1. Kualitas Pendidikan : Guru atau Kurikulum ?
Oleh : Wakhid Pramono, S, Pd
Semangat tetap terjaga walau diterpa ketidakpastian berbagai kebijakan yang
premateur berkali-kali bahkan sering kita dengar disemua media tak kecuali di media
sosial.bagaimana sikap pemerintah??acuh, konsisten, atau tidak mendengar aspirasi bawah
yang jelas merepresentasikan kebenaran yang ada.
Makin banyak orang pintar di negeri ini, pendidikan makin dikebiri oleh banyak
kepentingan. Makin maju bangsa ini, pendidikan makin jadi polemik. Itulah potret
pendidikan di Indonesia. Kurikulum 2013, sebagian kalangan minta dibatalkan Ujian
Nasional (UN) yang penuh karut-marut menuai kritik keras. Belum lagi soal komersialisasi
pendidikan berlabel standar nasional-internasional yang tak kunjung tuntas. Mau ke mana
arah kualitas pendidikan kita?
Kurikulum 2013, sudah menjadi ketetapan pemerintah akan dilaksanakan pada Juli
2013 mendatang. Konon, Kurikulum 2013 ini memiliki inti pada pembelajaran yang
sederhana dan didasari orientasi pembelajaran yang tematik-integratif. Harapannya, mampu
mencetak generasi yang siap dalam menghadapi tantangan masa depan. Siswa dituntut agar
mampu dalam melakukan observasi, bertanya, bernalar, dan mengkomunikasikan apa yang
dipelajari. Targetnya, siswa memiliki kompetensi sikap, keterampilan, dan pengetahuan yang
lebih baik. Lebih kreatif, inovatif, dan produktif. Anggaran sebesar Rp. 2,5 Triliun pun siap
digelontorkan untuk penerapan Kurikulum 2013 ini. Di atas kertas, tujuan Kurikulum 2013
sangat ideal, tidak perlu dibantah.
Lalu, mengapa beberapa organisasi guru yang menolak Kurikulum 2013. Ya, karena
Kurikulum 2013 dinilai membingungkan guru saat implementasi dalam kegiatan belajar di
kelas. Diduga, Kurikulum 2013 menjadikan guru tidak kreatif, tidak inovatif, sangat
bergantung pada kurikulum. Sinyalemen banyaknya mata pelajaran yang dihapus juga dapat
mengakibatkan ratusan ribu guru kehilangan pekerjaan. Mematikan kompetensi yang dimiliki
guru. Dan yang paling penting, guru sebagai ujung tombak pembelajaran di kelas tidak
dilibatkan dalam penyusunan Kurikulum 2013. Kok, bisa guru tidak dilibatkan?
2. Kurikulum 2013 mengundang pro dan kontra. Bongkar pasang kurikulum pendidikan
di Indonesia adalah tradisi. Mulai dari CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif), KBK (Kurikulum
Berbasis Kompetensi), Kurikulum 2006, Kurikulum 2008, KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan) hingga Kurikulum 2013 yang akan diterapkan. Namun, kita tidak boleh
kehilangan akal sehat untuk tetap berpegang pada pendidikan sebagai proses untuk
membentuk jati diri manusia yang seutuhnya. Manusia yang memiliki sifat, sikap, dan
perilaku yang membebaskan dirinya dari ketaidaktahuan. Jadi, dari mana kualitas pendidikan
harus dimulai, dari gurunya atau kurikulumnya?
Fakta pendidikan hari ini adalah cara belajar siswa semakin merosot tajam.
Kreativitas siswa terbelenggu. Sebagian besar siswa sekarang ini tidak cinta belajar.
Kurikulum semestinya mampu mengajak siswa agar bersemangat dalam belajar. Guru yang
baik adalah guru yang mampu menciptakan suasana belajar yang bergairah. Hari ini, kita
membutuhkan kurikulum dan guru yang mampu menjadikan belajar sebagai kegiatan yang
menyenangkan.
Belajar bukan untuk mendapat nilai yang bagus. Belajar tidak hanya untuk
mempersiapkan ujian. Karena itu, pendidikan yang mengedepankan kompetisi dalam belajar
harus dibuang jauh-jauh. Orang tua tidak perlu memasukkan anaknya ke bimbingan belajar
hanya untuk menggapai rangking di kelas. Atau hanya untuk mempersiapkan Ujian Nasional.
Fenomena inilah yang menjadikan siswa takut dalam belajar. Siswa sering mengalami stres
dan tekanan mental dalam belajar. Konsekunsinya, siswa makin tidak senang belajar.
Dalam konteks ini, kurikulum jenis apa pun seharusnya menjadi perangkat yang
mampu membuat belajar sebagai kegiatan yang menyenangkan siswa. Oleh karena itu,
senang atau tidaknya siswa dalam belajar sangat bergantung pada guru. Kurikulum sebaik
apapun tidak akan berhasil tanpa dukungan guru yang kompeten, guru yang kretaif dan
mampu menggairahkan suasana belajar. Ruang guru untuk berkreasi dalam kegiatan belajar
di dalam kelas harus dihidupkan. Guru adalah basis pendidikan, guru yang menjadi aktor
utama kualitas belajar. Kurikulum berubah-ubah terus tidak masalah asalkan guru tetap
kreatif dalam mengajar. Dalam belajar, hitam putihnya siswa adalah hak guru.
Belajar bukanlah proses untuk menjadikan siswa sebagai ahli pada mata pelajaran
tertentu. Siswa lebih membutuhkan pengalaman dalam belajar, bukan pengetahuan. Karena
itu, kompetensi guru menjadi syarat utama tercapainya kualitas belajar yang baik. Guru yang
3. kompeten akan meniadakan problematika belajar akibat kurikulum. Kompotensi guru harus
berpijak pada kemampuan guru dalam mengajarkan materi pelajaran secara menarik, inovatif,
dan kreatif yang mampu membangkitkan kegairahan siswa dalam belajar.
Guru yang kompeten adalah guru yang dapat mengubah kurikulum pembelajaran
menjadi unit pelajaran yang mampu menembus ruang-ruang kelas. Kelas sebagai ruang
sentral interaksi guru dan siswa harus dibuat bergairah. Kurikulum tidak semestinya
mengungkung kreativitas guru dalam mengajar. Kurikulum, yang katanya sudah memadai
harus benar-benar dapat diwujudkan dalam praktik kegiatan belajar-mengajar yang optimal,
tidak hanya menjadi simbol dalam memenuhi target pembelajaran.
Kesan pembelajaran di sekolah saat ini hanya mengarah pada penguasaan materi
pelajaran harus dapat diubah menjadi kompetensi siswa. Guru sebaiknya menjadi sosok yang
tidak dominan di dalam kelas. Cara mengajar guru yang sekadar duduk di depan kelas atau
bertumpu pada ceramah menjadi bukti kurangnya kompetensi guru. Penciptaan suasana
belajar yang dinamis, produktif, dan profesional harus menjadi spirit bagi para guru.
Perubahan kurikulum dengan tujuan besarnya akan sia-sia apabila mindset guru tidak
berubah. Kreativitas guru harus menjadi model bagi siswanya. Guru tidak perlu text book
terhadap kurikulum agar alokasi pembelajaran yang diarahkan tercapai. Guru tidak boleh
nyaman dengan cara belajar yang satu arah. Guru tidak lagi dapat bertahan pada otoritas
belajar yang berlebihan. Bahkan guru harus mampu membuka ruang siswa menjadi aktif
belajar dan banyak bertanya di kelas. Apalagi saat ini, ada kesan guru makin tidak
berkembang, hanya datang, mengajar, pulang dan lebih sibuk dengan urusan profesi
keguruannya.
Di sisi lain, sikap guru dalam mengajar juga patut mendapat perhatian. Banyak sikap
guru yang tidak bangga terhadap mata pelajaran yang diajarnya. Saat ini banyak guru yang
mengajar tidak dengan hati. Guru dianggap hanya profesi. Siswa makin acuh dalam belajar
karena sikap guru yang tidak antusias dalam mengajar. Apalagi penguasaan materi ajar yang
minim. Guru harus mereformasi sikapnya sendiri dalam mengajar. Beberapa sikap guru yang
penting dalam konteks belajar di masa sekarang adalah: a) orientasi belajar yang lebih
praktis, b) bertumpu pada siswa dalam memperoleh pengalaman, c) kreasi guru dalam
mengajar harus lebih luas, d) penyederhanaan materi pelajaran, dan e) metode belajar yang
menarik dan menyenangkan.
4. Kurikulum memang penting tapi tidak memiliki urgensi yang tinggi dalam
meningkatkan kualitas pendidikan. Justru, kualitas dan kompetensi guru yang harus menjadi
acuan. Karena itu, sebaiknya kita fokus dalam mengembangkan kualitas dan kompetensi
guru. Bukan membuang energi memperdebatkan kurikulum. Bukankah kurikulum sangat
tergantung pada pelaksananya. Memang, ada banyak hal masih harus dibenahi dalam
persoalan guru. Karena kualitas pendidikan ada pada guru bukan pada perangkat lain yang
notabene tanpa pelaksana yang kompeten tak akan membuahkan hasil yang memuaskan.
Alangkah baiknya pemerintah memperhatikan kompetensi guru dengan menawarkan
program yang relevan seperti beasiswa walau disejumlah daerah sudah ada yang memberi
beasiswa kepada guru tapi sesungguhnya perlu penanganan yang serius karena guru
merupakan agent of change dalam Pendidikan Nasional.