TUGAS BAHASA INDONESIA CERITA PENDEK TENTANG PENGALAMAN PRIBADI.
KARYA : YOHANES HENDY WIJAYA
SMA STELLA DUCE BANTUL
GURU PENDAMPING : MARIA PUDYASTUTI
1. GARA – GARA PARAFFIN
Waktu sudah menunjukan pukul setengah empat sore. Langit yang semula cerah
berubah menjadi gelap. Awan – awan mendung bergelayutan di sana – sini. Matahari
yang semula beringas berubah menjadi matahari yang pemalu, bersembunyi di awan –
awan kelabu. Aku masih belum beranjak dari tempat tidur di kamarku. Sebuah pesan
Blackberry Messenger diterima smartphoneku. Pesan itu dari Obed, temanku selama
sepuluh tahun belakangan ini. Jarak rumah kami memang tidak seberapa, hanya
beberapa ratus meter. Hari ini, kami berencana membeli paraffin untuk tugas praktek di
pusat Kota Yogyakarta.
“Hmmm, selanjutnya apa ya? Ah iya! Mandi! Berat sekali rasanya melangkahkan
kaki ke kamar mandi. Tapi demi teman – temanku, aku rela mandi seawal ini.” kataku
bicara sendiri.
Pukul 16.00, sebuah motor hitam sudah bertengger dengan manisnya di
samping rumahku. Setengah berteriak, Obed yang berada di atas motor memanggil
namaku. Aku setengah berlari kearah pintu dan bergegas menurunkan motorku. Untuk
sesaat, aku terdiam. Pesan Blackberry Messenger dari Ivanda membuyarkan
lamunanku yang melayang entah kemana. Aku langsung senyum – senyum tidak
karuan. Aku memberi isyarat untuk segera menjemput Ivanda.
“Sekarang?” Tanya Obed ragu – ragu dan langsung mengikutiku dari belakang.
Ketika sampai di rumah Ivanda, aku tak berkata – kata, tersenyum lalu
mengangguk pelan.
Setelah melewati jalan setapak di area persawahan, kami sampai di rumah
Ivanda. Rumah yang cukup terpencil di kampung yang sangatlah luas.
“Aku bonceng kamu, ya.”
“Sakkarepmu. Biasanya juga seperti itu kok.” aku melempar senyum manis.
Di utara perempatan Palbapang, kami bertemu dengan Dea dan Ristya, yang
kebetulan juga akan membeli paraffin. Dea dan Ristya memilih bergabung bersama
kami bertiga. Di perjalanan, Ivanda tidak terlalu banyak bicara. Dia hanya
menghabiskan waktu dengan mendengarkan ocehanku tentang berbagai tugas yang
menumpuk dan kekesalanku dengan Yogyakarta yang mulai sering macet. Sekali
ketemu, mungkin akan mengira aku kalem dan tidak banyak bicara, tapi coba duduk
satu meja, mungkin baru bisa berhenti bicara kalau ada orang bilang, “Kamu kok bawel
banget sih?”.
Satu jam pertama, perjalanan masih lancer dan terasa menyenangkan. Ternyata
Obed membawa kami melewati jalan yang cukup terkenal di Yogyakarta. Jalan
Mataram ini memang selalu menjadi tempat favorit para pencari barang – barang
berdiskon. Sesekali aku mengangguk – anggukkan kepala mengikuti irama lagu yang
menghentak melalui earphone, sekedar melepas jenuh dan menghilangkan penat.
Obed yang berada di depanku terlihat menepi ketakutan di area toko sepatu. Tak
butuh waktu lama, motor kami berdua sudah terparkir di depan toko. Dea dan Ristya
2. tetap melanjutkan perjalanannya, sepertinya mereka tidak memperhatikan kami bertiga
menepi. Sekejap Obed berubah menjadi kasihan, hampir tak tega memperhatikan
wajahnya terlalu lama. Sulit memang menjadi orang yang mudah kasihan. Ternyata,
didepan sana, samar - samar tampak beberapa polisi berjajar, mereka hanya mengatur
arus lalu lintas. Obed memang takut dengan polisi, entah apa yang ada dibenaknya.
Melakukan perjalanan sendiri, jadi apapun resikonya, harus dihadapi sendiri.
Tetapi ini berbeda! Kami kehilangan jejak Dea dan Ristya.
Tut… tut… tut… sambungan terputus.
Sudah dua kali aku menghubungi Dea dan Ristya, tetapi tidak ada jawaban, tak
ada sinyal. Aku menutup smartphone, semakin kesal dan cemas rasanya. Aku
memaksakan untuk tersenyum. Bagaimanapun, semuanya harus selesai secepat
mungkin.
Di Jalan Mataram, puluhan kendaraan berlalu – lalang mengejar waktu, sudah
saatnya istirahat. Kami duduk di antara etalase – etalase dan kursi – kursi yang mulai
terisi pasangan – pasangan yang sedang memilih sepatu di tempat ini. Obed masih
membuka status update di BBM-nya dan menghubungi teman - teman lain, untuk
mencari informasi keberadaan Dea dan Ristya. Ia tentu sadar akan kesalahannya.
Aku mencoba tetap tenang dan santai dengan berandai – andai memiliki
berbagai sepatu yang ada di depanku. Aku masih membuang – buang langkah
diberbagai toko. Aku menikmati waktuku untuk mengagumi keindahan warna – warna
dan bentuk berbagai macam sepatu. Beberapa kali aku menyentuh dan
mengabadikannya dengan kamera.
“Bagus – bagus, ya, sepatu – sepatunya.” Aku mendekati Ivanda dan Obed yang
sedang duduk dibangku kayu dibawah sebuah pohon rindang.
Berhubung kondisi keuangan sedang menipis, aku memutuskan membeli
masker, meskipun sebenarnya di rumah memiliki beberapa. Tak ada salahnya memberi
sedikit rezeki kepada pedagang kaki lima di sana.
“Masker satu berapa, Bu?”
“Murah, Dik. Buat sampeyan saya beri harga grosir, empat belas ribu saja.” Kata
ibu penjual tersenyum sambil menerima uang dua lembar uang sepuluh ribuan.
“Kembaliannya buat sampeyan saja.”
“Oh, ya, terimakasih, Dik. Boleh ibu tahu nama kamu? Sinten asmane?”
“Hendy.” Aku mengangguk dan menjawab dengan senyum malu – malu khas
anak Yogya.
Ibu itu menggulurkan tangannya. Tadinya aku tidak ingin menyambut jabat
tangannya, tetapi aku tidak ingin dianggap menyepelekan lawan bicara, nanti bisa
dinilai orang aku tidak sopan.
Tenang. Aku kembali memasang earphone untuk menutupi kedua telingaku.
Bisa dikatakan aku tidak akan bisa berpikir tanpa mendengarkan music. Aku mulai
3. berpikir dengan logika. Dea dan Ristya tentu sudah terbiasa dengan jalan kota, bukan
anak kampung yang baru sekali masuk kota.
Kurang dari satu jam matahari akan tenggelam. Ini belum berakhir. Matahari
masih saja bercahaya. Bahkan, matahari memberikan penampilan terbaiknya pada
detik – detik sebelum dia tenggelam di ufuk barat. Dengan penuh keyakinan, kami
berencana mencari paraffin di lokasi lain.
“Pak, kalau Purawisata lokasinya di mana, ya?” tanyaku pada petugas parkir
berbadan tambun.
“Jalan Brigjen Katamso, dari sini ke selatan, melewati tiga lampu merah, kanan
jalan.”
“Terimakasih, Pak.” Aku mengangguk seolah paham.
Kami ke Purawisata bukan untuk melihat konser dangdut, tetapi didekat
Purawisata terdapat toko kimia yang cukup terkenal.
“Mas, minta tolong, mau menyebrang.” Pintaku kepada petugas parkir muda.
“Kamu tidak bisa menyeberang sendiri? Anak sekarang manja.” Jawabnya ketus
sambil mengunyah beberapa biji kacang tanah rebus.
Sengaja aku tak memberi uang parkir. Petugas parkir itu mengumpat pelan. Aku
membalasnya dengan acungan jari tengah, telunjuk, jari manis, kelingking, dan jempol
sekalian. Kami meninggalkan deretan toko secepat yang kami bisa dengan setengah
kesal sebelum hujan turun membasahi Kota Yogyakarta, sebelum semua orang tumpah
ruah di jalan raya untuk pulang ke rumah masing – masing.
Kurang dari setengah jam berikutnya, setelah memanfaatkan GPS yang kadang
kurang akurat, kami telah tiba di Purawisata yang kondisi bangunannya rusak parah.
Perkampungan padat itu terlihat sepi. Aku melihat seorang sedang duduk klesotan di
antara remang cahaya lampu. Antara ingin tanya dan malu bertanya. Antara ingin tahu,
mau tahu, dan mau tidak mau. Kami buru – buru mematikan mesin motor, lalu turun
dan menghampiri penarik becak.
“Permisi, Pak. Maaf, lokasi toko kimia disekitar Purawisata di mana, ya?” tanyaku
tanpa basa - basi.
“Kalau setahu saya, di sini tidak ada toko yang menjual bahan – bahan kimia.”
ungkap penarik becak memandang datar sambil menaikkan penumpang.
“Oh, ya, makasih.” tukasku kalem, melempar senyum lalu melangkah begitu saja
meninggalkan penarik becak yang menaikkan penumpang.
Aku menggelengkan kepala dan menghela napas panjang, lalu duduk di
kompleks Purawisata. Ivanda dan Obed tampak melamun. Kami tetap duduk di kursi
kayu selama beberapa menit, lantas kemudian bersama – sama meninggalkan
Purawisata.
Aku mendapati sebuah alamat disebuah papan petunjuk, “Sari Toko Bahan Batik
dan Kimia. Jalan Brigjen Katamso No. 91B, Prawirodirjan, Gondomanan, Kota
Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta.” Google Maps menginformasikankan bahwa
4. toko sudah berada di depan mata. Dengan penuh harap, aku tersenyum membaca
informasi tersebut.
Lamat – lamat terdengar adzan maghrib dari sebuah masjid. Mataku kemudian
fokus membaca keterangan waktu buka toko. Aku menepuk keningku sendiri. Toko
kimia tutup sebelum maghrib datang. Smartphone kembali kututup dan tersenyum
kecut. Kami bertiga memandang ke mana saja mata ingin memandang, sembari
menenangkan pikiran. Menghirup dalam – dalam atmosfer seni sebagai daerah
istimewa yang seolah bertebaran di seluruh penjuru kota.
_ _ _
Aku lantas memutuskan untuk mengambil dompet dan melangkahkan kaki
mencari minum di sebuah mini kantin lantai dasar Mall Jogjatronik. Baru ingat ternyata
aku belum minum dari siang. Kami duduk lalu memesan teh melati, daun teh dengan
campuran bunga melati.
Sekitar lima belas menit kemudian . . .
“Ini Mas, es tehnya.”
Terdengar suara lembut yang jelas – jelas bukan suara yang dilembut –
lembutkan. Suara yang terdengar seksi.
Hening. Terkadang, ketika aku mulai lelah dengan pertanyaan – pertanyaan
mereka yang mungkin saya anggap sepele, jawaban sekenanyalah yang saya
sampaikan sampai tetes penghabisan terakhir segelas teh cup dinginku. Diam – diam,
sesekali aku mengalihkan pandanganku pada perempuan penjaga kedai,
kecantikannya sungguh sulit untuk ditolak dan mengalihkan pandangan. Dengan
kemeja putih yang sudah dibuat body fit alias pas dengan badannya yang mempesona.
Setiap kali ia melirik ke arahku, aku selalu berusaha berpura - pura tidak
memandangnya. Malu juga kalau ketahuan. Mungkin memang banyak wanita
sepertinya pada zaman sekarang. Aku tidak menyalahkan, toh aku melihat sendiri
perjuangannya mencari uang dengan memanfaatkan keindahan wajah dan tubuhnya
sebagai penjaga kedai, jadi pusat perhatian setiap kali melintas kedai.
Kulihat jarum jam sudah menunjukkan pukul setengah tujuh malam. Lima jam
sudah berlalu dari waktu pulang sekolah. Tak terasa malam telah menjelang, udara
dingin mulai merasuk, langit tak lagi biru, dan kegelapan merayapi kota menambah
syahdunya malam. Kutengadahkan kepalaku sejenak, kupandangi langit yang
bertaburan penuh bintang.
Rasa hati sebenarnya masih ingin mencari dan terus mencari. Ah sudahlah.
Rasa malas telah menjalar disekujur tubuhku.
Aku memutuskan untuk segera pulang. Aku menerima feeling yang kurang baik.
“Sudah malam, pulang saja, yuk!”
“Lah, kita kan belum beli paraffin, kalau dimarahi Bu Kristin?” Obed mulai merasa
was – was.
5. “Hm. Nggak usah takut. Lha wong Bu Kristin aja guru baru kok.”
Aku tertawa mendengar kalimat yang dilontarkan Ivanda.
“Hm. Apa bedane? Kita juga siswa baru di sekolah.” Kataku dalam hati sambil
mengernyitkan dahi.
Tidak dipungkiri, kadang aku kebingungan untuk menyalahkan atau
membenarkan keputusanku untuk pulang.
“Henceeek…” suara Obed memecah lamunanku, memanggil nama ngetrend –
ku.
“Ya?” sahutku.
“Cepat sedikit!” ajaknya. Kaki – kaki kecil kami berjalan begitu gesit mencari –
cari celah jalan diantara roda – roda kendaraan yang terparkir.
Perjalanan belum selesai. Kami menuju ke toko Mayar, toko yang sebenarnya
lebih mirip dengan minimarket. Toko Mayar terkenal di Bantul, karena memiliki letak
yang strategis dekat dengan perumahan warga dan keramahan serta harganya yang
murah. Ketika masuk toko, sang kasir memberi salam.
“Selamat datang di toko Mayar, selamat belanja.”
Ah, kata – kata itu sungguh sangat familiar di telinga.
“Ini saja? Ada tambahan lain? Isi pulsanya sekalian? Ada kartu member?”
Aku menggeleng.
“Ada uang pas? Uangnya sepuluh ribu, ya.”
Aku menggeleng lalu tersenyum.
_ _ _
Malam itu, Obed berinisiatif mengajak aku dan Ivanda untuk melewati jalan desa
tengah bulak demi menghindari polisi. Jalan yang akan kami lewati sangat popular bagi
pengendara yang tidak bersurat – surat lengkap, jalan gaburan dara. Tetapi, sepertinya
jalan yang kami lalui bukan seperti biasanya. Tak kulihat satu orangpun yang muncul
dari ujung jalan itu, bahkan tidak ada ayam berseliweran, apalagi berebutan makan. Di
depan kami, tampak pengendara motor yang tiba – tiba menghilang seperti ditelan
gelapnya malam.
Hari pun semakin beranjak gelap dan semakin mencekam. Sekilas, aku
melemparkan pandangan ke sekitar. Pohon – pohon tua berakar gantung yang berdiri
angker di pinggir jalan, daun – daun kering yang berseliweran tertiup angin persawahan
membangkitkan pikiran – pikiran burukku.
Aku menarik napas dalam – dalam. Kuburan. Glek… Aku merasa telingaku
berdengung keras, membuatku mendadak tuli. Jantungku baru saja berhenti berdetak.
Dadaku terasa begitu sesak, seperti ditindih beban yang lumayan berat, membuatku
tidak dapat bernapas dengan baik.
Rasa dingin menghujam tubuhku tanpa terduga, membuatku mendadak
menggigil hebat membeku. Rasanya ingin berteriak dan berlari , tak akan pernah
6. kembali lagi untuk berada di sini. Kami lalu putar balik dan terus mempercepat laju
kendaraan tanpa menoleh lagi diikuti.
Kami berhenti di dekat toko Mayar lagi. Tak seperti tadi, kami menepi di pinggir
jalan raya. Tangan masih terasa kaku. Kaki lemas, seakan – akan persendian siap
ditarik. Hmm. Aku menghela napas panjang. Rasa sesak di dada mulai berkurang. Aku
bisa bernapas sedikit lega.
Aku bercermin. Kupandang wajahku, tampak raut wajah pusat pasi diantara
kabut – kabut dingin dan debu yang menempel di kaca spion. Maklumlah, jalan di
daerah kampung masih berbatu dan bertanah lempung.
“Ah, ternyata kita masih tetap hidup.” Kataku kepada Ivanda, yang sedari tadi
duduk terdiam dibelakangku.
Kembali ku tatap wajah kedua temanku. Wajah mereka pun basah karena
keringat. Dingin yang kami rasakan seolah – olah larut bersama keringat ini. Aku
tersenyum. Sebaris senyum lebar menghias wajah ku. Tanganku berkacak di kedua
pinggangku.
“Tadi itu kuburan?” “Kok ada pendapanya?” tanya Obed dan Ivanda hampir
bersamaan.
Aku tidak mengiyakan betul atau salah pertanyaan mereka. Biarkan mereka
sendiri yang mencari tahu jawabnya.
“Ah ha ha ha… Dasar pengecut! Penakut! Hah.” Kalimat bernada bullying
terlontar dari mulutku untuk mencairkan suasana. Namanya juga berteman, serasa ada
yang kurang tanpa bullying.
Ya, sejak awal aku akrab dengan dunia supranatural. Penakut tapi dekat dengan
hal – hal horror, tetapi sama sekali tak berminat dengan hal – hal berbau makhluk gaib.
---
Jam menunjukan pukul 21.00, aku sudah tidak sabar untuk segera tiba di rumah.
Sembari melewati jalan setapak menuju rumah, aku memandang gelapnya langit
malam sambil tak henti berucap, “Terima kasih, Tuhan”.
Waktu menunjukan pukul setengah sembilan. Pintu rumah belum tertutup rapat.
Aku kemudian mulai masuk rumah.
Kreeek.. Ngiiik…
Bersamaan dengan suara menderit, kayu berdinding gebyog terbuka. Aku
melepas sandal dan membersihkan kakiku di keset bertuliskan Welcome.
Sesampainya di dalam rumah, aku menyapa seisi rumah, “Halloo?”. Tidak ada
satupun orang yang menjawab. “Halloo?” sapaku lagi. Tetap tidak ada yang membalas.
Televisi layar cembung hitam putih menyuguhkan sinetron Tukang Bubur Naik
Haji di RCTI. Televise masih menyala, merupakan indikasi masih adanya kehidupan di
rumah. Ya, sinetron ini merupakan kesukaan simbah putri. Tetapi, di mana simbah?
Mungkin simbah sibuk menyeterika baju kebaya dan kain jariknya lusuhnya.
7. Waktu sangat cepat berputar. Aku memutuskan untuk beringsut masuk ke kamar
tidur. Kain seprai tampak lungset. Begitu juga bantal dan guling sudah tidak beraturan
letaknya. Lelah, satu kata penuh makna.
Seandainya aku punya mesin waktu, seandainya aku boleh meminta kepada
Tuhan, aku ingin memutar kembali waktu pulang sekolah hari ini. Cukup membeli lilin
merk cap Matador di warung Mbak Marsih atau Mbokdhe Koso, atau bahkan cukup
meminta lilin – lilin bekas yang mengeras dan menempel di pelataran Candi Ganjuran,
tanpa perlu membuang – buang bensin ke sana ke sini mencari paraffin. Ah, suatu
kebodohan!
Deru angin memasuki jendela menambah indah dan syahdunya malam. Aku
menatap ke luar jendela dan merenung dan terbang tinggi dalam khayalanku malam itu.
Beberapa SMS diterima smartphoneku, tertanda pukul 19.00 WIB. Kali ini, SMS
berasal dari Ristya.
“Kamu di mana?”
“Aku sudah di rumah.”
Aku masih linglung karena tadi sudah menerawang jauh entah ke mana sambil
membuka beberapa pesan.
“Wis. Sakkarepmu.” jawabku agak ketus.
Kembali sebuah pesan SMS diterima smartphoneku.
“Maaf pulsa Anda tidak mencukupi. Silahkan isi ulang pulsa untuk mengakses
layanan.” tulis operator Indosat.
Esok pagi hari Selasa. Biasanya, selepas mandi aku mulai mempersiapkan
materi dan buku – buku yang akan kubawa. Namun, malam ini merasa layak mendapat
pengecualian untuk beristirahat sejenak dari padatnya aktivitas. Beristirahat akan
sangat berguna untuk mengembalikan semangatku menjalani aktivitas pada hari – hari
berikutnya. Kalau sampai malam ini tidak tidur pulas, tentu saja esok pagi badan berasa
pegal semua, padahal Selasa merupakan hari panjang bagiku. Bukan hanya itu, faktor
guru piket yang terkenal tidak santai selalu membayangiku, Pak Iskiyat Widihargo dan
Pak Bambang Hermanto. Aku mulai memejamkan mata, menenangkan diri.