Hama adalah organisme yang merusak tanaman dan secara ekonomik merugikan manusia. Hama yang menyerang tumbuhan antara lain tikus, walang sangit, wereng, tungau, dan ulat.
Hama adalah organisme yang merusak tanaman dan secara ekonomik merugikan manusia. Hama yang menyerang tumbuhan antara lain tikus, walang sangit, wereng, tungau, dan ulat.
interaksi yang terjadi antara tanaman pangan (Padi) dengan belalang (Valanga nigricornis) dan interaksi pada tanaman jagung dengan ulat penggulung daun (Erionata thrax)
LAPORAN PRAKTIKUM LAPANG “PENGAMATAN HAMA dan PENYAKIT TANAMAN PADI (Oryza sa...Moh Masnur
LAPORAN PRAKTIKUM LAPANG “PENGAMATAN HAMA dan PENYAKIT TANAMAN PADI (Oryza sativa) dan MANGGA (Mangifera indica) di AREAL PERSAWAHAN BALAI BENIH PALUR, DESA SONOBIJO, KEC. MOJOLABAN, KAB. SUKOHARJO, SURAKARTA”
PPT bertujuan untuk menggambarkan Biopestisida secara umum dengan bahasa yang mudah dipahami dan mengerti. PPT ini juga dilengkapi dengan metode pembuatan biopestisida antirayap dari kulit bawang. semoga bermanfaat
interaksi yang terjadi antara tanaman pangan (Padi) dengan belalang (Valanga nigricornis) dan interaksi pada tanaman jagung dengan ulat penggulung daun (Erionata thrax)
LAPORAN PRAKTIKUM LAPANG “PENGAMATAN HAMA dan PENYAKIT TANAMAN PADI (Oryza sa...Moh Masnur
LAPORAN PRAKTIKUM LAPANG “PENGAMATAN HAMA dan PENYAKIT TANAMAN PADI (Oryza sativa) dan MANGGA (Mangifera indica) di AREAL PERSAWAHAN BALAI BENIH PALUR, DESA SONOBIJO, KEC. MOJOLABAN, KAB. SUKOHARJO, SURAKARTA”
PPT bertujuan untuk menggambarkan Biopestisida secara umum dengan bahasa yang mudah dipahami dan mengerti. PPT ini juga dilengkapi dengan metode pembuatan biopestisida antirayap dari kulit bawang. semoga bermanfaat
Di dalam ini akan dijelaskan (1) pengendalian OPT secara kimiawi, (2) macam-macam pestisida, (3) peranan pestisida, (4) kelebihan, kekurangan, dan pengendalian pestisida, (5) klasifikasi pestisida, (6) formulasi pestisida, dan (7) cara menggunakan pestisida.
Maaf :-
TEDx Manchester: AI & The Future of WorkVolker Hirsch
TEDx Manchester talk on artificial intelligence (AI) and how the ascent of AI and robotics impacts our future work environments.
The video of the talk is now also available here: https://youtu.be/dRw4d2Si8LA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Efusi pleura adalah akumulasi cairan yang berlebihan pada rongga pleura, cairan tersebut mengisi ruangan yang mengelilingi paru. Cairan dalam jumlah yang berlebihan dapat mengganggu pernapasan dengan membatasi peregangan paru selama inhalasi.
Efusi pleura adalah suatu keadaan dimana terdapatnya cairan pleura dalam jumlah yang berlebihan di dalam rongga pleura, yang disebabkan oleh ketidakseimbangan antara pembentukan dan pengeluaran cairan pleura. Dalam keadaan normal, jumlah cairan dalam rongga pleura sekitar 10-200 ml. Cairan pleura komposisinya sama dengan cairan plasma, kecuali pada cairan pleura mempunyai kadar protein lebih rendah yaitu <1,5 />< 30mm.
Diantara celah-celah sel ini terdapat sel limfosit
Di bawah sel-sel mesothelial ini terdapat endopleura yang berisi fibrosit dan histiosit
Di bawahnya terdapat lapisan tengah berupa jaringan kolagen dan serat-serat elastik
Lapisan terbawah terdapat jaringan interstitial subpleura yang banyak mengandung pembuluh darah kapiler dari a. Pulmonalis dan a. Brakhialis serta pembuluh limfe
Menempel kuat pada jaringanparu
Fungsinya. untuk mengabsorbsi cairan. Pleura
• Pleura parietalis
Jaringan lebih tebal terdiri dari sel-sel mesothelial dan jaringan ikat (kolagen dan elastis)
Dalam jaringan ikat tersebut banyak mengandung kapiler dari a. Intercostalis dan a. Mamaria interna, pembuluh limfe, dan banyak reseptor saraf sensoris yang peka terhadap rasa sakit dan perbedaan temperatur. Keseluruhan berasal n. Intercostalis dinding dada dan alirannya sesuai dengan dermatom dada
Mudah menempel dan lepas dari dinding dada di atasnya
Fungsinya untuk memproduksi cairan pleura
B. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini mengenai gangguan pernapasan yang berjudul` EFUSI PLEURA`.adalah mengetahui patofisiologi dari penyakit pernapasan tersebut.
C. Rumusan Permasalahan
• Untuk mengetahui pengertian efusi pleura
• Untuk mengetahui etiologi efusi pleura
• Untuk mengetahui manifestasi efusi pleura
• Untuk mengetahui patofisiologi efusi pleura
• Untuk mengetahui diagnosis efusi pleura
• Untuk mengetahui pengobatan(penatalaksaan) efusi pleura
• Untuk meng
2. awalnya dianggap sebagai ‘malaikat’
yang mampu menyelamatkan tanaman
pertanian dari gangguan hama,
penyebab penyakit dan gulma
pemakaiannya sangat intensif
PESTISIDA
pestisida dapat menyebabkan efek samping yang tidak
diinginkan (Levesque and Rahe, 1992; Turk et al ., 1972;
Untung, 2001):
1) hama/penyebab penyakit/gulma dapat menjadi resisten
terhadap pestisida; misalnya adanya kecendrungan
resistensinya penyakit becak ungu pada bawang putih
terhadap beberapa fungisida, yang diduga merupakan
salah satu penyebab gagalnya panen bawang putih di
Sembalun Lombok Timur NTB,
2) ikut terbunuhnya musuh-musuh alami hama/penyebab
penyakit tanaman dan gulma,
3. 3. terbunuhnya organisme bukan sasaran seperti belut, katak,
ayam, lebah dan lain lain,
4. dapat meninggalkan residu pada tanaman sehingga
berbahaya jika dikonsumsi; hal ini telah menyebabkan
beberapa produk pertanian Indonesia ditolak di pasaran
dunia,
5. dapat menyebabkan meningkatnya kepekaan tanaman
terhadap gangguan penyebab penyakit tumbuhan, misalnya
terjadinya peningkatan intensitas penyakit hawar (fusarium
blight ) pada tanaman gandum akibat pemakaian senyawa
sejenis herbisida (Fauzi and Paulitz, 1994), dan
6. dapat mencemari air, tanah, udara dan komponen lingkungan
lainnya yang dapat menyebabkan keracunan/kematian bagi
manusia
4. Penggunaan herbisida
Sama dengan pestisida yang lain, paling efektif
dengan hasil pengendalian yang paling cepat dapat
dilihat, tetapi
1) efek merusak dari residu herbisida terhadap lingkungan
2) bahan kimia ini dapat meningkatkan penyakit tumbuhan
3) berkembangnya ketahanan berbagai gulma terhadap
herbisida
4) tidak ekonomis misalnya di padang gembalaan atau
areal-areal lain yang mempunyai produktivitas yang
rendah
5. Alternatif pengendalian gulma
Pengendalian Hayati (Biokontrol)
pendekatan dalam mengendalikan gulma yang
dapat mengurangi populasi gulma dengan
menggunakan organisme hidup selain manusia
aman bagi lingkungan, dapat merupakan alternatif
pengendalian yang penting diterapkan bilamana cara
pengendalian yang lain tidak pas
6. Pengendalian Hayati Gulma setiap usaha
untuk menekan populasi gulma dengan
memanfaatkan mahluk hidup seperti serangga,
patogen (termasuk jamur, bakteri, virus, dan
nematoda), hewan tingkat tinggi (herbivora)
dan bahkan tanaman lain
Tujuan pengendalian hayati gulma pada
dasarnya bukan untuk mengeradikasi gulma
tetapi mengurangi/menjaga stabilisasi jangka
panjang kepadatan populasi gulma pada taraf
yang tidak merugikan
7. Dasar Ekologi Pengendalian Hayati
Gulma
Faktor utama penghambat dalam penyebaran dan
banyaknya suatu tumbuhan di suatu daerah adalah karena
di daerah tersebut terdapat banyak musuh alami, dan telah
dibuktikan bahwa faktor biotik secara signifikan
mempengaruhi distribusi dan melimpahnya spesies
tumbuhan.
Sebagian besar gulma penting yang ada di suatu negara
atau wilayah merupakan tumbuhan yang berasal dari
negara/wilayah lain yang diintroduksi baik secara
sengaja maupun tidak sengaja
8. di tempat baru musuh alami dari gulma tersebut
sangat jarang bahkan tidak ada, sementara itu di
negara asal gulma sasaran musuh alami sudah sangat
berasosiasi dengan gulma tersebut sehingga gulma itu
menjadi tidak begitu penting dengan kepadatan
populasi yang rendah (White, 1997).
Berdasarkan pemahaman dan bukti tersebut
maka pada awalnya sebagaian besar
program pengendalian hayati gulma
dilakukan dengan mendatangkan musuh
alami (terutama serangga) dari
negara/wilayah darimana gulma tersebut
berasal.
9. Faktor biotik lain yang berperan dalam meregulasi
(mengatur) populasi gulma selain musuh alami
adalah adanya kompetisi baik antara spesies gulma
yang sama maupun dengan spesies lain termasuk
dengan tanaman budidaya.
Oleh karena itu, pengelolaan habitat pada ekosistem
pertanian dilakukan sedemikian sehingga dapat
mengurangi kemampuan gulma untuk berkompetisi
sebagai akibat dari melemahnya ‘kebugaran’ (fitness )
gulma karena gangguan musuh alami (serangga dan
patogen), atau karena kehadiran tanaman lain yang
mempunyai daya kompetisi yang lebih kuat; atau
keberadaan kedua faktor tersebut
10. Misalnya, penekanan gulma skeleton (Chondrilla
juncea L.) karena introduksi jamur Puccinia
chondrillina adalah sebesar 50%, dan karena
kompetisi dengan clover (Trifolium subterraneum L.)
adalah sebesar 70%. Kedua faktor tersebut secara
bersama-sama dapat menekan pertumbuhan gulma
skeleton sampai 94% (Burdon et al ., 1980).
Juga, hasil penelitian Paul dan Ayers (1987)
menunjukkan bahwa jamur karat yang digunakan
untuk mengendalikan gulma Senecio vulgaris tidak
menunjukkan peningkatan kematian gulma tersebut
tetapi penurunan pengaruh gulma pada pertumbuhan
dan hasil lettuce terlihat dengan jelas.
11. Keberhasilan suatu agen pengendali hayati gulma
sering diperoleh bilamana jumlah variasi genetik di
dalam suatu populasi gulma sangat terbatas (Burdon et
al ., 1980; Barret, 1982).
Untungnya, populasi dari gulma yang diintroduksi baik
secara sengaja maupun tidak sengaja pada umumnya
mempunyai variasi genetik yang sangat terbatas
dibandingkan dengan gulma sejenis yang ada di wilayah
asalnya.
Hal ini disebabkan oleh introduksi gulma biasanya
berasal dari satu atau sedikit individu gulma
(Barrett, 1982; Watson, 1991).
12. Ekosistem pertanian (agroekosistem), baik yang
menerapkan teknologi sederhana maupun teknologi
canggih, merupakan ekosistem "terganggu" yang
mempunyai perbedaan yang lebar dalam sifat-sifat iklim,
biotik, dan budidaya.
Variasi yang demikian itu dapat mempengaruhi tanaman,
gulma, dan keberadaan populasi mikrobia dan serangga.
Tambahan lagi, dengan adanya aktivitas manusia yang
bertujuan untuk memaksimalisasi kembalian ekonomi,
agroekosistem selalu mengalami perubahan sementara
dalam dinamika gulma dan tanaman.
Perubahan ini akan mempengaruhi pilihan agen
pengendali hayati yang akan digunakan untuk
mengendalikan gulma (Charudattan and DeLoach,
1988).
13. Perubahan-perubahan ini juga dapat merupakan
faktor penghambat dalam build up dan efikasi agen
pengendali hayati, misalnya penggunaan fungisida
dan insektisida dalam perlindungan tanaman akan
mempengaruhi siklus hidup jamur dan serangga
yang digunakan sebagai agen pengendali hayati.
Sehingga pemahaman tentang ekologi agen
pengendali hayati, gulma, maupun tanaman
merupakan hal yang sangat penting dalam
menunjang keberhasilan pengendalian hayati
gulma.
14. Agensia Pengendali Agensia Pengendali HHaayyaattii GGuullmmaa
serangga, patogen (jamur, bakteri, virus dan
nematoda), tumbuhan tingkat tinggi dan
herbivora
pada umumnya yang dianggap sebagai
pengendalian hayati gulma adalah
penggunaan musuh alami (serangga dan
patogen tumbuhan).
15. 1. Serangga
Paling banyak digunakan untuk pengendalian
hayati gulma, karena:
1. daya reproduksi serangga yang tinggi,
2. mempunyai inang (host) yang sangat spesifik,
3. pengetahuan yang baik tentang sistematika,
tentang sejarah hidup dan asosiasinya dengan
tumbuhan,
4. kerusakan nyata yang ditimbulkannya pada
tumbuhan, dan
5. penanganannya yang mudah
16. Contoh keberhasilan:
1. Terkendalinya eceng gondok (Eichhornia
crassipes (Mart.) Solms.) di Lousinia,
Amerika Serikat dengan introduksi
Neochetina eichhorniae Warner yang
didatangkan dari Argentina
2. bersihnya infestasi salvina (Salvina
molesta Mitchell) di Australia dan Papua
New Guinea dengan introduksi kumbang
Cytrobagous salvinae Calder and Sands
dari Brazil
17.
18.
19. Keberhasilan penggunaan serangga ini
disebabkan oleh:
1. kemampuan reproduksinya yang tinggi,
2. mobilitasnya yang tinggi,
3. ketertarikan serangga dewasa dan larva
untuk memakan batang dan daun, dan
4. tidak adanya parasit yang beradaptasi di
daerah pelepasan serangga
20. 2. Patogen
Tumbuhan
2. Patogen
Tumbuhan
Mikrobia (Patogen tumbuhan) diketahui
mempunyai kemampuan untuk menekan dan
bahkan membunuh tumbuhan (termasuk gulma)
Jamur merupakan agen biokontrol gulma yang
paling banyak diteliti dan dikembangkan
umum ditemukan pada tumbuhan, bersifat merusak,
dapat diproduksi secara massal dan dapat
diformulasikan, serta dapat secara aktif
mempenetrasi tumbuhan
23. 3. Tumbuhan
Sebagaimana dengan gulma tanaman budidaya juga
mampu mengurangi pertumbuhan dan perkembangan gulma
melalui kompetisi terhadap cahaya, air dan nutrisi, atau
dalam beberapa hal melalui pelepasan substansi alelopati
(Minotti, 1991).
Beberapa tanaman diketahui mempunyai kemampuan untuk
melepaskan senyawa kimia ke dalam tanah yang mampu
menghambat pertumbuhan gulma (Rice, 1995). Minotti dan Sweet
(1981) telah melakukan skrining terhadap lebih dari 500 aksesi
mentimun dari 41 negara dan menemukan bahwa beberapa aksesi
mentimun tersebut mempunyai kemampuan untuk menghambat
pertumbuhan beberapa gulma indikator dengan memproduksi
senyawa alelopati
24. Faktor yang dapat meningkatkan kemampuan
tanaman untuk berkompetisi dengan gulma
1. Faktor yang berhubungan dengan waktu, dimana tanaman yang
mempunyai kemampuan untuk berkecambah dan establish
(mapan/tumbuh) lebih cepat akan mempunyai kemampuan
berkompetisi yang lebih baik dibandingkan dengan tanaman
yang berkecambah dan tumbuh/berkembang dengan lamban.
2. Faktor varietas tanaman, dimana satu varietas dengan varietas
lainnya dari suatu tanaman mempunyai kemampuan kompetisi
yang berbeda,
3. Faktor populasi tanaman, dimana semakin padat populasi
tanaman maka pertumbuhan gulma akan tertekan; sehingga
beberapa sistem budidaya seperti pengurangan jarak tanam
dan tumpang sari (multiple cropping) diharapkan akan dapat
mengurangi populasi gulma
25. 4. Herbivora
Kesukaan makan suatu hewan tingkat tinggi jika diberikan
kebebasan untuk memilih, dapat digunakan secara selektif
untuk mengendalikan gulma.
Namun, karena sifatnya pergerakannya yang dapat merusak pertanaman
maka pengendalian gulma menggunakan hewan tingkat tinggi hanya
dapat digunakan di daerah padang gembalaan (Gillen and Scifres, 1991).
Misalnya Domba (Capra hircus L.) dapat digunakan untuk
mengendalikan gulma blackberry (Rubus fruticosus agg.) pada
padang gembalaan yang terabaikan. Wood (1987) melaporkan
bahwa domba dapat membersihkan gulma tersebut dari padang
gembalaan, dan menyebabkan tumbuhnya rumput pakan ternak
dengan baik .
26. Pendekatan dan Teknik Pengendalian
Gulma dengan Mikrobia
1. Pendekatan Klasik
2. Pendekatan Non-klasik
1. Pendekatan Klasik
Pendekatan klasik merupakan introduksi
secara inokulatif musuh alami yang
didatangkan dari luar darimana gulma
sasaran berasal
27. Gulma introduksi
sasaran yang baik bagi penggunaan musuh
alami dengan pendekatan klasik (inokulatif)
Pendekatan klasik menggunakan organisme yang
dapat bereproduksi dan menyebar sendiri, shg
biaya implementasinya tidak tergantung pada
luas areal yang terinfestasi dan waktu yang
dibutuhkan untuk mengendalikan gulma sasaran
28. Perlu diperhatikan sebelum introduksi musuh alami
1. Musuh alami harus disasarkan pada gulma
eksotik yang tidak ada musuh alaminya
2. Tidak ada alternatif pengendalian yang pas
3. Kembalian ekonomi yang memadai yang
diperoleh
4. Kondisi lingkungan yang sesuai bagi musuh
alami
5. Tidak ada pertentangan tentang status
gulma sasaran
6. Musuh alami mempunyai inang yang spesifik
29. Bridal Creeper ( Asparagus asparagoides)
Jamur karat Puccinia
myrsiphylli , Afrika
Utara
31. 1. Pendekatan Non-Klasik
a. Teknik Augmentatif
Mikrobia yang digunakan ditemukan di
daerah/wilayah dimana gulma menjadi
masalah, tetapi tanpa bantuan manusia
maka agen pengendali hayati ini tidak
dapat berkembang dengan baik
Perkembangan agen pengendali hayati
perlu dibantu karena adanya hambatan
biologi atau ekologi
32. Teknik augmentatif yang menggunakan
mikrobia (biasanya jamur) dilakukan dengan
memproduksi inokulum jamur dalam jumlah
banyak, dan selanjutnya dilepas pada saat
(waktu dan keadaan lingkungan) yang kondusif
bagi pertumbuhan dan perkembangan penyakit
Inokulum yang digunakan pada teknik ini
biasanya tidak dapat diperbanyak pada media
biakan (pada umumnya bersifat obligat)
sehingga tidak dapat diterapkan dengan
teknik inundatif atau bioherbisida
33.
34. Misal: Penggunaan jamur karat Puccinia
canaliculata untuk mengendalikan teki kuning
(Cyperus esculentus) di Amerika Serikat
DR. BIOSEDGE
Pengembangan jamur karat (Puccinia sp.)
lokal Lombok untuk mengendalikan gulma
teki (Cyperus rotundus)
36. Jamur Karat
Menimbulkan
kerusakan yang
parah pada gulma
teki
Secara alami,
kerusakan ringan dan
penyebaran terbatas
PERLU BANTUAN MANUSIA
37. 90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
5 10 15 20 25 30
Spore concentration (x 1000 spore/ml)
No of pustules
a.m
p.m
Y = -0.87 + 2.84 x 10-3X
Y = -1.03 + 0.43 x 10-3X
Aplikasi jamur pada sore (pm) hari
menunjukkan hasil yang lebih baik dg yang
diaplikasikan pagi hari (am)
38. Kenampakan daun dg pengecatan di bawah
mikroskop (pada teki sehat tidak ada spora, sdg
pada daun terinfeksi terlihat spora yang berlimpah)
teki sehat
teki terinfeksi
39. Kenampakan daun beberapa tanaman budidaya dg
pengecatan di bawah mikroskop (Tidak tampak
adanya hifa atau spora jamur)
Padi
Kedelai
41. Perlakuan
Campuran
Koefisien Agresivitas (KA)
Teki Padi
T1P -0,0398 0,0398
T2P -0,0445 0,0045
T3P -0,2756 0,2756
T0P 0,1790 -0,1790
Tanaman dengan nilai KA positif lebih
dominan dari KA negatif
42. b. Teknik Inundatif (Bioherbisida)
Menerapkan mikrobia atau bagian atau
kandungannya yang diformulasikan
sebagaimana herbisida dan diterapkan ke
gulma sasaran dengan cara yang sama
dengan herbisida
Aplikasi mikrobia dilakukan secara langsung ke
gulma sasaran dengan volume dan dosis yang
dapat mengendalikan gulma dalam waktu tertentu
dan sebelum kehilangan ekonomi yang ditimbulkan
oleh gulma terjadi
45. Bioherbisida seperti CollegoTM (spora kering
jamur Colletotrichum gloesporioides f.sp.
aeschynomena) mengendalikan Aeschynomene
virginica) pada tanaman padi
DeVine® (fermentasi cair dari klamidospora dari
Phytophthora palmivora) mengendalikan gulma
Morrenia odorata pada perkebunan jeruk
46. LuBoa (spora dari jamur Colletotrichum
gloesporioides f.sp. cuscutae) yang diproduksi
pada skala rumah tangga di Cina Cina sangat
efektif untuk mengendalikan gulma Cuscuta
(Cuscuta indecora)
BIOMALTM (suspensi spora jamur
Colletotrichum gloesporioides f.sp. malvae)
mengendalikan gulma Malva pusilla pada
tanaman gandum
47. Prosedur Prosedur dalam Pengendalian Pengendalian Hayati
Hayati
Gulma Gulma dengan dengan Pendekatan Pendekatan Non-klasik
1. Penemuan
2. Pengembanga
n
3. Pemanfaatan
48. 1. PENEMUAN
Sebelum eksplorasi mikrobia:
1. memberikan batasan pada gulma sasaran:
nilai tanaman budidaya yang terinfestasi
oleh gulma sasaran, ketersedian cara
pengendalian termasuk biaya yang
dibutuhkan untuk pengendalian, dan
keadaan tertentu yang mendukung
diterapkannya pengendalian hayati
terhadap gulama sasaran
2. mengurangi daftar spesies gulma yang
akan dikendalikan
3. melakukan survey mikrobia pada gulma
49. Selanjutnya:
1. Mikrobia dikoleksi dari bagian gulma yang
sakit dan diisolasi pada media biakan yang
sesuai, dan diidentifikasi
2. Postulat ‘Koch’
3. Identifikasi
4. Media biakan yang dapat digunakan
5. Penyimpanan biakan untuk waktu singkat
dan lama
6. Studi pustaka terhadap patogen yang
potensial terutama mengenai kisaran inang
dari patogen dan media yang sesuai bagi
perkembangan patogen tersebut
50. Mikrobia potensial:
1. Dapat diproduksi secara in vitro
2. produksi/agen tersebut dapat tetap
dalam kondisi stabil di dalam biakan
maupun di penyimpanan
3. tidak mempunyai faktor dormansi
yang dapat mempengaruhi
infektifitas
4. dapat menginfeksi gulma pada
kisaran kondisi lingkungan yang luas
51. 2. Pengembangan
1. Penentuan kondisi optimum bagi produksi
spora
2. penentuan kondisi optimum bagi
perkembangan penyakit dan kerusakan gulma
3. pengujian proses infeksi
4. penentuan cara kerja patogen dalam
mengendalikan gulma dan atau toksin
5. penentuan kisaran inang
6. kuantifikasi keefektifan agen sebagai agen
pengendali hayati gulma
52. 3. Pemanfaatan
Kolaborasi antara peneliti, petani (pengguna),
dan industri dalam produksi, kemungkinan
komersialiasi, dan penggunaan bioherbisida
1. Formulasi
2. Fermentasi
3. Aspek regulasi
4. Pemasaran
5. Implementasi