ada dalam berbagai immunotype. Jenis-jenis bakteri P.
aeruginosa dapat dibedakan berdasarkan kerentanannya terhadap piosin
(bakteriosin) dan immunotype lipopolisakarida. Kebanyakan bakteri P.
aeruginosa
yang
diambil
dari
infeksi
klinis
menghasilkan
enzim
ekstraselullar, termasuk elastase, protease, dan hemolisin (fosfolipase C dan
glikolipid) (Brooks, Butel dan Morse, 2007).
Banyak strain P. aeruginosa yang menyebabkan nekrosis jaringan dan
bersifat letal untuk binatang jika disuntikkan dalam bentuk murni dengan
menghasilkan eksotoksin A. Mekanisme Toksin tersebut serupa seperti
mekanisme toksin difteri yaitu dengan cara menghambat sintesis protein
,walaupun struktur kedua toksin tersebut tidak sama. Beberapa serum
manusia menunjukkan sifat antitoksin terhadap eksotoksin A termasuk pasien
yang telah sembuh dari infeksi berat P. aeruginosa (Brooks, Butel dan Morse,
2007).
Pada OMSK, bakteri ini menggunakan pili untuk menempel pada sel epitel
yang nekrosis atau berpenyakit pada telinga tengah. Setelah itu, organisme ini
akan menghasilkan proteases, lipopolysaccharide dan enzim lainnya untuk
mencegah serangan dari sistem imun tubuh. Hasil sekresi enzim bakteri dan
inflamasi akan menambah kerusakan, nekrosis dan akhirnya erosi pada tulang
(menimbulkan komplikasi) (Parry, 2011).
2.2.4 Biofilm bakteri
Biofilm adalah kumpulan bakteri interaktif yang dibungkus dalam matriks
eksopolisakarida dan melekat pada permukaan yang keras atau melekat satu
sama lain. Keadaan ini berbeda dengan planktonik atau pertumbuhan bakteri
yang hidup bebas karena tidak ada interaksi mikroorganisme. Lapisan
7. berlendir dibentuk biofilm pada permukaan keras dan terjadi di seluruh alam.
Satu spesies bakteri atau lebih dapat terlibat dan berkumpul bersama untuk
membentuk biofilm (Brooks, Butel dan Morse, 2007).
Pada infeksi manusia yang bersifat persisten dan sulit ditangani biofilm
memainkan peran yang penting sebagai contoh pada penderita kistik fibrosis
yang diinfeksi P aeruginosa pada jalan nafas. Pembentukan biofilm pertama
adalah kolonisasi permukaan. Kolonisasi bermula apabila bakteri berada di
atas permukaan dimana bakteri dapat menggunakan flagel untuk bergerak.
Pili dapat digunakan beberapa bakteri untuk menarik diri bersama-sama
menjadi satu kelompok dan bakteri lainnya bergantung pada pembelahan sel
untuk
memulai
pembentukan
koloni.
Secara
berterusan
bakteri
menyekresikan suatu sinyal antara sel Quorum sensing (Brooks, Butel dan
Morse, 2007). Dua sistem Quorum sensing yang dikenali dengan nama las
dan rhl. Sinyal ini disekresi dalam kadar rendah yang merupakan suatu
molekul dalam kadar rendah misalnya sinyal N-acyl homoserine lactone
(AHL) (Karatuna dan Yagci, 2010). Semakin banyak jumlah bakteri,semakin
banyak pula konsentrasi sinyal tersebut. Apabila ambang rangsang tercapai,
bakteri akan memberi respon dan mengubah aktivasi gen sehingga mengubah
perilakunya (Brooks, Butel dan Morse, 2007).
Pada bakteri P. aeruginosa dihasilkan alginate. Gen-gen diaktivasi dapat
memengaruhi jalur metabolik dimana bakteri di dalam matriks cenderung
mengalami penurunan metabolisme dan produksi faktor virulensi. Matriks
eksopolisakarida dapat melindungi bakteri dari mekanisme imun penjamu.
Beberapa antimikroba menunjukkan sawar difusi untuk matriks, sedangkan
antimikroba yang lain dapat berikatan dengannya. Resistensi terhadap
beberapa antimikroba oleh beberapa bakteri dalam biofilm dengan yang
tumbuh dan hidup bebas dalam bahan medium. Hal inilah yang membantu
menjelaskan mengapa infeksi yang disebabkan oleh biofilm sulit diobati
(Brooks, Butel dan Morse, 2007).
8. 2.2.5 Temuan klinis
P. aeruginosa merupakan suatu patogen nosokomial. Menurut Centers for
Disease Control and Prevention (CDC), rata-rata infeksi P. aeruginosa di RS
Amerika Serikat adalah 0,4% (4 per 1000 pasien) . Bakteri ini merupakan
penyebab infeksi nosokomial keempat dengan persen dari keseluruhan RS
10,1% (Todar, 2008). Di Intensive Care Unit (ICU) RS. Fatmawati, Indonesia
P.aeruginosa merupakan 26,5% bakteri yang dijumpai (Radji, Fauziah dan
Aribinuko, 2011). Selain itu, di Indonesia Rumah Sakit (Jakarta dan
sekitarnya) dari tahun 2004-2010, 12-19% bakteri P.aeruginosa didapat dari
hasil kultur bakteri kelompok gram negatif (Moehario et al., 2012).
P. aeruginosa menyebabkan infeksi pada luka dan luka bakar sehingga
menimbulkan pus hijau kebiruan, pada pungsi lumbal bisa terjadi meningitis
dan penggunaan kateter dan instrument lain atau dalam larutan untuk irigasi
dapat menimbulkan infeksi saluran kemih. Pneumonia nekrotik terjadi karena
keterlibatan saluran napas terutamanya akibat respirator yang terkontaminasi
(Brooks, Butel dan Morse, 2007).
Pada organ mata, bakteri ini merupakan salah satu penyebab keratitis dan
etiologi kepada opthalmia neonatal (Todar, 2008). Pada perenang bakteri ini
sering ditemukan pada otitis eksterna ringan dan pada pasien diabetes dapat
menjadi invasif (bersifat maligna) (Brooks, Butel dan Morse, 2007).
2.2.6 Uji diagnostik laboratorium
Untuk uji diagnostik laboratorium, spesimen diambil dari lesi kulit, pus,
urin, darah, cairan spinal, sputum, dan bahan lainnya diindikasikan sesuai
dengan jenis infeksinya. Pada sediaan apus bakteri batang gram negatif sering
dilihat. Tidak ada karekteristik morfologi spesifik yang dapat membedakan
pseudomonas di spesimen dari bakteri enterik atau batang gram negatif
lainnya (Brooks, Butel dan Morse, 2007).
9. Untuk membedakan spesimen, di oleskan pada agar darah dan medium
diferensial yang biasanya digunakan untuk menumbuhkan bakteri batang
gram negatif enterik. Pseudomonas tumbuh dengan mudah pada sebagian
besar medium ini, tetapi pertumbuhan pseudomonas lebih lambat daripada
bakteri enterik. P. aeruginosa mudah dibedakan dari bakteri yang
memfermentasi laktosa karena tidak menfermentasikan laktosa (Brooks,
Butel, dan Morse, 2007).
2.2.7 Pengobatan
Oleh karena tingkat keberhasilan pengobatan dengan terapi obat tunggal
rendah, maka pada infeksi P. aeruginosa yang berat secara klinis bakterinya
dapat dengan cepat menjadi resistan. Penisilin yang aktif melawan P.
aeruginosa seperti tikarsillin atau peperasillin dapat digunakan dalam
kombinasi dengan aminoglikosida, biasanya tobramisin (Brooks, Butel, dan
Morse, 2007).
Obat lainnya yang bisa digunakan adalah azteronam, imipenem, dan
golongan kuinolon yang baru, seperti ciprofloxacin dan juga golongan
sefalosporin yang baru, seftazidim dan sefoperazon. Seftazidim digunakan
sebagai terapi primer infeksi P. aeruginosa. Uji kepekaan obat antimikroba
harus dilakukan sebagai penunjang dalam memilih terapi (Brooks, Butel, dan
Morse, 2007).
2.3 Antimikroba
Antimikroba dapat dibagi kepada agen antibakteri, antifungal dan antiviral.
Agen ini terdiri dari komponen alami (antibiotik) dan komponen sintetis yang
dihasilkan di laboratorium. Antibiotik merupakan sejenis substansi yang
dihasilkan oleh satu mikroba dan menginhibisi pertumbuhan dan viabilitas
mikroba lain (Brenner dan Stevens, 2010).
10. 2.3.1 Prinsip kerja obat antimikroba
Toksisitas selektif adalah agen antimikroba yang ideal berbahaya bagi
pathogen tanpa membahayakan sel inang. Sifat toksisitas selektif sering kali
relatif dan bukan absolut yang bermaksud suatu obat dalam suatu konsentrasi
tertentu dapat ditoleransi oleh inang dan merusak mikroorganisme penyebab
infeksi. Toksisitas selektif dapat berfungsi sebagai reseptor spesifik yang
diperlukan untuk pelekatan obat, atau dapat bergantung pada inhibisi proses
biokimia yang penting bagi pathogen tetapi tidak bagi penjamu. Mekanisme
kerja obat antimikroba dapat dibagi kepada empat cara yaitu inhibisi sintesis
dinding sel, inhibisi fungsi membran sel, inhibisi sintesis protein (inhibisi
translasi dan transkripsi bahan genetik) dan inhibisi sintesis asam nukleat
(Jawetz, 1997). Prinsip kerja obat antimikroba dapat dibagi menjadi empat
menurut (Jawetz, 1997) :
i.
Cara kerja obat antimikroba dengan inhibisi sintesis dinding sel.
Bakteri mempunyai dinding sel yang merupakan suatu lapisan luar
yang kaku. Dinding sel mengandung polimer kompleks peptidoglikan
yang khas secara kimiawi dan terdiri dari polisakarida dan polipeptida
dengan banyak hubungan silang. Lapisan peptidoglikan dinding sel
bakteri gram positif lebih tebal daripada bakteri gram negatif. Dinding
sel berfungsi mempertahankan bentuk dan ukuran mikroorganisme,
yang mempunyai tekanan osmotik internal tinggi. Kerusakan pada
dinding sel seperti akibat terkena enzim lisozim atau inhibisi pada
pembentukan dinding sel dapat menyebabkan sel menjadi lisis. Obatobat golongan B-laktam merupakan bekerja dengan mekanisme
inhibisi sintesis dinding sel bakteri sehingga aktif membunuh bakteri
yang merupakan salah satu dari beberapa aktivitas obat. Obat-obat
yang bekerja dengan cara inhibisi sintesis dinding sel adalah penisilin,
sefalosporin, vankomisin, dan sikloserin. Obat-obat lain bekerja
dengan menghambat langkah awal dalam biosintesis peptidoglikan
adalah basitrasin, teikoplanin, vankomisin, ristosetin, dan novobiosin.
11. ii.
Cara kerja obat antimikroba dengan inhibisi fungsi membran sel.
Semua sitoplasma sel hidup diikat oleh membran sitoplasma yang
berperan sebagai barier permeabilitas selektif. Membran sitoplasma
mengontrol komposisi internal sel dengan transport aktif. Jika fungsi
sitoplasma ini terganggu dapat mengakibatkan kerusakan atau
kematian sel karena makromolekul dan ion dapat keluar dari sel.
Obat-obat yang bekerja dengan cara inhibisi fungsi membrane sel
adalah polimiksin, amfoterisin B, kolistin, dan imidazol serta triazol.
iii.
Cara kerja obat antimikroba dengan inhibisi sintesis protein.Ribosom
berperan sebagai tempat sintesis protein. Bakteri mempunyai ribosom
70S. Pada mikroba normal sintesis protein, pesan mRNA secara
simultan “dibaca” oleh beberapa ribosom yang memanjang di
sepanjang untai mRNA yang disebut sebagai polisom. Obat-obat yang
bekerja
dengan cara inhibisi sintesis protein adalah eritromisin,
linkomisin, tetrasiklin, aminoglikosida, dan kloramfenikol.
iv.
Cara kerja obat antimikroba dengan inhibisi sintesis asam nukleat.
Obat-obat yang bekerja dengan cara inhibisi sintesis asam nukleat
adalah kuinolon, pirimetamin, rifampin, sulfonamide, trimetoprim,
dan trimetreksat. Rifampin menghambat pertumbuhan bakteri dengan
secara kuat berikatan pada RNA polymerase dependen-DNA bakteri.
Obat-obat golongan kuinolon dan fluorokuinolon menghambat sintesis
DNA mikroba dengan menghambat DNA girase. Mikroorganisme
mempunyai asam p-aminobenzoat (PABA) yang merupakan metabolit
penting dalam sintesis asam folat. Cara kerja spesifik PABA berupa
kondensasi suatu pteridin yang bergantung adenosine trifosfat (ATP)
dengan PABA untuk menghasilkan asam dihidropteroat, yang
kemudian diubah menjadi asam folat. Asam folat merupakan suatu
prekursor penting dalam sintesis asam nukleat. Sulfonamid adalah
analog struktural PABA dan menghambat dihidropteroat sintetase.
12. Sulfonamid dapat masuk ke dalam reaksi di tempat PABA dan
bersaing untuk pusat aktif enzim sehingga mentuk analog asam folat
non fungsional yang mencegah pertumbuhan sel bakteri lebih lanjut.
2.3.2 Resistensi terhadap obat antimikroba
Menurut Jawetz (1997) mekanisme resistensi bakteri terhadap obat
antimikroba adalah seperti berikut :
i.
Mikroorganisme menghasilkan enzim yang menginaktivasi aktivitas
obat. Staphylococci dan bakteri batang gram negatif lain yang resisten
terhadap penisilin G menghasilkan sejenis enzim beta-laktamase yang
menginaktivasi obat tersebut.
ii.
Mikroorganisme juga dapat mengubah permeabilitas sel membrannya
terhadap obat yang menganggu transpor aktif ke dalam sel seperti
pada tetrasiklin didapat dalam jumlah yang banyak pada bakteri yang
rentan tetapi tidak pada bakteri yang resisten
iii.
Mikroorganisme dapat mengubah struktur sasaran atau reseptor bagi
obat. Pada organism yang rentan terdapat resistensi kromosom
terhadap aminoglikosida
berhubungan dengan
hilangnya
atau
perubahan protein spesifik pada subunit 30S ribosom bakteri yang
bertindak sebagai reseptor tempat bekerja obat.
iv.
Mikroorganisme bisa mengubah jalur metabolik yang langsung
dihambat oleh obat ini. Pada beberapa bakteri yang resisten terhadap
sulfonamid tidak membutuhkan asam p-aminobenzoat (PABA) yang
merupakan metabolit penting, tetapi dapat menggunakan asam folat
yang telah dibentuk sebelumnya.
v.
Mikroorganisme dapat mengubah enzim yang tetap dan dapat
melakukan fungsi metabolismenya seperti pada mutan yang resisten
sulfonamid , dihidropteroat sintetase mempunyai afinitas yang jauh
lebih tinggi terhadap PABA daripada sulfonamid.
13. 2.3.3 Ciprofloxacin
Ciprofloxacin merupakan obat golongan fluorokuinolon yang merupakan
analog asam nalidiksat yang difluorinasi. Obat ini aktif terhadap berbagai
bakteri gram positif dan gram negatif. Obat ini bekerja dengan menghambat
kerja DNA girase (topoisomerase II) yaitu enzim yang bertanggungjawab
terhadap terbuka dan tertutupnya lilitan DNA sehingga mencegah relaksasi
DNA superkoil yang dibutuhkan untuk transkripsi dan duplikasi normal
(Chambers, 2004).
Setelah pemberian per oral, ciprofloxacin diabsorbsi dengan baik
(keberadaan hayati oral 70%) dan didistribusikan secara luas dalam cairan
tubuh dan jaringan. Waktu paruh dalam serum berkisar antara 3-5 jam.
Setelah
menelan
500
mg,
maka
kadar
puncak
serum
adalah
2,4mikrogram/mL. Absorpsi per oral terganggu oleh adanya kation divalent
seperti antasida. Ekskresi obat terutamanya melalui ginjal dengan mekanisme
sekresi tubulus (dapat dihambat oleh probenesid) atau filtrasi glomerulus.
Sampai 20% dari dosis dimetabolisasi di dalam hati (Chambers, 2004).
Obat golongan ini efektif dalam menghambat bakteri batang gram negatif
termasuk Enterobacteriaceae, Pseudomonas, Neisseria dan lain-lain pada
konsentrasi serum 1-5 mikrogram/mL. Pada organism gram positif dan
pathogen
intraselular
seperti
Legionella,
Chlamydia
dan
beberapa
mikrobakteri dihambat dengan jumlah agak tinggi. Ciprofloxacin merupakan
obat golongan fluorokuinolon paling aktif terhadap bakteri gram negatif
terutamanya P aeruginosa. Resistensi disebabkan karena perubahan pada
enzim target, DNA girase atau perubahan pada permeabilitas organisme
(Chambers, 2004).
14. 2.4 Jintan Hitam
Jintan hitam adalah suatu jenis tumbuhan herbal dari keluarga
“Ranunculaceae” yang ditanam bagi memperolehi biji-biji ataupun bunganya.
Jintan hitam dikenali dengan nama Nigella Sativa dan dikenali dengan
banyak nama seperti “Panacea” yang bermaksud “mengobati semua” (latin
lama); “Habbah Sawda” atau “Habbat el Baraka” yang diterjemahkan sebagai
“biji yang berkat” (Arab); “Kalonji” (india) dan “Hak Jung Chou” (China). Ia
merupakan tumbuhan herba yang tumbuh dengan tinggi kira-kira 45 cm.
Secara tradisional, biji dan minyak dari jintan hitam digunakan untuk
mengobati pelbagai jenis penyakit (Padhye et al., 2008; Rajsekhar dan
Kuldeep,2011).
Gambar 2.2 menunjukkan bunga (kiri) dan biji jintan hitam (kanan)
(Sumber : Rajsekhar dan Kuldeep, 2011).
15. 2.4.1 Klasifikasi
Klasifikasi jintan hitam :
Tabel 2.2 Klasifikasi Jintan Hitam
Kingdom : Plantae
Division
: Magnoliophyta
Kelas
: Magnoliopsida
Ordo
: Ranunculales
Famili
: Ranunculaceae
Genus
: Nigella
Spesies
: N. Sativa
(Sumber : Rajsekhar dan Kuldeep, 2011)
2.4.2 Komposisi
Jintan hitam mengandungi nutrisi seperti karbohidrat, protein dan lemak.
Selain itu, jintan hitam mempunyai vitamin dan zat-zat ion yang diperlukan
tubuh seperti tiamin, riboflavin, piridoksin, niasin, folasin ,kalsium , zat besi,
kuprum, fosfor dan sebagainya. Ia juga mempunyai asam lemak
monounsaturated fatty acids (MUFA) dan polyunsaturated fatty acids
(PUFA) (Rajsekhar dan Kuldeep, 2011).
Ia juga mengandung minyak seperti α-thujene, 2(1H)-naphthalenone, αpinene, α-phellandrene, limonene, thymoquinone, mystricin yang memberi
kontribusi dalam efek antimikroba (Gerige et al., 2009).
:
17. 2.4.3 Manfaat
Manfaat jintan hitam secara farmakologis menurut Sharma et al. (2009)
adalah mempunyai efek antimikroba, aktivitas hepatoprotektif, antidiabetik,
antifertility, antioxytoxic, sitotoksik, antihelmintic, analgesik dan sebagainya.
Rajsekhar dan Kuldeep (2011) menyatakan bahwa jintan hitam
mempunyai efek analgesik, anti inflamasi, antidiabetik, anti kanker,
antimikroba, antistress, antiepilepsi, antioksidan, aktivitas gastroprotektif,
antirheumatik, agen antielastase dan pengurangan sel darah sabit.
Penelitian secara in vivo menunjukkan gejala pada penderita rhinitis
allergi berkurang setelah konsumsi jintan hitam dan direkomendasi untuk
digunakan untuk mengobati penyakit ini apabila ada kontraindikasi dengan
obat lain (Nikakhlagh et al., 2011).
2.4.4 Efek antimikroba
Minyak jintan hitam mempunyai α-thujene, 2(1H)-naphthalenone, αpinene, α-phellandrene, limonene, thymoquinone, mystricin yang memberi
kontribusi dalam efek antimikroba (Gerige et al., 2009). Jintan hitam
mempunyai efek antibakteri karena thymoquinone, thymol, apinene, dan pcymene dengan cara thymoquinone sebagai komponen utama dapat
menghambat pembentukan asam nukleat (RNA) dan sintesis protein (Alsawaf
dan Alnaemi, 2010).
Thymoquinone dan thymohdroquinone merupakan komponen terbesar
jintan hitam. Kedua-duanya menunjukkan efek antimikroba. Thymoquinone
menghambat pembentukan biofilm bakteri dan juga mempunyai KHM
dengan konsentrasi 8-32 μg/ml terhadap beberapa strain bakteri terutamanya
bakteri gram positif seperti Staphylococcus aureus ATCC 25923 dan
Staphylococcus epidermis CIP 106510 (Halawani, 2009; Chaieb et al., 2011).
18. Pada suatu penelitian uji efek antimikroba jintan hitam terhadap multidrug resistant bakteri yang diisolasi dari beberapa sumber, dikatakan minyak
jintan hitam menunjukkan ketergantungan pada dosis yang diberikan. Bakteri
yang sensitif adalah Staphylococcus aureus,S. epidermis,Streptococcus
pyogenes dan Pseudomonas aeruginosa (Salman et al.,2008).
2.5 Madu
Madu adalah suatu substansi yang dihasilkan dari kumpulan nektar
tumbuhan setelah dikumpulkan, dimodifikasi dan disimpan dalam sarang
lebah (National Honey Board, 2003). Madu sering digunakan sebagai obat
tradisional untuk infeksi mikroba pada zaman dahulu (Sherlock et al., 2010).
2.5.1 Komposisi
Gula dan air merupakan komponen utama madu. Gula pada madu
sebanyak 95-99% yaitu monosakarida (85-95%) dimana fruktosa (38,2%) dan
glukosa (31,3%). Gula ini berbentuk 6 rantai karbon yang mudah diserap oleh
tubuh. Selain itu, terdapat juga disakarida seperti maltose, sukrosa, dan
isomaltosa. Oligosakarida ada dalam jumlah yang kecil (Olaitan, Adeleke dan
Ola, 2007).
Air merupakan komponen kedua terpenting setelah gula. Air berperan
dalam penyimpanan madu. Faktor-faktor yang mempengaruhi komposisi air
seperti cuaca dan kelembapan di dalam sarang, keadaan madu dan
pengobatan lewat ekstraksi dan penyimpanan. Terdapat 0,57% asam organik
termasuk asam glukonik (produk pencernaan enzim glukosa). Asam organik
ini berperan dalam mengatur keasaman dan rasa dari madu (Olaitan, Adeleke
dan Ola, 2007).
Mineral-mineral yang terdapat pada madu sangat kecil jumlahnya yaitu
0,17% dengan jumlah potassium yang paling banyak. Mineral lain seperti
kalsium, kuprum, ferum, mangan dan fosfor. Enzim-enzim yang dihasilkan
19. lebah terutamanya invertase (saccharase), diastase (amylase) dan glucose
oxidase berperan penting dalam pembentukan madu juga terdapat pada madu.
Vitamin C, B (tiamin) dan B2 komplek seperti riboflavin, asam nikotinik dan
B6 asam panthothenik juga didapati pada madu (Olaitan, Adeleke dan Ola,
2007).
2.5.2 Manfaat
Madu berperan dalam penatalaksanaan penyembuhan luka dengan
mencegah dan menghambat pertumbuhan bakteri sehinggu mengurangkan
beban pada luka. Mekanisme kerja ini diakibatkan faktor biokimia yang
menghasilkan hidrogen peroksida dengan enzim glukose oksidase dengan
tambahan mekanisme non peroksid (Lee, Sinno And Khachemoune, 2011).
Pada suatu studi madu, konsumsi madu setiap hari selama 2 minggu pada
mencit betina yang menunjukkan simptom menopause memberikan hasil
yang bermanfaat dan protektif. Madu yang digunakan menunjukkan
pencegahan atrofi uterus, atrofi epitel vagina, mempromosi peningkatan
densitas tulang dan mensuppresi peningkatan berat badan pada keadaan
menopause (Zaid et al., 2010). Selain itu, madu mencetus proses apoptosis
pada sel karsinoma ginjal (Samarghandian, Afshari and Davoodi, 2011)
Oligosakarida di dalam madu berpotensi sebagai prebiotik yang penting
bagi saluran cerna manusia. Dua flora normal yang penting di usus yaitu
Lactobacillus spp. (bagian distal usus halus) dan Bifidobacterium spp.
(kolon). Lactobacillus spp. dapat membantu tubuh mempertahankan dari
infeksi Salmonella. Bifidobacterium spp. pula dapat memantau pertumbuhan
yeast dan bakteri patogen pada dinding kolon dan mungkin dapat
mengurangkan risiko kanker kolon dalam (Al-Qassemi dan Rasha, 2003).
20. 2.5.3 Efek antimikroba
Madu sering digunakan sebagai obat tradisional untuk infeksi mikroba
sejak zaman dahulu. Potensi efek antibakteri berbeda bagi setiap madu
tergantung beberapa faktor
seperti asal geografis sehingga proses
penyimpanan madu. Efek antibakteri adalah karena osmolaritas, pH, produksi
hidrogen peroksida dan adanya komponen fitokimia lainnya seperti
metilgloksal (MGO) (Sherlock et al., 2010).
Madu mempunyai dua mekanisme kerja dalam melawan infeksi yaitu
melalui komponen bakterisid yang aktif membunuh sel dan gangguan pada
Quorum sensing yang melemahkan koordinasi faktor virulensi bakteri. Pada
Pseudomonas aeruginosa konsentrasi rendah madu menghambat ekspresi
MvfR, las dan rhl regulons termasuk faktor virulensi lainnya pada jaringan
Quorum sensing ( Wang et al., 2012). Mekanisme jalur peroksid madu dalam
membunuh bakteri melibatkan penghasilan radikal hidroksil dari hidrogen
peroksida dan juga beberapa komponen yang tidak diketahui dalam madu .Ini
akan menghasilkan efek sitotoksik sehingga menghambat pertumbuhan
bakteri dan degradasi DNA. Efek antibakteri ini melalui Fenton-type reaction
dan efek bakteriostatik madu ini tergantung kepada dosis yang diberikan
(Brudzynski dan Lannigan, 2012).
Madu menunjukkan aktivitas antibakteri terhadap Escherichia coli,
Pseudomonas aeruginosa, S. aureus, Actinobacter dan Stenotrophomonas.
Selain itu, madu efektif terhadap bakteri methicillin-resistant S.aureus dan
vancomycin-resistant Enterococcus (Lee, Sinno dan Khachemoune, 2011).