Dokumen tersebut membahas tentang sindrom Steven Johnson, yaitu sindrom yang mengenai kulit, mukosa, dan mata dengan gejala eritema, vesikel, bula, dan purpura. Dokumen menjelaskan penyebab, manifestasi klinis, patofisiologi, dan penatalaksanaan sindrom Steven Johnson yang mencakup pemberian kortikosteroid secara sistemik, antibiotik, infus cairan dan transfusi darah, serta terapi topikal.
7 Langkah Asuhan Keperawatan Sindrom Steven Johnson
1. SEVEN JUMP
Langkah 1 : klarifikasi istilah dan konsep
1.
Vesikel
2.
Bula
3.
Purpura
4.
Kongjungtivitis parulen
5.
Ulkus kornea
6.
Iritis
7.
Iridosiklitis
8.
Antibiotic
9.
Anti histamine
Jawaban :
1.
Vesikel adalah
a.
kantung penampung kecil yang mengandung cairan
b.
tonjolan kecil berbatas tegas pada epidermis yang mengandung cairan serosa : lepuh
kecil
2.
bulla adalah
a.
lepuhan ; suatu lesi kulit yang berbatas jelas, mengandung cairan, meninggi, biasanya
lebih dari 5 mm dalam diameter 2.
3.
Purpura adalah
a.
Perdarahan kecil didalam kulit,membrane mukosa, atau permukaan serosa
b.
Kelompok gangguan yang ditandai oleh adanya lesi purpurik,ekimosis dan cenderung
mudah memar
4.
Konjungtivitis parulen adalah juga dikenal sebagai atau terkait dengan konjungtivitis
bakteri (gangguan), pengamatan debit mata, mata lengket, infeksi bakteri mata (gangguan),
konjungtivitis mukopurulen, mata lengket
5.
Ulkus kornea adalah keadaan patologis kornea yang ditandai adanya infiltrate supuratif
disertai defekornea discontiunitas jaringan kornea yang dapat terjadi epitel sampai stroma
serta hilangnya sebagian permukaan kornea akibat kematian jaringan kornea
6.
Iritis adalah peradangan pada iris
7.
Iridosiklitis adalah radang selaput pelangi dan siliar
8.
Antibiotic adalah termasuk jenis obat yang cukup sering diresepkan dalam pengobatan
modern. Antibiotik adalah zat yang membunuh atau menghambat pertumbuhan bakteri.
2. 9.
Anti histamine adalah
Antihistamin (antagonis histamin) adalah zat yang mampu mencegah penglepasan atau kerja
histamin. Istilah antihistamin dapat digunakan untuk menjelaskan antagonis histamin yang
mana pun, namun seringkali istilah ini digunakan untuk merujuk kepada antihistamin klasik
yang bekerja pada reseptor histamin H1. Antihistamin ini biasanya digunakan untuk
mengobati reaksi alergi, yang disebabkan oleh tanggapan berlebihan tubuh terhadap alergen
(penyebab alergi), seperti serbuk sari tanaman. Reaksi alergi ini menunjukkan penglepasan
histamin dalam jumlah signifikan di tubuh.
Langkah 2 : menetapkan / mendefinisi masalah
1.
An B mengeluh nyeri terasa terbakar
2.
Pada pemeriksaan kulit An B didapatkan eritema, vesikel, bula, dan terjadi purpura
3.
Pada pemeriksaan mata An B didapatkan kelainan mata kongjungtivitis parulen,
perdarahan, ulkus kornea, iritis dan iridosiklitis
Diagnosa Medis
Diagnosa keperawatan
Syndrome
1. Gangguan integritas kulit b.d. inflamasi dermal dan epidermal
Steven Jhonson
2. Gangguan intoleransi aktivitas b.d. kelemahan fisik
3. Gangguan Persepsi sensori: kurang penglihatan b.d konjungtifitis
Langkah 3 : Analisa masalah (Curah pendapat)
1.
Apa penyebab kelainan mata kongjungtivitis parulen ?
2.
Bagaimana mekanisme terjadinya purpura ?
3.
Bagaimana bisa terjadi kelainan mata kongjutivitis parulen, perdarahan, ulkus kornea,
iritis, dan iridosiklitis ?
Jawaban :
1.
Terjadi akibat reaksi tipe III yaitu terbentuknya komplek antigen antibodi yang
membentuk mikro-presitipasi sehingga terjadi aktifitas sistem komplemen. Akibatnya terjadi
akumulasi neutrofil yang kemudian melepaskan lisozim dan menyebabkan kerusakan
jaringan pada organ sasaran (target organ). Reaksi hipersentifitas tipe IV terjadi akibat
limfosit T yang tersintesisasi berkontak kembali dengan antigen yang sama kemudian
limfokin dilepaskan sehingga terjadi reaksi radang (Djuanda, 2000: 147)
2.
Reaksi Hipersensitif tipe III
3. Hal ini terjadi sewaktu komplek antigen antibodi yang bersirkulasi dalam darah mengendap
didalam pembuluh darah atau jaringan sebelah hilir. Antibodi tidak ditujukan kepada jaringan
tersebut, tetapi terperangkap dalam jaringan kapilernya. Pada beberapa kasus antigen asing
dapat melekat ke jaringan menyebabkan terbentuknya kompleks antigen antibodi ditempat
tersebut. Reaksi tipe III mengaktifkan komplemen dan degranulasi sel mast sehingga terjadi
kerusakan jaringan atau kapiler ditempat terjadinya reaksi tersebut.
3.
Terjadi karena alergi yang mengakibatkan terjadinya reaksi hipersensitivitas tipe III dan
IV yang berakibat pada kerusakan jaringan-jaringan tertentu
Langkah 4 (menginventarisasi secara sistematis berbagai penjelasan yang telah
didapatkan kelompok pada langkah 3)
1.
Ada hubungan pemeriksaan kulit dengan nyeri panas terbakar
2.
Ada hubungan pemeriksaan kulit dan mata dengan terapi yang diberikan
Langkah 5 (merumuskan sasaran pembelajaran)
Asuhan keperawatan
4. LAPORAN PENDAHULUAN
Sindrom Steven Johnson
1. pengertian
Sindrom Steven Johnson adalah sindrom yang mengenai kulit, selaput lendir di orifisium dan
mata dengan keadaan umum bervariasi dan ringan sampai berat, kelainan pada kulit berupa
eritema, vesikel atau bula dapat disertai purpura (Djuanda, 1993: 127).
Sindrom Steven Johnson adalah penyakit kulit akut dan berat yang terdiri dari erupsi kulit,
kelainan dimukosa dan konjungtifitis (Junadi, 1982: 480).
Sindrom Steven Johnson adalah sindrom kelainan kulit berupa eritema, vesikel/bula, dapat
disertai purpura yang mengenai kulit, selaput lendir yang orifisium dan mata dengan keadaan
umum bervariasi dari baik sampai buruk (Mansjoer, A. 2000: 136).
2. Etiologi
Penyebab belum diketahui dengan pasti, namun beberapa faktor yang dapat dianggap sebagai
penyebab adalah:
A.
Alergi obat secara sistemik (misalnya penisilin, analgetik, arti piuretik)
· Penisilline dan semisentetiknya
· Sthreptomicine
· Sulfonamida
· Tetrasiklin
·
Anti piretik atau analgesik (derifat, salisil/pirazolon, metamizol, metampiron dan
paracetamol)
· Kloepromazin
· Karbamazepin
· Kirin Antipirin
· Tegretol
B.
Infeksi mikroorganisme (bakteri, virus, jamur dan parasit)
· Neoplasma dan faktor endokrin
C.
Faktor fisik (sinar matahari, radiasi, sinar-X)
D.
Makanan
5. 3. Manifestasi Klinis
Sindrom ini jarang dijumpai pada usia 3 tahun kebawah. Keadaan umumnya bervariasi
dari ringan sampai berat. Pada yang berat kesadarannya menurun, penderita dapat soporous
sampai koma. Mulainya penyakit akut dapat disertai gejala prodromal berupa demam tinggi,
malaise, nyeri kepala, batuk, pilek dan nyeri tenggorokan.
Pada sindrom ini terlihat adanya trias kelainan berupa:
A. Kelainan kulit
Kelainan kulit terdiri dari eritema, vesikel dan bula. Vesikel dan bula kemudian memecah
sehingga terjadi erosi yang luas. Disamping itu dapat juga terjadi purpura. Pada bentuk yang
berat kelainannya generalisata.
B. Kelainan selaput lendir di orifisium
Kelainan selaput lendir yang tersering ialah pada mukosa mulut (100%) kemudian disusul
oleh kelainan dilubang alat genetal (50%) sedangkan dilubang hidung dan anus jarang
(masing-masing 8% dan 4%).
Kelainan berupa vesikel dan bula yang cepat memecah sehingga menjadi erosi dan ekskoriasi
dan krusta kehitaman. Juga dalam terbentuk pseudomembran. Dibibir kelainan yang sering
tampak ialah krusta berwarna hitam yang tebal.
Kelainan dimukosas dapat juga terdapat difaring, traktus respiratorius bagian atas dan
esopfagus. Stomatitis ini dapat menyebabkan penderita sukar tidak dapat menelan. Adanya
pseudomembran di faring dapat menyebabkan keluhan sukar bernafas.
C. Kelainan mata
Kelainan mata merupakan 80% diantara semua kasus yang tersering ialah konjungtifitis
kataralis. Selain itu juga dapat berupa kongjungtifitis purulen, perdarahan, ulkus korena, iritis
dan iridosiklitis.
Disamping trias kelainan tersebut dapat pula terdapat kelainan lain, misalnya: nefritis dan
onikolisis.
Komplikasi :
Komplikasi yang tersering ialah bronkopneunomia yang didapati sejumlah 16 % diantara
seluruh kasus yang ada. Komplikasi yang lain ialah kehilangan cairan atau darah, gangguan
keseimbangan elektrolit dan syok. Pada mata dapat terjadi kebutaan karena gangguan
lakrimasi.
4. Patofisiologi
Patogenesisnya belum jelas, disangka disebabkan oleh reaksi hipersensitif tipe III dan IV.
Reaksi tipe III terjadi akibat terbentuknya komplek antigen antibodi yang membentuk mikro-
6. presitipasi sehingga terjadi aktifitas sistem komplemen. Akibatnya terjadi akumulasi neutrofil
yang kemudian melepaskan lisozim dan menyebabkan kerusakan jaringan pada organ sasaran
(target organ). Reaksi hipersentifitas tipe IV terjadi akibat limfosit T yang tersintesisasi
berkontak kembali dengan antigen yang sama kemudian limfokin dilepaskan sehingga terjadi
reaksi radang (Djuanda, 2000: 147) .
Reaksi Hipersensitif tipe III
Hal ini terjadi sewaktu komplek antigen antibodi yang bersirkulasi dalam darah mengendap
didalam pembuluh darah atau jaringan sebelah hilir. Antibodi tidak ditujukan kepada jaringan
tersebut, tetapi terperangkap dalam jaringan kapilernya. Pada beberapa kasus antigen asing
dapat melekat ke jaringan menyebabkan terbentuknya kompleks antigen antibodi ditempat
tersebut. Reaksi tipe III mengaktifkan komplemen dan degranulasi sel mast sehingga terjadi
kerusakan jaringan atau kapiler ditempat terjadinya rekasi tersebut. Neutrofil tertarik ke
daerah tersebut dan mulai memfagositosis sel-sel yang rusak sehingga terjadi pelepasan
enzim-enzim sel serta penimbunan sisa sel. Hal ini menyebabkan siklus peradangan berlanjut
(Corwin, 2000: 72).
5. Penatalaksanaan
Kortikosteroid
Bila keadaan umum baik dan lesi tidak menyeluruh cukup diobati dengan prednisone 30-40
mg sehari. Namun bila keadaan umumnya buruk dan lesi menyeluruh harus diobati secara
tepat dan cepat. Kortikosteroid merupakan tindakan file-saving dan digunakan deksametason
intravena dengan dosis permulaan 4-6 x 5 mg sehari.
Umumnya masa kritis diatasi dalam beberapa hari. Pasien steven-Johnson berat harus segera
dirawat dan diberikan deksametason 6×5 mg intravena. Setelah masa krisis teratasi, keadaan
umum membaik, tidak timbul lesi baru, lesi lama mengalami involusi, dosis diturunkan
secara cepat, setiap hari diturunkan 5 mg. Setelah dosis mencapai 5 mg sehari, deksametason
intravena diganti dengan tablet kortikosteroid, misalnya prednisone yang diberikan keesokan
harinya dengan dosis 20 mg sehari, sehari kemudian diturunkan lagi menjadi 10 mg
kemudian obat tersebut dihentikan. Lama pengobatan kira-kira 10 hari.
Seminggu setelah pemberian kortikosteroid dilakukan pemeriksaan elektrolit (K, Na dan Cl).
Bila ada gangguan harus diatasi, misalnya bila terjadi hipokalemia diberikan KCL 3 x 500
mg/hari dan diet rendah garam bila terjadi hipermatremia. Untuk mengatasi efek katabolik
dari kortikosteroid diberikan diet tinggi protein/anabolik seperti nandrolok dekanoat dan
7. nanadrolon. Fenilpropionat dosis 25-50 mg untuk dewasa (dosis untuk anak tergantung berat
badan).
Antibiotik
Untuk mencegah terjadinya infeksi misalnya bronkopneumonia yang dapat menyebabkan
kematian, dapat diberi antibiotic yang jarang menyebabkan alergi, berspektrum luas dan
bersifat bakteriosidal misalnya gentamisin dengan dosis 2 x 80 mg.
Infus dan tranfusi darah
Pengaturan keseimbangan cairan/elektrolit dan nutrisi penting karena pasien sukar atau tidak
dapat menelan akibat lesi dimulut dan tenggorokan serta kesadaran dapat menurun. Untuk itu
dapat diberikan infus misalnya glukosa 5 % dan larutan Darrow. Bila terapi tidak memberi
perbaikan dalam 2-3 hari, maka dapat diberikan transfusi darah sebanyak 300 cc selama 2
hari berturut-turut, terutama pada kasus yang disertai purpura yang luas. Pada kasus dengan
purpura yang luas dapat pula ditambahkan vitamin C 500 mg atau 1000 mg intravena sehari
dan hemostatik.
Topikal :
Terapi topical untuk lesi di mulut dapat berupa kenalog in orabase. Untuk lesi di kulit yang
erosif dapat diberikan sufratulle atau krim sulfadiazine perak.
6. Tes diagnostic
A.
Pemeriksaan laboratorium:
Tidak ada pemeriksaan labor (selain biopsi) yang dapat membantu dokter dalam menegakkan
diagnosa.
B.
Pemeriksaan darah lengkap (CBC) dapat menunjukkan kadar sel darah putih yang
normal atau leukositosis nonspesifik. Penurunan tajam kadar sel darah putih dapat
mengindikasikan kemungkinan infeksi bakterial berat.
C.
Determine renal function and evaluate urine for blood.
D.
Pemeriksaan elektrolit
E.
Kultur darah, urine, dan luka diindikasikan ketika infeksi dicurigai terjadi.
F.
Pemeriksaan bronchoscopy, esophagogastro duodenoscopy (EGD), dan kolonoskopi
dapat dilakukan
G.
H.
Chest radiography untuk mengindikasikan adanya pneumonitis
Pemeriksaan histopatologi dan imonohistokimia dapat mendukung ditegakkannya
diagnosa.
8. 7.
Diagnose keperawatan yang mungkin muncul pada klien sindrom steven Johnson
A.
Gangguan integritas kulit b.d. inflamasi dermal dan epidermal
KH: menunjukkan kulit dan jaringan kulit yang utuh
Intervensi:
• Observasi kulit setiap hari catat turgor sirkulasi dan sensori serta perubahan
lainnya yang terjadi.
Rasional: menentukan garis dasar dimana perubahan pada status dapat
dibandingkan dan melakukan intervensi yang tepat
• Gunakan pakaian tipis dan alat tenun yang lembut
Rasional: menurunkan iritasi garis jahitan dan tekanan dari baju, membiarkan insisi terbuka
terhadap udara meningkat proses penyembuhan dan
menurunkan resiko infeksi
• Jaga kebersihan alat tenun
Rasional: untuk mencegah infeksi
• Kolaborasi dengan tim medis
Rasional: untuk mencegah infeksi lebih lanjut
B.
Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d. kesulitan menelan
KH: menunjukkan berat badan stabil/peningkatan berat badan
Intervensi:
• Kaji kebiasaan makanan yang disukai/tidak disukai
Rasional: memberikan pasien/orang terdekat rasa kontrol, meningkatkan partisipasi dalam
perawatan dan dapat memperbaiki pemasukan
• Berikan makanan dalam porsi sedikit tapi sering
Rasional: membantu mencegah distensi gaster/ketidaknyamanan
• Hidangkan makanan dalam keadaan hangat
Rasional: meningkatkan nafsu makan
• Kerjasama dengan ahli gizi
Rasional: kalori protein dan vitamin untuk memenuhi peningkatan kebutuhan metabolik,
mempertahankan berat badan dan mendorong regenerasi jaringan.
C.
Gangguan rasa nyaman, nyeri b.d. inflamasi pada kulit
KH:
• Melaporkan nyeri berkurang
• Menunjukkan ekspresi wajah/postur tubuh rileks
Intervensi:
9. • Kaji keluhan nyeri, perhatikan lokasi dan intensitasnya
Rasional: nyeri hampir selalu ada pada beberapa derajat beratnya keterlibatan jaringan
• Berikan tindakan kenyamanan dasar ex: pijatan pada area yang sakit
Rasional: meningkatkan relaksasi, menurunkan tegangan otot dan kelelahan umum
• Pantau TTV
Rasional: metode IV sering digunakan pada awal untuk memaksimalkan efek
obat
• Berikan analgetik sesuai indikasi
Rasional: menghilangkan rasa nyeri
D.
Gangguan intoleransi aktivitas b.d. kelemahan fisik
KH: klien melaporkan peningkatan toleransi aktivitas
Intervensi:
• Kaji respon individu terhadap aktivitas
Rasional: mengetahui tingkat kemampuan individu dalam pemenuhan aktivitas sehari-hari.
• Bantu klien dalam memenuhi aktivitas sehari-hari dengan tingkat keterbatasan yang dimiliki
klien
Rasional: energi yang dikeluarkan lebih optimal
• Jelaskan pentingnya pembatasan energy
Rasional: energi penting untuk membantu proses metabolisme tubuh
• Libatkan keluarga dalam pemenuhan aktivitas klien
Rasional: klien mendapat dukungan psikologi dari keluarga
E.
Gangguan persepsi sensori: kurang penglihatan b.d konjungtifitis
KH :
• Kooperatif dalam tindakan
• Menyadari hilangnya pengelihatan secara permanen
Intervensi:
• Kaji dan catat ketajaman pengelihatan
Rasional: Menetukan kemampuan visual
• Kaji deskripsi fungsional apa yang dapat dilihat/tidak.
Rasional: Memberikan keakuratan terhadap penglihatan dan perawatan.
• Sesuaikan lingkungan dengan kemampuan pengelihatan:
Rasional: Meningkatkan self care dan mengurangi ketergantungan.
• Orientasikan terhadap lingkungan.
§ Letakan alat-alat yang sering dipakai dalam jangkuan penglihatan klien.
10. § Berikan pencahayaan yang cukup.
§ Letakan alat-alat ditempat yang tetap.
§ Berikan bahan-bahan bacaan dengan tulisan yang besar.
§ Hindari pencahayaan yang menyilaukan.
§ Gunakan jam yang ada bunyinya.
· Kaji jumlah dan tipe rangsangan yang dapat diterima klien.
Rasional: Meningkatkan rangsangan pada waktu kemampuan penglihatan menurun.