Makalah ini membahas peran guru dalam menghadapi tantangan moralitas di abad 21. Globalisasi memungkinkan interaksi antar individu, kelompok, dan negara melintasi batas negara, namun juga berdampak pada menurunnya nilai-nilai moral. Pendidikan diharapkan menjadi filter untuk pengaruh modern. Guru bertanggung jawab besar dalam mempertahankan moralitas bangsa, karena guru tidak hanya mengajar tetapi juga mendidik. Diperlukan
PERAN GURU MENGHADAPI TUNTUTAN MORALITAS DI ABAD 21
1. Arah Kebijakan
Pendidikan Guru di Indonesia
3. ii
Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia (KONASPI) VIII Tahun 2016
Editor: Agung Premono, I Wayan Sugita, Ragil Sukarno, M. Ali Akbar
Disclaimer
This book proceeding represents information obtained from authentic and highly regarded sources.
Reprinted material is quoted with permission, and sources are indicated. A wide variety of
references are listed. Every reasonable effort has been made to give reliable data and information,
but the author(s) and the publisher can not assume responsibility for the validity of all materials or
for the consequences of their use.
All rights reserved. No part of this publication may be translated, produced, stored in a retrieval
system or transmitted in any form by other any means, electronic, mechanical, photocopying,
recording or otherwise, without written consent from the publisher.
Direct all inquiries to State University of Jakarta, Jalan Rawamangun Muka, Jakarta Timur 13220.
@2016 by State University of Jakarta
4. iii
KONVENSI NASIONAL PENDIDIKAN INDONESIA (KONASPI)
TAHUN 2016
Penanggung Jawab:
Rektor UNJ : Prof. Dr. Djaali
Panitia Pelaksana
Ketua : Prof. Dr. Muchlis R. Luddin, MA
Sekretaris : Dr. Totok Bintoro, M.Pd.
: Dr. Eng. Agung Premono, MT
Reviewer:
Dr. Ucu Cahyana, M.Si.
Dr. Khaerudin, M.Pd.
Dr. Etin Solihatin, M.Pd
Dr. Gantina Komalasari, M.Psi.
Dr. Ifan Iskandar, M.Hum.
Dr. Muktiningsih, M.Si.
Dr. M. Jafar, M.Si.
Setyo Ferry Wibowo, SE., M.Si.
Dr. Saparuddin, M.Si.
Samadi, M.Si.
Dr. Nurjanah, M.Pd.
Dr. Rini Puspitaningrum, M. Biomed
5. iv
Sekretariat
Kantor Wakil Rektor Bidang Akademik UNJ
Gedung Rektorat UNJ Lantai 3
Kampus A Universitas Negeri Jakarta
Jl. Rawamangun Muka Jakarta Timur 13220
Telp : 021-47860238 / Fax. 021-4895130
Email : konaspi@unj.ac.id
Web : http://seminars.unj.ac.id/konaspi
6. v
Kata Pengantar
Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia (KONASPI) VIII 2016 dilaksanakan oleh Asosiasi
Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan Negeri Indonesia (ALPTKNI) bekerjasama dengan
Forum Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Negeri di Indonesia, dan
Asosiasi Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan Swasta Indonesia (ALPTKSI). Konaspi VIII
bertempat di Jakarta pada tanggal 12-15 oktober 2016 dengan Universitas Negeri Jakarta sebagai
tuan rumah. Konvensi ini merupakan wahana akademik kaum pendidik Indonesia dalam ikut
memberikan sumbangsih pemikiran bagi pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Konvensi
diikuti oleh para ahli dan pakar kependidikan dengan mengambil tema Arah Kebijakan Pendidikan
Guru di Indonesia
Buku elektronik prosiding ini adalah kompilasi dari semua paper yang dipresentasikan dalam
Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia (KONASPI) VIII 2016 dengan sub-tema:
1. Standarisasi Kelembagaan LPTK
2. Sistem Rekrutmen Mahasiswa LPTK
3. Sistem Pendidikan Guru Berasrama dan Berikatan Dinas
4. Kurikulum dan Sistem Pembelajaran LPTK
5. Standar Mutu dan Profesionalisme Guru
6. Sistem Pengangkatan dan Distribusi Guru
7. Standarisasi Pendidikan PAUD dan Dikdasmen
8. Pendidikan Guru dan Peradaban Bangsa
PanitiaKonvensi Nasional Pendidikan Indonesia (KONASPI) VIII Tahun 2016 mengucapkan terima
kasih kepada pembicara kunci, para pemakalah yang berkontribusi dalam buku ini dan semua
partisan yang menghadiri konvensi ini.
Editor
7. vi
DAFTAR ISI
BUKU ABSTRAK i
DISCLAIMER ii
SUSUNAN PANITIA iii
SEKRETARIAT iv
KATA PENGANTAR v
DAFTAR ISI vi
PEMBICARA UTAMA
KURIKULUM DAN SISTEM PEMBELAJARAN DI LPTK
Prof. Dr. Djaali
1
STANDARISASI KELEMBAGAAN LPTK MENUJU
PENGUATAN PROFESIONALISME GURU
Husain Syam
13
PAUD BERKUALITAS: BEBERAPA PERTANYAAN
TENTANG STANDAR
Prof. Dr. Fathur Rokhman, M.Hum
18
SISTEM PENDIDIKAN GURU BERASRAMA DAN
BERIKATAN DINAS
I Nyoman Jampel
28
KOLABORASI STRATEGI PEMBERDAYAAN LINTAS
INSTITUSI DAN PARTICIPATORY MANAGEMENT
MENUJU SISTEM REKRUTMEN DAN DISTRIBUSI GURU
YANG PROPORSIONAL-EFEKTIF DI INDONESIA
Prof. Ganefri, Ph.D
35
REFORMASI SISTEM PENGANGKATAN DAN
PENDISTRIBUSIAN GURU (TANTANGAN DAN AGENDA
INDONESIA DI ABAD ASIA)
Prof Dr. Syamsu Qamar Badu, M.Pd
41
SUB -TEMA I : STANDARISASI KELEMBAGAAN LPTK
A1 PERAN BSNP DALAM MENINGKATKAN KUALITAS GURU
MELALUI PENGEMBANGAN STANDAR NASIONAL
PENDIDIKAN DAN IMPLIKASINYA TERHADAP
REVITALISASI LPTK
Bambang Suryadi
52
A2 KUALITAS LULUSAN LPTK DENGAN PENERAPAN
SISTEM MANAJEMEN MUTU ISO 9001:2008-IWA2:2007
(STUDI KASUS DI FT UNJ)
Muhammad Yusro, Sahriani Sachrom dan Erna Septiandini
58
8. xxxi
H8 KEBIJAKAN PEMBINAAN PROFESIONAL GURU DI
DAERAH TERTINGGAL
Rusdinal
1888
H9 PENDIDIKAN KARAKTER MENUJU GURU YANG
BERKARAKTER
Sulthoni
1893
H10 MENJADI DESAINER PEMBELAJARAN SEJATI
Dr. Hardika, M.Pd
1898
H11 SISTEM PENDIDIKAN GURU YANG BERLANDASKAN
PEMIKIRAN KI HADJAR DEWANTARA
Dedi Kuswandi
1906
H14 PERAN GURU MENGHADAPI TUNTUTAN MORALITAS DI
ABAD 21
Paulus Robert Tuerah
1912
H16 STRATEGI PENGEMBANGAN KEPROFESIAN GURU
SEBAGAI UPAYA MEMBANGUN PERADAPAN BANGSA
YANG BERMORAL DAN BEKARAKTER
Laurensia Masri Perangin angin
1921
H19 MEMBANTU GURU MENINGKATKAN PENDIDIKAN
KARAKTER MENUJU BANGSA YANG BERADAB MELALUI
PERBAIKAN IKLIM KELAS
Dr. Hadiyanto, M.Ed.
1929
H20 PENDIDIKAN GURU BERBASIS BUDAYA BANGSA
Mudjiran
1936
H21 REVITALISASI NILAI-NILAI EDUKATIF LAGU-LAGU
MINANG UNTUK MEMBANGUN KARAKTER PESERTA
DIDIK
Desyandri
1941
H22 PENDIDIKAN DAN KOMPETENSI GURU DALAM
PEMBANGUNAN PERADABAN BANGSA (ANALISIS
PENANAMAN NILAI-NILAI KARAKTER OLEH GURU PADA
SEKOLAH DASAR PESISIR PANTAI KOTA PADANG)
Junaidi Indrawadi
1952
H23 MENYIAPKAN SOSOK PENDIDIK UNTUK GENERASI
INDONESIA EMAS 2045
Yasnur Asri
1958
H24 MENYIAPKAN GURU INDONESIA
UNTUK ASEAN
Hendi Pratama
1965
9. Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia (KONASPI) VIII Tahun 2016
1912
PERAN GURU MENGHADAPI TUNTUTAN MORALITAS
DI ABAD 21
Paulus Robert Tuerah
Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Manado
e-mail : paulustuerah34@gmail.com
ABSTRACT
Globalization in the 21st century allows the occurrence of a process in which between individuals, between groups and
between countries interact with each other, dependent, related and influence each other that cross national boundaries.
Changes in the current era also significantly impact is not small, either physical impacts or impacts on the way of life,
lifestyle and psychological modern society. On the other hand the development of this age has helped bring the impact of
the slowdown of moral values marked by consumerism, hedonism, selfishness, instant mental and various other social ills.
In this context. education is expected to be a filter for each input and influence of modern climate. Educational challenges
in maintaining the nation's morality, one must start from a personal teacher who serve not only as a teacher, but also as
an educator with various competencies attached to it. For that reason the teacher as an intellectual actor and agent of
change, also bears a great responsibility, especially for students who will hold the baton change to the nation's future.
Therefore necessary solution to an educational policy that is able to balance the values of cognitive and moral values.
ABSTRAK
Globalisasi pada abad 21 ini memungkinkan terjadinya suatu proses di mana antar individu, antar kelompok, dan antar
negara saling berinteraksi, bergantung, terkait, dan memengaruhi satu sama lain yang melintasi batas negara. Perubahan
zaman saat ini juga secara nyata membawa dampak yang tidak sedikit, baik dampak terhadap fisik maupun dampak
terhadap cara hidup, gaya hidup dan psikologis masyarakat modern. Di pihak lain perkembangan zaman ini telah turut
membawa dampak pada kecenderungan menurunnya nilai-nilai moralitas yang ditandai dengan konsumerisme,
hedonisme, egoisme, mental instant dan pelbagai penyakit sosial lainnya. Dalam konteks ini. pendidikan diharapkan dapat
menjadi filter untuk setiap masukan dan pengaruh dari iklim modern. Tantangan pendidikan dalam mempertahankan
moralitas bangsa ini, harus dimulai dari pribadi guru yang berperan bukan saja sebagai pengajar, melainkan juga sebagai
pendidik dengan pelbagai kompetensi yang melekat padanya. Untuk itulah guru sebagai aktor intelektual dan agent
perubahan, turut memikul tanggung jawab yang besar terutama bagi peserta didik yang akan memegang tongkat estafet
perubahan bangsa ke depan. Oleh sebab itu diperlukan solusi terhadap suatu kebijakan pendidikan yang mampu
menyeimbangkan nilai-nilai kognitf dan nilai-nilai moral.
Kata kunci: Globalisasi, Moralitas, Peran Guru
1. PENDAHULUAN
Tempora muttantur et nos muttatur in illis
Memasuki abad 21, banyak hal yang telah
berubah dengan adanya perkembangan dalam
bidang ilmu pengetahuan, dan teknologi, sistem
komunikasi. Kita dapat mengetahui apa yang
sekecap terjadi di belahan dunia lain dalam waktu
bersamaan dikarenakan oleh kecanggihan
teknologi. Informasi yang sebelumnya sulit
terjangkau, sekarang dengan mudahnya dapat
diakses lewat media teknologi yang mulai
mendunia.
Melalui, globalisasi, banyak kegiatan yang
sebelumnya terlibat dalam interaksi tatap muka
dan hanya dilakukan dalam konteks lokal, kini
dapat dilakukan dalam jarak yang jauh, bahkan
terjadi de-lokalisasi signifikan dalam pertukaran
sosial dan ekonomi.
Globalisasi adalah proses, yang telah
mempengaruhi banyak bidang kehidupan manusia
dimana salah satunya adalah dunia pendidikan.
Pada abad 21, banyak negara berkembang
mengalami pertumbuhan dalam hal fasilitas
pendidikan yang tersedia bagi mereka karena
masuknya pengaruh dari luar. Era globalisasi ini
menjadi kesempatan yang sangat berharga bagi
para pendidik dari negara-negara berkembang
untuk meningkatkan keterampilan dan
pengetahuan mereka. Melalui Globalisasi,
pelbagai alternatif pendidikan dapat ditransfer dari
negara-negara Barat ke negara-negara
berkembang.
Sumbangsi yang terbesar dengan adanya
teknologi mampu mewujudkan komunikasi yang
transparan dan cepat yang kesemuanya dapat
diakses oleh siapapun di pelbagai tempat. Abad 21
sangat dekat dengan sebutan era globalisasi dan
arus informasi. Dan Fenomena globalisasi telah
menciptkan proses pertemuan, interaksi,
ketergantungan dan pengaruh antar media,
manusia bahkan antar negara ataupun benua.
10. Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia (KONASPI) VIII Tahun 2016
1913
Globalisasi muncul dengan momentum
dengan perubahan kekuatan yang terlihat. Hal ini
tampak dalam interaksi dan inovasi teknologi yang
luar biasa yang mampu menjangkau seluruh dunia.
Pengaruh positif kemajuan globalisasi antara
lain: mudah memperoleh informasi dan ilmu
pengetahuan, mudah melakukan komunikasi,
mudah melakukan komunikasi, mobilitas tinggi.
Di pihak lain, perubahan zaman yang terjadi
sekarang ini telah membawa dampak secara
psikologis, filosofis, pedagogis dalam kehidupan
manusia dalam gaya hidup abad 21 ini, juga secara
nyata membawa dampak yang tidak sedikit, baik
dampak terhadap fisik maupun dampak terhadap
cara hidup, gaya hidup dan psikologis masyarakat
modern. Dan tak dapat dipungkiri bahwa
kehadiran pelbagai sarana komunikasi seperti
televisi, radio, internet, telah menjadikan pribadi,
kelompok lembaga ataupun suatu negara mampu
mempengaruhi banyak pihak.
Kini menjadi persoalan apabila kita menjadi
tidak tanggap ataupun bersifat kritis terhadap
pelbagai fenomena arus pengaruh dalam era
globalisasi ini. Persoalan moral sekarang menjadi
dipertarukan apabila tidak ada kontrol dari
kekuasaan, lembaga ataupun negara yang masih
menjunjung tinggi nilai-nilai budaya lokal yang
mengedepankan harmonisasi, sikap sosial dan
nilai-nilai moral. Persoalan yang sesungguhnya
terletak pada mereka yang menguasai komunikasi
global, belum tentu memiliki nilai-nilai moral
untuk melakukan antara nilai-nilai yang baik dan
buruk.
Dalam konteks ini pendidikan seharusnya
dapat menjadi filter untuk mencegah dampak-
dampak negatif yang ditimbulkan oleh perbahan
zaman. Mengapa demikian? Pendidikan berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk
watak serta peradaban bangsa yang bermartabat
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, dan menjadi warga Negara yang
demokratis serta bertanggung jawab. (UU No. 20
Tahun 2003. Tentang Sistim Pendidikan Nasional.
Bab II pasal 3.).
Oleh karena itu, agar pendidikan mencapai
tujuannya yaitu membentuk manusia yang
manusiawi sehingga mampu menghadapi era
perkembangan dan perubahan global, diperlukan
pendidik yang mentalnya kuat, moralnya yang
tangguh, dan profesionalisme yang tinggi. Di
sinilah muncul guru yang pada dasarnya adalah
pengalih berbagai nilai, kearifan, pengetahuan, dan
keterampilan.
Guru yang memunyai moralitas negative akan
berimbas pada moralitas siswanya pula. Sejatinya,
sebagai guru harus menjadi panutan dan teladan
bagi para siswanya, sebagaimana asal kata guru itu
sendiri: digugu dan ditiru. Konsekuensinya, guru,
harus mempunyai kemampuanmelebih dari yang
bukan guru, khususnya dari sisi moralitas. Guru
mempunyai nilai tambah dengan adannya
kompetensi kepribadian dan sosialnya. Mengapa
demikian? Kompetensi kepribadian, menuntut
guru memiliki kepribadian yang patut diteladani
serta jauh dari hal-hal yang merusak citra guru
tersebut. Selanjutnya, kompetensi sosial tak lain
adalah tuntutan agar guru memiliki hubungan
dengan masyarakat yang baik serta menjadi
teladan di sekitarnya.
Kondisi ideal seperti penjelasan di atas tentu
menjadi keinginan semua pihak, namun fenomena
yang terjadi di lapangan. Guru sebagai profesi
pembentuk karakter dan moral peserta didiknya
dituntut untuk lebih mempunyai kepekaan
terhadap dampak dalam kemajuan jaman. Kapan
dan dimanapun guru berada, moralitasnya pasti
selalu terpantau oleh masyarakat.
2. PEMBAHASAN
2.1. Arti Moralitas
Kata moral berasal dari bahasa Latin: mos,
moris yang berarti adat; istiadat; kebiasaan; cara;
tingkah laku; kelakuan, atau berasal dari kata
mores yang berarti adat istiadat; kelakuan; tabiat;
watak; akhlak; cara hidup. Moralitas adalah sifat
moral atau keseluruhan asas dan nilai yang
berkenaan dengan baik dan buruk. Kata Moral dan
atau moralitas dipakai untuk perbuatan yang
sedang dinilai, sedangkan etika dipakai untuk
pengkajian sistem nilai-nilai yang ada. Moral juga
merupakan istilah yang digunakan untuk
memberikan batasan terhadap aktivitas manusia
dengan nilai (ketentuan) baik atau buruk, benar
atau salah. Jika dalam kehidupan sehari-hari
dikatakan bahwa orang tersebut bermoral, maka
yang dimaksudkan adalah bahwa orang tersebut
tingkah lakunya baik. Moralitas juga berperan
sebagai pengatur dan petunjuk bagi manusia dalam
berperilaku agar dapat dikategorikan sebagai
manusia yang baik dan dapat menghindari perilaku
yang buruk Dengan demikian, manusia dapat
dikatakan tidak bermoral jika ia berperilaku tidak
sesuai dengan moralitas yang berlaku. Dengan,
prinsip moral malum vitandum, bonum faciendum,
Penilaian terhadap moral diukur dari kebudayaan
masyarakat setempat. Moral adalah
perbuatan/tingkah laku/ucapan seseorang dalam
berinteraksi dengan manusia. Apabila yang
dilakukan seseorang itu sesuai dengan nilai rasa
yang berlaku di masyarakat tersebut dan dapat
diterima serta menyenangkan lingkungan
masyarakatnya, maka orang itu dinilai memiliki
moral yang baik, begitu juga sebaliknya. Moral
adalah produk dari budaya dan agama. Setiap
budaya memiliki standar moral yang berbeda-beda
11. Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia (KONASPI) VIII Tahun 2016
1914
sesuai dengan sistem nilai yang berlaku dan telah
terbangun sejak lama. Moral juga dapat diartikan
sebagai sikap, perilaku, tindakan, kelakuan yang
dilakukan seseorang pada saat mencoba
melakukan sesuatu berdasarkan pengalaman,
tafsiran, suara hati, serta nasihat, dll.
Moral merupakan kondisi pikiran, perasaan,
ucapan, dan perilaku manusia yang terkait dengan
nilai-nilai baik dan buruk. Moral secara ekplisit
adalah hal-hal yang berhubungan dengan proses
sosialisasi individu, tanpa moral manusia tidak
bisa melakukan proses sosialisasi. ikan moral
adalah usaha yang dilakukan secara terencana
untuk mengubah sikap, perilaku, tindakan,
kelakuan yang dilakukan peserta didik agar
mampu berinteraksi dengan lingkungan
masyarakatnya sesuai dengan nilai moral dan
kebudayaan masyarakat setempat.
Franz Magnis-Suseno mengemukakan
perbedaan antara etika dan (ajaran) moral. Etika
adalah pemikiran kritis dan mendasar tentang
ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral.
Sedangkan ajaran-ajaran moral adalah ajaran-
ajaran, ketentuan-ketentuan, petunjuk-petunjuk,
dan ketetapan-ketetapan tentang bagaimana
manusia mesti hidup menjadi manusia yang baik.
Dengan demikian, apabila ajaran-ajaran moral
mengandung perintah untuk mengikuti dan
melaksanakan ajaran-ajaran tertentu, maka etika
hendak memahami mengapa manusia mesti
mengikuti ajaran-ajaran yang diperintahkan untuk
diikuti itu. Karena itu, etika dapat dipandang
mengandung kekurangan karena tidak berwenang
memerinah. Namun sekaligus mengandung
kelebihan karena etika menjadikan manusia
memahami mengapa ia mesti mengikuti perintah
ajaran-ajaran tertentu. Dalam konteks filsafat,
pembahasan tentang ajaran moral berkaitan
dengan etika. Namun antara keduanya dipandang
sebagai dua hal yang berbeda tingkatannya. Etika
atau disebut juga filsafat moral adalah bagian dari
filsafat yang membahas tentang baik dan buruk
yang bersifat norma (normatif). Di dalamnya
dibahas tentang predikat-predikat kesusilaan,
seperti baik, buruk, kebajikan, dan kejahatan.
Velazquez memformulasikan pendapat para
ahli etika tentang lima ciri yang berguna untuk
menentukan hakikat standar moral sebagai
berikut: (a) Standar moral berkaitan dengan
persoalan yang dianggap akan merugikan secara
serius atau benar-benar menguntungkan manusia.
Contoh standar moral yang dapat diterima oleh
banyak orang adalah perlawanan terhadap
pencurian, pemerkosaan, perbudakan,
pembunuhan, dan pelanggaran hukum. (b) Standar
moral ditetapkan atau diubah oleh keputusan
dewan otoritatif tertentu. Meskipun demikian,
validitas standar moral terletak pada kecukupan
nalar yang digunakan untuk mendukung dan
membenarkannya. (c) Standar moral harus lebih
diutamakan daripada nilai lain termasuk
kepentingan diri. Contoh pengutamaan standar
moral adalah ketika lebih memilih menolong
orang yang jatuh di jalan, ketimbang ingin cepat
sampai tempat tujuan tanpa menolong orang
tersebut. (d) Standar moral berdasarkan pada
pertimbangan yang tidak memihak. Dengan kata
lain, pertimbangan yang dilakukan bukan
berdasarkan keuntungan atau kerugian pihak
tertentu, melainkan memandang bahwa setiap
masing-masing pihak memiliki nilai yang sama.
(e) Standar moral diasosiasikan dengan emosi
tertentu dan kosakata tertentu. Emosi yang
mengasumsikan adanya standar moral adalah
perasaan bersalah.
2.2. Pentingnya Moralitas
Moralitas saat ini merupakan suatu
kemendesakan yang tidak bisa ditawar-tawar.
Moralitas dibutuhkan untuk mencegah pelbagai
penyakit jaman, seperti konsumerisme,
hedonisme, tawuran antar pelajar, perbuatan
kriminalitas, alkoholisme, seks bebas, aborsi
sebagai penyakit sosial yang harus diperangi
secara bersama-sama. Mengapa demikian?
Moralitas telah mampu merusak sendi-sendi
kehidupan kita.
2.3. Beberapa perilaku kasus moral yang
menggerogoti dunia pendidikan
2.3.1. Kasus kekerasan pada anak
Komisi Perlindungan Anak Indonesia
(KPAI) menyatakan, kekerasan pada anak selalu
meningkat setiap tahun. Hasil pemantauan KPAI
dari 2011 sampai 2014, terjadi peningkatan yang
sifnifikan. Tahun 2011 terjadi 2178 kasus
kekerasan, 2012 ada 3512 kasus, 2013 ada 4311
kasus, 2014 ada 5066 kasus. Dia memaparkan, 5
kasus tertinggi dengan jumlah kasus per bidang
dari 2011 hingga april 2015. Pertama, anak
berhadapan dengan hukum hingga april 2015
tercatat 6006 kasus. Selanjutnya, kasus
pengasuhan 3160 kasus, pendidikan 1764 kasus,
kesehatan dan napza 1366 kasus serta pornografi
dan cybercrime 1032 kasus.
(http://www.kpai.go.id/berita/kpai-pelaku-
kekerasan-terhadap-anak-tiap-tahun-meningkat/)
2.3.2. Tawuran antar pelajar
Di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya,
dan Medan, tawuran ini sering terjadi. Data di
Jakarta misalnya (Bimmas Polri Metro Jaya),
tahun 1992 tercatat 157 kasus perkelahian pelajar.
Tahun 1994 meningkat menjadi 183 kasus dengan
12. Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia (KONASPI) VIII Tahun 2016
1915
menewaskan 10 pelajar, tahun 1995 terdapat 194
kasus dengan korban meninggal 13 pelajar dan 2
anggota masyarakat lain. Tahun 1998 ada 230
kasus yang menewaskan 15 pelajar serta 2 anggota
Polri, dan tahun berikutnya korban meningkat
dengan 37 korban tewas. Terlihat dari tahun ke
tahun jumlah perkelahian dan korban cenderung
meningkat. Bahkan sering tercatat dalam satu hari
terdapat sampai tiga perkelahian di tiga tempat
sekaligus. (http://www.kpai.go.id/artikel/tawuran-
pelajar-memprihatinkan-dunia-pendidikan/)
2.3.3. Pergaulan bebas dan aborsi
Berdasarkan data BKKBN tahun 2013,
jumlah seks bebas dikalangan remaja usia 10-14
tahun mencapai 4,38 persen, sedangkan pada usia
14-19 seks bebas mencapai 41,8 persen.
Berdasarkan data yang dikeluarkan BKKBN Juga,
tak kurang dari 800 ribu remaja melakukan aborsi
di setiap tahunnya
(http://legendaqori3.blogdetik.com/2014/05/10/ay
o-remaja-indonesia-musnahkan-seks-bebas/)
2.3.4. Penggunaan Narkoba
Berdasarkan Laporan Akhir Survei Nasional
Perkembangan Penyalahgunaan Narkoba tahun
anggaran 2014, jumlah penyalahguna narkoba
diperkirakan ada sebanyak 3,8 juta sampai 4,1 juta
orang yang pernah memakai narkoba dalam
setahun terakhir (current users) pada kelompok
usia 10-59 tahun di tahun 2014 di Indonesia. Jadi,
ada sekitar 1 dari 44 sampai 48 orang berusia 10-
59 tahun masih atau pernah pakai narkoba pada
tahun 2014. Angka tersebut terus meningkat
dengan merujuk hasil penelitian yang dilakukan
Badan Narkotika Nasional (BNN) dengan
Puslitkes UI dan diperkirakan pengguna narkoba
jumlah pengguna narkoba mencapai 5,8 juta jiwa
pada tahun
2015.(http://parokiraturosari.id/tahukah-anda-
berapa-banyak-jumlah-pengunaan-narkoba-di-
indonesia/)
2.3.5. Menyontek
Hasil Survei Pusat Psikologi Terapan Jurusan
Psikologi Universitas Pendidikan Indonesia (UPI)
yang melakukan survei online atas pelaksanaan
ujian nasional (UN) tahun 2004-2013. Ditemukan
bahwa kecurangan UN terjadi secara massal lewat
aksi mencontek, serta melibatkan peran tim sukses
yang terdiri dari guru, kepala sekolah, dan
pengawas. Dipaparkan total responden dalam
survei UN adalah 597 orang yang berasal dari 68
kota dan 89 kabupaten di 25 provinsi. Survei
dilakukan secara online untuk mengurangi bias
data. Responden berasal dari sekolah negeri (77%)
dan sekolah swasta (20%). Para responden
mengikuti UN antara tahun 2004-2013. Dari hasil
survei, 75% responden mengaku pernah
menyaksikan kecurangan dalam UN. Jenis
kecurangan terbanyak yang diakui adalah
mencontek massal lewat pesan singkat (sms), grup
chat, kertas contekan, atau kode bahasa tubuh. Ada
pula modus jual beli bocoran soal dan peran dari
tim sukses (guru, sekolah, pengawas) atau pihak
lain (bimbingan belajar dan joki). Dalam survei
juga terungkap sebagian besar responden tidak
melakukan apa pun saat melihat aksi kecurangan.
Sedangkan, sisanya ikut melakukan kecurangan
atau sekadar sebagai pengamat. Responden yang
melaporkan kecurangan hanya sedikit sekali (3%).
(http://sp.beritasatu.com/ home/survei-upi-
kecurangan-un-libatkan-guru-dan-kepala-
sekolah/42791).
2.4. Sebab munculnya amoralitas
2.4.1. Arus globalisasi dan kemajuan Teknologi
Komunikasi
Anthony Giddens menggambarkan
globalisasi sebagai intensifikasi hubungan sosial
di seluruh dunia yang menghubungkan daerah
yang jauh sedemikian rupa sehingg kejadian lokal
dapat diakses bermil-mil jauhnya dan sebaliknya.
Ini melibatkan perubahan dalam cara kita
memahami mampu menerobos keadaan geografis
dan pengalaman setempat. Di pihak lain, hal ini
membawa risiko yang cukup besar terkait, yang
diakibatkan oleh perubahan teknologi.
Arus globalisasi dengan teknologinya yang
berkembang pesat merupakan tantangan tersendiri
dimana informasi baik positif maupun negative
dapat langsung diakses dalam kamar/rumah.
Dampak globalisasi bagi teknologi memang dapat
memberikan dampak positif tetapi tidak dapat di
pungkiri lagi bahwa hal ini juga dapat berdampak
negative bagi kerusakan moral. Perkembangan
internet dan ponsel berteknologi tinggi terkadang
dampaknya sangat berbahaya bila tidak di gunakan
oleh orang yang tepat. Misalnya: Video porno
yang semakin mudah di akses di ponsel dengan
internet, mampu mempengaruhi pikiran yang
konstruktif menjadi destruktif.
2.4.2. Kondisi Keluarga
Latar belakang keluarga yang kurang
harmonis, dapat menyebabkan anak terbebani
dengan aneka permasalahan, akibatnya seorang
anak tidak merasa aman dalam situasi rumah dan
keluarga. Dampaknya anak akan mencari sensasi,
rasa aman dan kebahagiaan justru di luar
lingkungan keluarga. Semakin sedikit masalah
antara orangtua, maka semakin sedikit masalah
13. Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia (KONASPI) VIII Tahun 2016
1916
yang dihadapi anak, dan begitu juga sebaliknya.
Melalui kebersamaan dalam keluarga seorang
anak mampu membentuk konsep diri yang
merupakan pandangan atau keyakinan diri
terhadap keseluruhan diri, baik yang menyangkut
kelebihan maupun kekurangan diri, sehingga
mempunyai pengaruh yang besar terhadap
keseluruhan perilaku yang ditampilkan.
2.4.3. Perilaku masyarakat dan pengaruh
lingkungan
Ketika berbicara tentang moral, kita perlu
tahu bahwa hal ini erat kaitannya dengan perilaku
masyarakat itu sendiri. Perilaku masyarakat yang
menyimpang dari aturan yang seharusnya
membuat moral bangsa kita semakin buruk di mata
negara lain. Kemerosotan moral ini bukanlah suatu
hal yang bisa dibanggakan karena hal itulah yang
membuat negara kita tampak kurang berwibawa di
dunia internasional. Ada beberapa hal yang
melatarbelakangi kemerosotan moral bangsa
Indonesia dan hal itu perlu diketahui sehingga kita
mampu menemukan solusi yang terbaik dan
membantu dalam penyelesaian masalah tersebut.
Pengabaian sosial mampu menyebabkan
perilaku jahat atau kenakalan pada anak-anak
muda. Ini merupakan gejala sakit (patologis)
secara sosial. Istilah kenakalan remaja mengacu
pada suatu rentang yang luas, dari tingkah laku
yang tidak dapat diterima sosial sampai
pelanggaran status hingga tindak kriminal
Pengaruh lingkungan. Tidak semua guru itu
punya sifat yang buruk dan sebaliknya. Terkadang
seorang guru melakukan kesalahan karena ada
pengaruh buruk dari linkungan sekitarnya. Kondisi
lingkungan rumah dan pengaruh kurang baik dari
guru lain dapat mendorong seorang guru untuk
berbuat kesalahan.
Lingkungan masyarakat dimana anak itu
dibesarkan ikut ambil peranan dalam membentuk
kepribadian anak selanjutnya. Anak yang
berkembang di lingkungan alam pedesaan
memiliki kepribadian yang berbeda dengan anak
yang tumbuh berkembang di lingkungan
masyarakat kota yang penuh kesibukan dan
kebisingan yang seolah saling tak menghiraukan
antara anggota masyarakat yang satu dengan
lainnya.
Masuknya budaya barat bisa dikatakan
sebagai penyebab turunnnya moral bangsa
Indonesia saat ini. Sebenarnya budaya tersebut
tidaklah salah, yang salah adalah individu yang
tidak mampu menyaring hal-hal yang baik untuk
dirinya. Dengan budaya asing yang masuk ke
negara kita sekarang ini, banyak orang
menganggap bahwa free sex atau materialisme
adalah hal yang biasa. Keadaan ini sangat
memprihatinkan mengingat banyak remaja yang
melakukan hal tersebut dan hal itu yang sering jadi
masalah remaja saat ini. Tumbuhnya budaya
materialisme juga bisa diliat dari banyaknya
orang-orang yang sangat memperhatikan gaya
hidup yang terkesan mewah tanpa memperdulikan
sekitar dan masa depannya.
Demikian demikian, bahwa seorang dapat
menjadi buruk/jelek oleh karena hidup dalam
lingkungan masyarakat yang buruk. Hal ini dapat
dijelaskan bahwa pada umumnya pada masyarakat
yang mengalami gejala disorganisasi sosial, norma
dan nilai sosial menjadi kehilangan kekuatan
mengikat. Dengan demikian kontrol sosial
menjadi lemah, sehingga memungkinkan
terjadinya berbagai bentuk penyimpangan
perilaku. Di dalam masyarakat yang disorganisasi
sosial, seringkali yang terjadi bukan sekedar
ketidak pastian dan surutnya kekuatan mengikat
norma sosial, tetapi lebih dari itu, perilaku
menyimpang karena tidak memperoleh sanksi
sosial kemudian dianggap sebagai yang biasa dan
wajar.
2.4.4. Kenakalan moral
Tidak diragukan lagi bahwa sebagian ajaran
moral telah dan masih terus akan disalahgunakan
dalam berbagai bentuk dan cara. Mereka yang
telah dirasuki ketamakan, terutama apabila
mempunyai kekuatan dan pengaruh, tidak akan
ragu-ragu dalam memakai segala cara untuk
mencapai tujuannya.
Kenakalan moral berhubungan dengan
mereka tidak mampu mengenal dan memahami
tingkah lakunya yang jahat, juga tidak mampu
mengendalikan dan mengaturnya, bahkan mereka
selalu ingin melakukan perbuatan kekerasan,
penyerangan dan kejahatan. Ciri-cirinya: rasa
kemanusiaannya sangat terganggu, sikapnya
sangat dingin tanpa afeksi jadi ada kemiskinan
afektif dan sterilitas emosional, terdapat
kelemahan pada dorongan instinktif yang primer,
sehingga pembentukan super egonya sangat
lemah. Impulsnya tetap pada taraf primitif
sehingga sukar dikontrol dan dikendalikan.
Mereka merasa cepat puas dengan prestasinya,
namun perbuatan mereka sering disertai
agresivitas yang meledak. Remaja yang defek
moralnya biasanya menjadi penjahat yang sukar
diperbaiki. Mereka adalah para residivis yang
melakukan kejahatan karena didorong oleh naluri
rendah, impuls dan kebiasaan primitif, di antara
para penjahat residivis remaja, kurang lebih 80 %
mengalami kerusakan psikis, berupa disposisi dan
perkembangan mental yang salah, jadi mereka
menderita defek mental. Hanya kurang dari 20 %
yang menjadi penjahat disebabkan oleh faktor
sosial atau lingkungan sekitar.
2.4.5. Kurangnya Materi Aplikasi tentang Budi
Pekerti
14. Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia (KONASPI) VIII Tahun 2016
1917
Kurangnya materi pengapliasian dari budi
pekerti adalah salah satu penyebab turunnya moral
bangsa kita baik itu dalam bangku sekolah, dan
kurangnya perhatian dari guru sebagai pendidik
dalam hal pembentukan karakter peserta didik,
sehingga peserta didik lebih banyak terfokus pada
aspek kognitif dan kurang memperhatikan aspek
afektif dalam pembelajaran. Hasilnya adalah
peserta didik pintar dalam hal pelajaran tertentu,
namun mempunyai akhlak/moral yang kurang
bagus. Banyak di antara peserta didik yang pintar
jika mengerjakan soal pelajaran, namun tidak
hormat terhadap gurunya, suka mengganggu orang
lain, tidak mempunyai sifat jujur, malas, dan sifat-
sifat buruk lainnya.
Tingginya angka kenakalan dan kurangnya
sikap sopan santun peserta didik, dipandang
sebagai akibat dari kurang efektifnya sistem
pendidikan saat ini. Ditambah lagi dengan masih
minimnya perhatian guru terhadap pendidikan dan
perkembangan karakter peserta didik. Sehinga
sebagian peserta didik tidak mempunyai karakter
positif. Pendidikan tanpa karakter hanya akan
membuat individu tumbuh secara parsial, menjadi
sosok yang cerdas dan pandai, namun kurang
memiliki pertumbuhan secara lebih penuh sebagai
manusia. Hal tersebut sudah dicontohkan dalam
sistem pendidikan kita pasca reformasi.
Kurikulum yang dibangun untuk mencerdaskan
kehidupan justru berujung kepada penurunan
moral dari sebagian perserta didiknya.
2.5. Tantangan Moralitas bagi guru
2.5.1. Mulai dari guru sendiri
Bermasalahnya moralitas guru akan
berdampak pada siswanya. Hal ini sudah menjadi
sebab akibat yang sulit untuk dipungkiri. Meski
ada pengaruh lain, seperti lingkungan sekitar dan
rumah tangga, namun faktor guru lebih dominan.
Sebenarnya, hal yang paling mendasar adalah
keteladanan sebagai moralitas utama bagi guru.
Bagaimana seorang guru mengharapkan siswa
tidak merokok pada saat guru itu sedang
menghisap racun itu. Seorang guru yang meminta
siswanya rajin membaca, pada saat tak satupun
buku dibelinya untuk menambah wawasan saat
guru tersebut menerima tunjangan profesi. Begitu
pula tentunya prilaku moralitas lainnya. Wejangan
kepada anak didik tentang moralitas tentu akan
lebih meresap jika keteladanan juga ditunjukkan
oleh guru. Oleh sebab itu, guru yang menjadi
pejuang moralitas harus memulai dari diri sendiri,
seharusnya, tidak disibukkan dengan pencarian
kesejahteraan.
Pribadi guru memiliki pengaruh besar
terhadap pendidikan, khususnya dalam kegiatan
pembelajaran. Pribadi guru juga sangat berperan
dalam membentuk pribadi peserta didik. Ini dapat
dimaklumi karena manusia merupakan makhluk
yang suka mencontoh, termasuk mencontoh
pribadi gurunya dalam membentuk pribadinya.
Dewasa ini kompetensi kepribadian seorang
guru sedikit tercoreng oleh beberapa oknum guru.
Guru yang dalam bahasa jawa diartikan digugu
dan ditiru membawa dampak besar bagi kehidupan
bangsa dan negara malah menjadi sorotan yang
kerap kali ditayangkan di televisi. Di balik
ungkapan itu, tersirat paham atau setidak-tidaknya
asumsi bahwa apa yang dilakukan, dikatakan, dan
diajarkan guru adalah benar. Guru sangat
dipercaya sehingga jarang orang mempersoalkan
ajarannya.
Seseorang disebut baik dilihat dari tindakan,
ucapan, dan perilakunya secara keseluruhan.
Dalam hal ini, apakah ia memiliki keutamaan
moral; kemampuan menghayati nilai yang baik
dan buruk?
2.5.2. Perbedaan paradigma guru
Guru yang zaman dulu dianggap memiliki
keutamaan moral sekarang dipandang tidak lebih
dari kebanyakan orang. Dewasa ini, ketika
terdapat guru sudah dapat hidup layak dari segi
ekonomi karena kerja ekstranya atau karena
mendapat jabatan di sekolah tempat kerjanya
sehingga bisa memberikan kemungkinan-
kemungkinan tertentu untuk mengubah status
ekonominya, banyak yang berusaha mengejar
status atau segi lain.
Masih saja ditemui adanya ketidaksinkronan
antara guru sebagai teladan dengan moralitas dan
guru yang ditunjukkan sebagian kecil guru
tersebut. Meski dari segi jumlah sangat kurang
guru. sebagai profesi teladan yang diemban guru
akan sangat tabu jika mempunyai prilaku
menyimpang dari moralitas seperti pelecehan
seksual atau tindak kekerasan, berpakian ketat,
sebuk menebarkan gosip.
Tujuan pendidikan negara seharusnya
membentuk manusia yang bertaqwa dikotori oleh
sebagian oknum guru dengan alasan siswa harus
patuh pada guru. Kepatuhan seorang siswa tidak
diperuntukan oleh perintah yang melanggar
norma. Berdasarkan penjelasan diatas, dapat
disimpulkan bahwa tingkat kepribadian seorang
guru sebagai pendidik kurang memenuhi beberapa
kriteria tersebut. guru melanggar beberapa norma
yang seharusnya ditaati. Hal ini tentunya menjadi
pertanyaan bagi kita semua, apakah guru sekarang
sudah tidak lagi mempunyai moralitas sebagai
pendidik? apakah aturan-aturan yang ditentukan
hanya sekedar gertakan atau paksaan?
2.5.3. Gengsi dan kehormatan
15. Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia (KONASPI) VIII Tahun 2016
1918
Tidak sedikit guru pada tingkat ini yang ingin
menemukan kembali gengsi dan kehormatan
dirinya. Untuk itu, mereka melakukan perbuatan-
perbuatan yang justru bisa memperpuruk gengsi
dan kehormatannya sendiri. Misalnya saja, dalam
kasus mencari gelar akademis secara instan, tanpa
melalui prosedur yang benar.
2.5.4. Pembelajaran tentang nilai moral
Masih banyak guru yang lebih mengutamakan
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi atau nilai
kognitif dibandingkan segi iman dan nilai afektif
dari peserta didik. Yang lebih miris adalah
beberapa kasus asusila yang dilakakukan oleh
guru.
3. SOLUSI
Menjadi pertanyaan bagi kita sekarang:
Apakah apakah guru sudah menampilkan nilai
moral dalam pendidikan? dan apakah guru sudah
bekerja sesuai dengan nilai-nilai dalam ajaran
mereka? Nilai dapat diajarkan secara eksplisit
dalam pratik pembelajaran. Kadang-kadang ada
juga nilai-nilai yang tersembunyi yang dapat
diajarkan guru yang dapat mempengaruhi
perkembangan siswa. Sangat diharapkan guru
dapat mengajarkan nilai-nilai morak yang mampu
mengeksprisikan ide-ide tentang kehidupan yang
baik.
3.1.1. Pendidikan perlu menjadi filter arus
globalisasi dan teknologi informasi
Pendidikan sedang mengalami perubahan
yang konstan di bawah pengaruh globalisasi. Efek
dari Globalisasi pendidikan membawa
perkembangan pesat dalam teknologi dan
komunikasi yang meramalkan perubahan dalam
sistem sekolah di seluruh dunia sebagai ide, nilai-
nilai dan pengetahuan, mengubah peran siswa dan
guru, dan memproduksi pergeseran masyarakat
dari industrialisasi menuju Informasi berbasis
masyarakat. Hal ini mencerminkan efek pada
budaya dan membawa bentuk baru. Ini membawa
perkembangan pesat dalam teknologi dan
komunikasi perubahan meramalkan dalam sistem
sekolah di seluruh dunia sebagai ide, nilai-nilai
dan pengetahuan. Turunnya moral bangsa
Indonesia juga diakibatkan oleh perkembangan
teknologi saat ini yang mengakibatkan hal
burukpun bisa dikonsumsi oleh setiap orang.
Kecanggihan teknologi dapat memanfaatkan
orang untuk berlaku tidak jujur, memalsukan
identitas, menonton perbuatan amoral dan
kekerasan. Oleh sebab itu, sangat beralasannlah
bahwa pendidikan dapat menjadi filter terhadap
arus globalisasi dan kemajuan teknologi informasi.
3.1.2. Perlu adanya tindakan moral guru
Dalam setiap tindakan, senantiasa perlu
memperhitungkan aspek moralnyoa. Franz
Magnis-Suseno menjelaskan bahwa kata moral
selalu mengacu kepada baik buruknya manusia
sebagai manusia. Bidang moral adalah bidang
kehidupan manusia dilihat dari segi kebaikannya
sebagai manusia. Norma-norma moral adalah
tolok ukur untuk menentukan betul-salahnya sikap
dan tindakan manusia dilihat dari segi baik-
buruknya sebagai manusia dan bukan sebagai
pelaku peran tertentu dan terbatas. Jadi
menurutnya yang menjadi permasalahan bidang
moral adalah apakah manusia ini baik atau buruk.
Di antara 4 kompetensi guru yang harus
dimiliki, kompetensi kepribadianlah yang sering
dipublikasikan pada sekarang ini. Sebagai aspek
kepribadian atau karakreristik, karakter
merupakan cerminan kepribadian secara utuh dari
seseorang, mentalitas, sikap dan perilaku.
Pendidik yang berkarakter semacam ini lebih tepat
di aplikasikan sebagai pendidik yang budi pekerti
dan berorientasi ke masa depan. Terkait
kompetensi kepribadian ini, ada beberapa aturan
yang perlu diperhatikan oleh guru diantaranya
yaitu guru harus: 1) bertindak sesuai dengan norma
hukum, 2) bertindak sesuai dengan norma sosial,
3) bangga sebagai guru, 4) memiliki konsistensi
dalam bertindak sesuai dengan norma. Berakhlak
mulia dan dapat menjadi tauladan, guru harus: a)
bertindak sesuai dengan norma religius (iman,
taqwa, jujur, ikhlas, dan suka menolong), b)
memiliki perilaku yang diteladani peserta didik
Dalam konteks praktek kualitas pengelolah
pembelajaran seorang guru harus
memperhatikan:(a)pandangan terhadap profesi
guru. (b) sikap terhadap ugas-tugas keguruan, dan
(c) kemampuan umum yang di miliki guru yang
merupakan daya dukung untuk melaksanakan
tugas-tugas keguruan.
3.1.3. Peran guru dalam pendidikan moral etika
akhlak
Guru professional harus sadar bahawa anak-
anak yang datang ke sekolah telah mempelajari
pendidikan moral di rumah dari keluarga dan
masyarakat.Ini bermakna anak-anak telah
mempunyai sikap, kepercayaan dan tabiat tentang
moral yang dipelajari mereka daripada berbagai
sumber sebelum mereka ke sekolah.Latar
belakang ini mewujudkan berbagai persoalan
moral dari segi pengetahuan dan prinsip hidup
anak-anak. Guru juga harus sadar bahwa sekolah
itu sendiri merupakan sumber pembelajaran moral
secara tidak langsung. Suasana sosial di sekolah
dan bagaimana guru-guru bertingkah laku akan
memberikan pengaruh secara tidak langsung
kepada pembelajaran moral anak-anak di sekolah.
16. Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia (KONASPI) VIII Tahun 2016
1919
Anak-anak yang belajar di sekolah ternama dan
tinggi penghayatan moralnya sudah tentu lebih
beruntung dan lebih mudah proses pemupukan
nilai dilakukan dibandingkan dengan sekolah yang
sebaliknya. Guru Profesional harus menerima
hakikat bahawa nilai-nilai moral sudah tertanam
dalam diri siswa. Guru haruslah bersedia untuk
mengajar dengan mengambil kira pengetahuan
dan pembelajaran moral yang ada. Guru
dikehendaki mengembangkan pengetahuan moral
murid-murid ini dan membimbing mereka semasa
pengajaran dilaksanakan. Pendidikan di sekolah
digunakan untuk mengembangkan pengetahuan
moral anak-anak ke arah mencapai kesuksesan
kurikulum untuk melahirkan individu yang
bermoral,beretika dan berakhlak tinggi.
Guru mempunyai peranan strategis dalam
upaya peningkatan mutu, relevansi dan efisiensi
pembelajaran. Oleh karena itu peningkatan
profesionalisme seorang guru merupakan
kebutuhan yang tidak dapat dielakan.Ini
mengingat banyaknya tuntutan dan harapan
masyarakat terhadap perubahan dalam sistem
pembelajaran. Sejalan dengan hal itu , tuntutan
peningkatan kemampuan guru semakin besar.
Dalam kondisi demikian, seorang guru harus
mampu meningkatkan mutu serta kemampuan
untuk membina moral dan suri tauladan kepada
siswanya. Seorang guru yang profesional harus
mampu memiliki persyaratan minimal antara lain,
memiliki kualifikasi pendidikan profesi yang
memadai, memiliki kompetensi keilmuan sesuai
dengan bidang yang ditekuni, memiliki
kemampuan komunikasi yang baik dengan anak
didiknya, memiliki jiwa kreatif dan produktif,
mempunyai etos kerja dan komitmen yang tinggi
terhadap profesinya dan melakukan
pengembangan diri secara terus menerus
Dengan demikian, diharapkan diharapkan
guru mampu memerankan fungsi-fungsinya
dengan baik sebagai:
a. Guru sebagai pengelola proses Kegitan Belajar
Mengajar.
b. Guru sebagai moderator. Menurut aliran baru
dalam bidang pendidikan guru diharapkan
bukan sebagai penyampaian materi semata
tetapi juga lebih sebagai moderator, yaitu
pengatur lalu lintas pembicaraan, jika ada jalur
pembicaraan yang tidak dapat di selesaikan
oleh siswa-siswi, maka gurulah yang wajib
mendamaikan perselisihan tersebut.
c. Guru sebagai motivator. Siswa adalah manusia
-susah. Jika guru
tidak dapat memancing kemauna siswa untuk
aktif maka guru itu sendiri yang akan
merasakan kesulitan dalam proses
pembelajaran kerena dapat ditebak bahwa
siswa akan pasif tanpa inisiatif.
d. Guru sebagai fasilitator yang memberikan
sebagai fasilitator memberikan kemudahan dan
sarana kepada siswa agar dapat aktif belajar
sesuai dengan kemampuannya.
e. Guru sebagai evaluator. Guru sebagai evaluator
berperan setiap kegiatan selalu diikuti oleh
motivasi jika orang-orang yang terlibat dalam
kegiatan menginginkan terjadinya peningkatan
atas kegiatan itu pada masa-masa yang akan
datang.
4. SIMPULAN
1. Globalisasi pada abad 21 ini memungkinkan
terjadinya suatu proses di mana antar individu,
antar kelompok, dan antar negara saling
berinteraksi, bergantung, terkait, dan
memengaruhi satu sama lain yang melintasi
batas negara. Perubahan zaman saat ini juga
secara nyata membawa dampak baik positif
maupun negatif.
2. Pendidikan moral adalah usaha yang dilakukan
secara terencana untuk mengubah sikap,
perilaku, tindakan, kelakuan yang dilakukan
peserta didik agar mampu berinteraksi dengan
lingkungan masyarakatnya sesuai dengan nilai
moral dan kebudayaan masyarakat setempat.
Ada beberapa hal yang melatarbelakangi
kemerosotan moral bangsa Indonesia dan hal
itu perlu diketahui sehingga kita mampu
menemukan solusi yang terbaik dan membantu
dalam penyelesaian masalah tersebut.
3. Tantangan pendidikan dalam mempertahankan
moralitas bangsa ini, harus dimulai dari pribadi
guru. Untuk itulah guru sebagai aktor
intelektual dan agent perubahan, turut memikul
tanggung jawab yang besar terutama bagi
peserta didik yang akan memegang tongkat
estafet perubahan bangsa ke depan. Oleh sebab
itu diperlukan solusi terhadap suatu kebijakan
pendidikan yang mampu menyeimbangkan
nilai-nilai kognitf dan nilai-nilai moral.
REFERENSI
[1]. J. Gray, False Dawn. The delusions of global
capitalism, London: Granta. p. 57, (1999).
[2]. W. Hutton, W. danA. Giddens, (eds.) On The
Edge: Living with global capitalism,
London: Vintage, p.vii,(2001)
[3]. Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, p. 672, (1996).
[4]. Kees Bertens,Etika, Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, p. 7 (2002)
17. Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia (KONASPI) VIII Tahun 2016
1920
[5]. Sonny Keraf,Etika Bisnis, Yogyakarta:
Penerbit Kanisius, p.20, (1991).
[6]. Franz MagnisSuseno, Etika Dasar Masalah-
Masalah Pokok Filsafat Moral,Yogyakarta:
Kanisius, p.13 (2006).
[7]. Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat,
Yogyakarta: Tiara Wacana, p.80,91989).
[8]. Manuel G. Velazquez, Etika Bisnis, Konsep
dan Kasus Edisi 5. Diterjemahkan dari
judul asli Business Ethics, Concepts and
Cases (2002) oleh Ana Purwaningsih, dkk.
Yogyakarta: Penerbit ANDI, pp. 9-10 (2005).
[9]. A. Giddens, The Consequences of
Modernity, Stanford: Stanford University
Press, p.64, (1990).
[10]. K. Kartono, Patologi Sosial 2: Kenakalan
Remaja, Jakarta: Rajawali Press, p.78,
(2003).
[11]. K. Kartono, Patologi Sosial 2: Kenakalan
Remaja, Jakarta: Rajawali Press, p.23,
(2003).
[12]. E. Mulyasa,Standar Kompetensi dan
Sertifikasi Guru, Bandung: Remaja
Rosdakarya, p. 117 (2008).
[13]. Wiel Veugelers, Moral values in teacher
education, The Netherlands: University of
Amsterdam, p. 1, (2008).
[14]. S. Chinnammai, Effects of Globalization on
Education and Culture, Chennai:
Universituy of Madras,, p. 20, (2005).
[15]. Franz MagnisSuseno, Etika Dasar Masalah-
Masalah Pokok Filsafat Moral, Yogyakarta:
Kanisius, pp. 18-20, 2006).
[16]. Sulthon,Ilmu Pendidikan, Kudus: Nora
Media Enterprise, pp. 133-134, (2011).
[17]. Arikunto Suharsimi,Manajemen
Pengajaran Secara
Manusiawi,Yogyakarta: FIP-IKIP. 227
Suharsimi Arikunto, p. 227, (1980)
[18]. Arikunto Suharsimi, Manajemen
Pengajaran Secara Manusiawi,
Yogyakarta: FIP-IKIP. 227 Suharsimi
Arikunto, p. 268, (1980).