Ramadhan semula berniat membuang ayahnya Panang Aman ke hutan karena merasa terbebani merawatnya. Namun ketika menemukan jambu di hutan, Panang mengingatkan Ramadhan akan kasih sayang masa lalu, membuat Ramadhan menyadari kesalahannya dan memutuskan untuk membawa ayahnya pulang.
RENCANA + Link2 MATERI Training _"SISTEM MANAJEMEN MUTU (ISO 9001_2015)".
Cerpen
1. Jambu Untuk Anakku
Riuhnya bunyi dedaunan di sebabkan angin pagi yang gelisah. Kicauan burung hutan memecah
kesunyian. Sang mentari memercik sinarnya pada wajah-wajah yang saling bercermin pada bola mata
masing-masing. Terlihat dua orang ayah dan anak sedang bertatapan. “Tidak nak, Abah sangat mengerti,
Abah juga minta maaf karena sudah banyak menyusahkanmu.” Panang Aman mengusap bahu
Ramadhan. “Tidak Bah, memang sudah kewajiban seorang anak untuk merawat dan menjaga orangtua
yang telah membesarkan dengan segenap jiwa dan raga.” Ucap lirih Ramadhan dengan nada rendah.
Terlihat penyesalan yang mendalam pada dirinnya.
Lima puluh tahun yang lalu di sebuah desa tampak rumah berukuran kecil dan sangat
sederhana. Dinding-dinding rumahnya hanyalah terbuat dari anyaman bambu atau sering disebut
palupuh dalam Bahasa Banjar. Sedang atapnya terbuat dari daun rumbia yang sudah tersusun rapi.
Rumah sederhana itu dihuni oleh sepasang suami istri. Panang Aman dan Acil Siti mereka sering disebut.
Dalam Bahasa Indonesia, Panang adalah paman dan Acil adalah bibi. Sudah hampir sepuluh tahun
Panang Aman dan Acil Siti masih belum dikaruniai anak. Hari-hari mereka terasa hampa tanpa kehadiran
seorang anak. Akan tetapi mereka selalu ikhlas diiringi dengan berusaha dan berdoa kepada Allah SWT.
Panang Aman adalah seorang petani yang sangat rajin. Hasil taninya baik sayur maupun buah
akan dijual di pasar dan sebagian lagi untuk keperluan di rumah. Dan istrinya Acil Siti selalu menemani
suaminya di sawah sembari mencari daun-daun pisang yang juga akan dibawa ke pasar untuk dijual.
Walau hasil yang didapat tidak seberapa. Namun, itu sudah cukup untuk memenuhi keperluan mereka
berdua.
Selepas Isya. Terhampar gelap yang panjang. Suara aliran sungai menjadi musik yang mengiringi
bambu dengan julangan tinggi, saling bergesekan dengan suara daun-daunnya seolah berbisik-bisik.
Rembulan dengan manja didampingi seekor bintang mengintip pembicaraan dari sebuah rumah
sederhana yang tak jauh dari sungai. Terlihat Acil Siti menutup jendela karena angin yang dingin masuk
tanpa permisi. “Ka, pian kada dulakkah, kita ini beduaan aja di rumah. Padahal sudah sapuluh tahun kita
menikah.” Ucap acil siti sambil mengikat daun-daun menjadi beberapa bagian yang akan dijual besok
pagi. “Ya, handak kaya apa pang ding, amun Allah balum membari. Kita harus sabar. Ujar Bidan
kandungan pian kada bemasalah, mungkin Allah belum mempercayai kita untuk segera baisi anak. Kita
juga jangan berhenti memohon kepada Allah agar kita dikaruniai anak suatu saat nanti.” Jawab Panang
Aman dengan bijaksana sembari mengangkat kopiah di kepalanya untuk menggaruk kepalanya yang
gatal. “Inggih, Aamiin.” Acil siti menghitung daun-daun yang sudah diikatnya. “Ya sudah, ayo kita tidur.
Besok kita pagi-pagi sudah harus pergi ke pasar.” Panang menuju kasur dengan meletakkan kopiahnya di
sisi kasur. Sementara Acil Siti masih sibuk membereskan daun-daunnya. Tak ada hari terlewatkan tanpa
rangkaian doa-doa dari sepasang suami istri yang selalu sabar dan tawakkal.
2. Panang Aman dan Acil Siti tak pernah bosan untuk berdoa. Beberapa bulan kemudian, rahmat
pun datang menghampiri mereka. Doa-doa mereka dijawab oleh Tuhan. Doa-doa yang tak pernah putus
setiap hari bahkan detik itu. Mungkin saja Tuhan sudah bosan mendengar doa-doa mereka.
Sembilan bulan Acil Siti mengandung. Pada bulan Ramadhan ia melahirkan anak laki-laki. Ketika
tangisan bayi terdengar, alangkah senang hati Panang karena doanya selama ini telah dijawab oleh Allah
SWT. Namun wajahnya berubah sedih seketika, ketika bidan beranak mengatakan bahwa Acil Siti sudah
meninggal beberapa menit yang lalu ketika melahirkan bayinya. Kematian Acil Siti kemungkinan
disebabkan oleh kehamilan di usia tua. Panang Aman sangat sedih dengan kejadian itu. Walau dia
sedang berbahagia mendapat seorang putera. Namun kehilangan seorang istri yang sudah
mempertaruhkan hidupnya juga membuat hatinya hancur. Panang Aman sadar semua kejadian yang
menimpanya adalah memang sudah suratan takdir. Ia yakin ini sudah keputusan dari yang Maha Kuasa.
Di mana akan ada hikmah dibalik semua ini. Ia mencoba untuk tidak begitu larut dalam kesedihan
karena ia masih mempunyai anak yang harus dijaga.
Ramadhan adalah nama yang diberikan oleh Panang Aman untuk anak semata wayangnya. Di
mana maksud dari kata Ramadhan adalah bulan kelahiran Ramadhan yaitu pada bulan suci Ramadhan.
Hari demi hari dilalui Panang dengan penuh kesabaran. Merawat seorang bayi bukanlah perkara
gampang terutama bagi seorang laki-laki. Ia merawat Ramadhan dengan penuh kasih sayang, hingga
seekor nyamuk pun tidak ia biarkan mendekati tubuh Ramadhan.
Ramadhan tumbuh dengan sehat dan pintar. Diusianya yang lima tahun ia sudah pandai
membaca Al Qur’an karena Panang selalu mengajarinya setiap malam dengan hanya menggunakan
penerangan lampu minyak. Panang Aman selalu menuruti apa yang diminta oleh Ramadhan. Sehingga,
Ramadhan jarang menanyakan tentang ibunya. Ia juga selalu membawa Ramadhan kemanapun ia pergi.
Panang selalu mengajak Ramadhan memancing, ke sawah dan ke pasar. Ia juga sering mengajak
Ramadhan bermain. Panang Aman bisa menjelma menjadi sosok ibu dan juga teman.
Ramadhan kecil sudah tumbuh dewasa. Ia selalu menolong Bapaknya di sawah dengan sedikit
belajar cara bertani dan menjual hasil taninya ke pasar. Dan akhirnya ia menjadi anak yang mandiri.
Karena Ramadhan sudah dewasa dan sudah mandiri. Maka, Panang Aman menikahkannya dengan
seorang gadis yang tak jauh dari rumahnya.
Ramadhan sudah berkeluarga. Ia dan istrinya tinggal satu rumah dengan bapaknya. Dan tidak
berapa lama kemudian Ramadhan dikaruniai seorang anak laki-laki yang sangat dikasihinya. Usia Panang
bertambah tua. Wajahnya sudah banyak berkerut, matanya tak lagi cerah, tatapan matanya sayu,
tangannya yang tak lagi kuat dan tubuhnya yang tak lagi kekar seperti dulu. Panang hanya bisa berbaring
penuh kepasrahan tanpa daya. Ia hanya bisa memandang cucunya yang sudah berusia 10 tahun. Tanpa
bisa mengajaknya bermain-main seperti dulu ia dengan Ramadhan anaknya. Mainan apapun yang
Ramadhan kecil minta buatkan selalu ia kabulkan dengan tangannya yang terampil dan kuat. Ia pun
teringat raut wajah cerah Ramadhan kecil yang sedang memamerkan mainannya kepada teman-temannya.
Lamunan masa lalu pun mengahantarkannya pada sebuah mimpi yang memutar memori
3. lama. Di usia Panang yang sudah tua renta dengan terpaksa Ramadhan dan istrinya harus merawat dan
menuruti semua kehendak bapaknya.
Panang Aman sudah tidak bisa melakukan apa-apa lagi. Ia juga sedikit cerewet dan sering
membuat kesal. Lama-kelamaan Ramadhan merasa lelah dengan keadaan bapaknya. Sehingga ada niat
buruk yang akan dilakukanya pada bapaknya. Apakah Ramadhan sudah lupa atas semua kasih sayang
dan jerih payah bapaknya selama ini, hingga ia bisa hidup berkecukupan seperti ini. Apakah ia sudah
lupa segalanya. Apakah ia tak ingin membalas semua jasa bapaknya dengan merawat bapaknya dengan
ikhlas di masa tua bapaknya yang sudah tak berdaya.
Suatu hari munculah pikiran jahat Ramadhan untuk membuang bapaknya ke hutan. Entah
kenapa pikiran itu ada di dalam benaknya. Iblis apakah yang telah menghasutnya. Hatinya begitu kerdil
untuk menerima keadaan bapaknya. Tapi setidaknya Ramadhan masih mempunyai sekerikil hati hingga
dia tidak membunuh bapaknya secara langsung. Namun, tetap saja membuangnya ke hutan berarti
sudah tidak mengharapkan kehadirannya lagi. Bukankah itu sama saja membunuh bapaknya dari hati
dan pikirannya. Membuangnya ke hutan juga bisa membunuh secara fisik dengan perlahan bahkan
cepat. Sudah pasti di hutan banyak binatang buas yang siap memangsa bapaknya. Sungguh Ramadhan
sangat keterlaluan dan sampai hati berniat seperti itu.
Saat pagi yang masih berselubung kabut. Terasa hawa dingin merasuk kulit. Ramadhan
menggendong bapaknya memasuki hutan. Bapaknya tampak kedinginan karena tidak menggunakan
pakaian tebal. Di tengah perjalanan “Nak, kenapa ikam menggendong abah? handak dibawa ke mana
Abah?” Tanya Panang Aman dengan cemas. “Ah, Abah neh! Sudah, bediam aja jangan banyak takun.”
Hardik Ramadhan dengan marah.
Semak demi semak ia celahi. Hutan belantara telah ia masuki. Tanpa disadari kaki Panang Aman
terkena tumbuh-tumbuhan yang melukai. Tampak ia menahan perih. Sakit. Panang Aman mulai
menyadari bahwa ia akan dibuang ke hutan oleh anaknya sendiri. “Nak, mau kamu bawa kemana abah
nak, Jangan kamu buang abah nak. Maafkan abah yang sudah menyusahkan ikam juga istri ikam selama
ini.” Panang Aman memohon kepada Ramadhan dengan berderai air mata. Ramadhan terus berjalan. Ia
tak sedikitpun menggubris kata-kata bapaknya. Dan sama sekali tidak tersentuh oleh tangisan bapaknya.
Sesekali Ramadhan membenarkan posisi gendongan bapaknya. Saat itu juga bapaknya
berpegangan dengan erat. Tiba-tiba … Prak … Ramadhan hampir tergelincir karena terinjak jambu biji
yang lumayan besar. Warnanya sangat hijau, ranum namun ada sedikit bekas gigitan kelelawar.
Sedangkan di sekitar itu tidak ada pohon jambu. Mungkin jambu tersebut dijatuhkan oleh kelelawar.
Entahlah. Ramadhan berhenti dan menurunkan bapaknya. Ia sandarkan bapaknya pada sebuah pohon
besar. “Kenapa berhenti Nak?” Ramadhan tidak menjawab. Ia memungut jambu itu lalu
membersihkannya dengan tangan. “Bapak tahu, pasti kamu ingin membawa jambu itu pulang kan?
Untuk anakmu Ali. Karena ia sangat suka jambu Karantukal (jambu biji)” ucap Panang Aman dengan
sedikit tersenyum. Ramadhan tersentak. “Abah dulu juga begitu denganmu nak. Jika Abah mau mencari
kayu bakar di hutan, kamu selalu minta carikan jambu karantukal hutan yang besar. Dan Abah selalu
4. berusaha membawakannya untukmu. Saat Abah bulik ikam sudah mehadang di muhara lawang
menunggu si jambu karantukal kesukaan ikam. Dan pasti anakmu juga akan seriang itu ketika kau pulang
nanti.” Papar Panang Aman sembari menyeka air mata. Ramadhan terkulai lesu ketika mendengar
ucapan bapaknya. Ia teringat akan kasih sayang bapaknya ketika ia masih kecil. “Abah…” Ucap lirih
Ramadhan dengan wajah penuh penyesalan. “Nak, teruskan perjalannmu. Abah ikhlas jika kau benar
ingin membuang abah. Abah sadar sekarang sudah tidak bisa melakukan apa-apa lagi. Mungkin sebentar
lagi Abah juga akan mati.” Panang mengangkat tangannya yang gemetar menunjukkan bahwa ia siap
untuk dibawa ke manapun. Sedangkan Ramadhan menatap wajah bapaknya yang penuh pasrah. Ia
mendekati bapaknya. “Tidak Abah, kita akan pulang. Sekarang aku sadar betapa abah sudah sangat
menyayangi dan mengasihiku saat aku kecil hingga dewasa. Ulun anak yang durhaka Bah, ulun sudah
berniat untuk membuang pian. Ampuni ulun Bah, ampuni dosa-dosa ulun Abah…” Ramadhan menangis
sejadi-jadinya. Ia sangat menyesal.
Cerpen Karangan: Siti Mahillah