JUKNIS INISIASI PENGOBATAN TBC RO DI PUSKESMAS(komplit).pdf
Bab v kelarutan (Farmasi Fisika)
1. BAB V
PEMBAHASAN
Kelarutan suatu zat merupakan faktor yang sangat penting dalam suatu
proses formulasi sediaan obat. Karena ini digunakan untuk memperkirakan
kecepatan absorpsi obat dan merupakan salah satu cara untuk meningkatkan
ketersediaan hayati suatu obat di dalam tubuh. Ketersediaan hayati sangat
tergantung dari kemampuan zat tersebut melarut ke dalam media pelarut sebelum
diserap ke dalam tubuh.
Kelarutan dalam besaran kuantitatif sebagai konsentrasi zat terlarut dalam
larutan jenuh pada temperatur tertentu dan secara kualitatif didefinisikan sebagai
molekuler homogen. Kelarutan suatu bahan dalam suatu pelarut tertentu
menunjukkan konsentrasi maksimum larutan yang dapat dibuat dari bahan pelarut
tersebut. Hasil dari zat yang tersebut ini disebut larutan jenuh.
Kelarutan suatu zat terutama obat sebagian besar disebabkan oleh polaritas
dari pelarut, yaitu oleh momen dipolnya. Pelarut polar melarutkan zat terlarut
ionik dan zat polar lain. Kemampuan zat terlarut membentuk ikatan hidrogen
merupakan faktor yang jauh lebih berpengaruh dibandingkan dengan polaritas
yang direfleksikan dalam dipol momen yang tinggi.
Selain itu, kelarutan suatu senyawa bergantung pada sifat fisika dan kimia
zat terlarut dan pelarut. Selain itu, juga bergantung pada faktor temperatur,
tekanan, pH, dan untuk jumlah yang kecil bergantung pada terbaginya zat terlarut.
Salah satu sifat fisika yang mempengaruhi kelarutan adalah konstanta dielektrik
pelarut. Konstanta dielektrik adalah suatu besaran tanpa dimensi yang merupakan
rasio antara kapasitas elektrik medium (Cx) terhadap vakum (Cy). Konstanta
dielektrik dapat dirumuskan sebagai berikut.
Cx
ε
Cv
Konstanta dielektrik berhubungan dengan kepolaran suatu zat. Zat yang
memilki konstanta dielektrik dengan nilai yang tinggi merupakan zat yang bersifat
29
2. polar. Sebaliknya, zat yang konstanta dielektriknya rendah merupakan senyawa
nonpolar. Senyawa yang digunakan dalam percobaan ini adalah asetosal.
Sedangkan pelarut yang digunakan merupakan pelarut campur sebanyak 100 ml
yang terdiri dari air, alkohol, dan propilen glikol. Pelarut campur dibuat dalam
tujuh komposisi yang berbeda-beda seperti pada tabel berikut.
Air Alkohol 95% Propilenglikol
60 0 40
60 20 20
60 40 0
Cairan propilenglikol memiliki sifat yang lebih kental cairannya
dibandingkan air dan alkohol. Pada saat pencampuran ketiga cairan,
propilenglikol tidak bisa cepat larut, diperlukan pengocokan untuk
menghomogenkan cairan tersebut.
Semakin rendah konstanta dielektrik pelarut campur yang digunakan,
semakin besar konsentrasi asetosal yang dapat larut di dalamnya. Hal ini
disebabkan karena asetosal sukar larut dalam air, namun mudah larut dalam
etanol. Sehingga, semakin banyak jumlah etanol dalam pelarut campur, semakin
besar konsentrasi asetosal terlarut. Konstanta dielektrik etanol memiliki nilai yang
rendah sehingga semakin besar jumlah etanol dalam pelarut campur, semakin
rendah konstanta dielektrik dari pelarut campuran.
Pada suatu campuran pelarut, tetapan dielektrik campuran merupakan hasil
penjumlahan tetapan dielektrik masing-masing bahan pelarut sesudah dikalikan
dengan % volume setiap komponen pelarut. Sehingga, dari komposisi pelarut
yang digunakan dalam pelarut campur, konstanta dielektrik dari pelarut campur
dapat ditentukan.
Untuk mengukur kelarutan asetosal dalam campuran pelarut maupun
kelarutan asam benzoat ketika adanya penambahan surfaktan, dilakukan proses
titrasi. Dalam hal ini, titrasi menggunakan larutan NaOH 0,1 N. Pembuatan NaOH
0,1 N dilakukan dengan melarutkan 400 mg NaOH ke dalam 100 ml air, lalu
diaduk hingga homogen. Konsentrasi ini diperoleh dari perhitungan berikut:
30
3. g = N x V x BE
= 0,1 N x 0,1 L x (40/1)
= 0,4 g
Pertama kali uji kelarutan dilakukan dengan melarutkan asetosal ke dalam
masing-masing pelarut campur sedikit demi sedikit. Ternyata, asetosal tidak
mampu melarut ke dalam pelarut campuran. Oleh karena itu, larutan kemudian
dilarutkan menggunakan mixer selama 5 menit sampai diperoleh larutan jenuh.
Larutan jenuh ini ditandai dengan adanya asetosal yang tidak dapat melarut lagi.
Larutan jenuh yang diperoleh disaring menggunakan kertas saring, tujuan dari
penyaringan ini untuk memisahkan serbuk asetosal yang tidak larut lagi dalam
larutan jenuh sehingga hasil yang akan diukur hanyalah dalam bentuk larutan saja.
Larutan jenuh asetosal kemudian ditambahkan indikator fenoftalein sebanyak 2
tetes, diaduk sampai homogen. Selanjutnya dilakukan titrasi sampai terjadi
perubahan warna larutan dari bening menjadi merah muda. Titrasi yang dilakukan
adalah titrasi asam basa yaitu titrasi terhadap kelarutan asetosal terhadap larutan
yang berasal dari basa dengan menggunakan indikator fenoftalein. Indikator
fenoftalein dipilih karena rentang pH yang dimilikinya, yaitu berkisar antara 8-10.
Fenoftalein ini berfungsi untuk mempercepat reaksi, selain itu menetapkan atau
mengetahui titik akhir titrasi atau titik ekuivalen. Titik ekuivalen titrasi adalah
titik di mana larutan titran dan larutan uji telah bereaksi sempurna yang ditandai
dengan terjadinya perubahan warna.
Titrasi harus dilakukan dengan cepat untuk mencegah terjadinya penguapan
pada alkohol, karena sifat alkohol yang sangat mudah menguap. Volume NaOH
yang dibutuhkan untuk menitrasi asetosal dalam berbagai konsentrasi pelarut
campur berbeda-beda.
Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan oleh praktikan, ada
salah satu pengamatan yang tidak sesuai dengan hasil yang diinginkan yakni pada
pengerjaan yang dilakukan oleh kelompok II. Seharusnya untuk komposisi pelarut
campur, dibutuhkan volume NaOH yang semakin meningkat. Namun pada
komposisi air 60 ml, alkohol 40 ml justru semakin menurun. Hal ini disebabkan
31
4. pada NaOH yang digunakan telah terkontaminasi indikator fenoftalein. Lain lagi,
pada kelompok I, di mana awalnya volume NaOH yang dibutuhkan meningkat
namun menjadi konstan atau stagnan dengan volume NaOH sebesar 96 ml.
Bila dilihat dari grafik percobaan dapat disimpulkan bahwa grafik yang
tepat di mana dengan adanya komposisi pelarut campur dengan perbandingan
yang telah ditentukan, maka tingkat kebutuhan volume NaOH untuk melarutkan
asetosal akan semakin meningkat. Dalam hal ini, terdapat beberapa grafik dari
empat kelompok yang dapat diurutkan sesuai hal yang diharapkan yaitu grafik
dari kelompok IV, III, I, dan II.
Volume NaOH yang dibutuhkan hanya sedikit untuk asetosal dengan pelarut
campur yang kandungan airnya lebih banyak. Sebaliknya apabila pada komposisi
pelarut campur terdapat banyak volume alkohol, maka volume NaOH yang
dibutuhkan semakin banyak. Pada percobaan ini menujukkan titik ekuivalen
dengan waktu yang lama, sehingga memerlukan volume NaOH yang cukup
banyak. Hal ini disebabkan karena NaOH lebih mudah bereaksi dengan air
dibanding alkohol.
Asetosal sukar larut dalam air tetapi mudah larut dalam alkohol, oleh karena
itu banyaknya volume titran (NaOH) yang dibutuhkan dipengaruhi oleh kelarutan
dari asetosal tersebut. Kandungan alkohol pada pelarut campur yang banyak
menyebabkan asetosal yang terlarut pun semakin banyak dan ikatannya semakin
kuat, sehingga pada saat dititrasi dengan NaOH ikatan akan sulit dipisahkan.
Berbeda dengan apabila kandungan air lebih banyak maka volume NaOH yang
dibutuhkan semakin sedikit karena asetosal yang terkandung dalam pelarut lebih
sedikit. Dengan demikian titrasi yang terjadi hanya pada NaOH dan air.
Sedangkan asetosal dalam bentuk asam bebas.
Bila dilihat dari grafik atas dasar pengaruh pelarut campur terhadap
kelarutan diketahui penggunaan alkohol yang terdapat dalam pelarut campur
meningkatkan kelarutan asetosal.
Pada percobaan asetosal dengan menggunakan pelarut campur yaitu air,
alkohol, dan propilenglikol, faktor yang mempengaruhi kelarutan yang ingin
diketahui adalah jenis pelarutnya. Dari percobaan pertama ini dapat diketahui
32
5. bahwa kelarutan suatu zat dapat meningkat apabila digunakan campuran pelarut
dengan perbandingan yang tepat. Namun, jika campuran yang digunakan
perbandingannya tidak tepat, kemungkinan kelarutan zat tersebut bisa saja tidak
meningkat atau tidak sesuai dengan yang diharapkan.
Seringkali zat terlarut lebih larut dalam campuran pelarut daripada dalam
satu pelarut saja. Gejala ini dikenal dengan melarut bersama (Co-solvency).
Campuran pelarut ini banyak digunakan pada campuran pelarut obat. Co-solvency
dapat dipandang sebagai modifikasi polaritas sistem pelarut terhadap zat pelarut
atau terbentuknya pelarut baru yang terjadinya interaksi antar masing-masing
individu pelarut dalam sistem campuran tidak mudah diduga. Dengan demikian
co-solvency adalah suatu peristiwa terjadinya kenaikan pelarutan karena adanya
penambahan pelarut lain atau modifikasi pelarut.
Uji kelarutan yang kedua dilakukan pada asam benzoat dengan penambahan
surfaktan. Surfaktan adalah suatu zat yang sering digunakan untuk menaikkan
kelarutan. Apabila surfaktan didispersikan dalam air pada konsentrasi rendah
maka akan berkumpul pada permukaan dengan mengorientasikan bagian polar ke
arah air dan bagian non polar ke arah udara. Kumpulan surfaktan akan
membentuk lapisan monomolekuler. Selanjutnya bila permukaan cairan telah
jenuh dengan molekul surfaktan maka molekul yang berada dalam cairan
membentuk agregat disebut misel. Konsentrasi saat misel terbentuk disebut
Konsentrasi Misel Kritik (KMK).
Sifat penting misel yaitu kemampuan dalam menaikkan kelarutan zat-zat
yang sukar larut dalam air proses ini dikenal dengan solubilisasi miselar.
Solubilisasi terjadi karena molekul zat yang sukar larut berasosiasi dengan misel
membentuk larutan jernih dan stabil secara termodinamika. Lokasi molekul zat
terlarut dalam misel tergantung pada polaritas zat tersebut. Titik KMK adalah titik
di mana penambahan surfaktan tidak lagi mempengaruhi tegangan permukaan.
Setelah dilalui titik KMK maka penambahan surfaktan berpengaruh terhadap
solubilisasi miselar di mana pada keadaan ini akan terjadi pelarutan spontan zat
melalui interaksi misel dan surfaktan.
33
6. Pada uji kelarutan dengan penambahan surfaktan menggunakan tween-80
dengan konsentrasi yang berbeda-beda untuk menguji kelarutan asam benzoat.
Asam benzoat adalah zat yang larut dalam 350 bagian air dan 3 bagian etanol.
Tween-80 dapat melarutkan tegangan antarmuka antara obat ke medium sekaligus
membentuk misel sehingga molekul obat akan terbawa oleh misel larut ke dalam
medium.
Pada tabel hasil pengamatan dapat disimpulkan bahwa tween 80 dapat
meningkatkan kelarutan dari asam benzoat. Perubahan konsentrasi asam benzoat
terlihat signifikan setiap penambahan konsentrasi tween 80 yang semakin besar.
Konsentrasi terendah terdapat pada larutan asam benzoat dengan penambahan
Tween 80 sebanyak 10 %, sedangkan tertinggi terdapat pada penambahan Tween
80 100 %. Sehingga dapat dikatakan bahwa pada percobaan ini yang
menggunakan Tween 80 konsentrasi 10 %, 50 %, dan 100 % untuk menaikkan
kelarutan, yang optimum adalah pada penambahan Tween 80 100 %. Hal ini
kemungkinan disebabkan karena mekanisme solubilisasi miselar. Kadar di bawah
CMC (Critical Micelle Concentration) surfaktan dapat meningkatkan kelarutan
obat yang mana untuk Tween 80 terjadi pada konsentrasi 100 %.
Semakin besar konsentrasi surfaktan yang dimasukan ke dalam larutan asam
benzoat , semakin besar juga volume NaOH pada saat dilakukan titrasi asam basa.
Hal ini menujukkan bahwa semakin besar konsentrasi surfaktan, maka semakin
tinggi juga kelarutan dari asam benzoat. Ini terjadi karena surfaktan merupakan
molekul ampifilik yaitu memiliki gugus hidrofil (suka air/polar) dan memiliki
gugus lipofil (suka minyak/non polar) sehingga surfaktan memiliki afinitas
dengan pelarut polar (air) ataupun nonpolar (minyak). Namun jika dilihat pada
grafik ada beberapa percobaan yang garisnya tidak naik ke atas. Hal ini dapat
disebabkan oleh :
- Konsentrasi surfaktan yang tidak sesuai dengan aslinya, dimana tween-80
masih ada pada kaca arloji sehingga konsentrasi tween-80 berkurang.
- Adanya kontaminasi indikator fenoftalein pada buret berisi NaOH sehingga
reaksi lebih cepat terjadi.
34
7. Berdasarkan grafik di atas konsentrasi asam benzoat akan semakin
meningkat seiring dengan peningkatan konsentrasi surfaktan. Grafik setelah naik
akan memperlihatkan garis lurus yang berarti konsentrasinya semakin konstan.
Kadar kelarutan asam benzoat paling optimum terdapat pada larutan dengan
konsentrasi surfaktan 100 mg/ 100 ml. Grafik ini tepat ditunjukkan pada hasil
percobaan yang dilakukan oleh kelompok IV. Sedangkan, pada hasil percobaan
yang lain grafik mengalami naik-turun sehingga tidak tepat dengan hasil yang
diinginkan juga literatur yang ada.
Adapun faktor yang dapat mempengaruhi kelarutan di samping konstanta
dieletrik pelarut, adapula akibat pengaruh pH, temperatur, jenis pelarut (pada
percobaan pertama), bentuk dan ukuran partikel (misalnya saja asetosal dan asam
benzoat), surfaktan, serta efek garam. Semakin kecil ukuran partikel zat maka
akan mempercepat kelarutan zat itu sendiri. Dan dengan adanya garam justru
dapat mengurangi kelarutan zat tersebut.
Semakin tinggi pH maka semakin meningkat kelarutan asetosal maupun
asam benzoat. Hal ini terjadi karena suatu zat aktif yang memiliki kelarutan asam
maka kelarutannya pun akan tinggi.
Kelarutan asam-asam organik lemah dalam air akan bertambah dengan
naiknya pH. Hal ini disebabkan oleh terbentuknya garam yang mudah terlarut
dalam air. Sedangkan basa-basa organik pada umumnya sukar larut dalam air.
Bila pH diturunkan dengan penambahan asam kuat maka akan terbentuk garam
yang mudah larut dalam air.
Kelarutan dipengaruhi pH karena adanya reaksi asam basa yang membuat
asetosal maupun asam benzoat berikatan dengan basa membentuk molekul garam
dan air. Dalam hal ini kedua zat tersebut dapat terionisasi sehingga dapat mudah
larut dalam air.
Kelarutan zat padat dalam larutan ideal tergantung pada temperatur.
Semakin tinggi temperatur maka semakin tinggi pula kelarutan.
35