Meningitis adalah radang selaput otak yang disebabkan oleh bakteri atau virus. Gejala klinisnya antara lain demam, sakit kepala, dan tanda-tanda iritasi meningeal seperti kaku leher. Komplikasinya dapat berupa gangguan neurologis seperti kejang dan gangguan kesadaran. Diagnosanya didukung dengan pemeriksaan cairan serebrospinal dan kultur bakteri.
I. Latar belakang
Luka bakar merupakan cedera yang cukup sering dihadapi oleh dokter dan perawat. Jenis yang berat memperlihatkan morbiditas dan derajad cacat yang relatif tinggi dibanding dengan cedera oleh sebab lain. Biaya yang dibutuhkan dalam penangananpun tinggi. Penyebab luka bakar selain terbakar api langsung atau tak langsung, juga pajanan suhu tinggi dari matahari, listrik, maupun bahan kimia.(Elizabeth,2009)
Statistik menunjukkan bahwa 60% luka bakar terjadi karena kecelakaan rumah tangga, 20% karena kecelakaan kerja, dan 20% sisanya karena sebab-sebab lain, misalnya bus terbakar, ledakan bom, dan gunung meletus. (Moenajad, 2001)
Penanganan dan perawatan luka bakar (khususnya luka bakar berat) memerlukan perawatan yang kompleks dan masih merupakan tantangan tersendiri karena angka morbiditas dan mortalitas yang cukup tinggi.1 Di Amerika dilaporkan sekitar 2 β 3 juta penderita setiap tahunnya dengan jumlah kematian sekitar 5 β 6 ribu kematian per tahun. Di Indonesia sampai saat ini belum ada laporan tertulis mengenai jumlah penderita luka bakar dan jumlah angka kematian yang diakibatkannya. Di unit luka bakar RSCM Jakarta, pada tahun 2008 dilaporkan sebanyak 107 kasus luka bakar yang dirawat dengan angka kematian 37,38%. Dari unit luka bakar RSU Dr. Soetomo Surabaya pada tahun 2008 didapatkan data bahwa kematian umumnya terjadi pada luka bakar dengan luas lebih dari 50% atau pada luka bakar yang disertai cedera pada saluran napas dan 50% terjadi pada 7 hari pertama perawatan. (Irna Bedah RSUD Dr. Soetomo, 2001)
Beberapa karakteristik luka bakar yang terjadi membutuhkan tindakan khusus yang berbeda. Karakteristik ini meliputi luasnya, penyebab(etiologi) dan anatomi luka bakar. Luka bakar yang melibatkan permukaan tubuh yang besar atau yang meluas ke jaringan yang lebih dalam, memerlukan tindakan yang lebih intensif daripada luka bakar yang lebih kecil dan superficial. Luka bakar yang disebabkan oleh cairan yang panas (scald burn) mempunyai perbedaan prognosis dan komplikasi dari pada luka bakar yang sama yang disebabkan oleh api atau paparan radiasi ionisasi. Luka bakar karena bahan kimia memerlukan pengobatan yang berbeda dibandingkan karena sengatan listrik (elektrik) atau persikan api. Luka bakar yang mengenai genetalia menyebabkan resiko nifeksi yang lebih besar daripada di tempat lain dengan ukuran yang sama. Luka bakar pada kaki atau tangan dapat mempengaruhi kemampuan fungsi kerja klien dan memerlukan tehnik pengobatan yang berbeda dari lokasi pada tubuh yang lain. Pengetahuan umum perawat tentang anatomi fisiologi kulit, patofisiologi luka bakar sangat diperlukan untuk mengenal perbedaan dan derajat luka bakar tertentu dan berguna untuk mengantisipasi harapan hidup serta terjadinya komplikasi multi organ yang menyertai. (Irna Bedah RSUD Dr. Soetomo, 2001)
Prognosis klien yang mengalami suatu luka bakar berhubungan langsung dengan lokasi dan ukuran luka bakar. Faktor lain seperti umur, status kesehatan sebelumnya da
Stase Kepaniteraan Departemen Ilmu Penyakit Saraf (Neurologi)
Universitas Kristen Indonesia
Hanya untuk referensi bukan untuk dicopy paste
Hak cipta penulis langsung
I. Latar belakang
Luka bakar merupakan cedera yang cukup sering dihadapi oleh dokter dan perawat. Jenis yang berat memperlihatkan morbiditas dan derajad cacat yang relatif tinggi dibanding dengan cedera oleh sebab lain. Biaya yang dibutuhkan dalam penangananpun tinggi. Penyebab luka bakar selain terbakar api langsung atau tak langsung, juga pajanan suhu tinggi dari matahari, listrik, maupun bahan kimia.(Elizabeth,2009)
Statistik menunjukkan bahwa 60% luka bakar terjadi karena kecelakaan rumah tangga, 20% karena kecelakaan kerja, dan 20% sisanya karena sebab-sebab lain, misalnya bus terbakar, ledakan bom, dan gunung meletus. (Moenajad, 2001)
Penanganan dan perawatan luka bakar (khususnya luka bakar berat) memerlukan perawatan yang kompleks dan masih merupakan tantangan tersendiri karena angka morbiditas dan mortalitas yang cukup tinggi.1 Di Amerika dilaporkan sekitar 2 β 3 juta penderita setiap tahunnya dengan jumlah kematian sekitar 5 β 6 ribu kematian per tahun. Di Indonesia sampai saat ini belum ada laporan tertulis mengenai jumlah penderita luka bakar dan jumlah angka kematian yang diakibatkannya. Di unit luka bakar RSCM Jakarta, pada tahun 2008 dilaporkan sebanyak 107 kasus luka bakar yang dirawat dengan angka kematian 37,38%. Dari unit luka bakar RSU Dr. Soetomo Surabaya pada tahun 2008 didapatkan data bahwa kematian umumnya terjadi pada luka bakar dengan luas lebih dari 50% atau pada luka bakar yang disertai cedera pada saluran napas dan 50% terjadi pada 7 hari pertama perawatan. (Irna Bedah RSUD Dr. Soetomo, 2001)
Beberapa karakteristik luka bakar yang terjadi membutuhkan tindakan khusus yang berbeda. Karakteristik ini meliputi luasnya, penyebab(etiologi) dan anatomi luka bakar. Luka bakar yang melibatkan permukaan tubuh yang besar atau yang meluas ke jaringan yang lebih dalam, memerlukan tindakan yang lebih intensif daripada luka bakar yang lebih kecil dan superficial. Luka bakar yang disebabkan oleh cairan yang panas (scald burn) mempunyai perbedaan prognosis dan komplikasi dari pada luka bakar yang sama yang disebabkan oleh api atau paparan radiasi ionisasi. Luka bakar karena bahan kimia memerlukan pengobatan yang berbeda dibandingkan karena sengatan listrik (elektrik) atau persikan api. Luka bakar yang mengenai genetalia menyebabkan resiko nifeksi yang lebih besar daripada di tempat lain dengan ukuran yang sama. Luka bakar pada kaki atau tangan dapat mempengaruhi kemampuan fungsi kerja klien dan memerlukan tehnik pengobatan yang berbeda dari lokasi pada tubuh yang lain. Pengetahuan umum perawat tentang anatomi fisiologi kulit, patofisiologi luka bakar sangat diperlukan untuk mengenal perbedaan dan derajat luka bakar tertentu dan berguna untuk mengantisipasi harapan hidup serta terjadinya komplikasi multi organ yang menyertai. (Irna Bedah RSUD Dr. Soetomo, 2001)
Prognosis klien yang mengalami suatu luka bakar berhubungan langsung dengan lokasi dan ukuran luka bakar. Faktor lain seperti umur, status kesehatan sebelumnya da
Stase Kepaniteraan Departemen Ilmu Penyakit Saraf (Neurologi)
Universitas Kristen Indonesia
Hanya untuk referensi bukan untuk dicopy paste
Hak cipta penulis langsung
Apakah program Sekolah Alkitab Liburan ada di gereja Anda? Perlukah diprogramkan? Jika sudah ada, apa-apa saja yang perlu dipertimbangkan lagi? Pak Igrea Siswanto dari organisasi Life Kids Indonesia membagikannya untuk kita semua.
Informasi lebih lanjut: 0821-3313-3315 (MLC)
#SABDAYLSA #SABDAEvent #ylsa #yayasanlembagasabda #SABDAAlkitab #Alkitab #SABDAMLC #ministrylearningcenter #digital #sekolahAlkitabliburan #gereja #SAL
1. 1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di negara sedang berkembang maupun di negara maju, penyakit
infeksi masih merupakan masalah medis yang sangat penting oleh karena
angka kematiannya masih cukup tinggi. Diantara penyakit infeksi yang
sangat berbahaya adalah infeksi Susunan Saraf Pusat (SSP) termasuk ke
dalamnya meningitis (Andarsari, 2011). Meningitis yang juga disebut
leptomeningitis atau arachnoiditis adalah suatu reaksi peradangan
(inflamasi) pada selaput otak (meningen) yang melapisi otak dan medulla
spinalis, sehingga melibatkan arachnoid, piameter dan cairan serebrospinal
(CSS). Proses inflamasi meluas di seluruh ruang subarachnoid di sekitar
otak, sumsum tulang belakang dan ventrikel. Oleh karena itu meningitis
merupakan suatu peradangan akut meningeal dan parenkim otak terhadap
infeksi bakteri yang umumnya ditandai dengan peningkatan jumlah sel
polimorfonuklear dalam cairan serebrospinal (CSS) (Mace, et al, 2008 :
Tunkel, et al, 2008). Bakteri penyebab meningitis bermacam-macam
antara lain yaitu Neisseria meningitidis, Streptococcus pneumoniae,
Haemophilus influenzae, Listeria monocytogenes, bakteri batang gram
negatif (E.coli, Pseudomonas aeruginosa), dan lain-lain (Mace, et al,
2008).
Penyakit infeksi di Indonesia masih merupakan masalah kesehatan
yang utama. Salah satu penyakit tersebut adalah infeksi susunan saraf
pusat. Penyebab infeksi susunan saraf pusat adalah virus, bakteri atau
mikroorganisme lain. Meningitis merupakan penyakit infeksi dengan
angka kematian berkisar antara 18-40% dan angka kecacatan 30-50%
(Kurniawati, 2013).
Bakteri penyebab meningitis ditemukan di seluruh dunia, dengan
angka kejadian penyakit yang bervariasi. Di Indonesia, dilaporkan bahwa
Haemophilus influenzae tipe B ditemukan pada 33% diantara kasus
meningitis. Pada penelitian lanjutan, didapatkan 38% penyebab meningitis
2. 2
pada anak kurang dari 5 tahun. Di Australia pada tahun 1995 meningitis
yang disebabkan Neisseria meningitidis 2,1 kasus per 100.000 populasi,
dengan puncaknya pada usia 0 β 4 tahun dan 15 β 19 tahun . Sedangkan
kasus meningitis yang disebabkan Steptococcus pneumoniae angka
kejadian pertahun 10 β 100 per 100.000 populasi pada anak kurang dari 2
tahun dan diperkirakan ada 3000 kasus per tahun untuk seluruh kelompok
usia, dengan angka kematian pada anak sebesar 15%, retardasi mental
17%, kejang 14% dan gangguan pendengaran 28% (Kurniawati, 2013).
B. Tujuan Penulisan
a. Tujuan Umum
Untuk mengetahui tentang Penyakit Meningitis dan Asuhan
Keperawatan pada pasien Meningitis.
b. Tujuan Khusus
Untuk mengetahui :
1. Tinjauan Teori (Definisi, Klasifikasi, Etiologi, Manifestasi Klinis,
Patofisiologi, Pathway, Komplikasi, Pemeriksaan Diagnostik,
Pencegahan, Penatalaksanaan)
2. Asuhan Keperawatan (Pengkajian, Pemeriksaan Fisik, Diagnosa
Keperawatan, Intervensi)
3. 3
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Definisi Meningitis
Meningitis adalah peradangan pada selaput meningen, cairan
serebrospinal dan spinal column yang menyebabkan proses infeksi pada
sistem saraf pusat (Suriadi dan Rita Yuliani, 2007).
Meningitis adalah suatu reaksi peradangan yang mengenai satu
atau semua lapisan selaput yang menghubungkan jaringan otak dan
sumsum tulang belakang, yang menimbulkan eksudasi berupa pus atau
serosa, disebabkan oleh bakteri spesifik / non spesifik atau virus (Kaplan
and sudock, 2008).
Meningitis merupakan inflamasi akut atau subakut dari meningen
(selaput yang melapisi otak dan sumsum tulang belakang) (Dosen
Keperawatan Medikal Bedah Indonesia, 2016).
Meningitis adalah inflamasi lapisan si sekiling otak dan medula
spinalis yang disebabkan oleh bakteri atau virus. Meningitis
diklasifikasikan sebagai meningitis septik atau aseptik. Bentuk aseptik
mungkin merupakan dampak primer atau sekunder dari limfoma, leukimia,
atau HIV. Bentuk septik disebabkan oleh bakteri seperti Streptococcus
pneumoniae dan Nesseria meningitidis (Brunner & Suddarth, 2013).
Jadi, setelah dari beberapa definisi, kelompok kami menyimpulkan
bahwa Meningitis adalah radang selaput otak / meningen.
B. Klasifikasi
Menurut (Dwy Ardyan, 2012)
a) Meningitis Bakterial (Septic)
Sering terjadi pada musim dingin, saat terjadi infeksi saluran
pernafasan. Jenis organisme yang sering menyebabkan meningitis
bacterial adalah streptokokus pneumonia dan neisseria meningitis.
Meningococal meningitis adalah tipe dari meningitis bacterial yang
sering terjadi pada daerah penduduk yang padat, spt: asrama, penjara.
4. 4
Klien yang mempunyai kondisi spt: otitis media, pneumonia, sinusitis
akut atau sickle sell anemia yang dapat meningkatkan kemungkinan
terjadi meningitis. Fraktur tulang tengkorak atau pembedahan spinal
dapat juga menyebabkan meningitis . Selain itu juga dapat terjadi pada
orang dengan gangguan sistem imun, spt: AIDS dan defisiensi
imunologi baik yang congenital ataupun yang didapat. Tubuh akan
berespon terhadap bakteri sebagai benda asing dan berespon dengan
terjadinya peradangan dengan adanya neutrofil, monosit dan limfosit.
Cairan eksudat yang terdiri dari bakteri, fibrin dan lekosit terbentuk di
ruangan subarahcnoid ini akan terkumpul di dalam cairan otak
sehingga dapat menyebabkan lapisan yang tadinya tipis menjadi tebal.
Dan pengumpulan cairan ini akan menyebabkan peningkatan
intrakranial. Hal ini akan menyebabkan jaringan otak akan mengalami
infark.
b) Meningitis Virus (Aseptic)
Meningitis virus adalah infeksi pada meningen; cenderung jinak
dan bisa sembuh sendiri. Virus biasanya bereplikasi sendiri ditempat
terjadinya infeksi awal (misalnya sistem nasofaring dan saluran cerna)
dan kemudian menyebar kesistem saraf pusat melalui sistem vaskuler.
Ini terjadi pada penyakit yang disebabkan oleh virus spt: campak,
mumps, herpes simplek dan herpes zoster. Virus herpes simplek
mengganggu metabolisme sel sehingga sell cepat mengalami nekrosis.
Jenis lainnya juga mengganggu produksi enzim atau neurotransmitter
yang dapat menyebabkan disfungsi sel dan gangguan neurologic.
C. Etiologi
Menurut (Dwy Ardyan, 2012), Meningitis yang berasal dari
Bakteri yakni Mycobacterium tuberculosa, Diplococcus pneumoniae
(pneumokok), Neisseria meningitis (meningokok), Streptococus
haemolyticuss, Staphylococcus aureus, Haemophilus influenzae,
Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, Peudomonas aeruginosa.
Penyebab lainnya, Virus yakni Toxoplasma gondhii dan Ricketsia. Faktor
5. 5
maternal : ruptur membran fetal, infeksi maternal pada minggu terakhir
kehamilan. Faktor imunologi : defisiensi mekanisme imun, defisiensi
imunoglobulin.
Meningitis paling sering disebabkan oleh bakteri dan virus. Pada
bayi baru lahir, Streptoccocus pneumoniae merupakan bakteri yang paling
sering menginfeksi. Sedangkan pada kelompok usia lain, yang paling
sering menginfeksi adalah S. pneumoniae dan Neisseria meningitidis.
Infeksi pada anak-anak yang tidak mendapatkan vaksin dari orang dewasa
paling sering disebabkan oleh Haemiphilae influenzae (Dosen
Keperawatan Medikal Bedah Indonesia, 2016).
D. Manifestasi Klinis
Menurut (Brunner & Suddarth, 2013), Manifestasi Klinis dari
Meningitis berupa :
1. Sakit kepala dan demam sering kali menjadi gejalan awal; demam
cenderung tetap tinggi selama proses penyakit; sakit kepala biasanya
tidak kunjung hilang atau berdenyut dan sangat parah akibat iritasi
meningeal.
2. Iritasi meningeal memunculkan sejumlah tanda lain yang dikenali
dengan baik sebagai tanda umum semua jenis meningitis :
a. Kaku kuduk adalah tanda awal
b. Tanda Kering positif : Ketika berbaring dengan paha difleksikan
pada abdomen, pasien tidak dapat mengekstensikan tungkai secara
komplet.
c. Tanda Brudzinski positif : Memfleksikan leher pasien menyebabkan
fleksi lutut dan panggul; fleksi pasif pada ekstermitas bawah disatu
sisi tubuh menghasilkan pergerakan yang serupa dieksteermitas sisi
yang lain.
d. Fotofobia (sensitivitas terhadap cahaya) biasa terjadi.
3. Ruam (N. Meningitidis): berkisar dari ruam petekie dengan lesi purpura
sampai area ekomosis yang luas.
6. 6
4. Disorientasi dan gangguan memori; manifestasi perilaku juga sering
terjadi saat penyakit berlanjut, pasien dapat mengalami letargi, tidak
responsif, dan koma.
5. Kejang dapat terjadi dan merupakan akibat dari area iritabilitas di otak;
ICP meningkat sekunder akibat perluasan pembengkakan di otak atau
hidrosealus; tanda awal peningkatan ICP mencakup penurunan tingkat
kesadaran dan defisit motorik fokal.
6. Infeksi fulminal akut terjadi pada sekitar 10% pasien meningitis
meningokokal, memunculkan tanda-tanda septikemia yang berlebihan:
awitan demam tinggi, lesi purpurik ekstensif (di wajah dan ekstermitas),
syok dan tanda koagulasi intravaskular diseminta (DIC) terjadi searah
mendadak; kematian dapat terjadi dalam beberapa jam setelah awitan
infeksi.
E. Patofisiologi
Organisme penyebab memasuki aliran darah, melintasi sawar
darah-otak, dan memicu reaksi inflamasi di meningers. Tanpa
memperhatikan agens penyebabnya, inflamasi terjadi di subaraknoid dan
pia meter. Kemudian, terjadi peningkatan tekanan intrakranial (ICP).
Infeksi meningeal biasanya muncul melalui satu dari dua cara berikut:
melalui aliran darah akibat infeksi lain (selulitis) atau melalui perluasan
langsung (setelah cedera traumatik pada tulang wajah). Meningitis
bakterial atau meningokokal juga muncul sebagai infeksi oportunis pada
pasien AIDS dan sebagai komplikasi dari penyakit Lyme.
Meningitis bakterial adalah bentuk meningitis yang paling berat.
Patogen bakterial yang paling sering dijumpai adalah N. Meningitis
(meningitis meningukokal) dan S. Pneumoniae, yang merupakan penyebab
80% kasus meningitis pada individu dewasa. Haemopbilus Influenzae dulu
merupakan penyebab tersering meningitis pada anak-anak. Namun, karena
adanya vaksinasi, infeksi oleh organisme ini kini jarang dijumpai di negara
maju (Brunner & Suddarth, 2013).
7. 7
F. Pathway
Penyebab Meningitis seperti Faktor Maternal; Ruptur Membran Fatal, Infeksi maternal pada minggu
terakhir kehamilan. Bakteri; Meningococcal, Pneumocaccal, E. Coli, Streptococcus dll. Faktor
Imunologi; Defisiensi mekanisme imun, Defisiensi Imunoglobulin. Virus; Toxoplasma, Ricketsia.
Organisme masuk ke aliran darah
Reaksi radang dalam meningen bawah cortex
Meningitis
Trombus, aliran darah cerebral
Eksudat purulan menyebar ke dasar otak & medula spinalis
Kerusakan Neurologis
Kaku kuduk
Peningkatan TIKAktivitas
makrofag
virus
πΆπ2
meningkat
Gangguan
Pola
napas
Gangguan
kesadaran
Intake nutrisi
kurang
Gangguan
Ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh
Pelepasan
zat pirogen
endogen
Merangsang
kerja
berlebihan
dari PG EO di
Hipotalamus
Instabil
Termogulasi
Suhu tubuh
sistemik
Hipertemi
Kejang
Gangguan
Mobilitas Fisik
Permeabilitas
vascular
pada serebri
Transudasi
Cairan
Edema Serebri
Vol. Tekanan otak
TIK meningkatNyeri
Menurut (Dwy Ardyan, 2012)
8. 8
G. Komplikasi
a. Komplikasi dari Penyakit Lain ke Meningitis
Menurut (Dosen Keperawatan Medikal Bedah Indonesia, 2016),
Beberapa penyakit yang bisa menimbulkan komplikasi meningitis
diantaranya infeksi saluran napas atas, sinusitis, dan mumps
(gondong).
b. Komplikasi dari Meningitis ke Penyakit Lain
Menurut (Dosen Keperawatan Medikal Bedah Indonesia, 2016),
Beberapa komplikasi yang mungkin timbul diantaranya gangguan
penglihatan, kelemahan sela saraf kranial, tuli, nyeri kepala kronis, dan
paralisis.
H. Pemeriksaan Diagnostik
Menurut (Dosen Keperawatan Medikal Bedah Indonesia, 2016)
a) Laboratorium
- Hitung leukosit menunjukkan leukositosis
- Kultur darah menunjukkan hasil positif terhadap bakteri meningitis,
bergantung pada patogen
b) Pencitraan
- Foto torak menunjukkan pneumonia yang terjadi bersamaan
- Teknik pencitraan neurologis (SC scan dan MRI) dapat mendeteksi
komplikasi dan sumber infeksi parameningen.
c) Prosedur Diagnostik
Pungsi lumbal dan analisis cairan serebrospinal menunjukkan :
peningkatan tekanan buka, pleositosis neutrofil, peningkatan protein,
hipoglikorakia, pewarnaan Gram positif, kultur positif.
I. Pencegahan
Advisory Comitee on Imunization Practices pada Centers for
Disease Control and Prevention (CDC) (2008) merekomendasikan agar
vaksin terkonjugasi meningokokal diberikan kepada remaja yang akan
memasuki sekolah menengah atas dan kepada mehasiswa baru yang
9. 9
tinggal di asrama. Vaksinasi juga harus dipertimbangkan sebagai terapi
pelengkap untuk kemoprofilaksis antibiotik bagi setiap orang yang tinggal
bersama pengidap infeksi meningokokal. Vaksinasi terhadap H. Influenzae
dan S. Pneumoniae harus dianjurkan untuk anak-anak dan orang dewasa
yang beresiko. Individu yang berdekatan dengan pasien penderita
meningitis meningokokal harus diterapi dengan kemoprofilaksis
antimikroba menggunakan rifampin (Rifadin), siprofloksasin hidroklorida
(Cipro), atau natrium seftriakson (Rocephin). Terapi harus dimulai dalam
24 jam setelah pajanan karena keterlambatan dalam memulai terapi akan
membatasi efektivitas profilaksis (Brunner & Suddarth, 2013).
J. Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan medis lebih bersifat mengatasi etiologi dan
perawat perlu menyesuaikan dengan standar pengobatan sesuai tempat
bekerja yang berguna sebagai bahan kolaborasi dengan tim medis.
Secara ringkas penatalaksanaan pengobatan meningitis meliputi:
1. Vankomisin hidroklorida dikombinasikan dengan salah satu
sefalosporin (misnatrium seftriakson, natrium sefotaksim)
diberikan melalui injeksi intravena (IV).
2. Deksametason (Detadron) telah terbukti bermanfaat sebagai terapi
pelengkap pada terapi meningitis bakterial akut dan meningitis
pneumokokal.
3. Dehidrasi dan syok ditangani dengan perkembangan volume
cairan.
4. Kejang, yang dapat terjadi diawal perjalanan penyakit, dikontrol
dengan menggunakan fenitoin (Dilantin).
5. Peningkatan ICP ditangani sebagaimana mestinya.
b. Penatalaksanaan Keperawatan
Prognosis sangat bergantung pada asuhan suportif yang diberikan.
Intervensi keperawatan yang terkait mencakup :
10. 10
1. Kaji status neurologi dan tanda-tanda vital secara kontinu.
Tentukan oksigenasi dari nilai gas darah arteri dan oksimetri
denyut jantung.
2. Masukan slang endotrakea bermanset (trakeostomi), dan
posisikan pasien pada ventilasi mekanisme sesuai program.
3. Kaji tekanan darah (biasanya dipantau dengan menggunakan
slang arterial) untuk mendeteksi syok insipien, yang terjdi
sebelum gagal jantung atau pernapasan.
4. Penggantian cepat cairan IV dapat diprogramkan, tetapi hati-hati
jangan sampai menghidrasi pasien secara berlebihan karena
pasien beresiko mengalami edema serebral.
5. Turunkan demam yang tinggi untuk mengurangi beban kebutuhan
oksigen pada jantung dan otak.
6. Lindungi pasien dari cedera sekunder akibat aktivitas kejang atau
perubahan tingkat kesadaran (LOC).
7. Pantau berat badan setiap hari; elektrolit serum; dan volume, berat
jenis, dan osmolalitas urine, terutama jika pasien diduga
mengalami sindrom ketidak tepatan hormon antidiuretik
(SIADH).
8. Cegah komplikasi yang disebabkan oleh imobilitas seperti tekan
dan pneumonia.
9. Lakukan upaya pengendalian infeksi sampai 24 jam setelah
dimulainya terapi antibiotik (rabs oral dan nasal dianggap
menular).
10. Informasikan keluarga mengenai kondisi pasien dan iziznkan
keluarga melihat pasien pada interval waktu yang tepat.
11. 11
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
Menurut (Dwy Ardyan, 2012)
Pengkajian keperawatan meningitis meliputi: anamnesis riwayat
penyakit, pemeriksaan fisik, pemeriksaan diagnostic, dan pengkajian
psikososial.
1) Anamnesis, meliputi:
Identitas klien, antara lain: nama, jenis kelamin, umur,
alamat, pekerjaan, agama, pendidikan, dsb.
Keluhan utama; yang sering menjadi alasan adalah panas
badan tinggi, sakit kepala, kejang, dan penurunan tingkat
kesadaran.
Riwayat Penyakit Saat Ini; Factor riwayat penyakit sangat
penting diketahui untuk mengetahui jenis kuman penyebab. Disisi
harus ditanya dengan jelas tentang gejala yang timbul seperti kapan
mulai serangan, sembuh, atau bertambah buruk. Pada pengkajiian
klien meningitis, biasanya didapatkan keluhan yang berhubungan
dengan akibat dari infeksi dan peningkatan TIK.
Keluhan gejala awal tersebut biasanya sakit kepala dan
demam. Sakit kepala dihubungkan dengan meningitis yang selalu
berat dan sebagai akibat iritasi meningen. Demam umumnya ada
dan tetap tinggi selama perjalanan penyakit. Keluhan kejang perlu
mendapat perhatian untuk dilakukan pengkajian lebih mendalam,
bagaiman sifat timbulnya kejang, stilus apa yang sering
menimbulkan kejang, dan tindakan apa yang telah diberikan dalam
upaya menurunkan keluhan kejang tersebut.
Adanya penurunan atau perubahan pada tingkat kesadaran
dihubungkan dengan meningitis bakteri. Disorientasi dan gangguan
memori biasanya merupakan awal adanya penyakit. Perubahan
yang terjadi bergantung pada beratnya penyakit, demikian pula
respons individu terhadap proses fisiologis. Keluhan perubahan
12. 12
peilaku juga umum terjadi. Sesuai perkembangan penyakit, dapat
terjadi latergi, tidak responsive, dan koma. Pengkajian lainnya
yang perlu ditanyakan seperti riwayat selama menjalani perawatan
di RS, pernahkah menjalani tindakan invasife yang memungkinkan
masuknya kuman ke meningen terutama melalui pembuluh darah.
Riwayat Penyakit Dahulu; Pengkajian penyakit yang
pernah dialami klien yang memungkinkan adanya hubungan atau
menjadi predisposisi keluhan sekarang meliputi pernahkah klien
mengalami infeksi jalan nafas bagian atas, otitis media, mastoiditis,
anemia sel sabit dan henoglobinopatis lain, tindakan bedah saraf,
riwayat trauma kepala, dan adanya pengaruh immunologis pada
masa sebelumnya. Riwayat sakit TB paru perlu ditanyakan pada
klien terutama apabila ada keluhan batuk produktif dan pernah
menjalani pengobatan obat antituberkulosis yang sangat berguna
untuk mengidentifikasi meningitis tuberkulosa. Pengkajian
pemakaian obat-obat yang sering digunakan klien, seperti
pemakaian obatkortikosteroid, pemakaian jenis-jenis antibiotic dan
reaksinya (untuk menilai resistensi pemakaian antibiotik) dapat
menambah komprehensifnya pengkajian. Pengkajian riwayat ini
dapat mendukung pengkajian dari riwayat penyakit sekarang dan
merupakan data dasar untuk mengkaji lebih jauh dan untuk
memberikan tindakan selanjutnya.
Pengkajian Psiko-sosio-spiritual; Pengkajian psikologis
klien meningitis meliputi beberapa dimensi yang memungkinkan
perawat untuk memperoleh persepsi yang jelas mengenai status
emosi, kognitif, dan perilaku klien. Sebagian besar pangkajian ini
dapat diselesaikan melalui interaksi menyeluruh dengan klien
dalam pelaksanaan pengkajian lain dengan memberi pernyataan
dan tetap melakukan pengawasan sepanjang waktu untuk
menentukan kelayakan ekspresi emosi dan pikiran. Pengkajian
mekanisme koping yang digunakan klien juga penting untuk
menilai respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya
13. 13
dan perubahan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta
respons atau pengauhnya dalam kehidupan sehari-hari baik dalam
keluarga maupun masyarakat. Apakah ada dampak yang timbul
pada klien, yaitu timbul seperti ketakutan akan kecacatan, rasa
cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktifitas secara
optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah (ganngguan
citra tubuh). Pengkajian mengenai mekanisme koping yang secara
sadar bias digunakan klien selama masa stress meliputi
kemampuan klien untuk mendiskusikan masalah kesehatan saat ini
yang telah diketahui dan perubahan perilaku akibat stress.
Karena klien harus menjalani rawat inap maka apakah
keadaan ini memberi dampak pada status ekonomi klien, karena
biaya perawatan dan pengobatan mmemerlukan dana yang tidak
sedikit. Perawat juga memasukkan pengkajian terhadap fungsi
neurologis dengan dampak gangguan neurologis yang akan terjadi
pada gaya hidup individu. Persfektif keperawatan dalam mengkaji
terdiri atas dua masalah, yaitu keterbatasan yang diakibatkan oleh
deficit neurologis dalam hubungannya dengan peran social klien
dan rencana pelayanan yang akan mendukung adaftasi pada
gangguan neurologis didalam system dukungan individu.
B. Pemeriksaan Fisik
Menurut (Dwy Ardyan, 2012)
Setelah melakukan anamneesis yang mengarah pada keluhan-
keluhan klien, pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukung data
dari pengkajian anamnesis. Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan secara
per system B3 (brain) yang terarah dan dihubungkan dengan keluhan-
keluhan dari klien.
Pemeriksaan fisik dimulai dengan memeriksa TTV. Pada klien
meningitis biasanya didapatkan peningkatan suhu tubuh lebih dari normal,
yaitu 38-410 C, dimulai dari fase sistemik. Kemerahan, panas, kulit kering,
berkeringat. Keadaan ini biasanya dihubungkan dengan proses inflamasi
14. 14
dan iritasi meningen yang sudah mengganggu pusat pengatur suhu tubuh.
Penurunan denyut nadi terjadi berhubungan dengan tanda-tanda
peningkatan TIK. Apabila disertai peningkatan frekuensi pernafasan sering
berrhubungan dengan peningkatan laju metabolism umum dan adanya
infeksi pada system pernafasan sebelum mengalami meningitis. Tekanan
darah biasanya normal atau meningkat karena tanda-tanda peningkatan
TIK.
ο· Testing Cerebral Function
Menurut (Suradi Efendi : 2005)
Status mental
1. Pemeriksaan orientasi, Tanya klien tentang : Nama Negara kita,
Nama Ibukota Negara kita, Tempat tinggal, Tempat lahir, Alamat
sekolah, Hari apa, Tanggal berapa, Jam berapa, Bulan berapa,
Tahun berapa
2. Pemeriksaan daya ingat, Klien diperlihatkan sendok, garpu dan
bolpoint selama kurang lebih 1 detik. Minta klien untuk
menyebutkan nama benda.
3. Perhatian dan perhitungan, Tanya klien tentang perhitungan (100 -
7), (93 β 7), (86 β 7), (79 β 7), (72 β 7)
4. Fungsi bahasa;
- Perlihatkan orang coba penghapus dan penggaris, Tanya nama
benda tersebut
- Minta orang coba untuk mengatakan βjika tidak β atau βandai
tetapiβ
- Minta orang coba untuk mengambil penggaris dari baki,
diketukkan 3 kali di baki, serahkan ke temannya
- Perlihatkan kertas perintah pada orang coba.
Tingkat kesadaran
1. Alert; Klien dapat merespon dengan tepat terhadap stimulus audio,
tactil, visual, Orientasi (orang, tempat,waktu) baik.
2. Lethargi; Sering tidur/ngantuk, Klien dapat bangun dengan mudah
bila dirangsang denghan suara, Respon tepat.
15. 15
3. Obtuned; Klien akan bangun dirangsang suara lebih keras atau
menepuk dadanya, Klien akan tidur lagi setelah bangun, Respon
tepat.
4. Stuport; Ada respon terhadap nyeri, Klien tidak sadar penuh
selama stimulasi, Withdrawl refleks.
5. Comatase; Tidak ada respon dan refleks terhadap stimulus, Flaccid
muscle tone pada tangan dan kaki.
Cara mengkaji kesadaran dengan menggunakan GCS
1. Respon Buka Mata, lakukanlah dengan cara memeriksa respon
buka mata dengan urutan :
- Dekati klien β buka mata
- Bila tidak buka mata, beri rangsangan suara/taltil
- Bila tetap tidak buka mata beri cubitan
- Bila dengan nyeri klien tidak buka mata.
2. Respon Motorik, lakukan dengan cara memerintah orang coba
untuk mengangkat tangan dengan urutan :
- Bila langsung mengangkat tangan sesuai perintah
- Bila tidak mengerti perintah, cubit salah satu bagian tangan,
tangan tersebut menghindar β mengenali nyeri local
- Bila dengan cubitan seluruh tangan menghindar β hanya
mengenali nyeri
- Bila tetap tidak berespon cubit bagian dada β dekortikasai
- Dengan cubitan decerebbrasi
- Dengan nyeri tidak berespon.
3. Respon Bicara, Tanya orang coba melalui tahapan :
- Beri pertanyaan komprehensif
- Dengan pertanyaan sederhana orang coba bingung
- Menjawab pertanyaan dengan kata-kata yang tidak sesuai
- Hanya mengeluarkan suara erangan, hem,dll
- Tidak berespon suara.
Pengkajian bicara
1. Pengkajian bicara β Proses Resiptive
16. 16
Kaji cara pengucapan, kemampuan baca. Beri pertanyaan
yang sederhana yang memerlukan jawaban lebih dari satu kata.
Kemudian minta klien untuk membaca.
2. Pengkajian bicara β Proses Expressive
Kemudian untuk mengekspresikan sesuatu, perhatikan
apakah bicara klien lancar,spontan,jelas. Sesuaikan dengan usia
dan pendidikan klien.
Menurut (Dwy Ardyan, 2012)
1) B1 (BREATHING) / Sistem Pernapasan
Inspeksi apakah klien batuk, produksi sputum, sesak nafas,
penggunaan otot bantu nafas, dan peningkatan prekuensi pernapasan yang
sering didapatkan pada klien meningitis yang disertai adanya gangguan
pada system pernapasan. Palpasi thoraks hanya dilakukan apabila terdapat
deformitas pada tulang dada pada klien dengan efusi pleura massif (jarang
terjadi pada klien dengan meningitis). Auskultasi bunyi nafas tambahan
seperti ronkhi pada klien dengan meningitis tuberkulosa dengan
penyebaran primer dari paru
2) B2 (BLOOD) / Sistem Kardiovaskuler
Pengkajian pada system kardiovaskuler terutama dilakukan pada
klien meningitis pada tahap lanjut seperti apabila klien sudah mengalami
renjatan (syok). Infeksi fulminating terjadi pada sekitar 10% klien dengan
meningitis meningokokus, dengan tanda-tanda septicemia: demam tinggi
yang tiba-tiba muncul, lesi purpura yang menyebar (sekitar wajah dan
ekstremitas), syok, dan tanda-tanda koagulasi intravascular desiminata
(disseminated intravascular coagulation-DIC). Kematian mungkin terjadi
dalam beberapa jam setelah serangan infeksi.
3) B3 (BRAIN) / Sistem Neurologi
Pengkajian B3 (Brain) merupakan pemeriksaan focus dan lebih
lengkap dibandingkan pengkajian pada system lainnya.
a. Tingkat kesadaran
17. 17
Kualitas kesadaran kliien merupakan parameter yang paling
mendasar dan parameter yang paling penting yang membutuhkan
pengkajian. Tingkat kesadaran klien dan respons terhadap lingkungan
adalah indicator paling sensitive untuk disfungsi system persarafan.
Beberapa system digunakan untuk membuat peringkat perubahan dalam
kewasspadaan dan kesadaran.
Pada keadaan lanjut tingkat kesadaran klien meningitis biasanya
berkisar pada tingkat latergi, stupor, dan semikomatosa. Apabila klien
sudah mengalimi koma maka penilaian GCS sangat penting untuk
menilai tingkat kasadaran klien dan bahan evaluasi untuk memantau
pemberian asuhan keparawatan.
b. Fungsi serebri
Status mental: observasi penampilan klien dan tingkah lakunya,
nilai gaya bicara klien dan observasi ekspesi wajah dan aktifitas
motorik yang pada klien meningitis tahap lanjut biasanya status mental
klien mengalami perubahan.
c. Pemeriksaan saraf cranial
Saraf I. Biasanya pada klien meningitis tiidak ada kelainan dan
fungsi penciuman tidak ada kelainan.
Saraf II. Tes ketajaman penglihatan pada kondisi normal.
Pemeriksaan papiledema mungkin didapatkan terutama pada meningitis
supuratif disertai abses serebri dan efusi ssubdural yang menyebabkan
terjadinya peningkatan TIK berlangsung lama.
Saraf III,IV, dan VI. Pemeriksaan fungsi dan reaksi pupil pada
klien meningitis yang tidak disertai penurunan kesadaran biasanya
yanpa kelainan. Pada tahap lanjut meningitis yang telah mengganggu
kesadaran, tanda-tanda perubahan dari fungsi dan reksi pupil akan
didapatkan. Dengan alas an yang tidak diketahui, klien meningitis
mengeluh mengalami fotofobia atau sensitive yang berlebihan terhadap
cahaya.
Saraf V. Pada klien meningitis umumnya tidak didapatkan paralisis
pada otot wajah dan refleks kornea biasanya tidak ada kelainan.
18. 18
Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah
simetris.
Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli
persepsi.
Saraf IX dan X. kemampuan menelan baik.
Saraf XI. Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan
trapezius. Adanya usuha dari klien untuk melakukan fleksi leher dan
kaku kuduk (rigiditas nukal).
Saraf XII. Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak
ada fasikulasi. Indra pengecapan normal.
d. System motorik
Kekuatan otot menurun, control keseimbangan dan koordinasi pada
meningitis tahap lanjut mengalami perubahan.
e. Pemeriksaan refleks
Pemeriksaan refleks dalam, pengetukan pada tendon, lagamentum
atau periosteum derajat refleks pada respons normal. Refleks patologis
akan didapatkan pada klien meningitis dengan tingkat kesadaran koma.
Adanya refleks Babinski (+) merupakan tanda adanya lesi UMN.
f. Gerakan involunter
Tidak ditemukan adanya tremor, kedutan saraf, dan distonia. Pada
keadaan tertentu klien biasanya mengalami kejang umum, terutama
pada anak dengan meningitis disertai peningkatan suhu tubuh yang
tinggi. Kejang dan peningkatan TIK juga berhubungan dengan
meningitis. Kejang terjadi sekunder akibat area fokal kortikal yang
peka.
g. System sensorik
Pemeriksaan sensorik pada meningitis biasanya didapatkan sensasi
raba, nyeri, dan suhu normal, tidak ada perasaan abnormal dipermukaan
tubuh. Sensasi proprioseptif dan diskriminatif normal.
Pemeriksaan fisik lainnya terutama yang berhubungan dengan
peningkatan TIK. Tanda-tanda peningkatan TIK sekunder akibat
eksudat purulen dan edema serebri terdiri atas perubahan karakteristik
19. 19
tanda-tanda vital (melebarnya tekanan pulsa dan bradikardi),
pernapasan tidak teratur, sakit kepala, muntah, dan penurunan tingkat
kesadaran.
Adanya ruang merupakan salah satu ciri yang menyolok pada
meningitis meningokokal (neisseria meningitis). Sekitar setengah dari
semua kloien dengan tipe meningitis, mengalami lesi-lesi pada kulit
diantaranya ruam ptekia dengan lesi purpura sampai ekimosis pada
daerah yang luas.
Iritasi meningen mengakibatkan sejumlah tanda yang mudah
dikenali yang umumnya terlihat pada semua tipe meningitis. Tanda
tersebut adalah rigiditas nukal, tanda kering (positif) dan adanya tanda
brudzinski. Kaku kuduk adalah tanda awal adanya upaya untuk fleksi
kepala mengalami kesukaran karena adanya spasme otot leher. Fleksi
paksaan menyebabkan nyeri berat. Tanda pernig (positif) ketika klien
dibaringkan dengan paha dalam keadaan fleksi kearah abdomen, kaki
tidak dapat diekstgensikan sempurna.
Tanda brutzinski: tanda ini didapatkan bila leher klien difleksikan,
maka dihasilnya fleksi lutut dan pinggul; bila didapatkan fleksi pasif,
maka ekstremitas bawah pada salah satu sisi, maka gerakan yang sama
terlihat pada sisi ekstremitas yang berlawanan
4) B4 (BLADDER) / Sistem Urologi
Pemeriksaan pada system perkemihan biasanya didapatkan volume
haluaran urine, hal ini berhubungan dengan penurunan perfusi dan
penurunan curah jantung ke ginjal.
5) B5 (BOWEL) / Sistem Gastrointestinal
Mual sampai muntah karena peningkatan produksi asam lambung.
Pemenuhan nutrisi pada klien meningitis menurun karena anoreksia dan
adanya kejang.
6) B6 (BONE)
Adanya bengkak dan nyeri pada sendi-sendi besar (khususnya lutut
dan pergelangan kaki). Ptekia dan lesi purpura yang didahului oleh ruam.
20. 20
Pada penyakit yang berat dapat ditemukan ekimosis yang besar pada
wajah. Klien sering mengalami penurunan kekuatan otot dan kelemahan
fisik secara umum sehingga mengganggu aktifitas hidup sehari-hari
(ADL).
C. Diagnosa Keperawatan
Menurut (Dwy Ardyan, 2012)
1) Risiko peningkatan TIK yang berhubungan dengan peningkatan
volume intracranial, penekanan jaringan otak, dan edema serebri.
2) Risiko gangguan nutrisi: kurang dari kebutuhan yang berhubungan
dengan kektidakmampuan menelan, keadaan hipermetabolik.
3) Risiko tinggi cedera yang berhubungan dengan adanya kejang
berulang, fiksasi kurang optimal
4) Risiko tinggi koping individu dan keluarga tidak efektif yang
berhubungan dengan prognosis penyakit, perubahan psiko-sosial,
perubahan perspsi kognitif, perubahan actual dalam strukltur dan
fungsi, ketidakberdayaan, dan merasa tidak ada harapan.
5) Ketidakefektifan bersihan jalan nafas yang berhubungan dengan
akumulasi secret, penurunan kemampuan batuk, dan perubahan
tingkat kesadaran.
6) Nyeri kepala yang berhubungan dengan iritasi selaput dan jaringan
otak.
7) Perubahan perfusi jaringan otak yang berhubungan dengan
peradangan dan edema pada otak dan selaput otak.
8) Cemas yang berhubungan dengan ancaman, kondisi sakit dan
perubahan kesehatan.
D. Intervensi
Menurut (Dwy Ardyan, 2012)
Resiko peningkatan TIK yang berhubungan dengan peningkatan volume intracranial, penekanan
jaringan otak, dan edema serebri.
Tujuan: tidak terjadi peningkatan TIK pada klien dalam waktu 3x24 jam.
21. 21
Kriterria hasil: Klien tidak gelisah, klien tidak mengeluh nyeri kepala, mual-mual dan muntah, GCS:
4,5,6, tidak terdapat papil edema, TTV dalam batas normal.
Intervensi Rasional
Kaji factor penyebab dari situasi/keadaan
individu/penyebab koma/penurunan perfusi
jaringan dan kemungkinan penyebab
peningkatan TIK.
Pertahankan kepala/leher pada posisi yang
netral, usahakan dengan sedikit bantal.
Hindari penggunaan bantal yang tinggi
pada kepala.
Berikan periode istirahat antara perawatan
dan batasi lamanya prosedur.
Berikan cairan intravena sesuai indikasi.
Berikan obat osmosis diuretic: manitol,
furoscide.
Berikan steroid: dexamethason, methyl
prednisone
Berikan analgesic narkotik: kodein.
Panas merupakan reflex dari hipotalamus.
Peningkatan kebutuhan metabolism dan oksigen akan
menunjang peningkatan TIK.
Perubahan kepala pada satu sisi dapat menimbulkan
penekanan pada vena jugularis, dan menghambat
aliran darah ke otak sehingga TIK meningkat.
Memberikan suasana yang tenang dapat mengurangi
respon psikologis dan memberikan istirahat untuk
mempertahankan TIK yang rendah.
Mengurangi edema serebral, peningkatan minimum
pada minimum pada pembuluh darah, tekanan darah,
dan TIK.
Duretik digunakan pada fase akutuntuk mengalirkan
air dari sel otak dan mengurangi edema serebral dan
TIK.
Untuk menurunkan inflamasi dan mengurangi edema
jaringan.
Mengurangi nyeri
Risiko gangguan nutrisi: kurang dari kebutuhan yang berhubungan dengan ketidakmampuan
menelan, keadaan hipermetabolik.
22. 22
Tujuan: kebutuhan nutrisi klien terpenuhi dalam waktu 5x24 jam.
Criteria hasil: turgor baik, asupan dapat masuk sesuai kebutuhan, terdapat kemampuan menelan,
sonde dilepas, berat badan meningkat 1 kg, Hb dan albumin dalam batas normal.
Intervensi Rasional
Observasi tekstur dan turgor kulit.
Lakukan oral higiene.
Observasi asupan dan keluaran.
Observasi posisi dan keberhasilan sonde.
Tentukan kemampuan klien dalam
mengunyah, menelan dan refleks batuk.
Kaji kemampuan klien dalam menelan,
batuk, dan adanya secret.
Auskultasi bising usus, amati penurunan
atau hiperaktivitas bising usus.
Timbang berat badan sesuai indikasi.
Berikan makanan dengan cara meninggikan
kepala.
Letakkan posisi kepala lebih tinggi pada
waktu, selama dan sesudah makan.
Mengetahui status nutrisi klien.
Kebersihan mulut deapat merangsang nafsu makan.
Mengetahui keseimbangan nutrisi klien.
Menghindari resiko infeksi/iritasi.
Untuk menetapkan jenis makanan yang akan
diberikan pada klien.
Dengan mengkaji factor-faktor tersebut dapat
menentukan kemampuan menelan klien dan
mencegah risiko aspirasi.
Fungsi GI bergantung pada kerusakan otak. Bising
usus menentukan respons pemberian makan atau
terjadinya komplikasi, misalnya pada ileus.
Untuk mengevaluasi efektivitas dari asupan
makanan.
Menurunkan risiko regurgitasi atau aspirasi.
Klien lebih mudah untuk menelan karena gaya
gravitasi.
23. 23
Stimulasi bibir untuk menutup dan membuka
mulut secara manual dengan menekan ringan
di atas bibir/ di bawah dagu jika dibutuhkan.
Letakkan makanan pada daerah mulut yang
tidak terganggu.
Berikan makan dengan perlahan pada
lingkungan yang tenang.
Berikan makanan per oral setengah cair dan
makanan lunak ketika klien dapat menelan
air.
Anjurkan klien menggunakan sedotan untuk
minum.
Anjurkan klien untuk berpartisifasi dalam
program latihan /kegiatan.
Kolaborasi dalam memberikan cairan
melalui IV atau makanan melalui selang.
Membantu dalam melatih kembali sensorik dan
meningkatkan control muscular.
Memberikan stimulasi sensorik (termasuk rasa
kecap) yang dapat mencetuskan ussaha untuk
menelan dan meningkatkan masukan.
Klien dapat berkonsentrasi pada mekanisme makan
tanpa adanya distraksi dari luar.
Makanan lunak atau cair mudah untuk dikendalikan
didalam mulut dan menurunkan terjadinya aspirasi.
Menguatkan otot fasial dan otot menelan dan
menurunkan resiko terjadinya tersedak.
Dapat meningkatkan pelepasan endorphin dalam
otak yang meningkatkan nafsu makan.
Untuk membersihkan cairan pengganti dan juga
makanan jika klien tidak mampu untuk memasukkan
segala sesuatu melalui mulut.
Risiko tinggi cedera yang berhubungan dengan adanya kejang berulang, fiksasi kurang optimal.
Tujuan: dalam waktu 3x24 jam , klien bebas dari cedera yang disebabkan oleh kejang dan penurunan
kesadaran.
Criteria hassil: klien tidak mengalami cedera apabila ada kejang ebrulang.
Intervensi Rasional
Monitor kejang pada tangan, kaki, mulut,
dan otot-otot muka lainnya.
Gambaran iritabilitas system saraf pusat memerlukan
evaluasi yang sesuai dengan intervensi yang dapat
24. 24
Persiapkan lingkungan yang aman seperti
batasan ranjang, papan pengaman, dan alat
suction selalu berada dekat klien.
Pertahankan bedrest total selama fase akut.
Kolaborasi pemberian terapi; diazepam,
fenobarbital.
untuk mencegah terjadinya komplikasi.
Melindungi klien bila kejang terjadi.
Mengurangi risiko jatuh/cidera jika terjadi vertigo
dan ataksia.
Untuk mencegah atau mengurangi kejang.
Risiko tinggi koping individu dan keluarga tidak efektif yang berhubungan dengan prognosis
penyakit, perubahan psikososial, perubahan persepsi kognitif, perubahan actual dalam struktur dan
fungsi, ketidakberdayaan, dan merasa tidak ada harapan.
Tujuan: dalam waktu 1x24 jam setelah intervensi harga diri klien meningkat.
Criteria hasil: mampu menyatakan/ mengomunikasikan dengan orang terdekat tentang situasi dan
perubahan yang sedang terjadi, mampu menyatakan penerimaan diri terhadap situasi, mengakui dan
menggabungkan perubahan kedalam konsep diri dengan cara yang akurat tanpa harga diri yang
negative.
Intervensi Rasional
Kaji perubahan dari gangguan persepsi dan
hubungan dengan derajat ketidakmampuan.
Ajarkan klien untuk mengekspresikan
perasaan, termasuk permusuhan dan
kemarahan.
Bantu dan anjurkan perawatan yang baik
dan memperbaiki kebiasaan.
Menentukan bantuan untuk indiividu dalam
menyusun rencana perawatan atau pemilihan
intervensi.
Membantu klien untuk mengenal dan mulai
menyesuaikan dengan perasaan tersebut.
Membantu meningkatkan perasaan harga diri dan
mengendalikan lebih dari satu area kehidupan.
25. 25
Anjurkan orang-orang terdekat untuk
mengijinkan klien melakukan sebanyak-
banyaknya hal-hal untuk dirinya.
Dukung perilaku/usaha seperti ppeningkatan
minat/partisipasi dalam aktivitas rehabilitasi.
Dukung penggunaan alat-alat yang dapat
membantu adaptasi klien, seperti tongkat,
alat bantu jalan, tas panjang untuk kateter.
Monitor gangguan tidur peningkatan
kesulitan konsentrasi, letargi, dan menarik
diri.
Kolaborasi: rujuk pada ahli neuropsikologi
dan konseling bila ada indikasi.
Menghidupkan kembali perasaan kemandirian dan
membantu perkembangan harag diri serta
memengaruhi proses rehabilitasi.
Klien dapat beradaptasi terhadap perubahan dan
pengertian tentang peran individu masa mendatang.
Meningkatkan kemandirian untuk membantu
pemenuhhan kebutuhan fisik dan menunjukkan
posisi untuk lebih aktif dalam kegiatan social.
Dapat mengindikasikan terjadinya depresi umumnya
terjadi sebagai pengaruh dari stroke, ketika
inetrvensi dan evaluasi lebih lanjut diperlukan
Dapat memfasilitasi perubahan peran yang penting
untuk perkembangan perasaan.
Ketidakefektifan bersihan jalan nafas yang berhubungan dengan akumulasi secret, penurunan
kemampuan batuk, dan perubahan tingkat kesadaran.
Tujuan: dalam waktu 3x24 jam setelah diberikan tindakan, jalan nafas kembali efektif.
Criteria hasil: secara subjektif sesak nafas (-), frekuensi nafas 16-20x/menit, tidak menggunakan otot
bantu nafas, retraksi ICS (-), mengi (-/-), dapat mendemonstrasikan cara batuk efektif.
Intervensi Rasional
Kaji fungsi paru, adanya bunyi nafas
tambahan, perubahan irama dan kedalaman,
penggunaan otot-otot pernafasan, warna,
dan kekentalan sputum.
Atur pasisi fowler dan semifowler.
Memantau dan mengatasi komplikasi potensial.
Pengkajian fungsi pernafasan dengan interval yang
teratur adalah penting karena pernafasan yang tidak
efektif dan adanya kegagalan, akibat adanya
kelemahan atau paralisis pada otot-otot interkostal
dan difragma berkembang dengan cepat.
Peninggian kepala tempat tidur memudahkan
26. 26
Ajarkan cara batuk efektif.
Lakukan fisioterapi dada; vibrilasi dada.
Penuhi hidrasi cairan via oral seperti minum
air putih dan pertahankan asupan cairan
2500 ml/hari.
Lakukan pengisapan lender dijalan nafas.
pernafasan, meningkatkan ekspansi dada, dan
meningkatkan batuk lebih efektif.
Klien berada pada risiko tinggi bila tidak dapat batuk
dengan efektif untuk membersihkan jalan nafas dan
mengalami kesulitan dalam menelan, sehingga
menyebabkan aspirasi saliva dan mencetuskan gagal
nafas akut.
Terapi fisik dada membantu meningkatkan batuk
lebih efektif.
Pemenuhan cairan dapat mengencerkan mucus yang
kental dan dapat membantu pemenuhan cairan yang
banyak keluar dari tubuh.
Pengisapan mungkin diperlukan untuk
mempertahankan kepatenan jalan nafas menjadi
bersih.
Nyeri kepala yang berhubungan dengan iritasi selaput dan jaringan otak.
Tujuan: dalam waktu 3x24 jam keluhan nyeri berkurang/rasa sakit terkendali.
Criteria hasil: klien dapat tidur dengan tenang, wajah rileks, dan klien memverbalisasikan penurunan
rasa sakit.
Intervensi Rasional
Usahakan membuat lingkungan yang aman
dan tenang.
Compress dingin (es) pada kepala.
Menurunkan reaksi terhadap ransangan eksternal
atau kesensitifan terhadap cahaya dan menganjurkan
klien untuk beristirahat.
Dapat menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah
otak.
27. 27
Lakukan penatalaksanaan nyeri dengan
metode distraksi dan relaksasi nafas dalam.
Lakukan latihan gerak aktif atau pasif sesuai
kondisi dengan lembut dan hati-hati.
Kolaborasi pemberian analgesic.
Membantu menurunkan (memutuskan) stimulassi
rasa nyeri.
Dapat membantu ralaksasi otot-otot yang tegang dan
dapat menurunkan nyeri atau rasa tidak nyaman.
Pemberian analgesic dapat menurunkan rasa nyeri.
Perubahan perfusi jaringan otak yang berhubungan dengan peradangan dan edema pada otak dan
selaput otak.
Tujuan: Dalam waktu 3x24 jam setelah diberikan intervensi perfusi jaringa otak meningkat.
Criteria hasil: Tingkat kesadaran meningkat menjadi sadar, disorientasi negative, konsentrasi baik,
perfusi jaringan dan oksigenassi baik, TTV dalam batas normal, dan syok dapat dihindari.
Intervensi Rasional
Anjurkan klien berbaring minimal 4 - 6 jam setelah
lumbal pungsi.
Monitor tanda-tanda peningkatan tekanan intracranial
selama perjalanan penyakit (nadi lambat, TD
meningkat, kesadaran menurun, nafas ireguler, refleks
pupil menurun, kelemahan).
Monitor TTV dan neurologis tiap 5-30 menit. Catat
dan laporkan segera perubahan-perubahan tekanan
intra-cranial ke dokter.
Hindari posisi tungkai ditekuk atau gerakan-gerakan
klien, anjurkan untuk tirah baring.
Tinggikan sedikit kepala klien dengan hati-hati, cegah
gerakan yang tiba-tiba dan tidak perlu dari kepala dan
leher, hindari fleksi leher.
Mencegah nyeri kepala yang menyertai
perubahan tekanan intracranial.
Mendeteksi tanda-tanda syok.
Perubahan-perubahan ini manandakan ada
perubahan tekanan intracranial dan penting
untuk intervensi awal.
Mencegah peningkatan tekanan
intracranial.
Mengurangi tekanan intracranial.
28. 28
Bantu seluruh aktivitas dan gerakan-gerakan klien.
Anjurkan klien untuk menghembuskan nafas dalam
bila miring dan bergerak ditempat tidur. Cegah posisi
fleksi pada lutut.
Sesuaikan dan atur waktu prosedur perawatan dengan
periode reelaxsasi; hidari rangsangan lingkungan yang
tidak perlu.
Beri penjelasan kepada klien tentang keadaan
lingkungan.
Evaluasi selama masa penyembuhan terhadap
gangguan motorik, sensorik dan intelektual.
Kolaborasi pemberian steroid osmotic.
Mencegah keregangan otot yang dapat
menimbulkan peningkatan tekanan
intracranial.
Mencegah eksitasi yang merangsang otak
yang sudah iritasi dan dapat menimbulkan
kejang.
Mengurangi disorientasi dan untuk
klarifikasi persefsi sensorik yang
terganggu.
Untuk merujuk ke rehabilitasi.
Menurunkan tekanan intracranial.
Cemas yang berhubungan dengan kondisi sakit dan prognosis penyakit yang buruk
Tujuan : dalam waktu 1x24 jam setelah diberikan intervensi kecemasan hilang atau berkurang
Criteria hasil : mengenal perasaannya, dapat mengidentifikasi penyebab atau factor yang
mempengaruhinya, dan menyatakan cemas berkurang
Intervensi Rasonal
Bantu klien mengekspresikan perasaan
marah, kehilangan, dan takut
Cemas berkelanjutan dapat memberikan dampak
serangan jantung selanjutnya
Kaji tanda verbal dan non verbal kecemasan,
dampingi klien, dan lakukan tindakan bila
menunjukkan perilaku merusak
Reaksi verbal atau nonverbal dapat menunjukkan
rasa agitasi, marah dan gelisah
Hindari konfrantasi Konfrontasi dapat meningkatkan rasa marah,
29. 29
menurunkan kerja sama, dan mungkin
memperlambat penyembuhan
Mulai melakukan tindakkan untuk
mengurangi kecemasan. Beri lingkungan
yang tenang dan suasana penuh istirahat
Mengurangi rangsangan eksternal yang tidak perlu
Orientasikan klien terhadap prosedur rutin
dan aktivitas yang diharapkan
Orientasi dapat menurunkan kecemasan
30. 30
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Jadi, setelah dari beberapa definisi, kelompok kami menyimpulkan
bahwa Meningitis adalah radang selaput otak / meningen. Meningitis
dibagi menjadi 2 yakni Meningitis Bakterial (Septic) yang etiologi nya
berasal dari bakteri seperti meningococc dll, dan Meningitis Virus
(Aseptic) yang dari virus seperti Toxoplasma & Ricketsia dan cara
penyebaran dengan cara organisme penyebab memasuki aliran darah,
melintasi sawar darah-otak, dan memicu reaksi inflamasi di meningers
dengan gejala awal sakit kepala & demam yang apabila tidak di tindak
lanjuti dapat menyebabkan sakit kepala kronis dan bahkan tuli. Cara
pemeriksaan diagnostik yakni biasanya dengan lumbal punksi. Dan dapat
dicegah sejak dini dengan vaksinasi. Penatalaksanaan medis lebih bersifat
mengatasi etiologi, Prognosis sangat bergantung pada asuhan suportif
yang diberikan. Pada Asuhan Keperawatan pengkajian dan pemeriksaan
fisik lebih difokuskan pada testing cerebral function dan sistem neurologi.
Dan diagnosa dan intervensi lebih difokuskan pada apa yang dirasakan.
B. Saran
Sebaiknya perawat lebih melakukan Health Education atau
Penyuluhan Kesehatan terhadap pasien mengenai penyakit nya agar
mengurangi terjadiya cemas dll dan pada orang awam yang belum
mengerti dan masih mencegah untuk disarankan untuk di vaksin dan
perawat atau bahkan tenaga kesehatan (Dokter, Farmasi dll) dalam
melakukan pemeriksaan fisik, diagnostik, lab dll harap lebih difokuskan
dan hati β hati terutama perawat dalam melakukan asuhan keperawatan
dari pengkajian hingga evaluasi.
31. 31
DAFTAR PUSTAKA
Ardyan, Dwi. 2012. Asuhan Keperawatan Meningitis pada
http://dwyardyan24.blogspot.co.id/2012/04/asuhan-keperawatan-
meningitis.html diakses pada Rabu, 26 April 2017.
Brunner & Suddarth. 2013. Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth
Ed.12. Jakarta. EGC
Dosen Keperawatan Medikal Bedah Indonesia. 2016. Rencana Asuhan
Keperawatan Medikal β Bedah : Diagnosis NANDA-I 2015 β 2017 Intervensi
NIC hasil NOC. Jakarta. EGC
Kaplan and sudock, M. (2008). Asuhan Keperawatan Pasien Preoperasi.
Kurniawati, A. (2013). Pola Penggunaan Antibiotik pada Terapi Meningitis di
Instalasi Rawat Inap RSUD Dr. Soetomo Surabaya, 1β4.