1. BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Perkembangan Sektor Keuangan
Sektor keuangan memegang peranan yang sangat signifikan dalam memicu
pertumbuhan ekonomi suatu negara. Sektor keuangan menjadi lokomotif pertumbuhan
sektor riil via akumulasi kapital dan inovasi teknologi. Lebih tepatnya, sektor keuangan
mampu memobilisasi tabungan. Mereka menyediakan para peminjam berbagai instrumen
keuangan dengan kualitas tinggi dan resiko rendah. Hal ini akan menambah investasi dan
akhirnya mempercepat pertumbuhan ekonomi. Di lain pihak, terjadinya asymmetric
information, yang dimanifestasikan dalam bentuk tingginya biaya-biaya transaksi dan
biaya-biaya informasi dalam pasar keuangan dapat diminimalisasi, jika sektor keuangan
berfungsi secara efisien (Levine, 1997; Fritzer, 2004 dan Kularatne 2002).
Dalam ruang lingkup kebijakan makroekonomi, sektor keuangan menjadi alat
transmisi kebijakan moneter. Dengan demikian, shock yang dialami sektor keuangan
juga mempengaruhi efektivitas kebijakan moneter. Friedman (dalam Warjiyo dan Zulverdi,
1998); Sarwono dan Warjiyo (1998) serta Abdullah (2003), mengidentifikasikan beberapa
dampak yang dihasilkan dari shock dalam pasar keuangan terhadap transmisi kebijakan
moneter. Pertama, gejala monetization dan sekuritization dalam bentuk inovasi produk-
produk keuangan, menyebab- kan definisi, cakupan dan perilaku jumlah uang beredar
mengalami perubahan. Gejala ini berpeluang menciptakan ketidakstabilan hubungan antara
harga (inflasi), uang beredar dan mengurangi kemampuan bank sentral dalam
mengendalikan besaran moneter. Kedua, semakin berkembangnya sektor keuangan
mendorong kecenderungan terjadinya decoupling antara sektor moneter dan sektor riil.
Konsekuensi- nya, kausalitas antara variabel-variabel moneter dan berbagai variabel di
sektor riil menjadi semakin kompleks dan sulit diprediksi. Fungsi permintaan uang yang
dipergunakan sebagai salah satu alat manajemen moneter kurang stabil perilakunya.
Bahkan kelumpuhan sektor keuangan selama krisis ekonomi yang melanda
Indonesia, sejak akhir tahun 1990-an, berdampak negatif terhadap sektor riil. Perekonomian
Indonesia tumbuh pada tingkat rata- rata 6%-8% per tahun selama tiga dekade, sejak tahun
1967. Pertumbuhan tertinggi terjadi selama periode 1990-1996, sebelum mengalami
kontraksi yang tajam sebesar –13,1% pada puncak krisis.
Studi Kaminsky dan Reinhart (1999) menunjuk- kan keterkaitan antara krisis
keuangan dengan krisis ekonomi. Krisis keuangan, didahului oleh problem pada sektor
perbankan, kemudian menyebabkan krisis mata uang. Vice versa, krisis mata uang
2. memperburuk krisis yang terjadi pada sektor per- bankan. Keduanya membentuk semacam
lingkaran setan (vicious cycle) dalam perekonomian. Hasil akhir dari twin crisis pada mata
uang dan perbankan, lazimnya akan lebih memperparah kesehatan sektor riil dibandingkan
krisis yang dipicu oleh crash pada mata uang semata. Sebagai tambahan, krisis per- bankan
biasanya juga terjadi sebelum krisis dalam neraca pembayaran dan keduanya biasanya
mengikuti periode liberalisasi sektor keuangan (financial liberalization).
Tulisan ini bertujuan untuk menginvestigasi peranan sektor keuangan dalam
mendorong (boost) pertumbuhan ekonomi di negara-negara berkembang, terutama Indonesia.
Selama dua dasawarsa terakhir, Indonesia telah mengadopsi serangkaian program reformasi
dalam struktur keuangan nasional, guna meningkatkan performa perekonomian domestik.
Bagaimanapun juga, argumen tentang dampak positif sektor keuangan terhadap
pertumbuhan ekono- mi di negara-negara berkembang tetap menyisakan kontroversi
tersendiri. Alasan utama terjadinya fenomena ini sebenarnya terletak pada rigiditas pasar
keuangan di negara-negara sedang berkembang. Persistensi dari tingginya biaya-biaya
transaksi serta biaya-biaya informasi, membuat pengaturan keuang- an lebih menyerupai
pengumpulan penghasilan daripada berwujud peningkatan tabungan dan investasi, inovasi
teknologi dan pertumbuhan ekono- mi jangka panjang (Ghali, 1999). Gourinchas dan Jeanne
(dalam Allen dan Oura, 2004) memperoleh kesimpulan bahwa manfaat yang diperoleh dari
akumulasi kapital di negara-negara berkembang sangat kecil. Hasil ini berasal dari fakta
rendahnya tingkat produktivitas di kawasan ini dibandingkan di negara-negara maju.
Lebih lanjut, studi ini berusaha untuk menying- kap isu kausalitas antara
perkembangan sektor keuangan dan pertumbuhan ekonomi. Lee (2005), menjelaskan secara
apriori setidaknya terdapat dua kemungkinan hubungan antara variabel-variabel keuangan
dan variabel-variabel riil. Perkembangan sektor keuangan mengikuti pertumbuhan ekonomi.
Pertumbuhan ekonomi menyebabkan kenaikan permintaan terhadap produk-produk
keuangan, sehingga menghasilkan kenaikkan aktivitas pasar keuangan dan kredit. Dengan
demikian, perkembangan sektor keuangan merupakan demand-following. Teori lain,
mendalilkan jika perkembangan sektor keuangan merupakan determinan perkembangan
ekonomi. Hipotesis supply leading ini menunjukkan kausalitas berasal dari perkembangan
keuangan ke arah pertumbuhan riil, dimana perkembangan sektor keuangan merupakan
necessary condition but not sufficient untuk menjamin pertumbuhan ekonomi yang
sustainable.
Graff (2001) membagi hubungan kausalitas antara perkembangan sektor
keuangan dengan per- tumbuhan ekonomi menjadi empat, yaitu perkem- bangan sektor
3. keuangan dan pertumbuhan ekonomi tidak saling terkait, perkembangan ekonomi menye-
babkan perkembangan sektor keuangan, sektor keuangan menjadi mesin pertumbuhan
ekonomi serta perkembangan sektor keuangan, kadang-kadang dan dalam jangka pendek
justru menghambat perkem- bangan sektor riil.
Berbagai studi empiris yang mengkaitkan antara perkembangan sektor keuangan dan
pertumbuhan ekonomi (seperti Ghali, 1999; Copelman, 2000; Graff, 2001; Fritzer,
2004; Allen, 2001; Lee, 2005; Rioja dan Valev, 2005), cenderung mendukung hipotesis
bahwa kemajuan sektor keuangan menjadi katalisator dalam pertumbuhan ekonomi (supply
leading hypothesis). Studi Boulila dan Trabelsi (2002) terhadap perekonomian Tunisia, justru
mendukung argumen demand driven hypothesis, ketika hanya menggunakan periode sampel
relatif pendek dan intervensi pemerintah sangat kental terhadap per- ekonomian. Namun
dengan menggunakan seluruh periode sampel, dibuktikan terjadi bi-directional causality
antara perkembangan sektor keuangan dan pertumbuhan ekonomi. Jung (1986), Demetriades
dan Hussein (1996) (dalam Allen dan Oura, 2004) juga membuktikan terjadinya bi-
directional causality antara sektor keuangan dan sektor riil. Sinha dan Macri (1999)
semakin memperkuat argumen tiadanya inkonsistensi pola kausalitas di antara sektor
keuangan dan sektor riil.
2.2. Perkembangan Perbankan di Indonesia
2.2.1 Situasi perbankan Indonesia praderegulasi
Pada periode tahun 1974-1982 perekonomian Indonesia berkembang cukup baik
karena ditopang oleh ekspor migas yang cukup tinggi. Tingginya harga minyak pada saat itu
memengaruhi penerimaan dalam negeri sehingga dana pembangunan cukup tersedia untuk
menunjang kegiatan investasi. Pada saat itu masyarakat yang belum menemukan sasaran
investasi yang tepat menyimpan dana nya di bank sehingga terjadi kelebihan likuiditas yang
cukup besar. Di samping itu juga Bank Indonesia (central bank) menyediakan kredit
likuiditas dengan syarat yang mudah dan lunak untuk membiayai pengembangan sektor yang
potensial.
2.2.2 Situasi perbankan Indonesia pascarederegulasi
Perkembangan perbankan di Indonesia mengalami peningkatan yang cukup pesat
beberapa tahun terakhir ini. Hal itu disebabkan oleh adanya serangkaian langkah deregulasi
di bidang perbankan. Ada beberapa deregulasi di bidang perbankan dan moneter yang secara
kronologis dapat dikemukakan sesuai urutan waktu pengumuman kebijaksanaan deregulasi.
4. a. kebijaksanaan pemerintah tanggal 1 Juni 1983
Kebijaksanaan ini bertujuan untuk menggairahkan pengerahan dana masyarakat.
Kebijaksanaan tersebut antara lain berisi penghapusan sistem pagu kredit dan mengurangi
kredit likuiditas, Bank Indonesia tidak menetapkan tingkat suku bunga deposito maupun suku
bunga pinjaman, dan kebijaksanaan moneter dengan Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan
penyediaan fasilitas diskonto.
b. Kebijaksanaan 27 Oktober 1988 (Pakto 88)
Latar belakang kebijaksanaan ini dilandasi oleh kebijaksanaan 1 Juni 1983 yang
ternyata mendapat penghimpunan dana untuk investasi swasta. Selanjutnya pihak swasta
berpartisipasi lebih besar dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan menciptakan
iklim yang memungkinkan bank-bank beroperasi lebih efisien dan perluasan jaringan kantor
bank.
c. Kebijaksanaan Pemerintah 25 Maret 1989
Kebijaksanaan ini merupakan penyempurnaan Pakto 88 yang berisikan tentang
penyempurnaan pendirian BPR. Dalam kebijaksanaan baru ini usaha BPR tidak boleh
menerima simpanan dalam bentuk giro, tidak diperkenankan pindah wilayah dan membuka
kantor cabang dan tidak perlu penyesuaian modal bagi BPR baru tetapi disesuaikan dengan
kebutuhan modal. BPR yang akan meningkatkan usahanya untuk menjadi bank umum harus
mempunyai modal sebesar Rp. 10 miliar.
d. Kebijaksanaan Pemerintah 29 Januari 1990
Latar belakang kebijaksanaan ini untuk mendukung pembangunan yang makin efisien. Untuk
itu perlu disempurnakan aturan tentang Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) yang
jumlahnya masih relatif tinggi dan menyempurnakan sistem perkreditan.
Kebijaksanaan yang diambil meliputi mengurangi secara bertahap pemberian KLBI, KLBI
diberikan secara terbatas untuk swasembada pangan (KUT), pengembangan koperasi (kredit
koperasi KUD dan anggota koperasi primer), dan peningkatan investasi (pembiayaan
pembangunan) PIR trans, KPR yang diberikan dengan maksimum sebesar Rp. 50 juta dan
jumlah kredit yang disediakan minimum 20% disalurkan untuk usaha kecil dan kegiatan
koperatif yang produktif.
e. Paket Kebijakan Pemerintah Februari 199
Inti kebijaksanaan ini meliputi beberapa aspek penting yang terdiri dari :
1. penyempurnaan persyaratan perizinan, kepemilikan dan kepengurusan bank, yang
meliputi beberapa aspek antara lain pemilik dan pengelola bank harus memenuhi
persyaratan tertentu sesuai dengan fungsinya untuk melindungi kepentingan masyarakat
5. sehingga kesehatan sebuah bank harus diupayakan secara kontinuitas sejak berdiri,
pembukaan kantor cabang atau perwakilan dan penyertaan bank di luar negeri, pendirian
kantor bank, dan persyaratan pembukaan kantor BPR dan merger.
2. Ketentuan yang berkaitan dengan prinsip kehati-hatian (prudential regulation) yang
meliputi permodalan bank, jaminan pemberian kredit, kredit untuk pembelian saham dan
pemilikan saham oleh bank, batas maksimum pemberian kredit, kredit untuk pembelian
saham dan pemilikan saham oleh bank, batas maksimum pemberian kredit (BMPK) atau
legal lending limit, dan garansi bank.
2.2.3 Perkembangan jumlah bank dan kantor bank
Selama periode tahun 2004-2009 jumlah bank dan kantor bank termasuk bank
perkreditan rakyat mengalami peningkatan yang sangat pesat. Selama 6 tahun jumlah bank
mengalami pertumbuhan sebesar 92,48% atau menurun rata-rata -7,52% setiap tahun. Dalam
tahun 2004 terdapat 133 bank, turun menjadi 123 pada tahun 2009. Selain itu selama 6 tahun
terakhir jumlah kantor bank mengalami pertumbuhan 157,456% atau meningkat rata-rata
setiap tahun 57,45% yaitu dari 7.939 kantor bank pada tahun 2004 menjadi 12.500 kantor
bank pada tahun 2009.
2.2.4 Perkembangan dana dan kredit bank
Dalam periode 2004-2009 tingkat pertumbuhan dana bank yang dihimpun dari
masyarakat jika dilihat menurut kelompok bank, dan jenis mata uang, maka tahun 2004 bank
umum swasta nasional devisa berhasil menghimpun dana lebih besar. Pada periode yang
sama jumlah kredit bank yang berhasil dikucurkan dari sector ekonomi paling besar
didonimasi oleh sektor industry, diikuti sektor jasa, dan yang terakhir adalah sektor pertanian.
2.3 Sistem Perbankan di Indonesia
Bank-bank yang beroperasi di Indonesia saat ini pada dasarnya dikelompokkan ke
dalam Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Sedangkan Bank Indonesia
berfungsi sebagai bank sentral. Namun demikian, sejalan dengan terjadinya perubahan dalam
sistem keuangan terutama yang terkait dengan kelembagaan perbankan sebagai dampak
dikeluarkannya undang-undang di bidang keuangan dan perbankan.
2.3.1 Definisi Bank (menurut UU No.10 Tahun 1998)
Badan usaha yang kegiatannya menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk
simpanan dan menyalurkan kepada masyarakat dalam bentuk kredit guna meningkatkan taraf
hidup masyarakat.
6. 2.3.2 Pengelompokan Bank Umum
1. Aspek Fungsi
a. Bank Sentral, adalah bank yang merupakan badan hukum milik Negara yang tugas
pokoknya membantu pemerintah, contoh : Bank Indonesia
b. Bank Umum, adalah bank yang sumber utama dananya berasal dari simpanan pihak
ketiga, serta pemberian kredit jangka pendek dalam penyaluran dana, contoh : BNI, BRI,
dll
c. Bank Pembangunan, adalah bank yang dalam pengumpulan dananya berasal dari
penerimaan simpanan deposito serta commercial paper, contoh : Bank Jatim, Bank DKI,
dll.
d. Bank Desa, adalah kantor bank di suatu desa yang tugas utamanya adalah melaksanakan
fungsi perkreditan dan penghimpunan dana dalam rangka program pemerintah
memajukan pembangunan desa.
e. BPR, adalah kantor bank di kota kecamatan yang merupakan unsur penghimpun dana
masyarakat maupun menyalurkan dana nya di sektor pertanian dan pedesaan.
2. Status Kepemilikan
Bank Milik Negara, adalah bank yang seluruh modalnya berasal dari kekayaan Negara yang
dipisahkan dan pendiriannya di bawah UU tersendiri, contoh : BNI, BRI, BTN
b. Bank Milik Swasta Nasional, adalah bank milik swasta yang didirikan dalam bentuk
perseroan terbatas, di mana seluruh sahamnya dimiliki oleh WNI dan/ atau badan-badan
hukum di Indonesia, contoh : BCA, Bank Mega, Bank Danamon.
c. Bank Swasta Asing, adalah bank yang didirikan dalam bentuk cabang bank yang sudah ada
di luar negeri atau dalam bentuk campuran antara bank asing dengan bank nasional yang
sudah ada di Indonesia. Bank asing ini hanya diperkenankan menjalankan operasinya di lima
kota besar di Indonesia, contoh : Citibank, HSBC.
d. Bank Pembangunan Daerah, adalah bank yang pendiriannya berdasarkan peraturan daerah
propinsi dan sebagian besar sahamnya dimiliki oleh pemerintah kota dan pemerintah
kabupaten, di wilayah yang bersangkutan, dan modalnya merupakan harta kekayaan
pemerintah daerah yang dipisahkan, contoh : Bank Jatim.
e. Bank Campuran, adalah bank yang sebagian sahamnya dimiliki oleh pihak asing dan pihak
swasta nasional, contoh : Bank UOB Buana, ANZ Panin Bank.
3. Kegiatan Operasional
a. Bank Devisa, adalah bank yang mempunyai hak dan wewenang yang diberikan oleh Bank
Indonesia untuk melakukan transaksi valuta asing dan lalu lintas devisa serta hubungan
7. koresponden dengan bank asing di luar negeri, contoh : BCA, Bank Mega, Bank Bukopin.
b. Bank Nondevisa, adalah bank yang operasionalnya hanya melaksanakan transaksi di dalam
negeri, tidak melakukan transaksi valuta asing, dan tidak melakukan hubungan dengan bank
asing di luar negeri.
4. Penciptaan Uang Giral
a. Bank Primer, adalah bank yang dalam kegiatan operasionalnya tidak sekedar menghimpun
dan menyalurkan dana nya, tetapi juga melaksanakan semua transaksi yang berhubungan
langsung dengan kas.
b. Bank Sekunder, adalah bank yang kegiatan operasionalnya hanya sekedar melaksanakan
transaksi kas secara langsung.
5. Sistem Organisasi
a. Unit Banking System, adalah bank yang kegiatan operasionalnya hanya mempunyai satu
kantor saja dan melayani masyarakat di sekitar wilayah itu. Contoh : BPR baik konvensional
maupun syariah.
b. Branch Banking Syistem, adalah bank yang kegiatan operasionalnya di beberapa wilayah
dan memiliki beberapa kantor cabang, di mana sistem organisasi, keuangan, dan sumber daya
manusia terkait dengan kantor pusat. Contoh : Bank Danamon, Bank Mega, Bank BCA.
Fungsi Bank
Secara umum, fungsi utama bank adalah menghimpun dana dari masyarakat dan
menyalurkannya kembali kepada masyarakat untuk berbagai tujuan. Misalnya adalah :
a. Agent of Trust
Dasar utama kegiatan perbankan adalah kepercayaan, baik dalam hal penghimpunan dana
maupun penyaluran dana. Masyarakat akan mau menitipkan dananya di bank apabila
dilandasi adanya unsur kepercayaan. Masyarakat percaya bahwa uangnya tidak akan
disalahgunakan oleh bank, uangnya akan dikelola dengan baik, bank tidak akan bangkrut, dan
pada saat yang telah dijanjikan simpanan tersebut dapat ditarik kembali dari bank.
b. Agent of development
Kegiatan perekonomian masyarakat di sektor moneter dan sektor riil tidak dapat dipisahkan.
Sektor riil tidak akan dapat bekerja dengan baik apabila sektor moneter tidak bekerja dengan
baik. Kegiatan bank berupa penghimpunan dan penyaluran dana sangat diperlukan bagi
lancarnya kegiatan perekonomian sektor riil. Kegiatan bank tersebut dapat mendorong
masyarakat melakukan kegiatan investasi, kegiatan distribusi, serta kegiatan konsumsi barang
8. dan jasa. Dan kelancaran kegiatan investasi-distribusi-konsumsi ini tidak lain adalah kegiatan
pembangunan perekonomian suatu masyarakat.
c. Agent of Service
Bank memberikan penawaran jasa perbankan yang lain kepada masyarakat. Jasa yang
ditawarkan bank ini erat kaitanya dengan kegiatan perekonomian masyarakat secara umum.
Berupa jasa pengiriman uang, penitipan barang berharga, pemberian jaminan bank, dan
penyelesaian tagihan.
KESIMPULAN
Perbankan di Indonesia telah mengalami perkembangan mulai dari praderegulasi sampai
pascaderegulasi. Pengklasifikasian perbankan sesusai dengan jenis, kepemilikkan, kegiatan usaha,
pembentukkan uang giral serta sistem organisasi nya. Lembaga keuangan dibagi menjadi lembaga
keuangan bank dan lembaga keuangan bukan bank yang masing-masing memiliki tugas dan fungsi
nya sendiri-sendiri. Dan untuk menciptakan perbankan yang sehat,kuat dan efisien maka diperlukan
Arsitektur Perbankan Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Latumaerissa, Julius R.2011.BANK DAN LEMBAGA KEUANGAN LAIN.Jakarta:Salemba
Empat.
Budisantoso, Totok & Sigit Triandaru.2006.BANK DAN LEMBAGA
KEUANGAN LAIN.Jakarta :Salemba empat
Sektor Keuangan dan Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia: Pendekatan
Kausalitas dalam Multivariate Vector Error Correction Model (VECM)